PENGENDALIAN DEGRADASI SUMBERDAYA ALAM PESISIR MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR (Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota Bengkulu)
HENNY APRIANTY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul : Pengendalian Degradasi Sumberdaya Pesisir melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota Bengkulu) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Agustus 2008
Henny Aprianty NRP 995233
ABSTRACT HENNY APRIANTY. Degradation Control of Coastal Resources through the Empowerment of the Coastal Community (A Case Study of Fishermen and pond owners in Bengkulu City). Under the guidance of HADI S. ALIKODRA, KOOSWARDHONO,M., ENDRIATMO SOETARTO and LALA M. KOLOPAKING. There are two phenomena regarding the coastal areas of Bengkulu City. First, in general coastal resources have not been optimally managed. Second, partially the condition of the coastal areas in Bengkulu City has been marked by abrasion, destruction of mangrove trees, destruction of coral riffs, and high volume of sedimentation, unorganized and poor dwelling areas on the coast, not to mention the socio-economic condition of the people which is still below the poverty line. This research was aimed at studying the condition of natural resources on the coastal area, community structure and institutional structure that marginalize fishing community with the destruction of coastal resources and formulating a strategy to control the degradation of coastal resources through the empowerment of coastal community. The study used qualitative approach, quantitative approach and Multicriteria Decision Analysis (MCDA) approach. Qualitative approach primarily used emik approach through a case study. Quantitative approach used a survey method and Multi-criteria Decision Analysis (MCDA) approach with A’WOT technique. The condition of coastal resources was analyzed by analytical method of production surplus for the potential fishery resources, ecological analysis, and correlation analysis of spatial data for the condition of mangrove resources. Community structure of fishermen used the framework of sustainable livelihood. Community institution of fishermen was analyzed with descriptive analysis. The strategy for community empowerment used the analysis of integrated concept, SWOT and AHP. The research result showed that the condition of coastal resources in Bengkulu City, especially marine fishery resources to have been “over-fishing”, where the actual potential had exceeded conservation potential. It was caused by the increase in production input; at the same time, the catch effort was going down. The mangrove forest in the research area had been degradated while had decreased in size from 2002 until 2007 by 174.94 ha or on the average of 35 ha/year. The destruction of mangrove forest in Teluk Sepang village was due to the change of function from mangrove forest to palm oil plantation, holticulture plantation and the collection area of coal. In the meantime, in Sumberjaya village and Kandang village, the destruction was caused by the opening of coastal ponds and dwelling areas. In the structure of fishing community, it was revealed that physical capital, human capital, financial capital, natural capital and social capital of the fishermen in Teluk Sepang, Kandang and Sumberjaya were considered low. Social structure was stratified based on the difference in economic condition and kinds of job which places an employer (toke) on the highest social stratification. Employers control production asset and capital. The second layer was occupied by tekong,
pond owners and cingkau. The lowest layer was occupied by pelacak fishermen and pond labourer. The domination of the upper layer on production asset and capital had brought about the dependence on them, creating a patron-client structure and influencing the production method of coastal community towards natural resources. The institutional structure of work relationship, institution of result sharing, institution of marketing and capitalization in the research area showed different patterns. Fishermen in Teluk Sepang and Kandang with traditional catch patterns, patron-client structure in the work relationship did not exit. Meanwhile Sumberjaya fishermen with modern fishing patterns (having more variations in catching equipment and catching fleet), the institution of work relationship showed the existence of patron-client relationship. The institution of profit loss sharing among fishermen in Teluk Sepang consisted of divided-into-two and divided-into-three patterns, in Kandang consisted of divided-into-two and divided-into-six pattern, while Sumberjaya fishermen divided the result based on catching tools used. Long fishing net, floating net, fishing tool, and fish trap used divided-into-two pattern. Purse seine used divided-into-four pattern. The marketing system and capitalization of coastal community in the reseach area were controlled by toke,juragan and fish seller (cingkau) as owner capital and production asset. With this description, each structure was controlled by the power which owned the production asset and capital that made it asymmetrical between those who played a role and who didn’t in the production process, which finally created an income gap. The income gap between potential fishermen acted as a trigger for the destruction of coastal resources. Controlling strategy of coastal resource degradation through the empowerment of coastal community in Bengkulu City is supporting program of the lowest layer coastal community with done communities intervention with step as (a) by creating of institution economic (a family cooperation) based on of relationship social; (b) by activity of conservation and rehabilitation of mangrove forest with developing partisipative community; (c) by the improvement in catching technology based on environmental-friendly principle through a profesion grouping and (d) by improvement silvofishery system in management of pond with developing butoum up.
Keywords: degradation of coastal resources, community structure, community institution, community empowerment.
RINGKASAN HENNY APRIANTY. Pengendalian Degradasi Sumberdaya Pesisir melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi kasus pada nelayan dan petambak Kota Bengkulu). Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, KOOSWARDHONO,M., ENDRIATMO SOETARTO dan LALA M. KOLOPAKING. Ada dua fenomena yang tergambar di wilayah pesisir Kota Bengkulu, pertama pada umumnya pengelolaan sumberdaya pesisir belum dilakukan secara optimal, kedua secara parsial kondisi sebagian wilayah pesisir Kota Bengkulu mengalami kerusakan seperti abrasi pantai, rusaknya hutan mangrove, rusaknya terumbu karang, serta tingginya sedimentasi, penataan pemukiman di pinggir pantai yang kurang rapi dan kumuh, sementara itu kondisi sosial ekonomi tetap berada dibawah garis kemiskinan, tingginya konflik di wilayah pesisir dan banyak pemakaian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan mengkaji kondisi sumberdaya alam wilayah pesisir, struktur masyarakat dan struktur kelembagaan yang memarginalkan masyarakat pesisir dengan tindakan kerusakan sumberdaya pesisir dan merumuskan strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, pendekatan kuantitatif dan pendekatan Multicriteria Decision Analysis (MCDA). Pendekatan kualitatif lebih mengutamakan pendekatan emik dengan metode studi kasus. Pendekatan kuantitatif dengan metode survei dan pendekatan multicriteria decision analysis (MCDA) dengan teknik A’WOT. Kondisi sumberdaya alam wilayah pesisir dianalisis menggunakan analisis ekologis dan analisis korelasi data spatial. Struktur masyarakat pesisir menggunakan kerangka sustainable livelihood. Kelembagaan masyarakat pesisir dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Strategi pemberdayaan masyarakat menggunakan analisis konsep keterpaduan SWOT dan AHP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sumberdaya alam pesisir Kota Bengkulu diantaranya sumberdaya perikanan laut telah terjadi tangkap lebih (overfishing) dikarenakan potensi aktual melebihi potensi lestari. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan input produksi, tetapi upaya tangkap mengalami penurunan. Hutan mangrove di daerah penelitian mengalami degradasi, dimana terjadi penurunan luas dari tahun 2002 sampai tahun 2007 sebesar 174,94 ha atau rata-rata 35 ha/tahun. Penyebab kerusakan hutan mangrove di Kelurahan Teluk Sepang dikarenakan berubahnya fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit, perkebunan hortikultura dan tempat penampungan batu bara. Di Kelurahan Kandang dikarenakan pembukaan tambak. Sedangkan di Kelurahan Sumberjaya, dikarenakan pembukaan tambak dan permukiman. Dalam struktur masyarakat pesisir terungkap bahwa modal fisik, modal manusia, modal finansial, modal alamiah dan modal sosial yang dimiliki di Teluk Sepang, Kandang dan Sumberjaya terkategori rendah. Struktur sosial terstratifikasi berdasarkan perbedaan ekonomi dan jenis pekerjaan yang menempatkan juragan/toke pada lapisan sosial teratas. Juragan/toke menguasai aset produksi dan modal. Lapisan kedua ditempati oleh tekong, petambak dan cingkau. Lapisan paling bawah adalah nelayan pelacak dan buruh tambak.
Dominasi lapisan atas terhadap aset produksi dan modal menimbulkan ketergantungan relatif tinggi sehingga menciptkan struktur patron klien yang mempengaruhi cara produksi (made of production) masyarakat pesisir terhadap sumberdaya alam. Struktur kelembagaan hubungan kerja, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan pemasaran dan permodalan di daerah penelitian menunjukkan pola yang berbeda. Nelayan Teluk Sepang dan Nelayan Kandang dengan pola nelayan tangkap tradisional, kelembagaan hubungan kerja tidak menunjukkan ada struktur patron klien. Sedangkan nelayan Sumberjaya dengan pola nelayan modern (lebih beragam alat tangkap dan armada penangkapan), kelembagaan hubungan kerja menunjukkan adanya hubungan patron klien. Kelembagaan bagi hasil nelayan Teluk Sepang dengan pola bagi dua dan bagi tiga. Pola bagi hasil Nelayan Kandang bagi dua dan bagi enam. Nelayan Sumberjaya, bagi hasilnya berdasarkan alat tangkap. Alat tangkap jaring payang (gillnet), jaring insang hanyut/udang, pancing, dan bagan perahu mempuyai pola bagi dua. Alat tangkap jaring pukat cincin (purse seine) mempuyai pola bagi empat. Sistem pemasaran dan permodalan nelayan Teluk Sepang di kendalikan oleh bagian pemasaran dari kelompok nelayan, sedangkan pemasaran hasil di Nelayan Kandang dikendalikan toke/juragan/keluarga. Sementara itu sistem pemasaran dan permodalan Nelayan Sumberjaya di kendalikan juragan/toke dan cingkau (pedagang ikan). Dengan gambaran tersebut ternyata masing-masing struktur digerakkan kekuatan yang memiliki asset produksi dan modal sehingga menimbulkan hubungan asimetris antara yang berperan dan yang tidak berperan dalam proses produksi, yang akhirnya menciptakan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan pendapatan antar nelayan berpotensi sebagai pemicu kerusakan sumberdaya alam pesisir. Hubungan kerja, bagi hasil dan pemasaran serta permodalan dalam komunitas petambak sebagian besar digerakkan oleh pemilik modal (juragan/toke/perusahaan ikan) sehingga terbentuk pola hubungan patron klien yang selain merupakan hubungan kerja secara ekonomi juga terjadi hubungan sosial. Semakin menguatnya sistem patron klien dikalangan petambak menciptakan ketidak merataan distribusi pendapatan sehingga menyebabkan kemiskinan yang berpotensi mendorong tindakan merusak sumberdaya alam pesisir. Strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir adalah program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas dengan langkah-langkah pemberdayaan yang bertujuan (a) pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasiskan kekerabatan, (b) kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan partisipatif; (c) pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompok-kelompok profesi, dan (d) mengembangkan sistem silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatanm buttom up.
Kata Kunci : degradasi sumberdaya alam pesisir, struktur masyarakat, kelembagaan masyarakat, pemberdayaan masyarakat.
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tampa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGENDALIAN DEGRADASI SUMBERDAYA ALAM PESISIR MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR
(Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota Bengkulu)
HENNY APRIANTY
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada
:
Ujian Tertutup
: DR. IR. Etty Riani, MS
Ujian Terbuka
: 1. Prof. DR. IR. Cecep Kusmana, MS 2. Prof. DR. IR. Abdullah Syarief M., MS
Judul Disertasi
Nama NRP Program Studi
: Pengendalian Degradasi Sumberdaya Pesisir melalui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota Bengkulu) : Henny Aprianty : 995233 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra,MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono M, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Anggota
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof.Dr. Ir. Surjono H. Sutjahtjo,MS
Tanggal Ujian : 25 Agustus 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar N, MS
Tanggal Lulus : 09 September 2008
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirrabil’aalamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi dengan judul: Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir
melalui Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir (Studi kasus di komunitas nelayan dan petambak Kota Bengkulu).
Pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir Kota Bengkulu
dalam bentuk kelembagaan partisipatif yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan yang berbasiskan kekerabatan. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada Prof. DR. Ir. Hadi S. Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing, Prof. DR. Ir. Kooswardhono M, MSc, Prof. DR. Endriatmo Soetarto, MA dan DR. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, dorongan semangat dan moril serta nasehat, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada : 1. Rektor Universitas Prof. DR. Hazairin, SH Bengkulu yang telah memberikan izin tugas belajar di sekolah pascasarjana IPB. 2. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana IPB yang telah mengarahkan dan memfasilitasi penulis selama mengikuti pendidikan. 3. Penguji luar komisi pada ujian tertutup DR. IR. Etty Riany, MS. Prof. DR. IR. Cecep Kusmana, MS (Guru Besar Departemen Silvikultur, Fakultas kehutanan IPB) dan Prof. DR. IR. Abdulllah Syarief.M, MS. (Peneliti Utama Biologi Satwa Liar pada Puslitbang Hutan dan Konservasi, Departemen Kehutanan) sebagai penguji luas komisi pada ujian terbuka serta seluruh rekan-rekan yang secara langsung maupun tidak langsung telah memotivasi dalam penyelesaian disertasi. Do’a yang tulus dan ucapan terima kasih penulis sampaikan, khusus untuk suamiku tercinta Zurqani Ridwan, S.Sos, ananda Aurora Hega Ramadhanty,
Muhammad Adha Ridwan, Ayahnda Drs. Nurdin Kulana, Ibunda Halimah Djapiloes, Kakanda Win Heryati, adinda Nopetri Elmanto dan Ahmad Yani serta keluarga besar yang senantiasa telah memberikan do’a, kesabaran, dorongan, harapan, pengertian dan bantuan yang diberikan selama menempuh pendidikan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak terlepas dari kelemahan dan kekurangan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Semoga disertasi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Bogor,
Agustus 2008
Henny Aprianty
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manna, Bengkulu Selatan pada tanggal 11 April 1971 sebagai anak kedua dari pasangan H. Drs. Nurdin Kulana dan Hj. Halimah Djapiloes. Pendidikan sarjana (S1) di tempuh di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Bengkulu, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Program Pascasarjana (S2) Universitas Andalas Padang dan menamatkannya pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis menjadi staf pengajar di Fakultas IlmuIlmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu. Selanjutnya pada tahun 1999/2000 melanjutkan ke program doktor (S3) pada program studi ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis menikah pada tahun 1999 dengan Zurqani Ridwan, S.Sos dan telah dikarunia dua orang anak, yaitu putri pertama Aurora Hega Ramadhanty dan putra kedua Muhammad Adha Ridwan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
iii v vii
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan Penelitian 1.3. Kerangka Pemikiran 1.4. Perumusan Masalah Penelitian 1.5. Novelty
1 1 3 3 5 6
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerusakan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir 2.2. Sumberdaya Perikanan Laut 2.3. Hutan Mangrove 2.4. Struktur Masyarakat Pesisir 2.41. Masyarakat nelayan 2.4.2. Petambak 2.5. Kelembagaan Masyarakat Pesisir 2.5.1. Konsep Kelembagaan 2.5.2. Sistem Kelembagaan Masyarakat Pesisir 2.4. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
7 7 7 8 16 16 19 20 20 21 27
III. METODE PENELITIAN 3.1. Pemilihan Wilayah Studi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Pendekatan Penelitian 3.2.2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data 3.2.3. Unit Penelitian dan Jumlah Responden 3.2.4. Metode Analisis data
33 33 34 34 35 37 39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Eksploitasi Sumberdaya Alam Pesisir di Lokasi Penelitian 4.1.1. Usaha Perikanan Tangkap 4.1.2. Usaha Budidaya Tambak 4.2. Kondisi Sumberdaya Alam Pesisir Kota Bengkulu 4.2.1. Sumberdaya Perikanan Laut 4.2.2. Mangrove
48 48 48 54 58 58 62
i
4.3. Struktur Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu 4.3.1. Keragaan Modal Struktur Masyarakat Pesisir 4.3.2. Pelapisan Sosial 4.4. Kelembagaan Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu 4.4.1. Kelembagaan Perikanan Tangkap 4.4.2. Kelembagaan Budidaya Tambak 4.5. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir 4.5.1. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu 4.5.2. Perencanaan Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir melalui Intervensi Komunitas Masyarakat Pesisir Lapisan Bawah V.
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan 5.2. Saran
74 77 98 103 103 123 129 129 139
144 144 145
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
146 155
ii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Karakter sumberdaya yang dihadapi masyarakat nelayan- petani Jumlah populasi responden di Kelurahan Sumberjaya Daftar 15 informan yang diwawancarai Indikator dan parameter kerangka Sustainable livelihood (SL) Standar matriks kombinasi SWOT Armada penangkapan nelayan di lokasi penelitian tahun 2006 Perkembangan armada penangkapan berdasarkan jenis mesin motor tahun 2004 dan tahun 2006 8. Pendapat responden tentang peningkatan usaha perikanan tangkap 9. Jumlah dan jenis produksi perikanan laut di daerah penelitian tahun 2004 dan tahun 2006 10. Jenis alat tangkap nelayan di daerah penelitian 11. Perkembangan luas tambak di daerah penelitian tahun 2002 dan tahun 2006 12. Analisis kualitas air di Kelurahan Kandang 13. Pendapat responden tentang berkembangnya usaha budidaya tambak di daerah penelitian 14. Perkembangan luas dan produksi tambak di Kota Bengkulu tahun 2002-2006 15. Jenis alat tangkap nelayan Kota Bengkulu 16. Upaya tangkap dan produksi perikanan laut Kota Bengkulu 17. Lokasi mangrove di Propinsi Bengkulu tahun 2002 18. Lokasi mangrove di Kota Bengkulu tahun 2002 19. Penurunan luas hutan mangrove di daerah penelitian pada tahun 2002 dan tahun 2006 20. Luas penutupan lahan (Landcover) di daerah penelitian 21. Etnis masyarakat pesisir di daerah penelitian 22. Modal fisikal nelayan di daerah penelitian 23. Kelompok usia di Teluk Sepang berdasarkan tingkat pendidikan 24. Kelompok usia di Sumberjaya berdasarkan tingkat pendidikan 25. Kelompok usia di Kandang berdasarkan tingkat pendidikan 26. Masalah kesehatan yang dialami masyarakat pesisir di daerah penelitian 27. Pendapatan nelayan di daerah penelitian 28. Pendapatan petambak di daerah penelitian 29. Sumber modal usaha masyarakat pesisir di daerah penelitian 30. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Teluk Sepang 31. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Sumberjaya
iii
17 38 39 42 46 48 49 51 51 53 55 55 56 57 58 59 62 63 64 73 76 77 81 81 82 83 85 86 87 89 89
32. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Kandang 33. Kondisi sanitasi lingkungan masyarakat pesisir di daerah penelitian 34. Dua pilihan masyarakat pesisir Teluk Sepang menghadapi musim paceklik 35. Dua pilihan masyarakat pesisir Sumberjaya menghadapi musim paceklik 36. Dua pilihan masyarakat pesisir Kandang menghadapi musim paceklik 37. Perbandingan tingkat kepercayaan dalam komunitas 38. Perbandingan tingkat kepercayaan dengan komunitas lain 39. Pendapat masyarakat pesisir berdasarkan prinsip kerjasama 40. Stratifikasi sosial masyarakat pesisir Kota Bengkulu dalam pandangan nelayan dan petambak 41. Pola hubungan kerja nelayan di daerah penelitian 42. Pola bagi hasil Nelayan Teluk Sepang 43. Pola bagi hasil Nelayan Kandang 44. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring pukat cincin 45. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring insang hanyut/udang 46. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring payang 47. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada bagan perahu 48. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada kapal pancing 49. Pola hubungan kerja petambak di daerah penelitian 50. Pola bagi hasil petambak di daerah penelitian 51. Tempat pemasaran hasil panen tambak di daerah penelitian 52. Sumber pinjaman modal bagi petambak di daerah penelitian 53. Hasil analisis dan akumulasi pendapat responden untuk komponen internal SWOT 54. Hasil analisis dan akumulasi pendapat responden untuk komponen eksternal SWOT 55. Matriks SWOT untuk penentuan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengendalian degradasi sumberdaya Pesisir Kota Bengkulu
iv
89 90 92 93 93 94 94 96 102 104 113 114 115 115 116 116 116 124 125 126 128 130 131
133
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Halaman
Kerangka pemikiran pengendalian degradasi sumberdaya pesisir Kota Bengkulu melalui pemberdayaan masyarakat pesisir Lokasi penelitian di Kota Bengkulu Rangkaian kerja analisis SWOT Proses hirarki penentuan prioritas strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir Perkembangan armada penangkapan Nelayan Teluk Sepang menurut jenis mesin di Kota Bengkulu tahun 2004 dan tahun 2006 Perkembangan armada penangkapan Nelayan Sumberjaya menurut jenis mesin di Kota Bengkulu tahun 2004 dan tahun 2006 Perkembangan armada penangkapan nelayan Kandang menurut jenis mesin di Kota Bengkulu tahun 2004 dan tahun 2004 Perkembangan produksi perikanan Laut di daerah penelitian tahun 2004 dan tahun 2006 Perkembangan jenis alat tangkap nelayan di daerah penelitian tahun 2004 dan tahun 2006 Perkembangan luas tambak di daerah penelitian tahun 2004 dan tahun 2006 55 Perkembangan luas dan produksi tambak di daerah penelitian Produksi aktual, potensi lestari dan upaya tangkap sumberdaya perikanan laut Kota Bengkulu tahun 1990-2006 Perkembangan armada tangkap di Kota Bengkulu tahun 1990-2006 Penurunan luas mangrove di daerah penelitian Sebaran mangrove di Kelurahan Sumberjaya tahun 2002 Sebaran mangrove di Kelurahan Sumberjaya tahun 2007 Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2002 Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2007 Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2002 Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2007 Pola I hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang Pola II hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang Pola I hubungan kerja nelayan sampan di Kandang Pola II hubungan kerja Nelayan Kandang Pola hubungan kerja tekong dan pelacak di Sumberjaya Pola hubungan kerja juragan/toke dan nelayan di Sumberjaya Distribusi pemasaran ikan pada komunitas Nelayan Teluk Sepang
v
5 33 46 47 49 49 50 51 53
57 60 61 64 66 67 68 69 70 71 106 106 106 107 108 110 117
28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.
Distribusi pemasaran udang pada komunitas Nelayan Teluk Sepang Distribusi pemasaran hasil tangkapan Nelayan Kandang Distribusi pemasaran ikan nelayan jaring payang/bagan perahu/pancing Distribusi pemasaran ikan nelayan jaring hanyut/udang Distribusi pemasaran ikan nelayan pikat cincin Pola hubungan kerja kegiatan pertambakan di daerah penelitian Rantai perdagangan hasil panen tambak di daerah penelitian Hasil analisis matrik SWOT dengan kombinasi faktor internal dan eksternal Strategi pemberdayaan masyarakat pesisir dengan komponen prioritas SWOT Prioritas komponen kekuatan (Strength) Prioritas komponen kelemahan (Weaknesses) Prioritas komponen peluang (Opportunity) Prioritas komponen ancaman (Treaths) Prioritas kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu Prioritas strategi pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu
vi
118 119 120 120 121 124 127 132 135 135 136 137 138 139 139
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. 2. 3. 4.
hal Pedoman wawancara pokok penelitian struktur sosial Kuesioner penentuan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir alam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir Kota Bengkulu Tabel keragaan modal struktur masyarakat pesisir di daerah penelitian Gambaran umum daerah penelitian
Vii
155 156 157 158
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi
perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut MacDonald (2005), sekitar 70% penduduk dunia tinggal di wilayah pesisir, sehingga menjadikan kawasan ini terkonsentrasi berbagai pusat kegiatan ekonomi seperti perikanan, pariwisata, perhubungan, perindustrian, pemukiman, pertahanan dan keamanan (Clark, 1998; Supriharyono, 2000; MacDonald, 2005). Begitu beragamnya aktivitas di wilayah pesisir, menjadikan wilayah pesisir sebagai sumber konflik dari berbagai kepentingan, sehingga sangat rentan dari berbagai dampak kegiatan seperti pencemaran, pantai yang terabrasi, banjir rob, kerusakan hutan mangrove, kerusakan padang lamun dan kerusakan terumbu karang (Dahuri, 2001; Bengen, 2002). Di beberapa wilayah pesisir Indonesia, seperti pesisir Pantai Utara Jawa, Teluk Jakarta, Selat Malaka, Pesisir Kepulauan Riau, Pantai Utara Kalimantan Barat dan lain-lain, telah mengalami eksploitasi berlebihan terhadap mangrove dan terumbu karang, tangkap lebih (overfishing), abrasi pantai dan pencemaran (Cincin-Sain, 1998). Bahkan Angka-angka kerusakan sumberdaya alam pesisir menunjukan tingkat sangat mengkhawatirkan seperti 72% terumbu karang rusak (22% baik dan 6% sangat baik) dan 40% hutan mangrove rusak (Alikodra, 2005). Kota Bengkulu merupakan salah satu wilayah pesisir di Propinsi Bengkulu yang terletak di kawasan Pantai Barat Sumatera, secara geografis, Kota Bengkulu memiliki garis pantai ±60 km dengan 60% masyarakatnya terkonsentrasi di wilayah pesisir dan memanfaatkan sumberdaya alam pesisir sebagai sumber mata pencaharian. Ada dua fenomena bertolak belakang yang tergambar dari wilayah pesisir Kota Bengkulu, yaitu pertama, pada umumnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir belum dilakukan secara optimal, dan kedua, secara parsial kondisi sebagian wilayah pesisir Kota Bengkulu mengalami kerusakan seperti terjadinya abrasi pantai yang menyebabkan kemunduran garis pantai 1-5 m/tahun. Selain itu juga telah terjadi pengikisan daerah pemukiman nelayan sebesar 50 meter ke dalam di beberapa kelurahan Kota Bengkulu (Dinas
Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir laut. Hal lain yang juga cukup mengkhawatirkan adalah terjadinya alih fungsi lahan di wilayah pesisir Kota Bengkulu menjadi sawah, perkebunan rakyat dan perkebunan besar sehingga terjadi penyusutan hutan mangrove di wilayah pesisir (Laporan Fakultas Kehutanan IPB, 2000), serta tingginya sedimentasi sehingga terjadi pendangkalan alur pelabuhan (Perum Pelindo II Pulau Baai, 1993). Sementara itu, kondisi sosial ekonomi masyarakatnya tetap berada dibawah garis kemiskinan, dari 162.960 jiwa penduduk di wilayah pesisir 70% masih tergolong miskin (BPS Kota Bengkulu, 2003). Permasalahan kemiskinan ini terlihat dari rendahnya tingkat pendapatan masyarakat pesisir serta tingginya konflik di wilayah pesisir, masih banyaknya pemakaian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (trawl), penangkapan menggunakan bom serta pembangunan fasilitas sumberdaya pesisir dan laut seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI) banyak tidak berfungsi (Dinas perikanan dan kelautan, 2000). Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir Kota Bengkulu tidak terlepas dari pemanfaatan wilayah pesisir yang hanya berorientasi ekonomi dari pihak pemerintah daerah selaku penanggung jawab kegiatan pembangunan dan penentu kebijakan serta masyarakat pesisir yang memanfaatkan sumberdaya pesisir secara langsung. Berbagai macam dampak negatif yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan tersebut harus ditanggung oleh masyarakat pesisir. Dengan hilangnya mangrove, masyarakat pesisirlah yang terutama harus merasakan intrusi air laut ke dalam sumber-sumber air tawar, berkurangnya hasil tangkapan ikan dan udang, pengaruh abrasi pantai, serta lingkungan pantai yang gersang. Kondisi ini memunculkan ketidakberdayaan masyarakat pesisir mengatasi tekanan hidup yang semakin tinggi, sehingga memaksa mereka mengeksploitasi sumberdaya perikanan laut secara berlebihan sehingga terjadi kerusakan pada biota laut, terancamnya pemukiman masyarakat pesisir, terancamnya mata pencaharian masyarakat pesisir. Jika keadaan tersebut berlanjut, maka ekosistem wilayah pesisir akan mengalami kerusakan yang tidak mudah untuk segera dipulihkan.
Dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, gagasan tentang pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir yang masih tersisa perlu terus dilakukan. Pengendalian wilayah pesisir memerlukan upaya yang efektif dari masyarakat pesisir dalam mengatasi masalah lingkungan, menghasilkan perubahan ekonomi dan dapat diterima oleh masyarakat. Selama ini strategi pengendalian degradasi sumberdaya alam wilayah Kota Bengkulu belum secara holistik dan menyeluruh dilakukan, terutama pada masyarakat pesisir sebagai pelaku utama dalam memanfaatkan sumberdaya alam pesisir. Untuk itu diperlukan penelitian yang mengkaji sumberdaya alam pesisir dan karakteristik masyarakat pesisir untuk menentukan strategi yang efektif dan sesuai bagi pembangunan wilayah pesisir.
1.2. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji kondisi sumberdaya perikanan laut, sumberdaya mangrove di wilayah pesisir Kota Bengkulu 2. Mengkaji struktur masyarakat dan struktur kelembagaan yang memarginalkan masyarakat pesisir dengan tindakan kerusakan sumberdaya pesisir 3. Merumuskan strategi pengendalian degradasi sumberdaya
pesisir
melalui pemberdayaan masyarakat pesisir
1.3. Kerangka Pemikiran Degradasi sumberdaya alam pesisir terjadi akibat adanya aktivitas manusia dan pembangunan sektor perikanan, pertanian, perkebunan, perindustrian dan permukiman. Semakin tinggi pertumbuhan dan pesatnya pembangunan di wilayah pesisir maka tekanan ekologis terhadap sumberdaya pesisir semakin meningkat. Meningkatnya
tekanan
ini
tentu
dapat
mengancam
keberadaan
dan
keberlangsungan sumberdaya pesisir. Jika tekanan tersebut dibiarkan terus menerus, maka hasilnya akan menyebabkan penyusutan dan habisnya sumberdaya alam pesisir (Soemarwoto, 1997). Kerusakan sumberdaya pesisir tersebut berdampak pada terancamnya mata pencaharian masyarakat pesisir sehingga memunculkan permasalahan pemiskinan. Proses pemiskinan yang dialami
masyarakat pesisir berdampak pada keseimbangan antara sistem alam dan sistem sosial di wilayah pesisir. Keseimbangan secara sosial, ekonomi dan ekologi pada tingkat sumberdaya alam dan lingkungan mampu menciptakan kelestarian sumberdaya alam (Odum, 1971; FAO, 2004). Apabila terjadi sebaliknya, maka tingkat degradasi sumberdaya perikanan laut, sumberdaya mangrove akan semakin parah. Di tingkat masyarakat nelayan, adanya keseimbangan tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan
hidup,
kualitas
pendidikan,
peningkatan akses terhadap sumberdaya, berkembangnya kapasitas dan kelembagaan nelayan, dan jika sebaliknya akan menyebabkan kemiskinan itu menjadi permanen. Sebagai sebuah komunitas di wilayah pesisir, masyarakat pesisir mempuyai struktur masyarakat dan struktur kelembagaan yang menggerakan kehidupan mereka menghadapi sumberdaya pesisir. Struktur masyarakat pesisir dikaji dari modal fisik, modal manusia, modal sosial, modal finansial, dan modal alamiah.
Struktur
kelembagaan
masyarakat
pesisir
dikaji
dari
struktur
kelembagaan kerja, kelembagaan bagi hasil dan kelembagaan pemasaran dan permodalan. Diduga ada sistem dalam struktur masyarakat dan struktur kelembagaan masyarakat pesisir yang menjadi faktor penyumbang terjadinya tindakan kerusakan lingkungan. Dalam
rangka
mencegah
kerusakan
sumberdaya
tersebut,
perlu
keterlibatan masyarakat pesisir yang melembaga, yang secara sadar dan bertanggung jawab melibatkan diri dalam pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.
Untuk
itu
perlu
pemberdayaan
masyarakat
yang
mampu
meningkatkan pendapatan dan status sosial ekonomi. Kerangka pemikiran dalam penelitian pengendalian degradasi sumberdaya melalui pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Wilayah pesisir
Struktur masyarakat
Status sumberdaya Alam
Struktur kelembagaan
rusak Degradasi Sumberdaya Pesisir
Tindakan merusak
SWOT Alternatif Strategi
MAHP Prioritas Pemberdayaan
Gambar 1.
Kerangka pikir pengendalian degradasi sumberdaya pesisir Kota Bengkulu melalui pemberdayaan masyarakat pesisir (Sumber: dimodifikasi dari Masyhudzulhak, 2004 dan M. Karim, 2005)
1.4. Perumusan Masalah Penelitian Masyarakat pesisir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pembangunan di wilayah pesisir. Masyarakat pesisir memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah pesisir sebagai sumber mata pencaharian. Pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir yang tidak terkendali dan tidak memperhatikan aspek keberlanjutan dapat menyebabkan terjadinya abrasi pantai, pencemaran pantai, overfishing, kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang dan ekosistem laut lainnya. Abrasi pantai terjadi disebabkan tidak optimalnya penahan gelombang dan banyaknya aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab, seperti pengrusakan karang pantai, penebangan bakau, penambangan pasir, serta bangunan yang melewati garis pantai. Pencemaran pantai bersumber dari kegiatan industri (pertambangan timah dan minyak, angkutan laut dan pariwisata bahari), kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian. Overfishing dipicu beberapa hal, seperti
banyaknya kegiatan penangkapan ikan yang berukuran belum layak tangkap serta lajunya penangkapan yang melebihi nilai maximum sustainable yield (MSY). Penangkapan ikan yang menggunakan cara-cara merusak seperti penggunaan bom dan potassium, terutama di sekitar terumbu karang, mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu karang untuk jangka panjang, tanpa terkecuali ikan-ikan yang bukan merupakan tujuan penangkapan. Kerusakan mangrove sebagian besar disebabkan konversi lahan, penebangan kayu dan pencemaran oleh berbagai kegiatan pembangunan. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa menurunnya sumberdaya alam di wilayah pesisir diakibatkan oleh aktivitas manusia terutama masyarakat pesisir. Oleh sebab itu, pokok permasalahan dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1.
Bagaimana kondisi sumberdaya perikanan laut, sumberdaya mangrove di wilayah pesisir Kota Bengkulu ?
2.
Bagaimana struktural masyarakat pesisir Kota Bengkulu ? Adakah struktur kelembagaan masyarakat pesisir menjadi faktor penyumbang terjadinya degradasi sumberdaya pesisir ?
3.
Bagaimana strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir yang efektif dalam meningkatkan kesejahteraan dan lingkungan secara berkelanjutan?
1.5. Novelty Penelitian-penelitian mengenai masyarakat pesisir di Propinsi Bengkulu selama ini masih bersifat sporadik dan bersifat parsial, sedangkan dalam penelitian ini sifat dasarnya adalah bersandarkan pada pendekatan secara holistik dan mendalam dengan memfokuskan apa yang dimiliki oleh masyarakat pesisir. Konsep ini digunakan sebagai tolak ukur dalam pemberdayaan masyarakat pesisir yang
karakteristiknya
berbeda
secara
sosiologis
dan
ekologis
karena
penyeragaman cara pemberdayaan akan menimbulkan kegagalan dalam implementasi program, seperti yang sering terjadi sampai saat ini. Output dari penelitian ini adalah pembentukan kelembagaan ekonomi partisipatif berbasiskan kekerabatan dalam pelestarian sumberdaya pesisir Kota Bengkulu.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerusakan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir Ekosistem wilayah pesisir dan laut merupakan suatu himpunan integral komponen hayati dan nir-hayati, mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan meningkatkan mutu kehidupan.
Komponen hayati dan nir-hayati secara
fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu ekosistem (Odum, 1983). Ekosistem wilayah pesisir terdiri dari hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuaria, ekosistem pantai dan ekosistem pulaupulau kecil (Dahuri et.al., 2001; Bengen, 2002).
Dengan adanya tekanan
pertumbuhan penduduk dan banyaknya aktivitas pembangunan di pesisir untuk berbagai kegiatan (permukiman, pertanian, industri, perkebunan), maka tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir semakin meningkat pula (Bengen, 2002). Permasalahan penting di wilayah pesisir adalah kerusakan hutan mangrove, kerusakan terumbu karang, pencemaran, akumulasi limbah dan abrasi pantai. Menurut Budhisantoso (1998), permasalahan utama yang dihadapi dalam pengembangan pengelolaan kawasan pesisir, adalah menyusutnya persediaan sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan.
2.2. Sumberdaya Perikanan Laut Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang didukung oleh sumberdaya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup seluruh potensi lautan maupun perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk kegiatan usaha perikanan (Setyohadi, 1997). Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang relatif besar, akan tetapi sumberdaya ini belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut Aziz et al. (1998), potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6,18 juta ton pertahun, yang terdiri dari potensi ikan pelagis besar 975,05 ribu ton, ikan pelagis kecil 3,23 juta ton, ikan demersal 1,78 juta ton, ikan karang konsumsi 75 ribu ton, udang penaid 74,00 ribu ton, lobster 4,80 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton.
Meskipun secara keseluruhan pemanfaatan sumberdaya perikanan baru mencapai 58%, namun beberapa jenis ikan telah mengalami gejala tangkap lebih (over fishing) di beberapa perairan nusantara. Hal ini disebabkan adanya ketimpangan struktur armada penangkapan yang didominasi oleh perahu kapal tanpa motor. Dengan komposisi ini, maka kawasan perairan yang mengalami tekanan eksploitasi yang besar adalah perairan pantai (Dahuri et. al, 2001). Secara umum sumberdaya perikanan dapat dikelompokkan kedalam empat kelompok yaitu sumberdaya ikan demersal, sumberdaya pelagis kecil, sumberdaya pelagis besar dan sumberdaya biota laut (Naamin, 1987). Sumberdaya ini apabila dalam eksploitasinya tidak mematuhi aturan atau melampaui produksi tahunan bersih, maka kehancuran sumberdaya menjadi tinggi. Hal ini berarti bahwa sumberdaya tersebut akan menipis atau terkuras dengan berjalannya waktu (Baskoro et al., 2004).
2.3. Hutan Mangrove Asal kata mangrove tidak diketahui pasti dan terdapat beberapa pendapat mengenai hal tersebut. MacNae (1968) menyebutkan, kata mangrove merupakan perpaduan antara Bahasa Portugis mangue dan Bahasa Inggris grove. Sementara menurut Mastaller (1997), kata mangrove berasal dari Bahasa Melayu Kuno mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avicennia dan digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur. Kata mangrove menurut Odum (1983), berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan. Beberapa ahli mengemukakan defenisi hutan mangrove, seperti Steenis (1978), yang dimaksud dengan mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut.
Soerianegara dan Indrawan (1982), menyatakan
bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan dimuara sungai oleh : (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanag tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempuyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicennia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypah sp.) dan lain-lain. Saenger
et al. (1983) menyebutkan bahwa mangrove merupakan formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis. Pengertian hutan mangrove, menurut Alikodra (1998), adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut dengan keadaan tanah yang anaerobik.
Walaupun tidak tergantung pada iklim, tetapi umumnya hutan
mangrove tumbuh dengan baik di daerah tropika pada daerah pesisir yang terlindung, seperti delta dan estuaria. Menurut Bengen (2002), hutan mangrove sendiri merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis yang terdiri yang terdiri atas beberapa jenis spesies yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.
Fungsi dan Manfaat Mangrove Soewito (1984), Marsoedi (1997), Khazali (1999), Alikodra (2000) dan Bengen (2002) menyatakan bahwa secara umum fungsi hutan mangrove, baik bagi manusia, organisme lain dan lingkungan abiotik adalah : 1. Fungsi fisik, yaitu sebagai pencegahan terjadinya intrusi air laut, penahan abrasi, penahan angina, pengendali banjir dan perendam pencemaran. 2. Fungsi biologis, yaitu sebagai sumber kesuburan perairan, tempat berkembang biak, perlindungan dan asuhan biota laut, seperti ikan, udang, kerang dan burung serta berbagai penghasil sumber makanan penting bagi kehidupan sekitarnya. 3. Fungsi kimia, yaitu sebagai tempat terjadinya proses dekomposisi bahan organik dan proses kimia lainnya yang berkaitan dengan tanah hutan mangrove. 4. Fungsi ekonomi, yaitu sebagai sumber bahan bakar dan bangunan, bahan baku industri, lahan pertanian, tempat berburu, bahan dasar obat-obatan, bahan penyamak dan tempat pariwisata.
Fungsi ekonomi hutan mangrove juga
terkait dengan tingkat produksi perikanan Indonesia.
Hal ini dilihat dari
daerah perikanan potensial seperti perairan sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya.
5. Fungsi sosial, yaitu proses interaksi antara masyarakat sekitar dengan hutan mangrove
dimana
masyarakat
melakukan
pemanfaatan
secara
berkesinambungan terhadap hutan mangrove tersebut. Hal ini secara implisit terkait dengan sistem hukum adat yang berlaku dalam masyarakat. Dari fungsi tersebut, ekosistem hutan mangrove melahirkan manfaat ganda bagi manusia ditinjau dari dua segi, menurut Marsoedi (1997), Alikodra (1998), Rewana et al. ( 2001) dan Dahuri (2004), yaitu : 1. Manfaat ekologi, yang lebih ditekankan pada kemampuannya dalam mendukung lingkungan pantai, yaitu sebagai hutan di kawasan air payau, penahan angin, penahan ombak, menyaring bahan-bahan pencemar, tempat persembunyian ikan dan binatang perairan lainnya, seperti udang, ikan dan kepiting. Kontribusi yang penting dari hutan mangrove dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya.
Diperkirakan hutan mangrove mampu
menghasilkan
dari
bahan
organisk
serasah
daun
sebanyak
7-8
ton/hektar/tahun. Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7% dari dedaunan yang dihasilkan, dikonsumsi langsung oleh hewan di dalamnya, sedangkan
sisanya
oleh
mikroorganisme
(terutama
kepiting)
dan
mikroorganisme pengurai diubah sebagai detritus atau bahan organik mati dan memasuki sistem energi. 2. Manfaat ekonomi, dimana hutan mangrove berkemampuan dalam penyediaan produk yang dapat diukur dengan uang.
Beberapa produk dari hutan
mangrove yang bernilai ekonomi adalah ikan dan kayu.
Jenis dan Penyebaran Jenis utama mangrove yang umumnya dijumpai di Indonesia terdiri dari delapan famili dan duabelas genus, menurut Rewana et al. (2001) di dominasi oleh bakau (Rhizophora sp.), api-api ( Avicennia alba), tancang (Bruguiera sp.), dan nipah (Nypah fructicans). Hutan mangrove tersebar di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2002). Berdasarkan jenis pohon penyusun formasi hutan mangrove dari arah laut ke daratan, maka hutan mangrove dapat dibedakan mejadi beberapa zonasi, yaitu :
1. Zona Avicennia sp. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp.
Pada zona ini biasa berasosiasi dengan
Sonneratia sp., yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. 2. Zona Rhizophora sp. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp. 3. Zona Bruguiera sp Di dominasi oleh Bruguiera sp. 4. Zona Nypah sp. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah yang biasa di tumbuhi oleh Nypah fructicans dan beberapa spesies palem lainnya. Menurut Alikodra (1998), terdapat tiga faktor utama yang menentukan tumbuh dan menyebarnya jenis-jenis mangrove tersebut, yaitu : 1. Kondisi dan tipe tanah, seperti keras atau lembek, berpasir atau berlumpur. 2. Salinitas, seperti variasi rata-rata harian maupun tahunan, frekuensi, kedalaman dan lamanya penggenangan 3. Ketahan jenis-jenis mangrove terhadap arus ombak. Ketergantungan terhadap jenis tanah, ditambahkan Alikodra (1998), ditunjukkan oleh genus Rhizophora, di mana R. Mucronata merupakan ciri umum untuk tanah yang berlumpur dalam, R. Apiculata untuk tanah berlumpur dangkal, dan R. Stylosa yang erat hubungannya dengan pantai berpasir atau berkarang yang sudah memiliki lapisan lumpur atau pasir. Ketergantungan ini terhadap kadar garam ditunjukkan apabila hubungan antara muara sungai maupun danau dengan laut bebas terpisah, sehingga salinitas menurun akibat kurangnya pengaruh pasang surut, sehingga jenis yang dominan adalah Lumnitzera sp. dan Xylocarpus granatum.
Penyebab Kerusakan Mangrove Secara garis besar ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu : (1) Faktor manusia yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan
hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan; (2) Faktor alam, seperti banjir, kekeringan dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil (Tirtakusumah, 1994). Menurut Supriharyono (2000), kerusakan hutan mangrove terutama di sebabkan banyaknya konversi hutan mangrove untuk dijadikan tambak.
Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk
memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan (Perum Perhutani, 1994), antara lain : a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah. b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa di tebang. c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove. d. Adanya kesenjangan sosial antara petambak tradisional dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional. Tekanan pada ekosistem mangrove yang berasal dari dalam, disebabkan karena pertumbuhan penduduk dan yang diluar sistem karena reklamasi lahan dan eksploitasi mangrove yang makin meningkat telah menyebabkan perusakan menyeluruh atau sampai tingkat-tingkat kerusakan yang berbeda-beda.
