ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PADA MASYARAKAT NELAYAN DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN MALUKU TENGGARA
ABUL MATDOAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PADA MASYARAKAT NELAYAN DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN MALUKU TENGGARA
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Pebruari 2009 Yang menyatakan,
ABUL MATDOAN H 051 060 061
ABUL MATDOAN, The Analysis of Poverty Reduction Policy Strategy on Fisherman Community at Coastal Area of South East Maluku Regency. The analysis of poverty reduction policy strategy on fisherman community was aimed to formulate marine and resources management and utilization strategies that integrating sustainable approach to achieve economic growth, that useful as benchmark for operation and planning policy arrangement both for stakeholders and fisheries entrepreneur to reduce poverty that attached on fisherman community. The research’s methods are quantitative and qualitative. The quantitative approach are including: first, bio-economic analysis, that aimed to achieve optimal fish management resources, biologically and economically; second, fisheries utilize optimizing analysis, that consider possible benefit and loss on such aspects, including biology, economic, legal, social and political aspects. Furthermore, income analysis was conducted to study fisherman income level and regression analysis to determine factors that affect the income. Fisherman poverty level was analyzed to study degree of fisherman community living. Qualitative analysis was conducted using PRA and FGD approach to absorb existing problems in the fisherman community with criteria as follow: problems coverage, incidence frequency, and problem severity level. The offered poverty reduction strategies are including : (a) fishing facilities development program (b) program for infrastructure facilities provision that empower the community, (c) program to improve human resources by on job training and training, (d) social security program and partnership arrangement, (e) program to improve traditional fisherman access on capital and market, (f) political commitment from policy maker, evaluate and arrange local regulation concerning sustainable fisheries management and utilization and involving local fisherman in the resources planning and management. Keywords : Fisherman, poverty, policy strategy, marine and resources management
RINGKASAN ABUL MATDOAN. Analisis Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan pada Masyarakat Nelayan di Wilayah Pesisir Kabupaten Maluku Tenggara. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan SAHAT M.H. SIMANJUNTAK sebagai Komisi Pembimbing.
Maluku Tenggara dengan luas total wilayah sebesar ± 55.932 km2, dimana luas daratan ± 4.049 km2 atau 7%, dan luas lautan ± 51.883 km2 atau 93%. Luas wilayah sedemikian, menunjukan bahwa Kabupaten Maluku Tenggara sebagai kabupaten kepulauan memiliki sumber daya alam perikanan yang potensial untuk dikelola secara bekelanjutan. Namun sejauh ini aspek pengelolaan sumber daya perikanan belum berjalan efektif dan terkontrol. Nelayan umumnya berusaha untuk memperoleh hasil tangkapan sebanyak-banyaknya tanpa memperhitungkan aspek keberlanjutan. Disisi lain dengan keterbatasan sumber daya manusia, modal serta rendahnya akses informasi dan penguasaan teknologi oleh masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumber daya alamnya menyebabkan mereka hidup dibawah garis kemiskinan. Oleh karena itu pembangunan harus dilaksanakan secara terintegrasi dalam semua aspek dan dapat mengoptimalkan sumber daya alam lokal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, serta dapat mengurangi tingkat kerentanan masyarakat miskin. Analisis strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan pada masyarakat nelayan dimaksudkan untuk menyusun strategi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan yang mengintegrasikan pendekatan kelestarian untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, yang dapat digunakan sebagai acuan penyusunan kebijakan operasional dan perencanaan bagi para stakeholders dan pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan dalam pengentasan kemiskinan masyarakat nelayan. Tujuan dari penelitian ini untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukakan diatas, yaitu : (1) mengetahui bagaimana model pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara. (2) mengetahui tingkat pendapatan per kapita masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara. (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara. (4) menganalisis hubungan tingkat kemiskinan masyarakat nelayan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap. (5) menganalisis strategi kebijakan dan bentuk program bidang perikanan untuk pengentasan kemiskinan masyarakat nelayan yang telah dijalankan di Kabupaten Maluku Tenggara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini mencakup metode kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah : pertama, analisis bioekonomi dengan tujuan pengelolaan sumber daya ikan yang optimal secara biologi dan ekonomi, yang berbasis pada analisis sistim pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan dalam konteks pengelolaan sumber daya yang dapat pulih, kedua, adalah analisis optimasi pemanfaatan perikanan dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk mempertimbangkan segala keuntungan dan kerugian pada aspek biologi, ekonomi, hukum (legal), sosial dan politik. Dari analisis optimasi dilanjutkan dengan analisis pertumbuhan untuk mengetahui daya dukung sumber daya yang tersedia. Selanjutnya dilakukan analisis pendapatan untuk mengetahui tingkat pendapatan nelayan dan analisis regresi untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan. Kemudian dilakukan analisis tingkat kemiskinan nelayan untuk mengetahui derajat kehidupan masyarakat nelayan, dengan analisis yang digunakan yaitu : (a) the poverty headcount index atau the incidence of poverty untuk menggambarkan persentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita dibawah
garis kemiskinan. (b) the poverty gap index atau the dept of poverty adalah kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang merupakan perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. (c) the severity of poverty menunjukan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah. Indikator ini memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan dan ketimpangan di antara orang miskin . Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan PRA dan FGD untuk menyerap permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat nelayan dengan kriteria sebagai berikut : luas cakupan masalah, frekwensi kejadian, tingkat keparahan masalah. Dan selanjutnya membuat prioritas permasalahan dan strategi kebijakan untuk menyusun strategi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan untuk menjawab permasalahan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan. Strategi kebijakan yang telah dilakukan oleh instansi terkait dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan yaitu, (a) program bantuan sarana prasarana penangkapan ikan (speed boat, mesin tempel, jaring, alat pancing, cool box, fish fender, GPS), (b) pelatihan budidaya ikan, dan rumput laut, (c) pendampingan usaha perikanan, (d) magang nelayan dan pembudidaya ikan (e) penyuluhan tentang dampak penggunaan bahan peledak dan zat nimia terhadap ekosistim pantai. Program bantuan yang telah dijalankan tersebut belum berdampak nyata terhadap pengentasan kemiskinan nelayan. Strategi yang dilakukan oleh nelayan untuk meningkatkan taraf hidup mereka adalah (a) adanya innovasi alat tangkap baru seperti rumpon dan jaring bobo, (b) nelayan berusaha mendatangkan pengusaha/pembeli hasil ikan dari luar daerah, (c) adanya pengawasan masyarakat desa terhadap wilayah lautnya agar tidak terjadi pencurian ikan, (d) nelayan berusaha untuk membeli sarana-prasarana penangkapan ikan secara pribadi. Hasil analisis menunjukan bahwa potensi perikanan tangkap di Maluku Tenggara sangat besar namun belum dikelola dan dimanfaatkan secara baik sehingga potensi yang besar tersebut belum memberikan nilai tambah bagi pendapatan masyarakat nelayan. Hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi over fishing pada wilayah pesisir, karena sarana prasarana penangkapan ikan nelayan lokal masih tradisional dan terbatas ukurannya, sehingga nelayan melaut pada wilayah terbatas dan menyebabkan tingkat pendapatan nelayan rendah. Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa sebagian besar nelayan masih hidup dibawah garis kemiskinan, yaitu dibawah US$1-US$2 per kapita per hari. Strategi penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan dalam penanggulangan kemiskinan masyarakat nelayan pada wilayah pesisir Maluku Tenggara adalah : (a) program pengembangan sarana prasarana penangkapan ikan, (b) program penyediaan prasarana infrastruktur yang dalam pemberdayaan masyarakat, (c) program peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) nelayan melalui magang dan pelatihan, (d) program perlindungan sosial dan penataan kemitraan, (e) program peningkatan akses nelayan tradisonal terhadap modal dan pasar (f) Menyatukan komitmen politik dari para penentu kebijakan, mengkaji dan menyusun peraturan daerah (Perda) tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan, dan melibatkan masyarakat nelayan lokal dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya perikanan. (g) pemerintah daerah harus dapat menghilangkan rent sikking (korupsi) dengan cara : (1) peningkatan insentif pegawai terutama pelaksana program, (2) peningkatan evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksana program, (3) penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku rent sikking.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PADA MASYARAKAT NELAYAN DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN MALUKU TENGGARA
ABUL MATDOAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magíster Sains pada Departemen Ekonomi dan Manajemen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS
Judul Tesis Nama Mahasiswa NRP. Program Studi
: Analisis Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan pada Masyarakat Nelayan di Wilayah Pesisir Kabupaten Maluku Tenggara. : Abul Matdoan : H051 060 061 : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Ir. Sahat M. H. Simanjuntak, M. Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M. Sc Ketua
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Tanggal Ujian : 02 Pebruari 2009
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Bismillaahirrohmaanirrohiim…. Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Analisis Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan pada Masyarakat Nelayan di Wilayah Pesisir Kabupaten Maluku Tenggara”. Tesis ini merupakan tugas akhir pendidikan magister sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimah kasih yang tak terhingga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Akhamad Fauzi, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Sahat M. H. Simanjuntak, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing, yang dengan segala kesibukannya tetapi selalu menyempatkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS dan Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga atas kesediaanya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan
magister
serta segala bantuan dan kesempatan yang
diberikan selama mengikuti pendidikan. Demikian juga penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada para Dosen PS. PWD dan Dosen Program Studi lainnya atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis, serta bimbingan, arahan dan modal sosial yang terjalain selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Terimah kasih yang sama saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS yang telah bersedia menjadi penguji pada saat ujian tesis. Kepada Pimpinan Yayasan Darur Rachman kanda Matdoan Mahmud (almarhum), Ketua STIA Darur Rachman kanda Drs A. Muuti Matdoan, kanda Usman Matdoan, S.Sos beserta staf Dosen,. Pimpinan Kopertis Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, dan Papua, Bapak Drs Salim Tuharea, M. Si (almarhum), yang telah membantu penulis sehingga dapat melanjutkan pendidikan S2 di IPB Bogor. Kepada DIRJEN DIKTI yang telah
memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti program magister pada Institut Pertanian Bogor (IPB) penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga. Terima kasih penulis haturkan kepada Pemerintah Daerah Kabupeten Maluku Tenggara beserta semua dinas instansi yang telah membantu penulis selama penelitian. Dan kepada Kepala Desa Sungai, Kepala Desa Ngafan, Kepala Desa Lebetawi, Kepala Desa Dullah Laut, Kepala Desa Mastur Baru, Kepala Dusun Denwet, Kepala Dusun Selayar, Ketua RT Satheyan, beserta seluruh masyarakat desa dan nelayan yang dengan ihlas memberikan bantuan dan pelayanan selama penulis melakukan penelitian lapangan. Kepada kedua Orang Tua tercinta ayah handa Haji Muhammad Nur Matdoan (almarhum) dan ibunda Fatma Matdoan, yang dengan susah payah membesarkan, mendidik, dan mengurus penulis hingga saat ini dan kepada seluruh
Kakak, Adik,
Ponakan, Paman, Bibi, serta seluruh keluarga besar penulis, atas jerih payahnya yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis ucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semuanya. Sahabat-sahabatku Subhan, Erenda, Fuad, Burhan, Nasrun, Riki, dll, yang banyak sekali membantu penulis selama ini, dan kepada teman-teman seperjuangan PWD ’06 : caca Suriana, mba Novi, mba Rika, neng Ane, mba Lina, bung Weren, mas Galu, Ode Samsul, pa Maman, pace Nelson, dengan kebersamaan dan kekompakan yang terjalin selama studi di IPB, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, dan kepada teman-teman PWD seluruhnya dan semua pihak yang tak sempat disebutkan namanya satu per satu, yang telah membantu penyelesaian penulisan tesis ini, penulis sampaikan banyak terima kasih. Tesis ini jauh dari kesempurnaan sehingga segala saran dan kritik sangat diharapkan. Bogor, Pebruari 2009
PENULIS
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Juli 1973 di Desa Sungai Kecamatan Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, sebagai anak bungsu dari 9 (sembilan) orang bersaudara. Orang Tua : Ayah bernama Haji Muhammad Nur Matdoan (almarhum) dan Ibu bernama Fatma Matdoan. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada STIA Darur Rachman, Kabupaten Maluku Tenggara sejak tahun 2005. Sebelum bekerja penulis aktif pada LSM dan OKP (Organisasi Kepemudaan). Pendidikan SD hingga SLTA berlansung di Tual Kabupaten Maluku Tenggara. Pendidikan Sarjana di tempuh pada Program Studi Konservasi Sumber Daya Hutan, Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, pada tahun 1992 dan Lulus pada tahun 2001. Tahun 2006 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada
Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan,
Institut Pertanian Bogor. Biaya pendidikan diperoleh dari Beasiswa BPPS DIKTI.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xvii
I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .........................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................
11
1.4. Manfaat Penelitian ...........................................................................
11
II. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................
12
2.1. Analisa Kebijakan.............................................................................
12
2.2. Kemiskinan Nelayan ........................................................................
13
2.3. Kondisi Rumah Tangga Nelayan.. ....................................................
19
2.4. Kemiskinan dan Problematika Masyarakat Pesisir di Indonesia......
20
2.5. Mengukur Penyebab dan Indikator Kemiskinan...............................
25
2.6. Strategi Penanggulangan Kemiskinan........ ......................................
28
2.7. Perilaku Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Perikanan Tangkap..
31
2.8. Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir.......................................
34
2.9. Potensi Sumber Daya Alam Pesisir ..................................................
36
2.10. Hasil Penelitian Sebelumnya ..........................................................
37
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ...................................
44
3.1. Kerangka Pemikiran..........................................................................
44
3.2. Hipotesis ...........................................................................................
45
IV. METODELOGI PENELITIAN.............................................................
47
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................
47
4.2. Metode Pengumpulan dan Jenis Data ..............................................
48
4.3. Analisis Data.....................................................................................
50
4.3.1. Analisis Bioekonomi................................................................
50
4.3.2. Standarisasi Alat Tangkap .......................................................
52
4.3.3. Analisis Tingkat Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Ikan...
53
4.3.4. Standarisasi Biaya....................................................................
55
4.3.5. Analisis Tingkat Pendapatan Nelayan ....................................
56
4.3.6. Analisis Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan ....................................................................................
58
4.3.7. Analisis Tingkat Kemiskinan...................................................
60
4.3.8. Analisis Strategi Kebijakan dan Perancangan Program. .........
63
V. KEADAAN UMUM WIAYAH PENELITIAN .....................................
66
5.1. Geografi dan Administrasi Pemerintahan.........................................
66
5.2. Kondisi Fisik Pesisir dan Laut ............ ............................................
67
5.2.1. Iklim...............................................................................................
67
5.2.2. Sumber Air Minum ..........................................................................
70
5.2.3. Suhu dan Salinitas Perairan........ ...................................................
70
5.2.4. Arus, Gelombang dan Keadaan Air Laut.......................................
71
5.2.5. Luas Perairan .. ..............................................................................
72
5.2.6. Luas Ekosisitim Mangrove, Lamun dan Karang ...........................
73
5.3. Kependudukan dan Lapangan Usaha................................................
74
5.4. Tenaga Kerja dan Struktur Mata Pencaharian Penduduk .................
75
5.5. Pendidikan dan Kesehatan Penduduk.. .............................................
76
5.6. Ekonomi dan Sumber Daya Alam ....................................................
79
5.7. Sosial Budaya dan Politik .................................................................
88
5.8. Permukiman, Sarana dan Prasarana..................................................
93
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
99
6.1. Keragaan Perikanan Tangkap ..........................................................
99
6.1.1. Potensi Sumber Daya Ikan ………….............................................
99
6.1.2. Armada Penangkapan ....................................................................
105
6.1.3. Jenis Alat Tangkap .........................................................................
106
6.1.4. Nelayan, RTN, Kelompok Nelayan ..............................................
108
6.2. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Tangkap ................................
109
6.2.1. Standarisasi Unit Upaya.................................................................
109
6.2.2. Aspek Biologi Pemanfaatan SD Perikanan Tangkap.....................
110
6.2.3. Optimasi Pemanfaatan SD Perikanan Tangkap .............................
113
6.2.4. Model Pengelolaan Perikanan Tangkap.........................................
118
6.3. Analisis Pendapatan ..........................................................................
124
6.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan ..............................
126
6.5. Analisis Kemiskinan ........................................................................
137
6.5.1. Tingkat Kesehatan ........................................................................
137
6.5.2. Tingkat Pendidikan .......................................................................
139
6.5.3. Tenaga Kerja..................................................................................
141
6.5.4. Mortalitas dan Fertalitas .. ............................................................
142
6.5.5. Perumahan dan Permukiman .........................................................
143
6.5.6. Penerimaan Nelayan ......................................................................
144
6.5.7. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga.. .......................................
146
6.5.8. Peta Kemiskinan di Maluku Tenggara...........................................
148
6.6. Dampak Sosial Ekonomi Usaha Perikanan Skala Industri .............
148
6.7. Analisis PRA dan FGD ....................................................................
150
6.7.1. Identifikasi Permasalahan Nelayan Lokal ....................................
150
6.7.2. Prioritas Permasalahan...................................................................
152
6.7.3. Pembahasan Permasalahan Nelayan .. ..........................................
154
6.7.4. Diskusi Kelompok Terarah ............................................................
164
6.8.
Strategi Kebijakan..........................................................................
169
6.8.1. Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah..........................................
169
6.8.2. Strategi Kebijakan Nelayan ...........................................................
174
6.9. Keterkaitan Analisis dalam Penelitian .............................................
177
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
182
A. Kesimpulan .........................................................................................
182
B. Saran ...................................................................................................
183
V. DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
186
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................
189
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Hasil Penangkapan Ikan/ Non Ikan Menurut Kecamatan ..........
08
Tabel 2. Kriteria dan Garis Kemiskinan ..................................................
24
Tabel 3. Hubungan antara Tujuan, Data, Sumber, Metode Analisis ........
49
Tabel 4. Jumlah Kecamatan, Desa, Kelurahan, Dusun dan Luas Daratan Menurut Kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara …………
67
Tabel 5. Luas Perairan di Kabupaten Maluku Tenggara ……..…………
73
Tabel 6.
74
Luas Ekosistim di Kabupaten Maluku Tenggara ……..……….
Tabel 7. Data Jumlah Penduduk, Sex Ratio dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara …………
75
Tabel 8. Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Maluku Tenggara Thn 2007…
75
Tabel 9. Jumlah Kelulusan Murid Berdasarkan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 2006/2007……...............
76
Tabel 10. PDRB Berdasarkan Harga Konstan dan Harga Beraku………
80
Tabel 11. PDRB Kabupaten Maluku Tenggara Menurut Lapangan Usaha Utama di Kabupaten Maluku Tenggara ……………................
81
Tabel 12. Persentase Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan dan Harga Berlaku ..........................................................……
82
Tabel 13. Simpanan Pada Bank Pemerintah & Bank Swasta Tahun 2006 ..........................................................................
83
Tabel 14. Perkembangan KUD & Koperasi di Maluku Tenggara ........
84
Tabel 15. Potensi Perikanan serta Jumlah Tangkapan yang dibolehkan di
Laut Banda dan Laut Arafura ................................................
100
Tabel 16. Produksi Perikanan Tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 1996/2008
...............................................................
103
Tabel 17. Produksi Hasil Perikanan Tangkap Menurut Jenis di Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 1996/2007
.................................
104
Tabel 18. Jumlah Armada Penangkapan Ikan di Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 1996/2007
.............................................
105
Tabel 19. Jumlah Alat Penangkapan Ikan, Trip di Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 1996/2007
.............................................
106
Tabel 20. Perkembangan Rumah Tangga Perikanan (RTP), Kelompok Nelayan, dan Jumlah Unit Alat Tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 1996/200 ................................................
108
Tabel 21. Standarisasi Alat Tangkap pada Nelayan Mesin dan Nelayan Tanpa Mesin di Maluku Tenggara Tahun 1997-2008 ................
111
Tabel 22. Hasil Analisis Parameter r, q, K, Emsy, hMSY, Over Fishing dll. pada Nelayan Pakai Mesin Tahun 1997-2008 ............................
114
Tabel 23. Optimasi Bioekonomi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan pada Nelayan Mesin di Maluku Tenggara Tahun 1997-2008 ....
115
Tabel 24. Hasil Analisis Parameter r, q, K, Emsy, hMSY, Over Fishing dll. pada Nelayan Tanpa Mesin Tahun 1997-2008 ...........................
116
Tabel 25. Optimasi Bioekonomi Pemenfaatan Sumber Daya Perikanan pada Nelayan Tanpa Mesin di Maluku Tenggara Tahun 1997-2008 ...... 117 Tabel 26. Kondisi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Tangkap oleh Nelayan Menggunakan Mesin ...................................................
120
Tabel 27. Kondisi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Tangkap Oleh Nelayan Tanpa Mesin .................................................................
124
Tabel 28. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan Bermesin ...................................................
126
Tabel 29. Hasil Analisis Of Farian pada Nelayan Bermesin .....................
126
Tabel 30. Hasil Analisis Partial Variabel yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan Bermesin ...................................................
127
Tabel 31. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan Tanpa Mesin..............................................
130
Tabel 32. Hasil Analisis Of Farian pada Nelayan Tanpa Mesin ................
130
Tabel 33. Hasil Analisis Partial Variabel yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan Tanpa Mesin..............................................
131
Tabel 34. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan ..................................................................
133
Tabel 35. Hasil Analisis Of Farian ............................................................
134
Tabel 36. Hasil Analisis Partial Variabel yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan Tanpa Mesin..............................................
135
Tabel 37. Jumlah Gedung Sekolah dan Daya Tampung Sekolah ..............
140
Tabel 38. Jumlah Kelulusan Murid Berdasaran Jenjang Pendidikan di Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 2006/2007 ........................
140
Tabel 39. Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama di Maluku Tenggara Tahun 2007 .......
142
Tabel 40. Persentase Pendapatan Nelayan.................................................
145
Tabel 41. Tingkat Pengeluaran Nelayan.....................................................
146
Tabel 42. Prioritas Masalah yang Dihadapi Nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara .....................................................................................
153
Tabel 43. Matriks strategi Penanggulangan Kemiskinan ...........................
178
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kerangka Pikir Analisis Kebijakan ........................................
46
Gambar 2. Peta Wilayah Propinsi Maluku ...............................................
47
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di Maluku Tenggara ...........................
48
Gambar 4. Variasi Arah dan Kecepatan Angin 1999-2003 . ...................
70
Gambar 5.
PDRB Menurut Harga Konstan & Harga Berlaku ...............
80
Gambar 6. Simpanan pada Bank Pemerintah & Swasta Thn 2006 ..........
83
Gambar 7.
Produksi Hasil Perikanan Tangkap Thn 1996-2007 . ...........
103
Gambar 8.
Jumlah Armada Penangkapan Ikan 1996-2007. ....................
106
Gambar 9.
Jumlah Alat Penangkapan Ikan, Trip Thn 1996 - 2007 .......
107
Gambar 10. Perkembangan Rumah Tangga Perikanan ...........................
109
Gambar 11. Standarisasi Alat Tangkap Nelayan Mesin dan Nelayan Tanpa Mesin di Maluku Tenggara ........................................
112
Gambar 12. Perbandingan Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan pada Nelayan Menggunakan Mesin ........................................
115
Gambar 13. Perbandingan Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan pada Nelayan Tanpa Mesin di Maluku Tenggara ....................
117
Gambar 14. Kurva Pertumbuhan Logistik pada Nelayan Bermesin...........
119
Gambar 15. Kurva Produksi Lestari - Upaya pada nelayan Bermesin ......
119
Gambar 16. Kurva Produksi Optimum pada Nelayan Bermesin ................
119
Gambar 17. Kurva Pertumbuhan Logistik pada Nelayan Tanpa Mesin .....
122
Gambar 18. Kurva Produksi Lestari - Upaya pada nelayan Tanpa Mesin..
122
Gambar 19. Kurva Produksi Optimum pada Nelayan Tanpa Mesin ..........
123
Gambar 20. Persentase pendapatan nelayan di Maluku Tenggara. .............
122
Gambar 21. Tingkat pengeluaran nelayan di Maluku Tenggara .................
123
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Catch, Effort, dan CPUE Nelayan Bermesin di Kabupaten Maluku Tenggara dari Tahun 1997-2008 190 ..................
189
Lampiran 2. Catch, Effort, dan CPUE Nelayan Tanpa Mesin Tahun 1997-2008 .............................................................
190
Lampiran 3. Regresi nelayan menggunakan mesin 192
......................
191
........................................................
192
Lampiran 4. Nelayan tanpa mesin
Lampiran 5. Analisis optimasi sumber daya perikanan tangkap pada nelayan mesin Tahun 1997–2008 ........................................
193
Lampiran 6. Analisis optimasi sumber daya perikanan tangkap pada nelayan tanpa mesin Tahun 1997–2008 ............................
198
Lampiran 7. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan bermesin Tahun 1997–2008 .................................
202
Lampiran 8. Hasil analisis of varians pada nelayan bermesin . ................
202
Lampiran 9 . Analisis partial variabel yang mempengaruhi pendapatan nelayan bermesin Tahun 1997–2008 .............................
202
Lampiran 10 . Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan tanpa mesin Tahun 1997–2008 ..........................
202
Lampiran 11. Hasil analisis of varians pada nelayan tanpa mesin .............
202
Lampiran 12 . Analisis partial variabel yang mempengaruhi pendapatan nelayan tanpa mesin Tahun 1997–2008 ..........................
202
Lampiran 13 . Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan (gabungan nelayan mesin dan tanpa mesin) .................
203
Lampiran 14 . Analisis of varian yang mempengaruhi pendapatan (gabungan nelayan mesin dan tanpa mesin) .............
203
Lampiran 15 . Analisis partial variabel yang mempengaruhi pendapatan (gabungan nelayan mesin dan tanpa mesin) ................. DAFTAR PUSTAKA
203
Abubakar, M. 2004. Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Tangkap Kota Ternate. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Adisasmita, R. 2006. Pembangunan Kelautan dan Kewilayahan. Graha Ilmu. Yogyakarta. Anwar, A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. P4W .Bogor. Arianto. 2003. Program Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Bidang Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tenggara. 2007. Kabupaten Maluku Tenggara dalam Angka. Basri, Y.Z. 2007. Bunga Rampai Pembangunan Ekonomi Pesisir. Universitas Trisakti. Jakarta. Buku Maluku Tenggara Dalam Angka (2007). BAPPEDA dan BPS Kabupaten Maluku Tenggara. Tual. Chambers, R. 19888. Pembangunan Desa Mulai dari Beakang. LP3ES, Jakarta. Chamsyah, B. 2006. Teologi Penaggulangan Kemiskinan. RMBOOKS. Jakarta. Chamsyah, B. 2006. Reinventing Departemen Sosial; Dalam Konteks Pembangunan Sosial Indonesia. RMBOOKS. Jakarta. Dahuri, R. 1998. Strategi Pengelolaan Kawasan Pesisir Indonesia. PKSPL. IPB. Dahuri, R. Dkk. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan (2007) Evaluasi Pengeolaan dan Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Perikanan di Perairan Kabupaten Maluku Tenggara dengan Berbagai Prospek Pengembangan dan Permasalahannya. (Makalah). Disampaikan dalam rangka peaksanaan FKPPS Tingkat Propinsi (2007). Ambon. Dinas Sosial (2007) Angka Kemiskinan. Kabupaten Maluku Tenggara. Dunn, W. N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. PT. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Dwidjowijoto, R. N. 2004. Kebijakan Publik. Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. PT. Gramedia, Jakarta. Dwidjowijoto, R. N. 2007. Analisis Kebijakan. PT. Gramedia, Jakarta.
Faradiba. 2006. Analisis Pengelolaan Perikanan Tangkap Secara Optimal Dalam Upaya Mendukung Pembangunan Berkelanjutan. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan Apikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan. PT. Grafika Mardiyuana. Bogor. Gustiar, Ch. 2005. Analisis Kelembagaan dan Peranannya Dalam Penataan Ruang Di Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Heleosi, S. 2006. Kajian Lingkungan Strategik Kebijakan Pembangunan Daerah. Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Imron, M. 2003. Kemiskinan dalam Masyarakat Nelayan, dalam ”Jurnal Masyarakat dan Budaya” Vol. V No. 1/2003. Jakarta, Pusat Peneitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI. Hal 63-82. IPB. 2008. Pokok Pikiran IPB: Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Untuk Kesejahteraan Rakyat” Disampaikan Dalam Rangka Memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bogor. Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press. Kurniawan, I. 2007. Kajian Pengelolaan Sumber Daya Perikanan (Co-Fish Project) dan Dampaknya Terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Bangkalis. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Lopulalan, Y. 2003. Analisis Ekonomi Kelembagaan Kemitraan Dalam Pemberdayaan Nelayan di Pulau Saparua. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Muhajar. 2005. Kendala Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pulau-Pulau Kecil Oleh Nelayan Pancing Ulur di Kepulauan Wangi-Wangi. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Muhamad, S. 2002. Ekonomi Rumahtangga Nelayan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Jawa Timur; Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. (Desertasi). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nugroho, H. 1995. Kemiskinan, Ketimpangan, dan Pemberdayaan, daam Awan Setya Dewanta, dkk, (ed): Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Yogyakarta, Aditya Media. Hal 31.
Nurfiarini, A. 2003. Kajian Budidaya Perikanan Pesisir dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Teluk Saleh Kabupaten Dompu. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Pancasasti, R. 2008. Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga dan Peluang Kemiskinan Nelayan Tradisional. (Tesis). Sekoah Pascasarjana, IPB. Bogor. Riswandi. 2006. Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Rustiadi, E. dkk. 2007. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Institut Pertanian Bogor. Rustiadi, E. dkk. 2007. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Institut Pertanian Bogor. RPJM. 2007. Kabupaten Maluku Tenggara. Saefulhakim, HRS. 1993. Model Pemetaan Potensi Ekonomi Untuk Perumusan Kebijakan Pembangunan Daerah. Konsep, Metode, Aplikasi, dan Teknik Komputasi. CORDIA (Community and Regional Development Institue of Aqwati). Bogor. Saaty, TL. 2008. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sinaga, M. B. 2006. Metode Pengumpulan Data. Pascasarjana. IPB. Bogor.
Diktat Bahan Kuliah. Sekolah
Subri, M. 2007. Ekonomi Kelautan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Suharto, E. 2003. Paradigma Baru Studi Kemiskinan. http://www.immugm.org/public html article php?story=2003091119480. Tangkilisan, HNS. 2005. Kebijakan Publik Asli Indonesia. Fakultas Ekonomi UGM. IPB. Yogyakarta. Unpatti dan DKP Propinsi Maluku. 2004. Rencana Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil Kabupaten Maluku Tenggara Widodo J. Dkk. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gaja Mada University Press. Yogyakarta. Wright Ch.S. 1990. Institute Fisheries Analisis. Discussion Paper Series. Simon Fraser University. Burnaby, B.C. Canada.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dihadapkan pada masalah kemiskinan yang tinggi. Pada tahun 2006, 39,05 juta orang atau 18 persen dari seluruh penduduk Indonesia masih termasuk katagori miskin (BPS, 2006). Angka ini rentan dengan perubahan terutama yang disebabkan oleh krisis ekonomi dan kenaikan harga BBM atau bahan makanan pokok. Pada tahun 1998, ketika mulai krisis ekonomi, angka kemiskinan meningkat dari 11,3 persen pada tahun 1996 menjadi 24,2 persen pada tahun 1998 (BPS, 1998). Hal ini mengindikasikan bahwa tahun 2008 angka kemiskinan Indonesia akan meningkat tajam seiring dengan kenaikan BBM, kenaikan harga CPO dan penurunan inflasi yang tidak disertai pertumbuhan di sektor real (IPB, 2008). Penduduk miskin Indonesia 63,41 persen diantaranya tinggal di perdesaan (BPS, 2006). Ini berarti, jika pembangunan pedesaan mampu menghapuskan angka kemiskinan penduduk desa, maka penduduk miskin akan berkurang sebanyak 63,41 persen atau 25.046.950 orang. Kondisi yang sama terjadi di desa-desa pesisir. Wilayah desa pesisir meliputi 8.090 buah desa dan menampung 16.420.000 jiwa penduduk yang 32,14 persen diantaranya termasuk katagori penduduk miskin (DKP, 2007 dalam IPB, 2008). Berdasarkan hal tersebut diatas maka krisis multi dimensi yang terjadi sejak tahun 1998 hingga sekarang dapat berdampak terhadap meningkatnya angka kemiskinan dan jumlah pengangguran, sehingga berbagai upaya perlu dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mengatasi krisis tersebut. Alternatif penanganannya adalah dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia secara optimal, guna peningkatan perekonomian, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan serta peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat. Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam penyediaan bahan pangan protein, perolehan devisa dan penyediaan lapangan kerja. Pada saat krisis ekonomi, peranan sektor perikanan sangat signifikan, terutama dalam hal mendatangkan devisa. Akan tetapi ironisnya, sektor perikanan selama ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan kalangan pengusaha, padahal bila sektor perikanan dikelolah secara serius akan memberikan kontribusi yang lebih besar
terhadap pembangunan ekonomi nasional dan dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia terutama masyarakat nelayan dan petani ikan (Subri, 2007). Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km dan memiliki 17.508 buah pulau serta dua pertiga dari luas wilayahnya berupa laut. Indonesia memiliki potensi perikanan yang besar. Potensi ikan lestarinya paling tidak ada sekitar 6,17 juta ton per tahun, terdiri atas 4,07 juta ton di perairan nusantara yang hanya 38 persennya dimanfaatkan dan 2,1 juta ton per tahun berada di perairan Zona Ekonomi Eklusif (ZEE). Potensi ini pemanfaatannya juga baru 20 persen (Dahuri, 2002). Perikanan, seperti halnya sektor ekonomi lainnya, merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renevable), pengelolaan sumber daya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati (Fauzi, 2005). Kekayaan alam laut Indonesia sangat beragam dan tersebar pada sebagian besar lautan nusantara dan tiap wilayah dengan berbagai macam potensinya, terdiri atas berbagai jenis hasil laut seperti : ikan, cumi, lobster, udang, kepiting, penyu, rumput laut, siput, mutiara, lola, teripang, dan hasil ikutan lainnya, semuanya itu bila dikelolah dan dimanfaatkan secara optimal dengan mempertimbangkan aspek kelestarian maka dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat pesisir dan nelayan. Maluku Tenggara dengan luas total wilayah ± 55.932 km2, dimana luas daratan ± 4.049 km2 atau 7%, dan luas lautan ± 51.883 km2 atau 93%. Dengan luas wilayah sedemikian maka dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa Kabupaten Maluku Tenggara sebagai kabupaten kepulauan memiliki sumber daya alam perikanan yang potensial untuk dikelolah secara bekelanjutan. Namun sejauh ini aspek pengelolaan sumber daya perikanan belum berjalan efektif dan terkontrol. Nelayan umumnya berusaha
untuk
memperoleh
hasil
tangkapan
sebanyak-banyaknya
tanpa
memperhitungkan aspek keberlanjutan. Karena sifatnya yang open access maka sumber daya perikanan dapat diakses oleh masyarakat umum secara bebas tanpa batas waktu dan aturan yang jelas, sehingga sebagai nelayan lokal yang mempunyai peralatan tangkap secara tradisional, tetap kalah bersaing dalam memperoleh hasil tangkapan ikan dengan nelayan luar yang memiliki sarana prasarana penangkapan modern. Penangkapan dengan kapal modern tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya over fishing yang berdampak terhadap kemerosotan stok sumber daya perikanan, serta dapat berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Dengan demikian maka dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap yang tersedia perlu mempertimbangkan aspek keseimbangan lingkungan, sosial, dan ekonomi, sehingga sumber daya perikanan tetap lestari. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan yang mengontrol penggunaan sumberdaya sehingga terhindar dari kelangkaan sumberdaya dan kerusakan ekosistim laut. Yang dapat berakibat terhadap kutukan sumber daya alam, yakni suatu fenomena dimana wilayah dengan sumber daya alam yang melimpah justru mengalami pertumbuhan yang lamban yang pada akhirnya menyebabkan penduduknya hidup dalam kemiskinan (Fauzi, 2005). Apabila sumberdaya alam tidak dikelola secara berkelanjutan maka akan berdampak terhadap kelangkaan sumberdaya dan lambat laun akan berdampak terhadap penurunan tingkat kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat, yang mengarah kepada tingkat kemiskinan masyarakat. Hal ini disebabkan karena sumber daya alam sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pokok setiap orang. Fauzi (2005), mengatakan bahwa permasalahan kemiskinan nelayan lebih disebabkan karena kurang tepatnya kebijakan yang diarahkan pada peningkatan pendapatan yang merupakan turunan dari kurangnya pemahaman masalah kemiskinan itu sendiri. Sumber daya ikan memiliki karakteristik unik yang harus dipahami secara benar sehingga tidak menghasilkan pemahaman mengenai kemiskinan yang keliru (misleading), yang pada akhirnya melahirkan strategi pengentasan kemiskinan yang keliru pula. Sesungguhnya, ada dua hal utama yang terkandung dalam kemiskinan, yaitu kerentanan dan ketidak berdayaan. Dengan kerentanan yang dialami, orang miskin akan mengalami kesulitan untuk menghadapi situasi darurat. Ini dapat dilihat pada nelayan perorangan misalnya, mengalami kesulitan untuk membeli bahan bakar untuk keperluan melaut. Hal ini disebabkan sebelumnya tidak ada hasil tangkapan yang bisa dijual, dan tidak ada dana cadangan yang dapat digunakan untuk keperluan yang mendesak (Sutrisno, 1995 dalam Subri, 2007). Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, maka memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangga daerahnya sendiri, dan dapat mengusahakan serta mengelola keuangannya secara
mandiri. Hal ini dapat mendorong pemerintah daerah untuk dapat berinovasi dalam memperoleh keuangan sebagai masukan dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), agar dapat dipergunakan dalam peningkatan pembangunan daerah. Namun disisi lain dengan mengejar PAD yang sebesar-besarnya maka berimbas terhadap eksploitasi yang tidak terkendali terhadap sumber daya alam sehingga berdampak terhadap kerusakan lingkungan dan terkurasnya sumber daya alam lokal. Hal lain yang juga timbul adalah terjadinya perebutan kepemilikan sumber daya sehingga dapat mengakibatkan konflik sosial ditengah-tengah masyarakat. Dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) sebagai dana pemberian dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah untuk menopang proses pembangunan di daerah, harus dapat dikelolah dan dimanfaatkan secara tepat dan terkontrol guna peningkatan kualitas pembangunan daerah. Karena dana yang diberikan sangat terbatas maka program kegiatan daerah harus fokus dan terencana secara efisien dan efektif dalam pelaksanaannya, sehingga dana perbantuan yang terbatas tersebut tidak salah digunakan untuk program yang mubazir. Oleh karena itu analisis kebijakan pada suatu daerah harus dilaksanakan secara tepat dan terarah guna mendapatkan alternatif kebijakan yang dapat diprioritaskan dalam pelaksanaan program pembangunan daerah. Termasuk kebijkan pada sektor perikanan dan kelautan sehingga hasil pembangunan yang dilaksanakan pada sektor tersebut dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Dalam era desentralisasi saat ini, kewenangan untuk mengurus daerah, termasuk pengelolaan sumber daya alam lokal telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Sehingga sektor perikanan sebagai sektor unggulan di Kabupaten Maluku Tenggara harus dapat dikelolah dan dimanfaatkan secara tepat dan berkelanjutan guna memberikan kontribusi yang signifikan dalam proses pembangunan daerah. Karena sektor ini memiliki potensi sumberdaya alam sangat menjanjikan bagi pemanfaatan pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya mayarakat nelayan. Terutama pada sektor perikanan, karena memiliki sifat open access maka sumber daya alam tersebut bebas dikuasai oleh setiap orang sehingga dalam penguasaannya terjadi konflik kepemilikan secara perseorangan maupun secara wilayah, yang dapat berdampak terhadap kelangkaan sumber daya dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu
harus ada kebijakan yang dapat mengatur tentang pola pemanfaatan dari sumber daya alam tersebut secara tepat. Agar potensi sumber daya alam tersebut tetap lestari guna pemenuhan kebutuhan umat manusia di masa yang akan datang. 1.2. Perumusan Masalah Kemiskinan
bersifat
multidimensi
dan
multisektor
dengan
beragam
karakteristiknya sesuai kondisi spesifik masing-masing wilayah. Sampai saat ini kemiskinan masih merupakan masalah utama yang harus segera diatasi
oleh setiap
pemangku kepentingan pada setiap level pemerintahan karena menyangkut harkat dan martabat manusia dan bangsa. Upaya penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan selama ini, belum dilakukan secara terpadu. Hal ini menunjukan beberapa kelemahan dari penanggulangan kemiskinan pada masa lalu, sehingga perlu dikoreksi secara mendasar, kelemahan tersebut antara lain masih berorientasi pada pertumbuhan makro, kebijakan yang terpusat, cara pandang tentang kemiskinan yang diorientasikan pada ekonomi, menempatkan orang miskin sebagai obyek pembangunan seperti pembebasan uang sekolah, pemberian kartu sehat, kartu miskin, dan bantuan yang bersifat habis pakai. Paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan adalah berdasarkan princip-princip adil-merata, partisipatif, tertib hukum dan saling percaya yang menciptakan rasa aman melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, termasuk di dalamnya pemberdayan ekonomi masyarakat nelayan. Upaya penanggulangan kemiskinan mensyaratkan adanya identifikasi mengenai siapa, dimana, bagaimana, dan mengapa ada masyarakat miskin, sementara sumber daya alam sangat potensial untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Identifikasi tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam menentukan kebijakan yang paling sesuai dalam penanggulangan kemiskinan. Sebuah ironi kehidupan masyarakat pesisir, yakni hidup miskin di tengah kekayaan potensi sumber daya perikanan yang ada di sekitarnya. Berbagai pertanyaan kemudian muncul, yang bermuara pada mengapa hal ini bisa terjadi?.
Apakah ini
semata-mata karena natural resource curse (kutukan sumber daya alam), yakni suatu fenomena dimana wilayah dengan sumber daya alam yang melimpah justru mengalami
pertumbuhan ekonomi yang lamban yang pada akhirnya menyebabkan penduduknya hidup dalam kemiskinan? Atau karena sebab-sebab lain? (Fauzi, 2005). Kabupaten Maluku Tenggara sebagai kabupaten kepulauan yang luas wilayah lautannya lebih besar dari wilayah daratan, dengan memiliki potensi sumber daya perikanan yang
sangat melimpah, memberikan peluang bagi masyarakatnya untuk
berprofesi sebagai nelayan. Selama ini masyarakat nelayan telah berusaha untuk mempertahankan hidupnya dengan memanfaatkan potensi perikanan yang ada, namun mereka belum mampu keluar dari perangkap kemiskinan. Karena sebagai nelayan lokal mereka hidup dalam keterbatasan sarana prasarana penangkapan ikan secara tradisional. Sehingga mereka tidak mampu melakukan penangkapan ikan pada wilayah laut yang luas dan jauh dari pesisir pantai. Sementara kebanyakan para nelayan yang mempunyai peralatan tangkap moderen berasal dari luar Maluku Tenggara bahkan sebahagian besar nelayan tersebut berasal dari negara lain, seperti : Cina, Thailand, Korea, Philipina, Taiwan dll. Nelayan luar ini yang sering melakukan illegal fishing dan over fishing terhadap sumber daya perikanan yang dapat menyebabkan kelangkaan sumber daya perikanan. Umumnya nelayan lokal memiliki sarana penangkapan ikan yang tidak memadai sehingga wilayah penangkapan mereka menjadi terbatas. Di samping itu, ketergantungan terhadap musim sangat tinggi dan tidak setiap saat nelayan bisa melaut, terutama pada musim ombak, yang berlansung selama berbulan-bulan. Akibatnya, tidak ada hasil tangkapan yang diperoleh pada saat itu. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan nelayan karena secara riil rata-rata pendapatan perbulan menjadi lebih kecil, dan pendapatan yang diperoleh pada saat musim ikan, akan habis dikonsumsi pada saat paceklik. Rendahnya nilai tukar ikan, mahalnya harga kebutuhan sehari-hari dan besarnya tanggungan keluarga juga merupakan faktor penyebab kemiskinan nelayan. Sesuai hasil pemetaan wilayah pengelolaan sumber daya perikanan oleh KOMNAS Pengkajian Stock 1998, Kabupaten Maluku Tenggara (Malra) berada pada dua wilayah pengelolaan yaitu; pertama Wilayah V (Laut Banda) yang memiliki potensi sebesar 248.400 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 198.700 ton/tahun. Kedua, Wilayah VI (Laut Arafura) yang memiliki potensi sebesar
792.100 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 633.600 ton/tahun (DKP Malra, 2007). Menurut data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tenggara yang tertuang dalam buku Kabupaten Maluku Tenggara dalam Angka (2007), menunjukan bahwa produksi perikanan tangkap selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hasil produksi pada tahun 2005 sebesar 131.359,9 ton dengan nilai sebesar Rp. 759.905.525.000, mengalami peningkatan produksi pada tahun 2006, dengan rincian sebagai berikut; untuk ekspor keluar negeri sebesar 112.552 ton, untuk ekspor ke daerah lain di Indonesia sebesar 15.603,3 ton sedangkan untuk kebutuhan pasar lokal sebesar 30.473,9 ton. Total produksi sebesar 158.629,2 ton dengan nilai sebesar Rp. 761.217.270.000. Hal ini menggambarkan bahwa produksi perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara selalu meningkat dari tahun ke tahun, akan tetapi angka kemiskinan nelayan juga selalu meningkat. Disisi lain sumber daya perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara sangat potensial untuk dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama kehidupan para nelayan, tetapi sektor ini belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat nelayan lokal. Dibawah ini disajikan perkembangan hasil penangkapan dan nilai ikan/ non ikan di Kabupaten Maluku Tenggara. Tabel 1 Perkembangan hasil penangkapan dan nilai ikan/non ikan menurut kecamatan. data dari tahun 2001 – 2006 Kecamatan 1. Kei Kecil 2. Pulau-Pulau Kur 3. Kei Kecil Barat 4. Kei Kecil Timur 5. Dullah Utara 6. Dullah Selatan 7. Tayando Tam 8. Kei Besar 9. Kei Besar Utara Timur 10. Kei Besar Selatan 2006 2005 2004 2003 2002 2001
Produksi (Ton) 4.572 1. 828,4 3.352,2 3,657 2.437 131.050,3 1.980,8 3.962,6 2.742,5 3.046,4 158.629,2 131.353,9 84.028,5 111.776,6 107.962,3 99.811
Sumber : Dinas Kelautan & Perikanan Kab. Maluku Tenggara
Nilai ( 000 Rp) 22.760.361 9.104.144 16.690.931 18.208.289 12.138.859 623.896.426 9.862.823 19.725.646 13.656.217 15.173.574 761.217.270 759.905.525 605.959.360 396.863.940 295.858.875 277.613.250
Walaupun memiliki potensi perikanan yang melimpah, dan hasil produksi yang selalu meningkat setiap tahun seperti data diatas, akan tetapi masyarakat nelayan masih rentan terhadap kemiskinan. Hal ini disebabkan karena nelayan lokal umumnya memiliki sarana penangkapan ikan secara tradisonal dan sederhana. Oleh karena itu pendapatan dari hasil tangkapan nelayan lokal sangat terbatas, sehingga untuk pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari sangat tidak mencukupi. Hal ini menyebabkan mereka sulit keluar dari perangkap kemiskinan selama ini. Angka kemiskinan menurut kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara sebagai berikut: Kecamatan Dullah Selatan 14,212%, Kecamatan Dullah Utara 9,726%, Kecamatan Kei Kecil 17,344%, Kecamatan Kei Kecil Barat 3,880%, Kecamatan Kei Kecil Timur 7,884%, Kecamatan Kei Besar 22,020%, Kecamatan Kei Besar Selatan 6,964%, Kecamatan Kei Besar Utara Timur 9,252%, Kecamatan Tayando Tam 4,616%, dan Kecamatan Pulau-Pulau Kur 4,288%, (Dinas Sosial Kab. Malra, 2007). Disisi lain dengan keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan modal, rendahnya akses informasi dan akses pasar serta rendahnya penguasaan teknologi oleh masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumber daya alamnya menyebabkan mereka hidup dibawah garis kemiskinan. Oleh karena itu pembangunan harus dilaksanakan secara terintegrasi dalam semua aspek dan dapat mengoptimalkan sumber daya alam lokal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
pesisir, serta dapat mengurangi
tingkat kerentanan masyarakat miskin. Di tengah upaya pemerintah daerah dalam program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Maluku Tenggara, maka perlu adanya evaluasi dan monitoring yang sungguh-sungguh terhadap pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan agar kualitas program menjadi lebih baik pada masa datang. Dengan indikator-indikator yang obyektif dan terukur para pengambil kebijakan lebih mudah melakukan perbaikan-perbaikan dari berbagai program penanggulangan kemiskinan yang sebelumnya sehingga program yang dilakukan dapat berkelanjutan. Dengan demikian kegagalan suatu program pada masa lalu menjadi pengalaman yang berharga dalam pelaksanaan program selanjutnya.
Secara jujur harus diakui bahwa pendekatan pengelolaan program-program penanggulangan kemiskinan selama ini bersifat sentralistik, karena pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana lapangan sekaligus perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan program kemiskinan, sehingga tanggungjawab pemerintah daerah sangat rendah, dan pengendalian pelaksanaan program terlampau lemah, serta mekanisme pelaksanaan kurang transparan dan akuntabel, sehingga para pemanfaat program tidak mampu melakukan kontrol terhadap keefektifan program yang dilaksanakan. Untuk mencapai sasaran dan tujuan penurunan angka kemiskinan, maka perlu adanya strategi yang tepat dalam penaggulangan kemiskinan. Paradigma pembangunan pada masa lalu lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan fisik material, serta menempatkan manusia sebagai obyek sehingga beresiko terjadinya dehumanisasi dalam pelaku pembangunan. Keberadaan penyandang masalah kemiskinan atau kesejahteraan sosial sebagai obyek pembangunan, memposisikan orang miskin sebagai penerima bantuan sosial yang pasif dan diberikan atas dasar belas kasihan (charity). Paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan akan memposisikan orang miskin sebagai pelaku aktif dalam setiap langka kegiatan yang ditujukan pada dirinya dan memberikan apresiasi yang layak terhadap posisi dan sumber daya yang dimilikinya. Paradigma pembangunan pada masa lalu, terutama pada masa sentralistik, penanganan kemiskinan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan pemerintah daerah cendrung sebagai pelaksana. Pada masa yang akan datang, seiring desentralisasi pembangunan dalam kerangka kebijakan otonomi daerah, maka kebijakan, strategi dan program pemberdayaan orang miskin menjadi kewenangan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, serta adanya pembagian peran yang jelas. Hubungan pusat dengan
daerah yang semulah berdasarkan hubungan struktural akan bergeser
menjadi hubungan fungsional. Berdasarkan gambaran kondisi diatas maka dapat ditarik permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana model pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara?
2.
Bagaimana tingkat pendapatan per kapita masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara?.
3.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara?
4.
Bagaimana hubungan tingkat kemiskinan masyarakat nelayan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara?
5.
Bagaimana strategi kebijakan dan bentuk program bidang perikanan untuk pengentasan kemiskinan masyarakat nelayan yang telah dijalankan
di
Kabupaten Maluku Tenggara? 1.3. Tujuan Penelitian. Tujuan dari penelitian ini untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukakan diatas, yaitu : 1.
Mengetahui bagaimana model pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara.
2.
Mengetahui tingkat pendapatan per kapita masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara.
3.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara.
4.
Menganalisis hubungan tingkat kemiskinan masyarakat nelayan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap.
5.
