AKSES NELAYAN TERHADAP SUMBERDAYA PESISIR DI KAWASAN PERTAMBANGAN (Studi Kasus: Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah)
Oleh Yossika Tantri Wandan Sari I34070125
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
ABSTRACT
YOSSIKA TANTRI WANDAN SARI Fishermen access toward coastal resources within mining area Supervised by ARIF SATRIA The establishment of the area, which is established by determining boundaries that can be used to organize natural resources owenership, is a way to avoid natural resources conflict. The purposes of this study are: 1) to analyze the participation of fishers in determining coastal zones at Kelurahan Cilacap, 2) to analyze the impact of coastal zoning on fishers natural resoruces access in Cilacap Village, and 3) to analyze the relationship between change of fisher’s natural resources access and resource conflict in Cilacap Village. The results of this study conclude that: 1) there is lack of fishers participation in determining coastal zoning, 2) there are some impacts of zoning which influence fishers' natural resources access, and 3) the factor that causing conflicts in Cilacap Village was coastal pollution from tanker ship accidents. The conflicts in Cilacap Village, which are caused by coastal pollution from tanker ship accidents, give both negative and positive impacts for fishers. Some of the negative impacts are decreasing trust, escalating moral problems, and decreasing productivity. On the other hand, the positive impacts are reinforcment bonds within fishers group, fishers are capable to adapt within the environment, and improvement of fisheres’ knowledge improved. Keywords: coastal zoning, resource access, conflict.
3
RINGKASAN YOSSIKA TANTRI WANDAN SARI. Akses Nelayan Terhadap Sumberdaya Pesisir di Kawasan Pertambangan: Studi Kasus Kelurahan Cilacap Selatan, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap (Di bawah bimbingan ARIF SATRIA). Perairan di wilayah Cilacap merupakan salah satu kawasan yang penting bagi kebupaten tersebut. Perairan tersebut dimanfaatkan untuk tiga kegiatan utama, yaitu sebagai daerah tangkap bagi nelayan, sebagai jalur pelayaran internasional, dan sebagai tempat pariwisata. Beragam kepentingan yang berbeda dalam suatu sumberdaya ini dapat memicu konflik kepemilikan. Untuk menghindari konflik atas sumberdaya alam salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menentukan suatu batasan-batasan yang dapat mengatur kepemilikannya. Hal ini dilakukan karena sering kali terdapat lebih dari satu aktor yang memanfaatkan suatu sumberdaya alam tersebut. Dengan adanya zonasi yang jelas diharapkan tidak ada konflik yang terjadi dalam hal pemanfaatan sumberdaya alam. Pembentukan zonasi tidak sama dalam setiap wilayah. Hal ini dipengaruhi oleh jenis sumberdaya alam yang terdapat di suatu wilayah serta aktor yang memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Selain itu proses pembentukan zonasi ini juga berbeda di setiap wilayah. Ada pembentukan zonasi yang melibatkan masyarakat sekitar bersama dengan aktor lain yang terlibat dan ada pula yang ditentukan oleh pemerintah. Namun ketentuan untuk pembentukan zonasi tersebut telah diatur dalam beberapa undang-undang. Berdasarkan dari latar belakang yang telah dikemukakan, penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, untuk menganalisis peran keterkaitan akses politik nelayan dalam menentukan zonasi wilayah pesisir. Kedua, untuk menganalisis pengaruh zonasi wilayah pesisir terhadap akses sumberdaya alam nelayan. Ketiga, untuk menganalisis perubahan akses sumberdaya alam nelayan terhadap konflik yang terjadi. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah dari bulan April hingga Mei 2011. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dengan menggunakan kuesioner yang
4
diberikan kepada responden. Kuesioner tersebut ditanyakan kepada responden dengan menggunakan teknik wawancara dan peneliti menuliskan jawaban sesuai dengan yang responden katakan. Selain itu data primer juga diperoleh dari wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara. Sedangkan data skunder diperoleh dari studi literatur yang sumbernya diperoleh dari buku, skripsi, tesis, disertasi, internet, dan data dari dinas terkait. Responden dalam penelitian ini adalah 37 orang nelayan yaitu setengah dari jumlah populasi yang ada di wilayah penelitian. Penentuan responden dilakukan secara acak dengan melakukan undian dengan kertas. Sedangkan jumlah informan sebanyak tujuh orang dan penentuannya dilakukan dengan teknik bola salju. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi nelayan dapat dikatakan lemah dalam hal penentuan zonasi di wilayah tersebut. Nelayan tidak dilibatkan dalam penentuan zonasi perairan. Mereka hanya diberikan sosialisasi mengenai keberadaan zonasi antara wilayah pelayaran kapal non nelayan dengan wilayah perikanan. Walaupun benar adanya bahwa dalam hal evaluasi nelayan memiliki akses politik cukup kuat. Para nelayan dapat menyampaikan aspirasi tentang keberadaan jalur pelayarannya serta kapal non nelayan yang melintasi perairan tersebut. Akses politik ini meningkat ketika terjadi kecelakaan yang melibatkan keberadaan kapal non nelayan serta merugikan nelayan. Zonasi yang telah dibentuk dapat mempengaruhi akses sumberdaya alam nelayan. Perubahan akses sumberdaya alam nelayan ini dipengaruhi oleh terciptanya beberapa wilayah di perairan tersebut yang tidak dapat dilalui oleh nelayan. Ketika semakin banyak kapal non nelayan yang melewati jalur pelayaran ini dan melego jangkarnya maka akan semakin luas wilayah perairan yang tidak dapat diakses oleh nelayan. Nelayan juga membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk melaut dan jarak yang lebih jauh agar bisa mendapatkan tangkapan yang lebih banyak. Menurut nelayan, hasil tangkapan mereka menurun karena terjadi musim paceklik selama tiga tahun terakhir ini. Diduga salah satu penyebab dari paceklik ini adalah karena kecelakaan kapal tanker yang terjadi beberapa tahun silam sehingga menyebabkan ikan enggan untuk hidup di perairan tersebut. Hal ini terkait pula dengan pembentukan zonasi jalur pelayaran.
5
Perubahan akses sumberdaya alam yang dialami oleh nelayan tidak terlalu berpengaruh terhadap konflik yang terjadi. Pada dasarnya konflik yang terjadi lebih banyak dipengaruhi oleh kecelakaan kapal tanker yang mengangkut minyak mentah. Jenis konflik yang terjadi di wilayah perairan tersebut adalah konflik vertikal, konflik laten, dan konflik lingkungan. (konflik tanpa konflik dan konflik kelas tidak termasuk). Semua konflik tersebut melibatkan tiga aktor utama, yaitu nelayan, perusahaan pertambangan, dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Konflik yang terjadi ini akhirnya selalu diselesaikan dengan metode konsiliasi, negosiasi, dan mediasi. Setelah mendapatkan suatu mufakat maka perusahaan pertambangan akan memberikan kompensasi atas kecelakaan yang terjadi dan membantu membersihkan minyak mentah dari perairan. Dana kompensasi itu kemudian dibagikan kepada para nelayan yang menjadi korban dari kecelakaan yang terjadi. Konflik tersebut memiliki dua jenis dampak terhadap nelayan, yaitu dampak negatif dan dampak positif. Dampak negatif dari suatu konflik yang terjadi adalah penurunan kepercayaan di kalangan nelayan, timbul masalah moral, dan polarisasi nelayan. (waktu terbuang sia-sia, perubahan kepribadian, dominasi salah satu pihak, produktifitas menurun, dan proses pengambilan keputusan tertunda tidak termasuk). Selain itu dampak positif bagi nelayan adalah ikatan kelompok lebih erat, penyesuaian diri pada kenyataan, dan pengetahuan atau keterampilan meningkat.
1
AKSES NELAYAN TERHADAP SUMBERDAYA PESISIR DI KAWASAN PERTAMBANGAN (Studi Kasus: Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah)
Yossika Tantri Wandan Sari I34070125
SKRIPSI Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
6
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh : Nama : Yossika Tantri Wandan Sari NIM : I34070125 Judul : Akses Nelayan Terhadap Sumberdaya Pesisir di Kawasan Pertambangan (Studi Kasus Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah) Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP 19710917 199702 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian:
7
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “AKSES NELAYAN TERHADAP SUMBERDAYA PESISIR DI KAWASAN PERTAMBANGAN:
STUDI
KASUS
KELURAHAN
CILACAP,
KECAMATAN CILACAP SELATAN, KABUPATEN CILACAP, PROVINSI JAWA TENGAH” INI BENAR-BENAR HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH
DIAJUKAN
SEBAGAI
KARYA
ILMIAH
ADA
SUATU
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK
TERTENTU.
SAYA
JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TINDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor,
Agustus 2011
Yossika Tantri Wandan Sari NIM. I3070125
8
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Yossika Tantri Wandan Sari lahir di Bogor, 13 November 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, pasangan Bapak Djoko Purwanto dan Ibu Dwi Wahyuni. Penulis menempuh pendidikan dari mulai Taman Kanak-Kanak di TK. Anugrah Bogor pada tahun 1993-1995. Kemudian mengenyam bangku Sekolah Dasar di SD Negeri Pengadilan 5 Bogor pada tahun 1995-2001, SMP Negeri 1 Bogor tahun 2001-2004. Penulis melanjutkan sekolah di SMA PLUS YPBH Bogor pada tahun 2004-2007. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis telah memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang berada di bawah Fakultas Ekologi Manusia sebagai angkatan ketiga. Penulis aktif sebagai staf IMPEMA (Ikatan Mahasiswa Peminat Ekologi Manusia). Peneliti juga menjadi anggota dalam Divisi Dana Usaha pada IAC 2009 (IPB Art Competition) dan sebagai koordinator acara dalam kepanitiaan Ecosystem 2010 (Ecologycal Camp to Sinergize Student with Environmental Movement).
9
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Adapun skripsi yang penulis beri judul “Akses Nelayan Terhadap Sumberdaya Pesisir di Kawasan Pertambangan: Studi Kasus Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah” merupakan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui akses nelayan terhadap sumberdaya pesisir di tengah keberadaan perusahaan pertambangan yang menggunakan jalur pelayaran laut sebagai salah satu media transportasi dalam berproduksi. Kelurahan Cilacap merupakan salah satu kelurahan yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia dimana sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan. Selain itu di wilayah perairan ini pula terdapat jalur pelayaran bagi kapal non nelayan berupa kapal tanker, kapal tongkang, dan kapal kargo. Hal ini yang menurut penulis merupakan bagian yang menarik untuk dikaji. Penelitian ini dilakukan tidak semata-mata hanya untuk memperoleh gelar sarjana, melainkan juga untuk memperoleh pengetahuan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang berhubungan dengan dua aktor berbeda. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
Bogor,
Agustus 2011 Penulis
10
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan atas karunia dan rahmat dari Allah SWT yang telah memberikan kelancaran bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak dapat diselesaikan tanpa mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terma kasih kapada: 1. Dr. Arif Satria SP, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan, arahan, bimbingan, serta sarannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini; 2. Kedua orang tua penulis Bapak Djoko Purwanto dan Ibu Dwi Wahyuni yang selalu mendukung dan mendoakan tanpa henti kepada anakmu; 3. Kepada saudara lelakiku yaitu Mas Ari Pribadi, Mas Rian Adrianto, dan Adik Azela Mahuka Yunarko untuk dukungan dan keceriaan yang diberikan; 4. Keluarga besar Bapak Syukir yang telah memberikan tempat tinggal dan bantuan selama penulis melakukan penelitian di Kelurahan Cilacap; 5. Staf pemerintahan terkait di Kabupaten Cilacap yang telah memberikan bantuan berupa saran, data, dan dukungan yang dibutuhkan oleh penulis. 6. Para nelayan Kelurahan Cilacap yang sudah membantu penulis dalam penelitian ini; 7. Monica, Trysna Satrya, Anggi Kusumahadi yang selalu ada di saat penulis butuh bantuan, dukungan, sandaran selama proses pembuatan skripsi ini; 8. Rahmawati, Hirma Azzaqeeya, Faris Priyanto, dan Koko Andiardi, Ayu Santika yang selalu bisa buat penulis tertawa dan melepas penat sesaat; 9. Teman-teman KPM 44 terima kasih untuk pertemanan selama proses kuliah yang menyenangkan dan berharga ini; 10. Teman sebimbingan Maya, Helmi, Didi, Novita, dan Ume untuk doa dan semangatnya; 11. Dokter Marihot yang selalu ramah, memberikan peringatan, perhatian, dan dukungan bagi penulis;
11
12. Teman-teman SMA, Winda, Ambar, Cindy, dan Dina untuk doa dan dukungannya; 13. Bagi pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Bogor,
Agustus 2011 Penulis
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI....................................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... v BAB I 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1 1.2 Masalah Penelitian ................................................................................................ 3 1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................................. 4 1.4 Kegunaan Penelitian .............................................................................................. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka ................................................................................................... 6 2.1.1 Pesisir ................................................................................................................ 6 2.1.2 Partisipasi .......................................................................................................... 8 2.1.1.1
Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Nelayan .................................... 9
2.1.1.2
Kepemilikan Sumberdaya Alam ............................................................. 9
2.1.3 Konflik ............................................................................................................. 11 2.1.2.1
Definisi Konflik .................................................................................... 11
2.1.2.2
Jenis Konflik ......................................................................................... 11
2.1.2.3 Penyebab Konflik...................................................................................... 13 2.1.2.4 Dinamika Konflik ..................................................................................... 15 2.1.2.5 Manajemen Konflik .................................................................................. 16 2.1.2.6 Dampak Konflik........................................................................................ 18 2.2 Kerangka Pemikiran ............................................................................................ 20 2.3 Hipotesis Penelitian............................................................................................. 22 2.4 Definisi Konseptual ............................................................................................. 22 2.5 Definisi Operasional ............................................................................................ 23 BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1 Metode Penelitian ............................................................................................... 26 3.2 Jenis Data, Lokasi, dan Waktu Penelitian ........................................................... 26 3.3 Populasi dan Kerangka Sampling ....................................................................... 27 3.4 pemilihan Responden .......................................................................................... 28
ii
Halaman 3.5 Teknik Pengumpulan Data .................................................................................. 30 3.6 Teknik Analisis Data ........................................................................................... 30 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kelurahan Cilacap ................................................................. 32 4.1.1 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Kelurahan Cilacap .................................. 32 4.1.2 Kependudukan Kelurahan Cilacap.................................................................. 33 4.1.3 Kegiatan Perikanan ......................................................................................... 36 4.2 Sejarah Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap .......................................................... 38 4.3 Kapal Tanker dan Tongkang ............................................................................... 40 4.4 Karakteristik Responden ..................................................................................... 41 BAB V HUBUNGAN KARAKTERISTIK NELAYAN DENGAN TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN 5.1 Hubungan Tingkat Umur dengan Tingkat Partisipasi Nelayan............................ 45 5.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan ................... 46 5.3 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan .................. 46 5.4 Hubungan Tingkat Jumlah Tanggungan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan .... 48 5.5 Analisis Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan . 49 BAB VI KETERKAITAN PARTISIPASI NELAYAN DALAM MENENTUKAN WILAYAH ZONASI PESISIR 6.1 Zonasi Pertambangan .......................................................................................... 55 6.2 Zonasi Perikanan ................................................................................................. 58 6.3 Konflik Zonasi .................................................................................................... 60 BAB VII PENGARUH ZONASI WILAYAH PESISIR TERHADAP AKSES SUMBERDAYA ALAM NELAYAN 7.1 Akses Sumberdaya Alam Nelayan ...................................................................... 64 7.2 Analisis Keterkaitan Zonasi Wilayah Pesisir Terhadap Akses Sumberdaya Alam Nelayan ................................................................................................................ 65 BAB VIII PENGARUH AKSES SUMBERDAYA ALAM TERHADAP KONFLIK 8.1 Kecelakaan Kapal Tanker ................................................................................... 71 8.1.1 Kapal Tanker MT. King Fisher ....................................................................... 71 8.1.2 Kapal Tanker MT. Lucky Lady ...................................................................... 73 8.2 Analisis Konflik .................................................................................................. 74 8.2.1 Jenis Konflik ................................................................................................... 74 8.2.2 Sifat Konflik.................................................................................................... 77 8.2.3 Bentuk Konflik................................................................................................ 78
iii
Halaman 8.2.4 Dinamika Konflik ........................................................................................... 78 8.2.5 Manajemen Konflik ........................................................................................ 79 8.2.6 Dampak Konflik.............................................................................................. 80 BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 82 9.2 Saran .................................................................................................................... 83 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 84
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Status Kepemilikan Sumberdaya ............................................................. 10 Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011............................................. 27 Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Glongan Umur Kelurahan Cilacap, 2010 .... 34 Tabel 4 Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan Cilacap Tahun 2010 .............. 35 Tabel 5 Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Cilacap Tahun 2010 ................. 35 Tabel 6 Jumlah Kapal, Perahu Motor, dan Perahu Nelayan di Kelurahan Cilacap Tahun 2010 ........................................................................................................... 36 Tabel 7 Tingkat Pendidikan Responden Kelurahan Cilacap Tahun 2010 ............ 42 Tabel 8 Hubungan Tingkat Umur dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Tahun 2010 ............................................................................................................................... 45 Tabel 9 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan, 2010 ............................................................................................................................... 46 Tabel 10 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan, 2010 ....................................................................................................................... 47 Tabel 11 Hubungan Tingkat Pendapatan pada Masa Paceklik dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Tahun 2011 ..........................................................................47 Tabel 12 Hubungan Tingakat Jumlah Tanggungan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Tahun 2010 ............................................................................................. 49 Tabel 13 Hubungan Karakteristik Sosial dengan Tahap Evaluasi Tahun 2010 .... 51
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 21 Gambar 2 Teknik Sampling dalam Pengambilan Responden ............................... 28 Gambar 3 Tekik Bola Salju Informan ................................................................. 28 Gambar 4 Peta Trayek Pelayaran Kapal Tanker dan Tongkang Tahun 2011 ....... 39 Gambar 5 Jenis Kapal yang Berlabuh di Tanjung Intan Tahun 2011 ................... 40 Gambar 6 Tingkat Umur Responden Kelurahan Cilacap Tahun 2010 ................. 41 Gambar 7 Tingkat Pendapatan Responden Kelurahan Cilacap Tahun 2011 ........ 42 Gambar 8 Jumlah Tanggungan Responden Kelurahan Cilacap Tahun 2011 ....... 43 Gambar 9 Tingkat Partisipasi Nelayan Dalam Tiap Tahapan Tahun 2011 .......... 50 Gambar 10 Jalur Pelayaran dan dermaga di Pelabuhan Tanjung Intan ................ 57 Gambar 11 Diagram Jarak Tempuh Nelayan Sebelum Zonasi ............................. 59 Gambar 12 Diagram Jarak Tempuh Nelayan Sesudah Zonasi.............................. 60 Gambar 13 Waktu Tempuh Melaut Nelayan Sebelum Zonasi ............................. 67 Gambar 14 Waktu Tempuh Melaut Nelayan Sesudah Zonasi .............................. 67 Gambar 15 Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan (Kg) Sebelum Zonasi .................. 68 Gambar 16 Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan (Kg) Sesudah Zonasi ................... 69 Gambar 17 Proses Konflik Lingkungan................................................................ 75
vi
LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Kerangka Sampling ........................................................................... 86 Lampiran 2 Kuesioner dan Pedoman Wawancara Mendalam .............................. 88 Lampiran 3 Analisis Statisitik (SPSS 17, Chi-Square)...................................79
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data, Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.504 pulau dengan panjang pantai 95.181 km. Luas laut yang dimiliki Indonesia sekitar 5,8 juta km2 dengan pembagian 0,8 juta km2 perairan teritorial, 2,3 juta km2 perairan nusantara, dan 2,7 km2 perairan ZEE1. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah: 350 fauna, 28.000 flora, 110.000 mikroba, 600 terumbu karang, dan 40 genera (termasuk di dalamnya ikan, udang, moluska, kerang mutiara, rumput laut, kepiting, mangrove, hewan karang, dan biota laut lainnya)2. Selain makhluk hidup, di pesisir dan dalam laut juga terkandung sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, seperti: minyak bumi, pasir, timah, dan lain sebagainya. Selain itu kualitas sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui tersebut memiliki kualitas tinggi sehingga banyak diantaranya yang diekspor. Kekayaan alam yang melimpah ini membutuhkan suatu pengelolaan yang baik agar tidak ada konflik mengenainya. Hal ini menyebabkan pemerintah membuat berbagai macam undang-undang yang dapat mengatur sumberdaya alam tersebut. Tahun 1999 telah diresmikan dan dilaksanakan Undang-Undang Otonomi Daerah yang kemudian diamandemen menjadi UU RI Nomor 32 Tahun 2004. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP Nomor 129 Tahun 2000. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan mengenai pemekaran daerah, yaitu suatu proses membagi satu daerah administratif yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonomi baru3. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 18 telah diatur batas kewenangan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota terhadap perairan laut, namun dalam pelaksanaannya masih terjadi tumpang tindih kewenangan. Tiga tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang berhubungan dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam Undang 1
Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2009 Betapa luas laut Indonesia « RichOcean INDONESIA Blog.htm 3 Djoko Harmantyo, 2007 2
2
Undang No. 27 Tahun 2007 tersebut dijelaskan mengenai sistem zonasi. Sistem itu berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir di suatu wilayah. Hak zonasi tersebut merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka panjang setiap daerah. Di dalam undang-undang tersebut diatur pula mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir serta alokasi pemanfaatan sumberdaya pesisir4. Selain Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, terdapat pula undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah yaitu Undang-Undang No. 26 Tahun 2007. Dalam undang-undang ini dijelaskan mengenai tata kelola ruang baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten dan kota. Selain itu pengelolaan tata ruang ini juga mencangkup wilayah perkotaan dan perdesaan5. Ketiga undangundang tersebut merupakan pedoman bagi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah untuk menata wilayah mereka yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Hal ini penting untuk meminimalisir terjadinya konflik atas sumberdaya alam di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Jawa Tengah. Wilayah ini berbatasan dengan Samudera Indonesia di sebelah selatan, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Kuningan di sebelah utara, Kabupaten Kebumen di sebelah timur, dan Kabupaten Ciamis serta Kota Banjar di sebelah barat. Salah satu mata pencaharian masyarakat Cilacap adalah nelayan dengan luas sebaran penangkapan 5.200 km2. Selain itu, Cilacap juga memiliki kekayaan sumberdaya mineral yang melimpah, seperti minyak bumi dan gas bumi, batu bara, emas, pasir besi, dan gamping6. Hal ini menyebabkan Cilacap merupakan daerah yang strategis untuk investasi para perusahaan. Terdapat tujuh perusahaan pertambangan atau perusahaan yang terkait dengan barang tambang di Kabupaten Cilacap. Perusahaan-perusahaan tersebut ada yang berfungsi sebagai pengolahan BBM, penyaluran minyak, PLTU, penambangan batu untuk bahan semen, dan distributor aspal6.