Di
beberapa tempat ekosistem mangrove telah diubah sama sekali menjadi ekosistem lain. Terdapat ancaman yang semakin besar terhadap daerah mangrove yang belum diganggu dan terjadi degradasi lebih lanjut dari daerah yang mengalami tekanan
baik
oleh
sebab
alami
maupun
oleh
perbuatan
manusia
(UNDP/UNESCO, 1984). Menurut Soesanto dan Sudomo (1994), kerusakan ekosistem mangrove dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain : (1) Kurang dipahaminya kegunaan ekosistem mangrove; (2) Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang bertempat tinggal dekat atau sebagai bagian dari ekosistem mangrove; (3) Karena pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan lingkungan hidup.
Menurut Sugandhy (1994), beberapa permasalahan yang terdapat di kawasan hutan mangrove berkaitan dengan upaya kelestarian fungsinya adalah : 1. Pemanfaatan ganda yang tidak terkendali. Pemanfaatan ganda antar berbagai sektor dan penggunaan sumberdaya yang berlebihan telah menyebabkan terjadinya pengikisan pantai oleh air laut.
Sesuai dengan fungsi hutan
mangrove sebagai penahan ombak. Di beberapa daerah, kawasan pantai hutan mangrove sudah bnayak yang hilang sehingga lahan pantai terkikis oleh ombak. Di wilayah Teluk Jakarta pemanfaatan yang ada sekarang saling berkompetisi, seperti perluasan areal pelabuhan, industri, transportasi laut, permukiman dan kehutanan. Demikian juga di Bali, khususnya di kawasan hutan mangrove Suwung, pembangunan landasan udara Ngurah Rai Bali menyebabkan pantai Kuta terabrasi.
Pemanfaatan demikian yang kurang
menguntungkan ditinjau dari aspek keseimbangan lingkungan wilayah pesisir. Di samping itu, pengelolaan hutan mangrove belum berkembang, baik dalam hal silvikultur, sumberdaya manusia, kelembagaan, perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya. Akibatnya banyak yang terjadi perusakan hutan mangrove seperti penebangan yang tidak terkendali, sehingga pemanfaatannya melampaui kemampuan sumberdaya alam untuk meregenerasi. 2. Permasalahan tanah timbul akibat sedimentasi yang berkelanjutan. Di daerah muara sungai banyak dijumpai tanah timbul karena endapan lumpur yang terus menerus terbawa dari daerah hulu sungai. Permasalahan utama yang muncul adalah tentang status tanah timbul tersebut.
Karena lokasinya
berdekatan dengan lahan kehutanan, maka sering terjadi status penguasaannya langsung menjadi kawasan hutan, walaupun oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk kepentingan mereka, tanpa mengindahkan status tanahnya. Hal ini sering menimbulkan konflik penguasaan. Contoh : kasus kawasan di Segara Anakan, dan kawasan Pantura Jawa, kawasan Sulawesi Selatan dan lain-lain. 3. Konversi hutan mangrove.
Hampir semua bentuk pemanfaatan lahan di
wilayah pesisir berasal dari konversi hutan mangrove.
Hutan mangrove
sepanjang pantai utara Jawa, Bali Selatan dan Sulawesi Selatan bagian barat telah dikonversi menjadi kawasan pemukiman, tambak, kawasan industri,
pelabuhan, ladang garam dan lain-lain. Kebanyakan konversi hutan mangrove menjadi bentuk pemanfaatan lain belum banyak ditata berdasarkan kemampuan dan peruntukkan pembangunan, sehingga menimbulkan kondisi yang kurang menguntungkan dilihat dari manfaat regional dan nasional. Oleh karena itu pemanfaatan hutan mangrove yang tersisa atau upaya rehabilitasinya harus sesuai dengan potensi dan rencana pemanfaatan yang lainnya dengan mempertimbangkan kelestarian ekosistem, manfaat ekonomi dan penguasaan teknologi. 4. Permasalahan sosial ekonomi. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan di wilayah pesisir, khususnya Jawa, Bali, Sulawesi dan Lampung menyebabkan timbulnya ketidak seimbangan antara permintaan kebutuhan hidup, kesempatan dengan persediaan sumberdaya alam pesisir yang ada. Upaya pengembangan pertanian intensif (coastal agriculture), dan kegiatan serta kesempatan yang berorientasi kelautan masih terbatas dikembangkan. Di pantai utara Jawa, hampir semua hutan mangrove telah habis dirombak menjadi kawasan permukiman, perhotelan, tambak dan sawah yang berorientasi kepada ekosistem daratan. Pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir mestinya tidak hanya terbatas pada hutan mangrove atau tambak saja tapi juga eksploitasi terumbu karang yang telah melampaui batas, sehingga sulit dapat dipulihkan kem bali. Hal ini terjadi di Bali Selatan, pantai utara Jawa Tengah. 5. Permasalahan kelembagaan dan pengaturan hukum kawasan pesisir dan lautan. Sering terjadi tumpang tindih, konflik dan ketidak jelasan kewenangan antara instansi sektoral pusat dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang siur tanggung jawab dan prosedur perizinan untuk kegiatan pembangunan pesisir dan lautan. Contohnya seperti pembukaan lahan di kawasan pesisir, usaha penggalian pasir, reklamasi, penangkapan ikan dan pengambilan terumbu karang dan lain-lain.
Akibat tersebut menyebabkan terus
meningkatnya perusakan ekosistem kawasan pesisir dan lautan khususnya kawasan hutan mangrove. 6.
Permasalahan informasi kawasan pesisir. Keberadaan data dan informasi serta ilmu pengetahuan teknologi yang berkaitan dengan tipologi ekosistem
pesisir, keanekaragaman hayati, lingkungan sosial budaya, peluang ekonomi dan peran serta keluarga, sumberdaya hutan mangrove masih terbatas sehingga belum dapat mendukung penataan ruang kawasan pesisir, pembinaan dalam pemanfaatan secara lestari, perlindungan kawasan serta rehabilitasi. Menurut Alikodra (1998), beberapa masalah yang perlu segera diatasi agar kerusakan hutan mangrove tidak berkelanjutan adalah : 1. Data dan informasi serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan sumberdaya hutan mangrove masih terbatas sehingga belum mendukung tata ruang, pembinaan, pemanfaatan yang lestari dan perlindungan serta rehabilitasinya. 2. Belum berkembangnya pengelolaan hutan mangrove, baik dalam hal silvikultur, sumberdaya manusia, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan maupun pengawasannya, hal ini mengakibatkan terjadinya degradasi hutan mangrove yang tidak terkendali 3. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar hutan mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara lestari, terutama dalam hal pendidikan, pengetahuan, kesadaran, keterbatasan dan kesempatan berusaha 4. Pengelolaan kawasan hutan mangrove merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, namun keikutsertaan secara aktif dari masyarakat
dalam
proses
perencanaan,
pelaksanaan
sampai
dengan
pemanfaatannya masih terbatas, sehingga persepsi dan keperdulian antara pengelola dan pengguna hutan mangove berbeda-beda. 5. Mekanisme pendanaan yang belum memadai untuk program-program pengelolaan hutan mangrove yang meliputi perlindungan, pelestarian, penelitian dan pemanfaatan yang lestari dengan melibatkan berbagai unsur pokok seperti sarana dan prasarana.
2.4. Struktur Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir merupakan kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber penghidupan ekonominya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Nikijuluw, 2001). Dengan demikian, terdapat masyarakat pesisir yang bergantung pada pemanfaatan sumberdaya perikanan dan non perikanan.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan antara lain terdiri dari
nelayan, pembudidaya ikan dan biota laut lainnya, pengolah dan pemasaran. Pemanfaatan sumberdaya pesisir non perikanan diantaranya penyedia jasa lingkungan, dan pemanfaat energi tremal dan bahan tambang. Departemen Kelautan dan Perikanan (2002) menyebutkan masyarakat pesisir meliputi nelayan yaitu
orang
yang
mata
pencahariannya
melakukan
penangkapan
ikan,
pembudidaya ikan di laut, petambak, wanita nelayan dan pengolah ikan, dan lembaga pemasaran hasil perikanan. Penelitian ini difokuskan pada pemanfaat sumberdaya pesisir yaitu masyarakat nelayan dan petambak.
2.4.1. Masyarakat Nelayan Satria (2002) menyebutkan bahwa karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan masyarakat petani. Masyarakat nelayan memiliki karakter yang lebih keras, tegas dan terbuka, dikarenakan masyarakat pesisir menghadapi sumberdaya yang
bersifat open access.
Sifat sumberdaya semacam ini
memungkinkan semua orang dapat mengeksploitasinya, sehingga beban resiko yang harus ditanggung oleh nelayan menjadi sangat tinggi.
Sebaliknya
masyarakat petani berhadapan dengan sumberdaya yang relatif terkontrol. Menurut Bahri (1995), lingkungan fisik nelayan sifatnya sulit diramalkan serta target operasi penangkapannya hidup dan liar. Hal ini membuat usaha perikanan mempuyai resiko kerusakan dan kerugian yang tinggi serta pola pendapatan yang besarannya fluktuatif.
Tabel 1. Karakter sumberdaya yang dihadapi masyarakat nelayan-petani Sektor Sumberdaya
alam
Nelayan yang
•
dihadapi
Petani
Ketergantungan
pada
•
pada
lahan
produktivas laut
Mobilitas
Ketergantungan
•
Sulit untuk diperkirakan
•
Dapat diperkirakan
•
Resiko tinggi
•
Resiko kecil
•
Common property
•
Sifatnya permanen
•
Privat proverty
Tinggi karena mengarungi laut
Rendah
dari satu daerah ke daerah lain
alam yang dihadapi permanen
untuk
mendapatkan
karena
sumberdaya
hasil
tangkapan yang maksimal Sumber : diadopsi dari Satria, 2002
Berkaitan dengan perbedaan karakteristik tersebut, kehidupan keluarga nelayan menghadapi aktivitas ekonomi yang tidak pasti, dimana pendapatan yang bersifat harian dan tidak bisa ditentukan jumlahnya. Selain itu pendapatan juga sangat tergantung oleh musim maupun status nelayan itu sendiri (pemilik atau anak buah kapal). Seafdec (1978) membuat pengelompokan aktivitas perikanan untuk Indonesia berdasarkan perbedaan ukuran kapal dan perbedaan antara perahu tanpa motor dengan kapal. Di Filipina nelayan yang menggunakan perahu untuk menangkap ikan yang berukuran lebih dari tiga ton dikategorikan sebagai nelayan komersil, sedangkan perahu yang berukuran kurang dari tiga ton atau tanpa menggunakan perahu disebut nelayan desa.
Sedangkan di Hongkong dan di
Singapura dibedakan antara usaha perikanan daerah pantai dan lepas pantai. Di Thailand perbedaan itu atas dasar tipe peralatan penangkapan yang dipakai (Smith, 1979). Di Malaysia klasifikasi nelayan ditentukan berdasarkan tingkat pendapatan bulanan.
Nelayan yang mempuyai penghasilan Rp. 744.000
dikategorikan sebagai nelayan susah atau miskin, sedangkan nelayan yang mempuyai penghasilan antara Rp.1.800.000-3.600.000 sebulan dikategorikan kedalam nelayan senang (Hasyim dan Wan, 1980). Firth (1975) menggambarkan struktur masyarakat nelayan dengan menghubungkan alat tangkap yang digunakan. Sedangkan Kusnadi (2002) menggolongkan masyarakat nelayan dapat dilihat dari tiga sudut pandang.
Pertama, dari segi penguasaan alat produksi, terbagi menjadi pemilik (yang memiliki) dan buruh (yang tidak memiliki alat produksi dan memberikan tenaganya untuk memperoleh imbalan dengan hak-hak yang terbatas). Kedua, dari tingkat skala investasi modal usahanya, terbagi menjadi nelayan besar dan nelayan kecil.
Nelayan besar yang menanamkan modalnya dalam jumlah besar dan
sebaliknya untuk nelayan kecil. Ketiga, dari tingkat penggunaan teknologi penangkapan yang digunakan, terbagi menjadi nelayan modern dan nelayan tradisional. Kusnadi (2000) menyatakan bahwa nelayan tradisional disamakan dengan nelayan subsistensi, pra industri, berskala kecil dan beroperasi di perairan pantai, sedangkan nelayan modern diasosiasikan dengan ciri-ciri usaha yang bersifat komersial, industri, berskala besar, dan beroperasi di daerah lepas pantai. UU No 9 tahun 1985 berdasarkan status pengusahaannya nelayan dibedakan antara nelayan pemilik dan nelayan pekerja (buruh). Nelayan pemilik adalah orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas sesuatu kapal atau perahu yang digunakan dalam usaha penagkapan ikan.
Sedangkan nelayan pekerja
adalah semua orang yang sebagai kesatuan dengan menyediakan tenaga kerjanya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut. Manurung (1978) menyatakan bahwa atas dasar aspek ekonomi dan tingkat inovasi nelayan yang saling berinteraksi, maka nelayan kecil mempuyai kriteria sebagai berikut : 1. Pendapatan perkapita lebih rendah dari garis kemiskinan yakni tingkat pendapatan dibawah 240 kg nilai tukar beras/orang/tahun seperti yang dikemukakan dalam konsep Sayogjo; 2. Nelayan pemilik usaha kecil dengan anak buah perahu motor atau layar sama atau lebih kecil tiga orang; 3. Nelayan yang tidak memiliki alat produksi seperti perahu dan alat tangkap, nelayan ini bisa disebut nelayan buruh (pandega); 4. Nelayan kecil umumnya memiliki tenaga kerja keluarga yang dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan keluarga; 5. Modal usaha yang relatif kecil, antara lain untuk satu unit alat tangkap yang sederhana diperkirakan seharga Rp. 25.000 sampai dengan harga
Rp. 150.000 dan kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah perahu tanpa motor seharga kira-kira Rp. 150.000 sampai dengan Rp. 250.000 sehingga kemampuan mereka untuk melakukan usaha penangkapan terbatas hanya di pesisir pantai dan di muara-muara sungai; dan 6. Tingkat pendidikan, keterampilan dan inovasi nelayan dan anggota keluarga nelayan relatif rendah
2.4.2. Petambak Petambak adalah masyarakat yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai. Pollnac (1988) mengemukakan bahwa nelayan membentuk masyarakatnya sendiri dengan karakter sosio-budaya yang khas, sebagai hasil adaptasi mereka pada habitat pantai dan laut dimana pemenuhan kebutuhan hidup diperoleh. Nelayan tergantung pada kemudahan bersama dan memiliki hak yang sama terhadap sumberdaya dan hanya perlu menangkap apa yang berkembang secara alamiah. Berbeda dengan petambak yang dalam pola kerjanya lebih menyerupai pertanian atau peternakan. Aksesibilitas petambak terhadap sumberdaya alam relatif lebih baik dibanding nelayan penangkap ikan. Ketergantungan mereka tidak terbatas pada sektor kegiatan yang berbasis pada laut tetapi juga pada daratan. Kondisi ini selain memberikan alternatif lebih banyak bagi pengembangan ekonomi masyarakat. Petambak umumnya membudidayakan tambak, mengusahakan kerang-kerangan, rumput laut, dan ikan di perairan dangkal. Selain itu, petambak juga mempuyai akses terhadap lahan yang dapat mereka manfaatkan untuk sumber penghasilan alternatif. Petambak memiliki kegiatan produksi agak berbeda dengan nelayan tangkap. Jika nelayan tangkap menggantungkan nasibnya sepenuhnya pada hasil laut yang sifatnya open access (setiap individu/kelompok nelayan mempuyai hak yang
sama
untuk
memanfaatkan
sumberdaya
laut),
maka
petambak
menggantungkan usahanya dengan mengelola lahan tambak. Oleh karena itu lahan tambak menjadi salah satu faktor produksi pembatas disertai teknik
pemeliharaan yang spesifik (tradisional, semi intensif atau intensif) agar dapat menghasilkan komoditi perikanan yang diharapkan. Dalam struktur masyarakat petambak ditemui berbagai status, fungsi dan peran dari individu-individu yang saling berinteraksi, membentuk suatu jaringan sosial dalam melaksanakan kegiatan pertambakan. Kegiatan tersebut meliputi hubungan kerja dan pemasaran hasil produksi. Status, fungsi dan peran dari masing-masing individu menjadi dasar terbentuknya pelapisan sosial, yaitu kelompok pemilik modal yang mengumpulkan dan membeli hasil produksi perikanan dan petambak yang melakukan usaha budidaya tambak terdiri dari petambak pemilik, buruh tambak, para eksportir perusahaan perikanan dan seterusnya (Purnamasari, 2002).
2.5. Kelembagaan Masyarakat Pesisir 2.5.1. Konsep Kelembagaan Kelembagaan adalah suatu perangkat aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sanksi oleh anggota komunitas pendukung kelembagaan tersebut. Aturanaturan tersebut memudahkan koordinasi dan kerjasama diantara masyarakat pemakai sumberdaya, yang membantu mereka membentuk harapan-harapan yang sewajarnya dimiliki setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain (Hayami dan Kikuchi, 1981).
Sedangkan Koentjaraningrat (1985), menyatakan bahwa
kelembagaan adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Menurut Poloma (2000), yang dimaksud dengan kelembagaan adalah organisasi atau kaidah-kaidah baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyaraklat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Lembagalembaga dalam masyarakat ada yang bersifat asli berasal dari adat kebiasaan yang turun temurun, tetapi ada pula yang baru diciptakan baik dari dalam maupun dari luar masyarakat desa tersebut. Menurut Pakpahan (1991), kelembagaan dicirikan oleh tiga hal yaitu: hak-hak kepemilikan (property right), yang berupa hak atas
benda materi atau non materi, batas yuridiksi, aturan representasi (rule of representation). Menurut Soedjatmoko (1980), suatu institusi atau lembaga adalah suatu rangkaian hubungan antar manusia yang teratur dan yang disahkan secara sosial, yang menentukan hak, kewajiban dan sifat hukum dengan orang lain. Lembagalembaga ini terwujud di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat seperti kontrak sewa atau kontrak kerja, pola bagi hasil di bidang pertanian atau bidang perikanan, pola pewarisan tanah dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini penting karena lembaga dapat menjamin kemantapan, kepastian dalam interaksi sosial dan pada tata tertib masyarakat terjamin, tanpa ini hubungan sosial bisa menjadi kacau. Pola hirarki dalam suatu masyarakat, pola diskriminasi, sifat dualistik dalam suatu masyarakat, pola-pola asimetris, pola-pola ketergantungan yang timpang dalam pembagian keuntungan dan yang bersifat eksploitatif juga merupakan pola-pola struktural. Davis dan Nort dalam Hayami dan Kikuchi (1981) mengklasifikasikan kelembagaan dalam dua sub kategori, yaitu : 1.
Lingkungkan pranata dasar (the basic institusional environment) yakni seperangkat aturan-aturan keputusan dasar dan hak-hak pemilikan yang dapat dispesifikasikan ke dalam hukum formal, atau prinsip-prinsip adat kebiasaan yang dianggap suci oleh tradisi.
2.
Susunan pranata sekunder (the secondary institusional arrangement), yakni bentuk-bentuk persetujuan khusus yang mengatur cara-cara bagaimana unit-unit ekonomi dapat berkompetisi atau bekerjasama dalam pemanfaatan sumberdaya. Di dalam masyarakat, lingkungan pranata dasar merupakan prinsip-prinsip
tradisional seperti tolong menolong dan pemerataan pendapatan diantara anggota masyarakat. Adapun contoh susunan pranata sekunder antara lain adalah bentukbentuk perjanjian khusus untuk memperkerjakan tenaga kerja.
2.5.2. Sistem Kelembagaan Masyarakat Pesisir Menurut Anwar (2002), masyarakat pesisir yang bermukim di wilayah pesisir mempuyai institusi tradisional yang telah lama dianut dan dipegang secara
turun temurun hingga sekarang dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan. Institusi ini bertanggung jawab terhadap manajemen lingkungan menurut keahlian orang-orang yang terlibat dalam kegiatan produksi tradisional tersebut.
Kelembagaan Hubungan Kerja Dalam kehidupan masyarakat pesisir terdapat kelembagaan hubungan kerja. Di beberapa wilayah pesisir di Indonesia, sistem kelembagaan ini memiliki karakteristik tersendiri seperti di Sulawesi Selatan di kenal hubungan antara punggawa-sawi (Salman dan Taryoto, 1992), di pantai utara Jawa dikenal hubungan antara juragan-pandega (Mubyarto dkk, 1984), sedangkan di Sumatera Utara terdapat hubungan antara tauke-nelayan (Mintoro et al., 1993). Adanya kelembagaan hubungan kerja dalam masyarakat nelayan tidak terlepas dari kondisi sumberdaya laut yang bersifat open access, dengan sifat ini semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut merasa mempuyai hak untuk mengeksploitasi sumberdaya laut sesuai dengan kemampuan masingmasing. Hal itu mengakibatkan sumberdaya tersebut relatif dapat dikuasai oleh anggota masyarakat yang mampu menguasai teknologi maju, baik teknologi alat tangkap maupun sarana penunjang lainnya. Kelompok ini menjadi lapisan masyarakat yang secara finansial mampu membeli peralatan tangkap yang lebih besar. Untuk mengatasi resiko fisik dan akibatnya dalam pengoperasian jenis alat tangkap cukup besar dilakukan dalam suatu organisasi kerja. Pada penggunaan cara ini diharapkan resiko fisik yang dihadapi saat pengoperasian alat tangkap dapat dikurangi dan keselamatan serta hasil penangkapan dapat lebih ditingkatkan (Pollnac, 1988). Dari berbagai hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa setiap unit alat tangkap merupakan unit organisasi kecil. Pada setiap unit organisasi kecil itu terdapat pemimpin dan pengikut (Salattang, 1982).
Oleh Susilawati (1986)
dikatakan bahwa organisasi kerja tersebut menunjukkan hubungan seperti relasi antara kepala rumah tangga (juragan) dan anggota rumah tangga (pendega). Adapun jumlah anggota setiap unit alat tangkap tergantung kepada jenis alat tangkap dan teknologi yang digunakan, yakni untuk purse seine 37 orang, jaring
insang hanyut 10 orang, jaring payang 17 orang dan otter trawl 67 orang (Lembaga Penelitian IPB, 1983). Kelembagaan masyarakat petambak terdapat struktur yang terdiri dari status dan peranan tertentu dari anggotanya, yang terbentuk berdasarkan kepemilikan aset produksi (lahan, sarana produksi maupun modal keuangan). Hasil kajian Salman dan Taryoto (1992) di desa Manakku, Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pada kelompok petambak terdapat lapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas (petambak pemilik), lapisan menengah (petambak penyewa dan petambak penggarap).
Sedangkan jaringan relasi sosial yang berlangsung
berporos pada penyerahan hak garap tambak dari pemiliknya kepada orang lain melalui hubungan persewaan berdasarkan kontrak yang bersifat formal, hubungan penggarapan yang berdasarkan perjanjian bagi hasil dan hubungan berpola patron klien yang lebih informal tidak semata-mata hubungan ekonomi tetapi meluas kearah hubungan sosial. Pola hubungan yang terjadi antara petambak pemilik dengan petambak penyewa walaupun mirip transaksi jual beli nemun secara tidak langsung mengandung unsur hubungan bantu membantu.
Antara petambak
pemilik dengan penyakap walaupun tersamar potensi sub-ordinasi eksploitasi namun masih terdapat mekanisme bantu membantu, sementara antara petambak pemilik dengan sawi terbentuk pola hubungan patron klien yang selain merupakan hubungan kerja secara ekonomis juga terjadi hubungan sosial secara lebih luas.
Kelembagaan Bagi Hasil Sistem bagi hasil perikanan lebih merupakan ikatan antara nelayan pemilik dengan nelayan buruh yang bersifat lokal dan sangat berbeda antar daerah maupun peralatan yang digunakan.
Sistem bagi hasil merupakan suatu kelembagaan
ekonomi yang terdapat di masyarakat nelayan sering kali masih bersifat asli dan merupakan adat kebiasaan masyarakat nelayan secara turun temurun. Menurut Taryoto et.al (1993), umumnya sistem bagi hasil yang berlaku adalah (1) pembagian hasil antara pemilik modal dengan nelayan yang kelaut (nahkoda dengan anak buah kapal), (2) pembagian antara nahkoda dengan anak buah kapal. Besarnya bagian untuk masing-masing golongan nelayan dapat berbeda,
tergantung pada teknologi yang diterapkan dan komponen biaya yang ditanggung masing-masing pihak. Di Sulawesi Selatan dalam pengoperasian suatu jenis alat tangkap yang membentuk kelompok kerja, dikenal peran sebagai juragan (punggawa) dan pekerja (sawi). Bagi hasil yang diterima punggawa sebagai pemilik alat tangkap dan modal lebih besar dibandingkan dengan hasil yang diterima sawi. Sedangkan bagi hasil dikalangan sawi sendiri diatur sesuai dengan tugas dan fungsi dari sawi tersebut dalam organisasi kerja (Salman dan Taryoto, 1992). Hasil Penelitian Mubyarto dkk (1984) di daerah Jepara (Jawa Tengah) menunjukkan bahwa besarnya bagi hasil yang diterima setiap anggota alat tangkap jaring dogol (jaring untuk menangkap ikan teri yang terbuat dari serat goni dan ditarik dengan kapal motor) berbeda dengan bagi hasil yang diterima oleh setiap anggota kelompok kerja alat tangkap payang (jaring yang digunakan untuk menangkap ikan layang atau lemuru yang terbuat dari serat nilon dan ditarik dengan kapal motor). Kelembagaan bagi hasil masyarakat petambak umumnya berlaku sistem bagi hasil 3:1, artinya tiga bagian hasil penen untuk pemilik tambak dan satu bagian untuk penjaga empang setelah dikurangi biaya produksi. Namun ada pula yang menggunakan sistem bagi hasil 75% untuk pemilik tambak dan 25% untuk penjaga empang yang memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya, itupun setelah dipotong biaya produksi atau 80% untuk pemilik empang dan 20% untuk penjaga empang yang kebutuhan hidupnya diprnuhi oleh pemilik tambak, setelah dipotong biaya produksi. Pemenuhan kebutuhan hidup penjaga empang biasanya dicukupi oleh pemilik tambak, sedangkan kebutuhan modal operasional akan dipenuhi oleh penggawa yang menjadi patronnya; seorang ponggawa akan meminta bantuan pada ponggawa yang lebih besar atau pada perusahaan eksportir dengan sebuah kesepakatan yang berujung pada penyerahan sepenuhnya hasil tambak kepada pemberi pinjaman modal. Dalam banyak kasus; seorang petambak yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan eksportir, dapat langsung mendapatkan bantuan modal bagi kegiatan usahanya dan mendapat selisih keuntungan yang lebih baik karena menjual hasil produksi tambaknya langsung pada perusahaan tersebut dibandingkan melalui perantara ponggawa.
Kelembagaan Pemasaran dan Permodalan Lembaga
pemasaran
yang
dimaksud
adalah
badan-badan
yang
menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran dimana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai ke konsumen. Termasuk dalam kelembagaan ini adalah produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa lainnya. Pemilihan bentuk saluran pemasaran yang panjang tentunya akan melibatkan berbagai stakeholder dalam saluran tersebut.
Semakin panjang suatu rantai
pemasaran, semakin tinggi harga akhir yang ditanggung konsumen dibandingkan harga jual pertama dari tangan produsen. Kelebihan ini mencerminkan insentif yang dikehendaki oleh pelaku rantai pemasaran sebagai pengganti dari fungsi pengangkutan, pergudangan, grading, dan lain-lain yang mereka keluarkan (Karsyono dan Syafat, 2000). Menurut Kusnadi (2001), di negara berkembang pekerjaan nelayan tidak selalu menyenangkan karena rasionalisasi dari hubungan kredit dan pemasaran (proses ekonomi), keadaan ini disebabkan oleh lima hal yaitu (1) kondisi pasar tidak bersifat bersaing sempurna, sehingga usaha ini mengarah pada monopoli, (2) hubungan nelayan kecil dengan para trader dalam bentruk kontrak cenderung menguntungkan trader, (3) berkaitan dengan permintaan dan penawaran ikan melalui penjualan ikan oleh nelayan kecil yang diikat dengan bunga yang tinggi sebagai imbalan kredit yang diterimanya dari pedagang, sehingga pedagang bebas melakukan proteksi melalui struktur pasar monopsonistik. Adanya kredit tersebut, mengharuskan nelayan untuk menjual hasil tangkapannya kepada pedagang dengan harga yang relatif rendah, sebagai angsuran pembayaran hutang, (4) tidak adanya organisasi nelayan yang solid, sehingga lebih menguntungkan pedagang dan pabrik pengolahan ikan (5) adanya hubungan kumulatif antara pemberi kredit dengan penerima kredit dalam pemasaran hasil-hasil perikanan mengikuti mekanisme yang dikembangkan sepanjang waktu. Sikap nelayan yang serba tergantung, maka sumber kredit yang paling penting bagi nelayan adalah pedagang pengumpul. Pedagang tidak hanya memberikan kredit dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk alat produksi alat produksi dan kebutuhan lainnya dengan jaminan adalah nelayan harus menjual hasil tangkapannya dengan harga yang telah disepakati sebelumnya, yang
tentunya relatif rendah dari harga pasar, hal ini mencerminkan semakin lemahnya posisi tawar menawar nelayan (Sidik et. al, 2000). Menurut hasil studi komunitas nelayan di Desa Karang Agung (Tuban), di Desa Kedung Malang (Jepara) yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan LIPI (1997), struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan yang ada pada saat ini menempatkan sebagian besar nelayan khususnya nelayan tradisional pada posisi pinggiran. Posisi ini menyebabkan mereka kurang memiliki akses modal dan akses dalam memasarkan hasil tangkapan ikan. Selain itu struktur ekonomi yang ada menyebabkan terjadinya ketergantungan sekelompok nelayan pada pihak lain dalam pemenuhan kebutuhan sub sistem (Masyhuri, 1999). Struktur ekonomi nelayan tampaknya lebih cenderung berpihak kepada kelompok nelayan yang menguasai sarana produksi, lebih mendorong terjadinya ketimpangan pendapatan di kalangan nelayan dan memberi kemungkinan terjadinya eksploitasi terhadap nelayan oleh nelayan lain. Pola pendapatan pada sektor penangkapan ikan yang tidak teratur dapat mempengaruhi pola konsumsi para nelayan. Apabila pendapatan sedang melimpah, mereka akan berkecukupan, tetapi apabila mereka tidak berhasil menangkap ikan, apalagi dalam waktu yang cukup lama, mereka perlu bantuan, khususnya nelayan buruh atau anak buah kapal. Pemilik sarana produksi atau juragan memanfaatkan saat-saat seperti ini untuk mengikat mereka tetap bekerja sebagai anak buah kapal miliknya. Memang tidak semua juragan bersikap eksploitatif terhadap nelayan, tetapi tidak jarang dari mereka memanfaatkan kesulitan yang dihadapi nelayan anak buah kapal untuk kepentingan pribadi. Karenanya pranata sosial yang sangat menonjol di kalangan masyarakat nelayan adalah pranata sosial hubungan patron klien berdasarkan hutang piutang (Masyhuri, 1999) Hubungan patron klien menurut Legg (1983) adalah tata hubungan patron klien umumnya berkenaan dengan (1) hubungan diantara pelaku yang menguasai sumber yang tidak sama, (2) hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi yang mengandung keakraban, (3) hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan yaitu saling memberi dan saling menerima. Dalam hubungan kerja yang bersifat patron klien dalam masyarakat nelayan
sebagai akibat adanya golongan yang menguasai modal disatu pihak dan dipihak lain adanya golongan yang kekurangan modal. Hubungan yang terjadi seperti ini lebih bersifat berkelanjutan atau turun temurun, karena antara golongan yang berhubungan
menunjukkan
perbedaan
kelas
dan
status
dalam
operasi
penangkapan ikan. Dengan sifat ini, ada kecenderungan dikalangan masyarakat nelayan hubungan patron klien yang terjadi didasarkan pada asas untuk saling memberi dan saling menerima antara patron dan kliennya. Pola hubungan patron klien ini lebih didasarkan pada pola pendapatan ekonomi masyarakat nelayan tidak pernah teratur, yang berakibat pada kehidupan sehari-hari. Pengaruh ketidak pastian pendapatan merupakan fenomena sosial yang cukup dominan diantara masyarakat nelayan adalah hubungan sosial yang terjadi berdasarkan terjadinya hutang piutang untuk pemenuhan kebutuhan di saat mengalami krisis. Pola hubungan patron klien tersebut telah menciptakan terjadinya kemiskinan diantara masyarakat nelayan. Adapun struktur patron berupa toke dan juragan serta klien yang terdiri dari nelayan dalam komunitas nelayan di Jepara telah mengakibatkan nelayan sebagai klien tetap hidup dalam kemiskinan. Di lain pihak menurut Masyhuri et al. (1998) kemiskinan nelayan lebih disebabkan oleh struktur sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang dipengaruhi oleh pola-pola tangkapan yang hasilnya serba tidak pasti. Kelembagaan
pemasaran
dan
dipengaruhi pola hubungan patron klien.
permodalan
masyarakat
petambak
Menurut Vadya dan Sahur (1996)
masyarakat petambak Bugis menggunakan hubungan pemimpin-pengikut (patron klien), bertindak tidak sebagai majikan yang berhadapan dengan para pegawai yang digaji seperti dijabarkan dalam sistem kapitalis karena mereka lebih bersikap sebagai kepala keluarga tradisional yang terus menolong menutupi kebutuhan para pekerja, seperti membayar biaya keperluan darurat dan beberapa biaya lain untuk memenuhi kewajiban upacara adat.
2.6. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Pemberdayaan masyarakat menurut Friedmann (1992), dimaknai sebagai mendapat kekuatan dan mengkaitkannya dengan kemampuan golongan miskin
untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber seperti : jaringan sosial, organisasi sosial, informasi, surplus waktu, alat produksi, pengetahuan dan keterampilan, ruang hidup yang dapat dipertahankan, sumberdaya keuangan yang menjadi dasar dari kekuasaan dalam suatu sistem. Akses tersebut digunakan untuk mencapai kemandirian dalam pengambilan keputusan. Mengacu pada pendapat Friedmann (1992), konsep pemberdayaan dapat didefenisikan sebagai upaya (berupa proses, strategi, program atau metode) yang ditujukan untuk membantu masyarakat miskin menuju pada kemandirian melalui pendistribusian kembali kekuatan yang dibutuhkan, yang dapat diwujudkan melalui: gotong royong, kerjasama, kegiatan kelompok, kemitraan dan aktivitas sejenisnya yang disepakati dan didukung bersama yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan individu-individu anggota masyarakat. Pemahaman tentang pemberdayaan tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan merupakan suatu proses tepat jika diaplikasikan untuk mengembangkan komunitas-komunitas tertentu yang mengalami ketertinggalan. Pemberdayaan sebagaimana dikemukakan Ife (1995) memiliki dua konsep berbeda yaitu kekuasaan dan kekurang beruntungan. Pertama, pemberdayaan dilihat dari pemberian kekuasaan pada individu atau kelompok. Mengijinkan mereka menentukan kekuatan di tangan mereka sendiri. Kedua pemberdayaan dilihat dari kekurang beruntungan, ini lebih dilatar belakangi pada struktur sosial yang mengakibatkan masyarakat tidak memiliki ruang yang memadai untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan wilayahnya.
Pemberdayaan adalah
salah satu tujuan dari pengembangan masyarakat, dengan cara memberikan sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan kamunitasnya. Selanjutnya Ife (1995) menyatakan bahwa dalam membicarakan konsep pemberdayaan, tidak dapat dipisahkan dengan dua konsep sentral, yaitu konsep daya dan konsep ketimpangan. Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep daya dapat ditelusuri dari beberapa perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis dan post-strukturalis.
1. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif pluralis, adalah suatu proses untuk menolong kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk belajar, dan menggunakan keahlian dalam melobi, menggunakan media yang berhubungan dengan tindakan politik, dan memahami bagaimana bekerjanya sistem; 2. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif elistis adalah suatu upaya untuk bergabung dan mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elistis, melakukan konfrontasi dan mencari perubahan pada elistis. Masyarakat menjadi tak berdaya adanya power dan kontrol yang besar sekali dari para elistis terhadap media, pendidikan, partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya; 3. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif strukturalis adalah suatu agenda yang lebih menantang dan dapat dicapai apabila bentukbentuk ketimpangan struktural dieliminir. Masyarakat tak berdaya suatu bentuk struktur dominan yang menindas masyarakat seperti masalah kelas, gender, ras atau etnik; dan 4. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif post-strukturalis adalah suatu proses yang menantang dan mengubah diskursus. Pemberdayaan lebih ditekankan pertama-tama pada aspek intelektualitas ketimbang aksi. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan pengertian terhadap pengembangan pemikiran baru, analistis, dan pendidikan daripada suatu usaha aksi. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan individu dan sosial. Menurut Hikmat (2001) pemberdayaan mengesankan arti adanya sikap mental yang tangguh dan kuat. Pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya bahkan merupakan suatu keharusan untuk lebih diberdayakan
melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka (Hikmat, 2001). Slamet (2003) memberikan pengertian pemberdayaan adalah kemampuan, berdaya, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi.
Pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya untuk memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar mampu menggali potensinya dan berani bertindak mengembangkan diri, sehingga terbentuk kemandirian dan tidak tergantung dengan pihak lain. Dari
konsep
pemberdayaan
tersebut,
dapat
dikatakan
bahwa
pemberdayaan masyarakat pesisir merupakan pemberdayaan sosial masyarakat pesisir untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal dan lestari sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan mereka yang berpijak pada sistem nilai yang ada dan tumbuh dalam masyarakat. Nilai-nilai masyarakat yang dimaksud antara lain nilai-nilai dalam pandangan sosial budaya (sosio cultural), pandangan ekonomi (economic) dan pandangan lingkungan (enviroment). Secara defenisi sistem nilai masyarakat lokal merupakan perangkap konsep-konsep abstrak yang ada dalam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat mencerminkan apa yang dianggap penting dan berharga dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada masyarakat tersebut (Koencoroningrat, 1985). Menurut Nikijuluw (2002) menjelaskan tiga bentuk pengelolaan sumberdaya alam dan lautan, yaitu pengelolaan berbasiskan masyarakat (PSPBM), pengelolaan oleh pemerintah dan ko-manajemen (integrasi PSPBM dan pengelolaan oleh pemerintah). Pengelolaan berbasiskan masyarakat (PSPBM) dapat didefenisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya alamdan lautan sendiri dengan terlebih dahulu mendefenisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan, aspirasi dan mengambil keputusan untuk menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Beberapa keunggulan PSPBM adalah sesuai aspirasi dan budaya
lokal, dapat diterima masyarakat lokal dan pengawasan dilakukan dengan mudah. Sedangkan kelemahan PSPBM adalah tidak mengatasi masalah interkomunitas, bersifat lokal, mudah dipengaruhi oleh eksternal, sulit mencapai skala ekonomi dan tingginya biaya institusional. Pengelolaan sumberdaya alam dan lautan oleh pemerintah berarti semua tahapan dan pengelolaan mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang kuasa dan wewenang dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Keunggulan pengelolaan sumberdaya alan dan lautan oleh pemerintah adalah dari sisi aspek legal, yang sangat didukung oleh aturan-aturan formal dan tertulis sehingga apabila setiap pihak dapat menjalankan dan mematuhi seluruh aturan dengan baik maka hasilnya akan baik pula. Sedangkan kelemahan pengelolaan sumberdaya alan dan lautan oleh pemerintah menurut Nikijuluw (2002) adalah kegagalan dalam mencegah kelebihan eksploitasi sumberdaya perikanan, kesulitan dalam penegakan hukum, kemampuan dan keberhasilan masyarakat untuk menghindar dari peraturan, kebijakan yang tidak tepat dan tidak jelas atau saling bertentangan, administrasi dalam bentuk biaya yang tinggi, wewenag yang terbagi-bagi kepada beberapa departemen atau lembaga, dan dan informasi kurang benar dan akurat serta kegagalan dalam merumuskan keputusan manajemen. PSPBM dan pengelolaan sumberdaya alan dan lautan oleh pemerintah masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Kedua bentuk pengelolaaan tersebut bisa dipadukan atau diintergrasikan sehingga kelemahan yang satu bisa ditutupi oleh keunggulan yang lain. Pengintegrasian kedua bentuk pengelolaan ini dikenal dengan nama kolaborasi manajemen atau kooperatif manajemen atau ko-manajemen. Ko-manajemen menyiratkan bahwa kerjasama antara pemerintah dan masyarakat merupakan intik dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lautan. Ko-manajemen didefenisikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam dan lautan (Pomeroy dan William, 1994; Nikijuluw, 2002; Bengen, 2002).
Definisi ini menyiratkan bahwa kerjasama antara
pemerintah dan masyarakat merupakan inti dari ko-manajemen dimana seluruh
pihak bertanggung jawab secara bersama-sama dalam melakukan seluruh tahapan pengelolaan lingkungan, dalam hal ini adalah sumberdaya perikanan laut dan hutan mangrove. Menurut Nasdian (2003), ko-manajemen adalah partisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya oleh semua anggota masyarakat dan kelompok yang mempuyai keterkaitan dengan sumberdaya tersebut.
Selain itu, terdapat tiga
elemen pokok yang perlu diperhatikan dalam ko-manajemen : 1. Pembagian
tanggung
jawab
dan
wewenang
dalam
pengelolaan
sumberdaya, meliputi persetujuan yang dipahami dan disetujui semua pihak; 2. Tujuan sosial, budaya dan ekonomi yang merupakan sebuah bagian integral dari pengelolaan strategi; dan 3. Pengelolaan sumberdaya berkelanjutan.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Pemilihan Wilayah Studi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan pesisir Kota Bengkulu, wilayah administrasi Kecamatan Kampung Melayu (Gambar 3). Selanjutnya, dipilih tiga kelurahan yaitu Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Sumberjaya dan Kelurahan Kandang sebagai kelurahan studi, setelah mempertimbangkan dua hal. Pertama, di tiga wilayah tersebut mempuyai karakter dimana sektor perikanan sebagai kegiatan ekonomi mereka, meskipun masing-masing kelurahan mempuyai pola perikanan yang khas dan berbeda. Kedua, adalah potensi pantai di ketiga wilayah studi relatif lebih besar dibandingkan dengan kelurahan lain yang ada di Kota Bengkulu dan kehidupan nelayan sebagian besar masih miskin. Waktu pelaksanaan penelitian dan pengambilan data dengan alokasi waktu selama 12 bulan, dari Maret 2005 sampai dengan Februari 2006. Penelusuran data yang diambil dilakukan di tiga kelurahan studi yaitu komunitas nelayan Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Sumberjaya dan Kelurahan Kandang.
Lokasi Penelitian
Gambar 2. Lokasi penelitian di Kota Bengkulu
3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Pendekatan Penelitian Penelitian yang akan dilakukan menggunakan beberapa pendekatan sekaligus, yaitu (a) pendekatan kualitatif, (b) pendekatan kuantitatif, (c) pendekatan multicriteria decision analysis (MCDA) melalui penggunaan teknik A’WOT. Penggunaan kombinasi pendekatan ini dimungkinkan
dalam suatu
peneliti. Pada pendekatan kualitatif lebih mengutamakan pendekatan emik (emic approach) (Sayer 1994; Muhadjir 1996; Mulayana 2001) dengan menggunakan metodologi studi kasus. Metode studi kasus diterapkan pada rumah tangga nelayan dan komunitas nelayan yang beroperasi di Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Kandang dan Kelurahan Sumberjaya. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel, serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas. Selain itu, studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar membangun latar permasalahan bagi perencanaan ilmu (Yin, 1997). Menurut Kusumastanto (1998), tujuan studi kasus tidak hanya mempelajari apa yang terjadi dalam permasalahan yang dihadapi, tetapi juga menerangkan hubungan yang berlaku antara sebab dan akibat. Proses menerangkan hubungan ini dimungkinkan bila yang dipelajari itu lebih dari satu kasus, yang menunjukkan perbedaan yang menyolok sehingga memberikan kemudahan bagi peneliti untuk menentukan faktor-faktor penting yang menyebabkan kejadian yang diamati. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survei, yaitu suatu pendekatan untuk memahami masalah sosial melalui penjaringan pendapat dan aspirasi masyarakat atau entitas penduduk, melalui pendekatan sampel populasi. Melalui survei dapat diketahui gambaran kondisi internal masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian. Metode survei merupakan suatu teknik penelitian dengan mengajukan pertanyaan kepada sekelompok orang atau sampel mengenai topik atau isu tertentu dengan menggunakan kuesioner atau melalui wawancara (Chadwick dkk.,1991; Neuman, 1997; Singarimbun dan Effendi, 1995; Black dan Champion, 1999; Vredenbregt, 1978). Umumnya pengertian survei dibatasi pada pengertian survei sampel
dimana informasi dikumpulkan dari sebagian populasi untuk mewakili seluruh populasi. Dari sudut ruang lingkup, secara kasar dapat dibedakan empat aspek yang dicakup oleh penelitian survei (Moser, 1969), yaitu pertama, ciri demografis dari masyarakat; kedua, lingkungan sosial mereka; ketiga, aktivitas mereka; serta keempat, pendapat dan sikap mereka. Pendekatan multicriteria decision analysis (MCDA) dengan menggunakan teknik A’WOT. Metode ini mengkombinasikan teknik SWOT untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan (Rangkuti, 2000) dalam menentukan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir dan teknik modifikasi AHP (MAHP) digunakan untuk menjaring pendapat dari pakar dan stakeholder dengan lebih sistematis (Marimin, 2004). 3.2.2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer dan data sekunder yang dikumpulkan meliputi data mengenai kondisi sumberdaya perikanan laut, kondisi mangrove, struktur masyarakat dan struktur kelembagaan masyarakat pesisir. Instansi yang terkait dengan pengumpulan data sekunder adalah dinas kehutanan, dinas perikanan dan kelautan, bappedalda, kantor kecamatan Kampung Melayu. Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui pengamatan lapangan, wawancara individual mendalam dengan informan, wawancara kuesioner dengan responden, diskusi informal kelompok dan kajian literatur. Menurut Sitorus (1998), teknik ini disebut teknik triangulasi, yaitu memadukan sedikitnya tiga teknik pengumpulan data misalnya pengamatan lapangan, wawancara, dan diskusi kelompok fokus, maka satu dan lain metode akan saling menutupi kelemahan yang mungkin terjadi sehingga realitas sosial yang ditangkap menjadi lebih valid.