Menganalisis strategi kebijakan dan bentuk program bidang perikanan untuk pengentasan kemiskinan masyarakat nelayan yang telah dijalankan di Kabupaten Maluku Tenggara.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini semoga
bermanfaat bagi
Pemerintah Daerah, Nelayan, dan
Stakeholders, serta semua komponen yang membutukan informasi menyangkut perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Analisis Kebijakan. Analisis kebijakan sebagai sebuah proses “pra-proses-kebijakan”. Analisis kebijakan disini dimaksud sebagai terjemahan dari analysis for policy, bukan analysis of policy. Proses kebijakan adalah proses yang diawali dengan perumusan kebijakan, dilanjutkan dengan implementasi kebijakan, dan kemudian evaluasi kebijakan. Pada titik ekstrim, analisis kebijakan adalah proses tempat sebuah kebijakan dipikirkan untuk dibuat, dan belum dibuat itu sendiri (Dwidjowijoto, 2006). Quade (1998) dalam Dwidjowijoto (2006), mengatakan bahwa analisis kebijakan merupakan analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan. Sedangkan menurut Dunn (1998) mengatakan bahwa analisis kebijakan adalah setiap analisis yang menghasilkan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi pengambil kebijakan atau keputusan. Jadi analisis kebijakan lebih berkenan dengan bagaimana pengambil keputusan mendapatkan sejumlah alternatif kebijakan yang terbaik, sekaligus aternatif kebijakan yang terpilih sebagai rekomendasi dari analisis kebijakan atau tim analisis kebijakan. Peran analisis kebijakan adalah memastikan bahwa kebijakan yang hendak diambil benar-benar dilandaskan atas manfaat optimal yang akan diterima oleh publik, dan bukan asal menguntungkan pengambil kebijakan. Dunn (1998) mendefinisikan analisis kebijakan sebagai disiplin ilmu sosial terapan yang menerapkan berbagai metode penyelidikan, dalam konteks argumentasi dan debat publik, untuk menciptakan dan secara kritis menaksir dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Analisis kebijakan publik adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan multiple-metode untuk meneliti dan berargumen, untuk memproduk dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan yang dapat digunakan dalam tatanan politik untuk mengatasi masalah kebijakan. Patton dan Savicky dalam Dwidjowijoto (2006) mendefinisikan analisis kebijakan sebagai suatu evaluasi sistematis berkenaan dengan fisibilitas teknis dan ekonomi serta viabilitas politis dari alternatif kebijakan, strategi implimentasi kebijakan, dan adopsi
kebijakan. Analisis kebijakan yang baik mengintergrasikan informasi kualitatif dan kuantitatif, mendekati permasalahan dari berbagai perspektif, dan menggunakan metode yang sesuai untuk menguji fisibilitas dari opsi-opsi yang ditawarkan. Salah satu akar kemiskinan masyarakat pantai adalah keterbatasan mengakses permodalan yang ditunjang oleh kultur kewirausahaan yang tidak kondisif yang dilandasi sifat usaha yang individual, tradisional, dan subsisten. Keterbatasan modal itu ditandai dengan realisasi penyerapan modal melalui inventasi pemerintah dan swasta selama 25 tahun pembangunan Orde Baru yang hanya 0,02 persen dari keseluruhan modal pembangunan. Konsekuensinya, kebutuhan permodalan nelayan dipenuhi oleh rentenir, tengkulak dan tauke yang dalam kenyataannya secara jangka panjang tidak banyak menolong bahkan mungkin makin menjerat utang masyarakat pantai (Subri, 2007). Pada kondisi seperti tersebut diatas berakibat potensi sumber daya alam kelautan dan perikanan yang melimpah hingga kini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan satu program yang menyentuh lansung kepentingan masyarakat pantai sehingga selain dapat meningkatakan kesejahteraan juga mendidik mereka lebih mandiri dan memiliki kemampuan dalam memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan, (Subri 2007). 2.2. Kemiskinan Nelayan. Sekalipun batasan konseptualnya dipahami secara berbeda-beda, namun semua orang sepakat bahwa ketika membahas kemiskinan di Indonesia maka pandangan akan tertuju pada sebuah lapisan masyarakat tertentu yang dalam membina kehidupan mereka menghadapi masalah kekurangan sandang, pangan, papan (rumah-tinggal), pendidikan, pelayanan sarana kehidupan (air bersih, lingkungan, kesehatan dan infrastruktur), dan martabat yang rendah, (IPB, 2008). Selanjutnya Rustiadi, dkk (2007), mengatakan bahwa secara hakiki kemiskinan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan seseorang menyebabkan dirinya tidak dapat mengikuti tata nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Penggunaan istilah miskin dan tidak miskin selama ini sering meresahkan beberapa kalangan akibat penggolongan daerah miskin, sangat miskin dan seterusnya dalam kehidupan sehari-hari seringkali berkonotasi merendahkan.
Todaro (2004), mengatakan bahwa kemiskinan dapat terjadi karena perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang sangat tidak merata. Pada tingkat distribusi pendapatan tertentu, semakin tinggi pendapatan per kapita yang ada, maka akan semakin rendah jumlah kemiskinan. Akan tetapi tingginya tingkat pendapatan per kapita tidak menjamin lebih rendahnya tingkat kemiskinan. Pemahaman tenterhadap hakikat distribusi ukuran pendapatan merupakan landasan dasar bagi setiap analisis masalah kemiskinan di negara-negara yang berpendapatan rendah. IPB (2008), mengatakan bahwa secara ekonomi, parameter untuk mengukur kemiskinan yang sering digunakan adalah angka pendapatan atau pengeluaran per kapita, ataupun angka produk domestik bruto (PDB) per kapita. Ukuran internasional saat ini ditetapkan oleh bank dunia dengan angka pendapatan per kapita lebih kecil atau sama dengan US$ 2 per hari. Meski ukuran mereka sangat pasti, tetapi pendekatan-pendekatan ekonomi tersebut, dipandang oleh banyak pihak tidak cukup realistik untuk mewakili kondisi kemiskinan yang
sebenarnya. Angka-angka tersebut dianggap terlalu
mengawang-awang karena diturunkan dari kondisi makro ekonomi suatu negara. Sebagai koreksi, para ahli pangan pertanian mendekati kemiskinan dengan angka asupan energi atau nutrisi per kapita. Pendekatan sosial-budaya, mengukur kemiskinan dari capaian derajat kesehatan, derajat pendidikan, intensitas beban kerja, akses kepada sumbersumber nafka seperti tanah dan modal. Dari pendekatan sosio-fisikal, kemiskinan diukur dari kemudahan menjangkau pusat-pusat pelayanan dan ketersediaan infrastruktur (listrik, air bersih, telpon, televisi, jalan aspal) bagi kehidupan. Dari perspektif sosio-politik, kemiskinan diukur dari seberapa besar akses kaum miskin dalam menyuarakan hak-hak politiknya. Sementara dari sudut pandang sosio-ekologi, kemiskinan diukur dari seberapa tinggi derajat kenyamanan lingkungan telah dinikmati oleh sebuah lapisan masyarakat dalam kehidupannya. Rustiadi, dkk, (2007) mengatakan bahwa berbagai upaya menetapakan tolok ukur kemiskinan telah banyak dilakukan oleh banyak pakar, bebarapa tolok ukur yang telah banyak dikenal selama ini adalah: 1. Rasio barang dan jasa yang dikonsumsi (Good-Service Ratio, GSR) Konsep ini bertolak dari fakta yang menunjukan bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar persentase pendapatan (income) yang digunakan untuk
konsumsi jasa. Dengan demikian semakin kecil nilai rasio barang dan jasa yang dikonsumsi, makin tinggi kesejahteraan seseorang. Standar nilai rasio yang digunakan di beberapa tempat sangat bervariasi. Konsep ini memiliki kelemahan selama tidak ada kejelasan perbedaan antara barang dan jasa. Di lain pihak, seringkali kita dihadapkan dengan ketidakjelasan dalam membedakan antara konsumsi dengan biaya. 2. Persentase/Rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan. Sebagai kebutuhan pokok yang paling hakiki, konsumsi terhadap makanan akan selalu menjadi prioritas utama dalam konsumsi pola manusia. Konsep ini bertolak dari pemikiran bahwa seseorang akan terlebih dahulu memenuhi konsumsi
makanannya
sebelum
mengkonsumsi
komoditi-komoditi
kebutuhan lainnya.
Seseorang baru akan mengkonsumsi komuditi lainnya setelah terlebih dahulu memenuhi konsumsi makannya. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi kesempatan mengkonsumsi komuditi selain makanan. Dengan demikian berdasarkan tolok ukur ini semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya. 3. Pendapatan setara harga beras. Profesor Sayogyo dari IPB telah membuat ambang batas kemiskinan berdasarkan harga setara beras. Dengan didasarkan pada kebutuhan kalori sebesar 120 kkal/kapita/tahun, ditentukan ambang kemiskinan di desa dan di kota masing-masing jika pendapatannya kurang dari 240 kg/kapita/tahun. Dengan adanya perkembangan, aspirasi masyarakat telah meningkat, sehingga ukuran relatif dari ambang kemiskinan tersebut menurut Profesor Teken perlu ditingkatkan menjadi 360 kg/kapita/tahun untuk perkotaan. Konsep ini mempunyai beberapa kelemahan karena ; (1) tidak semua masyarakat dan golongan masyarakat di Indonesia memilih beras sebagai makanan pokoknya, (2) terjadinya deferensiasi harga yang terlalu besar terutama di pedesaan, dan (3) harga komuditi beras yang ada tergantung pada harga komuditi yang disubsidi atau kredit dari pemerintah (pupuk, pestisida dan sebagainya). 4. Pemenuhan kebutuhan pokok. Pengukuran kesejahteraan berdasarkan kebutuhan sembilan bahan pokok ini dikembangkan oleh Direktorat Tata Guna Tanah atas prakarsa Prof. I. Made Sandy,
dengan menetapkan kebutuhan baku minimal, kemudian angka kebutuhan baku menimal tersebut dikalikan dengan harga dan ditotalkan sembilan kebutuhan pokok tersebut. Tingkat pengeluaran tiap keluarga dihitung dalam rupiah kemudian baru disusun suatu kriteria perbandingan antara total pendapatan dengan indeks kebutuhan sembilan bahan pokok. Hasil yang diperoleh kurang dari 75% tergolong sangat miskin, 75-100% hampir sangat miskin, 100-125% miskin dan >125% tidak miskin. Konsep ini pun mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah: (1) kesulitan dalam menentuan satuan fisik, kebutuhan minimal karena kebutuhan tiap wilayah beragam, dan (2) sebagian dari sembilan bahan pokok tersebut disubsidi pemerintah dan sebagaian lainnya tidak sehingga kurang homogen. Pada prinsipnya keempat kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) semakin besar presentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan akan barang-barang dibandingkan terhadap jasa maka seseoarang dikatagorikan semakin miskin, (2) semakin besar persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan dari pada non pangan maka seseorang dikatagorikan semakin miskin, (3) tingkat pendapatan di bawah batas standar pendapatan tertentu dikatakan miskin, dan (4) semakin rendah kemampuan seseorang untuk memenuhi sembilan bahan pokok maka seseorang dikatagorikan semakin miskin. Dalam hal penetapan parameter kemiskinan, para akademisi boleh berbeda-beda pandangan, namun substansi yang hendak dicapai tetaplah sama, yaitu mengukur derajat kesejahteraan warga masyarakat di suatu daerah. hal itu wajar terjadi, kemiskinan adalah multi-facet phenomenon. Artinya masalah kemiskinan ternyata memiliki banyak dimensi yang pengukurannya bisa beragam. Dimensi sosial-budaya, ekonomi, politik, sains dan tehnologi, serta dimensi lainnya akan menghasilkan peta kemiskinan dengan variasi beraneka, meski tetap menunjuk pada lapisan yang seringkali sama. Indonesia dihadapakan pada masalah angka kemiskinan yang tinggi. Pada tahun 2006, terdapat 39,05 juta orang atau 18 persen dari seluruh penduduk Indonesia masih termasuk katagori miskin (BPS, 2006). Angka ini rentan dengan perubahan terutama yang disebabkan oleh krisis ekonomi dan kenaikan harga BBM atau bahan makanan pokok. Pada tahun 1998, ketika mulai krisis ekonomi pada tahun 1998, angka kemiskinan meningkat dari 11,3 persen pada tahun 1996 menjadi 24,2 persen pada tahun 1998 (BPS,
1998). Hal ini mengindikasikan bahwa pada tahun 2008 angka kemiskinan Indonesia akan meningkat tajam seiring dengan kenaikan BBM, kenaikan harga CPO dan penurunan inflasi yang tanpa disertai pertumbuhan di sektor real. Penduduk miskin di Indonesia 63,41 persen diantaranya tinggal di pedesaan (BPS, 2006). Ini berarti, jika pembangunan pedesaan mampu menghapus angka kemiskinan penduduk desa, maka penduduk miskin akan berkurang sebanyak 63,41 persen atau 25.046.950 orang. Kondisi yang sama terjadi di desa-desa pesisir. Wilayah desa pesisir meliputi 8.090 buah desa dan menampung 16.420.000 jiwa penduduk yang 32,41 persen diantaranya termasuk katagori penduduk miskin (DKP, 2007 dalam IPB, 2008). Fauzi (2005), mengatakan bahwa hampir sebagian besar nelayan kita masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari US$ 10 per kapita perbulan. Jika dilihat dalam konteks Millenium Devolopment Goal, pendapatan sebesar itu sudah termasuk dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari US$ 1 per hari. Pelaku perikanan, khususnya mereka yang berskala kecil (perikanan pantai), masih tergolong masyarakat miskin. Hasil perhitungan COREMAP di 10 propinsi menunjukkan bahwa pendapatan nelayan pada tahun 1996/1997 masih berkisar antara Rp 82.000 sampai Rp 200.000 per bulan. Jumlah tersebut masih jauh dari upah minimum regional (UMR) yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp 380.000 pada tahun yang sama. Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi dan disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infrastruktur (DKP, 2005:10). Disamping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, tehnologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cendrung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangkuh kepentingan di wilayah pesisir, (Basri, 2007). Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB tahun 1996 dalam hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa pendapatan rumah tangga nelayan di desa pesisir Lombok bagian barat berkisar antara Rp 210.540 – 643.510 per tahun (Samodra, 2000 dalam Basri, 2007). Sementara itu Pusat Kajian Ekonomi Kelautan dan Pengembangan Ekonomi Wilayah Pantai Universitas Trisakti melihat faktor rendahnya tehnologi tangkapan dan
rendahnya kepemilikan alat tangkap di satu sisi sedang di sisi lain faktor ketidakberdayaan posisi tawar atas hasil tangkap serta minimnya modal menjadi penyebab utama terjadinya kemiskinan nelayan di pantai selatan propinsi Banten, yang tercakup atas tiga jenis pekerjaan utama nelayan yaitu menangkap ikan, mengolah ikan, dan memasarkan ikan, (Mulyadi, 2005 dalam Basri, 2007). Beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan antara lain : rendahnya tingkat tehnologi penangkapan, kecilnya skala usaha, belum efisiennya sistim pemasaran hasil dan status nelayan yang sebagian besar adalah buruh. Dalam mengukur tingkat kesejahteraan nelayan ada beberapa indikator yang digunakan, seperti indikator Perubahan Pendapatan Nelayan dan Indikator Nilai Tukar Nelayan (NTN). Konsep yang dilakukan Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (P3K) dalam melakukan penyusunan indikator kesejahteraan masyarakat pesisir adalah dengan menggunakan konsep pemetaan kemiskinan (Poverty Mapping), (Basri, 2007). Indikator kesejahteraan nelayan yang terangkum dalam nilai kukar nelayan (NTN) masih dapat dipertahankan sebagai salah satu referensi dasar yang amat berharga untuk merumuskan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Untuk mempertajam analisis dan kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan, indikatot NTN masih perlu disandingkan dan dilengkapi dengan data dasar dan indikator kemiskinan nelayan di daerah pesisir dan kawasan pantai di Indonesia. Menurut Ditjen P3K, (2004) dalam Basri (2007), bahwa pengukuran indikator kesejahteraan dilakukan pada aspek : 1.
Kesejahteraan rakyat ; (a) Tingkat kesehatan, (b) pendidikan, (c) tenaga kerja, (d) mortalitas dan fertilitas, (e) perumahan, (f) pengeluaran konsumsi rumah tangga.
2.
Nilai tukar nelayan (NTN).
3.
Kemiskinan pada masyarakat pesisir pantai ; (a) Penerimaan, (b) pengeluaran konsumsi rumah tangga.
4.
Peta kemiskinan ; (a) The poverty headcount index ( indikator insiden kemiskinan ). (b) The poverty gap index ( tingkat kedalaman kemiskinan ). (c) The severity of poverty ( tingkat keparahan kemiskinan ).
2.3. Kondisi Rumah Tangga Nelayan Di pedesaan, pola kegiatan rumah tangga selama ini telah berkembang seiring dengan proses pembangunan pedesaan dan proses industrialisasi. Salah satu yang dapat dipahami bahwa sumbangan relatif lapangan kerja pada sektor pertanian secara hipotesis semakin menurun dengan semakin berkembangnya proses industrialisasi dan urbanisasi. Demikian juga dengan kegiatan rumah tangga pertanian (farm households) juga berkembang dan berubah secara dominan dengan kegiatan utama pada sektor pertanian. Namun, karena berbagai keterbatasan, seperti semakin berkurangnya kepemilikan lahan, semakin pendeknya siklus pertanian akibat dari kemajuan iptek pertanian, siklus pertanian yang dihadapi oleh rumah tangga tani memiliki peluang tambahan waktu yang dapat digunakan pada kegiatan lain untuk mengisi lapangan pekerjaan di pedesaan selain mengusahakan pertanian, (Subri, 2007). Selanjutnya Subri (2007), mengatakan bahwa dalam konteks rumah tangga nelayan, persoalannya jauh lebih kompleks bila dibandingkan dengan rumah tangga tani konvensional. Walaupun dalam sensus sektor perikanan merupakan subsektor dari portanian, keberadaan rumah tangga nelayan memiliki ciri khusus bila dibandingkan dengan rumah tangga tani. Perbedaaan ini sangat penting dikemukakan mengingat berbagai ciri yang muncul dari kedua rumah tangga ini. Pertama, rumah tangga tani dan petani tambak mengandalkan tanah yang terbatas sebagai salah satu faktor produksi. Sementara rumah tangga nelayan mengandalkan wilayah pesisir sebagai suatu faktor produksi. Kedua, pada rumah tangga tani lahan terbatas penguasaannya, sedangkan laut bagi rumah tangga nelayan adalah tidak dibatasi oleh batas-batas teritorial administrasi. Ketiga, petani dalam proses produksinya terikat dengan musim, sementara rumah tangga nelayan sarat dengan siklus bulan (Mashuri, 2001 dalam Subri, 2007). Dari sisi jam kerja, rumah tangga tani memanfaatkan waktu siang, sedangkan rumah tangga nelayan dalam penangkapan ikan pada umumnya malam hari, kecuali nelayan yang mengusahakan budidaya ikan laut dan jenis produk lainnya. Dari sisi input tenaga kerja, pada rumah tangga tani besar kemungkinan peran laki-laki dan wanita bersama-sama melakukan proses produksi. Sementara itu, pada rumah tangga perikanan, penangkapan ikan merupakan suatu pekerjaan lelaki. Selain secara fisik merupakan
lapangan pekerjaan yang tinggi resionya, wanita sulit untuk terlibat dalam penangkapan ikan karena sangat bertentangan dengan waktu pengasuhan anak-anak, (Subri, 2007). 2.4. Kemiskinan dan Problematik Masyarakat Pesisir di Indonesia. Kemiskinan merupakan suatu kondisi hidup yang merujuk pada keadaan kekurangan. Sering pula dihubungkan dengan kesulitan dan kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Seseorang dikatakan miskin, bila sudah kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Selama ini, sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif
dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Selain itu kemiskinan sering juga didefinisikan sebagai situasi serba kekurangan dari penduduk yang terwujud dalam dan disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan ketrampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan, (Chamsyah, 2006) Selanjutnya menurut Chamsyah (2006), bahwa kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) kemiskinan absolut dan (b) kemiskinan relatif. Sedangkan berdasarkan polahnya kemiskinan dibagi menjadi 4 (empat) yaitu : Pola pertama, kemiskinan yang digolongkan sebagai persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis. Kemiskinan pola ini adalah kemiskinan yang berlangsung lama dan turun temurun. Atau disebut juga sebagai kemiskinan struktural, seperti fakir-miskin yang termasuk kemiskinan kronis. Pola kedua, adalah cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pola ketiga, adalah seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti sering dijumpai pada kasus-kasus nelayan dan petani tanaman pangan; dan pola keempat, adalah accidental poverty, yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kejadian tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan. Kemiskinan jenis ini termasuk kemiskinan sementara (transient poverty), yaitu kemiskinan yang ditandai dengan menurunya pendapatan dan kesejahteraan anggota masyarakat secara sementara sebagai akibat dari perubahan kondisi normal menjadi kondisi kritis. Kemiskinan ini jika tidak ditangani dengan serius dapat menjadi kemiskinan kronis.
Kemiskinan merupakan suatu konsep yang cair, dan bersifat mulitidimensional. Disebut cair, karena kemiskinan bisa bermakna subyektif, bermakna relatif, tetapi sekaligus juga bermakna absolute. Sedangkan disebut multidimensional, selain kemiskinan itu dapat dilihat dari sisi ekonomi, juga dari segi sosial, budaya dan politik (Nugroho, 1995). Kemiskinan subyektif adalah suatu bentuk kemiskinan yang lebih berkaitan dengan aspek pshikis, yaitu berkaitan dengan perasaan miskin yang dialami oleh pelakunya. Karena berkaitan dengan perasaan, maka kemiskinan subyektif itu lebih tepat disebut sebagai kemiskinan yang sifatnya psikhologis. Dalam kemiskinan yang seperti ini, perasaan miskin itu muncul karena beberapa sebab. Sebab yang paling umum adalah karena pelaku merasa tidak dapat memenuhi kebutuhannnya, baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder. Walaupun secara obyektif kondisi kemiskinan lebih berkaitan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan primer, namun definisi tentang kebutuhan yang mana yang termasuk dalam kebutuhan primer, dan mana yang termasuk dalam kebutuhan sekunder, menjadi relatif antara individu yang berbeda. Perasaan miskin itu juga muncul karena merosotnya kondisi ekonomi yang dialami oleh suatu keluarga, dari kondisi ekonomi yang lebih tinggi ke kondisi ekonomi yang lebih rendah. Kemiskinan relatif adalah suatu bentuk kemiskinan yang didasarkan pada perbandingan dengan kondisi ekonomi yang berada di luarnya, baik pada perbandingan dengan kondisi ekonomi orang lain yang ada di sekitarnya, atau didasarkan pada kondisi ekonomi masyarakat yang ada di daerah lain. Dengan demikian kemiskinan relatif itu terkait dengan masalah kesenjangan, yaitu suatu kondisi ketidakmerataan yang ada di masyarakat. Adapaun kesenjangan itu secara umum dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kesenjangan struktural dan kesenjangan kultural. Kesenjangan struktural adalah kesenjangan yang terjadi di suatu daerah dengan masyarakat di daerah lain (disebut juga kesenjangan daerah), atau antara suatu kelas sosial dengan kelas sosial yang lain (kesenjangan kelas). Adapun kesenjangan kultural adalah kesenjangan yang disebabkan oleh perbedaan sikap dalam memandang materi, bunga bank, pendidikan, etos kerja, dan sebagainya. Oleh karena perbedaan sikap itu cendrung mengikuti batas-batas etnis, maka kesenjangan kultural juga cendrung muncul dalam kesenjangan etnis. Kemiskinan relatif lebih didasarkan pada perbandingan, maka
kemiskinan jenis ini sangat terkait dengan aspek pshikis, jika penilain perbandingan itu berasal dari dalam diri pelakunya. Sebaliknya kemiskinan relatif dapat bersifat objektif, jika penilaian perbandingan itu berasal dari luar diri pelakunya. Berbeda dengan dua jenis kemiskinan yang lain, kemiskinan objektif (kemiskinan absolute) didasarkan pada nilai-nilai objektif yang digunakan untuk mengukur garis batas kemiskinan. Dalam hal ini, secara umum suatu keluarga dikatakan miskin apabila keluarga itu tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara kondisi fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efisien (Harjosuwarno dan Mardimin 2000 dalam Basuki, 2007). Untuk itu perhitungan kemiskinan didasarkan pada tingkat nutrisi yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi jumlah kalori yang dibutuhkan untuk bekerja. Pendeskripsian kemiskinan secara obyektif yang dikemukakan oleh para ahli secara lengkap dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini. Pada umumnya konsep kemiskinan lebih banyak dikaitkan dengan dimensi ekonomi. Dalam dimensi ekonomi, kemiskinan sangat mudah dapat dilihat dan menjelma dalam bentuk ketidak-mampuan suatu keluarga dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar manusia, seperti pangan, sandang, perumahan dan kesehatan. Dilihat dari dimensi sosial budaya, kemiskinan lebih sulit untuk diukur, dan tidak dapat dihitung dengan angka-angka. Meskipun demikian, dimensi sosial budaya dari kemiskinan itu dapat diihat dan dirasakan, karena muncul dalam bentuk budaya kemiskinan. Dalam kondisi tertentu akan ada respon tertentu yang dilakukan oleh masyarakat miskin dalam menyikapi hidup, seperti boros dalam membelanjakan uang, mudah putus asa, merasa tidak berdaya, dan apatis (Lewis dalam Ancok, 1995).
Tabel 2 Kriteria dan garis kemiskinan Penelitian
Kriteria Kota
Esmara
Konsumsi beras per kapita per tahun (kg)
Garis Kemiskinan Desa Kota & Desa 125
(1969-1970) Sayogyo (1970)
Ginneken (1969) Anne Both (1969-1970) Gupta (1973) Hasan (1975) Sayogyo (1984) Bank Dunia (1984) Indonesian- WB (1990) Escape Methode (1984) BPS (1984) BPS (1993)
Tingkat pengeluaran ekuivalen beras per orang per tahun: * Miskin * Miskin sekali * Paling miskin Kebutuhan gizi minimum per orang per hari: • Kalori • Protein (Gr) Kebutuhan gizi minimum (orang/hari): • Kalori • Protein Kebutuhan gizi minimum per orang per tahun (Rp) Pendapatan minimum per kapita per tahun (US$) Pengeluaran per kapita per bulan (Rp)
480 360 270
320 240 180
-
-
-
2000 50
-
-
2000 40
-
-
24.000
125 8.240
95 6.585
-
Pengeluaran per kapita per bulan (Rp)
6.719
4.479
-
Pengeluaran per kapita per bulan (Rp)
-
-
27.748
Pengeluaran per kapita per bulan
-
23.856
29.205
13.731 27.905
7.746 18.244
2.100 2.100 -
* Konsumsi kalori per kapita per hari * Pengeluaran per kapita per bulan * Konsumsi kalori per kapita per hari * Pengeluaran per kapita per bulan
Sumber : Harjosuwarno dan Mardimin (2000) dalam Basuki (2007)
Chambers (1988), menyebutkan bahwa inti dari kemiskinan adalah jebakan kekurangan (deprivation trap). Jebakan kekurangan itu terdiri dari lima aspek yang saling terkait, yaitu : (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Disebut saling terkait karena kondisi yang ada dalam suatu aspek akan mempengaruhi aspek-aspek yang lain. Orang yang miskin misalnya, akan selalu berada dalam kondisi yang rentan, tidak berdaya dan seterusnya. Selanjutnya menurut Chambers (1988), bahwa dari kelima aspek tersebut ada dua aspek utama yang sering mengakibatkan orang miskin menjadi lebih miskin, yaitu kerentanan dan ketidak-berdayaan. Dengan kerentanan yang dialami orang miskin, orang miskin akan mengalami kesulitan untuk menghadapi situasi darurat. Ini dapat dilihat pada nelayan perorangan misalnya, mengalami kesulitan untuk membeli bahan bakar untuk keperluan melaut, karena sebelumnya tidak ada hasil tangkapan yang bisa dijual, dan tidak ada dana cadangan yang bisa digunakan untuk keperluan yang mendesak. Belum
lagi jika ada salah satu anggota keluarganya sakit. Hal yang sama juga dialami oleh nelayan buruh, mereka merasa tidak berdaya dihadapan para juragan yang telah mempekerjakannya, walaupun bagi hasil yang diterimanya dirasakan tidak adil. 2.5. Mengukur Penyebab dan Indikator Kemiskinan. Kemiskinan selama ini dipahami dalam berbagai cara dan sudut pandang. Sebenarnya, pemahaman utamanya mencakup : (Chamsyah, 2006). 1. Gambaran kekurangan materi; Yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang kebutuhan dan minimnya pelayanan dasar. 2. Gambaran tentang kebutuhan sosial; Termasuk dalam gambaran ini ialah keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Maka yang demikian itu disebut kemiskinan. Termasuk pula keterbatasan akses terhadap pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dalam pandangan ekonomi dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. 3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna ”memadai” disini sangat relatif dan sangat berbeda-beda melintasi bagianbagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Karenanya, dari pemahaman ini kita mengenal istilah kemiskinan kultural–disamping kemiskinan struktural. Kemiskinan ini merupakan bentuk pengaruh psikologis individu dalam proses pemenuhan diri. Tiga pemahaman utama ini memberi penjelasan bahwa kemiskinan, hakikatnya adalah bentuk-bentuk kekurangan kemanusiaan seseorang individu dalam menjalani hidupnya. Entah kekurangan itu berupa materi ataupun kebutuhan sosial. Dalam hal ini, sesorang tidak bisa hanya menitikberatkan pemenuhan salah satunya. Untuk mencapai kesejahteraan sosial, setiap individu yang tergabung dalam wadah masyarakat membawa tanggungjawab untuk mampu menciptakan institusi-institusi yang menyelenggarakan pola-pola keseimbangan pemenuhan kebutuhan secara merata. Agama mempunyai konsep keadilan untuk tujuan ini.
Selanjutnya Chamsyah (2006) mengatakan bahwa kemiskinan adalah bencana sosial yang banyak dihubungkan dengan sebab-sebab tertentu. Semula, ia tidak bisa diterima sebagai kondisi alami, ada faktor internal dan eksternal dari sebuah masyarakat yang menjadi miskin. Beberapa penyebab kemiskinan antara lain : 1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pikiran, pilihan, atau kemampuan dari individu yang miskin; 2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga, dan perencanaan keluarga sejahtera; 3. Penyebab sub-budaya (”sub cultural”), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar, seperti keyakinan, norma, adat dan agama; 4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah dan ekonomi; 5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial. Penduduk miskin di Indonesia dibedakan menjadi 2 (dua) jenis. Yaitu penduduk miskin yang diakibatkan oleh kemiskinan kronis atau kemiskinan struktural yang terjadi terus-menerus. Dari kemiskinan sementara yang ditandai dengan menurunya pendapatan masyarakat secara sementara sebagai akibat dari kondisi normal menjadi kondisi kritis. Dalam hal ini, karakteristik masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakberdayaan/ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal : 1.
Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.
2.
Melakukan kegiatan usaha produktif;
3.
Mengakses sumber daya sosial dan ekonomis;
4.
Menentukan nasibnya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik;
5.
Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah. Ketidakberdayaan atau ketidak mampuan ini membutuhkan perilaku miskin yang
bermuara pada hilangnya kemerdekaan untuk berusaha, meningkatkan pendapatan dan
menikmati kesejahteraan secara bermartabat. Indikator nasional dalam menentukan jumlah penduduk yang dikatagorikan miskin ditentukan oleh standar garis kemiskinan dari badan pusat statistik (BPS), dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan minimum. Baik berupa kebutuhan makanan dan non-makanan yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup layak. Penetapan nilai standar inilah yang digunakan untuk membedakan antara penduduk miskin dan tidak miskin. Apabilah penduduk dalam pengeluaran tidak mampu memenuhi kecukupan makanan setara 2100 kalori per hari ditambah pemenuhan kebutuhan pokok minimum non makanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan dasar, pendidikan dasar, transportasi dan aneka barang/jasa lainnya maka ia dapat dikatagorikan miskin (BPS, 1999). Sementara
penduduk yang tidak
mampu memenuhi kecukupan konsumsi makanan setara 1.800 kalori per hari dikatagorikan fakir miskin. Peraturan pemerintah nomor 42 tahun 1981 mendefinisikan fakir-miskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki sumber daya hidup berupa mata pencaharian dan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Atau seseorang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya yang layak bagi kemanusian (Chamsyah, 2006). Maka berdasarkan indikator kemiskinan menurut BPS, penduduk yang dikatagorikan fakir-miskin adalah penduduk yang di bawah garis sangat miskin. Katagori sangat miskin dan miskin dibedakan dalam hal pengeluaran transportasi dan aneka barang/jasa yang diperlukan sehari-hari. Berdasarkan standar garis kemiskinan pada tahun 2002 yaitu ukuran pendapatan sesorang maksimal Rp.130.499,-/bulan di daerah perkotaan dan Rp. 96.512,-/bulan di daerah pedesaan. Maka tahun 2002 penduduk miskin di Indonesia tercatat sebesar 83,4 juta jiwa dan diantaranya termasuk penduduk fakir-miskin sebanyak 16,5 juta atau sekitar 43% dari penduduk miskin, (Chamsyah, 2006). 2.6. Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak. Teori ekonomi mengatakan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan dengan peningkatan ketrampilan sumber daya manusia, penambahan modal investasi, dan mengembangkan tehnologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun dalam prakteknya persoalan tidak semudah itu.
Menurut Suharto (2003), bahwa dalam upaya mengatasi kemiskinan diperlukan sebuah kajian yang lengkap sebagai acuan perancangan kebijakan dan program antikemiskinan. Sayangnya, hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (modernization paradigm) yang dimotori oleh bank dunia. Paradigma itu bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi neoklasik (orthodoks neoclassical economics) dan model yang berpusat pada produksi (production-contered model). Sejak pendapatan nasional (GNP) mulai dijadikan indikator pembangunan tahun 1950-an, misalnya, para ahli ilmu sosial selalu merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemiskinan di suatu Negara. Pengukuran kemiskinan kemudian sangat dipengaruhi oleh perspektif income poverty yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator garis kemiskinan. Selanjutnya Soeharto (2003), mengatakan bahwa dibawah kepemimpinan ekonom asal Pakistan, Mahbub Ul-Haq, pada 1990-an UNDP memperkenalkan pendekatan human development yang diformulasikan dalam bentuk indeks pembangunan manusia (human development indeks/HDI) dan indeks kemiskinan manusia (human poverty indeks/HPI). Dibandingkan dengan pendekatan yang dipakai bank dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif karena mencakup bukan saja dimensi ekonomi (pendapatan), melainkan pula pendidikan (angka melek huruf), dan kesehatan (angka harapan hidup). Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan populis/kerakyatan (popular development paradigm) yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Sreeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan oleh perai nobel ekonomi 1998, Amartya Sen. Paradidma baru studi kemiskinan sedikitnya mengusulkan empat poin yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kemiskinan sebaiknya tidak hanya dilihat dari karakter si miskin secara statis, melainkan dilihat secara dianamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespon kemiskinanannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang lebih lengkap daripada konsep pendekatan (income) dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada bebarapa key indicator yang mencakup
kemampuan
keluarga
miskin
dalam
capabilities), memenuhi kebutuhan dasar
memperoleh
matapencaharian
(livelihood
(basic need fulfillment), mengelolah asset
(asset management), menjangkau sumber-sumber (access to resources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (access to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan tekanan (cope with shocs and stresses), (Suharto, 2003). Fauzi (2005) menyatakan bahwa, strategi pengentasan kemiskinan memang menjadi kompleks. Dengan sedemikian kompleksnya permasalahan perikanan, memang tidak ada obat mujarab yang manjur untuk mengenyahkan kemiskinan nelayan once and for all. Namun, paling tidak beberapa strategi kunci di bawah ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengurangi kemiskinan nelayan baik secara kualitas maupun kuantitas. Pertama, aspek ekonomi pengelolaan sumber daya perikanan menjadi sangat krusial karena disinilah muara persoalan kemiskinan. Assessment terhadap sumber daya perikanan tampaknya perlu dipikirkan kembali. Klaim potensi perikanan MSY (maximum sustainable yield) yang sebesar 6,2 juta ton per tahun menimbulkan dua konsekwensi makro. Satu, dengan potensi sebesar itu dan produksi yang kurang lebih 4,5 juta ton saat ini, bisa menimbulkan interpretasi penggenjotan produksi. Kenyataannya jika dihitung dengan illegal catch (penangkapan ilegal), unreported catch (penangkapan yang tidak dilaporkan), by catch (produk samping), dan produksi (penangkapan) subsisten, angka 6,2 juta tersebut sudah pasti akan terlewati. Dua, sebagaimana dikemukakan oleh bioekonom terkemuka Collin Clark, MSY mengabaikan sama sekali aspek ekonomi padahal pengelolaan sumber daya perikanan sudah menjadi kepentingan publik, semboyan fish for people harus mulai menggeser semboyan fish for fish. Konsekwensi dari kedua hal diatas menyebabkan program pengentasan kemiskinan nelayan belum mengenai sasaran. Dengan demikian, look at the resource first and its economic consequences haruslah menjadi kata kunci pertama dalam program pengentasan kemiskinan nelayan. Kedua, economic overfishing (tangkap lebih secara ekonomi) merupakan penyakit utama rendahnya kinerja perikanan kita yang menimbulkan kemiskinan di wilayah pesisir Indonesia membuktikan bahwa fenomena itu lebih dominan ketimbang biological overfishing (tangkap lebih secara biologi). Dengan demikian, strategi untuk mengentaskan kemiskinan kaum nelayan perlu dipikirkan secara matang. Penulis
mengusulkan dilakukannya adaptive rationalization yang merupakan hybrid dari instrumen ekonomi yang berdasar mekanisme pasar (market mechanisme) dengan penguatan kelembagaan lokal. Mengapa hal ini diperlukan? jawabanya adalah karena penelitian mutakhir (Scott Steele 2001, Homans-Wilen 2002) membuktikan bahwa dalam perikanan yang terkendali sekalipun, rent dissipation (hilangnya rente ekonomi) dapat terjadi jika rasionalisasi perikanan dilakukan berdasarkan mekanisme pasar belaka, misalnya kuota dan limited entry. Ketiga, sebagaimana diuraikan pada sintesis kemiskinan, kalau ditarik resultan dari persoalan siklus non simetris dan sulitnya penyesuaian terhadap produktivity gain, strategi investasi yang tepat akan dapat membantu mengurangi kemiskinan di sektor perikanan. Namun harus dipahami benar bahwa strategi investasi di perikanan, khususnya perikanan pesisir, sangat unik karena terkait dengan karakteristik sumber daya perikanan yang unik pula. 2.7. Perilaku Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Perikanan Tangkap Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung lansung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron, 2003). Kusumastanto (1997) dalam Budiartha (1999), mengatakan bahwa masyarakat nelayan memiliki karakteristik sosial ekonomi yang berbeda dengan kelompok masyarakat industri atau beberapa kelompok masyarakat pesisir lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh keterkaitan yang sangat erat terhadap karakteristik ekonominnya (pola mata pencaharian), ketersedian sarana prasarana maupun latar belakang budaya. Selain itu kehidupan masyarakat pesisir/nelayan sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini dapat mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya. Nelayan sangat tergantung terhadap musim, pada musim penangkapan nelayan sangat sibuk melaut dan sebaliknya pada musim paceklik banyak yang menganggur dan yang sering terjadi adalah ketika mereka pulang melaut, mereka dapat membeli barangbarang mahal dan ketika paceklik, kehidupan mereka sangat buruk. Dengan kondisi yang demikian, maka keterpurukan masyarakat pesisir/nelayan dalam jurang kemiskinan tidak
dapat dihindari. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu adanya usaha pemanfaatan sumber daya alam kearah yang lebih optimal, swadaya serta produktivitas masyarakat guna dapat menciptakan kehidupan sosial ekonomi yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan dan taraf hidup (Nurfiarini, 2003). Sesungguhnya, nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi pemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap orang lain. Sebaliknya, nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan
tangkap
sendiri, dan dalam pengoperasiaannya tidak melibatan orang lain (Subri, 2007). Penelitian Ismail dalam Budiartha (1999), menunjukan rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kemampuan teknis dan manajemen. Dalam hal teknis, nelayan hanya mempunyai perahu dan alat tanggkap yang terbatas pula. Dalam hal manajemen, mereka sulit merubah sikap atau perilaku kearah pengembangan usaha sebagai akibat tingkat pendidikan yang umumnya rendah. Faktor eksternal berkaitan dengan degradasi lingkungan, kelembagaan ekonomi dan konversi lahan. Produktifitas nelayan pada umumnya masih rendah diakibatkan oleh rendahnya ketrampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat penangkapan maupun perahu yang sederhana, sehingga aktifitas dan efisiensi alat tangkap maupun perahu belum optimal. Keadaan ini berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima nelayan relatif rendah, keadaan ekonomi dan kesejahteraan nelayan pada umumnya masih tertinggal bila dibandingkan dengan masyarakat petani atau masyarakat lainnya (Barus et al, 1991). Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan (Monintja, 1994) adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut secara jelas menunjukan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewani, devisa serta jenis pendapatan negara lainnya.
Sumber daya perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumber daya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Mengingat sifat dari sumber daya perikanan yang dikenal dengan open access yang memberikan anggapan bahwa setiap orang atau individu merasa memiliki sumber daya tersebut secara bersama (common property). Menurut Kula (1992), terdapat banyak kasus yang terjadi pada sumber daya milik bersama dimana terjadi deplesi stok lebih disebabkan karena masing-masing individu beranggapan bahwa “ekstraklah secepat dan sebanyak kamu bisa, jika kamu tidak bisa maka orang lain akan melakukannya”, sehingga konsekwensinya akan mengalami depletion secara cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Anwar (2002), bahwa keadaan sumber daya yang bersifat “open access resource” akan terjadi pengurasan sumber daya yang pada akhirnya akan terjadi kerusakan sumber daya. Hal ini terjadi karena semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut akan merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumber daya laut dan memperlakukannya sesuka hati dalam rangka masing-masing memaksimumkan bagian (share) keuntungan, tetapi tidak seorangpun mau memelihara kelestariaannya. Oleh karena itu, sifat “open access resource” tersebut dapat dikatakan tidak ada yang punya atau sama saja dengan tidak ada hak yang jelas atas sumber daya yang bersangkutan (res commune is res nullius). Dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan karena adanya peluang untuk meningkatakan keuntungan (excess profit) bagi usaha penangkapan ikan sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan manfaat yang sama dimasa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial, dan budaya (Dahuri, et al, 2001). Menurut Fauzi (2000b), mengatakan bahwa pada mulanya pengelolaan sumber daya ini banyak didasarkan pada faktor-faktor biologi semata dengan pendekatan yang disebut maximum sustainability yield (tangkapan maksimum lestari) atau disingkat MSY.
Inti pendekatan ini bahwa setiap species memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Kelemahan MSY tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi pengelolaan sumber daya alam. 2.8. Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir. Manurung
dkk
(1997)
dalam
Riswandi
(2006),
mengatakan
bahwa
“pengembangan” merupakan suatu proses membawa peningkatan kemampuan penduduk (khususnya di pedesaan) mengenai lingkungan sosial yang disertai dengan peningkatan taraf hidup mereka sebagai akibat dari penguasaan sumber daya alam. Dengan kata lain pengembangan merupakan proses menuju pada suatu kemajuan atau keadaan yang lebih baik dari yang ada saat ini. Rustiadi et al (2007), mengatakan bahwa pengembangan merupakan pembangunan dalam arti luas mencakup spasial, sosial ekonomi, dan lingkungan dari apa yang sudah ada agar lebih baik lagi. Pengembangan wilayah diartikan sebagai upaya pembangunan pada suatu wilayah atau beberapa daerah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai sumber daya seperti alam, manusia, kelembagaan, teknologi dan prasarana secara efektif, optimal dan berkelanjutan dengan cara menggerakan berbagai kegiatan produktif (sektor primer, sekunder, dan tersier), penyediaan fasilitas pelayanan (ekonomi dan sosial), penyedian sarana dan prasarana serta perbandingan lingkungan. Pengembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan pendekatan kawasan dimana pada masing-masing kawasan diidentifikasikan sebagai sektor unggulan yang potensial untuk dikembangkan. Pengembangan wilayah pada berbagai pemanfaatan dan penggalian berbagai potensi sumber daya unggulan kawasan yang dimiliki dan pemberdayaan masyarakat lokal (Adisasmita, 2006). Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan negara melalui penerapan tehnologi yang lebih baik dan ramah lingkungan. Barus et al (1991) dalam Riswandi (2006), berpendapat bahwa dalam pengelolaan dan pengembangan perikanan di wilayah pesisir harus memperhatikan aspek biologis, sosial, budaya dan ekonomi.
Kawasan pesisir meliputi wilayah daratan yang terkait dengan wilayah perairan maupun wilayah laut berpengaruh terhadap wilayah daratan dan tata guna tanah. Di luar dari batas dari kawasan pesisir dan laut yang dimaksud itu mungkin saja mencerminkan interaksi antara pesisir dan laut, tetapi dapat pula tidak terjadi interaksi pesisir dan laut. Pada kawasan pesisir terdapat banyak penduduk dan pusat-pusat transportasi, tempat pendaratan ikan, kegiatan pertanian yang penting, industri (usaha) di bidang perikanan dan parawisata, serta menempatkan kawasan tersebut merupakan struktur lahan yang penting untuk lokasi berbagai fasilitas (prasarana dan sarana) pelayanan umum (ekonomi dan sosial (Adisasmita, 2007). Daerah pesisir pantai mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian masyarakat dan pembangunan karena merupakan ruang yang menjembatani antara wilayah daratan dengan wilayah perairan (laut). Interaksi sumber daya daratan dan sumber daya kelautan dicerminkan oleh kegiatan-kegiatan sektor pertanian, sektor perikanan, sektor perdagangan, sektor pengangkutan, kelembagaan, kegiatan ekonomisosial lainnya. (Adisasmita, 2006). Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dari sudut pandang berkelanjutan (sustainable development) dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua, atau berada dipersimpangan jalan (Dahuri dkk, 2001). Disatu pihak, ada beberapa kawasan yang telah dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif. Akibatnya, indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan (potensi lestari) dari ekosistim pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (over fishing), degradasi fisik habitat pesisir, dan abrasi pantai, telah muncul di kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduknya dan tingkat pembangunannya (Subri, 2007). Kawasan pesisir memiliki kekayaan dan keragaman sumber daya alam. Pesisir pantai dan habitat (hutan bakau, estuary, daerah tambak, terumbuh karang, rumput laut delta dan lainnya) merupakan daerah yang produktif secara biologi tetapi mudah mengalami degradasi karena dampak ulah manusia atau karena peristiwa alamiah. Kawasan pesisir telah mensuport sebahagian besar penduduk dunia pada masa depan. Beban peningkatan jumlah penduduk mendorong peningkatan pembangunan yang membawa dampak peningkatan polusi, berkurangnya habitat (jenis ikan dan satwa), erosi
pesisir/pantai, intrusi air asin/laut, dan dampaknya terhadap peningkatan permukaan laut (Adisasmita, 2007). 2.9. Potensi Sumber Daya Alam Pesisir. Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan laut dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu : (1) sumber daya yang dapat pulih (renewable resources), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewabe resources) dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services) (Subri, 2007). Sumber daya dapat pulih terdiri atas hutan mangrove, terumbuh karang, padang lamun, dan rumput laut serta sumber daya perikanan laut. Hutan mangrove merupakan ekosisitim utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis meliputi penahanan abrasi, amukan angin topan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan sebagai penyedia nutrien bagi biota air perairan. Sementara itu, fungsi ekonomis antara lain, penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan, bahan bangunan, alat penangkap ikan, dan pupuk pertanian. Seperti halnya hutan mangrove, terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis dan ekonomi. Fungsi ekologis terumbuh karang yaitu sebagai penyedia nutrisi bagi biota perairan, pelindung fisik bagi berbagai biota dan tempat bermain biota laut, sedangkan nilai ekonomi terumbu karang terdapat pada berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Sumber daya tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi, misalnya geologi terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas A (mineral strategis, misalnya: minyak, gas, dan batu bara); kelas B (mineral vital meliputi emas, timah, nikel, bauksit, biji besi, dan kromit); dan kelas C (mineral industri termasuk bahan bangunan dan galian seperti granit, kapur, tanah liat, dan pasir). Berbagai potensi sumber daya mineral wilayah pesisir dan lautan di Indonesia merupakan penghasil devisa utama dalam beberapa dasarwarsa terakhir. Wilayah pesisir dan laut Indonesia juga memiliki berbagai macam jasa lingkungan yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan laut sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan
komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim (climat regulator), kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi) dan sistim penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya. 2.10. Hasil Penelitian Sebelumnya Berdasarkan hasil penelitian Pancasasti (2008), tentang Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga dan Peluang Kemiskinan Nelayan Tradisional di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten, menunjukan bahwa : 1. Karakteristik pekerjaan di dalam sektor perikanan dilakukan oleh nelayan tradisional adalah perbedaan musim dalam penangkapan ikan. Perbedaan musim mempengaruhi corak dalam kegiatan produktif yang dilakukan oleh anggota rumah tangga nelayan tradisonal di kecamatan Kasemen. Pada musim paceklik, peluang kerja anggota rumah tangga (suami dan istri) di sektor perikanan merupakan alternatif kegiatan produktif. Fenomena pencarian tambahan pendapatan mempengaruhi peluang kerja suami diluar sektor perikanan walaupun pendapatan yang dihasilkan tinggi atau rendah. Hal ini menyebabkan peranan suami dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumahtangga lebih besar dari pada istri. Faktor-faktor non ekonomi yang berkaitan dengan peranan istri dalam pekerjaan rumah tangga seperti memelihara anak balita, dan masih rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh istri mempengaruhi peluang istri bekerja di luar sektor perikanan. 2. Kegiatan di dalam dan diluar sektor perikanan yang dilaksanakan pada musim penangkapan ikan memberikan corak yang berbeda terhadap perilaku ekonomi rumah tangga. Produksi nelayan, curahan waktu kerja anggota rumahtangga, pendapatan anggota rumah tangga, dan konsumsi rumah tangga merupakan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan yang danalisis secara simultan. Komuditi yang diperoleh nelayan tradisonal dalam melakukan kegiatan penangkapan di laut adalah ikan atau udang. Untuk mempermudah pengukuran komuditi hasil produksi yang beragam maka produksi dinilai dalam satuan rupiah. Produksi nelayan dipengaruhi secara nyata oleh faktor-faktor produksi. Pendapatan total rumahtangga digunakan untuk membeli kebutuhan rumahtangga dan banyaknya anggota rumahtangga yang menjadi tanggungan/beban rumahtangga mempengaruhi besarnya kebutuhan konsumsi pangan dan konsumsi non pangan meningkat karena pendapatan total rumah tangga
meningkat. Respon konsumsi pangan terhadap pendapatan rumahtangga lebih kecil daripada konsumsi non pangan. 3. Terbatasnya pemenuhan kebutuhan rumah tangga mendorong peluang kemiskinan rumahtangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi peluang kemiskinan rumahtangga nelayan tradisonal adalah pengeluaran total rumahtangga, banyaknya anggota rumahtangga, lama pendidikan suami, dan dummy musim. Pada musim paceklik, pemenuhan kebutuhan rumahtangga menurun sehingga peluang kemiskinan meningkat. Kemiskinan rumahtangga nelayan tradisonal di Kecamatan Kasemen merupakan kemiskinan sementara. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kurniawan (2007) tentang Kajian Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (C0-Fish Project) dampaknya terhadap keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Bengkalis, menunujukan bahwa : 1.
Dalam upaya peningkatan sosial-ekonomi masyarakat nelayan, C-Fish Project di Kabupaten Bangkalis bertumpuh pada proram pembangunan kelembagan, pelatihan dan pembinaan, pembangunan sarana dan prasarana, dan pengolahan lingkungan. Keterlibatan masyarakat hanya sebatas pada tokoh-tokoh tertentu saja. Aktifitas proyek berhenti seiring dengan habisnya masa proyek.
2.
Oleh karena itu, perbaikan pengelolaan sumberdaya perikanan Kabupaten Bengkalis ke depan diperlukan adanya peningkatan peran pemerintah daerah untuk menyelasikan permasalahan sosial (konflik) melalui antara lain: penertiban penggunaan jaring batu (bottom gill net) dan perbaikan sistim informasi bagi masyarakat nelayan, dan menjaga kelestarian sumber daya perikanan melalui peningkatan partisipasi masyarakat, perbaikan ekonomi masyarakat nelayan, peningkatan peran dan fungsi kelembagaan, serta pembangunan sarana dan prasarana. Hasil penelitian ekonomi nelayan dan pemanfaatan sumber daya perikanan di
Jawa Timur yang dilakukan Muhammad (2002), menunjukan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan dalam penguasaan dalam pengusahaan penangkapan ikan, yaitu jangkauan wilayah perairan pantai dan laut yang dapat ditempuh, intensitas pemakaian modal kerja, perbaikan dan stabilitas harga ikan serta penyebaran informasi pasar. Selain itu, model ekonomi rumahtangga nelayan yang mengintegrasikan
perilaku nelayan juragan dan nelayan pendega merupakan pengembangan model ekonomi rumahtangga pertanian. Dimana perilaku rumahtangga nelayan dalam produksi ikan, curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga nelayan dapat diterangkan sebagai berikut : 1.
Kegiatan produksi ikan berhubungan dengan ukuran aset kapal, daerah penangkapan ikan, frekuensi melaut, dan produktifitas wilayah penangkapan ikan. Perilaku produksi tersebut berkaitan dengan berbagai faktor. Faktor bahan bakar minyak (BBM) dan peluang kerja non perikanan berhubungan negatif dengan produksi ikan, sedangkan status sumber daya, tehnologi, pelabuhan perikanan, ukuran kapal, kegiatan agro industri, pemberian bibit, dan mutu sumber daya manusia (SDM) berhubungan positif dengan produksi ikan dan pendapatan nelayan.
2.