4
Undang‐undang No. 27 Tahun 2007 Undang‐undang No. 26 Tahun 2007 6 www.cilacapkab.go.id 5
3
Selain itu di kawasan perairan Cilacap yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia ini terdapat sebuah pelabuhan internasional bernama Pelabuhan Tanjung Intan. Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan dengan pihak Dinas Administrasi Pelabuhan diketahui bahwa jalur pelayaran ini dilalui oleh kapal-kapal non nelayan seperti kapal tanker, kapal tongkang, dan kapal kargo yang membawa bermacam-macam muatan. Beberapa jenis muatan tersebut adalah batu bara yang digunakan sebagai bahan bakar PLTU, gamping yang berasal dari Pulau Nusakambangan, serta minyak bumi. Keberadaan kapal-kapal tersebut sering kali meresahkan nelayan. Bahkan keadaan ini juga memicu konflik antara nelayan dengan pihak pemilik kapal tanker tersebut karena nelayan merasa dirugikan. Konflik antara kedua sektor tersebut dapat menyebabkan dampak berupa hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia (Soekanto, 2002). Selain itu masyarakat nelayan dapat melakukan aksi anarki sebagai akibat dari pelayaran yang dilakukan oleh kapal tanker. Menurut Harmantyo (2007), Indonesia memiliki potensi konflik kewilayahan yang tinggi dan meningkat setelah adanya peraturan otonomi daerah. Meskipun demikian untuk konflik horizontal di wilayah pesisir belum tentu ada hubungannya dengan otonomi daerah karena sudah berlangsung sejak dulu (Satria et. al., 2002 dalam Hikmah, 2008).
1.2 Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas dapat diketahui bahwa dalam wilayah pesisir terdapat berbagai macam pihak pengelola, yaitu pemerintah, masyarakat, dan perusahaan (baik perusahaan swasta maupun negara). Keadaan seperti ini juga terjadi di wilayah Kabupaten Cilacap khususnya Kelurahan Cilacap dimana dalam suatu lokasi terdapat tiga pihak berkepentingan yang berhubungan dengan sumberdaya pesisir. Permasalahan yang dalam kasus ini terjadi bukan hanya merupakan ketersediaan atau keberadaan sumberdaya alam pesisir itu sendiri melainkan proses pengelolaan dan hubungan berbagai pihak yang terkait di dalamnya. Hal ini berkaitan pula dengan zonasi-zonasi yang diciptakan di wilayah pesisir tersebut untuk para pihak yang melakukan aktivitas di sana. Pembagian willayah
4
berupa zonasi ini dapat menyebabkan suatu konflik jika ada pihak-pihak tertentu merasa dirugikan. Konflik yang terjadi dapat menyebabkan suatu dampak yang merugikan berbagai pihak jika hal tersebut tidak diatasi dengan tepat. Konflik ini pula dapat menggambarkan bagaimana sistem zonasi itu terjadi pada awalnya. Terkait berbagai hal tersebut maka dirumuskan pertanyaan penelitian seperti di bawah ini, yaitu: 1. Bagaimana tingkat partisipasi nelayan berperan dalam menentukan zonasi wilayah pesisir? 2. Bagaimana pengaruh zonasi wilayah pesisir terhadap akses sumberdaya alam nelayan? 3. Bagaimana pengaruh perubahan akses sumberdaya alam nelayan terhadap konflik yang terjadi? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis keterkaitan tingkat partisipasi nelayan dalam menentukan zonasi wilayah pesisir; 2. Menganalisis pengaruh zonasi wilayah pesisir terhadap akses sumberdaya alam nelayan; dan 3. Menganalisis perubahan akses sumberdaya alam nelayan terhadap konflik yang terjadi.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, untuk sumbangsih pemikiran dan sebagai landasan bagi penelitian ataupun kegiatan akademis lain yang berkaitan dengan penelitian ini; 2. Bagi pemerintah, sebagai evaluasi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang melibatkan dua sektor yaitu sektor perikanan dan pertambangan. Jika nantinya diketahui bahwa terdapat konflik antara kedua sektor maka dalam pengelolaan sumberdaya pesisir tersebut perlu diperhatikan mengenai
5
kepentingan kedua belah pihak. Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi konflik yang terjadi antara kedua sektor tersebut di kemudian hari dan dapat saling menghargai akan keberadaan masing-masing aktor; 3. Bagi swasta, sebagai acuan dan evaluasi dalam menentukan kebijakan dan pengolahan tambang; dan 4. Bagi masyarakat umum, sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan mengenai hubungan antara dua sektor, yaitu sektor perikanan dan pertambangan di pesisir. Sedangkan bagi masyarakat pesisir, penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan bagaimana pengaruh keberadaan perusahaan pertambangan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pesisir Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai, maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu: batas yang sejajar garis pantai dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai. Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan7. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah: terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri, dan kawasan pemukiman. Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: sumberdaya dapat pulih, sumberdaya tak dapat pulih, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya yang dapat pulih diantaranya adalah hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, sumberdaya perikanan laut, dan bahan-bahan bioaktif. Sedangkan sumberdaya tak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi. Mineral terdiri dari tiga kelas yaitu kelas A berupa mineral strategis (minyak, gas, dan batu bara), kelas B berupa mineral vital (emas, timah, nikel, bauksit, bijih besi, dan cromite), dan kelas C berupa mineral industri (granit, kapur, tanah liat, kaolin, dan pasir). Jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pangatur
7
Undang‐Undang Nomor 27 Tahun 2007
7
iklim, kawasan perlindungan, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya8. Pesisir memiliki kekayaan sumberdaya alam yang sangat melimpah. Maka dari itu dibutuhkan suatu pengelolaan yang baik agar tidak terjadi konflik atas sumberdaya tersebut. Menurut Dahuri dkk (1996) perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah pesisir dan lautan yang sama. maka dari itu dibutuhkan suatu perencanaan terpadu untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah peisir secara berkelanjutan. Dalam hal ini keterpaduan mengandung tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlua ada koordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu; dan antartingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai tingkat pusat. Keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Wilayah pesisir yang terdiri dari berbagai macam ekosistem membutuhkan suatu pengelolaan yang memperhatikan segenap keterkaitan ekologis tersebut, yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Mengingat bahwa suatu pengelolaan terdiri dari tiga tahap utama: perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, maka jiwa keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi. 8
Rokhmin Dahuri dkk (1996)
8
2.1.2 Partisipasi Menurut Slamet (1992) dalam Sumardjo dan Saharudin (2003) seperti yang dikutip oleh Aprinova (2006), untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu (1) adanya kemampuan, (2) adanya kesempatan, (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi. Aprinova (2006), menyebutkan bahwa partisipasi hanya mungkin dilakukan bila seseorang memiliki modal sosial berupa jaringan kerja, norma atau aturan-aturan yang jelas, dan kepercayaan. Sementara kepercayaan menjadi stimulus agar proses pertukaran tersebut berjalan lancar, dan norma atau aturan merupakan jaminan bahwa proses pertukaran tersebut berjalan adil atau tidak. Dengan demikian, Aprinova (2006) mengutip Sjaifudian (2002) menyimpulkan bahwa partisipasi adalah proses ketika warga komunitas, baik sebagai individu maupun kelompok sosial, organisasi atau lembaga, mengambil peran dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka.
Sedangkan menurut Rahim diacu dalam Sutrisno (1995)
dalam Farid (2005) dikatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat dikelompokan dalam lima jenis, yaitu: 1) Ikut memberikan masukan dalam proses pembangunan, menerima imbalan atas masukan tersebut dan menikmati hasil pembangunan; 2) Ikut memberi masukan dan ikut menikmati hasil pembangunan; 3) Ikut memberi masukan dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan; 4) Menikmati hasil pembangunan tanpa memberikan masukan; 5) Memberi masukan tanpa menerima imbalan dan tidak ikut dalam menikmati hasil pembangunan. Cohen dan Uphoff (1979) membedakan partisipasi berdasarkan tahapannya: 1. partisipasi dalam pembuatan keputusan, kebijaksanaan, perencanaan pembangunan; 2. partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan; 3. partisipasi dalam memanfaatkan atau menggunakan hasil pembangunan; dan 4. partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan.
9
2.1.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Nelayan Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat ada faktor-faktor yang berpengaruh terhadapnya. Beberapa faktor tersebut adalah tingkat pendidikan, umur, dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan yang merupakan faktor pribadi (Madrie 1986 dalam Farid 2005). Menurut Soeryani, dkk (1987) dalam Farid (2005) dikatakan bahwa tingkat partisipasi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kemiskinan. Tingkat pendidikan tersebut akan berpengaruh pada tingkat pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan hidup. Hal ini akan memperdalam pemahaman masyarakat terhadap manfaat yang mereka peroleh dari kelestarian sumberdaya alam. Syarat yang diperlukan agar masyarakat lebih berperan aktif dalam pembangunan adalah kemauan, kemampuan, dan kesempatan bagi masyrakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan (Farid 2005 mengacu pada Slamet 1985). Hal ini dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, penghasilan, kelembagaan, kepemimpinan, budaya lokal, serta pengaturan dan pelayanan pemerintah.
2.1.1.2 Kepemilikan Sumberdaya Alam Sumberdaya alam memiliki potensi untuk menimbulkan konflik. Potensi konflik ini sangat tinggi di Indonesia dengan keanekaragaman sumberdaya alam hayati dan non hayati yang sangat melimpah ini. Untuk menghindari terjadinya konflik atas sumberdaya alam maka dibutuhkan suatu batasan-batasan yang dapat mengatur kepemilikannya. Menurut Ostrom dan Schlager dalam Satria (2009), terdapat empat tipe hak dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu: 1. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif; 2. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya; 3. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk urut serta dalam pengelolaan sumberdaya;
10
4. Hak eksklusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain; dan 5. Hak pengalihan (alienation right) adalah hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak kolektif tersebut di atas. Dalam hak-hak pengelolaan sumberdaya alam di atas terdapat aktor yang dapat memiliki hak-hak tersebut. Para aktor tersebut dibagi ke dalam lima kategori, seperti pada tabel di bawah ini: Tabel 1 Status Kepemilikan Sumberdaya
Hak milik
Pemilik (Owner)
Pemilik (Proprietor)
Penuntut (Claimant)
Pemakai sah (Authorized user)
Akses (Access)
X
X
X
X
Pemanfaatan (Withdrawal)
X
X
X
X
Pengelolaan (Management)
X
X
X
Eksklusi (Exclusion)
X
X
Pengalihan (Alienation)
X
Pemasuk sah (Authorized entrant) X
Sumber: Ostrom dan Schlager (1996) dalam Satria (2009) Selain terdapat hak kepemilikan sumberdaya alam dan aktor yang dapat memiliki hak-hak tersebut juga terdapat rezim-rezim kepemilikan sumberdaya alam (Satria 2009), yaitu: 1. Rezim negara (state property), yaitu sumberdaya alam dimiliki oleh seluruh warga negara dan pengalihan pengelolaan dilakukan oleh pemerintah; 2. Rezim swasta (private property), yaitu individu atau perusahaan memiliki hak atas sumberdaya; 3. Rezim masyarakat atau komunal (communal property), yaitu sumberdaya dimiliki dan dikontrol oleh sekelompok masyarakat; dan
11
4. Akses terbuka (open access), yaitu sumberdaya dapat dimiliki oleh semua orang.
2.1.2 Konflik 2.1.2.1 Definisi Konflik Konflik atau pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan (Soekanto 2002). Sementara itu, Daniel Webster dalam Pickering mendefinisikan konflik sebagai: 1.
Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain;
2.
Keadaan atau prilaku yang bertentangan (misalnya: pertentangan pendapat, kepentingan, atau antar individu);
3.
Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan; dan
4.
Perseteruan.
2.1.2.2 Jenis Konflik Konflik memiliki dua macam jenis, yaitu konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal melibatkan dua atau lebih kelompok yang memiliki stratifikasi sosial yang berbeda, seperti kaum elit dengan masyarakat biasa. Salah satu contonya adalah konflik antara masyarakat penambang emas dengan pihak taman nasional di Sulawesi Utara. Konflik ini disebabkan karena aparat menghentikan aktivitas PETI. Hal ini menyebabkan PETI melakukan pemberian upeti pada aparat agar mereka diizinkan menambang di lokasi taman nasional (Ginting 2005). Sedangkan konflik horizintal adalah konflik yang terjadi antara dua kelompok atau lebih yang memiliki stratifikasi sosial yang sama, seperti antar masyarakat atau antar pemerintah (Maskanah et al. 2000 dalam Susan 2010). Salah satu contohnya adalah konflik antar kelompok penambang emas yang menyebabkan pertarungan antar kampung (Lintong 2005).
12
Selain jenis, konflik juga memiliki tipe yang berbeda. Seperti dalam Susan (2010) yang mengacu pada Fisher (2001), tipe konflik dibagi menjadi empat, yaitu: 1.
Konflik tanpa konflik adalah konflik yang memiliki situasi stabil. Dalam hal ini bukan berarti tidak terjadi konflik, melainkan terdapat situasi-situasi yang menjadikan keadaan menjadi stabil, yaitu masyarakat mampu menciptakan struktur sosial yanng bersifat mencegah ke arah konflik kekerasan serta sifat budaya yang memungkinkan anggota masyarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan.
2.
Konflik laten adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat banyak permasalahan, sifatnya tersembunyi, dan perlu diangkat ke permukaan agar bisa ditangani.
3.
Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Konflik ini menimbulkan tindakan anarki dan korban jiwa seperti yang terjadi di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (Lintong 2005).
4.
Konflik di permukaan yaitu konflik yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan terjadi hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.
Sedangkan dalam Satria (2009) mengacu pada Satria (2006), terdapat tujuh macam konflik nelayan, yaitu: 1.
Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan. Akibatnya ada satu pihak yang memiliki wewenang lebih tinggi, sementara itu ada pihak lainnya yang didominasi (Adhuri 2005).
2.
Konflik kepemilikan sumberdaya, merupakan konflik yang terjadi dalam isu “ikan milik siapa” atau “laut milik siapa”.
3.
Konflik pengelolaan sumberdaya, merupakan konflik yang disebabkan oleh pelanggaran aturan pengelolaan baik yang terjadi antar nelayan
13
maupun antara nelayan dengan pemerintah. Dalam Hikmah (2008), akibat dari konflik jenis ini, yaitu: a. Terancamnya keberlanjutan sumberdaya perairan. b. Rusaknya kelestarian lingkungan perairan. 4.
Konflik cara produksi atau alat tangkap, merupakan konflik yang terjadi karena perbedaan alat tangkap. Konflik ini mengakibatkan rusaknya lingkungan perairan (Hikmah 2008) dan adanya dominasi dari nelayan dengan alat tanggap modern pada nelayan tradisional (Kinseng 2007).
5.
Konflik lingkungan, merupakan konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktik salah satu pihak yang merugikan nelayan.
6.
Konflik usaha, merupakan konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme harga ataupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan. Menurut Hikamah (2008) akibat dari konflik ini, yaitu: a. Kerugian materi. b. Nelayan menjual hasil tangkapan ke pemilik modal dengan harga jauh di bawah harga pasar. c. Nelayan didesak untuk menggunakan Trawl.
7.
Konflik primordinal, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, secara etnik, asal daerah, dan seterusnya. Akan tetapi konflik primordinal tidak pernah berdiri sendiri atau menjadi penyebab utama dalam suatu konflik. Konflik ini mengakibatkan terganggunya akses suatu pihak terhadap sumberdaya (Adhuri 2005).
2.1.2.3 Penyebab Konflik Terdapat sebuah pribahasa “tidak ada asap jika tidak ada api”, begitu pula dengan konflik. Setiap konflik berasal dari suatu permasalahan baik yang mengakar kuat ataupun tidak. Menurut Soekanto (2002), penyebab dari konflik ada empat, yaitu: perbedaan antar individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perbedaan sosial. Perbedaan sosial berkaitan dengan status kelas
14
masyarakat, seperti kelas bangsawan dan kelas orang merdeka (Adhuri 2005). Sedangkan menurut Dorcey (1986) dalam Mitchell et al. (2007), konflik disebabkan karena: perbedaan pengetahuan atau pemahaman, perbedaan nilai, perbedaan kepentingan, persoalan pribadi atau latar belakang sejarah. Menurut Fisher et al. (2000) dalam Satria (2002), terdapat beberapa teori mengenai berbagai penyebab konflik, yaitu: 1.
Teori hubungan masyarakat. Dalam masyarakat yang heterogen sering kali terjadi kegagalan dalam interaksi sosial karena arogansi masingmasing kelompok.
2.
Teori negosiasi prinsip. Perbedaan kepentingan dan ketidakselarasan di antara dua pihak. Konflik jenis ini akan semakin rumit dengan adanya perbedaan andangan di antara kedua belah pihak berkenaan konflik itu sendiri. Hal ini terjadi karena salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat memisahkan antara perasaan pribadi dari berbagai masalah dan isu.
3.
Teori kebutuhan manusia. Dalam konflik ini erat kaitannya dengan kebutuhan manusia sehari-hari. Kabutuhan manusia yang terdiri dari kebutuhan fisik, mental, dan sosial ini harus terpenuhi karena menyangkut hajat hidup manusia. Dalam kasus nelayan di Balikpapan dijelaskan bahwa inti permasalah disebabkan karena terganggunya mata pencaharian nelayan yang pada akhirnya akan memperburuk kehidupan nelayan. Dalam Cordell yang diacu dari Kinseng (2007) persoalan pokok ini menyangkut “inti dari kehidupan nelayan” (core of fishermen’s lifelihood) atau bisa juga dikatakan sebagai sumber kehidupan nelayan.
4.
Teori identitas. Dalam sejarah kehidupan manusia, sering terjadi upaya penghancuran suatu kelompok masyarakat karena kekuasaan atau apapun karena dendam sejarah karena penderitaan masa lalu.
5.
Teori kesalahpahaman antar budaya. Konflik dapat muncul karena kesalahpahaman antar budaya karena kurangnya pengetahuan tentang budaya lain. Selain itu konflik ini muncul juga karena perupaan
15
(sterotype) negatif yang dibentuk satu pihak terhadap pihak lain yang mengurangi rasa saling menghormati antar mereka. 6.
Teori transformasi konflik. Konflik muncul akibat ketidakstaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi.
Menurut Satria (2009), faktor-faktor penyebab konflik yang dikemukakan oleh Ginting (1998) dapat dijelaskan sebagi berikut: 1.
Faktor sosial dapat yang digambarkan dengan kesenjangan teknologi penangkapan ikan. Selain itu, faktor tersebut dapat dilihat dari banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik, keberadaan tokoh dalam konflik, keberadaan pihak yang bertolak belakang, isu yang berkembang, populasi nelayan, latar belakang budaya dan adat istiadat, adanya keinginan tertentu, dan keberadaan peraturan dan penegakan hukum (Budiono 2005).
2.
Faktor ekonomi berhubungan dengan mekanisme harga ataupun sistem bagi hasil nelayan. Namun menurut Budiono (2005), faktor ekonomi dalam konflik dapat dilihat dari kompetisi dalam pemanfaatan
sumberdaya,
persepsi
masyarakat
terhadap
stok
sumberdaya, dan kondisi perekonomian masyarakat. 3.
Faktor budaya berkaitan dengan perbedaan identitas, tetapi faktor ini tidak pernah berdiri sendiri atau menjadi penyebab utama suatu konflik.
4.
Faktor bio-fisik dapat digambarkan oleh kerusakan lingkungan yang pada akhirnya dapat mengurangi ketersediaan sumberdaya ikan.
2.1.2.4 Dinamika Konflik Analisis dinamika konflik dilakukan setelah pemetaan konflik. Untuk menganalisis dinamika konflik maka kita harus memperhatikan sumber-sumber konflik di dalamnya. Jika mengacu pada Wehr dan Bartos (2003) dalam Susan (2010), dinamika konflik bisa dilihat dari tingkat kekerasan atau coercive action. Eskalasi konflik semakin tinggi ketika intensitas tindakan koersif semakin tinggi
16
dan mematikan. Konflik mengalami deeskalasi ketika tingkat kekerasan mengalami penurunan. Sedangkan jika mengacu pada Fisher (2001) dalam Susan (2010), maka terdapat empat tahapan dinamika konflik, yaitu: 1.
Prakonflik adalah periode pada saat terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih sehingga menimbulkan konflik.
2.
Konfrontasi, dalam tahap ini memperlihatkan pada saat konflik mulai terbuka.
3.
Krisis adalah puncak konflik. Dalam tahap ini terjadi aksi kekerasan.
4.
Pasca konflik adalah situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagi konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang, dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua belah pihak.
2.1.2.5 Manajemen Konflik Terdapat beberapa karakteristik teknik penyelesaian masalah menurut Mitchell et al. (2007) yang mengacu pada Maguire dan Boiney (1994), yaitu: 1.
Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi tawar menawar.
2.
Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian.
3.
Mencari jalan tengah untuk menemukan tujuan bersama.
4.
Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan.
Mitchell et al (2007) mengatakan, ketika sengketa muncul berkaitan dengan berbedanya kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, paling tidak ada empat pendekatan dapat dipakai untuk penyelesaiannya, yaitu: politisi, administrasi, hukum, dan alternatif penyelesaian masalah. Keempatnya tidak selalu berdiri sendiri, tetapi dapat digunakan secara bersama. Hal ini tergantung kepada situasi dan kondisi konflik yang terjadi. Pendekatan politisi dilakukan oleh politisi dan pengambil keputusan yang melihat berbagai nilai dan kepentingan yang berbeda. Dalam hal ini bantuan dan nasihat para ahli juga dibutuhkan. Pendekatan administrasi dilakukan melalui operasi pengelolaan sumberdaya yang secara resmi dibentuk dan diberikan
17
kesempatan pada para birokrat untuk mengambil keputusan. Pendekatan hukum dilakukan melalui pengaduan dan pengadilan. Pendekatan ini diberikan penekanan pada fakta, pengalaman, prosedur, dan argumen. Hal ini mengakibatkan prosesnya memakan waktu lama, biayanya lama [sic!] banyak, dan bersifat adversarial. Sedangkan pendekatan Alternati Penyelesaian Konflik (APK) muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan pendekatan hukum yang menjunjung kesadaran dan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Terdapat empat jenis APK, yaitu: konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. Konflik bisa juga diselesaikan melalui salah satu proses yang asosiatif, yaitu akomodasi (Soekanto 2002). Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu kesimbangan dalam interaksi antara orang perorangan atau kelopok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma sosial dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Dalam suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha untuk mencapai kestabilan. Akomodasi dapat juga diartikan sebagai proses adaptasi. Tujuan dari akomodasi adalah untuk mengurangi pertentangan, mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu secara temprorer, untuk memungkinkan terjadinya kerja sama, dan mengusahakan peleburan antar kelompok. Terdapat beberapa bentuk akomodasi sebagai suatu proses, yaitu: 1.