Pengamatan Lapangan Pelaksanaan pengamatan lapangan dilakukan dengan membuat catatan harian lapangan dan pengambilan foto atau gambar. Pengamatan lapangan difokuskan pada masyarakat dalam menerapkan cara produksi dan mekanisme bagi hasil, pola penguasaan aset produksi, pemasaran hasil tangkapan, serta sejauh mana peran kelembagaan, modernisasi nelayan dalam mengatasi permasalahanpermasalahan yang dihadapi nelayan. Informasi pengamatan di lapangan didapat dari 85 responden, 20 informan, 3 tokoh masyarakat dan monografi desa. Wawancara Wawancara
individual
secara
mendalam
dilakukan
terhadap
20
stakeholder menggunakan pedoman wawancara mendalam (in-depth interview) untuk menggali data tentang (1) aktivitas-aktivitas apa saja yang berpengaruh terhadap kondisi sumberdaya alam pesisir dan sosial ekonomi budaya masyarakat pesisir Kota Bengkulu; (2) struktur kelembagaan bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja dan kelembagaan pemasaran serta permodalan masyarakat pesisir Kota Bengkulu. Stakeholder dalam penelitian dipilih dengan persyaratan tertentu yakni orang-orang yang terkait langsung dan memahami secara mendalam dengan kegiatan penangkapan ikan sebanyak 20 stakeholder yang terdiri dari nelayan lancang, nelayan kapal cincin, nelayan kapal pancing, nelayan kapal bagan, nelayan kapal jaring hijau, petambak, pemilik kapal/toke/juragan, pedagang pengumpul, pedagang eceran, tokoh masyarakat nelayan, ketua kelompok nelayan, LSM, pemerintah daerah dan dinas terkait (lihat Tabel 3). Disamping
wawancara
mendalam,
juga
dilakukan
wawancara
menggunakan kuesioner dengan 85 responden ditiga kelurahan studi untuk mendapatkan data meliputi variabel modal fisikal, modal sosial, modal finansial, modal alamiah dan modal manusia.
Diskusi Informal Kelompok Diskusi Informal kelompok digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu temuan menurut pemahaman sebuah kelompok, berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada permasalahan tertentu. Kegiatan diskusi informal kelompok
terbatas dilakukan sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan untuk (i) konfirmasi hasil wawancara mendalam dari informan dan (ii) mengetahui permasalahan yang sebenarnya menjadi masalah kolektif mereka. Pertemuan pertama dilakukan di tangkahan milik kelompok nelayan Sepang Serumpun di Kelurahan Teluk Sepang, yang dihadiri 15 nelayan yang merupakan anggota kelompok dan bukan anggota kelompok. Pertemuan kedua dilaksanakan di rumah salah satu nelayan yang sekaligus pemilik kapal di Kelurahan Sumberjaya yang dihadiri 10 nelayan yang terdiri dari nelayan pemilik kapal, ABK dan petambak, dan pertemuan ketiga dilaksanakan di rumah ketua kelompok nelayan Kandang yang dihadiri 13 terdiri dari nelayan dan petambak. Kajian Literatur Kajian literur digunakan untuk memperoleh data sekunder yang mendukung penelitian, dilakukan dengan mencari data-data dan dokumen ke instansi-instansi terkait, BPS, dan laporan hasil penelitian, arsip tertulis maupun laporan yang terkait dengan tema sebagai sumber literatur data. Jenis data yang dikaji dalam pengumpulan data sekunder adalah letak, luas, topografi, pola pemukiman, ketersediaan sarana, pasar, sekolah, bank, koperasi, pelabuhan, puskesmas, air bersih, pembuangan sampah, sosial budaya dan kegiatan agama, penduduk, mata pencaharian, perkembangan jumlah dan jenis kapal atau perahu, perkembangan jumlah dan jenis alat penangkapan ikan, dan lain-lain.
3.2.3. Unit Penelitian dan Jumlah Responden Unit dalam penelitian ini adalah nelayan tangkap dan petambak di daerah studi yaitu Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Sumberjaya dan Kelurahan Kandang. Jenis usaha masyarakat di daerah kelurahan studi merupakan kerangka sampel, guna memudahkan penentuan sampel sasaran yang akan dijadikan responden penelitian. Jumlah sampel 85, yaitu 29 di kelurahan Teluk Sepang, 41 di Kelurahan Sumberjaya dan 15 di Kelurahan Kandang. Pengambilan sampel di Kelurahan
Teluk
Sepang
dan
Kandang
kemudian
ditetapkan
dengan
menggunakan metode purposive sampling, yaitu dengan memilih atau
menentukan dengan sengaja contoh yang akan diteliti. Responden yang akan dipilih dalam penelitian ini, terdiri dari nelayan lancang yaitu perahu motor tempel berkekuatan < 5- 10 GT dan petambak. Untuk responden di kelurahan Sumberjaya dipilih dengan menggunakan metode pengambilan sampel acak distratifikasi (stratified random sampling). Adapun dasar menstratifikasi populasi ini adalah berdasarkan jenis usaha (Singarimbun dan Sofian,1981).
Di kelurahan Sumberjaya jenis usahanya
meliputi nelayan jaring hijau, nelayan pukat cincin, nelayan lancang, nelayan jaring bagan, nelayan pancing dan petambak. Tabel 2. Jumlah populasi responden di Kelurahan Sumberjaya Jenis Usaha
Jumlah populasi
Jumlah sampel
Keterangan Teknik sampling stratified random
Nelayan hijau
jaring
163
16
Nelayan cincin
pukat
85
8
Nelayan bagan
105
10
Nelayan lancang
24
2
Nelayan pancing
32
3
Petambak
15
2
Total populasi
424
41
(10%)
Jumlah responden di kelurahan Sumberjaya adalah 41 orang. Disamping itu peneliti juga melakukan wawancara dengan 20 stakeholder yang terdiri dari nelayan tangkap, petambak, tokoh masyarakat nelayan, LSM dan dinas terkait.
Tabel 3. Daftar informan yang diwawancarai No
Nama
Kelurahan
1
Junaidi
Teluk Sepang
2
Efendi
Teluk Sepang
3
Sarazan
Teluk Sepang
4
Atro
Sumberjaya
5
Pardede S.
Sumberjaya
6
M. Arifin
Sumberjaya
7
Jumrian
Sumberjaya
8
Rianto
Sumberjaya
9
Ujang Teteng
Sumberjaya
10
Azmi
Sumberjaya
11
John
Teluk Sepang
12
Husnan Thaib
Sumberjaya
13
Babulhaerin
LSM
14
Zainal
Kandang
15
Firman
Kandang
16
Muchtar Zaimi
Kandang
17
Buyung
Kandang
18
Nofrizal
Kandang
19
Beddu
Sumberjaya
20
Ir. Azwari D.
Dinas perikanan dan kelautan Kota Bengkulu
Pekerjaan Ketua kelompok nelayan Sepang Serumpun Tekong sekaligus pemilik lancang Tokoh masyarakat nelayan Pemilik sekaligus tekong kapal pancing Nelayan jaring pukat cincin Anal buah kapal bagan Nelayan jaring udang Anak buah kapal jaring hijau Tokoh masyarakat nelayan Juragan sekaligus pedagang besar Pedagang pengumpul Tokoh masyarakat nelayan SNEB- Bengkulu Tokoh masyarakat nelayan Buruh tambak Nelayan Sampan Ketua kelompok nelayan Bina Bahari Pedagang emberan Petambak sekaligus toke Kadis Perikanan dan Kelautan Kota Bengkulu
3.2.4. Metode Analisis Data Untuk menjawab tujuan dalam penelitian ini, maka analisis yang digunakan adalah :
1. Analisis data untuk kondisi sumberdaya alam pesisir. Dalam penelitian ini sumberdaya alam pesisir akan dibatasi pada sumberdaya perikanan laut dan sumberdaya mangrove. a. Analisis potensi sumberdaya perikanan laut Analisis data sumberdaya perikanan laut meliputi potensi lestari dan tingkat pemanfaatannya. Data yang diperlukan berupa data fishing ground, jumlah ikan yang didaratkan dan alat tangkap pada suatu kawasan penangkapan yang digunakan. Metode yang dilakukan dalam pendugaan potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dengan menggunakan metode surplus produksi yaitu menghubungkan upaya penangkapan (effort) dan CPUE (catch per unit effort) alat tangkap. Model surplus produksi sebagai berikut:
(Fauzi, 2000) persamaannya dapat ditulis
Biomas pada t+1 = biomas pda t + produksi - mortalitas
alami maka laju perubahan biomas yaitu:
dx =f (x)............................................................................... dt
(1)
Fungsi f (x) adalah fungsi pertumbuhaan. Fungsi pertumbuhaan logistik ditulis sebagai berikut:
dx .= rx(1- x/K.)................................................................... dt
( 2)
Dengan memasukan penangkapan H kedalam model dan penangkap berkorelasi linear terhadap biomas (x) dan input produksi E (effort). H = qxE. dimana q adalah koeifisien tangkap maka laju pertumbuhaan biomas menjadi.
⎛ x⎞ dx = rx ⎜1 − ⎟ − qxE .............................................................. ⎝ K⎠ dt
(3)
Untuk mengetahui potensi lestari sumberdaya perikanan dilakukan dengan pendekatan Gompertz (Fauzi,2000). ⎛ − qE ⎞ ⎜ ⎟ r ⎠
ht = q K Et exp ⎝
................................................................... (4)
Untuk mendapatkan nilai parameter r q dan K dilakukan dengan teknik yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (Fauzi, 2000) ln U t +1 =
(2 − r ) ln(U ) − q (E + E ) ......... (5) 2r ln (qK ) + t (2 + r ) (2 + r ) (2 + r ) t t +1
Untuk
menganalisis
nilai
degradasi
sumberdaya
perikanan
mengunakan pendekatan analisis model Amman dan Durraipah (Fauzi, 2000). Nilai degradasi: =
1 1+ e
ha hs
.......................................................... (6)
b. Untuk mendapatkan data kondisi mangrove digunakan : •
Analisis ekologis meliputi identifikasi kondisi, penyebaran, luas dan persentase ekosistem mangrove.
•
Analisis komparatif yaitu membandingkan antar data spasial yang diperoleh sehingga menghasilkan keterkaitan antar data spasial.
2. a. Analisis struktur masyarakat menggunakan kerangka sustainable livelihood (Farrington et al., 1999) yang diidentifikasikan ke dalam lima bentuk modal yaitu modal manusia, modal alamiah, modal finansial, modal fisikal dan modal sosial yang dianalisis dengan menjustifikasi ke kategori-kategori, kemudian diberikan skor, seperti disajikan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Indikator dan Parameter Kerangka Sustainable Livelihood (SL) No
Variabel
1.
Modal Fisikal (Physical capital)
Indikator a. Sarana produksi
b. Sarana pendidikan
c. Sarana kesehatan
d. Sarana sarana ekonomi
e. Sarana komunikasi
f. Sarana transportasi
Pa •
alat produksi/ armada penangkapan/lahan
•
alat tangkap/bibit
•
Adanya gedung sekolah
•
Ketersediaan kelayakan sekolah
•
Ketersediaan tenaga pengajar
•
Keberadaan gedung puskesmas, klinik da
•
Kelayakan gedung puskemas, klinik dan la
•
Ketersediaan tenaga paramedis
•
Adanya ketersediaan lembaga penyedia m
•
Adanya kelayakan lembaga penyedia mod
•
Adanya ketersediaan fasilitas pasar
•
Kelayakan fasilitas pasar
•
Ketersediaan gedung telkom, wartel, dan
•
Ketersediaan kantor pos
•
Tingkat kelayakan jalan yang ada
•
Ketersediaan transportasi darat seperti se
a. Tingkat pendidikan
•
Pendidikan formal yang pernah diikuti
b. Tingkat kesehatan
•
Frekuensi terjangkitnya penyakit
•
Frekuensi mengunjungi tempat berobat
a. Solidaritas
•
Keterbukaan dalam melakukan jaringan sosial dengan siapapun ke
b. Kepercayaan antar sesama
•
Tingkat kepercayaan terhadap sesama
c. Kerjasama
•
Keperdulian terhadap sesama
•
Kedekatan dengan orang yang diberi perhatian
•
Sumber motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain
•
Tingkat keinginan untuk menumbuhkan dan berbgai pengalaman t
a. Kepemilikan aset
•
Kepemilikan armada penangkapan
b. Sanitasi Lingkungan
•
Pembuangan Sampah
•
Pembuangan drainase
•
Pembuangan Kotoran
a. Pendapatan Utama
•
Besarnya pendapatan yang diperoleh
b. Sumber Modal
•
Berasal dari milik sendiri atau berasal dari Lembaga keuangan non
b. Struktur kelembagaan masyarakat dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif yang menggunakan data-data primer maupun sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, dan pengamatan lapangan. Data sekunder diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang relevan dan statistik potensi desa tahun 2006. Dalam analisis ini kerangka yang digunakakan adalah kerangka analisis Schmid (Pakpahan,1989), yang mencirikan suatu kelembagaan : 1. Batas kewenangan (jurisdictional boundary). Konsep batas jurisdiksi atau batas kewenangan dapat diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu preferensi. Dalam organisasi, batas kewenangan menentukan siapa saja dan apa yang tercakup dalam organisasi. 2. Hak dan kewajiban (property right). Konsep ini bermakna sosial yang berimplikasi ekonomi. Konsep hak kepemilikan sendiri dari hak (right) dan kewajiban (obligation) semua lapisan peserta didefenisikan/diatur oleh peraturan yang menjadi pegangan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun dapat mengatakan hak milik atau hak penguasaan jika tanpa pengesahan masyarakat sekitarnya dimana dia berada.
Implikasinya adalah (a) hak
seseorang adalah kewajiban orang lain; (b) hak yang tercermin oleh kepemilikan
(ownership)
adalah
sumber
kekuasaan
untuk
memperoleh sumberdaya tersebut. Hak tersebut dapat diperoleh melalui berbagai cara seperti melalui pembelian, pemberian bonus sebagai balas jasa, pengaturan administrasi seperti subsidi pemerintah terhadap kelompok masyarakat. 3. Aturan representasi (rule of representation). Aturan representasi mengatur
siapa
yang
pengambilan keputusan.
berhak
berpartisipasi
dalam
proses
Keputusan apa yang diambil dan apa
akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam proses ini bentuk partisipasi tidak ditentukan oleh besarnya uang rupiah yang dibagikan,melainkan ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat anggota yang terlibat. 3. Untuk menentukan bentuk pemberdayaan masyarakat dalam pengendaliaan degradasi sumberdaya pesisir yang sesuai dengan status sumberdaya alam, struktur masyarakat pesisir dan kelembagaan masyarakat pesisir dianalisis menggunakan teknik A’WOT yaitu gabungan teknik SWOT, yaitu analisis strenght, weaknesses, opportunities, and threats (SWOT) dan AHP (analytical hierarchy process) dengan menggunakan software MAHP. Adapun prosedur analisis secara detail dapat diuraikan sebagai berikut : Tahapan analisis SWOT yang digunakan dalam menganalisis data yaitu mengumpulkan semua informasi yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat
pesisir,
baik
secara
eksternal
maupun
secara
internal.
Pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan praanalisis, pada tahap ini data dapat dibagi dua, yaitu pertama, data eksternal dan kedua, data internal.
Data eksternal meliputi peluang (opportunities) dan
ancaman (threaths) dapat diperoleh dari lingkungan luar yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir. Sedangkan data internal meliputi kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) diperoleh dari lingkungan dalam masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir.
Tahapan
pengumpulan data sampai pada tahap analisis dapat dirinci pada Gambar 3 di bawah ini.
Tahapan Pengumpulan data
Evaluasi faktor eksternal
Evaluasi faktor internal
Matrik profil kompotitif
Tahap Analisis Data
Matrik SWOT
Gambar 3. Rangkaian kerja analisis SWOT (Rangkuti, 2000) Tahap analisis data untuk menyusun faktor-faktor strategi, diolah dalam bentuk matriks SWOT. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang kemungkinan muncul, demikian pula pada penyesuaian dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
Matriks dapat
menghasilkan empat kemungkinan alternatif kriteria strategi secara detail seperti disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Standar matriks kombinasi SWOT
IFAS
KEKUATAN (S) Tentukan 2-10 faktor-faktor kekuatan internal
KELEMAHAN (W) Tentukan 2-10 kelemahan internal
EFAS PELUANG (O) Tentukan 2-10 faktor-faktor Peluang
Strategi SO Strategi WO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan Ciptakan strategis yang meminimalkan untuk memanfaatkan peluang kelemahan untuk memanfaatkan peluang
ANCAMAN (T) Tentukan 2-10 faktor-faktor Ancaman ekternal
Strategi ST Strategi WT Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan Ciptakan strategi yang meminimalkan untuk menghindari ancaman kelemahan dan menghindari ancaman
Sumber : Rangkuti , 2000
Untuk menentukan prioritas terhadap alternatif strategi pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menggunakan software MAHP (Modification analytical hierarchy process) yang merupakan perpaduan antara SWOT dan AHP. Secara skematis, proses pengambilan keputusan dengan MAHP dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
Menentukan Prioritas Strategi pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir melalui pemberdayaan nelayan
Level 1 Fokus
Level 2 Komponen SWOT
Level 3 Faktor SWOT
Level 4 Kriteria
Bobot *
Level 5 Alternatif Strategi
STRENGTHS
a
b
c
Program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas (0,3864)
Pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasis kekerabatan (0,3017)
Bobot *
* Konsistensi penilaian 93,34%
d
WEAKNESSES
e
f
g
Pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir (0,1946)
Pengembangan system silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up (0,2125)
h
OPPORTUNITIES
j
j
k
l
Peningkatan peran serta nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara lestari (0,0638)
Pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompokkelompok profesi (0,2157)
TRHEATS
m
n
o
p
q
Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi (0,3552)
Kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan partisipatif (0,2702)
Gambar 4.Proses hirarki penentuan prioritas strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir (Sumber: dimodifikasi dari Budiharsono, 2004) Keterangan : a. Panjang garis pantai ± 63 Km mempuyai potensi sumberdaya perikanan 49,195 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 67% (0,5880) b. Jumlah nelayan 4065 orang dengan produktivitas 25 kg/orang/hari (0,4120) c. Sistem patron klien (0,2469) d. Kesenjangan teknologi dan modal (0,1086) e. Rendahnya tingkat pendapatan nelayan/petambak kecil/buruh (0,3793) f. Rendahnya modal dalam struktur masyarakat nelayan (0,1054) g. Kultur masyarakat pesisir yang plural (0,1598) h. Degradasi hutan mangrove (0,3603) i. Penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan (0,1075) j. Meningkatnya konflik sosial nelayan (0,1062) k. Tangkap lebih (overfishing) (0,3201) l. Pencemaran perairan (0,1059) m. Perda zonasi pesisir dan laut Kota Bengkulu (0,1103) n. Sarana transportasi dari dan ke Kota Bengkulu yang membaik (0,1098) o. Program reboisasi (0,3975) p. Kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan (0,1087) q. Peningkatan skala usaha masyarakat (0,2737)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Eksploitasi Sumberdaya Alam Pesisir di Lokasi Penelitian 4.1.1. Usaha Perikanan Tangkap Armada
penangkapan
yang
digunakan
Nelayan
Teluk
Sepang
menggunakan kapal motor berkekuatan <5 GT sebanyak 8 unit, kapal motor berkekuatan 5-10 GT sejumlah 14 unit. Nelayan Sumberjaya menggunakan jenis mesin motor yang lebih beragam, yaitu mesin motor dengan kekuatan <5 GT sebanyak 16 unit, berkekuatan 5-10 GT sejumlah 33 unit, berkekuatan 10-20 GT sebanyak 12 unit, mesin motor 20-30 GT sejumlah 10 unit dan mesin motor berkekuatan >30 GT ada 8 unit. Nelayan Kandang menggunakan perahu tanpa motor atau sampan sejumlah 37 unit, kapal motor berkekuatan <5 GT sejumlah 28 unit dan kapal motor berkekuatan 5-10 GT sejumlah 3 unit
Tabel 6. Armada penangkapan nelayan di lokasi penelitian tahun 2006 Kekuatan Jenis Mesin Motor Tanpa motor < 5 GT 5 – 10 GT 10 – 20 GT 20 – 30 GT > 30 GT
Lokasi Penelitian Teluk Sumberjaya/unit Sepang/unit 0 0 8 16 14 47 0 21 0 18 0 15
Total 22 117 Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Jumlah (Persentase)
Kandang/unit 37 28 6 0 0 0
37 (17,62%) 52 (24,76%) 67 (31,90%) 21 (10%) 18 (8,58%) 15 (7,14%)
71
210 (100%)
Berdasarkan data dari Tabel 8, di Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Sumberjaya,
usaha
penangkapan
ikan
didominasi
armada
penangkapan
berkekuatan 5–10 GT (43,88%), sedangkan di Kelurahan Kandang didominasi armada penangkapan perahu tampa motor atau sampan (52,11%). Di daerah penelitian usaha penangkapan ikan tergolong pada perikanan artisanal atau perikanan rakyat (small scale fisheries), yang beroperasi di wilayah perairan teritorial. Kajian ini sesuai dengan Dwiponggo et al. (1988), bahwa sekitar 90% perikanan tangkap di Indonesia baru berupa perikanan artisanal, sedangkan sisanya adalah perikanan maju atau perikanan komersil. Bahkan untuk kondisi
sekarang, menurut Dahuri (2003) perikanan artisanal di Indonesia mencapai sekitar 98,2%. Dilihat dari jumlah armada penangkapan di daerah penelitian, terutama bermesin besar yaitu 10 - >30 GT mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti terlihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Perkembangan armada penangkapan berdasarkan jenis mesin motor tahun 2004 dan tahun 2006 di daerah penelitian Lokasi Penelitian
Kekuatan Jenis Mesin Motor (Gross Ton/GT)
T. Sepang Sumberjaya Kandang
PTM 0 0 37
<5 12 30 15
2004 5-10 10-20 0 3 15 35 0 0
Jumlah
37
57
38
15
20-30 0 10 0
>30 0 10 0
PTM 0 0 27
<5 8 16 28
5-10 14 47 6
10
10
27
52
67
2006 10-20 0 21 0 21
20-30 0 18 0
>30 0 15 0
18
15
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
16
Jumlaharmada/unit
14 12 10 8 6 4 2 0 Je nis m e s in
PTM
<5 GT
5-10 GT
10-20 GT
20-30 GT
>30 GT
2004
0
12
3
0
0
0
2006
0
8
14
0
0
0
Gambar 5. Perkembangan jumlah armada penangkapan berdasarkan jenis mesin Nelayan Teluk Sepang tahun 2004 dan tahun 2006 50
Jumlah armada/unit
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Je nis m e s in
PTM
<5 GT
5-10 GT
10-20 GT
20-30 GT
>30 GT
2004
0
30
35
15
10
10
2006
0
16
47
21
18
15
Gambar 6. Perkembangan jumlah armada penangkapan berdasarkan jenis mesin Nelayan Sumberjaya tahun 2004 dan tahun 2006
40
Jumlah armada/unit
35 30 25 20 15 10 5 0 Je nis m e s in
PTM
<5 GT
5-10 GT
10-20 GT
20-30 GT
>30 GT
2004
37
15
0
0
0
0
2006
27
28
6
0
0
0
Gambar 7. Perkembangan jumlah armada penangkapan berdasarkan jenis mesin Nelayan Kandang tahun 2004 dan tahun 2006 Perkembangan jenis mesin motor yang digunakan Nelayan Teluk Sepang dan Nelayan Sumberjaya menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan di daerah penelitian mengalami peningkatan yakni pada tahun 2004 armada penangkapan bermesin besar (10->30 GT) 35 unit, mengalami peningkatan sebesar 19 unit pada tahun 2006. Armada penangkapan Nelayan Kandang menggunakan perahu tanpa motor (sampan) mengalami penurunan dari 37 unit tahun 2004 menjadi 27 unit tahun 2006, sedangkan armada penangkapan <5GT mengalami peningkatan 28 unit dari 15 unit. Menurut 85 nelayan tangkap yang dijadikan responden, sebanyak 15 responden di Kelurahan Teluk Sepang berpendapat bahwa terjadinya peningkatan disebabkan bertambahnya kapasitas/kemampuan tangkap terhadap hasil laut karena semakin teraturnya permintaan pasar (51,73%) dan semakin jauhnya wilayah penangkapan (41,37%), dan (6,89%) menjawab tidak tahu. Di Kelurahan Sumberjaya, 39 nelayan responden (78,04%) berpendapat bahwa bertambahnya kemampuan tangkap dikarenakan teraturnya permintaan pasar dan 21,95% dikarenakan semakin jauhnya wilayah penangkapan. Di Kelurahan Kandang 66,67% menjawab disebabkan teraturnya permintaan pasar, 26,67% jauhnya wilayah penangkapan, dan 6,67% menjawab tidak tahu, seperti yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Pendapat responden tentang peningkatan usaha perikanan tangkap Apa yang menyebabkan terjadinya peningkatan usaha tangkap di daerah anda
Lokasi Penelitian Jumlah (persentase)
Teluk Sepang Teraturnya permintaan pasar 15 Jauhnya wilayah penangkapan 12 Tidak Tahu 2 Total 29 Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Sumberjaya
Kandang
32 9 0 41
10 4 1 15
57 (67,06%) 25 (29,41%) 3 (3,53%) 85 (100%)
Berdasarkan uraian di atas memperlihatkan bahwa permintaan pasar terhadap produk perikanan laut mempengaruhi tingkat pemanfaatannya. Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di daerah penelitian terlihat pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Jumlah dan jenis produksi perikanan laut di daerah penelitian tahun 2004 dan tahun 2006 Lokasi Penelitian Kelompok spesies
Tahun 2004 Tahun 2006 Produksi (ton/thn) Produksi (ton/thn) Pelagis Besar 1.043,33 1.565,00 Pelagis Kecil 3.546,13 5.319,20 Demersal 769,27 1.153,90 Ikan Karang 1.007,97 1.511,95 Udang 681,87 1.022,80 Cumi-cumi 347,67 521,50 Total 7.396,24 11.094,35 Sumber : Di hitung dari laporan tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bengkulu, 2004 dan data primer, 2006 6.000,00
Nilai produksi (ton)
5.000,00 4.000,00 3.000,00 2.000,00 1.000,00 0,00 Spesies ikan
Pelagis besar
Pelagis kecil
Demersal
Ikan karang
Udang
2004
1.043,33
3.546,13
769,27
1.007,97
681,87
Cumi-cumi 347,67
2006
1.565,00
5.319,20
1.153,90
1.511,95
1.022,80
521,50
Gambar 8. Perkembangan produksi perikanan laut di daerah penelitian tahun 2004 dan tahun 2006
Jenis ikan yang banyak ditangkap nelayan di daerah penelitian adalah kelompok spesies pelagis kecil seperti ikan kembung, tongkol, kuwe (gebur), sarden, selar, belanak, terusan, tenggiri, kapas-kapas dan layang.
Hal ini
mengandung arti penangkapan ikan masih terbatas pada spesies tertentu, padahal beberapa jenis ikan lainnya (pelagis besar, demersal, ikan karang, udang dan cumi-cumi) memiliki nilai ekonomis, masih belum termanfaatkan secara baik. Kondisi ini karena kemampuan jangkauan armada penangkapan ikan masih terbatas pada perairan teritorial. Total produksi tahun 2006 sebesar 11.094,35 ton jika dibandingkan dengan produksi tahun 2004 sebesar 5.547,18 maka terjadi peningkatan sebesar 33,4%. Peningkatan ini memperlihatkan bahwa sumberdaya perikanan laut di daerah penelitian berpotensi sangat besar untuk dimanfatkan secara optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Masyhudzulhak (2004), bahwa potensi yang besar ini dapat menciptakan investasi yang menguntungkan bagi penanaman modal di sektor perikanan laut Kota Bengkulu. Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di daerah penelitian adalah alat tangkap. Jenis alat tangkap yang digunakan Nelayan Teluk Sepang dan Nelayan Sumberjaya terdiri dari alat tangkap statis dan alat tangkap aktif. Alat tangkap statis berupa bagan tancap pinggir, dan alat tangkap aktif berupa jaring lobster/udang,jaring insang, payang, jaring pukat cincin, bagan perahu, mini trawl, pancing rawai. Nelayan Teluk Sepang lebih banyak menggunakan jaring insang hanyut 24 unit alat tangkap atau 52,17%, jaring lobster/udang 16 unit atau 34,78% dan 3 unit (6,52%) menggunakan alat tangkap jaring payang. Di samping itu ada 3 unit (6,52%) masih menggunakan alat tangkap bagan tancap pinggir. Alat tangkap nelayan Sumberjaya yang menggunakan jaring insang 29,66% atau 35 unit, jaring lobster/udang 23,73%, jaring payang 18,64%, jaring pukat cincin 12,71%, pancing rawai 6,78%, bagan perahu 5,08% dan mini trawl 3,39%. Alat tangkap nelayan Kandang menggunakan bubu (20%), jaring udang 40%, jaring insang 31,43%, dan bagan tancap pinggir 8,57%, seperti pada Tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10. Jenis alat tangkap nelayan di daerah penelitian Lokasi Penelitian Jenis Alat Tangkap
Jumlah (Persentase)
bubu Bagan tancap pinggir Jaring lobster/udang Jaring insang Payang Jaring pukat cincin Jaring mini trawl Bagan perahu Pancing rawai
T. Sepang/unit 0 3 16 24 3 0 0 0 0
Sumberjaya/unit 0 0 28 35 22 15 4 6 8
Kandang/unit 7 3 14 11 0 0 0 0 0
7 (3,52%) 6 (3,02%) 58 (29,15%) 70 (35,17%) 25 (12,56%) 15 (7,54%) 4 (2,01%) 6 (3,01) 8 (4,02%)
Total
46
118
35
199 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Jumlahalat tangkap
40 35 30 25 20 15 10 5 0 Bubu
Bagan jaring jaring tancap lobs ter ins ang
payan g
pukat cincin
m ini trawl
Bagan Pancin perahu g
Teluk Sepang
0
3
16
24
3
0
0
0
0
Sum berjaya
0
0
28
35
22
15
4
6
8
Kandang
7
3
14
11
0
0
0
0
0
Gambar 9. Perkembangan alat tangkap nelayan di daerah penelitian tahun 2006
Jenis alat tangkap yang berkembang dan banyak digunakan nelayan di daerah penelitian adalah jaring insang (35,17%) dan jaring lobster (29,14%). Tingginya penggunaan alat tangkap jaring insang karena alat tangkap tersebut relatif mudah dimiliki dan dioperasikan nelayan, serta menghasilkan tangkapan ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Hal itu dapat dipahami karena dasar perairan pantai Kota Bengkulu menurut kajian Suyedi (2007) mempuyai kedalaman dasar laut antara 3 meter hingga 24 meter dan disamping itu alat tangkap insang dan jaring lobster, materialnya tidak mahal dan mudah diperoleh serta mampu dibuat nelayan. Berdasarkan kajian diatas, usaha perikanan laut nelayan Kandang menunjukkan skala usaha peasant fisher, nelayan Teluk Sepang skala usaha postpeasant fisher, dan skala usaha perikanan laut nelayan Sumberjaya commercial
fisher. Hal ini sesuai dengan penjelasan Satria (2002), bahwa usaha skala peasant fisher mempuyai ciri berorientasi pemenuhan kebutuhan sendiri, mengunakan alat tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama, post-peasant fisher menggunakan teknologi penangkapan kapal motor, masih beroperasi di wilayah pesisir pantai (teritorial), berorientasi pasar, tenaga kerja tidak lagi tergantung pada anggota keluarga. Sedangkan skala usaha commercial fisher adalah nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan, skala usahanya besar bercirikan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manager, teknologi yang digunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal ataupun alat tangkap.
4.1.2. Usaha Budidaya Tambak Pembukaan lokasi tambak di daerah penelitian baru dimulai tahun 1978/1980, awalnya dipergunakan untuk lahan sawah tadah hujan. Tahun 1989 mulai dikembangkan pertambakan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi tambak dengan komoditi udang windu dan ikan mujair. Tahun 2000-an perkembangan tambak di wilayah pesisir Kota Bengkulu.
Luas
tambak di
Kelurahan Teluk Sepang pada tahun 2002 seluas 5,85 ha, di Kelurahan Sumberjaya seluas 17,33 ha dan di Kelurahan Kandang seluas (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bengkulu, 2002). Luas tambak telah berkembang menjadi 9,75 ha di Kelurahan Teluk Sepang, di Kelurahan Sumberjaya 52,45 ha dan di Kelurahan Kandang 161,06 ha pada tahun 2006, yang disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Perkembangan luas tambak di daerah penelitian tahun 2002 dan tahun 2006 Kelurahan
Kecamatan
Luas kelurahan
Luas Tambak (ha)
Jumlah
(ha)
Petambak 2002
2006
(KK)
Teluk Sepang
Kampung
1936
5,85
9,75
7
Kandang
Melayu
473
51,49
161,06
23
462
17,33
52,45
15
2871
74,67
170,82
45
Sumberjaya Jumlah
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
180 Luaslahan (ha)
160 140 120 100 80 60 40 20 Tahun
0
2004
2006
5,85
9,75
Sumberjaya
17,33
52,45
Kandang
51,49
161,06
Teluk Sepang
Gambar 10. Perkembangan luas tambak di daerah penelitian tahun 2002 dan tahun 2006 Peningkatan luas tambak di daerah penelitian terutama di Kandang dan Sumberjaya sebesar 161,06 ha dan 52,45 ha menunjukkan perkembangan yang cepat dalam kurun waktu lima tahun. Meluasnya lahan pertambakan di Kelurahan Kandang menurut Dinas perikanan dan kelautan Kota Bengkulu (2000) disebabkan kualitas air yang meliputi pH, salinitas dan suhu sesuai dengan habitat kepiting bakau, masih adanya pengaruh pasang surut serta terbebas dari sumber pencemaran menjadikan Kelurahan Kandang sebagai percontohan budidaya kepiting bakau. Hal ini di perkuat dari hasil kualitas perairan yang dilakukan disajikan dalam Tabel 12. dibawah ini. Parameter kualitas air Suhu pH Kadar garam (salinitas) Oksigen terlarut Nitrit Nitrogen (N02-N) Amoniak (NH3-N) Arus
Baku Mutu 5-320C 7,5 – 8,3 30 – 32 ppt 4-8 ppm 0 – 0,05 ppm < 0,02 ppm 15 – 30 cm/detik
Kandungan yang terdapat 28-33 0 C 7,25 – 7,45 23 – 40 ppt 7 – 8 ppm 0 – 009 ppm 0,001 – 0,01 ppm 20 – 30 cm/detik
Sementara itu di Kelurahan Sumberjaya dan Kelurahan Teluk Sepang disebabkan oleh adanya permintaan produk tambak (udang) yang semakin meningkat dengan harga yang relatif tinggi yaitu pada tahun 2006 harga udang mencapai Rp. 55.000/kg. Tingginya harga udang ini, sebagai pemicu pembukaan hutan mangrove menjadi tambak. Kondisi ini ternyata berlaku sama dengan komunitas tambak di daerah lain, dan menurut Pringgono (2005), meluasnya tambak di Delta Mahakam karena tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga harga udang tinggi, yaitu Rp. 35.000/Kg saat itu. Keberadaan tambak di daerah penelitian menurut responden, sebanyak 54,56% dikarenakan permintaan udang meningkat dengan harga yang relatif tinggi. Disamping itu adanya dukungan lembaga non bank sebagai patron (31,81%) dan adanya tenaga terampil sebagai client (13,63%), turut memperlancar konversi hutan mangrove menjadi tambak.
Tabel 13. Pendapat responden tentang berkembangnya usaha budidaya tambak di daerah penelitian Menurut pendapat saudara, apa yang menyebabkan
Lokasi Penelitian
usaha budidaya tambak berkembang cepat ?
TS
SJ
Kdg
Jumlah (%)
Permintaan udang meningkat dengan harga relatif tinggi
4
6
8
18 (58,06%)
Dukungan lembaga non bank (patron)
2
3
5
10 (32,26%)
Banyaknya tenaga terampil
1
0
2
3 (9,68%)
7
9
15
31 (100%)
Total Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Disamping itu, pengelolaan tambak di daerah penelitian masih menggunakan teknologi tradisional, dan kepadatan tebar benur sampai dengan 50.000 ekor per hektar (atau sekitar 17.000 ekor gelondong). Tebar benur yang dilakukan dua kali setahun yaitu bulan Januari sampai dengan Oktober. Pemberian pakan, bagi petambak yang letak tambaknya dengan sisa tegakan mangrove, maka input pakan mengandalkan pakan alami berupa cacing alam, kerasan serta lumut. Bagi petambak yang letak tambaknya agak jauh ke darat (sekitar 500 meter), maka pakan yang diberikan pakan buatan seperti jagung giling, nasi dan berbagai campuran buatan sendiri. Penggantian air tambak hanya memanfaatkan pasang surut alami saja.
Peningkatan produksi tambak di daerah penelitian, tidak terlepas dari peningkatan luas tambak dan hasil produksi tambak di Kota Bengkulu, seperti terlihat pada Tabel 14 berikut. Tabel 14. Perkembangan luas dan produksi tambak di Kota Bengkulu tahun 2002-2006 Tahun
Usaha Budidaya Tambak Luas (Ha)
Produksi (ton)
2002
112
86,70
2003
168
115,46
2004
164
132,26
2005
164
125,37
2006
195,53
322,61
Jumlah
803,53
782,4
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bengkulu, 2006
350 300
Nilai
250 200 150 100 50 Tahun
0
2002
2003
2004
2005
2006
Luas lahan (Ha)
112
168
164
164
195,53
Produksi (ton)
86,7
115,46
132,26
125,37
322,61
Gambar 11. Perkembangan luas dan produksi tambak di Kota Bengkulu
Tabel 14 dan Gambar 11 memperlihatkan bahwa produksi hasil tambak meningkat pada tahun 2006 sebesar 322,61 ton. Peningkatan ini menunjukkan bahwa usaha budidaya tambak di Kota Bengkulu potensial untuk dikembangkan. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Acciaioli (1989) bahwa secara garis besar, di dalam komunitas petambak ada prinsip yang ingin diwujudkan oleh para petambak di dalam kegiatan pertambakan, yaitu (1) berusaha mendapatkan hasil panen yang sebesar-besarnya, (2) berusaha memiliki hamparan tambak seluasluasnya; dan (3) ingin cepat berhasil dan sukses dalam bertambak. Keinginan
tersebut berimplikasi pada pola perluasan tambak yang cenderung eksploitatif terhadap sumberdaya mangrove serta pola pengelolaan tambak yang tidak efisien dan ramah lingkungan.
4.2. Kondisi Sumberdaya Alam Pesisir Kota Bengkulu 4.2.1. Sumberdaya Perikanan Laut Berdasarkan hasil pendataan dan pengamatan lapangan di Kota Bengkulu didapatkan alat tangkap yang beragam. Kondisi tersebut disebabkan sumberdaya perikanan Kota Bengkulu adalah multi species. Untuk mengukur tingkat upaya tangkap dengan sumberdaya ikan yang multi species tersebut diperlukan standarisasi jenis alat tangkap yang dominan di Kota Bengkulu. Jenis alat tangkap yang terdapat di Kota Bengkulu dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.
Tabel 15. Jenis alat tangkap nelayan Kota Bengkulu No
Jenis
Kota Bengkulu Unit 1 Jaring insang hanyut 137 2 Jaring insang tetap 71 3 Tramel Net 104 4. Payang 35 5. Dogol 102 6. Pukat Pantai 16 7. Pancing Tonda 80 8. Pancing tetap 63 9. Pukat cincin 60 10. Bagan 15 Jumlah 719 unit Sumber: Diolah dari data Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bengkulu, 2006
Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa alat tangkap yang dominan digunakan nelayan Kota Bengkulu adalah jenis gillnet (jaring insang hanyut, jaring insang tetap, trammel net) dan pukat kantong (payang, dogol, pukat pantai). Dengan merujuk pada jenis alat tangkap yang efisien dalam jumlah trip, standarisasi upaya tangkap di Kota Bengkulu tahun 1990-2006 disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Upaya tangkap dan produksi perikanan laut Kota Bengkulu Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Kota Bengkulu Upaya Tangkap (Stnd,Trip,000) 13,430 9,630 17,120 19,880 11,720 22,040 18,020 20,390 29,990 35,480 38,770 43,630 47,170 31,936 33,173 35,067 36,902
Produksi (Ton) 6.578,5 4.499,8 7.088,4 7.465,6 6.622,6 8.463 7.377,8 7.766,3 8.622,6 11.196,4 11.435,1 14.894,7 15.180 15.230,80 16.200,5 25.982,70 27.120
Sumber : Diolah dari data DKP Kota Bengkulu, 2006 dan data primer,2006
Produksi perikanan laut Kota Bengkulu rata-rata tahun 1990-1999 sebesar 7.568,1 ton dan pada Tahun 2000-2006 rata-rata produksi sebesar 16.826,6 ton. Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa upaya tangkap di Kota Bengkulu mengalami penurunan, sementara produksinya mengalami peningkatan. Upaya tangkap yang paling besar terjadi pada tahun 2002 yaitu mencapai 47,17 trip/tahun. Upaya tangkap paling rendah terjadi pada tahun 1991 yaitu mencapai 9,63 trip/tahun. Pendugaan potensi dan pemanfaatan berguna untuk mengetahui besarnya kapasitas maksimum sumberdaya perikanan laut yang dapat ditangkap secara terus menerus tanpa mempengaruhi potensi lestari.
Dengan menggunakan
parameter biologi Kota Bengkulu (dimodifikasi dari Masyhudzulhak, 2004), dimana nilai r = 0,794815644, q = 0,084144096, K = 31.415,52, R2 = 0,793 dan DW = 1,78, maka pendugaan kapasitas maksimum perikanan laut Kota Bengkulu dengan menggunakan model Gompertz dapat dilihat dalam Gambar 12 berikut.
50 45 40 35
Nilai
30 25 20 15 10 5 0
Tahun
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Produksi Lestari 9,746 8,25 10,57 10,88 9,164 10,98 10,7 10,9 10,56 9,826 9,302 8,466 7,842 9,035 9,729 9,843 9,787 Produksi Aktual 6,578 4,499 7,088 7,465 6,622 8,463 7,377 7,766 8,622 11,2 11,44 14,89 15,18 15,23 16,20 25,98 27,12 Trip
13,43 9,630 17,12 19,88 11,72 22,04 18,02 20,39 29,99 35,48 38,77 43,63 47,17 31,93 33,17 35,06 36,90
Gambar 12. Produksi Aktual, potensi lestari dan upaya tangkap Kota Bengkulu Tahun 1990-2006 Gambar 12 memperlihatkan bahwa sumberdaya perikanan laut di Kota Bengkulu telah mengalami tangkap lebih, dalam hal ini tahun 1990-1998 produksi aktual belum melampaui potensi lestari namun pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2006 telah terjadi lebih tangkap (overfishing). Pada tahun tersebut produksi aktual telah melampaui kapasitas produksi lestari. Kondisi ini didukung oleh hasil penelitian Suyedi (2007) bahwa telah terjadi overfishing pemanfaatan beberapa jenis sumberdaya perikanan laut Kota Bengkulu seperti ikan pelagis besar dan ikan demersal, dan telah melewati batas nilai dugaan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY). Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan laut tidak saja meningkatkan produksi tetapi juga menimbulkan overfishing sumberdaya perikanan. Overfishing sumberdaya perikanan laut di Kota Bengkulu disebabkan meningkatnya input produksi yaitu jumlah dan kapasitas armada penangkapan. Berdasarkan uraian diatas ternyata bertambahnya input produksi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan sangat berpengaruh terhadap perubahaan kualitas dan kuantitas sumberdaya perikanan. Input produksi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan terdiri dari armada penangkapan di Kota Bengkulu dari tahun ketahun terjadi peningkatan, seperti terlihat pada Gambar 13 dibawah ini.