Pendapatan rumahtangga juragan maupun pendega terutama ditentukan oleh jumlah hasil tangkapan melaut. Pengaruh perubahan harga ikan dan status sumber daya terhadap menerimaan nelayan cukup rendah. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa dalam upaya meningkatakan pendapatannya, nelayan cendrung lebih menguras sumber daya dari pada memperbaiki harga ikan atau sumber daya perikanan. Dalam rumahtangga nelayan terdapat kegiatan komplementer antara kegiatan melaut dan kegiatan agro industri perikanan. Jika besarnya pendapatan dari melaut menurun maka rumahtangga nelayan cendrung meningkatkan jumlah curahan kerja non perikanan.
3.
Dampak kebijakan perubahan harga BBM, pengembangan tehnologi, perbaikan status sumberdaya, peningkatan harga ikan, dan curahan kerja non melaut, pengaturan bagi hasil, perluasan daerah penangkapan sampai wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 200 mil dan peningkatan fasilitas pelayanan pelabuhan perikanan lepas pantai sebagai berikut : (a) peningkatan harga BBM dan perluasan lapangan kerja non melaut mengurangi eksploitasi sumber daya perikanan. Peningkatan harga BBM disamping berdampak terhadap penurunan tingkat eksploitasi sumber daya perikanan juga penurunan pendapatan nelayan, maupun pendapatan asli daerah (PAD), (b) peningkatan mutu SDM, pemberian kredit, ukuran kapal, tehnologi, harga ikan, curahan kerja agroindustri, pengaturan bagi hasil, dan perluasan daerah penangkapan ikan sampai 200 mil secara tunggal akan
meningkatkan eksploitasi sumber daya perikanan dan pendapatan nelayan. Jika dilakukan kombinasi kebijakan kenaikan BBM dengan peningkatan harga ikan pada presentase yang sama, maka dampak terhadap keragaan ekonomi rumah tangga nelayan masih menunjukan penurunan pendapatan nelayan dan PAD sebagai akibat kebijakan kenaikan harga BBM sehingga masih dibutuhkan kebijakan kombinasi dan terpadu, (c) peningkatan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada tingkat maximum sustainable yield (MSY) dan pengaturan bagi hasil antara juragan dan anak buah kapal (ABK) berdampak meningkatkan pendapatan nelayan pendega dan proses pemerataan pendapatan antara juragan dan ABK, dan (d) subsidi BBM akan berdampak dua arah, disamping peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga nelayan, namun pada sisi lain eksploitasi sumber daya akan semakin meningkat dan akan mempercepat terjadinya pemanfaatan sumber daya perikanan secara berlebih (over exploited). Hasil penelitian Faradiba (2006), tentang Analisis Pengelolaan Perikanan Tangkap Secara Optimal dalam Upaya Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Teluk Palu, menunjukan bahwa : 1.
Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap kegiatan penangkapan dimana hasil tangkapan aktual belum melebihi jumlah tangkapan lestari, dimana hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak terjadi “biological overfishing”
pada kegiatan
penangkapan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Teluk Palu wilayah Kota Palu, namun yang terjadi adalah “economic overfishing” dimana jumlah effort jauh lebih banyak dibandingkan dengan volume hasil tangkapan yang diperoleh sehingga biaya yang dikeluarkan (untuk input) lebih besar dari pada penerimaan (hasil tangkapan). 2.
Minimnya jumlah tangkapan aktual selain dipengaruhi oleh penggunaan alat dan armada penangkapan yang sederhana juga disebabkan oleh daya dukung lingkungan (dimensi Bio-ekologis) yang menurun akibat terjadinya reklamasi pantai, pencurian karang.
3.
Dari hasil perhitungan surplus produsen dan surplus konsumen mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan lebih rendah dari pada konsumen. Salah satu penyebabnya karena lemahnya posisi tawar mereka.
Menurut Abubakar (2004), bahwa faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi pendapatan masyarakat nelayan sebelum adanya konfik di wilayah pesisir Kota Ternate yakni : umur nelayan, sarana transportasi, sarana pemilikan, kemudahan penjualan, dan kemudahan memperoleh pekerjaan sampingan. Sedangkan faktor-faktor yang tidak mempengaruhi pendapatan nelayan adalah : pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, dan pengaruh tehnologi.
Faktor-faktor yang
secara signifikan mempengaruhi pendapatan masyarakat nelayan sesudah konflik adalah : jumlah hasil tangkapan, transportasi, kemudahan memperoleh pekerjaan sampingan, dan interaksi tanggungan keluarga dan pendidikan. Sedangkan faktor-faktor yang tidak mepengaruhi pendapatan nelayan adalah : umur, pengalaman kerja, jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, transportasi, sarana pemilikan, dan kemudahan penjualan. Hasil penelitian Alfian Zein (1991) dalam Lopulalan (2003) memperlihatkan bahwa pemanfaatan bantuan pemerintah melalui fasilitas kredit motor tempel dan alat penangkapan ikan memperlihatkan pengaruh yang berarti terhadap produksi hasil tangkapan. Hal ini memberi petunjuk bahwa kredit motor tempel dan alat tangkap ikan telah memberi dampak yang positif terhadap produksi perikanan. Selanjutnya dikatakan bahwa jika ditinjau dari tujuan program kredit yang dicanangkan oleh pemerintah melalui proyek dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan di Kotamadya Padang, ternyata tujuan tersebut baru tercapai sebesar 44% dari nelayan penerima kredit, terutama bagi nelayan yang mampu mengganti alat penangkapan ikan yang diberikan dari fasilitas kredit menjadi alat penangkap ikan. Misradi (2003) dalam Kurniawan (2007) mengatakan bahwa indikator yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga nelayan di Kawasan Muara Angke Jakarta Utara adalah (1) tingkat pendapatan rumah tangga, pendapatan per kapita nelayan yang memanfaatkan fasilitas perikanan terdistribusi pada tingkat pendapatan lebih besar dari 351 ribu rupiah dan yang tidak memanfaatkan fasilitas terdistribusi pada tingkat pendapatan lebih besar dari 251 ribu rupiah (2) tingkat pengeluaran rumahtangga, nelayan yang memanfaatkan fasilitas memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan sebesar 350 ribu rupiah sedangkan nelayan yang tidak memanfaatkan fasilitas memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan sebesar 253 ribu rupiah (3) tingkat pendidikan, nelayan yang memanfaatkan fasilitas dan yang tidak memanfaatkan fasilitas memiliki
tingkat pendidikan yang tamat SD lebih besar dari 60 persen (4) tingkat kesehatan yang menunjukan kondisi kesehatan anggota keluarga adalah baik, (5) kondisi perumahan nelayan yang memanfaatkan fasilitas didominasi oleh kondisi perumahan yang permanent sebesar 54 persen, sedangkan kondisi perumahan yang tidak memanfaatkan fasilitas didominasi oleh kondisi perumahan yang semi permanen sebesar 74 persen (6) fasilitas perumahan, nelayan yang memanfaatkan fasilitas maupun tidak memanfaatkan fasilitas tergolong pada semi lengkap untuk fasilitas rumah tangga. Lopulalan (2003) mengatakan bahwa dampak kemitraan terhadap produksi hasil tangkapan memperlihatkan bahwa variabel jumlah trip penangkapan, biaya operasional penangkapan, serta pengalaman memberikan pengaruh nyata terhadap produksi hasil tangkapan nelayan peserta kemitraan. Sementara pendapatan nelayan peserta kemitraan per tripnya sebesar 59.661,76 rupiah. Arianto (2003) menyatakan bahwa program di bidang perikanan yang dilaksanakan pemerintah Kabupaten Bengkalis masih meliputi aspek fisik yaitu bantuan yang berupa materi sedangkan aspek non materi seperti kesiapan para nelayan serta kemampuannya dalam menerima program dan kegiatan sangat minim diadakan dan diperhatikan oleh pemerintah setempat. Selain itu terlihat bahwa program kegiatan tersebut dilaksankan secara terpisah dari waktu ke waktu. Program yang disusun belum mengarah pada rencana dan kegiatan yang berkelanjutan. Program pengembangan masyarakat untuk masa yang akan datang perlu dilakukan pendekatan partisipatif, yaitu dengan melibatkan masyarakat secara aktif, sehingga program yang diaksanakan benarbenar merupakan solusi dalam peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan. Secara umum nelayan kecil baik yang memiliki keterkaitan kegiatan dengan usaha perikanan moderen maupun tidak, sedang menghadapi kondisi sosial ekonomi yang kurang menggembirakan. Secara garis besar ada beberapa faktor penyebab kemiskinan masyarakat nelayan di daerah pantai, yaitu (1) kurangnya sarana prasarana penunjang (2) rendahnya penerapan tehnologi perikanan (3) lemahnya kelembagaan masyarakat (4) lemahnya sumber daya keluarga nelayan. Faktor-faktor tersebut saling terkait antara satu dengan lainnya, Hermanto, (1994) dalam Lopulalan (2003).
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran. Maluku Tenggara sebagai kabupaten kepulauan memiliki luas wilayah laut sebesar 93% dari total luas wilayahnya yaitu ± 55.932 km2. Sehingga daerah ini memiliki potensi sumber daya perikanan laut yang sangat melimpah, akan tetapi potensi perikanan tersebut belum mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat nelayan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya sarana prasarana perikanan, rendahnya sumber daya manusia, dan kurangnya penguasaan tehnologi di bidang kelautan, sehingga semua ini dapat memperparah tingkat kemiskinan masyarakat terutama para nelayan. Sumber daya ikan yang melimpah tersebut merupakan potensi unggulan Kabupaten Maluku Tenggara, yang bila dikelola dan dimanfaatkan secara tepat dengan memperhatikan aspek kelestarian, maka dapat berguna bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Visi dan misi Kabupaten Maluku Tenggara sebagai daerah pengahasil perikanan, daerah pendidikan perikanan dan sebagai daerah perdagangan perikanan serta daerah pariwisata, sehingga bila visi-misi tersebut diwujudkan sebagai program prioritas daerah, maka perlu adanya kebijakan nyata yang lansung berdampak terhadap pembangunan daerah. Namun, visi dan misi yang ada belum terimplementasi dalam bentuk kebijakan nyata pada sektor kelautan, sehingga potensi perikanan yang besar tersebut belum termanfaatkan dengan baik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, dalam mengimplementasikan visi dan misi yang tertuang dalam renstra kabupaten, pemerintah daerah harus merencanakan program pembangunan daerah yang berorientasi kepada pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan bagi peningkatan pendapatan daerah yang sekaligus dapat berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Faktor penyebab terjadinya lingkaran kemiskinan pada sebagian besar masyarakat nelayan, terutama nelayan lokal adalah keterbatasan sarana dan prasarana, adanya keterbatasan penguasaan tehnologi penangkapan, keterbatasan akses ke sumber permodalan seperti bank, serta rendahnya ketrampilan dan tingkat pendidikan para nelayan. Disamping itu, jenis pekerjaan sebagai nelayan memiliki sifat ketergantungan yang tinggi terhadap musim. Kondisi ini berakibat pada sulitnya kelompok masyarakat tersebut untuk meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik.
Karakteristik masyarakat lokal yang merupakan nelayan miskin, mereka hidup dalam keterbatasan sarana-prasarana perikanan. Nelayan lokal tidak memiliki kapal motor yang memadai untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan, bahkan banyak diantara nelayan lokal hanya memiliki perahu kecil untuk melaut tanpa dilengkapi mesin motor. Kondisi kepemilikan sarana seperti ini tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan nelayan lokal. Sementara nelayan asing yang beroperasi di perairan Kabupaten Maluku Tenggara, memiliki sarana penangkapan ikan yang sangat moderen dengan dilengkapi tehnologi canggih. Sehingga mereka dengan mudah mendapat hasil tangkapan yang melimpah. Kondisi ini bila dibiarkan tanpa melakukan upaya pencegahan maka akan berdampak terhadap kelangkaan sumber daya perikanan di perairan Maluku Tenggara. Masyarakat nelayan lokal sebagai kelompok masyarakat yang sangat rentan dan hidup dalam kemiskinan seringkali tidak tersentuh oleh program-program yang dilaksanakan pemerintah daerah. Kondisi ini disebabkan karena dalam perencanaan program pembangunan daerah tidak melibatkan masyarakat nelayan lokal, sehingga program yang digulirkan sering tidak tepat sasaran. Kondisi diatas membutuhkan kajian secara utuh dan menyeluruh untuk dapat mengetahui permasalahan pokok yang mengakibatkan persoalan kemiskinan masyarakat nelayan lokal, sehingga dapat menemukan strategi yang tepat dalam penanggulangan kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Maluku Tenggara (Malra). Dengan demikian maka pola penanganan kemiskinan yang diterapkan oleh pemerintah daerah dapat berdampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan lokal serta terjadinya penurunan angka kemiskinan.
3.2. Hipotesis. Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 6.
Pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara belum optimal.
7.
Pendapatan per kapita masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara masih dibawah garis kemiskinan.
8.
Pendapatan nelayan lokal di Kabupaten Maluku Tenggara dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti kepemilikan sarana-prasarana, modal, ketrampilan, tehnologi, dll.
9.
Pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap secara efisien dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan.
10. Diduga bentuk program dan strategi kebijakan bidang perikanan untuk masyarakat nelayan yang telah dijalankan di Kabupaten Maluku Tenggara belum berdampak nyata terhadap pengentasan kemiskinan.
Pengembangan Ekonomi Masyarakat
SDA
Nelayan Lokal
Kondisi Nelayan lokal : 1. Sarana prasarana terbatas 2. Penguasaan tehnologi rendah zzzzs 3. Ketrampilan rendah 4. Akses modal terbatas 5. Pendidikan rendah
Tingkat pendapatan nelayan lokal rendah
1. Peningkatan pendapatan 2. Peningkatan kesejahteraan 3. Menurunnya kemiskinan
Potensi SD Perikanan
Biological Overfishing Bioekonomi
Hidup Miskin Analisis Bioekonomi, Analisis Optimasi, Analisis Pertumbuhan, Analisis Pendapatan, Analisis Kemiskinan, Regresi, PRA & FGD
Pengaturan Pemanfaatan Sumber Daya Economic Overfishing Intervensi Kebijakan dalam Upaya Penanggulangan Kemiskinan : (1) Regulasi sektor perikanan (2) Program pemberdayaan, (3) Peningkatan kualitas SDM, (4) Perbantuan sarana – prasarana, (5) Akses modal mudah (6) Akses pasar jelas
Gambar 1. Kerangka pimikiran penelitian
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Alhamdulillah, penelitian ini telah dilaksanakan di empat Kecamatan yaitu Kecamatan Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil Timur, Kecamatan Dullah Utara, dan Kecamatan Kei Besar Selatan. Setiap kecamatan diambil dua desa sebagai lokasi penelitian. Yakni desa nelayan yang memiliki mesin kapal/motor dalam sektor perikanan tangkap dan desa nelayan yang tanpa mesin kapal/motor dalam sektor perikanan tangkap. Nelayan yang menjadi responden adalah nelayan yang menggunakan mesin dan nelayan tanpa mesin. Dari responden tersebut dapat dibandingkan tingkat pendapatan antara nelayan mesin dan nelayan tanpa mesin. Kecamatan Kei Kecil adalah Desa Sathean dan Desa Selayar. Kecamatan Kei Kecil Timur adalah Desa Danwet dan Desa Master Baru. Kecamatan Dullah Utara adalah Desa Dullah Laut dan Desa Labetawi. Kecamatan Kei Besar Selatan adalah Desa Hoat dan Desa Ngafan. Penilitian ini berlansung selama enam bulan yaitu sejak persiapan proposal hingga penulisan.
Gambar 2 Peta Wilayah Propinsi Maluku
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Maluku Tenggara
4.2. Metode Pengumpulan dan Jenis Data Dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling untuk penentuan lokasi pengambilan sampel. Sedangkan penentuan sampel berdasarkan metode Simple Random Sampling dengan menggunakan analisis SPSS versi 10. Lokasi sampel dapat dibagi atas dua bagian yaitu : pertama, desa yang mempunyai potensi perikanan tangkap dan nelayannya memiliki mesin sebagai sarana penangkapan ikan. Kedua, desa yang mempunyai potensi perikanan tangkap tetapi nelayannya belum memiliki mesin sebagai alat bantu dalam menangkap ikan. Setiap lokasi penelitian dapat diambil 7 orang nelayan dan dua orang tokoh masyarakat sebagai responden. Sehingga total responden nelayan sebanyak 56 orang dan tokoh masyarakat sebanyak 16 orang. Responden dari instansi pemerintah masing-masing 2 orang. Data dapat diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data primer (primary data sources) diperoleh dengan cara wawancara, pengamatan dan menggunakan kuesioner lansung ke responden di lapangan. Responden adalah kelompok sample nelayan dan stakeholder yang terkait dengan masalah penelitian.
Data sekunder (secondary data sources) yaitu data yang diperoleh dalam bentuk sudah jadi, yang sudah dikumpulkan dan dipublikasikan untuk “tujuan yang lain” dalam bentuk buku atau file digital dll. Data sekunder ini diperoleh dari instansi terkait seperti BPS, Dinas Perikanan dan Kelautan, Bappeda, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perindag, Dinas Nakertrans, Kantor Bupati, Kantor Kecamatan, Kantor Desa, dan Instansi terkait pada wilayah pemerintah kabupaten dan propinsi serta para pihak lainnya. Tabel 3 Hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data dan metode analisis. No
Tujuan Kajian
1
Mengetahui cara pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan tangkap di Maluku Tenggara
2
Mengetahui tingkat pendapatan per kapita masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara
3
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara.
4
Menganalisis tingkat kemiskinan masyarakat nelayan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap.
5
Menganalisis strategi kebijakan dan bentuk program bidang perikanan untuk pengentasan kemiskinan masyarakat nelayan yang telah dijalankan di Kabupaten Maluku Tenggara.
4.3. Analisis Data 4.3.1. Analisis Bioekonomi
Jenis Data Primer : Hasil tangkapan nelayan, trip. Sekunder: potensi, produksi, sarana penangkapan, Primer: Pendapatan nelayan. Sekunder: Potensi SD Ikan, Trip, Primer: Trip, Jenis & ukuran alat tangkap ikan, cost , harga ikan, BBM, pendapatan, Primer: Pendapatan, Konsumsi. Sekunder: Data Kemiskinan Primer: Persepsi nelayan, masalah & kebutuhan nelayan, Sekunder: Regulasi, kebijakan, program kegiatan, bentuk bantuan,
Sumber Data Nelayan, stakeholder
Nelayan, Stacholder. Nelayan, Stacholder
Nelayan, Stacholder
Stacholder, Nelayan
Metode Analisis Analisis Bioekonomi, Optimasi, Analisis Pendapatan, Regresi Analisis Pendapatan, Regresi, Analisis faktor – faktor yang mempengaruhi pendapatan, Regresi Statistik deskriptif kuantitatif Analisis deskriptif kualitatif, PRA, FGD.
Analisis bioekonomi yang digunakan adalah bioekonomi model Copes dengan pendekatan statik, dimana perhitungan keluaran model bioekonomi dengan menggunkan software SPSS versi 10 dan Maple versi 9.5. Fungsi Produksi Lestari Perikanan Tangkap Menurut Fauzi (2006), bahwa untuk mengeksploitasi (menangkap) ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana tersebut merupakan faktor input, yang dalam literatur perikanan biasa disebut sebagai upaya atau effort. Upaya adalah indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, alat tangkap, dan sebagainya, yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas penangkapan. Secara matematis, hubungan fungsional tersebut ditulis sebagai berikut : h = f ( x, E ) .................................................................................... (1.1) Fungsi produksi yang sering digunakan dalam pengelolaan sumber daya ikan adalah :
h = qxE ........................................................................................... (1.2) Dimana : h = produksi
x
= stok ikan
q = koefisien kemampuan tangkap
E
= upaya
Secara teoritis fungsi tersebut diatas mungkin tidak realistis karena menunjukan tidak adanya sifat “diminishing return” (kenaikan hasil yang semakin berkurang) dari upaya yang merupakan sifat dari fungsi produksi. Ini berimplikasi bahwa jika upaya mengalami penggandaan, produksi juga akan berganda. Demikian pula jika upaya ditingkatkan seribu kali lipat, produksi juga akan meningkat seribu kali lipat. Hal ini tentu saja tidak realistis karena dalam jangka pendek stok ikan lebih kurang terbatas, sehingga adanya batasan maksimum dari produksi. Salah satu bentuk fungsi produksi yang lebih realistis adalah fungsi produksi dimana jika upaya dinaikan, produksi juga akan naik dengan kecepatan yang menurun. Kondisi seperti ini bisa digambarkan oleh fungsi sebagai berikut :
h = qxE
α
..........................................................................
(1.3)
Dimana α menunjukan elastisitas upaya terhadap produksi. Nilai α yang berkisar antara 0 dan 1 menunjukan adanya “ diminishing return”. Dalam kasus ini nilai ά diasumsikan sama dengan 1 ( ά = 1). Dengan adanya aktifitas penangkapan atau produksi maka persamaan :
(
∂x = rx 1 − x k ∂t
) ........................................................................ (1.4)
akan menjadi
x ⎞ ∂x ⎛ = rx ⎜ 1 − ⎟ − h ........................................................... (1.5) K ⎠ ∂t ⎝
x ⎞ ⎛ = rx ⎜ 1 − ⎟ − qxE K⎠ ⎝
.................................................. (1.6)
Dimana : r
= pertumbuhan intrisik
K
= carrying capacity
Dalam kondisi keseimbangan jangka panjang (long run equilibrium) atau
∂x
∂t
= 0 sehingga persamaan diatas berubah menjadi :
x⎞ ⎛ qxE = rx⎜1 − ⎟ .......................................................................... (1.7) ⎝ K⎠ Sehingga kalau dipecahkan persamaan diatas untuk x , akan diperoleh : qE ⎞ ⎛ x = K ⎜1 − ⎟ ........................................................................ (1.8) r ⎠ ⎝ Bila persamaan (5) di subtitusikan ke dalam persamaan (1) maka akan diperoleh tangkapan atau produksi lestari yang ditulis dalam persamaan berikut : ⎛ qE ⎞ h = qKE ⎜1 − ⎟ r ⎠ ⎝
................................................................... (1.9)
Disederhanakan menjadi
h = α E − β E 2 ............................................................ Dimana :
(1.10)
α dan β merupakan parameter fungsi produksi lestari dari regresi linier sederhana (simple linier regresion) antara hasil tangkapan per unit tingkat upaya penangkapan (effort) dengan model sebagai berikut :
h = α − βE E
............................................................................ (1.11)
Tingkat upaya penangkapan pada saat produksi maksimum lestari (EMSY ) :
∂h = α − 2βE = 0 ∂E EMSY =
α 2β
.............................................................................. (1.12)
4.3.2. Standarisasi Alat Tangkap
Mengingat banyaknya alat tangkap yang beroperasi di daerah penelitian, maka dilakukan standarisasi effort antar alat dengan teknik standarisasi mengikuti yang dikembangkan oleh King (1995) dalam Anna (2003), yaitu :
Eit = ϕ it Dit .................................................................................. (2.1) dengan
ϕ it =
U it U std
........................................................................
(2.2)
Keterangan : Eit = effort dari alat tangkap yang distandarisasi Dit = jumlah hari laut (fishing days) dari alat tangkap i pada waktu t
ϕ it = nilai kekuatan menangkap (fishing power) dari alat tangkap i pada periode t U it = catch per unit offort (CPUE) dari alat tangkap i pada periode t U std = catch per unit offort (CPUE) dari alat tangkap yang distandarisasi.
4.3.3. Analisis Tingkat Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan
Dalam penelitian ini untuk mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari akan digunakan model surplus produksi. Ada dua bentuk model fungsional yaitu bentuk Logistik dan Gompertz yaitu :
⎛ q2K ⎞ 2 ⎟⎟ E -------------------------- (3.1) Bentuk Logistik : H t = q K Et − ⎜⎜ ⎝ r ⎠ ⎛ −qE ⎞ ⎜ ⎟ ⎝ r ⎠
Bentuk Gompertz : Ht
= q K Et e
Dimana :
H
= produksi lestari pada tahun ke t
q
= koefisien daya tangkap
K
= carryng capacity
r
= pertumbuhan alami
E
= effort
------------------------- (3.2)
Untuk mengestimasi parameter r, q, dan K dari persamaan yield-effort kedua model di atas dengan menggunakan teknik non linier. Dalam penelitian ini teknik estimasi parameter yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto, dan Pooley atau sering dikenal sebagai teknik CYP digunakan untuk menduga parameter r, q, dan K melalui persamaan : ln(U t +1 ) =
2r (2 − r ) q ln(qK ) + ln U t − ( Et + Et +1 ) ------ (3.3) (2 + r ) (2 + r ) (2 + r )
Selanjutnya nilai parameter r, q, K disubstitusikan kedalam persamaan fungsi Gompertz untuk memperoleh tingkat pemanfaatan lestari. Adapun persamaannya sebagai berikut :
r = 2(1 − C 2 ) /(1 + C 2 ) q = −C 3 ( 2 + r )
K = e C1 ( 2+r ) /(2r ) / q ------------------------------------------------ (3.4)
Dalam kondisi open acces, tingkat biomas, effort dan tangkap melalui persamaan-persamaan berikut: •
Untuk tingkat biomassa (xOA), diperoleh dengan persamaan berikut : xOA =
c ------------------------------------------------------------------ (3.5) pq
diturunkan
•
Untuk tingkat upaya tangkapan maksimum (EOA), diperoleh dengan persamaan
berikut : E OA = •
r⎡ c ⎤ ------------------------------------------------------- (3.6) 1− ⎢ q ⎣ pqK ⎥⎦
Untuk tingkat produksi maksimum (hOA), diperoleh dengan persamaan berikut : hOA =
rc ⎡ c ⎤ 1− ---------------------------------------------------- (3.7) ⎢ pq ⎣ pqK ⎥⎦
Untuk kondisi Maximum Economic Yield (MEY), diperoleh berdasarkan persamaan berikut : •
Untuk tingkat biomassa diperoleh dengan persamaan berikut : x MEY =
•
Untuk tingkat effort maksimum diperoleh dengan persamaan berikut : E MEY =
•
K⎛ c ⎞ ⎜⎜1 − ⎟ ---------------------------------------------------- (3.8) 2⎝ pqK ⎟⎠
r ⎡ c ⎤ --------------------------------------------------- (3.9) 1− ⎢ 2q ⎣ pqK ⎥⎦
Untuk tingkat produksi maksimum diperoleh dengan persamaan berikut : hMEY =
rK 4
⎡ c ⎤⎡ c ⎤ ⎢1 + pqK ⎥ ⎢1 − pqK ⎥ ------------------------------------ (3.10) ⎦ ⎣ ⎦⎣
Estimasi dengan pendekatan dinamik terhadap sumber daya perikanan dapat dilakukan dengan persamaan-persamaan berikut : •
Untuk tingkat biomassa diperoleh dengan persamaan berikut : x* =
•
⎡ 1 ⎢⎛ ⎛ δ ⎞⎞ ⎜⎜ x OA + K ⎜1 − ⎟ ⎟⎟ + 4 ⎢⎝ ⎝ r ⎠⎠ ⎣
⎛ ⎛ δ ⎜⎜ x OA + K ⎜1 − ⎝ r ⎝
2 ⎤ ⎞ ⎞ ⎛ 8Kx OAδ ⎞⎥ -(3.11) ⎟ + ⎜ ⎟ ⎟⎟ r ⎠⎠ ⎝ ⎠⎥ ⎦
Untuk tingkat effort maksimum diperoleh dengan persamaan berikut : h* E = * ---------------------------------------------------------------- (3.12) qx *
•
Untuk tingkat tangkapan maksimum diperoleh dengan persamaan berikut :
h* =
⎛ 1 2x ⎞⎞ ⎛ x ( pqx − c )⎜⎜ δ − r ⎜ 1 − ⎟ ⎟ -------------------------------- (3.13) c K ⎠ ⎟⎠ ⎝ ⎝
4.3.4. Standarisasi Biaya Pada model bioekonomi Gordon-Schaefer dalam perikanan tangkap dipengaruhi oleh biaya penangkapan (c) dan harga hasil tangkapan (p). Parameter biaya penangkapan (c) dihitung dari biaya rata-rata penangkapan nelayan responden. Biaya penangkapan rata-rata dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : c=
∑ ci ..........................................................................................(4.1) n
Dimana : C
= biaya penangkapan rata-rata (Rp/tahun)
ci
= biaya penangkapan responden ke-i (Rp/tahun)
n
= jumlah responden (orang)
Mengingat beragamnya biaya yang dikeluarkan oleh nelayan dalam sekali melaut, maka dilakukan standarisasi biaya didasarkan pada ukuran riil (disesuaikan dengan indeks harga konsumen). Sehingga harga nominal pada periode t (pnt), dikonversi dengan harga riil (prt) berdasarkan formula berikut : ⎛ P ⎞ Prt = ⎜ nt ⎟ x100 ------------------------------------------------------- (4.2) ⎝ IHK ⎠ Dimana : Prt
= harga riil pada periode t
Pnt
= harga nominal pada periode t
IHK
= indeks harga konsumen
4.3.5. Analisis Tingkat Pendapatan Nelayan Untuk melakukan analisis pendapatan maka terlebih dahulu melakukan perhitungan pendapatan nelayan dengan menggunakan persamaan berikut : Pendapatan Kotor. TR = Q.P
Dimana : TR
= Total penerimaan nelayan atau pendapatan kotor (Rp)
Q
= Produksi/hasil nelayan (Kg)
P
= Harga jual hasil produksi (Rp)
Pendapatan Bersih. Keuntungan nelayan dari usaha perikanan tangkap dapat diketahui dengan melakukan analisis melalui pendekatan Gordon-Schaefer (Clark, 1990) dalam Fauzi (2005). Alat analisisnya adalah sebagai berikut :
π = TR − TC = p.h − c.E
...........................................................................
(5.1)
Dimana : Π
= pendapatan bersih atau keuntungan (Rp)
TR
= total penerimaan (Rp)
TC
= total biaya produksi / penangkapan (Rp)
p
= harga rata-rata ikan (Rp/ton)
c
= total biaya per satuan upaya (Rp/trip)
E
= jumlah upaya (trip/thn)
h
= produksi
Untuk melihat perbedaan tingkat pendapatan antara nelayan yang menggunakan perahu bermesin dan nelayan yang menggunakan perahu tidak bermesin dilakukan perhitungan dengan menggunakan uji statistik pada komputer. Analisis yang digunakan dengan cara uji 2 sampel t pada cara uji 5 persen. Hipotesis yang diuji dalam analisis ini adalah : Ho : μ1 ≤ μ2
: Rata-rata pendapatan nelayan berperahu mesin lebih kecil atau sama dengan rata-rata pendapatan nelayan berperahu tanpa mesin, artinya
alat mesin motor tidak mempunyai pengaruh berarti
terhadap peningkatan pendapatan nelayan. H1 : μ1 >
μ2
: Rata-rata pendapatan nelayan berperahu mesin lebih besar dari rata-rata pendapatan nelayan berperahu tanpa mesin, artinya alat
mesin mempunyai pengaruh yang berarti terhadap peningkatan pendapatan nelayan. Menggunakan Statistik Uji di bawah ini :
t =
(x 1 − Sg
Sg
2
x2 )− d 0
1 1 + n1 n2
…………....…..
2 2 ( n1 −1)s1 + (n2 −1)s2 =
n1 + n2 − 2
…..….
(5.2)
(5.3)
Dimana : X1 : Rata-rata pendapatan nelayan perahu bermesin X2 : Rata-rata pendapatan nelayan perahu tanpa mesin S12 : Standar deviasi rata-rata pendapatan nelayan perahu bermesin. S22 : Standar deviasi rata-rata nelayan perahu tanpa mesin. n1 : Jumlah responden nelayan perahu bermesin n2 : jumlah responden nelayan perahu tanpa mesin d0 : M1 - μ2. Kaidah Keputusan : Bila t > tά, maka tolak Ho (terima H1) Bila t ≤ tά, maka terima Ho (tolak H1)
4.3.6. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan Analisis terhadap kondisi perekonomian meliputi pendapatan masyarakat nelayan dengan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan yang menggunakan mesin dan nelayan yang tidak menggunakan mesin dengan menggunakan SPSS versi 10. Hubungan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode regresi linier berganda dimana nilai dari fungsi tersebut ditaksir dengan metode kuadrat terkecil atau ordinary leas squares/OLS (Thomas, 1997), yang bersifat tidak bias dan paling efisien (mempunyai varian yang minimum) atau biasa disebut BLUE (best linier unbiased estimator). Dalam fungsi tersebut, tingkat pendapatan masyarakat nelayan merupakan
peubah terikat (dependent variable) dan variable kuantitatf berupa umur responden (umur), pengalaman kerja (peng), jumlah tanggungan (tang), dan hasil tangkapan (hsltangk) serta peubah dummy yang bersifat kualitatif, seperti tingkat pendidikan (D1), musim (D2), status sarana pemilikan (D3), tehnologi (D4), sarana penangkapan ikan (D5), jarak wilayah penangkapan (D6) dan interaksi tanggungan keluarga dan tingkat pendidikan (Tanggpend) sebagai peubah penjelas (explanatory variables). Analisis pendapatan ini dilakukan dalam dua tipe nelayan yaitu nelayan yang memiiki mesin motor dan nelayan tanpa mesin motor. Berdasarkan hal tersebut, model regresi tingkat pendapatan masyarakat nelayan yang memiliki mesin motor dan nelayan yang tidak memiliki mesin dapat diformulasikan sebagai berikut :
Model persamaan nelayan mesin Y = β 0 + β 1 umur 1i + β 2 peng
2i
+ β 3 Tng 3 i + β 4 D 1i + β 5 D 2 i + β 6 D 3 i + β 7 D 4 i
+ β 8 D5i + β 9 D6i + ε i ………………………………………… 6.1
Model persamaan nelayan tanpa mesin Y = β 0 + β 1 umur 1i + β 2 peng 2 i + β 3 tng 3i + β 4 D1i + β 5 D 2 i + β 6 D 3i + β 7 D 4 i + β 8 D 5i + β 9 D 6 i + ε i
…………………………………………. 6.2
Dimana : Y1
= pendapatan masyarakat nelayan (Rp)
Β
= intercept
Umur
= umur nelayan jumlah tanggungan keluarga (org)
Peng
= pengalaman kerja (tahun)
Tng
= tanggungan keluarga (orang)
D1
= pendidikan (nilai 1 = tidak sekolah SD, 0 = selain SD)
D2
= musim (nilai 1= timur, 0 = barat)
D3
= akses ke pasar (1 = dekat, 0 = jauh)
D4
= memiliki mesin motor/kapal (1 = pakai mesin, 0 = tanpa mesin)
D5
= sarana penangkapan ikan (1 = kapal motor, 0 = perahu)
D6
= jarak wilayah penangkapan
D7
= tenaga kerja Pada pendugaan model regresi dengan OLS tersebut, maka terdapat asumsi-
asumsi sebagai berikut : •
Peubah X bersifat tetap (fixed), maka : E (Xε) = 0
•
Tidak ada hubungan linier antara dua atau lebih peubah-peubah bebas (nonscollinearity)
Matriks (X’X) non singular : X’X # 0.
•
Rataan galat (error) saling menghapuskan : E (ε) = 0
•
Bagian Galat (errors) bersifat tersebar bebas (tidak berkorelasi) dan ragam (variance) yang konstan (homokedastis) : E (εε’) = σ2
4.3.7. Analisis Tingkat Kemiskinan Sejak ahli ekonomi menemukan GNP sebagai indikator dalam mengukur tingkat kemakmuran negara pada tahun 1950-an, hingga kini hampir semua ilmu sosial selalu merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemajuan suatu negara. Demikian halnya pengukuran kemiskinan yang berpijak pada perspektif pendapatan (income poverty) yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator garis kemiskinan. Selanjutnya pada tahun 1990-an, salah satu lembaga dunia, yakni UNDP, memperkenalkan pendekatan pembangunan manusia (human development) dalam mengukur kemajuan dan kemiskinan, seperti human development index (HDI) dan human poverty index (HPI). Pendekatan yang digunakan oleh UNDP relatif lebih komprehensif dan mencakup faktor ekonomi, sosial dan budaya si miskin. Pendekatan yang digunakan
UNDP memadukan model kebutuhan dasar (basic needs model) yang dikembangkan oleh Paul Streen dan konsep kapabilitas (capability) yang dikembangkan oleh Pemenang Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen, (Chamsyah, 2006). Indikator kemiskinan berdasarkan UNDP yaitu pendapatan perkapita per hari dibawah US $1 maka dikatagorikan sebagai sangat miskin. Apabila pendapatan masyarakat dibawah US $2 maka dikatagorikan miskin. Indikator nasional dalam menentukan jumlah penduduk yang dikatagorikan miskin ditentukan oleh standar garis kemiskinan dari Badan Pusat Statisti (BPS), dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan minimum. Baik berupa kebutuhan makanan dan non-makanan yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup layak. Penetapan nilai standar inilah yang digunakan untuk membedakan antara penduduk miskin dan tidak miskin. Apabilah penduduk dalam pengeluaran tidak mampu memenuhi kecukupan makanan setara 2.100 kalori per hari ditambah pemenuhan kebutuhan pokok minimum non makanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan dasar, pendidikan dasar, transportasi dan aneka barang/jasa lainnya maka ia dapat dikatagorikan miskin (BPS, 1999). Sementara penduduk yang tidak mampu memenuhi kecukupan konsumsi makanan setara 1.800 kalori per hari dikatagorikan fakir miskin. Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 1981 mendefinisikan fakir-miskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki sumber daya hidup berupa mata pencaharian dan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Atau seseorang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya yang layak bagi kemanusian. Untuk mengetahui pengaruh program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan oleh instansi terkait terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, maka digunakan analisis : (1) the poverty headcount index, (2)
the poverty gap index, (3) the saverity of poverty. Beberapa parameter yang
digunakan dalam pengukuran tingkat kemiskinan, secara rinci dapat dilihat pada tabel 1. Menurut Ditjen P3K (2004) dalam Basri (2007), Peta kemiskinan diukur dengan alat analisis sebagai berikut :
(1). The poverty headcount index, yaitu menggambarkan persentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Alat analisisnya sebagai berikut : H =
q n
………………………………………………………
(7.1)
Dimana : H
: headcount index ( indikator insiden kemiskinan ).
q
: jumlah penduduk miskin
n
: total jumlah penduduk.
(2). The poverty gap index yaitu : kedalaman kemiskinan di suatu wilayah merupakan perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Alat analisisnya sebagi berikut :
1 q ⎡ z − yi ⎤ PG = ∑⎢ n i=1 ⎣ z ⎥⎦
…………………….. (7.2)
Dimana : PG
: Poverty Gap Index (tingkat kedalaman kemiskinan).
Yi
: pendapatan individu orang miskin
Z
: garis kemiskinan
q
: jumlah penduduk miskin
n
: total jumlah penduduk
(3). The saverity of poverty yaitu : menunjukan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah. Indikator ini memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan dan ketimpangan diantara orang miskin. Alat analisisnya sebegai berikut :
1 q ⎡ z − yi ⎤ P = ∑⎢ n i=1 ⎣ z ⎥⎦
2
……………………………… (7.3)
Dimana : P2
: the severity of poverty ( tingkat keparahan kemiskinan ).
Yi
: pendapatan individu orang miskin
z
: garis kemiskinan
q
: jumlah penduduk miskin
n
: total jumlah penduduk
4.3.8. Analisis Strategi Kebijakan dan Perancangan Program Dalam kajian ini, metode yang digunakan untuk menganalisis masalah adalah melalui tahap analisis masalah, analisis pilihan tindakan strategis. Analisis masalah berangkat dari identifikasi dan dilanjutkan dengan analisis masalah strategis. Untuk itu perlu mengenal perilaku masalah yang dihadapi. Langka selanjutnya adalah memilih tindakan strategis yaitu suatu tindakan terhadap satu jenis masalah yang telah diklasifikasikan sekaligus dapat mengatasi rangkaian masalah lain. Setelah diperoleh masalah strategis dari analisis masalah, maka dilakukan penyusunan program dengan menggunakan metode participatory rural appraisal (PRA) dan focus group discussion (FGD) untuk mengatasi masalah strategis yang dihadapi dalam penanggulangan kemiskinan nelayan. Penyusunan program dengan metode PRA dilakukan untuk menjaring program-program penanggulangan kemiskinan di tingkat penduduk atau rumah tangga miskin, yang dilakukan melalui tiga tahapan penting yaitu :
a. Identifikasi Potensi, Permasalahan dan Kebutuhan Masyarakat. Identifikasi potensi, permasalahan dan kebutuhan pembangunan masyarakat meliputi identifikasi potensi pengembangan kelembagaan ekonomi masyarakat pedesaan, permasalahan dan kebutuhan masyarakat dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.
b. Penyusunan Program Kerja Penyusunan program dilakukan dengan menerapkan participatory rural appraisal (PRA) yang berbasis pada potensi, permasalahan dan kebutuhan masyarakat yang memuat hal-hal seperti masalah, kegiatan, pelaksanaan, sasaran, metoda, waktu, tanggung jawab, dukungan program/proyek lain, dinas/instansi pendukung, perkiraan biaya.
c. Evaluasi Penerapan Program Evaluasi dapat mencakup dua aspek yaitu evaluasi penerapan rencana kegiatan bersama masyarakat dan evaluasi penerapan kegiatan antara fasilitator dengan menggunakan indikator-indikator yang telah disepakati bersama. Setelah diperoleh hasil dari penyusunan program melalui metode PRA, dilanjutkan penyusunan program di tingkat kabupaten dengan menggunakan metode FGD untuk memperoleh masukan (informasi) mengenai suatu permasalahan. Penyelesaian terhadap masalah ini ditentukan oleh pihak yang berbeda setelah semua masukan diperiksa dan dianalisis. FGD dilaksanakan di ibukota kabupaten. Tujuan dari FGD adalah menyelaraskan dan mensinkronkan antara keinginan masyarakat dengan program yang telah dirancang oleh dinas teknis kabupaten. Penyelarasan ini diperlukan agar terjadi kesinambungan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan sehingga tepat sasaran. Metode yang digunakan untuk FGD kabupaten adalah partisipatif dari peserta. FGD dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Persiapan Pelaksanaan FGD Untuk menunjang pelaksanan FGD maka dibutuhkan perencanaan ATK yang baik, persiapan ruangan tempat FGD dilaksanakan dan persiapan materi yang didiskusikan. Materi yang dibahas mencakup permasalahan yang dihadapi dalam penaggulangan kemiskinan, dan penyusunan program penanggulangan kemiskinan di tingkat kecamatan dan kabupaten.
2. Pelaksanaan FGD
Dalam pelaksanaan FGD jumlah peserta merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan. Agar efektif, maka jumlah peserta harus sangat dibatasi. Peserta jelas dipilih dari komunitas yang benar-benar relevan dan menguasai persoalan yang dihadapi.
3. Analisis Dalam melakukan analisis, maka langkah-langkah yang perlu diambil adalah : (a). Memeriksa apakah tujuan FGD tercapai, (b) memeriksa apakah ada perubahan dalam tujuan FGD yang terjadi karena adanya input dari peserta, (c) mengidentifikasi masalah utama yang dikemukakan oleh peserta, (d) memeriksa apakah ada variasi peserta dalam persoalan utama, (e) memeriksa apakah ada persoalan lain selain persolan utama yang muncul, (f) membuat suatu kerangka prioritas dari persoalan-persoalan yang muncul berdasarkan sumber daya yang ada, prioritas persoalan, kemungkinan dipecahkan dalam waktu itu.
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Geografi dan Administrasi Pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara dengan luas total ± 55.932 km2, dimana luas daratan ± 4.049 km2 (7%), dan luas lautan ± 51.883 km2 (93%). Kabupaten Maluku Tenggara secara geografis terletak pada koordinat 131° – 133° 5’ Bujur Timur dan 5° 32’ – 8° 00’ Lintang Selatan, secara administrasi Kabupaten Maluku Tenggara berbatasan dengan :
Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Papua Bagian Selatan
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura
Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Banda dan Bagian Utara Kepulauan Tanimbar
Sebelah Timur berbatasan dengan Kepulauan Aru. Berdasarkan kondisi fisik geografis, wilayah Kabupaten Maluku Tenggara
memiliki ketinggian bervariasi antar pulau. Pulau Kei Kecil, Pulau Dullah, Pulau Tayando dan Pulau Tam merupakan dataran rendah, memiliki ketinggian ≤ 100 m dpl di atas permukaan air laut. Di tengah dan utara pulau terdapat beberapa bukit berukuran kecil yang ketinggiannya mencapai ± 150 m dpl. Sedangkan daratan Pulau Kei Besar dan Pulau Kur umumnya bergunung dan berbukit yang kebanyakan menjulang lansung dari permukaan laut sehingga memberikan bentangan alam yang spesifik, ketinggian rata-rata ± 500 – 800 m dpl diatas permukaan laut. Sepanjang pulau terdapat bukit dan gunung, puncak tertinggi di Pulau Kei Besar yaitu Gunung Dab. Pada wilayah tertentu di pesisir pantai terdapat dataran rendah berkisar ± 0.5 – 4 km2 dari bibir pantai. Kabupaten Maluku Tenggara sebagai salah satu kabupaten induk di Propinsi Maluku, telah mengalami 3 kali pemekaran wilayah. Wilayah yang dimekarkan yaitu Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kabupaten Kepulauan Aru, dan Kota Tual dengan. Sebelum Kota Tual dimekarkan Kabupaten Maluku Tenggara memiliki 10 Kecamatan, 112 Desa, 4 Kelurahan, 115 Dusun. Setelah pemekaran Kota Tual pada tahun 2008, Maluku Tenggara memiliki 6 Kecamatan, 86 Desa, 1 Kelurahan dan 104 Dusun. Lokasi penelitian meliputi wilayah Kabupaten Maluku Tenggara sebelum pemekaran Kota Tual. Kabupaten Maluku Tenggara dikenal dengan nama Kepulauan Kei terdiri dari beragam suku bangsa, suku asli adalah suku Kei dengan bahasa lokal adalah bahasa Kei dan
terdapat suku-suku pendatang yang didominasi oleh suku-suku seperti Bugis, Makassar, Buton, Jawa, Padang, Banjar, Tanimbar, Aru, Ambon, Seram, dll. Tabel 4 Jumlah kecamatan, desa, kelurahan, dusun, dan luas daratan menurut kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara Kecamatan
Nama Ibukota
Jumlah Desa
Jumlah Dusun
Jumlah Kelurahan
Jumlah Pulau
Luas Daratan (Km2)
Kei Besar
Elat
21
41
-
6
291,8962
Kei Besar Selatan
Weduar
14
9
-
8
144,7933
Kei Besar Utara Timur
Holat
9
21
-
5
112,5818
Kei Kecil
Langgur
21
15
1
31
268,7039
Kei Kecil Barat
Ohoira
8
2
-
16
93,8421
Kei Kecil Timur
Rumwat
13
16
-
2
105,1531
P. Dullah Selatan
Tual
2
3
3
7
58,7746
P. Dullah Utara
Namser
8
3
-
23
66,5289
PP. Kur
Tubyal
11
4
-
9
46,1773
PP. Tayando
Yamtel
5
1
-
27
70,1536
Sumber : BPS dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Maluku Tenggara
Jenis tanah dan batuan yang dominan di Kepulauan Maluku Tenggara antara lain Podzolik, Rensina dan Lithosol sedangkan jenis batuan meliputi Aluvium Undak, Terumbu Coral, Seklis Habluk, Paleogen dan Ulagan Paleozoikum, (BPS Malra, 2007).
5.2. Kondisi Fisik Pesisir dan Laut 5.2.1. Iklim Iklim di Maluku Tenggara seperti di daerah tropis katulistiwa yang dikelilingi oleh perairan yang luas. Iklim di Maluku Tenggara dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudra Indonesia juga dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur dan Benua Australia di bagian Selatan, sehingga sewaktu-waktu terjadi perubahan. Iklim Kabupaten Maluku Tenggara adalah tipe A (nilai Q = 0.10) dengan 10 bulan basah, 1 bulan kering dan 1 bulan lembab. Curah hujan di daerah ini memiliki pola Monsun (musiman) dengan ciri distribusi curah hujan bulanan berbentuk “V”. Musim Barat berlangsung pada bulan Desember hingga Pebruari, musim Timur pada Juni hingga Agustus, Pancaroba 1 pada bulan Maret hingga Mei dan Pancaroba 2 pada bulan
September hingga Nopember. Setiap musim mempunyai pengaruh yang berbeda pada daratan maupun lautan, (Universitas Pattimura Ambon dan DKP Propinsi Maluku, 2004). Pengurangan jumlah curah hujan terjadi saat pertengahan musim Timur (JuniAgustus) hingga pertengahan musim Pancaroba 2 (Oktober), tetapi melimpah pada saat musim Barat hingga akhir Pancaroba 1. Nilai rata-rata curah hujan terendah dalam 5 tahun terakhir dicapai pada bulan Agustus yakni 50,8 mm. Terindikasi bahwa jumlah curah hujan Agustus – September semakin menurun sejak tahun 2001 sampai sekarang, dan dua bulan ini tergolong bulan sangat kering. Secara umum terlihat bahwa saat musim Barat dan Pancaroba 1, curah hujan melimpah sepanjang tahun dengan rata-rata > 300 mm dan hari hujan rata-rata 18 – 24 hari (BPS Maluku Tenggara, 2007).
a. Kualitas Udara 1) Suhu Udara Suhu rata-rata terendah Kabupaten Maluku Tenggara dalam tahun 1999 – 2003 ditemukan pada bulan Agustus yaitu 23,6 oC dan suhu tertinggi pada bulan Oktober Nopember yakni 32,5 – 32,7 oC. Suhu udara musim Barat berkisar dari 24,1 – 31,5 °C, pada musim pancaroba 1 berkisar dari 31,3 – 31,4 °C, pada musim Timur 30,1 – 30,5 °C, dan musim Pancaroba 2 berkisar dari 24 – 32,7 °C, sedangkan suhu udara dekat permukaan laut berkisar dari 23 – 23,5 °C (rata-rata 23,3 °C), (BPS Malra, 2007).
2) Kelembaban Udara, Lama Penyinaran Matahari dan Tekanan Udara Kelembaban udara nisbi rata-rata di Kabupaten Maluku Tenggara berkisar dari 72,6 (Januari) - 89 % (April). Kelembaban udara rata-rata bulanan sepanjang tahun umumnya > 80 % kecuali Januari (< 75 %). Rata-rata lama penyinaran matahari dalam setahun mengalami variasi yang cukup signifkan. Pada bulan Agustus – September lama penyinaran > 70 %, pada bulan Juli dan Oktober 65 – 70 %, bulan Mei, Juni dan Nopember 55 - 60 % dan terendah dicapai pada bulan Desember hingga April (< 45 %). Tekanan udara rata-rata bulanan sepanjang tahun berkisar dari 1.009 – 1.012 mb, (Univertsitas Pattimura Ambon dan DKP Propinsi Maluku, 2004)
b. Arah dan Kecepatan Angin 1) Arah Angin Terbanyak dan Kecepatannya
Sejak tahun 1999 – 2007 kecepatan angin di Kabupaten Maluku Tenggara berkisar dari 3,8 hingga 11,4 knot (rata-rata 6,7 knot), dengan arah terbanyak bervariasi dari 98 hingga 3020 (Timur Tenggara – Barat Laut) dengan rata-rata 1680 (Selatan Tenggara). Arah angin terbanyak pada musim Barat bertiup dari 282 – 3020 (Barat Barat Laut – Barat Laut); dalam musim Pancaroba 1 dari 102 – 2440 (Timur Tenggara – Barat Barat Daya), musim Timur dari 102 – 1100 (Timur Tenggara) dan Pancaroba 2 dari 98 – 1220 (Timur Tenggara –Tenggara). Terlihat hanya ada dua dominasi arah angin di daerah ini yakni Timur Tenggara dan Barat Barat Laut dengan durasi yang konstan masingmasing dari Mei – Nopember dan Desember – April, (Universitas Pattimura Ambon dan DKP Propinsi Maluku, 2004).
b. Arah Angin Terbesar dan Kecepatannya Kecepatan angin terbesar berkisar dari 19 hingga 27.4 knot (Timur Tenggara dan Barat Laut) dengan rata-rata 22 knot (Gambar 3.2). Arah angin terbesar umumnya terjadi pada bulan yang sama dengan arah terbanyak kecuali pada Nopember dan April. Pada bulan Mei – Oktober angin bertiup dari Timur Tenggara, Nopember (dari Selatan), Desember – Maret (dari Barat – Barat Laut) dan bulan April (dari Selatan Daya), (Universitas Pattimura Ambon dan Dinas Kelautan & Perikanan Propinsi Maluku, 2004).