Paksaan (Coercion), suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Dalam proses ini terdapat pihak yang lebih lemah dari lainnya. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cara fisik ataupun psikologis;
2.
Kompromi
(Compromise),
pihak
yang
terlibat
saling
saling
mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada; 3.
Arbitrasi (Arbitration), suatu cara untuk mencapai kompromi apabila pihak
yang
berhadapan
tidak
sanggup
mencapainya
sendiri.
Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua
18
belah pihak atau badan yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang bertikai; 4.
Mediasi (Mediation), dalam proses ini diundang pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Pihak ketiga bertindak sebagi penasihat dan tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan;
5.
Konsiliasi (Conciliation), suatu usaha untuk mempertemukan keinginan dari pihak yang berselisih demi tercapainya suatu tujuan bersama;
6.
Tenggang rasa atau toleransi (Toleration), suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal;
7.
Berhenti (Stalemate), kondisi dimana pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya; dan
8.
Adjudikasi atau membawa masalah ke pengadialan (Adjudication), penyelesaian pekara di pengadilan.
2.1.2.6 Dampak Konflik Konflik yang terjadi di suatu wilayah tentu memiliki dampak yang pada akhirnya dirasakan oleh para aktor berkepentingan. Dampak yang terjadi tidak selalu buruk. Konflik juga memiliki dampak positif bagi para aktor. Menurut Pickering (2001) dikatakan bahwa konflik memiliki manfaat, yaitu: 1.
Motivasi meningkat. Salah satu contoh kasusnya terjadi di perairan Selat Madura dimana hutan mangrove kembali difungsikan setelah terjadi konflik lingkungan (Hikmah 2008);
2.
Identifikasi masalah atau pemecahan meningkat. Hal ini juga diungkapkan oleh Mitchell et al. (2007);
3.
Ikatan kelompok lebih erat. Menurut Soekanto (2002) hal ini terjadi apabila suatu kelompok bertentangan dengan kelompok lain. Dalam Hikmah (2008), dampak ini terjadi pada nelayan lokal di perairan Kwanyar yang menghimpun kekuatan untuk melawan nelayan luar yang membuat jaring nelayan lokal rusak;
19
4.
Penyesuaian diri pada kenyataan. Dampak ini terjadi pada nelayan lokal yang berlayar lebih jauh untuk mendapatkan ikan dikarenakan konflik dengan pengusaha budidaya mutiara (Ginting 1998);
5.
Pengetahuan atau keterampilan meningkat. Salah satu pengetahuan itu adalah informasi mengenai perbedaan yang dimiliki oleh masingmasing aktor (Mitchell et al. 2007);
6.
Kreativitas meningkat;
7.
Membantu upaya mencapai tujuan; dan
8.
Mendorong pertumbuhan. Konflik sebagai faktor yang konstruktif bukan destruktif (Mitchell et al. 2007).
Selain dampak positif, Pickering (2001) juga berpendapat bahwa konflik memiliki dampak negatif, yaitu: 1.
Produktivitas menurun. Dampak ini dialami oleh nelayan tradisional dan nelayan komersil di Selat Lembeh karena pemasangan jaring raksasa oleh nelayan Taiwan (Ginting 1998);
2.
Kepercayaan merosot [sic!] menurun. Hal serupa dikatakan oleh Mitchell et al. (2007), bahwa konflik memiliki dampak terciptanya saling ketidakpercayaan atau keengganan antar kelompok;
3.
Pembentukan kubu-kubu. Dalam suatu kelompok, pembentukkan kubu-kubu ini dapat terjadi karena goyah dan pecahnya kelompok tersebut akibat pertikaian (Soekanto 2002);
4.
Informasi dirahasiakan dan arus komunikasi berkurang;
5.
Timbul masalah moral. Menurut Ginting (1998) dampak ini dirasakan oleh nelayan tradisional di Selat Lembeh. Nelayan tradisional tersebut mengalami konflik dengan nelayan Taiwan dalam hal perebutan wilayah tangkap. Hal ini mengakibatkan pengusaha berkolusi dengan pemerintah agar diberikan izin penangkapan ikan di wilayah tersebut (Matindas, 1998 dalam Ginting 1998);
6.
Waktu terbuang sia-sia. Terbuangnya waktu dengan sia-sia ini diakibatkan karena nelayan harus berlayar lebih jauh untuk menangkap ikan sehingga waktu mereka habis di perjalanan. Hal ini
20
terjadi setelah nelayan mengalami konflik dengan pengusaha budidaya mutiara di Talise (Ginting 1998); dan 7.
Proses pengambilan keputusan tertunda.
Dampak negatif lain dari konflik menurut Soekanto (2002) adalah: 1.
Perubahan kepribadian para individu. Perubahan kepribadian ini dapat dilihat pada masyarakat nelayan yang mengalami konflik pengelolaan pesisir dengan pengusaha budidaya mutiara (Ginting 1998). Perubahan kepribadian itu diperlihatkan pada penggunaan bom dan racun sianida oleh nelayan agar mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dalam waktu yang singkat (Malik 1998 dalam Ginting 1998). Sebelumnya mereka tidak menggunakan kedua alat tangkap tersebut;
2.
Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Salah satu contohnya adalah perampasan jaring Minitrawl di perairan Kwanyar oleh nelayan lokal (Hikmah 2008). Perampasan ini merupakan aksi balas dendam nelayan lokal. Menurut Mitchell et al. (2007), balas dendam juga merupakan dampak dari konflik; dan
3.
Akomodasi, dominasi, dan takluknya salah satu pihak. Menurut Adhuri (2005), dominasi dan penaklukan salah satu pihak dapat terjadi karena perbedaan status sosial antara dua kelompok. Seperti yang terjadi di Maluku antara kelompok bangsawan dan orang merdeka.
2.2
Kerangka Pemikiran Sistem pemanfaatan sumberdaya alam dapat berupa kebijakan mengenai
hak pengelolaan sumberdaya tersebut. Kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dapat dipengaruhi oleh akses politik nelayan yang dilihat dari partisipasi nelayan terhadap pembentukan kebijakan tersebut. Akses politik ini dapat dipengaruhi oleh karakteristik nelayan yang dilihat dari usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan jumlah tanggungan. Kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dapat mempengaruhi perubahan akses nelayan terhadap sumberdaya alam. Akses ini dilihat dari cangkupan
21
wilayah dan hak pemanfaatan pesisir. Akses nelayan terhadap sumberdaya alam ini juga dapat dipengaruhi oleh skala usaha nelayan yang dilihat dari skala kapal tangkap nelayan. Perubahan akses nelayan terhadap sumberdaya alam dapat menyebabkan konflik berupa konflik kelas, konflik kepemilikan sumberdaya, konflik pengelolaan sumberdaya, dan konflik lingkungan. Konflik ini dapat diatasi atau diminimalisir dengan berbagai macam cara. Fokus penelitian ini adalah analisis konflik yang terjadi di Cilacap dimana hal ini dipengaruhi oleh akses politik nelayan berupa partisipasi dalam hal zonasi wilayah pesisir. Penelitian ini mengambil individu sebagai unit analisisnya dengan populasi berupa nelayan. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Karakteristik nelayan: Umur Tingkat pendidikan Tingkat pendapatan Jumlah tanggungan
Kebijakan pengelolaan Wilayah pesisir Zonasi: - Sektor pertambangan - Sektor perikanan
Partisipasi nelayan Tingkat Partisipasi
Skala usaha nelayan: Skala kapal tangkap
Perubahan akses sumberdaya alam nelayan Cakupan wilayah Hak Pemanfaatan
Keterangan: Mempengaruhi Menghasilkan
Solusi
Termasuk dalam
‐ ‐ ‐ ‐
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Konflik: Konflik kelas Konflik kepemilikan sumberdaya Konflik pengelolaan sumberdaya Konflik lingkungan
22
2.3
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: Diduga terdapat hubungan antara karakteristik nelayan terhadap akses politik nelayan.
2.4
Definisi Konseptual Terdapat beberapa definisi konseptual dalam penelitian ini, yaitu:
1.
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
2.
Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan
3.
Zonasi pertambangan dalam hal ini berkaitan dengan batas pelayaran kapalkapal tanker dan tongkang yang digunakan untuk mengankut minyak bumi serta batu bara. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri, yaitu menteri perhubungan dan menteri dalam negeri dengan nomor keputusan No. 13/1986 KM 31/AL-101/PHB-86 mengenai batas pelabuhan.
4.
Zonasi perikanan dalam hal ini berkaitan dengan batas wilayah perairan berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007.
5.
Konflik adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan.
6.
Konflik kelas adalah konflik yang terjadi akibat perbedaan kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan.
7.
Konflik kepemilikan sumberdaya, merupakan konflik yang terjadi dalam isu “ikan milik siapa” atau “laut milik siapa”.
8.
Konflik pengelolaan sumberdaya, merupakan konflik yang disebabkan oleh pelanggaran aturan pengelolaan baik yang terjadi antar nelayan maupun antara nelayan dengan pemerintah.
9.
Konflik lingkungan, merupakan konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktik salah satu pihak yang merugikan nelayan.
23
2.5
Definisi Operasional Definisi operasional untuk masing-masing variabel sebagai berikut:
Karakteristik nelayan dapat dilihat berdasarkan umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan tingkat tanggungan. 1.
Umur adalah lama hidup nelayan di dunia ini hingga saat diwawancara. Hal ini dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: a. Tua: umur > 47,5 tahun b. Sedang: 39,5 < umur <=47,5 tahun c. Muda: umur <= 39,5 tahun
2.
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh nelayan. Hal ini dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: a. Tinggi: lulus SMA atau sederajat hingga perguruan tinggi, nilai 3. b. Sedang: lulus SMP atau sederajat, nilai 2. c. Rendah: tidak sekolah hingga lulus SD, nilai 1.
3.
Tingkat pendapatan adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh nelayan sebelum paceklik. Hal ini dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: a. Tinggi: pendapatan > Rp 152.500/trip, nilai 3. b. Sedang: Rp 54.375 < pendapatan <= Rp 152.500/trip, nilai 2. c. Rendah: pendapatan <= Rp 54.375/trip, nilai 1.
4.
Tingkat pendapatan adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh nelayan pada masa paceklik. Hal ini dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: a. Tinggi: pendapatan > Rp 20.000,00/trip, nilai 3. b. Sedang: Rp 5.000
5.
Jumlah tanggungan adalah banyaknya jumlah tanggungan dalam keluarga. Hal ini dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: a. Tinggi: jumlah tanggungan > 2, nilai 3. b. Sedang: jumlah tanggungan = 2, nilai 2. c. Rendah: jumlah tanggungan <=1, nilai 1.
Partisipasi yang dilakukan oleh nelayan terhadap zonasi laut, yaitu berupa tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi. Hal ini dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:
24
a. Tinggi = nelayan ikut berperanserta minimal pada tiga tahap partisipasi. Nilai: 3. b. Sedang= nelayan ikut berperanserta pada dua tahap partisipasi. Nilai: 2. c. Rendah = nelayan hanya ikut berperanserta pada salah satu tahap partisipasi. Nilai: 1. Akses nelayan terhadap sumberdaya alam adalah kemampuan nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Hal ini dilihat dalam cangkupan wilayah dan hak pemanfaatan. Cangkupan wilayah dibagi menjadi dua hal, yaitu: 1 Jarak tempuh adalah jauhnya wilayah tangkap nelayan dari bibir pantai. a. Jarak tempuh sebelum zonasi adalah jauhnya wilayah tangkap nelayan dari bibir pantai ke tengah laut sebelum zonasi, dibagi menjadi tiga, yaitu: i.
Tinggi: jarak tempuh > 2 mil, nilai 3.
ii.
Sedang: 0,813 mil < jarak tempuh <= 2 mil, nilai 2.
iii.
Rendah: jarak tempuh <= 0,813 mil, nilai 1.
b. Jarak tempuh sesudah zonasi adalah jauhnya wilayah tangkap nelayan dari bibir pantai ke tengah laut sesudah zonasi, dibagi menjadi tiga, yaitu: i.
Tinggi: jarak tempuh > 3 mil, nilai 3.
ii.
Sedang: 0,813 mil < jarak tempuh <= 3 mil, nilai 2.
iii.
Rendah: jarak tempuh <= 0,813 mil, nilai 1.
2 Waktu tempuh adalah lamanya nelayan melaut untuk menangkap ikan. a. Waktu tempuh sebelum zonasi adalah lamanya nelayan melaut untuk menangkap ikan sebelum adanya zonasi, dibagi menjadi dua, yaitu: i.
Tinggi: waktu tempuh > 4,5 jam, nilai 3.
ii.
Rendah: waktu tempuh <= 4 jam, nilai 1.
b. Waktu tempuh sesudah zonasi adalah lamanya nelayan melaut untuk menangkap ikan sesudah adanya zonasi, dibagi menjadi tiga, yaitu: i.
Tinggi: waktu tempuh > 7 jam, nilai 3.
ii.
Sedang: 5 < waktu tempuh <= 7, nilai 2.
iii.
Rendah: waktu tempuh <= 5 jam, nilai 1.
Sedangkan akses sumberdaya alam nelayan jika dilihat dari hak pemanfaatannya dapat dilihat dari dua hal, yaitu hak pemanfaatan dan jumlah tangkapan.
25
1. Hak pemanfaatan adalah hak yang dimiliki oleh nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir yang ada, dibagi menjadi dua: a. Hak pemanfaatan sebelum zonasi yang dibagi menjadi dua, yaitu: i.
Tinggi: hak pemanfaatan tinggi > 5, nilai 3.
ii.
Rendah: hak pemanfaatan <= 5, nilai 1.
b. Hak pemanfaatan sesudah zonasi yang dibagi menjadi dua, yaitu: i.
Tinggi: hak pemanfaatan > 7, nilai 3.
ii.
Rendah: hak pemanfaatan <= 7, nilai 1.
2. Jumlah tangkapan adalah banyaknya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan. a. Jumlah tangkapan sebelum adanya zonasi adalah banyaknya hasil tangkap yang dapat diperoleh nelayan sebelum adanya zonasi. Hal ini dibagi menjadi tiga, yaitu: i.
Tinggi: jumlah tangkapan > 5 kg, nilai 3.
ii.
Sedang: 2 kg < jumlah tangkapan <= 5 kg, nilai 2.
iii.
Rendah: jumlah tangkapan > 5 kg.
b. Jumlah tangkapan sesudah adanya zonasi adalah banyaknya hasil tangkap yang dapat diperoleh nelayan sesudah adanya zonasi. Hal ini dibagi menjadi tiga, yaitu: i.
Tinggi: jumlah tangkapan > 1 kg, nilai 3.
ii.
Sedang: 0,5 kg <= jumlah tangkapan < 1 kg, nilai 2.
iii.
Rendah: jumlah tangkapan <= 1 kg.
26
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif didukung oleh analisis
kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode survey dengan instrumen kuesioner untuk mengumpulkan data penelitian dari sejumlah sampel dalam populasi9. Sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan informan terkait, pengamatan langsung, dan studi literatur. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk melihat karakteristik nelayan, akses politik masyarakat nelayan, skala usaha, dan akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya alam. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk melihat proses konflik yang terjadi di wilayah tersebut yang terungkap dari hasil penelitian kuantitatif.
3.2
Jenis Data, Lokasi, dan Waktu Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dengan menggunakan kuesioner yang disebar kepada responden melalui teknik wawancara. Selain itu data primer juga diperoleh dari wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini dilakukan kepada informan terkait seperti tokoh masyarakat, pemerintah daerah, dan koperasi. Jumlah informan sebanyak lima orang dari berbagai pihak, seperti dinas dan kelompok nelayan. Teknik yang digunakan untuk memperoleh informan adalah dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling). Sedangkan data skunder diperoleh dari studi literatur yang sumbernya diperoleh dari buku, skripsi, tesis, disertasi, internet, dan data dari dinas terkait. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) dengan alasan terdapat aktivitas pelayaran kapal tanker dan tongkang yang mengangkut sumberdaya mineral berupa minyak bumi dan batu bara, terdapat masyarakat yang 9
Singarimbun, 2006
27
bermatapencaharian sebagai nelayan tangkap, dan terjadi konflik di wilayah tersebut. Penelitian dilaksanakan dalam waktu enam bulan (Tabel 2). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.
Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Sept
Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan laporan penelitian 3.3
Populasi dan Kerangka Sampling Mayoritas masyarakat di wilayah penelitian memiliki mata pencaharian
sebagai nelayan. Dalam penelitian ini difokuskan kepada nelayan tradisional yang berstatus sebagai nahkoda dengan jarak tangkap pada jalur satu, yaitu sejauh enam mil. Maka populasi untuk penelitian ini adalah nelayan yang berstatus sebagai nahkoda dengan jarak tempuh pada jalur satu. Namun karena kelurahan ini memiliki RW dan jumlah nelayan yang juga sangat banyak maka peneliti melakukan penyempitan wilayah penelitian. Kelurahan ini tidak memiliki dusun sehingga secara adminsitrasi wilayah yang lebih kecil dalam kelurahan ini adalah Rukun Warga (RW). Maka peneliti memilih satu dari 18 RW secara sengaja berdasarkan informasi dari informan yang terpercaya setelah melakukan wawancara dan diskusi sebagai wilayah penelitian. Pemilihan ini didasarkan pada
2
28
aspek jumlah nelayan tradisional berstatus nahkoda terbanyak sehingga dipilih RW X dengan jumlah nahkoda sebanyak 74 orang. Maka populasi penelitian ini adalah nelayan yang berstatus sebagai nahkoda serta berdomisili di RW X. Rukun Warga (RW) X ini memiliki delapan RT dimana terdapat 9 nelayan di RT 01, 10 nelayan di RT. 02, 8 nelayan di RT 03, 10 nelayan di RT 04, 13 nelayan di RT 05, 5 nelayan di RT 06, 10 nelayan di RT 07, dan 9 nelayan di RT 08. Selanjutnya dari semua RT tersebut diambil secara acak nelayan yang dijadikan responden penelitian. 3.4 Pemilihan Responden Penelitian
ini
menggunakan
wawancara
mendalam
dengan
tokoh
masyarakat setempat dan aparat pemerintah untuk mengetahui proses terjadinya konflik. Sedangkan untuk mengetahui karakteristik nelayan, akses politik, skala usaha nelayan, dan akses sumberdaya alam nelayan dilakukan melalui survey dengan menggunakan kuesioner melalui wawancara. Untuk mendapatkan responden yang akan diwawancarai sesuai dengan kuesioner maka peneliti membuat seluruh daftar nama nelayan terlebih dahulu. Setelah itu ditentukan 37 orang nelayan yang dijadikan sebagai responden (Lampiran 1). Angka ini diperoleh dari setengah atau 50 persen dari jumlah populasi yang ada di wilayah penelitian. Hal ini dimaksudkan agar mendapatkan data yang lebih akurat dan valid. Penentuan responden dilakukan secara acak (simple random sampling) dengan menggunakan kertas undian. Kelurahan Cilacap
Total RW di Kelurahan Cilacap sebanyak 18 RW Dipilih RW X Penentuan RW: purposif Total RT: 8 RT Penentuan: purposif
Jumlah nelayan (nahkoda): 74 orang
Secara acak dipilih 37 orang (50 persen) dengan 3 responden cadangan (10 persen dari 37)
Gambar 2 Teknik Sampling dalam Pengambilan Responden
29
Selain mendapatkan data dari responden, penelitian ini juga mendapatkan informasi dari informan. Beberapa pihak terkait diwawancara secara mendalam untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Berikut ini adalah gambar proses teknik bola salju dalam mendapatkan informan. Ketua RW. X Pak Skr
Ketua RT. 3/10 Pak Jhr
KPLP: Pak Knf
Dinas Perhubungan: Pak Jsn
Ketua Kel. Nelayan Padanarang: Pak Msb
Ketua Kel. Nelayan Kebon Baru: Pak Yg
DKP: Pak Sfl dan Pak Ars Gambar 3. Teknik Bola Salju Informan Ketua RW X memberikan informasi kemana peneliti harus pergi untuk wawancara agar mendapatkan data yang dibutuhkan. Pak Skr memberitahu peneliti untuk pergi ke ketua RT. 3/10. Selain mendapatkan informasi mengenai calon informan selanjutnya, Bapak Skr juga memberikan informasi mengenai cara kerja kapal tanker karena beliau pernah menjadi nahkoda kapal non nelayan. Informasi yang peneliti dapat dari Pak Jhr mengenai jenis kapal atau perahu yang digunakan oleh nelayan di perairan Cilacap, kejadian kecelakaan kapal tanker, serta proses yang terjadi.pak Msb menguatkan informasi dari Pak Jhr. Sedangkan Pak Yg memberikan tambahan informasi mengenai kegiatan rutin kelompok nelayan. Informasi selanjutnya didapatkan dari Dinas Perhubungan mengenai peta alur pelayaran dan nara sumber yang lebih tepat untuk menjawab kejadian mengenai kecelakaan kapal tanker. Pak Jsn memberi tahu bahwa data mengenai pelabuhan dan kecelakaan lebih lengkap di Kantor Penjagaan Laut dan Pelabuhan. Di dinas tersebut peneliti bertemu dengan Pak Knf yang memberikan data
30
kecelakaan serta jumlah dan jenis kapal non nelayan. Pengambilan informasi dilanjutkan di Dinas Kelautan dan Perairan dan peneliti bertemu dengan Pak Sfl. Beliau memberikan data berupa kronologis kejadian kecelakaan.
3.5 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini melibatkan dua subjek penelitian yaitu responden dan informan. Data penelitian kuantitatif diperoleh dari responden melalui kuesioner dengan teknik wawancara. Kemudian hasil dari kuesioner tersebut diolah dengan melakukan analisis serta intepretasi. Selanjutnya data tersebut dibentuk menjadi kesimpulan dari hasil kuesioner. Sedangkan data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam pada informan, studi literatur, serta observasi lapang. Pedoman pengumpulan data penelitian dirumuskan pada Lampiran 2.