350
Jumlah armada
300 250 200 150 100 50 Tahun
0
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
PTM
178
184
184
175
166
158
150
148
144
144
139
136
132
108
107
102
85
< 5 GT
190
194
194
202
201
207
207
215
221
221
223
227
231
271
301
295
119
5-10 GT
47
49
49
51
50
53
55
59
63
64
66
69
71
79
89
133
102
10-20 GT
26
28
28
28
29
31
33
36
38
38
39
39
40
39
42
44
62
20-30 GT
20
20
20
20
21
21
20
24
24
24
25
25
29
26
36
36
25
7
7
7
7
12
12
13
14
14
15
15
17
20
20
40
36
35
> 30 GT
2006
Gambar 13. Perkembangan armada penangkapan Kota Bengkulu tahun 1990-2002 Gambar 13 menunjukkan perkembangan armada penangkapan Kota Bengkulu untuk perahu tanpa motor (PTM) pada tahun 1990-2006 menurun dari 178 menjadi 85 unit. Sedangkan kapal motor < 5 GT menurun dari tahun 19902006 sebanyak 119 unit, kapal motor 5-10GT pada tahun 1990 sebanyak 47 unit pada tahun 2002 menjadi 102 unit, kapal motor 10-20 GT tahun 1990 sebanyak 26 unit menjadi 62 unit pada tahun 2006, kapal motor 20-30 GT pada tahun 1990 sebanyak 20 unit dan pada tahun 2006 menjadi 25 unit dan kapal motor > 30 GT meningkat 35 unit dari 7 unit tahun 1990. Hal ini menunjukkan penambahan armada penangkapan meningkatkan pertumbuhan produksi. Peningkatan armada penangkapan Kota Bengkulu tersebut menunjukan investasi disektor kelautan yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai penanaman modal, terutama jenis dan bobot kapal motor 5 GT- 30 GT. Hal ini menunjukkan penambahan armada penangkapan meningkatkan pertumbuhan produksi. Pendapat ini memperkuat
penelitian
Masyhudzulhak
(2004),
penangkapan di Kota Bengkulu menunjukan
pertumbuhaan
armada
perkembangan investasi sektor
wilayah pesisir cukup prospektif dan menguntungkan. Namun jika dalam pertumbuhaan armada tersebut tanpa ada pengaturan berakibat akan terjadi degradasi untuk meminimumkan dampak dari pertambahan armada penangkapan dilakukan pengaturan perizinan kapal motor dan penataan jalur-jalur operasi. Pengaturan sangat penting dari perkembangan armada penangkapan telah terjadi penyusutan armada penangkapan perahu tanpa motor akibat persaingan dalam pemanfaatn sumberaya perikanan..
4.2.2. Mangrove Hutan mangrove di Propinsi Bengkulu pada umumnya didominasi jenis Aviciennia officinalis, Bruquiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, Sonneratia graffiti, dan Xylocarpus granntum (Fakultas Kehutanan IPB, 2000). Spesies mangrove yang mendominasi wilayah pesisir Propinsi Bengkulu, tidak berbeda dengan daerah lain, hanya jenis dan susunan ekosistem yang berbeda. Di Kabupaten Karawang, jenis hutan mangrove terdiri dari jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucrota, Aviciennia marina, Sonneratia alba dan Lumnitzera recomosa (Karim, 2005). Di Kabupaten Indramayu, komunitas hutan mangrove didominasi jenis Aviciennia marina, Rhizophora mucrota, Bruquiera sp., dan Nypa sp (Hasan, 2004). Hutan mangrove di Propinsi Bengkulu dengan luas 20.644 ha, tersebar di tiga kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Muko-Muko dengan luas 4 ha, Kabupaten Bengkulu Utara seluas 19600 ha, Kabupaten Bengkulu Selatan seluas 40 ha dan Kota Bengkulu dengan luas 1000 ha (Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut Propinsi Bengkulu, 2002), seperti disajikan pada Tabel 17 berikut.
Tabel 17. Lokasi mangrove di Propinsi Bengkulu tahun 2002 No 1 2 3 4
Lokasi Ditemukan Mangrove Muara Sungai Selangan Muko-Muko Utara Pulau Baai Pulau Enggano Pasar Ngalam (Pulau Tengah, Pulau Kandis)
Kabupaten Muko-Muko Kota Bengkulu Bengkulu Utara Bengkulu Selatan
To t a l
Luas (ha) 4 1000 19600 40 20644
Sumber : Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut Propinsi Bengkulu, 2002
Penyebaran ekosistem mangrove di Kota Bengkulu terletak di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gading Cempaka dan Kecamatan Kampung Melayu seluas 1000 ha pada tahun 2002 (Atlas Sumberdaya Pesisir dan laut Propinsi Bengkulu, 2002).
Sebaran ekosistem mangrove yang terdapat di Kecamatan
Kampung Melayu relatif luas yaitu 999,63 ha, terletak di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Kandang luasnya 298,68 ha, Kelurahan Teluk Sepang seluas 529,07 ha dan Kelurahan Sumberjaya seluas 171,88 ha, seperti pada Tabel 18 berikut.
Tabel 18. Lokasi mangrove di Kota Bengkulu tahun 2002 No
Lokasi di temukan mangrove
1.
Kelurahan Kandang
Kecamatan Kampung Melayu
298,68
Kelurahan Teluk Sepang
529,07
Kelurahan Sumberjaya
171,88
Jumlah 2.
Luas (ha)
Kelurahan Padang Harapan
999,63 Gading Cempaka
Jumlah Total
0,37 1000
Sumber : Bappeda Kota Bengkulu, 2002; Dinas Kehutanan Kota Bengkulu, 2002
Penyebaran ekosistem mangrove di Kecamatan Kampung Melayu terletak di kawasan pesisir Pulau Baai, yang tersusun atas Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, Avicennia marina, Ceriops tagal, Bruguiera gymnorrhiza, Cerbera manghas, Lumintzera litorea, Hibiscus titiaceus dan Xylocarpus granatum. Jenis Sonneratia alba dan
Avicennia marina menempati daerah pinggiran sungai,
selanjutnya diikuiti oleh Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza, sedangkan Lumintzera litorea menempati areal lebih ke darat (Atlas Sumberdaya Pesisir dan Kelautan Kota Bengkulu, 2002). Dari hasil identifikasi lapangan (2007), susunan ekosistem mangrove yang dijumpai di Kelurahan Teluk Sepang pada zonasi dekat laut didominasi jenis Rhizophora apiculata dengan tinggi rata-rata pohon 1,2 meter, diameter rata-rata 5,1 centimeter. Jenis tegakan ini sebagian besar tumbuh di pinggir pantai secara berkelompok. Jenis Avicennia marina
rata-rata tingginya 2,4 meter. Jenis
Bruguiera gymnorrhiza juga ditemukan dengan tinggi rata-rata 3,6 meter dan berdiameter rata-rata 8,28 centimeter. Di Kelurahan Sumberjaya, ekosistem mangrove yang ditemui tersusun atas jenis Avicennia marina, menempati daerah pinggiran sungai atau bagian depan teluk dengan tinggi rata-rata pohon 3,1 meter, diameter rata-rata 5,4 centimeter dan Rhizophora apiculata dengan tinggi rata-rata pohonnya 1,3 meter, berdiameter 5,2 centimeter. Di Kelurahan Kandang, ekosistem mangrove jenis Rhizophora apiculata, yang ditemui lebih ke arah darat. Tinggi rata-rata pohonnya 3,4 meter dengan diameter 5,3 centimeter, begitu juga jenis Lumintzera litorea, dengan rata-rata tinggi pohon 1,5 meter, dan berdiameter
5,1 centimeter. Susunan ekosistem mangrove di kelurahan ini menunjukkan telah berkurangnya keanekaragaman jenis ekosistem mangrove. Kondisi hutan mangrove di Kelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Sumberjaya, dan Kelurahan Kandang, teridentifikasi telah terdegradasi. Hal ini terlihat dari penurunan luas hutan mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2002 dari luas 529,07 ha, dan dalam kurun waktu lima tahun (2007) luasan tertinggal 367,70 ha dalam kondisi baik dan 161,37 ha kondisinya rusak. Di Kelurahan Sumberjaya, dari luasan mangrove 171,88 ha pada tahun 2002, mengalami penurunan dalam kurun waktu lima tahun (tahun 2007) seluas 92,5 ha yang kondisi mangrovenya baik, dan mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2007 mengalami penurunan sampai seluas 74,82 ha dari 298,68 ha pada tahun 2002. Penurunan luas mangrove disajikan pada Tabel 19 berikut.
Tabel 19. Penurunan luas hutan mangrove di daerah penelitian pada tahun 2002 dan tahun 2007 Luas mangrove (ha) No
1
KECAMATAN
Kampung Melayu
T o t
Kelurahan
2002
2007
Sumberjaya
171,88
92,5
Teluk Sepang
529,70
367,70
Kandang
298,68
74,82
999,63
578,77
a l
Sumber : Atlas sumberdaya pesisir dan laut Kota Bengkulu (2002) dan data primer, (2007)
Luas lahan (ha)
600 500 400 300 200 100 Tahun
0
2004
2006
Teluk Sepang
529,07
367,7
Sumberjaya
171,88
92,5
Kandang
298,68
74,82
Gambar 14. Penurunan luas mangrove di daerah penelitian (sumber: atlas sumberdaya pesisir dan lautan Kota Bengkulu, 2002 dan data primer, 2007)
Berdasarkan Tabel 19 dan Gambar 14 menunjukan bahwa hutan mangrove di Kota Bengkulu terdegradasi. Degradasi hutan mangrove di daerah penelitian disebabkan adanya aktivitas masyarakat yang mengkonversi hutan mangrove menjadi
pertambakan,
permukiman,
perkebunan
sawit,
lahan
pertanian
hortikultura dan terminal penampungan batu bara. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Masyhudzulhak (2004) bahwa penyebab kerusakan hutan mangrove di Propinsi Bengkulu akibat adanya konversi hutan mangrove. Hasil ini sejalan dengan penjelasan Nybakken (1988); Dahuri et al. (2001) dan Bengen (2002), bahwa kerusakan ekosistem mangrove selain disebabkan faktor alam, juga dikarenakan akibat campur tangan manusia dengan mengkonversi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman, industri, dan lain-lain, seperti yang disajikan pada Gambar dari data spasial dibawah ini.
Gambar 15. Sebaran mangrove di Kelurahan Sumberjaya tahun 2002
Gambar 16. Sebaran mangrove di Kelurahan Sumberjaya tahun 2007
Gambar 17. Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2002
Gambar 18. Sebaran mangrove di Kelurahan Teluk Sepang tahun 2007
Gambar 19. Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2002
Gambar 20. Sebaran mangrove di Kelurahan Kandang tahun 2007
Data spasial pada Gambar 15 - 20, menunjukkan bahwa konversi hutan mangrove tergambar dari penutupan lahan (landcover) dari penggunaan lahan di daerah penelitian. Di Kelurahan Sumberjaya tahun 2002 penggunan lahan yang di peruntukkan tambak seluas 17,33 ha, permukiman seluas 73,24 ha, perkebunan sawit seluas 9,75 ha dan perkebunan campuran seluas 22,98 ha. Dalam kurun lima tahun (tahun 2007), tidak terjadi peningkatan untuk lahan permukiman, perkebunan sawit, perkebunan campuran. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan, justru terjadi penambahan luas tambak sekitas 52,45 ha. Di Kelurahan Teluk Sepang, penggunaan lahan tahun 2002 untuk permukiman 46,71 ha, perkebunan campuran seluas 619,89 ha, perkebunan sawit 291,40 ha.
Namun pada tahun 2007, penggunaan lahan yang diperuntukkan
perkebunan sawit terjadi peningkatan seluas 411,1 ha. Dan peruntukan lahan tempat penampungan batu bara seluas 12,68 ha. Peningkatan lahan perkebunan sawit, dikarenakan adanya kebijakan pemerintah daerah yang menetapkan Kelurahan Teluk Sepang sebagai daerah perkebunan sawit. Penutupan lahan di Kelurahan Kandang untuk permukiman 59,45 ha, perkebunan campuran 39,43 ha, perkebunan sawit 7,22 ha, tambak 51,49 ha, hutan pantai 94,09 ha, semak belukar 44,14 ha dan hutan mangrove 99,08 pada Tahun 2002. Luas penutupan lahan Tahun 2007 mengalami perubahan luasnya, antara lain hutan mangrove menjadi 74,82 ha, tambak 161,06 ha, permukiman 72,79 ha dan hutan pantai 73,36 ha. Sedangkan untuk luas lahan perkebunan campuran, perkebunan sawit, semak belukar tidak mengalami perubahan. Perubahan penutupan lahan (land cover) dapat dilihat pada Tabel 20 berikut.
Tabel. 20. Luasan Penutupan Lahan (landcover) Di Daerah Penelitian Lokasi
Luas Penutupan Lahan/Landcover (ha)
Penelitia n
Tah
Huta
Mangr
Penampun
Pemuki
Perkebu
Perkebu
Sema
Sung
Tamb
un
n
ove
gan Batu
man
nan
nan
k
ai
ak
Sawit
Campur
Belu
an
kar
22,98
0
37,7
17,33
bara
Pant ai Sumberj
200
166,
aya
2
89
200
166,
7
89
Persentase (%)
43,6
142,17
0
73,24
9,75
5 92,25
0
73,24
9,75
22,98
5,82
37,7
Jumla h
303,2 2
52,45
5
461,1 3
30,67
0
19,16
2,55
6,01
0,76
9,88
9,13
100
496,17
0,04
46,71
291,26
619,89
382,7
19,7
9,75
1960,
9
4
346,2
19,7
2
4
7 Teluk
200
94,0
Sepang
2
9
200
73,3
7
6
Persentase (%)
12,68
46,71
710,23
350,16
9,75
1935, 95
4,30
22,16
0,37
2,40
25,70
24,90
18,71
1,01
0,50
100
99,08
0
59,45
7,22
39,43
44,14
0
51,49
335,4
Kandan
200
94,0
g
2
9
200
73,3
7
6
Persentase (%)
367,10
44
20,7
6 74,82
21,49
0
0
72,79
16,36
7,22
1,76
39,43
9,76
44,14
10,92
0
0
161,0
472,8
6
2
26,29
100
2
Sumber : Data spatial penggunaan lahan Kota Bengkulu, 2002 dan data primer, 2007
Berdasarkan luasan penutupan lahan (landcover) pada Tabel 20 menunjukkan bahwa keberadaan ekosistem hutan mangrove di Kota Bengkulu yang letaknya terpencar-pencar dan tidak begitu luas, secara keseluruhan, ternyata mangrove sangat penting untuk stabilitas ekosistem wilayah pesisir terutama sumberdaya perikanan laut. Hal ini sesuai dengan gambaran Sugandy (1993) bahwa ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara daratan dan lautan yang menjadi mata rantai yang sangat penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di suatu perairan, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang, ikan, dan berbagai biota laut lainnya, dan selain itu sesuai dengan penjelasan Alikodra (2005) bahwa ekosistem mangrove juga tempat habitat satwa seperti burung, primata, reptilia, insekta, sehingga secara ekologis maupun ekonomis dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan manusia, dengan berkurangnya hutan mangrove akan mempengaruhi sumberdaya alam pesisir.
4.3. Struktur Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu Masyarakat pesisir di Teluk Sepang, Sumberjaya dan Kandang, secara administratif masuk kedalam wilayah Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, Propinsi Bengkulu. Luas wilayah kelurahan Teluk Sepang 2025 ha, dengan jumlah penduduk sampai tahun 2005 yaitu 2.731 jiwa terdiri dari jumlah laki-laki 1.476 jiwa dan perempuan 1.255 jiwa. Jumlah penduduk tersebut meliputi 661 kepala keluarga (KK), 14 rukun tetangga dan 4 rukun warga. Jumlah penduduk yang mata pencahariannya sebagai nelayan berjumlah 120 KK dengan rincian 144 jiwa. Masyarakat pesisir di Kelurahan Teluk Sepang telah ada sejak tahun 1989, dimana lahan Teluk Sepang dahulu merupakan lahan garapan orang pendatang dari Bugis. Saat terjadinya gelombang besar di daerah Pasar Bengkulu, Malabero dan Pondok Besi tahun 1989, oleh pemerintah kota saat itu memindahkan penduduk di daerah terkena bencana Teluk Sepang sebagai desa binaan dari Dinas Sosial. Setiap kepala keluarga diberi bantuan satu rumah dengan ukuran 4 x 6 dan tanah sekitar 2 ha per kepala keluarga. Masyarakat pesisir Teluk Sepang berasal
dari berbagai suku antara lain etnis Minang, Bugis, Serawai, Jawa, Batak dan Bengkulu Asli (Lembak). Komunitas nelayan Teluk Sepang merupakan nelayan tradisional yang kehidupannya sangat tergantung pada hasil laut. Seperti juga masyarakat petani yang kehidupannya tergantung pada irama musim, pasang surut kelangsungan hidup keluaarga nelayan tradisonal di Teluk Sepang sangat dipengaruhi musim panen dan musim paceklik ikan. Ketika laut sedang tidak bersahabat dan ikanikan cenderung bersembunyi di dasar laut, maka pada saat itu pula rejeki terasa seret dan banyak keluarga-keluarga nelayan tradisional kemudian harus hidup serba irit, bahkan kekurangan. Satria (2001) mengemukakan nelayan tradisional mempuyai pola hubungan sosial produksinya cenderung kearah egaliter dan semi hirarkis, unit produksinya kelompok kecil (antara 1-3 orang), dan sifat non eksploitatif. Kusnadi (2000) menyatakan bahwa nelayan tradisional disamakan dengan nelayan subsistensi, pra industri, berskala kecil dan beroperasi di perairan pantai. Kelurahan Sumberjaya terbagi menjadi dua daerah, yaitu sebelah timur sebagai daerah pertanian, sedangkan daerah barat sebagai daerah perikanan. Meski terbagi menjadi dua wilayah sektor ekonomi, sektor perikanan masih menjadi sektor yang paling dominan dengan mampu menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 400 orang, sedangkan sektor pertanian hanya mampu menyerap tenaga kerja tidak lebih dari 25 orang. Menurut data Kelurahan Sumberjaya, luas wilayah 1500 ha. Jumlah penduduk secara keseluruhan berjumlah 5.226 jiwa, dengan perincian jumlah laki-laki 2.721 jiwa dan jumlah perempuan 2.505 jiwa. Sedangkan jumlah kepala keluarga mencapai 1.242 KK. Dengan demikian untuk kepadatan mencapai mencapai 3,4 jiwa/Km. Masyarakat pesisir di Sumberjaya telah ada sejak tahun 1977, ketika itu pendatang suku Bugis dan Palembang membuka dan menggarap lahan yang masih kosong. Semakin meningkatnya jumlah masyarakat pesisir yang tinggal berasal dari etnis Batak, Aceh, Minang, Lubuk Linggau, lahat, Bengkulu Selatan bahkan ada dari Madura. Kondisi geografis perkampungan masyarakat pesisir di kelurahan Sumberjaya terpusat di sekitar daerah pinggiran pantai, hanya dibatasi dengan jalan raya. Di sepanjang bibir pantai sudah dibangun dinding pembatas antara
wilayah lautan dan wilayah daratan, membentang dari ujung pelabuhan lokal sebelah selatan ke utara. Hal ini sangat penting untuk menghindari pengikisan ombak. Permukiman penduduk memusat di sebelah darat dari jalan yang menempati lahan dikelilingi juga oleh alur-alur sungai dari laut, yang sebagian besar oleh komunitas dijadikan sebagai tempat melabuhkan atau menyandarkan kapal-kapal mereka, yang disebut tangkahan. Kelurahan Kandang mempuyai jumlah penduduk 9.088 jiwa, dengan jumlah laki-laki 4.454 jiwa dan perempuan 4.634 jiwa. Jumlah kepala keluarga 2.050 KK. Di Kelurahan Kandang terdapat berbagai macam etnis, yaitu etnis Asli Bengkulu, Jawa, Sunda, Bugis, Batak, dan Minang. Kondisi masyarakat pesisir di Kelurahan Kandang sebagian besar adalah nelayan (18,92%) dan petambak (20,57%). Heterogenitas etnis di komunitas masyarakat pesisir Kota Bengkulu memberikan keragaman dalam masyarakat yang terkelompok dari berbagai jenis etnis dan jenis alat tangkap yang ada. Keragaman ini, menurut Satria (2001) menyebabkan perubahan sosial baik struktural maupun kultural dengan munculnya berbagai status baru dalam kegiatan menangkap ikan terutama peningkatan arus modal dan teknologi maupun industrilisasi di berbagai sektor.
Tabel 21. Etnis masyarakat pesisir di daerah penelitian Etnis
Teluk Sepang (%)
Sumberjaya (%)
Kandang (%)
Bugis
23 (15,95%)
105 (24,8%)
54 (22,22%)
Minang
96 (66,7%)
76 (17,9%)
34 (13,99%)
Batak
15 (10,5%)
126 (29,97%)
30 (12,35%)
Serawai
10 (6,9%)
0
51 (20,98%)
Madura
0
41 (9,6%)
11 (4,53%)
Asli Bengkulu
0
62 (14,7%)
27 (11,12%)
Lahat
0
14 (3,3%)
0
Jawa
0
0
36 (14,81%)
Jumlah
144 (100%)
424 (100%)
243 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
4.3.1. Keragaan Modal Struktur Masyarakat Pesisir Modal Fisikal
Modal fisikal yang dimiliki oleh masyarakat pesisir di Teluk Sepang, Sumberjaya dan Kandang dikaji dari ketersediaan sarana produksi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana ekonomi, sarana transportasi, seperti pada Tabel 22 berikut. Tabel 22. Modal fisikal nelayan di daerah penelitian Lokasi Penelitian Modal Fisikal
Indikator
Kandang
Teluk Sepang
Sumberjaya 5 GT, 5-10 GT,
Sarana Produksi Nelayan
Jumlah
Armada
Sampan (PTM),
Penangkapan
< 5 GT
139 unit
dan > 30 GT
(Unit) Alat tangkap
10-20 GT, 20-30 GT
< 5 GT , 5-10 GT
Bagan Tancap Pinggir,
Jaring insang, jaring
jaring
udang/lobster, payang,
jaring
jaring pukat kantong,
Bubu,
jaring
jaring
udang,
jaring
udang/lonster,
insang,
jaring
payang
insang
mini
164 buah
trawl,
bagan perahu, pancing
Petambak
9,75 ha
rawai
Udang, kepiting
52,45 ha
62,2 ha
Produksi (ton)
Udang, kepiting
Tradisional
Udang, Ikan Bandeng
13,27
Teknologi
Semi tradisional
Cacing alam, kerasan,
Tradisional
ton
Pakan
Jagung giling, dan
lumut
Jagung giling, nasi,
Lahan (Ha)
Berbagai
dan
campuran buatan
campuran
sendiri
- Penjaga
buatan
sendiri
10 orang
Suku Bugis, Madura
23 orang
Suku Bugis
Tenaga kerja - Pemilik
berbagai
Suku
Asli
Bengkulu
Suku Bugis, Madura,
Suku Jawa, sunda
Jawa Suku Bugis, Jawa
Sarana
Bangunan
TK, SD,
Pendidikan
sekolah
Madrasah
Sekolah Dasar (SD)
Sarana Kesehatan
Bangunan
Puskesman
Puskesmas Pembantu,
Puskesmas Pembantu,
15
Pembantu
Posyandu
Posyandu
petugas
Dokter,
Sarana Ekonomi
Taman Kanak-Kanak
6 Buah
Sekolah Dasar (SD)
mantri,
Dokter,
perawat,
Petugas
Dokter, perawat
perawat
bidan
Pasar umum
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Toko/warung
Bahan kebutuhan
Bahan kebutuhan RT,
Bahan kebutuhan RT,
RT, Sayur nayur
sayur mayur
Sayur mayur, Warung
8 Buah
Nasi,TPI,KUDnelayan
3 Buah
Sarana
Jalan
Motor, sepeda,
Jalan
setapak,
jalan
Jalan aspal
10 jalan
Transportasi
Alat transportasi
Angkutan umu
aspal,
Jalan
kaki,
Sepeda motor, mobil,
Koperasi Nelayan
Lembagaekonomi
Sepeda, Motor, Mobil, Angkutan umum
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
angkutan umum
Dari Tabel 22 terlihat, sarana produksi yang dimiliki di daerah penelitian menunjukkan nelayan di Teluk Sepang dan Kandang merupakan nelayan tradisional dan nelayan Sumberjaya terkategori nelayan modern. Hal ini sesuai pendapat Seafdec (1978) yang mengelompokkan aktivitas perikanan berdasarkan ukuran kapal/perahu dan perbedaan perahu tanpa motor dengan kapal. Pendapat ini di dukung oleh pendapat Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Bengkulu (1999) yang menggolongkan nelayan di Propinsi Bengkulu berdasarkan perbedaan antara perahu/kapal. Dari penggolongan nelayan di Kota Bengkulu, Nelayan Teluk Sepang mempuyai armada penangkapan dengan kekuatan <5 – 10 GT dengan beranggotakan 1-3 orang, sedangkan Nelayan Sumberjaya mempuyai armada penangkapan 5- > 30 GT dengan anak buah kapal berjumlah >30 orang. Kondisi ini sesuai pendapat Satria (2001) bahwa sistem tradisional mempuyai struktur cenderung kearah egaliter dan semi hirarkis, ukuran unit produksinya kelompok kecil (antara 1-3 orang), dan bersifat non eksploitatif. Sistem modern, struktur nelayannya sudah hirarkis dengan unit prosuksi kelompok besar beranggotakan 17-30 orang serta sifatnya semi eksploitatif dan eksploitatif. Sarana produksi yang dimiliki petambak di daerah penelitian menunjukkan usaha pertambakan masih tradisional sehingga adanya kecenderungan pemilik tambak masih memilih memperkerjakan orang lain dari etnis yang sama, bahkan lebih memilih mereka yang masih memiliki pertalian saudara untuk menggarap empang yang tidak sanggup digarapnya sendiri. Kondisi ini menciptakan hubungan sosial berdasarkan kekerabatan. Hubungan ini sesuai dengan pendapat Pringgono (2005) bahwa dalam komunitas petambak di Delta Mahakam terdapat hubungan sosial berdasarkan akar rumput dalam kegiatan pertambakan. Hal ini di dukung pendapat Bullen dan Onyx (1998) bahwa hubungan ini merupakan salah satu bentuk hubungan sosial untuk mencapai kepentingan tertentu (Bullen dan Onyx, 1998). Dilihat dari sarana pendidikan di daerah penelitian masih kurang, dimana fasilitas sekolah berupa bangunan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian masyarakat nelayan terhadap pendidikan umum sangat kurang dan ini salah satu penyebab masyarakat nelayan di daerah penelitian memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah, yaitu hanya
tamatan Sekolah Dasar. Hal ini menurut Kusnadi (2000) menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan.
Pendapat ini didukung
dengan hasil penelitian Raymond (1994), bahwa masyarakat nelayan memiliki karakteristik diantaranya tingkat pendidikan nelayan dan anak-anak pada umumnya rendah. Sarana kesehatan yang dimiliki nelayan di daerah penelitian menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas sarana kesehatan sangat kurang sehingga bagi nelayan yang sakit harus pergi kerumah sakit yang ada di kota atau puskesmas yang ada di kecamatan. Keterbatasan fasilitas sarana kesehatan ini menyebabkan kondisi kesehatan masyarakat juga kurang sehingga mempengaruhi kualitas hidup nelayan.
Kualitas hidup sangat menentukan kualitas sumberdaya manusia. Hal
ini didukung oleh pendapat Sajogyo (1996) bahwa rendahnya kualitas kesehatan menunjukkan aspek ekonomi berpengaruh paling dominan dalam timbulnya masalah-masalah kesehatan. Ini diperkuat oleh studi yang dilakukan Mubyarto (1994) di desa Tuban, diketahui bahwa golongan masyarakat yang selalu mengalami rawan pangan adalah mereka yang tergolong buruh tani dan buruh nelayan dengan kualitas hidup rendah karena keterbatasan ekonomi keluarga. Sarana ekonomi yang sangat terbatas menjadikan kelembagaan ekonomi di daerah penelitian belum berperan dalam memenuhi kebutuhan permodalan. Belum berperannya kelembagaan ekonomi ini, lebih banyak dimanfaatkan oleh jaringan juragan/toke dan koperasi keliling sebagai lembaga peminjam modal bagi nelayan. Besarnya peran lembaga peminjam modal ini menurut Bagong (2004) sebagai salah satu penyebab timbulnya kemiskinan nelayan. Pendapat ini diperkuat oleh penelitian Sutawi dan David Hermawan (2003) di Trenggalek, bahwa ketika lembaga keuangan seperti KUD, TPI atau lembaga keuangan mikro tidak berperan, maka keberadaan rentenir, tengkulak, pengijon atau bank thitilan meningkat. Sarana transportasi di daerah penelitian sangat terbatas. Keterbatasan alat transportasi dan jaringan transportasi menyebabkan daerah penelitian tidak dapat berkembang
tingkat
perekonomiannya.
Terbatasnya
sarana
transportasi
berdampak akses memasarkan hasil tangkapan ikan. Kondisi ini sangat merugikan posisi nelayan menurut Kusnadi (2003) karena nelayan menawarkan komoditas
yang sifatnya rentan waktu, maka dengan sadar atau tidak sadar mereka menjadi objek eksploitasi pedagang perantara atau tengkulak, yang akhirnya melilit mereka dalam kemiskinan. Hal ini sesuai dengan Damanhuri (1997) bahwa salah satu penyebab kemiskinan yang dialami nelayan karena golongan tertentu tidak memiliki akses terhadap kegiatan ekonomi produktif akibat pola institusional yang diberlakukan. Berdasarkan hasil analisis, modal fisikal Nelayan Teluk Sepang 53,6%, Nelayan Kandang 53,8% dan Nelayan Sumberjaya sebesar 66,5% termasuk kategori rendah. Implikasi hasil penelitian terhadap upaya pengendalian degradasi sumberdaya pesisir, yaitu perlu meningkatkan sarana usaha yang diperlukan oleh nelayan dan meningkatkan akses nelayan terhadap kelembagaan pendidikan, kesehatan, pemasaran dan transportasi.
Modal Manusia
Modal manusia yang dimiliki masyarakat pesisir di Teluk Sepang, Kandang dan Sumberjaya dikaji dari tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan.
a. Tingkat pendidikan Masalah pendidikan dikalangan masyarakat pesisir kurang mendapat perhatian, hal ini menyebabkan masyarakat pesisir di Teluk Sepang memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah, yaitu sebagian besar (58,62%) hanya tamatan SD. Nelayan yang berpendidikan tamat SMP sebesar 6 orang (20,67%), tamat SMA berjumlah 5 orang (17,24%) dan bahkan ada 1 orang (3,45%) buta huruf, seperti pada Tabel 23 berikut.
Tabel 23. Kelompok usia di Teluk Sepang berdasarkan tingkat pendidikan Kelompok Usia (tahun) Tingkat Pendidikan
20-30
31-40
41-50
51-60
61-70
Total
Buta huruf
1
0
0
0
0
1
Baca tulis tidak sekolah
0
0
0
0
0
0
SD tidak tamat
0
0
0
0
0
0
Tamat SD
2
7
7
0
1
17
SMP tidak tamat
0
0
0
0
0
0
Tamat SMP
2
3
1
0
0
6
SMA tidak tamat
0
0
0
0
0
0
Tamat SMA
1
2
1
1
0
5
Tamat Diploma
0
0
0
0
0
0
PT
0
0
0
0
0
0
Total
6
12
9
1
1
29
Sumber : Diolah dari data primer, 2006.
Tingkat pendidikan masyarakat pesisir di Sumberjaya sebagian besar terkosentrasi pada tingkat tamat Sekolah Dasar (41,46%), tamat Sekolah Menengah Pertama (39,03%) dan tamat Sekolah Menengah Atas (14,64%), bahkan ada 2,44% merupakan lulusan perguruan tinggi, seperti pada Tabel 24 berikut.
Tabel 24. Kelompok usia di Sumberjaya berdasarkan tingkat pendidikan Kelompok Usia (tahun) Tingkat Pendidikan
Jumlah (%)
20-30
31-40
41-50
51-60
61-70
Buta huruf
0
0
0
0
0
0
Baca tulis tidak sekolah
0
0
0
0
0
0
SD tidak tamat
0
1
0
0
0
1 (2,44%)
Tamat SD
3
6
5
2
1
17 (41,46%)
SMP tidak tamat
0
0
0
0
0
0
Tamat SMP
6
7
2
1
0
16 (39,03%)
SMA tidak tamat
0
0
0
0
0
0
Tamat SMA
3
2
1
0
0
6 (14,64%)
Tamat Diploma
0
0
0
0
0
0
PT
1
0
0
0
0
1 (2,44%)
Total
13
16
8
3
1
41 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006.
Tingkat pendidikan masyarakat pesisir di Kelurahan Kandang sebagian besar terkosentrasi pada tingkat tamat sekolah dasar (SD) 80%, tamat sekolah
menengah pertama (SMP) 13,33% dan tamat sekolah menengah atas (SMA) 6,67%, seperti yang disajikan pada Tabel 25 berikut.
Tabel 25. Kelompok usia di Kandang berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah
Kelompok Usia (tahun) Tingkat Pendidikan
(%)
20-30
31-40
41-50
51-60
61-70
Buta huruf
0
0
0
0
0
0
Baca tulis tidak sekolah
0
0
0
0
0
0
SD tidak tamat
0
0
0
0
0
0
Tamat SD
6
5
1
0
0
12 (80%)
SMP tidak tamat
0
0
0
0
0
0
Tamat SMP
0
2
0
0
0
2 (13,33%)
SMA tidak tamat
0
0
0
0
0
0
Tamat SMA
1
0
0
0
0
1 (6,67%)
Tamat Diploma
0
0
0
0
0
0
PT
0
0
0
0
0
0
Total
7
7
1
0
0
15 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Tabel 23, 24 dan 25 menunjukkan bahwa masyarakat pesisir di Teluk Sepang, Kandang dan Sumberjaya memiliki sebaran pendidikan relatif baik mulai dari tamat sekolah dasar hingga tamat sekolah menengah dalam usia 21-40 tahun yang merupakan usia produktif dalam kegiatan penangkapan ikan.
Hal ini
berkaitan dengan pengetahuan nelayan melalui kelompok usia ini dapat dijajaki kemungkinan menambah pengetahuan dan menumbuhkan kesadaran manfaat sumberdaya alam, terutama pengelolaan sumberdaya alam pesisir sangat rentan terhadap akibat yang ditimbulkannya.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Supriharyono (2000) dan Kusnadi (2002) bahwa rendahnya pendidikan dan kemiskinan yang dialami masyarakat pesisir terutama masyarakat nelayan tradisional atau nelayan kecil memicu pengrusakan sumberdaya alam di sekitarnya.
b. Tingkat Kesehatan Keterbatasan sarana kesehatan di daerah penelitian menyebabkan kondisi kesehatan masyarakat pesisir di Teluk Sepang juga kurang. Masalah kesehatan yang relatif sering diderita adalah gangguan penyakit malaria (507%) yang
diderita hampir semua nelayan responden di Teluk Sepang, dikarenakan kondisi lingkungan yang selalu tergenang air, masih banyak terdapat rawa-rawa serta kurang memperhatikan kebersihan. Penyakit batuk pilek (12,86%) menjadi keluhan kedua penyakit yang sering diderita nelayan responden. Hal ini dikarenakan kondis cuaca yang tidak menentu dan pola hidup yang tidak teratur. Tekanan darah tinggi (10%) yang diderita karena pola konsumsi makanan laut yang berlebihan. Rematik (10%) dikarenakan pola kerja yang banyak di air, bahkan pada malam hari. Penyakit diare (10%), penyakit kulit (4,28%) dan penyakit asma (1,43%0, penyakit cacingan (1,43%). Kondisi ini dikarenakan cuaca dan lingkungan tidak menentu, seperti disajikan dalam Tabel 26 dibawah.
Tabel 26. Masalah kesehatan di daerah penelitian Jenis Penyakit
Lokasi Penelitian
Jumlah (%)
Malaria Rematik Batuk/pilek Tekanan daerah tinggi Diare Penyakit kulit Asma Cacingan
T. Sepang 16 2 5 1 2 1 1 1
Sumberjaya 19 5 4 6 5 2 0 0
Kandang 7 3 0 2 0 0 3 0
42 (49,41%) 10 (11,76%) 9 (10,58%) 9 (10,58%) 7 (8,24%) 3 (3,53%) 1 (1,43%) 1 (1,43%)
Total
29
41
15
85 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006.
Tabel 26 menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kesehatan menyebabkan produktivitas nelayan juga menjadi rendah. Rendahnya produktivitas nelayan berakibat pada rendahnya pendapatan yang berimplikasi nelayan mengalami kemiskinan ekonomi. Hal ini sesuai pendapat Myrdal (1957), bahwa keadaan miskin bermula dari rendahnya kualitas kesehatan, rendahnya kesehatan menyebabkan
rendahnya
produktivitas,
sehingga
menyebabkan
tingkat
pendapatan yang rendah pula, dan pada gilirannya menyebabkan kemiskinan. Modal manusia yang dimiliki masyarakat pesisir di Teluk Sepang dan Kandang dari hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar (74,5% dan 75,3%) termasuk kategori tinggi, sedangkan di Sumberjaya relatif berimbang pada kategori rendah dan tinggi, yaitu masing-masing 50%. Implikasi temuan
penelitian ini dalam upaya pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir, yaitu: perlu meningkatkan pendidikan dan kesehatan bagi nelayan. Hal sesuai dengan pendapat Supriharyono (2000), dimana penduduk yang tinggal di desadesa pesisir merupakan masyarakat tradisional dengan kondisi sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan sangat rendah.
Sekitar 90% hanya berpendidikan
sampai sekolah dasar. Dengan kondisi seperti ini memungkinkan mereka sulit mengikuti perkembangan di daerahnya, yang umumnya menggunakan teknologi tinggi. Sehingga mereka cenderung menjadi obyek dan dengan faktor ketidaktahuan atau karena tekanan ekonomi, maka aktivitas mereka sering menyebabkan tekanan terhadap ekosistem di daerah pesisir, yang berlanjut dengan kerusakan ekosistem tersebut.
Modal Finansial
Kriteria dari modal finansial di daerah penelitian dikaji dari tingkat pendapatan dan sumber modal usaha.
a. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan nelayan Teluk Sepang, Kandang dan Sumberjaya tidak menentu, tergantung dengan hasil tangkapan dan musim.
Tingkat
pendapatan nelayan di daearah penelitian cukup tinggi ketika musim ikan, jika dihitung perhari rata-rata pendapatan mereka Rp 30.000,- hingga Rp. 50.000,atau ± Rp. 1.000.000,- dalam satu bulan. Pendapatan tersebut adalah pendapatan para suami sebagai nelayan, belum kalau anaknya membantu sebagai nelayan dan istrinya bekerja mengolah hasil tangkapan ikan, tentu pendapatan nelayan bisa bertambah banyak. Jika ditotal dalam satu keluarga bisa mencapai Rp. 1.500.000,dalam satu bulannya. Pendapatan waktu tidak musim ikan per hari rata-rata Rp. 5000,- atau Rp. 10.000,-, bahkan untuk mencari uang Rp. 20.000 sehari saja sulit. Bahkan ada yang tidak membawa hasil sama sekali karena hanya dapat menutup biaya perbekalan. Pendapatan nelayan dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Pendapatan nelayan di daerah penelitian Pendapatan nelayan/hari
Rp. 5000,- Rp. 15.000,Rp. 20.000,- Rp. 30.000,Rp. 35.000,-Rp. 45.000,Rp. 50.000,- Rp. 60.000,Rp. 65.000,- Rp. 75.000,Rp. 80.000,-Rp. 90.000,> Rp. 95.000 Jumlah
Jumlah nelayan
Prosentase (%)
Teluk Sepang 16 9 1 2 1 0 0
Sumberjaya
Kandang
20 8 6 2 2 2 1
7 5 2 1 0 0 0
43 (50,58%) 22 (25,88%) 9 (10,58%) 5 (5,88%) 3 (3,53%) 2 (2,35%) 1 (1,18%)
29
41
15
85 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Tabel 27 memperlihatkan bahwa 29 responden di Kelurahan Teluk Sepang 55,17% mempuyai penghasilan yang dikategorikan kurang, yaitu >Rp. 50.000 - Rp.550.000 per bulan. Kategori berpenghasilan cukup, Rp 600.000,- Rp 950.000,- perbulan, sekitar 31,03% dan terkategori penghasilan lebih > Rp. 1.000.000,- ada 13,79%. Nelayan Sumberjaya mempuyai penghasilan yang relatif lebih baik dari nelayan Teluk Sepang. Nelayan yang terkategori pendapatan lebih mencapai 31,71%, mempuyai penghasilan cukup 19,51%, dan 48,78% berpenghasilan kurang. Nelayan Kandang mempuyai penghasilan terkategori kurang 46,67%, pendapatan terkategori cukup 33,33%, dan terkategori penghasilan lebih 20%. Pendapatan berlebih tersebut dikarenakan mereka adalah pemilik lancang dan tekong, sedangkan tingkat pendapatan kurang terdapat pada nelayan pelacak (buruh). Berdasarkan konsep Badan Pusat Statistik (2000) yang digunakan untuk menyalurkan bantuan langsung tunai untuk masyarakat miskin, yaitu kurang Rp. 480.000 termasuk kategori sangat miskin, 50,58% nelayan Teluk Sepang, Kandang dan 48,7% nelayan Sumberjaya termasuk rumah tangga miskin. Tingkat pendapatan 15 responden petambak di daerah penelitian sebagian besar yaitu 26,67% memiliki tingkat pendapatan Rp 146.100,- Rp. 434.600,- per bulan. Pendapatan di bawah Rp. 146.100,- per bulan 60%, dan 13,33% memiliki tingkat pendapatan di atas Rp. 434.600,- per bulan, seperti terlihat pada Tabel 28 berikut.
Tabel 28. Pendapatan petambak di daerah penelitian Pendapatan petambak /bulan
Jumlah petambak
Prosentase (%)
< Rp 146.100,-
9
60
Rp 146.100,- - Rp 434.600,-
4
26,67
> Rp 434.600,-
2
13,33
Jumlah
15
100
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Berdasarkan konsep BPS (2000) dari Tabel 28 memperlihatkan bahwa sebagian besar (86,67%) responden petambak di daerah penelitian termasuk rumah tangga miskin. Kondisi ini sesuai penjelasan Scott (1994) bahwa keadaan miskin merupakan konsekuensi hidup yang dekat dengan margin subsisten, keterbatasan teknik, pengaruh cuaca dan sumberdaya alam serta sedikitnya kesempatan bekerja diluar pekerjaan yang digeluti sehingga menyebabkan nelayan mempuyai preferensi tingkah laku yang menekankan pada prinsip safety first. Implikasi prinsip safety first adalah keengganan untuk memilih teknik atau cara-cara baru dalam suatu kemungkinan kegagalan yang spekulatif. Selain itu prinsip ini juga mendorong terbentuknya pola ketergantungan patronase tradisional yang kuat dan mementingkan keseimbangan dalam masyarakat.
b. Sumber Modal Usaha Hasil penelitian menunjukkan dari 29 nelayan responden di Kelurahan Teluk Sepang 34,47 % meminjam modal usaha dari fasilitas kelompok. 27,58 % sumber modalnya berasal dari juragan/toke/koperasi keliling, dari biaya sendiri (20,68 %) dan hanya 17,24 % memanfaatkan lembaga keuangan mikro. Modal usaha nelayan Sumberjaya didapat dari juragan/toke/koperasi keliling 68,29 %, sumber modal usaha dari biaya sendiri 21,95%. Lembaga keuangan mikro hanya 7,32% yang menggunakannya sebagai sumber modal, dan lembaga perbankan 2,44%. Nelayan di Kandang menggunakan sumber modal usaha dari lembaga keuangan mikro seperti yang disajikan pada Tabel 29. Dari uraian tersebut tergambar, di daerah penelitian besarnya sumber modal dari juragan/toke/koperasi keliling memperlihakan bahwa sampai saat ini lembaga perbankan resmi masih sulit diakses oleh nelayan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Masyhuri (1999) bahwa pola-pola tangkapan dan pendapatan dari hasil laut yang tidak menentu, sangat berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga sulit mengakses modal, salah satu solusinnya adalah berhutang. Orang yang biasa dijadikan tempat berhutang oleh nelayan adalah majikannya. Fenomena seperti ini yang melatarbelakangi tumbuhnya hubungan patron client berdasarkan hutang piutang antara majikan dengan nelayan buruhnya.