260
Mrt
5
360
Peb
Des Nop
Mrt
10
Nop
Jan
15
Peb
Des
Jan
Gambar 4. Variasi arah dan kecepatan angin di Kabupaten Maluku Tenggara dalam tahun 1999 - 2003
160
Apr Mei
Jul
Ags
Jul
Ags
Jun
Sep
Mei
-40
Jun
Sep
Okt
Apr
Okt
60 0
Mrt
260
Peb
Jan
360
160
Apr
Okt
Mei Jun
Ags
Jun
-40
Sep
Apr
60
Sep Ags
Nop
Mrt
Des
Peb
30 25 20 15 10 5 0
Mei
Okt
Nop
Des
Jan
Angin Terbanyak
5.1.2. Sumber Air Minum Kondisi hidrologi yang diamati adalah kondisi sungai (besar dan kecil) yang diharapkan dapat menjadi potensi sumber air bagi kehidupan masyarakat di kawasan kepulauan Kei. Sungai-sungai yang berair sepanjang tahun tercatat sebanyak 7 buah antara lain : Pulau Kei Kecil sebanyak 3 buah dan Pulau Kei Besar sebanyak 4 buah. Danau-danau di Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 4 buah, danau yang terbesar adalah danau Fanil dan Ngadi di Pulau Dullah, Abiel dan Wearlaai, semuanya di Pulau Kei Kecil.
5.1.3. Suhu dan Salinitas Perairan Suhu di sekitar perairan pulau-pulau Kei Kecil dan Kei Besar berkisar antara 0
27,8 C sampai 290C, sedangkan salinitas di sekitar perairan Kepulauan Kei Kecil berkisar antara 26 – 35 ppm, dengan nilai rata-rata 33,5 ppm. Salinitas perairan di sekitar pulau Kei Besar berkisar antara 26 – 37 ppm dengan nilai rata-rata 31,5 ppm.
5.1.4. Arus, Gelombang dan Keadaan Air Laut Arus pada selat dan bagian mulut teluk bervariasi sesuai dengan kondisi pasang surut dan umur bulan (lunar cycle). Arus pasang surut yang terjadi pada perairan pantai terbuka perairan Maluku Tenggara, rata-rata lebih kecil dari pada 0,03 m/detik, dan pada mulut teluk-teluk kecil dan selat yang sempit dapat mencapai 1 m/detik. Tipe pasang surut perairan Maluku Tenggara adalah Pasang Campuran mirip harian ganda (predominantly semi-diurnal tide), dimana terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari, pasang pertama umumnya lebih besar dari pasang yang kedua dan juga berbeda waktu pasang tertingginya. Kisaran maksimum pasang surut di perairan
ini umumnya lebih besar dari 2,5 m (meso tidal) dan pada teluk-teluk semi tertutup bahkan melampaui 3 meter. Arus pasang surut pada pantai Barat Kei Kecil umumnya relatif lemah dengan kecepatan rata-rata 10 cm/detik, (Unpatti Ambon, 2004). Kondisi tunggang air pada topografi landai seperti di Kepulauan Kei Kecil, maka pada saat surut terendah sebagian besar dataran pasang surut muncul di atas permukaan air. Beda pasang surut terbesar terjadi pada bulan Oktober yang dikenal dengan Meti Kei bersamaan dengan eksploitasi sumberdaya perairan secara besar-besaran oleh masyarakat setempat, (Universitas Pattimura dan Dinas Perikanan Propinsi Maluku, 2004). Pengaruh gelombang paling signifikan terjadi di perairan Maluku Tenggara terutama sepanjang pantai Timur Pulau Kei Besar yang menyebabkan kemunduran garis pantai, dan munculnya komunitas lain. Gelombang laut di perairan Maluku Tenggara disebabkan oleh angin musim. Gelombang di perairan ini juga telah menjadi sarana penyebaran telur ikan terbang (Cypsilurus sp) pada musim Timur di pantai Timur Kei Besar. Produk hasil laut ini telah dimanfaatkan bertahun-tahun tapi belum dikelola secara optimal terutama untuk kepentingan masyarakat dan daerah. Rata-rata tinggi gelombang signifikan terbanyak yang terjadi sejak tahun 1999 – 2003 berkisar dari 0,1 hingga 1 meter, dengan periode 2,3 hingga 6,8 detik. Pada musim Barat, tinggi gelombang rata-rata cukup kecil yakni 0,3 – 0,4 m (periode 3 – 4 detik), pada musim peralihan 1 tinggi gelombang 0,1 – 0,4 m ( periode 2 – 4 detik), pada musim Timur (Juni – Agustus) gelombang cukup besar/tinggi mencapai 0,5 – 1,1 m (periode 5 – 7 detik). Kondisi ini masih bertahan sampai awal peralihan 2 (September) yakni 0, 7 m dan melemah ketika memasuki musim Barat. Tinggi gelombang signifikan maksimum terestimasi yang dapat terjadi cukup besar bahkan dapat mencapai 3 – 6 meter jika durasi angin bertiup cukup lama terutama pada musim Barat (Desember – Pebruari).
Kecerahan rata-rata pada perairan sekitar Kepulauan Kei Kecil dan Kei Besar sebesar 0,76 FTU. Sedangkan konsentrasi materi tersuspensi di permukaan berkisar dari 0,11 mg/l – 0,15 mg/l. Konsentrasi materi tersuspensi banyak dipengaruhi oleh proses pergerakan air. Pergolakan air yang lebih intensif banyak disebabkan oleh tiupan angin, arus lalu lintas laut antar desa dan pulau, dan aktivitas gelombang. Dari data yang diperoleh ternyata sebaran suspensi pada kolom permukaan, pertengahan dan dasar, masih dalam batas-batas toleransi normal (nilai sebaran dari kandungan suspensi di perairan ini ditemukan di bawah 70 mg/l). (Unpatti dan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku, 2004).
5.1.7. Luas Perairan Luas perairan di Maluku Tenggara sebesar 15.890,3379 km2. Wilayah laut yang dapat dilakukan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional adalah jarak 0 – 4 Mil, wilayah ini mempunyai
luas wilayah laut sebesar 5.894,5787 km2. Sedangkan laut
dengan jarak 5-12 Mil, dengan luas sebesar 9.995,7592 km2, nelayan lokal tidak dapat melaut disana. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sarana parasarana penangkapan ikan yang dimiliki. Kebanyakan nelayan lokal hanya mempunyai armada penagkapan seperti perahu tanpa mesin sehingga daya jangkau sangat terbatas. Pada wilayah laut luas penangkapan ikan lebih banyak dilakukan oleh nelayan yang memiliki kapal motor seperti nelayan dari luar negeri dan nelayan besar dari daerah lain. Tabel 5 Luas perairan di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2007
Luas Perairan (Km2) 0-4 Mil Laut 781,3823
4-12 Mil Laut 1250,3992
Sub Total 2031,7815
Kei Besar Selatan
510,7646
848,4402
1359,2048
Kei Besar Utara Timur
353,3765
955,9798
1309,3563
Kei Kecil
432,2951
116,2027
548,4978
Kei Kecil Barat
847,9640
1236,9601
2084,9241
Kei Kecil Timur
158,3916
177,4230
335,8146
P. Dullah Selatan
320,5624
319,6676
640,2300
P. Dullah Utara
473,3457
579,7864
1053,1321
PP. Kur
1123,9924
3108,3635
4232,3559
PP. Tayando
892,5041
1402,5367
2295,0408
5894,5787
9995,7592
15890,3379
Kecamatan Kei Besar
Sumber :
Data statistik perikanan Provinsi Maluku bekerjasama dengan Universitas Pattimura Ambon.
5.1.8. Luas Ekosistim Mangrove, Lamun dan Karang Kabupaten Maluku Tenggara mempunyai ekosistim laut yang sangat baik untuk berkembangbiaknya sumber daya perikanan laut. Total luasan ekosistim terumbu karang di Maluku Tenggara sebesar 520.8972 km2, padang lamun sebesar 102.4399 km2 dan hutan mangrove sebesar 20.3699 km2. Hal ini dapat tergambar pada tabel 6 di bawah ini.
Dengan kondisi ekosistim laut yang demikian menggambarkan kepada kita bahwa, Maluku Tenggara sangat besar potensi perikanan yang dimiliki, dan merupakan wilayah kepulauan dimana banyak terdapat teluk dan tanjung sehingga sangat cocok pengembangan budidaya perikanan laut.
Tabel 6 Luas ekosistim di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2007
Kecamatan Kei Besar
Mangrove -
Luas Ekosistem (Km2) Lamun Karang 4,1258 35,9325
Kei Besar Selatan
0,2037
4,4011
21,2537
Kei Besar Utara Timur
0,7139
0,9337
10,3333
Kei Kecil
5,1567
12,9683
88,4581
Kei Kecil Barat
13,5378
21,3826
109,5264
Kei Kecil Timur
-
1,8332
33,7816
P. Dullah Selatan
0,4757
11,2113
35,4728
P. Dullah Utara
0,2821
9,4995
74,3461
PP. Kur
-
4,6748
17,2926
PP. Tayando
-
31,4096
94,5001
20,3699
102,4399
520,8972
Sumber : Data statistik perikanan Provinsi Maluku bekerjasama dengan Universitas Pattimura Ambon.
5.3. Kependudukan dan Lapangan Usaha Tahun 2004 (sesudah pemekaran Kabupaten Kepulauan Aru) jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 144.220 jiwa, laju pertumbuhan penduduk 5,05 %. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi pada tahun 2001 sebesar 6,26 % hal ini terjadi karena datangnya arus pengungsi dari berbagai daerah di Maluku, sebagai akibat konflik horizontal antar kelompok masyarakat di Maluku, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata 1990-2000 sebesar 1,30%. Pada tahun 2006 jumlah penduduk di kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 149.025 jiwa, (BPS Maluku Tenggara, 2004).
Tabel 7 Data jumlah penduduk, sex ratio dan kepadatan penduduk di Kabupaten Maluku Tenggara Kecamatan
Luas (km2)
KB KBS KBUT KK KKT KKB PDS PDU PPTT PPK Jumlah
291.8962 144.7933 112.5818 268.7039 105.1531 93.8421 58.7746 66.5289 70.1536 46.1773 709.3335
Laki-laki
Penduduk Tahun 2006 Jumlah Kepadatan Perempuan (Jiwa) (Org/km2)
12121 4249 5361 18567 5049 2783 12765 6223 3362 2865 73345
13096 4545 5728 18763 5225 2976 12539 6440 3573 2795 75680
25217 8794 11089 37330 10274 5759 25304 12663 6935 5660 149025
86 61 98 139 98 61 431 190 99 123 210
Sex Rasio 0.93 0.93 0.94 0.99 0.97 0.94 1.02 0.97 0.94 1.03 0.97
Sumber : Maluku Tenggara Dalam Angka 2007. Keterangan : KB KBS KBUT KK KKT
: : : : :
Kei Besar Kei Besar Selatan Kei Besar Utara Timur Kei Kecil Kei Kecil Timur
KKB PDS PDU PPTT PPK
: : : : :
Kei Kecil Barat Pulau Dullah Selatan Pulau Dullah Utara Pulau-Pulau Tayando Pulau-Pulau Kur
5.4. Tenaga Kerja dan Struktur Mata Pencaharian Penduduk Angkatan kerja merupakan potensi sumberdaya manusia yang sekaligus mencerminkan ketersediaan tenaga kerja potensial yang siap diikutsertakan dalam proses pembangunan sekarang dan yang akan datang. Gambaran tentang angkatan kerja di Kabupaten Maluku Tenggara menurut lapangan pekerjaan pada tahun 2007 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 8 Presentase penduduk 10 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha utama di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2007 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Gas, Listrik dan Air Kontruksi Perdagangan Transportasi dan Komunikasi Keuangan
Laki – laki (%) 64.42 0.24 1.68 0.48 3.94 3.95 10.61 1.49
Perempuan (%) 70.72 1.38 2.77 1.85
Jumlah 67.57 0.12 1.53 0.24 1.97 3.36 5.30 1.67
Jasa
13.20
23.28
18.24
Sumber: BPS Maluku Tenggara, 2007.
Data ini memperlihatkan bahwa aktivitas penduduk di Kabupaten Maluku Tenggara berkisar pada sektor pertanian, pertambangan dan galian, industri, listrik gas dan air, konstruksi, perdagangan, transportasi dan komunikasi, keuangan, jasa, dan lainya. Aktifitas penduduk dominan pada jenis pekerjaan pertanian yaitu sebesar 67,57%. Disusul sektor jasa sebesar 18,24% kemudian sektor transportasi dan komunikasi sebesar 5,30%. sedangkan sektor yang paling rendah adalah sektor pertambangan dan galian sebesar 0,12%.
5.5.
Pendidikan dan Kesehatan Penduduk Pendidikan merupakan salah unsur terpenting dalam pengembangan suatu
wilayah karena dengan pendidikan dapat menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkulitas. Suatu wilayah walaupun sumber daya alamnya (SDA) melimpah akan tetapi jika tidak terdapat sumber daya manusia (SDM) berkualitas, maka wilayah tersebut akan tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain yang mempunyai SDM yang berkualitas. Dalam konteks pengembangan SDM di wilayah pesisir di Kabupaten Maluku Tenggara, dibutuhkan tenaga pendidik yang berkualitas yang dapat disebarkan ke seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara. Disamping itu diperlukan ketersediaan sarana prasarana pendidikan yang baik pada setiap wilayah kecamatan dan desa sehingga dapat menampung anak usia sekolah di Kabupaten Maluku Tenggara. Untuk pengembangan Maluku Tenggara ke depan maka sangat dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, handal dan berdaya guna pada semua sektor pembangunan. Di bawah ini dapat digambarkan kelulusan murid berdasarkan tingkat pendidikan di Kabupaten Maluku Tenggara. Tabel 9
Jumlah kelulusan murid berdasarkan jenjang pendidikan di Kabupaten Maluku Tenggara 2006/2007
Tahun 2006/2007
Tingkat Pendidikan SD
SLTP
SLTA
PT
3068
2033
1960
601
Sumber : BPS Maluku Tenggara, 2007.
Data diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, maka jumlah kelulusannya semakin berkurang. Hal ini menggambarkan kepada kita bahwa kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan lebih tinggi semakin terbatas, disebabkan karena faktor biaya pendidikan yang semakin mahal.
Kualitas sumber daya manusia Maluku Tenggara masih tergolong rendah dan juga mengalami penurunan drastis akibat langsung dari pertikaian antar kelompok di Maluku Tenggara. Kenyataan menunjukan bahwa rendahnya kualitas sumber daya tersebut terlihat pada aspek-aspek semangat dan kemampuan kewirausahaan, etos kerja, kepercayaan diri, kreativitas, ketrampilan, dan profesionalisme serta penguasaan IPTEK. Taraf pendidikan penduduk Maluku Tenggara walau telah mengalami peningkatan dibanding periode sebelumnya, namun masih tergolong rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indoensia. Disamping keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, penyebarannyapun belum merata keseluruh pelosok Kabupaten. Demikian halnya dengan jumlah, kualitas dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan serta pengembangan manajemen pendidikan yang efektif pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Berkembangnya sekolah-sekolah kejuruan yang sesuai dengan potensi pengembangan daerah belum sepenuhnya memberikan andil bagi penciptaan tenaga-tenaga trampil untuk mengisi kebutuhan ketenagakerjaan di Maluku Tenggara. Sungguhpun telah berkembang 5 (lima) perguruan tinggi swasta dan 1 (satu) politeknik perikanan negeri, namun bidang keilmuan yang diemban di perguruan tinggi tersebut belum mencakup bidang-bidang yang sangat dibutuhkan dalam era teknologi kini dan dimasa akan datang. Berdasarkan data tahun 2004, fasilitas pendidikan yang tersedia sebagai berikut : TK 26 buah, SD 183 buah, SLTP 35 buah, SMA 16 buah dan perguruan tinggi 6 buah.
Daya tampung SD
swasta sebanyak 12.813 murid, sedangkan SD negeri mampu menampung 10.030 siswa. Untuk SLTP jumlah murid yang ditampung swasta 3.789 murid, SLTP negeri 3.734 murid, sehingga murid di sekolah swasta lebih banyak dari pada sekolah negeri, sedangkan di tingkat SLTA daya tampung sekolah negeri lebih besar dari swasta dimana sekolah swasta mampu menampung 2.555 murid dan negeri 3.756 murid (RPJM Malra, 2007).
Rendahnya kualitas sumber daya manusia Maluku Tenggara yang diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM) yang pada tahun 2004 sebesar 68,7 % mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing daerah. Pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan memegang peran penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Masalah utama pembangunan bidang pendidikan adalah masih terbatasnya akses dan pemerataan pendidikan yang berkualitas, antara lain terlihat dari masih belum tercapainya angka partisipasi kasar pada jenjang SD/MI baru mencapai 80,82%, SMP/MTs 74,71% dan SMA/SMK/MA 26,86%. Walaupun angka melek huruf telah mendekati 98%, namun rata-rata lamanya sekolah masih diatas tujuh tahun. Selain itu Maluku Tenggara masih dihadapkan dengan terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, rasio dan penyebaran tenaga guru teristimewa guru bidang studi belum sebanding. Juga masih terlihat dari kesenjangan partisipasi pendidikan antara kelompok masyarakat di perkotaan dan pedesaan, antara penduduk miskin dan penduduk yang sudah mampu. Pendidikan nonformal yang berfungsi sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat, juga belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat (RPJM Malra, 2007). Status kesehatan masyarakat Maluku Tenggara secara umum masih rendah dibandingkan daerah lain di Indonesia, disebabkan belum terselenggaranya akses pelayanan kesehatan secara paripurna. Status kesehatan yang masih rendah tersebut diukur dari angka harapan hidup pada tahun 2004 sekitar 41,2%, angka kematian ibu melahirkan masih 428 per 100.000 kelahiran, angka kematian bayi 31 per 1.000 kelahiran hidup, penyebaran satus
gizi kurang 8,22% dan gizi buruk 1,20%,) dan tingginya
prevalensi ganguang akibat kekuarangan yodium (GAKY), tingginya prevalensi penyakit menular seperti malaria, TB paru, frambusia, pneumonia, vilariasis, HIV/AIDS, kusta, dan lain-lain. Sungguhpun saat ini telah tersedia 17 puskesmas dan jaringannya yaitu 52 puskesmas pembantu dan puskesmas keliling, namun demikian pemerataan dan keterjangkauan pelayanan masih saja dihadapkan dengan kendala biaya dan jarak transportasi. Rendahnya derajat kesehatan tersebut disebabkan juga karena belum terselenggaranya pelayanan kesehatan secara paripurna menyangkut aspek promotif, aspek preventif, aspek kuratif dan aspek rehabilitatif. Demikian halnya dengan ketersediaan tenaga kesehatan, terutama di daerah pedesaan dan terpencil, masih sangat
terbatas. Masalah-masalah ini dipengaruhi juga oleh kondisi geografis Maluku Tenggara yang menjadi faktor penghambat, dan biaya tinggi bagi masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan pada institusi yang tersedia (Dinas Kesehatan Malra, 2007). Rumah sakit umum daerah (RSUD) saat ini telah berfungsi sebagai rumah sakit rujukan, baik untuk pelayanan pasien Maluku Tenggara maupun pasien yang berasal dari daerah lain seperti Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku Tenggara Barat, dan Irian Jaya Barat bagian selatan. Dari jumlah pasien rujukan tahun 2004 sebanyak 4.321 orang, 20 orang diantaranya berasal dari luar daerah Maluku Tenggara, sedangkan yang datang sendiri dari luar daerah untuk berobat ke RSUD sebanyak 182 orang. Selain itu, revitalisasi pelayanan RSUD juga diarahkan untuk pelayanan kesehatan keluarga miskin. Sepanjang tahun 2004 jumlah pasien dari keluarga miskin yang berobat ke RSUD sebanyak 1.022 orang terdiri dari 465 pasien UGD dan 557 pasien rawat jalan. Jumlah pasien keluarga miskin yang berobat menggunakan kartu askeskin tercatat sebanyak 1.505 orang. Sedangkan jumlah pasien keluarga miskin yang menggunakan fasilitas rawat nginap kelas III sebanyak 483 orang dengan jumlah hari 1.952 hari. Fasilitas yang tersedia pada RSUD perlu terus dikembangkan adalah bangunan gedung yang representatif, jumlah dan kualitas tenaga kesehatan yang memadai, dan penyediaan dana operasional yang cukup (Dinas Kesehatan Malra, 2007).
5.6. Ekonomi dan Sumber Daya Alam Produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita Kabupaten Maluku Tenggara atas dasar harga berlaku pada tahun 2000 tercatat sebesar 365.746 juta rupiah, pada tahun 2001 sebesar 425.876,32 juta rupiah. Pada tahun 2002 sebesar 507.878,19 juta rupiah, pada tahun 2003 sebesar 347.401,85 juta rupiah, dan pada tahun 2004 sebesar 386.344,87 juta rupiah. Sedangkan PDRB Kabupaten Maluku Tenggara atas dasar harga konstan pada tahun 2000 sebesar 174.681,70 juta rupiah. Pada tahun 2001 sebesar 183.181,25 juta rupiah, pada tahun 2002 sebesar 123.918,96 juta rupiah. Pada tahun 2003 sebesar 128.054,73 juta rupiah, pada tahun 2004 sebesar 278.999,02 juta rupiah. Pada tahun 2005 sebesar 413.090,07 juta rupiah, dan pada tahun 2006 sebesar 458.370,39 juta rupiah, (BPS Malra, 2007). Tabel 10
PDRB berdasarkan harga konstan dan harga berlaku 2000 – 2006.
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
PDRB Konstan
PDRB Berlaku 174681 183181 123918 128054 278999 413090 456370
365746 425876 507878 347401 386344 413090 458370
Sumber : BPS Maluku Tenggara 2007
600000 500000 400000 (Rp) 300000
PDRB Konstan PDRB Berlaku
200000 100000 0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
Gambar 5 PDRB menurut harga konstan dan harga berlaku tahun 2001-2006 Produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2005 tercatat sebesar 413.090,07 juta rupiah atas dasar harga berlaku yang berarti mengalami kenaikan sekitar 12,15% dari tahun 2004, yang tercatat sebesar 368.344,87 juta rupiah. Hal yang sama juga terjadi pada penghitungan atas dasar harga konstan 2000, dimana pada tahun 2005 tercatat sebesar 288.160,95 juta rupiah, naik 3,28% dari tahun 2004 yang tercatat sebesar 278.999,02 juta rupiah. Bila dilihat dari distrubusi persentase atas dasar harga berlaku ternyata sektor pertanian masih mendominasi perekonomian Kabupaten Maluku Tenggara dengan kontribusinya sebesar 43,59% diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran 31,74%, sektor jasa-jasa 15,48%, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 3,53% sedangkan kontribusi terkecil dari sektor industri pengolahan 0,23%. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Maluku Tenggara selama tahun 2005 sebesar 3,28% yang merupakan interaksi dari tiap-tiap sektor ekonomi sebagai berikut : Sektor Pertanian
: 2,88
Sektor Pertambangan dan Penggalian
: 5,26
Sektor Industri Pengolahan
: 3,26
Sektor Listrik dan Air Bersih
: 6,09
Sektor Bangunan
: 5,55
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
: 3,65
Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
: 4,40
Sektor Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan : 3,27 Sektor Jasa – jasa
: 3,11
Salah satu indikator ekonomi yang digunakan untuk mengukur kemakmuran suatu daerah atau region adalah pendapatan per kapita. Perdapatan per kapita penduduk Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2004 adalah sebesar 2.455.917 rupiah, naik menjadi 2.712.566 rupiah pada tahun 2005 atau terdapat perubahan sebesar 10,45%. Pendapatan per kapita menurut harga konstan 2000 tahun 2004 tercatat sebesar 1.858.839 rupiah naik menjadi 1.878.623 rupiah pada tahun 2005 atau naik sebesar 1,06% (BPS Malra, 2007). Tabel 11 PDRB Kabupaten Maluku Tenggara menurut lapangan usaha utama atas dasar harga konstan tahun 2005/2006 2003 2004 2005 2006 PDRB Pertanian,Peternakan, Kehutanan, Perikanan Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa PDRB
113555.1
116840.
120208.6
124029.
916.88
962.37
1012.99
1067.79
668.91
684.43
706.74
734.87
1671.95
1798.25
1907.7
2017.34
3,159.07
3,335.3
3,520.47
3,759.1
81857.8
86366.8
89516.21
95627.5
8215.74
8902.7
9294.21
10035.5
10773.79
11143.6
11507.8
11918.6
44859.
45863.
47334.
48964.
248.468
257702
268253
278999
Sumber: BPS Maluku Tenggara 2007.
Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Maluku Tenggara sejak tahun 2000 s/d tahun 2007 tercatat rata-rata sebesar 3,89%. Besaran angka pertumbuhan tersebut dibentuk oleh peran sektor-sektor didalamnya. Pada tahun 2005 peranan sektor pertanian rata-rata sebesar 7,01%, pertambangan dan penggalian rata-rata sebesar 3,95%, industri pengolahan rata-rata
3,00%, listrik dan air bersih rata-rata sebesar 7,50%,
bangunan/konstruksi rata-rata 6,80%, perdagangan, hotel dan restoran rata-rata 6,51%,
pengangkutan dan komunikasi rata-rata 4,54 %, keuangan, persewaan dan jasa rata-rata 4,58%, dan jasa-jasa 3,83%. Tabel 12 Persentase lapangan usaha atas dasar harga berlaku & harga konstan Persentase Lapangan Usaha N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
Atas Dasar Harga Berlaku 2003
2004
2005
Atas Dasar Harga Konstan 2003
2004
2005
43.70 0.45 0.24 0.76 1.08 31.12 2.93
42.95 0.45 0.23 0.86 1.13 31.83 3.03
43.59 0.45 0.23 0.89 1.14 31.74 2.94
42.33 0.34 0.25 0.62 1.18 30.55 3.06
41.88 0.34 0.25 0.64 1.20 31.96 3.19
41.72 0.35 0.25 0.66 1.22 31.06 3.23
3.65 16.07
3.59 15.94
3.53 15.48
4.02 17.65
3.99 17.55
3.99 17.52
Sumber: BPS Maluku Tenggara 2007.
Lembaga keuangan bank di Kabupaten Maluku Tenggara sampai dengan tahun 2004 terdiri dari kantor cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan 2 (dua) cabang pembantu, kantor cabang Bank Maluku dengan 1 (satu) cabang pembantu, kantor cabang bank (BPR) Modern, kantor bank (BPR) Artha Graha, dan kantor cabang pembantu BNI. Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga keuangan non bank seperti pegadaian, jasa asuransi, badan usaha kredit dan lain-lain, yang ternyata turut membantu kelancaran kegiatan ekonomi masyarakat. Simpanan masyarakat pada lembaga keungan pada tahun 2000 sebesar Rp. 118.872.259.336,-
terdiri dari giro sebesar Rp. 29.313.503.240,
deposito Rp. 13.259.500.000, dan tabungan sebesar 2004 simpanan masyarakat meningkat menjadi 32,85% per tahun. Dengan rincian giro
Rp. 76.299.256.096. Pada tahun Rp. 332.842.311.544 atau rata-rata Rp. 79.354.409.488, atau meningkat
rata-rata 34,74%, deposito Rp. 71.717.427.000 atau meningkat rata-rata 135,71%, dan tabungan Rp.181.770.475.096 atau meningkat rata-rata 207,06%. Kredit yang disalurkan kepada masyarakat pada tahun 2000 sebesar Rp. 26.080.299.007,43 terdriri dari kredit modal kerja Rp. 6.428.215.319,87 kredit investasi sebesar Rp. 1.417.523.186, dan kredit konsumsi sebesar Rp 18.234.560.501,76. Pada tahun 2004 pemberian kredit kepada masyarakat meningkat menjadi Rp. 99.417.499.528,36 atau rata-rata 41,11% per tahun, terdiri dari kredit modal kerja Rp. 22.116.926.415,68 atau meningkat rata-rata 39,38%,
kredit investasi Rp. 3.419.595.166, atau meningkat rata-rata 2.376,19%, dan kredit konsumsi Rp. 73.880.977.946,68 atau meningkat rata-rata 44,17%. (BPS Malra, 2007). Tabel 13 Simpanan pada bank pemerintah & bank swasta tahun 2006 di Tual BANK
Bulan
Pemerintah (Rp. 000) 323183782 257040783 238003117 237464976 254443691 248425836 246725946 262746723 265339713 267778078 280405461 301545123
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Swasta (Rp. 000) 35206390 28258529 26296325 26049169 23132802 28725193 24215526 75183298 25046491 28284394 28535861 35308097
Sumber: BPS Maluku Tenggara 2007. 350000000 300000000 250000000 200000000 Rp
Pemerintah
150000000
Swasta
100000000 50000000 0 Januari
April
Juli
Oktober
Tahun 2006
Grafik 6 Simpanan pada bank pemerintah & bank swasta tahun 2006 di Tual
Pada tahun 2006, jumlah koperasi di Kabupaten Maluku Tenggara berjumlah 290 unit, dengan simpanan suka rela Rp. 5.197.351.000, sisa hasil usaha Rp. 1.828.175.000 dan volume usaha Rp. 22.165.170.000. Jumlah KUD pada tahun 2006 sebanyak 11 unit, dengan anggota 1.382 orang, simpanan sebesar Rp. 82.920.000. Volume usaha 901.115.000, dan sisa hasil usaha (SHU) sebesar Rp. 79.961.000. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 14 dibawah ini. Pada tahun 2004 jumlah koperasi di Kabupaten Maluku Tenggara berjumlah 242 unit, meliputi koperasi produksi 18 unit, koperasi konsumsi 44 unit, koperasi simpan
pinjam (KSP) 10 unit, koperasi serba usaha (KSU) 170 unit, dengan modal sendiri sebesar Rp. 3.764.700.000, simpanan suka rela Rp. 197.472.000, sisa hasil usaha (SHU) Rp. 647.750.000 dan volume usaha Rp. 4.885.900.000. Selama tahun 2000 s/d tahun 2004 terjadi penambahan koperasi sebesar 59,91%, penambahan jumlah anggota sebesar 42%, jumlah modal sendiri meningkat 36,23% dan peningkatan volume usaha sebesar 60,08%. (BPS Malra, 2007). Tabel 14 Perkembangan KUD dan Koperasi di Kabupaten Maluku Tenggara
Perkembangan KUD dan Koperasi di Kabupaten Maluku Tenggara KUD
Uraian 2004 Jumlah Unit
Koperasi
2005
2006
2003
2004
2005
2006
11
11
11
218
242
250
290
1240
1345
1382
9472
9652
12036
14331
Simpanan
74400000
80700000
82920000
2105700000
3764700
4471800000
5197351000
Cadangan
0
0
0
350721000
54092900
2720604000
0
Dana
0
0
0
128009000
270388000
Volume
715433200
799815500
901115000
15479900000
17177570000
495149000 1884749500 0
Hutang
201101800
256311700
316879000
12717500
13298145000
13995149
0 2216517900 0 1688313946 1
Piutang
89905000
120561000
189101000
1402500000
1633240000
3915220000
6032203000
SHU
38650000
51801000
79961000
554200000
647750000
1219262000
1828175000
Anggota
Sumber: BPS Maluku Tenggara 2007.
Sarana prasarana perdagangan di Kabupaten Maluku Tenggara sampai dengan tahun 2004 terdiri dari pasar pemerintah 5 buah, pasar koperasi 1 buah, toko grosir 4 buah. Jumlah pedagang yang menempati pasar-pasar tersebut sebanyak 314 pedagang, yang dilengkapi dengan kios/lokal 337 unit, los 3 unit, sedangkan jumlah toko/kios/kedai yang berada diluar kompleks pasar-pasar tersebut sebanyak 738 unit. Keadaan harga kebutuhan pokok di Kabupaten Maluku Tenggara sampai dengan tahun 2004 umumnya tidak ada lonjakan harga atau kekurangan stok secara drastis. Kondisi perdagangan antar pulau di Maluku Tenggara saat ini masih dihadapkan dengan terbatasnya sarana prasarana perdagangan, perhubungan dan transportasi yang belum memberikan kontribusi bagi distribuasi orang, barang dan jasa. Pengembangan industri kecil dan menengah masih terbatas terutama dalam rangka pengembangan industri pengolahan yang berbasis pada pertanian, kelautan dan perikanan serta sektor lainnya. Sampai dengan tahun 2005 jumlah dan jenis industri terdiri dari aneka industri tercatat 68 perusahaan dengan investasi sebesar
Rp.1.182.966.000, industri mesin logam dan kimia 56 perusahaan dengan total investasi sebesar Rp.764.083.000, dan industri hasil pertanian dan kehutanan 27 perusahaan dengan total investasi 180.363.000. (BPS Malra, 2007). Potensi sumberdaya alam (SDA) yang dimiliki Kabupaten Maluku Tenggara cukup besar, dan dapat dikelompokan ke dalam; (a) sumberdaya lahan, (b) sumberdaya air, (c) sumberdaya tambang, (d) sumberdaya hutan. Potensi tersebut belum dikelola secara optimal, bahkan terhadap potensi yang telah dikelola belum menerapkan prinsipprinsip keterpaduan dan keberlanjutan, sehingga sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Perairan Maluku Tenggara terletak tepat diatas garis Wallacea yang merupakan batas pertemuan antara paparan sunda di sebelah barat dan paparan sahul disebelah timur. Garis ini identik dengan tepi timur paparan sunda yang merupakan batas tenggara dari flora dan fauna Asia, sedangkan tepi barat paparan sahul merupakan tepi barat laut dari flora dan fauna Australia, sehingga memungkinkan kehidupan biota-biota Australia dan Indo Pasifik di wilayah Maluku Tenggara. Untuk itu, maka pembangunan bidang sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup di Kabupaten Maluku Tenggara perlu diarahkan pada optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan SDA dengan menggunakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan keterpaduan sektoral dan ekologi, yang diikuti dengan penegakan hukum dan hak-hak rakyat secara partisipatif agar dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial secara adil dan berkesinambungan bagi masyarakat dan mendukung terselenggaranya pembangunan daerah
serta
pengendalian dampak lingkungan. Sektor pertanian sebagai pemberi kontribusi terbesar perekonomian daerah patut mendapat perhatian khusus. Selain dapat menjadi sarana penyerapan tenaga kerja, peningkatan produksi pertanian akan mendukung upaya menciptakan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi serta produktifitas yang berkesinambungan. Secara ratarata produksi tanaman pangan mengalami peningkatan, dimana yang terbesar adalah komoditi ubi kayu dari 24.384 ton pada tahun 2004 dengan luas panen 2.032 hektar menjadi 24.480 hektar pada tahun 2005 dengan luas panen meningkat menjadi 2.040 hektar. Sedangkan untuk tanaman pangan lainnya rata-rata mengalami kenaikan produksi namun tidak diiringi dengan kenaikan produktifitas, bahkan terjadi penurunan produktifitas. Hal ini perlu dilakukan upaya intensif agar peningkatan produksi juga
diiringi dengan peningkatan produktifitas sehingga dapat diupayakan suplai kebutuhan bahan makanan pokok yang berasal dari Kabupaten Maluku Tenggara. Produksi komoditi pertanian lainnya seperti padi ladang pada tahun 2005 sebesar 238 ton dengan luas panen 110 hektar, produksi jagung sebesar 1.364 ton dengan luas panen 682 hektar, produksi kacang tanah sebesar 320 ton dengan luas panen 160 hektar, produksi kedelai sebesar 398 ton, dengan luas panen 297 hektar. Untuk sub sektor perkebunan komoditi yang diusahakan masyarakat adalah kelapa. Perkembangan produksi komoditi unggulan seperti kelapa pada tahun 2004 sebesar 8.109 ton pada luas areal 18.775 Ha. Produksi kelapa yang terus menurun karena umumnya sudah tua sedangkan sedikit sekali upaya peremajaan. Pada tahun 2003 juga terjadi penyerangan hama aspodiotus dektruktor sehingga menyebabkan produksi kelapa terus menurun. Selanjutnya sub sektor peternakan dapat digambarkan bahwa jenis ternak yang dibudidayakan antara lain sapi, kambing, dan ayam selama kurun waktu tiga tahun terakhir. Ternak sapi mengalami penurunan jumlah populasi sebesar 31,47 % atau turun dari 734 ekor pada tahun 2004 menjadi 231 ekor pada tahun 2005, kondisi yang sama juga tejadi pada jumlah populasi ternak lainnya seperti kambing sebagai akibat dari kurang berminatnya masyarakat terhadap jenis ternak tersebut karena rentan terhadap penyakit serta tingginya harga pakan. Jumlah populasi kambing pada tahun 2004 sebanyak 14.418 ekor dan pada tahun 2005 sebanyak 1.150 atau mengalami penurunan sebesar 61,23. Maluku Tenggara masih memiliki kawasan hutan dengan luas sekitar 71.785 ha. Jumlah tersebut menurut fungsi terdiri dari hutan lindung seluas 30.075 ha, hutan produksi seluas 6.792 ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 34.918 ha. Produksi hasil hutan terutama adalah kayu yaitu jenis kayu matoa, kenari, kayu besi, bintanggur, linggua. Luas lahan kritis sebesar 67.371,7 ha atau sekitar 93,85 % yang tersebar di DAS Kei Kecil (dalam kawasan 11.299,7 ha dan luar kawasan 10.476,4 ha), DAS Kei Besar (dalam kawasan 16.831,8 ha dan luar kawasan 22.757.2 ha) dan DAS Tam Tayando (dalam kawasan 3.117,7 5 dan luar kawasan 2.889,9 ha. Sasaran rehabilitasi lahan kritis 2004-2008 adalah 37.000 ha baik melalui gerakan rehabilitasi lahan kritis, gerakan nasional rehabilitasi lahan dan Hutan (GN-RHL), atau melalui
kegiatan swadaya masyarakat,
ini berarti rata-rata 7.200 ha/tahun, tetapi jika
dibandingkan dengan kemampuan realisasi rehabilitasi lahan setiap tahun yang hanya sekitar 5.000 ha berarti terjadi kesenjangan sebesar 2.200 ha/tahun. Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Maluku Tenggara terdiri dari pulau-pulau kecil. Biofisik pulau-pilai kecil, menunjukan karakter tangkapan air yang terbatas dan sumber/cadangan air tawar yang sangat terbatas, sehingga rentan terhadap kekeringan, ataupun tekanan dari pengaruh eksternal baik alami maupun kegiatan manusia. Kelangkaan air tawar dan air tanah pada pulau-pulau kecil dapat dipahami karena kecilnya daerah tangkapan air hujan dan struktur geologi yang kurang mendukung. Keterbatasan ini membawa konsekuensi terhadap lambatnya perkembangan aglomerasi penduduk dan menjadi kendala bagi usaha ekonomi berskala besar. Selain itu gejala pemanasan global, yang berpengaruh bagi kenaikan permukaan laut telah mengakibatkan terjadinya abrasi pantai sepanjang tahun terutama pada musim-musim ombak, sementara program-program mitigasi bencana masih berjalan sangat lambat. (RPJM Malra, 2007).
5.7. Sosial Budaya dan Politik Masyarakat Maluku Tenggara pada hakekatnya adalah masyarakat religius kultural yang sejak masa penjajahan, awal kemerdekaan hingga berakhirnya orde lama (ORLA), hidup dalam hubungan-hubungan sosial yang sangat harmonis, karena kekuatan lembaga-lembaga adat yang berfungsi sebagai katup pengaman mampu mendekatkan jarak sosial antar masyarakat. Kearifan nilai-nilai budaya lokal seperti hukum adat “ larvul ngabal (darah merah dan tombak bali) “ serta landasan spirit seperti “ ain ni ain (memiliki ikatan kekeluargaan)“ dan “vuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur (semuah dari satu keturunan)’ telah mampu memberikan stabilitas bagi kehidupan dan harmoni sosial orang Maluku Tenggara. Ketika orde baru (ORBA), terjadi pergeseran paradigma pembangunan bangsa yang berdampak pula bagi kehidupan orang Maluku Tenggara, karena mulai terjadi penguatan pada ikatan-ikatan budaya universal dan melamahnya ikatan-ikatan budaya lokal. Dalam era ini stabilitas sosial yang menjamin tertibnya kehidupan masyarakat dicapai semata karena pendekatan keamanan yang sangat kuat. Degradasi tatanan sosial dan adat Maluku Tenggara mulai berlangsung secara drastis ketika terjadi pertikaian antar kelompok di Provinsi Maluku pada tahun 1999,
yang merupakan tragedi kemanusiaan bagi bangsa dan negara, terutama masyarakat di Maluku. Pertikaian tersebut sempat terjadi pula di Maluku Tenggara, tetapi pertikaian tersebut paling cepat dapat dipulihkan dibandingkan daerah lain di Maluku. Pemulihan tersebut dapat lebih cepat terjadi karena dialog dan pendekatan-pendekatan religius kultural dengan intensitas yang tinggi berlangsung di Maluku Tenggara, disertai dengan keinginan yang kuat dari masayarakat untuk kembali merevitalisasi fungsi institusi dan nilai-nilai kearifan budaya lokal. Serta adanya bahasa Kei sebagai bahasa komunikasi masyarakat adat yang dapat mempertemukan kelompok-kelompok masyarakat. Dari proses pemulihan tersebut maka secara bertahap dapat dikikis prasangka sosial, segregasi fisik yang membuat jarak dalam interaksi kelompok, serta sentimen dan solidaritas kelompok yang sempit berbasis agama. Taraf kesejahteraan sosial sungguhpun telah meningkat dibanding dasawarsa sebelumnya sejalan dengan keberhasilan-keberhasilan pembangunan daerah, namun upaya-upaya pemberdayaan dan perlindungan sosial bagi masyarakat yang rentan dan penyandang masalah sosial masih perlu terus dilakukan secara lebih terarah dan simultan. Permasalahan kesejahteraan sosial sebagian besar dipengaruhi oleh faktor-faktor rendahnya tingkat pendidikan, keterisolasian dan keterbelakangan, rendahnya kesadaran masyarakat tentang penanganan penyandang masalah sosial dan lain-lain. Kekayaan alam dan keanekaragaman budaya dalam pembangunan kapariwisataan dikembangkan untuk kegiatan wisata alam, wisata budaya dan wisata minat. Wisata alam meliputi kawasan pantai Ngurbloat, Pantai Ohililir, Pantai Difur, Pantai Nam Indah, Desa Disuk, dan lain-lain. Wisata budaya meliputi kawasan wisata Desa Adat dan Budaya (Desa Tanimbar Kei, Desa Banda Elly), Situs Sejarah Desa Wain, Cagar Budaya seperti tulisan/gambar kuno di Desa Ohoidertavun, selain upacara adat dan festival tarian-tarian adat seperti sosoi, sawat, tiva, dan lain-lain. Wisata minat khusus meliputi kegiatan selam (diving), wisata desa perikanan, lokasi industri perikanan, lokasi budi daya perikanan, lokasi pembibitan dan budi daya mutiara, dan lain-lain. Sarana pendukung pariwisata yang telah ada adalah hotel berbintang tiga, hotel non bintang, penginapan, restoran, rumah makan, dan biro/agen perjalanan (RPJM Malra, 2007). Di Kabupaten Maluku Tenggata terdapat beranekaragam seni sebagai perwujudan dari hasil cipta, rasa, karsa dan karya masyarakat secara turun temurun, meliputi seni tari
yang terhimpun dalam 8 sanggar budaya, seni musik (kelompok vocal group dan kelompok paduan suara), dan kelompok-kelompok seni pertujukan dan non pertunjukan. Upacara adat yang masih lestari dan terjaga sebanyak 4 macam, tradisi budaya berupa peristiwa-peristiwa inisiasi yang berhubungan dengan siklus kehidupan manusia sebanyak 4 macam. Selain itu peninggalan sejarah dan purbakala ada di 8 tempat, makam/tempat ziarah 4 buah, dan benda-benda cagar budaya. Jumlah kunjungan wisatawan nusantara pada tahun 2004 tercatat sebanyak 120 orang, dan wisatawan manca negara sebanyak 7.101 orang. Semangat reformasi dan demokrasi yang sedang bergulir dan semakin menguat di tengah masyarakat, serta perlakuan otonomi daerah sebagai paradigma baru penyelanggaraan pemerintahan adalah momentum yang tepat untuk pembangunan kapasitas kelembagaan politik di daerah, pada gilirannya diharapkan dapat tercipta pengembangan kapasitas kelembagaan masyarakat yang demokratis serta dapat memberikan ruang yang luas bagi perwujudan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan guna menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Berkenan dengan partisipasi politik rakyat, kesadaran politik masyarakat telah ditunjukan pada pemilu 2004 yang diikuti oleh 96,2% pemilih. Penguatan demokrasi di tingkat lokal harus dapat dilaksanakan melalui fungsi-fungsi pendidikan politik, sosialisasi politik, perumusan dan penyaluran aspirasi, serta komunikasi politik, karena secara riil akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat, merekatkan berbagai kelompok dan golongan dalam masyarakat, menopang integritas dan persatuan bangsa, mewujudkan keadilan, menegakan hukum, menghormati hak-hak asasi manusia, serta menjamin terciptanya stabilitas keamanan. Penguatan demokrasi lokal juga akan memberikan dampak positif bagi pengelolaan dan penyelengaraan pemerintahan daerah. Dengan cara seperti ini demokrasi akan lebih cepat meresap kebawah dan dirasakan secara konkrit oleh masyarakat, sehingga proses demokratisasi akan lebih mengakar dan terlembagakan secara horisontal di tengah masyarakat, sekaligus diharapkan dapat mengikis demokrasi yang bersifat elitis. Meskipun masyarakat di kawasan ini memiliki mata pencaharian sebagai petani dan nelayan, tetapi dari segi sosial budaya, tidak ditemukan lagi praktek ritual adat yang berkaitan dengan pembukaan kebun baru maupun kegiatan melaut. Sedangkan upacara
adat yang kini masih dipertahankan adalah perkawinan. Upacara perkawinan secara adat dikepulauan Kei Kecil selalu melibatkan kerabat luas. Manifestasi keterlibatan ini baik berbentuk tenaga maupun konstribusi uang dan barang. Dalam konteks perkawinan (dan lain-lain urusan marga), Kepala marga (fam) mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bahkan peranan kepala marga ini merupakan representasi klen dan lazim mewakili klennya baik dalam rangka urusan internal klen maupun dengan kalangan diluar kerabatnya. Itulah sebabnya dalam kehidupan kerabat, kepala marga/fam dapat dikatakan merupakan “perekat” yang berfungsi menjaga keutuhan kehidupan klen baik terhadap ancaman yang datang dari dalam maupun yang dari luar. (Unpatti dan DPK PROPMA, 2004) Demikian halnya dengan upacara sasi, walaupun praktek upacaranya telah banyak mengalami perubahan, tapi hingga kini masih dipraktekkan. Di kawasan ini, sasi dilakukan baik di darat maupun di laut. Tidak semua desa yang mempraktekkan kedua sasi ini, meskipun seperti yang diinformasikan masyarakat, pada masa lalu kedua jenis sasi ini dilakukan secara teratur. Sasi darat biasanya diperuntukan bagi pohon kelapa, cengkih dan pala selama 3 sampai 6 bulan; sementara sasi laut dimaksudkan untuk lola dan teripang (termasuk ikan) rata-rata selama 1-2 tahun. Dalam praktek, pelaksanaan sasi di berbagai desa relatif berbeda-beda, tergantung dari komunitas yang berkelompok menurut agama yang dianut. Pada kelompok masyarakat Islam dan sebagian besar masyarakat Khatolik, sasi hanya dilakukan oleh pemerintah desa dan disebut pula sebagai sasi negeri, sedangkan pada kelompok Protestan, sasi memang dilakukan pula oleh pemerintah desa, tetapi secara bersama-sama dengan pendeta dan disebut sebagai sasi gereja. Praktek sasi untuk penganut Katolik maupun Protestan selalu diawali dengan doa yang diselenggarakan di gereja masingmasing. Dibanding dengan sasi darat yang jarang dilakukan lagi oleh sebagian besar masyarakat desa, maka sasi laut berlaku untuk semua desa. Akan tetapi, jika dilihat per Kecamatan, sasi laut di Kei Besar lebih intensif dan kontinyu dilakukan dibandingkan dengan Kei Kecil. Kenyataan ini dipahami mengingat potensi lola di Kei Besar terutama di pesisir Timur pulau tersedia dalam jumlah yang cukup banyak. Sementara jarang dilakukannya sasi darat, sangat mungkin berkaitan dengan menurunnya produksi kelapa
yang tersedia saat ini sebagai akibat tidak dilakukannya peremajaan. Menurut informasi dari beberapa desa tertentu yang penduduknya heterogen dari segi
agama, dapat
diketahui pula bahwa jika sasi gereja sedang diberlakukan, maka penduduk yang beragama Islam dapat dibenarkan memanfaatkan satu atau dua buah kelapa untuk kebutuhan makan (bila ada yang jatuh), tidak dibenarkan untuk mengambil lebih dari kebutuhan. Dalam aktivitas sasi laut, setelah sasi dibuka semua anggota masyarakat diberikan kesempatan untuk menyelam dan mengambil lola dan teripang sebanyakbanyaknya sesuai kemampuan masing-masing orang. Hasil ini merupakan hak pribadi, sedangkan desa biasanya akan memperoleh kontribusi dari pembeli atau pedagang pengumpul yang datang membeli hasil laut tersebut dari desa. Barbeda halnya jika sasi yang dilaksanakan telah dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas umum desa. Ini berarti bahwa, seluruh masyarakat tidak diperkenankan untuk mengambil seluruh hasil eksploitasi laut, tetapi sebagian besar diwajibkan untuk disumbangkan bagi kebutuhan desa tersebut. Selanjutnya, salah satu lembaga kemasyarakatan yang mempunyai kedudukan dan peran penting serta strategis dalam masyarakat adalah lembaga keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa desa-desa di kawasan Kei ada yang hanya didiami penganut agama tertentu, tetapi ada pula yang lebih dari satu penganut agama yang mendiami suatu teritori desa yang sama. Walaupun tingkat heterogenitas dalam aspek kehidupan keagamaan dapat dikatakan cukup tinggi, tetapi hingga saat ini tidak pernah terjadi konflik secara terbuka (manifest) antar penganut agama dalam satu desa maupun dengan desa lainnya. Bahkan dalam pelaksanaan sasi misalnya, ada penduduk penganut agama Islam yang memintakan sasi gereja untuk dilaksanakan di kebun atau dusun miliknya. Kehadiran lembaga keagamaan baik Islam, Katolik maupun Protestan di kawasan Kei telah membawa pengaruh perubahan yang cukup besar dalam tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat, meskipun tingkat perubahannya relatif berbeda dari satu desa dibandingkan dengan desa lainnya. Salah satu contoh seperti yang telah dibicarakan sebelumnya adalah keterlibatan lembaga ini dalam pelaksanaan sasi. Imam/Ustad (Islam), Pendeta (Protestan), dan Pastor (Katolik), selalu memainkan peranan penting tidak saja dalam aspek keagamaan, tetapi terlibat juga dalam pembangunan desa pada umumnya.
Hal ini terlihat dari keanggotaan mereka dalam lembaga musyawarah desa (LMD), dan lain-lain yang membutuhkan kontribusi pikir dan saran mereka. Disamping lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan desa pun mempunyai kedudukan dan peranan penting, terutama figur kepala desa. Walaupun UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa telah diimplementasikan secara merata di kawasan ini, tetapi kepala desa masih dipilih dari klen yang dianggap memiliki hak untuk itu. Dengan demikian, umumnya status kepemimpinan masih diperoleh secara ascribed (herediter) berdasarkan legitimasi adat. (Universitas Pattimura Ambon dan DKP Propinsi Maluku, 2004).