3.6 Teknik Analisis Data Unit analisis penelitian ini adalah individu. Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis ini dilakukan untuk memperoleh gambaran awal mengenai keadaan atau karakteristik responden untuk masing-masing variabel. Penentuan nilai minimal pada tiap tingkatan dikerjakan dengan menggunakan prangkat lunak Minitab. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh quartil satu hingga tiga yang kemudian dijadikan batas tiap tingkatan. Analisis selanjutnya menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Kemudian membuat tabel frekuensi untuk melihat keterkaitan aspek yang menyebabkan konflik di wilayah pesisir. Kemudian digunakan tabel silang untuk melihat hubungan antara dua variabel. Untuk menguji data kuantitatif peneliti menggunakan chi-square dengan menggunakan perangkat lunak SPSS17 agar dapat diketahu hubungan kedua variabel. Data kualitatif yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan teknik triangulasi. Teknik ini dilakukan untuk mengurangi kesalahan intepretasi informan yang diwawancarai. Teknik ini merupakan penggabungan dari sumbersumber yang diperoleh, yaitu: data hasil wawancara, pengamatan langsung atau observasi, dan studi literatur. Gabungan data yang telah diolah dan dianalisi
31
tersebut disajikan dalam bentuk teks naratif, tabel, matriks, atau bagan. Kemudian ditarik menjadi suatu kesimpulan.
32
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kelurahan Cilacap 4.1.1 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Kelurahan Cilacap Kelurahan Cilacap adalah salah satu kelurahan yang ada di dalam struktur wilayah Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Tegalkamulyan di sebelah utara, Samudera Indonesia di sebelah selatan dan timur, serta Sungai Yasa di sebelah barat. Luas wilayah Kelurahan Cilacap adalah 171,364 Ha dengan jumlah Rukun Warga sebanyak 18 RW dan Rukun Tetangga sebanyak 93 RT. Sebagian besar wlayah ini merupakan tanah kering yang berfungsi sebagai pekarangan bangunan seluas 123,567 Ha. Sisanya adalah tanah hutan yang digunakan sebagai tempat wisata seluas 15 Ha, tanah keperluan fasum sebagai lapangan olahraga seluas 0,5 Ha dan kuburan seluas 0,2 Ha. Selain itu terdapat pula tanah pasir seluas 20 Ha. Prasarana umum yang terdapat di Kelurahan Cilacap adalah prasarana pemerintah kelurahan, prasarana pengairan berupa sungai (Sungai Yasa), prasarana dan sarana pengangkutan dan transportasi, prasarana dan sarana perekonomian, industri dan perusahaan, dan sarana pendidikan. Prasaran pemerintah berupa satu balai desa, satu kantor desa, dan 2,9 Ha tanah sawah sebagai bengkok desa. Sebesar 90 persen sarana lalu lintas merupakan lalu lintas darat sedangkan sisanya adalah lalu lintas air. Di wilayah ini terdapat dua dermaga sebagi tempat parkir bagi perahu-perahu nelayan. Panjang jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat sepanjang 24 Km dimana 17 Km merupakan jalan kabupaten dan 7 Km merupakan jalan kelurahan. Sarana transportasi umum yang digunakan penduduk adalah sepeda motor sebanyak 1.250 buah, sepeda sebanyak 1.123 buah, becak sebanyak 279 buah, dan roda tiga sebanyak 25 buah. Selain itu terdapat kendaraan pribadi berupa 98 mobil pribadi dan sebelas truk. Terdapat dua jembatan beton dan tiga jembatan besi. Sarana komunikasi yang ada di kelurahan tersebut berupa televisi sebanyak 4.057 buah. Sebagi penunjang perekonomian masyarakat maka terdapat sebuah Koperasi Unit Desa (KUD) dan sebuah BadanBadan Kredit (BKD) di kelurahan tersebut. Selain itu ada pula masyarakat yang berwirausaha membuka toko sebanyak empat buah, kios 36 uah, dan warung 76
33
buah. Selain itu terdapat pula industri kecil sebanyak sebelas buah, industri rumah tangga sebanyak 12 buah, rumah makan sebanyak 25 buah, perdagangan sebanyak 54 buah, angkutan sebanyak tiga buah, dan lainnya sebanyak sebelas buah. Dalam aspek pendidikan terdapat beberapa prasarana berupa empat buah TK, delapan SD Negeri, satu SD MI, dan satu MTS. Selain itu ada pula prasarana keagamaan, yaitu sembilan mesjid, 28 musholla, satu gereja, dan satu kuil. Kelurahan Cilacap merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan samudera sehingga kelurahan ini memiliki sebuah pantai sebagai tempat rekreasi dan serta obyek bersejarah berupa benteng peninggalan Portugis. Lokasi ini pula yang menjadikan kelurahan ini memiliki 25 toko cindera mata yang menjual berbagai barang kerajinan hasil laut.
4.1.2 Kependudukan Kelurahan Cilacap Kelurahan Cilacap memiliki kepadatan penduduk sebanyak 900 orang per Km2 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 4.609 KK. Penduduk laki-laki sebanyak 9.230 jiwa dan perempuan sebanyak 8.924 jiwa. Seluruh penduduk di kelurahan tersebut merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Berdasarkan kepercayaan, sebagian besar penduduk menganut agama Islam yaitu sebanyak 16.509 orang. Sedangkan yang beragama Khatolik sebanyak 821 orang, Protestan sebanyak 750 orang, Hindu sebanyak sebelas orang, dan Budha sebanyak 63 orang. Selain itu terdapat pula penduduk yang tergabung dalam Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebanyak 25 orang. Di bawah ini diperlihatkan data kependudukan Kelurahan Cilacap berdasarkan golongan umur dengan frekuensi 5 tahun hingga akhir tahun 2010.
34
Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Glongan Umur Kelurahan Cilacap, 2010 Umur
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
0-4
1313
7,23
5-9
1515
8,35
10-14
1525
8,40
15-19
1856
10,22
20-24
1422
7,83
25-29
2274
12,53
30-34
1462
8,05
35-39
1501
8,27
>=40
5286
29,12
total
18154
100
Sumber: Data Monografi Kelurahan Cilacap 2010 Berdasarkan data pada Table 3 menunjukkan bahwa persentase tertinggi adalah 29,12 persen yang terdapat di kisaran umur 40 tahun ke atas. Selain itu persentase penggabungan dari usia 15 tahun hingga 40 tahun ke atas menunjukkan angka 76,62 persen yang berarti sebanyak 13.801 jiwa merupakan penduduk berusia produktif. Sedangkan penduduk yang tergolong usia belum produktif sebanyak 4.353 jiwa. Hal ini memperlihatkan kemungkinan mayoritas penduduk sudah dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri sehingga dapat berpengaruh terhadap beban tanggungan kepala keluarga. Selain itu pada Tabel 4 diperlihatkan klasifikasi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yang dimilikinya.
35
Tabel 4 Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan Cilacap Tahun 2010 Tingkat Pendidikan
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
Belum sekolah
2202
12,18
Tidak tamat sekolah
2220
12,28
Tamat SD/sederajat
5713
31,59
Tamat SLTP/sederajat
3519
19,46
Tamat SLTA/sederajat
3992
22,08
Tamat akademi/sederajat
226
1,25
Tamat perguruan tinggi/sederajat
210
1,16
18082
100,00
Total
Sumber: Data Monografi Kelurahan Cilacap 2010 Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan di Kelurahan Cilacap tergolong rendah. Hal ini dikarenakan sebanyak 12,28 persen penduduk tidak tamat sekolah dan 31,59 persen penduduk hanya tamat Sekolah Dasar. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dapat berpengaruh pada akses politik berupa partisipasi mereka terkait dengan sumberdaya alam. Tabel 5 Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Cilacap Tahun 2010 Mata Pencaharian
Jumlah (orang)
Presentase (%)
4063
59,06
Industri/usaha sedang/besar
9
0,13
Pengrajin industri kecil
11
0,16
Buruh bangunan
1721
25,02
Pedagang
591
8,59
Pengangkutan
52
0,76
PNS
107
1,56
ABRI
47
0,68
Pensiun PNS/ABRI
163
2,37
Lain-lain (jasa)
115
1,67
6879
100
Nelayan
Total
Sumber: Data Monografi Kelurahan Cilacap 2010
36
Jika dilihat dari Tabel 5 di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian sebagai nelayan yaitu 59,06 persen dari jumlah keseluruhan. Sedangkan mata pencaharian terbanyak kedua yang dimiliki oleh penduduk di wilayah tersebut adalah buruh bangunan sebesar 25,02 persen. Sebanyak 591 orang atau 8,59 persen penduduk berprofesi sebagai pedagang. Sisanya secara hampir merata bermata pencaharian sebagai pengusaha kecil hingga besar, pengangkutan, PNS, ABRI, pensiun PNS atau ABRI, dan jasa lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya pesisir sangat penting bagi penduduk di Kelurahan Cilacap.
4.1.3
Kegiatan Perikanan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar penduduk
Kelurahan Cilacap memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Jumlah nelayan yang ada di kelurahan tersebut sebanyak 4.063 orang. Sedangkan nelayan yang terdaftar sebagai anggota KUD hanya sebanyak 3.533 orang. Menurut salah seorang pegawai KUD Mino Saroyo Cilacap, hal ini disebabkan karena sebagian nelayan kurang memahami peraturan KUD mengenai pemotongan dana hasil tangkap untuk simpanan pokok, simpanan wajib, cadangan, dan donasi. Mereka berpikir bahwa dengan menjual hasil tangkap ke tengkulak lebih baik karena tidak terkena banyak potongan dana. Berdasarkan data monografi Kelurahan Cilacap, dapat diketahui bahwa tidak semua nelayan memiliki perahu atau kapal sendiri. Pada tabel berikut ini akan diperlihatkan kepemilikan perahu dan kapal yang dimiliki oleh nelayan yang ada di Kelurahan Cilacap. Tabel 6 Jumlah Kapal, Perahu Motor, dan Perahu Nelayan di Kelurahan Cilacap Jenis Kapal Kapal Perahu Motor Tempel Perahu Total
Jumlah (Buah)
Persentase (%)
55
3,79
1336
91,95
62
4,27
1453
100
Sumber: Data Monografi Kelurahan Cilacap 2010
37
Berdasarkan data pada Tabel 6 tersebut maka dapat diketahui bahwa tidak semua nelayan memiliki perahu atau kapal. Selain itu mayoritas nelayan di Kelurahan Cilacap tergolong nelayan tradisional dengan jumlah 1.398 orang. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pak S, salah satu pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap, nelayan tradisional secara peraturan hanya boleh melaut di jalur satu yaitu sejauh enam mil. Namun tidak jarang para nelayan ini melanggar batas wilayah tangkap mereka. Nelayan tradisional adalah nelayan yang memiliki perahu sebesar 10 GT ke bawah. Nelayan tradisional tersebut dibagi ke dalam empat jenis, yaitu nelayan perahu dayung yang memiliki perahu sebesar 2 GT, nelayan perahu viber glass dengan perahu sebesar 5 GT, nelayan perahu compreng dengan perahu sebesar 7 GT, dan nelayan perahu rumah dengan perahu sebesar 10 GT. Sedangkan kapal merupakan jenis kapal yang dimiliki oleh nelayan modern yang memiliki ukuran lebih dari 10 GT. Jenis kapal seperti ini biasanya melaut selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan dengan luas wilayah tangkap hingga ke ZEE. Nelayan yang ada di Kelurahan Cilacap ini menangkap ikan berdasarkan musim yang terjadi. Jika sedang musim lobster maka mereka akan mencari lobster. Jika sedang musim bawal putih maka mereka akan mencari bawal putih. Begitu juga dengan jenis ikan lainnya. Maka dari itu, biasanya nelayan di daerah ini memiliki jenis jaring lebih dari satu walaupun bahan jaring tersebut sama yaitu plastik. Mereka akan mengganti jaring sesuai dengan jenis ikan yang sedang musim. Namun begitu ada satu jenis jaring yang sudah tidak boleh lagi digunakan untuk menangkap ikan, yaitu jaring apong. Hal ini dikarenakan jaring tersebut memiliki lubang jaring yang sangat kecil sehingga ikan yang kecil dan baru lahir juga dapat tertangkap. Ketika dijual nanti ikan tersebut tidak berharga sehingga hanya akan dibuang. Padahal jika tidak tertangkap jaring tersebut, ikan-ikan kecil itu masih bisa tumbuh besar dan lebih memiliki harga ketika dijual. Kondisi perikanan nelayan di Kabupaten Cilacap, khususnya di Kelurahan Cilacap saat ini sedang tidak baik. Hal ini dikarenakan sudah dua hingga tiga tahun terakhir ini mereka mengalami paceklik. Keadaan ini juga mengakibatkan tidak berfungsinya TPI yang ada di sana. Banyak spekulasi yang beredar di kalangan masyarakat. Ada nelayan yang mengatakan bahwa ini memang karena
38
cuacanya yang sedang tidak menentu. Hal ini juga terjadi pada akhir tahun 70-an. Namun, tidak sedikit pula nelayan yang menyatakan bahwa ada kemungkinan hal ini terjadi karena keberadaan beberapa industri yang ada di sekitar wilayah tersebut termasuk karena kapal-kapal pengangkut minyak bumi dan batu bara.
4.2
Sejarah Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap Cilacap adalah salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki pelabuhan
besar di Indonesia. Pelabuhan di wilayah tersebut bernama Pelabuhan Tanjung Intan yang merupakan pelabuhan kelas I. Pelabuhan ini dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada hari Senin Legi tanggal 29 November 1847 oleh Gubernur Jenderal JJ. Rochussen, sesuai Besluit No. 1 tanggal 29 November 1847 dan ditetapkan dalam staatblad No. 147 tahun 1917 sebagai pelabuhan alam dengan posisi geografis 07044’55’’ LS dan 109059’30” BT. Pelabuhan ini terlindungi oleh Pulau Nusakambangan dan satu-satunya pelabuhan terbesar di pantai selatan Pulau Jawa yang merupakan pintu gerbang perekonomian bagi daerah Jawa Tengah bagian selatan dengan Hinterlend di wilayah Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen (BARLINGMASCAKEB), D.I. Yogayakarta, dan Jawa Barat bagian timur untuk perdagangan ekspor-impor maupun antar pulau. Pelabuhan Intan telah memperoleh akreditasi internasional berupa sertifikat ISO-9002 Bidang Pelayanan Kapal dari PT. Kema Registered Quality Nederland tanggal 17 September 1998. Kemudian pada tahun 2003 ditatar menjadi ISO 9001-2000 bidang pelayanan kapal dan barang terintegrasi dengan SMK3L dan telah mendapatkan sertifikat ISPS Code. Pelabuhan Tanjung Intan memiliki visi yaitu menjadikan Pelabuhan Tanjung Intan sebagai pelabuhan dengan laju pertumbuhan tinggi. Sedangkan misinya disusun dengan memperhatikan sinergi antara misi pelabuhan dengan usaha, yaitu: 1. Menyediakan dan memberikan jasa kepelabuhan yang bermutu tinggi bagi kepentingan pelayanan masyarakat umum serta memupuk keuntungan melalui pengelolaan perusahaan yang profesional. 2. Memberikan sumbangan bagi penerimaan negara dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas.
39
3. Turut serta melaksanakan tujuan penunjang kebijaksanaan program pemerintah di bidang ekonomi atau pembangunan serta perkembangan dunia
usaha
guna
mendorong
atau
menumbuhkembangan
perekonimian wilayah. 4. Menciptakan nilai tambah ekonomis bagi para pemangku kepentingan melalui kegiatan jasa-jasa inti terkait kepelabuhan dan jasa-jasa terkait lainnya dengan mempertimbangkan etika usaha yang sehat. Di Pelabuhan Intan ini terdapat sembilan dermaga dengan panjang total 812,5 meter. Selain itu ada pula dermaga untuk kepentingan sendiri sebanyak sembilan buah dimana seluruh dermaga tersebut merupakan milik industri yang berada di wilayah Cilacap. Berikut ini merupakan gambar peta Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap.
Sumber: Departemen Administrasi Pelabuhan, 2011 Gambar 4 Peta Trayek Pelayaran Kapal Tanker dan Tongkang Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa jalur kapal tanker dan tongkang sudah ditentukan dengan jelas. Kawasan yang berwarna hijau tersebut
40
merupakan jalur kapal tanker dan tongkang jika ingin merapat ke dermaga. Pelampung merah merupakan tanda batas mereka dapat berhenti sementara hingga diperbolehkan masuk ke dermaga. Kapal yang sedang menunggu untuk diperbolehkan masuk ke dermaga akan menurunkan jangkarnya supaya kapal tersebut tidak mengalami kecelakaan dan tetap seimbang. Penurunan jangkar tidak dekat dengan kapalnya melainkan jauh dari kapal tersebut. Hal ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan kapal. Ini yang terkadang menjadi salah satu penyebab konflik dengan nelayan karena jalur tersebut juga merupakan jalur bagi nelayan untuk melaut. Untuk merapat ke dermaga, biasanya kapal tanker dan tongkang menunggu kapal pemandu dari dermaga. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kecelakaan dan sebagai tanda bagi para nelayan agar tidak berada di jalur pelayaran saat kapal tersebut akan merapat ke dermaga.
4.3
Kapal Tanker dan Tongkang Kapal-kapal yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Intan terdiri dari
beberapa jenis. Kapal-kapal tersebut mengangkut berbagai macam barang dari berbagai macam tempat, seperti bahan baku industri, hasil tambang, dan barangbarang lainnya. Terkadang ada pula kapal asing yang berlabuh di sana. Hal ini disebabkan karena Pelabuhan Tanjung Intan merupakan pelabuhan internasional. Berikut ini adalah gambar kapal-kapal yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Intan.
Sumber: Departemen Administrasi Pelabuhan, 2011 Gambar 5 Jenis Kapal yang Berlabuh di Tanjung Intan
41
Bedasarkan Gambar 5 di atas dapat diketahui bahwa jumlah kapal yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Intan sebanyak 164 buah pada bulan Maret 2011. Rata-rata jumlah kapal yang merapat di pelabuhan itu sekitar angka tersebut setiap bulannya. Jenis-jenis kapal yang berlabuh di sana didominasi oleh kapal tanker yang mengangkut minyak bumi, yaitu sebanyak 98 buah atau 59,76 persen. Sedangkan posisi kedua terbanyak adalah kapal tongkang dengan jumlah 50 buah atau 30,49 persen. Dengan jumlah sedemikian banyak maka tidak jarang bagi kapal-kapal tersebut untuk menunggu lama agar dapat dipandu oleh kapal pemandu untuk merapat ke deramaga. Bagi kapal dengan ukuran yang sangat besar maka tidak dapat memasuk pelabuhan. Khusus bagi kapal-kapal tersebut disediakan dermaga yang memiliki fasilitas pipa dalam laut sehingga kapal dapat menyalurkan komoditi yang dibawanya walaupun ada di tengah samudera. Dermaga tersebut ada di Pulau Nusakambangan yang disebut dengan dermaga Single Point Mooring (SPM).
4.4
Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini memiliki homogenitas dalam mata
pencaharian yaitu nelayan. Sedangkan untuk umur, responden terdiri dari berbagai macam kelompok umur. Berikut ini adalah gambaran sebaran umur para responden.
Gambar 6 Tingkat Umur Responden Kelurahan Cilacap
42
Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa umur tertua responden adalah 75 tahun. Sedangkan mayoritas responden memiliki umur di atas 40 tahun, namun ada pula beberapa responden yang masih berumur di bawah 30 tahun. Berikut ini adalah tabel mengenai tingkat pendidikan responden. Tabel 7 Tingkat Pendidikan Responden Kelurahan Cilacap Tahun 2010 Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase (%)
Tidak Sekolah atau Tamat SD
25
67,57
Tamat SMP
11
29,73
Tamat SMA atau PT
1
2,70
Jumlah
37
100
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan responden tergolong rendah. Sebagain besar responden hanya mengenyam bangku sekolah hingga SD atau bahkan tidak tamat SD. Sedangkan yang mengenyam bangku sekolah hingga SMA hanya satu orang saja. Responden yang memiliki tingkat pendidikan hanya sampai SD atau bahkan tidak sekolah itu kebanyakan adalah responden dengan usia di atas 40 tahun. Mereka mengatakan bahwa hal ini terjadi karena pada saat usia itu mereka sudah melaut bersama orang tua. Jadi dapat dikatakan bahwa pada saat anak seusianya belajar di SD, sebagian dari mereka sudah membantu mencari nafkah sehingga tidak dapat sekolah. Namun ternyata tingkat pendidikan para responden tidak berpengaruh terhadap tingkat pendapatan mereka. Berdasarkan hasil kuesioner yang diperoleh hal tersebut terbukti. Berikut ini adalah gambar tingkat pendapatan mereka.
Gambar 7 Tingkat Pendapatan Responden Kelurahan Cilacap
43
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa mayoritas responden memiliki tingkat pendapatan tinggi dimana tabung mencapai angka tiga. Hal ini berarti sebanyak 18 responden memiliki pendapatan di atas Rp 152.500, 00 dalam sekali melaut. Sedangkan delapan responden yang berada pada tingkat sedang atau tabung mencapai angka dua memiliki pendapatan di atas Rp 54.375,00 hingga Rp 152.500,00 dalam sekali melaut. Rsponden yang memiliki tingkat pendapatan rendah sebanyak sepuluh orang dengan penghasilan maksimal Rp 54.375, 00 setiap kali melaut. Pendapatan per hari yang mereka terima sebagian digunakan untuk kepentingan melaut pada keesokkannya dan sebagian lagi digunakan untuk menghidupi keluarga yang mereka miliki. Para responden memiliki beban tanggungan yang berbeda-beda. Berikut ini adalah gambar tingkat beban tanggungan para responden.
Gambar 8 Jumlah Tanggungan Responden Kelurahan Cilacap Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa sebanyak 17 orang memiliki jumlah tanggungan minimal tiga orang. Berdasarkan data tersebut, responden yang memiliki jumlah tanggungan minimal tiga orang tergolong responden yang memiliki tingkat beban tanggungan tinggi. Responden dengan tingkat beban tanggungan sedang sebanyak tujuh orang, yaitu hanya memiliki dua tanggungan.
44
Selain itu terdapat 13 orang responden yang memiliki beban tanggungan rendah dalam arti hanya memiliki satu beban tanggungan atau hanya hidup seorang diri.
