STRATEGI BERTAHAN HIDUP MASYARAKAT NELAYAN DI DAERAH PENCEMARAN PESISIR Studi Kasus Nelayan Kampung Bambu, Kelurahan Kali Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara
KARUNIA WISDANINGTYAS I34062694
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
STRATEGI BERTAHAN HIDUP MASYARAKAT NELAYAN DI DAERAH PENCEMARAN PESISIR Studi Kasus Nelayan Kampung Bambu, Kelurahan Kali Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara
KARUNIA WISDANINGTYAS
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT
The welfare of fishermen in coastal area depends on the quality of fishery resources. The economic activity in the mainland leads a pollution problem in the coastal area, which worsen the life of the fishermen who depends their only source of earn-living from the sea. As an impact of sea pollution, the fishermen who lived in sea-polluted area were tends to do some strategies which helped them surviving in living and distributes the livelihood within all the season of the year. This research was intended (1) to identify the survival strategies of fishermen, (2) to identify the relation between fishermen’s characteristic and their survival strategies, (3) to analyze the social mobility of fishermen in times before and after the sea-pollution, and (4) to analyze the social stratification of fishermen. The research result showed that the fishermen did the survival strategies in terms of distributing the basic necessities through all the year. The survival strategies were done by the fishermen based on the human-resources allocation from the fishermen’s households, social capital, financial, spatial, and livelihoodproduction source. The characteristic of fishermen which are their educational level, age, and number of family member were related with their survival strategies. After the times of sea-pollution, the research result also showed the social sinking in fishermen’s social mobility. As an impact of sea-pollution, the stratification of fishermen was also descended to the lower level of social stratification.
Keywords: sea pollution, survival strategies, social mobility of fishermen, social stratification of fishermen.
RINGKASAN
KARUNIA WISDANINGTYAS. STRATEGI BERTAHAN HIDUP MASYARAKAT NELAYAN DI DAERAH PENCEMARAN PESISIR (Studi Kasus Nelayan Kampung Bambu Kelurahan Kali Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara) (Di bawah Bimbingan ARIF SATRIA). Kesejahteraan secara ekonomi masyarakat pesisir sangat bergantung pada sumberdaya perikanan baik perikanan tangkap di laut maupun budidaya, yang hingga saat ini masih bersifat open access. Aktivitas ekonomi dan pertambahan penduduk di daratan menyebabkan munculnya masalah di wilayah perairan pesisir dan perairan. Akibatnya masyarakat yang bergantung pada sumberdaya pesisir semakin kesulitan mendapatkan kesejahteraan akibat lingkungan pesisir yang semakin terdegradasi. Turunnya kualitas lingkungan menyebabkan kemiskinan nelayan pun meningkat, sehingga masyarakat nelayan yang hidup dan bergantung pada sumberdaya lautan mengupayakan berbagai strategi untuk dapat bertahan hidup (survival strategies). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan di Kampung Bambu, kemudian menganalisis hubungan antara karakteristik nelayan dengan strategi hidup yang dilakukan rumahtangga nelayan, selanjutnya adalah mengetahui stratifikasi sosial serta mobilitas sosial yang terjadi dalam masyarakat nelayan sebelum dan sesudah terjadi pencemaran pesisir. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menangkap data seputar karakteristik rumahtangga nelayan dan mencari hubungan antara karakteristik responden dengan strategi hidup, dengan menggunakan instrument kuesioner. Sementara metode kualitatif digunakan untuk menangkap data seputar pencemaran pesisir dengan metode wawancara mendalam. Tahap pertama penelitian ini adalah menentukan strategi hidup nelayan berupa strategi sosial dan strategi ekonomi nelayan, kemudian dianalisis menggunakan teori strategi berdasarkan basis produksi, pemanfaatan modal sosial, alokasi sumberdaya manusia, spasial dan finansial. Tahap kedua penelitian ini adalah mencari hubungan antara karakteristik nelayan dengan strategi hidup nelayan. Kemudian menganalisis strategi hidup tersebut dengan terjadinya mobilitas sosial nelayan yang juga akan mempengaruhi stratifikasi nelayan sebelum dan sesudah terjadinya pencemaran. Strategi bertahan hidup yang dilakukan rumahtangga nelayan tersebut antara lain adalah strategi berbasis modal sosial yang terwujud dalam kelembagaan patron klien berupa sistem bagi hasil antara nelayan dengan pedagang, pemilik perahu maupun pemilik ternak. Strategi selanjutnya adalah strategi alokasi sumberdaya manusia. Strategi ini merupakan strategi pemanfaatan modal manusia dalam rumahtangga nelayan, yang terlihat pada diversifikasi kerja rumahtangga nelayan dan pelibatan anggota rumahtangga nelayan. Tidak terjadi mobilitas kerja atau perpindahan kerja pada saat musim baratan sebab nelayan lebih memilih untuk menganggur dan menunggu angin timur.
5
Strategi bertahan hidup lain yang dilakukan nelayan adalah strategi pola nafkah ganda. Meskipun demikian, dari hasil penelitian terlihat bahwa strategi ini tidak banyak dilakukan oleh kepala rumahtangga nelayan. Hal ini disebabkan nelayan lebih memilih untuk mengandalkan satu jenis pekerjaan yang mereka kuasai daripada menyambi dengan perkerjaan lain yang mereka tidak terlalu paham bidangnya. Sementara strategi berdasarkan basis produksi merupakan strategi yang diterapkan rumahtangga nelayan dengan memanfaatkan sumber produksi secara maksimal. Bentuk strategi bertahan hidup lainnya yang dilakukan rumahtangga nelayan adalah strategi spasial dan finansial. Strategi finansial cenderung dilakukan oleh anggota keluarga selain kepala keluarga. Sementara itu tidak ada rumahtangga nelayan yang menjalankan strategi finansial dengan memanfaatkan modal keuangan berupa tabungan atau investasi. Hal ini disebabkan capaian status nafkah nelayan tradisional di Kampung Bambu masih terbatas pada strategi keamanan dan stabilitas, artinya semua hasil yang diperoleh rumahtangga nelayan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal kebutuhan subsisten pangan. Terdapat hubungan antara usia dengan jaringan sosial, terlihat bahwa semakin tua usia responden maka kualitas jaringan sosialnya semakin baik. Terdapat pula hubungan antara usia dengan strategi lainnya, yaitu semakin tua responden terbukti bahwa mereka memiliki strategi lain untuk mengatasi masa kritis akibat pencemaran. Hal ini dikarenakan faktor usia turut mempengaruhi pengalaman hidup. Terlihat pula hubungan antara besar keluarga dengan strategi lainnya, semakin besar jumlah anggota keluarga maka strategi lain yang dilaksanakan keluarga tersebut untuk mengatasi masa kritis semakin terlihat. Hubungan yang tidak signifikan terlihat adalah antara tingkat pendidikan dengan strategi sosial maupun strategi ekonomi. Hubungan yang tidak bisa diuji adalah seluruh variabel karakteristik dengan strategi ekonomi mobilitas kerja, artinya tidak pernah terjadi mobilitas kerja untuk semua responden. Stratifikasi sosial nelayan yang terjadi sebelum dan sesudah pencemaran diteliti menggunakan metode reputasional dimana nelayan mempersepsikan diri mereka berada dalam lapisan atas-bawah sebelum terjadi pencemaran dan berada dalam lapisan bawah atas setelah terjadi pencemaran. Pada periode sebelum pencemaran, nelayan menempati posisi atas-bawah sementara sesudah pencemaran nelayan secara drastis mengalami mobilitas vertikal ke posisi bawahatas. Penurunan status ini disebabkan semata oleh laut yang semakin tercemar sehingga mengurangi debit ikan yang secara langsung akan berpengaruh pada kelangsungan distribusi pendapatan nelayan dan kondisi ekonomi rumahtangga keluarga. Terjadi mobilitas sosial vertikal ke bawah (social sinking) sebagai perpindahan posisi nelayan dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain yang tidak sederajat setelah pencemaran.
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “STRATEGI DAERAH KAMPUNG
BERTAHAN
PENCEMARAN BAMBU,
HIDUP
MASYARAKAT
PESISIR
KELURAHAN
(STUDI KALI
NELAYAN
KASUS
BARU,
DI
NELAYAN
KECAMATAN
CILINCING, JAKARTA UTARA)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Januari 2011
Karunia Wisdaningtyas I34062694
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama
: Karunia Wisdaningtyas
NRP
: I34062694
Departemen
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi
: Strategi Bertahan Hidup Masyarakat Nelayan Di Daerah Pencemaran Pesisir (Studi Kasus Nelayan Kampung Bambu, Kelurahan Kali Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP. 19710917 199702 1 003
Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 9 Oktober 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Gatoet Wirjantoro dan Ibu Urip Iswarini. Semenjak memasuki usia sekolah penulis tinggal di kawasan Bekasi. Penulis menamatkan pendidikannya di TK Wijaya Kusuma tahun 1994, SDN Duren 07 tahun 2000, SLTPN 3 Bekasi tahun 2003 dan SMUN 1 Bekasi tahun 2006. Pada tahun 2006 pula penulis menjadi mahasiswa IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen
Sains
Komunikasi
dan
Pengembangan
Masyarakat,
Mayor
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat melalui pemilihan mayor-minor. Selama di kampus, penulis juga tergabung dalam beberapa organisasi kemahasiswaan diantaranya kepengurusan HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat
Ilmu-Ilmu
Komunikasi
dan
Pengembangan
Masyarakat)
divisi
Advertising dan Multimedia pada periode 2008-2009. Penulis juga tergabung dalam kepanitiaan acara-acara kemahasiswaan yang berskala nasional antara lain sebagai sekretaris Indonesian Ecology Expo 2008, serta merupakan angkatan pertama Leadership Training for Students on CSR (LET’S CSR) Fakultas Ekologi Manusia.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah Strategi Bertahan Hidup Masyarakat Nelayan Daerah Pencemaran Pesisir. Penulisan skripsi ini merupakan syarat kelulusan mata kuliah KPM 499. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana strategi hidup baik secara sosial maupun ekonomi yang dilakukan oleh nelayan yang hidup di daerah pencemaran pesisir khususnya warga Kampung Bambu, Kelurahan Kali Baru Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing, serta pihak-pihak yang membantu penulis, baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan penulisan usulan penelitian. Demikian skripsi ini penulis sampaikan semoga bermanfaat.
Bogor, Januari 2011
Penulis
Indeed, hardship is followed by ease (Qs. 94:5)
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
اﷲSubhanahu wa ta’ala,
The Compassionate, The Beneficent, The Merciful, The One who has plenty of mercy for the believers, atas limpahan nikmatnya yang tidak pernah putus untuk disyukuri sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini: 1. Dr. Arif Satria, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas waktu dan bimbingannya serta referensi buku-buku yang sangat berguna sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc dan Ir. Dwi Sadono, M.Si selaku dosen penguji skripsi. 3. Bapak Tahir, Bapak Jamal, Bapak Candring, Bapak Tahang, Mamah Lia, Via, Tasya dan rekan-rekan nelayan di Kampung Bambu Jakarta Utara atas waktu dan semangatnya yang terus menyala. 4. Ir. Gatoet Wirjantoro dan Urip Iswarini, Ayah dan Ibu tersayang di rumah yang selalu mendukung penulis untuk segera menyelesaikan studinya. Atas doa yang tidak pernah putus, atas kasih sayang yang selalu terurai, atas segalanya sampai detik ini: terima kasih. 5. Wini Rizkiningayu Kakakku, terima kasih atas dorongan yang selalu diberikan kepada penulis via Twitter, YM, Tumblr, dan interlokal Balikpapan-Bogornya. Dimas Nandang Hidayat, adikku yang selalu membuatku ingin melakukan yang terbaik untuk masa depannya nanti. 6. Radhitya Ganarso, soulmate, sahabat, tempat berbagi, tempat curhat, terima kasih untuk selalu ada dan untuk nasehat-nasehat yang membuat penulis berpikir lebih rasional. 7. Keluarga QuadraPop tersayang, Pita, Dion, Erna, dan Ami, yang selalu memberikan tawa diantara perjuangan penulis menyelesaikan skripsinya. 8. Teman seperjuangan menyelesaikan skripsi, Elhaq dan Ria; teman-teman KPM 43, terutama Bedhil, Rei dan Arma, terima kasih untuk bantuan, diskusi-diskusi serta dukungan moril kepada penulis. 9. Teman-teman SMA yang turut mendukung penulis, Uwie, Tika, Sandy, Iman, Kinung; teman-teman asrama dan TPB, Rini, Sarah, Dian, Septi, Anjar, Ratri dan semua yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 10. Super Junior dan SHINee.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ..................................................................................................xv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xix DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................xx BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1 1.1. Latar Belakang...............................................................................................1 1.2. Pertanyaan Penelitian ....................................................................................5 1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................................5 1.4. Kegunaan Penelitian ......................................................................................5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7 2.1. Pencemaran Pesisir dan Laut .........................................................................7 2.2. Dampak Pencemaran Pesisir dan Laut ..........................................................9 2.3. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir ......................................14 2.4. Sistem Patron Klien .....................................................................................15 2.5. Klasifikasi Nelayan .....................................................................................16 2.6. Stratifikasi Masyarakat Nelayan..................................................................17 2.7. Mobilitas Sosial ...........................................................................................18 2.8. Strategi Hidup Masyarakat Nelayan ............................................................18 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS .........................................22 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................................22 3.2. Hipotesis Pengarah ......................................................................................24 3.3. Definisi Konseptual .....................................................................................24 3.4. Definisi Operasional ....................................................................................25 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................28 4.1. Pendekatan Penelitian ..................................................................................28 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................................29 4.3. Teknik Pemilihan Responden ......................................................................29 4.4. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data .................................................30 4.5. Teknik Analisis Data ...................................................................................35 BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN ...............................................................33 5.1. Keadaan Wilayah.........................................................................................33 5.2. Karakteristik Responden .............................................................................34 5.2.1. Nelayan Bagang ...................................................................................37 5.2.2. Nelayan Jaring ......................................................................................39 5.2.3. Nelayan Budidaya.................................................................................40 5.2.4. Nelayan Sero.........................................................................................42 5.2.5. Nelayan Tembak ...................................................................................43 5.2.6. Nelayan Bagang-Budidaya ...................................................................44
xiii
5.2.7. Kuli Nelayan .........................................................................................46 BAB VI ANALISIS STRATEGI BERTAHAN HIDUP NELAYAN ..................48 6.1. Dampak Pencemaran Teluk Jakarta Terhadap Masyarakat Nelayan Kampung Bambu........................................................................................48 6.2. Strategi Sosial .............................................................................................49 6.2.1. Strategi Sosial Nelayan Bagang ...........................................................50 6.2.2. Strategi Sosial Nelayan Jaring ..............................................................51 6.2.3. Strategi Sosial Nelayan Budidaya ........................................................52 6.2.4. Strategi Sosial Nelayan Sero ................................................................53 6.2.5. Strategi Sosial Nelayan Tembak ...........................................................55 6.2.6. Strategi Sosial Nelayan Bagang-Budidaya...........................................56 6.2.7. Strategi Sosial Kuli Nelayan.................................................................57 6.3. Strategi Ekonomi ........................................................................................58 6.3.1. Strategi Ekonomi Nelayan Bagang ......................................................60 6.3.2. Strategi Ekonomi Nelayan Jaring .........................................................61 6.3.3. Strategi Ekonomi Nelayan Budidaya....................................................63 6.3.4. Strategi Ekonomi Nelayan Sero............................................................64 6.3.5. Strategi Ekonomi Nelayan Tembak ......................................................65 6.3.6. Strategi Ekonomi Nelayan Bagang-Budidaya ......................................66 6.3.7. Strategi Ekonomi Kuli Nelayan ............................................................68 6.4. Strategi Sosial dan Strategi Ekonomi Nelayan Berdasarkan Kepemilikan Alat Tangkap ........................................................................69 6.5. Bentuk Strategi Bertahan Hidup Nelayan Berdasarkan Kepemilikan Alat Tangkap ..............................................................................................75 6.5.1. Strategi Berbasis Modal Sosial: Sistem Patron-Klien ..........................77 6.5.2. Strategi Alokasi Sumberdaya Manusia.................................................81 6.5.3. Strategi Berdasarkan Basis Produksi ....................................................83 6.5.4. Strategi Spasial dan Finansial ...............................................................84 BAB VII HUBUNGAN KARAKTERISTIK NELAYAN DENGAN STRATEGI SOSIAL DAN EKONOMI ...............................................86 7.1. Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Strategi Sosial ...........................86 7.1.1. Hubungan antara Usia dengan Strategi Sosial ......................................86 7.1.2. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Strategi Sosial ..............88 7.1.3. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Strategi Sosial ....................90 7.2. Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Strategi Ekonomi.......................91 7.2.1. Hubungan antara Usia dengan Strategi Ekonomi .................................91 7.2.2. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Strategi Ekonomi .........94 7.2.3. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Strategi Ekonomi ...............97 7.3. Hubungan Karakteristik Nelayan Alat Tangkap Statis dan Dinamis dengan Strategi Hidup Nelayan................................................................101 7.4. Mobilitas Sosial dan Stratifikasi Sosial Nelayan Sebelum dan Sesudah Terjadi Pencemaran ..................................................................................102 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................109 8.1. Kesimpulan ................................................................................................109 8.2. Saran ..........................................................................................................111
xiv
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................112 LAMPIRAN .........................................................................................................115
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
Tabel 1. Jenis Data, Metode Pengumpulan dan Sumber Data.............................31 Tabel 2. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia ...........................34 Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan .............................................................................................35 Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah anggota Keluarga.................................................................................................36 Tabel 5. Jumlah dan Presentasi Responden Berdasarkan Jenis Alat Produksi .................................................................................................37 Tabel 6. Sebaran Umur Nelayan Bagang dalam Angka Absolut dan Persen Kampung Bambu, 2010 .........................................................................37 Tabel 7. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Bagang dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ........................................38 Tabel 8. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Bagang dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ............................38 Tabel 9. Sebaran Umur Nelayan Jaring dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .........................................................................39 Tabel 10. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Jaring dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ........................................39 Tabel 11. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Jaring dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ........................................40 Tabel 12. Sebaran Umur Nelayan Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .....................................................40 Tabel 13. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ........................................41 Tabel 14. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ............................41 Tabel 15. Sebaran Umur Nelayan Sero dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010. ...........................................................42 Tabel 16. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Sero dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ........................................42 Tabel 17. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Sero dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ........................................43 Tabel 18. Sebaran Usia Nelayan Tembak dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ............................................................43 Tabel 19. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Tembak dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ........................................44 Tabel 20. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Tembak dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ............................44 Tabel 21. Sebaran Umur Nelayan Bagang-Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ........................................45 Tabel 22. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Bagang-Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .................45
xvi
Tabel 23. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Bagang-Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .................45 Tabel 24. Sebaran Umur Kuli Nelayan dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .........................................................................46 Tabel 25. Sebaran Tingkat Pendidikan Kuli Nelayan dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ........................................46 Tabel 26. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Kuli Nelayan dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 ............................47 Tabel 27. Sebaran Rumahtangga Nelayan Bagang dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .........................................................................50 Tabel 28. Sebaran Rumahtangga Nelayan Jaring dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .........................................................................51 Tabel 29. Sebaran Rumahtangga Nelayan Budidaya dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .........................................................................53 Tabel 30. Sebaran Rumahtangga Nelayan Sero dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .........................................................................54 Tabel 31. Sebaran Rumahtangga Nelayan Tembak dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .........................................................................55 Tabel 32. Sebaran Rumahtangga Nelayan Bagang-Budidaya dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .....................................................56 Tabel 33. Sebaran Rumahtangga Kuli Nelayan dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 .........................................................................57 Tabel 34. Sebaran Rumahtangga Nelayan Bagang dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja,Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010..........................................................................................60 Tabel 35. Sebaran Rumahtangga Nelayan Jaring dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010..........................................................................................62 Tabel 36. Sebaran Rumahtangga Nelayan Budidaya dalam Ragam
xvii
Tabel 37.
Tabel 38.
Tabel 39.
Tabel 40.
Tabel 41. Tabel 42. Tabel 43. Tabel 44. Tabel 45. Tabel 46. Tabel 47. Tabel 48. Tabel 49. Tabel 50. Tabel 51. Tabel 52. Tabel 53. Tabel 54. Tabel 55. Tabel 56.
Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010..........................................................................................63 Sebaran Rumahtangga Nelayan Sero dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010..........................................................................................65 Sebaran Rumahtangga Nelayan Tembak dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010..........................................................................................66 Sebaran Rumahtangga Nelayan Bagang-Budidaya dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010..........................................................................................67 Sebaran Rumahtangga Kuli Nelayan dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010..........................................................................................69 Strategi Sosial Nelayan Berdasarkan Kepemilikan Alat Tangkap, Kampung Bambu, 2010 .........................................................................70 Strategi Ekonomi Nelayan Berupa Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, dan Mobilitas Kerja Berdasarkan Kepemilikan Alat Tangkap, Kampung Bambu, 2010 .................................................72 Strategi Ekonomi Nelayan Berupa Berhutang, Kegiatan Ilegal, dan Strategi Lainnya Berdasarkan Kepemilikan Alat Tangkap, Kampung Bambu, 2010..........................................................................................74 Hubungan Usia dengan Pinjaman Pada Patron Pada Saat Tidak Melaut ...................................................................................................86 Hubungan Usia dengan Tingkat Kepuasan Terhadap Patron ................87 Hubungan Usia dengan Jaringan Sosial ................................................87 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Pinjaman Pada Patron Pada Saat Tidak Melaut .............................................................88 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Kepuasan Pada Patron ...........................................................................................89 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Jaringan Sosial .............89 Hubungan antara Besar Keluarga dengan Pinjaman Pada Patron.........90 Hubungan antara Besar Keluarga dengan Kepuasan Pada Patron ........90 Hubungan antara Besar Keluarga dengan Jaringan Sosial....................91 Hubungan antara Usia dengan Diversifikasi Kerja ...............................91 Hubungan antara Usia dengan Pola Nafkah Ganda ..............................92 Hubungan antara Usia dengan Mobilitas Kerja ....................................92 Hubungan antara Usia dengan Berhutang .............................................93
xviii
Tabel 57. Hubungan antara Usia dengan Kegiatan Ilegal .....................................93 Tabel 58. Hubungan antara Usia dengan Strategi Lainnya ...................................94 Tabel 59. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Diversifikasi Kerja ......................................................................................................94 Tabel 60. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Pola Nafkah Ganda ....................................................................................................95 Tabel 61. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Mobilitas Kerja ......................................................................................................95 Tabel 62. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kebiasaan Berhutang ..............................................................................................95 Tabel 63. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Kegiatan Ilegal .............96 Tabel 64. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Strategi Lainnya ...........96 Tabel 65. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Diversifikasi Kerja .............97 Tabel 66. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Pola Nafkah Ganda.............98 Tabel 67. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Mobilitas Kerja...................98 Tabel 68. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Kebiasaan Berhutang..........99 Tabel 69. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Kegiatan Ilegal ...................99 Tabel 70. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Strategi Lainnya dalam Pandangan Nelayan .............................................................................100 Tabel 71. Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan Sebelum Pencemaran dalam Pandangan Nelayan ..................................................................103 Tabel 72. Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan Sesudah Pencemaran dalam Pandangan Nelayan ..................................................................105
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ...........................................................23 Gambar 2. Matriks Sistem Patron Klien Sebagai Strategi Sosial Berdasarkan Jenis Alat Tangkap Nelayan Kampung Bambu, 2010 .......................................................................................80 Gambar 3. Matriks Pelibatan Anggota Rumahtangga Sebagai Strategi Ekonomi Berdasarkan Jenis Alat Tangkap Nelayan Kampung Bambu, 2010 ........................................................82 Gambar 4. Pola Mobilitas Nelayan Sebelum dan Sesudah Pencemaran ............106
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Lampiran 1. Stratifikasi Sosial Nelayan Sebelum Pencemaran ...........................116 Lampiran 2. Stratifikasi Sosial Nelayan Sesudah Pencemaran ............................117 Lampiran 3. SPSS Output ....................................................................................118 Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian ...................................................................132
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Indonesia memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah
Amerika Serikat, diikuti Kanada dan Rusia, dengan panjang mencapai lebih dari 95.181 kilometer (km) dengan 17.480 pulau, seperti tertuang dalam pernyataan PBB tahun 2008. Predikat sebagai negara kepulauan (archipelagic state) atau negara maritim disandang oleh Indonesia karena sebesar dua pertiganya terdiri dari lautan. Dengan keanekaragaman hayati yang beragam, wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi yang besar untuk ditingkatkan baik secara kualitas lingkungan baik secara kuantitas jumlah keanekaragaman hayati melalui preservasi dan konservasi. Potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir Indonesia tidak lepas dari masyarakat pesisir pantai yang hidup dari sumberdaya di sekitarnya. Satria (2002) menyatakan bahwa secara sosiologis masyarakat pesisir memiliki karakteristik sosial yang berbeda dengan masyarakat lainnya, karena perbedaan karakteristik sumberdaya yang dihadapi. Kesejahteraan secara ekonomi masyarakat pesisir sangat bergantung pada sumberdaya perikanan baik perikanan tangkap di laut maupun budidaya, yang hingga saat ini aksesnya masih bersifat terbuka (open access), sehingga kondisi lingkungan wilayah pesisir dan laut menentukan keberlanjutan kondisi sosial ekonomi mereka. Aktivitas ekonomi dan pertambahan penduduk di daratan menyebabkan munculnya masalah di wilayah perairan pesisir dan perairan. Kerusakan ekosistem laut akibat pencemaran pesisir merupakan serangkaian sebab-akibat yang bermuara pada aktivitas manusia dan industri di daerah pesisir. Kerusakan SDA timbul ketika terjadi ketidakseimbangan kekuasaan di kalangan pihak yang terlibat1. Ketidakseimbangan kekuasaan ditandai dengan adanya ketimpangan
1
Disampaikan oleh Dr. Soeryo Adiwibowo, MS dalam mata kuliah Politik Sumberdaya Alam tanggal 18 November 2009
2
kepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Aktor-aktor penyebab pencemaran dinilai memiliki ketimpangan dalam kepentingan pemanfaatan sumberdaya, terutama industri. Pencemaran pesisir merupakan salah satu bentuk krisis ekologi dan salah satu bentuk kerusakan sumberdaya air sungai dan laut yang disebabkan oleh dibuangnya limbah industri dan limbah rumahtangga ke sungai. Limbah domestik dari rumahtangga yang dibuang ke sungai oleh masyarakat yang hidup di bantaran sungai akan terbawa sampai ke laut dan menyebabkan pencemaran pesisir. Akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya alam yang dekat merupakan alasan utama masyarakat membuang sampah ke sungai, adanya persepsi bahwa sungai merupakan ‘tanah tak bertuan’ yang arusnya akan membawa sampah mereka hilang dari pandangan membuat perilaku membuang sampah masyarakat yang hidup di bantaran sungai semakin menjadi-jadi (Kartika, 2008). Apabila dianalisis menggunakan teori etika lingkungan, aktivitas membuang sampah ke sungai oleh masyarakat daerah bantaran sungai yang menyebabkan pencemaran pesisir merupakan bentuk etika antroposentrisme yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia semata, tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan (Keraf, 2002). Kondisi ini akan terus berlanjut apabila masyarakat tidak merubah pola pikir dan perilaku mereka. Sementara limbah industri merupakan limbah buangan hasil industri yang dibuang ke sungai atau ke laut. Pesatnya pembangunan industri di daratan tepi dan lepas pantai ditengarai sebagai pihak yang paling besar berkontribusi dalam pencemaran lingkungan kelautan2. Pemanfaatan sumberdaya air khususnya sungai oleh industri untuk membuang limbahnya menyebabkan degradasi lingkungan di wilayah hilir, yaitu pesisir dan laut. Pemanfaatan sungai sebagai tempat dibuangnya limbah industri menyebabkan perubahan fisik pada sungai dari bahan kimia limbah industri dan juga mengancam kelestarian keanekaragaman hayati di kawasan pesisir dan laut yang merupakan sumber mata pencaharian masyarakat pesisir.
2
http://lakpesdamtuban.blogspot.com/2009/06/krisis‐ekologi‐laut‐dan‐lingkungan.html, diakses pada 15 Desember 2009
3
Industri yang melakukan aktivitas pembuangan limbah seharusnya memiliki perizinan. Seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah Ke Laut Pasal 2 ayat 1: “Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan air limbah wajib mengolah air limbahnya sehingga memenuhi persyaratan yang ditentukan sebelum air limbah dibuang ke laut,” dan Pasal 3: “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang akan melakukan pembuangan air limbah ke laut wajib mendapatkan izin dari Menteri. Menteri dapat mendelegasikan wewenang pemberian izin pembuangan air limbah ke laut kepada Gubernur.” Implementasi kebijakan inilah yang masih sedikit dilakukan oleh industri-industri yang membuang limbah secara aktif. Instruksi kewajiban industri melakukan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup), tertuang dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL.” Dengan adanya dokumen pengelolaan lingkungan ini, industri diharapkan mampu menaati baku mutu lingkungan dan baku kerusakan lingkungan. Sementara dampak yang sangat terlihat dari pencemaran pesisir adalah dampak lingkungan atau ekologis yang terjadi di daerah pesisir dan laut. Dampak lingkungan seperti terjadinya3: (1) Eutrofikasi, (2) Sedimentasi akibat perubahan lahan untuk membangun fasilitas-fasilitas perumahan atau industri yang akhirnya sampai di laut, (3) Akresi dan abrasi4, dan (4) menumpuknya sampah padat dan logam berat. Serta dampak sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat pesisir. Akibatnya masyarakat yang bergantung pada sumberdaya pesisir semakin kesulitan mendapatkan kesejahteraan akibat lingkungan pesisir yang semakin terdegradasi.