Tabel 29. Sumber modal usaha masyarakat pesisir di daerah penelitian Lokasi Penelitian Modal Usaha
Jumlah (%)
T. Sepang
Sumberjaya
Kandang
Toke/juragan/koperasi keliling Lembaga keuangan mikro Biaya sendiri Bank Fasilitas kelompok
8 5 6 0 10
28 3 9 1 0
3 8 4 0 0
39(45,88%) 16 (18,82%) 19 (22,36%) 1 (1,18%) 10 (11,76%)
Total
29
41
15
85 (100%)
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Tabel 29 diatas menunjukkan bahwa masalah ketergantungan pada toke/juragan merupakan masalah serius yang selama ini dihadapi masyarakat pesisir. Ternyata adanya ketergantungan tersebut maka pendapatan tidak maksimal, karena mereka diharuskan menjual hasil tangkapan kepada toke/juragan dengan harga yang ditentukan secara sepihak. Kondisi ini sesuai dengan Wahyono, et al. (2001) bahwa hubungan ini menciptakan pola hubungan yang asimetris yaitu lebih menguntungkan golongan yang punya modal. Hal ini diperkuat hasil penelitian Kusnadi (2002) dan Mubyarto (1998) bahwa ketergantungan pada patron menyebabkan lemahnya posisi bargaining nelayan. Pinjaman modal kepada toke/juragan sebagai patron mengharuskan mereka tetap bekerja dan mengharuskan menjual semua hasil tangkapan menyebabkan nelayan ini tidak mampu menangkap nilai tambah yang umumnya diperoleh dari perolehan margin pemasaran yang tinggi. Sebagai gambaran, saat penelitian, harga jual udang lobster ke toke/juragan Rp. 195.000 per kilogram, sedangkan harga pasar lokal saat itu Rp. 215.000 per kilogram, sehingga ada selisih harga Rp. 20.000 per kilogram.
Berdasarkan hasil analisis, modal finansial yang dimiliki masyarakat pesisir di Teluk Sepang, Sumberjaya masing-masing sebagian besar (82,7%) dan (80,5%),
di Kandang (80,3%) termasuk kategori rendah.
Implikasi hasil
penelitian ini terhadap upaya pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir, yaitu perlu meningkatkan akses nelayan terhadap sumber permodalan atau lembaga keuangan alternatif seperti keuangan mikro sehingga dapat mengatasi kesulitan modal usaha atau keuangan yang selama ini sumber modal usaha mereka dapat dari tengkulak. Kajian Kusnadi (2002) tentang Badan Usaha Milik Desa di Trenggalek dan Lembaga Keuangan Mikro di Bojonegoro menemukan bahwa ketika lembaga kredit baru ini muncul dan menawarkan beban bunga pinjaman yang lebih rendah, maka keberadaan rentenir, tengkulak, pengijon, atau bank thithil lain semakin surut.
Modal Alamiah
Modal alamiah dikelurahan Teluk Sepang, Kelurahan Kandang dan Kelurahan Sumberjaya adalah kepemilikan aset, dan tingkat sanitasi lingkungan.
a. Kepemilikan Aset Kepemilikan kapal armada penangkapan di Kelurahan Teluk Sepang dan Kelurahan Sumberjaya di dasarkan pada etnis. Nelayan Teluk Sepang yang memiliki armada penangkapan 66,66 % didominasi oleh nelayan etnis Minang, etnis Bugis (15,97%), etnis Batak (9,03%) dari keseluruhan jumlah nelayan Teluk Sepang. Di Kelurahan Sumberjaya, kepemilikan armada di dominasi etnis Batak (29,72%), etnis Bugis (25,24%), etnis Minang (16,04%), etnis Bengkulu Asli (14,62%), etnis Madura (11,04%). Di Kelurahan Kandang, kepemilikan armada di dominasi etnis seperti terlihat pada Tabel dibawah ini.
Tabel 30. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Teluk Sepang Kelurahan Teluk Sepang Etnis Bugis Minang Serawai Batak Madura Lahat Bengkulu Asli Total
Lancang 10 16 0 10 0 0 0 36
Kapal
Jumlah ABK
4 1 0 0 0 0 0 5
9 79 12 3 0 0 0 103
23 96 12 13 0 0 0 144
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Tabel 31. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Sumberjaya Kelurahan Sumberjaya Etnis
Lancang
Kapal
Jumlah ABK
Bugis Minang Serawai Batak Madura Lahat Bengkulu Asli
6 17 0 0 0 0 23
3 2 0 10 6 0 0
98 49 0 116 41 14 39
107 68 0 126 47 14 62
Total
46
21
357
424
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Tabel 32. Penguasaan armada penangkapan berdasarkan etnis di Kandang
Bugis Minang Serawai Batak Madura Lahat Bengkulu Asli
Lancang 5 7 0 6 0 2 8
Kelurahan Kandang Sampan Perahu 0 3 0 1 14 0 0 2 0 0 4 0 19 0
Total
28
37
Etnis
6
Jumlah ABK 36 19 28 37 21 8 23
107 68 0 126 47 14 62
172
243
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Tabel 30, 31 dan 32 memperlihatkan kepemilikan aset berdasarkan etnis yang menggambarkan heterogenitas interaksi sosial nelayan di daerah penelitian terutama perubahan stratifikasi sosial nelayan. Hal ini sesuai dengan Sorokin (1962) bahwa stratifikasi sosial berarti perbedaan populasi berdasarkan kelas
secara hirarkis yang berdasarkan hak dan privilige, kewajiban dan tanggung jawab, nilai sosial dan privasi serta kekuasaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
b. Tingkat Sanitasi Lingkungan Kondisi sanitasi lingkungan di Kelurahan Teluk Sepang memprihatinkan dikarenakan kebiasaan membuang sampah, kotoran dan air drainase. Sanitasi pembuangan sampah yang langsung dibakar dilakukan 65,51% responden, dibuang ke tanah kosong maupun tanah pribadi 27,57%. Ternyata masih ada yang membuang kesungai/laut (6,89%). Kebiasaan membuang kotoran relatif baik karena menggunakan kakus dan jamban sebanyak 89,66%, hanya 10,34% yang langsung dibuang kotoran langsung ke sungai atau laut. Jaringan pembuangan air kotor di Kelurahan Teluk Sepang berupa selokan (20,69%). Kondisi ini ditambah lagi dengan kebiasaan membuang drainase ke tanah dan sembarang tempat (79,31%), seperti pada Tabel 33 berikut.
Tabel 33. Kondisi sanitasi lingkungan masyarakat pesisir di daerah penelitian Bentuk
Kebiasaan
Yang
Teluk Sepang
Sumberjaya
Kandang
Jumlah (%)
- Sungai/Laut
2
28
9
39 (45,88)
- Dibakar
19
7
1
27 (31,76)
- Tanah kosong
3
2
3
8 (9,42)
- Tanah pribadi
5
4
2
11 (12,94)
29
41
15
85 (100)
- Kakus
16
7
11
34 (40)
- Jamban
10
3
0
13 (15,29)
- Sungai/Laut
3
31
4
38 (44,71)
29
41
15
85 (100)
- Selokan/got
6
13
12
31 (36,48)
- Tanah
3
22
2
27 (31,76)
- Sembarang Tempat
20
6
1
27 (31,76)
29
41
15
85 (100)
dilakukan 1. Pembuangan Sampah :
Total 2. Pembuangan Kotoran :
Total 3. Pembuangan drainase:
Total
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Tabel 33 memperlihatkan kebiasaan masyarakat pesisir di Sumberjaya dan Kandang membuang sampah lebih memprihatinkan karena 68,29% dan 69% membuangnya langsung ke sungai/laut, dibakar (17,03% dan 6,67%), dan membuang di tanah kosong dan tanah pribadi (14,63% dan 20%). Pembuangan kotoran langsung kesungai atau kelaut menjadi kebiasaan utama bagi 44,71% masyarakat pesisir, dan hanya 55,29% yang menyadari pentingya membuang melalui kakus dan jamban.
Kondisi drainase juga memprihatinkan, dimana
63,52% masyarakat di daerah penelitian masih menggunakan tanah dan membuangnya ke sembarang tempat. 36,48% yang membuang melalui selokan. Namun selokan ini berukuran 25 cm karena itu kondisi selokan pembuangan air kotor banyak tersumbat sampah, sehingga ketika hujan, saluran drainase tersebut tersumbat. Akibatnya lingkungan menjadi becek, banyak sampah dan kotor. Kondisi sanitasi ini mempengaruhi aktivitas masyarakat nelayan dan kesehatan nelayan di daerah penelitian. Bila kondisi ini tidak ditanggulangi, maka sesuai dengan pendapat Putnam (1993), menyatakan bahwa masalah sanitasi lingkungan nelayan merupakan masalah klasik dari pemukiman nelayan pada umumnya, sepertinya sudah menjadi kebiasaan dan karakter masyarakat secara turun temurun.
Berdasarkan analisis, modal alamiah yang dimiliki di Teluk
Sepang sebesar 82,7%, di Kandang 58,3% dan di Sumberjaya 55,7% termasuk kategori rendah. Implikasi hasil penelitian ini terhadap upaya pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir, yaitu : 1. Meningkatkan akses nelayan terhadap sumberdaya alam melalui penyediaan teknologi tepat guna sehingga mereka dapat memanfaatkan sumberdaya alamnya untuk peningkatan kesejahteraan. 2. Perlu menerapkan prinsip kepemilikan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. 3. Perlu melakukan reorientasi dari orientasi peningkatan pendapatan kepada peningkatan kemampuan produksi melalui aset yang dimiliki nelayan. 4. Perlu meningkatan sarana dan prasarana sanitasi lingkungan.
Modal Sosial
Modal sosial masyarakat pesisir di daerah penelitian dicermati dari solidaritas, kepercayaan, dan kerjasama terhadap sesama.
a. Solidaritas Penggambaran solidaritas sesama pada masyarakat pesisir di Teluk Sepang dikaji dari dua pilihan jawaban yang diberikan 29 responden, terlihat bahwa sebagian besar nelayan (62,07%) mengaku meminta bantuan keluarga atau saudara bila menghadapi kegagalan penangkapan ikan atau musim paceklik sebagai pilihan pertama. Meski ada sejumlah nelayan meminta bantuan pada patronnya (20,69%), tetangga atau teman (13,79%) dan tokoh formal (3,45%) sebagai pilihan pertama bila mereka menghadapi musim paceklik. Selanjutnya untuk pilihan kedua, sebanyak 41,38 % mengaku meminta bantuan kepada patronnya, tetangga atau teman (34,45%) dan saudara atau teman (24,14%) sebagai pilihan kedua yang dapat membantu mengatasi kesulitan tersebut, seperti pada Tabel 34 berikut.
Tabel 34. Dua pilihan masyarakat Teluk Sepang menghadapi musim paceklik Bila musim paceklik, siapa yang membantu anda ? Tidak Seorangpun Keluarga/Saudara Tetangga/Teman Patronnya Tokoh Formal Total Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Dua Pilihan Nelayan Pertama Kedua 0 0 18 (62,07%) 7 (24,14%) 4 (13,79%) 10 (34,48%) 6 (20,69%) 12 (41,38%) 1 (3,45%) 0 29 (100%) 29 (100%)
Dua pilihan jawaban yang diberikan 41 nelayan responden di Kelurahan Sumberjaya tergambar bahwa pilihan pertama untuk meminta bantuan pada saat musim paceklik adalah patronnya (75,61%), keluarga atau saudara (19,51%) dan tetangga atau teman (4,88%). Meminta bantuan kepada keluarga atau saudara sebagai pilihan kedua sebanyak 63,41% dari responden yang menjawabnya. Meminta bantuan pada tetangga atau teman (24,39%), patron (4,89%), tokoh formal (4,89%), dan tidak ada seorangpun (2,44%), seperti terlihat pada Tabel 34.
Tabel 35.Dua pilihan masyarakat pesisir Sumberjaya menghadapi musim paceklik Bila musim paceklik, siapa yang membantu anda ? Tidak Seorangpun Keluarga/Saudara Tetangga/Teman Patronnya Tokoh Formal
Dua Pilihan Nelayan Pertama 0 4 (19,51%) 2 (4,88%) 31 (75,61%) 0
Total 41 (100%) Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Kedua 1 (2,44%) 26 (63,41%) 10 (24,39%) 2 (4,88%) 2 (4,88%) 41(100%)
Dua pilihan yang diberikan masyarakat pesisir di Kelurahan Kandang tergambar bahwa pilihan pertama sebagian besar (60%) meminta bantuan pada patronnya, 26,66% pada keluarga atau saudara, tetanga dan tokoh formal masingmasing 6,67%. Pilihan kedua untuk meminta bantuan pada keluarga atau saudara sebesar 46,67%, tetangga 20%, patron dan tokoh formal masing-masing 13,33%, sedangkan tidak ada seorangpun 6,67%, seperti tersaji pada Tabel 36 berikut.
Tabel 36. Dua pilihan masyarakat pesisir Kandang menghadapi musim paceklik Bila musim paceklik, siapa yang membantu anda ? Tidak Seorangpun Keluarga/Saudara Tetangga/Teman Patronnya Tokoh Formal
Dua Pilihan Nelayan Pertama 0 4 1 9 1
(26,66%) (6,67%) (60%) (6,67)
Total 15 (100%) Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Kedua 1 (6,67%) 7 (46,67%) 3 (20%) 2 (13,33%) 2 (13,33%) 15(100%)
Tabel 34, 35 dan 36 memperlihatkan bentuk solidaritas di daerah penelitian yang kental dengan keterikatan secara kolektivitas, dimana adanya tindakan sosial yang tidak selalu pamrih karena ada ikatan moral, tetapi juga bentuk yang mengikat dalam menjalin hubungan sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Schwab (1992) bahwa beberapa hubungan sosial antar warga, saling kerjasama, saling percaya, saling peduli terlibat dalam suatu organisasi merupakan modal sosial yang dapat diandalkan dalam mengatasi masalah.
b. Kepercayaan Menurut sebagian besar responden di daerah penelitian (84,29%), saat ini mereka masih memiliki rasa saling percaya dalam pinjam meminjam uang, barang maupun jasa dengan nelayan lain di dalam komunitas, dengan kadar kepercayaan yang relatif sama dari tahun sebelumnya. Meskipun juga terdapat 15,71% nelayan yang menyatakan bahwa tingkat saling percaya diantara masyarakat saat ini sudah tidak ada lagi, bahkan menurut mereka kondisinya dari tahun ke tahun semakin memburuk, seperti terlihat pada Tabel 37 dibawah ini.
Tabel 37. Perbandingan tingkat kepercayaan dalam komunitas Tingkat Kepercayaan Saling Percaya dalam Pinjam Meminjam Pada Komunitas Saat Ini Ya Tidak Lebih Baik 5 (7,14%) 0 Sama Saja 48 (68,57%) 6 (8,57%) Lebih Buruk 6 (8,57%) 5 (7,14%) Total 59 (84,29%) 11 (15,71%) Sumber : Diolah dari data primer, 2006.
Total 5 (7,15%) 54 (77,14%) 11 (15,71%) 70 (100%)
Lebih jauh lagi ketika dibandingkan dengan tingkat kepercayaan dengan komunitas atau kelurahan lain, sebanyak 31,44% masyarakat setempat menyakini bahwa tingkat kepercayaan diantara mereka masih relatif lebih baik dibandingkan dengan warga komunitas lain atau kelurahan tetangga.
Sedangkan sebanyak
64,29% nelayan menyatakan tingkat kepercayaan masyarakat setempat sama saja dengan tingkat kepercayaan yang dimiliki warga komunitas lain atau kelurahan tetangga, hanya 4,27% responden yang mengaku tingkat kepercayaan nelayan setempat relatif lebih buruk bila dibandingkan dengan warga komunitas lain atau kelurahan tetangga, seperti terlihat pada Tabel 38 berikut.
Tabel. 38. Perbandingan tingkat kepercayaan dengan komunitas lain Tingkat Kepercayaan Saling Percaya dalam Pinjam Meminjam Pada Komunitas lain Ya Tidak Lebih Baik 7 (15,40%) 15 (31,25%) Sama Saja 13 (59,09%) 32 (66,66%) Lebih Buruk 2 (9,09%) 1 (2,08%) Total 22 (31,43%) 48 (68,57%) Sumber : Diolah dari data primer, 2006.
Total 22 (31,43%) 45 (64,28%) 3 (4,29%) 70 (100%)
Masih relatif terjaganya tingkat kepercayaan di antara masyarakat, ternyata tidak dapat dipisahkan dari pengaruh hubungan patron client yang telah melembaga dalam komunitas nelayan, dimana kepercayaan menjadi salah satu pilarnya. Pengaruh positif dari hubungan antara toke/juragan-nelayan yang cukup mapan tersebut ternyata berimbas pada kepercayaan diantara nelayan dalam konteks yang terbatas, diantara orang yang sudah saling mengenal dan secara kebetulan memiliki sumberdaya yang relatif seimbang untuk dipertukarkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Legg (1983) bahwa jaringan yang memiliki tingkat kepadatan hubungan yang lebih tinggi mempermudah mobilisasi sumberdaya antara anggota jaringannya.
c. Kerjasama Gambaran kerjasama di daerah penelitian dikaji melalui pendapat masyarakat berdasarkan prinsip kerjasama. Sebanyak 55,71% setuju bila warga di daerah penelitian dikatakan memiliki sifat jujur dan dapat dipercaya dalam melakukan kerjasama, hanya 20% masyarakat yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Namun sebanyak 50% masyarakat mengaku setuju bila warga di daerah penelitian dikatakan hanya mementingkan diri sendiri dan tidak perduli dengan kesejahteraan bersama, bahkan 12,86% masyarakat sangat setuju dengan pendapat tersebut. Selanjutnya sebanyak 64,27% masyarakat juga merasa setuju bila mereka harus selalu waspada bila tidak ingin dimanfaatkan oleh orang lain dalam bekerjasama, bahkan 17,15% masyarakat mengaku sangat setuju dengan pendapat tersebut. Pernyataan tersebut mencerminkan kecenderungan sikap pesimis dan apatisme masyarakat pesisir yang semakin menguat dalam melihat realitas kerjasama yang dilakukan oleh warga, seperti tersaji pada Tabel 39 berikut ini.
Tabel 39. Pendapat masyarakat pesisir berdasarkan prinsip kerjasama Prinsip Kerjasama
Pendapat Warga Sangat
Setuju
Setuju Warga Disini Jujur dan Dapat Dipercaya Warga Hanya Mementingkan Diri Sendiri, Tidak Perduli Dengan
Tidak
Sangat Tidak
Setuju
Setuju
16
39
14
1
(22,86%)
(55,71%)
(20%)
(1,43%)
9
35
18
8
(12,86%)
(50%)
(25,71%)
(11,43%)
12
45
7
6
(17,15%)
(64,27%)
(10%)
(8,58%)
19
42
8
1
(27,14%)
(60%)
(11,43%)
(1,43%)
5
14
43
8
(7,14%)
(20%)
(61,43%)
(11,43%)
2
10
35
23
(2,87%)
(14,26%)
(50%)
(32,87%)
31
30
8
1
(44,26%)
(42,76%)
(11,44%)
(1,43%)
3
24
33
10
(4,29%)
(34,28%)
(47,14%)
(14,29%)
Kesejahteraan Bersama Harus Selalu Waspada Atau Seseorang Mengambil Keuntungan Dari Kita Bila Punya Masalah Selalu Ada Yang Menolong Saya Saya Tidak Menaruh Perhatian Pada Pendapat Orang Lain Komunitas Relatif Lebih Sejahtera Dalam Tiga Tahun Terakhir Saya Diterima Sebagai Warga Komunitas Warga Tidak Perduli Dengan Kerusakan Lingkungan Yang Terus Berlangsung Sumber : Diolah dari data primer, 2006.
Meskipun demikian, sebanyak 60% masyarakat mengaku setuju bila menghadapi sebuah permasalahan selalu ada yang menolong mereka, hanya 11,43% masyarakat yang tidak setuju dengan pendapat tersebut.
Sebanyak
61,43% masyarakat tidak setuju bila dikatakan tidak pernah menaruh perhatian pada pendapat orang lain, meskipun sebanyak 20% masyarakat mengaku setuju bila dikatakan tidak memperhatikan orang lain.
Sebanyak 50% masyarakat
menjawab tidak setuju bila dikatakan dalam tiga tahun terakhir kondisi komunitas relatif lebih sejahtera, bahkan terdapat 32,87% masyarakat yang menjawab sangat tidak setuju, hanya 14,26% yang menjawab setuju dan 2,87% masyarakat menjawab sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Namun menurut pengakuan sejumlah masyarakat, tingkat kesejahteraan yang dicapai saat ini cenderung mengalami penurunan bila dibandingkan dengan apa yang pernah mereka peroleh
dalam kurun waktu 2003-2005, ketika terjadi kenaikan harga ikan. Sehingga peningkatan kesejahteraan relatif dalam tiga tahun terakhir ini, dilihat nelayan sebagai pembangunan fisik yang sangat gencar dilakukan pemerintah. Sedangkan sebanyak 44,26% masyarakat merasa sangat setuju, dan 42,76% lainnya menjawab setuju bila saat ini mereka telah diterima sebagai warga komunitas masyarakat di daerah penelitian, hanya 11,44% masyarakat yang menjawab tidak setuju dan 1,43% masyarakat yang menjawab sangat tidak setuju, karena merasa masih belum diterima sebagai warga di daerah penelitian. Selanjutnya sebanyak 47,14% masyarakat mengaku tidak setuju bila warga komunitas di daerah penelitian dikatakan tidak memiliki keperdulian terhadap kerusakan lingkungan yang terus berlangsung disekitar mereka, namun sebanyak 34,28% masyarakat bersikap sebaliknya, mereka setuju bila warga di daerah penelitian dikatakan tidak memiliki keperdulian terhadap kerusakan lingkungan yang terus berlangsung tersebut. Dari uraian diatas, ternyata kerjasama antara masyarakat pesisir di daerah penelitian menunjukkan kerjasama yang berdasarkan hubungan sosial yang berdasarkan kekerabatan (persaudaraan). Hal ini sesuai dengan pendapat Putnam (1993) bahwa kerjasama sukarela lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas lokal yang telah mewarisi sejumlah modal sosial yang substansial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik dan jaringan-jaringan kesepakatan antar warga. Aturan-aturan, pertukaran timbal balik dan jaringan kesepakatan antar warga yang menjadi basis bagi kerjasama sukarela tercipta, bila tingkat partisipasi yang setara dan adil (equal participation) di dalam komunitas sudah terwujud. Hasil analisis menunjukkan bahwa modal sosial yang dimiliki masyarakat pesisir di Teluk Sepang, Kandang dan Sumberjaya sebagian besar termasuk kategori rendah, masing-masing 68,2%, 62,3% dan 62,7%. Hal ini bermakna, bahwa modal sosial nelayan di daerah penelitian belum dimanfaatkan secara baik dalam rangka mengendalikan degradasi lingkungan. Kondisi ini menurut Hasbullah (2006) sangat merugikan karena modal sosial merupakan jaring pengaman dan kekuatan internal bagi nelayan dalam memecahkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kemiskinan. Implikasi temuan penelitian ini dalam upaya pengendalian sumberdaya alam pesisir, yaitu:
1. Perlu melakukan kegiatan yang meningkatkan rasa solidaritas antar nelayan melalui budaya gotong royong dalam program-program pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir. 2. Meningkatkan keterbukaan dalam melakukan jaringan sosial dengan siapapun dalam upaya pengendalian sumberdaya alam pesisir. 3. Meningkatkan motivasi untuk melakukan hubungan jaringan sosial antar sesama dalam upaya pengendalian sumberdaya alam pesisir.
4.3.2. Pelapisan Sosial Dalam masyarakat nelayan, terjadinya diferensiasi peranan yang ditandai dengan semakin meningkatnya kebutuhan spesialisasi pekerjaan. Hal ini menurut pendapat Satria (2002), disebabkan akibat masuknya alat tangkap modern. Dengan adanya sistem pembagian kerja semacam ini berimplikasi pada pembentukan struktur pelapisan sosial pada masyarakat nelayan. Terjadinya diferensiasi peranan mengakibatkan munculnya perbedaan akses terhadap sumberdaya dan pembentukan pemilikan sumberdaya. Mengacu pada pernyataan ini, bahwa masyarakat nelayan Kota Bengkulu menunjukkan adanya pelapisan sosial. Pelapisan yang ada pada masyarakat nelayan Kota Bengkulu akibat adanya stratifikasi ekonomi karena ketidaksetaraan ekonomi antar lapisan dan berdasarkan spesialisasi pekerjaan.
Hal ini sesuai dengan penjelasan dari
Soekanto (1999), menyatakan bahwa dengan mengamati pola-pola penguasaan aset produksi seperti modal, kapal, dan peralatan tangkap akan mempermudah untuk mengidentifikasi adanya pelapisan sosial dalam komunitas nelayan Kota Bengkulu. Sistem pelapisan sosial yang ditemukan digolongkan dalam tiga lapisan, yaitu : 1. Lapisan atas adalah mereka yang disebut juragan atau pemilik kapal maupun alat tangkap dan toke (pedagang pengumpul ikan). Lapisan atas di masyarakat nelayan Kota Bengkulu adalah kalangan juragan yang memiliki modal, kapal dengan jenis alat tangkap yang berbeda dan dapat dipergunakan dalam aktivitas penangkapan sampai jarak yang lebih jauh ke laut dan bahkan tidak tergantung pada musim, gudang-gudang ikan, bangunan rumah bagus,
kepemilikan alat transportasi, barang-barang elektronik dan sebagainya. Di Teluk Sepang lapisan atas adalah mereka yang memiliki perahu motor yang jumlahnya >10 unit dengan alat tangkap, yakni jaring insang hanyut, jaring udang/lobster. Sementara di Sumberjaya lapisan atas datang dari pemilik kapal/juragan yang memiliki perahu motor dan kapal motor dengan ukuran bervariasi dengan jenis alat tangkap, yakni jaring pukat kantong, payang, jjaring insang hanyut, pancing, dan bagan perahu. Selain itu, lapisan atas juga datang dari juragan yang juga berprofesi sebagai toke. Ukuran kapal yang dimiliki juragan bervariasi dari < 5 GT sampai >20 GT. Pada tahun 2006, jumlah kapal/perahu perikanan di Sumberjaya mencapai 117 unit. Jumlah tersebut terdiri dari perahu motor ukuran <5 GT mencapai 16 unit, 5-10 GT 47 unit, 10-20 GT 21 unit, 20-30 GT 18 unit , >30 GT 15 unit. Karena identik dengan penguasaan ekonomi yang besar juragan/toke seringkali menjadi sandaran bagi masyarakat sekitar dan pekerjanya mengalami kesulitan ekonomi. 2. Lapisan menengah adalah nelayan-nelayan kecil. Lapisan menengah di Teluk Sepang adalah nelayan yang menangkap ikan dilaut (tekong) dan cingkau. Cingkau adalah orang yang jual beli ikan dalam skala menengah. 3. Lapisan yang terbawah adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki alat tangkap terutama pelacak. Di Teluk Sepang maupun Sumberjaya, lapisan ini bekerjapada juragan/pemilik kapal. Dengan pelapisan seperti ini menciptakan hubungan sosial dan hubungan ekonomi yang saling berkepentingan dan membutuhkan dalam kegiatan perikanan tangkap. Juragan ataupun toke sebagai pemilik modal dan alat produksi juga menguasai jaringan pemasaran ikan secara oligopolistik. Sementara buruh nelayan yang memiliki tenaga kerja dan hubungan permodalan dengan berbagai lapisan atas.
Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2001) yang menyatakan cara
produksi kapitalis mendominasi non kapitalis, dan menciptakan stratifikasi dalam masyarakat. Dalam hubungan kerja terutama armada penangkapan berkekuatan >10 sampai dengan >30 GT menunjukkan klasifikasi lapisan masyarakat nelayan sebagai berikut :
1. Juragan/toke adalah orang yang menjadi penyandang dana dalam kegiatan melaut sekaligus sebagai pengumpul ikan hasil tangkapan dari nelayan lainnya. 2. Tekong adalah nelayan yang bertanggung jawab atas kegiatan operasional perahu. 3. Apit adalah nelayan yang membantu tekong sebagai juru mudi kapal/perahu yang bertugas mengatur arah perjalan perahu. 4. Kuanca adalah nelayan yang bertugas mengontak nelayan-nelayan lain untuk bekerja. 5. Pejabat lampu adalah nelayan yang bertugas merawat, memompa tabung lampu, serta menghidupkan dan meletakkannya di tempat yang tersedia. 6. Pejabat jaring adalah nelayan yang bertugas memelihara jaring, menaburkan jaring dan menarik jaring dalam kegiatan penangkapan. 7. Pejabat dapur adalah nelayan yang bertanggung jawab atas perbekalan dan konsumsi nelayan pada saat penangkapan. 8. Pejabat selam adalah nelayan yang bertugas membuang timah ketika menaburkan jaring, mengatur posisi jaring pada saat di taburkan kelaut dan menata posisi jaring sebagaimana mestinya setelah dipakai. 9. Pelacak adalah nelayan yang menyediakan tenaga untuk membantu pejabat lampu, pejabat jaring, pejabat dapur dan pejabat selam. Stratifikasi diatas, tergambar jelas dalam
kegiatan perikanan tangkap
nelayan Sumberjaya dimana hubungan produksi perikanan tangkap di Kelurahan Sumberjaya mengalami perubahan formasi sosial yaitu hubungan produksi dan kekuatan produksi pada cara baru, yang ditunjukkan dengan adanya hubungan hirarkis, statusnya terdiri dari juragan, tekong, dan anak buah kapal (ABK) dengan berjenjang jenis pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2002) bahwa ciri-ciri perikanan tangkap yang menggunakan cara produksi baru terdiri dari pertama, jenis alat produksi diantaranya purse seine, sifat alat produksi modern, tenaga kerja permanen, unit produksi dalam kelompok besar beranggotakan 16-20 orang, mempuyai hubungan yang bersifat hirarkis, semi eksploitatif dan eksploitatif; kedua, jenis alat produksi perahu motor yang sifatnya semi permanen, mempuyai buruh semi permanen, terdiri dari kelompok kecil (4-6
orang) dengan struktur semi hirarkis serta sifatnya semi eksploitatif; dan ketiga, jenis alat produksinya perahu tempel yang memuyai buruh bebas, terdiri dari kelompok kecil (3-04 orang) dengan struktur egaliter yang sifatnya non eksploitatif. Masyarakat petambak mempuyai pelapisan sosial yang berdasarkan pada kepemilikan luas lahan, sehingga dalam komunitas petambak terdapat empat lapisan sosial yaitu : 1. Lapisan pertama diduduki oleh para pemilik tambak dengan kriteria mempuyai modal dan tambak yang cukup luas (memiliki lebih dari satu petak atau ± 5 ha), dan dalam pengelolaannya tidak dilakukan sendiri tetapi dengan memperkerjakan orang lain.
Biasanya mereka tidak tinggal di kawasan
pertambakan, namun tinggal di perkampungan daratan, dan hanya mnegontrol tambaknya seminggu sekali. Dalam istilah setempat disebut dengan toke 2. Lapisan kedua diduduki oleh para pemilik tambak dengan kriteria mempuyai modal dengan kepemilikan lahan yang relatif tidak luas (hanya satu petak tang luasnya 1-4 ha) dan dala pengelolaannya dilakukan sendiri atau tidak memperkerjakan orang lain.
Biasanya mereka tinggal di kawasan
pertambakan berdampingan dengan tambaknya atau kawasan permukiman yang agak ramai di tepi jalan desa, namun relatif masih dekat dengan tambaknya. 3. Lapisan ketiga diduduki oleh para penggarap yang mempuyai modal namun tidak mempuyai lahan sehingga bekerja mengelola tambak milik orang lain (toke) dengan sistem bagi hasil 1:1. Mereka biasanya tinggal dan menunggui tambak yang dikelolanya, tempat tinggal yang mereka tempati biasanya dibuatkan oleh toke namun ada juga yang tinggal dirumah milik sendiri. Dalam istilah setempat dikenal dengan sebutan petambak numpang. 4. Lapisan keempat diduduki oleh para penggarap tambak yang hanya bermodalkan tenaga kerja dan tidak mempuyai lahan sehingga bekerja mengelola tambak milik orang lain (milik toke) denga sistem bagi hasil 1:6. saat panen sebagai tenaga penangkap udang atau bandeng. Mereka diharuskan tinggal dan menunggui tambak yang dikelolanya, tempat tinggal yang mereka tempati dibuatkan oleh toke. Biasanya mereka merangkap menjadi buruh
pada petambak lain saat pengolahan tambak sebelum tebar yaitu mengangkat lumpur dari dalam tambak dan pada Selain itu, dalam masyarakat nelayan Kota Bengkulu terdapat juga stratifikasi berdasarkan pandangan masyarakat pesisir itu sendiri, seperti disajikan pada Tabel 40 berikut.
Tabel 40. Stratifikasi sosial masyarakat pesisir Kota Bengkulu dalam pandangan nelayan dan petambak Lapisan
Jenis pekerjaan
Atas
Menengah- Atas
Menengah - Bawah
Bawah- Atas
Bawah-Bawah
Jumlah
Juragan
18 orang
Toke
23 orang
Petambak
25 orang
Cingkau
47 orang
Tekong
139 orang
Bakulan/emberan
68 orang
Apit
54 orang
Kuanca
15 orang
Pejabat lampu
30 orang
Pejabat jaring
43 orang
Pejabat dapur
26 orang
Pejabat selam
32 orang
Penjaga tambak
15 orang
Pelacak
198 0rang
Sumber : dimodifikasi dari Satria (2002)
Berdasarkan uraian di atas, dominasi lapisan atas (juragan/toke) dalam kepemilikan alat produksi dan modal menunjukkan adanya hubungan patron client sebagai suatu kelembagaan yang mempengaruhi cara produksi nelayan Kota Bengkulu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Masyhuri (1999) bahwa struktur
ekonomi nelayan nampaknya lebih cenderung berpihak kepada kelompok nelayan yang menguasai sarana produksi, lebih mendorong terjadinya ketimpangan pendapatan dikalangan nelayan memungkin terjadinya eksploitasi terhadap nelayan oleh nelayan lain. Pendapat ini mendukung penjelasan dominasi kelas menurut Marx (Gidden,1989) dimana akan timbul apabila hubungan-hubungan produksi melibatkan suatu pembagian tenaga kerja yang beragam, yang memungkinkan terjadinya penumpukan surplus produksi sehingga merupakan pola hubungan memeras terhadap para perproduksi.
Dari kondisi ini juga terlihat adanya hubungan patron klien dalam komunitas nelayan dan petambak Kota Bengkulu banyak yang bersifat kekerabatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mappawata (1986) bahwa pola hubungan kerja yang telah mencapai suatu titik ketidak seimbangan yang maksimal, sehingga seseorang demikian unggul terhadap yang lainnya dalam kemampuannya memberikan barang-barang dan jasa, maka hubungan tersebut mendekati titik kritis untuk selanjutnya menuju kearah hubungan patron-client.
4.4. Kelembagaan Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu
4.4.1. Kelembagaan Perikanan Tangkap a. Kelembagaan Hubungan Kerja Pola hubungan kerja komunitas Nelayan Teluk Sepang menjadikan kepercayaan sebagai dasar penting dalam kehidupan sosial. Dikarenakan mereka merupakan anggota kelompok nelayan, sehingga kebersamaan dan kepercayaan dominan dalam kehidupan sehari-hari Nelayan Teluk Sepang menjadi karakter sosial budaya masyarakat setempat. Setiap bentuk kegiatan sosial yang dilakukan merupakan hasil dari rembukan atau musyawarah atau kesepakatan bersama. Kegiatan untuk mempererat ikatan sosial mereka terletak di sebuah danau, sebutan untuk tempat mereka merapatkan lancang (tangkahan) sebagai media interaksi nelayan Teluk Sepang, disamping itu kegiatan melaut yang harian memungkinkan kegiatan sosial bisa diikuti terutama kegiatan malam hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Marx (Raharjo, 1987) bahwa cara-cara produksi dan hubunganhubungan sosial dalam produksi membentuk mata rantai utama antara hubungan kerja dan masyaraka. Hubungan kerja ini, sesuai dengan penjelasan Mubyarto et al. (1998) bahwa diantara golongan penduduk baik menurut usia atau jenis kelamin dan di berbagai lapisan masyarakat yang terlibat di kegiatan perikanan diibaratkan sebagai suatu jaringan laba-laba yang saling berkaitan. Sedangkan pola hubungan kerja Nelayan Sumberjaya ditandai dengan heterogenitas jenis penangkapan dan etnis, sehingga menciptakan pola tersendiri dalam kelompok-kelompok nelayan. Hubungan kerja tersebut memperlihatkan adanya hubungan produksi ketergantungan antara atasan dan bawahan (patron
klien), terutama dalam kegiatan penangkapan ikan dengan jenis mesin motor berkekuatan 10->30 GT. Hubungan ini sesuai dengan pendapat Satria (2002) bahwa ciri umum hubungan produksi masyarakat pesisir adalah patron klien. Hal yang berbeda ditemukan di Kelurahan Kandang, pola hubungan kerja tidak memperlihatkan adanya ketergantungan antara pemilik dan pekerja seperti Nelayan Sumberjaya. Hubungan kerja nelayan yang ditemukan di daerah penelitian seperti pada Tabel 41 berikut.
Tabel 41. Pola hubungan kerja nelayan di daerah penelitian Lokasi Penelitian Teluk Sepang
Bentuk Hubungan Pola I Pola II Non patron klien : Semi patron klien : Nelayan 1 punya perahu motor dan • Struktur atas : nelayan pemilik • jaring, nelayan 2 punya jaring, nelayan 3 sekaligus tekong dan 4 hanya menumpang kerja dengan Struktur bawah: 3-4 ABK tenaga saja Modal : bahan bakar di Modal disepakati bersama penuhi oleh nelayan Pembagian kerja : tidak ada pemilik Pembagian kerja : tidak • Nelayan 1 hanya punya perahu, nelayan ada 2 punya jaring, nelayan 3 punya jaring dan nelayan 4 punya tenaga • Struktur atas : nelayan Modal disepakati bersama Struktur bawah : tekong dan 3-4 Pembagian Kerja : tidak ada ABK Modal : bahan bakar dipenuhi oleh nelayan pemilik Pembagian kerja : tidak ada
Sumberjaya
Juragan/toke dan nelayan • Struktur atas : Di darat yaitu juragan/toke Di laut yaitu tekong • Struktur menengah : Lapisan pertama yaitu apit, kuanca Lapisan kedua yaitu pejabat lampu, pejabat jaring, pejabat dapur, pejabat selam Lapisan ketiga : pelacak • Modal dipenuhi oleh juragan/toke • Ada pembagian kerja : Juragan/toke bertanggung jawab penuh dengan urusan di darat Tekong bertanggung jawab penuh dengan urusan di laut Apit dan kuanca bertanggung jawab dengan mesin dan pembagian kerja terhadap pejabat lampu, pejabat selam, pejabat dapur, pejabat jaring dan pelacak
Tekong dan anak buah kapal (ABK) • Struktur atas : tekong • Struktur bawah : pelacak
Kandang
• • •
• • • • •
Nelayan sekaligus pemilik sampan Beranggotakan 3 orang Tidak pakai modal karena menggunakan sampan tampa motor
Sumber : Diolah dari data pengamatan lapangan, 2006
Juragan/toke dan buruh nelayan Juragan : pemilik Buruh nelayan : 1-4 ABK Modal : bahan bakar dipenuhi juragan Ada pembagian kerja
Berdasarkan Tabel 41 ditemukan bahwa pola hubungan kerja nelayan Teluk Sepang tidak terjadi hubungan patron-clients yang ketat seperti yang terjadi di daerah Jawa. Juragan/toke tidak memposisikan dirinya menjadi patron yang memberikan modal pada nelayan sebagai client sehingga terikat padanya serta memberikan hasil menangkap ikan di laut. Selanjutnya gejala yang muncul, adalah nelayan pemilik (lancang) mengeluarkan modal bahan bakar (solar) saja. Bagi pemilik lancang yang merupakan anggota kelompok nelayan biasanya mengusahakan sendiri dengan cara membeli jika ada uang tunai yang memang telah disiapkan sebelum ke laut, bila tidak mempuyai uang tunai, mereka bisa pinjam ke bagian logistik kelompok bagi nelayan yang menjadi anggota kelompok. Dan bagi nelayan bukan anggota kelompok modal diusahakan sendiri, tanpa meminjam dengan menyisihkan hasil yang didapat sebelumnya, bila tidak ada simpanan mereka patungan bersama-sama sesuai kesepakatan. Disamping itu, gejala lain yang muncul adalah sistem menumpang yang tidak menunjukkan sama sekali hubungan atasan dan bawahan. Sistem ini dikarenakan keterbatasan alat produksi (armada dan jenis penangkapan) yang dimiliki. Pola hubungan yang ditemukan pada Nelayan Teluk Sepang dan Nelayan Kandang memperlihatkan adanya hubungan kerja yang longgar sebagai akibat sistem hubungan produksi yang egaliter dan tidak ada unsur eksploitatif.
Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Anggraini (2002) di Pulau Panggang, dimana hubungan tengkulak dan nelayan tidak terikat seperti hubungan patron klien pada umumnya. Kondisi ini ternyata tidak sesuai dengan pendapat Acciaioli (1989) bahwa hubungan seperti pemimpin-pengikut (patron client) merupakan ikatan-ikatan yang ditujukan untuk memastikan bahwa mereka yang hidup dibawahnya akan dipenuhi kebutuhan dasar dan ada unsur eksploitatif. Meskipun demikian, pola hubungan kerja yang ada tidak selalu sama antara satu jenis usaha dengan jenis usaha yang lain, namun bisa dipastikan bahwa pola hubungan kerja nelayan Teluk Sepang menyerupai pola seperti bagan dibawah ini.
Nelayan Pemilik + Tekong
Nelayan Pemilik
Tekong
ABK
ABK
ABK
ABK
ABK
ABK
Nelayan Pemilik (juragan/toke) tidak memposisikan sebagai patron bagi ABK dikarenakan Modal yang dikeluarkan oleh juragan/toke hanya bahan bakar sedangkan bekal makanan di bawa oleh masing-masing ABK dan ABK tidak terikat penuh dengan satu tekong. Sumber : Diolah dari data primer dan data pengamatan, 2006
Gambar 21. Pola I hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang
Nelayan 1 yg lain
Nelayan 1
Nelayan 2
Nelayan 3
Nelayan 4
Nelayan 2
Nelayan 3
Nelayan 4
Nelayan “menumpang” pun bebas menentukan kemana mereka akan menumpang, dan tidak ada keterikatan yang mengikat sama sekali. Disini kepercayaan dan kerjasama yang dipakai, dan biasanya yang menumpang masih punya ikatan kekerabatan. Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006
Gambar 22. Pola II hubungan kerja Nelayan Teluk Sepang
Hubungan kerja Nelayan Kandang mempuyai pola tidak jauh berbeda dengan Nelayan Teluk Sepang, seperti Gambar 21 berikut ini. Nelayan 1 + Pemilik sampan
Nelayan 2
Nelayan 3
Nelayan 1, 2 dan 3 menumpang dengan pemilik sampan dengan menggunakan alat tangkap masing-masing. Sedangkan pemilik sampan juga mempuyai alat tangkap sendiri, modal tidak ada karena menggunakan dayung. Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006
Gambar 23. Pola I hubungan kerja nelayan sampan di Kandang
Pemilik Lancang 1
Tekong
ABK
ABK
Pemilik Lancang 2
ABK
Tekong
ABK
ABK
ABK bebas menentukan kepada siapa mereka bekerja, tetapi pemilik lancang berhak menentukan siapa yang bekerja padanya karena modal sepenuhnya ditanggung pemilik kapal. Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006
Gambar 24. Pola II hubungan kerja Nelayan Kandang
Berbeda dengan pola yang ditemukan pada nelayan Sumberjaya, dimana memperlihatkan hubungan patron klien, terlihat pada jenis alat tangkap yang memperkerjakan ABK antara 15-25 orang, dengan spesialisasi pekerjaan dan dicirikan munculnya eksplotasi antara nelayan lapisan atas (juragan) dengan nelayan lapisan bawah (ABK). Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2002) bahwa hubungan patron klien nampak pada kelompok nelayan besar (17-25 orang), adanya eksploitasi dan semi eksploitasi, hubungan kerjanya bersifat hirarkis. Selain itu, sesuai dengan pendapat Satria (2001) bahwa pada kelompok besar ada differensiasi sosial yang dilihat semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial tidak bersifat harisontal, melainkan vertikal atau berjenjang. Pola hubungang kerja yang ditemukan pada nelayan Sumberjaya dapat dilihat pada Gambar 25 dibawah ini.
Tekong 1
Tekong yg lain
Para pelacak
Keterangan : Para pelacak ini tidak harus tergantung pada patron (tekong) meskipun patron telah banyak memberi pekerjaan, klien masih mempuyai keleluasaan sewaktu-waktu untuk tidak terikat dengan patron. Klien juga dapat memilih kapan benrhenti dan bekerja tidak hanya satu tekong. Pola hubungan dengan adanya banyak pilihan dan jaringan sesama nelayan pelacak untuk melakukan pekerjaan bersama membuat longgarnya hubungan patron client tersebut.