5.8. Permukiman, Sarana dan Prasarana Pusat pemukiman di Kepulauan Kei Kecil terkonsentrasi pada pusat-pusat utama di wilayah ini, seperti: Tual, Fidatan, Watdek, Langgur, Kecamatan Kei Kecil Timur yaitu pada wilayah pesisir Wain sampai dengan Danar, dan sebelah barat terkonsentrasi dari Dian Darat sampai Ohoidertutu. Sedangkan distribusi pemukiman yang lain (tidak padat) menyebar pada hampir sebagian besar pesisir Utara pulau Kei Kecil dan pulaupulau Kecil di bagian Barat kepulauan Kei Kecil. Luasan pemukiman di wilayah kepulauan Kei kecil adalah sebesar 3.243 Ha. Distribusi pemukiman di pulau Kei Besar terkonsentrasi pada seluruh wilayah pesisir, meskipun terdapat beberapa desa di tengah-tengah pulau atau jauh dari pantai. Di Pulau Kei Besar terdapat 3 kecamatan yaitu Kecamatan Kei Besar, Kecamatan Kei Besar Selatan dan Kecamatan Kei Besar Utara Timur. Luasan pemukiman di wilayah ini sebesar 1.350 Ha. Sementara di wilayah kepulauan Kur dan Tayando terdapat 2 kecamatan. Di Tayando pemukiman terkonsentari pada 3 pulau dengan luas permukiman sebesar 305,9 Ha. Di Kepulauan Kur pemukiman terdistribusi dalam pola yang jarang di beberapa pulau utama seperti Pulau Namsar, Pulau Buih, Pulau Tengah, Pulau Kamear dan Pulau Mangur. Luasan pemukiman di Kepulauan Kur dan Mangur sebesar 97,8 Ha. Kondisi perumahan di wilayah Kei Besar Bagian Utara Barat dan Utara Timur masih banyak di jumpai perumahan yang sangat sederhana, hal ini disebabkan karena sarana transportasi ke wilayah tersebut sangat terbatas, belum ada transportasi darat yang dapat menghubungkan Kota Kecamatan dengan desa-desa di wilayah tersebut, sementara transportasi laut jarang sekali dijumpai. Sementara wilayah tengah dan selatan Pulau Kei
Besar sudah jarang dijumpai rumah-rumah sangat sederhana karena masalah transportasi tidak menjadi hambatan lagi antar kota kabupaten dan desa. Juga karena wilayah tengah dan selatan Kei Besar akibat konflik yang terjadi pada beberapa waktu lalu, sehingga mereka mendapat bantuan dari pemerintah untuk pembangunan kembali perumahan mereka yang telah terbakar saat itu. Untuk perhubungan dan transportasi dengan kondisi fisik geografis daerah berupa kepulauan, maka transportasi laut merupakan transportasi utama yang melayani pergerakan orang dan barang terutama untuk pemasaran hasil produksi, baik itu untuk pergerakan dari wilayah Kabupaten Maluku Tenggara ke wilayah lainnya maupun antar wilayah (Kecamatan) di Kabupaten Maluku Tenggara. Untuk pergerakan dari wilayah Kabupaten Maluku Tenggara ke wilayah lainnya maupun pergerakan antara kota-kota yang ada di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara dilayani oleh jasa pelayaran dari kapal nusantara (PELNI), perintis, kapal Feri milik ASDP, dan kapal pelayaran rakyat (Pelra) yang dikelola oleh swasta maupun perseorangan, dan kapal pelayaran angkutan barang. Rute pelayaran kapal yang melayani pergerakan penduduk di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara sebagai berikut : (a). rute pelayaran kapal PELNI yang menghubungkan kotakota di Timur Indonesia dengan bagian Barat Indonesia, dan rute Sulawesi Utara-Irian Jaya Barat Bagian Timur-Maluku Tenggara-Kepulauan Aru dan Irian jaya Barat bagian selatan, (b). rute pelayaran perintis yang beroperasi untuk jalur Ambon - Banda – Tual ke Maluku Tenggara Barat, (c) pelayaran rakyat yang beroperasi untuk transportasi antar pulau, (d) pelayaran kapal barang dari Surabaya ke Tual mengangkut barang-barang dagangan pulang-pergi. Prasarana pelabuhan/dermaga di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara tedapat di Tual (ibukota Kabupaten), Elat, dan Kur yang merupakan pelabuhanpelabuhan yang fasilitasnya sangat menunjang karena konstruksinya telah permanen (konstruksi beton). Pengembangan fungsi dan daya tampung dermaga Tual akan diarahkan tidak saja sebagai pelabuhan penumpang, akan tetapi juga sebagai pelabuhan barang sebagai uotlet pemasaran produk daerah Kabupaten Maluku Tenggara. Pelabuhan Tual peranannya akan diarahkan sebagai pelabuhan regional/nasional (ekspor) dengan peningkatan kualitas sarana dan prasarana untuk menunjang pengembangan sektor-sektor strategis kabupaten seperti perikanan, pertanian dan sebagainya. Selain itu perlu
dikembangkan pelabuhan-pelabuhan lokal atau pelabuhan penyeberangan di setiap kota kecamatan antara lain di Rumat, Ohoira, Tayando dan Weduar. Sarana transportasi udara sangat berperan penting bagi pengembangan wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, terutama dalam hubungan antar wilayah yang membutuhkan perpindahan orang dan barang dalam waktu singkat. Saat ini kondisi lapangan terbang Dumatubun Langgur (Bandara Kelas IV) milik TNI AU sudah tidak dapat dikembangkan untuk melayani penerbangan dengan menggunakan pesawat terbang berbadan lebar. Sarana perhubungan udara yang melayani penerbangan dari dan ke Kota Tual selama ini adalah pesawat jenis CASA milik merpati dengan rute penerbangan Ambon – Tual – Dobo PP yang frekwensinya dua kali seminggu, sedangkan Tual – Ambon PP enam kali seminggu dilayani oleh pesawat jenis Dash 8 seri 300 Wings Air dan ATR 32 Trigana Air. Jika dilihat perkembangan frekwensi dan jumlah penumpang, maka Kabupaten Maluku Tenggara sudah harus membangun lapangan terbang baru di Tual untuk mengantisipasi ledakan arus penumpang dan kebutuhan penerbangan Tual – Ambon – Papua (Sorong, Timika, Kaimana), Tual – Ambon – Maluku Utara (Sanana, Ternate) – Sulawesai Utara (Menado), Tual – Dobo -Saumlaki – Kisar - Kupang – NTB – Bali, yang berprospek untuk masa yang akan datang. Sehubungan dengan itu Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah melakukan studi kelayakan penentuan lokasi, dan Pemerintah Daerah telah membiayai penyusunan rencana induk LAPTER serta rencana terinci sisi darat dan rencana terinci sisi udara di Desa Ibra Kecamatan
Kei
Kecil.
Bandara
baru
tersebut
diharapkan
sebagai
Bandara
Nasional/Internasional untuk menggantikan Bandar Udara Kelas IV di Langgur. Untuk peningkatan dan pengembangan perhubungan darat, maka pembangunan dan pengembangan prasarana jalan dan jembatan, serta pengembangan jasa termasuk sarana prasarana pelayaran penyemberangan perlu terus ditingkatkan. Moda angkutan darat yang beroperasi untuk melayani kebutuhan pengangkutan barang dan orang di Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2004 terdiri dari bus sebanyak 18 unit, mini bus 430 unit, truk 43 unit dan lain-lain 1.842 unit. Sedangkan pelayaran angkutan penyeberangan, saat ini berfungsi kapal feri milik ASPD yang melayari rute dari Tual ke Kabupaten Kepulauan Aru dan Maluku Tenggara Barat, dan masih dibutuhkan untuk melayari rute kecamatan di Maluku Tenggara seperti Kecamatan Kur dan Kec Kei Besar.
Untuk meningkatkan layanan transportasi yang efisien dan efektif bagi masyarakat maka masih diperlukan pengembangan suatu sistem transportasi lokal yang terintegrasi antara moda udara, darat dan laut dalam suatu tatanan transfortasi lokal yang handal. Kondisi sarana dan prasarana jalan dan jembatan yang ada di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara jika dilihat dari jaringannya yang menghubungkan dari pusat permukiman penduduk dengan wilayah-wilayah pertumbuhan masih sangat minim. Dengan kata lain, belum semua pusat-pusat permukiman pedesaan yang berada di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara terhubung dengan baik oleh jaringan jalan. Pada tahun 2004 jaringan jalan di Kabupaten Maluku Tenggara yang telah dibangun adalah sepanjang 1.885 km terdiri dari jalan Provinsi 144,10 km dengan jenis permukaan aspal, dalam kondisi baik 41,65 km, sedang 16,50 km dan rusak ringan 85,95 km. Jalan kabupaten 1.710,67 km dengan jenis permukaan aspal 431,78 km dimana dalam kondisi baik 41,23 km, sedang 87,07 km, rusak berat 1.582,37 km. Sedangkan jalan jenis permukaan tanah 1.238,70 km. Dalam rangka Kabupaten
Maluku
Tenggara
pengembangan jaringan jalan di mencakup
pembangunan/
pengembangan/perbaikan/peningkatan jaringan jalan kabupaten yang bertujuan untuk mempermudah hubungan antara ibukota kabupaten dan kecamatan serta antara kecamatan dan desa terlebih dalam rangka membuka akses ke wilayah-wilayah terpencil yang terisolasi maupun untuk menunjang terbentuknya sentra-sentra produksi, maka prioritas jaringan jalan yang akan dibangun/dikembangkan adalah ruas jalan Bombai - Ad, Ngurdu - Hollat, Hollat - Ohoiraut termasuk ruas jalan Lingkar Pulau Kei Besar, ruas jalan di Kecamatan Kepulauan dan dalam kota kecamatan serta peningkatan jalan dalam ibukota kabupaten (RPJM Maluku Tenggara, 2007). Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan pembangunan sarana prasarana permukiman akan terus bertambah. Masih banyak penduduk perkotaan dan pedesaan yang belum memiliki rumah apalagi rumah yang sehat. Penyediaan air minum juga belum mengalami kemajuan yang berarti baik di kota maupun pedesaan. Sebagian desa teristimewa desa-desa di pulau-pulau kecil masih sering mengalami krisis air bersih dimusim panas. Selain itu penyediaan pasilitas permukiman di kota maupun pedesaan juga masih terbatas. Di perkotaan walaupun pembangunan bidang permukiman telah diarahkan antara lain pada pembangunan fasilitas perkotaan berupa penerangan jalan,
draenase, serta pada desa-desa pesisir yang terancam abrasi pantai pembangunan talut pengaman pantai perlu terus dilanjutkan. Pelayanan sarana prasarana air bersih telah dilakukan oleh PDAM milik Pemda dengan jumlah produksi air bersih dari sumber mata air Evu sebesar 375.048 M3 liter per detik, jumlah pelanggan pada tahun 2004 sebanyak 2.021 pelanggang sambungan rumah (SR) yang berarti cakupan pelayanan PDAM Tual mencapai 1,40% dari jumlah penduduk. Selain itu telah dikembangkan sarana prasarana air bersih di Kecamatan Kei Kecil Timur dari sumber mata air di Wain/Samawi, Kecamatan Dullah Utara dari sumber mata air Danau Ngadi. Pelayanan energi listrik di Kabupaten Maluku Tenggara di layani oleh PT. PLN (perusahan listrik negara) cabang Tual yang bersumber pada unit-unit PT. PLTD yang terdapat di Kota Tual, Elat dan di Tubyal. Wilayah pelayanan dan unit PT. PLTD Tual meliputi Kota Tual, Kecamatan Kei Kecil, Kei Kecil Timur dan sebagian Kecamatan Kei Kecil Barat. Unit PLTD Elat melayani Kecamatan Kecamatan Kei Besar, sebagian Kecamatan Kei Besar Selatan, dan sebagian Kecamatan Kei Besar Utara Timur. Sedangkan kecamatan yang belum terlayani oleh listrik PLN yaitu Kecamatan Tayando Tam, sebagian Kecamatan Kei Besar Utara Timur, sebagian Kei Besar Selatan, sebagain Kecamatan Kei Besar dan sebagian besar Desa-desa di pulau-pulau kecil dan terpencil. Masyarakat pada wilayah-wilayah tersebut umumnya menggunakan sumber energi non PLN yang disediakan sendiri, sedangkan sebagiannya belum menikmati layanan listrik. Pelayanan kelistrikan di Kabupaten Maluku Tenggara yang disediakan PT. PLN Cabang Tual (PLTD) untuk melayani kebutuhan masyarakat seperti tersebut diatas sebagai berikut, jumlah mesin sebanyak 21 unit dengan kapasitas terpasang 15,256 KW dengan daya mampu 6.900 KW. Jumlah pelanggan sebanyak 16.062 pelanggan. Kebutuhan tenaga listrik untuk waktu-waktu mendatang diperkirakan akan terus bertambah, (RPJM Malra, 2007). Sarana telekomunikasi di Kabupaten Maluku Tenggara dilayani oleh kantor daerah telekomunikasi Tual dan kantor cabang Elat Kecamatan Kei Besar. Selain itu terdapat pelayanan telepson seluler di kota Tual dan sekitarnya.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Keragaan Perikanan Tangkap di Wilayah Maluku Tenggara 6.1.1. Potensi Sumber Daya Ikan Kabupaten Maluku Tenggara memiliki garis pantai yang sangat panjang, dibentuk oleh ratusan pulau-pulau kecil, dan diantaranya terdapat selat-selat sempit dan dangkal, berada diantara kawasan Laut Banda dan Laut Arafura. Sesuai hasil pemetaan wilayah pengelolaan sumberdaya perikanan oleh KOMNAS Pengkajian Stock 1998, Kabupaten Maluku Tenggara berada pada 2 (dua) wilayah pengelolaan yaitu Wilayah V (Laut
Banda) yang memiliki potensi sebesar 248.400 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 198.700 ton/tahun. Wilayah VI (Laut Arafura) yang memiliki potensi sebesar 793.100 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 633.600 ton/tahun. Pada tahun 2001, Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseonologi LIPI melakukan pengkajian terhadap stok ikan di Indonesia, termasuk Laut Maluku. Untuk Laut Banda hasilnya adalah 248.400 ton/tahun. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 15. Wilayah WPP Laut Arafura, hasil pengkajian stok yang dilakukan menunjukan adanya ketersediaan potensi sumber daya ikan sebesar 771.550 ton/tahun, hal ini tergambar pada tabel 15. Bila dibandingkan antara hasil produksi penangkapan tahun 2007 sebesar 160.784,9 ton dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) pada Wilayah V dan VI sebesar 832.300 ton/tahun, maka hasil produksi penangkapan baru mencapai 19,31%. Ini berarti bahwa Maluku Tenggara masih memiliki peluang produksi (penangkapan) sebesar 80,69% dari JTB atau sebanyak 671.515,1 ton yang belum termanfaatkan pada tahun 2007. Namun karena Laut Banda dan Laut Arafura merupakan wilayah tangkapan ikan dari Propinsi Maluku yang meliputi beberapa kabupaten, serta Propinsi Papua, ditambah lagi dengan perikanan illegal dan perikanan yang tidak dilaporkan serta tangkapan dari nelayan lokal, maka dapat dipastikan sudah terjadi over fishing di daerah ini. Hal ini sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseonologi LIPI,
bahwa Laut Banda telah terjadi over fishing pada jenis ikan pelagis kecil, ikan demersal dan cumi. Jenis yang masih boleh dilakukan penangkapan yaitu pelagis besar. Untuk Laut Arafura jenis yang masih boleh ditangkap adalah pelagis kecil sedangkan jenis lainya telah mengalami over fishing. Dibawah ini dapat disajikan potensi perikanan serta jumlah tangkapan yang dibolehkan pada Laut Banda dan Laut Arafura. Tabel 15 Potensi perikanan serta jumlah tangkapan yang dibolehkan pada Laut Banda dan Laut Arafura. No 1
Jenis Ikan Pelagis besar Tuna
Laut Banda Potensi JTB (Ton) (Ton)
Laut Arafura Potensi JTB (Ton) (Ton)
104.100 21.200.
83.300. 17.000.
38.000.
30.700.
Cakalang
4.500.
3.600.
Tongkol
22.200.
17.000.
Tenggiri
17.800
14.200
132.000
Paru Panjang
2
Pelagis Kecil
3
Demersal
4
Udang Penaeid Udang Karang
50.900.
40.700.
9.00.
7.200.
17.500.
14.000.
3.400.
2.700.
15.400.
12.300.
5.600.
4.500
105.000
468.700.
375.000.
9.300
7.400
246.800.
197.400.
400 -
300
21.500
17.200
-
21.400
17.100
300
100
100
400
5
Cumi-Cumi
100
100
3.400
2.700
6
Ikan Karang
2.500
2.000
800.
600.
7
Total
245.400
195.700
797.100
633.600.
8
Ikan Hias
226.100
180.900.
9.200.
7.400.
Di lautan Maluku Tenggara dapat ditemukan berbagai jenis ikan yang dapat digolongkan ke dalam jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil, dan ikan demersal serta jenis udang dan cumi. Jenis–jenis ikan ini tersebar hampir merata di seluruh wilayah perairan Maluku Tenggara. Hal tersebut dapat dijelaskan dibawah ini : * Pada Pulau - Pulau Kei Kecil Kelompok sumberdaya ikan pelagis besar terdiri atas tuna (Thunnus albacares, Thunnus obesus, Thunnus alalunga), cakalang (Katsuwonus pelamis), layar (Isthiopores tonnggal), tongkol (Euthynnus spp, Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp), setuhuk (Makaira spp). Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil terdiri atas selar (Selaroides
leptolepis), laying (Decapterus spp), teri (Stolephorus spp), sarinide, tembang (Sardinella spp), julung-julung (Hemirhaplus far), kembung/lema (Rastraliger spp), ikan terbang (Cypsilurus poecilopterus), terubuk (Hilsa toli), parang-parang (Chirosentus dorus). * Kecamatan PP. Kei Besar Perairan sebelah utara Pulau Kei Besar (perairan sebelah utara mengarah ke selatan Laut Irian Jaya), jenis-jenis ikan yang mendominasi perairan ini adalah : kelompok sumberdaya ikan pelagis besar antara lain tuna (Thunnus albacares, Thunnus obesesus, Thunnus alalunga), cakalang (Katsuwonis pelamis), layar (Isthiopores tonggal), tongkol (Euthynnus spp, Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp), setuhuk (Makaira spp). Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil antara lain selar (Selaroides leptolepis), laying (Decapterus spp), teri (Stolephorus spp), sarinide, tembang (Sardinella spp), julung-julung (Hemirhaplus far), kembung/lema (Rastraliger spp), ikan terbang (Cypsilurus poecilopterus), terubuk (Hilsa toli), parang-parang (Chirosentus dorus). Perairan sebelah barat Pulau Kei Besar (yang berbatas dengan perairan sebelah timur P. Kei Kecil), jenis-jenis ikan yang mendominasi perairan ini adalah : kelompok sumberdaya ikan pelagis besar terdiri atas cakalang (Katsuwonis pelamis), layar (Isthiopores tonggal), tongkol (Euthynnus spp, Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp), setuhuk (Makaira spp). Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil terdiri atas selar (Selaroides leptolepis), laying (Decapterus spp), teri (Stolephorus spp), sarinide, tembang (Sardinella spp), julung-julung (Hemirhaplus far), kembung/lema (Rastraliger spp), ikan terbang (Cypsilurus poecilopterus), terubuk (Hilsa toli), parang-parang (Chirosentus dorus). Perairan sebelah barat Pulau Kei Besar (perairan sebelah timur yang mengarah ke perairan Laut Aru), jenis-jenis dominan di perairan ini adalah : kelompok sumberdaya ikan pelagis besar terdiri atas tuna (Thunnus albacares, Thunnus obesesus, Thunnus alalunga), cakalang (Katsuwonis pelamis), layar (Isthiopores tonggal), tongkol (Euthynnus spp, Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp), setuhuk (Makaira spp). Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil terdiri atas selar (Selaroides leptolepis), laying (Decapterus spp), teri (Stolephorus spp), sarinide, tembang (Sardinella spp), julungjulung (Hemirhaplus far), kembung/lema (Rastraliger spp), ikan terbang (Cypsilurus poecilopterus), terubuk (Hilsa toli), parang-parang (Chirosentus dorus).
Perairan sebelah selatan Pulau Kei Besar (tanjung Weduar Fer mengarah ke selatan Pulau Kei Kecil dan perairan PP. Aru), jenis-jenis ikan yang mendominasi perairan ini adalah : Kelompok sumberdaya ikan pelagis besar terdiri atas tuna (Thunnus albacares, Thunnus obesesus, Thunnus alalunga), cakalang (Katsuwonis pelamis), layar (Isthiopores tonggal), tongkol (Euthynnus spp, Auxis spp), tenggiri (Scomberomorus spp), setuhuk (Makaira spp). Kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil terdiri atas selar (Selaroides leptolepis), laying (Decapterus spp), teri (Stolephorus spp), sarinide, tembang (Sardinella spp), julung-julung (Hemirhaplus far), kembung/ema (Rastraliger spp), ikan terbang (Cypsilurus poecilopterus), terubuk (Hilsa toli), parang-parang (Chirosentus dorus) (Universitas Pattimura & Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Maluku 2007 ). Komposisi jenis ikan karang yang ditemukan pada sekitar perairan pulau-pulau Kei Kecil dan Kei Besar sebanyak 256 spesies, yang tergolong dalam 116 genera dan 35 famili. Famili-famili yang memiliki jumlah spesies > 10 antara lain Pomacentridae, Labridae, Chaetodontidae, Serranidae, Achanthuridae dan Scaridae. Famili yang memiliki jumlah spesies tertinggi yaitu famili Pomacentridae (48 spesies), selanjutnya genera yang memiliki jumlah spesies tertinggi adalah Chaetodon (19 spesies), (Universitas Pattimura & DKP Propinsi Maluku, 2007).
Tabel 16 Produksi hasil perikanan tangkap Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007.
Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Lokal 21,932 36,448.6 40,000 52,827.8 52,679.4 24,122.9 26,750 26,789.7 28,408.8 27,703.5 30,473.9 35,302.97
Intersuler 1,524.7 2,121.4 909.4 1,114 1,125 1,245.3 876.6 300 263.8 568 15,603.3 1,563.92
Eksport
Total
23,456.7 38,570 60,750 69,833.6 85,750 74,442.8 80,335.7 84,686.9 55.355.9 103,082.4 112,552 123,918.011
Sumber Data : Data Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara.
46,913 77,140 101,659.4 123,775.4 139,554.4 99,811.0 107,962.3 111,776.6 84,028.5 131,353.9 158,629.2 160,784.9
140000 120000 100000 80000 Produksi (Ton)
Lokal Intersuler Eksport
60000 40000 20000 0
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Tahun
Gambar 7 Produksi hasil perikanan tangkap Kabupaten Maluku Tenggara tahun - 2007.
1996
Data diatas menunjukan bahwa produksi perikanan tangkap tertingi di Kabupaten Maluku Tenggara terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 160.784,9 ton. Dengan rincian sebagai berikut : kebutuhan eksport 123,918.011 ton, intersular 1.563,92 ton, pasar lokal 35.302,97 ton. Jenis ikan terdiri dari tuna, pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan komoditas perikanan lainnya. Terjadi fluktuasi produksi dari tahun ke tahun, produksi terendah terjadi pada tahun 2004. Data diatas menunjukan bahwa terjadi peningkatan produksi perikanan tangkap dari tahun ke tahun. Data tersebut menunjukan bahwa produksi terbayak berasal dari Kecamatan Dullah Selatan, hal ini disebabkan karena disini dapat ditemukan pelabuhan perikanan sehingga banyak pendaratan ikan dari kapal– kapal nelayan asing maupun nelayan besar dari luar daerah. Data diatas menunjukan bahwa terjadi peningkatan produksi dari tahun 2006 ke tahun 2007 sebesar 1,34%, yaitu produksi tahun 2006 sebesar 158,629.2 ton menjadi 160,784.9 ton pada tahun 2007. Sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2001 sebesar 199.811 ton, kemudian produksinya meningkat pada tahun 2003 sebesar 111.776,6 ton. Selanjutnya terjadi penurunan produksi pada tahun 2004 sebesar 84.028,5 ton. Tabel 17 Produksi hasil perikanan tangkap menurut jenis di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007.
PERKEMBANGAN PRODUKSI PERIKANAN DI KAB. MALRA TAHUN 2001 - 2006
N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Ikan Udang Cakalang Kembung Julung Teri Layang Selar Lain-lain Tuna Jumlah
Tahun 2000
2001
2002
2003
2004
Total
2005
3076090
843000
868250
102566500
52838000
17600000
1659846
1212100
1307600
1158000
848500
871000
1723698
1401700
1478400
1422200
29432500
36300200
51280
500200
467125
648900
535250
537000
189690
900400
1236800
1088000
1498000
1365500 18214200
1101464
873000
983250
923150
14732700
2089368
998100
1136100
945600
1413000
2025000
269600724
270465250
388948915
287690590
504481410
682992629
1152906
419500
437500
421000
180000
0
280647066
277615251
396865942
396865943
605961364
759907534
177791840 7057046 71758698 2739755 19513090 23508064 511675578 2404179518 2610906 3220834495
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara tahun2007.
Data diatas menunjukan produksi jenis ikan di Kabupaten Maluku Tenggara sejak tahun 2000–2005. Produksi tertingi terjadi pada tahun 2005, adalah jenis ikan campuran yaitu sebesar 682.992.629 ton. Kemudian kembung sebesar 36.300.200 ton, selanjutnya jenis ikan layang sebesar 18.214.200 ton. Jenis ikan yang dominan dalam produksi ini adalah udang, cakalang, kembung, julung, teri, layang, selar, tuna dan jenis ikan lainnya.
6.1.2. Armada Penangkapan Armada penangkapan ikan yang terdata di Kabupaten Maluku Tengara terdiri atas tiga jenis dan ukuran yaitu perahu tanpa mesin (PTM), motor tempel (MT) dan kapal motor (KM). Jumlah armada tersebut dapat dilihat pada tabel 16. Data tersebut menunjukan bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan armada penangkapan ikan di Kabupaten Maluku Tenggara. Jumlah armada terbanyak adalah perahu tanpa mesin (PTM), kemudian motor tempel (MT) dan kapal motor (KM). Perahu tanpa mesin mendominasi armada penangkapan ikan di Maluku Tenggara karena kebanyakan nelayan adalah nelayan tradisional. Sedangkan kapal motor yang ada di Maluku Tenggara kebanyakan dimiliki oleh nelayan berskala besar atau nelayan asing yang melakukan penangkapan ikan dan mendaratkan di TPI Nusantara Dumar. Data dibawah ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan jumlah armada penangkapan ikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, jumlah armada penangkapan sebanyak 6.407 unit dengan rincian sebagai berikut : perahu tanpa motor (PTM) sebanyak 5.284 unit (82.47%), motor tempel (MT) sebanyak 894 unit (13.95%), kapal
motor (KM) sebanyak 229 unit (3.57%). Tabel 18 Jumlah armada penangkapan ikan di Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007 Tahun
PTM
MT
KM
Total
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
4.869 4.905 4.913 4.919 4.925 3.220 3.253 3.336 2.133 2.093 7.535 5.284
90 112 117 124 145 115 153 180 98 167 505 894
304 434 484 491 497 375 374 377 193 170 228 229
5.263 5.451 5.514 5.534 5.567 3.710 3.780 3.893 2.424 2.430 8.268 6.407
Keterangan : - PTM - MT - KM
: Perahu Tanpa Motor : Motor Tempel : Kapal Motor 8000 7000 6000
5000 Jumlah 4000 Armada 3000
PTM MT KM
2000 1000 0
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Tahun
Gambar 8 Jumlah armada penangkapan ikan di Maluku Tenggara tahun 1996-2007.
6.1.3. Jenis Alat Tangkap Jenis-jenis alat penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Maluku Tenggara antara lain : pukat udang (shrimp trawl), pukat ikan (fish trawl) jaring insang permukaan (surface gill net), jaring insang dasar (bottom gill net), pancing (angling gear), bagan (lift net), bubu (fish trap) dan alat tangkap lainnya. Tabel 19 No.
Jumlah alat penangkapan ikan, trip di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007 Jenis Alat Tangkap
Jumlah Unit
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Pukat Udang Pukat Ikan Jaring Insang Hanyut Jaring Insang Lingkar Jaring Insang Tetap Bagan Perahu Rakit Pancing Lain Pancing Tonda Pancing Ulur Pancing Tegak Pancing Dasar/Rawai Sero Bubu Alat Pengumpul Kerang Alat Pengumpul Teripang Alat Penangkapan Lain Jumlah
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
57 206 553 652 705 275 1.686 1.539 190 735 167 888 7.652
57 210 570 669 695 285 1.703 1.545 195 825 175 891 7.820
47 175 600 715 720 260 1.820 1.525 192 935 177 980 8.146
15 120 440 435 445 175 635 590 600 585 75 650 45 150 1.335 6.295
10 120 455 440 452 120 610 605 580 608 50 295 160 200 1.613 6.318
13 128 849 780 1.043 118 322 4.497 4.572 6.032 404 45 261 19 197 1.506 20.786
13 128 1.130 810 1.217 71 62 3.093 3.335 4.540 321 4 345 77 25 1.618 16.789
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tenggara tahun 2007.
Jenis-jenis alat penangkapan utama yang dioperasikan oleh nelayan-nelayan Kabupaten Maluku Tenggara adalah pancing (angling gear), jaring insang (gill net), bubu (trap net) dan bagan (lift net). Jenis dan jumlah pukat udang (shrimp trawl) dan pukat ikan (fish trawl) yang terdata di Maluku Tenggara, adalah merupakan milik dari nelayan besar yang beroperasi di Maluku Tenggara. Dan terdata pada saat melakukan pendaratan ikan pada pelabuhan perikanan Nusantara Tual. Nelayan lokal lebih banyak memiliki alat penangkapan berupa alat pancing, dimana terdapat 82.47% menggunakan perahu tanpa mesin, hal ini menandakan bahwa nelayan lokal memiliki peralatan penangkapan ikan secara tradisional. Sehingga pendapatan nelayan lokal sangat rendah jika dibandingkan dengan nelayan besar yang menggunakan sarana penangkapan yang sangat moderen. Nelayan lokal memiliki sarana prasarana penangkapan yang sangat tradisional dan sudah dianggap maju jika dia memiliki sarana penangkapan ikan berupa motor tempel yang dilengkapi dengan jaring, dan sarana tangkap seperti bagan ikan.
10000 8000 6000 4000
Penangkap
Alat
Bubu
Pancing Lain
Tegak
Pancing
Tonda
Pancing
Tetap
Jaring Insang
Pukat Udang
0
Hanyut
2000 Jaring Insang
Jumlah Alat
12000
Jenis Alat
Gambar 9 Jumah alat penangkapan ikan, trip di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1996 - 2007.
Jenis alat tangkap yang dioperasikan di Maluku Tenggara pada tahun 2007 adalah sebagai berikut. Jaring insang hanyut / permukaan (surface gill net) sebanyak 1.130 unit (6,73%) dan jaring insang lingkar
(bottom gill net) sebanyak 810 unit (4,82%),
kemudian jaring insang tetap sebanyak 1.217 unit (7,25%), bagan ikan sebanyak 71 unit (0,42%), pancing tonda sebanyak 3.093 unit (18,42%), pancing ulur sebanyak 3.335 unit (19,86%), pancing tegak 4.540 unit (27,04%), pancing dasar 321 unit (1,91%), bubu sebanyak 345 unit (2,06%), pukat udang sebanyak 13 unit (0,08%) dan pukat ikan sebanyak 128 unit (0,76%).
6.1.4. Nelayan, Kelompok Nelayan dan Rumah Tangga Perikanan (RTP) Jumlah nelayan, kelompok nelayan dan rumah tangga nelayan (RTN) di Kabupaten Maluku Tenggara terus mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun jumlah nelayan tertinggi terjadi pada tahun 2000 sebanyak 19.030 nelayan, kemudian menurun pada tahun 2004 sebanyak 8.900 nelayan, pada tahun 2006 meningkat lagi menjadi 9.310 nelayan. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok nelayan, dimana kelompok nelayan tertinggi terjadi pada tahun 2000 sebanyak 835, kemudian menurun sampai 520 kelompok pada tahun 2002, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 681 nelayan. Terjadinya fuktuasi jumlah nelayan ini diduga disebabkan oleh bebarapa hal diantaranya karena terjadinya konflik sosial di Maluku Tenggara pada bebrapa waktu lalu, sehingga dapat berpengaruh terhadap keinginan orang dalam berusaha menangkap ikan.
Tabel 20 Perkembangan rumah tangga perikanan (RTP), kelompok nelayan, nelayan, dan jumlah unit alat tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara
Tahun
RTP
Kelompok Nelayan
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
5272 5287 5340 5380 5420 3471 3544 3624 2300 2325 3858
748 767 784 795 835 502 520 681 503 553 575
Nelayan
Unit Penangkapan
17250 18174 18530 18750 19030 15020 15100 14210 8900 9100 9310
9600 10202 10440 10505 10813 7658 7820 8146 6295 6318 20787
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Maluku Tenggara tahun 2007 20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
NELAYAN KELOMPOK NELAYAN RTP
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Tahun
Gambar 10
Perkembangan rumah tangga perikanan (RTP), kelompok nelayan, nelayan, dan jumlah unit alat tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara.
6.2. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Tangkap 6.2.1. Standarisasi Unit Upaya Standarisasi alat tangkap digunakan dengan maksud agar terjadi penyaragaman kekuatan alat tangkap, karena setiap alat tangkap mempunyai kemampuan tangkap yang berbeda. Dengan melakukan standarisasi alat tangkap maka kita dapat mengetahui jumlah total input dari usaha perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fauzi dan Anna (2005), bahwa melakukan standarisasi alat tangkap diperlukan karena ada variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap. Jika standarisasi tidak dilakukan, kita tidak mungkin bisa menjumlahkan total unit input agregat (total effort) dari perikanan yang dianalisis.
Alat yang distandarisasi untuk nelayan yang menggunakan mesin adalah bagan ikan (BI), jaring isang hanyut (JI) dan pancing ulur (PU), sedangkan nelayan yang tidak menggunakan mesin, alat yang distandarisasi adalah pancing ulur (PU), jaring tasi (JT) dan
jaring
insang
hanyut
(JIH).
Standarisasi
effort
dilakukan
dengan
cara
membandingkan jumlah effort tertinggi terhadap effort terendah dari alat yang digunakan. Dimana digunakan jumlah trip per tahun dari ketiga alat tangkap. Ketiga alat tangkap ini digunakan karena mempunyai daya tangkap yang paling banyak, serta ketiga alat tangkap ini banyak digunakan oleh nelayan. Hasil tangkapan yang diperoleh terjadi fluktuasi dari tahun ke tahun.
6.2.2. Aspek Biologi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Tangkap Hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) pada perikanan tangkap di Maluku Tenggara selama tahun 1997-2008, pada nelayan menggunakan mesin dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah bagan ikan, jaring insang hanyut dan pancing ulur. Bagan ikan mempunyai hasil produksi tertinggi jika dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang hanyut dan pancing ulur. Hal ini disebabkan karena jenis ikan yang ditangkap oleh bagan ikan merupakan jenis ikan yang hidupnya berkelompok seperti teri, tembang, kembung, lema, dll. Dan juga karena bagan ikan umumnya berada pada daerah teluk sehingga tidak mengenal musim ombak atau musim teduh, sehingga nelayan hampir setiap malam melakukan penangkapan. Kemudian pada saat ikan bertelur pada bulan Juni–Agustus terjadi peningkatan pendapatan, rata-rata 1 - 2 ton per malam. Penangkapan ikan teri, tembang dan jenis lainya pada musim bulan gelap (malam 15-30) rata-rata hasil tangkapan sebesar 50 – 60 kg per malam. Sedangkan jaring insang hanyut dan pancing ulur kemampuan tangkapnya sangat tergantung musim karena nelayan harus melakukan penangkapan pada laut dalam yang jaraknya sekitar 4 – 5 mil dari pantai. Hal ini dapat mempengaruhi hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan. Karena nelayan umumnya menggunakan mesin katinting dengan bodi perahu kecil yang daya jangkau sangat terbatas. Pada nelayan tanpa mesin alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah pancing ulur, hal ini disebabkan karena harga alat pancing ulur lebih murah sehingga
dapat dijangkau oleh nelayan lokal. Sedangkan jaring tasi, dan jaring insang hanyut, hanya beberapa orang nelayan saja yang menggunakannya. Pancing ulur mempunyai hasil produksi tertinggi, karena alat tangkap ini banyak digunakan oleh nelayan. Jenis ikan yang ditangkap, seperti tongkol, kakap, bawal, baronang, tenggiri, kembung, kerapu, dll. Hasil tangkapan nelayan pancing ulur ini rata-rata 1-3 kg per hari. Sedangkan jaring tasi maupun jaring insang hanyut mempunyai hasil tangkapan ratarata 5-10 kg per hari. Pada nelayan bermesin rata-rata effort aktual yang dilakukan oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan adalah sebesar
4.424 trip per tahun dengan rata-rata
produksi aktual sebesar 366.210 ton per tahun, sedangkan pada nelayan tanpa mesin rata-rata effort aktual yang dilakukan oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan (produksi) sebesar 464 trip per tahun, dengan rata-rata produksi (catch) aktual sebesar 112.33 ton per tahun. Data tersebut menunjukan bahwa upaya (effort) oleh nelayan mesin lebih sedikit tetapi hasil tangkapan ikan (produksi) yang diperoleh lebih banyak bila dibandingkan dengan upaya yang dilakukan oleh nelayan tanpa mesin, dimana upaya yang dilakukan lebih besar tetapi hasil (produksi) dari penangkapan lebih kecil. Kondisi tersebut diatas menggambarkan kepada kita bahwa apabila input yang digunakan oleh nelayan bila ditingkatkan menjadi lebih baik maka hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan lebih banyak. Karena dengan input (sarana prasarana) yang lebih baik maka nelayan dapat menempuh jarak lebih jauh sehingga hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 21 Standarisasi alat tangkap nelayan pakai mesin dan nelayan belum pakai mesin di Maluku Tenggara tahun 1997-2008. Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Total Effort (Trip) 3336 3695 3220 3330 3541 3344 4471 3766 3321
NELAYAN MESIN Total Total CPUE Produksi (Ton) 332.54 0.0997 357.24 0.0967 362.78 0.1127 378.19 0.1136 314.02 0.0887 338.24 0.1011 376.70 0.0843 353.14 0.0938 259.49 0.0781
NELAYAN TANPA MESIN Total Total Total Produksi Effort CPUE (Ton) (Trip) 370 93.93 0.2539 472 120.48 0.2553 469 123.36 0.2630 382 99.23 0.2598 396 94.57 0.2388 501 136.80 0.2731 471 119.81 0.2544 395 107.42 0.2719 501 110.06 0.2197
2006 2007 2008 Jumlah Rata-rata
5005 5320 10736 53085 4424
377.28 364.75 580.15 4394.52 366.210
0.0754 0.0686 0.0540 1.0666 0.0889
517 507 588 5569 464
114.66 103.32 124.32 1348 112
0.2218 0.2038 0.2114 2.9268 0.2439
Sumber : Data hasil penelitian dan data Dinas Perikanan dan Kelautan Malra.
Tabel diatas menunjukan bahwa baik pada nelayan bermesin maupun pada nelayan tanpa mesin terjadi fluktuasi hasil tangkapan (produksi) pada setiap tahun, walaupun terjadi kecendrungan meningkat produksinya tetapi tidak terjadi perubahan yang besar. Produksi tertinggi pada nelayan bermesin terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 580,15 ton, dengan effort tertinggi yaitu sebesar 10.736 trip. Nelayan tanpa mesin peningkatan produksi terjadi pada tahun 2002, produksi sebesar 136,80 ton, dengan effort tertinggi pada tahun 2008 sebesar 588 trip. 600 500 400 Ton 300
Produksi Mesin Produksi T.Mesin
200 100 0
1997
1999
2001
2003
2005
2007
Tahun
Gambar 11 Standarisasi alat tangkap pada nelayan bermesin dan tanpa mesin Grafik diatas menunjukan bahwa nelayan bermesin mempunyai hasil tangkapan (produksi) lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan tanpa mesin. Karena nelayan bermesin telah menggunakan jenis alat tangkap bagan ikan yang mempunyai daya tangkap cukup tinggi dibandingkan dengan alat lainnya. Sedangkan nelayan tanpa mesin belum menggunakan bagan ikan sebagai alat tangkap ikan, hal ini disebabkan karena biaya pembuatan bagan ikan sangat mahal. Untuk membuat 1 buah bagan ikan memerlukan biaya rata-rata 60-75 juta, sehingga nelayan tanpa mesin sudah otomatis tidak mampu untuk memiliki bagan ikan. Ada juga alat tangkap yang mempunyai daya
tangkap besar seperti rumpon dan jaring bobo (istilah lokal) tetapi pada saat penelitian belum terjadi musim penangkapan sehingga tidak masuk dalam penelitian ini. Nilai CPUE mempunyai hubungan yang negatif terhadap nilai effort, artinya semakin tinggi nilai effort maka nilai CPUE semakin berkurang atau produktivitas alat tangkap yang digunakan akan berkurang jika dilakukan penambahan effort. Berdasarkan hasil pengolahan data yang diperoleh pada nilai upaya per unit penangkapan (CPUE) tertinggi pada nelayan mesin dalam periode waktu 1997-2008 terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 0,1136. CPUE pada nelayan tanpa mesin tertinggi pada tahun 2002 sebesar 0,2731.
6.2.3. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap Optimasi pemanfaatan perikanan dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk mempertimbangkan segala keuntungan dan kerugian pada aspek biologi, ekonomi, hukum (legal), sosial dan politik. Dalam pengelolaan perikanan sebaiknya tidak hanya ditujukan pada aspek keberlanjutan sumber daya dan usaha perikanan, tetapi juga pada masalah keadalian dan pemerataan. Sehingga pertimbangan optimum sustainable yield (OSY) merupakan salah satu kunci dalam tujuan pengelolaan. Karena dengan keuntungan ekonomi yang optimal hanya akan bernilai jika diikuti oleh keuntungan maksimal secara sosial berupa pengurangan angka kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan. Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana atau ordinary least squart (OLS) pada perikanan tangkap di lokasi desa nelayan bermesin diperoleh hasil parameter-parameter biologi sebagai berikut r = 1,061827859%, q = 0,000166045, K = 972,9717759 dengan R2 sebesar 74.40%. Hal ini menunjukan bahwa variabel yang dianalisis berpengaruh nyata terhadap populasi sebesar 74,40%, sedangkan faktor lain berpengaruh sebesar 25,60%. Persamaan regresi berganda yang diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil kriteria (least squares criterion) adalah : Y = -1.264342862 + 0.306409173x1 – 5.42308E-05x2 Sedangkan effort optimal (Emsy) dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan yang menggunakan mesin sebesar = 8.81558E-05 trip. Pertumbuhan
biomassa optimal dapat diperoleh sebesar = 486,4858879 ton. Dan hMSY (hoptimal) sebesar 258,2821344 ton. Rata-rata produk aktual setiap tahun sebesar 366,21 ton, ratarata effort aktual sebesar 4.424 trip per tahun. Data analisis menunjukan bahwa pada daerah-daerah yang nelayannya menggunakan mesin katinting ataupun mesin tempel dengan motor jonson dan speed boat yang dilengkapi jaring atau pancing ulur dan bagan ikan maka telah terjadi tangkap lebih terhadap stok (over fishing) sebesar 29,47%. Kondisi over fishing dapat dicirikan dengan beberapa hal diantaranya adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, dan diikuti produktifitas (hasil tangkapan per satuan upaya/trip, CPUE) yang menurun, ukuran ikan sasaran yang semakin kecil, serta biaya penangkapan (operasional) yang semakin meningkat. Rata-rata harga per ton sebesar Rp. 20.548.611. untuk melakukan kegiatan penangkapan memerlukan biaya sebesar 187.756 per trip. Untuk produksi dan upaya optimal diperoleh nilai masing-masing sebesar 0,161557455 gompertz dan 6394,805709 gompertz. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 22 Hasil analisis parameter r, q, K, Emsy, hMsy, over fishing dll. pada nelayan menggunakan mesin pada tahun 1997 – 2008 di Maluku Tenggara Unit a b c r q K Effort Opt (Emsy) Biomass MSY ( xopt) hMSY (hopt) Rata-rata Prod Aktual Rata-rata Effort Aktual % Overfishing Price Cost Emsy hMSY
Nilai -1.264342862 0.306409173 -5.42308E-05 1.061827859 0.000166045 972.9717759 8.81558E-05 486.4858879 258.2821344 366.21 4424 29.47163572 20,548,611.11 187,756.81 6394.805709 0.161557455
Satuan
% Ton Trip Ton Ton Ton Trip % Rp/ton Rp/trip Gompertz Gompertz
Berdasarkan hasil analisis tingkat optimasi bioekonomi dapat dilihat bahwa tingkat upaya yang dibutuhkan pada rezim pengelolaan akses terbuka (open access)
sebesar 6,033.13 trip. Sedangkan pada kondisi perikanan yang dikelola secara pribadi (sole owner) upaya yang dibutuhkan sebesar 3,016.57 trip, hal ini menandakan bahwa pengelolaan secara open access membutuhkan upaya dua kali lebih banyak dari pada pengelolaan secara sole owner. Hasil tangkapan yang diperoleh pada rezim pengelolaan sole owner (MEY) sebesar 257.46 sedangkan hasil tangkapan pada kondisi open access sebesar 55,13. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan secara privat lebih menguntungkan secara ekonomi dari pada pengelolaan secara open access. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 23
Optimasi bioekonomi pemanfaatan sumberdaya perikanan pada nelayan bermesin di Kabupaten Maluku Tenggara (1997-2008) MEY
OA
257,46 3.016,57 4.723.981.514,08
Yield (h*) Effort (E*) Phi*
MSY
55,13 6.033,13 -
Dinamik* 11,55 658,40 113.755.745,22
258,28 3.197,40 4.707.004.969,77
Sumber : Hasil penelitian
Berdasarkan gambar perbandingan rezim pengelolaan sumber daya perikanan pada nelayan menggunakan mesin menunjukan bahwa effort (upaya) yang dibutuhkan dalam pengelolaan perikanan secara open access lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan perikanan secara sole owner, maupun pada kondisi masimum sustainable yeild, hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini. 7,000.00
5,000,000,000.00 4,500,000,000.00 4,000,000,000.00
5,000.00
3,500,000,000.00
4,000.00
3,000,000,000.00
3,000.00
2,000,000,000.00
2,000.00
1,500,000,000.00
2,500,000,000.00
Yield (h*) Rp
Ton
6,000.00
Effort (E*) Phi*
1,000,000,000.00
1,000.00
500,000,000.00
-
MEY
OA
MSY
Gambar 12 Perbandingan rezim pengelolaan sumber daya perikanan oleh nelayan menggunakan mesin di Maluku Tenggara tahun 1997 - 2008. Berdasarkan hasil analisis regresi sederhana atau ordinary least squart (OLS) pada perikanan tangkap di lokasi desa nelayan belum bermesin, diperoleh hasil parameter-parameter biologi sebagai berikut r = 1.048842555, q = 0.001333493,
K=
324.1311524 dengan R2 sebesar 39,86%. Hal ini menunjukan bahwa variabel yang dianalisis berpengaruh terhadap populasi sebesar 39,86% sedangkan faktor lain berpengaruh sebesar 60,14%. Persamaan regresi berganda yang diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil kriteria (least squares criterion) adalah: Y = - 0.577120638 + 0.311973291x1 – 0.000437377x2 Sedangkan effort optimal (Emsy) dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tanpa mesin sebesar = 0.000699312 trip. Pertumbuhan biomassa optimal (xopt) dapat diperoleh sebesar = 162.0655762 ton. Dan hMSY (hoptimal) sebesar 84.99063649 ton. Rata-rata produk aktual setiap tahun sebesar 112.33 ton, rata-rata effort aktual sebesar 464 trip per tahun. Data analisis menunjukan bahwa pada daerah-daerah yang nelayannya menggunakan perahu tanpa mesin tempel yang dilengkapi jaring atau pancing ulur maka telah terjadi tangkap lebih terhadap stok (over fishing) sebesar 76,79%. Rata-rata harga ikan per ton sebesar Rp 7.065.625. untuk melakukan kegiatan penangkapan memerlukan biaya sebesar Rp 57.580.02 per trip. Untuk produksi dan upaya optimal diperoleh nilai masing-masing sebesar 0.432226478 gompertz dan 786.5379912 gompertz. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 24 Hasil analisis parameter r, q, K, Emsy, hMSY, over fishing dll. pada nelayan tanpa mesin pada tahun 1997–2008 di Maluku Tenggara Unit a b c r q K Effort Opt (Emsy) Biomass MSY ( xopt) hMSY (hopt) Rata-rata Prod Aktual Rata-rata Effort Aktual % Overfishing Price Cost Emsy hMSY
Nilai -0.577120638 0.311973291 -0.000437377 1.048842555 0.001333493 324.1311524 0.000699312 162.0655762 84.99063649 366.21 464 76.7918498 20,548,611.11 187,756.81 786.5379912 0.432226478
Satuan
% Ton Trip Ton Ton Ton Trip % Rp/ton Rp/trip Gompertz Gompertz
Berdasarkan hasil analisis tingkat optimasi bioekonomi dapat dilihat bahwa tingkat upaya yang dibutuhkan pada rezim pengelolaan akses terbuka (open access)
sebesar 769,91 trip. Sedangkan pada kondisi perikanan yang dikelola secara pribadi (sole owner) upaya yang dibutuhkan sebesar 384,96 trip. Hal ini menandakan bahwa pengelolaan secara open access membutuhkan upaya dua kali lebih banyak dari pada pengelolaan secara sole owner. Hasil tangkapan yang diperoleh pada rezim pengelolaan sole owner (MEY) sebesar 84,95 ton sedangkan hasil tangkapan pada kondisi open access sebesar 7,03 ton. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan secara privat lebih menguntungkan secara ekonomi dari pada pengelolaan secara open access.
Lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 25 Optimasi bioekonomi pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh nelayan tanpa mesin di Kabupaten Maluku Tenggara (1997-2008) MEY
OA
84,95 Yield (h*) 384,96 Effort (E*) 1.673.381.076,32 Phi* Sumber : Data hasil penelitian
7,03 769,91 -
MSY
Dinamik* 3,20 101,13 46.778.005,61
84,99 393,27 1.672.600.604,41
Berdasarkan gambar perbandingan rezim pengelolaan sumber daya perikanan pada nelayan bermesin menunjukan bahwa effort (upaya) yang dibutuhkan dalam pengelolaan perikanan secara open access (OA) lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan perikanan secara sole owner (MEY), maupun pada kondisi MSY (masimum
900.00
1,800,000,000.00
800.00
1,600,000,000.00
700.00
1,400,000,000.00
600.00
1,200,000,000.00
500.00
1,000,000,000.00
400.00
800,000,000.00
300.00
600,000,000.00
200.00
400,000,000.00
100.00
200,000,000.00
-
Yield (h*) Rp
Ton
sustainable yeild), hal tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Effort (E*) Phi*
MEY
OA
MSY
Gambar 13 Perbandingan rejim pengelolaan sumber daya perikanan pada nelayan tanpa mesin di Maluku Tenggara tahun 1997 - 2008 6.2.4. Model Pengelolaan Perikanan
1. Nelayan Bermesin a.
Maximum Sustainable Yield (MSY) pada Nelayan Bermesin
Maksimum sustainable yield (MSY) adalah hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan dari tahun ke tahun oleh suatu perikanan. Konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal. Konsep ini dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari model Schaefer yang paling sederhana, (Widodo dkk, 2006). MSY dikenalkan oleh Schaefer (1954) bahwa pengelolaan ikan didasarkan pada pendekatan biologi semata, dengan tujuan memperoleh produksi setinggi-tingginya. Jika sumber daya ikan dipanen pada tingkat MSY (tidak lebih tidak kurang), sumber daya ikan akan lestari, (Fauzi dan Anna, 2005). Berdasarkan kurva produksi dibawah ini menunjukan bahwa jika upaya terus ditingkatkan maka produksi pun meningkat akan tetapi pada titik pertumbuhan maksimum jika upaya ditingkatkan lagi maka terjadi penurunan produksi hal ini disebabkan karena daya dukung sumber daya terbatas, sehingga terjadi penurunan hasil penangkapan yang disebut dengan “diminising return” (kenaikan hasil yang semakin berkurang). Jika suatu perikanan telah mengalami kondisi demikian, maka dipastikan telah terjadi over fishing. Hal ini dapat terjadi karena pemanfaatan perikanan secara terbuka atau sering disebut open access, dengan ciri sebagai berikut tidak ada pemilikan individual (individual property right) atas daerah-daerah penangkapan, dan tidak ada regulasi yang mengontrol tingkat upaya penangkapan. Dengan demikian untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit saja, harus membutuhkan upaya yang sangat besar.
Kondisi ini bila dibiarkan maka akan terjadi kelangkaan sumber daya dan
rusaknya habitat dari sumber daya perikanan.
Gambar 14 Kurva pertumbuhan logistik pada nelayan bermesin
Berdasarkan penggunaan alat analisis maple dengan perhitungan tingkat MSY mengikuti solusi Clark (1985) dalam Fauzi (2005), yaitu : diperoleh hasil MSY sebesar 259,8145650, EMSY = 3216,380677 trip dan xMSY = 486,4858881 ton.
Gambar 15 Kurva produksi lestari – upaya (yield-effort curve) pada nelayan bermesin
b. Optimum Sustainable Yield (OSY) Alokasi optimal pada kondisi delta 0,95%
diperoleh populasi ikan optimal
(xOpt) sebesar = 200, 0683945 ton, produksi (hOpt) sebesar = 169,7566103 ton, dan effort (Eopt) sebesar = 5110,017709 trip.