Akibat
turunnya
kualitas
lingkungan,
kemiskinan
nelayan
meningkat. Sebab secara umum jumlah tangkapan nelayan menjadi berkurang, 3
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/060720_penctlkjkt_cu/ (diakses tanggal 10 Januari 2010) 4 http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/30/kot10.htm, (diakses tanggal 25 Januari 2010)
4
sehingga masyarakat nelayan yang hidup dan bergantung pada sumberdaya lautan mengupayakan berbagai strategi untuk dapat bertahan hidup (survival strategies) dari besarnya dampak pencemaran. Strategi bertahan hidup ini kemudian menjadi indikator terjadinya mobilitias sosial nelayan. Kusnadi (2009) mendefinisikan kebudayaan nelayan sebagai sistem gagasan atau sistem kognitif masyarakat nelayan yang dijadikan referensi kelakuan sosial budaya oleh individu-individu dalam interaksi bermasyarakat. Kebudayaan ini terbentuk melalui proses sosiohistoris yang panjang dan kristalisasi dari interaksi yang intensif antara masyarakat dan lingkungannya. Kondisi-kondisi lingkungan atau struktur sumberdaya alam, mata pencaharian, dan sejarah sosial-etnisitas akan mempengaruhi karakteristik kebudayaan masyarakat nelayan. Perubahan kondisi lingkungan dan sumberdaya alam menjadi sedemikian terdegradasi diasumsikan turut mengubah lapisan nelayan dalam stratifikasi sosial. Kawasan Cilincing, Jakarta Utara merupakan tempat bermuara tiga belas anak sungai yang tercemar di pantai utara Jakarta, selain itu kawasan ini merupakan daerah pembuangan limbah industri kawasan industri Tanjung Priuk. Kondisi pantai utara dan teluk Jakarta pada saat ini sangat kritis dan dilematis, karena seluruh kawasan pesisir telah dimanfaatkan secara sangat intensif untuk berbagai kegiatan pembangunan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan. Data KIARA (2009) menyebutkan perairan Teluk Jakarta termasuk paling kotor di dunia. Penyebab kekotoran ini sebagian besar atau sekitar 80 persen berasal dari daratan, terutama akibat sampah dan limbah cair yang mengalir melalui 13 sungai ke teluk. Pencemaran yang berasal dari daratan atau land-based pollution menyumbang 80 persen terhadap pencemaran perairan teluk, baik akibat bahan organik, bahan berbahaya dan beracun (B3), seperti logam dan pestisida, pencemaran minyak dan sedimen, pencemaran organisme patogen dan eksotik, serta detergen. Tiga belas sungai besar yang bermuara ke Teluk Jakarta mulai dari Sungai Kamal hingga Cakung memiliki andil. Mereka menjadi saluran limbah gratis bagi sekitar 20 juta warga Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Ditambah pula sekitar 1.600 perusahaan yang juga menggelontorkan limbah cairnya ke sungai. Data resmi Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta menyebutkan perairan Teluk Jakarta sudah
5
tak layak lagi untuk wisata bahari dan kehidupan biota laut. Alasannya, Teluk Jakarta tercemar; kandungan nitrat, amoniak, dan fosfat sudah melebihi ambang batas.
1.2.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian
yang dapat diambil dari penulisan ini adalah: 1) Bagaimana strategi bertahan hidup yang dilakukan masyarakat nelayan? 2) Bagaimana hubungan antara karakteristik nelayan dengan strategi hidup rumahtangga nelayan? 3) Bagaimana stratifikasi sosial sebelum dan sesudah terjadi pencemaran? 4) Bagaimana mobilitas sosial yang terjadi dalam masyarakat nelayan di daerah pencemaran pesisir? 1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui strategi bertahan hidup yang dilakukan masyarakat nelayan, 2) Mengetahui hubungan antara karakteristik nelayan dengan strategi hidup rumahtangga nelayan 3) Mengetahui stratifikasi sosial yang terjadi sebelum dan sesudah terjadi pencemaran. 4) Mengetahui mobilitas sosial yang terjadi dalam masyarakat nelayan di daerah pencemaran pesisir,
1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para peminat ilmu
sosial mengenai masyarakat pesisir di daerah pencemaran pesisir. Sementara bagi peneliti diharapkan dapat berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam melihat fenomena pencemaran pesisir yang terjadi dan mengaitkannya dengan teori yang telah diperoleh. Penelitian ini diharapkan pula dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan tambahan dalam mata kuliah ekologi manusia dan politik sumberdaya alam. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
6
evaluasi dan pertimbangan bagi pembuat kebijakan untuk lebih arif dalam pengendalian pencemaran pesisir dan kesejahteraan masyarakat nelayan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pencemaran Pesisir dan Laut Miller dalam Mukhtasor (2007) mendefinisikan pencemaran sebagai proses
penambahan sebarang zat pada udara, air dan tanah, atau makanan yang dapat membahayakan kesehatan, ketahanan, atau kegiatan manusia atau organisme hidup lainnya. Sementara, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mendefinisikan pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Lebih
spesifik, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah Ke Laut, mendefinisikan pencemaran laut sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Sementara Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH, 1991) menyatakankan pencemaran laut adalah masuknya zat atau energi, secara langsung maupun tidak langsung, oleh kegiatan manusia ke dalam lingkungan laut termasuk daerah pesisir pantai, sehingga dapat menimbulkan akibat yang merugikan baik terhadap sumberdaya alam hayati, kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut, termasuk perikanan dan penggunaan lain-lain yang dapat menyebabkan penurunan tingkat kualitas air laut serta menurunkan kualitas tempat tinggal dan rekreasi. Definisi pencemaran laut tersebut sejalan dengan pengertian dalam United Nations Environmental Programs yang mengartikan pencemaran laut adalah dimasukannya substansi atau energi ke dalam lingkungan laut oleh manusia secara langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan terjadinya pengaruh yang merugikan seperti merusak sumberdaya hidup, bahaya pada kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan kelautan diantaranya
8
perikanan, rusaknya kualitas air, dan pengurangan pada keindahan dan kenyamanan. Pencemaran laut juga dapat didefinisikan sebagai dampak negatif (pengaruh yang membahayakan) bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem laut, serta kesehatan manusia, dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut, baik disebabkan secara langsung mau\pun tidak langsung oleh pembuangan bahanbahan atau limbah ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia (Dahuri, 2003). Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat ditarik suatu benang merah bahwa pencemaran pesisir merupakan dampak negatif dari zat atau energi yang masuk baik secara langsung maupun tidak langsung pada lingkungan laut, yang berakibat pada turunnya kualitas (degradasi) lingkungan dan masyarakat yang hidup dari lingkungan tersebut.
2.1.1. Sumber Pencemaran Samawi (2007) menyebutkan sekitar 80% bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land base activity). Bahan-bahan pencemar berasal dari kegiatan seperti rumahtangga, industri, aktivitas pelabuhan dan lain-lain yang akhirnya menimbulkan dampak negatif kepada perairan pantai. Secara garis besar sumber pencemaran perairan pantai kota berasal dari industri, limbah cair pemukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban stomwater), aktivitas pelabuhan, tempat pendaratan ikan (TPI), padatan, unsur hara, pestisida, logam beracun, organisme eksotik dan pathogen, plastik, bahan organik. Bahan pencemar yang masuk ke lingkungan laut dapat digolongkan menjadi bahan pencemar yang bersumber dari darat (Land Based Pollution) dan bersumber dari laut (Marine Based Pollution). Eiswerth dalam Samawi (2007) menjelaskan bahwa pencemaran laut yang disebabkan oleh kegiatan di darat dapat digolongkan menjadi empat kategori sebagai berikut: a. Pencemaran yang disebabkan oleh limbah industri Kegiatan industri yang dilakukan oleh manusia di daratan bermacammacam, namun yang dinilai paling potensial menimbulkan pencemaran
9
adalah industri pulp, industri kertas, industri pengolahan makanan atau minuman dan industri farmasi-kimia. b. Pencemaran yang disebabkan oleh sampah (limbah domestik) Limbah domestik yang terbawa oleh aliran air dari daratan atau yang sengaja dibuang ke perairan akan mengendap di dasar perairan, dan selanjutnya akan mengalami pembusukan dan terurai. Apabila jumlah sampah yang masuk ke perairan melampaui batas kemampuan lingkungan atau kapasitas asimilasi perairan untuk diasimilasikannya, maka timbul pencemaran. c. Pencemaran yang disebabkan oleh sedimentasi Kegiatan manusia di daratan yang menimbulkan erosi akan menyebabkan meningkatnya proses sedimentasi khususnya di daerah pantai. d. Pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan pertanian Kegiatan pemupukan (di sawah atau kolam ikan) yang mengandung unsur nitrogen dan fosfor (pupuk ZA, TSP) akan menyebabkan penyuburan perairan dan tumbuhnya gulma air termasuk fitoplankton, sehingga terjadi proses pembusukkan dan pengendapan yang dapat menimbulkan bau menyengat dan berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air.
2.2.
Dampak Pencemaran Pesisir dan Laut Pencemaran pesisir dan laut menyebabkan degradasi lingkungan atau
menurunnya kualitas lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan kepada masyarakat yang hidup dan bergantung pada sumberdaya pesisir. 1) Dampak Ekologis Dampak yang sangat terlihat dari pencemaran pesisir adalah dampak lingkungan atau ekologis yang terjadi di daerah pesisir dan laut. Dampak ekologis ini menimbulkan perubahan pada kualitas lingkungan di sekitar
10
pesisir dan lain. Dampak lingkungan yang terjadi antara lain seperti terjadinya5: a.
Eutrofikasi, yakni pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Eutrofikasi telah dikenal sebagai penyebab utama penyebab utama kerusakan karang yang tumbuh di daerah pesisir yang dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
b.
Sedimentasi akibat perubahan lahan untuk membangun fasilitasfasilitas perumahan atau industri yang akhirnya sampai di laut. Sedimen yang sampai di laut akan menyebabkan kerusakan karang melalui penutupan secara langsung dan mengurangi kemampuan karang untuk bereproduksi,
c.
Akresi dan abrasi6. Abrasi adalah berkurangnya daratan dan akresi adalah pertambahan daratan. Adanya pasokan sediment yang besar dari daratan menyebabkan sebagian besar pantai mengalami akresi. Di pihak lain, adanya pola arus tertentu yang selalu bergerak sepanjang tahun menyebabkan beberapa bagian pantai mengalami abrasi. Abrasi dan akresi tidak hanya dipicu oleh alam tetapi juga disebabkan oleh eksploitasi langsung baik yang berupa penambangan batu karang maupun pasir.
d.
Menumpuknya sampah padat dan logam berat.
2) Dampak Ekonomi Pencemaran pesisir dan laut yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
(limbah
industri/domestik)
menyebabkan
penurunan
jumlah
sumberdaya yang terkandung di wilayah pesisir. Berkurangnya jumlah tangkapan ikan merupakan salah satu akibat pencemaran pesisir, terlebih apabila limbah yang dibuang ke sungai/laut mengandung bahan kimia berbahaya. Hal ini mengakibatkan hilangnya mata pencaharian nelayan 5
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/060720_penctlkjkt_cu/ (diakses tanggal 10 Januari 2010) 6 http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/30/kot10.htm, (diakses tanggal 25 Januari 2010)
11
yang secara langsung akan menurunkan tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang akses terhadap sumberdaya. 3) Dampak Sosial Menurunnya kesejahteraan ekonomi akan berdampak pada aspek kehidupan yang lain, termasuk pendidikan. Contohnya orang tua yang tidak lagi memiliki sumber mata pencaharian (livelihood) tidak mampu lagi membiayai sekolah anaknya sehingga terpaksa harus putus sekolah. Sementara dalam aspek kesehatan, pencemaran pesisir yang mengandung limbah
berbahaya
akan
mengancam
kesehatan
masyarakat
yang
mengakses sumberdaya tersebut. Tingkat pendidikan dan kesehatan sebagai salah satu tolok ukur kesejahteraan sosial, akan menurun seiring semakin menurunnya kesejahteraan ekonomi masyarakat akibat degradasi sumberdaya pesisir.
2.2.1. Pencemaran Teluk Jakarta dan Dampaknya Hariyadi et al (2004) menyebutkan bahwa pencemaran di Teluk Jakarta telah menjadi isu sejak lama. Terdapat informasi bahwa di perairan Teluk Jakarta sejak tahun 1974 sering terjadi ledakan populasi alga yang disebut red tide. Di Indonesia ada sekitar 20 jenis alga (fitoplankton) yang dapat menyebabkan ikan mati, sementara di Teluk Jakarta sendiri terdapat 17 jenis yang tergolong beracun dan akan meledak (blooming) bila terjadi pengayaan nutrien di perairan. Nutrien itu berupa fosfat yang berasal dari limbah seperti deterjen dan organik yang dihanyutkan air sungai ke laut (Hariyadi et al, 2004). Telah dilakukan pemantauan kualitas air oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) DKI Jakarta bekerjasama dengan Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) Jakarta pada 23 titik pengamatan di perairan Teluk Jakarta. Berdasarkan data terlihat kondisi perairan yang tergolong berkualitas buruk tersebut terutama disebabkan oleh tingginya nilai beberapa parameter seperti nitrit, fenol, logam-logam berat Cu, Ni, Pb, Zn dan bakteri coliform yang melebihi baku mutu. Anggraeni (2002) juga menyebutkan bahwa dari
beberapa
pengamatan
menunjukkan
tingginya
kandungan
padatan
12
tersuspensi, deterjen dan amonia serta kadar oksigen terlarut yang rendah di muara-muara sungai. Berita berjudul “Teluk Jakarta tercemar, nelayan tak bisa melaut” pada Harian Kompas edisi Rabu, 8 Agustus 2001, disebabkan oleh tercemarnya air laut Teluk Jakarta oleh limbah kimia, yang diduga dibuang oleh pabrik-pabrik pengawetan kayu di sekitar Marunda dan Kali Baru, sehingga air berwarna merah kecoklatan yang menyebabkan ikan, kepiting, udang bahkan kerang hijau mati. Sementara Harian Suara Pembaharuan edisi 28 Juli 2002 memuat tulisan berjudul “Pencemaran di Teluk Jakarta memprihatinkan” yang berisi pernyataan peneliti LON LIPI tentang tingginya kandungan logam berat Pb dalam kerang hijau dan sedimen serta tingginya limbah domestik yang dibuang ke perairan. Harian Tempo edisi 27 Mei 2004 memberitakan pernyataan pemerintah melalui konferensi pers tanggal 21 Mei 2004 bahwa penyebab terjadinya kematian massal ikan di Teluk Jakarta adalah akibat blooming dari fitoplankton sehingga terjadi penurunan oksigen yang menyebabkan ikan-ikan mati kekurangan oksigen. Dalam tulisan yang sama juga disajikan hasil pengamatan Tim PKSPL-IPB menunjukkan hasil yang berbeda. Menurut kajian TIM PKSPL-IPB tidak terlihat adanya indikasi blooming fitoplankton pada saat kematian massal ikan terjadi. Harian Republika edisi 25 Mei 2004 juga menurunkan berita berjudul “Dampak Pencemaran Teluk Jakarta” antara lain berisi tingkat kandungan pestisida yang mencapai rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT (melebihi ambang batas yang diperbolehkan sebesar 0,5 ppb). Sementara salah satu berita harian Kompas edisi 4 Juni 2004 adalah mengenai ribuan meter kubik sampah dibuang ke laut. Mengutip pendapat Asisten Deputi Ekosistem Pesisir Laut KLH, disebutkan bahwa sekitar 1500 m3 sampah Jakarta per hari masuk ke Teluk Jakarta melalui sungai. Juga disebutkan bahwa 80% pencemaran laut bersumber dari limbah domestik, hanya 20% yang bersumber dari industri. Sementara itu hasil penelitian BPLHD (biro lingkungan hidup daerah) Jakarta juga menunjukkan bahwa kualitas air Teluk Jakarta sangat dipengaruhi oleh 13 sungai yang bermuara di pesisir Teluk Jakarta. Salah satu berita yang diturunkan Harian Kompas edisi 20 Juli 2004 bertajuk “Industri Pencemar Utama di Teluk Jakarta” yang didasarkan atas hasil
13
penelitian Indo Repro-Indonesia. Sumber pencemar dari industri antara lain adalah logam berat, POP (Persistent Organic Pollutant) dan hidrokarbon (minyak). Disebutkan pula bahwa sejak tahun 1987, Teluk Jakarta telah tercemar limbah dari sekitar 800 industri yang berada di pinggir pantai, hanya 10 persen yang memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Salah satu berita harian Kompas edisi 8 September 2004 berjudul “Deformasi Kerang Hijau” disebutkan adanya hasil penelitian Sudaryanto dan koleganya dari Ehime University, Jepang, tentang kandungan tributiltin (TBT) yang tinggi pada daging kerang yang dikumpulkan dari Muara Kamal, Cilincing dan Ancol, masing-masing dengan kadar 13,38 dan 37 ng/g daging kering. Sementara beberapa peneliti dari LON LIPI menemukan kandungan TBT di kolom air laut sebesar 2-15 ng/l, dan dalam sedimen sebesar 119-506 ng/l. Data tersebut menunjukkan kandungan TBT di Teluk Jakarta yang sudah sangat tinggi karena baku mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah Amerika terhadap kandungan TBT di dalam jaringan tubuh biota laut tidak boleh lebih dari 10 ng/g daging kering. Pencemaran pesisir dapat berasal dari limbah industri maupun sampah rumahtangga yang masuk ke laut dan menyebabkan degradasi lingkungan pesisir dan laut dan berpengaruh pada lingkungan biotik maupun abiotik masyarakat di sekitarnya. Darimanapun asalnya pencemaran, bahan-bahan itu berdampak negatif terhadap biota perairan yang tercemar dan lingkungannya. Dengan laut yang tercemar, maka nelayan tidak dapat melaut sehingga rantai produksi tata niaga hasil perairan dan perikanan terputus. Nelayan tidak mendapatkan pendapatan dan konsumen tidak mendapatkan ikan. Ikan atau hasil perairan lainnya yang ditemukan dari perairan tercemar tidak lagi dapat dimanfaatkan atau dikonsumsi. Keadaan ini akan sangat merugikan dan juga akan berdampak pada masyarakat di wilayah pesisir. Keadaan ini menyebabkan pelaku-pelaku ekonomi dalam kegiatan perikanan yaitu nelayan penjual ikan, pengusaha budidaya kerang dan karamba menjadi gundah (Hariyadi, et al, 2004). Dampak terbesar akibat degradasi lingkungan akan dirasakan oleh nelayan yang sudah miskin akibat musim yang semakin tidak menentu, dan diperparah oleh pencemaran pesisir yang menyebabkan menurunnya hasil dan jumlah tangkapan ikan.
14
2.3.
Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Secara geografis, kawasan pesisir terletak pada wilayah transisi antara darat
dan laut. Sebagian besar masyarakat yang hidup di wilayah tersebut disebut sebagai masyarakat nelayan. Dalam konteks ini, masyarakat nelayan didefinisikan sebagai kesatuan sosial kolektif sosial masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dengan mata pencahariannya menangkap ikan di laut, yang pola-pola perilakunya diikat oleh sistem nilai budaya yang berlaku, memiliki identitas bersama dan batas-batas kesatuan sosial, struktur sosial yang mantap, dan masyarakat terbentuk karena sejarah sosial yang sama. Sebagai sebuah entitas sosial, masyarakat nelayan memiliki sistem budaya yang tersendiri dan berbeda dengan masyarakat lain yang yang hidup di daerah pegunungan, lembah atau dataran rendah, dan perkotaan (Kusnadi, 2009). Satria (2002) mendefinisikan bahwa secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris seiring perbedaan karakteristik sumberdaya yang dihadapi. Nelayan menghadapi sumberdaya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumberdaya ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal sehingga memiliki elemen resiko yang tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko inilah yang menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter yang keras, tegas dan terbuka. Lebih lanjut Kusnadi (2009) mendefinisikan kebudayaan nelayan sebagai sistem gagasan atau sistem kognitif masyarakat nelayan yang dijadikan referensi kelakuan sosial budaya oleh individu-individu dalam interaksi bermasyarakat. Kebudayaan ini terbentuk melalui proses sosio-historis yang panjang dan kristalisasi dari interaksi yang intensif antara masyarakat dan lingkungannya. Kondisi-kondisi lingkungan atau struktur sumberdaya alam, mata pencaharian, dan sejarah sosial-etnisitas akan mempengaruhi karakteristik kebudayaan masyarakat nelayan. Dalam perspektif antropologis, eksistensi kebudayaan nelayan tersebut adalah sempurna dan fungsional bagi kehidupan masyarakatnya. Dalam perspektif stratifikasi sosial-ekonomi, masyarakat pesisir bukanlah masyarakat yang homogen. Masyarakat pesisir terbentuk oleh kelompok-
15
kelompok sosial yang beragam. Dilihat dari aspek interaksi masyarakat dengan sumberdaya ekonomi yang tersedia di kawasan pesisir, masyarakat pesisir terkelompok sebagai berikut: 1) Pemanfaatan langsung sumberdaya lingkungan, seperti nelayan (yang pokok), pembudidaya ikan di perairan pantai (dengan aring apung atau keramba), pembudi daya rumput laut/mutiara, dan petambak; 2) Pengolah hasil ikan atau hasil laut lainnya, seperti pemindang, pengering ikan, pengasap, pengusaha terasi/krupuk ikan/tepung ikan dan sebagainya; dan, 3) Penunjang kegiatan ekonomi perikanan, seperti pemilik toko atau warung, pemilik bengkel (montir dan las), pengusaha angkutan, tukang perahu, dan kuli kasar (manol).
2.4.
Sistem Patron Klien Struktur sosial dalam komunitas nelayan dicirikan oleh kuatnya ikatan
patron klien. Hubungan patron klien ini timbul sebagai konsekuensi dari sifat penangkapan ikan yang penuh resiko dan ketidakpastian (Satria, 2002), Koentjaraningrat (1990) dalam Satria (2002) melihat patron klien sebagai pola hubungan yang didasarkan pada asas timbal balik. Scott (1981) juga melihat sistem patron klien sebagai mekanisme pertukaran antara patron dan klien, dimana patron memberikan penghidupan subsisten dasar, memberikan jaminan krisis subsisten berupa pinjaman saat klien menghadapi kesulitan ekonomi, memberikan perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi dan ancaman umum, memberikan jasa kolektif seperti mendukung festival serta perayaan desa, sedangkan kliennya membalasnya dengan memberikan kesetiaan untuk bekerja pada patron. Dengan pola tersebut, maka klien akan terus memiliki keterikatan dengan patron. Bagi klien sendiri, pemberian bantuan tersebut dianggap sebagai taktik patron untuk mengikat kliennya sehingga bisnisnya terus berjalan (Satria, 2002). Kusnadi (2003) menyebutkan bahwa pola patron klien ini terjelma dalam
16
dua kelembagaan strategis komunitas nelayan, yaitu kelembagaan penangkapan ikan dan kelembagaan pemasaran.
2.5.
Klasifikasi Nelayan Satria (2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan kapasitas teknologi,
orientasi pasar, serta karakteristik hubungan pribadi dalam empat tingkatan, yaitu peasant fisher, post peasant, commercial fisher, dan industrial fisher. a. Peasant fisher merupakan nelayan yang masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri, peasant fisher dicirikan oleh teknologi sederhana, ukuran perahu kecil, daya jelajah dan daya muat terbatas, besaran modal usaha terbatas, jumlah anggota penangkapan kecil, pembagian kerja kolektif serta mengutamakan nlai-nilai kekeluargaan dan kekerabatan. b. Post peasant merupakan nelayan yang ‘lahir’ setelah terjadi modernisasi perikanan. Nelayan post peasant dicirikan dari penggunaan teknologi tangkap
yang
lebih
maju,
berorientasi
pasar,
serta
tidak
lagi
menggantungkan produksi pada tenaga kerja keluarga. c. Commercial fisher merupakan nelayan yang berorientasi pada peningkatan keuntungan. Commercial fisher dicirikan oleh banyaknya jumlah tenaga kerja yang digunakan, diferensiasi status awak kapal yang berbeda-beda karena
teknologi
penangkapan
membutuhkan
spesialisasi
dalam
pengoperasiannya. d. Industrial fisher mengorganisir produksinya yang padat modal dengan manajemen yang mirip dengan perusahaan agroindustri. Pendapatan yang dihasilkan jauh lebih tinggi karena produk yang dihasilkan adalah ikan kaleng dan ikan beku untuk ekspor Sementara Kusnadi (2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan (1) penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap, (2) investasi modal usaha serta (3) teknologi peralatan tangkap. Berdasarkan penguasaan alat produksi nelayan dibagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan kuli, berdasarkan investasi modal
17
usaha, nelayan dibagi menjadi nelayan besar dan nelayan kecil, sementara berdasarkan teknologi peralatan tangkap, nelayan dibagi menjadi nelayan modern dan tradisional.
2.6.
Stratifikasi Masyarakat Nelayan Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat (Sorokin dalam Soekanto, 1994). Basis pembedaan kelas menurut Sorokin adalah hak dan privilege (rights and privilege), kewajiban dan tanggung jawab (duties and responsibiliy), nilai sosial dan privasi (social values and privations), serta kekuasaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat (social power and influences among the members of a society), Sorokin (1962) dalam Satria (2002) membagi bentuk stratifikasi menjadi tiga, yaitu: 1. Stratifikasi berdasar ekonomi (economically stratified), yaitu jika dalam suatu masyarakat terdapat perbedaan atau ketidaksetaraan status ekonomi, 2. Stratifikasi berdasar politik (politically stratified), yaitu jika terdapat rangking sosial berdasarkan otoritas, prestise, kehormatan dan gelar, atau jika ada pihak yang mengatur (the rulers) dan yang diatur (the ruled), 3. Stratifikasi berdasarkan pekerjaan (occupationally stratified), yaitu jika masyarakat terdiferensiasi kedalam berbagai pekerjaan, dan berbagai pekerjaan itu lebih tinggi statusnya dibandingkan pekerjaan lain. Zanden (1990) dalam Satria (2002) menyebutkan setidaknya terdapat tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk mempelajari stratifikasi sosial, yaitu: a. Pendekatan obyektif, yaitu menggunakan ukuran obyektif berupa variabel yang mudah diukur secara statistik, b. Pendekatan subyektif (self-placement), kelas dilihat sebagai kategori sosial dan disusun dengan meminta par responden survei untuk menilai status sendiri dengan jalam menempatkan diri pada skala kelas tertentu, c. Pendekatan reputasional, subyek penelitian diminta untuk menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain itu pada skala tertentu.
18
2.7.
Mobilitas Sosial Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok
orang dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain. Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang dalam mobilitas sosialnya, sementara mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, mobilitas sosial vertikal dapat dibagi menjadi dua, mobilitas vertikal ke atas (social climbing) dan mobilitas sosial vertikal ke bawah (social sinking). Sumber mata pencaharian nelayan yang berubah akibat adanya pencemaran merupakan indikator masyarakat nelayan melakukan mobilitas sosial vertikal atau horizontal.
2.8.