45
BAB V HUBUNGAN KARAKTERISTIK NELAYAN DENGAN TINGKAT PARTISIPASI NELAYAN 5.1
Hubungan Tingkat Umur dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Umur merupakan salah satu karakteristik dari responden yang dianalisis.
Berdasarkan hasil kuesioner dapat diketahui bahwa moyoritas responden memiliki umur di atas 40 tahun. Hanya beberapa nelayan saja yang masih di bawah 30 tahun dan di bawah 40 tahun. Berdasarkan umur tersebut akan dilihat apakah variabel ini mempengaruhi tingkat partisipasi nelayan. Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan bentuk hubungan antara kedua variabel tersebut.
Tabel 8 Hubungan Tingkat Umur dengan Tingkat Paertisipasi Nelayan Umur
Tingkat Partisipasi
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Tua
0 (0%)
1 (5,9%)
16 (94,1%)
17 (45,9%)
Sedang
0 (0%)
0 (0%)
10 (100%)
10 (27%)
Muda
0 (0%)
0 (0%)
10 (100%)
10 (27%)
Total
0 (0%)
1 (2,7%)
36 (97,3%)
37 (100%)
Menurut analisis Chi-Square, Tabel 8 menghasilkan nilai hitung sebesar 1,209. Derajat kebebasan (df) yang diperoleh sebesar 2 dan alfa (α) yang digunakan adalah 0,1. Berdasarkan tabel hitung, diketahui nilai tabel adalah 4,61. Maka hasil dari analisis tersebut adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat umur dengan tingkat partisipasi nelayan dalam pembuatan kebijakan zonasi. Penyebabnya adalah kebijakan zonasi yang terdapat di wilayah itu dilakukan secara sepihak oleh pemerintah (top down). Sementara itu nelayan hanya dapat berpartisipasi secara aktif dalam tahap pemanfaatan dan evaluasi.
46
5.2
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam tingkat
partisipasi terutama dalam tahapan partisipasi yang membutuhkan keikutsertaan dari para peserta. Biasanya masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memiliki tingkat partisipasi yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena dia dianggap punya ilmu dan paham. Berikut ini digambarkan keterkaitan antara tingkat pendidikan dan akses politik. Tabel 9 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Pendidikan
Tingkat Partisipasi
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Tinggi
0 (0%)
0 (0%)
1 (100%)
1 (2,7%)
Sedang
0 (0%)
0 (0%)
11 (100%)
11 (29,7%)
Rendah
0 (0%)
1 (4%)
24 (96%)
25 (67,6%)
Total
0 (0%)
1 (2,7%)
36 (97,3%)
37 (100%)
Berdasarkan analisis menggunakan Chi-Square dapat diketahu bahwa nilai hitung pada Tabel 9 adalah 0,493 dengan derajat kebebasan (df) sebesar 2. Alfa (α) yang diambil adalah 0,1 dan nilai tabel yang tertera sebesar 4,61. Maka berdasarkan perhitungan statistik tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan secara signifikan dengan tingkat partisipasi. Keadaan ini dipengaruhi oleh kesempatan yang diberikan kepada nelayan tidak banyak. Nelayan hanya dapat berpartisipasi secara aktif pada beberapa tahap partisipasi saja.
5.3
Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Para responden yang berprofesi sebagai nelayan tidak memiliki
pendapatan yang pasti setiap harinya. Menurut beberapa orang nelayan, mereka tergolong orang yang pasrah karena mengandalkan keberuntungan ketika sedang melaut. Terkadang ketika teman seperjuangan mendapatkan hasil yang melimpah,
47
seorang nelayan malah tidak mendapatkan apa pun. Hal ini juga dipengaruhi oleh musim. Maka dari itu pendapatan nelayan tidak dapat diprediksi. Berikut ini adalah tabel keterkaitan antara tingkat pendapatan nelayan dengan akses politik nelayan. Tabel 10 Hubungan Tingkat Pendapatan Sebelum Paceklik dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Pendapatan
Tingkat Partisipasi
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Tinggi
0 (0%)
1 (2,7%)
17 (94,4%)
18 (48,6%)
Sedang
0 (0%)
0 (0%)
9 (100%)
9 (24,3%)
Rendah
0 (0%)
0 (0%)
10 (100%)
10 (27%)
Total
0 (0%)
1 (2,75%)
36 (97,3%)
37 (100%)
Berdasarkan analisis Chi-Square yang dilakukan, diketahui bahwa nilai hitung Tabel 10 adalah 1,085. Derajat kebebasan (df) yang dihasilkan adalah 2, sedangkan alfa (α) yang digunakan adalah 0,1. Nilai tabel yang tertera adalah 4,61. Maka perhitungan pada Tabel 10 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi nelayan. Penyebabnya adalah walaupun nelayan tergolong kaya namun nelayan tidak mendapatkan kesempatan untuk menentukan dalam pembuatan zonasi di wilayah tersebut. Begitu pula nelayan dengan tingkat ekonomi sedang dan rendah. Selama tiga tahun terakhir ini nelayan di perairan Cilacap mengalami masa paceklik. Secara otomatis keadaan ini mempengaruhi jumlah tangkapan dan penghasilan para nelayan. Berikut ini merupakan hasil analisis dari tingkat pendapatan nelayan pada musim paceklik yang dikaitkan dengan tingkat partisipasi nelayan.
48
Tabel 11 Hubungan Tingkat Pendapatan pada Masa Paceklik dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Pendapatan
Tingkat Partisipasi
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Tinggi
0 (0%)
0 (0%)
6 (94,4%)
18 (16,2%)
Sedang
0 (0%)
1 (9,1%)
10 (90,9%)
9 (29,7%)
Rendah
0 (0%)
0 (0%)
20 (100%)
10 (54,1%)
Total
0 (0%)
1 (2,7%)
36 (97,3%)
37 (100%)
Berdasarkan analisis Chi-Square yang dilakukan, diketahui bahwa nilai hitung Tabel 11 adalah 2,429. Derajat kebebasan (df) yang dihasilkan adalah 2, sedangkan alfa (α) yang digunakan adalah 0,1. Nilai tabel yang tertera adalah 4,61. Maka perhitungan pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi nelayan. Penyebabnya adalah walaupun nelayan tergolong kaya namun nelayan tidak mendapatkan kesempatan untuk menentukan dalam pembuatan zonasi di wilayah tersebut. Begitu pula nelayan dengan tingkat ekonomi sedang dan rendah. Keadaan paceklik yang terjadi juga memperparah tingkat partisipasi nelayan karena sebagian besar nelayan lebih memilih untuk berkerja dibandingkan untuk ikut rapat dan bentuk partisipasi lainnya.
5.4
Hubungan Tingkat Jumlah Tanggungan dengan Tingkat Partisipasi
Nelayan Jumlah tanggungan atau banyaknya anak dan istri di rumah serta belum dapat menafkahi diri sendiri dapat mempengaruhi tingkat partisipasi nelayan. Pengaruh di sini dapat berupa pengaruh positif ataupun negatif. Berdasarkan tabel di bawah ini dapat dilihat apakah hal tersebut juga terjadi pada kasus di Kelurahan Cilacap ini.
49
Tabel 12. Hubungan Tingakat Jumlah Tanggungan dengan Tingkat Partisipasi Nelayan Jumlah Tanggungan
Tingkat Partisipasi
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Tinggi
0 (0%)
0 (0%)
17 (100%)
17 (45,9%)
Sedang
0 (0%)
0 (0%)
7 (100%)
7 (18,9%)
Rendah
0 (0%)
1 (7,7%)
12 (92,3%)
13 (35,1%)
Total
0 (0%)
1 (2,7%)
36 (97,3%)
37 (100%)
Analisis Chi-Square pada Tabel 12 menghasilkan nilai hitung sebesar 1,897 dengan derajat kebebasan (df) sebesar 2. Alfa (α) yang diambil adalah 0,1 sehingga diperoleh nilai tabel sebesai 4,61. Berdasarkan analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah tanggungan dengan tingkat partisipasi nelayan. Penyebabnya adalah nelayan hanya dapat berpartisipasi secara aktif di tahap pemanfaatan dan evaluasi. Hal ini mengakibatakan perbedaan jumlah beban tanggungan tidak mempengaruhi keaktifan nelayan dalam partisipasi pembuatan kebijakan zonasi.
5.5
Analisis Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Tingkat Partisipasi
Nelayan Berdasarkan keempat tabel di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terbentuk hubungan antara karakteristik nelayan dengan tingkat partisipasi nelayan. Berdasarkan data yang diperoleh, dalam pembangunan dermaga dan jalur pelayaran kapal non nelayan dapat diketahui bahwa pembangunan tersebut merupakan pembangunan yang top down. Walaupun benar adanya bahwa terdapat sosialisasi mengenai keberadaan kedua hal tersebut kepada pihak nelayan. Selain itu ada pula rapat yang diselenggarakan oleh pihak-pihak terkait seperti pemerintah lokal dengan persatuan nelayan untuk membahas soal tersebut. Namun, berdasarkan hasil kuesioner yang diperoleh, nelayan lebih banyak
50
berpartisipasi dalam tahap evaluasi. Berikut ini adalah gambaran mengenai tahapan tersebut.
Gambar 9 Tingkat Partisipasi Nelayan Dalam Tiap Tahapan Berdasarkan Gambar 9 di atas dapat diketahui bahwa 100 persen responden memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan. Sedangkan pada tahap pemanfaatan, terdapat 2,5 persen responden yang memiliki peran serta yang tinggi. Pada tahap akhir, yaitu tahap evaluasi, nelayan memiliki peran serta yang tergolong tinggi dan sedang. Sebanyak 78,38 persen nelayan memiliki tingkat partisipasi sedang. Sementara 21,62 persen lainnya memiliki tingkat partisipasi tinggi. Namun walaupun begitu, karena sebagian besar dari mereka hanya aktif pada tahap evalusai saja maka hal ini tidak terlalu berpengaruh pada keseluruhan peran aktif tingkat partisipasi mereka.
51
Tabel 13 Hubungan Karakteristik Sosial dengan Tahap Evaluasi Karakteristik Sosial Umur
Pendidikan
Pendapatan Tidak Paceklik
Pendapatan Saat Paceklik
Jumlah Tanggungan
Evaluasi Tinggi
Sedang
Rendah
Tinggi
3
14
0
Sedang
3
7
0
Rendah
2
8
0
Tinggi
1
0
0
Sedang
4
7
0
Rendah
3
22
0
Tinggi
6
12
0
Sedang
0
9
0
Rendah
2
8
0
Tinggi
2
4
0
Sedang
3
8
0
Rendah
3
17
0
Tinggi
5
12
0
Sedang
1
6
0
Rendah
2
11
0
Tabel 13 di atas diuji dengan menggunakan Chi-Square untuk melihat hubungan variabel terkait. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa nilai hitung yang didapat atas hubungan variabel umur dan tingkapt pastisipasi dalam tahap evaluasi adalah 0,588. Derajat kebebasan (df) yang dihasilkan adalah 2 dengan alfa (α) yang digunakan adalah 0,1. Nilai tabel yang tertera adalah 4,61 sehingga dapat diketahui bahwa kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan yang signifikan. Keadaan ini terlihat dari mayoritas responden yang memiliki tingkat umur tinggi atau tergolong tua memiliki partisipasi dalam tahap evaluasi tergolong sedang. Keadaan serupa juga terlihat di tingkat umur sedang dan muda atau rendah. Analisis Chi-Square memperlihatkan bahwa hubungan antara variabel tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi di tahap evaluasi memiliki hubungan yang signifikan. Nilai hitung yang diperoleh adalah 6,401 dengan derajat kebebasan sebesar 2 dan alfa (α) yang digunakan adalah 0,1. Nilai tabel yang
52
tertera adalah 4,61. Kesipulan dari analisi ini adalah semakin tinggi tingkat pendidikan nelayan maka semakin tinggi tingkat partisipasi nelayan dalam tahap evaluasi. Sementara itu jika dilihat pada tingkat pendapatan sebelum paceklik, hasil analisis Chi-Square memperlihatkan bahwa nilai hitung adalah 3,955. Derajat kebebasan (df) yang dihasilkan adalah 2 dengan alfa (α) sebesar 0,1. Maka nilai hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai tabel, yaitu sebesar 4,61. Sedangkan jika dilihat pada tingkat pendapatan saat sedang paceklik dihasilkan nilai hitung adalah 1,210 dengan alfa, drajat kebebasan, dan nilai tabel yang sama dengan tingkat pendapatan saat tidak paceklik. Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan keterkaitan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Penyebabnya adalah nelayan berpikir bahwa keberadaan nelayan dalam suatu rapat tidak terlalu penting. Menurut nelayan hal yang menjadi prioritas adalah melaut. Nilai hitung hubungan antara tingkat jumlah tanggungan dengan tingkat partisipasi pada Tabel 12 adalah 1,129 dengan derajat kebebasan 2 dan alfa (α) 0,1. Nilai tabel yang tertera adalah 4,61. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada keterkaitan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Hal ini juga terlihat dari banyaknya angka yang tersebar hampir merata di bagian tingkat evealuasi sedang. Responden dengan tingkat jumlah tanggungan tingggi, sedang, dan rendah sama-sama menempati tingkat evaluasi pada golongan sedang. Sebagian besar nelayan lebih berpikir untuk mempersiapkan diri untuk melaut esok hari dari pada menghadiri pertemuan untuk membahas nasib nelayan. Kesimpulan dari penelitan mengenai tahap evaluasi adalah variabel pendidikan mempengaruhi akses politik responden. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka dia akan memiliki tingkat partisipasi yang lebih tinggi pula. Sedangkan pada variabel lainnya hubungan yang terjadi tidak signifikan. Hasil analisis kuantitatif tersebut menunjukkan nelayan yang berada di wilayah Cilacap tidak memiliki partisipasi yang cukup baik. Secara kualitatif hal ini dapat dilihat melalui penjelasan pada bab selanjutnya dimana diketahui bahwa secara keseluruhan wilayah perairan mereka dibatasi oleh pemerintah. Dalam pembuatannya tidak ada campur tangan masyarakat sama sekali. Di sini masyarakat hanya menerima kebijakan tersebut tanpa ditanya apakah hal tersebut
53
sesuai bagi mereka atau tidak. Walaupun begitu pada kenyataannya masih banyak nelayan yang tidak mematuhi peraturan zonasi yang telah ditentukan. Nelayan tradisional yang melaut tidak mempedulikan keberadaa kapal non nelayan yang sedang memasang jangkar untuk menunggu giliran masuk pelabuhan. Mereka tetap melaut di jalur pelayaran dan juga ke wilayah tempat kapal non nelayan melego jangkarnya. Selain itu ada pula nelayan yang tidak mematuhi jalur yang telah ditentukan oleh Keputusan Menteri Kelautan yang mengatakan bahwa wilayah tangkap ikan mereka, para nelayan tradisional, hanya sejauh 6 mil. Alasan mereka untuk melaut lebih jauh dari batas zonasi adalah mengejar hasil tangkapan. Partisipasi nelayan dalam batas wilayah ini hanya terlihat kuat ketika tahap evaluasi dilakukan. Menurut salah satu penuturan seorang informan yang juga berprofesi sebagai nelayan dan mempunyai jabatan di kalangan masyarakat ini diketahui bahwa setiap tiga bulan sekali ada diskusi bagi para nelayan. Dalam diskusi ini diceritakan mengenai kendala, penyuluhan, dan berbagai keluhan yang dialami oleh para nelayan. Jika ada kapal nelayan yang mengalami masalah dengan kapal non nelayan, hal tersebut juga dibahas dalam forum ini. Namun rapat dan forum seperti ini bisa diadakan secara mendadak jika terjadi kecelakaan kapal tanker baik yang menyebabkan minyak tumpah maupun rusaknya jaring nelayan karena terkena jangkar. Jika hal itu terjadi maka para nelayan akan bersatu dan menuntut pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada saat seperti inilah dapat terlihat bahwa akses politik nelayan baik. Biasanya mereka menyampaikan aspirasinya dalam musyawarah dengan pemerintah dan pihak swasta serta kepolisian. Walaupun ketika musyawarah tingkat kebupaten tidak semua nelayan dapat hadir melainkan hanya para pengurus kelompok nelayan, namun sebelumnya sebagian besar nelayan akan aktif berpartisipasi dalam penyelesaian permasalahan pada forum tingkat kelompok. Aspirasi mereka didengar oleh pemerintah dan industri terkait dalam proses penyelesaian permasalahan tersebut. Jika aspirasi mereka tidak didengar maka mereka akan mengambil jalan lain, yaitu berdemonstrasi ke industri terkait dan pemerintaan. Namun demonstrasi ini tergolong aman dan tidak anarki. Ketika demonstrasi berlangsung, nelayan akan menyampaikan keluhan
54
yang mereka rasakan lebih keras dan tegas. Walaupun ada pula beberapa nelayan yang tidak pernah ikut demonstrasi karena alasan pribadi. Berdasarkan fakta pembentukan zonasi tersebut maka dapat dikatakan bahwa nelayan di sekitar Teluk Penyu tersebut tidak memiliki partisipasi yang tinggi. Mereka hanya masyarakat yang menerima peraturan dari pemerintah mengenai batas zonasi di perairan tersebut. Tingkat partisipasi mereka tinggi hanya ketika terjadi kecelakaan kapal non nelayan yang secara nyata merugikan nelayan secara ekonomi. Namun kesempatan tersebut tidak terlalu besar karena banyak diantara mereka yang masih mengeluhkan penyelesaiaan permasalahan yang diambil.
55
BAB VI KETERKAITAN PARTISIPASI NELAYAN DALAM MENENTUKAN WILAYAH ZONASI PESISIR Bab sebelumnya telah dijelaskan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif bahwa pada kenyataannya karakteristik individu nelayan tidak mempengaruhi tingkat partisipasi nelayan. Selain itu tingat partisipasi nelayan yang tergolong rendah secara keseluruhan juga tidak berpengaruh terhadap pembentukkan zonasi yang terdapat di perairan Cilacap. Penyebabnya adalah pembentukkan zonasi yang terdapat di sana merupakan hasil keputusan langsung dari pemerintah pusat (top down). Namun jika dilihat, perairan tersebut memiliki dua zonasi utama yaitu zonasi pertambangan dan zonasi perikanan. Pada bab ini akan lebih difokuskan pada zonasi dua kegiatan tersebut dan pemanfaatannya.
6.1
Zonasi Pertambangan Cilacap merupakan salah satu wilayah yang strategis untuk pembangunan
industri. Sedikitnya terdapat empat industri besar yang berada di sana dan menggunakan jalur pelayaran laut sebagai salah satu sarana transportasi dalam produksi. Masing-masing industri yang menggunakan jalur laut sebagai salah satu sarana transportasinya memiliki dermaga sendiri bagi kapal-kapal yang mengangkut barang-barang produksi mereka. Namun jalur pelayaran bagi kapalkapal tersebut sudah ditentukan oleh pemerintah. Bagi setiap kapal yang akan keluar atau masuk dermaga harus memperoleh izin terlebih dahulu. Ketika kapalkapal tersebut telah memperoleh izin maka setiap perjalanan keluar dan masuk dermaga, kapal-kapal itu akan dipandu oleh kapal pandu. Batas pelayaran dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama 2 Menteri yaitu Menteri Perhubungan dan Menteri Dalam Negeri No. 13/1986 KM 31/AL101/PHB-86 yang berisi mengenai batas pelabuhan. Pada dasarnya Pelabuhan Tanjung Intan ini telah ada sejak zaman penjajahan Portugis. Selain itu sebelum adanya industri yang berdiri di sana, pelabuhan tersebut telah digunakan sebagai akses keluar masuknya kapal-kapal kargo yang membawa komoditi dari berbagai tempat untuk dipasarkan.
56
Sepanjang perairan Samudera Indonesia yang dekat dengan Pelabuhan Tanjung Intan dipasangi tanda seperti pelampung berwarna merah dan hijau. Tanda tersebut merupakan batas bagi kapal non nelayan untuk merapat atau meninggalkan dermaga. Selain tanda sebagai petunjuk arah berupa pelampung, ada pula lampu-lampuh berwarna merah dan hijau yang akan menyala di malam hari. Rambu apung berwarna merah ditempatkan di sebelah kanan jalur. Sementara itu rambu apung berwarna hijau ditempatkan di sebelah kiri. Pemasangan rambu tersebut dimaksudkan agar kapal mengetahu jalur yang harus dilewatinya. Mengingat wilayah perairan tersebut terdapat banyak sekali karang dan kedalaman laut yang tidak merata sehingga dapat menyebabkan kapal yang melintasinya karam. Sebelum sebuah kapal memasuki atau keluar dari dermaga, biasanya kapal tersebut harus menunggu giliran untuk berlayar atau menunggu kapal pemandu datang. Ketika kapal non nelayan tersebut akan melewati jalur pelabuhan maka akan ada pengumuman yang memberikan informasi mengenai hal tersebut. Pengumuman itu dimaksudkan agar tidak ada kapal lain yang melintasi jalur pelayaran dan terhindar dari kecelakaan. Untuk lebih jelasnya di bawah ini ditampilakan alur pelayaran Pelabuhan Tanjung Intan.
57
Sumber: www.scribd.com Gambar 10 Jalur Pelayaran dan dermaga di Pelabuhan Tanjung Intan Pada gambar diperlihatkan bahwa terdapat sembilan dermaga yang ada di pelabuhan tersebut. Sebagian besar dermaga merupakan milik industri dan ada satu dermaga umum yang salah satunya digunakan untuk kapal menuju ke Pulau Nusakambangan. Selain itu ada pula pipa yang berada di bawah laut milik salah satu industri yang ditunjukkan oleh garis putus-putus. Bagi kapal yang ingin masuk ke dermaga harus menunggu di wilayah dengan gambar jangkar. Wilayah lego jangkar tersebut berjarak dua hingga tiga mil dari garis pantai. Jarak tersebut juga termasuk pada wilayah tangkap nelayan tradisional. Setelah menunggu dan mendapatkan izin maka akan ada kapal pandu yang akan memberikan komando dari depan kapal tersebut untuk berlayar mengikutinya. Jalur yang digunakan
58
adalah garis yang terlihat mulai dari gambar lingkaran hingga dermaga tujuan. Sementara itu ada pelabuhan perikanan yang harus melewati jalur pelayaran dan ada pula yang di luarnya.