Sumber: di olah dari pengamatan lapangan, 2006
Gambar 25. Pola hubungan kerja tekong dan pelacak di Sumberjaya
Dari Gambar 25, terlihat bahwa hubungan kerja tekong dan pelacak ternyata lebih mengarah pada pola hubungan patron client yang longgar, dimana kedua belah pihak saling membutuhkan, dan keleluasan bagi klien untuk tetap atau lepas hubungan dengan patron. Apabila salah satu merasa dirugikan, salah satu pihak akan mundur atau keluar. Kendati seorang pelacak dalam struktur bagi hasil yang berlaku, secara sepintas menunjukkan ketimpangan dan ketidakadilan. Mengacu pada investasi masing-masing pihak, sebenarnya menunjukkan pola bagi hasil yang seimbang. Setidaknya beberapa faktor yang mempengaruhi longgarnya hubungan patron client nelayan Sumberjaya, adalah : a) Tidak adanya jaminan subsisten secara tegas dari sang patron, kendati diberi kesempatan terlibat dalam kelompok kerja patron; b) Ada banyak instrumen ekonomi yang mau membantu, bila terjadi kesulitan ekonomi (paceklik), seperti koperasi keliling (rentenir), koperasi kelompok nelayan dan sebagainya;
c) Tidak ada perlindungan secara pribadi, bila ada ancaman dari musuh, baik ancaman secara pribadi maupun secara umum; d) Struktur bagi hasil yang dinilai paling rendah bagi mereka, sehingga nelayan pelacak merasa tidak terikat secara ketat kepada salah satu tekong atau pihak-pihak tertentu; e) Banyaknya kelompok kerja nelayan yang akan bersedia menerima mereka, bila sewaktu-waktu mereka menginginkan; dan f) Sumberdaya laut bersifat open accses, tidak dikuasai oleh seseorang atau kelompok tertentu, sehingga selalu memberi peluang kepada siapapun untuk memanfaatkan secara bersama. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan masyarakat petani yang terikat dengan lahan, yang sifatnya dikuasai dan dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu Beberapa faktor di atas menjadi faktor penting longgarnya hubungan tekong dan pelacak, hal ini sesuai pendapat Scott (1993), setidaknya ada empat faktor terjadinya hubungan patron client secara ketat, yaitu bila arus dari patron ke client berupa; a) jaminan subsisten, b) jaminan ketentraman, berupa perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan, c) jaminan dari paceklik, berupa pinjaman uang atau barang, dan d) jaminan sosial seperti membantu sarana ibadah, sekolah dan sebagainya.
Beberapa fasilitas sebagaimana yang
direkomendasikan Scott tersebut, sulit dipenuhi oleh patron, terlebih lagi produktivitas ikan dilaut belakangan ini mengalami penurunan.
Sistem pasar yang berlaku di wilayah setempat, dengan mengikuti mekanisme yang ada, terkait dengan koordinasi dengan pihak darat. Toke/juragan
Tekong
Kuanca
Apit
Pejabat lampu
Pejabat jaring
Pejabat dapur
Pejabat selam
Para pelacak
Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatani lapangan, 2006
Gambar 26. Pola hubungan kerja juragan/toke dan nelayan Sumberjaya Pola
hubungan
juragan/toke
dengan
nelayan
pada
Gambar
26
memperlihatkan pola interaksi dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan kelompok besar (10-25 orang). Setiap hubungan melihat pelaku sebagai bagian dari kegiatan penangkapan, yaitu tekong, apit, kuanca dan pelacak dan pihakpihak lain yang terlibat di dalamnya. Pihak di darat, penyediaan barang-barang bawaan, perantara penjual dan pembeli diatur oleh juragan/toke. Peran tekong sangat signifikan, yaitu mengendalikan jalannya kegiatan melaut. Tekong mempuyai andil, bertanggung jawab dan wewenang yang paling tinggi diantara para anggota lainnya.
Penunjukkan tekong sendiri, disamping atas dasar
penguasaan teknologi dan kemampuan menjalankan alat penangkapan juga dominan karena faktor keahlian mereka dalam mengendalikan kegiatan penangkapan. Bila status tekong karena faktor keahlian semata, umumnya di tunjuk oleh pemilik aset terbesar dalam suatu kelompok kerja tidak ikut melaut, atau
yang dikenal dengan istilah juragan/toke. Status juragan/toke semacam itu, dikelurahan Sumberjaya, terdiri dari berbagai bentuk, ada juragan/toke merangkap tekong, ada juga sebagai toke saja, serta ada juga pengusaha ikan juga sebagai juragan. Umumnya, toke berada di darat adalah mempuyai penguasaan aset dalam kelompok tersebut, mulai dari armada penangkapan, alat tangkap, modal, perbekalan, bahkan mempuyai tempat melabuhkan kapal sendiri (tangkahan), serta mempuyai gundang penyimpanan ikan yang besar. Status toke seperti ini dikategorikan sebagai juragan. Ada juga, disamping sebagai toke juga merangkap tekong yang hanya mempuyai aset armada penangkapan, alat tangkap saja. Ada yang hanya sebagai toke saja, mempuyai armada penangkapan, alat tangkap serta gudang penyimpanan ikan sebagai tempat pengumpulan hasil penangkapan. Karena berbagai faktor, seorang juragan/toke, menunjuk seseorang tekong yang dinilai mampu memimpin dan paling berpengalaman, umumnya masih ada hubungan keluarga.
Biasanya juragan/toke darat tersebut hanya berperan
mendistribusikan atau menjualkan hasil tangkapan, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan darat hingga menjadi uang. Sebaliknya pula pihak darat sepenuhnya mempercayakan segala kegiatan penangkapan di laut pada tekong, misalnya pembagian kerja para pelacak, penunjukkan tugas-tugas tertentu, wilayah penangkapan dan yang lainnya. Penyebutan kata tekong umumnya dilekatkan dengan penguasaan aset teknologi dan kemampuan menggunakan teknologi dalam penangkapan ikan, serta keahlian dalam melihat tanda-tanda alam. Karena kemampuannya tekong dianggap sebagai seorang yang punya ekonomi yang kuat, baik dalam kegiatan melaut, maupun dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kesan yang muncul kemudian adalah kehidupan yang makmur dan pekerjaan yang lebih ringan dibanding status pekerjaan yang lainnya, namun selama
penangkapan
berlangsung, tidak menunjukkan status dan posisi yang melekat dalam diri masing-masing. Seorang tekong, tidaklah kemudian pekerjaannya lebih ringan dari anggota lainnya, seperti pelacak biasa. Tekong dan anggota lainnya secara bersama-sama tanpa mempertimbangkan posisi dan status dalam kelompok. Bahkan hampir tidak ada perbedaan signifikan pekerjaan yang dilakukan tekong dengan pekerjaan
yang dilakukan pelacak biasa.
Beberapa pekerjaan tertentu saja yang secara
spesifik harus dilakukan seseorang yang ahli, misalnya pelacak penyelam, yaitu seseorang pelacak yang sangat ahli dalam menyelam, atau kuanca (juru mesin) yang bertanggung jawab terhadap kamar mesin, karena keahlian tersebut mendapatkan bagian tersendiri dibanding yang lain. Berdasarkan uraian di atas, pola patron klien antara juragan/toke dan nelayan sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1990), bahwa hubungan patron-client dilihat sebagai principle of reciprocity, dimana adanya hubungan timbal balik, seperti yang terlihat pada hubungan produksi antara tekong dan pelacak. Pendapat ini diperkuat lagi oleh penjelasan Mappawata (1986) bahwa pola hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan yang bersifat instrumental telah mencapai suatu titik ketidak seimbangan yang maksimal, sehingga seseorang demikian unggul terhadap yang lainnya dalam kemampuannya memberikan barang-barang dan jasa, maka hubungan tersebut mendekati titik kritis untuk selanjutnya menuju kearah hubungan patron-client.
b. Kelembagaan Bagi Hasil Salah satu ciri hubungan produksi pada usaha perikanan tangkap adalah adanya sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang ditemukan pada komunitas nelayan Teluk Sepang ditentukan oleh kepemilikan alat produksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2002) bahwa sistem bagi hasil sangat beragam seiring dengan perbedaan karakteristik alat produksi dan karakteristik sosial. Pola bagi hasil nelayan Teluk Sepang disajikan seperti Tabel 42 berikut.
Tabel 42. Pola bagi hasil Nelayan Teluk Sepang Uraian
Jenis Nelayan Semi Patron Klien
Target penangkapan
Non Patron Klien
Ikan gebur, kembung, tenggiri, tongkol, kape-kape, gelamo, beledang, pinangpinang, maco kedapang, maco turik, snangi, belanak, udang kelong, lobster
Daerah penangkapan
Perairan sebalik Utara, perairan linau
Trip operasional
1 hari
1 hari
Rata-rata trip/bulan
15-20
15-20
Armada penangkapan
< 5 GT – 10 GT
< 5 GT-10 GT
Jumlah ABK
1-3 orang
1-3 orang
Pola Bagi hasil
•
•
•
Penghasilan kotor dikurangi biaya operasional kemudian dibagi antara pemilik kapal dan ABK Satu bagian untuk pemilik dan satu bagian untuk ABK
•
Penghasilan kotor dikurangi biaya operasional kemudian dibagi antara pemilik kapal, pemilik alat tangkap dan penumpang Sepertiga bagian untuk pemilik kapal, sepertiga bagian untuk pemilik alat tangkap dan sepertiga bagian untuk penumpang
Sumber : Diolah dari data primer dan pengamatan lapangan, 2006
Dari Tabel 42 terlihat ada beberapa pola bagi hasil dalam nelayan Teluk Sepang. Pola I, yaitu juragan sebagai pemilik kapal yang mempuyai alat produksi (lancang dan jaring) yaitu dari total penghasilan dikurangi dengan bekal melaut/bahan bakar adalah penghasilan kotor. Selanjutnya dari penghasilan kotor tersebut, sistem bagi hasilnya dibagi dua yaitu satu bagian untuk pemilik kapal dan satu bagian lagi untuk seluruh anak buah kapal (ABK) yang dibagikan secara proporsional sesuai dengan berat ringannya pekerjaan. Khusus untuk tekong akan mendapatkan tambahan komisi dari toke diluar sistem bagi hasil tersebut. Besarnya komisi tergantung dari kemurahan hati toke, biasanya dilihat dari pendapatan hari itu, semakin besar pendapatan, komisi yang terima juga besar, atau sebaliknya. Selain pola bagi hasil diatas, karena keterbatasan akan perahu (lancang), alat tangkap (jaring) dan modal (biaya solar) telah menciptakan pola hubungan kerja lain pada komunitas nelayan Teluk Sepang. Bagi nelayan dengan keterbatasan tersebut menjadikan posisi mereka sebagai pengikut yang mempuyai perahu (lancang), istilah mereka menumpang, dengan kesepakatan diantara mereka hasil tangkapan tersebut berdasarkan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil dalam hubungan kerja tersebut biasanya perbekalan mereka bawa masing-masing,
setelah dikeluarkan untuk modal operasional melaut (solar), sisanya dibagi dengan ketentuan, yaitu satu per tiga bagian untuk pemilik lancang, satu per tiga bagian lagi dibagi sama rata dengan anggota perahu yang punya jaring dan satu pertiga sisanya dibagi rata keseluruhan anggota lancang. Sebagai contoh, sistem bagi hasil pola I, sebuah lancang (berpenumpang 3-4 orang) berpenghasilan Rp. 400.000. Hasil tersebut terlebih dahulu dikurangi biaya perbekalan sebesar Rp. 70.000,-. Sisanya Rp.330.000,- dibagi dua; satu bagian untuk pemilik lancang dan satu bagian untuk ABK.
Hasilnya pemilik lancang mendapatkan Rp.
165.000,- dan setiap ABK mendapat Rp.41.250. Berdasarkan pasal 3 undang-undang bagi hasil perikanan (UUBHP) yang mengelompokkan persentase bagi hasil perikanan laut berdasarkan jenis perahu layar atau kapal motor, untuk nelayan pandega perahu layar memberikan persentase pembagian minimum sebesar 75% dan perahu motor minimum 40% dari hasil bersih. Maka sistem bagi hasil nelayan Teluk Sepang pola semi patron klien jika dibandingkan dengan UUBHP sudah di atas standar yaitu nelayan buruh menerima sebesar 50%-50% dari keuntungan. Sementara, sistem bagi hasil yang berlaku untuk nelayan non patron klien menunjukkan tidak sesuai dengan UUBHP, yaitu nelayan buruh masih menerima pembagian dibawah 40%. Hal ini sesuai dengan pendapat Taryoto et al. (1993) bahwa umumnya sistem bagi hasil yang berlaku adalah pembagian hasil antara pemilik modal dengan nelayan yang kelaut selalu menguntungkan pemilik modal.
Tabel 43. Pola bagi hasil Nelayan Kandang Pola Bagi hasil
Nelayan Sampan Pendapatan seluruh penumpang sampan disatukan kemudian dibagi rata seluruh penumpang
Nelayan Lancang Pendapatan dipotong dengan modal merupakan hasil bersih. Hasil bersih dibagi 50% untuk pemilik dan 50% untuk seluruh ABK yang dibagi enam : dua untuk tekong dan empat untuk seluruh ABK
Sumber : Diolah dari wawancara, 2006
Berdasarkan Tabel 43 memperlihatkan pola bagi hasil Nelayan Kandang adalah sistem bagi dua untuk pemilik dan ABK dan sistem bagi enam untuk
tekong dan ABK. Pola ini menunjukkan bahwa bagi hasil memberikan bagian yang lebih besar bagi pemilik sehingga adanya ketidakmerataan distribusi pendapatan, yang mengakibatkan ketimpangan dan posisi nelayan buruh (ABK) yang lemah. Pada akhirnya menyebabkan kemiskinan di kalangan nelayan buruh. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwegono dan Pakpahan (1993) bahwa penyebab kemiskinan antara lain yaitu bagi hasil yang tidak adil. Pendapat ini diperkuat oleh Baswir (1999) bahwa kemiskinan dapat terjadi karena faktor struktural yaitu faktor buatan manusia seperti kebijakan perekonomian yang tidak adil. Sementara itu, sistem bagi hasil Nelayan Sumberjaya berdasarkan jenis alat produksi, seperti terlihat pada Tabel 44 dibawah ini. Tabel 44. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring pukat cincin Perhitunngan hasil bersih Hasil penjualan dikurangi biaya perbekalan = penghasilan bersih
Pola
Status
Bagi empat
Bagian
Keterangan
Pemilik kapal
Dua bagian hasil bersih
dari
Biaya perawatan
Satu bagian hasil bersih Satu bagian hasil bersih
dari
ABK (15-25 orang)
Tekong Apit/kuanca Pelacak
dari
Memberikan premi asuransi sebesar 100/kg
- Untuk tekong diberi gaji bulanan - bonus : >10 ton = Rp. 1 juta >5 ton = Rp. 200/kg, dibagi sesuai dengan jumlah pelacak
Sumber : Diolah dari wawancara, 2006
Tabel 45. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring insang hanyut/udang Perhitunngan hasil bersih Hasil penjualan dikurangi biaya perawatan, dikurangi biaya es balok, dikurangi biaya angsuran kredit jaring = penghasilan bersih
Pola Bagi dua
Status Pemilik kapal
Tekong ABK (4-7 orang)
Sumber : Diolah dari wawancara, 2006
Bagian Dua bagian dari hasil bersih
Satu dari bersih
bagian hasil
Keterangan
Dibagi dua : satu bagian untuk tekong dan satu bagian untuk semua pelacak
Tabel 46. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada jaring payang Perhitunngan hasil bersih Hasil penjualan dikurangi biaya perbekalan = penghasilan kotor. Kemudian dari penghasilan kotor dikurangi biaya perawatan + es balok = penghasilan bersih
Pola
Bagi dua
Status
Pemilik kapal
ABK (15-25 orang)
Bagian
Keterangan
45% - 50%
50% - 55%
Dibagikan secara proporrsional sesuai dengan jumlah ABK
Sumber : Diolah dari wawancara, 2006
Tabel 47. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada bagan perahu Perhitunngan hasil bersih Hasil penjualan dikurangi biaya perbekalan = penghasilan bersih
Pola Bagi dua
Status
Bagian
Pemilik kapal
Dua bagian dari hasil bersih
Tekong ABK (7-15 orang)
Satu bagian dari hasil bersih
Keterangan
Dibagi dua : satu bagian untuk tekong dan satu bagian untuk semua pelacak
Sumber : Diolah dari wawancara, 2006
Tabel 48. Pola bagi hasil Nelayan Sumberjaya pada kapal pancing Perhitunngan hasil bersih Hasil penjualan dikurangi biaya perbaikan kapal sebesar 5%, kemudian dikurangi 5% untuk ABK, kemudian dikurangi modal = penghasilan bersih
Pola
Bagi dua
Status
Bagian
Pemilik kapal
Satu bagian dari hasil bersih
ABK (7-15 orang)
Satu bagian dari hasil bersih
Keterangan
Dibagi pada semua ABK
Sumber : Diolah dari wawancara, 2006
Berdasarkan Tabel 44-48 di atas, menunjukkan bahwa sistem bagi hasil nelayan Sumberjaya adalah sistem bagi dua dan sistem bagi empat yang porsinya
meskipun sesuai dengan UUBHP, dimana bagian nelayan buruh bermotor minimum 40% dari hasil bersih, tetapi tetap merugikan tekong dan ABK (apit, kuanca, pejabat selam, pejabat jaring, pejabat dapur, pejabat lampu dan pelacak). Hal ini sesuai dengan pendapat Kusumastanto (2005) menyatakan bahwa konsep bagi hasil (profit-loss sharing) antara juragan dan nelayan (Anak Buah Kapal/ABK) dalam usaha perikanan tangkap merupakan hal yang menguntungkan selama masing-masing pihak bertindak benar. Namun, demikian konsep ini masih banyak mengakibatkan kemiskinan dan kerugian nelayan buruh (ABK). Penyebabnya adalah adanya aset yang semakin menurun dari aset-aset produksi di dalam usaha penangkapan, sehingga otomatis menurunkan nilai guna dari asetaset tersebut. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan pendapatan antara pemilik perahu dan modal dengan anak buah kapal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Salman dan Taryanto (1981) bahwa bagi hasil nelayan di Sulawesi dimana bagian yang diterima punggawa sebagai pemilik alat tangkap dan modal lebih besar dibandingkan dengan hasil yang diterima sawi. c. Kelembagaan Pemasaran dan Permodalan Pemasaran hasil tangkapan nelayan Teluk Sepang dilakukan secara mandiri dengan memanfaatkan kelompok nelayan dan anggota rumah tangga mereka.
Distribusi pemasaran ikan nelayan Teluk Sepang masih sangat
sederhana. Adapun distribusi pemasaran nelayan Teluk Sepang dapat dilhat pada Gambar 48 dibawah ini.
Anggota kelompok Nelayan
Bagian pemasaran
Pedagang emberan
ikan Pedagang emberan Konsumen lokal
non anggota kelompok Anggota keluarga Pedagang pengumpul (Toke)
Gambar 27. Distribusi pemasaran ikan pada komunitas Nelayan Teluk Sepang
Pedagang pengumpul (juragan jaring)
Pedagang pengumpul lokal (toke)
Anggota kelompok Pedagang pengumpul regional (Gudang Ikan)
Nelayan
Udang Pedagang besar Nasional (Perusahaan eksport)
non anggota kelompok Pedagang pengumpul lokal (Perusahaan Perikanan)
Konsumen lokal, regional, nasional, internasional
Gambar 28. Distribusi pemasaran udang pada komunitas Nelayan Teluk Sepang
Gambar 27 dan Gambar 28 memperlihatkan hasil tangkapan nelayan Teluk Sepang terdiri dari ikan dan udang. Bagi anggota kelompok nelayan, hasil tangkapan berupa ikan langsung diambil alih bagian pemasaran dari kelompok tersebut, ikan ditimbang, dicatat dalam pembukuan pendapatan anggota kelompok, kemudian bagian pemasaran mematok harga jualnya. Biasanya bagian pemasaran membeli ikan dari nelayan seperti harga pasar, kemudian ikan tersebut di lelang ke pedagang-pedagang emberan. Pedagang emberan tersebut adalah langganan tetap. Harga yang ditawarkan tidak berbeda dari harga ikan di tempat pelelangan ikan (TPI), selisih Rp. 500,00. Pedagang ember lebih banyak membeli dengan nelayan Teluk Sepang daripada nelayan di TPI, karena ikannya masih segar, dikarenakan waktu melaut nelayan Teluk Sepang satu hari. Sistem pemasaran ini berbeda dengan nelayan bukan anggota kelompok. Ikan hasil tangkapan langsung dijual pada penyambut , yaitu pedagang ikan yang punya modal besar (pedagang pengumpul), pedagang pengumpul ini langsung menjual ke pasar (konsumen lokal).
Harga ikan yang diambil pedagang
pengumpul ini lebih tinggi bila dijual ke pedagang emberan. Ada nelayan yang sistem pemasarannya langsung dijual ke pedagang pengecer atau pedagang emberan, dipasarkan ke konsumen lokal bahkan ada juga dipasarkan langsung
oleh anggota keluarga dirumah, oleh istri, orang tua atau saudara mereka yang umumnya perempuan. Atau dijual langsung pada tetangga yang membutuhkan. Berdasarkan uraian di atas ternyata sistem jaringan distribusi nelayan Teluk Sepang menunjukkan bahwa hasil tangkapan berupa ikan rantai pemasarannya tidak terlalu panjang dengan konsumen pasar lokal, berbeda dengan hasil tangkapan udang (udang kelong atau udang karo/lobster) ternyata rantai pemasarannya cukup panjang. Ini memungkinkan karena komoditi udang kelong/lobster adalah komoditi ekspor sehingga konsumennya tidak hanya lokal tetapi sampai ke luar negeri. Sebagai gambaran, harga udang lobster pada saat penelitian dilakukan Rp. 195.000/kg dibeli dari nelayan, sedangkan harga pasar lokal saat itu sebesar Rp. 200.000/kg, sehingga ada selisih harga Rp. 5000/kg. Harga udang lobster di restoran seafood Jakarta bisa mencapai Rp. 350.000/kg. Peranan pedagang pengumpul, yang berasal dari bagian pemasaran, juragan jaring, perusahaan ikan, toke dan gudang ikan lebih dominan dari permodalan sehingga harga ditentukan oleh mereka. Kondisi ini merugikan nelayan karena tidak mempuyai kekuatan tawar menawar harga.
Hal ini sesuai pendapat
Karsyono dan Safat (2000) bahwa semakin panjang suatu rantai pemasaran, semakin tinggi harga akhir yang ditanggung konsumen dibandingkan dengan harga jual pertama dari tangan produsen. Pemasaran hasil tangkapan Nelayan Kandang berupa ikan dan udang pada konsumen melalui pasar lokal, antar daerah dan ekspor, seperti yang disajikan pada Gambar berikut.
Pedagang pengumpul (Toke)
Pedagang pengecer (cingkau)
ikan Konsumen lokal Konsumen regional Konsumen nasional
Nelayan udang keluarga
Gambar 29. Distribusi pemasaran hasil tangkapan Nelayan Kandang
Gambar 29 memperlihatkan jaringan pemasaran hasil tangkapan langsung dipasarkan. Pemasaran hasil tangkapan Nelayan Kandang langsung ke pedagang pengumpul (toke) karena telah memberikan pinjaman terlebih dahulu kepada nelayan, sehingga nelayan tersebut harus menjual hasil tangkapan. Pinjaman tersebut diberikan tanpa bunga dengan persyaratan hasil tangkapan dijual kepada toke, dan toke yang menentukan harganya.
Kondisi ini melemahkan posisi
nelayan buruh sehingga menyebabkan kemiskinan.
Hal ini sesuai dengan
penelitian Mubyarto et al. (1999) bahwa pola hubungan patron klien tersebut telah menciptakan terjadinya kemiskinan. Jaringan pemasaran nelayan Sumberjaya lebih beragam berdasarkan jenis alat penangkapan, seperti yang disajikan pada gambar berikut.
Pedagang pengumpul tingkat regional (Gudang Ikan)
Pedagang pengumpul (juragan/pemilik kapal)
Pedagang besar Tingkat regional (Perusahaan Ikan) Pedagan pengecer tingkat regional (Cingkau)
Nelayan Pedagang pengumpul (toke)
Konsumen regional Konsumen lokal Pedagang pengecer tingkat lokal (Cingkau)
Gambar
30.
Distribusi pemasaran perahu/pancing Pedagang pengumpul (juragan/pemilik kapal)
ikan
nelayan
Pedagang pengumpul Tingkat lokal (Gudang Ikan)
jaring
payang/bagan
Pedagang pengumpul tingkat regional (Toke)
Udang
Nelayan
Ikan-ikan sedang
Ikan-ikan kecil
Pedagang pengecer tingkat lokal (Cingkau)
Pedagang besar Tingkat nasiona (Perusahaan eksport)
Pedagang pengumpul (toke) Konsumen regional Konsumen lokal
Industri pengolaha ikan (istri nelayan) Pedagang pengecer tingkat lokal (Cingkau)
Gambar 31. Distribusi pemasaran ikan nelayan jaring hanyut/udang
Pedagang pengumpul (juragan/pemilik kapal)
Pedagang pengumpul Tingkat lokal (Gudang Ikan)
Pedagang pengumpul tingkat regional (Toke)
Pedagang pengecer tingkat lokal (Cingkau)
Pedagang besar Tingkat nasiona (Perusahaan eksport)
Ikan ekspor
Nelayan
Ikan-ikan sedang
Ikan-ikan kecil Konsumen nasional Konsumen regional Konsumen lokal
Industri pengolaha ikan (istri nelayan) Pedagang pengumpul (toke)
Pedagang pengecer tingkat lokal (Cingkau)
Gambar 32. Distribusi pemasaran ikan nelayan pukat cincin
Gambar 30-32 memperlihatkan bahwa distribusi pemasaran hasil tangkapan nelayan Sumberjaya berdasarkan alat tangkap yang digunakan. Hasil tangkapan jaring payang/bagan perahu/pancing yang berupa ikan dijual langsung ke pedagang pengumpul yang berasal dari juragan sebagai pemilik kapal atau toke sebagai pemilik modal. Untuk jaringan pemasaran nelayan jaring insang hanyut/udang/jaring pukat cincin, peranan pedagang pengumpul yang berasal dari juragan (pemilik kapal) dan toke (pemilik modal) hanya pada komoditi berupa ikan-ikan ekspor dan udang. Jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan terdiri dari ikan ekspor (seperti ikan tuna, cakalang, layaran), jenis udang (seperti udang kelong, lobster), jenis ikan sedang (seperti ikan kembung, selar, sarden, gelamoh, maco turik, maco ketapang, gebur, tenggiri, jenihin, kakap merah, tongkol) dan jenis ikan kecil-kecil (seperti ikan teri, beledang, bleberan). Dari uraian diatas menunjukkan bahwa hasil tangkapan nelayan Sumberjaya untuk sampai ke konsumen melalui rantai pemasaran lebih panjang dari rantai pemasaran nelayan Teluk Sepang, karena hasil tangkapan lebih beragam jenisnya. Panjangnya rantai pemasaran ini merugikan nelayan sehingga posisinya tetap termarginalkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Satria (2002) bahwa lemahnya posisi nelayan dalam pemasaran menyebabkan selama ini marjin
keuntungan pemasaran lebih banyak jatuh ke tangan pedagang bukan ke nelayan. Pendapat ini di dukung oleh Dahuri (2001) bahwa posisi tawar menawar masyarakat pesisir yang lemah ini disebabkan sedikitnya produksi sehingga produsen tidak memiliki banyak pilihan untuk menjual hasilnya. Jaringan permodalan dalam penangkapan ikan nelayan Teluk Sepang lebih banyak berdasarkan interaksi antara nelayan. Peranan pemilik lancang/toke tidak memposisikan sebagai patron
yang membiaya modal karena nelayan Teluk
Sepang merupakan pemilik kapal sekaligus sebagai tekong sehingga modal operasional yang dikeluarkan hanya bahan bakar.
Bagi nelayan anggota
kelompok Sepang Serumpun, bila tidak punya modal, bahan bakar dapat dipinjam pada bagian logistik di kelompok, setelah mendapatkan hasil tangkapan, baru dibayar. Nelayan yang bukan anggota kelompok, modal ke lautpun sangat jarang mereka pinjam, karena mereka menyisihkan pendapatan untuk membeli bahan bakar untuk besoknya. Permodalan dalam kegiatan penangkapan ikan Nelayan Kandang dikuasai oleh pemilik kapal, juragan dan koperasi keliling. Sumber modal yang berasal dari juragan dan pemilik kapal ada imbalannya yaitu setiap hasil tangkapan harus dijual kepada peminjam modal dan harga ditentukan, biasanya lebih murah dari harga pasar. Sumber modal dari koperasi keliling, dengan prosedur lebih mudah tapi sangat berat bagi nelayan karena bunganya besar. Hampir semua nelayan Sumberjaya telah menyerahkan separuh hidupnya pada juragan/toke yang telah menyediakan pinjaman modal dalam kegiatan melaut, dikarenakan tidak ada pilihan lebih baik, selain meminjam modal pada toke/juragan yang telah mereka kenal untuk menutupi besarnya biaya yang harus dikeluarkan serta resiko yang harus ditanggung dalam kegiatan melaut. Dalam sistem kegiatan melaut seorang juragan/toke membiayai kegiatan operasional melaut kien-nya, berupa modal bahan bakar, armada penangkapan, alat tangkap beserta peralatannya seperti tempat penyimpan ikan, es batu dan lainnya. Sebagai imbalannya, nelayan harus menjual hasil ikan tangkapannya kepada juragan/toke yang telah memberikan modal operasional melaut. Seorang nelayan juga dapat meminjam uang kepada juragan/toke bila mereka mempuyai kebutuhan lainnya
yang mendesak, pinjaman tersebut akan diberikan tanpa angunan dan bunga maupun prosedur formal lainnya. Kondisi jaringan pemasaran dan jaringan permodalan nelayan di daerah poenelitian menunjukkan bahwa semakin lemahnya posisi nelayan dalam tawar menawar harga sehingga menempatkan nelayan pada posisi pinggiran dan besarnya ketergantungan mereka pada pemilik alat produksi.
Hal ini sesuai
dengan pendapat Masyhuri (1999) bahwa terpinggirkannya nelayan disebabkan nelayan kurang memiliki akses modal dan akses dalam memasarkan hasil tangkapan ikan.
Selain itu struktur ekonomi seperti ini akan menyebabkan
ketergantungan sekelompok nelayan pada pihak lain dalam pemenuhan kebutuhan sub sistem. Pendapat ini didukung oleh Sidik et.al (2000) bahwa sikap nelayan yang serba tergantung pada sumber yang memberikan kredit tidak hanya bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk alat produksi dan kebutuhan lainnya dengan jaminan nelayan harus menjual hasil tangkapannya dengan harga yang relatif lebih murah dari harga pasar, hal ini semakin melemahkan posisi tawar menawar nelayan. Lemahnya posisi nelayan menyebabkan mereka tetap dalam lingkaran kemiskinan.
4.4.2. Kelembagaan Budidaya Tambak a. Kelembagaan hubungan kerja Komunita petambak berbeda dengan komunitas nelayan di daerah penelitian, dikarena jumlahnya tidak sebanyak nelayan, yaitu 22 petambak dengan luas tambak 62,2 ha. Di dalam komunitas petambak di Kelurahan Teluk Sepang dan Kelurahan Sumberjaya memiliki pola hubungan kerja antara toke sebagai pemilik modal dan petambak. Pemilik modal dikomunitas tambak terdiri dari toke besar, yaitu pemilik modal yang memiliki lahan tambak seluas 15
ha
berjumlah 3 orang; dan toke yang memiliki tambak seluas 3-5 ha berjumlah 10 orang; dan perusahaan ekspor udang ada 5 buah berbentuk CV dan 2 buah berbentuk PT (Perseroan Terbatas). Hubungan kerja petambak yang ditemukan di daerah penelitian seperti Tabel 49 berikut.
Tabel 49. Pola hubungan kerja petambak di daerah penelitian Bentuk hubungan kerja yang ditemukan Pola I
Pola II
Pola III
mempuyai
Toke besar mempuyai hubungan kerja
Perusahaan ekspor mempuyai hubungan
hubungan kerja dengan toke.
langsung dengan petambak. Seorang
kerja seorang toke. Toke ini memiliki 1-
Seorang
petambak
2 orang petambak. Setiap petambak ada
Toke
besar
toke
hubungan
kerja
mempuyai dengan
dimana
setiap
petambak
memiliki
penjaga
2-4
penjaga
yang memperkerjakan 2 penjaga empang,
tambak
1-2
petambak,
memiliki
ada yang memperkerjakan 3 penjaga tambak
tambak 1-2 orang
Sumber : Diolah dari wawancara, 2006
Dari Tabel 49 diatas menunjukkan pola hubungan kerjaama antara toke dengan petambak dimana pemenuhan kebutuhan hidup penjaga tambak biasanya dicukupi oleh pemilik tambak, sedangkan kebutuhan modal operasional akan dipenuhi oleh toke yang menjadi patronnya, selanjutnya untuk sebuah kebutuhan yang tidak sanggup dipenuhinya, seorang juragan akan meminta bantuan pada toke yang lebih besar atau pada perusahaan eksportir dengan sebuah kesepakatan yang berujung pada penyerahan sepenuhnya hasil tambak kepada pemberi pinjaman modal. Hubungan seperti ini memperlihatkan hubungan patron client antara pemilik modal (toke), petambak dan penjaga tambak. Pola-pola hubungan kerja tersebut disajikan pada Gambar 33 dibawah ini.
Toke besar
Perusahaan ekspor udang
Toke Toke
I
I
petambak
petambak
petambak
I
I
I
I
I
petambak
I
I
I
petambak
I
I
Keterangan : I = Penjaga tambak
Gambar 33. Pola hubungan kerja kegiatan pertambakan di daerah penelitian
I
Berdasarkan Gambar 33 di atas menunjukkan bahwa hubungan patron klien dalam komunitas petambak di daerah penelitian menggunakan hubungan pemimpin-pengikut, bertindak sebagai majikan yang memposisikan dirinya sebagai produsen yang “memaksa” petambak-petambak yang terikat padanya serta para penjaga tambak miliknya untuk memberikan kepastian pasokan udang yang dibutuhkan pasar. Hal ini sesuai dengan pendapat Masyhuri (1999) bahwa pranata sosial yang sangat menonjol di kalangan masyarakat pesisir adalah hubungan patron klien yang berdasarkan hutang piutang.
b. Kelembagaan Bagi Hasil Dengan kondisi hubungan patron klien tersebut, sistem bagi hasil yang berlaku di Kelurahan Teluk Sepang dan Kelurahan Sumberjaya adalah sistem bagi hasil terdiri dari 75% untuk pemilik tambak dan 25% untuk penjaga tambak yang memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya, itupun setelah dipotong biaya produksi dan sistem bagi hasil terdiri dari 80% untuk pemilik tambak dan 20% untuk penjaga tambak yang kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh pemilik tambak, setelah di potong biaya produksi. Pola bagi hasil di daerah penelitian disajikan pada Tabel 50 berikut.
Tabel 50. Pola bagi hasil petambak di daerah penelitian Pola bagi hasil Hasil panen dikurangi biaya produksi 75% : 25%
Pembagian Yang Diberikan
Keterangan
Pemilik tambak
75%
Penjaga
tambak
Penjaga tambak
25%
memenuhi
sendiri
kebutuhan hidupnya Hasil panen dikurangi biaya produksi 80% - 20%
Pemilik tambak
80%
Kebutuhan
Penjaga tambak
20%
penjaga
hidup tambak
dipenuhi
oleh
pemilik tambak Sumber : Hasil wawancara, 2006
Berdasarkan Tabel 50 di atas menunjukkan bahwa sistem bagi hasil di daerah penelitian sangat menguntungkan pemilik tambak, yaitu antara 75%-80%. Hal ini merugikan petambak sehingga kehidupan petambak tetap dalam lingkaran kemiskinan. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Tindjabate (2001)
membuktikan bahwa petambak cenderung dirugikan dalam kelembagaan bagi hasil, karena berbagai hal yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan sepenuhnya ditanggung pemilik modal sehingga perhitungan lebih besar. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Mappawata (1986) bahwa adanya bias keuntungan kepada punggawa (petambak) dan pappalele (pemilik modal) dalam hubungan produksi dengan petambak.
c. Kelembagaan pemasaran dan permodalan Sebagian besar komunitas petambak di daerah penelitian memiliki pola yang hampir seragam dalam memasarkan hasil tambaknya, yaitu langsung dijual pada toke yang menjadi patronnya masing-masing. Namun ada juga petambak yang memasarkan hasil tambaknya langsung pada perusahaan ekspor karena tidak terikat hutang ke toke ataupun dijual ke pasar lokal melalui cingkau, meskipun persentase mereka relatif kecil, seperti disajikan pada Tabel 51 berikut.
Tabel 51. Tempat pemasaran hasil panen tambak di daerah penelitian Tempat Pemasaran
Lokasi Penelitian Teluk Sepang
Sumberjaya
Persentase
Pasar lokal
0
2 (16,6%)
2 (13,3%)
Toke
2 (66,6%)
8 (66,6%)
10 (66,6%)
1 (33,3%)
1 (8,3%)
2 (13,3%)
Perusahaan ekspor
0
1 (8,3%)
1 (6,6%)
Jumlah
3 (20%)
12 (80%)
15 (100%)
Pedagang
penyambut/pedagang
pengecer
Sumber : Diolah dari data primer, 2006
Berdasarkan Tabel 51 menunjukkan bahwa sebanyak 15 responden sebagian besar yaitu 66,6% menjual hasil panennya kepada toke yang transaksinya dilakukan dirumah atau digudang pengumpul. Sebesar 13,3% dijual ke pedagang penyambut atau pedagang pengecer yang transaksinya juga dilakukan tempat atau digudang ikan, pasar lokal 13,3% transaksinya dilakukan ditempat, dan ada sebagian kecil (6,6%) menjual langsung kepada perusahaan
eksportir yang transaksinya dilakukan di gudang ikan. Pola-pola ini terlihat pada Gambar 28 berikut.
Petambak Toke
Pedagang penyambut/cingkau
Pedagang Besar Gudang ikan
Perusahaan ekspor
Keterangan :
Pasar lokal
Alur perdagangan utama Alur perdagangan menengah Alur perdagangan kecil
Gambar 34. Rantai perdagangan hasil panen tambak di daerah penelitian
Gambar 34 di atas memperlihatkan distribusi pemasaran didaerah penelitian terdiri dari beberapa alur perdagangan, yaitu pertama, alur utama, dimana petambak memasarkan hasil panen ke toke, dari toke ke gudang ikan kemudian ke perusahaan ekspor. Selain dari jaringan pemasaran utama berasal dari pedagang penyambut (cingkau) memasarkan hasil tangkapan langsung ke pasar lokal dan berasal juga dari pedagang besar yang memasarkan hasil panen langsung ke perusahaan ekspor. Kedua, alur perdagangan menengah dimana petambak memasarkan hasil panen pada gudang ikan, dan ada juga jaringan menengah ini berasal dari toke memasarkan hasil panen melalui pedagang besar. Ketiga, alur perdagangan kecil yaitu berasal dari petambak menjual hasil panen ke pedagang penyambut (cingkau) lalu pedagang penyambut menjual ke pedagang besar dan ke perusahaan ekspor; ada yang berasal dari toke yang menjual hasil panen langsung ke pasar lokal. Dari uraian diatas ternyata distribusi pemasaran hasil panen petambak di daerah penelitian menunjukkan pola yang relatif rumit dan hubungan patron klien tergambar jelas, dimana seorang toke akan membiayai kegiatan operasional
tambak kliennya, berupa modal pembukaan dan perawatan, berikut suplai benih, pupuk dan racun yang diberikan sampai panen berhasil. Sebagai imbalannya, petambak harus menjual hasil penen kepada toke. Toke juga akan berperan sebagai pelindung bagi keamanan dan permodalan usaha tambak dari petambak yang menjadi bawahannya. Sementara pentambak akan berperan sebagai pelayan yang menyediakan suplai udang kepada toke yang memodalinya.
Seorang
petambak juga dapat meminjam uang ke toke bila mereka mempuyai kebutuhan lain yang mendesak, pinjaman tersebut diberikan tanpa angunan dan bunga maupun prosedur formal lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Legg (1983) bahwa hubungan patron klien adalah tata hubungan Beberapa penyedia modal di daerah penelitian di sajikan pada Tabel 52 dibawah ini.
Tabel 52. Sumber pinjaman modal bagi petambak di daerah penelitian Pemberi pinjaman
Konsekuensi
Permasalahan
Keterangan
Toke
Terikat dan harus menjual
Fluktuasi
hasil tambak pada toke
dikendalikan oleh toke
harga
udang
Pemberian pinjaman yang tidak berbelit-belit dengan pola pengembalian yang
yang bersangkutan
tidak mengikat membuat para
petambak
lebih
meilih sistem ini Koperasi keliling
Perusahaan Eksportir
Bunga tinggi
Pengemballian bisa berlipat-
Pemberian tidak berbelit-
lipat bila tidak tepat batas
belit
pengembalian
pengembalian
(ada
dengan
pola yang
penyitaan)
mengikat
Terikat dan harus menjual
Kualitas dan kuantitas udang
Dapat menikmati selisih
hasil
yang dijual relatif tinggi
harga
tambak
pada
eksportir bersangkutan
penjualan
udang,
hanya
bisa
namun
dimanfaatkan
petambak
yang tidak terikat hutang pada toke Sumber
: Diolah dari data primer, 2006
4.5. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
4.5.1. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Kota Bengkulu Analisis SWOT
Formulasi strategi pemberdayaan masyarakat pesisir sangat menentukan arah dan tujuan perencanaan dan pengembangan pemberdayaan dalam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir. Formulasi strategi pemberdayaan masyarakat pesisir tersebut memerlukan suatu proses analisis secara multidimensi dengan mengakomodir semua aspek yang terkait dengan perencanaan pemberdayaan masyarakat pesisir secara strategis. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam memformulasikan strategi pemberdayaan pesisir, yaitu aspek struktur masyarakat, kelembagaan masyarakat, dan aspek kondisi sumberdaya alam pesisir. Input data mengenai aspek struktur masyarakat dan kelembagaan masyarakat merupakan hasil wawancara dan pengamatan lapangan dengan responden yang ditentukan sebelumya.
Input data mengenai aspek kondisi
sumberdaya alam pesisir merupakan hasil identifikasi dan pengamatan yang dilakukan pada sumberdaya alam di wilayah pesisir selama penelitian, dan input data sekunder diperoleh dari beberapa instansi terkait. Berdasarkan input data struktur masyarakat, kelembagaan masyarakat dan kondisi sumberdaya alam pesisir, maka dilakukan suatu analisis strategis dengan menggunakan analisis SWOT yang menggunakan elemen kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.
Dalam analisis SWOT ada dua faktor yang sangat
berpengaruh dalam menentukan arah dan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi komponen kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal meliputi peluang dan ancaman. Kedua faktor tersebut dijabarkan menjadi beberapa elemen yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Selanjutnya dilakukan penilaian dan pembobotan oleh responden kemudian dilakukan tabulasi data dari judgement setiap responden. Hasil penilaian para responden selanjutnya dilakukan verifikasi untuk menganalisis penentuan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.
Komponen kekuatan menunjukkan nilai yang cukup signifikan terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir dengan nilai +1,253. Sedangkan kelemahan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir menunjukkan nilai –1,946, sehingga akumulasi nilai dari pengaruh faktor-faktor internal adalah – 0,693, disajikan pada Tabel 53 berikut. Tabel 53. Hasil analisis dan akumulasi pendapat responden untuk komponen internal SWOT Faktor- Faktor Strategi Internal Kekuatan : • Panjang garis pantai ± 63 km dengan potensi perikanan 49.195 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 67%. • Jumlah nelayan 4.065 orang dengan produktivitas 25 kg/orang/hari Kelemahan : • Sistem patron klien • Rendahnya modal sosial dalam struktur masyarakat • Rendahnya tingkat pendapatan nelayan kecil /petambak buruh • Kesenjangan teknologi dan modal usaha • Kultur masyarakat pesisir yang plural T o t a l
Bobot
Rating
BbtX rating
0,155
3
0,465
0,197
4
0,788
0,198 0,087
-4 -2
-0,748 -0,174
0,179 0,098 0,097
-3 -2 -3
-0,537 -0,291 -0,196
1
-0,693
Selanjutnya hasil analisis komponen peluang menunjukkan nilai yang signifikan terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir dengan nilai +2,207, sedangkan ancaman dalam pemberdayaan masyarakat pesisir menunjukkan nilai – 0,965 sehingga akumulasi nilai dari pengaruh faktor-faktor eksternal adalah +1,242, seperti pada Tabel 54 berikut.
Tabel 54. Hasil analisis dan akumulasi pendapat responden untuk komponen eksternal SWOT Faktor- Faktor Strategi Eksternal Peluang : • Kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan • Perda tentang zonasi pesisir dan laut Kota Bengkulu • Peningkatan skala usaha masyarakat • Program reboisasi • Sarana transportasi dari dan ke Kota Bengkulu yang membaik Ancaman : • Konflik sosial antar nelayan • Pencemaran perairan • Tangkap lebih (overfishing) • Penggunaan teknologi penangkapan tidak ramah lingkungan • Degradasi hutan mangrove T
o t a l
Bbt
Rating
Bbt rating
0,175 0,137 0,087 0,098
4 4 3 3
0,700 0,548 0,261 0,294
0,101
4
0,404
0,075 0,101 0,102 0,062
-2 -1 -3 -1
-0,150 -0,202 -0,315 -0,062
0,095
-4
-0,236
1
X
1,242
Berdasarkan hasil analisis matriks SWOT, yaitu IFAS (internal factor evaluation strategis) dan EFAS (eksternal factor evaluation strategis) pada Tabel 55, menunjukkan bahwa posisi pemberdayaan masyarakat pesisir di Kota Bengkulu berada pada posisi kuadrant III dengan nilai –0,693 sampai dengan 1,242, artinya strategi tersebut bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang dari lingkungan luar. Posisi pada kuadrant III tersebut berarti bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir memiliki peluang tetapi dihambat oleh adanya kelemahan-kelemahan internal. Dengan demikian, perlu diciptakan suatu strategi yang dapat meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang seperti pada Gambar 35.