Strategi Hidup Masyarakat Nelayan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), strategi adalah rencana
yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Strategi adalah suatu tindakan yang digunakan untuk mengatasi masalah dengan cara menetapkan pilihan dari beberapa alternatif tindakan yang tersedia (Ependi, 2004). Masyarakat nelayan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya melakukan berbagai bentuk strategi. Menurut Crow (1989) dalam Dharmawan (2001), pengertian dari strategi adalah seperangkat pilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Konsep strategi ini merupakan bagian dari teori pilihan rasional dengan memperlhatikan unsur untung rugi yang akan diperoleh. Crow (1989) dalam Dharmawan (2001) menyebutan terdapat beberapa aspek strategi yaitu: 1) Adanya pilihan sehingga dapat memilih diantara beberapa alternatif yang ada, 2) Adanya kemampuan untuk melatih kekuatan karena seseorang yang memiliki lebih banyak kontrol akan lebih memiliki kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
19
3) Pemilihan strategi yang baik dapat mengeliminir ketidakpastian, 4) Strategi merupakan respon terhadap tekanan karena situasi ekonomi. Semakin kompleks tekanan yang dihadapi, strategi yang disusun semakin terperinci, 5) Adanya sumberdaya dan pengetahuan untuk menyusun dan melakukan beragam strategi, 6) Strategi biasanya merupakan keluaran dari konflik dan proses yang terjadi dalam rumahtangga. Dalam penerapan suatu strategi, rumahtangga nelayan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimilikinya. Scoones (1998) menyebutkan bahwa terdapat berbagai strategi yang dapat dimanfaatkan masyarakat dalam upaya untuk dapat bertahan dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimilikinya yaitu: a. Rekayasa sumberdaya nafkah yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor produksi secara lebih efektif dan efisien, baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (ekstensifikasi) maupun dengan memperluas lahan produksi (intensifikasi), b. Pola nafkah ganda yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi pekerjaan), c. Rekayasa spasial merupakan usaha yang dilakukan dengan cara melakukan mobilisasi baik secara permanen maupun secara sirkuler. Selain strategi di bidang ekonomi (produksi), rumahtangga nelayan juga menerapkan strategi non-produksi yang melibatkan nilai-nilai tradisional yaitu strategi berbasiskan modal sosial. Menurut Dharmawan (2002), dalam konsep modal sosial terdapat tiga esensi atau pilar penting yang mendukung stok modal sosial yaitu kepercayaan (trust) yang dibangun melalui kepercayaan antar individu dalam jangka waktu yang lama dan melalui proses sosial yang rumit, jaringan sosial (social networking), dan norma-norma sosial (shared norms). Stok modal
20
sosial inilah yang dapat membantu nelayan untuk menghadapi tekanan dengan mendorong terjadinya kerjasama dalam hubungan antara anggota komunitas. Dharmawan (2001) dalam Lestari (2005) menyebutkan terdapat dua macam strategi yang dikembangkan oleh rumahtangga peasant terkait dengan fase-fase kehidupannya, yaitu strategi yang dikembangkan saat kehidupan berada dalam keadaan normal dan strategi yang dikembangkan saat kehidupan berada dalam keadaan krisis. Secara khusus strategi nafkah rumahtangga miskin dapat dikelompokkan pada dua macam strategi, yaitu strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi merupakan strategi yang didasarkan pada penggunaan struktur alokasi tenaga kerja dalam rumahtangga, sedangkan strategi sosial merupakan strategi yang didasarkan pada penggunaan lembaga tradisional dan jejaring sosial yang ada di sekitar rumahtangga miskin (Widodo, 2009). Menurut Dharmawan (1993), terdapat tiga tahapan capaian status nafkah yang dijalankan oleh rumahtangga petani berdasarkan lapisan sosialnya, yaitu: 1) Strategi keamanan dan stabilitas (srategi bertahan hidup) adalah strategi minimal yang dilakukan seseorang untuk mempertahankan hidup. Strategi ini dilakukan dengan berbagai cara oleh berbagai lapisan (atas, menengah, bawah) untuk dapat bertahan hidup. Artinya semua hasil yang diperoleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal kebutuhan subsisten pangan. 2) Strategi konsolidasi adalah strategi yang berisi aksi-aksi tindakan seseorang yang telah melewati tingkat keamanan dari sekedar bertahan hidup. Strategi ini digunakan sebagai langkah untuk memantapkan posisi rumahtangga secara lebih aman dalam jaminan nafkah bila dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan subsisten. Strategi konsolidasi dilakukan dengan memiliki pekerjaan sampingan terutama pada bidang nonpertanian untuk menghasilkan pendapatan tambahan. 3) Strategi akumulasi yaitu tindakan yang diterapkan oleh seseorang yang telah melewati dua tahap dibawahnya. Strategi ini biasanya diterapkan oleh seseorang yang telah melewati dua tahap dibawahnya. Strategi akumulasi
merupakan
bentuk
strategi
yang
dijalankan
dengan
21
mengumpulkan berbagai aset/kekayaan untuk tujuan tertentu misalnya memberi jaminan hidup generasi berikutnya. Komunitas nelayan Kampung Bambu sebagai responden penelitian tergolong dalam nelayan miskin yang hanya mampu mengusahakan perpanjangan distribusi pendapatan untuk memenuhi kebutuhan subsisten, sehngga masyarakat nelayan dalam komunitas tersebut cenderung hanya mampu melakukan strategi keamanan dan stabilitas (bertahan hidup). Hidayati (2000) mengemukakan bahwa disamping melakukan kegiatan yang dapat merusak SDL, masyarakat pesisir mengupayakan berbagai strategi untuk dapat bertahan hidup. Strategi bertahan hidup masyarakat pesisir antara lain: 1) Meminjam bantuan pada ‘bos’ 2) Mobilitas dan diversifikasi kerja dalam rumahtangga 3) Strategi lainnya: berhutang, menjual dan menggadaikan barang
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
3.1.
Kerangka Pemikiran Penelitian Pencemaran pesisir merupakan dampak negatif dari zat atau energi yang
masuk baik secara langsung maupun tidak langsung pada lingkungan laut, yang berakibat pada turunnya kualitas (degradasi) lingkungan dan masyarakat yang hidup dari lingkungan tersebut. Masyarakat nelayan menghadapi sumberdaya laut yang bersifat open access, sehingga laut berpotensi menampung aneka rupa sampah dan racun tanpa mampu dibendung dan diprediksi sebelumnya. Pencemaran pesisir menyebabkan degradasi lingkungan dan kualitas kehidupan masyarakat nelayan. Dampak dari pencemaran pesisir dapat dibagi menjadi dampak ekologis atau lingkungan, dampak sosial yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat, serta dampak ekonomi yang berkaitan dengan mata pencaharian nelayan. Nelayan yang hidup di daerah pesisir diasumsikan melakukan strategi untuk bertahan hidup, diantaranya adalah (1) sistem patronklien, (2) mobilitas kerja, dan (3) diversifikasi kerja (Hidayati, 2000). Strategi bertahan hidup inilah yang diasumsikan akan menyebabkan mobilitas sosial masyarakat nelayan setelah terjadi pencemaran pesisir. Penelitian ini juga akan menganalisis karakteristik yang berhubungan dengan strategi bertahan hidup masyarakat nelayan. Gambar 1 menjelaskan tentang alur berpikir penelitian ini, diasumsikan bahwa karakteristik nelayan berupa usia, tingkat pendidikan dan besar keluarga memiliki hubungan dengan strategi bertahan hidup nelayan. Sementara pencemaran pesisir diasumsikan menyebabkan nelayan melakukan strategi bertahan hidup, yang kemudian diasumsikan membuat nelayan melakukan mobilitas sosial dan turut merubah stratifikasi sosial nelayan sebelum dan sesudah terjadi pencemaran.
23
Pencemaran Pesisir
Dampak Pencemaran Pesisir • Dampak Ekologis • Dampak Sosial • Dampak Ekonomi
Strategi Hidup Karakteristik Nelayan Pendidikan, Usia Jumlah besar keluarga
Strategi berbasis modal sosial • Sistem patron klien • Jaringan Sosial
strategi ekonomi: diversfikasi kerja rumahtangga, pola nafkah ganda, mobilitas kerja, berhutang, kegiatan ilegal, strategi lainnya
Mobilitas Sosial Nelayan
Keterangan: Hubungan pengaruh Mempengaruhi secara tidak langsung Variabel yang diteliti
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Stratifikasi Masyarakat Nelayan Sebelum Terjadi Pencemaran
Setelah Terjadi Pencemaran
24
3.2.
Hipotesis Pengarah
1) Diduga terdapat hubungan antara karakteristik rumahtangga nelayan terhadap strategi rumahtangga nelayan, 2) Diduga strategi bertahan hidup nelayan di daerah pencemaran pesisir turut mempengaruhi terjadinya mobilitas sosial masyarakat nelayan, 3) Diduga mobilitas sosial yang terjadi akan berpengaruh pada stratifikasi masyarakat nelayan sebelum dan sesudah terjadinya pencemaran.
3.3.
Definisi Konseptual
1. Pencemaran pesisir adalah proses masuknya zat atau energi, secara langsung maupun tidak langsung, oleh kegiatan manusia ke dalam lingkungan
laut
termasuk
daerah
pesisir
pantai,
sehingga
dapat
menimbulkan akibat yang merugikan baik terhadap sumberdaya alam hayati, kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut, termasuk perikanan dan penggunaan lain-lain yang dapat menyebabkan penurunan tingkat kualitas air laut serta menurunkan kualitas tempat tinggal dan rekreasi. 2. Dampak pencemaran pesisir adalah akibat yang ditimbulkan pencemaran pesisir kepada masyarakat yang hidup dan bergantung pada sumberdaya pesisir. 3. Dampak ekologis pencemaran pesisir adalah akibat yang ditimbulkan pencemaran pesisir terhadap lingkungan, yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. 4. Dampak sosial pencemaran pesisir adalah akibat yang ditimbulkan pencemaran pesisir terhadap kondisi kesejahteraan masyarakat yang hidup dan bergantung pada sumberdaya pesisir. 5. Dampak ekonomi pencemaran pesisir adalah akibat yang ditimbulkan pencemaran pesisir terhadap mata pencaharian masyarakat yang hidup dan bergantung pada sumberdaya pesisir.
25
6. Stratifikasi masyarakat nelayan adalah pelapisan masyarakat nelayan ke dalam kelas-kelas secara bertingkat berdasarkan status sosialnya. 7. Mobilitas sosial nelayan adalah perpindahan posisi nelayan dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain.
3.4.
Definisi Operasional
1) Usia responden adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian dilaksanakan. Havighurst dan Acherman, dkk (dalam Sugiah, 2008) membagi usia responden menjadi tiga yaitu: a. Muda (18-30 tahun), b. Dewasa (31-50 tahun), c. Tua (>50 tahun). 2) Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, dibedakan ke dalam kategori: a. Rendah jika tidak Sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD/sederajat b. Sedang jika tidak tamat SMP/sederajat c. Tinggi jika Tamat SMA/sederajat 3) Jumlah anggota keluarga responden adalah banyaknya anggota keluarga baik inti maupun tidak yang hidup dalam satu atap, dibedakan menjadi a. Kecil, jika anggota keluarga berjumlah 1-4 orang b. Menengah, jika anggota keluarga berjumlah 5-6 orang c. Besar, jika anggota keluarga lebih dari 7 orang 4) Strategi sosial dilihat dari ketergantungan pada sistem patron klien dan jaringan sosial yang diukur berdasarkan: a. Intensitas meminjam pada patron pada saat tidak melaut adalah frekuensi nelayan meminjam modal kepada patron selama masa baratan. Responden diberikan empat pilihan jawaban yaitu ‘tidak setuju’, ‘netral’, ‘setuju’ dan ‘sangat setuju,’ kemudian total jawaban responden dikategorikan ke dalam rendah jika skor
26
jawaban responden berada diantara 5-12, dan dikategorikan tinggi jika skor jawaban responden berada diantara 13-20. b. Interaksi dengan patron secara umum adalah penilaian nelayan terhadap kualitas hubungan dan komunikasi dengan patron. Responden diberikan empat pilihan jawaban yaitu ‘tidak setuju’, ‘netral’, ‘setuju’ dan ‘sangat setuju,’ kemudian total jawaban responden dikategorikan ke dalam tidak puas jika skor jawaban responden berada diantara 5-12, dan dikategorikan puas jika skor jawaban responden berada diantara 13-20. c. Jaringan sosial yang dimiliki nelayan adalah kualitas hubungan nelayan
dalam
kelembagaan-kelembagaan
sosial
yang
dimanfaatkan oleh nelayan dalam strategi bertahan hidup. Responden diberikan empat pilihan jawaban yaitu ‘tidak setuju’, ‘netral’, ‘setuju’ dan ‘sangat setuju,’ kemudian total jawaban responden dikategorikan ke dalam rendah jika skor jawaban responden berada diantara 10-25, dan dikategorikan tinggi jika skor jawaban responden berada diantara 26-40. 5) Strategi ekonomi dibagi menjadi diversifikasi kerja, pola nafkah ganda, mobilitas kerja, berhutang dan strategi lainnya. a. Diversifikasi Kerja adalah pembagian kerja diantara anggota keluarga nelayan (1 jika tidak ada, 2 jika ada). b. Pola Nafkah Ganda adalah kepala keluarga memiliki lebih dari satu pekerjaan utama (1 jika tidak ada, 2 jika ada). c. Mobilitas Kerja adalah pergantian pekerjaan saat nelayan mengalami musim baratan (1 jika tidak ada, 2 jika ada). d. Berhutang adalah kegiatan meminjam modal terhadap pihak lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (1 jika tidak, 2 jika ya). e. Kegiatan ilegal adalah kegiatan memperoleh barang dan jasa melalui tindakan yang melanggar aturan dan norma (1 jika tidak, 2 jika ya).
27
f. Strategi lainnya adalah kegiatan lain yang dilakukan nelayan selain dari yang disebutkan di atas (1 jika tidak ada, 2 jika ada).
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1.
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan metode kuantitatif.
Pendekatan kualitatif menggunakan metode wawancara mendalam dan alur sejarah untuk mengetahui strategi sosial-ekonomi masyarakat nelayan daerah pencemaran pesisir, stratifikasi sosial nelayan serta mobilitas sosial yang terdapat di dalamnya.
Pendekatan kuantitatif menggunakan instrumen kuesioner untuk menangkap data seputar karakteristik rumahtangga dan mencari hubungan antara karakteristik nelayan dengan strategi hidup rumahtangga nelayan. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus berarti memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti dengan menerapkan berbagai metode (Stake, 1994 : 236 dalam Sitorus, 1998 ). Pemilihan strategi tersebut terkait dengan tujuan penelitian ini yaitu eksplanatif, penelitian ini bertujuan menjelaskan penyebab-penyebab gejala sosial serta keterkaitan sebab akibat dengan gejala sosial lainnya (Sitorus, 1998). Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menelusuri lebih jauh perubahan sistem sosial ekonomi masyarakat nelayan, yaitu perubahan stratifikasi sosial dan sumber pendapatan setelah terjadi pencemaran, yang terlihat dalam mobilitas sosial nelayan. Penelitian ini dilakukan guna menerangkan berbagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat, dalam hal ini mengenai pencemaran pesisir dan dampaknya pada perubahan sistem sosial ekonomi masyarakat nelayan. Sementara pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual secara mendetail yang sedang
menggejala
dan
mengidentifikasi
masalah-masalah
atau
untuk
mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan (Wahyuni dan Mulyono, 2006). Pendekatan tersebut digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik nelayan dengan strategi hidup nelayan.
29
4.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Nelayan Bambu, RW 01, RT 13
Kelurahan Kali Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Penelitian dilakukan dengan fokus pada strategi masyarakat nelayan mempertahankan hidupnya di daerah pencemaran pesisir, serta sistem sosial-ekonomi masyarakat nelayan. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Cilincing merupakan salah satu wilayah pesisir yang memiliki tingkat pencemaran yang tinggi. Disamping itu, wilayah Jakarta Utara merupakan daerah industri yang pembuangan limbahnya diarahkan ke laut sehingga pemilihan lokasi penelitian dianggap sesuai dengan topik yang diangkat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan September 2010.
4.3.
Teknik Pemilihan Responden Populasi dari penelitian ini adalah rumahtangga nelayan miskin (bukan
pemilik ternak atau pemilik perahu) Kampung Bambu, yang termasuk ke dalam wilayah RW 01, Kelurahan Kali Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara yang bekerja sebagai nelayan. Populasi diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari data kelurahan. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan simple random sampling sebab hampir seluruh populasi di RW 01 bermata pencaharian sebagai nelayan. Banyaknya sampel yang digunakan dalam responden ini ditentukan berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut: n = __N__ 1+Ne²
Keterangan: n : jumlah sampel N : jumlah populasi e : nilai kritis (batas ketelitian) yang digunakan (10%)
30
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kelurahan Kali Baru, jumlah rumahtangga nelayan di Kampung Bambu adalah sebanyak 185 rumahtangga, sehingga apabila digunakan rumus Slovin, dengan nilai kritis 10 persen (0,1) jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 65 responden. Penentuan responden dilakukan dengan menggunakan tabel angka acak. Sementara, jumlah informan yang diambil tidak terbatas hingga data yang diperoleh dianggap jenuh. Pemilihan informan diketahui melalui teknik snowball sampling dan dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu memilih orang-orang yang dianggap mengetahui secara detail mengenai pencemaran pesisir, baik yang berasal dari aparat kelurahan, tokoh masyarakat nelayan, LSM dan lain-lain.
4.4.
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang diterapkan oleh peneliti adalah metode
triangulasi guna memperoleh kombinasi data yang akurat. Data kualitatif yang diperoleh berasal dari data primer, data sekunder, dan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam terhadap responden atau informan. Data deskriptif juga digunakan berupa katakata langsung atau tulisan dari responden dan informan. Penelitian mengenai analisis survival strategies masyarakat nelayan daerah pencemaran pesisir melalui beberapa tahap penyusunan. Terdapat pendekatan yang berbeda untuk meneliti fokus dalam penelitian ini. 1. Teknik Non-Survei, digunakan untuk menangkap data mengenai strategi sosial dan ekonomi rumahtangga nelayan, penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam dalam memahami strategi bertahan hidup nelayan serta teknik diskusi kelompok terarah untuk menangkap data stratifikasi sosial nelayan. 2. Teknik Survei, digunakan untuk menangkap data di tingkat responden berupa karakteristik individu responden serta memahami hubungannya dengan strategi hidup rumahtangga nelayan. Pendekatannya dilakukan
31
menggunakan wawancara survei dengan instrumen kuesioner yang memuat pernyataan terbuka dan tertutup. 3. Studi Literatur, digunakan untuk memberikan landasan pelaksanaan penelitian, khususnya dalam membangun teori berdasarkan penelitian sebelumnya yang relevan. Jenis data, metode pengumpulan serta sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis Data, Metode Pengumpulan dan Sumber Data No
Jenis Data
Metode Pengumpulan
Sumber Data
Wawancara Mendalam, Telaah Pustaka
Informan, Berbagai Laporan Penelitian
Pencemaran Pesisir 1.
Penyebab Pencemaran Pesisir
Dampak Pencemaran Pesisir 2.
Dampak Ekologis
Wawancara Mendalam, Telaah Pustaka
Informan, Berbagai Laporan Penelitian
3.
Dampak Sosial
Wawancara Mendalam, Telaah Pustaka
Informan, Berbagai Laporan Penelitian
4.
Dampak Ekonomi
Wawancara Mendalam, Telaah Pustaka
Informan, Berbagai Laporan Penelitian
Wawancara Survei
Responden
Karakteristik Nelayan 5.
Usia, Besar Keluarga, Tingkat Pendidikan
Bentuk Strategi Bertahan Hidup 6.
Strategi Sosial
Wawancara Mendalam, Wawancara Survei
Informan dan Responden
7.
Strategi Ekonomi
Wawancara Mendalam, Wawancara Survei
Informan dan Responden
Karakteristik Sosial Ekonomi Nelayan Setelah Pencemaran 8.
Mobilitas Sosial
Wawancara Mendalam
Informan dan Responden
9.
Stratifikasi Sosial
Wawancara Mendalam
Informan dan Responden
Pendekatan untuk pengumpulan data mengenai stratifikasi sosial masyarakat nelayan sebelum dan sesudah terjadi pencemaran dilakukan secara reputasional, artinya subjek penelitian diminta untuk menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain tersebut pada skala tertentu. Pendekatan reputasional ini
32
akan memperlihatkan penilaian subjek penelitian terhadap mata pencaharian nelayan, sehingga akan menjawab apakah terdapat perubahan lapisan sosial (mobilitas) pada pekerjaan sebagai nelayan setelah terjadi pencemaran, dalam peringkat prestise suatu struktur komunitas.
4.5.
Teknik Analisis Data Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknis
trianggulasi, dimana dilakukan uji keabsahan melalui uji silang terhadap materi untuk memastikan tidak ada informasi yang bertentangan, dengan informan penelitian. Proses trianggulasi dilaksanakan secara terus menerus sepanjang proses pengumpulan data dan analisis data, hingga tidak terdapat perbedaan informasi yang telah dihimpun sebelumnya dari informan atau sumber-sumber lain. Uji keabsahan melalui trianggulasi ini dilakukan karena dalam penelitian kualitatif, untuk menguji keabsahan informasi tidak dapat dilakukan dengan alat uji statistik (Bungin, 2006). Data kualitatif, baik primer maupun sekunder yang telah didapatkankan diolah dan dianalisis secara kualitatif mealui tahapantahapan: reduksi, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Sitorus, 1998). Analisis data kuantitatif dilakukan melalui proses pemeriksaan data yang terkumpul (editing), pemberian kode pada setiap data yang terkumpul di setiap instrumen (coding), menggolongkan data dan menyajikan data. Data kuantitatif yang dikumpulkan diolah dengan mengunakan program komputer SPSS 17 for Windows untuk menguji hubungan antar variabel yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk melihat fakta yang terjadi dengan menggunakan analisis crosstab chi-square, serta dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan hubungan antara karakteristik nelayan dan strategi hidup masyarakat nelayan.
BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN
5.1.
Keadaan Wilayah Pesisir Teluk Jakarta terletak di pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis
bujur 106°33’00” BT hingga 107°03’00” BT dan garis lintang 5°48’30”LS hingga 6°10’30” LS yang membentang dari Tanjung Kait di bagian Barat hingga Tanjung Karawang di bagian Timur dengan panjang pantai + 89 Km. Panjang garis yang menghubungkan kedua tanjung tersebut melalui Pulau Air Besar dan Pulau Damar adalah sekitar 21 mil laut. Secara administratif, perairan laut Jakarta berbatasan dengan Kabupaten Bekasi di sebelah timur dan Kabupaten Tangerang di sebelah barat. Pesisir Teluk Jakarta termasuk dalam wilayah administrasi Kota Jakarta Utara, yang merupakan bagian wilayah dari lima kecamatan, yaitu Kecamatan Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Cilincing dan Koja yang berbatasan dengan pantai Teluk Jakarta. Kelurahan Kali Baru merupakan bagian atau salah satu kelurahan dalam wilayah Kecamatan Cilincing. Luas wilayah Kelurahan Kali Baru berdasarkan data Bapeda DKI Jakarta tahun 2006 adalah 2,47 Km². Kondisi demografis Kelurahan Kali Baru dapat dilihat dari status/peruntukan pertanahan, yaitu tanah sertifikat sebesar 13,50 Ha dan tanah Negara sebesar 233,20 Ha. Kondisi geografis Kelurahan Kali Baru berdasarkan laporan bulanan Kelurahan Kali Baru bulan Mei 2010 terlihat dari batas-batas wilayah Kelurahan Kali Baru yaitu, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan jalan raya Cilincing, kali Banglio (kelurahan Lagoa Kecamatan Koja, Kelurahan Semper Barat, Kelurahan Semper Timur dan Kelurahan Cilincing). Sementara di sebelah timur berbatasan dengan Jalan Baru dan Jalan Rekreasi Kelurahan Cilincing, dan sebelah barat berbatasan dengan jembatan/kali Kresek, Kelurahan Koja, Kecamatan Koja. Kampung Bambu terletak di RW 1 Kelurahan Kali Baru, meskipun demikian penduduk yang tinggal di Kampung Bambu sebagian besar adalah
34
warga RW 12. Awalnya, Kampung Bambu merupakan tanah kosong milik negara seluas kurang lebih lima hektar. Ketika terjadi abrasi ombak tahun 2006 yang mengahancurkan rumah warga, karena tidak ada solusi segera dari pemerintah, maka dibangunlah rumah-rumah dari bambu dan bilik oleh warga setempat di tanah kosong tersebut. Keadaan fisik rumah warga di kawasan Kampung Bambu sangat sederhana, batang-batang bambu sebagai pancang rumah, dengan beralaskan kulit kerang yang sudah hancur dan bilik bambu sebagai dindingnya. Kebanyakan rumah warga di Kampung Bambu tidak memiliki meteran listrik, mereka menyambung kabel ke tetangga dan dikenakan bayaran per bulan sebesar 30.000 rupiah. Begitupula dengan air bersih, warga biasanya membeli air atau nyelang drum utama, seharga 4.000 rupiah per 10-15 liter.
5.2.
Karakteristik Responden Karakteristik individu (dalam penelitian ini responden adalah nelayan)
adalah sifat-sifat yang melekat dan dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan hidup. Karakteristik yang diamati pada penelitian ini meliputi usia, pendidikan, besar keluarga, dan pekerjaan. Jumlah dan presentasi responden pada penelitian ini tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia Usia Usia muda (18-30) Usia dewasa (31-50) Usia tua (>51) Total
Jumlah (orang) 30 31 4 65
Persentase (%) 46,15 47,69 6,16 100,0
Sumber: data primer, 2010
Usia responden adalah waktu hidup responden dengan satuan tahun dari semenjak lahir hingga penelitian ini dilakukan. Usia responden bervariasi dari mulai 22 tahun hingga 63 tahun dengan usia rata-rata 42 tahun. Rata-rata usia responden ini tergolong ke dalam usia dewasa (usia muda adalah 31-50 tahun). Usia responden muda (18-30 tahun) sebanyak 30 orang (46,15 persen), dewasa
35
(31-50 tahun) sebanyak 31 orang (47,69 persen), dan usia tua (>51 tahun) sebanyak empat orang (6,16 persen). Jumlah dan persentase responden penelitian ini juga dikategorikan berdasarkan tingkat pendidikan, seperti yang tersaji pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Total
Jumlah (orang) 14 39 8 4 0 65
Persentase (%) 21,5 60,0 12,3 6,2 0,0 100,0
Sumber: data primer, 2010
Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh responden (kepala keluatga) sampai penelitian ini dilakukan. Terlihat pada Tabel 3 bahwa sebesar 21,5 persen responden (14 orang) tergolong responden yang tidak sekolah, sementara sebesar 60.0 persen responden (39 orang) pernah sekolah di sekolah dasar (SD) namun tidak tamat. Sebesar 12,3 persen responden (delapan orang) pernah menempuh pendidikan formal hingga tamat SD dan Sebesar 6,2 persen responden (empat orang) pernah menempuh pendidikan formal hingga tamat SMP. Sementara itu tidak ada responden yang pernah menempuh pendidikan formal hingga SMA/sederajat. Pendidikan merupakan indikator utama pembangunan dan kualitas sumberdaya manusia. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan dipengaruhi oleh fenomena keseharian masyarakat nelayan yaitu anak lelaki yang secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dan anak perempuan yang terlibat dalam pekerjaan sampingan mengupas kijing atau kerang hijau, sehingga hal ini berimplikasi pada pendidikan anak-anak nelayan. Meskipun pekerjaan yang mereka lakukan memang tidak membutuhkan tingkat pendidikan formal yang tinggi, pada hakikatnya pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan,
36
meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia baik individu maupun sosial (Prijono et al, 1996) sehingga diperlukan pendekatan pendidikan untuk masyarakat nelayan khususnya pada anak-anak nelayan. Sementara itu jumlah dan persentase responden penelitian ini berdasarkan jumlah anggota keluarga (besar keluarga) dapat terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Jumlah Anggota Keluarga Kecil (1-4 orang anggota keluarga) Menengah (5-6 orang anggota keluarga) Besar (>7 orang anggota keluarga) Total
Jumlah (orang) 37 18 10 65
Persentase (%) 56,92 27,69 15,39 100,0
Sumber: data primer, 2010
Besar keluarga dilihat dari jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab kepala keluarga (responden) baik keluarga inti maupun diluar keluarga inti. Masyarakat di Kampung Bambu lebih dari separuh (56.92 persen) memiliki besar keluarga antara 1-4 orang, yang artinya sebanyak 56.92 persen dari responden tergolong keluarga kecil. Sementara sebesar 27.69 persen dari responden tergolong keluarga menengah, artinya memiliki 5-6 anggota keluarga, dan sebanyak 15.39 persen rumahtangga responden tergolong keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga lebih dari tujuh orang. Pekerjaan utama responden pada penelitian ini adalah nelayan. kemudian nelayan
dikategorikan
berdasarkan
jenis
alat
tangkap/produksi
yang
dikategorikan. Dari sampel sebanyak 65 orang di lapangan diperoleh jumlah nelayan berdasarkan jenis alat produksi di Kampung Bambu adalah sebanyak tujuh belas orang nelayan bagang, delapan orang nelayan jaring, tiga belas orang nelayan budidaya, tiga orang nelayan sero, dua orang nelayan tembak, dan lima orang Kuli nelayan. Sementara itu terdapat tujuh belas orang nelayan yang memiliki dua alat produksi sekaligus (bagang dan budidaya kerang hijau), seperti tersaji dalam Tabel 5 berikut.
37
Tabel 5. Jumlah dan Presentasi Responden Berdasarkan Jenis Alat Produksi Pekerjaan Nelayan Bagang Nelayan Jaring Nelayan Budidaya Nelayan Sero Nelayan Tembak Nelayan Bagang dan Budidaya (Alat Tangkap Ganda) Kuli Nelayan Total
Jumlah (orang) 17 8 13 3 2
Persentase (%) 26,15 12,31 20,0 4,61 3,08
17
26,15
5 65
7,69 100,0
Sumber: data primer, 2010
5.2.1.