Gambar 16 Kurva produksi optimum sustainable yield pada nelayan bermesin
Keuntungan optimal (RentOpt) = sebesar 2,534937303 x 109, dan keuntungan over time pertama (Rent Overtime) sebesar = 2,668355056 x 109. Pada delta = 0,95% diperoleh stok ikan (xOpt1) sebesar = 200, 0683945 ton, produksi (hOpt1) sebesar = 169,7566103 ton , effort optimal (Eopt) sebesar = 5110,017709 trip. Pada delta = 0,15% diperoleh stok ikan (xOpt2) sebesar = 453,9014246 ton, produksi (hOpt) sebesar 114,0060005 ton, effort optimal (Eopt) sebesar = 1512,656653. Keuntungan optimal (RentOptn1) sebesar = 2,534937303 x 109, keuntungan optimal (RetOptn2) = 2,062758810 x 109, keuntungan pada over time pertama (RentOverTime1)
= 2,668355056 x 109, keuntungan pada over time ke dua (RentOverTime2)
=
10
1,375172540 x 10 .
c. Perhitungan Bioekonomi pada Kondisi Open Access (OP) dan Sole Owner (SO). Total cost sebesar 187756E, TR = 3,325590027 x 106 E (1-0,0001554542357E), stok ikan pada kondisi open access (xOA) = 54,93199319 ton, effort pada kondisi open access (EOA) = 6069,580828 trip, produksi pada kondisi open access (hOA) = 55,36175631 ton, marginal revenue (MR) = 3,325590027 x 106 – 1033, 954112E, Marginal cost (MC) = 187.756. Sedangkan pada kondisi privat (sole owner) effort (ESO) = 3034,790413 trip, total revenue pada kondisi sole owner (TRSO) = 5,331134421 x 109, total cost pada kondisi sole owner (TCSO) = 5,698001088 x 108, keuntungan pada kondisi privat (RentSO) = 4,761334312 x 109, produksi pada kondisi sole owner (hSO) sebesar = 258,9864060 ton, dan stok ikan pada kondisi sole owner (xSO) sebesar = 513,9518846 ton. Tabel 26 Kondisi pemanfaatan sumber daya perikanan oleh nelayan bermesin Variabel Stok Ikan (ton) Produksi (ton) Effort (trip) MR (Rp) MC (Rp) TR (Rp) TC (Rp) RentSO
Kondisi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Open Access Sole Owner 54,93199319 513,9518846 55,36175631 258,9864060 6069,580828 3034, 790413 3,325590027 x 106 – 1033, 954112E 187.756 3,325590027 x 106 E (1-0,0001554542357E) 5,331134421 x 109 187.756E 5,698001088 x 108 4,761334312 x 109
Berdasarkan data diatas menunjukan bahwa pengelolaan ikan pada rezim sole owner (SO) jauh lebih baik dibandingkan dengan pengelolaan ikan pada rezim open access. Hal ini disebabkan karena pada pengelolaan sole owner telah diterapkan aturan– aturan pengelolaan sumber daya, baik aturan positif negara (perda, undang-undang, dll.) maupun hukum adat, seperti di Maluku dapat diterapkan hukum sasi sehingga hukum adat tersebut dapat mengontrol pengambilan hasil pada waktu-waktu tertentu saja. Sedangkan rezim open access tidak terdapat aturan yang dapat mengatur pengelolaan sumber daya perikanan sehingga siapa saja bebas melakukan penangkapan ikan kapan dan dimana saja boleh. Sehingga kondisi open access ini mengakibatkan over fishing dan lambat laun akan terjadi kelangkaan sumber daya.
2. Nelayan Tanpa Mesin a. Maximum Sustainable Yield (MSY) pada Nelayan Tanpa Mesin Berdasarkan kurva produksi lestari pada nelayan tanpa mesin dibawah ini menunjukan bahwa jika upaya terus ditingkatkan maka produksi pun meningkat akan tetapi pada titik pertumbuhan maksimum jika upaya ditingkatkan lagi maka terjadi penurunan produksi hal ini disebabkan karena daya dukung sumber daya terbatas, sehingga terjadi penurunan hasil penangkapan yang disebut dengan “diminising return” (kenaikan hasil yang semakin berkurang). Jika suatu perikanan telah mengalami kondisi demikian, maka dipastikan telah terjadi over fishing. Hal ini terjadi karena pemanfaatan perikanan secara terbuka atau sering disebut open access, dengan ciri sebagai berikut tidak ada pemilikan individual (individual property right) atas daerah-daerah penangkapan, dan tidak ada regulasi yang mengontrol tingkat upaya penangkapan. Dengan demikian untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit saja, harus membutuhkan upaya yang sangat besar. Kondisi ini bila dibiarkan maka akan terjadi kelangkaan sumber daya dan rusaknya habitat.
Gambar 17 Kurva pertumbuhan logistik pada nelayan tanpa mesin Berdasarkan penggunaan alat analisis maple dengan perhitungan tingkat MSY mengikuti solusi Clark (1985) dalam Fauzi (2005) yaitu : diperoleh hasil MSY sebesar 84,99063650, EMSY sebesar 393,2688642 trip dan xMSY sebesar 162, 0655762 ton, produksi (h) = 0.001333493 ton, grout (g) = 32413111524 – 0, 4120986708 E.
Gambar 18. Kurva produksi lestari – upaya (yield-effort curve) pada nelayan tanpa mesin
b.
Optimum Sustainable Yeild (OSY) Pada nelayan tanpa mesin terdapat alokasi optimal pada kondisi delta 0,95%
diperoleh populasi ikan optimal (xOpt) sebesar = 40,49637397, produksi (hOpt) sebesar = 37,15978581 ton, dan effort (Eopt) sebesar = 688,2933592 trip. RentOpt = 2,229251800 x 108, RentOvertime = 2,346580842 x 108.
Gambar 19. Kurva produksi optimum sustainable yield pada nelayan tanpa mesin
Delta 0,95 diperoleh stok ikan pertama (xOpt1) = 40,48637397 ton, produksi pertama (hOpt1) = 37,15978581 ton, effort optimum pertama (Eopt1) = 688,2933592 trip. Delta 0,15% diperoleh stok ikan kedua (xOpt2) = 142,9344094 ton, produks optimum kedua (hOpt2) = 23,73825528, effort optimum kedua (Eopt2) = 124,5435567 trip, keuntungan optimum pertama (RentOpt1) = 2,229251800 x 108. Keuntungan over
time pertama (RentOvertime1) Rp = 2,346580842 x 108, keuntungan optimum kedua (RentOpt2) = 1,605543920 x 108, keuntungan over time kedua (RenOvertime2) = 1.070362613 x 109.
c.
Perhitungan Bioekonomi pada Kondisi Open Access dan Sole Owner (SO). Pada desa nelayan tanpa mesin terdapat total cost sebesar 57.580 E, TR =
3,053951232 x 106 E (1-0.001271394828E), stok ikan pada kondisi open access (xOA) = 6,111254025 ton, effort pada kondisi open access (EOA) = 771,7081392 trip, produksi pada kondisi open access (hOA) = 6,288892301 ton, marginal revenue (MR) = 3,053951232 x 106 – 7765,555603E, marginal cost (MC) = 57.580, sedangkan pada kondisi privat (sole owner) effort (ESO) = 385,8540696, total revenue pada kondisi sole owner (TRSO) = 6,002984941 x 108, total cost pada kondisi sole owner (TCSO) = 2,221747733 x 107, RentSO = 5,780810168 x 108, produksi pada kondisi sole owner (hSO) sebesar = 84,96042377 ton, dan stok ikan pada kondisi sole owner (xSO) sebesar = 165,1212032 ton. Tabel 27 Kondisi pemanfaatan sumber daya perikanan oleh nelayan tanpa mesin Variabel Stok Ikan (ton) Produksi (ton) Effort (trip) MR (Rp) MC (Rp) TR (Rp) TC (Rp) RentSO
Kondisi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Open Access Sole Owner 6,111254025 6,288892301 771,7081392 3,053951232 x 106 – 7765,555603E 57.580 3,053951232 x 106 E (1-0.001271394828E) 57.580 E -
165,1212032 84,96042377 385,8540696 6,002984941 x 108 2,221747733 x 107 5,780810168 x 108
Berdasarkan data diatas menunjukan bahwa pengelolaan ikan pada rezim sole owner (SO) jauh lebih baik dibandingkan dengan pengelolaan ikan pada rezim open access. Hal ini disebabkan karena pada pengelolaan sole owner telah diterapkan aturan– aturan pengelolaan sumber daya, baik aturan positif negara (perda, undang-undang, dll.) maupun hukum adat, seperti di Maluku dapat diterapkan hukum sasi sehingga hukum adat tersebut dapat mengontrol pengambilan hasil pada waktu-waktu tertentu saja. Sedangkan rezim open access tidak terdapat aturan sehingga siapa saja bebas melakukan
penangkapan ikan kapan dan dimana saja boleh. Sehingga kondisi open access ini dapat mengakibatkan over fishing dan lambat laun akan terjadi kelangkaan sumber daya.
6.3. Analisis Pendapatan Dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan diperlukan beberapa komponen biaya, antara lain adalah biaya tetap dan biaya variabel. Biaya variabel terdiri dari BBM, konsumsi dan rokok yang digunakan nelayan dalam 1 trip melaut, sedangkan biaya tetap adalah biaya penyusutan dan pemeliharaan dari sarana prasarana penangkapan ikan yang digunakan. Menurut Subri (2007), bahwa ongkos produksi dalam usaha nelayan terdiri dari dua katagori, yaitu ongkos berupa pengeluaran nyata (actuil cost) dan ongkos yang tidak merupakan pengeluaran nyata (inputed cost). Dalam hal ini, pengeluaran-pengeluaran nyata ada yang kontan dan ada yang tidak kontan. Pengeluaran-pengeluaran kontan adalah : (1) bahan bakar dan oli (2) bahan pengawet (es dan garam), (3) pengeluaran untuk makanan/konsumsi awak, (4) pengeluaran untuk reparasi, (5) pengeluaran untuk retribusi dan pajak. Pengeluaran-pengeluaran yang kontan adalah upah/gaji awak nelayan pekerjaan yang umumnya bersifat bagi hasil dan dibayar sesudah hasil dijual. Pengeluaranpengeluaran yang tidak nyata ialah penyusutan dari boat/sampan, mesin-mesin dan alat penangkap. Karena pengeluaran ini hanya merupakan penilaian yang tidak pasti. Tingkat pendapatan bersih nelayan dapat diperoleh setelah hasil penjualan dikurangi dengan biaya produksi yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Dari sini dapat kita mengetahui berapa besarnya pendapatan seorang nelayan dalam satu trip melaut. Sesuai dengan hasil analisis tingkat pendapatan nelayan di Maluku Tenggara menunjukan bahwa terjadi fluktuasi pendapatan antara satu nelayan dengan nelayan yang lain. Rata-rata hasil pendapatan nelayan per hari pada nelayan tanpa mesin sebesar Rp. 13.865. Pendapatan terendah sebesar Rp. 3.723 per hari, sedangkan pendapatan tertinggi sebesar 68.853 rupiah per hari. Dari tingkat pendapatan demikian membuktikan bahwa pendapatan nelayan di Maluku Tenggara rata-rata dibawah US$2 per hari, artinya masih dibawah standar tingkat kemiskinan yang ditetapkan oleh UNDP sebesar US$2 per kapita per hari.
Sementara pada nelayan bermesin rata-rata tingkat pendapatan yang diperoleh melalui hasil analisis pendapatan dari nelayan bermesin adalah sebesar 77.798 rupiah per hari. Namun pendapatan rata-rata terendah adalah sebesar 5.042 rupiah per hari, dan pendapatan rata-rata tertinggi adalah sebesar 265.339 rupiah per hari. Pendapatan tertinggi diperoleh dari nelayan bermesin dengan sarana penangkapan berupa bagan ikan, dimana hasil tangkapan dari bagan ikan ini sangat besar, dan rata-rata 60-70 kg per malam, dan pada musim panen ikan antara bulan Desember hingga bulan Maret pendapatan rata-rata per malam sebesar 2 ton ikan. Pendapatan yang tinggi tersebut dapat mempengaruhi pendapatan rata-rata nelayan menjadi besar, namun masih banyak nelayan yang berpendapatan dibawah 10.000 rupiah per hari yaitu 17,86%.
6.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan a. Nelayan Menggunakan Mesin Nilai R2 (R square) dari tabel Model Summary sebesar 84,2% menunjukan bahwa variasi “income/pendapatan” nelayan yang menggunakan mesin dapat dijelaskan oleh perubahan dalam variabel pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, sarana menangkap ikan, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan. Tabel 28 Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan bermesin
Model 1
R .918
R Square .842
Adjusted R Square .776
Std. Error of the Estimate 73873791.52
Durbin-Watson 1.085
Sumber : data primer, diolah dari hasil penelitian. Hal ini diperkuat dengan analisa dari tabel ANOVA yang merupakan pengujian secara bersama antara semua variabel bebas terhadap variabel terikat (pendapatan nelayan). Hasil analisa uji F pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa nilai uji F sebesar 12,679 dengan P-value 0,000 yang berarti bahwa pendapatan nelayan yang memiliki sarana penangkapan yang dilengkapi dengan mesin dipengaruhi oleh variabel pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, sarana menangkap ikan, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan. Tabel uji F dibawah ini : Tabel 29 Hasil analisis of varians pada nelayan bermesin
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 553538554940219000. 103689404397573600. 657227959337793000.
Df 8 19 27
Mean Square 69192319367527400. 5457337073556500.
F 12.679
Sig. .000
Sumber : data primer, diolah Walaupun hasil pengujian secara bersama menunjukkan bahwa variabel-variabel yang dimasukkan dalam model memiliki pengaruh terhadap pendapatan nelayan, namun pengujian tersebut belum menunjukkan variabel-variabel apa yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan. Oleh karena itu, tahapan selanjutnya melakukan pengujian terhadap variabel-variabel secara parsial dengan menggunakan uji t. Namun sebelum melakukan uji t perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi model OLS yakni tidak terdapat autokorelasi, multikolinearitas dan heteroskedastisitas dan data menyebar secara normal. Selanjutnya nilai uji statistik Durbin-Watson = 1.085, nilai tersebut berada di daerah tanpa pengambilan keputusan dalam uji Durbin-Watson sehingga dapat diasumsikan bahwa tidak terjadi autokorelasi. Sedangkan pengujian multikolieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Apabila nilai VIF < 10 yang berarti tidak ada multikolinearitas antar variabel bebas (Rockmery dan Deck, 1982 dalam Juanda 2007). Hasil analisa sebagaimana ditampilkan pada tabel di bawah ini menunjukkan nilai VIF dari seluruh variabel yang dimasukkan di dalam model < 10 yang berarti bahwa tidak terjadi multikoliearitas. Oleh karena itu, pengujian partial
untuk mengetahui variabel apa saja yang
berpengaruh terhadap pendapatan nelayan dapat dilakukan. Hasil analisa dengan menggunakan SPSS dapat ditampilkan pada tabel berikut ini. Tabel 30 Hasil analisa partial variabel yang mempengaruhi pendapatan nelayan. Variabel
Coefficients
Std. Error
(Constant)
514839395.940 -506492.402 1760395.022 95630399.731 128619637.997 -240007477.963 78487889.055 13540133
164065165.892
3.138
.005
2074608.903 15414452.479 66068435.650 49549106.743 95129224.509 43983191.129 37702003.324 21196606.000
-.244 .114 1.447 2.596 -2.523 1.784 -3.591 2.441
.810 .910 .164 .018** .021** .090* .002*** .025**
pengalaman nelayan jumlah tanggungan tingkat pendidikan nelayan musim menangkap ikan akses ke pasar sarana menangkap ikan jarak menangkap ikan jumlah orang menangkap ikan
51733974.658
Sumber : data primer, diolah
t
Sig
VIF 2.306 2.306 2.742 1.848 3.080 2.431 1.786 2.293
Berdasarkan nilai pada tabel di atas maka persamaan regresi berganda yang diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (ordinary least squares) adalah : Y =
514839395.940 - 506492.402x1 + 1760395.022x2 + 95630399.731x3 + 128619637.997x4 - 240007477.963x5 + 78487889.055x6 + 13540133x7 + 51733974.658x8. Selanjutnya untuk menguji masing-masing koefisien regresi digunakan uji – t
dengan hasil sebagai berikut : Hasil analisa dapat dibandingkan dengan P-value yang terdapat pada tabel yang telah dinalisis dengan menggunakan SPSS. Analisis secara partial menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan nelayan adalah musim menangkap ikan (taraf nyata 5%), akses ke pasar (taraf nyata 5%), sarana menangkap ikan (nyata pada taraf 10%), jarak menangkap ikan (taraf nyata 1%) dan jumlah orang yang menangkap ikan (taraf nyata 5%) sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil analisa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Variabel pengalaman kerja, hasil uji t menunjukkan bahwa pengalaman kerja tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena umumnya masyarakat di desa tersebut memiliki keahlian secara turun-termurun sehingga melaut merupakan bagian dari kehidupan masyarakat bahkan sejak anak-anak mereka sudah terbiasa dengan melaut. 2. Variabel jumlah tanggungan, hasil uji t menunjukkan bahwa jumlah tanggungan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan karena anak-anak sejak kecil mereka sudah membantu orang tua dalam bekerja apakah sebagai nelayan ataupun sebagai petani. 3. Variabel tingkat pendidikan, hasil uji t menunjukkan bahwa pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena menjadi nelayan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi, hanya membutuhkan ketrampilan yang diperoleh diluar sekolah-sekolah formal, dan sarana penangkapan ikan yang digunakan sangat tradisional sehingga tidak membutuhkan pendidikan tinggi. 4. Variabel musim penangkapan ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b4 = 128619637,997 dan nyata pada taraf 5% yang berarti bahwa pada musim timur masyarakat memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena pada musim timur laut lebih teduh sehingga nelayan dengan leluasa melakukan
aktifitas penangkapan ikan. Dan jenis ikan tertentu seperti komo, cakalang (tongkol) lebih banyak muncul dan makan umpan nelayan pada musim timur. 5. Variabel akses ke pasar, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b5 = -240007477.963 dan nyata pada taraf 5 % yang berarti bahwa semakin jauh dari pusat pasar, nelayan yang memiliki sarana penangkapan ikan yang dilengkapi mesin memiliki pendapatan yang tinggi karena pasar yang berada jauh dari nelayan, tidak dapat diakses oleh nelayan tanpa mesin sehingga nelayan bermesin yang memiliki peluang untuk menjual hasil ke pasar. 6. Variabel sarana menangkap ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b6 = 78487889,055 nyata pada taraf 10% yang berarti nelayan yang memiliki mesin dan perahu yang besar dapat menempuh jarak yang tidak bisa ditempuh oleh nelayan tanpa mesin, sehingga pendapatan yang diperoleh nelayan akan bertambah sebesar Rp 78.487.889,055. Hal ini terjadi karena pada wilayah pesisir pantai telah terjadi over fishing sehingga stok ikan yang tersedia sudah semakin berkurang. 7. Variabel jarak menangkap ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b7 = 13540133 nyata pada taraf 1% yang berarti nelayan yang memiliki mesin dan perahu yang besar dapat menempuh jarak yang tidak bisa ditempuh oleh nelayan tanpa mesin, sehingga pendapatan yang diperoleh nelayan akan bertambah sebesar Rp 13.540.133. Hal ini terjadi karena pada wilayah pesisir pantai telah terjadi over fishing sehingga stok ikan yang tersedia sudah semakin berkurang. 8. Variabel jumlah orang yang menangkap ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b8 = 51733974.658 nyata pada taraf 5% yang berarti bahwa peningkatan jumlah orang yang menangkap ikan sebanyak 1 orang akan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 51.733.974,658. Hal ini mengindikasikan bahwa nelayan yang menangkap ikan yang dilengkapi dengan sarana mesin membutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk aktifitas penangkapan sehingga perlu ditingkatkan jumlah orang yang diikutkan dalam penangkapan ikan.
b. Nelayan Tanpa Mesin
Nilai R2 (R square) dari tabel Model Summary sebesar 66,2% menunjukan bahwa variasi “income/pendapatan” nelayan yang tidak menggunakan mesin dapat dijelaskan oleh perubahan dalam variable pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, sarana menangkap ikan, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan. Tabel 31 Hasil analisis faktor-faktor mempengaruhi pendapatan nelayan tanpa mesin
Model 1
R .814
R Square .662
Adjusted R Square .544
Std. Error of the Estimate 60715581.51
DurbinWatson 2.223
Sumber : data primer, diolah Hal ini diperkuat dengan analisa dari tabel ANOVA yang merupakan pengujian secara bersama antara semua variabel bebas terhadap variabel terikat (pendapatan nelayan). Hasil analisa uji F pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa nilai uji F sebesar 5,596 dengan P-value 0,001 yang berarti bahwa pendapatan nelayan yang tidak memiliki mesin dipengaruhi oleh variabel pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, sarana menangkap ikan, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan. Adapun uji F dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 32 Hasil analisis of varians pada nelayan tanpa mesin Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 144401165796401000.000 73727636760782400.000 218128802557183300.000
Df 7 20 27
Mean Square 20628737970914420.000 3686381838039118.000
F 5.596
Sig. .001
Sumber : data primer, diolah Walaupun hasil pengujian secara bersama menunjukkan bahwa variabel-variabel yang dimasukkan dalam model memiliki pengaruh terhadap pendapatan nelayan, namun pengujian tersebut belum menunjukkan variabel-variabel mana yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan. Oleh karena itu, tahapan selanjutnya melakukan pengujian terhadap variabel-variabel secara parsial dengan menggunakan
uji t. Namun sebelum
melakukan uji t perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi model OLS yakni tidak terdapat autokorelasi, multikolinearitas dan heteroskedastisitas dan data menyebar secara normal.
Selanjutnya nilai uji statistik Durban-Watson = 2.223, nilai tersebut mendekati nilai 2 sehingga mengindikasikan bahwa tidak terjadi autokorelasi. Sedangkan pengujian multikolieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Apabila nilai VIF < 10 yang berarti tidak ada multikolinearitas antar variabel bebas (rockmery dan deck, 1982 dalam Juanda, 2007 ). Hasil analisa sebagaimana ditampilkan pada tabel di bawah ini menunjukkan nilai VIF dari seluruh variabel yang dimasukkan di dalam model < 10 yang berarti bahwa tidak terjadi multikoliearitas. Oleh karena itu, pengujian partial
untuk mengetahui variabel apa saja yang
berpengaruh terhadap pendapatan nelayan dapat dilakukan. Hasil analisa dengan menggunakan SPSS dapat ditampilkan pada tabel berikut ini. Tabel 33 Hasil analisa partial variabel yang mempengaruhi pendapatan nelayan. Variabel
Coefficients
Std. Error
(Constant)
228637788.597 -26650183.974 -104030269.244 -223632895.998 201135650.511 75721855.957 4365205.742
171260907.125 11477860.758 37415277.894 47274236.750 57530558.748 48858310.065 39547438.341 35173269.828
jumlah tanggungan tingkat pendidikan nelayan musim menangkap ikan akses ke pasar sarana menangkap ikan jarak menangkap ikan jumlah orang yg menangkap ikan
-25015724.907
t
Sig
1.335
.197
-2.322 -2.780 -4.731 3.496 1.550 .110 -.711
.031** .012** .000*** .002*** .137 .913 .485
VIF 2.348 1.790 3.183 3.688 1.203 1.136 1.294
Sumber : data primer, diolah Berdasarkan nilai pada tabel di atas maka persamaan regresi berganda yang diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (ordinary least squares) adalah : Y = 228637788.597 - 26650183.974x1 - 104030269.244x2 - 223632895.998x3 + 201135650.511x4
+
201135650.511x5
+
75721855.957x6
+
4365205.742x7 - 25015724.907x8 Selanjutnya untuk menguji masing-masing koefisien regresi digunakan uji – t dengan hasil sebagai berikut : Hasil analisa dapat dibandingkan dengan P-value yang terdapat pada tabel yang telah dinalisa dengan menggunakan SPSS. Analisis secara partial menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan nelayan adalah jumlah tanggungan keluarga (taraf nyata 1%), tingkat pendidikan nelayan (taraf nyata 10%), musim menangkap ikan (taraf nyata 1%) dan akses ke pasar (taraf nyata 1%), sedangkan
variabel lainnya tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil analisa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Variabel jumlah tanggungan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b1 = -26650183,974 dan nyata pada taraf 5% yang berarti dengan peningkatan jumlah tanggungan 1 orang keluarga menambah beban sebesar Rp 26.650.183,974 karena penambahan jumlah anggota keluarga menjadi beban bagi kepala keluarga untuk memberi nafkah dan anggota keluarga tersebut belum berusaha secara produktif untuk meningkatkan pendapatan di dalam keluarga. 2. Variabel tingkat pendidikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b2 =
-
104030269,244 dan nyata pada taraf 5 % yang berarti bahwa masyarakat yang berpendidikan rendah (tidak tamat SD) tidak merasa beban (gengsi) jika tidak menggunakan peralatan tanpa mesin saat menangkap ikan, sehingga dengan senang hati dia menangkap ikan. Sementara nelayan yang berpendidikan lebih tinggi, jika tidak menggunakan mesin dia merasa gengsi. sehingga untuk melakukan penangkapan dia tidak bergaira. Selain itu, masyarakat yang berpendidikan tinggi memiliki peluang usaha lain dan tidak bergantung sepenuhnya pada usaha penangkapan ikan. 3. Variabel musim penangkapan ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b3 =
-
223632895,998 dan nyata pada taraf 1% yang berarti bahwa pada musim barat masyarakat memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena letak wilayah penangkapan lebih cocok untuk menangkap ikan pada musim barat. Dan pada musim barat terjadi musim peningkatan aktifitas melaut karena nelayan tidak melakukan aktifitas sampingan mereka sebagai tani serabutan ataupun usaha lainnya. 4. Variabel akses ke pasar, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b4 = 201135650,511 dan nyata pada taraf 1% yang berarti bahwa semakin mudah akses nelayan ke pasar, maka pendapatan nelayan semakin tinggi karena nelayan mudah memasarkan hasil tangkapannya, sehingga ikan hasil tangkapan habis terjual dan biaya transportasi ke pasar semakin kecil . 5. Variabel sarana menangkap ikan, tidak nyata berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat nelayan yang tidak memiliki mesin karena umumnya sarana yang dimiliki hanya berupa sampan dan dayung dilengkapi alat pancing ulur sehingga mereka tetap
menggunakan sarana tersebut untuk melakukan aktifitas penangkapan pada pesisir pantai dimana telah terjadi over fishing sehingga pendapatan nelayan tidak meningkat. 6. Variabel jarak menangkap ikan, tidak nyata berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat nelayan yang tidak memiliki mesin karena keterbatasan sarana maka lokasi penangkapan ikan umumnya berada pada lokasi pesisir pantai sehingga hasil tangkapan nelayan menjadi sedikit akibat dari terjadinya over fishing pada wilayah pesisir. 7. Variabel jumlah orang yang menangkap ikan, tidak nyata berpengaruh terhadap pendapatan nelayan karena umumnya nelayan yang tidak memiliki mesin hanya mengandalkan sampan dan alat pancing sehingga, 1 perahu kecil hanya 1 orang nelayan, karena jumlah orang tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan.
c. Gabungan Nelayan Mesin dan Nelayan Tanpa Mesin Nilai R2 (R square) dari tabel Model Summary sebesar 81% menunjukan bahwa variasi “income/pendapatan” nelayan dapat dijelaskan oleh perubahan dalam variable pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, sarana menangkap ikan, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan. Tabel 34 Hasil analisis faktor-faktor mempengaruhi pendapatan nelayan tanpa mesin
Model 1
R .900
R Square .810
Std. Error of the Estimate 20296837.04
Adjusted R Square .783
Durbin-Watson 2.416
Sumber : data primer, diolah Hal ini diperkuat dengan analisa dari tabel ANOVA yang merupakan pengujian secara bersama antara semua variabel bebas terhadap variabel terikat (pendapatan nelayan). Hasil analisa uji F pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa nilai uji F sebesar 29,302 dengan P-value 0,000 yang berarti bahwa
pendapatan nelayan
dipengaruhi oleh variabel pengalaman nelayan, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, musim menangkap ikan, akses ke pasar, tehnologi, jarak menangkap ikan, dan jumlah orang yang menangkap ikan. Tabel 35 Hasil analisis of varians pada nelayan tanpa mesin Model 1
Regression Residual
Sum of Squares 84500160027602600.000 19774156500092010.000
Df 7 48
Mean Square 12071451432514650.000 411961593751916.800
F 29.302
Sig. .000
Total
104274316527694600.000
55
Sumber : data primer, diolah Walaupun hasil pengujian secara bersama menunjukkan bahwa variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam model memiliki pengaruh terhadap pendapatan nelayan, namun pengujian tersebut belum menunjukkan variabel-variabel apa saja yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan. Oleh karena itu, tahapan selanjutnya melakukan pengujian terhadap variabel-variabel secara parsial dengan menggunakan uji t. Namun sebelum melakukan uji t perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi model OLS yakni tidak terdapat autokorelasi, multikolinearitas dan heteroskedastisitas dan data menyebar secara normal. Selanjutnya nilai uji statistik Durban-Watson = 2,416, nilai tersebut mendekati nilai 2 sehingga mengindikasikan bahwa tidak terjadi autokorelasi. Sedangkan pengujian multikolieritas dapat dilihat dari nilai VIF. Apabila nilai VIF < 10 yang berarti tidak ada multikolinearitas antar variabel bebas (Rockmery dan Deck, 1982 dalam Juanda, 2007). Hasil analisa sebagaimana ditampilkan pada tabel di bawah ini menunjukkan nilai VIF dari seluruh variabel yang dimasukkan di dalam model < 10 yang berarti bahwa tidak terjadi multikoliearitas. Oleh karena itu, pengujian partial
untuk mengetahui variabel apa saja yang
berpengaruh terhadap pendapatan nelayan dapat dilakukan. Hasil analisa dengan menggunakan SPSS dapat ditampilkan pada tabel berikut ini. Tabel 36 Hasil analisa partial variabel yang mempengaruhi pendapatan nelayan. Variabel (Constant) jumlah tanggungan tingkat pendidikan nelayan musim menangkap ikan akses ke pasar sarana penangkapan jarak menangkap ikan jumlah orang yg melaut
Coefficients -184759634.710 -738745.996 1523798.042 -4047863.681 62271049.107 68014094.414 42425119.165 4160761.715
Std. Error 34447343.844 2249959.179 8181126.482 7546183.041 10578301.202 14623389.776 11378895.042 3405393.312
t -5.364 -.328 .186 -.536 5.887 4.651 3.728 1.222
Sig .000 .744 .853 .594 .000*** .000*** .001*** .228
VIF 1.469 1.335 1.873 2.561 6.674 2.963 1.526
Sumber : data primer, diolah Berdasarkan nilai pada tabel di atas maka persamaan regresi berganda yang diperoleh dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (ordinary least squares) adalah :
Y = -184759634.710 - 738745.996x1 + 1523798.042x2 - 4047863.681x3 + 62271049.107x4 + 68014094.414x5 + 42425119.165x6 + 4160761.715x7 Selanjutnya untuk menguji masing-masing koefisien regresi digunakan uji – t dengan hasil sebagai berikut : Hasil analisa dapat dibandingkan dengan P-value yang terdapat pada tabel yang telah dinalisa dengan menggunakan SPSS. Analisis secara partial menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan nelayan adalah akses ke pasar (taraf nyata 1%), sarana penangkapan (taraf nyata 1%), dan jarak melaut (taraf nyata 1%), sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil analisa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Variabel jumlah tanggungan, hasil uji t menunjukkan bahwa jumlah tanggungan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan karena anak-anak sejak kecil mereka sudah membantu orang tua dalam bekerja apakah sebagai nelayan maupun sebagai petani, sehingga anak tidak merupakan beban bagi orang tua. 2. Variabel tingkat pendidikan, hasil uji t menunjukkan bahwa pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena menjadi nelayan tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Dan sarana penangkapan ikan yang digunakan hanya membutuhkan ketrampilan yang diperoleh diluar sekolah-sekolah formal. 3. Variabel musim penangkapan ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa musim penangkapan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan nelayan karena pada musim barat maupun musim timur masyarakat memperoleh pendapatan yang hampir sama. Hal ini terjadi karena letak wilayah penangkapan cocok untuk menangkap ikan pada kedua musim tersebut. 4. Variabel akses ke pasar, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b4 = 62271049,107 dan nyata pada taraf 1% yang berarti bahwa semakin mudah nelayan memiliki akses ke pasar, maka pendapatannya semakin tinggi. Sehingga semakin dekat jarak dengan pasar maka pendapatan nelayan akan bertambah sebesar Rp 62.271.049,107. Hal ini terjadi karena semakin dekat nelayan mudah memasarkan produknya sehingga ikan hasil tangkapan habis terjual dan biaya transportasi ke pasar semakin kecil . 5. Variabel sarana menangkap ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b5 = 68014094,414 nyata pada taraf 1% yang berarti nelayan yang memiliki mesin dan
perahu yang besar dapat menempuh jarak yang tidak bisa ditempuh oleh nelayan tanpa mesin, sehingga pendapatan yang diperoleh nelayan akan bertambah sebesar Rp 68.014.094,414. Hal ini terjadi karena pada wilayah pesisir pantai telah terjadi over fishing sehingga stok ikan yang tersedia sudah semakin berkurang. 6. Variabel jarak menangkap ikan, hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b6 = 42425119,165 nyata pada taraf 1% yang berarti nelayan yang memiliki mesin dan perahu yang besar dapat menempuh jarak yang tidak bisa ditempuh oleh nelayan tanpa mesin, sehingga pendapatan yang diperoleh nelayan akan bertambah sebesar Rp 42.425.119,165. Hal ini terjadi karena pada wilayah pesisir pantai telah terjadi over fishing sehingga stok ikan yang tersedia sudah semakin berkurang. 7. Variabel jumlah orang yang menangkap ikan, tidak nyata berpengaruh terhadap pendapatan nelayan karena umumnya nelayan yang tidak memiliki mesin hanya mengandalkan sampan dan alat pancing sehingga, 1 perahu kecil hanya 1 orang nelayan, karena jumlah orang tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan.
6.5. Analisis Kemiskinan Indikator nasional dalam menentukan jumlah penduduk yang dikatagorikan miskin ditentukan oleh standar garis kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan cara menetapkan nilai standar kebutuhan minimum. Baik berupa kebutuhan makanan dan non makanan yang harus dipenuhi seseorang untuk hidup layak. Penetapan standar inilah yang digunakan untuk membedakan antara penduduk miskin dan tidak miskin. Apabila penduduk dalam pengeluaran tidak mampu memenuhi kecukupan makanan setara 2.100 kalori per hari ditambah pemenuhan kebutuhan pokok minimum non makanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan dasar, pendidikan dasar, transportasi, dan aneka barang jasa lainnya maka ia dapat dikatagorikan miskin.
Selain itu indikator kemiskinan
menurut UNDP bahwa standar garis kemiskinan dapat diukur menurut pendapatan ratarata per kapita per hari apabila kurang dari US $1 maka dikatakan sangat miskinan, dan apabila pendapatan dibawah US $2 maka dikatakan miskin. Untuk mengukur tingkat kemiskinan pada suatu daerah dapat digunakan beberapa indikator dibawah ini.
6.5.1. Tingkat Kesehatan
Di Kabupaten Maluku Tenggara derajat kesehatan dapat dikukur dengan jumlah masyarakat yang tergantung dengan layanan kesehatan baik oleh rumah sakit, puskesmas maupun puskesmas pembantu. Data menunjukan bahwa terdapat 82.14% masyarakat bergantung pada layanan kesehatan yang dilakukan oleh RSUD, puskesmas, dan puskesmas pembantu. Sedangkan terdapat 17,86 % masyarakat masih berobat secara tradisional. Sarana prasarana kesehatan di Kabupaten Maluku Tenggara masih terbatas, begitu juga dengan tenaga medis masih kurang sehingga perlu adanya peningkatan terhadap sarana prasarana dan jumlah tenaga medis yang ada, sehingga pelayanan kesehatan terhadap masyarakat semakin membaik. Di Maluku Tenggara terdapat sekolah tinggi Akademi Keperawatan, dimana setiap tahunnya dapat mewisudahkan lulusannya yang dapat berkerja pada bidang pelayanan kesehatan masyarakat. Data penelitian menunjukan bahwa pada nelayan bermesin terdapat 21,43% memiliki kartu askeskin, sementara nelayan tanpa mesin terdapat 54% menggunakan kartu askeskin. Kartu askeskin lebih tinggi pada suatu daerah, menandakan bahwa tingkat kemiskinan pada daerah tersebut masih tinggi. Hal ini nenunjukan bahwa nelayan tanpa mesin memiliki angka kemiskinan lebih tinggi dari nelayan bermesin. Status kesehatan masyarakat Maluku Tenggara secara umum masih rendah dibandingkan daerah lain di Indonesia, disebabkan belum terselenggaranya akses pelayanan kesehatan secara paripurna. Status kesehatan yang masih rendah tersebut diukur dari angka harapan hidup pada tahun 2004 sekitar 41,2%, angka kematian ibu melahirkan masih 428 per 100.000 kelahiran, angka kematian bayi 31 per 1.000 kelahiran hidup, penyebaran satus gizi kurang 8,22% dan gizi buruk 1,20%,)
dan tingginya
prevalensi ganguang akibat kekurangan yodium (GAKY), tingginya prevalensi penyakit menular seperti malaria, TB paru, frambusia, pneumonia, vilariasis, HIV/AIDS, kusta, dan lain-lain. Sungguhpun saat ini telah tersedia 17 puskesmas dan jaringannya yaitu 52 puskesmas pembantu dan puskesmas keliling, (Dinas Kesehatan Malra, 2007). Namun demikian pemerataan dan keterjangkauan pelayanan masih saja dihadapkan dengan kendala biaya dan jarak transportasi. Rendahnya derajat kesehatan tersebut disebabkan juga karena belum terselenggaranya pelayanan kesehatan secara paripurna. Demikian halnya dengan ketersediaan tenaga kesehatan, terutama di daerah pedesaan yang terpencil, masih sangat terbatas. Masalah-masalah ini dipengaruhi juga oleh kondisi geografis
Maluku Tenggara sebagai kabupaten kepulauan, terdiri dari banyak pulau kecil, sehingga merupakan penghambat dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu menyediakan dana operasional yang cukup pada institusi yang tersedia, serta fasilitas kesehatan pada puskesmas-puskesmas dan RSUD perlu terus dikembangkan menjadi lebih representatif, juga jumlah dan kualitas tenaga kesehatan harus ditingkatkan dan dapat disebarkan secara merata ke setiap puskesmas yang tersedia. Saat ini, pelayanan RSUD Maluku Tenggara terhadap kesehatan keluarga miskin semakin membaik. Sejak tahun 2004 jumlah pasien dari keluarga miskin yang berobat ke RSUD sebanyak 1.022 orang terdiri dari 465 pasien UGD dan 557 pasien rawat jalan. jumlah pasien keluarga miskin yang berobat menggunakan kartu askeskin tercatat sebanyak 1.505 orang. Sedangkan jumlah pasien keluarga miskin yang menggunakan fasilitas rawat nginap kelas III sebanyak 483 orang dengan jumlah hari 1.952 hari. (Dinas Kesehatan Malra, 2007). Sesuai dengan hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 39,29% masyarakat nelayan telah memiliki rumah dengan dilengkapi fasilitas kamar mandi, WC (tempat pembuangan hajat) secara pribadi, sedangkat masih terdapat 60,71% masyarakat nelayan masih menggunakan sumur, tempat mandi secara bersama, dan juga WC umum atau pantai untuk pembuangan najis. Hal ini menggambakan kepada kita bahwa tingkat kehidupan masyarakat nelayan masih dipengaruhi oleh faktor budaya kesehatan lingkungan yang primitif serta tingkat ekonomi yang rendah sehingga belum mampu menyediakan tempat mandi ataupun WC secara pribadi.
6.5.2. Pendidikan Kualitas (SDM) sumber daya manusia di Maluku Tenggara masih tergolong rendah dan juga mengalami penurunan drastis akibat langsung dari pertikaian antar kelompok di Maluku Tenggara. Kenyataan menunjukan bahwa rendahnya kualitas sumber daya tersebut terlihat pada aspek-aspek semangat dan kemampuan kewirausahaan, etos kerja, kepercayaan diri, kreativitas, ketrampilan, dan profesionalisme serta penguasaan IPTEK. Taraf pendidikan penduduk Maluku Tenggara walau telah mengalami peningkatan dibanding periode sebelumnya, namun masih tergolong rendah dibandingkan dengan daerah lain di Indoensia. Disamping keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, penyebarannya pun belum merata keseluruh pelosok kabupaten,
Demikian halnya dengan jumlah, kualitas dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan serta pengembangan manajemen pendidikan yang efektif pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Berkembangnya sekolah-sekolah kejuruan yang sesuai dengan potensi pengembangan daerah belum sepenuhnya memberikan andil bagi penciptaan tenaga-tenaga trampil untuk mengisi kebutuhan ketenagakerjaan di Maluku Tenggara. Sungguhpun telah berkembang 5 (lima) perguruan tinggi swasta dan 1 (satu) politeknik perikanan negeri, namun bidang keilmuan yang diemban di perguruan tinggi tersebut belum mencakup bidang-bidang yang sangat dibutuhkan dalam era teknologi kini dan dimasa akan datang. Berdasarkan data tahun 2004, fasilitas pendidikan yang tersedia sebagai berikut : TK 26 buah, SD 183 buah, SLTP 35 buah, SMA 16 buah dan Perguruan Tinggi 6 Buah. Daya tampung SD swasta sebanyak 12.813 murid, sedangkan SD negeri mampu menampung 10.030 siswa. Untuk SLTP jumlah murid yang ditampung swasta 3.789 murid, SLTP negeri 3.734 murid, sehingga murid di sekolah swasta lebih banyak daripada sekolah negeri, sedangkan di tingkat SLTA daya tampung sekolah negeri lebih besar dari swasta dimana sekolah swasta mampu menampung 2.555 murid dan negeri 3.756 murid (RPJM Malra, 2007). Tabel 37
Jumlah gedung sekolah dan daya tampung sekolah di Kabupaten Maluku Tenggara 2006/2007
Gedung Sekolah
Unit
Daya Tampung Siswa
TK
26
Negeri
Swasta
SD
183
10.030
12.813
SLTP
35
3.734
3.789
SLTA
16
2.555
3.756
PT
6
-
-
Sumber : BPS Maluku Tenggara, 2007. Tabel 38
Jumlah kelulusan murid berdasarkan jenjang pendidikan tahun 2006/2007
Tahun 2006/2007
Tingkat Pendidikan SD
SLTP
SLTA
PT
3.068
2.033
1.960
601
Sumber : BPS Maluku Tenggara, 2007.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia Maluku Tenggara yang diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM), pada tahun 2004 sebesar 68,7% mengakibatkan
rendahnya produktivitas dan daya saing daerah. Pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan memegang peran penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Masalah utama pembangunan bidang pendidikan adalah masih terbatasnya akses dan pemerataan pendidikan yang berkualitas, antara lain terlihat dari masih belum tercapainya angka partisipasi kasar pada jenjang SD/MI baru mencapai 80,82%, SMP/MTs 74,71% dan SMA/SMK/MA 26,86%. Walaupun angka melek huruf telah mendekati 98%, namun rata-rata lamanya sekolah masih diatas tujuh tahun. Selain itu Maluku Tenggara masih dihadapkan dengan terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, rasio dan penyebaran tenaga guru teristimewa guru bidang studi belum sebanding. Juga masih terlihat dari kesenjangan partisipasi pendidikan antara kelompok masyarakat di perkotaan dan pedesaan, antara penduduk miskin dan penduduk yang sudah mampu. Pendidikan nonformal yang berfungsi sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat, juga belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat (RPJM Malra, 2007).
6.5.3. Tenaga Kerja Angkatan kerja merupakan potensi sumberdaya manusia yang sekaligus mencerminkan ketersediaan tenaga kerja potensial yang siap diikutsertakan dalam proses pembangunan sekarang dan yang akan datang. Gambaran tentang angkatan kerja di Kabupaten Maluku Tenggara menurut lapangan pekerjaan pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.
Tabel 39 Presentase penduduk 10 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha utama di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2007.
Laki – laki (%)
Perempuan (%)
Jumlah
Pertanian
Lapangan Usaha
64.42
70.72
67.57
Pertambangan dan Galian
0.24
-
0.12
Industri Gas, Listrik dan Air Kontruksi Perdagangan Transportasi dan Komunikasi Keuangan Jasa
1.68 0.48 3.94 3.95 10.61 1.49 13.20
1.38 2.77 1.85 23.28
1.53 0.24 1.97 3.36 5.30 1.67 18.24
Sumber: BPS Maluku Tenggara, 2007.
Data ini memperlihatkan bahwa aktifitas penduduk di Kabupaten Maluku Tenggara berkisar pada bidang pertanian, pertambangan dan galian, industri, listrik gas dan air, konstruksi, perdagangan, transportasi dan komunikasi, keuangan, jasa, dan lainya. Aktifitas penduduk dominan pada jenis pekerjaan pertanian yaitu sebesar 67,57%. Disusul sektor jasa sebesar 18,24% kemudian sektor transportasi dan komunikasi sebesar 5,30%. sedangkan sektor yang paling rendah adalah sektor pertambangan dan galian sebesar 0,12%.
6.5.4. Mortalitas dan Fertilitas Status kesehatan masyarakat Maluku Tenggara secara umum masih rendah, disebabkan belum terselenggaranya akses pelayanan kesehatan secara paripurna. Status kesehatan yang masih rendah tersebut diukur dari angka harapan hidup pada tahun 2004 sekitar 41,2%, angka kematian ibu melahirkan masih 428 per 100.000 kelahiran, angka kematian bayi 31 per 1.000 kelahiran hidup, penyebaran satus gizi kurang 8,22% dan gizi buruk 1,20%,) dan tingginya prevalensi ganguang akibat kekuarangan yodium (GAKY), tingginya prevalensi penyakit menular seperti malaria, TB paru, frambusia, pneumonia, vilariasis, HIV/AIDS, kusta, dan lain-lain. Sungguhpun saat ini telah tersedia 17 puskesmas dan jaringannya yaitu 52 puskesmas pembantu dan puskesmas keliling, namun demikian pemerataan dan keterjangkauan pelayanan masih saja dihadapkan dengan kendala biaya dan jarak transportasi. Rendahnya derajat kesehatan tersebut disebabkan juga karena belum terselenggaranya pelayanan kesehatan secara paripurna menyangkut aspek promotif, aspek preventif, aspek kuratif dan aspek rehabilitatif. Demikian halnya dengan ketersediaan tenaga kesehatan, terutama didaerah pedesaan dan terpencil, masih sangat terbatas. Masalah-masalah ini dipengaruhi juga oleh kondisi geografis Maluku Tenggara yang menjadi faktor kesulitan dan biaya tinggi bagi
masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan pada institusi yang tersedia (Dinas Kesehatan Malra, 2007).
6.5.5. Perumahan dan Pemukiman Hasil penelitian membuktikan bahwa nelayan bermesin dalam penangkapan ikan, terdapat 85,71% telah memiliki rumah parmanen, dengan kondisi bangunan beratap (seng, asbes, cor dak, atau genteng), dinding rumah bertembok semen, dan kondisi lantai terdiri dari keramik (ubin) dan semen. Sementara 7,14% memiliki rumah semi parmanen dengan kondisi rumah beratap seng atau asbes dengan memiliki dinding rumah setengah dinding tembok dari semen dan setengah dari papan ataupun bahan bangunan lainnya. Terdapat 7,14% nelayan belum memiliki rumah pribadi. Sementara nelayan tanpa mesin terdapat 64% telah memiliki rumah parmanen, dan 25% memiliki rumah semi parmanen, sementara 10,71% belum memiliki rumah atau masih menumpang pada rumah saudara. Pusat pemukiman di Kepulauan Kei Kecil terkonsentrasi pada pusat-pusat utama di wilayah ini, seperti: Tual, Fidatan, Watdek, Langgur, Kecamatan Kei Kecil Timur yaitu pada wilayah pesisir Sathean sampai dengan Danar, dan sebelah barat terkonsentrasi dari Dian Darat sampai Ohoidertutu. Sedangkan distribusi pemukiman yang lain (tidak padat) menyebar pada hampir sebagian besar pesisir utara pulau Kei Kecil dan pulau-pulau kecil di bagian barat Kepulauan Kei Kecil. Luasan pemukiman di wilayah Kepulauan Kei kecil adalah sebesar 3.243 ha. Distribusi pemukiman di Pulau Kei Besar terkonsentrasi pada seluruh wilayah pesisir, meskipun terdapat beberapa desa di tengah-tengah pulau atau jauh dari pantai. Di Pulau Kei Besar terdapat 3 kecamatan yaitu Kecamatan Kei Besar, Kecamatan Kei Besar Selatan dan Kecamatan Kei Besar Utara Timur. Luasan pemukiman di wilayah ini sebesar 1.350 ha. Sementara di wilayah kepulauan Kur dan Tayando terdapat 2 kecamatan. Di Tayando pemukiman terkonsentari pada 3 kecamatan, dengan luasan pemukiman sebesar 305,9 ha. Di Kepulauan Kur pemukiman terdistribusi dalam pola yang jarang di beberapa pulau utama seperti Pulau Namsar, Pulau Buih, Pulau Tengah, Pulau Kamear dan Pulau Mangur. Luasan pemukiman di Kepulauan Kur dan Mangur sebesar 97,8 ha.
Kondisi perumahan di wilayah Kei Besar bagian utara barat dan utara timur masih banyak di jumpai perumahan yang sangat sederhana, hal ini disebabkan karena sarana transportasi ke wilayah tersebut sangat terbatas, belum ada transportasi darat yang dapat menghubungkan kota kecamatan dengan desa-desa di wilayah tersebut, sementara transportasi laut jarang sekali dijumpai. Sedangkan wilayah tengah dan selatan Pulau Kei Besar sudah jarang dijumpai rumah-rumah sangat sederhana karena masalah transportasi tidak menjadi hambatan lagi antar kota kabupaten dan desa. Juga karena wilayah tengah dan selatan Kei Besar akibat konflik yang terjadi pada beberapa waktu lalu, sehingga mereka mendapat bantuan dari pemerintah untuk pembangunan kembali perumahan mereka yang telah terbakar saat itu. Pada pemukiman nelayan bermesin terdapat 75% telah menggunakan jasa listrik PLN sebagai sarana penerangan rumah, sementara
pada nelayan tanpa mesin baru
terdapat 46% yang menggunakan listrik PLN untuk penerangan rumah. Hal ini disebabkan karena pada wilayah desa-desa nelayan bermesin telah dialiri aliran listrik dari PLN, sementara desa nelayan tanpa mesin kebanyakan belum masuk aliran listrik dari PLN.
6.5.6. Penerimaan Nelayan Penerimaan atau pendapatan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara berfariasi antara nelayan satu dengan nelayan yang lain. Hal ini sangat tergantung kepada kondisi dan kepemilikan sarana-prasarana penangkapan perikanan yang dimiliki oleh nelayan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat penerimaan nelayan tanpa mesin dari hasil pendapatan perikanan tangkap berkisar antara 3.756 – 68.850 rupiah per nelayan per hari atau rata-rata penerimaan per nelayan per hari sebesar 13.865 rupiah. Hal ini menginformasikan kepada kita bahwa tingkat pendapatan masyarakat nelayan lokal tanpa menggunakan mesin dalam usaha penangkapan ikan di Kabupaten Maluku Tenggara masih dibawah garis kemiskinan, sesuai indikator tingkat kemiskinan yang ditetapkan oleh UNDP sebesar US$1 - US$2 per kapita per hari. Tabel 40 Persentase pendapatan nelayan di Maluku Tenggara No
Kisaran Income
Persentase Nelayan Tanpa Nelayan Mesin Mesin
1 2 3 4 5 6
≤ 250.000. 251.000 - 750.000 751.000 - 1.250.000 1.251.000 - 1.750.000 1.751.000 - 2.250.000 ≥ 2.251.000 Jumlah
60.71 25 3.57 7.14 3.57 0 100
14.29 50 0 0 3.57 32.14 100
70 60 50 40 Persentase
30
Nelayan Tanpa Mesin
20
Nelayan Mesin
10 0
1
2
3
4
5
6
Rp.
Gambar 20 Persentase pendapatan nelayan di Maluku Tenggara Sementara penerimaan atau pendapatan nelayan bermesin di Kabupaten Maluku Tenggara berfariasi antara nelayan satu dengan nelayan yang lain. Hal ini sangat tergantung kepada kondisi kepemilikan sarana-prasarana penangkapan ikan yang dimiliki oleh nelayan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat penerimaan nelayan bermesin dari hasil pendapatan perikanan tangkap berkisar antara 5.842 – 265.399 rupiah per nelayan per hari atau rata-rata penerimaan per nelayan per hari sebesar 77.798 rupiah. Hal ini menginformasikan kepada kita bahwa tingkat pendapatan masyarakat nelayan lokal menggunakan mesin dalam usaha penangkapan ikan di Kabupaten Maluku Tenggara mempunyai pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan lokal yang tidak menggunakan mesin. Pendapatan nelayan bermesin rata-rata sebesar 77.798 rupiah per nelayan per hari. Pendapatan tersebut lebih tinggi dari indikator tingkat kemiskinan yang ditetapkan oleh UNDP sebesar $1 - $2 per kapita per hari.
6.5.7. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Sesuai dengan analisis hasil penelitian pada desa nelayan yang belum menggunakan mesin dalam usaha penangkapan ikan, menunjukan bahwa tingkat kemiskinan di Kabupaten Maluku Tenggara masih relatif tinggi, terutama pada daerah
pedesaan. Rumah tangga yang hidup dibawah batas kemiskinan dengan tingkat pengeluaran ≤ Rp 200.000 terdapat 17,85%, sedangkan tingkat pengeluaran antara 201.000–400.000 rupiah per bulan terdapat 75%. Nelayan yang mempunyai tingkat pengeluaran antara 401.000–600.000 rupiah per bulan dan nelayan berpengeluaran diatas 601.000 rupiah per bulan masing-masing 4%. Sementara hasil penelitian pada desa nelayan yang telah menggunakan mesin dalam kegiatan penangkapan ikan, menunjukan bahwa terdapat 10,71% nelayan yang tingkat pengeluarannya ≤ 200.000 rupiah per bulan. Dan nelayan yang tingkat pengeluaran antara 201.000 – 400.000 rupiah per bulan itu berjumlah 53,57%. Sedangkan nelayan yang tingkat pengeluaran antara 401.000 – 600.000 rupiah per bulan berjumlah 25%, dan nelayan yang berpengeluaran diatas 601.000 rupiah per bulan terdapat 7,14%. Tabel 41 Tingkat pengeluaran nelayan Rp. Rp. Rp. Rp.
Pengeluaran ≤ 200.000 201.000. – 400.000. 401.000. – 600.000. ≥ 601.000.
Nelayan Mesin (%) 10.71 53.57 25 7.14
Nelayan Tanpa Mesin (%) 17.85 75 4 4
Sumber : data hasil penelitian diolah 80 70 60 50 Persentase 40 30
Nelayan Mesin
20
Nelayan Tanpa Mesin
10 0
≤ 200.000
201.000. – 400.000.
401.000. – 600.000.
≥ 601.000.
Rp
Gambar 21 Tingkat pengeluaran nelayan di Maluku Tenggara
Data tersebut diatas menjelaskan bahwa tingkat pengeluaran terendah masih terdapat pada nelayan yang tidak menggunakan mesin dalam upaya penangkapan ikan. Sementara nelayan bermesin dalam penangkapan ikan mempunyai tingkat pengeluaran agak tinggi yaitu terdapat 25% berpengeluaran antara 401.000 – 600.000 rupiah per bulan. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa nelayan yang tidak mempunyai profesi sampingan lain, mempunyai tingkat produksi (hasil tangkapan) ikan lebih tinggi
dibandingkan dengan nelayan yang mempunyai pekerjaan sampingan, seperti berkebun, tukang kayu ataupun profesi lainnya. Data sampel menunjukan bahwa terdapat 64,29% nelayan yang dikatagorikan sebagai nelayan maju (nelayan bermesin) tidak mempunyai profesi lain selain sebagai nelayan. Dengan demikian maka seluruh waktu dan upaya dia, dikerahkan untuk kegiatan penangkapan ikan, sehingga tingkat pendapatannya besar, sementara nelayan yang mempunyai profesi sampingan waktunya terbagi-bagi untuk usaha yang berbeda-beda sehingga hasil tangkapan (pendapatan) yang diperoleh pun cendrung kecil. Nelayan agak maju (menggunakan mesin) sangat tergantung hidupnya kepada usaha perikanan, sementara nelayan yang belum maju (tanpa mesin) terdapat 94.43% masih mempunyai profesi sampingan seperti berkebun, menjadi tukang kayu, ataupun usaha lainnya.
6.5.8. Peta Kemiskinan di Maluku Tenggara a. The Poverty Headcount Index The poverty headcount index atau the incidence of poverty menggambarkan persentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita dibawah garis kemiskinan. Data penelitian menunjukan bahwa sebanyak 82,14%
nelayan dengan pengeluaran konsumsi per kapita masih dibawah garis
kemiskinan. Artinya sebanyak 82,14% dari masyarakat nelayan di Maluku Tenggara masih tergolong miskin.
b. The Poverty Gap Index The poverty gap index atau the dept of poverty adalah kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang merupakan perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Dari hasil penelitian menggambarkan bahwa terdapat 29,71% masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara masih berada pada kedalaman kemiskinan. Artinya
terdapat
29,71% masyarakat nelayan hidup di dalam kedalaman kemiskinan dibawah garis kemiskinan.
c. The Severity of Poverty The severity of poverty menunjukan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah. Indikator ini memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan dan ketimpangan di antara orang miskin. Rata-rata kepelikan kemiskinan pada masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara sebesar 74,42%. Hal ini menggambarkan kepada kita bahwa tingkat kepelikan kemiskinan masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara sebesar 74,42%
6.6. Dampak Sosial Ekonomi dari Usaha Perikanan Skala Industri di Tingkat Lokal Kabupaten Maluku Tenggara sebagai daerah kepulauan dengan luas wilayah laut lebih besar dari wilayah darat, memiliki potensi sumber daya perikanan yang sangat besar, namun potensi yang besar tersebut belum berdampak nyata terhadap pengembangan perekonomian masyarakat. Masyarakat masih hidup dalam kemiskinan terutama masyarakat nelayan lokal. Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana penangkapan ikan milik nelayan lokal sangat sederhana dan berkapasitas kecil dan tidak mampu untuk melakukan usaha penangkapan ikan pada wilayah laut luas. Data jumlah armada penangkapan ikan di Maluku Tenggara tahun 2007 dengan rincian sebagai berikut : total jumlah armada penangkapan sebanyak 6.407 unit, terdiri dari perahu tanpa motor (PTM) sebanyak 5.284 unit atau 82,47%, motor tempel (MT) sebanyak 894 unit atau 13,95%, kapal motor (KM) sebanyak 229 unit atau 3,57%. Dengan struktur armada penangkapan ikan seperti ini, dimana terdapat 82,47% merupakan nelayan perahu tanpa motor, tentu saja sangat sulit bagi nelayan lokal untuk dapat menguasai perikanan tangkap di wilayah Maluku Tenggara. Sementara kapal motor (KM) yang berjumlah 229 unit (3,57%) adalah kapal milik nelayan asing yang biasanya melakukan kegiatan borkar muat di pelabuhan perikanan nusantara Tual. Sementara nelayan lokal tidak memiliki kapal motor yang berkapasitas gross ton diatas 10 GT. Nelayan lokal memiliki sarana penangkapan ikan secara tradisional dan hanya 13,95% memiliki sarana penangkapan ikan berupa motor tempel. Kapal motor (KM) yang berjumlah 3,57% tersebut melakukan kegiatan bongkar
muat untuk eksport ke luar negeri di pelabuhan perikanan nusantara Tual setiap saat. Negara tujuan eksport seperti : Jepang, China, Thailand, Malaysia, Singapura dll. Dari kegiatan eksport hasil perikanan ini, memiliki dampak lansung terhadap perekonomian Maluku Tenggara sangat kecil, hal ini disebabkan karena nilai retribusi dari kegiatan perikanan tersebut dapat disetor lansung ke pemerintah propinsi dan Pemerintah Pusat. Sedangkan pemerintah daerah tidak mendapat bagian dalam retribusi tersebut, sehingga menyebabkan banyaknya pungutan liar yang dilakukan oleh berbagai instansi di Maluku Tenggara terhadap kapal-kapal asing tersebut, akibatnya pada tahun 2005, bayak kapal asing hengkang ke daerah lain seperti Ambon, Bitung, Saumlaki, dan Sorong. Banyaknya pungatan liar ini karena belum adanya regulasi yang dapat mengatur tentang siapa yang berhak melakukan tagihan retribusi terhadap kapal-kapal asing tersebut. Masuknya kapal-kapal nelayan asing di Maluku Tenggara, tidak berdampak besar terhadap pendapatan asli daerah, hal ini dikarenakan seluruh konstribusi sektor perikanan diberikan kepada pusat. Dampak ke masyarakat adalah nelayan membeli perbekalan mereka untuk kegiatan melaut, berupa BBM dan kebutuhan sembilan bahan pokok di Pasar Tual. Dampak lainnya adalah penurunan harga ikan di pasar lokal karena kapalkapal asing tersebut menjual ikan-ikan hasil tangkapan yang tidak dieksport, dengan harga murah ke masyarakat, sehingga hal ini menguntungkan konsumen ikan, akan tetapi dapat merugikan nelayan lokal. Dampak negatifnya adalah (a) dalam jangka panjang sumber daya perikanan akan terkuras habis (over fishing) yang dapat menyebabkan kelangkaan sumber daya, (b) tersebarnya bibit penyakit HIV Aids di Maluku Tenggara, akibat dari penyaluran kebutuhan biologis dari para awak kapal (nelayan asing) tersebut ke para penjaja seks di Tual.
6.7. Analisis PRA dan FGD 6.7.1. Identifikasi Permasalahan Nelayan Lokal Permasalahan yang dihadapi nelayan dalam kaitannya dengan usaha perikanan tangkap diidentifikasi melalui pengamatan lapangan lansung, wawancara, diskusi dengan nelayan dan stakeholders. Hasil dari identifikasi masalah disusun dalam daftar masalah oleh peneliti, setelah itu daftar masalah didiskusikan lagi dengan nelayan untuk mendapat koreksi dari nelayan dan stakeholders.
Dari hasil diskusi dengan para nelayan di delapan desa sampel ternyata permasalahan yang dihadapi oleh nelayan di seluruh lokasi penelitian hampir sama. Dari diskusi tersebut desepakati beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Potensi sumber daya perikanan tangkap yang tersedia di wilayah laut Maluku Tenggara sangat besar, namun potensi yang besar tersebut belum dapat dimanfaatkan secara baik oleh nelayan guna peningkatan taraf hidup mereka. 2. Akses ke pasar oleh nelayan sangat terbatas karena kendala faktor transportasi dan informasi serta sistim pemasaran hasil perikanan yang tidak jelas, hal ini dapat mengakibatkan hasil tangkapan nelayan sulit untuk dijual ke kota (pasar) sehingga banyak ikan dijual dengan harga sangat murah di desanya. 3. Bantuan yang di berikan oleh dinas instansi terkait banyak yang tidak tepat sasaran. 4. Terjadi salah sasaran dalam pemberian bantuan sehingga terdapat oknum anggota DPRD Kabupaten Maluku Tenggara, menerima bantuan sarana prasarana penangkapan ikan yang harus diberikan kepada nelayan lokal. 5. Adanya permainan oknum dinas instansi terkait dalam pemberian bantuan kepada nelayan, dimana nelayan boleh mendapat bantuan tetapi setelah bantuan tersebut di cairkan (diterima) maka oknum pegawai tersebut mendapat bagian sekitar 50 – 60% dari nilai bantuan. 6. Pada saat pendataan kelompok nelayan, nama mereka dimasukan untuk mendapat bantuan tetapi pada saat bantuan dibagi (digulirkan) mereka tidak mendapat bantuan tersebut. Seringkali pada saat pendataan nama mereka yang didata, tetapi pada saat bantuan digulirkan orang lain yang mendapat bantuan tersebut. 7. Banyak proposal diajukan oleh nelayan kepada instansi terkait tetapi tidak pernah mendapat tanggapan, sehingga mereka tetap melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan sarana prasarana yang sangat terbatas. 8.
Terdapat program bantuan yang diberikan kepada nelayan, tetapi syaratnya saat bantuan dibagi harus nelayan menyetor uang muka sebesar 3 (tiga) juta rupiah, sehingga memberatkan nelayan karena nelayan tidak memiliki uang sebesar itu.
9.
Untuk pelaksanaan program kepada nelayan, maka terlebih dahulu dinas instansi terkait harus melakukan pendataan nelayan secara jelas, siapa nelayan dan yang
bukan nelayan, kemudian bantuan harus tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan nelayan, dan harus sesuai dengan kondisi nelayan. 10. Banyaknya pungutan liar yang terjadi di Maluku Tenggara sehingga mengakibatkan nelayan besar hengkang dari Tual. 11. Kurangnya pembinaan dari dinas instansi terkait kepada kelompok nelayan tentang bagaimana cara peningkatan ketrampilan dan pengetahuan dalam melaksanakan kegiatan penangkapan maupun pengelolaan, serta pemanfaatan sumber daya perikanan. 12. Tidak adanya akses modal oleh nelayan ke lembaga perbankan sehingga nelayan sulit dalam memperoleh modal untuk meningkatkan usaha mereka.
6.7.2. Prioritas Permasalahan Setelah permasalahan diidentifikasi selanjutnya masalah disusun berdasarkan prioritas. Untuk mendapat prioritas permasalahan yang harus diselesaikan maka permasaahan yang telah diidentifikasi didiskusikan dengan nelayan untuk mendapatkan prioritas permasalahan dengan kriteria sebagai berikut : 1. Luas cakupan. Kriteria ini diukur berdasarkan penilaian nelayan terhadap suatu masalah. Misalnya, jika nelayan menilai bahwa suatu masalah mencakup 80% nelayan, maka diberi nilai 8. Begitu juga bila nelayan menganggap cakupan masalah sampai 100% maka dinilai 10, begitu seterusnya. 2. Frekwensi kejadian. Nilai ini diukur berdasarkan pengamatan nelayan selama kurun waktu 5 tahun terakhir. Bila kejadian berlangsung terus tiap tahun, maka diberi nilai 5, bila hanya terjadi dalam dua tahun terakhir diberi nilai 2, begitu seterusnya. Bila kejadian terjadi hanya pada musim-musim tertentu saja (MH atau MK), diberi nilai separuh dari nilai untuk setahun. 3. Tingkat Keparahan. Nilai ini diukur berdasarkan dampak suatu masalah terhadap parameter yang diamati. Sebagai contoh, bila nelayan menganggap bahwa faktor harga ikan mencapai 50%, maka diberi nilai 5, bila sampai 20% diberi nilai 2, begitu seterusnnya. Nilai ketiga kriteria dibuat dalam matriks masalah kemudian ditotalkan. Masalah yang mendapat nilai tertinggi mendapat prioritas pertama kemudian disusul nilai dibawahnya, nilai terendah adalah masalah yang terakhir ditangani. Dibawah ini disajikan
masalah berdasarkan prioritas, yang harus ditangani terlebih dahuluh berdasarkan prioritas.
Tabel 42 Prioritas masalah nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2008 No
Luas
Frekwensi
Tingkat
Total
Rangking/ Prioritas
Cakupan
Kejadian
Keparahan
Potensi SDP besar tetapi nelayan lokal hidup miskin karena keterbatasan sarana prasarana untuk usaha penangkapan ikan
10
5
9
24
II
Kendalah faktor trasport ke pasar (pasar jauh) dari desa nelayan, sehingga ikan sulit dipasarkan
6
5
5
16
VIII
3
Harga ikan rendah karena pengusaha/ pembeli terbatas
7
5
10
22
III
4
Bantuan dari dinas tidak tepat sasaran, banyak yang bukan nelayan tetapi terima bantuan
10
5
10
25
I
5
Ada oknum DPRD menerima bantuan dari dinas perikanan
5
3
9
17
VII
6
Banyak terjadi pemotongan nilai bantuan oleh dinas saat bantuan keluar (digulirkan)
8
5
10
22
III
Bantuan diberikan kepada orang yang telah dikenal seperti keluarga atau teman
9
4
8
21
IV
8
Banyak proposal bantuan diajukan nelayan tetapi tidak mendapat bantuan
8
5
7
20
V
9
Ada bantuan yang diterima nelayan tetapi nelayan harus setor uang muka 3 juta rupiah
6
3
9
18
VI
10
Banyak bantuan tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan
7
5
9
21
IV
11
Banyak pungli sehingga nelayan besar hengkang dari Tual
8
4
5
17
VII
12
Kurangnya pembinaan kepada nelayan sehingga kualitas SDM rendah
6
4
6
16
VIII
Perlu budidaya hasil perikanan karena dapat meningkatkan pendapatan nelayan lokal
5
5
6
16
VIII
Tidak ada akses modal ke lembaga perbankan
5
5
5
15
IX
1
2
7
13
14
Masalah
Dari tabel matriks masalah diatas menunjukan bahwa masalah yang mendapat prioritas pertama untuk ditangani adalah masalah pemberian bantuan dari dinas instansi terkait banyak salah sasaran. Sehingga nelayan mengharapkan agar bantuan dapat diberikan kepada orang yang benar-benar berprofesi sebagai nelayan, bukan kepada orang yang bukan nelayan. Kemudian masalah yang mendapat prioritas kedua adalah bahwa nelayan lokal hidup dalam kemiskinan karena keterbatasan sarana-prasarana perikanan tangkap, sehingga nelayan mengharapkan pemerintah daerah segera memberikan bantuan sarana prasarana yang dapat mereka gunakan untuk usaha penangkapan ikan, agar dapat meningkatkan pendapatan nelayan.
6.7.3. Pembahasan Permasalahan Nelayan a. Potensi Perikanan dan Sarana Prasarana Nelayan Potensi sumber daya perikanan tangkap yang tersedia di wilayah laut Maluku Tenggara sangat besar, namun potensi yang besar tersebut belum dapat dimanfaatkan secara baik oleh nelayan guna peningkatan taraf hidup mereka, sehingga sumber daya perikanan yang besar tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh nelayan dari luar daerah. Sebagai nelayan lokal, mereka hidup dalam kemiskinan, hal ini disebabkan karena sarana prasarana penangkapan ikan yang dimiliki oleh nelayan lokal sangat tradisional dan terbatas, sehingga berpengaruh terhadap aktifitas penangkapan ikan, dan dapat menyebabkan hasil tangkapan nelayan menjadi kecil. Oleh karena itu perlu adanya program pemberdayaan nelayan dengan cara penyediaan modal dan sarana prasarana penangkapan ikan yang memadai sehingga nelayan dapat memanfaatkan sumber daya perikanan yang tersedia secara berkelanjutan untuk peningkatan pendapatan nelayan. Hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi over fishing terhadap potensi perikanan tangkap pada wilayah pesisir perairan Maluku Tenggara. Hal ini disebabkan nelayan lokal selalu melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar pesisir pantai karena kepemilikan sarana-prasarana penangkapan ikan yang sangat tradisional dan ukuran armada yang sangat kecil seperti perahu tanpa mesin, sehingga daya jangkau nelayan sangat terbatas, dan tidak mampu untuk melakukan penangkapan ikan pada wilayah laut luas. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu berupaya untuk meningkatkan kemampuan armada nelayan dari ukuran kecil (tradisonal) ke ukuran besar berupa kapal motor bergross ton, agar dapat menjangkau lautan luas sehingga dapat meningkatkan
pendapatan nelayan dan sekaligus mengurangi over fishing yang terjadi pada wilayah pesisir. Dan dapat mencegah terjadinya illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan asing yang selama ini masih tetap melakukan kegiatan mencuri (penangkapan) ikan di perairan Maluku Tenggara. Selain kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing, terdapat juga kegiatan penangkapan ikan dengan cara tidak bertanggungjawab, dimana penggunaan potasium, dinamit (bahan peledak), dan pestisida yang dilakukan oleh nelayan lokal sehingga dapat mengakibatkan kerusakan habitat perikanan dan matinya ikan-ikan kecil. Oleh karena itu masyarakat nelayan lokal dan pemerintahan desa tertentu telah berusaha untuk mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertanggungjawab tersebut dengan cara pengawasan dan pelarangan terbatas terhadap nelayan yang melakukan kegiatan terlarang tersebut. Dinas terkait dan aparat kepolisisan juga telah melakukan kegiatan penyuluhan kepada nelayan agar dapat menghentikan kegiatan penangkapan ikan dengan cara tidak bertanggungjawab tersebut.
b. Akses ke pasar oleh nelayan sangat terbatas Akses ke pasar oleh nelayan sangat terbatas karena kendala faktor transportasi, hal ini dapat mengakibatkan hasil tangkapan nelayan sulit untuk dijual ke kota (pasar) sehingga banyak ikan dijual dengan harga sangat murah di desanya. Oleh karena itu perlu tersedianya sarana transportasi yang baik dan lancar dari desa nelayan ke pasar sehingga nelayan dapat menjual hasil tangkapannya dengan harga yang lebih baik, agar pendapatan nelayan dapat meningkat. Sistim transportasi di Maluku Tenggara yang saat ini masih dikelola oleh swasta, perlu diperbaiki dengan cara masuknya armada transportasi yang dikelola oleh pemerintah daerah sehingga wilayah pulau-pulau kecil yang masih sulit dijangkau, serta desa-desa yang masih tertinggal akibat terbatasnya sarana-prasarana transportasi dapat teratasi. Dengan demikian maka sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat desa dapat dipasarkan ke kota dan sebaliknya barang dan jasa yang terdapat di kota dapat mengalir ke wilayah pedesaan. Sehingga perekonomian di wilayah pedesaan dapat bangkit, dan terciptanya lapangan pekerjaan, dan dapat mengurangi angka pengangguran di pedesaan dan sekaligus dapat mengatasi urbanisasi masyarakat desa yang mau mencari pekerjaan di wilayah perkotaan.
Hasil-hasil seperti sumber daya perikanan dan hasil pertanian yang dimiliki masyarakat desa selama ini tidak dapat dipasarkan dengan baik ke wilayah perkotaan akibat dari kurang tersedianya moda transpotrasi yang lancar dan memadai bagi masyarakat desa. Oleh karena itu masalah transportasi yang belum tertangani secara baik selama ini harus segera dibenahi sehingga kelancaran barang dan orang dari dan ke kota atau sebaliknya ke desa dapat berjalan dengan lancar. Dengan demikian maka pemerintah daerah perlu bekerja keras untuk menyediakan sarana transportasi yang lancar dan memadai bagi masyarakat untuk dapat mengatasi ketertinggalannya selama ini. Hal lain yang terjadi adalah sistim pemasaran hasil perikanan yang tidak jelas sehingga hasil tangkapan nelayan banyak menjadi busuk terutama pada saat musim panen ikan tiba. Hal ini disebabkan karena hasil tangkapan nelayan tidak dapat dijual karena pengusaha yang dapat menampung atau membeli hasil nelayan lokal hanya 1 (satu) orang sehingga kemampuanya sangat terbatas, belum lagi pengusaha tersebut mempunyai armada penangkapan sendiri sehingga hasil tangkapan nelayan lebih banyak tidak dapat dipasarkan. Kondisi ini perlu mendapat perhatian dan penanganan segera dari dinas instansi terkait, dengan cara menyediakan sarana prasarana yang memadai untuk penampungan sementara maupun pengolahan hasil perikanan menjadi produk yang dapat dipasarkan. Dan pemerintah daerah harus menyediakan sistim pemasaran hasil perikanan yang baik sehingga hasil tangkapan nelayan dapat dipasarkan keluar daerah. Selama ini sistim pemasaran tidak jelas kemana hasil tangkapan nelayan dapat dijual.
c. Harga Ikan Terlalu Rendah Ditingkat Produsen Ketika terjadi musim penangkapan ikan, nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah, dan hasil tersebut banyak terancam busuk, karena hasil tangkapan nelayan sulit dipasarkan. Di Maluku Tenggara hanya terdapat 1 orang pengusaha lokal sebagai pembeli tunggal sehingga dengan seenaknya dia mempermainkan harga ikan. Hasil tangkapan ikan nelayan dapat dijual dengan harga sangat murah. Menurut nelayan bahwa sejak 5 tahun terakhir, harga ikan tidak pernah naik, sementara harga BBM terus meningkat. Belum tersedianya sistim pemasaran yang baik bagi nelayan, hal ini mengakibatkan pendapatan nelayan tidak meningkat. Oleh karena itu pemerintah daerah harus menyediakan pasar yang baik bagi nelayan untuk dapat memasarkan hasil
tangkapannya. Dan pemerintah daerah harus bekerja sama dengan pemerintah daerah lain sehingga hasil tangkapan nelayan dapat dipasarkan ke luar daerah. Walaupun di Kabupaten Maluku Tenggara terdapat TPI (tempat pendaratan ikan) tetapi hasil tangkapan nelayan lokal tidak didaratkan pada TPI yang tersedia, nelayan lebih banyak mendarakan ikan di pantai desa mereka atau lansung ke pasar. Hal ini disebabkan karena kapal motor nelayan lokal sangat kecil sehingga kapasitas kapal dalam menangkap ikan sangat kecil sehingga hasil tangkapan mereka hanya di daratkan pada tempat dimana mereka tinggal. Bila sarana penangkapan yang mereka miliki lebih besar diatas ( ≥ 30 GT) maka nelayan lokal melakukan kegiatan penangkapan pada lautan lepas sehingga mendapatkan hasil tangkapan ikan berkualitas eksport dalam jumlah yang banyak sehingga dapat didaratkan pada TPI yang tersedia. Dengan demikian maka hasil tangkapan nelayan dapat dibeli dengan harga yang lebih tinggi, maka pendapatan nelayan lokal dapat meningkat.
d. Bantuan Banyak Tidak Tepat Sasaran. Bantuan yang di berikan oleh dinas instansi terkait, banyak yang tidak tepat sasaran. Misalnya orang yang bukan nelayan mendapat bantuan sarana-prasarana penangkapan ikan. Sehingga setelah bantuan diterima oleh orang tersebut, dia menjual kembali bantuan yang diterima kepada nelayan dengan harga yang lumayan mahal. Oleh karena itu apabila bantuan diberikan kepada orang yang bukan nelayan maka program tersebut tidak akan berhasil seperti yang direncanakan. Keberhasilan suatu program kegiatan sangat tergantung pada tepat tidaknya kelompok sasaran (penerima bantuan). Terjadi salah sasaran dalam pemberian bantuan sehingga terdapat oknum anggota DPRD Kabupaten Maluku Tenggara, dapat menerima bantuan sarana prasarana penangkapan ikan yang harus diberikan kepada nelayan lokal. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengawasan dan monitoring dari instansi yang berwewenang terhadap program yang telah dijalankan. Serta tidak adanya transparansi dalam pengelolaan program pembangunan. Dan karena laporan pertanggungjawaban pelaksanaan program selalu untuk menyenangkan atasan, dengan laporan yang baik-baik saja atau laporan bahwa program telah sukses 100% dilapangan, dengan ukuran kesuksesan adalah dana telah dicairkan 100%, entah kepada siapa dan untuk apa itu tidak penting. Hal-hal seperti
ini sangat disayangkan karena tidak berdampak positif terhadap penyelesaian masalah sosial yang dihadapi oleh nelayan miskin di perdesaan. Oleh karena itu tidak boleh terjadi pemberian bantuan kepada siapapun selain nelayan sehingga pihak-pihak yang menggunakan kekuasaan untuk mendapatkan bantuan harus ditiadakan. Dalam era revormasi dan desentralisasi, dan era transparansi saat ini, princip-princip pengelolaan pemerintahan yang berbau konvensional primitif seperti zaman dulu harus disingkirkan jauh-jauh dari perilaku pelaksana pemerintahan saat ini, terutama di tingkat lokal, yang jauh tertinggal dalam segala aspek pembangunan. Adanya permainan oknum dinas instansi terkait dalam pemberian bantuan kepada nelayan, dimana nelayan boleh mendapat bantuan tetapi setelah bantuan tersebut di cairkan (diterima), maka oknum pegawai tersebut mendapat bagian 50 – 60% dari nilai bantuan. Hal ini seringkali terjadi sehingga kualitas dan kuantitas dari bantuan yang diterima oleh nelayan lokal sangat tidak sesuai. Dan akibatnya adalah kegagalan dari pada program yang sedang digulirkan. Artinya bahwa masyarakat nelayan tetap berada dalam keterbatasan input yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan pada masa akan datang. Oleh karena itu, pelaksanaan program bantuan harus sesuai dengan rencana dan tujuan program itu digulirkan. Sehingga dapat memperkecil kecurangan yang terjadi pada saat program dijalankan. Dengan demikan maka siapapun seharusnya tidak boleh melakukan pemotongan anggaran yang diterima oleh nelayan, sehingga bantuan secara utuh dimanfaatkan untuk usaha penangkapan ikan, agar dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Terdapat program bantuan yang diberikan kepada nelayan, tetapi syaratnya saat bantuan dibagi (digulirkan), nelayan harus menyetor uang muka sebesar 3 (tiga) juta rupiah terlebih dahulu, sehingga hal ini memberatkan nelayan karena nelayan lokal tidak memiliki uang sejumlah tersebut. Hal ini menyebabkan banyak bantuan diterimah oleh oknum yang bukan nelayan seperti kades dan sekdes. Karena kades maupun sekdes memiliki uang seperti subsidi dari pemerintah yang bisa digunakan untuk menebus bantuan tersebut. Sementara nelayan tidak memiliki uang untuk diberikan saat bantuan dibagi (digulirkan), dengan demikian maka nelayan tidak mendapatkan bantuan tersebut. Oleh karena itu bantuan sebaiknya diberikan dalam bentuk hibah murni atau sistimnya dapat dirubah, sehingga tidak membebankan nelayan. Namun bantuan tersebut mendapat
pengawasan dan evaluasi ketat dari instansi terkait, agar bantuan tersebut betul-betul dimanfaatkan oleh nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan.
e. Pendataan Kelompok Nelayan dan Perencanaan Program. Seringkali pada saat pendataan nelayan nama kelompok mereka yang didata, tetapi pada saat bantuan digulirkan, orang lain yang mendapat bantuan tersebut. Hal ini dikarenakan program bantuan lebih banyak diberikan kepada orang dekat dan orang yang telah dikenal oleh pelaksana program. Karena orang yang dikenal lebih mudah untuk melakukan negosiasi-negosiasi terhadap bantuan yang diberikan. Banyak proposal diajukan oleh nelayan kepada instansi terkait tetapi tidak pernah mendapat tanggapan, sehingga nelayan tetap melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan sarana prasarana yang sangat terbatas. Oleh karena itu harus adanya perencanaan yang matang dan baik agar pada setiap tahun berapa kelompok nelayan yang harus mendapat bantuan, dan kelompok tersebut berasal dari desa mana dan profesinya sebagai apa, sehingga program yang dijalankan dapat digulirkan kepada orang atau kelompok yang belum menerima bantuan pada waktu akan datang. Untuk pelaksanaan program kepada nelayan, maka terlebih dahulu dinas instansi terkait harus melakukan pendataan nelayan secara jelas, siapa nelayan dan yang bukan nelayan, kemudian bantuan harus tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan nelayan, dan harus sesuai dengan kondisi nelayan, artinya nelayan dapat dilibatkan dalam perencanaan program sehingga program yang direncanakan sesuai dengan kebutuhan riil dari nelayan. Banyak program yang dirancang dari atas tanpa memperhatikan kebutuhan nelayan sehingga batuan kebanyakan tidak sesuai dengan kondisi dari penerima bantuan. Dan banyak program tidak direncanakan dengan baik sehingga program tersebut berhenti di tengah jalan atau tidak berhasil. Telah terbukti bahwa perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat sebagai pengguna program maka tingkat keberhasilan suatu program sangat kecil, karena yang lebih memahami tentang kondisi yang dihadapi oleh nelayan adalah nelayan itu sendiri. Oleh karena itu setiap program yang akan ditujukan kepada masyarakat seharusnya melibatkan dua kelompok yaitu pengguna program (masyarakat nelayan) dan perencana program (dinas/instansi terkait). Hal tersebut diatas sesuai dengan pendapat Hikmat (2004) bahwa berbagai fakta empiris menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin dapat
terciptanya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Singkat kata, pembangunan ekonomi merupakan fakta yang bersifat “tersentralisasi” sedangkan pemerataan pembangunan sosial lebih bersifat “terdistribusi” untuk semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep trickle down effect yang cendrung bersifat top-down dianggap sebagai paradigma pembangunan yang konvensional. Sebaliknya, model-model pembangunan sosial yang lebih bersifat bottom-up dengan strategi pemenuhan kebutuhan masyarakat bawah (grassroots), agaknya lebih sesuai dengan kenyataan dilapangan. Sungguhpun demikian, pada akhirnya konsep top-down tidak akan dapat menyentuh seluruh kehidupan masyarakat luas, tetapi bottom-up juga tidak akan dapat menjadi kebijakan pembangunan satu-satunya karena keinginan di masyarakat sangat bayak dan berfariasi. Karena itu, konsep terbaik dalam pembangunan masyarakat adalah kemauan dan kesungguhan untuk mengintegrasikan antara konsep community organization (pengorganisasian komunitas) dan comunity development (pengembangan komunitas) sebagai satu kesatuan yang saling komplomenter. Dua konsep tersebut, sesungguhnya, dapat digabungkan menjadi konsep baru yang disebut sebagai commuity building. Konsep community bulding yaitu konsep yang menjalankan fungsinya sebagai pengembangan sekaligus pengorganisasian masyarakat secara bersamaan dan bersinergi. Dalam perkembangannnya, metode pekerjaan sosial sejak 1980-an secara partisipatif semakin populer di kalangan LSM. Tujuannya adalah untuk menggugat struktur ekonomi yang mendominasi struktur sosial masyarakat. Strategi-strategi tersebut merupakan bagian yang sangat penting dalam sistim pembangunan sosial (social development) di masa yang akan datang.
f. Banyaknya Pungutan Liar Banyaknya pungutan liar yang terjadi di Maluku Tenggara sehingga mengakibatkan nelayan besar hengkang dari Tual. Oleh karena itu perlu kerja sama antar dinas instansi terkait agar tidak terjadi tumpang tindi dalam melakukan penagihan retribusi, sehingga tidak menggangu pelaku perikanan dalam melakukan aktifitas perikanan di Maluku Tenggara. Untuk itu perlu adanya regulasi yang dapat mengatur sistim kerja sama antar stakholders dengan nelayan. Disatu sisi kapal nelayan asing yang beroperasi di Lautan Maluku Tenggara dapat menyebabkan over fishing, sehingga terjadi kelangkaan sumber daya perikanan. Efek
jangka panjangnya adalah terjadi kerusakan ekosistim sehingga dapat menggangu peradaban umat manusia. Disisi lain dengan adanya kapal-kapal nelayan asing tersebut dapat memberikan sumbangsi dalam peningkatan pendapatan masyarakat
Maluku
Tenggara, terutama para penjual kebutuhan pokok dipasar, yang mana dapat dibeli oleh nelayan asing saat melakukan pendaratan ikan. Oleh karena itu pengelolaan yang baik adalah dengan mempertimbangkan aspek kelestarian dari sumber daya perikanan yang ada, dengan cara dapat membatasi jumlah kapal yang dapat beroperasi di perairan Maluku Tenggara. Karena sesuai dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseonologi LIPI, bahwa Laut Banda telah terjadi over fishing pada jenis ikan pelagis kecil, ikan demersal dan cumi. Jenis yang masih boleh dilakukan penangkapan yaitu pelagis besar. Untuk Laut Arafura jenis yang masih boleh ditangkap adalah pelagis kecil sedangkan jenis lainya telah mengalami over fishing.
g. Sumber Daya Manusia (SDM) SDM (sumber daya manusia) di tingkat lokal/daerah sangat terbatas, terutama yang menguasai perencanaan dan pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan. SDM berkualitas sangat dibutuhkan setiap wilayah untuk berperan aktif dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. Oleh karena itu sewajarnya SDM pada sektor perikanan, apakah itu nelayan, atau aparat pemerintah harus ditingkatkan kualitasnya, melalui program pelatihan ataupun kursus-kursus singkat secara berjenjang menyangkut manajemen pengolahan sumber daya perikanan, sistim pemasaran, peningkatan kualitas sumber daya perikanan untuk eksport, ataupun ketrampilan-ketrampilan khusus pada produk olahan perikanan. Kurangnya pembinaan dari dinas instansi terkait kepada kelompok nelayan tentang bagaimana cara peningkatan ketrampilan dan pengetahuan dalam melaksanakan kegiatan penangkapan maupun pengelolaan, serta pemanfaatan sumber daya perikanan. Sehingga kualitas sumber daya nelayan sangat rendah. Oleh karena itu perlu adanya pembinaan dari dinas instansi terkait kepada kelompok nelayan tentang bagaimana cara peningkatan ketrampilan dan pengetahuan dalam melaksanakan kegiatan penangkapan
maupun pengelolaan, serta pemanfaatan sumber daya perikanan yang tersedia untuk meningkatkan taraf hidup nelayan.
h. Akses modal Tidak adanya akses modal oleh nelayan ke lembaga perbankan sehingga nelayan sulit dalam memperoleh modal untuk meningkatkan usaha mereka. Hal ini disebabkan karena pendapatan nelayan yang sering kali fluktuatif, tidak memberikan jaminan kepada lembaga perbankan untuk menguncurkan bantuan kredit bagi nelayan. Walaupun secara nasional ada program pemberian kredit bagi petani dan nelayan tetapi pada tingkat lokal hal ini sulit direalisasikan. Lembaga yang selama ini memberikan kredit bagi mayarakat adalah Dinas Koperasi dan UKM, namun bantuan tersebut hanya diberikan kepada usaha kecil dan menengah sementara kelompok petani dan nelayan belum tersentuh. Oleh karena itu pemerintah daerah sudah saatnya memberikan perhatian serius kepada petani dan nelayan. Dengan cara memberikan bantuan baik berupa kredit ataupun dana hiba kepada nelayan sehingga dapat meningkatkan usaha nelayan dibidang perikanan tangkap.
i. Budidaya Perikanan Kabupten Maluku Tenggara sebagai kabupaten kepulauan memiliki karakteristik tersendiri, dimana wilayah lautnya sangat bersih dan mempunyai daya salitas yang cocok bagi pengembangan budidaya berbagai jenis hasil perikanan. Pulau-pulau kecil memiliki banyak teluk yang dapat dikembangkan untuk usaha budidaya ikan kerapu, mutiara, lola teripang, kima, batu laga, rumput laut (agar-agar), ataupun hasil ikutan lainya. Yang bila dikembangkan dengan cara profesional maka tidak kala berhasil dengan daerah lain. Namun selama ini baru dikembangkan budidaya mutiara dan rumput laut, dan hasilnya sangat besar pendapatan yang diperoleh para pemiliknya. Sementara budidaya ikan kerapu, kima, teripang, lola, batu laga, dan hasil perikanan lainnya belum banyak yang menekuninnya. Apabila perikanan budidaya ini dikembangkan di Kabupaten Maluku Tenggara maka akan berdampak positif terhadap pertumbuhan sektor-sektor lain. Belum ada perhatian khusus dari masyarakat lokal terhadap perikanan budidaya disebabkan karena kurangnya modal serta rendahnya kualitas SDM nelayan, sehingga berbagai macam peluang usaha tersebut tidak dapat dikembangkan.
Kabupaten Maluku Tenggara juga memiliki kawasan terumbu karang, padang lamun, serta hutan mangrove yang luas, sehingga bisa dikembangkan untuk usaha budidaya perikanan maupun kepentingan pariwisata bahari. Namun sumber daya yang tersedia tersebut belum dikelola dengan baik, oleh pemerintah daerah maupun masyarakat. Akibat dari kurangnya pemahaman yang memadai tentang pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dan juga karena kurangnya alokasi dana yang diperuntukkan untuk sektor perikanan.
6.7.4. Diskusi Kelompok Terarah (FGD) Permasalahan yang telah diidentifikasi pada tingkat desa, disampaikan ke stakeholders tingkat kabupaten, dan diadakan diskusi untuk mendapatkan jalan keluar dalam penyelesaian permasalahan kemiskinan nelayan. Dari diskusi tersebut disepakati beberapa poin penting yang akan dilaksanakan untuk mengatasi masalah kemiskinan nelayan. Poin-poin penting yang disepakati tersebut antara lain :
a. Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Perikanan di Maluku Tenggara Sebagai kabupaten kepulauan, Maluku Tenggara kaya akan sumber daya laut, seperti perikanan tangkap. Menurut data KOMNAS Pengkajian Stok 1998, Kabupaten Maluku Tenggara berada pada 2 (dua) wilayah pengelolaan yaitu Wilayah V (Laut
Banda) yang memiliki potensi sebesar 248.400 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 198.700 ton/tahun. Wilayah VI (Laut Arafura) yang memiliki potensi sebesar 793.100 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 633.600 ton/tahun. Setiap tahun sektor perikanan mampu meningkatkan sumbangsinya terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Untuk tahun-tahun kedepan nampaknya laut akan terus memberikan andil dalam proses pembangunan di Maluku Tenggara jika potensi kelautan dapat dikelola dan dimanfaatkan secara baik dengan memperhatikan aspek keberlanjutan sumber daya, baik secara ekonomi, ekologi maupun secara sosial. Bila
sektor
perikanan
di
Kabupaten
Maluku
Tenggara
dioptimalkan
pengelolaanya baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya maka akan terjadi penyerapan tenaga kerja serta peningkatan pendapatan nelayan. Hal ini akan mengurangi angka kemiskinan yang terjadi di Maluku Tenggara. Sejak masalah kelautan dikelola
depertemen tersendiri, maka baik secara nasional maupun lokal telah terjadi perubahan dalam kontribusi terhadap pendapatan nasional maupun pendapatan daerah.
b. Peningkatan Kapasitas Sarana Prasarana Perikanan Tangkap yang Dimiliki Nelayan Lokal Nelayan lokal di Maluku Tenggara sangat banyak dan terjadi peningkatan jumlah armada penangkapan ikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, jumlah armada penangkapan sebanyak 6.407 unit dengan rincian sebagai berikut : perahu tanpa motor (PTM) 5.284 unit atau 82,47%, motor tempel (MT) 894 unit atau 13,95%, kapal motor (KM) 229 unit atau 3,57%. Berdasarkan data tersebut maka terlihat bahwa nelayan lokal yang menggunakan perahu tanpa mesin, sebanyak 82,47% hal ini membuktikan bahwa nelayan lokal hidup dalam keterbatasan sarana prasarana penangkapan ikan. Banyaknya nelayan lokal yang tidak menggunakan mesin, menunjukan kepada kita bahwa tingkat produksi mereka juga sangat kecil hal ini dapat berakibat pendapatan nelayan lokal rendah sehingga mereka hidup dalam kubangan kemiskinan. Sementara kapal motor yang terdapat di Maluku Tenggara, adalah milik nelayan besar, baik pengusaha perikanan dalam negeri maupun pengusaha perikanan dari luar negeri. Nelayan lokal tidak memiliki kapal motor bergross ton. Dengan sarana prasarana perikanan tangkap yang terbatas maka nelayan lokal tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan pada lautan lepas. Sehingga mereka selalu melakukan kegiatan penangkapan ikan pada perairan pesisir (perikanan pantai) sehingga tingkat pendapatan mereka lambat laun akan menurun dan mengakibatkan terjadinya over fishing di daerah pesisir. Oleh karena itu perlu kerja sama antara pemerintah daerah dan para pengusaha lokal maupun nasional agar dapat menyediakan sarana penangkapan yang memadai bagi nelayan agar nelayan dapat melakukan penangkapan pada wilayah laut lepas yang masih banyak sumber daya perikanannya sehingga pendapatan nelayan dapat meningkat.
c. Program Pemberdayaan Masyarakat Nelayan (Penangkapan dan Budidaya) dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Lainnya. Sasaran program adalah peningkatan kegiatan ekonomi produktif yang terkait lansung dengan kehidupan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir lainnya,
serta pulau-pulau kecil yang masih miskin. Beberapa kebijakan pemberdayaan yang dikembangkan mencakup tiga aspek, yakni aspek usaha, SDM dan Lingkungan. Pemberdayaan usaha merupakan upaya peningkatan kualitas usaha perikanan yang mencakup beberapa aspek yakni : a.
Akses
terhadap
tehnologi,
informasi
pasar,
modal,
prasarana
dan
pendidikan/pelatihan yang dapat mendorong efisiensi produksi, efektifitas manajemen dan modernisasi alat-alat maupun faktor produksi, termasuk peningkatan akses terhadap hasil riset. b.
Dukungan pendampingan yang mampu mengguga peran serta dan kemandirian masyarakat pesisir.
c.
Program kemitraan (partnership) untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan baik secara sosial maupun ekonomi antara kelompok pelaku usaha besar dengan usaha perikanan skala kecil melalui penguatan kelembagaan dan permodalan dalam rangka meningkatkan posisi tawar. Pemberdayaan SDM dalam rangka peningkatan kualitas SDM baik dalam konteks
pola sikap dan perilaku, ketrampilan, kemampuan manejerial, maupun aspek gizi, melalui peningkatan penyuluhan dan pendidikan/pelatihan. Sedangkan perbaikan lingkungan dilakukan dalam rangka mencegah dan mengatasi terjadinya kemiskinan alamiah sekaligus merupakan pintu bagi terwujudnya perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries), termasuk perbaikan lingkungan pemukiman.
d. Program Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Sektor Kelautan & Perikanan Berbasis Bisnis Perikanan Sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatnya pendapatan nelayan lokal dan dapat memicu peningkatan PAD (pendapatan asli daerah). Untuk mencapai target tersebut beberapa strategi sebagai berikut : a.
Peningkatan kemampuan penangkapan armada perikanan milik nelayan lokal
b.
Pengembangan dan aplikasi sistim monotoring. Pengawasan melalui pengembangan sistim pengawasan masyarakat dan peningkatan penegakan hukum dilaut.
c.
Redistribusi dan rasionalisasi upaya tangkap/fishing effort (jumlah kapal ikan, jumlah nelayan, dll) sesuai potensi lestari wilayah perikanan (fishing ground).
d.
Rehabilitasi dan pengembangan prasarana dan sarana penangkapan ikan, termasuk mengefektifkan fungsi prasarana tersebut menjadi tempat pemasaran hasil laut dan ikan.
e.
Penyempurnaan, pengembangan dan deversifikasi usaha budidaya perikanan.
f.
Pendayagunaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
g.
Penguatan dan pengembangan sistim ekonomi (usaha, investasi, dan pemasaran) kelautan dan perikanan terpadu dengan berbasis ekonomi kelautan dan perikanan lokal.
h.
Penguatan dan pengembangan kemampuan pemasaran produk-produk perikanan dan kelautan milik nelayan lokal.
i.
Pengembangan badan usaha milik rakyat.
j.
Program kredit yang muda diakses nelayan.
e. Program Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan serta Ekosistimnya. Sasaran program yang ingin dicapai adalah meningkatkan daya dukung dan kualitas lingkungan kawasan laut, pesisir, pulau-pulau kecil dan perairan tawar, sehingga dapat menunjang pembangunan perikanan tangkap, budidaya, parawisata bahari, dan kegiatan bidang kelautan lainnya secara berkelanjutan. Program terutama diprioritaskan pada kawasan habitat ekosistim kritis yang memerlukan dukungan sektor lain. Program rehabilitasi dan konservasi sumber daya kelautan dan perikanan mencakup : 1.
Pembangunan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
2.
Rehabilitasi ekosistim pesisir dan laut (terumbu karang, mangrove, dll)
3.
Manajemen kawasan pesisir secara terpadu
4.
Tata ruang pembangunan kawasan pesisir dan laut.
5.
Pengelolaan kawasan konservasi laut
6.
Pengendalian pemanfaatan pasir pantai dan laut.
f.
Program Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur, Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Masyarakat Pesisir Setempat. Hasil yang ingin dicapai adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia baik
aparatur pemerintahan daerah maupun nelayan dan masyarakat pesisir. Tersedianya sarana dan prasarana aparatur, berdayanya institusi lokal, pemerintah daerah, dunia usaha,
dan masyarakat nelayan pesisir, terwujudnya pelayanan publik. Disusunya peraturan daerah tentang pengelolaan sumber daya kelautan & perikanan. Optimalisasi kinerja aparatur pemerintahan daerah khususnya aparatur pada sektor kelautan & perikanan. Pembinaan terhadap aparatur pemerintahan daerah yang nakal dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diembankan kepadanya.
g.
Pengembangan Tehnologi dan Sistim Informasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Sasaran program adalah terwujudnya ketersediaan tehnologi untuk pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, data dan informasi mengenai potensi kelautan dan perikanan untuk menunjang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan bagi nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir lainya. Dengan demikan, pembangunan dan pengelolaan kelautan dan perikanan didasarkan pada IPTEK yang kuat (knowledge/science based). Data dan informasi sangat dibutuhkan semua pihak untuk meransang kegiatan yang baik, yang didukung oleh pertimbangan ekonomi dan dampak lingkungan yang akurat, sehingga konflik perencanaan kegiatan dapat dihindarkan. Data dapat diklasifikasikan dalam tiga bagian yaitu: (a) data fisik yang tidak berubah dalam waktu lama, (b) data sosial-ekonomi dan ingkungan yang berubah dalam waktu relatif cepat, dan (c) pilihan manajemen dari pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat untuk satu kawasan pesisir. Data b dan c harus diperbaharui (update) setiap saat dan diolah sesuai dengan kepentingan rekanan (pengguna), sehingga membutuhkan biaya (updating) dan pemeliharaan (maintenance) yang relatif besar. Oleh sebab itu, rekanan yang memintah data tersebut harus membayar ongkos data dan informasi tersebut, dan dana ini digunakan untuk membiayai pengumpulan data baru, pembaharuan dan pemeliharaan data (Dahuri dkk, 2001).
h. Koordinasi Listas Sektoral dalam Pelaksanaan Pembangunan Koordinasi sangat penting dilakukan antar instansi dan antar lembaga terkait agar tidak terjadi tumpang tindih terhadap program yang dijalankan tiap-tiap instansi, dengan demikian maka tingkat keberhasilan dari suatu kegiatan pada sektor tertentu sangat didukung oleh instansi lain. Dengan koordinasi antar instansi maka permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan program dapat diatasi secara bersama. Kemudian SDM yang tersedia pada masing-masing sektor dapat berperan sesuai bidang keahlianya sehingga permasalahan kualitas program dapat tercapai dengan baik. Adanya kerjasama lintas sektor maka tidak terjadi penumpukan anggaran pada suatu wilayah tertentu dan juga tidak terjadi pemborosan sumber daya yang tersedia. Menurut Abdurachman (1973) bahwa koordinasi merupakan kegiatan untuk menertibkan, sehingga segenap kegiatan manajemen maupun pelaksanaan satu sama lain tidak simpang siur, tidak berlawanan arah dan dapat ditujukan kepada titik pencapaian tujuan dengan efisien. Dalam pelaksanaan suatu program apabila banyak stakehoders yang dilibatkan maka kekuatan untuk pencapaian program itu sangat besar. Karena setiap lembaga atau instansi memiliki keahlian-keahlian tersendiri, yang bila disatukan maka dapat menghasilkan suatu output yang sangat diandalkan. Kerjasama lintas sektor sangat penting dalam implementasi program masing-masing sektor baik pemerintah maupun swasta.
6.8. STRATEGI KEBIJAKAN 6.8.1. Trategi Kebijakan Pemerintah Daerah Berbagai upaya untuk penanggulangan kemiskinan nelayan telah banyak dilakukan, namun umumnya masih bersifat parsial dan tidak terpadu. Akibatnya angka kemiskinan nelayan belum dapat diturunkan secara signifikan (DKP, 205:8). Secara subtansial, penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara multi dimensi, yaitu melalui peningkatan pendapatan penduduk miskin dengan memperluas kesempatan kerja dan berusaha serta mengurangi beban pengeluaran mereka dengan meningkatkan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Strategi penanggulangan kemiskinan harus dimulai dengan upaya untuk memahami secara lebih baik tentang kaum miskin dan realitas sosial ekonomi mereka. Hal ini penting untuk diperhatikan sebab berdasarkan pengalaman yang selama ini ada, ditemukan fakta bahwa walaupun bertahun-tahun usaha dilakukan untuk memberantas kemiskinan, pada akhirnya hasilnya kurang optimal. Hal ini dikarenakan kebijakan yang dibuat tidak dilandasi dengan pemahaman yang tepat tentang siapa kaum miskin itu,
mengapa mereka miskin, dan apa saja yang dibutuhkan untuk membantu mereka agar dengan kemampuannya sendiri cepat meninggalkan kemiskinan. Strategi penanggulangan kemiskinan nelayan pada setiap wilayah berbeda-beda tergantung kepada permasalahan dan kondisi yang dihadapi masing-masing wilayah. Strategi penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan pemberdayaan nelayan miskin, yaitu suatu proses perubahan sosial terencana yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika pembangunan ekonomi. Strategi ini diterapkan melalui
pelaksanaan
program
penanggulangan
kemiskinan
yaitu
(a)
program
pengembangan sarana prasarana penangkapan ikan (b) program penyediaan prasarana infrastruktur yang dapat memberdayakan masyarakat, (c) program peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) nelayan melalui magang dan pelatihan, (d) program perlindungan sosial dan penataan kemitraan, (e) program peningkatan nelayan tradisonal terhadap akses modal dan akses pasar perikanan. Dengan mengikutsertakan nelayan tradisional dalam pemberdayaan potensi perikanan laut, sangat diperlukan karena dapat berperan dalam peningkatan kemakmuran masyarakat setempat. Persoalan mendasar yang menjadi beban pembangunan saat ini adalah masih adanya kesenjangan antara para pelaku ekonomi perikanan yaitu antara usaha perikanan tradisional yang tidak mampu bersaing dengan usaha perikanan padat modal. Oleh karena itu, nelayan tradisional perlu dilibatkan dalam program pemberdayaan dan dapat ditingkatkan kualitas sumber daya manusia-nya serta diberikan kemudahan untuk mendapatkan sarana penangkapan perikanan yang memadai berupa kapal motor sehingga nelayan mampu meningkatkan kapasitas usaha perikanannya dari nelayan kecil menjadi nelayan pemilik modal dan akhirnya hidup layak sebagai nelayan profesional. Pemberian kesempatan kepada nelayan tradisional perlu dilaksanakan karena jumlah pengusaha perikanan dan nelayan kecil sangat besar dan bila dikembangkan dengan political will pemerintahan (kebijakan yang memihak pada nelayan) dengan baik maka semakin kuat dan mampu berperan sebagai kekuatan yang dapat menciptakan kemapanan daerah.