6.2
Zonasi Perikanan Samudera Indonesia merupakan wilayah perairan yang menjadi tempat
bagi para nelayan di wilayah Kabupaten Cilacap untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Perairan ini terbagi menjadi zona pelayaran dan zona perikanan. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai batas wilayah zona pelayaran bagi kapal non nelayan. Pada wilayah jalur pelayaran terdapat peraturan bahwa wilayah tersebut sebaiknya bebas dari bagan apung dan jaring apung. Hal ini ditujukan agar kegiatan pelayaran tidak terganggu. Sementara itu bagi nelayan Kabupaten Cilacap yang mencari hasil tangkapan juga diikat oleh suatu peraturan mengenai batas wilayah tangkap. Batasan tersebut ditentukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan berupa Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang dan Pulau-pulau Kecil. Keputusan Menteri mengenai jalur perikanan tersebut adalah bahwa terdapat tiga jalur penangkapan ikan. Pada jalur penangkapan ikan I dengan batas 0 sampai 6 mil laut dibagi menjadi dua, yaitu: jalur 0 sampai 3 mil laut yang diperuntukkan bagi nelayan dengan peralatan penangkap ikan menetap dan alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi, kapal perikanan tanpa motor dengan ukuran kurang dari 10 meter. Selain itu ada klasifikasi jalur 3 hingga 6 mil laut dimana hal ini diperuntukkan bagi nelayan alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi, kapal perikanan tidak bermotor atau bermotor tempel dengan ukuran kurang dari 12 meter atau kurang dari 5 GT. Pada jalur penangkapan ikan II dengan batas 6 sampai 12 mil ke arah laut. Nelayan yang boleh memasuki wilayah ini adalah nelayan dengan kapal motor maksimum 60 GT, menggunakan pukat cincin, maksimum 600 meter (1 kapal) dan maksimum 1000 meter (2 kapal), menggunakan jaring insang hanyut dengan ukuran maksimum 2500 meter. Jalur terakhir adalah jalur penangkan ikan III dengan batas perairan dari 12 mil hingga Zona Ekonomi Eksekutif Indonesia. Nelayan yang diperboloehkan masuk
59
ke wilayah tangkap ini adalah kapal perikanan bendera Indonesia dengan ukuran maksimum 200 GT. Jenis alat tangkap adalah pursue seine bagi jenis ikan pelagis besar di Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Laut Flores, Laut Sawu tidak diperbolehkan. Kapal Indonesia dengan ukuran maksimum 200 GT diperbolehkan pada daerah ZEEI di Selat Malaka, kecuali pukat ikan dengan ukuran minimal 60 GT. ZEEI di luar Selat Malaka pengaturannya adalah kapal ikan Indonesia dan asing kurang dari 350 GT; kapal ikan dengan alat tangkap purse seine dengan ukuran antara 350 GT sampai 800 GT, dan beroperasi di luar 100 mil dari garis pangkal Kepulauan Indonesia, kapal ikan dengan alat tangkap purse seine dengan sistem kelompok hanya boleh dioperasikan di atas 100 mil laut dari garis pangkal Kepulauan Indonesia. Berdasarkan aturan zonasi perikanan di atas maka dalam penelitian ini nelayan yang menjadi responden seharusnya berada di jalur penangkapan ikan I. Para nelayan tersebut hanya memiliki hak untuk melaut sejauh 6 mil dari bibir pantai ke tengah laut. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak diterjadi. Baik nelayan perahu bermotor maupun nelayan dengan perahu tanpa motor terkadang melanggar batas zonasi tersebut. Hal ini dilakukan karena nelayan memiliki prinsip “di mana ikan berenang, maka nelayan akan mengejar”. Berikut ini merupakan diagram yang menunjukkan jarak tempuh melaut nelayan tersebut.
Gambar 31 Diagram Jarak Tempuh Nelayan Sebelum Zonasi
60
Berdasarkan diagram tersebut dapat dilihat bahwa terdapat satu nelayan yang memiliki wilayah tangkap lebih jauh dari ketentuan yang seharusnya. Nelayan tersebut melaut hingga jarak tempuh 7 mil dengan menggunakan perahu viber glass bermesin tempel 15 PK. Selain nelayan tersebut tidak ada lagi yang menempuh jarak di luar batas ketentuan. Sementara itu keadaan berubah ketika setelah zonasi.
Gambar 12 Diagram Jarak Tempuh Nelayan Sesudah Zonasi Berdasarkan diagram pada Gambar 12 di atas dapat diketahui bahwa terdapat 7 orang nelayan yang melaut lebih dari jarak 6 mil. Beberapa di antara mereka bahkan mencapai jarak 10 mil yang berarti hanya berbeda 2 mil dengan ketentuan batas akhir jalur penangkapan ikan II. Alasan dari perluasan wilayah tangkap ini adalah agar bisa mendapatkan lebih banyak hasil tangkapan. Hal ini dikarenakan di wilayah tangkap yang biasa mereka arungi keberadaan hasil laut seperti ikan, rajungan, udang, dan lobster sudah jarang.
6.3
Konflik Zonasi Batas perairan yang ada di Kabupaten Cilacap khususnya darah Pelabuhan
Tanjung Intan hingga saat ini masih berpegang pada Surat Keputusan Bersama 2 Menteri yaitu Menteri Perhubungan dan Menteri Dalam Negeri No. 13/1986 KM
61
31/AL-101/PHB-86. Pada tahun 1986 saat disahkan peraturan tersebut rezim kepemilikan sumberdaya alam yang terbentuk adalah rezim negara. Rezim ini berimplikasi kepada kepemilikan dan pengatuaran sumberdaya yang ada dimana pemerintah merupakan pihak yang berhak menentukan pengelolaannya. Pada waktu itu pemerintah menetapkan bahwa wilayah perairan Cilacap menjadi wilayah pelayaran. Namun dengan seiring berjalannya waktu pada tahun 2004 telah disahkan Undang-Undang Nmor 32 mengenai pemerintah daerah dan tahun 2007 disahkan Undang-Undang Nomor 27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam kedua undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pemerintah provinsi memiliki wewenang atas laut paling jauh dua belas mil dari garis pantai ke laut lepas. Sementara kabupaten atau kota memiliki wewenang empat mil atau 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi. Pengelolaan pesisir yang terdapat di Cilacap hingga saat ini masih tergolong rezim negara karena tidak ada pengalihan atau pemindahtanganan pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat atau swasta. Namun dengan melihat zonasi yang terdapat di perairan tersebut (Gambar 10 halaman 52) dapat dilihat bahwa pada jarak empat mil menuju laut lepas dari garis pantai terdapat alur pelayaran. Keadaan ini menyebabkan nelayan tidak dapat mengakses wilayah tersebut untuk menangkap ikan secara bebas. Maka dapat dikatakan bahwa terdapat konflik rezim negara di dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Cilacap ini. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang telah disahkan tersebut belum diimplementasikan di wilayah perairan Cilacap. Hal yang sama pun terjadi pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kegiatan yang dapat dilakukan hingga saat ini adalah kegiatan yang berasaskan saling pengertian antara dua kegiatan yang berada pada wilayah yang sama. Kegiatan nelayan tangkap tidak boleh mengganggu alur pelayaran kapal. Nelayan dianjurkan untuk melaut di wilayah tangkap lain walaupun mereka punya hak atas wilayah tersebut. Kondisi yang mirip juga terjadi di Tanjung Priok Jakarta. Merujuk pada hasil tesis Effendy Batubara (2005) tentang Penetapan dan Pengelolaan Alur Pelayaran dan Perairan Pelabuhan Studi Kasus Teluk Jakarta, dikatakan bahwa terdapat konflik pemanfaatan ruang perairan antara perikanan tangkap dengan alur
62
pelayaran. Konflik ini terjadi karena wilayah tangkap nelayan tradisional berada dalam berada dalam Daerah Lingkungan Kerja (DLKR) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKP) perairan pelabuhan. Hal ini juga terjadi di perairan Cilacap dimana wilayah tangkap nelayan tradisional juga berada dalam alur pelayaran pelabuhan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10 halaman 52 dimana wilayah untuk melego jangkar kapal hanya berjarak dua hingga tiga mil dari garis pantai. Kondisi ini berarti di area itu pula terdapat wilayah tangkap nelayan tradisional dengan jarak tempuh 0-6 mil dari garis pantai. Namun pada kasus di perairan Cilacap ini sebagian besar nelayan memang mengalah dan tidak melakukan penangkapan ikan di area lego jangkar dan sekitarnya. Walaupun menurut nelayan di wilayah tersebut terdapat banyak hasil tangkapan. Nelayan lebih memilih jalan aman daripada jaring yang mereka tebar terkena jangkar. Pada umumnya panjang tali jangkar yang dibutuhkan saat labuh secara empirik adalah tiga seckle rantai atau tiga kali 27,5 m. Namun, untuk mengingkatkan keamanan di perairan dibutuhkan panjang rantai enam kali kedalaman perairan. Semakin pendek tali jangkar yang digunakan makin kecil areal labuh yang dibutuhkan. Namun sayangnya nelayan tetap tidak mengetahui di mana tepatnya letak jangkar kapal tersebut sehingga kemungkinan jaring nelayan tersangkut jangkar tetap ada. Menurut Batubara (2005) interaksi konflik keruangan antara alur pelayaran dengan perikanan tangkap nelayan tradisional tersebut menghalangi olah gerak kapal dan alat tangkap seperti jaring dan long line dapat membahayakan keselamatan kapal. Di lain pihak kegiatan pelayaran tersebut membahayakan alat tangkap atau kapal ikan. Hal ini juga diperkuat dengan beberapa kejadian di perairan Cilacap dimana beberapa kali terjadi kecelakaan kapal nelayan tradisional karena jaringnya tertabrak kapal tanker. Selain itu menurut Batubara (2005), kegiatan kapal juga memberikan dampak negatif terhadap kegiatan perikanan yaitu berupa terjadinya pencemaran perairan oleh kegiatan kapal berupa limbah cair berminyak. Limbah ini menyebabkan menjauhnya ikan dari area penangkapan ikan. Berdasarkan uraian tersebut, Batubara menyimpulkan bahwa interaksi yang terjadi antara dua kegiatan pemanfaatan ruang yang sama ini merugikan kedua kegiatan. Keadaan ini juga terjadi di perairan Cilacap. Ketika jaring nelayan tersangkut di jangkar
63
hingga rusak maka nelayan tidak dapat melaut dan pihak kapal mengganti rugi kecelakaan tersebut. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan KPLP diketahui bahwa untuk mendapatkan ganti rugi dari pihak kapal, nelayan harus memiliki bukti otentik sehingga dapat dibandingkan dengan bukti yang ada di kapal tersebut.
64
BAB VII PENGARUH ZONASI WILAYAH PESISIR TERHADAP AKSES SUMBERDAYA ALAM NELAYAN 7.1
Akses Sumberdaya Alam Nelayan Akses sumberdaya alam nelayan dalam penelitian ini dilihat dari seberapa
besar nelayan dapat menjangkau samudera yang biasa dijadikan sebagai tempat mencari nafkah. Berdasarkan hasil kuesioner dapat diketahui bahwa dalam melaut, nelayan tidak memiliki batasan-batasan yang mengatur mereka. Walaupun benar adanya secara hukum ada undang-undang yang mengatur sejauh mana nelayan tradisional diperbolehkan melaut dan ada pula batasan terkait jalur pelayaran. Namun demikian, bagi nelayan peraturan tersebut tidak berlaku karena pada kenyataannya mereka bebas memasuki wilayah laut manapun kecuali daerah lego jangkar kapal tanker. Wilayah samudera tersebut tidak bisa dimasuki oleh kapal nelayan karena selalu dipenuhi oleh kapal tanker yang sedang menunggu giliran untuk memasuki dermaga. Berdasarkan hasil penelitian mengenai nilai pemanfaatan diketahui bahwa seluruh nelayan memiliki jawaban yang sama mengenai hak pemanfaatan sumberdaya alam. Mereka bebas keluar masuk wilayah laut serta dapat menangkap ikan secara bebas. Selain itu mereka juga mengawasi kelestarian laut dengan cara tidak menggunakan jaring apong. Hal ini untuk menghidari pengambilan ikan yang masih kecil. Nelayan mengatakan akses sumberdaya alam dan kepemilikannya tergolong jelas. Hal yang dimaksudkan di sini adalah mereka dapat bebas melaut kemana pun. Berdasarkan pertanyaan yang diajukan hanya ada satu pertanyaan yang bernilai negatif bagi mereka yaitu aturan pengelolaan laut tidak ditetapkan oleh mereka. Aturan ini sudah ada berdasarkan undang-undang yang berlaku baik dari bidang perikanan. Peraturan dari bidang perikanan kurang dipatuhi oleh nelayan. Peraturan ini berkaitan dengan jauhnya jarak yang boleh ditempuh oleh nelayan kelas tradisional yaitu dari 0 sampai 6 mil. Terkadang ada nelayan tradisional yang melanggar peraturan tersebut dengan alasan mencari hasil tangkap yang lebih banyak.
65
Jika kembali melihat Gambar 9 pada pembahasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa ada satu responden dalam penelitian ini yang melaut lebih jauh satu mil dari ketentuan yang berlaku baginya. Sementara itu seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jarak maksimal nelayan tradisional untuk melaut adalah 6 mil. Sedangkan setelah zonasi dilakukan, pada Gambar 10 diketahui bahwa semakin banyak nelayan tradisional yang melaut melebihi jarak 6 mil. Hal ini membuktikan bahwa nelayan membutuhkan usaha yang lebih banyak untuk memanfaatkan sumberdaya alam di samudera tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Namun hal ini bukan disebabkan karena mereka tidak boleh lagi berlayar di tempat biasa mereka melaut melainkan karena mereka jarang mendapatkan hasil jika tetap di tempat biasa. Berdasarkan pengakuan nelayan tradisional, tidak ada larangan bagi nelayan untuk melaut di daerah tertentu. Mereka dapat memasuki semua wilayah samudera dan mencari ikan di tempat tersebut. Walaupun ada jalur pelayaran kapal tanker, kapal tongkang, dan kapal kargo, namun nelayan mengetahui batasan tersebut dan dapat mengantisipasi keberadaaan mereka. Terkadang ada nelayan yang mencari ikan di sana tetapi ketika akan ada kapal yang akan memasuki dermaga atau keluar darinya maka nelayan tersebut akan pergi. Namun, berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa nelayan tidak akan memasuki area lego jangkar kapal non nelayan yang sedang menunggu giliran untuk masuk ke dermaga. Mereka juga tidak mendekati wilayah tersebut karena takut jaring yang ditabur terkena jangkar kapal sehingga dapat rusak. Pengetahuan nelayan mengenai keberadaan jangkar kapal yang sedang dilego tidak memadai sehingga tidak jarang ada jaring nelayan yang rusak karena terkena jangkar.
7.2
Analisis Keterkaitan Zonasi Wilayah Pesisir Terhadap Akses
Sumberdaya Alam Nelayan Di wilayah Kabupaten Cilacap khususnya daerah dekat samudera telah dibangun industri sejak akhir tahun 1970-an. Menurut beberapa informan pada zaman tersebut sudah ada kapal-kapal non nelayan yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Intan. Pada saat itu baru ada dua jenis kapal non nelayan yang berlabuh di sana yaitu kapal kargo dan kapal tanker. Jumlah mereka tidak banyak setiap
66
harinya. Rata-rata kapal yang datang dan pergi meninggalkan pelabuhan kurang dari sepuluh buah per hari. Pada saat itu lalu lintas perairan belum terlalu padat. Jumlah nelayanpun belum sebanyak saat ini. Kemudian pada beberapa tahun belakangan ini, mulai dibangun beberapa industri lain yang juga menggunakan jalur pelayaran sebagai salah satu sarana transportasi mereka. Hal ini terjadi ketika Surat Keputusan Bersama Dua Menteri telah disahkan. Dengan adanya jumlah industri yang semakin banyak dan telah ditetapkannya mengenai jalur pelayaran maka semakin banyak pula jumlah dan jenis kapal yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Intan tersebut. Ketika kapal non nelayan bertambah banyak dan mereka harus melego jangkar untuk menunggu giliran masuk ke dermaga maka luas lautan yang digunakan untuk tempat parkir sementara semakin luas. Hal ini mengakibatkan wilayah tersebut tidak bisa diarungi oleh para nelayan tradisional. Hal ini mempengaruhi akses sumberdaya alam nelayan di wilayah Cilacap. Sementara itu bagi nelayan tradisional yang menjadi responden dalam penelitian ini mengatakan bahwa ada beberapa dari mereka yang memperluas wilayah tangkap demi mendapatkan hasil lebih banyak. Hal ini digambarkan pada Gambar 9 dan Gambar 10 di atas. Berdasarkan kedua gambar tersebut ada perubahan jumlah nelayan yang melaut melebih ketentuan yang telah ditetapkan bagi nelayan tradisional yaitu sejauh 6 mil. Bahkan ada 4 nelayan yang melaut hingga jarak 10 mil. Sedangkan 4 orang lainnya berada pada jarak 7 hingga 9 mil. Sebenarnya jarak tersebut tergolong jauh tetapi hal ini bukan merupakan persoalan besar bagi para nelayan. Perubahan jarak yang dilakukan juga mempengaruhi waktu tempuh yang dilalui oleh para nelayan. berdasarkan data yang diperoleh, ada beberapa nelayan yang melaut lebih lama dari biasanya. Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan waktu tempuh mereka baik sebelum maupun sesudah zonasi.
67
Gambar 13 Waktu Tempuh Melaut Nelayan Sebelum Zonasi Sebagian besar nelayan tradisional tersebut membutuhkan waktu 4 hingga 6 jam untuk melaut. Biasanya mereka berangkat ketika subuh dan kembali sekitar menjelang siang. Namun ada juga nelayan yang melaut hingga 10 jam. Biasanya mereka melaut dari subuh hingga sore hari atau dari malam hingga pagi hari.
Gambar 14 Waktu Tempuh Melaut Nelayan Sesudah Zonasi Pada Gambar 14 dijelaskan bahwa sebanyak 15 orang nelayan memperpanjang waktu melaut mereka. Bahkan ada nelayan yang melaut hingga lebih dari satu hari. Nelayan tersebut adalah nelayan tradisional yang
68
menggunakan perahu bermotor 15 PK. Perubahan waktu yang ditempuh nelayan tersebut dikarenakan pendapatan hasil tangkap mereka menurun.
Gambar 15 Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan (Kg) Sebelum Zonasi Sebagian besar nelayan memiliki jumlah tangkapan antara 1 hingga 5 kilogram dalam sekali melaut. Namun ada juga nelayan yang memiliki jumlah tangkapan hingga belasan bahkan puluhan kilogram. Pendapatan hasil tangkapan nelayan tidak dapat dipastikan setiap harinya. Menurut mereka salah satu faktor terpenting dalam melaut adalah keberuntungan. Namun selama tiga tahun terakhir ini terjadi penurunan yang cukup signifikan. Penurunan jumlah tangkapan ini dapat disebabkan karena cuaca dan iklim yang berubah, laut yang tercemar karena semakin banyak jumlah industri, kapal non nelayan, dan kapal nelayan yang hilir mudik. Berikut ini perubahan hasil tangkapan para nelayan setelah zonasi.
69
Gambar 16 Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan (Kg) Sesudah Zonasi Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan signifikan jika dibandingkan dengan Gambar 15. Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan nelayan rata-rata 0,25 hingga 1 kilogram. Hanya ada tiga orang yang bisa mendapatkan tangkapan lebih dari 1 kilogram. Seperti yang telah diuraikan di atas kemungkinan hal-hal yang dapat menyebabkan keadaan ini terjadi. Hingga saat ini belum dapat diketahui pasti apa penyebab dari penurunan hasil tangkapan nelayan tersebut. Sebagain nelayan ada yang berpikir hal ini terjadi karena laut yang tercemar sehingga ikan-ikan sudah tidak dapt tinggal lagi di wilayah tersebut. Namun ada yang menduga hal ini terjadi karena iklim dan cuaca yang sednag tidak menentu. Menurut salah satu nelayan modern di wilayah Cilacap, pada akhir tahun 1970-an pernah terjadi hal yang sama seperti sekarang ini selama tiga tahun. penyebabnya tidak diketahui dengan pasti. Zonasi wilayah pesisir dapat dikatakan mempengaruhi akses sumberdaya alam nelayan. Perubahan jauhnya jarak serta lamanya waktu tangkap nelayan merupakan salah satu indikasi bahwa zonasi ini mempengaruhi akses nelayan. Selain itu dengan adanya kapal non nelayan yang semakin banyak hilir mudik menuju pelabuhan dan harus melakukan lego jangkar terlebih dahulu maka membuat ada sebagain wilayah lautan yang tidak dapat dijamah oleh para nelayan. Selain itu hal ini juga membuat nelayan harus lebih waspada dalam menyebar jaringnya agar tidak terkena jangkar pada kapal yang sedang menunggu
70
giliran untuk masuk dermaga. Sedangkan untuk perubahan jumlah tangkapan yang sangat signifikan tersebut, masih dibutuhkan penelitian lanjutan agar mengetahui dengan pasti penyebab dari terjadinya hal tersebut. Mungkin hal ini hanya disebabkan oleh cuaca dan iklim atau laut yang tercemar sebagai efek tidak langsung dari jumlah kapal non nelayan yang semakin meningkat karena adanya zonasi. Namun, hal ini juga bisa disebabkan karena perpaduan keduanya atau alasan lain. Berdasarkan kondisi yang terjadi pada nelayan, maka dibutuhkan suatu strategi pembangunan agar permasalahan tersebut dapat ditanggulangi. Waktu tempuh nelayan yang makin tinggi karena adanya area perairan yang tidak dapat dimasuki merupakan salah satu penyebabnya. Hal ini juga terkait dengan hasil tangkapan yang menurun. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengimplementasikan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 dan Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 dengan baik. Pemberian HP3 kepada nelayan seperti melakukan budidaya dan usaha perikanan lainnya di area kekuasaan pemerintahan kabupaten dapat dilakukan. Impelmentasi kedua undang-undang tersebut bisa dikoordinasikan dengan pihak pelabuhan karena pada dasarnya pemerintah daerah dan DKP memiliki wewenang untuk memanfaatkan wilayah pesisir sejauh empat mil dari garis pantai. Kondisi saat ini yang terjadi adalah pada daerah perairan di sekitar area pelayaran tidak ada pemanfaatan yang dilakukan oleh pemerintah darah dan DKP walaupun mereka memiliki kewenangan tersebut. Penyebabnya adalah alur pelayaran pelabuhan merupakan otoritas dari pemerintah pusat. Jadi hal yang saat ini bisa dilakukan oleh pemerintah daerah dan DKP adalah mengatur keberadaan kapal non nelayan dan perahu tangkap nelayan terutama nelayan tradisional. Nelayan tradisional diharapkan tidak melaut di daerah alur kapal agar tidak terjadi kecelakaan.