Nelayan Bagang Nelayan bagang menunjuk pada individu yang mata pencaharian utamanya
adalah menangkap ikan di laut menggunakan alat tangkap bagang. Bagang terbuat dari batang-batang bambu yang ditancapkan ke laut dengan panjang delapan depa dari dasar laut, memiliki luas sekitar 30mx30m yang ditengah-tengahnya terdapat ruangan untuk menunggu ikan terjaring sekitar dua jam sekali, bentuknya menyerupai bentuk rumah panggung di tengah laut. Bagang terdapat di kilometer hingga ukuran mil dari tepi laut. Untuk membuat bagang dibutuhkan sepuluh hingga 14 orang dengan waktu pengerjaan sekitar satu-dua hari, bagang-bagang tersebut memiliki ketahanan sekitar satu tahun. Sebaran karakteristik responden nealayan bagang dapat terlihat dari Tabel 6 hingga Tabel 8. Tabel 6. Sebaran Umur Nelayan Bagang dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50 tahun)
Usia
8 7 2
47,1 41,2 11,8
Total
17
100,0
Sumber: data primer, 2010
Dari Tabel 6 dapat terlihat responden nelayan bagang yang ditemukan di lapangan yang berusia muda (18-30 tahun) adalah delapan orang, sementara yang berusia dewasa (31-50 tahun) sebanyak tujuh orang, dan responden yang termasuk
38
kategori usia tua (di atas 51 tahun) ada dua orang. Dengan total jumlah responden sebanyak tujuh belas orang. Tabel 7. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Bagang dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP
Pendidikan
4 7 4 2
23,5 41,2 23,5 11,8
Total
17
100,0
Sumber: data primer, 2010
Tabel 7 menunjukkan sebaran nelayan bagang berdasarkan tingkat pendidikan. Terlihat bahwa terdapat empat orang nelayan bagang yang tidak pernah menduduki bangku sekolah, sementara tujuh orang nelayan bagang pernah bersekolah hingga SD namun tidak tamat. Nelayan bagang yang tamat SD sebesar empat orang dan dua orang pernah bersekolah hingga SMP. Dapat disimpulkan bahwa terdapat dua orang responden nelayan bagang dengan tingkat pendidikan menengah (tamat SMP/sederajat) sementara lima belas responden nelayan bagang lain berada pada tingkat pendidikan rendah. Tabel 8. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Bagang dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Jumlah Anggota Keluarga
Frekuensi
Persentase (%)
Kecil (1-4 anggota keluarga) Menengah (5-6 anggota keluarga) Besar (>7 anggota keluarga)
10 6 1
58,8 35,3 5,9
Total
17
100,0
Sumber: data primer, 2010
Berdasarkan jumlah anggota keluarga, dapat terlihat bahwa sepuluh dari tujuh belas orang nelayan bagang termasuk dalam keluarga kecil yang artinya hanya memiliki satu sampai empat orang anggota keluarga. Sementara enam orang nelayan bagang berada pada keluarga menengah yang artinya memiliki lima sampai enam anggota keluarga, dan satu nelayan memiliki anggota keluarga lebih dari tujuh orang dan termasuk dalam keluarga besar.
39
5.2.2.
Nelayan Jaring Nelayan jaring menunjuk pada individu yang mata pencaharian utamanya
adalah menangkap ikan di laut menggunakan alat tangkap berupa jaring yang dilemparkan ke laut. Nelayan jaring yang ditemukan di lapangan berdasarkan hanya delapan orang (12,31 persen dari sampel). Sebaran karakteristik responden nelayan jaring tersaji pada Tabel 9 hingga Tabel 11. Tabel 9. Sebaran Umur Nelayan Jaring dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50 tahun)
Usia
5 3 0
62.5 37.5 0.0
Total
8
100.0
Sumber: data primer, 2010
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa jumlah nelayan jaring yang berusia antara 18 hingga 30 tahun (muda) sebanyak lima orang dan sisanya sebanyak tiga orang termasuk dalam golongan usia dewasa yaitu berumur antara 31 hingga 50 tahun. Tabel 10. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Jaring dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Pendidikan
Frekuensi
Persentase (%)
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP
0 7 1 0
0,0 87,5 12,5 0,0
Total
8
100,0
Sumber: data primer, 2010
Tabel 10 menunjukkan sebaran nelayan jaring berdasarkan tingkat pendidikan. Terlihat bahwa sebanyak tujuh dari delapan orang nelayan jaring pernah menduduki bangku sekolah namun tidak tamat sekolah dasar, sementara hanya satu orang yang tamat SD dari tabel tersebut terlihat bahwa seluruh responden nelayan jaring berada pada tingkat pendidikan rendah.
40
Tabel 11. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Jaring dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Kecil (1-4 anggota keluarga) Menengah (5-6 anggota keluarga) Besar (>7 anggota keluarga)
Jumlah Anggota Keluarga
3 2 3
37,5 62,5 37,5
Total
8
100,0
Sumber: data primer, 2010
Berdasarkan jumlah anggota keluarga, sebanyak tiga orang nelayan jaring dikategorikan ke dalam keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga antara satu hingga empat orang. Sementara terdapat dua orang yang teemasuk keluarga menengah dengan anggota keluarga lima hingga enam orang, dan tiga orang nelayan jaring yang memiliki anggota keluarga lebih dari tujuh orang dan termasuk ke dalam keluarga besar.
5.2.3.
Nelayan Budidaya Nelayan budidaya atau ternak menunjuk pada individu yang mata
pencaharian utamanya adalah budidaya kerang hijau. Nelayan budidaya menggunakan lima hingga sepuluh batang bambu yang ditancapkan ke laut membentuk segitiga, yang digunakan sebagai tempat beternak kerang hijau. Ternak kerang hijau dipanen enam bulan sekali, namun apabila turun limbah dalam masa-masa beternak maka ternak tersebut akan luruh dan tidak menjadi kerang sehingga nelayan budidaya akan mengalami kerugian yang besar. Sebaran karakteristik responden nelayan budidaya tersaji dalam Tabel 12 hingga Tabel 14. Tabel 12. Sebaran Umur Nelayan Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Usia
Frekuensi
Persentase (%)
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50 tahun)
3 10 0
23,1 76,9 0,0
Total
13
100,0
Sumber: data primer, 2010
41
Tabel 12 menunjukkan sebaran nelayan budidaya berdasarkan usia. Terlihat bahwa terdapat tiga orang yang termasuk ke dalam usia muda (18-30 tahun) dan sepuluh orang yang termasuk ke dalam usia dewasa (31-50 tahun). Tabel 13. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP
Pendidikan
5 6 2 0
38,5 46,2 15,4 0,0
Total
13
100,0
Sumber: data primer, 2010
Tabel 13 menunjukkan tingkat pendidikan responden nelayan budidaya. Terlihat bahwa dari tiga belas orang nelayan budidaya, terlihat bahwa terdapat lima orang yang tidak bersekolah, enam orang yang pernah bersekolah hingga SD tetapi tdak tamat, dan hanya dua orang yang tamat SD, hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan responden nelayan budidaya berada pada tingkat pendidikan rendah. Tabel 14. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Jumlah Anggota Keluarga
Frekuensi
Persentase (%)
Kecil (1-4 anggota keluarga) Menengah (5-6 anggota keluarga) Besar (>7 anggota keluarga)
7 4 2
53.8 30.8 15.4
Total
13
100.0
Sumber: data primer, 2010
Sebanyak tujuh dari tiga belas nelayan budidaya memiliki jumlah anggota keluarga antara satu sampai empat orang (keluarga kecil), sebanyak empat orang nelayan budidaya memiliki jumlah anggota keluarga antara lima samapai enam orang (keluarga menengah) dan sebanyak dua orang nelayan budidaya memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari tujuh orang (keluarga besar).
42
5.2.4.
Nelayan Sero Nelayan sero menunjuk pada individu yang mata pencaharian utamanya
adalah menangkap ikan di laut menggunakan alat tangkap berupa sero. Sero bentuknya menyerupai bagang, hanya saja lebih kecil, dan tidak terdapat ruangan di tengah-tengahnya. Hanya ditemukan nelayan sero sebanyak tiga orang dari sampel (4,61 persen). Sebaran karakteristik responden nelayan sero tersaji pada Tabel 15 hingga Tabel 17. Tabel 15. Sebaran Umur Nelayan Sero dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010. Frekuensi
Persentase (%)
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50 tahun)
Usia
2 1 0
66.7 33.3 0.0
Total
3
100.0
Sumber: data primer, 2010
Tabel 15 memperlihatkan sebaran umur responden nelayan sero, dari tiga orang nelayan sero yang ditemukan dilapangan adalah dua orang termasuk ke dalam usia muda (18-30 tahun) dan satu orang termasuk ke dalam usia dewasa (31-50 tahun). Tabel 16. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Sero dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP
Pendidikan
1 1 1 0
33,3 33,3 33,3 0,0
Total
3
100,0
Sumber: data primer, 2010
Sementara berdasarkan tingkat pendidikan nelayan sero, menyebar tepat satu orang yang tidak bersekolah, satu orang yang bersekolah hingga SD tapi tidak tamat, dan satu orang yang bersekolah hingga tamat SD. Secara keseluruhan tingkat pendidikan responden nelayan sero berada pada tingkat rendah.
43
Tabel 17. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Sero dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Kecil (1-4 anggota keluarga) Menengah (5-6 anggota keluarga) Besar (>7 anggota keluarga)
Jumlah Anggota Keluarga
2 0 1
66,7 0,0 33,3
Total
3
100,0
Sumber: data primer, 2010
Jumlah anggota keluarga nelayan sero terbagi menjadi dua orang nelayan yang termasuk dalam keluarga menengah yang memiliki jumlah anggota keluarga antara lima sampai enam orang dan satu nelayan memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari tujuh orang.
5.2.5.
Nelayan Tembak Nelayan tembak menunjuk pada individu yang mata pencaharian utamanya
adalah menangkap ikan di laut menggunakan alat untuk menembak ikan. Hanya ditemukan nelayan sero sebanyak dua orang dari sampel (3,08 persen). Sebaran karakteristik responden nelayan tembak tersaji dalam Tabel 18 hingga Tabel 20 di bawah ini. Tabel 18. Sebaran Usia Nelayan Tembak dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50 tahun)
Usia
2 0 0
100,0 0,0 0,0
Total
2
100,0
Sumber: data primer, 2010
Dari Tabel 18 terlihat bahwa dua orang nelayan tembak yang ditemukan di lapangan, keduanya berusia antara 18 hingga 30 tahun dan termasuk kedalam golongan usia muda. Sementara sebaran karakteristik nelayan tembak berdasarkan tingkat pendidikan dapat terlihat pada Tabel 19.
44
Tabel 19. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Tembak dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP
Pendidikan
1 1 0 0
50,0 50,0 0,0 0,0
Total
2
100,0
Sumber: data primer, 2010
Tabel 19 menunjukkan satu orang nelayan tembak tidak pernah bersekolah sementara satu orang lainnya bersekolah tetapi tidak tamat SD. Hal ini menunjukkan bahwa kedua responden nelayan sero seluruhnya berada dalam tingkat pendidikan rendah. Tabel 20. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Tembak dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Jumlah Anggota Keluarga
Frekuensi
Persentase (%)
Kecil (1-4 anggota keluarga) Menengah (5-6 anggota keluarga) Besar (>7 anggota keluarga)
1 1 0
50,0 50,0 0,0
Total
3
100,0
Sumber: data primer, 2010
Nelayan tembak yang ditemukan di lapangan satu diantaranya memiliki keluarga dengan jumlah anggota keluarga satu hingga empat orang (keluarga kecil) dan satu orang lainnya memiliki keluarga dengan jumlah anggota keluarga lima hingga enam orang (keluarga menengah).
5.2.6.
Nelayan Bagang-Budidaya Nelayan bagang menunjuk pada individu yang mata pencaharian utamanya
adalah menangkap ikan di laut dan memiliki dua jenis alat produksi sekaligus, yaitu bagang dan budidaya kerang hijau. Ditemukan 17 nelayan (sebanyak 26.15 persen dari sampel) dengan dua jenis alat tangkap sekaligus. Sebaran karakteristik nelayan bagang-budidaya dapat terlihat dari Tabel 21 hingga Tabel 23.
45
Tabel 21. Sebaran Umur Nelayan Bagang-Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50 tahun)
Usia
7 8 2
41,2 47,1 11,8
Total
17
100,0
Sumber: data primer, 2010
Berdasarkan Tabel 21 terlihat bahwa terdapat tujuh orang dari tujuh belas nelayan bagang-budidaya yang termasuk ke dalam usiamuda (18-30 tahun), sebanyak delapan orang yang termasuk usia dewasa (31-50 tahun) dan dua orang yang termasuk usia tua (di atas 50 tahun). Tabel 22. Sebaran Tingkat Pendidikan Nelayan Bagang-Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP
Pendidikan
1 14 0 2
5,9 82,4 0,0 11,8
Total
17
100,0
Sumber: data primer, 2010
Tabel 22 menunjukkan sebaran nelayan bagang-budidaya berdasarkan tingkat pendidikan. Sebanyak satu orang responden tidak pernah bersekolah, sementara empat belas responden pernah bersekolah hingga SD tetapi tidak tamat, dan dua orang responden pernah bersekolah hingga SMP. Terlihat bahwa terdapat dua orang responden nelayan bagang-budidaya yang berada dalam tingkat pendidikan menengah, sementara sisanya berada pada tingkat pendidikan rendah.
Tabel 23. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Nelayan Bagang-Budidaya dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Jumlah Anggota Keluarga
Frekuensi
Persentase (%)
Kecil (1-4 anggota keluarga) Menengah (5-6 anggota keluarga) Besar (>7 anggota keluarga)
10 4 3
58,8 82,4 17,6
Total
17
100,0
Sumber: data primer, 2010
46
Tabel 23 menunjukkan bahwa sebanyak sepuluh orang responden nelayan bagang-budidaya memiliki keluarga dengan jumlah anggota antara satu hingga empat orang (keluarga kecil), empat orang responden memiliki keluarga dengan jumlah anggota antara lima hingga enam orang (keluarga menengah) dan sebanyak tiga orang memiliki keluarga dengan jumlah anggota lebih dari tujuh orang (keluarga besar).
5.2.7.
Kuli Nelayan Kuli nelayan menunjuk pada individu yang mencari nafkah di laut dengan
menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut. Dari sampel ditemukan kuli nelayan sebanyak lima orang (7.69 persen). Sebaran karakteristik kuli nelayan dapat terlihat pada Tabel 24 hingga Tabel 26. Tabel 24. Sebaran Umur Kuli Nelayan dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50 tahun)
Usia
2 3 0
40,0 60,0 0,0
Total
5
100,0
Sumber: data primer, 2010
Berdasarkan umur, ditemukan dua orang kuli nelayan yang berada dalam golongan umur muda (18-30 tahun) dan tiga orang kuli nelayan yang berada dalam golongan umur dewasa (31-50 tahun). Tabel 25. Sebaran Tingkat Pendidikan Kuli Nelayan dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Pendidikan
Frekuensi
Persentase (%)
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP
2 3 0 0
40,0 60,0 0,0 0,0
Total
5
100,0
Sumber: data primer, 2010
47
Dari Tabel 25 dapat dilihat bahwa berdasarkan pendidikan, dua orang kuli nelayan tidak pernah bersekolah dan tiga orang kuli nelayan pernah bersekolah hingga SD tetapi tidak tamat. Secara keseluruhan tingkat pendidikan kuli nelayan berada pada tingkat rendah. Tabel 26. Sebaran Jumlah Anggota Keluarga Kuli Nelayan dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Kecil (1-4 anggota keluarga) Menengah (5-6 anggota keluarga) Besar (>7 anggota keluarga)
Jumlah Anggota Keluarga
4 1 0
80,0 20,0 0,0
Total
5
100,0
Sumber: data primer, 2010
Sementara berdasarkan jumlah anggota keluarga, empat orang kuli nelayan termasuk kedalam keluarga kecil dengan anggota keluarga satu hingga empat orang (keluarga kecil) dan satu orang kuli nelayan termasuk ke dalam keluarga menegah dengan jumlah anggota empat hingga lima orang.
BAB VI ANALISIS STRATEGI BERTAHAN HIDUP NELAYAN
6.1.
Dampak Pencemaran Teluk Jakarta Terhadap Masyarakat Nelayan Kampung Bambu Mata pencaharian masyarakat daerah pesisir terutama nelayan berkaitan
dengan sumberdaya alam di sekitarnya. Pekerjaan di laut sangat dipengaruhi musim, sehingga pendapatan masyarakat pesisir khususnya nelayan berfluktuasi berdasarkan musim (iklim) dan harga ikan. Musim timur merupakan musim ikan dimana hasil tangkapan basanya melimpah, sebaliknya musim barat merupakan musim panceklik bagi nelayan karena angin barat yang bertiup kencang seringkali menimbulkan ombak besar dan badai sehingga banyak nelayan yang tidak dapat melaut. Fluktuasi ini menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan sepanjang tahun. Selain terhadap fluktuasi musim, pencemaran limbah merupakan faktor lain yang membuat distribusi pendapatan nelayan di daerah pesisir semakin minim dan kemiskinan nelayan semakin bertambah dibandingkan dengan masa sebelum adanya pencemaran oleh limbah industri khususnya. Mata pencaharian penduduk pesisir berkaitan erat dengan sumberdaya alam di sekitarnya yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir dan laut. Kesejahteraan secara ekonomi masyarakat pesisir sangat bergantung pada sumberdaya perikanan baik perikanan tangkap di laut maupun budidaya, yang hingga saat ini masih bersifat akses terbuka (open access), sehingga kondisi lingkungan wilayah pesisir dan laut menentukan keberlanjutan kondisi sosial ekonomi mereka. Pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta sangat mempengaruhi pendapatan dari hasil melaut secara signifikan. Berdasarkan diskusi kelompok terarah yang dilakukan bersama warga nelayan di Kampung Bambu diperoleh informasi bahwa salah satu akibat dari pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta antara lain mempengaruhi munculnya tengkulak atau pedagang (bos) yang membuat penghasilan mereka berkurang sekitar 25-30 persen dibandingkan sebelum ada
49
pencemaran. Hal ini seperti diungkapkan oleh JLM (38) salah seorang nelayan bagang, “kalau dulu belum ada tengkulak, kita bisa langsung tawar-menawar sama pembeli. Seratus persen hasilnya masuk ke kantong kita. Berbeda dengan sekarang. Hasil nangkep di laut udah makin sedikit, masih ditambah dengan potongan buat tengkulak” Meskipun demikian ketergantungan nelayan dengan pedagang atau bos tidak bisa dilepaskan. Idealnya, sistem patron-klien seperti yang terjadi pada nelayan dan pedagang bertujuan untuk memperoleh jaminan sosial ekonomi bagi kedua belah pihak secara proporsional. Akan tetapi pada kenyataannya, keuntungan yang sebesar-besarnya hanya didapatkan oleh patron, dalam kasus ini pedagang atau pemilik kapal dan ternak. Ketergantungan pada patron oleh masyarakat pesisir khususnya nelayan sangat besar.
6.2.
Strategi Sosial Hidayati (2000) menyebutkan setidaknya terdapat beberapa strategi
bertahan hidup yang dilakukan oleh nelayan. antara lain meminta bantuan pada bos. Sementara Widodo (2009) membagi strategi nelayan menjadi strategi sosial dan strategi ekonomi. Strategi sosial merupakan strategi yang didasarkan pada penggunaan lembaga tradisional dan jejaring sosial yang ada di sekitar rumahtangga miskin. Strategi sosial yang dilakukan nelayan Kampung Bambu antara lain adalah meminta bantuan pada bos untuk keperluan selain melaut yang kemudian akan diukur kepuasan nelayan pada sistem bagi hasil, berbagi informasi mengenai pekerjaan di luar melaut dan interaksi secara umum nelayan dengan patron. Strategi sosial nelayan kampung Bambu juga dilihat dari kualitas jaringan sosial yang dimiliki oleh nelayan yang kemudian akan terlihat pada implikasinya pada kehidupan sehari-hari. Ukuran jaringan sosial ini dilihat dari segi hubungan dengan warga sekitar mulai dari tingkat RT hingga kelurahan.
50
6.2.1. Strategi Sosial Nelayan Bagang Strategi sosial yang dilakukan oleh nelayan bagang dibagi menjadi intensitas meminjam pada patron, yang kemudian akan diukur pula tingkat kepuasan terhadap patron, serta jaringan sosial yang dimiliki nelayan bagang seperti terlihat dalam Tabel 27. Tabel 27. Sebaran Rumahtangga Nelayan Bagang dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Pinjaman Pada Saat Tidak Melaut Rendah (5-12) Tinggi (13-20)
13 4
76,5 23,5
Total
17
100,0
Interaksi dengan Patron Tidak Puas (5-12) Puas (13-20)
15 2
88,2 11,8
Total
17
100,0
Jaringan Sosial Rendah (10-25) Tinggi (26-40)
8 9
47,1 52,9
Total
17
100,0
Sumber: data primer diolah
Dari Tabel 27 diperoleh keterangan bahwa pada ragam pertama, yaitu pinjaman pada patron pada saat tidak melaut, terlihat bahwa mayoritas nelayan bagang memiliki intensitas meminjam yang rendah pada patron, Intensitas ini diukur berdasarkan frekuensi meminjam pada saat baratan. Diperoleh hasil bahwa nelayan bagang yang tidak memiliki pinjaman pada patron sebesar 76,5 persen (intensitas meminjam rendah) sementara sebanyak 23,5 persen masih memiliki pinjaman dan masih memiliki hutang kepada patron (intensitas meminjam tinggi). Terlihat dari Tabel 27 bahwa nelayan bagang masih mengandalkan pinjaman kepada patron sebagai strategi sosial mereka. Sementara pada ragam kedua yaitu kepuasan interaksi dengan patron, diperlihatkan tingkat kepuasan nelayan bagang pada patron. Tingkat kepuasan ini diukur pada kepuasan nelayan pada sistem bagi hasil, berbagi informasi mengenai pekerjaan di luar melaut dan interaksi secara umum nelayan dengan patron. Sebesar 88,2 persen nelayan bagang merasa tidak puas dengan patron, sementara
51
11,8 persen merasa puas dan hanya dua orang responden nelayan bagang yang merasa sangat puas kepada patron. Ragam ketiga dari strategi sosial adalah kualitas jaringan sosial yang dimiliki responden nelayan. Ukuran jaringan sosial ini dilihat dari segi hubungan dengan warga sekitar mulai dari tingkat RT hingga kelurahan. Jaringan sosial ini turut membantu strategi sosial nelayan antara lain dengan meminjam uang kepada tetangga, mengurus surat keterangan tidak mampu kepada RT ataupun membeli beras raskin. Meskipun demikian warga mengklaim bahwa pihak kelurahan tidak pernah memberikan bantuan apapun. Dari Tabel 27 terlihat bahwa kualitas jaringan sosial nelayan bagang menyebar dari rendah hingga tinggi. 6.2.2. Strategi Sosial Nelayan Jaring Strategi sosial yang dilakukan oleh nelayan jaring dibagi menjadi intensitas meminjam pada patron, yang kemudian akan diukur pula tingkat kepuasan terhadap patron, serta jaringan sosial yang dimiliki nelayan jaring seperti terlihat dalam Tabel 28. Tabel 28. Sebaran Rumahtangga Nelayan Jaring dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Pinjaman Pada Saat Tidak Melaut Rendah (5-12) Tinggi (13-20)
5 3
62,5 37,5
Total
8
100,0
Interaksi dengan Patron Tidak Puas (5-12) Puas (13-20)
7 1
87,5 12,5
Total
8
100,0
Jaringan Sosial Rendah (10-25) Tinggi (26-40)
5 3
62,5 37,5
Total
8
100,0
Sumber: data primer diolah
Pada Tabel 28 terlihat bahwa nelayan jaring memiliki intensitas meminjam yang rendah sampai tinggi pada patron. Intensitas ini diukur berdasarkan frekuensi meminjam pada saat baratan. Diperoleh hasil bahwa nelayan jaring yang tidak
52
memiliki pinjaman pada patron adalah sebesar 62,5 persen, sementara nelayan jaring yang masih memiliki pinjaman dan masih memiliki hutang kepada patron sebesar 37,5 persen. Dapat disimpulkan bahwa nelayan jaring masih mengandalkan pinjaman kepada patron sebagai strategi sosial mereka. Pada ragam kedua yaitu kepuasan interaksi dengan patron, diperlihatkan tingkat kepuasan nelayan jaring pada patron yang diukur pada kepuasan nelayan pada sistem bagi hasil, berbagi informasi mengenai pekerjaan di luar melaut dan interaksi secara umum nelayan dengan patron. Sebesar 87.5 persen nelayan jaring merasa tidak puas dengan patron, sementara hanya satu orang nelayan jaring yang merasa puas kepada patron. Berdasarkan ragam ketiga pada Tabel 28 diperoleh bahwa nelayan jaring memiliki kualitas jaringan sosial yang rendah hingga tinggi. Jaringan sosial ini turut membantu strategi sosial nelayan antara lain dengan meminjam uang kepada tetangga, mengurus surat keterangan tidak mampu kepada RT ataupun membeli beras raskin. Dari Tabel 28 terlihat bahwa lima dari delapan orang responden nelayan jaring memiliki kualitas jaringan sosial yang rendah.
6.2.3. Strategi Sosial Nelayan Budidaya Strategi sosial yang dilakukan oleh nelayan budidaya dibagi menjadi intensitas meminjam pada patron, yang kemudian akan diukur pula tingkat kepuasan terhadap patron, serta jaringan sosial yang dimiliki nelayan budidaya. Dari Tabel 29 diperoleh keterangan antara lain pada ragam pertama mayoritas responden nelayan budidaya memiliki intensitas meminjam yang rendah, intensitas ini diukur berdasarkan frekuensi meminjam pada saat baratan. Diperoleh hasil bahwa nelayan budidaya yang tidak memiliki pinjaman pada patron sebesar 84,6 persen (intensitas meminjam rendah) sementara dua orang nelayan budidaya masih memiliki pinjaman dan masih memiliki hutang pada patron (intensitas meminjam tinggi). Sebaran rumahtangga nelayan budidaya yang melakukan strategi sosial terlihat dalam Tabel 29.
53
Tabel 29. Sebaran Rumahtangga Nelayan Budidaya dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Pinjaman Pada Saat Tidak Melaut Rendah (5-12) Tinggi (13-20)
11 2
84,6 15,4
Total
13
100,0
Interaksi dengan Patron Tidak Puas (5-12) Puas (13-20)
12 1
92,3 7,7
Total
13
100,0
Jaringan Sosial Rendah (10-25) Tinggi (26-40)
1 12
7,7 92,3
Total
13
100,0
Sumber: data primer diolah
Dari Tabel 29 terhat bahwa nelayan budidaya tidak terlalu mengandalkan pinjaman kepada bos sebagai strategi sosial mereka. Karena bos nelayan budidaya juga memiliki probabilitas ‘gagal panen’ yang sama dengan nelayan budidaya biasa, seperti yang dikemukakan RST (41) seorang nelayan budidaya: “harga kijing tergantung pasang surut di muara baru. kalo harganya murah jadinya dia (bos) nggak bisa ngemodalin, karena dia juga rugi” Sementara pada ragam kedua diperlihatkan tingkat kepuasan nelayan budidaya pada patron. Sebesar 92,3 persen responden nelayan budidaya merasa tidak puas dengan patron, sementara hanya satu orang yang merasa puas. Sementara berdasarkan ragam ketiga pada tabel, diperoleh data bahwa mayoritas responden nelayan budidaya memiliki kualitas jaringan sosial yang tinggi.
6.2.4. Strategi Sosial Nelayan Sero Strategi sosial yang dilakukan oleh nelayan sero dibagi menjadi intensitas meminjam pada patron, yang kemudian diukur pula tingkat kepuasan terhadap patron, serta jaringan sosial yang dimiliki nelayan sero seperti terlihat dalam Tabel 30.
54
Tabel 30. Sebaran Rumahtangga Nelayan Sero dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Pinjaman Pada Saat Tidak Melaut Rendah (5-12) Tinggi (13-20)
2 1
66,7 33,3
Total
3
100,0
Interaksi dengan Patron Tidak Puas (5-12) Puas (13-20)
3 0
100,0 0,0
Total
3
100,0
Jaringan Sosial Rendah (10-25) Tinggi (26-40)
2 1
66,7 33,3
Total
3
100,0
Sumber: data primer diolah
Nelayan sero yang ditemui pada penelitian ini hanya sebanyak tiga orang. Terlihat pada tabel pertama, dua orang nelayan sero tidak memiliki pinjaman pada patron (intensitas meminjam rendah) sementara satu orang nelayan sero masih memiliki pinjaman pada patron (intensitas meminjam tinggi). Pada ragam kedua pada Tabel 30 diperlihatkan tingkat kepuasan nelayan sero pada patron. Tingkat kepuasan ini diukur pada kepuasan nelayan pada sistem bagi hasil, berbagi informasi mengenai pekerjaan di luar melaut dan interaksi secara umum nelayan dengan patron. Seluruh responden nelayan sero merasa tidak puas pada patron, khususnya pada sistem bagi hasil. Meskipun demikian, responden nelayan sero merasa memiliki kedekatan dengan bos sebab mudah apabila ingin meminjam uang, seperti yang dikemukakan HRP (36) seorang nelayan sero:
“Kalo lagi butuh biasanya minjem ke bos, tapi pinjamannya nggak memberatka, gampang ngomongnya. Biasanya bos malah ngasih jajan buat anak-anak. Selama kita masih jual ke dia, kitanya bakal nggak kenapa-kenapa (terjamin)” Berdasarkan ragam ketiga, diperoleh bahwa nelayan sero memiliki kualitas jaringan sosial yang randah hingga tinggi. Ukuran jaringan sosial ini dilihat dari segi hubungan dengan warga sekitar mulai dari tingkat RT hingga kelurahan.
55
Jaringan sosial ini turut membantu strategi sosial nelayan antara lain dengan meminjam uang kepada tetangga dekat, mengurus surat keterangan tidak mampu kepada RT ataupun membeli beras raskin.