Peluang III. Posisi strategi pemberdayaan masyarakat pesisir -0.693 sampai + 1.242 (Mendukung strategi trun-around)
I.
(Mendukung strategi agresif)
Kelemahan
Kekuatan
IV. (Mendukung strategi defensive)
II. (Mendukung strategi diversifikasi)
Ancaman Gambar 35. Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dan faktor eksternal
Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa matraik SWOT menggambarkan dengan rinci tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki untuk pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir, yang dipadukan dengan unsur peluang dan ancaman yang dimilikinya. Matrik SWOT tersebut memberikan kemungkinan empat alternatif strategi SO (strenght opportunity) dengan ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang, ST (Strenght Treaths) yaitu ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman, WO (Weaknesses Opportunity) dengan ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang dan WT (Weaknesses Treaths) dengan ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman, yang dirumuskan dengan menyesuaikan kekuatan dan kelemahan berdasarkan ancaman dan peluang yang ada secara lengkap disajikan pada Tabel 55.
Tabel 55. Matriks SWOT untuk penentuan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir Kota Bengkulu INTERNAL (IFAS)
KEKUATAN (S) S1 panjang garis pantai ± 63 km mempuyai potensi perikanan 49,195 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 67% S2 Jumlah nelayan 4,065 orang dengan produktivitas 25 kg/orang/hari
KELEMAHAN (W) W1 Sistem patron klien W2 Rendahnya tingkat pendapatan nelayan kecil/petambak buruh W3 Kultur masyarakat pesisir yang plural
EKSTERNAL (EFAS) PELUANG (O) 01 Program reboisasi 02 Peningkatan skala usaha masyarakat 03 Perda tentang zonasi pesisir dan laut Kota Bengkulu
Strategi SO
Strategi WO
Pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir
Program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas
Strategi ST
Strategi WT
Peningkatan peran serta nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara lestari
Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi.
ANCAMAN (T) T1 Degradasi hutan mangrove T2 Tangkap lebih (overfishing) T3 Penggunaan teknologi Penangkapan yang tidak Ramah lingkungan
Berdasarkan Tabel 55 memperlihatkan bahwa strategi SO yang dapat diterapkan antara lain, pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir. Strategi ST, yaitu peningkatan peran serta nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan lautan secara lestari. Strategi WO sebagai berikut : program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas. strategi WT adalah rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi.
Analisis AHP
Untuk
mengaktualisasikan
kegiatan-kegiatan
dari
kriteria
strategi
pemberdayaan tersebut diatas, maka diperlukan suatu bentuk analisis prioritas alternatif strategi sehingga tidak terjadi konflik kepentingan antar sektor baik swasata maupun pihak pemerintah. Analisis prioritas alternatif strategi untuk
menentukan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir ini menggunakan software MAHP. Hasil analisis prioritas komponen SWOT menunjukkan bahwa komponen peluang (opportunity) dengan nilai prioritas 0,3112 (31,12%) merupakan prioritas utama dalam mendukung kebijakan pemberdayaan nelayan, kemudian komponen pada prioritas kedua kelemahan (weakneses) dengan nilai prioritas 0,2973 (29,73%), lihat gambar 36. Komponen peluang dan kelemahan dalam analisis prioritas memberikan gambaran dan prediksi pengembangan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir di Kota Bengkulu karena ketersediaan potensi sumberdaya alam wilayah pesisir dan daya dukung lingkungan mengindikasikan adanya peluang pemberdayaan sesuai dengan skala prioritas kegiatan yang direncanakan. Komponen berikutnya adalah kekuatan dan ancaman, komponen kekuatan (strength) menunjukkan skala prioritas ketiga dengan nilai prioritas 0,2362 (23,62%), sedangkan komponen terakhir yaitu ancaman (treaths) dengan nilai prioritas 0,1553 (15,53%) menunjukkan bahwa komponen tersebut cukup rendah, artinya bahwa ancaman terhadap pemberdayaan masyarakat
pesisir
tidak
signifikan
jika
komponen-komponen
lainnya
dioptimalkan untuk menekan semua bentuk ancamanan yang berdampak negatif terhadap pengembangan pemberdayaan. Dalam analisis SWOT menggambarkan bahwa untuk mengembangkan suatu usaha diperlukan kontribusi komponen peluang pada tatanan skala prioritas untuk mengurangi pengaruh dari komponen kelemahan, komponen ancaman harus ditekan dan dibenahi semaksimal mungkin, atau dengan kata lain memanfaatkan peluang untuk menutupi kelemahan dan mengoptimalkan peluang untuk menghindari segala macam ancaman yang dapat menghambat atau menggagalkan program yang telah direncanakan.
35
31,12
29,73
P e rs e n ta s e(% )
30 25
23,63
20 15,33 15 10 5 0 Streagth 0,2363 P3
Weaknes ses 0,2973 P2
1
Opportunity 0,3112 P1
Treaths 0,1533 P4
Gambar 36. Strategi pemberdayaan masyarakat pesisir dengan komponen prioritas SWOT
Setiap komponen SWOT yang digunakan dalam AHP pada level kriteria, masing-masing dilengkapai sub-komponen yang merupakan input atau pendapat dari responden yang selama ini terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir di Kota Bengkulu. Sub-komponen (sub-kriteria) yang memberikan kontribusi terhadap setiap alternatif strategi pemberdayaan yang direncanakan. Komponen kekuatan (strength) yang memungkinkan dapat dikembangkan dalam pemberdayaan nelayan di Kota Bengkulu, dilengkapi dua sub komponen, yaitu (1) Panjang garis pantai ± 63 km mempuyai potensi sumberdaya perikanan 49,195 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 67%, (2) Jumlah nelayan 4065 orang dengan produktivitas 25 kg/orang/hari perlu dikembangkan untuk mendukung
pemberdayaan.
Hasil
analisis
prioritas
komponen
strength
menunjukkan bahwa prioritas utama adalah panjang garis pantai ± 63 km mempuyai potensi sumberdaya perikanan 49,195 ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan 67%, dengan nilai skala prioritas 0,588 (58,8 %), sedangkan skala prioritas kedua yaitu jumlah nelayan 4065 orang dengan produktivitas 25 kg/orang/hari juga memberikan input yang cukup signifikan dengan nilai berkisar 0,412 (42,2%), lihat pada gambar 37.
70
58,8
Persentase (%)
60 50
41,2
40 30 20 10 0 Jumlah nelayan 4065 orang dengan produktivitas 25 kg/orang/hari 0,4120 P2 Panjang garis pantai ± 63 km mempuyai potensi sumberdaya perikanan 49,195 ton/tahun dengan tingkat pemanf aatan 67% 0,5880 P1
Gambar 37. Prioritas komponen kekuatan (strenght)
Komponen
kelemahan
(weakneses)
yang
dikembangkan
dalam
pemberdayaan nelayan terdiri dari : (1) Sistem patron klien, (2) Kultur masyarakat pesisir yang plural, (3) Kesenjangan teknologi dan modal antar nelayan, (4) Rendahnya tingkat pendapatan nelayan kecil/buruh, (5) Rendahnya modal dalam struktur masyarakat nelayan.
Kelima sub-komponen kelemahan tersebut
memerlukan penekanan khusus dengan memanfaatkan semua peluang yang ada,
agar perencanaan pemberdayaan masyarakat nelayan dapat terealisasi sesuai dengan harapan stakeholders. Hasil analisis skala prioritas yang harus diatasi dari kelima komponen tersebut di atas, yaitu komponen rendahnya tingkat pendapatan nelayan dengan nilai prioritas 0,3793 (37,93%), selanjutnya sistem patron klien dengan nilai prioritas 0,2469 (24,69%), sedangkan komponen lainnya, kultur masyarakat pesisir yang plural dengan nilai 0,1598, sub-komponen kesenjangan teknologi dan modal antar nelayan 0,1086 dan sub-komponen rendahnya modal dalam struktur masyarakat pesisir dengan skala nilai prioritas 0,1054, lihat pada gambar 38.
37,93
40
Persentase (%)
35 30
24,69
25 20
15,98
15
10,86
10,54
10 5 0 Sistem patron klien 0,2469 P2 Rendahnya tingkat pendapatan nelayan kecil/buruh tambak 0,3793 P1 Kesenjangan teknologi dan modal usaha 0,1086 P4 Kultur masyarakat pesisir yang plural 0,1598 P3 Rendahnya modal sosial masyarakat pesisir 0,1054 P5"
Gambar 38. Prioritas komponen kelemahan (Weaknesses)
Input
dari
responden
untuk
komponen
peluang
(opportunity)
pemberdayaan nelayan adalah : (1) Program reboisasi, (2) Peningkatan skala usaha masyarakat, (3) Sarana transportasi dari dan ke Kota Bengkulu yang membaik, (4) Perda tentang zonasi pesisir dan laut Kota Bengkulu, (5) Kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan. Dari kelima sub-komponen tersebut diatas, setelah dilakukan analisis prioritas didapatkan prioritas setiap sub-komponen sebagai berikut : program reboisasi dengan nilai 0,3975, peningkatan skala usaha masyarakat 0,2737, perda tentang zonasi pesisir dan laut Kota Bengkulu 0,1103, sarana transportasi dari dan ke Kota Bengkulu yang membaik 0,1098 dan kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan 0,1087, lihat gambar 39.
P ersentase(% )
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
39,75 27,37
10,87
11,03
10,98
1 0,1087 P5 Kebijkan pembangunan perikanan dan kelautan Perda tentang zonasi pesisir dan laut Kota Bengkulu 0,1103 P3 Peningkatan skala usaha masyarakat pesisir 0,2737 P2 Program reboisasi 0,3975 P1 Sarana transportasi dari dan ke Kota Bengkulu yang membaik 0,1098 P4
Gambar 40. Prioritas komponen peluang (Opportunity)
Komponen ancaman (treaths) yang memungkinkan menghambat kegiatan pemberdayaan nelayan terdiri dari : (1) Degradasi hutan mangrove, (2) Meningkatnya konflik sosial nelayan, (3) Tangkap lebih (overfishing), (4) Pencemaran perairan, (5) Penggunaan teknologi penangkap yang tidak ramah lingkungan.
Kelima sub-komponen tersebut merupakan beberapa bentuk
ancaman terhadap pemberdayaan nelayan, oleh karena itu diperlukan optimalisasi dalam memanfaatkan peluang untuk meminimalisir ancaman yang ada, bentuk ancaman yang menduduki prioritas utama yang memerlukan penekanan adalah degradasi hutan mangrove dengan nilai prioritas 0,3603. Selanjutnya tangkap lebih (overfishing) dengan nilai skala prioritas 0,3201, sedangkan jenis ancaman lainnya tetap memerlukan penekanan-penekanan tertentu agar tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap semua kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir di lokasi studi dengan nilai skala prioritas 0,1075 untuk penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan, nilai 0,1062 meningkatnya konflik sosial nelayan dan nilai 0,1059 untuk pencemaran perairan, seperti yang disajikan pada Gambar 41.
40
36,03 32,01
Persentase(%)
35 30 25 20 15
10,75
10,59
10,62
10 5 0 Meningkatnya konf lik sosial antara nelayan 0,1062 P4 Pencemaran perairan 0,1059 P5 Tangkap lebih (overf ishing) 0,3201 P2 Penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan 0,1075 P3 Degradasi hutan mangrove 0,3603 P1
Gambar 41. Prioritas komponen ancaman (Treaths)
Dari hasil analisis prioritas komponen SWOT pemberdayaan masyarakat pesisir di Kota Bengkulu dalam pengendalian degradasi sumberdaya pesisir, maka dapat disusun beberapa kriteria, yaitu : 1. Pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir. Kriteria ini diperoleh dari kekuatan (S1, S2) dan peluang (O1,O3). 2. Program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas. Kriteria ini diperoleh dari kelemahan (W1,W2,W3), kekuatan (S2) dan peluang (O2,O3). 3. Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi. Kriteria ini diperoleh dari kelemahan (W1,W2,W3), kekuatan (S1) dan ancaman (T1,T2). 4. Peningkatan peran serta masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir secara lestari. Kriteria ini diperoleh dari kekuatan (S1,S2), peluang (O1) dan ancaman (T1,T2,T3). Dari analisis prioritas kriteria pemberdayaan menunjukkan urutan prioritas pertama adalah program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas dengan nilai skala prioritas 0,3864, sedangkan prioritas kedua adalah rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi dengan nilai skala prioritas 0,3552.
Peningkatan peran serta masyarakat pesisir dalam memanfaatkan
sumberdaya pesisir secara lestari menjadi prioritas ketiga dengan nilai 0,1946, dan 0,0638 pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir merupakan kriteria prioritas keempat, seperti pada gambar 42.
Persentase (%)
50 40 30
38,64
35,52 19,46
20 6,38
10 0 Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah terdegradasi 0,3552 P2
Peningkatan peran serta masayarakat pesisir dalam memanf aatkan sumberdaya pesisir secara lestari 0,1946 P3" Program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas 0,3864 P1 Pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisiri 0,6380 P4"
Gambar 42. Prioritas kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu
Berdasarkan arahan prioritas kriteria memberikan sejumlah alternatif strategi pengendalian degradasi sumberdaya pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir sebagai berikut : (1) Pembentukan kelembagaan ekonomi
(koperasi keluarga) berbasis kekeluargaan; (2) pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompok-kelompok profesi (kekerabatan); (3) pengembangan sistem silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up dan (4) kegiatan konservasi dan rehabilitasi mangrove dengan pendekatan partisipatif. Dari analisis prioritas strategi pemberdayaan menunjukkan pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasis kekeluargaan merupakan prioritas pertama dengan nilai 0,3017, kegiatan konservasi dan rehabilitasi mangrove dengan pendekatan partisipatif menjadi prioritas kedua dengan nilai 0,2702, dan strategi lainnya dengan nilai 0,2157 pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompok-kelompok profesi (kekerabatan) serta nilai 0,2125 peningkatan peran serta pengembangan sistem silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up sebagai prioritas ke tiga dan ke empat, terlihat pada Gambar 43 berikut.
35 30,17
Persentase (%)
30 25
27,02 21,25
21,57
20 15 10 5 0 Kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan partisipatif 0,2702 P2 Pengembangan sistem silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up 0,2125 P4 Peningkatan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompok-kelompok profesi 0,2157 P3 Pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasiskan kekerabatan 0,3017 P1
Gambar 43. Prioritas strategi pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu
4.5.2. Perencanaan Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir melalui Intervensi Komunitas Masyarakat Pesisir Lapisan Bawah
Menurunnya lingkungan di wilayah pesisir Kota Bengkulu adalah diakibatkan oleh aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab seperti penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya keterpaduan pembangunan di wilayah pesisir telah mengakibatkan berbagai dampak kerugian, diantaranya rusaknya mangrove, rusaknya biota laut, abrasi pantai, tingginya sedimentasi serta berbagai dampak
turunan lainnya harus ditanggung oleh masyarakat setempat, terutama masyarakat pesisir lapisan bawah yang permukiman mereka dekat dengan sumberdaya pesisir tersebut. Masyarakat pesisir lapisan bawahlah yang terutama harus merasakan intrusi air laut ke dalam sumber-sumber air tawar, berkurangnya hasil tangkapan ikan dan udang, pengaruh abrasi pantai, serta lingkungan pantai yang gersang yang berakibat pada terancamnya pemukiman dan mata pencaharian mereka. Sebagian besar pemilik dan pengusaha perikanan yang merupakan pengusaha atau orang-orang kota tidak akan merasakan berbagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh kondisi kerusakan tersebut. Oleh sebab itu apabila hal ini tidak secepatnya ditanggulangi dengan optimal maka dikhawatirkan sumberdaya alam pesisir akan semakin terdegradasi, selain itu juga aktivitas masyarakat pesisir akan semakin terancam. Untuk itu diperlukan peran dan partisipasi masyarakat pesisir lapisan bawah dalam pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir melalui program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas.
Adapun perencanaan pengendalian
degradasi sumberdaya alam pesisir dilakukan melalui tahap-tahap seperti : 1. Melakukan asesmen terhadap permasalahan dan kebutuhan masyarakat pesisir Kota Bengkulu yang menjadi akar masalah. Berdasarkan hasil SWOT yang dilakukan, permasalahan-permasalahan yang muncul dalam masyarakat pesisir Kota Bengkulu adalah •
Rendahnya tingkat pandapatan nelayan kecil/buruh tambak
•
Kuatnya sistem patron klien dalam masyarakat pesisir
•
Kultur masyarakat pesisir yang plural
•
Degradasi hutan mangrove
•
Terjadi tangkap lebih (overfishing)
•
Penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan
•
Kesenjangan teknologi dan modal
•
Rendahnya modal sosial masyarakat pesisir
2. Atas dasar permasalahan yang muncul di atas, kegiatan pemberdayaan sosialekonomi-lingkungan sangat diperlukan agar masyarakat pesisir lapisan bawah memiliki kemampuan dalam mengelola sumberdaya alam pesisir sebagai
sumberdaya ekonomi lokal secara optimal dan berkelanjutan melalui tahapantahapan sebagai berikut : •
Tahap pembentukan kelembagaan sosial ekonomi berbasis kekerabatan yaitu koperasi keluarga sebagai sebuah pranata yang dimanfaatkan dan dikelola sebagian besar nelayan berorientasi pada kepentingan masa depan, dimana -
Dasar pembentukan koperasi keluarga ini adalah persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial dan struktur masyarakat pesisir dibentuk oleh kelompok-kelompok kekerabatan
-
Jenis kegiatannya barang-barang konsumsi dan simpan pinjam untuk melayani kebutuhan sehari-hari dari sebagian besar masyarakat pesisir.
-
Managemen operasional dilakukan dengan memberikan kemudahan akses rumah tangga masyarakat pesisir lapisan bawah ke sumber-sumber pinjaman dengan diimbangi dengan sejumlah kompensasi yang harus mereka berikan. Kompensasinya berupa manfaat ganda yaitu pinjaman yang diterima jika dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan bidang usaha yang berkaitan dengan kebutuhan hidup, mereka juga memperoleh sisa hasil usaha. Sebaliknya apabila mereka tidak dapat memanfaatkan pinjaman dengan baik, maka tidak mendapatkan pinjaman.
Tujuan dari tahap ini adalah meningkatkan kemampuan dan keberdayaan masyarakat pesisir lapisan bawah dalam mengelola potensi sumberdaya alam yang ada untuk mencapai kesejahteraan sosial ekonomi secara berkelanjutan. •
Tahap transisi yaitu penguatan kelembagaan sosial ekonomi serta peningkatan wawasan masyarakat pesisir tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam pesisir melalui kegiatan :
-
penguatan kelembagaan kelembagan sosial ekonomi dengan pendidikan dan pelatihan keterampilan dalam mengelola hasil tangkapan, seperti
pembuatan abon ikan, keripik ikan, nugget
ikan, bakso ikan dan lain-lain. -
Peningkatan wawasan masyarakat pesisir tentang pentingnya menjaga
kelestarian
sumberdaya
pesisir
dengan
kegiatan
pendidikan lingkungan melalui keluarga dan komunitas Tahap ini bertujuan untuk menggiring kesadaran masyarakat pesisir akan manfaat jangka panjang dari pelestarian sumberdaya alam pesisir bagi keberlanjutan sosial ekonomi mereka. •
Tahap penyadaran pentingya pelestarian sumberdaya alam pesisir melalui : -
tahap motivasi dengan kegiatan diskusi-diskusi inensif tentang permasalahan ekonomi dan lingkungan
-
tahap pemberian kemampuan dengan kegiatan studi banding, mengikuti pertemuan/seminar/lokakarya di luar wilayahnya.
-
Pembentukan
kelompok
partisipatif
untuk
melestarikan
sumberdaya pesisir Tujuan tahap ini adalah pengelolaan sumberdaya alam penting secara lestari harus dilakukan secara bersama-sama (partisipatif) •
Tahap mengembangkan strategi swadaya masyarakat pesisir lapisan bawah dalam pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir melalui program : -
Konservasi dan rehabilitasi mangrove secara partisipatif
-
Mengembangkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompok-kelompok profesi (kekerabatan)
-
Pengembangan sistem silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up.
•
Tahap stabilisasi adalah tahap memelihara upaya pengendalian yang dilakukan sebagai perubahan yang telah dicapai dengan metode dan teknik intervensi secara social case work atau social group work, yang meliputi : -
pemantapan sikap dan perilaku masyarakat pesisir yang baru sebagai
hasil
pengubahan
yang
dilakukan
pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir
terhadap
-
mengintegrasikan
kegiatan
pengendalian
degradasi
sumberdaya alam pesisir ke dalam kehidupan masyarakat yang normal di lingkungannya 3. Tahap evaluasi adalah tahap untuk : •
melihat hasilnya dapat dijadikan perbaikan atau penyempurnaan kegiatan pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir . Hal-hal yang dievaluasi berupa : -
keberhasilan
atau
kegagalan
penanganan
kegiatan
pengendalian degradasi sumberdaya alam pesisir yang dilakukan masyarakat pesisir lapisan bawah -
keberhasilannya dan keefektifan penggunaan metode dan teknik intervensi
•
menyelenggarakan pertemuan pembahasan kasus (case conference) dengan melibatkan pihak pemerintah daerah, dinas terkait, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, nelayan pemilik, pemilik tambak, pekerja sosial.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan 1. Kondisi sumberdaya perikanan laut di Kota Bengkulu telah mengalami tangkap lebih (overfishing). Kondisi ini akibat adanya penambahan input produksi, sedangkan upaya tangkap yang dilakukan nelayan semakin menurun sehingga produksi aktual telah melampaui kapasitas produksi lestari. 2. Kondisi hutan mangrove di daerah penelitian teridentifikasi dalam keadaan rusak.
Penyebab kerusakan hutan mangrove di daerah
penelitian dikarenakan adanya perubahan fungsi hutan mangrove menjadi permukiman, perkebunan sawit, perkebunan campuran, pertambakan dan penampungan batu bara. 3. Struktur masyarakat pesisir di daerah penelitian memiliki modal fisik, modal manusia, modal finansial, modal alamiah dan modal sosial yang relatif rendah sehingga menciptakan hubungan ketergantungan yang relatif tinggi antara juragan/toke sebagai lapisan atas dengan nelayan/petambak sebagai lapisan bawah dalam cara produksi (made of production) yang memungkinkan nelayan/petambak kecil/buruh melakukan kegiatan penangkapan dengan berbagai cara yang bisa menghasilkan hasil tangkapan secara maksimal, bahkan mendorong beberapa orang untuk mengeksploitasi sumberdaya meskipun dengan cara-cara yang merusak (eksploitatif). 4. Kelembagaan hubungan kerja, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan pemasaran dan permodalan masyarakat pesisir di daerah penelitian digerakkan oleh kekuatan toke/juragan yang menguasai asset produksi dan modal sehingga menimbulkan hubungan yang asimetris. Hubungan yang asimetris ini menciptakan stratifikasi yang didasarkan ketidaksetaraan ekonomi antar lapisan (hubungan dikotomis) dalam proses produksi sehingga cenderung mengarah kepada ketimpangan tingkat produksi yang semakin menguatkan posisi sistem patron client.
Keberadaan sistem patron klien erat kaitannya dengan tindakan kerusakan sumberdaya alam di wilayah pesisir. 5. Strategi pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu dalam pengendalian
degradasi
pendampingan
dengan
sumberdaya melakukan
pesisir
melalui
intervensi
program
komunitas
pada
masyarakat pesisir lapisan bawah bertujuan untuk mengembangkan strategi swadaya masyarakat dengan (1) pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasiskan kekerabatan; (2) kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan partisipatif; (3) pengembangan teknologi yang ramah lingkungan melalui kelompok-kelompok profesi; dan (4) pengembangan sistem silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up.
5.2. Saran 1. Melaksanakan
penyuluhan
konservasi
hutan
mangrove
secara
berkelanjutan oleh setiap stakeholder. 2. Memberikan
penyuluhan
tentang
perlindungan
mangrove
dan
teknologi budidaya tambak ramah lingkungan. 3. Pengembangan teknologi tepat guna untuk memanfaatkan semua sumberdaya perikanan dan pemberian permodalan yang memberikan jaminan sosial atau ansuransi sosial. 4. Pengembangan sarana dan prasarana penunjang usaha perikanan tangkap. 5. Pendidikan lingkungan bagi individu, keluarga, kelompok, komunitas, masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. 6. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam penerapan tahap stabilitasi
dan
tahap
evaluasi
dalam
pengendalian
degradasi
sumberdaya alam pesisir melalui pemberdayaan masyarakat pesisir . 7. Diperlukan kolaboratif antara lembaga-lembaga yang terkait dengan pengendalian degradasi hutan mangrove melalui pemberdayaan masyarakat lapisan bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Acciaioli GL, 1989. Searching for Good Fortune : The Making of Bugis Shore Community at Lake Lindu. Central Sulawesi. Unpublished Ph.D. Dissertation, Australian National University. Alikodra, H.S., 1998. Konsep Perencanaan Pengelolaan Daerah Penyangga dalam Pengembangan Sistem Integrated Conservation and Development Program (ICDP), Jakarta. , 2000. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Makalah Disampaikan pada Kursus Amdal Dasar, diselenggarakan oleh PPLH IPB dan Bina Lingkungan Daerah Industri Pulau Batam di Batam. 16 November 2000. ,2005. Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Makalah ini disampaikan pada pelatihan IC2PM angkatan III tahun 2005. Propinsi Nusa Tenggara Barat. Anwar, A. 2002. Peranan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya lokal. Makalah Seminar Perencanaan Pembangunan Wilayah, IPB. Bogor. Anggraini, E. 2002. Analisis Penyusunan Model Pengelolaan Sumberdaya Laut : Tinjauan Sosiologi dan Kelembagaan di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Aziz, K.A., M. Boer,J., Widodo,N., Naamin, Amrullah, M.H Bidawi, A., A. Djamali, B.E. Priyono. 1998. Potensi Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut. Jakarta. Bahri,R.1995. Pembangunan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Liberty. Yogyakarta. Bappeda Kota Bengkulu, 2002. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Kota Bengkulu. Bappeda Kota Bengkulu, 2005. Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut Propinsi Bengkulu. Baskoro M.S., Sudirman, Ari Purbayanto. 2004. Analisis Hasil Yangkap Dan Keragaman Spesies Setiap Waktu Hauling Pada Bagan Rambo di Perairan Selat Makasar. Bulletin PSP Vol. XIII No. 1 April. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Instutut Pertanian Bogor.
Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip-prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. IPB. Black, J.A, D.J. Champion. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. PT. Eresco. Bandung. BPS Kota Bengkulu, 2005. Kota Bengkulu dalam Angka 2006. Bengkulu. Budhisantoso, S., 1998. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Pengelolaan Kawasan Pantai Dalam Prosiding Lokakarya Kebijakan dan Masalah Sosial Kependudukan dalam Pengelolaan Sumberdaya Kawasan Pesisir Indonesia. Kerjasama antara Jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia dengan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Indonesia, Lembaga Demografi FEUI, dan Badan Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI. Jakarta. Bullen, H, and Onyx Chester. 1998. Income diversification and household strategies in Rural Africa. Cornel University. New York. Cincin-Sain, B and R.W. Knecht. 1998. Intergrated Coastal and Ocean Management : Concept and Practices. Island Press. Washington D.C. Chadwick, BA, Conyers D, dan Brown K., 1991. Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial. Sulistia et.al. penerjemah. IKIP Semarang Press. Terjemahan dari Social Sciences Research Methods. Chambers, R., 1988. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. LP3ES. Jakarta. Clark, J.R. 1998. Coastal Zone Management For New Century. Ocean & Coastal Management 37(2):191. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradriya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 2004. Pendayaguna Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LISPI). Jakarta. Damanhuri, DS., 2000. Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Perspektif Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan Perikanan (Visi serta Arah Kebijakan Reformasi dan Restrukturisasi Ekonomi Indonesia). Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Ekonomi Pembangunan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. Jakarta.
Dinas Perikanan dan Kelautan. 1999. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Bengkulu. Dinas Perikanan dan Kelautan. 2000. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bengkulu. Dinas Kimparswil. 1998. Bengkulu.
Laporan Tahunan Dinas Kimparswil Propinsi
Dwiponggo, A., C. Bailey and F. Maharudin. 1988. The Indonesian marine fisheries, Structure and Change. ICLARM, DGF, IRMF. Jakarta. FAO, 2004. Integrated Coastal Area Management and Agricultural, Forestry and Fisheries. FAO Guidlines. Roma. Farrington, J. 1999. Sustainable livelihood in practice early applications of concepts in rural areas. Natural Resources Persfective 42. Fauzi, A.
2000. Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan. Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, IPB.
Working Paper.
Food ang Agricultural Organization (FAO). 2004. The State of World Fisheries ang Aquaculture. Firth, R. 1975. Malay Fishermen: their peasant economy. WW Norton and Company Inc. New York. Freiler, C. 2001. Closing The Distance : Social Inclusion, Vulnerability and The Wellbeing of Children and Families in Plenary IV : Marginalization : Inclusion/Exclusion. Conference on Canadian Welfare. Friedmann J. 1992. Empowerment: the politics of alternative development. California. Blackwell. Hasan, Rosmawi. 2004. Pengembangan Kelembagaan Partisipatif untuk Melestarikan Ekosistem Hutan Mangrove. Disertasi Jurusan Kehutan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hasbullah, J., 2006. Social Capital. Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MR-United Press. Jakarta. Hasim, W. 1980. Komuniti Nelayan di Pulau Pangkor. Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur. Hayami, Y. dan Kukuchi M., 1987. Dilema Ekonomi Desa : Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Hikmat, Harry. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung. Ife J. 1995. Community Development : creating community alternatives-vision, analisys and practice. Melbourne : Longman. Karsyono, F. dan N. Syafat. 2000. Strategi pembangunan pertanian yang berorientasi pemerataan di tingkat petani, sektoral dan wilayah. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Otonomi Daerah. Badan Litbang Departemen Pertanian dan Kehutanan. Bogor. Khazali, M.
1999. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengolahan Hutan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusnadi, A., 2000. Nelayan, Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press. Bandung. , 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LkiS. Yogyakarta. , 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Pondok Endukasi-Pokja Pembaharuan. Yogyakarta. Koentjaraningrat, 1980. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta. Kusumastanto,T., 2000. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Diktat Kuliah PS-SPL-IPB. Bogor. Legg, KR. 1983. Tuan, Hamba dan Politisi. Sinar Harapan dan Lembaga Studi Pembangunan. Jakarta. Lenggono, PS., 2004. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Tambak Kabupaten Kutai Kartanegara. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Lomnitz, LA. 1977. Networks and Marginality Life in a Mexican Shantytown. New York. San Francisco. Academis Press. Inc. London. MacDonald, R.B. 2005. Managing Marine Misbehavior: Good Science,Good Policy, Bad Human. Journal Of International Affairs (59). MacNae, W. 1968. A General Account of tha Fauna and Flora of Mangrove Swamps and Forest in the Indo-West-Pacific Region. Adv.mar.Biol.
Manurung, V. 1978. Pola Pembagian Kerja Petani Tambak. Balai Penelitian Perikanan. Jakarta. Mappawata, T., 1986. Hubungan Patron Klien di Kalangan Nelayan : Studi Kasus Desa Tamalate Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Tesis Fakultas Pascasarjana UI. Jakarta. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta. Marsoedi. 1997. Pelestarian dan Pengembangan Ekosistem Mangrove. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mastaller, M., 1997. Mangrove : The Forgotten Forest Between Land and Sea. Kuala Lumpur. Malaysia. Masyhudzulhak. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam Perspektif Otonomi Daerah di Propinsi Bengkulu. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Masyhuri. 1999. Ekonomi Nelayan dan Kemiskinan dalam Masyhuri (Editor). Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam mengatasi krisis ekonomi: Telaah terhadap sebuah pendekatan. Pusat Penelitian Ekonomi dan Pembangunan, LIPI. Jakarta. Masyhudzulhak, 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Dalam Perspektif Otonomi Daerah di Propinsi Bengkulu. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mintoro. L, Darmajanti L., dan Afrianto E., 1993. Keragaan Beberapa Pola Usaha Penangkapan Ikan di Laut oleh Rakyat Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor. Moser, C.A. 1969. Survey Methods in Social Investigation. Heinemann. London. Mubyarto, L. Soetrisno, M. Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan : Studi Ekonomi Antropologi di dua Desa Pantai. Rajawali. Jakarta. , L., 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan. Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. , L., 1998. Menanggulangi Kemiskinan. Adytia Media. Yogyakarta. Muhadjir, N., 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik : Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama. Raka Sarasin. Yogyakarta.
Nasdian, Fredian Tony. 2003. Karakteristik Sumberdaya Alam dan Masyarakat Pesisir dan Lautan. Laboratorium Ilmu-Ilmu Sosial, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Naamin, N. 1987. Perikanan Laut di Indonesia : Prospek dan Problema Pengembangan Sumberdaya Perikanan Laut. Seminar Laut Nasional II. Jakarta 27-30 Juli 1987. Neuman, W.L., 1997. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approach. Allyn and Bacan. Boston, London Toronto Tokyo Singapura. Nikijuluw, Viktor PH. 2001. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Kerjasama Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional dengan PT. Pustaka Cisendo. Jakarta. Nirarita, CH.E., 1996. Ekosistem Lahan Basah Indonesia. Buku Panduan Untuk Guru dan Praktisi Pendidikan. IPB Press, Bogor. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan). PT. Gramedia. Jakarta. Odum, E.P., 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Saunders Company. London. . 1983. Basic Ecology. Sounders College Publishing. Pakpahan, A. 1991. Evaluasi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat penelitian Agro Ekonomi. IPB. Bogor. Pemerintah Propinsi Bengkulu, 2002. Propinsi Bengkulu.
Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut
Perum Pelindo II Pulau Baai. 1993. Laporan Tahunan Perum Pelindo II Pulau Baai . Perum Perhutani. 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove dengan Pendekatan Sosial Ekonomi pada Masyarakat Desa di Pesisir Pulau Jawa. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994. Purnamasari, Elly. 2002. Pola Hubungan Produksi Ponggawa-Petambak : Suatu Bentuk Ikatan Patron klien (Kasus Masyarakat Petambak di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Tesis Magister, Program Sosiologi Pedesaan. IPB. Pollnac, RB., 1988. Karakter Sosial dan Budaya dalam Pengembangan Perikanan Berskala Kecil dalam Michael M. Cernea. Editor. Menggutamakan Manusia dalam Pembangunan. UI Press. Jakarta.
Poloma, M.M. 2000. Sosiologi Kotemporer. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Raharjo, M.Dawam. 1987. Kapitalisme : dulu dan sekarang. Kumpulan karangan dari berbagai sumber asing. LP3ES. Jakarta. Rangkuti, Freddy., 2001. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Rewana, H. Purwoto, H. Salam, W. Kaliman, A. Prijono, S. Wahyudiono, Sushardi, S. Hastuti, Priyambada, A.Muin, E. Rahayu, H. Palguna., 2001. Rehabilitasi Mangrove dengan Pola Wanamina. Pusat Pengembangan Rehabilitasi Mangrove. STIPER Yogyakarta dan Departemen Kehutanan. Yogyakarta. Saaty, Thomas L., 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binamen Pressindo. Jakarta. Saenger, P., E. Hegerl and J. Davie. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystem. Gland, Switzerland : International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources. Sallatang, M. Arifin. 1982. Desa Pantai di Sulawesi Selatan dan Strategi Pengembangannya. Jurnal Penelitian Sosial. Salman D dan Taryoto AH, 1992. Pertukaran Sosial pada Masyarakat Petambak : Kajian Struktur Sosial Sebuah Desa Kawasan Pertambakan di Sulawesi Selatan. Jurnal Agro Ekonomi II. Satria, A., 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan: Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Humaniora Utama Press. Bandung. ., 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cisendo. Jakarta. Scott, J.C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. .1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3S. Jakarta. Seafdec, S. 1978. The Community : A Missing Link of Fisheries Management. Marine Policy. Setyohadi, T., 1997. Pemberdayaan Nelayan dan Petani Ikan Dalam Rangka Konsepsi Benua Maritim. Makalah. Disampaikan pada Simposium Perikanan II. Hotel Sahid Makasar, Ujung Pandang, 23 Desember 1997. Hal. 38. Schwab, William,. 1992. The Sosiology of Cities, Prentice Hall, New Jersey.
Scott, JC dan Kerkvliet, BJ. 1977. How Traditional Rural Patron Lose Legimacy : A Theory with Special Reference to Southeast Asia. In : SW Schmidt, L Guasti, C Londe, JC. Scoot eds., Friends, Followers and Faction : A Reader in Political Clientism. University of California Press. Berkeley. Sidik, MS, Amartya, S, dan Sugiyanto. 2000. Pengkajian Kelembagaan Organisasi Ekonomi Tengkulak di Wilayah Samarinda, Balik Papan, Kutai dan Pasir dalam Rangka Meningkatkan Perekonomian Masyarakat ppedesaan. Kerjasama Bappeda Kalimantan Timur dengan Universitas Mulawarman. Samarinda. Singarimbun, M. dan S. Effendi. Jakarta.
1995.
Metode Penelitian Survey, LP3ES.
Sitorus, MTF., 1994. Peranan Ekonomi dalam Rumah Tangga Nelayan Miskin di Pedesaan Indonesia. Mimbar Sosek No.8. , 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Pengantar. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial (DokiS), Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Slamet, M., 2003. dalam Yustina, I., Adjad Sudrajat (ed.). Membentuk Pola Prilaku Manusia Pembangunan. IPB Press. Bogor. Soejatmoko, H. 1980. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman, Sejarah Differensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Grasindo. Jakarta. Soemarwoto, Otto. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta. Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 1980. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutan IPB, Bogor. Soesanto, S. S dan M. Sudomo. 1994. Ekosistem Mangrove dan Pembangunan Lingkungan Hidup. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994. Soewito. 1984. Status Ekosistem Hutan Mangrove dalam Kaitannya dengan Kepentingan Perikanan di Indonesia dan Kemungkinan Pengembangannya. Dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Jakarta. Smith, I.R. 1979. A Research Framework for Tradisional Fisheries. International Center for Living Aquatic Resources Managemant. Manila. Philippina. Steenis, V.C. 1978. Flora. Pradnya Paramita. Jakarta.
Sugandhy, A., 1994. Pendekatan Pembangunan dan Penataan Ruang Wilayah Pesisir. Dalam Kursus Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Holistik, Bogor 5-17 Oktober 1992. PPLH, LP-IPB dan Dirjen Dikti, Depdikbud. Sulistiyo dan Ninik SR., 1994. Potensi dan Prospek Pengembangan Keswadayaan Masyarakat Desa Jatisari, Kecamatan Sluke Kabupaten Rembang. Dalam Mubyarto, dkk. 1994. Prospek Pedesaan Edisi ke sembilan : Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal. Aditya Media. Yogyakarta. Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Susilawati, Tuti. 1986. Proses Terjalinnya Hubungan Kerja antara Pandega dengan Majikan dalam Usaha Perikanan : Studi Kasus di Desa Mertasinga, Kabupaten Cirebon. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, No.42. hlm. 25-31. Suyedi, R. 2007. Analisis Pengembangan Perikanan Tangkap Di Kota Bengkulu. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Taryoto, Andin H., Hermanto, Mat Syukur, Abunawan Mintoro, Tri Pranadji, Kurnia Suci Indraningsih, Sahyuti. 1993. Analisis Kelembagaan Bagi Hasil di Perikanan Laut. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Balitbang Departemen Pertanian. Jakarta. Tirtakusumah, R. 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove Jawa Barat dan Beberapa Pemikiran untuk Tindak Lanjut. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994. UNDP/UNESCO Regional Project-Research and Training Pilot Programmer on Mangrove Ecosystems in Asia and The Pasific, Bogor 8-9 Oktober 1984. Vadya, Andrew P dan Sahur Ahmad. 1996. Pemukim Suku Bugis di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur : Dahulu, Sekarang dan Beberapa Kemungkinan untuk Masa Depan Mereka. CIFOR Bogor, Rutgers University (New Brunswick, NJ) dan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Vredenbergt, J. 1983. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia. Jakarta. Yin, K. R. 2002. Studi Kasus: Desain dan Metode. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARAPOKOK PENELITIAN STRUKTUR MASYARAKAT
Nomor : Kelurahan :
Tanggal : Kecamatan :
Kode Nelayan : Ctt :
DAFTAR PERTANYAAN RUMAH TANGGA A. Karakteristik Pribadi : 1. Nama 2. Umur 3. Jenis Kelamin 4. Pendidikan
5. 6. 7. 8.
Penghasilan Jumlah Tanggungan Lama berusaha Asal daerah Kelahiran
: : : :
........................................ ..........Tahun (pria/wanita) Tidak sekolah ( Tidak Tamat SD ( SD ( SLTP ( SLTA ( PT (
)1 )2 )3 )4 )5 )6
: : : :
Rp. ................ ................. orang ................. tahun dalam desa luar desa
)1 )2
( (
9. Motivasi tinggal di daerah Penelitian : turun temurun ( terikat perkerjaan ( ikut keluarga ( alasan lain ( B. Karakteristik Rumah Tangga 1. Pendidikan anggota keluarga Umur istri : ......... Tahun Pendidikan akhir istri : Tidak sekolah ( Tidak Tamat SD ( SD ( SLTP ( SLTA ( PT ( Anak : .......... Tahun Pendidikan akhir anak : Tidak sekolah ( Tidak Tamat SD ( SD ( SLTP ( SLTA ( PT ( 2. Adat dan Budaya : Aktif melakukan hajatan / Selamatan/ upacara : ya ( Tidak ( Figur yang oleh KK dianggap berpengaruh dimasyarakat : tokoh agama ( )1 kepala desa ( )2 tokoh pendidikan ( )3 pemuka masyarakat ( )4 lainnya ( )5 3.Kondisi Lingkungan rumah
)1 )2 )3 )4
)1 )2 )3 )4 )5 )6 )1 )2 )3 )4 )5 )6 )1 )2
Luas rumah yang ditempati : ......... meter Jenis atap rumah terluas : genteng ( )1 Seng ( )2 Sirap ( )3 alang-alang ( )4 Jenis dinding rumah terluas : tembok ( )1 1/2 tembok ( )2 Kayu ( )3 Gedeg/bilik/bambu/tripleks/daun kelapa ( ) 4 Jenis lantai rumah terluas : keramik ( )1 Tegel/ubin ( )2 Tanah ( )3 Kayu ( )4 Luas Pekarangan : luas ( )1 Sedang ( )2 Sempit ( )3 tidak ada ( )4 Penerangan rumah : listrik ( )1 Petromak ( )2 Lampu tempel ( ) 3 lainnya ..... ( )4 Aset keluarga : milik sendiri ( )1 menggunakan milik orang lain/keluarga ( ) 2 tidak memiliki ( ) 3 Penjualan tanah : belum pernah jual ( )1 sudah menjual ( )2 akan menjual ( )3 4. Kondisi perekonomian keluarga Mata pencaharian utama : Nelayan ( )1 Petani ( )2 lainnya ........ ( ) 3 Mata pencaharian sampingan : ...................................... Keberadaan anggota keluarga yg bekerja : .tidak ada ( )1 Ada ( )2 5. Pendapatan Rumah Tangga/bulan Pendapatan yang diperoleh KK/bulan : .................................... Pendapatan yang diperoleh KK dari mata pencaharian sampingan : .............................../bulan Pendapatan yang diperoleh anggota keluarga dari mata pencaharian utama dan sampingan : Istri : .......................................... /bulan Anak : ......................................../bulan Pendapatan lainnya : ................................. /bulan 6. Pengeluaran Rumah Tangga/bulan Total pengeluaran utk konsumsi (makan) sehari-hari : ................................... /bulan Total pengeluaran kebutuhan konsumsi non pangan Sandang : ......................... /bulan Pendidikan : .......................... /bulan Kesehatan keluarga : .......................... /bulan Total pengeluaran untuk kebutuhan non konsumsi : ..................................... /bulan 7. Kekayaan Keluarga Status kepemilikan tanah : milik sendiri ( )1 Sewa ( )2 tidak memiliki ( )3 Status kepemilikan rumah : milik sendiri ( )1 Sewa ( )2 tidak memiliki ( )3 Status kepemilikan perahu : milik sendiri ( )1 Sewa ( )2
tidak memiliki ( Status kepemilikan alat tangkap : milik sendiri Sewa tidak memiliki Status kepemilikan mesin kapal : milik sendiri Sewa tidak memiliki Status alat produksi : milik sendiri ( Sewa ( tidak memiliki ( Status kepemilikan ternak : milik sendiri ( Sewa ( tidak memiliki ( Status kepemilikan alat komunikasi (tv,radio dll) :
)3 ( ( ( ( ( (
)1 )2 )3 )1 )2 )3
)1 )2 )3 )1 )2 )3 milik sendiri Sewa tidak memiliki ( )1 ( )2 ( )3 ( )1 ( )2 )1 )2 )3
( ( (
Status kepemilikan kendaraan : milik sendiri Sewa tidak memiliki Apakah memiliki sawah/kebun/ladang : ya Tidak Status kepemilikannya : milik sendiri ( Sewa ( tidak memiliki ( 8. Wawasan tentang lingkungan Tahu arti pentingnya lingkungan hidup : tahu ( )1 tidak tahu ( )2 Kondisi lingkungan hidup tempat tinggal dan bekerja : makin baik ( )1 kondisinya tetap/sedikit berubah ( )2 makin jelek ( )3 Pengaruh lingkungan thd pendapatan keluarga : berpengaruh tdk menjawab tdk berpengaruh Kondisi lingkungan pantai : makin baik kondisinya tetap/sedikit berubah makin jelek Jika makin baik, pengaruh terhadap hasil tangkapan : meningkat Tetap Menurun Jika makin jelek, pengaruh terhadap hasil tangkapan : meningkat Tetap Menurun Kondisi lingkungan fishing ground : makin baik kondisinya tetap/sedikit berubah makin jelek Jika makin baik, pengaruh terhadap hasil tangkapan : meningkat Tetap Menurun Jika makin jelek, pengaruh terhadap hasil tangkapan : meningkat Tetap 9.