Untuk menciptakan kondisi keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap nelayan maka perlu ditempuh langkah-langka strategis sebagai berikut. 1. Pemerintah perlu membuat kebijakan khusus terhadap lembaga keuangan atau perbankan yang memberikan kesempatan kepada nelayan untuk mengakses permodalan melalui kredit khusus nelayan yang proporsional dan layak. Secara nasional terdapat kebijakan pemerintah dalam penyedian dana bagi nelayan dalam bentuk bantuan hiba, bergulir (revolving) maupun dalam bentuk pinjaman (kredit) dari bank maupun lembaga keuangan lainnya. Namun ditingkat daerah kebijakan tersebut tidak terealisasi dengan baik, terutama dana kredit sulit sekali untuk nelayan mendapatkannya karena berbagai persyaratan yang sulit dipenuhi oleh nelayan lokal. Pada tingkat lokal dinas koperasi dan UKM telah banyak memberikan kredit modal bagi masyarakat, dan cukup efektif dalam membantu masyarakat, namun selama ini pemberian kridit tersebut hanya diberikan kepada usaha kecil dan menengah (UKM) sementara nelayan dan petani belum tersentuh. Bila program ini diteruskan kepada nelayan dengan sistim yang lebih longgar maka diharapkan dapat membantu nelayan lokal untuk keluar dari kesulitan modal. 2. Pemerintah perlu menciptakan suatu sistim insentif khusus yang berkaitan dengan pengembangan nelayan berupa penyediaan alat tangkap dan kapal kepada nelayan kecil dan menengah. Bila nelayan lokal diberikan bantuan sarana penangkapan ikan yang memadai berukuran ≥ 30 GT, maka potensi sumber daya perikanan yang tersedia di Maluku Tenggara dapat dimanfaatkan oleh nelayan untuk peningkatan pendapatan mereka. Dengan meningkatnya kapasitas armada nelayan lokal, maka mereka akan menangkap ikan pada wilayah lepas pantai sehingga dapat mengurangi over fishing pada perikanan pesisir dan dapat memperkecil kegiatan pencurian ikan oleh nelayan asing pada wilayah laut lepas terutama pada Laut Arafura dan sekitarnya. 3. Pemerintah perlu memberlakukan suku bunga yang rendah dalam hal peminjaman modal terhadap pembelian kapal dan alat tangkap nelayan. Dengan suku bunga yang rendah dan kemudahan bagi nelayan untuk mendapatkan pinjaman (kredit) dari bank, maka dapat membantu nelayan dalam kesulitan
memperoleh modal untuk membeli sarana prasarana penangkapan ikan. Jika hal tersebut diatur dengan baik maka persoalan kredit macet tidak akan terjadi. Mengapa bank berani memberikan pinjaman kepada usaha pada bidang lain dan ternyata banyak terjadi kredit macet dan pelarian uang ke luar negeri, tetapi kepada penduduk asli Indonesia sendiri yang berprofesi sebagai nelayan tidak diberikan pinjaman, padahal nelayan ini tidak akan mungkin melarikan diri keluar negeri seperti para konglemerat hitam yang melarikan diri keluar negeri dengan membawa uang negara trilyunan rupiah. Oleh karena itu sewajarnya Bank berhusnuzon (berprasangka baik) untuk dapat memberikan pinjaman lunak kepada nelayan dengan suatu sistim yang terkontrol agar dapat menjadi modal bagi nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan atau kegiatan lainya pada usaha perikanan. 4. Pemerintah perlu menyediakan sistim pemasaran hasil yang gampang diakses nelayan lokal sehingga hasil tangkapan nelayan lokal mudah dipasarkan dan dijual dengan harga yang memadai. Jika pemerintah telah menyediakan sarana prasarana penangkapan ikan yang memadai maka hal selanjutnya yang perlu disiapkan adalah masalah pemasaran hasil perikanan yang diperoleh nelayan. Karena dengan sistim pemasaran yang baik maka nelayan tidak akan berpikir lagi tentang kendala pemasaran hasil yang selama ini terjadi. Dengan demikian maka nelayan akan terdorong untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan lebih intensif lagi. 5. Pemerintah perlu meningkatkan kapasitas SDM masyarakat nelayan lokal sehingga mampu mandiri secara profesional dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang tersedia. SDM yang berkualitas sangat dibutuhkan pada semua sektor pembangunan, untuk itu pemerintah daerah dapat melakukan kegiatan-kegiatan pelatihan ataupun kerja sama dengan daerah lain yang telah maju, untuk nelayan dapat melakukan kegiatan magang yang dapat meningkatakan pengetahuan dan ketrampilan nelayan, sehingga kualitas kerja dari nelayan dapat meningkat.
6. Pemerintah perlu mengembangkan program budidaya terhadap sumber daya perikanan seperti ikan, rumput laut, teripang, kima, lola, mutiara dan hasil ikutan lainnya sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan lokal. Maluku Tenggara sebagai daerah kepulaun memiliki potensi yang sangat besar untuk perikanan budidaya, namun potensi yang besar tersebut belum mampu dikelola dengan baik untuk peningkatan pendapatan nelayan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan dan modal sebagai faktor utama. Untuk itu nelayan harus diberdayakan dengan program budidaya perikanan, agar dapat meningkatkan pendapatan nelayan. 7. Pemerintah perlu melakukan pembinaan yang intensif terhadap aparatur dinas terkait agar kapasitas SDM aparatur dinas terkait dapat ditingkatkan. Hasil yang ingin dicapai adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia aparatur pemerintahan daerah. Optimalisasi kinerja aparatur pemerintahan daerah khususnya aparatur pada sektor terkait. Pembinaan terhadap aparatur pemerintahan daerah yang nakal dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diembankan kepadanya. SDM aparatur dinas yang berkualitas pada bidang tugasnya disertai dengan memiliki moralitas yang baik maka dia akan bekerja dengan baik dan jujur sehingga program yang dijalankan tidak akan diselewengkan dari tujuan program tersebut, sehingga program yang tujuannya pemberdayaan masyarakat nelayan lokal tidak akan diselewengkan menjadi pemberdayaan orang yang bukan nelayan. Dengan demikian maka nelayan sebagai kelompok sasaran program perberdayaan dapat ditingkatkan kesejahteraannya.
6.8.2. Strategi Kebijakan pada Tingkat Nelayan Strategi yang dilakukan oleh nelayan dalam mengatasi kemiskinannya melalui beberapa langka dibawah ini : 1. Nelayan melakukan kegiatan budidaya perikanan Untuk meningkatkan pendapatan nelayan saat ini banyak nelayan telah melakukan kegiatan budidaya hasil perikanan, terutama budidaya rumput laut, dengan budidaya rumput laut ini nelayan memperoleh pendapatan yang lumayan besar. Usaha budidaya ini bila difasilitasi oleh pemerintah daerah maka sangat besar pengaruhnya terhadap peningktan pendapatan nelayan. Karena laut Maluku Tenggara yang sangat cocok untuk budidaya berbagai hasil perikanan. Namun hal ini belum mendapat
perhatian serius dari pemerintah setempat. Usaha budidaya yang juga sangat potensial adalah budidaya ikan kerapu, karena harga jual dari ikan kerapu ini sangat besar, 1 ekor ikan kerapu hidup seharga Rp. 150.000. sehingga bila nelayan melakukan usaha budidaya perikanan maka memperoleh pendapatan yang sangat besar. 2. Penegakan hukum adat “Sasi” Bila sumber daya alam yang tersedia di Maluku Tenggara dikelola dengan suatu aturan yang jelas terhadap kepemilikan sumber daya alam maka, aspek keberlanjutan akan tercapai. Karena adanya budaya (hukum adat) “Sasi” yang berlaku disana, mengatur tentang pola pemanfaatan sumber daya secara terkontrol, dimana pada musim-musim tertentu masyarakat tidak boleh melakukan kegiatan pemanenan hasil. Hal ini berdampak terhadap peningkatan jumlah dan ukuran dari sumber daya yang dilindungi sehingga datang saatnya untuk melakukan pemanenan maka hasil yang diperoleh masyarakat sangat besar. Dengan demikian maka pendapatan masyarakat pun meningkat dan kelestarian sumber daya alam dapat terjaga. 3. Nelayan telah mendatangkan pembeli (pengusaha) ikan dari luar daerah. Untuk meningkatkan harga jual ikan, nelayan telah berusaha untuk mendatang pembeli dari luar daerah, namun saat pengusaha kesana tidak mendapat respon baik dari pemerintah daerah, dimana surat izin pengusahaan perikanan sulit diperoleh dan banyak terjadi pungutan liar, hal ini memberatkan pengusaha tersebut, sehingga ia segera hengkang dari Tual. Karena hanya terdapat 1 orang pengusaha lokal yang dapat membeli hasil tangkapan nelayan sehingga harga ikan sulit dinaikan. 4. Pembentukan koperasi nelayan. Kabupaten Maluku Tenggara memiliki KUD sebanyak 11 unit dengan jumlah anggota 1.381 orang dan koperasi sebanyak 290 unit dengan jumlah anggota sebanyak 14.331 orang. Ini merupakan sumber daya yang potensial dalam pengembangan perekonomian masyarakat Maluku Tenggara. Bila koperasi ini diberdayakan dengan ekonomi produktif seperti usaha simpan pinjam, maka KUD dan koperasi dapat mengajukan pinjaman ke bank dan dinas terkait sehingga pinjaman tersebut dapat disalurkan kepada nelayan, sehingga menjadi modal bagi nelayan untuk meningkatkan usahanya pada bidang perikanan.
Selain itu pemanfaatan terhadap perusahan-perusahan perikanan yang berada di Tual untuk melakukan kegiatan pendampingan dengan program CSR (corporate social responsibility) atau tanggungjawab sosial dunia usaha. Dimana tanggungjawab perusahan secara sosial melalui komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan tidak melupakan mayarakat lokal dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Dengan maksud melakukan program-program pemberdayaan masyarakat (community development) yang disponsori perusahan-perusahan perikanan yang berada di Tual untuk masyarakat nelayan sekitarnya. Dengan demikian maka masyarakat nelayan lokal tidak dirugikan dengan kehadiran pengusaha-pengusaha di tingkat lokal. Dan juga, dengan adanya program CSR maka masyarakat merasa diperhatikan oleh pemerintah dan pengusaha sehingga sebagai masyarakat mereka tidak akan bertindak negatif terhadap pengusaha perikanan yang menanamkan modalnya (inventasi) di daerahnya. Program CSR ini bila dilakukan dengan baik maka diharapkan berdampak positif terhadap pemberdayaan nelayan lokal, karena di Tual banyak terdapat nelayan berskala industri, dimana program CSR sebagai citra diri perusahaan yang ditujukan dengan akuntabilitasnya kepada kepentingan publik. 5. Pelarangan terhadap penggunaan bahan peledak, potasium dll, dalam kegitan penangkapan ikan. Potensi sumber daya perikanan pesisir sangat besar sehingga dalam pemanfaatannya harus secara optimal guna peningkatan perekonamian masyarakat namun tidak mengesampingkan aspek keberlanjutan, agar sumber daya tersebut tetap lestari dan dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang. Dalam pemanfatan sumber daya perikanan wilayah pesisir Maluku Tenggara dilakukan dengan program pengendalian dan pemanfaatan. Pada desa-desa tertentu diberlakukan aturan pada tingkat desa sehingga apabila nelayan yang berasal dari desa lain harus dapat melapor terlebih dahulu kepada kepala desa sebelum melakukan aktifitas penangkapan. Dengan cara ini maka nelayan diberitahukan agar tidak menggunakan potasium, bahan peledak, ataupun zat-zat lainya yang berbahaya dalam menangkap ikan, sehingga dampak negatif dapat dihindari seperti kematian ikan-ikan kecil dan kerusakan habitat perairan.
Dengan demikian maka potensi sumber daya perikanan dapat terjaga sehingga dimanfaatan secara berkelanjutan. Juga pada saat nelayan melapor diberitahukan tentang retribusi kepada pemerintah desa, sehingga menjadi pendapatan bagi pemerintah desa.
6.9. Keterkaitan Analisis dalam Penelitian Dalam menjawab bagaimana pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya perikanan tangkap di Maluku Tenggara, digunakan analisis bioekonomi. Tujuannya adalah untuk mengetahui : potensi (stok) yang tersedia, daya dukung sumber daya, pertumbuhan intrinsik, kondisi pemanfaatan optimum, proporsi stok ikan yang ditangkap oleh satu unit upaya, produksi optimal dan jumlah input yang digunakan pada suatu fishing ground. Dengan demikian maka pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dapat diatur sehingga keberlanjutan secara biologi maupun keberlanjutan ekonomi dapat terjaga untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia masa kini maupun masa akan datang. Dengan potensi sumber daya yang tersedia, maka nelayan dapat melakukan kegiatan penangkapan terhadap sumber daya perikanan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, baik untuk konsumsi ataupun dapat dijual. Dengan demikian untuk mengetahui tingkat pendapatan per kapita masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, digunakan analisis pendapatan. Setelah mengetahui tingkat pendapatan nelayan maka dapat dilanjutkan dengan analisis ekonometrika yaitu model regresi berganda untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara. Setelah mengetahui pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan lokal, maka selanjutnya mengetahui kondisi kehidupan nelayan di wilayah pesisir Maluku Tenggara. Apakah nelayan telah hidup layak atau masih berada dibawah garis kemiskinan. Menjawab permasalahan ini digunakan analisis kemiskinan untuk mengetahui hubungan tingkat kemiskinan masyarakat nelayan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang tersedia.
Setelah mengetahui tingkat kehidupan masyarakat nelayan di wilayah pesisir Maluku Tenggara, maka dilakukan analisis PRA dan FGD untuk menganalisis strategi kebijakan dan bentuk program bidang perikanan yang akan digunakan dalam pengentasan kemiskinan masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 6. Potensi perikanan tangkap di Maluku Tenggara sangat besar namun belum dikelola dan dimanfaatkan secara baik sehingga potensi yang besar tersebut belum memberikan nilai tambah bagi pendapatan masyarakat nelayan. Sesuai hasil analisis bahwa telah terjadi over fishing pada wilayah pesisir pantai karena sarana dan prasarana penangkapan yang dimiliki oleh nelayan lokal masih didominasi oleh nelayan tanpa mesin, sehingga daya jangkau sangat terbatas, dan mengakibatkan tingkat pendapatan nelayan menjadi rendah. Berdasarkan hasil analisis tingkat pendapatan per kapita masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan bahwa sebagian besar nelayan tanpa mesin berpendapatan rendah sehingga nelayan masih hidup dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang ditetapkan oleh UNDP sebesar US$1-US$2 per kapita per hari. Sementara nelayan yang menggunakan mesin tingkat pendapatan rata-rata sudah diatas standar garis kemiskinan walaupun masih terdapat sebagian kecil nelayan yang berpendapatan dibawah garis kemiskinan. 7. Tingkat kemiskinan masyarakat nelayan di Maluku Tenggara masih tinggi, disebabkan karena potensi perikanan yang tersedia tidak dikelola dan dimanfaatkan secara optimal dan terkontrol guna peningkatan taraf hidup masyarakat. Hal ini disebabkan beberapa faktor : (a) nelayan hidup dalam keterbatasan: sarana penangkapan ikan, akses sumber permodalan, akses pasar, dan rendahnya etos kerja nelayan, (b) program bantuan banyak tidak tepat sasaran, dan tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan, (c) masih tingginya budaya korupsi, (d) rendahnya koordiansi antar instansi terkait serta sistim perencanaan yang masih bersifat top down dengan menggunakan pola penyaragaman strategi pembangunan masyarakat. 8. Strategi kebijakan yang telah dilakukan oleh instansi terkait dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan yaitu, (a) program bantuan sarana prasarana penangkapan ikan (speed boat, mesin tempel, jaring, alat pancing, cool box, fish fender, GPS), (b) pelatihan budidaya ikan, dan rumput laut, (c) pendampingan usaha
perikanan, (d) magang nelayan dan pembudidaya ikan (e) penyuluhan tentang dampak penggunaan bahan peledak dan zat nimia terhadap ekosistim pantai. Program bantuan tersebut belum berdampak nyata terhadap pengentasan kemiskinan nelayan. 9. Strategi yang dilakukan oleh nelayan untuk meningkatkan taraf hidup mereka adalah (a) adanya inovasi alat tangkap baru seperti rumpon dan jaring bobo, (b) nelayan berusaha mendatangkan pengusaha/pembeli hasil ikan dari luar daerah, (c) adanya pengawasan masyarakat desa terhadap wilayah lautnya agar tidak terjadi pencurian ikan, dan tidak terjadi penangkapan ikan dengan cara destruktif (menggunkan bom, potasium, zat atau bahan peledak lainnya) yang dapat merusak habitat perikanan dan potensinya, (d) nelayan berusaha untuk membeli sarana-prasarana penangkapan ikan secara pribadi.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan diatas maka halhal yang dapat disarankan adalah : 1. Selama ini banyak program telah digulirkan untuk mengatasi masalah kemiskinan nelayan akan tetapi belum berdampak nyata terhadap pengurangan angka kemiskinan. Oleh karena itu pemerintah daerah agar dapat mengevaluasi terhadap program yang telah digulirkan, seberapa jauh tingkat keberhasilan yang dicapai, dan apa kendala utama yang dihadapi dalam program pemberdayaan nelayan. Sehingga kedepan tidak terjadi lagi kegagalan program. Mengukur keberhasilan program bukan saja pada aspek realisasi program tetapi lebih jauh melihat tentang dampak dari program pemberdayaan tersebut terhadap perubahan pola kehidupan nelayan tersebut. 2. Strategi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah untuk mengurangi angka kemiskinan nelayan adalah : (1) Pemerintah perlu membuat kebijakan khusus terhadap lembaga keuangan atau perbankan yang memberikan kesempatan kepada nelayan untuk mengakses permodalan melalui kredit khusus nelayan yang proporsional dan layak, dan pemerintah daerah perlu menciptakan suatu sistim insentif khusus yang berkaitan dengan pengembangan nelayan berupa penyediaan alat tangkap dan kapal kepada nelayan kecil dan menengah, (2) pemerintah perlu menyediakan sistim pemasaran hasil yang gampang diakses nelayan lokal sehingga hasil tangkapan nelayan lokal mudah dipasarkan dan dijual dengan harga yang
memadai, (3) pemerintah perlu meningkatkan ketrampilan masyarakat nelayan lokal melalui pelatihan tentang pengolahan produk yang berkualitas, sehingga dapat dipasarkan ke daerah lain, termasuk dapat dieksport, sehingga mampu mandiri secara profesional dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang tersedia, (4) pemerintah perlu mengembangkan program budidaya terhadap sumber daya perikanan seperti ikan, rumput laut, teripang, kima, lola, mutiara dan hasil ikutan lainnya sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan lokal, (5) pemerintah perlu melakukan pembinaan dan pengawasan yang melekat dan intensif terhadap perilaku aparatur dinas terkait agar dapat bekerja sesuai dengan mekanisme dan aturan yang berlaku, (6) bantuan sarana penangkapan ikan berukuran kecil seperti speed boat dan jonson agar dihentikan karena dapat menyebabkan over fishing pada perikanan pesisir, (7) pemerintah daerah perlu minyiapkan SDM yang terampil terlebih dahulu sebelum memberikan bantuan sarana penangkapan ikan berukuran besar diatas 30 GT kepada nelayan lokal. 3. Pemerintah daerah agar dapat membuat perencanaan yang sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat nelayan sehingga program yang direncanakan tidak akan bertentangan dengan kebutuhan masyarakat nelayan. Karena selama ini banyak program hanya dirancang dari atas (top down) tanpa melibatkan masyarakat nelayan sehingga kebanyakan dari program tersebut tidak dapat menjawab permasalahan yang dihadapi oleh nelayan. Pemerintah daerah perlu menyiapkan infrastruktur yang memadai agar dapat menunjang program pemberdayaan masyarakat nelayan. 4. Pemerintah daerah harus dapat menghilangkan rent sikking (korupsi) dengan cara : (a) peningkatan insentif pegawai terutama pelaksana program, (b) peningkatan evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan program, (c) penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku rent sikking. 5. Strategi kebijakan yang dilakukan oleh nelayan untuk mengatasi masalah kemiskinan adalah (1) nelayan melakukan kegiatan budidaya perikanan (2) penegakan hukum adat “Sasi” (3) pembentukan koperasi nelayan (4) pelarangan terhadap penggunaan bahan peledak, potasium dll, dalam kegitan penangkapan ikan. 6. Perlu adanya regulasi yang dapat mengatur tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap ditingkat lokal sehingga mengurangi terjadinya
perselisihan dan penyelewengan tugas dan tanggungjawab ditengah-tengah masyarakat. 7. Bagi stakeholders agar dapat berperan lebih optimal dalam penanganan permasalahan masyarakat nelayan lokal. 8. Perlu penelitian lanjutan tentang potensi sumber daya perikanan pesisir secara terpadu yang dapat dikembangkan untuk pembangunan ekonomi masyarakat nelayan.
189
Lampiran 1 Catch, Effort, dan CPUE Nelayan Bermesin di Kabupaten Maluku Tenggara dari Tahun 1997-2008 Bagan Ikan
Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah Rata-rata
C 246 272 273 273 234 247 291 272 175 281 278 513 3358 280
E 1728 2016 2592 2016 1440 1728 3456 2016 864 4320 4608 9216 36000 3000
CPUE 0.143 0.135 0.105 0.135 0.163 0.143 0.084 0.135 0.203 0.065 0.060 0.056 1 0.1190
Jaring Insang Hanyut C E CPUE 15 108 0.138 19 144 0.132 12 144 0.083 17 144 0.118 14 144 0.100 17 144 0.116 10 144 0.066 18 144 0.122 15 144 0.102 14 144 0.096 14 144 0.100 7 192 0.039 171 1740 1.212 14 145 0.101
Total
Pancing Uur C 71 66 78 88 65 74 76 63 70 83 72 59 866 72
E 864 864 576 864 864 864 864 864 864 864 864 1152 10368 864
CPUE 0.08 0.08 0.14 0.10 0.08 0.09 0.09 0.07 0.08 0.10 0.08 0.05 1 0
C 3336 3695 3220 3330 3541 3344 4471 3766 3321 5005 5320 10736 53084 4424
E 332.54 357.24 362.78 378.19 314.02 338.24 376.70 353.14 259.49 377.28 364.75 580.15 4394.52 366.210
CPUE 0.0997 0.0967 0.1127 0.1136 0.0887 0.1011 0.0843 0.0938 0.0781 0.0754 0.0686 0.0540 1.0666 0.0889
190
Lampiran 2 Catch, Effort, dan CPUE Nelayan Tanpa Mesin di Kabupaten Maluku Tenggara dari Tahun 1997-2008
Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah Rata-rata
Pancing Ulur E CPUE 48 72 0.6633 66 108 0.6111 67 108 0.6222 57 108 0.5276 54 108 0.5045 77 108 0.7173 65 108 0.6000 64 108 0.5938 67 108 0.6244 66 108 0.6079 59 216 0.2734 69 216 0.3211 760.33 1476 6.6668 63.36 123 0.5556 C
C 24 32 31 26 26 34 29 24 20 26 24 30 326.2 27.2
Jaring Tasi E CPUE 72 0.3346 108 0.2933 108 0.2911 72 0.3628 72 0.3633 108 0.3147 108 0.2640 72 0.3280 108 0.1893 108 0.2427 108 0.2240 144 0.2067 1188 3.4145 99 0.2845
Jaring Insang Hanyut C E CPUE 22 72 0.3067 23 72 0.3167 25 72 0.3433 16 72 0.2240 14 72 0.1933 25 72 0.3520 26 72 0.3680 20 72 0.2733 22 36 0.6160 23 72 0.3167 20 108 0.1860 25 108 0.2333 261 900 3.7293 22 75 0.3108
C 370 472 469 382 396 501 471 395 501 517 507 588 5569 464
Total E 93.93 120.48 123.36 99.23 94.57 136.80 119.81 107.42 110.06 114.66 103.32 124.32 1348 112
CPUE 0.2535 0.2553 0.2628 0.2596 0.2389 0.2731 0.2545 0.2721 0.2198 0.2219 0.2040 0.2113 2.9268 0.2439
191
Lampiran 3 Regresi nelayan menggunakan mesin SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.862603595 R Square 0.744084962 Adjusted R Square 0.680106202 Standard Error 0.125570153 Observations 11 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2
2 8 10
SS 0.366766408 0.126142906 0.492909315
Coefficients -1.264342862 0.306409173 -5.42308E-05
Standard Error 0.79910512 0.392083117 2.30317E-05
MS 0.183383204 0.015767863
F 11.63018736
Significance F 0.004289268
t Stat -1.582198425 0.781490351 -2.354617012
P-value 0.152261413 0.457016288 0.046346025
Lower 95% -3.107082572 -0.597736115 -0.000107342
Upper 95% 0.578396847 1.210554461 -1.11964E-06
192
Lampiran 4 Nelayan tanpa mesin SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.631401678 R Square 0.398668079 Adjusted R Square 0.248335099 Standard Error 0.09093892 Observations 11 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2
2 8 10
Coefficients 0.577120638 0.311973291 0.000437377
MS 0.021930917 0.008269887
F 2.651900323
Significance F 0.130754617
Standard Error
t Stat
P-value
Lower 95%
0.426003083
1.354733477
SS 0.043861833 0.066159098 0.110020931
0.446884907 0.000453279
0.698106574 0.964916225
0.2125172 0.504892494 0.362845002
1.559485508 0.718545151 0.001482641
Upper 95% 0.405244233 1.342491733 0.000607888
178
Tabel 43 Matriks strategi penanggulangan kemiskinan oleh dinas instansi terkait di Kabupaten Maluku Tenggara
Kecamatan dan Permasalahannya Kei Besar Selatan: 1. 2.
Desa Hoat Desa Ngafan
Strategi Existing -
Masalah : 1.Tingkat kemiskinan 6.964% 2. Sarana prasarana utk nelayan terbatas 3. SDM rendah 4. Akses modal rendah 5. Akses pasar rendah 6. Etos kerja rendah
-
Pengadaan motor tempel dan alat penangkapan ikan. Pendampingan usaha perikanan Penyuluhan tentang dampak penggunaan bahan peledak dan zat kimia terhadap ekosistim pantai Magang nelayan, dan pembudidaya ikan Pelatihan budidaya ikan, rumput laut Monitoring dan evaluasi. Pengadaan sarana budidaya ikan
Masalah Sekarang -
Sarana penangkapan ikan terbatas dan tidak layak kondisi SDM rendah
-
-
Pelayanan kesehatan rendah Peluang kerja terbatas, sulit mendapat bantuan Budidaya ikan, rumput laut, kepiting, dan teripang terbatas Program pemberian BLT, raskin, kartu askeskin membuat masyarakat menjadi malas.
-
-
-
Strategi yang Ditawarkan
Program Dinas
Pengadaan sarana transportasi yang memadai dan lancar Pengadaan kapal motor ukuran besar untuk penangkapan ikan Pengembangan sarana prasarana infrastruktur yang memberdayakan masyarakat. Penyedian pasar yang baik sehingga harga ikan dapat ditingkatkan. Pemberian kridit modal dengan bunga rendah Peningkatan pendidikan & pelatihan perikanan Peningkatan pelayanan kesehatan Perluasan kesempatan kerja dan berusaha (kepala keluarga mendapat bantuan program dana bergulir, program padat karya) Pengembangan budidaya ikan, rumput laut, kepiting, dan teripang. Pendampingan usaha perikanan Penyuluhan tentang dampak penggunaan bahan peledak dan zat kimia terhadap ekosisitim pantai Hilangkan rent sikking Tingkatkan SDM aparatur dinas Pembinaan aparatur dinas Pelatihan tentang pembuatan produk olahan dari ikan, rumput laut yang berkualitas.
Perhubungan Perikanan Kimraswil
Perikanan Perikanan Perikanan Kesehatan Perikanan
Perikanan Perikanan Kepolisian Perikanan Aparat Hukum Perikanan Perikanan Perikanan
179
Lanjutan....... Kecamatan dan Permasalahannya Kei Kecil Timur :
-
1. Dusun Denwet 2. Dusun Mastur Baru
-
Masalah :
-
1.Tingkat kemiskinan 7.84% 2. Sarana prasarana utk nelayan terbatas 3. SDM rendah 4. Akses modal rendah 5. Akses pasar rendah 6. Etos kerja rendah
Strategi Existing
-
Pengadaan motor tempel dan alat penangkapan ikan Program pendidikan & pelatihan nelayan Pendampingan usaha perikanan Penyuluhan tentang dampak penggunaan bahan peledak dan zat kimia terhadap ekosistim pantai Magang nelayan, dan pembudidaya ikan Pelatihan budidaya ikan, rumput laut Monitoring dan evaluasi. Pengadaan sarana budidaya ikan
Masalah Sekarang -
Sarana penangkapan ikan terbatas dan tidak layak kondisi. Ketrampilan rendah SDM rendah Pelayanan kesehatan rendah Peluang kerja terbatas, sulit mendapat bantuan
-
-
-
Budidaya ikan, rumput laut, kepiting, dan teripang terbatas Program pemberian BLT, raskin, kartu askeskin menjadikan masyarakat malas.
-
-
-
Strategi yang Ditawarkan
Program Dinas
Pengadaan kapal motor ukuran besar untuk penangkapan ikan Pengembangan sarana prasarana infrastruktur yang memberdayakan masyarakat. Penyedian pasar yang baik sehingga harga dapat ditingkatkan. Pemberian kridit modal dengan bunga rendah Peningkatan pendidikan & pelatihan perikanan Peningkatan Pelayanan Kesehatan Perluasan kesempatan kerja dan berusaha (kepala keluarga mendapat bantuan program dana bergulir, program padat karya) Pengembangan budidaya ikan, rumput laut, kepiting, dan teripang. Pendampingan usaha perikanan Penyuluhan tentang dampak penggunaan bahan peledak dan zat kimia terhadap ekosisitim pantai Hilangkan rent sikking Tingkatkan SDM aparatur dinas dan nelayan Pembinaan aparatur dinas Pelatihan tentang pembuatan produk olahan dari ikan, rumput laut yang berkualitas.
Perikanan
Kimraswil
Perikanan Perikanan Perikanan Kesehatan Perikanan
Perikanan Perikanan Kepolisian Perikanan Aparat Hukum Perikanan Perikanan Perikanan
180
Lanjutan....... Kecamatan dan Permasalahannya Kei Kecil :
-
1. Desa Sathean 2. Dusun Selayar
-
Strategi Existing Pengadaan motor tempel dan alat penangkapan ikan Program pendidikan & pelatihan nelayan
Masalah : 1.Tingkat kemiskinan 17.34% 2. Sarana prasarana utk nelayan terbatas 3. SDM rendah 4. Akses modal rendah 5. Akses pasar rendah 6. Etos kerja rendah
-
-
Pendampingan usaha perikanan Penyuluhan tentang dampak penggunaan bahan peledak dan zat kimia terhadap ekosisitim pantai Magang nelayan, dan pembudidaya ikan Pelatihan budidaya ikan, rumput laut Monitoring dan evaluasi. Pengadaan sarana budidaya ikan
Masalah Sekarang
Strategi yang Ditawarkan -
-
Sarana penangkapan ikan terbatas dan tidak layak kondisi.
-
Infrastruktur terbatas
-
Akses modal rendah
-
-
SDM rendah
-
-
Pelayanan Kesehatan rendah Peluang kerja terbatas, sulit mendapat bantuan
-
-
-
Budidaya ikan, rumput laut, kepiting, dan teripang terbatas. Kurangnya penyuluhan
-
-
-
Pengadaan kapal motor ukuran besar untuk penangkapan ikan Pengembangan sarana prasarana infrastruktur yang memberdayakan masyarakat. Penyedian pasar yang baik sehingga harga dapat ditingkatkan. Pemberian kridit modal dengan bunga rendah Peningkatan pendidikan & pelatihan perikanan Peningkatan pelayanan kesehatan Perluasan kesempatan kerja dan berusaha (kepala keluarga mendapat bantuan program dana bergulir, program padat karya) Pengembangan budidaya ikan, rumput laut, kepiting, dan teripang. Pendampingan usaha perikanan Penyuluhan tentang dampak penggunaan bahan peledak dan zat kimia terhadap ekosisitim pantai Hilangkan rent sikking Tingkatkan SDM aparatur dinas dan nelayan Pembinaan aparatur dinas Pelatihan tentang pembuatan produk olahan dari ikan, rumput laut yang berkualitas.
Program Dinas Perikanan Kimraswil
Perikanan Bank Perikanan Kesehatan Perikanan
Perikanan Perikanan Kepolisian Perikanan Aparat Hukum Perikanan Perikanan Perikanan
181
Lanjutan....... Kecamatan dan Permasalahannya Dullah Utara :
-
1. Desa Lebetawi 2. Desa Dulla Laut
-
Masalah : 1.Tingkat kemiskinan 9.726% 2. Sarana prasarana utk nelayan terbatas 3. SDM rendah 4. Akses modal rendah 5. Akses pasar rendah 6. Etos kerja rendah
Strategi Existing
-
-
Pengadaan motor tempel dan alat penangkapan ikan Program pendidikan & pelatihan nelayan
Program budidaya rumput laut. Pendampingan usaha perikanan Penyuluhan tentang dampak penggunaan bahan peledak dan zat kimia terhadap ekosisitim pantai Magang nelayan, dan pembudidaya ikan Pelatihan budidaya ikan, rumput laut Monitoring dan evaluasi. Pengadaan sarana budidaya ikan
Masalah Sekarang - Infrastruktur terbatas - Sarana penangkapan ikan terbatas - Kualitas produk olahan rendah - SDM rendah -
Pelayanan kesehatan rendah Peluang kerja terbatas, sulit mendapat bantuan
-
Ketrampilan nelayan rendah Budidaya ikan, rumput laut, kepiting, dan teripang terbatas Program pemberian BLT, Raskin, kartu askeskin menjadikan masyarakat malas.
-
Strategi yang Ditawarkan -
-
-
-
-
Pengembangan sarana prasarana infrastruktur pemberdayaan masyarakat. Pengadaan kapal motor ukuran besar untuk penangkapan ikan Peningkatan kualitas produk olahan Peningkatan program pendidikan dan pelatihan perikanan Peningkatan pelayanan kesehatan Perluasan kesempatan kerja dan berusaha (kepala keluarga mendapat bantuan program dana bergulir, program padat karya) Magang nelayan dan pembudidaya ikan Pelatihan teknis budidaya dan pengolahan rumput laut Program pemberdayaan nelayan Hilangkan rent sikking Penyuluhan tentang dampak penggunaan bahan peledak dan zat kimia terhadap ekosisitim pantai Pembinaan aparatur dinas Pelatihan tentang pembuatan produk olahan dari ikan, rumput laut yang berkualitas Tingkatkan SDM aparatur dinas dan nelayan
Program Dinas Kimraswil
Perikanan Perikanan Perikanan Kesehatan Perikanan
Perikanan Perikanan Perikanan Kepolisian Aparat Hukum Perikanan Perikanan Perikanan
Perikanan
189
Lampiran 1 Catch, Effort, dan CPUE Nelayan Bermesin di Kabupaten Maluku Tenggara dari Tahun 1997-2008 Bagan Ikan
Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah Rata-rata
C 246 272 273 273 234 247 291 272 175 281 278 513 3358 280
E 1728 2016 2592 2016 1440 1728 3456 2016 864 4320 4608 9216 36000 3000
CPUE 0.143 0.135 0.105 0.135 0.163 0.143 0.084 0.135 0.203 0.065 0.060 0.056 1 0.1190
Jaring Insang Hanyut C E CPUE 15 108 0.138 19 144 0.132 12 144 0.083 17 144 0.118 14 144 0.100 17 144 0.116 10 144 0.066 18 144 0.122 15 144 0.102 14 144 0.096 14 144 0.100 7 192 0.039 171 1740 1.212 14 145 0.101
Total
Pancing Uur C 71 66 78 88 65 74 76 63 70 83 72 59 866 72
E 864 864 576 864 864 864 864 864 864 864 864 1152 10368 864
CPUE 0.08 0.08 0.14 0.10 0.08 0.09 0.09 0.07 0.08 0.10 0.08 0.05 1 0
C 3336 3695 3220 3330 3541 3344 4471 3766 3321 5005 5320 10736 53084 4424
E 332.54 357.24 362.78 378.19 314.02 338.24 376.70 353.14 259.49 377.28 364.75 580.15 4394.52 366.210
CPUE 0.0997 0.0967 0.1127 0.1136 0.0887 0.1011 0.0843 0.0938 0.0781 0.0754 0.0686 0.0540 1.0666 0.0889
190
Lampiran 2 Catch, Effort, dan CPUE Nelayan Tanpa Mesin di Kabupaten Maluku Tenggara dari Tahun 1997-2008
Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah Rata-rata
Pancing Ulur E CPUE 48 72 0.6633 66 108 0.6111 67 108 0.6222 57 108 0.5276 54 108 0.5045 77 108 0.7173 65 108 0.6000 64 108 0.5938 67 108 0.6244 66 108 0.6079 59 216 0.2734 69 216 0.3211 760.33 1476 6.6668 63.36 123 0.5556 C
C 24 32 31 26 26 34 29 24 20 26 24 30 326.2 27.2
Jaring Tasi E CPUE 72 0.3346 108 0.2933 108 0.2911 72 0.3628 72 0.3633 108 0.3147 108 0.2640 72 0.3280 108 0.1893 108 0.2427 108 0.2240 144 0.2067 1188 3.4145 99 0.2845
Jaring Insang Hanyut C E CPUE 22 72 0.3067 23 72 0.3167 25 72 0.3433 16 72 0.2240 14 72 0.1933 25 72 0.3520 26 72 0.3680 20 72 0.2733 22 36 0.6160 23 72 0.3167 20 108 0.1860 25 108 0.2333 261 900 3.7293 22 75 0.3108
C 370 472 469 382 396 501 471 395 501 517 507 588 5569 464
Total E 93.93 120.48 123.36 99.23 94.57 136.80 119.81 107.42 110.06 114.66 103.32 124.32 1348 112
CPUE 0.2535 0.2553 0.2628 0.2596 0.2389 0.2731 0.2545 0.2721 0.2198 0.2219 0.2040 0.2113 2.9268 0.2439
191
Lampiran 3 Regresi nelayan menggunakan mesin SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.862603595 R Square 0.744084962 Adjusted R Square 0.680106202 Standard Error 0.125570153 Observations 11 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2
2 8 10
SS 0.366766408 0.126142906 0.492909315
Coefficients -1.264342862 0.306409173 -5.42308E-05
Standard Error 0.79910512 0.392083117 2.30317E-05
MS 0.183383204 0.015767863
F 11.63018736
Significance F 0.004289268
t Stat -1.582198425 0.781490351 -2.354617012
P-value 0.152261413 0.457016288 0.046346025
Lower 95% -3.107082572 -0.597736115 -0.000107342
Upper 95% 0.578396847 1.210554461 -1.11964E-06
192
Lampiran 4 Nelayan tanpa mesin SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.631401678 R Square 0.398668079 Adjusted R Square 0.248335099 Standard Error 0.09093892 Observations 11 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2
2 8 10
Coefficients 0.577120638 0.311973291 0.000437377
MS 0.021930917 0.008269887
F 2.651900323
Significance F 0.130754617
Standard Error
t Stat
P-value
Lower 95%
0.426003083
1.354733477
SS 0.043861833 0.066159098 0.110020931
0.446884907 0.000453279
0.698106574 0.964916225
0.2125172 0.504892494 0.362845002
1.559485508 0.718545151 0.001482641
Upper 95% 0.405244233 1.342491733 0.000607888
193 Lampiran 5 Analisis optimasi sumber daya perikanan tangkap pada nelayan menggunakan mesin di Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 1997 – 2008 > restart; >r:=1.068127859;q:=0.000166045;K:=972.9717759;p:=20584611;c :=187756;delta:=0.95;
r := 1.068127859 q := 0.000166045 K := 972.9717759 p := 20584611
c := 187756 d := 0.95 > f(x):=r*x*(1-x/K);
f ( x ) := 1.068127859 x ( 1 K 0.001027779042 x ) > plot(f(x),x=0..1000,growth=0..300);
> h:=q*x*E;
h := 0.000166045 x > g:=solve(f(x)=h,x);
g := 0., 972.9717762 K 0.1512525839 > y:=q*E*(K*(1-q/r*E));
y := 0.1615570985 E ( 1 K 0.0001554542357 E ) > perhitungan tingkat MSY mengikuti solusi Clark (1985) yaitu : > MSY:=r*K/4;EMSY:=r/2/q;xMSY:=MSY/q/EMSY;
MSY := 259.8145650 EMSY := 3216.380677 xMSY := 486.4858881
194 > plot({y,MSY},E=0..8000,yield=0..300);
> hasil perhitungan bioekonomi pada kondisi OA dan SO : > TC:=c*E;
TC := 187756 > TR:=p*y;
TR := 3.325590027 106 E ( 1 K 0.0001554542357 E ) > xOA:=c/p/q;
xOA := 54.93199319 > EOA:=solve(TR-TC=0,E);
EOA := 0. , 6069.580828 > hOA:=q*xOA*EOA;
hOA := 0., 55.36175631 > MR:=diff(TR,E);
MR := 3.325590027 106 K 1033.954112 > MC:=diff(TC,E);
MC := 187756 > ESO:=solve(MR-MC=0,E);
ESO := 3034.790413 > TRSO:=p*q*ESO*(K*(1-q/r*ESO));
TRSO := 5.331134421 109 > TCSO:=c*ESO;
195
TCSO := 5.698001088 108 > RentSO:=TRSO-TCSO;
RentSO := 4.761334312 109 > hSO:=q*ESO*(K*(1-q/r*ESO));
hSO := 258.9864060 > xSO:=hSO/q/ESO;
xSO := 513.9518846 > alokasi optimal > f(x):=r*(1-(2*x/K))+(c*r*(1-x/K)/(p*q*x-c))=delta;
f ( x ) := 1.068127859 K 0.002195598855 x 2.005474143 105 ( 1 K 0.001027779042 x ) = 0.95 C 3417.971733 x K 187756 > solve(f(x),x);
K 118.8002844 , 200.0683945 > xOpt:=200.0683945;
xOpt := 200.0683945 > hOpt:=r*xOpt*(1-xOpt/K);
hOpt := 169.7566103 > EOpt:=hOpt/q/xOpt;
EOpt := 5110.017709 > plot({y,MSY,hOA,hSO,hOpt},E=0..8000,yield=0..300);
196 > RentOpt:=p*hOpt-c*EOpt;
RentOpt := 2.534937303 109 > RentOvertime:=RentOpt/delta;
RentOvertime := 2.668355056 109 > delta1:=0.95;delta2:=0.15;
d1 := 0.95 d2 := 0.15 > f(x):=r*(1-(2*x/K))+(c*r*(1-x/K)/(p*q*x-c))=delta1;
f ( x ) := 1.068127859 K 0.002195598855 x 2.005474143 105 ( 1 K 0.001027779042 x ) = 0.95 C 3417.971733 x K 187756 > solve(f(x),x);
K 118.8002844 , 200.0683945 > xOpt1:=200.0683945;
xOpt1 := 200.0683945 > hOpt1:=r*xOpt1*(1-xOpt1/K);
hOpt1 := 169.7566103 > EOpt1:=hOpt1/q/xOpt1;
EOpt1 := 5110.017709 > f(x):=r*(1-(2*x/K))+(c*r*(1-x/K)/(p*q*x-c))=delta2;
f ( x ) := 1.068127859 K 0.002195598855 x 2.005474143 105 ( 1 K 0.001027779042 x ) = 0.15 C 3417.971733 x K 187756 > solve(f(x),x);
K 8.268030601 , 453.9014246 > xOpt2:=453.9014246;
xOpt2
:= 453.9014246
> hOpt2:=r*xOpt*(1-xOpt2/K);
hOpt2 := 114.0060005 > EOpt2:=hOpt2/q/xOpt2;
EOpt2 := 1512.656653 > RentOpt1:=p*hOpt1-c*EOpt1;
197
RentOpt1 := 2.534937303 109 > RentOverTime1:=RentOpt1/delta1;
RentOverTime1 := 2.668355056 109 > RentOpt2:=p*hOpt2-c*EOpt2;
RentOpt2 := 2.062758810 109 > RentOverTime2:=RentOpt2/delta2;
RentOverTime2 := 1.375172540 1010
198 Lampiran 6 Analisis optimasi sumber daya perikanan tangkap pada nelayan tanpa mesin di Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 1997 – 2008. > restart; >r:=1.048842555;q:=0.001333493;K:=324.1311524;p:=7065625;c: =57580;delta:=0.95;
r := 1.048842555 q := 0.001333493 K := 324.1311524 p := 7065625 c := 57580 d := 0.95 > f(x):=r*x*(1-x/K);
f ( x ) := 1.048842555 x ( 1 K 0.003085170903 x ) > plot(f(x),x=0..400,growth=0..100);
> h:=q*x*E;
h := 0.001333493 x > g:=solve(f(x)=h,x);
g := 0., 324.1311524 K 0.4120986708 > y:=q*E*(K*(1-q/r*E));
y := 0.4322266228 E ( 1 K 0.001271394828 E ) > perhitungan tingkat MSY mengikuti solusi Clark (1985) yaitu : > MSY:=r*K/4;EMSY:=r/2/q;xMSY:=MSY/q/EMSY;
MSY := 84.99063650 EMSY := 393.2688642 xMSY := 162.0655762
199
> plot({y,MSY},E=0..1000,yield=0..100);
> hasil perhitungan bioekonomi pada kondisi OA dan SO : > TC:=c*E;
TC := 57580 > TR:=p*y;
TR := 3.053951232 106 E ( 1 K 0.001271394828 E ) > xOA:=c/p/q;
xOA := 6.111254025 > EOA:=solve(TR-TC=0,E);
EOA := 0. , 771.7081392 > hOA:=q*xOA*EOA;
hOA := 0., 6.288892301 > MR:=diff(TR,E);
MR := 3.053951232 10 6 K 7765.555603 > MC:=diff(TC,E);
MC := 57580 > ESO:=solve(MR-MC=0,E);
ESO := 385.8540696 > TRSO:=p*q*ESO*(K*(1-q/r*ESO));
TRSO := 6.002984941 108 > TCSO:=c*ESO;
TCSO := 2.221747733 107 > RentSO:=TRSO-TCSO;
RentSO := 5.780810168 108 > hSO:=q*ESO*(K*(1-q/r*ESO));
200
hSO := 84.96042377 > xSO:=hSO/q/ESO;
xSO := 165.1212032 > alokasi optimal > f(x):=r*(1-(2*x/K))+(c*r*(1-x/K)/(p*q*x-c))=delta;
f ( x ) := 1.048842555 K 0.006471717065 x 60392.35432 ( 1 K 0.003085170903 x ) C = 0.95 9421.961478 x K 57580 > solve(f(x),x);
K 22.15774383 , 40.48637397 > xOpt:=40.48637397;
xOpt := 40.48637397 > hOpt:=r*xOpt*(1-xOpt/K);
hOpt := 37.15978581 > EOpt:=hOpt/q/xOpt;
EOpt := 688.2933592 > plot({y,MSY,hOA,hSO,hOpt},E=0..1000,yield=0..100);
> RentOpt:=p*hOpt-c*EOpt;
RentOpt := 2.229251800 108 > RentOvertime:=RentOpt/delta;
RentOvertime := 2.346580842 108 > delta1:=0.95;delta2:=0.15;
d1 := 0.95 d2 := 0.15 > f(x):=r*(1-(2*x/K))+(c*r*(1-x/K)/(p*q*x-c))=delta1;
201
f ( x ) := 1.048842555 K 0.006471717065 x 60392.35432 ( 1 K 0.003085170903 x ) = 0.95 C 9421.961478 x K 57580 > solve(f(x),x);
K 22.15774383 , 40.48637397 > xOpt1:=40.48637397;
xOpt1
:= 40.48637397
> hOpt1:=r*xOpt1*(1-xOpt1/K);
hOpt1 := 37.15978581 > EOpt1:=hOpt1/q/xOpt1;
EOpt1
:= 688.2933592
> f(x):=r*(1-(2*x/K))+(c*r*(1-x/K)/(p*q*x-c))=delta2;
f ( x ) := 1.048842555 K 0.006471717065 x 60392.35432 ( 1 K 0.003085170903 x ) C = 0.15 9421.961478 x K 57580 > solve(f(x),x);
K .9909808947 , 142.9344094 > xOpt2:=142.9344094;
xOpt2 := 142.9344094 > hOpt2:=r*xOpt*(1-xOpt2/K);
hOpt2 := 23.73825528 > EOpt2:=hOpt2/q/xOpt2;
EOpt2
:= 124.5435567
> RentOpt1:=p*hOpt1-c*EOpt1;
RentOpt1 := 2.229251800 108 > RentOverTime1:=RentOpt1/delta1;
RentOverTime1 := 2.346580842 108 > RentOpt2:=p*hOpt2-c*EOpt2;
RentOpt2 := 1.605543920 108 > RentOverTime2:=RentOpt2/delta2;
RentOverTime2 := 1.070362613 109
202
Lampiran 7 Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan bermesin
Model 1
R
R Square
.918
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
.776
73873791.52
.842
Durbin-Watson
1.085
Lampiran 8 Hasil analisis of varians pada nelayan bermesin Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 553538554940219000.000 103689404397573600.000 657227959337793000.000
Df 8 19 27
Mean Square 69192319367527400.000 5457337073556500.000
F 12.679
Sig. .000
Lampiran 9 Hasil analisa partial variabel yang mempengaruhi pendapatan nelayan bermesin. Variabel
Coefficients
Std. Error
(Constant)
514839395.940 -506492.402 1760395.022 95630399.731 128619637.997 -240007477.963 78487889.055 13540133
164065165.892
3.138
.005
2074608.903 15414452.479 66068435.650 49549106.743 95129224.509 43983191.129 37702003.324 21196606.000
-.244 .114 1.447 2.596 -2.523 1.784 -3.591 2.441
.810 .910 .164 .018** .021** .090* .002*** .025**
Pengalamn nelayan jumlah tanggungan tingkat pendidikan nelayan musim menangkap ikan akses ke pasar sarana menangkap ikan jarak menangkap ikan jumlah orang menangkap ikan
51733974.658
t
Sig
VIF
2.306 2.306 2.742 1.848 3.080 2.431 1.786 2.293
Lampiran 10 Hasil analisis faktor-faktor mempengaruhi pendapatan nelayan tanpa mesin
Model 1
R .814
R Square .662
Adjusted R Square .544
Std. Error of the Estimate 60715581.51
Durbin-Watson 2.223
Lampiran 11 Hasil analisis of varians pada nelayan tanpa mesin Model 1
Sum of Squares Regression Residual Total
Lampiran
144401165796401000.000 73727636760782400.000 218128802557183300.000
Df 7 20 27
Mean Square
F
Sig.
20628737970914420.000 3686381838039118.000
5.596
.001
12 Hasil analisa partial variabel yang mempengaruhi pendapatan nelayan tanpa mesin. Variabel (Constant)
jumlah tanggungan tingkat pendidikan nelayan musim menangkap ikan akses ke pasar sarana menangkap ikan jarak menangkap ikan jumlah orang yg menangkap ikan
Coefficients 228637788.597 -26650183.974 -104030269.244 -223632895.998 201135650.511 75721855.957 4365205.742 -25015724.907
Std. Error 171260907.12 5 11477860.758 37415277.894 47274236.750 57530558.748 48858310.065 39547438.341 35173269.828
t
Sig
1.335
.197
-2.322 -2.780 -4.731 3.496 1.550 .110 -.711
.031** .012** .000*** .002*** .137 .913 .485
VIF
2.348 1.790 3.183 3.688 1.203 1.136 1.294
203 Lampiran 13
Model 1
Hasil analisis faktor-faktor mempengaruhi pendapatan (gabungan nelayan mesin dan tanpa mesin)
R .900
R Square .810
Adjusted R Square .783
Std. Error of the Estimate 20296837.04
Durbin-Watson 2.416
Lampiran 14 Hasil analisis of varians pada nelayan tanpa mesin (gabungan nelayan mesin dan tanpa mesin) Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 84500160027602600.000 19774156500092010.000 104274316527694600.000
Df 7 48 55
Mean Square 12071451432514650.000 411961593751916.800
F 29.302
Sig. .000
Lampiran 15 Hasil analisa partial variabel yang mempengaruhi pendapatan nelayan (gabungan nelayan mesin dan tanpa mesin)
Variabel (Constant) jumlah tanggungan tingkat pendidikan nelayan musim menangkap ikan akses ke pasar sarana penangkapan jarak menangkap ikan jumlah orang yg melaut
Coefficients -184759634.710 -738745.996 1523798.042 -4047863.681 62271049.107 68014094.414 42425119.165 4160761.715
Std. Error 34447343.844 2249959.179 8181126.482 7546183.041 10578301.202 14623389.776 11378895.042 3405393.312
t -5.364 -.328 .186 -.536 5.887 4.651 3.728 1.222
Sig .000 .744 .853 .594 .000*** .000*** .001*** .228
VIF 1.469 1.335 1.873 2.561 6.674 2.963 1.526