6.2.5. Strategi Sosial nelayan Tembak Strategi sosial yang dilakukan oleh nelayan tembak dibagi menjadi intensitas meminjam pada patron, yang kemudian diukur pula tingkat kepuasan terhadap patron, serta jaringan sosial yang dimiliki nelayan tembak seperti terlihat dalam Tabel 31. Tabel 31. Sebaran Rumahtangga Nelayan Tembak dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Pinjaman Pada Saat Tidak Melaut Rendah (5-12) Tinggi (13-20)
2 0
100,0 0,0
Total
2
100,0
Interaksi dengan Patron Tidak Puas (5-12) Puas (13-20)
2 0
100,0 0,0
Total
2
100,0
Jaringan Sosial Rendah (10-25) Tinggi (26-40)
1 1
50,0 50,0
Total
2
100,0
Sumber: data primer diolah
Dari Tabel 31 diperoleh keterangan bahwa pada ragam pertama nelayan tembak memiliki intensitas meminjam yang rendah. Diperoleh hasil bahwa nelayan tembak yang ditemui pada penelitian ini seluruhnya tidak memiliki pinjaman pada patron (intensitas meminjam rendah). Pada ragam kedua diperlihatkan tingkat kepuasan nelayan tembak pada patron, yang hasilnya seluruh nelayan tembak merasa tidak puas dengan patron baik dari segi kepuasan nelayan pada sistem bagi hasil, berbagi informasi mengenai pekerjaan di luar melaut dan interaksi secara umum nelayan dengan patron. Terlihat pada Tabel 31 bahwa kedua nelayan tembak tidak mengandalkan pinjaman pada bos sebagai strategi
56
sosial mereka akibat ketidakpuasan terhadap patron. Sementara berdasarkan ragam ketiga, diperoleh bahwa nelayan tembak memiliki kualitas jaringan sosial yang rendah dan tinggi dilihat dari segi hubungan dengan warga sekitar mulai dari tingkat RT hingga kelurahan.
6.2.6. Strategi Sosial Nelayan Bagang-Budidaya Strategi sosial yang dilakukan oleh nelayan bagang-budidaya dibagi menjadi intensitas meminjam pada patron, yang kemudian akan diukur pula tingkat kepuasan terhadap patron, serta jaringan sosial yang dimiliki nelayan bagang-budidaya seperti terlihat dalam Tabel 32. Tabel 32. Sebaran Rumahtangga Nelayan Bagang-Budidaya dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Pinjaman Pada Saat Tidak Melaut Rendah (5-12) Tinggi (13-20)
Skor
13 4
76,5 23,5
Total
17
100,0
Interaksi dengan Patron Tidak Puas (5-12) Puas (13-20)
12 5
70,6 29,4
Total
17
100,0
Jaringan Sosial Rendah (10-25) Tinggi (26-40)
7 10
41,2 58,8
Total
17
100,0
Sumber: data primer diolah
Pada tabel 32 diperlihatkan bahwa nelayan bagang-budidaya memiliki intensitas meminjam yang rendah sampai tinggi pada patron. Intensitas ini diukur berdasarkan frekuensi meminjam pada saat baratan. Diperoleh hasil bahwa nelayan bagang-budidaya yang tidak memiliki pinjaman pada patron sebesar 76,5 persen (intensitas meminjam rendah) sementara sebanyak 23,5 persen masih memiliki pinjaman dan masih memiliki hutang yang belum dibayar pada patron (intensitas meminjam tinggi) disimpulkan bahwa nelayan bagang-budidaya yang
57
memiliki dua jenis alat produksi masih mengandalkan pinjaman pada patron sebagai salah satu strategi sosial mereka. Sementara pada ragam kedua diperlihatkan tingkat kepuasan nelayan bagang-budidaya pada patron. Sebanyak 70,6 persen nelayan bagang-budidaya merasa tidak puas terhadap patron baik dari sistem bagi hasil, berbagi informasi mengenai pekerjaan di luar melaut dan interaksi secara umum dengan patron. Sementara hanya 29.4 persen (lima orang) merasa puas kepada patron. Berdasarkan ragam ketiga, diperoleh data bahwa nelayan bagang-budidaya memiliki kualitas jaringan sosial yang rendah hingga tinggi dari segi hubungan dengan warga sekitar mulai dari tingkat RT hingga kelurahan. Jaringan sosial ini turut membantu strategi sosial nelayan antara lain dengan meminjam uang kepada tetangga, mengurus surat keterangan tidak mampu kepada RT ataupun membeli beras raskin. 6.2.7. Strategi Sosial Kuli Nelayan Strategi sosial yang dilakukan oleh kuli nelayan dibagi menjadi intensitas meminjam pada patron, yang kemudian akan diukur pula tingkat kepuasan terhadap patron, serta jaringan sosial yang dimiliki kuli nelayan. Sebaran rumahtangga kuli nelayan yang melakukan strategi sosial terlihat dalam Tabel 33. Tabel 33. Sebaran Rumahtangga Kuli Nelayan dalam Ragam Intensitas Meminjam pada Patron, Kepuasan pada Patron dan Jaringan Sosial di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
pinjaman pada saat tidak melaut Rendah (5-12) Tinggi (13-20)
3 2
60,0 40,0
Total
5
100,0
Interaksi dengan Patron Tidak Puas (5-12) Puas (13-20)
5 0
100,0 0,0
Total
5
100,0
Jaringan Sosial Rendah (10-25) Tinggi (26-40)
2 3
40,0 60,0
Total
5
100,0
Sumber: data primer diolah
58
Ragam pertama pada Tabel 33 menunjukkan intensitas meminjam yang rendah hingga tinggi oleh kuli nelayan. Intensitas ini diukur berdasarkan frekuensi meminjam pada saat baratan. Diperoleh informasi bahwa terdapat tiga orang kuli nelayan yang tidak mempunyai pinjaman kepada patron (intensitas meminjam rendah) sementara dua orang masih memiliki pinjaman pada nelayan (intensitas meminjam tinggi), sehingga dapat dikatakan sebagian kuli nelayan masih mengandalkan pinjaman pada patron sebagai bentuk strategi sosial mereka. Sementara pada ragam kedua diperlihatkan tingkat kepuasan kuli nelayan pada patron. Seluruhnya memiliki tingkat kepuasan yang rendah baik pada kepuasan sistem bagi hasil, berbagi informasi mengenai pekerjaan di luar melaut dan interaksi secara umum dengan patron. Berdasarkan ragam ketiga, diperoleh bahwa kuli nelayan memiliki kualitas jaringan sosial yang menyebar dari rendah hingga tinggi. Ukuran jaringan sosial ini dilihat dari segi hubungan dengan warga sekitar mulai dari tingkat RT hingga kelurahan. Jaringan sosial ini turut membantu strategi sosial nelayan antara lain dengan meminjam uang kepada tetangga, mengurus surat keterangan tidak mampu kepada RT ataupun membeli beras raskin. 6.3.
Strategi Ekonomi Widodo (2009) mendefinisikan strategi ekonomi sebagai strategi yang
didasarkan pada penggunaan struktur alokasi tenaga kerja dalam rumahtangga. Sementara Hidayati (2000) menyebutkan setidaknya terdapat beberapa strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh nelayan, antara lain mobilitas dan diversifikasi kerja dalam rumahtangga. Strategi ekonomi yang dilakukan nelayan Kampung Bambu antara lain adalah diversifikasi kerja rumahtangga dan pola nafkah ganda. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa seluruh responden tidak melakukan mobilitas kerja atau perpindahan kerja saat musim baratan. Mereka lebih memilih menganggur di rumah daripada bekerja selain melaut. Diversifikasi kerja rumahtangga adalah pembagian kerja diantara anggota keluarga untuk membantu kebutuhan sehari-hari. Diversifikasi kerja yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan di daerah Kampung Bambu biasanya adalah mengupas kijing atau slindet (kerang hijau) yang dilakukan oleh istri maupun anak-anak nelayan. Upah dari mengupas kijing adalah 1.500 rupiah untuk setiap
59
kilonya, sehingga apabila dalam sehari istri nelayan mampu mengupas sebanyak sepuluh kilo kerang hijau, mereka akan mendapatkan sekitar 15.000 rupiah per hari sebagai tambahan hasil melaut suami mereka. Selain mengupas kijing, istri nelayan juga banyak yang bekerja sebagai buruh cuci ataupun penjual makanan, dalam sehari mereka bisa mendapatkan tambahan 20.000 rupiah. Kegiatan lain yang dilakukan istri nelayan sebagai diversifikasi kerja adalah menjahit bahanbahan daur ulang untuk kemudian dijual melalui yayasan. Diversifikasi kerja juga dilakukan oleh anak-anak yang turut membantu ibunya mengupas kijing. Pola nafkah ganda yang dilakukan oleh nelayan sebagai kepala keluarga antara lain menjadi penjual bambu untuk keperluan bagang ataupun menjadi sekuriti di pualang. Meskipun demikian tidak banyak kepala keluarga nelayan yang memiliki pola nafkah ganda, sebab pekerjaan utama sebagai nelayan saja telah menguras waktu dan tenaga sehingga tidak banyak yang memiliki pekerjaan sampingan lain. Strategi ekonomi lainnya yaitu berhutang juga dilakukan oleh nelayan. Kebiasaan berhutang ini dilihat dari frekuensi meminjam baik pada rentenir maupun bank keliling. Hidayati (2000) menyebutkan bahwa berhutang merupakan jalan keluar yang biasa dilakukan penduduk pesisir untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga. Dalam penelitian ini, berhutang kepada patron dikelompokkan pada strategi sosial yaitu intensitas meminjam pada patron yang telah dibahas pada subbab sebelumnya, sehingga pengertian berhutang pada strategi ekonomi adalah meminjam uang kepada sumber dana selain ‘bos’. Terlihat bahwa nelayan masih memilih berhutang sebagai strategi ekonomi, meskipun demikian tidak banyak juga yang menolak memiliki hutang dengan alasan malu. Strategi ekonomi lainnya yang dilakukan nelayan antara lain adalah kegiatan ilegal strategi lainnya seperti menjual dan menggadaikan barang. Kegiatan ilegal seperti mencuri atau berjudi hampir tidak pernah dilakukan oleh nelayan, walaupun demikian terdapat beberapa responden yang pernah melakukan kegiatan ilegal seperti mencuri besi ataupun berjudi bahkan hingga dipenjara untuk menghidupi keluarga mereka. Menggadaikan atau menjual barang biasanya
60
dilakukan nelayan saat musim baratan. Pola menggadaikan barang ini dilakukan ketika musim timur membeli peralatan elektronik ataupun perhiasan emas, dan ketika musim barat nelayan akan menggadaikan barang-barang tersebut. Hal ini dilakukan untuk memperpanjang distribusi pendapatan nelayan, dan karena nelayan belum memiliki pengelolaan keuangan dengan baik, nelayan juga belum familiar dengan tabungan pada perbankan formal yang terkesan tidak mudah.
6.3.1. Strategi Ekonomi Nelayan Bagang Strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan bagang antara lain adalah diversifikasi kerja rumahtangga, pola nafkah ganda, berhutang dan strategistrategi lainnya. Sebaran rumahtangga nelayan bagang yang melakukan strategi ekonomi terlihat dalam Tabel 34. Tabel 34. Sebaran Rumahtangga Nelayan Bagang dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Frekuensi
Persentase (%)
Diversifikasi Kerja Rumahtangga Tidak Ada (1) Ada (2)
Skor
8 9
47,1 52,9
Total
17
100,0
Pola Nafkah Ganda Tidak Ada (1) Ada (2)
14 3
82,4 17,6
Total
17
100,0
Mobilitas Kerja Tidak Ada (1) Ada (2)
17 0
100,0 0,0
Total
17
100,0
Berhutang Tidak (1) Ya (2)
7 10
41,2 58,8
Total
17
100,0
Kegiatan Ilegal Tidak (1) Ya (2)
16 1
94,1 5,9
Total
17
100,0
Strategi Lainnya Tidak Ada (1) Ada (2)
8 9
47,1 52,9
Total
17
100,0
Sumber: data primer diolah
61
Berdasarkan keenam ragam pada Tabel 34 akan diterangkan strategi ekonomi nelayan bagang secara umum. Terdapat sembilan responden nelayan bagang (52,9 persen) yang melakukan diversifikasi rumahtangga sementara delapan responden nelayan bagang (47,1 persen) tidak melakukan diversifikasi kerja. Hanya terdapat tiga responden (17,6 persen) nelayan bagang yang melakukan pola nafkah ganda. Sementara tidak ada responden nelayan melakukan mobilitas kerja pada saat baratan, yang artinya mereka memilih menganggur daripada bekerja selain melaut. Terdapat tujuh responden (41,2 persen) nelayan bagang yang memiliki kebiasaan berhutang pada sumber dana selain bos, sementara sepuluh orang nelayan bagang (58,8 persen) memilih untuk tidak berhutang kepada sumber dana selain bos. Strategi ekonomi lainnya yaitu kegiatan ilegal hampir tidak pernah dilakukan oleh nelayan bagang, dan hanya satu orang responden yang mengaku pernah melakukan kegiatan ilegal. Sementara itu terdapat delapan responden (47,1 persen) nelayan yang tidak melakukan strategi ekonomi lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sisanya sebanyak sembilan responden (52,9 persen) melakukan strategi ekonomi lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Strategi ekonomi lain ini diantaranya adalah menjual atau menggadaikan barang sebagai simpanan pada masa-masa baratan atau tidak melaut. 6.3.2. Strategi Ekonomi Nelayan Jaring Strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan jaring antara lain adalah diversifikasi kerja rumahtangga, pola nafkah ganda, mobilitas kerja, berhutang dan strategi-strategi lainnya, seperti dijelaskan dalam Tabel 35. Terlihat pada tabel bahwa seluruh responden nelayan jaring (100 persen) tidak melakukan diversifikasi kerja. Sementara hanya terdapat tiga responden (37,5 persen) nelayan jaring yang melakukan pola nafkah ganda, dan tidak ada responden nelayan melakukan mobilitas kerja pada saat baratan, yang artinya mereka memilih menganggur daripada bekerja selain melaut. Responden nelayan jaring mengandalkan strategi berhutang kepada sumber selain patron sebagai strategi ekonomi yang dominan.
62
Tabel 35. Sebaran Rumahtangga Nelayan Jaring dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Diversifikasi Kerja Rumahtangga Tidak Ada (1) Ada (2)
8 0
100,0 0,0
Total
8
100,0
Pola Nafkah Ganda Tidak Ada (1) Ada (2)
5 3
62,5 37,5
Total
8
100,0
Mobilitas Kerja Tidak Ada (1) Ada (2)
8 0
100,0 0,0
Total
8
100,0
Berhutang Tidak (1) Ya (2)
2 6
25,0 75,0
Total
8
100,0
Kegiatan Ilegal Tidak (1) Ya (2)
7 1
87,5 12,5
Total
8
100,0
Strategi Lainnya Tidak Ada (1) Ada (2)
5 3
62,5 37,5
Total
8
100,0
Sumber: data primer diolah
Terdapat enam responden (75,0 persen) nelayan jaring yang memiliki kebiasaan berhutang pada sumber dana selain bos, sementara hanya dua orang nelayan jaring (25,0 persen) yang memilih untuk tidak berhutang kepada sumber dana selain bos. Strategi ekonomi lainnya yaitu kegiatan ilegal hampir tidak pernah dilakukan oleh nelayan bagang, dan hanya satu orang responden yang mengaku pernah melakukan kegiatan ilegal. Sementara itu terdapat tiga responden (37,5 persen) nelayan yang tidak melakukan strategi ekonomi lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sisanya sebanyak enam responden (62,5 persen) melakukan strategi ekonomi lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Strategi ekonomi lain ini diantaranya adalah menjual atau menggadaikan barang sebagai simpanan pada masa-masa baratan atau tidak melaut.
63
6.3.3. Strategi Ekonomi Nelayan Budidaya Strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan budidaya antara lain adalah diversifikasi kerja rumahtangga, pola nafkah ganda, mobilitas kerja, berhutang dan strategi-strategi lainnya, sebaran rumahtangga nelayan budidaya yang melakukan strategi-strategi ekonomi untuk memperpanjang distribusi pendapatan mereka tergambar dalam Tabel 36. Tabel 36. Sebaran Rumahtangga Nelayan Budidaya dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Diversifikasi Kerja Rumahtangga Tidak Ada (1) Ada (2)
0 13
0,0 100,0
Total
13
100,0
Pola Nafkah Ganda Tidak Ada (1) Ada (2)
11 2
84,6 15,4
Total
13
100,0
Mobilitas Kerja Tidak Ada (1) Ada (2)
13 0
100,0 0,0
Total
13
100,0
Berhutang Tidak (1) Ya (2)
4 9
30,8 69,2
Total
13
100,0
Kegiatan Ilegal Tidak (1) Ya (2)
12 1
92,3 7,7
Total
13
100,0
Strategi Lainnya Tidak Ada (1) Ada (2)
0 13
0,0 100,0
Total
13
100,0
Sumber: data primer diolah
Strategi ekonomi nelayan budidaya secara umum dapat dijelaskan bahwa seluruh responden nelayan budidaya melakukan diversifikasi kerja rumahtangga. artinya seluruh responden nelayan budidaya melakukan pembagian kerja diantara anggota keluarganya untuk membantu keuangan keluarga. Sementara hanya terdapat dua orang (15,4 persen) nelayan budidaya yang melakukan pola nafkah ganda. Sisanya sebanyak sebelas responden (84,6 persen) tidak melakukan pola
64
nafkah ganda. Dari Tabel 36 juga diketahui bahwa tidak ada nelayan budidaya yang melakukan mobilitas kerja pada saat baratan, yang artinya mereka memilih menganggur daripada bekerja selain melaut. Terdapat sembilan responden (69,2 persen) yang memiliki kebiasaan berhutang kepada sumber dana selain patron. Strategi ekonomi lainnya yaitu kegiatan ilegal hampir tidak pernah dilakukan oleh nelayan budidaya, dan hanya satu orang responden yang mengaku pernah melakukan kegiatan ilegal. Sementara seluruh responden nelayan budidaya (100 persen) melakukan strategi ekonomi lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Strategi ekonomi lain ini diantaranya adalah menjual atau menggadaikan barang sebagai simpanan pada masa-masa baratan atau tidak melaut. Hal ini disebabkan bahwa nelayan budidaya atau budidaya kerang hijau memiliki tingkat probabilitas ‘gagal panen’ yang lebih tinggi dari nelayan lainnya, sehingga nelayan budidaya memiliki strategi ekonomi lain untuk memperpanjang distribusi pendapatan mereka. 6.3.4. Strategi Ekonomi Nelayan Sero Hanya ditemukan responden nelayan sero sebanyak tiga orang, meskipun demikian dari hasil survey diperoleh bahwa nelayan sero turut melaksanakan strategi-strategi untuk memperpanjang distribusi pendapatan rumahtangga mereka. Strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan sero antara lain adalah diversifikasi kerja rumahtangga, pola nafkah ganda, mobilitas kerja, berhutang dan strategi-strategi lainnya. Secara umum nelayan sero memiliki strategi ekonomi yaitu diversifikasi kerja rumahtangga dan strategi lainnya (seluruh responden). Hanya satu orang responden yang melakukan pola nafkah ganda dan hanya dua orang responden yang memiliki kebiasaan berhutang kepada sumber dana selain patron. Keseluruhan responden nelayan sero tidak ada yang melakukan mobilitas kerja yang artinya tidak ada nelayan yang berpndah pekerjaan ke darat ketika musim baratan, serta tidak ada responden nelayan sero yang melakukan tindakan ilegal maupun
melanggar
hukum
sebagai
strategi
ekonomi
mereka,
sebaran
rumahtangga nelayan sero yang melakukan strategi ekonomi dijelaskan dalam Tabel 37.
65
Tabel 37. Sebaran Rumahtangga Nelayan Sero dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Diversifikasi Kerja Rumahtangga Tidak Ada (1) Ada (2)
0 3
0,0 100,0
Total
3
100,0
Pola Nafkah Ganda Tidak Ada (1) Ada (2)
2 1
66,7 33,3
Total
3
100,0
Mobilitas Kerja Tidak Ada (1) Ada (2)
3 0
100,0 0,0
Total
3
100,0
Berhutang Tidak (1) Ya (2)
1 2
33,3 66,7
Total
3
100,0
Kegiatan Ilegal Tidak (1) Ya (2)
3 0
100,0 0,0
Total
3
100,0
Strategi Lainnya Tidak Ada (1) Ada (2)
0 3
0,0 100,0
Total
3
100,0
Sumber: data primer diolah
6.3.5. Strategi Ekonomi Nelayan Tembak Strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan tembak antara lain adalah diversifikasi kerja rumahtangga, pola nafkah ganda, mobilitas kerja, berhutang dan strategi-strategi lainnya, sebaran rumahtangga nelayan tembak yang melakukan strategi ekonomi dijelaskan dalam Tabel 38. Secara umum hanya satu responden nelayan tembak yang melakukan diversifikasi kerja rumahtangga, pola nafkah ganda dan strategi lainnya. Kedua responden memiliki kebiasaan berhutang pada sumber dana selain bos. Tetapi kedua responden nelayan tembak juga tidak pernah memiliki sejarah tindakan illegal yang melanggar hukum untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kedua responden nelayan tembak juga tidak ada yang melukakan mobilitas kerja, artinya mereka memilih menganggur daripada bekerja selain melaut.
66
Tabel 38. Sebaran Rumahtangga Nelayan Tembak dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Diversifikasi Kerja Rumahtangga Tidak Ada (1) Ada (2)
1 1
50,0 50,0
Total
2
100,0
Pola Nafkah Ganda Tidak Ada (1) Ada (2)
1 1
50,0 50,0
Total
2
100,0
Mobilitas Kerja Tidak Ada (1) Ada (2)
2 0
100,0 0,0
Total
2
100,0
Berhutang Tidak (1) Ya (2)
2 0
100,0 0,0
Total
2
100,0
Kegiatan Ilegal Tidak (1) Ya (2)
2 0
100,0 0,0
Total
2
100,0
Strategi Lainnya Tidak Ada (1) Ada (2)
1 1
50,0 50,0
Total
2
100,0
Sumber: data primer diolah
6.3.6. Strategi Ekonomi Nelayan Bagang-Budidaya Strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan bagang-budidaya antara lain adalah diversifikasi kerja rumahtangga, pola nafkah ganda, mobilitas kerja, berhutang dan strategi-strategi lainnya. Berdasarkan keenam ragam pada Tabel 39 dapat diterangkan strategi ekonomi nelayan bagang –budidaya secara umum. Terdapat dua belas responden nelayan bagang-budidaya (70,6 persen) yang melakukan diversifikasi rumahtangga sementara lima responden nelayan bagangbudidaya (29,4 persen) tidak melakukan diversifikasi kerja. Hanya terdapat dua responden (11,8 persen) nelayan bagang-budidaya yang melakukan pola nafkah ganda. Sementara tidak ada responden nelayan melakukan mobilitas kerja pada saat baratan, yang artinya mereka memilih menganggur daripada bekerja selain melaut.
67
Tabel 39. Sebaran Rumahtangga Nelayan Bagang-Budidaya dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Diversifikasi Kerja Rumahtangga Tidak Ada (1) Ada (2)
5 12
29,4 70,6
Total
17
100,0
Pola Nafkah Ganda Tidak Ada (1) Ada (2)
15 2
88,2 11,8
Total
17
100,0
Mobilitas Kerja Tidak Ada (1) Ada (2)
17 0
100,0 0,0
Total
17
100,0
Berhutang Tidak (1) Ya (2)
4 13
23,5 76,5
Total
17
100,0
Kegiatan Ilegal Tidak (1) Ya (2)
16 1
94,1 5,9
Total
17
100,0
Strategi Lainnya Tidak Ada (1) Ada (2)
7 10
41,2 58,8
Total
17
100,0
Sumber: data primer diolah
Terdapat tiga belas responden (76,5 persen) nelayan bagang-budidaya yang memiliki kebiasaan berhutang pada sumber dana selain bos, sementara empat orang nelayan bagang-budidaya (23,5 persen) memilih untuk tidak berhutang kepada sumber dana selain bos. Strategi ekonomi lainnya yaitu kegiatan ilegal hampir tidak pernah dilakukan oleh nelayan bagang-budidaya, dan hanya satu orang responden yang mengaku pernah melakukan kegiatan ilegal. Sementara itu terdapat tujuh responden (41,2 persen) nelayan yang tidak melakukan strategi ekonomi lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sisanya sebanyak sepuluh responden (58,8 persen) melakukan strategi ekonomi lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Strategi ekonomi lain ini diantaranya adalah
68
menjual atau menggadaikan barang sebagai simpanan pada masa-masa baratan atau tidak melaut. 6.3.7. Strategi Ekonomi Kuli Nelayan Responden kuli nelayan memiliki perbedaan strata dengan responden nelayan dengan alat tangkap maupun budidaya. Kuli nelayan terletak pada strata bawah secara reputasional, hal tersebut menyebabkan kuli nelayan seharusnya memiliki strategi untuk memperpanjang distribusi pendapatan mereka yang tidak seberapa dibandingkan nelayan lain. Secara ekonomi, kuli nelayan berada dalam strata terbawah dalam komunitasnya. Hanya ditemukan lima orang responden kuli nelayan, meskipun demikian hasil survey menunjukkan kuli nelayan turut melakukan strategi ekonomi. Strategi ekonomi yang dilakukan oleh kuli nelayan antara lain adalah diversifikasi kerja rumahtangga, pola nafkah ganda, mobilitas kerja, berhutang dan strategi-strategi lainnya, seperti dijelaskan dalam Tabel 40. Strategi ekonomi kuli nelayan secara umum adalah diversifikasi kerja rumahtangga dan berhutang (seluruh responden). Terdapat dua responden (40,0 persen) yang melakukan pola nafkah ganda, sementara tiga orang responden (60,0 persen) tidak melakukan pola nafkah ganda. Tidak ada responden nelayan melakukan mobilitas kerja pada saat baratan, yang artinya mereka memilih menganggur daripada bekerja selain melaut. Strategi ekonomi lainnya yaitu kegiatan ilegal hampir tidak pernah dilakukan oleh kuli nelayan. Sementara itu terdapat satu responden (20,0 persen) nelayan yang tidak melakukan strategi ekonomi lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sisanya sebanyak empat responden (80,0 persen) melakukan strategi ekonomi lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Strategi ekonomi lain ini diantaranya adalah menjaul atau menggadaikan barang sebagai simpanan pada masa-masa baratan atau tidak melaut.