)1 )2 )3
( )1 ( )2 ( )3 ( )1 ( )2 ( )3 ( )1 ( )2 ( )3 ( )1 ( )2 ( )3 ( )1 ( )2 ( )3 ( )1 ( )2 ( )3 ( (
Apa tipe peralatan sanitasi/tempat pembuangan kotoran yang digunakan : Tersambung ke tangki pembuangan ( )1 kakus tradisional ( )2 jamban ( )3 sungai/laut ( )4
)1 )2
pekarangan ( )5 lainnya ( )6 10. Apakah sumber air utama rumah tangga ini : Sistem air ledeng ( )1 Pompa ( )2 Sumur ( )3 sumber air ( )4 sungai ( )5 lainnya ………….. ( )6 11. Bagaimana rumah tangga ini membuang sampah secara keseluruhan : Pembuangan sampah umum ( ) 1 Pembuangan sampah pribadi ( ) 2 Dibakar/dikubur ( )3 Buang ketanah kosong ( )4 Buang ke sungai/laut ( )5 Lainnya ……….. ( )6 12. Apa tipe penenrangan yang digunakan rumah tangga : Listrik (PLN) ( )1 Listrik genset umum ( )2 Listrik genset pribadi ( )3 Lampu minyak tanah ( )4 Obor/lilin ( )5 Lainnya ........................ ( ) 6
DAFTAR PERTANYAAN KOMUNITAS A. Karakteristik Komunitas 1. Berapa tahun komunitas nelayan disini telah ada : Lebih dari 20 tahun ( )1 antara 10 dan 20 tahun ( )2 kurang dari 10 tahun ( )3 2. Berapa banyak rumah tangga komunitas nelayan disini : Kurang dari 25 ( )1 antara 25 dan 49 ( )2 antara 50 dan 99 ( )3 antara 100 dan 249 ( )4 Lebih dari 250 ( )5 3. Pada tiga tahun terakhir, jumlah nelayan yang tinggal di komunitas ini : naik ( )1 Turun ( )2 Tetap ( )3 Jika naik, kenapa ......................... Jika turun, kenapa .......................... 4. Apa aktivitas ekonomi utama yang dilakukan laki-laki pada komunitas nelayan disini ............................................................. 5. Apa aktivitas ekonomi utama yang dilakukan perempuan pada komunitas nelayan disini .............................................................. 6. Tiga tahun terakhir, ketersediaan lapangan kerja dibidang perikanan tangkap : Meningkat ( )1 Berkurang ( )2 tetap sama ( )3 7. Jalan utam yang digunakan komunitas nelayan disini a. musim hujan : jalan aspal ( )1 jalan tanah ( )2 campuran aspal dan tanah ( )3 jalan setapak ( )4 jalan kayu titian ( )5
sungai dan laut ( )6 lainnya ....... ( )7 b. musim kemarau : jalan aspal ( )1 jalan tanah ( )2 campuran aspal dan tanah ( ) 3 jalan setapak ( )4 jalan kayu titian ( )5 sungai dan laut ( )6 lainnya ....... ( )7 8. Tiga tahun terakhir, jalanan menuju komunitas nelayan disini : Menjadi lebih baik ( )1 menjadi kurang baik ( )2 tetap sama ( )3 9. Ketersediaan rumah pada komunitas nelayan : cukup ( )1 Kurang ( )2 10. Tiga tahun terakhir, kualitas rumah pada komunitas nelayan : Menjadi lebih baik ( )1 menjadi kurang baik ( )2 tetap sama ( )3 11. Dua alasan utama mengapa kualitas perumahan menjadi seperti itu ? a. ....................................................... b. ............................................................ 12. Tiga tahun terakhir, kualitas hidup dari kehidupan warga komunitas nelayan ? Menjadi lebih baik ( )1 menjadi kurang baik ( )2 tetap sama ( )3 13. Dua alasan utama mengapa kualitas kehidupan nelayan seperti itu a. ........................................................ b. ........................................................ 14. Secara umum, bagaimana tingkat kehidupan komunitas nelayan disini : Kaya ( )1 cukup kaya ( )2 sederhana ( )3 miskin ( )4 sangat miskin ( )5 15. Warga nelayan disini percaya pada warga lainnya dalam hal meminjamkan atau meminjam : Ya ( )1 Tidak ( )2 16. Pada tiga tahun terakhir, apakah level kepercayaan itu : meningkat ( )1 Berkurang ( )2 Tetap ( )3 17. Dibandingkan dengan komunitas lain, berapa banyak warga dalam komunitas ini percaya dalam hal meminjam atau meminjamkan : lebih ( )1 Sama ( )2 Kurang ( )3 18. Orang mencari kesejahteraan untuk keluarganya sendiri dan tidak memperdulikan kesejahteraan bersama : setuju sekali ( )1 Setuju ( )2 tidak setuju ( )3 sangat tidak setuju ( )4 B. Pelayan Umum Listrik 1. Warga komunitas nelayan yang mempuyai instalasi listrik ? Seluruh warga ( )1 sebagian besar warga ( )2 setengah dari warga ( )3
2.
3.
4.
sedikit dari warga ( )4 tidak ada ( )5 Pada tiga tahun terakhir, layanan listrik : meningkat ( )1 Berkurang ( )2 Tetap ( )3 Sekarang kualitas listrik perumahan warga komunitas nelayan : Sangat bagus ( )1 Bagus ( )2 rata-rata ( )3 kurang ( )4 sangat kurang ( )5 Sebutkan dua masalah uatam dari pelayananan kelistrikan : a. ........................................................... b. ...........................................................
Penerangan Umum 1. Apakah komunitas nelayan disini punya fasilitas penerang jalan : ya ( )1 Tidak ( )2 2. Pada tiga tahun terakhir, pelayanan penerangan umum : Meningkat ( )1 Berkurang ( )2 Tetap ( )3 3. Sekarang kualitas penerangan umum : sangat bagus ( )1 Bagus ( )2 rata-rata ( )3 kurang ( )4 sangat kurang ( )5 4. Dua masalah utama dari penerangan umum di komunitas ini : a. ................................................................... b. ................................................................... Air minum 1. Warga komunitas nelayan yang bisa mengakses saluran air PDAM : Seluruh warga ( )1 sebagian besar warga ( )2 setengah dari warga ( )3 sedikit dari warga ( )4 tidak satupun ( )5 2. Tiga tahun terakhir, pelayanan air minum : meningkat ( )1 Berkurang ( )2 Tetap ( )3 3. Pelayanan air minum sekarang : Sangat bagus ( )1 Bagus ( )2 rata-rata ( )3 kurang ( )4 sangat kurang ( ) 5 4. Sebutkan dua masalah utama dari pelayanan air minum : a. .......................................................... b. .......................................................... Pasar umum 1. Komunitas nelayan disini mempuyai pasar umum : ya ( )1 Tidak ( ) 2 2. Jarak dari komunitas ke pasar terdekat : .................................. (dalam menit jalan kaki) 3. Aktivitas pasar umum : setiap hari ( )1 beberapa hari dlm seminggu ( )2 satu hari dalam seminggu ( )3 lainnya ( )4 4. Pada tiga tahun terakhir, kualitas dan pelayang pasar tersebut : meningkat ( ) 1
5.
Berkurang Tetap Berapa banyak warga komunitas nelayan yang menngunakan pasar : Seluruh warga ( )1 sebagian besar warga ( )2 setengah dari warga ( )3 sedikit dari warga ( )4 Tidak satupun ( )5
( (
)2 )3
Sistem transportasi 1. Komunitas dilayani dengan sistem transportasi umum : ya ( )1 Tidak ( ) 2 2. Jarak perjalanan ke kelurahan terdekat yang mempuyai transportasi umum : (dalam menit jalan kai) .............................................. 3. Transportasi umum tersedia : setiap hari ( )1 beberapa hari dalam seminggu ( )2 satu hari dalam seminggu ( )3 lain-lain ......... ( )4 4. Tiga tahun terakhir, kualitas pelayanan transportasi umum : meningkat ( )1 Berkurang ( )2 Tetap ( )3 5. Berapa banyak komunitas nelayan yang menggunakan transportasi umum : Seluruh warga ( )1 sebagian besar warga ( )2 sedikit dari warga ( )3 tidak satupun ( )4 6. Transportasi yang biasa digunakan warga komunitas nelayan untuk pergi ke tempat lain : Jalan kaki ( )1 sepeda motor ( )2 mobil ( )3 sampan/perahu ( )4 kapal motor/speed boat ( )5 Migrasi 1. Warga komunitas nelayan disini ada yang bekerja ke tempat lain selama periode tertentu : Ya ( )1 tidak ( )2 2. Lebih banyak wanita atau pria yang bekerja ketempat lain tersebut : Lebih banyak wanita ( )1 lebih banyak pria ( )2 sama jumlahnya ( )3 3. Kemana biasanya mereka pergi mencari pekerjaan : Kekota di daerah ini ( )1 Kekota di tempat lain ( )2 ke kota negara lain ( )3 ke kampung lain di daerah ini ( )4 Ke kampung lain di tempat lain ( )5 ke kampung lain di negara lain ( )6 4. Dua pekerjaan utama wanita yang pergi bekerja ke tempat lain : a. ................................................. b. ................................................. 5. Dua pekerjaan utama pria yang pergi bekerja ke tempat lain : a. ..................................................... b. ..................................................... 6. Ada orang dari daeah lain yang datang bekerja pada komunitas nelayan disini : ya ( ) Tidak ( ) 7. Dua pekerjaan utama mereka yang bekerja pada komunitas nelayan disini
a. b.
......................................................... ........................................................
Pendidikan TK (Taman Kanak-Kanak) 1. Komunitas disini mempuyai taman kanak-kanak : ya ( )1 tidak ( )2 2. Berapa jauh TK paling dekat dari komunitas : ( dalam menit jalan kaki) .......................... 3. Jumlah TK mencukupi jumlah anak-anak usia TK yang ada : ya ( )1 Tidak ( ) 2 4. Jumlah pengajar TK tersebut mencukupi jumlah anak : Ya ( )1 Tidak ( )2 5. Kondisi fisik TK : sangat baik ( )1 Baik ( )2 cukup baik ( )3 kurang baik ( )4 sangat tidak baik ( )5 6. Persentase anak usia TK yang belajar di Taman kank-kanak : Semua anak ( )1 sebagian besar anak ( )2 setengah dari jumlah anak ( )3 kurang dari setengah ( )4 tidak ada ( )5 7.
Dua alasan utama anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan TK : a. .............................................. b. .............................................. Sekolah dasar (SD) 1. Komunitas disini mempuyai Sekolah Dasar umum : ya ( )1 tidak ( ) 2 2. Berapa jauh SD paling dekat dari komunitas : ( dalam menit jalan kaki) .......................... 3. Jumlah SD mencukupi jumlah anak-anak usia SD yang ada : ya ( )1 Tidak ( ) 2 4. Jumlah pengajar SD tersebut mencukupi jumlah anak : ya ( )1 Tidak ( ) 2 5. Kondisi fisik SD : sangat baik ( )1 Baik ( )2 cukup baik ( )3 kurang baik ( )4 sangat tidak baik ( ) 5 6. Persentase anak usia SD yang belajar di Sekolah dasar umum : Semua anak ( )1 sebagian besar anak ( )2 setengah dari jumlah anak ( )3 kurang dari setengah ( )4 tidak ada ( )5 7. Dua alasan utama anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan SD : a. .............................................. b. .............................................. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1. Komunitas disini mempuyai Sekolah Mengah Pertama: ya ( )1 tidak ( )2 2. Berapa jauh SMP paling dekat dari komunitas : ( dalam menit jalan kaki) .......................... 3. Jumlah SMP mencukupi jumlah anak-anak usia SMP yang ada : ya ( )1 Tidak ( ) 2 4. Jumlah pengajar SMP tersebut mencukupi jumlah anak : Ya ( )1
Tidak ( )2 Kondisi fisik SMP : sangat baik ( )1 Baik ( )2 cukup baik ( )3 kurang baik ( )4 sangat tidak baik ( )5 6. Persentase anak usia SMP yang belajar di Sekolah Mengah Pertama: Semua anak ( )1 sebagian besar anak ( )2 setengah dari jumlah anak ( )3 kurang dari setengah ( )4 tidak ada ( )5 7. Dua alasan utama anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan SMP : a. .............................................. b. .............................................. Sekolah Menengah Atas (SMA) 1. Komunitas disini mempuyai Sekolah Mengah Atas : ya ( )1 tidak ( ) 2 2. Berapa jauh SMA paling dekat dari komunitas : ( dalam menit jalan kaki) .......................... 3. Jumlah SMA mencukupi jumlah anak-anak usia SMA yang ada : ya ( )1 Tidak ( ) 2 4. Jumlah pengajar SMA tersebut mencukupi jumlah anak : ya ( )1 Tidak ( ) 2 5. Kondisi fisik SMA : sangat baik ( )1 Baik ( )2 cukup baik ( )3 kurang baik ( )4 sangat tidak baik ( )5 6. Persentase anak usia SMA yang belajar di Sekolah Menengah Atas: Semua anak ( )1 sebagian besar anak ( )2 setengah dari jumlah anak ( )3 kurang dari setengah ( )4 tidak ada ( )5 7. Dua alasan utama anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan SMA : a. .............................................. b. .............................................. Pendidikan Dewasa 1. Ada kampanye atau program pembebasan buta huruf/aksara : ya ( )1 Tidak ( ) 2 2. Adakah program pelatihan kerja untuk komunitas disini : ya ( )1 Tidak ( ) 2 Kesehatan 1. Dua masalah kesehatan yang mempengaruhi anak-anak balita dalam komunitas : a. .............................................. b. .............................................. 2. Dua masalah kesehatan yang mempengaruhi orang dewasa laki-laki dalam komunitas : a. ................................................. b. ................................................. 3. Dua masalah kesehatan yang mempengaruhi orang dewasa wanita dalam komunitas : a. ................................................. b. ................................................. 4. Apakah masyarakat disini mempuyai rumah sakit atau klinik kesehatan : ya ( )1 Tidak ( ) 2 5. Berapa jauh klinik Kesehatan atau Rumah Sakit yang paling dekat dengan komunitas : (diukur dalam berapa menit perjalanan ) ................................... 6. Kondisi Rumah sakit atau klinik kesehatan : Cukup/ Kurang /Tidak ada 5.
7. 8.
Sarana fisik ( )1 ( )2 ( )3 Peralatan kesehatan ( )1 ( )2 ( )3 Tempat tidur pasien ( )1 ( )2 ( )3 Ambulan ( )1 ( )2 ( )3 Dokter ( )1 ( )2 ( )3 Perawat ( )1 ( )2 ( )3 Staf kesehatan lainnya ( )1 ( )2 ( )3 Dalam masyarakat terdapat program keluarga berencana : ya Tidak Siapa yang menawarkan program tersebut : Pemerintah ( )1 LSM ( )2 Fasilitas pribadi ( )3 lainnya ................ ( )4
( (
)1 )2
C. ISU LINGKUNGAN 1. Apakah warga komunitas : Membuang sampah ke sungai :
3.
4.
5.
6.
ya ( )1 Tidak ( )2 Membuang sampah kelaut : ya ( )1 Tidak ( )2 Menumpuk sampah di halaman : ya ( )1 Tidak ( )2 Membuat air/kolam mampet : ya ( )1 Tidak ( )2 Membuang sisa hasil perikanan sembarangan : ya ( )1 Tidak ( )2 Membuang sisa minyak kapal kesungai/laut/lahan terbuka : ya ( )1 Tidak ( )2 Membakar/membabat mangrove : ya ( )1 Tidak ( )2 Lainnya .................... ya ( )1 Tidak ( )2 Secara keseluruhan, kondisi lingkungan komunitas saat ini : Sangat baik ( )1 Baik ( )2 cukup baik ( )3 tidak baik ( )4 sangat tidak baik ( )5 Tiga tahun terakhir, kualitas lingkungan di dalam komunitas : meningkat ( ) 1 Berkurang ( ) 2 Tetap ( )3 Dua masalah utama yang mempengaruhi kualitas lingkungan dalam komunitas : a. ................................................ b. ................................................ Dua tindakan utama yang bisa diambil untuk meningkatkan kualitas lingkungan : a. ....................................................... b. .......................................................
D. PERIKANAN TANGKAP 1. Prinsip aktifitas perikanan tangkap yang dilakukan di dalam komunitas disini :
............................................................................................................ ............................................................................................................ 2.
Dimana masyarakat menjual hasil tangkapan : (tiga tempat terpenting) Pasar kampung terdekat ( )1 Pasar di kota ( )2 Pengumpul ( )3 Eksportir ( )4
Tengkulak/toke ( )5 Koperasi ( )6 Konsumsi sendiri/tidak untuk dijual ( )7 Lainnya ................................ ( )8 3. Permasalahan utama yang dihadapi warga komunitas dalam memasarkan produksi dan mendapatkan hasil yang memadai : ........................................................................................................................................... ........................................................................................................................................... ........................................................................................................................................... 4. Komunitas nelayan disini pernah menerima bantuan teknis : ya ( )1 Tidak ( ) 2 5. Siapa penyedia bantuan teknis tersebut : ............................................................................................................................................ 6. Komunitas nelayan disini memiliki koperasi : ya ( )1 Tidak ( ) 2 7. Di dalam komunitas nelayan disini, terdapat orang atau lembaga yang menyedia kredit dan meminjamkan modal pada nelayan : ya ( )1 Tidak ( ) 2 8. Lembaga-lemabaga utama yang menyediakan kredit atau pinjaman pada nelayan : Bank Nasional ( )1 Bank Pembangunan Daerah ( )2 Bank Swasta ( )3 Kelompok Kreditur Nelayan ( )4 Tengkulak/toke ( )5 Eksportir ( )6 Koperasi ( )7 Asosiasi nelayan ( )8 Pedagang lokal ( )9 Lainnya ..................................... ( ) 10 9. Komunitas nelayan disini, menerima kredit atau pinjaman dari lembaga atau individu yang berasal dari daerah/kota lain : ya ( )1 Tidak ( ) 2 10. Berapa prosentase bantuan kredit yang menggunakan komunitas nelayan disini dalam mendukung aktivitas ? ......................................................................................................................................... 11. Permasalahan yang dihadapi nelayan berkaitan dengan pinjaman dan kredit tersebut : ....................................................................................................................................... ....................................................................................................................................... ....................................................................................................................................... 12. Tiga tahun terakhir, penjualan produk hasil tangkapan : meningkat ( )1 Berkurang ( )2 Tetap ( )3
E. KONDISI UMUM 1. Organisasi yang bertahan di dalam komunitas nelayan Kelompok nelayan : ya ( )1 Tidak ( ) 2 Koperasi : ya ( )1 Tidak ( ) 2 Asosiasi guru dan orang tua : ya ( )1 Tidak ( ) 2 Lembaga kesehatan : ya ( )1 Tidak ( ) 2 Kelompok kepemudaan : ya ( )1 Tidak ( )2 Kelompok olah raga : ya ( )1 Tidak ( )2
Kelompok budaya/seni : ya ( )1 Tidak ( )2 Kelompok sosial : ya ( )1 Tidak ( )2 Lainnya ....................... 2. Lembaga mana yang aktif mendukung organisasi mendasar dalam komunitas nelayan ? Pemerintah lokal : ya ( )1 Tidak ( )2 Pemerintah pusat : ya ( )1 Tidak ( )2 Politisi : ya ( )1 Tidak ( )2 Organisasi keagamaan : ya ( )1 Tidak ( )2 Sekolah/guru : ya ( )1 Tidak ( )2 LSM : ya ( )1 Tidak ( )2 Perusahaan Swasta : ya ( )1 Tidak ( )2 Kelompok pelayanan sosial : ya ( )1 Tidak ( )2 Warga yang berkecukupan : ya ( )1 Tidak ( )2 Lainnya ......................... 3. Bangunan yang digunakan untuk mengumpulkan warga komunitas dalam pertemuan : Pusat kegiatan masyarakat : ya ( )1 Tidak ( ) 2 Rumah pribadi : ya ( )1 Tidak ( )2 Rumah pemimpin politik : ya ( )1 Tidak ( )2 Rumah tokoh komunitas : ya ( )1 Tidak ( )2 Bangunan masjid : ya ( )1 Tidak ( )2 Pusat kesehatan/pendidikan : ya ( )1 Tidak ( )2 Gedung pemerintahan : ya ( )1 Tidak ( )2 Lainnya ........................ 4. Warga komunitas yang emngambil bagian dominan dalam memecahkan isu yang dihadapi : a. Jenis kelamin Laki-laki ( )1 perempuan ( )2 laki-laki dan perempuan secara seimbang ( )3 tdk ada yg ambil bagian ( )4 b. Usia Kaum muda ( )1 orang dewasa ( )2 orang yg lebih tua ( )3 tua,muda dan orang dewasa secara seimbang ( )4 tidak ada yg ambil bagian ( )5 c. Status pekerjaan Bekerja ( )1 Menganggur ( )2 bekerja dan menganggur secara seimbang ( )3
tidak ada yg ambil bagian ( )4 Tiga tahun terakhir, apakah masyarakat mampu mengorganisir permasalahan yang dihadapi : Ya ( )1 Tidak ( )2 6. Permasalahan apa yang dapat diorganisir masyarakat : .................................................................................................................................................. . .................................................................................................................................................. 7. Sukseskah prakarsa tersebut : ya ( )1 Tidak ( )2 sedang berjalan ( )3 8. Permasalahan utama yang dirasakan warga komunitas dan harus secepatnya dipecahkan : ................................................................................................................................................ ................................................................................................................................................ 9. Ada program bantuan khusus bagi momunitas nelayan : ya ( )1 Tidak ( ) 2 10. Program apa saja yang sedang berjalan dan lembaga mendukungnya : ................................................................................................................................................ ................................................................................................................................... 5.
PANDUAN WAWANCARA MENDALAM A. Pokok Penelitian Faktor-faktor Struktural 1. Sejarah terbentuknya komunitas nelayan di Kelurahan Kandang 2. Status Sosial Ekonomi/Tingkat Pendapatan Masyarakat Nelayan di Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya 3. Asal-usul dan Status Hak Kepemilikan/Penguasaan: 3.1 Tanah 3.2 Alat-alat kerja 3.3 Alat tangkap 3.4 Perahu/kapal (warisan/jual-beli/sewa/suruh bawa dan lain-lain) 4. Aktivitas Mata Pencaharian Sebagai Nelayan 4.1 Sifat usaha: subsisten atau komersial? 4.2 Pola bagi hasil setiap alat tangkap: biaya penyusutan, biaya perawatan mesin dan perahu/kapal. Siapa yang menanggung biaya operasional? Siapa yang menanggung biaya retribusi pelelangan hasil tangkapan?. 4.3 Apakah ada eksploitasi terhadap buruh nelayan sehubungan dengan pola bagi hasil? Siapa yang lebih diuntungkan dengan pola bagi hasil tersebut? 5. Peran pemilik modal dalam kegiatan modernisasi perikanan di Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya. 6. Peran kelembagaan (formal maupun informal) Apakah kegiatan kelembagaan tersebut mempengaruhi perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka? 7. Pola hubungan antara pemilik modal dengan pemilik kapal Apa yang dijadikan dasar dalam pola hubungan ini? Dalam pola hubungan ini apakah memperlihatkan adanya gejala eksploitasi terhadap pemilik perahu atau pemilik kapal? 8. Pola hubungan antara pemilik kapal dengan nelayan buruh atau ABK Apa yang dijadikan dasar dalam pola hubungan tersebut? Dalam pola hubungan ini apakah memperlihatkan adanya gejala ekspolitasi? 9. Struktur nafkah masyarakat nelayan Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya Siapa pencari nafkah dalam keluarga? Apa pekerjaan utama pencari nafkah? Apa usaha sampingan yang dilakukan pencari nafkah? Berapa pendapatan per tahun? 10.
Perilaku menghadapi tekanan ekonomi yang mereka alami Apakah mereka tetap mempertahankan keahlian berusaha dalam kegiatan nelayan? Bagaimana cara memperoleh sarana produksi ?
11. Cara mendapatkan modal operasional Apa sajakah sumber-sumber pinjaman tersebut? Bagaimana prosedur dan proses dari pinjaman itu? 12. Adat istiadat/tradisi/kebijakan atau memperhatikan kelestarian lingkungan
peraturan/lembaga
yang
Bagaimana pelaksanaannya dalam masyarakat? Adakah perbedaan yang tampak dari generasi dahulu dengan generasi sekarang ? 13. Teknologi penangkapan yang digunakan 13.1 Bentuk –bentuk teknologi penangkapan yang digunakan 13.2 Bagaimana kondisi masyarakat nelayan sebelum masuknya teknologi? 13.3 Bagaimana struktur produksi, pola bagi hasil, dan pola stratifikasinya? 14. Dampak/pengaruh industrialisasi nelayan 14.1 Dampak/pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dalam peningkatan pendapatan. 14.2 Dalam bentuk apa saja industrialisasi perikanan yang ada dan akan di kembangkan? 14.3 Pihak mana yang lebih aktif mendorong peningkatan pendapatan mereka 15. Perubahan teknologi penangkapan ikan 15.1 Kapan mulai dilakukan? 15.2 Siapa yang berperan dalam perubahan teknologi? 15.3 Mengapa dilakukan perubahan teknologi tersebut?
16.
17. 18. 19. 20.
21.
15.4 Bagaimana tahap-tahap perubahan teknologi tersebut dilakukan oleh nelayan Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya? 15.5 Respon positif dan negatif nelayan terhadap perubahan teknologi pada saat itu. 15.6 Bagaimana tahap-tahap perubahan teknologi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya hingga sekarang ? Kekuatan produksi pada setiap jenis alat tangkap 16.1 Sumberdaya manusia dan keterampilannya 16.2 Tingkat teknologi yang digunakan dan lain-lain 16.3 Lainnya? Pola hubungan produksi setiap jenis alat tangkap yang ada Bagaimana peran dari masing-masing status dalam proses produksi ? Pola stratifikasi nelayan berdasarkan pandangan masyarakat setempat Apa yang dijadikan dasar dalam penentuan stratifikasi sosial tersebut? Pengaruh berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah atau stakeholder lainnya pada berbagai aspek ekonomi, teknologi, sosial dan lingkungan Perilaku nelayan dalam usaha sehari-hari untuk tidak merusak lingkungan pesisir (akibat dari penggunaan bahan-bahan berbahaya) 20.1 Bentuk-bentuk perilakunya 20.2 Lembaga desa atau adat istiadat/norma yang berpihak pada kelestarian lingkungan? Strategi yang digunakan untuk keberhasilan pelestarian ekologi 21.1 Adakah tradisi/adat istiadat/norma yang menabukan atau melarang perusakan lingkungan pesisir dan laut? 21.2 Pihak mana yang paling intens dalam persoalan keberlanjutan lingkungan?
22. Peran pemerintah dalam membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan 22.1 Peranan TPI atau lembaga formal lain? 22.2 Harapan dari kelembagaan tersebut? 23. Ketersediaan ruang bertahan hidup yang menjadi dasar teritorial dari ekonomi komunitas 23.1 Bagaimana dengan waktu luang mereka? 23.2 Apakah mereka terlibat dalam wadah sosial setempat? 23.3 Bagaimana bentuk jaringan sosial yang ada ? 24. Strategi dalam menghadapi tekanan ekonomi yang dialami Adakah pola nafkah ganda yang mereka lakukan? 24.1 Apakah penyebaran tenaga kerja anggota keluarga juga dilakukan? 24.2 Atau apakah mereka memanfaatkan lembaga kesejahteraan lokal ? 25. Ketersediaan pilihan-pilihan yang ada: Apakah mereka memanfaatkan alam-ekologikal? Bagaimana dengan finansial, dan sumberdaya manusia? 26. Apakah kelembagaan lokal yang ada dapat membantu kemajuan masyarakat setempat? Bagaimana anda menilai apa yang diharapkan dari kelembagaan tersebut? 27. Tradisi/adat istiadat di dalam masyarakat nelayan yang mempuyai perhatian terhadap lingkungan 27.1 Ungkapan dari masalah mengenai keperdulian terhadap lingkungan tersebut? 27.2 Keperdulian generasi muda terhadap lingkungan? 27.3 Adakah perubahannya dari generasi dahulu dengan generasi sekarang? 27.4 Keperdulian golongan masyarakat kritis terhadap permasalahan di lokalitas? 28. Kelembagaan dalam masyarakat nelayan tersebut yang memihak kepentingan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan 28.1 Bentuk-bentuk kelembagaannya 28.2 Bagaimana dengan peraturan perundang-undangan atau peraturan pemerintah daerah yang dapat dijadikan pijakan dalam mengelola sumberdaya secara berkelanjutan? 29. Persepsi masyarakat setempat tentang lingkungan, alam, masyarakat dan desa 29.1 Bagaimana bentuk-bentuk persepsinya? 29.2 Adakah gagasan yang bertentangan yang tumbuh dalam masyarakat tentang lingkungan 29.3 Apakah gagasan itu diwadahi oleh lembaga setempat? 30. Bentuk pengorganasasian diri masyarakat dalam hubungan dengan keperdulian terhadap lingkungan 30.1 Bentuk-bentuknya 30.2 Adakah gejala aparat pemerintah desa hanya menyibukkan diri dengan kekuasaan politik? Atau mengakumulasi kekayaan? Atau apakah tokoh-tokoh masyarakat hanya menunpang hidup dari kondisi tersebut? Status pendidikan keluarga. Kesehatan keluarga.
B. Pokok Penelitian Kebijakan Program Penanggulangan Kemiskinan 1. Jaringan Pengaman Sosial (JPS) 1.1 Bentuk Program JPS dari pemerintah pusat 1.2 Bentuk program pemberdayaan masyarakat lainnya 1.3 Bentuk konkrit program tersebut di masyarakat nelayan 1.4 Derajat/Tingkat Efektivitas Program: apakah program bantuan pemerintah pusat tersebut bermanfaat secara nyata/menyentuh bagi masyarakat kecil? 1.5 Pihak-pihak yang diuntungkan dari program tersebut 1.6 Pihak-pihak yang dirugikan dari program tersebut 1.7 Adakah instansi pemerintah pusat yang menjadi panutan masyarakat dalam membantu memecahkan persoalan mereka? 1.8 Apakah dalam mensosialisasikan program tersebut melibatkan nelayan? Sampai sebatas mana pelibatan nelayan tersebut? Bagaimana respon nelayan itu sendiri atas keterlibatan mereka? 1.9 Hambatan yang dihadapi instansi pemerintah pusat dalam memberikan bantuan 1.10 Upaya instansi pemerintah pusat menghadapi hambatan tersebut 2. Program Pemerintah Daerah (propinsi dan atau kota) dan Dinas Terkait 2.1 Bentuk-bentuk programnya 2.2 Efektivitas program tersebut dalam menanggulangi kemiskinan masyarakat nelayan
2.2 2.3 2.4 2.5
2.6 2.7
Apakah Kebijakan publik yang berkenaan dengan program tersebut memihak kepada masyarakat kecil? Apakah ada kerjasama antara instansi yang terkait tersebut ? Adakah pemerintah daerah/dunas terkait yang menjadi panutan masyarakat dalam membantu memecahkan persoalan mereka? Apakah dalam mensosialisasikan program tersebut melibatkan nelayan? Sampai sebatas mana pelibatan nelayan tersebut? Bagaimana respon nelayan itu sendiri atas keterlibatan mereka? Hambatan yang dihadapi pemerintah daerah/dinas terkait dalam memberikan bantuan Upaya pemerintah daerah/dinas terkait menghadapi hambatan tersebut
3. Program Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 3.1 Bentuk-benuk programnya 3.2 Sampai sejauh mana keterlibatan LSM tersebut dalam masyarakat? 3.3 Adakah LSM yang menjadi panutan masyarakat dalam membantu memecahkan persoalan mereka? 3.4 Apakah dalam mensosialisasikan program tersebut melibatkan nelayan? Sampai sebatas mana pelibatan nelayan tersebut? Bagaimana respon nelayan itu sendiri atas keterlibatan mereka? 3.5 Hambatan yang dihadapi LSM dalam memberikan bantuan 3.6 Upaya LSM menghadapi hambatan tersebut 4. Adakah UU/peraturan yang dirancang untuk memihak kepentingan nelayan kecil?
C. Pokok Penelitian Bentuk-bentuk Strategi yang Dilakukan
1. Aktivitas Mata Pencaharian Sebagai Nelayan 1.1 Status pencari nafkah dalam keluarga 1.2 Apakah perikanan tangkap merupakan pekerjaan utama? 1.3 Adakah pekerjaan sampingan yang dilakukan? 1.4 Pendapatan yang diperoleh per hari, per bulan dan per tahun? 1.5 Sebandingkah dengan pengeluaran yang dilakukan? 2. Perilaku aras individu, aras rumah tangga dan aras komunitas menghadapi tekanan ekonomi 2.1 Adakah mereka memiliki keahlian berusaha dalam kegiatan nelayan? 2.2 Bagaimana cara memperoleh saprodi (membeli, meminjam, bagi hasil dan lain-lain)? 3. Kekuatan Sosial Masyarakat Nelayan 3.1 Adakah ketersediaan ruang bertahan hidup? 3.2 Bagaiamana mereka mengatur waktu luang yang ada? 3.3 Bagaimana keterlibatan mereka dalam wadah sosial setempat? 3.4 Bagaimana bentuk jaringan sosial yang terbentuk? 3.5 Apakah mereka menerapkan pola nafkah ganda? 3.6 Atau melakukan penyebaran tenaga kerja anggota keluarga? 3.7 Atau mereka memanfaatkan lembaga kesejahteraan lokal ? 3.8 Bagaimana dengan peran istri dalam membantu perekonomian? 3.9 Adakah ketersediaan pilihan dalam memanfaatkan alam, modal fiskal, modal finansial dan modal sumberdaya manusia?
PANDUAN PENGAMATAN LAPANGAN
1. Keadaan wilayah lokasi penelitian dan sarana prasarana yang menunjang kegiatan operasional. Apakah sarana dan prasarana tersebut memadai untuk kegiatan operasional nelayan? 2. Gambaran umum komunitas nelayan, serta situasi dan kondisi pemukiman, darimana saja asal usul nelayan yang berdomisili di Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya. 3. Gambaran keadaan sosial budaya masyarakat. Kegiatan-kegiatan soisal budaya yang ada, pelapisan sosial. 4. Pola-pola penguasaan aset produksi : jenis dan jumlah penguasaan aset (perahu/kapal, alat tangkap, alat kerja dll) dan bagaimana proses penguasaan dari aset tersebut (pewarisan, jual beli, sewa, dll) 5. Berbagai cara produksi yang ada di Kelurahan Teluk Sepang/Sumberjaya dan bagaimana formasi sosialnya? 6. Kelembagaan yang ada dalam masyarakat nelayan : lembaga formal (kelompok nelayan dll) dan lembaga informal (majelis taklim, arisan, gotong royong, dll) 7. Modernisasi nelayan : masuknya teknologi (pukat trwal, gardan dll), masuknya modal/kapital serta perkembangan industralisasi nelayan 8. Kegiatan di Pelabuhan Perikanan dan bagaimana peran Pelabuhan Perikanan dalam menunjang kegiatan nelayan. 9. Kegiatan di tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan mekanisme kerjanya. Siapa yang mengelola TPI dan bagaimana peran TPI dalam menunjangg kegiatan pemasaran hasil tangkapan para nelayan? Selain TPI amati juga cara pemasaran hasil tangkapan yang umum dilakukan oleh nelayan. Adakah pihak-pihak yang berperan dalam pemasaran hasil tangkapan selain TPI dan bagaimana peranannya? 10. Bagaimana mekanisme bagi hasil yang dilakukan pada masing-masing cara produksi. Adakah gejala eksploitasi dari sistem bagi hasil tersebut terhadap buruh nelayan atau ABK ? 11. Bagaimana mekanisme penjualan hasil tangkapan yang dilakukan oleh pemilik perahu/kapal yang telah terikat dengan pedagang pengumpul, apakah memperlihatkan kecenderungan eksploitasi dengan penentuan tingkat harga secara sepihak? 12. Bagaimana mekanisme penjualan hasil tangkapan yang dilakukan oleh pemilik perahu atau kapal yang tidak terikat oleh pemilik modal ? bagaimana tingkat harga yang terjadi? 13. Bagaimana mekanisme penjualan hasil tangkapan yang dilakukan oleh pemilik perahu atau kapal yang telah terikat oleh pemilik modal? Bagaimana tingkat harga yang terjadi? 14. Bagaimana arah kebijakan pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya perikanan ? apakah setiap peraturan yang dikeluarkan memperhatikan dan mengadopsi norma-norma sosial budaya tingkat lokal? Bagaimana upaya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat yang telah dan ada di masyarakat nelayan ?
PANDUAN UNTUK STUDI DOKUMENTASI Untuk menunjang data primer maka dilakukan studi dokumentasi untuk mendapatkan data sekunder sebagai berikut : 1. Keadaan umum lokasi penelitian (letak, luas, topografi, pola pemukiman, ketersediaan sarana, pasar, sekolah, bank, koperasi, pelabuhan, puskesmas, air bersih, penerangan, pembuangan sampah dan lain-lain) 2. Penduduk : karakteristik demografi, komposisi penduduk menurut jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, jumlah rumah tangga nelayan, mobilitas penduduk, angkatan kerja. 3. Mata pencaharian : jenis pekerjaan dan jumlah penduduk masing-masing pekerjaan. 4. Keadaan sosial budaya masyarakat : agama, kegiatan sosial, pelapisan sosial dan dan lain-lain. 5. Perkembangan jumlah dan jenis kapal atau perahu 6. Perkembangan jumlah dan jenis alat penangkapan ikan 7. Perkembangan jumlah produksi per jenis alat tangkap per satuan waktu 8. Jumlah hari trip setiap jenis alat tangkap 9. Peta wilayah penangkapan untuk setiap jenis alat tangkap 10. Peta lokasi penelitian
Lampiran 2. Kuesioner Prioritas Strategi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dalam Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir di Kota Bengkulu Prioritas Strategi Pengendalian Degradasi Sumberdaya Alam Pesisir Melalui Pemberdayaan pesisir Kota Bengkulu
FOKUS
FAKTOR SWOT
Kekuatan (Strength)
Kelemahan (Weaknesses)
Peluang (Opportunities)
Ancaman (Threats
KRITERIA Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi.
Pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir ALTERNATIF STRATEGI
Pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasiskan kekerabatan
Program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas
Pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompokkelompok profesi
Pengembangan system silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up
Dalam penelitian ini, Bapak/Ibu/Sdr responden dimohon untuk dapat memberikan nilai perbandingan antar elemen berdasarkan Angka Skala yang telah di tetapkan (Tabel 1). Pertimbangan nilai intensitas kepentingan antar elemen didasarkan pada logika, intuisi, kepakaran dan pengalaman Bapak/Ibu/Sdr responden dalam memahami permasalahan pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu ini. Tabel 1. Skala Perbandingan Pasangan (Saaty, 1993) Intensitas
Peningkatan peran dalam memanfaatk secara lestari
Keterangan
Penjelasan Kepentingan 1 Kedua elemen sama pentingnya elemem mempuyai pengaruhyang sama
Kedua
pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen yang lainnya dibandingkan elemen lainnya
elemen
5 Elemen yang satu sedikit lebih cukup daripada elemen Pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong lainnya satu elemen dibanding elemen lainnya 7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya elemen yang kuat disokong dan dominannya
Satu
Kegia rehabi denga
telah
terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya yang mendukung elemen memiliki tingkat
Bukti penegasa n tertinggi yang mungkin menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan diberikan bila ada dua kompromi di antara
Nilai ini
dua pilihan Kebalikan Jika untuk aktifitas i mendapatkan satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempuyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
Hierarki 1. Perbandingan Antar Faktor terhadap Fokus (Tujuan) FOKUS
FAKTOR
Prioritas Strategi Pengendalian Degradasi Sumberdaya Pesisir Melalui Pemberdayaan Nelayan K
Kekuatan (Strength)
Peluang (Opportunities)
Kelemahan (Weaknesses)
Pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kekuatan (Strength), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan Ancaman (Threats). Pertanyaan : Bagaimana perbandingan tingkat kepentingan antar faktor-faktor tersebut terhadap pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir Kota Bengkulu Perbandingan nilai tingkat kepentingan faktor terhadap tujuan Kekuatan Kekuatan Kelemahan Peluang Ancaman
Kelemahan
Peluang
Ancaman
Hierarki 2. Perbandingan kriteria terhadap Faktor Kekuatan (Strenght)
FAKTOR
Kelemahan (Weaknesses)
Pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir
KRITERIA
Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi.
Peluang (opportunities)
Peningkatan pe masyarakat pes memanfaatkan
Program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi pendekatan pemberdayaan masyarakat nelayan Kota Bengkulu dipengaruhi oleh strategi yang dilakukan. Pertanyaan : Bagaimana perbandingan tingkat kepentingan antar aktor-aktor tersebut dalam mempengaruhi faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan masyarakat nelayan ? Pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir
Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi.
Program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas
Peningkatan p masyarakat pe memanfaatka
Pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi.
Program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas Peningkatan peran serta masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir
Hierarki 3. Perbandingan kriteria terhadap alternatif strategi
KRITERIA
Pembentukan kelembagaan ekonomi dan pelestarian sumberdaya pesisir
ALTERNATIF STRATEGI
Rehabilitasi ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi.
Pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasiskan kekerabatan
Program pendampingan dengan melakukan intervensi komunitas
Pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompokkelompok profesi
Peningkatan peran masyarakat pesisir memanfaatkan sum
Pengembangan system silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan
Keg reha man pend
Pertanyaan : Bagaimana perbandingan tingkat kepentingan dari alternatif strategi yang akan dicapai berdasarkan kriteria dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat nelayan Kota Bengkulu ? Perbandingan nilai tingkat kepentingan alternatif strategi Pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasiskan kekerabatan
Pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompok-kelompok profesi
Pengembangan system silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up
Pembentukan kelembagaan ekonomi (koperasi keluarga) berbasiskan kekerabatan Pengembangan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan melalui kelompokkelompok profesi Pengembangan system silvofishery dalam pengelolaan tambak dengan pendekatan buttom up Kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan partisipatif
Apabila Bapak/Ibu/Sdr. Responden memiliki saran, pendapat, dan masukan tentang program pendekatan pemberdayaan masyarakat nelayan Kota Bengkulu, silahkan menulisnya di halaman ini.
Ke reh ma pen
Lampiran 3. Tabel Keragaan Modal struktur masyarakat nelayan di Kelurahan Teluk Sepang, Sumberjaya dan Kandang Jenis Modal
Kategori
Selang skor
Kelurahan Sepang
Modal Manusia
Rendah
24-52
Tinggi
Modal fisikal
Modal Finansial
Modal Sosial
Modal Alamiah
Jumlah sampel (n)
Teluk
Kelurahan Sumberjaya
Kelurahan Kandang
25,5
50,0
24,7
53-80
74,5
50,0
75,3
Jumlah
100,0
100,0
100,00
Rendah
137-175
46,4
66,5
53,8
Tinggi
176-212
53,6
33,5
46,2
Jumlah
100,0
100,0
100,00
Rendah
11-19
82,7
80,5
80,3
Tinggi
20-27
17,3
19,5
19,7
Jumlah
100,0
100,0
100,00
Rendah
63-93
68,2
62,7
62,3
Tinggi
94-124
31,8
37,3
37,7
Jumlah
100,0
100,0
100,00
Rendah
23-33
82,7
55,7
58,3
Tinggi
34-42
17,3
44,3
41,7
Jumlah
100,0
100,0
100,00
29
41
15