71
BAB VIII PENGARUH AKSES SUMBERDAYA ALAM TERHADAP KONFLIK Perubahan akses sumberdaya alam yang dialami oleh nelayan tidak terlalu berpengaruh terhadap konflk yang terjadi. Hal ini disebabkan karena para nelayan lebih banyak pasrah atas keadaan yang terjadi. Hal ini terlihat pada nelayan yang tetap melaut pada jarak dan dalam waktu yang sama. Nelayan tidak dapat berbuat banyak untuk meningkatkan hasil tangkapannya. Selain itu merekapun tidak mengetahui faktor penyebab yang mengakibatkan musim paceklik terjadi selama tiga tahun terakhir ini. Konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh keberadaan kapal tanker dan tongkang saat mengalami kecelakaan. Semenjak tahun 1975 yaitu saat salah satu industri mulai dibangun di Cilacap sudah ada tiga kecelakaan kapal tanker. Dua di antaranya yaitu kapal tanker MT. King Fisher dan Lucky Lady. Berikut ini merupakan deskripasi mengenai kecelakaan tersebut.
8.1
Kecelakaan Kapal Tanker
8.1.1
Kapal Tanker MT. King Fisher Semenjak adanya industri di wilayah Cilacap pada pertengahan tahun
1970-an terjadi tiga kecelakaan besar. Ketiga kecelakaan tersebut merupakan kecelakaan kapal tanker yang membawa minyak bumi. Kecelakaan pertama terjadi pada akhir tahun 1970-an. Kecelakaan kedua terjadi pada tahun 2000 tepatnya pada tanggal 1 April. Kapal tanker MT. King Fisher yang sedang membawa minyak mentah sebanyak 600 MB dari Dumai dan Tanjung Santan, Kalimantan menuju Cilacap. Kapal ini membentur karang sehingga menyebabkan kebocoran pada tanki No. 1. Selanjutnya minyak yang dibawa oleh kapal itu tumpah ke perairan dan pantai sekitar. Penanggulangan minyak yang tumpah itu dilakukan dengan cara memasang oil boom dan melakukan penyemprotan minyak dengan menggunakan dispersan. Kemudian pada tanggal 2 April 2000 kapal ditarik ke ambang luar Pelabuhan Tanjung Intan yang berjarak kurang lebih 10 Km dari pantai. Beberapa
72
waktu setelah kejadian itu dibentuk Tim Krisis Awal penanggulangan pencemaran untuk menanggulangi pencemaran pada Areal 70. Mereka melakukan pembersihan di wilayah pantai dengan bantuan 300 orang nelayan. Pembersihan dilakukan secara manual yaitu dengan mengumpulkan minyak-minyak tersebut ke dalam drum yang telah disediakan oleh perusahaan bersangkutan. Akibat dari kecelakaan tersebut terjadi pencemaran pantai oleh minyak berwarna hitam sepanjang 25 Km. Pantai-pantai yang tercemar adalah Pantai Teluk Penyu, Pantai Lengkong, Pantai Tegal Katilayu, dan Pantai Srandil. Diperkirakan minyak yang tumpah sebanyak 4.000 barel. Pencemaran ini terjadi karena ketidaksepurnaan dari oil boom yang dipasang dan bentangnya pendek sehingga tumpahan minyak masih mengalir di sekitar lokasi kapal yang pada akhirnya sampai di pantai. Keesokan harinya, tanggal 3 April 2000, Kantor Adminsitrasi Pelabuhan Tanjung Intan masih menemukan tumpahan minyak di beberapa daerah perairan sekitar Pantai Lengkong. Untuk mengatasi hal ini kantor tersebut mengerahkan 2000 penduduk untuk membersihkannya dengan kompensasi Rp 30.000,00 per orang per hari. Kemudian Kapal MT. King Fisher tersebut diperintahkan agar menepi di SPM untuk membongkar sebagian muatannya pada tanggal 5 April 2000. Untuk mengantisipasi gejolak di masyarakat maka pemerintah daerah setempat melakukan koordinasi dengan para lurah, tokoh masyarakat, Tim SAR Wijaya Kusuma, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang Cilacap, KUD Mino Saroyo, serta aparat keamanan setempat. Hari Kamis tanggal 6 April 2000, pemerintah daerah melaporkan bahwa pembersihan pantai di Teluk Penyu dari tumpahan minyak telah selesai 100 persen, sedangkan minyak di Pantai Srandil selesai 90 persen serta sebanyak 20 persen minyak di Pantai Lengkong dan Tegal Katilayu masih tersisa. Kemudian terjadi perselisihan antara perusahaan dengan masyarakat nelayan tentang jumlah orang yang harus menerima kompensasi. Hal ini menyebabkan pemberhentian pengerjaan pembersihan minyak. Permasalahan ini juga terjadi karena minyak yang tumpah tersebut juga menempel di perahu-perahu nelayan. Tim Bapedal melakukan pulbaket monografi ketiga desa dimana terdapat nelayan mengalami kerugian atas tumpahan minyak tersebut, yaitu Kelurahan Karang Benda, Kelurahan Adireja, dan Kelurahan Bunton. Sebenarnya Kelurahan
73
Adireja dan Kelurahan Bunton tidak terkena pencemaran tersebut namun karena nelayan yang berasal dari daerah tersebut juga melakukan kegiatan di Pantai Srandil, maka merekapun menuntut ganti rugi. Pada hari Selasa tanggal 11 April 2000 para pihak terkait melakukan rapat dengan nelayan di kantor KUD Mino Saroyo. Pertemuan yang berakhir pada pukul 23.00 WIB ini menghasilkan beberapa tuntutan, yaitu: 1. Tuntutan jangka pendek: a. Bersihkan lingkungan dari pencemaran. b. Gantikan jaring nelayan yang rusak. 2. Tuntutan jangka panjang: a. Gantikan kehilangan penghasilan selama tidak dapat melaut. b. Perbaiki kondisi lingkungan. Berdasarkan informasi yang peneliti peroleh dari hasil wawancara dengan beberapa informan, diketahui bahwa ganti rugi ini disetujui oleh pihak perusahaan. Untuk biaya kompensasi tersebut, perusahaan mengeluarkan dana belasan miliar rupiah. Kemudian dana tersebut diberikan kepada pihak terkait untuk disalurkan kepada nelayan-nelayan yang mengalami kerugian.
8.1.2
Kapal Tanker MT. Lucky Lady Kecelakaan kapal yang ketiga adalah kapal tanker yang bernama MT.
Lucky Lady. Kacelakaan ini terjadi pada tanggal 10 September 2004. Kecelakaan terjadi karena kapal mengenai objek yang tidak teridentifikasi pada jalur masuk Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Benturan tersebut menyebabkan kebocoran pada lambungn sebelah kanan tanki No. 1 sehingga mengakibatkan minyak tumpah dan terjadi pencemaran. Saat itu banyaknya muatan yang dibawa oleh kapal tersebut adalah 608.605 barel. Lokasi kecelakaan terjadi di Tanjung Karang Bolong. Secara kronologis, kapal tersebut tiba di area pelampung luar. Kemudian pilot pandu menyarankan kapal tersebut keluar dari sana. namun kapal terus berlayar ke area pilot pandu di pelampung jalur No. 1-2. Selanjutnya pilot pandu berhenti di pelapung No. 5-6 karena ombang besar. Di lain sisi, kapal MT. Lucky Lady tidak dapat berhenti atau berputar di stasiun pandu. Hal ini disebabkan
74
karena angin tenggata yang kuat. Selain itu pilot pandu terlalu dekat dengan karang. Kapal meneruskan perjalanannya dan menabrak benda yang tidak terpetakan pada radar. Setelah terjadi kecelakaan tersebut, pihak terkait seperti pemerintah daerah dan administrasi pelabuhan diberitahu mengenai pencemaran. Kemudian ada pencatatan muatan yang tumpah serta menjaga muatan yang masih tersisa. Pencemaran yang terjadi diatasi dengan cara yang sama seperti kejadian sebelumnya. Kemudian ada negosiasi mengenai kompensasi dari pihak perusahaan kepada nelayan yang mengalami kerugian. Kompensasi ini mencapai angka yang hampir sama dengan angka kompensasi sebelumnya.
8.2
Analisis Konflik
8.2.1 Jenis Konflik Hasil dari penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa terdapat satu jenis konflik yang sangat dominan di wilayah perairan Cilacap ini. Konflik itu adalah konflik lingkungan. Penyebab utama konflik ini adalah pencemaran yang terjadi karena kecelakaan kapal tanker yang mengangkut minyak mentah. Konflik lingkungan yang pertama disebabkan oleh kebocoran tanki Nomor 1 kapal tanker MT King Fisher pada tahun 2000. Kemudian konflik kedua terjadi karena lambung sebelah kanan tanki Nomor 1 kapal tanker MT Lucky Lady pecah sehingga minyak mentah tumpah ke perairan pada tahun 2004. Pada Gambar 16 diperlihatkan bagaimana proses terjadinya konflik lingkungan tersebut.
75
Kecelakaan kapal tanker
Laut tercemar
Nelayan tidak dapat melaut
Aktor: Kompensasi Perusahaan Nelayan Mu‐ Pem‐ Jumlah sya‐ belaan korban warah Pemerintah HNSI
Keterangan 1:
Keterangan 2:
= berhubungan
= konflik
= menyebabkan
= meminta
Gambar 17 Proses Konflik Lingkungan Kebocoran tanki akibat menabrak karang tersebut menyebabkan minyak mentah yang diangkut menggenangi permukaan perairan. Namun hingga saat ini belum dapat dipastikan sejauh mana tumpahan tersebut mencemari lingkungan laut. Sementara itu nelayan mengaku bahwa tumpahan minyak tersebut merusak jaring mereka. Walaupun telah seminggu hingga sebulan kejadian tersebut telah berlalu tetapi jika mereka menabur jaring dan mengangkatnya maka yang terangkat adalah minyak mentah berwarna hitam. Beberapa informan baik dari kalangan nelayan maupun aparat pemerintahan menyatakan bom minyak (oil boom) yang diberikan pada genangan minyak di permukaan akan mengakibatkan genangan tersebut tenggelam ke dasar laut. Hal ini yang menyebabkan jaring nelayan kotor terkena minyak mentah ketika mereka mengangkatnya. Sementara itu beberapa pihak menduga bahwa musim paceklik selama tiga tahun terakhir ini salah satu penyebabnya adalah karena tumpahan minyak tersebut. Dugaan ini seperti yang tertulis pada koran elektronik Tempo Interaktif pada hari Jumat tanggal 10 September 2004 pukul 16:57 dimana Ketua II HNSI Cilacap, Indon Cahyono mengatakan,”Ini musibah
76
besar bagi kami. Soalnya banyak ikan akan mati dan lainnya pergi menghindari perairan Cilacap, paling tidak untuk 3 tahun.” Tumpahan minyak yang mengakibatkan pencemaran tersebut melibatkan berbagai pihak turun tangan untuk mengatasinya. Dalam konflik lingkungan ini terdapat empat aktor utama, yaitu perusahaan, nelayan, HNSI, dan pemerintah yang di dalamnya juga terdapat aparat keamanan. Dalam kejadian tersebut nalayan meminta kompensasi atas kerugian yang mereka terima kepada perusahaan. Namun tentu saja permohonan ganti rugi ini juga melibatkan HNSI sebagai wadah dari para nelayan. Kemudian HNSI menghitung jumlah nelayan yang terkena kerugian dan harus mendapatkan kompensasi. Namun perusahaan menolak hal tersebut karena jumlah korban ternyata sangat banyak dan jauh dari perhitungan perusahaan. Menurut aparat pemerintahan dan juga nelayan, jika ada kejadian seperti ini maka jumlah nelayan akan melambung tinggi. Bahkan masyarakat biasa yang bukan nelayan bisa dihitung sebagai nelayan. Hal ini yang tidak disetujui oleh perusahaan. Penolakan perusahaan terhadap permintaan HNSI ini dibahas dalam sebuah musyawarah antara semua aktor terkait. Pembahasan mengenai jumlah korban yang harus menerima ganti rugi serta jumlah kompensasi menjadi polemik tersendiri dalam kejadian tersebut. Sementara itu minyak mentah yang tumpah di laut masih tersisa. Ketika perusahaan tidak menerima jumlah korban yang diajukan maka perusahaan menghentikan terlebih dahulu pembersihan minyak tumpah. Sementara itu nelayan menuntut dan bahkan berdemonstrasi untuk meminta hak mereka. Demonstrasi yang dilakukan oleh nelayan tidak tergolong anarki. Mereka hanya menyerukan hak-hak mereka dan membawa sependuksepanduk dengan berbagai macam tulisan. Situasi semakin memanas ketika nelayan melakukan demonstrasi. Di lain pihak perusahaan tidak mau menerima tuntutan kompensasi yang di luar perhitungan mereka. Hal ini mengakibatkan pemerintah turut ikut turun tangan dan melakukan pemeriksaan jumlah korban dan jumlah dana kompensasi yang harus dibayar. Setelah beberapa waktu berlalu, persoalan mengenai hal tersebut dibahas kembali dalam musyawarah. Para aktor terkait berunding hingga menemukan suatu mufakat. Setelah masing-masing aktor sepakat maka
77
perusahaan kembali membersihkan tumpahan minyak mentah hingga tuntas. Dana kompensasi disalurkan kepada nelayan yang menjadi korban. Dana kompensasi ini tidak menutupi kerugian yang dialami oleh nelayan. Namun mereka tidak dapat melakukan tindakan yang lebih jauh lagi sehingga mereka hanya pasrah menerimanya. Di lain pihak, nelayan masih ragu akibat dari tumpahan minyak mentah tersebut. Seperti telah dikutip dari koran Tempo di atas bahwa nelayan masih resah mengenai dampak jangka panjang yang akan terjadi. Mereka berpikir bahwa paceklik selama tiga tahun terakhir ini merupakan dampak jangka panjang dari kecelakaan kapal tanker tersebut.
8.2.2
Sifat Konflik Konflik lingkungan yang terjadi antara nelayan dan perusahaan
pertambangan memiliki dua sifat yaitu terbuka dan laten. Konflik terbuka terlihat ketika nelayan mulai melakukan demonstrasi atas penolakan perusahaan pertambangan dan pemberhentian pembersihan minyak mentah yang tumpah. Akar masalah ini adalah nelayan kehilangan mata pencahariannya karena pencemaran yang terjadi. Konflik laten antara nelayan dengan perusahaan pertambangan terjadi setelah dana kompensasi telah dibagikan. Nelayan merasa jumlah uang kompensasi yang mereka terima tidak sebanding dengan kerugian yang mereka alami. Namun mereka hanya diam saja dan pasrah menerima keadaan. Di pihak lain, mereka meragu dampak jangka panjang dari pencemaran tersebut. Mereka menduga bahwa paceklik selama tiga tahun ini dipengaruhi oleh kecelakaan yang terjadi saat itu. Konflik laten juga terjadi antara nelayan dengan organisasi tempat mereka bernaung yaitu kelompok nelayan dan HNSI. Hal ini terjadi karena adanya penurunan nilai kepercayaan. Jumlah kompensasi yang diberikan perusahaan pertambangan mencapai miliyaran rupiah namun nelayan hanya mendapatkan jumlah yang kecil. Selain itu peningkatan jumlah nelayan yang melambung tinggi saat adanya kecelakaan juga membuat kepercayaan para nelayan menjadi menurun.
78
8.2.3 Bentuk Konflik Konflik yang terjadi di perairan Cilacap tersebut adalah konflik vertikal. Konflik ini berbentuk vertikal karena melibatkan dua pihak yang memiliki kedudukan berbeda, yaitu nelayan dengan perusahaan pertambangan. Perbedaan kedudukan ini mengakibatkan nelayan didominasi oleh perusahaan pertambangan. Hal ini terlihat ketika perusahaan pertambangan menolak jumlah korban dan dana kompensasi yang diajukan oleh HNSI. Selain itu, dominasi perusahaan juga terlihat ketika pada akhirnya nelayan tidak dapat protes lagi mengenai jumlah dana kompensasi yang mereka terima. Nelayan juga bertindak pasrah ketika mereka berpikir bahwa pencemaran tersebut akan menimbulkan dampak berkepanjangan bagi mereka. Nelayan tidak dapat berbuat apapun untuk mengatasinya. Mereka hanya menduga dan menerima nasib. Pada akhirnya nelayan hanya bekerja seperti biasa setelah semua minyak tidak terlihat lagi di permukaan. Walaupun ada di antara mereka yang melakukan sedikit adaptasi dengan berlayar lebih jauh atau lebih lama untuk mendapatkan hasil tangkapan lebih baik.
8.2.4
Dinamika Konflik Konflik lingkungan yang terjadi di perairan Cilacap tersebut terjadi dua
kali. Namun kedua konflik tersebut memiliki kronologi yang sama, yaitu sebagai berikut: a.
Prakonflik terjadi pada saat HNSI mengajukan jumlah nelayan yang menjadi korban atas kecelakaan tersebut serta kompensasi yang harus dibayar oleh perusahaan pertambangan. Namun perusahaan pertambangan menolak jumlah tersebut.
b.
Konfrontasi terjadi saat perusahaan mengumumkan penolakan tersebut dan menghentikan proses pembersihan pencemaran yang ada di laut.
c.
Krisis konflik terjadi saat nelayan melakukan demonstrasi ke gedung pemerintahan karena penolakan jumlah kompensasi dan penghentian proses pembersihan pencemaran oleh perusahaan pertambangan. Keadaan tersebut disikapi oleh pemerintah dan HNSI dengan mengkaji ulang mengenai jumlah korban dan kompensasi yang harus dibayar oleh perusahaan. Setelah proses
79
pengkajian itu selesai, seluruh pihak terkait kembali melakukan musyawarah. Dalam pertemuan tersebut terjadi negosiasi antara HNSI dengan perusahaan pertambangan mengenai jumlah korban dan dana kompensasi. Kedua hal tersebut menjadi polemik tersendiri dalam musyawarah. Perusahaan tidak mempercayai HNSI ketika organisasi ini mengajukan jumlah nelayan yang menjadi korban sangat banyak. Jumlah korban tersebut melambung tinggi dikarenakan banyak masyarakat yang secara tiba-tiba memiliki status sebagai nelayan dan berhak mendapatkan kompensasi. Padahal banyak di antara daftar korban tersebut yang tidak bekerja sebagai nelayan. Berdasarkan hasil wawancara dan cerita dari informan serta nelayan diketahui bahwa seorang penjahit, anak di bawah umur, bahkan seorang ibu rumah tangga mendapatkan status sebagai nelayan. Status tersebut dibuktikan dengan selembar kupon yang menyatakan bahwa mereka berhak atas dana kompensasi. d. Ketika musyawarah telah mencapai suatu mufakat dan perusahaan menerima jumlah korban serta dana kompensasi yang harus dibayar maka konflik mulai reda. Perusahaan memberikan sejumlah uang kepada HNSI untuk disalurkan kepada para korban. Namun, setelah uang tersebut disalurkan kepada para korban terjadi suatu konflik yang baru yaitu konflik laten. Konflik ini terjadi karena dipicu oleh ketidakpercayaan nelayan terhadap HNSI mengenai jumlah uang kompensasi yang nelayan terima. Menurut nelayan jumlah uang kompensasi itu tergolong sedikit dan tidak menutupi kerugian yang mereka alami. Namun nelayan tidak melakukan tindakan lebih jauh untuk memperjuangkan uang kompensasi tersebut. Nelayan hanya menerima dan mempersiapkan diri untuk kembali melaut setelah tumpahan minyak hilang dari permukaan. Pada akhirnya konflik lingkungan tersebut dianggap selesai walaupun kenyataannya tidak demikian. Hal yang belum selesai tersebut terkait dengan konflik laten yang terjadi di kalangan nelayan serta kemungkinan dampak jangka panjang dari tumpahan minyak yang terjadi. 8.2.5
Manajemen Konflik Dalam konflik yang terjadi akibat kecelakaan kapal tanker ini dapat
diketahui bahwa karakteristik teknik penyelesaian masalah yang diambil adalah
80
dengan mencari jalan tengah untuk mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini ketika terjadi ketidakpercayaan akan jumlah korban yang mendapatkan kompensasi maka pihak pemerintah dan HNSI mendata ulang para korban. Kemudian mengajukan kembali pada perusahaan mengenai jumlah korban dan kompensasi yang harus dibayar. Proses untuk menyelesaikan konflik ini tergolong panjang. Hal ini disebabkan karena sering kali tuntutan HNSI tidak disetujui oleh perusahaan pertambangan. Untuk mencapai suatu kesepakatan maka dilakukan konsiliasi dimana diadakan sebuah pertemuan yang melibatkan seluruh perwakilan pihak terkait. Pemerintah menjadi mediator yang berfungsi sebagai penasihat antara kedua belah pihak, HNSI dan perusahaan pertambangan, dalam musyawarah. Di akhir keputusan, perusahaan akan memberikan kompensasi kepada nelayan berdasarkan jumlah nelayan yang menjadi korban serta jumlah dana kompensasi yang telah disepakati dalam pertemuan tersebut. 8.2.6
Dampak Konflik Konflik yang terjadi di Kelurahan Cilacap ini memang tidak tergolong
anarki sehingga tidak ada korban jiwa dan kerusakan bangunan yang terjadi. Namun bukan berarti hal ini tidak membawa dampak negatif. Berdasarkan pengamatan dari penelitian ini dapat dilihat bahwa terdapat beberapa damak negatif yang terjadi, yaitu: a.
Penurunan kepercayaan di kalangan nelayan terhadap perusahaan mengenai dampak dari pencemaran yang terjadi. Nelayan merasa bahwa pencemaran tersebut menimbulkan dampak dalam jangka panjang bagi perairan di sana. Selain itu penyelesaian pencemaran yang dilakukan oleh perusahaan dengan menenggelamkan minyak di permukaan ke dasar ternyata membuat nelayan semakin tidak dapat melaut. Selain itu kepercayaan nelayan juga menurun terhadap organisasi tempat mereka bernaung karena mereka meragu mengenai data jumlah nelayan dan jumlah uang kompensasi yang mereka terima.
b.
Polarisasi nelayan. Hal ini terjadi karena kepercayaan yang menurun di kalangan nelayan. Dengan kejadian tersebut secara tidak langsung terdapat
81
nelayan yang percaya terhadap HNSI dan ada pula nelayan yang tidak lagi percaya pada HNSI. Kubu nelayan yang tidak percaya ini kemudian bersikap pasrah dan tidak peduli jika terjadi hal-hal serupa. Mereka hanya fokus pada melaut saja. c.
Timbul masalah moral yang terlihat dari melambungnya data tentang jumlah nelayan. Berdasarkan cerita dari sejumlah nelayan, ketika ada kejadian kecelakaan minyak tumpah maka anak dan istri pun bisa memiliki status sebagai nelayan. Padahal mereka bukan orang yang memiliki pekerjaan menangkap ikan di laut. Selain itu ada pula masyarakat yang jelas-jelas bukan bermatapencaharian sebagai nelayan pun menjadi berstatus nelayan.
Selain dampak negatif, konflik yang terjadi juga menimbulkan dampak positif, yaitu: a.
Ikatan kelompok lebih erat. Memang benar adanya bahwa secara tidak langsung konflik ini mengakibatkan pengkubuan. Namun di pihak lain ada pula nelayan yang memperjuangkan kompensasi dari pihak perusahaan. Mereka ini memperlihatkan kekuatan yang lebih besar dan erat dibanding jika keadaan sedang dalam keadaan normal atau tidak ada konflik.
b.
Penyesuaian diri pada kenyataan dilakukan oleh para nelayan yang tetap ingin melaut walaupun harus menempuh jarak yang lebih jauh.
c.
Pengetahuan atau keterampilan meningkat. Nelayan pada umumnya menjadi memiliki pengetahuan mengenai suatu proses yang harus diperjuangkan apa bila terjadi kecelakaan kapal tanker atau konflik. Selain itu nelayan juga mengetahui bagaimana berbagai aktor tersebut bertindak jika kejadian serupa terjadi.
82
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1
Kesimpulan Karakteristik nelayan tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi
nelayan dalam menentukan zonasi. Zonasi yang berlaku di perairan Samudera Hindia tersebut khususnya perairan di wilayah Cilacap ditetapkan oleh pemerintah melalui keputusan menteri. Namun nelayan dapat menyampaikan aspirasinya dalam hal evaluasi. Dalam evaluasi biasanya nelayan menyampaikan keluhankeluahan mereka mengenai keberadaan kapal tanker dan kapal tongkang dalam jalur pelayaran. Aspirasi tersebut biasanya diberikan pada saat rapat kelompok nelayan. Zonasi perairan yang terdapat di wilayah Cilacap dapat mempengaruhi akses sumberdaya alam pesisir para nelayan. Akses tersebut diduga dipengaruhi oleh skala usaha nelayan. Jarak dan waktu yang ditempuh oleh nelayan mengalami perubahan setelah adanya zonasi terutama ketika semakin banyak jenis dan jumlah kapal yang berlayar di wilayah perairan tersebut. Walaupun menurut para nelayan, nelayan dapat melaut ke semua wilayah tanpa ada larangan, namun pada kenyataannya nelayan tidak dapat melaut di daerah lego jangkar. Selain itu nelayan tidak dapat dengan bebas melaut di wilayah pelayaran karena banyak kapal yang berlalu-lalang di wilayah tersebut. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil belum diimplementasikan dengan baik di wilayah perairan Cilacap khususnya di alur pelayaran. Terdapat konflik zonasi dimana terdapat konflik pemanfaatan wilayah yang sama oleh dua sektor yang berbeda yaitu kegiatan pelayaran dan kegiatan nelayan tangkap. Perubahan akses sumberdaya alam nelayan tersebut tidak menimbulkan konflik. Konflik terjadi akibat kecelakaan kapal tanker yang menghasilkan tumpahan minyak mentah di perairan Cilacap. Tumpahan minyak ini menyebabkan nelayan tidak dapat melaut karena terjadi pencemaran. Konflik yang terjadi di perairan Cilacap ini tergolong jenis konflik lingkungan dengan
83
sifat terbuka. Konflik ini melibatkan perusahaan pertambangan dengan nelayan sehingga merupakan konflik dengan bentuk vertikal. Konflik diselesaikan dengan jalan konsiliasi, negosiasi, dan mediasi. Pada akhirnya penyelesaian konflik dilakukan dengan memberikan kompensasi kepada nelayan yang menjadi korban. Dampak dari konflik ini adalah penurunan kepercayaan, polarisasi nelayan, dan timbul masalah moral. Selain dampak negatif, konflik ini juga memiliki dampak positif, yaitu ikatan kelompok menjadi kuat, penyesuaian diri pada kenyataan, dan pengetahuan yang meningkat.
9.2 Saran Beberapa saran yang dapat diajukan dari hasil penelitian ini adalah: 1.
Melakukan implementasi atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 dengan baik.
2.
Manfaatkan wilayah kewenangan pemerintah daerah dengan mengusahakan berbagai kegiatan perikanan di daerah perairan lokasi penelitian sesuai dengan keadaan alam di wilayah tersebut.
3.
Memulihkan daerah nursery ground yang berada di wilayah tersebut agar keberadaan ikan kembali banyak.
4.
Merancang pembangunan secara terpadu dengan pihak pelabuhan dalam rangka pemanfaatan wilayah pesisir yang berkelanjutan.
5.
Peningkatan sosialisasi mengenai jalur pelayaran kapal tanker dan tongkang agar tidak ada lagi jaring nelayan yang rusak karena tersangkut.
84
DAFTAR PUSTAKA Adhuri DS. 2005. Perang-perang atas laut, menghitung tantangan pada manajemen sumberdaya laut di era otonomi: pelajaran dari Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Jurnal Antropologi Indonesia. [Internet]. [dikutip 29 Desember 2010]; 29(03): 300-308. Aprinova C. 2006. Pemberdayaan komunitas miskin. Studi kasus di Desa Mambalan, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi NTB. [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Batubara E. 2005. Penetapan dan pengelolaan alur pelayaran dan perairan pelabuhan studi kasus Teluk Jakarta. [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Budimanta A. 2007. Kekuasaan dan penguasaan sumberdaya alam studi kasus penambangan timah di Bangka. Disertasi yang dibukukan. Jakarta [ID]: Indonesia Center for Sustainable Development. Budiono A. 2005. Keefektifan pengelolaan konflik pada perikanan tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur. [Disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Dahuri R, Rais J, Ginting PS, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Jakarta [ID]: Pradnya Paramita. Farid M. 2005. Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) dan partisipasi masyarakat pemanfaatan program kasus Desa Semedusari dan Desa Tambaklekok, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Ginting SP. 1998. Konflik pengelolaan sumberdaya keluatan di Sulawesi Utara dapat mangancam kelestarian pemanfaatannya. Pesisir dan Lautan. 01(02). Harmantyo D. 2007. Pemekaran daerah dan konflik keruangan, kebijakan otonomi daerah dan implementasinya di Indonesia. Jurnal Makara, Sains. [Internet]. [dikutip 6 November 2010]; 11(01): 16-22.
85
Hikmah Z. 2008. Analisis konflik nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Selat Madura dalam perspektif sosiologis-hukum. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Kinseng RA. 2007. Konflik-konflik sumberdaya alam di kalangan nelayan di Indonesia. Sodality. 01(01): 87-104. Lintong EE. 2005. Revolusi konflik pertambangan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara. [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2007. Pengelolaan sumberdaya dan lingkungan. Yogyakarta [ID]: Gajah Mada University Press. Pickering P. 2001. How to manage conflict, kiat menangani konflik. edisi ketiga. Jakarta [ID]: Erlangga. Satria A. 2009. Ekologi politik nelayan. Jakarta [ID]: LkiS Printing Cemerlang. . 2009. Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Jakarta [ID]: Pustaka Cidesindo. Singarimbun M. 2006. Metode penelitian survai. Yogyakarta [ID]: Pustaka LP3ES Indonesia. Soekanto S. 2002. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta [ID]: Raja Grfindo Persada. Susan N. 2010. Pengantar sosiologi konflik dan isu-isu konflik kontemporer. Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media Group. Uphoff NT, Cohen JM, Athur A. 1979. Rural development committe feasibility and aplication of rural develompment participation – a state-of-the-art populer. Cornell University [US].
86
LAMPIRAN Lampiran 1 Kerangka Sampling Daftar nelayan (nahkoda) RW X Kelurahan Cilacap RT. 01/X
24
UTG
48
WGN
71
SMW
1
LSG
25
SWL
49
WSN
72
TKN
2
AMD
26
SKN
50
NDN
73
TKC
3
BNI
27
TMN
RT. 06/X
74
TKM
4
DRT
5
DRN
6
RT. 04/X
51
KRO
28
TKR
52
KRN
KMN
29
ARJ
53
TIM
7
MSN
30
SNK
54
KSD
8
SNT
31
PMN
55
SRN
9
SYT
32
WYN
RT. 02/X
33
DYN
56
SMN
10
MSO
34
DMM
57
TGM
11
TMN
35
SMY
58
BSR
12
MJM
36
WRN
59
TKD
13
STD
37
CNT
60
MRN
14
PNM
RT. 05/X
61
TRM
15
MYT
38
BSM
62
SPM
16
KRN
39
BGS
63
UMY
17
HDI
40
SDM
64
NSM
18
KMN
41
SKM
65
KRM
19
KSM
42
SLH
RT. 03/X
43
SKN
66
LKS
RT. 07/X
RT. 08/X
20
TJH
44
STN
67
SNM
21
SKM
45
SRN
68
PMW
22
SRN
46
KTM
69
SKR
23
KSP
47
TSG
70
SGP
Keterangan:
= responden
87
Daftar Responden RW. X No.
Nama
No.
Nama
1
AMD
20
BGS
2
DRN
21
SDM
3
KMN
22
SKN
4
SNT
23
SRN
5
MJM
24
KTM
6
MYT
25
WGN
7
HDI
26
NDN
8
KMN
27
KRN
9
TJH
28
TIM
10
SKM
29
TGM
11
KSP
30
BSR
12
UTG
31
TRM
13
SMN
32
NSM
14
TMN
33
KRM
15
TKR
34
LKS
16
PMN
35
SKR
17
DMM
36
SMW
18
WRN
37
TKN
19
BSM
88
Lampiran 2 Kuesioner dan Pedoman Wawancara Mendalam KUESIONER PENELITIAN AKSES NELAYAN TERHADAP SUMBERDAYA PESISIR DI KAWASAN JALUR PELAYARAN (STUDI KASUS: KELURAHAN CILACAP, KECAMATAN CILACAP SELATAN, KABUPATEN CILACAP, PROVINSI JAWA TENGAH)
Nomor Responden Data Responden Nama Responden Umur Jenis Kelamin Alamat
: : Nelayan : : : :
Karakteristik Nelayan: 1. Apa pendidikan terakhir Anda? a. Tamat SD, Tidak Tamat SD, Tidak Sekolah b. Tamat SMP, Tidak Tamat SMP c. Tamat SMA, Perguruan Tinggi 2. Berapa jumlah penghasilan perbulan Anda? ............................................................................... 3. Berapa jumlah tanggungan Anda?...................................................................... Akses Politik Nelayan Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda contreng (√) pada kolom “Iya” atau “Tidak”. Tahap Perencanaan No. Pertanyaan 1.
Apakah Anda mengetahui adanya rencana pembagian wilayah laut?
2.
Apakah Anda diberi tahu oleh pemerintah mengenai rencana pembagian wilayah tersebut?
3.
Apakah ada diskusi atau musyawarah mengenai rencana pembagian wilayah tersebut?
Iya
Tidak
89
4.
Apakah Anda diundang dalam diskusi atau musyawarah penentuan rencana pembagian wilayah tersebut?
5.
Apakah Anda diminta untuk memberikan pendapat?
6.
Apakah Anda mengemukakan pendapat mengenai rencana pembagian wilayah tersebut?
Tahap Pelaksanaan No. Pertanyaan 1.
Apakah ada peta batas wilayah pesisir tersebut?
2.
Apakah ada musyawarah mengenai pembuatan peta tersebut?
3.
Apakah Anda di undang dalam pembuatan peta batas wilayah pesisir tersebut?
4.
Apakah Anda diberikan kesempatan untuk berpendapat?
5.
Apakah Anda mengemukakan pendapat Anda?
Iya
Tidak
Iya
Tidak
Tahap Pemanfaatan No. Pertanyaan 1.
Apakah ada perubahan batas wilayah penangkapan ikan sebelum dan sesudah pembuatan batas tersebut?
2.
Apakah Anda masih dapat berlayar ke tempat biasa Anda berlayar?
3.
Apakah ada sangsi dari pihak pemerintah atau perusahaan jika Anda melanggar batas wilayah penangkapan ikan tersebut?
4.
Apakah ada pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh pertambangan di wilayah laut?
5.
Apakah ada sangsi yang diberikan pada pertambangan jika melanggar batas wilayah?
6.
Apakah hasil tailing tambang masuk ke kawasan tangkap ikan?
7.
Apakah hasil tailing itu mencemari laut khususnya di wilayah tangkap ikan?
8.
Apakah pencemaran hasil tailing tersebut menggangu kegiatan menangkap ikan Anda?
9.
Apakah pencemaran tersebut mempengaruhi jumlah hasil tangkapan Anda?
90
Tahap Evaluasi No. Pertanyaan 1.
Apakah ada musyawarah untuk mengevaluasi hasil dari pembagian batas wilayah laut tersebut?
2.
Apakah Anda diundang ke musyawarah tersebut?
3.
Apakah Anda diminta untuk memberikan pendapat?
4.
Apakah Anda mengemukakan pendapat Anda?
5.
Apakah ada cara lain yang Anda lakukan untuk menyampaikan pendapat Anda mengenai hasil dari pembagian batas wilayah laut tersebut?
6.
Apakah Anda menyampaikan keluhan atau protes kepada pemerintah mengenai hasil dari pembagian batas wilayah laut tersebut?
7.
Apakah Anda menyampaikan keluhan atau protes kepada pertambangan mengenai hasil dari kegiatan penambangan yang mereka lakukan?
8.
Apakah keluhan atau pendapat Anda didengar oleh pihak yang Anda protes?
9.
Apakah pihak yang Anda protes memberikan tanggapan mengenai keluhan atau pendapat Anda?
Iya
Tidak
Akses Sumberdaya Alam Nelayan Cangkupan Wilayah Sebelum ada zonasi wilayah: 1. Apakah Anda dapat berlayar secara bebas di laut untuk menangkap ikan? a. Iya b. Tidak 2. Berapa jarak yang biasa Anda tempuh untuk menangkap ikan? ............................................................................................................................. 3. Berapa lama waktu berlayar yang Anda butuhkan untuk mengangkap ikan? ............................................................................................................................. Sesudah ada zonasi wilayah: 1. Apakah Anda dapat berlayar secara bebas di laut untuk menangkap ikan? a. Iya b. Tidak 2. Berapa jarak yang biasa Anda tempuh untuk menangkap ikan? ............................................................................................................................. 3. Berapa lama waktu berlayar yang Anda tempuh untuk menangkap ikan? ............................................................................................................................. Hak Pemanfaatan
91
Sebelum ada zonasi wilayah: No. Pertanyaan
Iya
1.
Apakah Anda bebas keluar masuk wilayah laut?
2.
Apakah Anda boleh menangkap ikan secara bebas di wilayah laut?
3.
Apakah Anda ikut mengawasi kelestarian laut?
4.
Apakah aturan yang digunakan untuk mengelola laut adalah aturan yang ditetapkan oleh nelayan?
5.
Apakah kepemilikan dan hak akses sumberdaya jelas?
Jenis ikan
Jumlah Tangkapan (Kg)
Harga jual (Rp/Kg)
Hasil tangkapan (RP) (jumlahxharga)
Tidak
Jenis alat tangkap yang digunakan
Sesudah ada zonasi wilayah: No. Pertanyaan 1.
Apakah Anda bebas keluar masuk wilayah laut?
2.
Apakah Anda dapat keluar masuk wilayah laut tetapi di zona tertentu?
3.
Apakah Anda boleh menangkap ikan secara bebas di wilayah laut?
4.
Apakah Anda boleh menangkap ikan secara bebas tetapi di zona tertentu?
5.
Apakah Anda ikut mengawasi kelestarian laut?
6.
Apakah aturan yang digunakan untuk mengelola laut adalah aturan yang ditetapkan oleh nelayan?
Iya
Tidak
92
7.
Apakah kepemilikan dan hak akses sumberdaya jelas?
Jenis ikan
Jumlah Tangkapan (Kg)
Harga jual (Rp/Kg)
Hasil tangkapan (RP) (jumlahxharga)
Jenis alat tangkap yang digunakan
93
Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Pemerintah (DKP) Hari/tanggal wawancara Lokasi wawancara Nama Umur Alamat
: : : : :
Pertanyaan: 1. Bagaimana gambaran peta batas laut bagi para nelayan khususnya nelayan tradisional? 2. Apakah nelayan boleh melaut di jalur berlabuhnya kapal tanker? 3. Apakah ada peraturan mengenai pemasangan jaring? 4. Siapakah yang menentukan batas zonasi tersebut? 5. Bagaimana keterkaitan batas melaut nelayan dengan pelayaran kapal tanker? 6. Pernahkah terjadi kecelakaan kapal tanker yang merugikan nelayan? 7. Apakah nelayan mengajukan protes? 8. Apakah hal ini menjadi sebuah konflik? 9. Bagaimanakah respon perusahaan terkait dan pemerintah? 10. Siapa saja pihak yang terlibat? 11. Bagaimana cara penyelesaiannya? 12. Apa dampak dari kecelakaan dan konflik tersebut?
94
Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Pemerintah (KPLP) Hari/tanggal wawancara Lokasi wawancara Nama Umur Alamat
: : : : :
Pertanyaan: 1. Bagaimana gambaran peta batas laut bagi jalur pelayaran kapal non nelayan? 2. Bagaimanakah proses terbentuknya zonasi jalur pelayaran tersebut? 3. Apakah jenis kapal non nelayan yang berlabuh di Tanjung Intan ini? 4. Berapa banyak kapal non nelayan yang berlabuh di pelabuhan ini? 5. Apakah pernah terjadi kecelakaan kapal non nelayan yang merugikan nelayan di perairan Cilacap ini? 6. Bagaimanakah prosesnya? 7. Apakah yang menyebabkan suatu kapal non nelayan dapat mengalami kecelakaan? 8. Apakah hal tersebut menyebabkan konflik? 9. Apakah dampak dari terjadinya kecelakaan tersebut? 10. Apakah zonasi ini berarti nelayan tidak boleh mengakses wilayah perairan dimana kapal non nelayan melintas atau melego jangkarnya?
95
Pedoman Wawancara Kepada Tokoh Adat Hari/tanggal wawancara Lokasi wawancara Nama Umur Alamat
: : : : :
Pertanyaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Sejak kapan Anda tinggal di desa ini? Sejak kapan Anda diangkat menjadi tokoh adat? Apa saja tugas-tugas Anda di desa ini? Apakah Anda tahu adanya zonasi di wilayah laut? Apakah Anda tahu proses terbentuknya zonasi di wilayah laut? Apakah masyarakat nelayan ikut dalam proses pembuatan zonasi di wilayah laut? Apakah ada aturan yang dibuat oleh masyarakat dalam mengatur dan mengelola sumberdaya di wilayah zonasi tersebut? Jika ada, jelaskan! Bagaimana cara masyarakat menjaga kelestarian sumberdaya laut dan pesisir di desa ini? Apakah ada diskusi antara pihak pemerintah dengan tokoh-tokoh masyarakat dan masyarakat ketika penetapan zonasi tersebut? Apakah tokoh-tokoh adat sering dilibatkan dalam rapat-rapat yang dilakukan oleh pihak pemerintah? Bagaimana respon masyarakat terhadap adanya zonasi laut tersebut? Apakah pernah terjadi konflik dengan adanya zonasi tersebut? Jika pernah terjadi konflik, apakah penyebab terjadinya konflik tersebut? Siapa saja pihak yang terlibat dalam konflik tersebut? Bagaimana cara penyelesaian konflik tersebut? Apa dampak yang ditimbulkan dari konflik tersebut? Bagaimana proses pembuatan RTRW yang disarankan sebagai solusi dari keadaan ini? Menurut pihak Anda bagaimana sebaiknya pengelolan sumberdaya alam pesisir ini agar tidak menimbulkan konflik?
96
Lampiran 3 Analisis Statistik (SPSS 17 Chi-Square)
Umur dan Tingkat Partisipasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
1.209a
2
.546
Likelihood Ratio
1.588
2
.452
.947
1
.330
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
37
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,27.
Pendidikan dan Tingkat Partisipasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
.493a
2
.781
Likelihood Ratio
.797
2
.671
Linear-by-Linear Association
.438
1
.508
N of Valid Cases
37
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,03.
Pendapatan Sebelum Paceklik dan Tingkat Partisipasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
1.085a
2
.581
Likelihood Ratio
1.470
2
.479
.865
1
.352
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
37
97
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
1.085a
2
.581
Likelihood Ratio
1.470
2
.479
.865
1
.352
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
37
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,24.
Pendapatan Saat Paceklik dan Tingkat Partisipasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
2.429a
2
.297
Likelihood Ratio
2.493
2
.288
.256
1
.613
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
37
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,16.
Jumlah Tanggungan dan Tingkat Partisipasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
1.897a
2
.387
Likelihood Ratio
2.144
2
.342
Linear-by-Linear Association
1.537
1
.215
N of Valid Cases
37
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,19.
98
Umur dan Tingkat Partisipasi Tahap Evaluasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
.588a
2
.745
Likelihood Ratio
.564
2
.754
Linear-by-Linear Association
.059
1
.808
N of Valid Cases
37
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,16.
Pendidikan dan Tingkat Partisipasi Tahap Evaluasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
6.401a
2
.041
Likelihood Ratio
5.867
2
.053
Linear-by-Linear Association
5.597
1
.018
N of Valid Cases
37
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,22.
Pendapatan Sebelum Paceklik dan Tingkat Partisipasi Tahap Evaluasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
3.955a
2
.138
Likelihood Ratio
5.711
2
.058
Linear-by-Linear Association
1.126
1
.289
N of Valid Cases
37
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,95.
99
Pendapatan Saat Paceklik dan Tingkat Partisipasi Tahap Evaluasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
1.210a
2
.546
Likelihood Ratio
1.196
2
.550
Linear-by-Linear Association
1.139
1
.286
N of Valid Cases
37
a. 4 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,30.
Jumlah Tanggungan dan Tingkat Partisiasi Tahap Evaluasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
1.129a
2
.569
Likelihood Ratio
1.133
2
.568
.885
1
.347
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
37
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,51.