69
Tabel 40. Sebaran Rumahtangga Kuli Nelayan dalam Ragam Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, Mobilitas Kerja, Berhutang, Kegiatan Ilegal dan Strategi Lainnya di Kampung Bambu dalam Angka Absolut dan Persen, Kampung Bambu, 2010 Skor
Frekuensi
Persentase (%)
Diversifikasi Kerja Rumahtangga Tidak Ada (1) Ada (2)
0 5
0,0 100,0
Total
5
100,0
Pola Nafkah Ganda Tidak Ada (1) Ada (2)
3 2
60,0 40,0
Total
5
100,0
Mobilitas Kerja Tidak Ada (1) Ada (2)
5 0
100,0 0,0
Total
5
100,0
Berhutang Tidak (1) Ya (2)
0 5
0,0 100,0
Total
5
100,0
Kegiatan Ilegal Tidak (1) Ya (2)
5 0
100,0 0,0
Total
5
100,0
Strategi Lainnya Tidak Ada (1) Ada (2)
1 4
20,0 80,0
Total
5
100,0
Sumber: data primer diolah
6.4. Strategi Sosial dan Strategi Kepemilikan Alat Tangkap Dalam
rangka
memperpanjang
Ekonomi
Nelayan
Berdasarkan
distribusi
pendapatannya,
nelayan
melakukan strategi sosial serta strategi ekonomi sebagai bentuk strategi bertahan hidup (survival strategy). Telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya mengenai sebaran masing-masing rumahtangga nelayan dengan alat tangkap yang berbeda, strategi sosial yang dilakukan nelayan antara lain adalah ketergantungan pada patron dan pemanfaatan jaringan sosial sementara strategi ekonomi nelayan antara lain diversifikasi kerja rumahtangga, pola nafkah ganda, mobilitas kerja, berhutang, kegiatan illegal serta strategi lainnya. Dalam subbab ini akan
70
dibandingkan secara keseluruhan strategi sosial dan strategi ekonomi yang dilakukan nelayan berdasarkan kepemilikan alat tangkap, sehingga akan terlihat persentase nelayan dengan alat tangkap yang melakukan strategi-strategi tersebut yang kemudian dapat dianalisis strategi apa saja yang dominan dilakukan oleh responden nelayan di daerah penelitian. Secara keseluruhan, strategi sosial nelayan dapat terlihat dari Tabel 41. Tabel. 41 Strategi Sosial Nelayan Berdasarkan Kepemilikan Alat Tangkap, Kampung Bambu, 2010 Strategi Sosial (%) Nelayan
Ketergantungan Pada Patron Rendah
Pemanfaatan Jaringan Sosial
Tinggi
Rendah
Tinggi
Bagang
13
(76,47)
4
(23,53)
8
(47,05)
9
(52,95)
Sero
2
(66,66)
1
(33,34)
2
(66,66)
1
(33,34)
Tembak
2
(100,0)
0
(0,0)
1
(50,0)
1
(50,0)
Jaring
5
(62,5)
3
(37,5)
5
(62,5)
3
(37,5)
Budidaya
11
(84,62)
2
(15,38)
1
(7,70)
12
(92,30)
Bagang-Budidaya
13
(76,47)
4
(23,53)
7
(41,18)
10
(58,82)
Kuli Nelayan
3
(60,0)
2
(40,0)
2
(40,0)
3
(60,0)
Total
49
(75,38)
16
(24,62)
26
(40,0)
39
(60,0)
Sumber: data primer diolah
Pada Tabel 41 terlihat secara keseluruhan, sebesar 24.62 persen responden memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada patron, sementara 75,38 persen memiliki ketergantungan yang rendah pada patron. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang memiliki ketergantungan pada patron yang rendah, terlihat dari rendahnya pinjaman pada patron pada saat melaut. Meskipun demikian, apabila dilihat secara satu per satu berdasarkan kepemilikan alat tangkap nelayan, terlihat bahwa nelayan tembak dan budidaya memiliki tingkat ketergantungan pada patron yang paling rendah dibandingkan nelayan dengan alat tangkap lainnya. Ketergantungan yang rendah ini disebabkan patron nelayan budidaya berbeda dengan patron nelayan alat tangkap lain, lebih jauh akan dijelaskan pada subbab 6.5.2, sementara nelayan tembak lebih memilih untuk
71
tidak bergantung pada patron yang sama, sehingga intensitas meminjam nelayan tembak pada patron cenderung rendah. Secara teoritis, meminjam pada patron merupakan bentuk strategi bertahan hidup nelayan, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa meminjam kepada nelayan hanya dipilih oleh 16 responden dari keseluruhan responden sebagai srategi bertahan hidup. Sementara itu strategi pemanfaatan jaringan sosial dilakukan oleh 60 persen responden penelitian sebagai strategi bertahan hidup. Terlihat dari Tabel 41 bahwa sebanyak 39 responden memiliki jaringan sosial yang tinggi yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Terlihat pula bahwa responden nelayan budidaya memiliki tingkat pemanfaatan jaringan sosial yang tinggi diantara nelayan dengan alat tangkap lainnya. Hal ini disebabkan nelayan budidaya tidak mampu mengandalkan patron mereka untuk meminjam uang sebagai strategi bertahan hidup, sehingga jaringan sosial yang mereka miliki dimanfaatkan secara sebaik-baiknya agar mampu memperpanjang distribusi pendapatan rumahtangga. Secara umum dapat disimpulkan bahwa strategi sosial yang dominan dilakukan oleh nelayan adalah strategi pemanfaatan jaringan sosial. Rendahnya tingkat ketergantungan pada patron turut disebabkan oleh tingkat kepuasan pada patron yang rendah. Tingkat kepuasan patron ini dilihat dari kepuasan pada sistem bagi hasil, berbagi informasi mengenai pekerjaan di luar melaut dan interaksi secara umum nelayan dengan patron. Pada Tabel 42 terlihat sebesar 66,15 persen responden nelayan melakukan strategi ekonomi berupa diversifikasi kerja. Strategi ini dominan dilakukan oleh nelayan budidaya, terlihat pada Tabel 42 bahwa seluruh rumahtangga responden nelayan budidaya melakukan diversifikasi kerja, hal ini berarti rumahtangga nelayan budidaya memanfaatkan seluruh anggota keluarga untuk melakukan diversifikasi kerja, karena nelayan budidaya cenderung mengalami probabilitas gagal yang lebih besar dibandingkan nelayan lain pada usaha produksi. Diversifikasi kerja ini dimaksudkan untuk menutupi kekurangan penghasilan kepala keluarga serta memperpanjang distribusi pendapatan. Diversifikasi kerja juga dilakukan oleh seluruh rumahtangga responden kuli nelayan. Kuli nelayan yang memiliki pekerjaan yang lebih tidak menentu hasilnya
72
dibandingkan nelayan biasa, memanfaatkan seluruh anggota keluarganya untuk melakukan diversifikasi kerja. Hal yang berlawanan terlihat pada rumahtangga responden nelayan jaring yang tidak satupun melakukan diversifikasi kerja. Nelayan jaring cenderung melakukan strategi berhutang untuk memperpanjang distribusi pendapatan mereka. Tabel 42. Strategi Ekonomi Nelayan Berupa Diversifikasi Kerja Rumahtangga, Pola Nafkah Ganda, dan Mobilitas Kerja Berdasarkan Kepemilikan Alat Tangkap, Kampung Bambu, 2010 Strategi Ekonomi (%) Nelayan
Diversifikasi Kerja
Pola Nafkah Ganda
Mobilitas Kerja
Tidak Ada
Ada
Tidak Ada
Ada
Tidak Ada
Ada
8
9
14
3
17
0
(47,05)
(52,95)
(82,32)
(17,68)
(100,0)
(0,0)
0
3
2
1
3
0
(0,0)
(100,0)
(66,66)
(33,34)
(100,0)
(0,0)
1
1
1
1
2
0
(50,0)
(50,0)
(50,0)
(50,0)
(100,0)
(0,0)
8
0
5
3
8
0
(100,0)
(0,0)
(62,5)
(37,5)
(100,0)
(0,0)
0
13
11
2
13
0
(0,0)
(100,0)
(84,62)
(15,38)
(100,0)
(0,0)
5
12
15
2
17
0
(29,42)
(70,58)
(88,23)
(11,77)
(100,0)
(0,0)
0
5
3
2
5
0
(0,0)
(100,0)
(60,0)
(40,0)
(100,0)
(0,0)
22
43
51
14
65
0
(33,85)
(66,15)
(78,46)
(21,54)
(100,0)
(0,0)
Bagang
Sero
Tembak
Jaring
Budidaya
Bagang‐budidaya
Kuli nelayan
Total
Sumber: data primer diolah
Sementara pada strategi ekonomi pola nafkah ganda, terlihat bahwa seluruh responden nelayan (78,6 persen) cenderung tidak melakukannya. Hal ini disebabkan oleh nelayan lebih memilih untuk mengandalkan satu jenis pekerjaan yang mereka kuasai daripada menyambi dengan pekerjaan lain yang mereka tidak
73
terlalu paham bidangnya. Nelayan juga mengaku bahwa mereka tidak punya ‘waktu’ untuk bekerja selain di laut, apabila ada waktu kosong mereka akan memilih untuk memeriksa peralatan tangkap atau perahu untuk melaut. Strategi ekonomi berupa mobilitas kerja (perpindahan kerja saat musim barat) juga tidak dilakukan oleh satu responden pun, walaupun secara teoritis strategi mobilitas kerja merupakan salah satu strategi ekonomi. Hal ini disebabkan oleh nelayan yang memilih menganggur pada musim baratan, mereka menganggap pekerjaan lain selain dari nelayan memerlukan keterampilan yang tidak mereka miliki, selain itu nelayan juga beranggapan bahwa pekerjaan nelayan merupakan jalan hidup yang mereka pilih secara turun menurun, mereka juga beranggapan bahwa pekerjaan sebagai nelayan membuat mereka merasa ‘merdeka’ tanpa jam kerja ataupun perintah dari atasan, seperti diungkapkan oleh THG (47) seorang nelayan bagang, “Saya udah turun ke laut dari jaman saya bisa inget (dari kecil, red.), dulu bapak saya dan kakek saya sudah jadi nelayan, dan itu satu-satunya (pekerjaan) yang paling saya kuasai. Kalau udah nggak ke laut lagi, ya saya nggak tahu mau hidup dari apa, (pekerjaan ini) udah jadi andalan saya dan keluarga selama bertahun-tahun. Kalau mau nyoba (pekerjaan) yang lain repot, nggak ada ilmunya (tidak ada dasar pendidikan, red). Lagipula menjadi nelayan itu bebas, nggak seperti karyawan yang ada jam kerjanya.”
Strategi ekonomi lainnya antara lain adalah berhutang (kepada sumber selain patron), strategi ini banyak dilakukan oleh nelayan bagang, nelayan budidaya, nelayan bagang-budidaya serta kuli nelayan. Sementara itu hampir tidak ada responden nelayan yang melakukan kegiatan ilegal sebagai strategi ekonomi mereka (93.85 persen) dan hanya empat orang responden nelayan dari keseluruhan yang mengaku pernah melakukan kegiatan illegal. Terlihat pada Tabel 43 bahwa sebanyak 43 rumahtangga responden nelayan (66.15 persen) melakukan strategi lain untuk bertahan hidup sebagai strategi ekonomi mereka. Strategi ini dominan dilakukan oleh seluruh responden nelayan kecuali nelayan jaring. Responden nelayan jaring lebih memilih untuk
74
berhutang kepada sumber lain selain patron sebagai strategi ekonomi mereka. Sementara bentuk strategi lain yang dilakukan nelayan antara lain adalah menggadaikan atau menjual barang-barang yang mereka miliki untuk menutupi kekurangan selama masa baratan ataupun masa-masa normal. Tabel 43. Strategi Ekonomi Nelayan Berupa Berhutang, Kegiatan Ilegal, dan Strategi Lainnya Berdasarkan Kepemilikan Alat Tangkap, Kampung Bambu, 2010 Strategi Ekonomi (%) Nelayan
Berhutang
Kegiatan Ilegal
Strategi Lainnya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak Ada
Ada
7
10
16
1
8
9
(41,18)
(58,82)
(94,12)
(5,88)
(47,05)
(52,95)
1
2
3
0
0
3
(33,34)
(66,66)
(100,0)
(0,0)
(0,0)
(100,0)
2
0
2
0
1
1
(100,0)
(0,0)
(100,0)
(0,0)
(50,0)
(50,0)
2
6
7
1
5
3
(25,0)
(75,0)
(87,5)
(12,5)
(62,5)
(37,5)
4
9
12
1
0
13
(30,77)
(69,23)
(92,31)
(7,69)
(0,0)
(100,0)
4
9
12
1
0
13
(23,53)
(69,23)
(92,31)
(7,69)
(0,0)
(100,0)
0
5
5
0
1
4
(0,0)
(100,0)
(100,0)
(0,0)
(20,0)
(80,0)
20
45
61
4
22
43
(30,77)
(69,23)
(93,85)
(6,15)
(33,85)
(66,15)
Bagang
Sero
Tembak
Jaring
Budidaya
Bagang‐budidaya
Kuli nelayan
Total
Sumber: data primer diolah
75
6.5.
Bentuk Strategi Bertahan Kepemilikan Alat Tangkap
Hidup
Nelayan
Berdasarkan
Penerapan berbagai bentuk strategi bertahan hidup merupakan upaya yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan untuk memperpanjang distribusi pendapatan dan untuk mencukupi berbagai kebutuhan hidup. Penerapan strategi bertahan hidup ini dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber nafkah yang ada. Dalam upaya untuk memperpanjang distribusi pendapatan, rumahtangga nelayan tidak hanya menerapkan salah satu bentuk strategi bertahan hidup. Kombinasi dari berbagai bentuk strategi bertahan hidup biasa dilakukan untuk dapat mempertahan klangsungan hidup. Penerapan kombinasi strategi yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan sangat tergantung pada ketersediaan waktu, tenaga dan berbagai sumber nafkah lain yang dimiliki. Dengan kondisi demikian, maka strategi bertahan hidup rumahtangga yang diterapkan oleh nelayan semakin kompleks. Usaha penangkapan ikan yang dilakukan nelayan bersifat ekstratif, mengandung lebih banyak resiko ketidakpastian. Setiap saat mereka menghadapi resiko kegagalan produksi karena cuaca yang memburuk, kecelakaan laut maupun karena alat tangkapnya yang rusak. Resiko kegagalan itu diperparah dengan kondisi laut yang semakin tercemar terutama di daerah Teluk Jakarta. Penelitian menunjukkan bahwa rumahtangga nelayan di daerah Teluk Jakarta mengalami kerentanan nafkah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain yang tidak tercemar. Dharmawan (2001) dalam Lestari (2005) menyebutkan terdapat dua macam strategi yang dikembangkan oleh rumahtangga peasant terkait dengan fase-fase kehidupannya, yaitu strategi yang dikembangkan saat kehidupan berada dalam keadaan normal dan strategi yang dikembangkan saat kehidupan berada dalam keadaan krisis. Dalam kehidupannya, nelayan mengalami dua masa. Pertama adalah masa normal untuk melaut, yang ditandai dengan kegiatan penangkapan yang optimal dan pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan tersebut mampu menjamin keberlanjutan distribusi pendapatan. Kedua adalah masa baratan atau saat-saat tidak melaut karena angin barat bertiup (sekitar bulan oktober-maret),
76
pada masa-masa ini kegiatan penangkapan ikan berada dalam kondisi tidak optimal yang disebabkan oleh cuaca dan kondisi oseanografi yang tidak mendukung, sehingga dalam masa ini keberlangsungan distribusi pendapatan dalam rumahtangga nelayan pun ikut terancam. Masa normal dan masa baratan tersebut juga dialami oleh nelayan di Teluk Jakarta, dan komunitas nelayan Kampung Bambu pada penelitian ini. Mereka mengalami dua masa dalam setahun, bahkan nelayan merasa bahwa masa baratan semakin tidak bisa ditentukan selang bulannya karena kondisi cuaca yang semakin tidak bisa diprediksi, seperti pada bulan maret tahun 2010 yang seharusnya mereka sudah bisa melaut, tetapi saat itu hujan masih turun terus menerus. Musim barat ditandai dengan berhembusnya angin dari barat, kencangnya angin ini mendorong terbentuknya gelombang besar, akibatnya nelayan tidak mampu melakukan aktivitas penangkapan ikan secara optimal. Pada musim inilah nelayan mengidentikkan musim ini sebagai musim baratan dimana kehidupan ekonomi rumahtangga nelayan berada pada kondisi yang sangat rentan dan terancam keberlanjutannya. Musim baratan yang berlangsung lebih lama daripada musim ikan menyebabkan nelayan harus melaksanakan strategi bertahan hidup untuk memperpanjang distribusi pendapatan, guna mengantisipasi datangnya krisis. Saat musim baratan mereka juga melakukan berbagai aktivitas ekonomi untuk mengusahakan terpenuhinya kebutuhan dasar rumahtangga. Dari pembahasan pada sub bab sebelumnya diketahui bahwa nelayan melakukan strategi ekonomi serta strategi sosial untuk bertahan hidup. Strategi sosial yang dilakukan nelayan antara lain adalah ketergantungan pada patron yang pada penelitian ini dilihat dari intensitas meminjam pada patron saat tidak melaut, serta jaringan sosial yang dimiliki oleh nelayan yang pada penelitian ini dilihat dari kualitas jaringan sosial nelayan seperti apakah nelayan yang bersangkutan tergabung dalam kelompok nelayan, frekuensi kehadiran pada perkumpulan kelompok nelayan tersebut, dan koneksi dengan RT hingga kelurahan. Sementara strategi ekonomi dilihat dari apakah nelayan tersebut melakukan diversifikasi kerja dalam rumahtangga, pola nafkah ganda, mobilitas kerja, berhutang dan lainlain. Nelayan di Kampung Bambu mengembangkan alat tangkap yang berbeda,
77
masing-masing alat tangkap tersebut memiliki sifat berbeda yang turut mempengaruhi strategi sosial dan ekonomi masing-masing rumahtangganya.
6.5.1.
Strategi Berbasis Modal Sosial: Sistem Patron-Klien Upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan memperpanjang
distribusi rumahtangga yang dilakukan masyarakat nelayan juga menerapkan strategi non-produksi (strategi sosial) yang melibatkan nilai-nilai tradisional yaitu strategi
berbasiskan
modal
sosial
dengan
memanfaatkan
kelembagaan
kesejahteraan asli dan pola hubungan produksi yang terdapat pada komunitas nelayan. Strategi berbasiskan modal sosial ini merupakan strategi pendukung dari berbagai bentuk strategi produksi yang dijalankan oleh rumahtangga nelayan guna memperanjang distribusi pendapatan. Kelembagaan bagi hasil serta hubungan patron-klien dalam produksi masih terlihat sangat kental di komunitas nelayan Kampung Bambu. Akibat aktivitas penangkapan ikan yang penuh dengan ketidakpastian, komunitas nelayan umumnya mengembangkan kelembagaan produksi yang menjamin keamanan nafkah bagi setiap nelayan yang terlibat di dalamnya. Kelembagaan produksi ini mengembangkan
mekanisme
pembagian
nafkah
yang
berwujud
dalam
kelembagaan bagi hasil dan hubungan patron klien antara pedagang, nelayan pemilik kapal, pemilik ternak dengan nelayan buruh. Nelayan di Kampung Bambu mengembangkan alat tangkap yang berbeda, masing-masing alat tangkap tersebut memiliki sistem patron-klien yang bervariasi. Usaha penangkapan ikan oleh nelayan bagang bersifat harian. Umumnya nelayan bagang mengoperasikan alat-alatnya mulai ba’da Ashar hingga Subuh. Nelayan bagang berangkat mulai ba’da Ashar dan menempuh perjalanan hingga satu jam ke tempat bagang-bagang mereka ditancapkan. Sesampainya di bagang, nelayan akan menurunkan jaring dan menunggu hingga jaring tersebut dipenuhi ikan, sekitar dua jam menunggu. Jaring akan ditarik dua sampai tiga kali dalam satu malam penangkapan. Biasanya pemilik perahu ikut aktif dalam kegiatan penangkapan ikan dengan nelayan yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengannya. Kemudian nelayan akan menjual hasil tangkapannya melalui TPI
78
(Tempat Pelelangan Ikan), penjualan dilakukan kepada pedagang yang menawarkan harga tertinggi. Sebagian besar nelayan memiliki keterikatan dengan pedagang, sehingga mereka tak bisa menjual hasil tangkapannya ke pedagang lain. Hubungan yang terjalin antar pedagang dan nelayan tersebut merupakan hubugan antar patron dan klien, dimana pedagang sebagai patron memberikan bantuan permodalan untuk operasi penangkapan sedangan nelayan sebagai klien memberikan kesetiaannya untuk menjual hasil tangkapan kepada pedagang. Sistem yang sama juga terjadi pada nelayan sero. Usaha penangkapan ikan oleh nelayan sero bersifat harian, meskipun dalam rentang waktu yang lebih sedikit dibandingkan nelayan bagang, karena sero tidak memiliki ‘ruangan’ untuk menunggu ikan terjaring seperti bagang, sehingga nelayan sero akan melaut setelah sebelumnya menurunkan jaring dan langsung kembali untuk menjual ikan hasil tangkapan. Pedagang tempat nelayan sero menjual ikan juga sudah terikat dan tidak bisa menjual hasil tangkapannya ke pedagang lain. Pedagang (patron) biasanya memberikan bantuan kepada nelayan saat mereka kekurangan modal. Berbeda dengan nelayan bagang dan sero, nelayan tembak akan menjual hasil tangkapannya kepada pedagang yang membeli lebih tinggi. Banyak nelayan tembak tidak memiliki pedagang yang tetap untuk menjual harga tangkapan mereka karena, berbeda dengan nelayan bagang dan sero yang menangkap ikan sekaligus dalam jumlah besar, nelayan tembak hanya menangkap ikan-ikan yang bernilai jual tinggi dalam jumlah lebih kecil. Meskipun demikian, terdapat juga nelayan tembak yang memiliki pedagang tetap untuk menjual hasil tangkapannya, alasannya adalah nelayan ‘lebih kenal’ dengan pedagang yang membuat tawarmenawar lebih mudah. Sementara usaha penangakapan ikan yang dilakukan oleh nelayan jaring juga dilakukan setiap hari. Umumnya nelayan jaring mengoperasikan alat-alatnya mulai dari Subuh hingga ba’da Dzuhur atau ba’da Ashar hingga Subuh. Alat dan perahu seperti jaring gill net dioperasikan, mulai dari pemilik perahu hingga kuli nelayan pengangkut membentuk pola hubungan produksi. Pola produksi ini akan melahirkan mekanisme distribusi (pembagian) pendapatan antara pemilik perahu dan nelayan buruhnya. Mekanisme tersebut terwujud dalam kelembagaan bagi
79
hasil. Bagi hasil dari usaha penangkapan ikan nelayan jaring didiferensiasikan berdasarkan tugas-tugas tertentu dalam proses penangkapan ikan tersebut. Hubungan patron-klien nelayan jaring akan tampak ketika hasil penjualan tangkapan minim dan hanya mampu menutupi biaya perbekalan. Dalam kondisi demikian, patron wajib memberikan jaminan nafkah kepada nelayan meskipun jumlahnya tak seberapa. Jaminan nafkah ini diberikan untuk mempertahankan nelayan agar tetap mau bekerja pada patron. Nelayan budidaya memiliki sistem patron klien yang berbeda dari nelayan dengan alat tangkap lainnya, karena nelayan budidaya tidak memliki frekuensi penangkapan ikan secara harian. Selain itu, nelayan budidaya atau ternak tidak menggunakan alat tangkap seperti bagang, sero, jaring ataupun alat tembak sebagai inti produksi mereka, melainkan membangun pancang bambu tempat kerang hijau beternak dan menunggu hingga hitungan bulan untuk memanen hasil ternak mereka. Nelayan budidaya memiliki probabilitas ‘gagal panen’ yang lebih tinggi dibandingkan nelayan dengan alat tangkap lain, karena pencemaran akibat limbah yang turun sewaktu-waktu mampu meluruhkan seluruh ternak yang telah dipelihara selama berbulan-bulan. Patron atau pemilik ternak juga memiliki probabilitas gagal panen yang sama besarnya dengan buruh nelayan budidaya yang bekerja pada mereka, sehingga patron nelayan budidaya (pemilik ternak) lebih miskin dibandingkan patron pada nelayan dengan alat tangkap. Hal inilah yang menyebabkan nelayan budidaya memiliki intensitas pinjaman yang rendah pada patron, sebab apabila ternak kerang hijau luruh dan gagal, bukan hanya nelayan budidaya yang rugi tetapi patron atau pemilik ternak juga rugi. Dapat dikatakan kondisi ekonomi patron budidaya tidak jauh berbeda dengan buuh nelayan budidaya. Selain kemungkinan ‘gagal panen’ yang lebih besar, penjualan kerang hijau juga ditentukan pasang surut di Muara Baru (tempat akhir penjualan kerang hijau nelayan budidaya Kampung Bambu). Jika dibandingkan, maka sistem patron klien pada masing-masing nelayan dengan alat tangkap yang berbeda dapat dimatrikskan dalam Gambar 2.
80
Gambar 2. Matriks Sistem Patron Klien Sebagai Strategi Sosial Berdasarkan Jenis Alat Tangkap Nelayan Kampung Bambu, 2010 Jenis Alat Tangkap
Sistem Patron-Klien Patron adalah pedagang pembeli hasil tangkapan ikan. Ketergantungan pada patron terlihat saat nelayan harus
Bagang
menjual hasil tangkapan pada pedagang yang sama, sebagai imbalannya pedagang akan memberikan bantuan permodalan baik untuk penangkapan ikan maupun saat baratan. Patron adalah pedagang pembeli hasil tangkapan ikan. Ketergantungan pada patron terlihat saat nelayan harus
Sero
menjual hasil tangkapan pada pedagang yang sama, sebagai imbalannya pedagang akan memberikan bantuan permodalan baik untuk penangkapan ikan maupun saat baratan. Patron adalah pedagang pembeli hasil tangkapan ikan. Ketergantungan pada patron terlihat saat nelayan tembak
Tembak
menjual hasil tangkapan pada pedagang yang sama, sebagai imbalannya pedagang akan memberikan bantuan permodalan saat baratan. Patron adalah pemilik perahu. Ketergatungan pada patron terlihat saat nelayan jaring hanya melakukan usaha
Jaring
penangkapan ikan pada pemilik perahu yang sama, sebagai imbalannya pemilik perahu memberlakukan sistem bagi hasil dan jaminan nafkah kepada nelayan. Patron adalah pemilik ternak kerang hijau. Ketergantungan pada patron terlihat saat nelayan budidaya melakukan
Budidaya
penangkapan hasil produksi dari pemilik ternak yang sama. Sebagai imbalannya pemilik ternak akan memberikan bantuan baik untuk mengambil hasil ternak maupun saat baratan.
Sistem patron-klien tersebut pada akhirnya turut membantu nelayan menghadapi masa baratan sebagai salah satu strategi sosial mereka. Meskipun terlihat pada hasil penelitian bahwa hampir seluruh nelayan merasa tidak puas terhadap patron, ketergantungan pada patron tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan nelayan. Kelembagaan sistem patron klien ini terwujud dalam hubungan antara nelayan dengan pedagang, pemilik perahu maupun pemilik ternak, yang secara tidak langsung membantu nelayan memperpanjang distribusi pendapatan dalam masa-masa baratan, serta sebagai strategi sosial menghadapi pencemaran.
81
6.5.2.
Strategi Alokasi Sumberdaya Manusia Strategi alokasi sumberdaya manusia ini dilakukan oleh rumahtangga
nelayan dengan memanfaatkan seluruh tenaga kerja yang dimilikinya untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Semua anggota rumahtangga nelayan memberikan kontribusi terhadap keseluruhan pendapatan yang diperoleh rumahtangga tersebut. Kewajiban dan beban untuk memperoleh pendapatan guna mempertahankan kelangsungan hidup ditanggung oleh seluruh anggota rumahtangga meskipun kewajiban utama tetap berada pada kepala rumahtangga. Hal ini terjadi pada komunitas nelayan di Kampung Bambu, terutama nelayan budidaya dan kuli nelayan. Baik anggota rumahtangga wanita maupun anak-anak melakukan pekerjaan untuk membantu kepala rumahtangga memperpanjang distribusi pendapatan. Rumahtangga merupakan unit produksi, konsumsi, reproduksi, sosial dan politik. Oleh karenanya, strategi bertahan hidup rumahtangga juga menjadi tanggung jawab dan kontribusi seluruh anggotanya. Hal serupa juga dikembangkan oleh rumahtangga nelayan, ketidakpastian hasil produksi yang mereka alami diatasi dengan mengerahkan setiap anggota rumahtangganya untuk terlibat dalam aktivitas nafkah sehingga dapat bertahan (survival strategy). Nelayan dengan alat tangkap yang berbeda mengerahkan keterlibatan anggota rumahtangga yang berbeda pula sebagai bentuk strategi ekonomi mereka. Nelayan bagang, sero, jaring dan tembak memiliki kecenderungan pola pelibatan anggota rumahtangga yang sama dalam kegiatan distribusi pendapatan rumahtangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diversifikasi kerja hampir seluruhnya dilakukan oleh seluruh nelayan dengan berbagai jenis alat tangkap, terutama nelayan budidaya. Karena kecenderungan gagal panen dari ternak kerang hijau yang besar dibandingkan dengan usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap lain, hampir seluruh rumahtangga nelayan budidaya memiliki pembagian kerja sebagai bentuk strategi ekonomi. Nelayan budidaya terutama mengerahkan seluruh anggota keluarga untuk membantu memperpanjang distribusi pendapatan rumahtangga antara lain istri dan anak-anak membantu mengupas kijing atau kerang hijau, setelah kepala keluarga mengambil ternak milik patron.
82
Jika dibandingkan, maka pelibatan anggota rumahtangga pada masingmasing nelayan dapat dimatrikskan dalam Gambar 3. Gambar 3.
Matriks Pelibatan Anggota Rumah Tangga Sebagai Strategi Ekonomi Berdasarkan Jenis Alat Tangkap Nelayan Kampung Bambu, 2010
Nelayan
Pelibatan Anggota Rumahtangga dalam Produksi Kepala rumahtangga (bapak) sebagai pencari nafkah utama
Bagang
(nelayan), perempuan dewasa Kepala rumahtangga (bapak) sebagai pencari nafkah utama
Sero
(nelayan), perempuan dewasa Kepala rumahtangga (bapak) sebagai pencari nafkah utama
Tembak
(nelayan), perempuan dewasa Kepala rumahtangga (bapak) sebagai pencari nafkah utama
Jaring
(nelayan), perempuan dewasa Kepala rumahtangga (bapak) sebagai pencari nafkah utama
Budidaya
(nelayan), istri dan anak-anak sebagai pencari nafkah sampingan (mengupas kerang hijau) Seluruh anggota rumahtangga, baik dewasa sebagai pencari
Kuli Nelayan
nafkah utama, maupun anak-anak
Secara umum, nelayan dengan alat tangkap maupun nelayan budidaya berada dalam strata yang sama, kecuali kuli nelayan (kuli angkut/panggul). Perbedaan
strata
ini
menyebabkan
perbedaan
pada
pelibatan
anggota
rumahtangga. Semakin bawah strata, maka anggota rumahtangga yang terlibat dalam aktivitas nafkah semakin banyak. Hal ini merupakan strategi untuk tetap mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pemanfaatan modal manusia dalam rumahtangga nelayan juga dapat terlihat pada pola nafkah ganda yang dilakukan nelayan. Namun pada kenyataannya, diperoleh hasil penelitian bahwa hanya empat belas rumahtangga nelayan yang kepala keluarganya melakukan pola nafkah ganda. Hal ini disebabkan nelayan lebih memilih untuk mengandalkan satu jenis pekerjaan yang mereka kuasai daripada menyambi dengan perkerjaan lain yang mereka tidak terlalu paham bidangnya. Nelayan juga mengaku bahwa mereka tidak punya ‘waktu’ untuk bekerja selain di laut, apabila ada waktu kosong mereka akan memilih untuk memeriksa peralatan tangkap atau perahu untuk melaut.
83
6.5.3. Strategi Berdasarkan Basis Produksi Strategi berdasarkan basis produksi merupakan strategi yang diterapkan rumahtangga nelayan dengan memanfaatkan sumber produksi secara maksimal. Lahan produksi yang dimiliki rumahtangga nelayan yaitu laut memiliki karakteristik sumberdaya yang berbeda dengan lahan produksi sektor pekerjaan lain. Akibat karakteristik sumberdaya laut yang bersifat akses terbuka (open access), nelayan tidak bisa memiliki klaim atas pemilikan lahan produksi. Sementara limbah produksi dari industri dan rumahtangga dapat dengan mudah masuk dan mencemari lahan sumber produksi. Rumahtangga
nelayan
pada
komunitas
nelayan
Kampung
Bambu
melakukan strategi berdasarkan basis produksi berupa ekstensifikasi (penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi) maupun dengan memperluas lahan produksi (intensifikasi). Strategi ekstensifikasi yang dilakukan nelayan dengan memanfaatkan penambahan tenaga kerja atau teknologi dominan dilakukan oleh nelayan jaring, sementara nelayan bagang, sero, budidaya dan kuli nelayan cenderung melakukan strategi intensifikasi. Nelayan jaring merupakan nelayan dengan alat tangkap dinamis, artinya kepemilikan nelayan terhadap alat tangkap yang sifatnya tidak menetap di laut, melainkan memerlukan persiapan dalam penggunaannya sehingga tidak dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu. Nelayan jaring melakukan strategi ekstensifikasi berupa penambahan teknologi pada alat tangkap mereka, sebelum pencemaran nelayan jaring menggunakan trawl dan pursein sebagai alat tangkap utama, hingga mulai marak digunakan trawl oleh nelayan kapal besar yang turut mempengaruhi terjadinya pencemaran. Nelayan jaring tradisional mulai mengganti alat tangkap mereka dengan gill net sebagai bentuk adaptasi teknologi produksi terhadap pencemaran. Sementara nelayan dengan alat tangkap statis yang memiliki karakteristik alat tangkap yang sifatnya tidak bergerak melainkan terpancang di laut, yaitu nelayan bagang, sero dan budidaya, cenderung melakukan intensifikasi lahan produksi. Berbeda dengan pola intensifikasi pertanian berupa perluasan lahan, strategi intensifikasi yang dilakukan nelayan adalah memperluas jangkauan
84
produksi melalui pembuatan bagang, sero, dan pancang ternak dalam jarak lebih jauh dari sebelum terjadi pencemaran. Nelayan bagang misalnya, dahulu sebelum pencemaran, dalam jarak kilometer dari bibir pantai mereka sudah bisa menancapkan bagangnya, sedangkan kini mereka harus berlayar lebih jauh hingga hitungan mil untuk menancapkan bagang agar bisa mencapai tempat yang terdapat ikannya. Demikian halnya dengan nelayan sero dan nelayan pembudidaya kerang hijau, nelayan dengan alat tangkap statis cenderung melakukan produksi penangkapan ikan dalam jarak yang lebih jauh sebagai adaptasi dari pencemaran pesisir.
6.5.4. Strategi Berbasis Spasial dan Finansial Strategi spasial merupakan suatu strategi yang dilakukan dengan cara keluar dari wilayah komunitas. Rumahtangga nelayan yang melakukan strategi spasial maka akan keluar dari komunitas dan mencari pekerjaan di luar komunitas. Strategi spasial ini dapat dilakukan dengan melakukan migrasi sirkuler ataupun migrasi permanen (Masithoh, 2005). Strategi spasial dilaksanakan karena terbatasnya sumber nafkah yang terdapat pada wilayah setempat, sehingga mendorong rumahtangga untuk mencari penghidupan di tempat lain. Sedangkan strategi berbasis finansial merupakan strategi pemanfaatan modal keuangan berupa tabungan, investasi, asuransi dan lain sebagainya. Pada komunitas nelayan tradisional Kampung Bambu, tidak banyak terdapat migrasi yang dilakukan oleh rumahtangga. Meskipun pekerjaan sebagai nelayan semakin sulit mendapatkan hasil akibat sumberdaya laut yang semakin terdegradasi, tidak banyak nelayan yang melakukan perpindahan pekerjaan karena adanya anggapan nelayan adalah pekerjaan turun-temurun yang merdeka. Meskipun demikian, terdapat pula beberapa anggota rumahtangga nelayan yang tidak meneruskan jejak orangtua mereka melaut, mereka memilih untuk bekerja di Jakarta sebagai buruh pabrik. Terdapat pula istri-istri nelayan yang memilih menjadi buruh cuci ataupun pembantu rumahtangga untuk membantu keuangan keuarga. Sedikitnya jumlah anggota keluarga yang melakukan migrasi sirkuler
85
ataupun permanen, kebanyakan dari mereka bekerja pada sektor domestik dengan alasan rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Strategi spasial yang dijalankan oleh rumahtangga nelayan juga sampai keluar negeri. Strategi migrasi ke luar negeri ini lebih banyak dilakukan oleh anggota rumahtangga wanita. Mereka menjadi TKW dengan bekerja sebagai pembantu rumahtangga di negara-negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam atau Arab Saudi. Mereka meninggalkan keluarga untuk menambah pendapatan. Sehingga terlihat bahwa strategi spasial cenderung dilakukan bukan oleh kepala keluarga, melainkan oleh anggota keluarga yang lain. Meskipun demikian tidak banyak ditemukan kasus migrasi serupa, kebanyakan dari istri nelayan memilih untuk mencari penghasilan tambahan di sekitar komunitas mereka saja. Sementara itu tidak ada rumahtangga nelayan yang menjalankan strategi finansial dengan memanfaatkan modal keuangan berupa tabungan atau investasi. Hal ini disebabkan capaian status nafkah nelayan tradisional di Kampung Bambu masih terbatas pada strategi keamanan dan stabilitas, artinya semua hasil yang diperoleh rumahtangga nelayan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal kebutuhan subsisten pangan. Mereka belum mampu melakukan pengumpulan aset karena arus distribusi pendapatan mereka hanya berputar dari musim ikan dan musim baratan, tanpa ada sisa untak menabung atau berinvestasi sebagai bentuk strategi akumulasi.
BAB VII ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT NELAYAN DENGAN STRATEGI SOSIAL DAN STRATEGI EKONOMI NELAYAN 7.1. Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Strategi Sosial 7.1.1. Hubungan Usia dengan Strategi Sosial Pada karakteristik individu terdapat tiga variabel yang diuji hubungannya dengan strategi sosial dan strategi ekonomi. Hubungan karakteristik usia responden dengan strategi sosial Crosstab chi-square. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah usia yang berbeda mempengaruhi hubungan dengan strategi sosial. Strategi sosial dilihat dari frekuensi meminjam kepada patron pada saat tidak melaut, kepuasan pada patron, serta kualitas jaringan sosial. Untuk usia dibagi menjadi tiga yaitu muda (18-30 tahun), dewasa (31-50 tahun) dan tua (51 tahun keatas).
Tabel 44. Hubungan Usia dengan Pinjaman Kepada Patron Pada Saat Tidak Melaut Umur
Pinjaman Pada Saat Tidak Melaut
Total
Rendah
Tinggi
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50 tahun)
24 21 4
5 11 0
29 32 4
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,374
49
16
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 44 diketahui sebanyak 24 orang responden usia muda memiliki intensitas meminjam yang rendah, sementara lima orang responden usia dewasa muda memiliki intensitas meminjam yang tinggi. Dari Tabel juga terlihat sebanyak 21 orang responden usia dewasa memiliki intensitas meminjam yang rendah, sementara 11 orang responden usia dewasa menengah memiliki intensitas meminjam yang tinggi. Pada responden usia tua, empat orang responden memiliki intensitas meminjam yang rendah. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS.17 for windows dengan model uji Cross Tab didapatkan hasil bahwa usia tidak berhubungan dengan intensitas pinjaman pada patron dengan nilai Approx.sig. 0,374 atau lebih besar dari α (0,05) maka Ho diterima, yang
87
berarti tidak ada hubungan antara usia dengan intensitas pinjaman pada patron.
Tabel 45. Hubungan Usia dengan Tingkat Kepuasan Terhadap Patron Umur
Interaksi dengan Patron
Total
Tidak Puas
Puas
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50 tahun)
24 28 4
5 4 0
29 32 4
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,363
56
9
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 45 dapat diketahui hanya sebanyak sembilan orang responden yang merasa ‘puas’ kepada patron, yaitu lima orang dari usia muda dan empat orang dari usia dewasa menengah. Sementara responden dari usia tua seluruhnya merasa tidak puas dengan interaksi dengan patron. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS.17 for windows dengan model uji Chi Square didapatkan hasil bahwa usia tidak berhubungan dengan kepuasan pada patron dengan nilai Approx.sig. 0,363 atau lebih besar dari α (0,05) maka Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara usia dengan kepuasan pada patron.
Tabel 46. Hubungan Usia dengan Jaringan Sosial Umur
Jaringan Sosial
Total
Rendah
Tinggi
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50 tahun)
23 2 1
6 30 3
29 32 4
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,00
26
39
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 46 dapat diketahui hanya terdapat satu orang responden dari usia tua yang memiliki jaringan sosial yang rendah. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,00 (lebih kecil dari 0,05) menandakan bahwa terdapat hubungan nyata antara usia dengan jaringan sosial. Responden dengan usia tua memiliki jaringan sosial yang tinggi jika dibandingkan
88
dengan responden usia muda dan dewasa. Berdasarkan uji hubungan terlihat bahwa semakin tua usia seseorang kualitas jaringan sosialnya juga semakin tinggi.
7.1.2. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Strategi Sosial Hubungan karakteristik tingkat pendidikan responden dengan strategi sosial diuji menggunakan Crosstab Chi-square. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah responden dengan tingkat pendidikan yang berbeda mempengaruhi hubungan dengan strategi sosial responden. Data hubungan tersebut secara ringkas tersaji dalam Tabel 47 hingga Tabel 49. Tabel 47. Hubungan antara Tingkat Pendidikan Dengan Pinjaman Pada Patron Pada Saat Tidak Melaut Pendidikan
Pinjaman pada Saat Tidak Melaut
Total
Rendah
Tinggi
Rendah (Tidak Tamat/Tamat SD) Sedang (Tamat SMP/sederajat)
48 1
14 2
62 3
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,086
49
16
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 47 diketahui responden yang memiliki pinjaman pada saat tidak melaut kepada patron menyebar dan tidak terlihat kecenderungan rendah atau tinggi. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,086 (lebih besar dari 0,05) yang menandakan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan intensitas meminjam pada patron. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS.17 for windows dengan model uji Cross Tab didapatkan hasil bahwa usia tidak berhubungan dengan intensitas pinjaman pada patron dengan nilai Approx.sig. 0,086 atau lebih besar dari α (0,05) maka Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan intensitas pinjaman pada patron.
89
Tabel 48. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Kepuasan Pada Patron Pendidikan
Interaksi dengan Patron
Total
Tidak puas
Puas
Rendah (Tidak Tamat/Tamat SD) Sedang (Tamat SMP/sederajat)
53 3
9 0
62 3
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,106
56
9
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 48 diketahui hanya sebanyak sembilan orang responden yang merasa ‘puas’ terhadap patron, keseluruhan merupakan responden dengan tingkat pendidikan rendah. Meskipun demikian, terlihat bahwa seluruh responden memiliki kecenderungan tidak puas terhadap patron. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,106 (lebih besar dari 0,05) menandakan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepuasan pada patron. Seluruh responden memiliki kecenderungan merasa ‘tidak puas’ dengan interaksi pada patron. Tabel 49. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Jaringan Sosial Pendidikan
Jaringan Sosial
Total
Rendah
Tinggi
Rendah (Tidak Tamat/Tamat SD) Sedang (Tamat SMP/sederajat)
25 1
37 2
62 3
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,804
26
39
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 49 diketahui bahwa kualitas jaringan sosial yang dimiliki responden dengan tingkat pendidikan rendah dan sedang cenderung menyebar, tidak terdapat kecenderungan kualitas jaringan sosial yang rendah atau tinggi. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,804 (lebih besar dari 0,05) menandakan bahwa tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan jaringan sosial. Masyarakat nelayan di Kampung Bambu dari berbagai tingkatan pendidikan cenderung memiliki kualitas jaringan sosial yang tinggi.
90
7.1.3. Hubungan Antara Besar Keluarga dengan Strategi Sosial Tujuan utama dalam menguji hubungan ini ialah untuk mengetahui apakah responden dengan jumlah besar keluarga yang berbeda berpengaruh terhadap strategi sosial. Uji ini menggunakan Crosstab chi-square. Data hubungan tersebut tersaji dalam Tabel 50. Tabel 50. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Pinjaman Pada Patron Jumlah Anggota Keluarga
Pinjaman Pada Saat Tidak Melaut
Total
Rendah
Tinggi
keluarga kecil (1-4 orang) keluarga menengah (5-6 orang) keluarga besar (>7 orang)
28 16 5
9 2 5
37 18 10
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,550
49
16
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 50 diketahui bahwa terdapat kecenderungan pinjaman yang rendah dari keseluruhan responden dengan besar keluarga kecil hingga besar. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,550 (lebih besar dari 0,05) menandakan bahwa tidak adanya hubungan antara besar keluarga dengan pinjaman pada patron. Tabel 51. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Kepuasan Pada Patron Jumlah Anggota Keluarga
Interaksi dengan Patron
Total
Tidak puas
Puas
keluarga kecil (1-4 orang) keluarga menengah (5-6 orang) keluarga besar (>7 orang)
31 15 10
6 3 0
37 18 10
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,271
56
9
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 51 diketahui hanya sebanyak sembilan orang responden dari keseluruhan sampel yang merasa ‘puas’ terhadap patron (pedagang/bos) yaitu enam orang dari keluarga kecil dan tiga orang responden keluarga menengah. Sebanyak sembilan dari keseluruhan responden yang merasa ‘puas’, dan sisanya yang merasa ‘tidak puas’ sebesar 56 responden dari keseluruhan responden.
91
Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,271 (lebih besar dari 0,05) menandakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan kepuasan pada patron. Responden dari berbagai besar keluarga cenderung merasa ‘tidak puas’ terhadap patron.
Tabel 52. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Jaringan Sosial Jumlah Anggota Keluarga
jaringan sosial
Total
rendah
tinggi
keluarga kecil (1-4 orang) keluarga menengah (5-6 orang) keluarga besar (>7 orang)
18 6 2
19 12 8
37 18 10
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,062
26
39
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 52 dapat terlihat bahwa semakin besar keluarga responden maka cenderung memiliki kualitas jaringan sosial yang semakin tinggi. Meskipun demikian, berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,052 (lebih besar dari 0,05) menandakan tidak adanya hubungan nyata antara besar keluarga dengan jaringan sosial. Masyarakat nelayan di Kampung Bambu memiliki jaringan sosial yang cenderung tinggi.
7.2.
Hubungan Karakteristik Nelayan dengan Strategi Ekonomi
7.2.1. Hubungan Antara Usia dengan Strategi Ekonomi Uji hubungan ini dilakukan untuk mengetahui apakah tingkatan usia turut mempengaruhi strategi ekonomi responden. Uji ini menggunakan Crosstab chisquare. Tabel 53. Hubungan antara Usia dengan Diversifikasi Kerja Umur
Diversifikasi Kerja Rumahtangga
Total
Tidak ada
Ada
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50)
9 4 1
20 28 3
29 32 4
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,201
14
51
65
Sumber: data primer diolah
92
Berdasarkan Tabel 53 diketahui sebanyak 20 responden dari 29 responden usia muda, 28 responden dari 32 responden usia dewasa, dan tiga dari empat responden usia tua melakukan diversifikasi kerja rumahtangga. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,201 (lebih besar dari 0,05) menandakan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan diversifikasi kerja. Responden dari berbagai tingkatan usia cenderung melakukan diversifikasi kerja rumahtangga sebagai strategi ekonomi. Tabel 54. Hubungan antara Usia dengan Pola Nafkah Ganda Umur
Pola Nafkah Ganda
Total
Tidak ada
Ada
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50)
24 24 3
5 8 1
29 32 4
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,751
51
14
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 54 diketahui bahwa sebanyak 24 orang responden dari dewasa muda tidak melakukan pola nafkah ganda, begitu pula 24 orang responden usia dewasa menengah dan tiga orang responden usia tua. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,751 (lebih besar dari 0,05) yang menandakan bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan pola nafkah ganda. Tabel 55. Hubungan antara Usia dengan Mobilitas Kerja Umur
Mobilitas kerja Tidak ada
Total
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50)
29 32 4
29 32 4
Total Keterangan: variabel konstan
65
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 55 diketahui bahwa seluruh responden dari berbagai tingatan usia tidak ada yang melakukan mobilitas kerja (konstan), sehingga hubungan antara usia dengan mobilitas kerja tidak bisa diuji.
93
Tabel 56. Hubungan antara Usia dengan Berhutang Umur
Berhutang
Total
Tidak
Ya
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50)
13 6 1
16 26 3
29 32 4
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,085
20
45
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 56 diketahui responden yang memiliki kebiasaan berhutang antara lain 16 orang dari usia muda, 26 orang dari usia dewasa dan tiga orang dari usia tua. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,085 (lebih besar dari 0,05) yang menandakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan kebiasaan berhutang. Tabel 57. Hubungan antara Usia dengan Kegiatan Ilegal Umur
Kegiatan Ilegal
Total
Tidak
Ya
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50)
28 29 4
1 3 0
29 32 4
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,547
61
4
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 57 dapat diketahui responden yang melakukan kegiatan ilegal hanya sebanyak empat orang, yaitu satu orang dari usia muda dan tiga orang lainnya dari usia dewasa. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Asymp. Sig. sebesar 0,547 (lebih besar dari 0,05) yang menandakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kegiatan ilegal. Seluruh responden dari berbagai tingkat usia cenderung tidak melakukan kegiatan ilegal sebagai strategi ekonomi mereka. Hubungan antara usia dengan strategi lainnya terlihat pada Tabel 58. Berdasarkan Tabel 58 diketahui sebanyak 10 orang responden dengan usia muda melakukan strategi lainnya, sementara dari usia menengah sebanyak 31 orang yang melakukan strategi lainnya.
94
Tabel 58. Hubungan antara Usia dengan strategi lainnya Umur
Strategi Lainnya
Total
Tidak ada
Ada
Muda (18-30 tahun) Dewasa (31-50 tahun) Tua (>50)
19 1 2
10 31 2
29 32 4
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,00
22
43
65
Sumber: data primer diolah
Dua dari empat orang yang berusia tua juga melakukan strategi lainnya. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,00 (lebih kecil dari 0,05) yang menandakan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan strategi lainnya. Semakin tua usia responden cenderung melakukan strategistrategi lainnya untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini dikarenakan karena faktor usia berhubungan dengan pengalaman untuk melakukan strategi bertahan hidup. 7.2.2.
Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Strategi Ekonomi Uji hubungan ini menggunakan Crosstab chi-square, adapun tujuan
melakukan uji hubungan ini ialah untuk mengetahuai apakah tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap strategi ekonomi. Berikut merupakan data uji hubungan antara tingkat pendidikan dengan diversifikasi kerja yang tersaji ringkas dalam Tabel 59. Tabel 59. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Diversifikasi Kerja Pendidikan
Diversifikasi Kerja Rumahtangga
Total
Tidak ada
Ada
Rendah (Tidak Tamat/Tamat SD) Sedang (Tamat SMP/sederajat)
12 2
50 1
62 3
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,052
14
51
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 59 diketahui sebanyak 50 orang responden yang pendidikan rendah melakukan diversifikasi kerja, sementara hanya terdapat satu responden yang berada dalam tingkat pendidikan sedang (tamat SMP) yang melakukan diversifikasi kerja. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,052 (lebih besar dari 0,05) menandakan bahwa tidak
95
adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan diversifikasi kerja. Uji hubungan di atas memperlihatkan bahwa seluruh responden dari berbagai tingkatan pendidikan cenderung melakukan diversifikasi kerja rumahtangga sebagai strategi ekonomi. Tabel 60. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Pola Nafkah Ganda Pendidikan
Pola Nafkah Ganda
Total
Tidak ada
Tidak ada
Rendah (Tidak Tamat/Tamat SD) Sedang (Tamat SMP/sederajat)
48 3
14 0
62 3
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,353
51
14
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 60 probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,353 (lebih besar dari 0,05) menandakan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan pola nafkah ganda. Terdapat kecenderungan bahwa responden tidak melakukan pola nafkah ganda sebagai bentuk strategi ekonomi mereka. Tabel 61. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Mobilitas Kerja Pendidikan
Mobilitas kerja
Total
Tidak ada
Rendah (Tidak Tamat/Tamat SD) Sedang (Tamat SMP/sederajat)
62 3
62 3
Total Keterangan: variabel konstan
65
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 61 diketahui seluruh responden dari berbagai tingkat pendidikan tidak ada yang melakukan mobilitas kerja (variabel konstan), sehingga tidak dapat dicari hubungan antara tingkat pendidikan dan mobilitas kerja.
Tabel 62. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Kebiasaan Berhutang Pendidikan
Berhutang
Total
Tidak
Ya
Rendah (Tidak Tamat/Tamat SD) Sedang (Tamat SMP/sederajat)
19 1
43 2
62 3
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,675
20
45
65
Sumber: data primer diolah
96
Berdasarkan Tabel 62 diketahui responden yang memiliki kebiasaan berhutang adalah sebanyak 43 responden dari tingkat pendidikan rendah dan dua orang yang tamat SMP (tingkat pendidikan sedang). Sementara sisanya tidak memiliki kebiasaan berhutang. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,675 (lebih besar dari 0,05) yang menandakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kebiasaan berhutang. Tabel 63. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Kegiatan Ilegal Kegiatan Ilegal
Pendidikan
Total
Tidak
Ya
Rendah (Tidak Tamat/Tamat SD) Sedang (Tamat SMP/sederajat)
58 3
4 0
62 3
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,650
61
4
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 63 diketahui sebanyak 61 orang dari seluruh tingkatan pendidikan tidak melakukan kegiatan ilegal, dan hanya sebanyak empat orang dari responden yang berpendidikan rendah yang melakukan kegiatan ilegal. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,650 (lebih besar dari 0,05) yang menandakan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kegiatan ilegal. Seluruh responden dari berbagai tingkatan pendidikan memiliki kecenderungan untuk tidak melakukan kegiatan ilegal. Tabel 64. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan strategi lainnya Pendidikan
Strategi Lainnya
Total
Tidak ada
Ada
Rendah (Tidak Tamat/Tamat SD) Sedang (Tamat SMP/sederajat)
20 2
42 1
62 3
Total
22
43
65
Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,263 Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 64 diketahui bahwa yang melakukan strategi lain adalah sebesar 43 orang responden dari keseluruhan responden. Hanya terdapat dua orang responden dari tingkat pendidikan sedang yang tidak memiliki strategi lain
97
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,421 (lebih besar dari 0,05) menandakan bahwa tidak adanya hubungan antara pendidikan dengan strategi lainnya. Terdapat kecenderungan bahwa seluruh responden dari berbagai tingkatan pendidikan melakukan strategi lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
7.2.3.
Hubungan Antara Besar Keluarga dengan Strategi Ekonomi Tujuan dari uji hubungan ini ialah untuk mengetahui apakah besar keluarga
yang berbeda dari responden mempengaruhi strategi ekonomi. Uji hubungan ini menggunakan Crosstab chi-square. Berikut disajikan data uji hubungan antara besar keluarga dengan diversifikasi kerja rumahtangga dalam Tabel 75. Tabel 65. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Diversifikasi Kerja Diversifikasi Kerja Rumahtangga
Jumlah Anggota Keluarga
Total
Tidak ada
Ada
keluarga kecil (1-4 orang) keluarga menengah (5-6 orang) keluarga besar (>7 orang)
11 2 1
26 16 9
37 18 10
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,181
14
51
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 65 diketahui sebanyak 11 orang responden keluarga kecil tidak melakukan diversifikasi kerja, sementara 26 orang responden keluarga kecil melakukan diversifikasi kerja. Responden keluarga menengah yang melakukan diversifikasi kerja sebanyak 16 orang dan hanya terdapat dua orang yang tidak melakukan diversifikasi kerja. Sementara hanya terdapat satu responden dari keluarga besar yang tidak melakukan diversifikasi kerja rumahtangga. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,181 (lebih besar dari 0,05) menandakan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan
antara
jumlah
anggota
keluarga
dengan
diversifikasi
kerja
rumahtangga. Uji hubungan di atas memperlihatkan bahwa seluruh responden dari berbagai jumlah anggota keluarga cenderung melakukan diversifikasi kerja rumahtangga sebagai strategi ekonomi. Diversifikasi kerja rumahtangga dilakukan bahkan oleh anak-anak nelayan seperti mengupas kijing/kerang hijau.
98
Tabel 66. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Pola Nafkah Ganda Jumlah Anggota Keluarga
Pola Nafkah Ganda
Total
Tidak ada
Ada
keluarga kecil (1-4 orang) keluarga menengah (5-6 orang) keluarga besar (>7 orang)
31 15 5
6 3 5
37 18 10
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,041
51
14
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 66 diketahui sebanyak 31 orang responden dari keluarga kecil tidak melakukan pola nafkah ganda, dan hanya enam orang responden dari keluarga kecil yang melakukan pola nafkah ganda. Sementara sebanyak 15 orang responden dari keluarga menengah tidak melakukan pola nafkah ganda, dan hanya tiga orang responden dari keluarga menengah yang melakukan pola nafkah ganda. Pada responden keluarga besar, terbagi tepat menjadi lima responden yang tidak melakukan pola nafkah ganda dan lima responden yang melakukan pola nafkah ganda. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,041 (lebih kecil dari 0,05) yang menandakan bahwa terdapat hubungan antara jumlah besar keluarga dengan pola nafkah ganda. Berdasarkan uji hubungan di atas terlihat bahwa responden dengan jumlah besar keluarga lebih dari tujuh orang cenderung memiliki pola nafkah ganda untuk menghidupi keluarganya sebagai salah satu strategi ekonomi. Kepala keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang besar cenderung memiliki pekerjaan sampingan lain selain menjadi nelayan, seperti menjual bambu untuk membuat bagang. Sementara hubungan antara besar keluarga dengan mobilitas kerja dapat terlihat pada Tabel 67. Tabel 67. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Mobilitas Kerja Jumlah Anggota Keluarga
Mobilitas kerja Tidak ada
Total
keluarga kecil (1-4 orang) keluarga menengah (5-6 orang) keluarga besar (>7 orang)
37 18 10
37 18 10
Total Keterangan: variabel konstan
65
65
Sumber: data primer diolah
99
Berdasarkan Tabel 67 diketahui bahwa tidak terdapat responden dengan jumlah anggota kecil, menengah dan besar yang melakukan mobilitas kerja pada saat baratan atau masa kritis. Sehingga tidak dapat dicari hubungan antara besar keluarga dengan mobilitas kerja sebab variabel tersebut konstan.
Tabel 68. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Kebiasaan Berhutang Jumlah Anggota Keluarga
Berhutang
Total
Tidak
Ya
keluarga kecil (1-4 orang) keluarga menengah (5-6 orang) keluarga besar (>7 orang)
13 5 2
24 13 8
37 18 10
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,622
20
45
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 68 diketahui sebanyak 13 orang responden keluarga kecil tidak memiliki kebiasaan berhutang, sisanya sebanyak 24 orang responden keluarga kecil memiliki kebiasaan berhutang. Kemudian sebanyak lima orang responden keluarga menengah tidak memiliki kebiasaan berhutang, sisanya sebanyak 13 orang responden keluarga menengah memiliki kebiasaan berhutang. Sementara sebanyak dua orang responden keluarga besar tidak memiliki kebiasaan berhutang dan sisanya sebanyak delapan orang responden keluarga besar memiliki kebiasaan berhutang. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,622 (lebih besar dari 0,05) menandakan bahwa tidak adanya hubungan antara jumlah besar keluarga dengan kebiasaan berhutang. Berdasarkan Tabel 69 diketahui dari keseluruhan keluarga hanya sebanyak empat orang responden yang melakukan kegiatan ilegal, yaitu dua orang dari keluarga kecil, satu orang dari keluarga menengah dan satu orang dari keluarga besar. Tabel 69. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Kegiatan Ilegal Jumlah Anggota Keluarga
Kegiatan Ilegal
Total
Tidak
Ya
keluarga kecil (1-4 orang) keluarga menengah (5-6 orang) keluarga besar (>7 orang)
35 17 9
2 1 1
37 18 10
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,859
61
4
65
Sumber: data primer diolah
100
Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,859 (lebih besar dari 0,05) menandakan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan kegiatan ilegal. Uji hubungan di atas mengatakan bahwa antara jumlah anggota keluarga dengan kegiatan ilegal tidak memiliki hubungan yang nyata.
Baik golongan
keluarga kecil, menengah, maupun besar cenderung memiliki hasil yang sama yaitu tidak melakukan kegiatan ilegal. Tabel 70. Hubungan antara Besar Keluarga dengan Strategi Lainnya Jumlah Anggota Keluarga
Strategi Lainnya
Total
Tidak ada
Ada
keluarga kecil (1-4 orang) keluarga menengah (5-6 orang) keluarga besar (>7 orang)
17 4 1
20 14 9
37 18 10
Total Keterangan: nilai Approx. Sig. 0,049
22
43
65
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 70 diketahui sebanyak 17 orang responden dari keluarga kecil tidak memiliki strategi lain untuk mengatasi masa kritis, sementara 20 orang responden dari keluarga kecil memiliki strategi lain untuk mengatasi masa kritis. Sebanyak empat orang responden dari keluarga menengah tidak memiliki strategi lain untuk mengatasi masa kritis, sementara 14 orang responden dari keluarga menengah memiliki strategi lain untuk mengatasi masa kritis. Dapat dilihat pula hanya satu orang responden dari keluarga besar yang tidak memiliki strategi lain untuk mengatasi masa kritis, sementara sisanya yaitu sebesar sembilan orang responden dari keluarga besar memiliki strategi lain untuk mengatasi masa kritis. Berdasarkan probabilitasnya didapatkan nilai Approx. Sig. sebesar 0,049 (lebih kecil dari 0,05) menandakan bahwa terdapat hubungan antara besar jumlah anggota keluarga dengan strategi lainnya. Uji hubungan di atas menyatakan bahwa antara jumlah anggota keluarga dengan strategi lainnya memiliki hubungan yang nyata. Semakin besar keluarga yang artinya semakin besar jumlah anggota keluarga cenderung memiliki strategi lain untuk bertahan hidup menghadapi masa kritis. Hal tersebut dapat dikarenakan
101
karena jumlah anggota keluarga yang besar berarti kepala keluarga harus memiliki strategi lain agar dapat menghidupi anggota keluarganya, sehingga digunakan strategi-strategi lainnya seperti menggadaikan barang-barang atau perhiasan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
7.3. Hubungan Karakteristik Nelayan Alat Tangkap Statis dan Dinamis dengan Strategi Hidup Nelayan Dari pembahasan di atas diperoleh keterangan bahwa terdapat berbagai jenis alat tangkap yang berbeda yang digunakan nelayan. Secara umum alat-alat tangkap tersebut dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu alat tangkap statis dan alat tangkap dinamis. Nelayan dengan alat tangkap statis didefinisikan sebagai kepemilikan alat tangkap yang tidak bergerak atau dapat dimanfaatkan sewaktuwaktu karena sifatnya yang menetap di laut. Nelayan dengan alat tangkap statis antara lain adalah nelayan bagang, sero, dan budidaya. Sementara nelayan dengan alat tangkap dinamis didefinisikan sebagai kepemilikan nelayan terhadap alat tangkap yang sifatnya tidak menetap di laut, melainkan memerlukan persiapan dalam penggunaannya sehingga tidak dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu. Nelayan dengan alat tangkap dinamis antara lain adalah nelayan tembak, jaring serta kuli nelayan. Uji hubungan dilakukan dengan mengakumulasikan jumlah responden nelayan bagang, sero, budidaya, dan bagang-budidaya sebagai nelayan dengan alat tangkap statis, serta mengakumulasikan jumlah responden nelayan tembak, jaring, dan kuli nelayan sebagai nelayan dengan alat tangkap dinamis. Kemudian dilakukan uji hubungan dengan tabulasi silang seperti yang telah dilakukan pada sub bab sebelumnya. Setelah uji hubungan dianalisis menggunakan tabulasi silang pada SPSS 17, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara karakteristik nelayan dengan alat tangkap statis maupun alat tangkap dinamis, dengan strategi hidup nelayan.
102
7.4.
Mobilitas Sosial dan Stratifikasi Sosial Nelayan Sebelum dan Sesudah Pencemaran Selain menyebabkan turunnya limbah industri, berdirinya perusahaan-
perusahaan industri di Jakarta juga menyebabkan tiga belas anak sungai yang bermuara di Teluk Jakarta menjadi tidak terawat akibat banyaknya pendatang yang bekerja di perusahaan tersebut yang tinggal di daerah aliran sungai dan turut menyumbang terjadinya pencemaran. Pencemaran yang terjadi teluk Jakarta khususnya akibat turunnya limbah industri ke laut telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat nelayan, yang antara lain terlihat dengan berubahnya pelapisan sosial. Perubahan pelapisan sosial terjadi karena pencemaran akibat limbah telah menekan angka penghasilan nelayan yang sebelumnya merupakan pemasok utama ikan warga Jakarta. Berkembangnya pekerjaan lain seperti tengkulak atau pedagang ikan menyebabkan terjadinya mobilitas sosial di kalangan nelayan tradisional. Untuk menganalisis pola mobilitas sosial nelayan di Kampung Bambu, terlebih dahulu akan disajikan perubahan stratifikasi sosial sebelum dan sesudah pencemaran yang telah diukur menggunakan metode reputasional. Dengan menggunakan metode ini responden diminta menilai status pekerjaan dengan cara menempatkannya pada skala tertentu. Daftar jenis pekerjaan dieroleh dari focus group discussion bersama warga Kampung Bambu yang kemudian disusun dalam skala prestise pekerjaan yang memperlihatkan peringkat prestise pekerjaan tertentu dalam struktur kelas komunitas. Dalam penelitian ini digunakan skala 1-6 untuk mengukur prestise pekerjaan dengan menyusunnya dalam enam lapisan: bawah-bawah (1), bawahatas (2), menengah-bawah (3), menengah-atas (4), atas-bawah (5), dan atas-atas (6). (Satria, 2001). Dengan metode demikian diketahui pola stratifikasi yang dibayangkan responden nelayan tradisional seperti dijelaskan dalam matriks berikut.
103
Tabel 71. Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan Sebelum Pencemaran dalam Pandangan Nelayan (Reputasional) Lapisan Atas-Atas Atas-Bawah
Menengah-Atas
Menengah-Bawah
Bawah-Atas Bawah-Bawah
Jenis Pekerjaan 1. Dokter Klinik 2. Pemilik Perahu 3. Lurah 1. Nelayan Jaring 2. Nelayan Bagang 3. Nelayan Sero 4. Nelayan Tembak 5. Wiraswasta 6. Guru formal 7. Ketua RW 8. Ketua Koperasi 9. Guru Mengaji 10. Pegawai Pegadaian 1. Nelayan Budidaya 2. TKI/TKW 3. Pemilik Warung 4. Pegawai Kelurahan 5. Karyawan Supermarket 6. Pedagang pasar ikan 7. Ketua RT 8. Satpam 9. Pegawai TPI 1. Kuli Nelayan 2. Sopir Angkot 3. Becak 4. Kenek angkot 5. Tukang Ojek 6. Tukang sayur 7.Pedagang Pasar Tradisional 8. Pedagang Keliling 1. Pengupas Kijing 2. Kuli bangunan 1. Buruh cuci
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 71, persepsi stratifikasi responden menunjukkan bahwa lapisan elit atas-atas sebelum pencemaran terdiri dari dokter klinik, pemilik perahu dan lurah. Pemilik perahu menempati posisi atas-atas karena kepemilikannya atas alat produksi. Sementara sebelum pencemaran nelayan menempatkan diri mereka di lapisan atas-bawah. Hal ini mengindikasikan bagaimana nelayan merasa sebelum terjadi pencemaran mereka jauh lebih
104
sejahtera
dibandingkan
sekarang.
Sebelum
pencemaran,
nelayan
juga
menempatkan ketua RW, ketua koperasi, guru mengaji, pegawai pegadaian, dan wiraswasta setara dengan mereka di lapisan atas-bawah, nelayan juga menempatkan diri mereka lebih tinggi dari pegawai kelurahan yang hanya di lapisan menengah atas. Di lapisan menengah atas nelayan menempatkan nelayan budidaya/ternak. Hal ini dikarenakan saat itu nelayan budidaya belum terlalu banyak dibandingkan nelayang jaring, bagang, dan sero. Di lapisan menengah bawah nelayan menempatkan kuli nelayan setara dengan sopir angkot, becak, pedagang tradisional. Hal ini mengindikasikan bahwa bahkan kuli nelayan pun saat sebelum pencemaran hidupnya tergolong sejahtera. Sementara dalam pandangan nelayan, yang menempati lapisan bawah-atas adalah kuli bangunan dan pengupas kijing, serta lapisan bawah-bawah saat itu adalah buruh cuci. Berdasarkan stratifikasi ini terlihat bagaimana sebelum pencemaran pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan yang sangat mereka banggakan dan mampu menjamin kelangsungan hidup mereka. Perbedaan kesejahteraan hidup antar lapisan sebelum pencemaran tidak terlihat signifikan. Nelayan mengaku alasan menempatkan diri mereka di lapisan atas karena saat itu sangat mudah menangkap ikan dibandingkan sekarang, meskipun demikian pemilikan mereka terhadap alat-alat kekayaan yang lengkap dan berkualitas hampir sama dengan lapisan menengah maupun bawah. Nelayan mengaku meskipun berada dalam lapisan yang sama dengan lurah atau pemilik perahu, kondisi rumah serta kepemilikan alat transportasi mereka tidak sama dengan lurah atau pemilik perahu. Nelayan hanya merasa saat itu (sebelum pencemaran) mereka sangat sejahtera, terlepas dari kepemilikan barang-barang ataupun kondisi rumah.
105
Tabel 72. Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan Sesudah Pencemaran dalam Pandangan Nelayan (Reputasional) Lapisan Atas-Atas Atas-Bawah
Menengah-Atas
Menengah-Bawah
Bawah-Atas
Bawah-Bawah
Jenis Pekerjaan 1. Dokter Klinik 2. Lurah 1. Pedagang (Tengkulak) 2. Wiraswasta 3. Guru formal 4. Pemilik Perahu 5. Ketua RW 6. Ketua Koperasi 7. Guru Mengaji 8. Pegawai Pegadaian 1. TKI/TKW 2. Guru tidak formal 3. Konter pulsa 4. Pemilik Warung 5. Pegawai Kelurahan 6. Karyawan Supermarket 7. Pedagang pasar ikan 8. Pemilik warnet 9. Ketua RT 10. Satpam 1. Sopir Angkot 2. Becak 3. Kuli bangunan 4. Kenek angkot 5. Pegawai KBN 6. Pegawai TPI 7. Tukang Ojek 8. Tukang sayur 9. Pedagang Pasar Tradisional 10. Pedagang Keliling 1. Nelayan Jaring 2. Nelayan Bagang 3. Nelayan Sero 4. Nelayan Tembak 5. Nelayan Budidaya 1. Kuli Nelayan 2. Buruh cuci 3. Pengupas Kijing
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 72, persepsi stratifikasi responden menunjukkan bahwa lapisan elit atas-atas setelah pencemaran terdiri dari dokter klinik dan lurah. Pemilik perahu bergeser turun menempati posisi atas-bawah akibat penghasilan yang semakin berkurang setelah pencemaran. Bahkan secara drastis nelayan
106
menempatkan diri mereka turun hingga ke lapisan bawah-atas, hal ini mengindikasikan bagaimana nelayan merasa mereka mengalami keadaan yang sangat berlawanan dibandingkan dengan saat sebelum terjadi pencemaran. Setelah pencemaran muncullah pedagang atau tengkulak yang dipersepsikan oleh nelayan menempati posisi atas-bawah, setara dengan ketua RW, ketua koperasi, guru mengaji, pegawai pegadaian, dan wiraswasta. Hal ini memperlihatkan posisi nelayan yang turun hingga ke lapisan bawah-atas sangat kontradiktif dengan pekerjaan pedagang/tengkulak yang baru muncul setelah pencemaran namun menempati posisi atas-bawah. Di lapisan menengah bawah nelayan menempatkan pegawai TPI yang turun dari lapisan menengah atas menjadi lapisan menengah bawah, serta di lapisan bawah dihuni oleh pekerjaan yang berhubungan dengan laut. Hal ini mengindikasikan bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan produksi laut setelah pencemaran dipersepsikan oleh nelayan mengalami penurunan (social sinking) setelah terjadi pencemaran, kecuali pada pekerjaan tengkulak yang baru muncul setelah terjadi pencemaran. Apabila sebelum pencemaran nelayan menempatkan posisi sosial mereka lebih tinggi dari pada supir angkot dan kuli bangunan, saat ini mereka merasa pekerjaan sebagai supir angkot atau kuli bangunan jauh lebih baik daripada nelayan karena pekerjaan tersebut memiliki penghasilan yang tetap.
10%
85 %
1%
5%
60%
39%
Sebelum pencemaran
Sesudah pencemaran
Gambar 4. Pola Mobilitas Nelayan Sebelum dan Sesudah Pencemaran
107
Gambar 4 menunjukkan pola mobilitas yang terjadi dalam kurun waktu sebelum pencemaran (periode 90-an) dan sesudah pencemaran (periode 2000). Menurut hasil diskusi kelompok terarah bersama para nelayan diperoleh informasi bahwa pada pekerjaan nelayan terjadi mobilitas vertikal ke bawah, dari lapisan atas-bawah ke lapisan bawah-atas dan bawah-bawah. Nelayan yang pada periode sebelum pencemaran menempati posisi atas-bawah secara drastis mengalami mobilitas vertikal ke posisi bawah-atas sebesar 60 persen dari keseluruhan nelayan, sementara 39 persen turun ke posisi bawah-bawah, yaitu mereka yang tadinya memiliki alat produksi terpaksa harus menjual alat produksi mereka dan menjadi buruh nelayan. Pemilik kapal yang pada periode sebelum pencemaran menempati posisi atas-atas juga mengalami mobilitas vertikal ke posisi atasbawah sebesar satu persen. Penurunan status ini disebabkan semata oleh laut yang semakin tercemar sehingga mengurangi debit ikan yang secara langsung akan berpengaruh pada kelangsungan distribusi pendapatan nelayan dan kondisi ekonomi rumahtangga keluarga. Sebelum terjadi pencemaran, pada saat musim baratan nelayan masih bisa mendapatkan ikan seperti pari, rajungan, udang, baronang, layur dan bawal di bibir pantai serta bisa tetap dijual. Namun sekarang, nelayan tidak mendapatkan hasil sama sekali ketika musim baratan, sehingga mereka lebih memilih menganggur dan menunggu angin timur. Walaupun pekerjaan sebagai nelayan telah terbukti mengalami social sinking setelah terjadi pencemaran, tetapi nelayan tidak berminat untuk mengganti pekerjaan mereka dari laut ke darat karena mereka memiliki anggapan bahwa nelayan itu merdeka, tidak ada aturan yang mengikat mereka seperti jam kerja, sepulangnya dari laut mereka bebas mau melakukan apa saja dan merekalah yang mengatur kehidupan mereka sendiri.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1.
Kesimpulan Kawasan Cilincing, Jakarta Utara merupakan tempat bermuara tiga belas
anak sungai yang tercemar di pantai utara Jakarta, kawasan ini juga merupakan daerah pembuangan limbah industri kawasan industri Tanjung Priuk. Kondisi pantai utara dan teluk Jakarta pada saat ini sangat kritis dan dilematis, karena seluruh kawasan pesisir telah dimanfaatkan secara sangat intensif untuk berbagai kegiatan
pembangunan
untuk
mengejar
pertumbuhan
ekonomi
tanpa
memperhatikan lingkungan. Turunnya kualitas lingkungan laut di daerah Teluk Jakarta akibat limbah industri dan rumahtangga ini menyebabkan sulitnya nelayan memperoleh tangkapan sebagai sumber penghidupan utama. Hal inilah yang mendasari komunitas nelayan Kampung Bambu yang hidup dan bergantung pada sumberdaya lautan mengupayakan berbagai strategi untuk dapat bertahan hidup dari besarnya dampak pencemaran. Bentuk strategi bertahan hidup yang dilakukan rumahtangga nelayan di Kampung Bambu sangat beragam. Strategi bertahan hidup yang dilakukan rumahtangga nelayan tersebut antara lain strategi berbasis modal sosial, strategi alokasi sumberdaya manusia, strategi berdasarkan basis produksi, strategi spasial dan strategi finansial. Strategi pertama adalah strategi berbasis modal sosial yang terwujud dalam kelembagaan patron klien berupa sistem bagi hasil antara nelayan dengan pedagang, pemilik perahu maupun pemilik ternak. Nelayan di Kampung Bambu mengembangkan alat tangkap yang berbeda, masing-masing alat tangkap tersebut memiliki sistem patron-klien yang bervariasi. Meskipun terlihat pada hasil penelitian bahwa hampir seluruh nelayan merasa tidak puas terhadap patron, ketergantungan pada patron tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan nelayan. Kedua, strategi alokasi sumberdaya manusia. Strategi ini merupakan strategi pemanfaatan modal manusia dalam rumahtangga nelayan, yang terlihat pada diversifikasi kerja rumahtangga nelayan dan pelibatan anggota rumahtangga nelayan. Strategi alokasi sumberdaya manusia yang dilakukan oleh kepala rumahtangga terwujud dalam strategi pola nafkah ganda. Meskipun demikian, dari
109
hasil penelitian terlihat bahwa strategi ini tidak banyak dilakukan oleh kepala rumahtangga nelayan. Hal ini disebabkan nelayan lebih memilih untuk mengandalkan satu jenis pekerjaan yang mereka kuasai daripada menyambi dengan perkerjaan lain yang mereka tidak terlalu paham bidangnya. Ketiga, strategi berdasarkan basis produksi. Strategi ini merupakan strategi yang diterapkan rumahtangga nelayan dengan memanfaatkan sumber produksi secara maksimal. Rumahtangga nelayan pada komunitas nelayan Kampung Bambu melakukan strategi berdasarkan basis produksi berupa ekstensifikasi (penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi) maupun dengan memperluas lahan produksi (intensifikasi). Strategi ekstensifikasi yang dilakukan nelayan dengan memanfaatkan penambahan tenaga kerja atau teknologi dominan dilakukan oleh nelayan jaring, Nelayan jaring tradisional mulai mengganti alat tangkap dengan gill net sebagai bentuk adaptasi teknologi produksi terhadap pencemaran. Sementara nelayan bagang, sero, budidaya dan kuli nelayan cenderung melakukan strategi intensifikasi dengan cara memperluas jangkauan produksi melalui pembuatan bagang, sero, dan pancang ternak dalam jarak lebih jauh dari sebelum terjadi pencemaran. Keempat, strategi bertahan hidup berupa strategi spasial. Strategi ini tidak banyak dilakukan oleh kepala keluarga, melainkan oleh anggota keluarga yang lainnya. Dari pengamatan di lapangan juga terlihat tidak banyak terdapat migrasi yang dilakukan oleh rumahtangga. Walaupun pekerjaan sebagai nelayan semakin sulit mendapatkan hasil akibat sumberdaya laut yang semakin terdegradasi, tidak banyak nelayan yang melakukan perpindahan pekerjaan karena adanya anggapan nelayan adalah pekerjaan turun-temurun yang merdeka. Kelima adalah strategi finansial dengan memanfaatkan modal keuangan berupa tabungan atau investasi. Strategi ini tidak dijalankan oleh rumahtangga nelayan, karena capaian status nafkah nelayan tradisional di Kampung Bambu masih terbatas pada strategi keamanan dan stabilitas, artinya semua hasil yang diperoleh rumahtangga nelayan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal kebutuhan subsisten pangan. Nelayan belum mampu melakukan pengumpulan aset karena arus distribusi pendapatan mereka hanya berputar dari
110
musim ikan dan musim baratan, tanpa ada sisa untak menabung atau berinvestasi sebagai bentuk strategi akumulasi. Karakteristik nelayan yang diamati dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan besar keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan jaringan sosial, terlihat bahwa semakin tua usia responden maka kualitas jaringan sosialnya semakin baik. Juga terdapat hubungan antara usia dengan strategi lainnya, yaitu semakin tua responden terbukti bahwa mereka memiliki strategi lain untuk mengatasi masa kritis akibat pencemaran, hal ini dikarenakan faktor usia turut mempengaruhi pengalaman hidup. Terlihat pula hubungan antara besar keluarga dengan strategi lainnya, semakin besar jumlah anggota keluarga maka strategi lain yang dilaksanakan keluarga tersebut untuk mengatasi masa kritis semakin terlihat. Besarnya keluarga ini merupakan bentuk strategi alokasi sumberdaya manusia dalam rumahtangga, makin banyak anggota keluarga maka strategi bertahan hidup yang dilakukan rumahtangga juga semakin beragam. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan strategi sosial maupun strategi ekonomi. Hal ini disebabkan hampir seluruh responden nelayan berada pada tingkat pendidikan yang rendah, sementara strategi bertahan hidup yang mereka lakukan beragam, sehingga tidak dapat dicari hubungan antar variabelnya. Hubungan yang tidak bisa diuji adalah seluruh variabel karakteristik dengan strategi ekonomi mobilitas kerja, artinya tidak pernah terjadi mobilitas kerja untuk semua responden (variabel konstan). Stratifikasi sosial nelayan yang terjadi sebelum dan sesudah pencemaran diteliti menggunakan metode reputasional dimana nelayan mempersepsikan diri mereka berada dalam lapisan atas-bawah sebelum terjadi pencemaran dan berada dalam lapisan bawah atas setelah terjadi pencemaran. Pada periode sebelum pencemaran,
nelayan
menempati
posisi
atas-bawah
sementara
sesudah
pencemaran nelayan secara drastis mengalami mobilitas vertikal ke posisi bawahatas. Nelayan yang tadinya memiliki alat produksi terpaksa harus menjual alat produksi dan menjadi buruh nelayan. Pemilik kapal yang pada periode sebelum pencemaran menempati posisi atas-atas juga mengalami mobilitas vertikal ke posisi atas-bawah. Penurunan status ini disebabkan semata oleh laut yang semakin tercemar sehingga mengurangi debit ikan yang secara langsung akan berpengaruh
111
pada kelangsungan distribusi pendapatan nelayan dan kondisi ekonomi rumahtangga keluarga. Sebelum terjadi pencemaran, pada saat musim baratan nelayan masih bisa mendapatkan ikan seperti pari, rajungan, udang, baronang, layur dan bawal di bibir pantai serta bisa tetap dijual. Namun sekarang, nelayan tidak mendapatkan hasil sama sekali ketika musim baratan, sehingga mereka lebih memilih menganggur dan menunggu angin timur. Terlihat bahwa terjadi mobilitas sosial vertikal ke bawah (social sinking) sebagai perpindahan posisi nelayan dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain yang tidak sederajat. 8.2.
Saran Penelitian ini menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan nelayan
turut membentuk pola pikir nelayan akan ketidakmampuan mereka mengerjakan pekerjaan lain sebagai sampingan yang seharusnya mampu meningkatkan taraf hidup mereka. Tingginya tingkat ketidakpuasan terhadap patron nelayan juga menunjukkan bahwa diperlukan adanya pengawasan terhadap pedagang-pedagang yang membeli hasil ikan lebih rendah dari harga pasar. Sehingga saran yang dapat diberikan antara lain adalah sebagai berikut: 1) Perlunya injeksi pendekatan pendidikan dengan sasaran target anak-anak nelayan usia SMP hingga SMA agar terbentuk pola pikir baru yang lebih berorientasi pada pengembangan sistem manajemen keuangan nelayan untuk memperpanjang distribusi pendapatan nelayan serta pengendalian pencemaran pesisir dan laut, 2) Perlunya penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi nelayan, 3) Perlunya kontrol ketat dari dinas setempat pada pedagang atau bos nelayan yang membeli hasil ikan pada nelayan kurang dari harga pasar, 4) Perlunya kolaborasi antara nelayan, lembaga swadaya masyarakat, Dinas Kelautan dan Perikanan dengan pemerintah setempat untuk menekan dampak pencemaran akibat limbah industri.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, H.S. 2002. Pendugaan Tingkat Akumulasi Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni pada Kerang Hijau (Perna viridis) ukuran < 5 cm di Perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta. Tesis. Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Anggraeni, I. 2002. Kualitas Air Perairan Laut Teluk Jakarta Selama Periode 1996-2002. Tesis. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Babari dan Prijono. 1996. Pendidikan Sebagai Wahana Pemberdayaan. Dalam Buku 25 Tahun CSIS. Jakarta : CSIS. Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Canter, L.W. 1977. Environmental Impact Assessment. New York: McGraw-Hill Book Company. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dharmawan, Arya Hadi. 1993. Farm Income and Financing in Rural Indonesia (A Case Study from West Kalimantan, Indonesia). Thesis. University of Gottingen. Jerman. Dharmawan, Arya Hadi. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and SocioEconomic Changes In Rural Indonesia. Disertasi. University of Gottingen. Jerman. Dharmawan, Arya Hadi. 2002. Pengembangan Komunitas dan Pedesaan Berkelanjutan. Tajuk Modul SEP-51E. Magister Professional Pengembangan Masyarakat. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Dharmawan, Arya Hadi. 2004. Teori dan Struktur dalam Sistem Sosial-Ekologi dan Tipologi Komunitas Berdasarkan Setting Ekologi. Tajuk Modul Sep716 Ekologi Politik Pedesaan. Magister Sosiologi Pedesaan, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Ependi, Engken Parid. 2004. Analisis Sumberdaya Nafkah (Livelihood Resources) dan Strategi Nafkah (Livelihood Strategies) pada Dua Komunitas, Studi Kasus: Komunitas Desa Bantarujeg Kecamatan Bantarujes Kabupaten Majalengka dan Komunitas Desa Cisarua Kecamatan Nanggung Kabuaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB. Hariyadi, Sigid. et al. 2004. Pencemaran Perairan Teluk Jakarta dan Strategi Penanggulangannya. Makalah Program Pasca Sarjana IPB. http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/9145_1.pdf. (diakses pada 20 Januari 2010)
113
Harian Kompas edisi Rabu, 8 Agustus 2001. Teluk Jakarta tercemar, nelayan tak bisa melaut. www.kompas.com/kompas-cetak/0108/08/metro/telu17.htm 16k -Supplemental Result Harian Kompas edisi 4 Juni 2004. Ribuan meter kubik sampah dibuang ke laut www.kompas.com/kompas-cetak/0406/04/metro/1061116.htm - 40k Harian Kompas edisi 20 Juli 2004. Industri pencemar utama di Teluk Jakarta www.kompas.com/kompas-cetak/0407/20/humaniora/ - 36k Harian Kompas edisi 8 September 2004. Ada Kerang Abnormal di Teluk Jakarta. www.kompas.co.id/kompas-cetak/ 0409/08/humaniora/1252204.Htm-50k Hidayati, Deny. 2000. Isu Kemiskinan dan Degradasi Sumberdaya Laut. Laporan. Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPT-LIPI). Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1999. Jakarta: Balai Pustaka. Kartika, Enok Ila. 2008. Sikap dan Tindakan Masyarakat Bantaran Sungai Ciliwung dalam Aktivitas Pembuangan Sampah Rumahtangga. Skripsi. Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Kartodiharjo, Hariadi., Hira Jhamtani. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia. http://www.klh.go.id/ Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS. Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Jogjakarta: Ar Ruzz Media. Lestari, Dewi. 2005. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa (Studi Kaus Komunitas Nelayan Banyutowo, Jawa Tengah dan Komunitas Nelayan Cipatuguran, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Masithoh, Arifah Dewi. 2005. Analisis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Perkebunan Rakyat (Suatu Kajian Perbandingan: Komunitas Petani Perkebunan Teh Ciguha Jawa Barat dan Komunitas Petani Perkebunan Tebu Puri Jawa Timur). Skripsi. Departemen ilmu-ilmu sosial ekonomi pertanian, fakultas pertanian IPB. Bogor. Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta: Pradnya Paramita. Proyek Penelitian Pertanian dan Kehutanan Propinsi DKI Jakarta. 2002. Konsep Pengembangan Lingkungan Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Laporan Akhir. Kerjasama Dinas Pertanian dan Kehutanan Propinsi DKI Jakarta dengan Fakultas Kehutanan IPB. Samawi, Muh. Farid. 2007. Desain Sistem Pengendalian Pencemaran Pantai Kota (Studi Kasus Perairan Pantai Kota Makassar). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
114
Satria, Arif. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press. Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Pustaka Cidesindo. Satria, Arif. 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor: IPB Press. Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsitensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Scoones, Ian. 1998. Sustainable Rural Livelihood: A Framework for Analysis. Institute of Development Studies. Setiawan, Wahyu Budi. 2005. Interaksi Daratan dan Lautan. Jakarta: LIPI Press. Sitorus, MT. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor. Sugiah M., Siti. 2008. Modul Kuliah Pendidikan Orang Dewasa. Bogor. Soekanto, Soerjono. 1994. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suara Pembaruan edisi 28 Juli 2002. Pencemaran di Teluk Jakarta Memprihatinkan. http://www.suarapembaruan.com/News/2002/07/28/Ling kung/ling02htm Wahyuni, E.S. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Bogor: Penerbit Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian, IPB. Widodo, Slamet. 2009. Strategi Nafkah Rumahtangga Miskin di Daerah Pesisir: Kasus Dua Desa di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bangkalan, Propinsi Jawa Timur. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Peraturan Perundangan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah Ke Laut. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2007 tentang Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup Bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang Tidak Memiliki Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
115
LAMPIRAN
116
Stratifikasi Sosial Nelayan Sebelum dan Sesudah Pencemaran Sebelum Pencemaran Jenis Pekerjaan Nelayan Jaring Nelayan Bagang Nelayan Budidaya Nelayan Sero Nelayan Tembak Kuli Nelayan Pedagang (Tengkulak) Sopir Angkot Becak TKI/TKW Wiraswasta Kuli bangunan Dokter Klinik Kenek angkot Guru formal Guru tidak formal Konter pulsa Pemilik Warung Pegawai Kelurahan Pegawai KBN Pegawai TPI Pemilik Perahu Karyawan Supermarket Lurah Ketua RW Pedagang pasar ikan Tukang Ojek Pemilik warnet Tukang sayur Ketua Koperasi Guru Mengaji Buruh cuci Pengupas Kijing Ketua RT Pegawai Pegadaian Pedagang Pasar Tradisional Satpam Pedagang Keliling Anggota DPRD
Atas AA AB √ √
Menengah MA MB
Bawah BA BB
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
117
Sesudah Pencemaran Jenis Pekerjaan Nelayan Jaring Nelayan Bagang Nelayan Budidaya Nelayan Sero Nelayan Tembak Kuli Nelayan Pedagang (Tengkulak) Sopir Angkot Becak TKI/TKW Wiraswasta Kuli bangunan Dokter Klinik Kenek angkot Guru formal Guru tidak formal Konter pulsa Pemilik Warung Pegawai Kelurahan Pegawai KBN Pegawai TPI Pemilik Perahu Karyawan Supermarket Lurah Ketua RW Pedagang pasar ikan Tukang Ojek Pemilik warnet Tukang sayur Ketua Koperasi Guru Mengaji Buruh cuci Pengupas Kijing Ketua RT Pegawai Pegadaian Pedagang Pasar Tradisional Satpam Pedagang Keliling Anggota DPRD
Atas AA AB
Menengah MA MB
Bawah BA BB √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √