Jurnal Ilmu Ekonomi, Volume 8 Nomor 1, Januari 2013
KEMISKINAN NELAYAN DALAM STRUKTUR SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI DESA PUGER KULON KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBER Siswoyo Hari Santosa Staf pengajar pada jurusan IESP Fakultas Ekonomi Universitas Jember Jl. Kalimantan No. 37 Jember telp. 0331-337990-Fax332150/HP.085236965172 Abstract Poverty fishermen from time to time never decreases, it tends to grow. Based on the various previous studies, the study fishermen often associated structural poverty. This research attempts to analyze from the point of view of socio-economic structure of society and its relation to poverty coastal fishermen. The method used in this research is qualitative, phenomenological approach. The results of this research are described: (i) the social structure of the community, an impact on the impoverished fishermen, (ii) the structure and tools capture technology, more and provide role minm to fishermen and give peranlebih to the owners of capital, (iii) sharing system , resulting in a fisherman's bargaining position of low and powerless, (iv) the system of debt, resulting in fishermen increasingly entangled in debt bondage, and (v) poverty fisherman, shows a portrait of a chronic poverty and structural poverty. Furthermore, in general it can be stated that the social structure of coastal communities positively impact poverty and impoverishment fishermen. Keywords: fishing poverty, socio-economic structures, coastal communities.
1.
Pendahuluan Masyarakat nelayan merupakan masyarakat yang hidup di wilayah pantai dan mempertahankan kehidupannya dari usaha mengelola sumber daya laut (perikanan) yang tersedia di lingkungannya. Masyarakat nelayan merupakan salah satu komponen dalam masyarakat pesisir. Di samping nelayan, masyarakat pesisir juga terdiri atas kelompokkelompok masyarakat yang bekerja di sektor perdagangan, jasa, dan birokrasi. Kelompokkelompok masyarakat ini juga sangat bergantung kehidupannya dari kegiatan hasil produksi perikanan. Sebagian besar dari mereka tergolong miskin (Mubyarto dkk. 1984, Imron, 2003; Masyhuri, 1999; dan Kusnadi, 2002). Sebagai suatu kelompok sosial, nelayan bukanlah merupakan kelompok sosial yang tunggal. Stratifikasi sosial masyarakat nelayan terbagi dalam dua bagian besar, yaitu nelayan pemilik alat-alat produksi dan nelayan buruh. Di luar kelompok tersebut terdapat kelompok pedagang (ikan) yang memiliki akses ekonomi yang cukup besar dan mempengaruhi kegiatan perekonomian lokal. Hubungan kerja antara nelayan pemilik alat tangkap dengan nelayan buruh atau hubungan antara nelayan dengan pedagang diikat oleh jaringan utang-piutang yang kompleks. Dari jaringan hubungan kerja sama di antara mereka yang paling diuntungkan adalah para pedagang dan yang paling tidak beruntung adalah para nelayan buruh (Acheson, 1981). Jaringan utang-piutang yang kompleks tersebut merupakan salah satu faktor yang ikut berpengaruh terhadap kemiskinan nelayan, disamping beberapa faktor lain yang saling terkait. 53
Siswoyo HS, Kemiskinan Nelayan dalam Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
Masyarakat pantai yang pada umumnya sebagai nelayan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan buruh, berada pada posisi paling bawah dalam struktur sosial ekonomi setempat. Kemiskinan yang sudah mengakar di kalangan masyarakat nelayan termasuk kategori kemiskinan struktural. Beberapa faktor penyebab kemiskinan nelayan di antaranya dikarenakan oleh (1) kelangkaan sumber daya kelautan khususnya sektor perikanan; (2) ketergantungan pada sumber daya alam sangat tinggi, sehingga tidak memiliki peluang untuk bekerja di sektor lain; (3) pranata bagi hasil dan pemasaran yang eksploitatif; (4) lemahnya kedudukan dan peranan kelembagaan sosial; dan (5) rendahnya kualitas sumber daya manusia nelayan. Nelayan pada umumnya terdiri dari masyarakat yang pendidikannya relatif rendah dan hidupnya miskin. Mereka bekerja pada juragan yang mempunyai kapal dan alat tangkap yang memadai untuk melakukan penangkapan ikan di laut. Kegiatan ditentukan oleh alam dan lingkungannya (Pakpahan, dkk., 2006). Secara umum masyarakat nelayan lebih miskin dibanding masyarakat petani, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor : (a) faktor musim yang sewaktu-waktu menghentikan usaha penangkapan ikan di laut. (b) tingkat kepadatan hunian pemukiman pada suatu wilayah tertentu dengan pola kerja yang homogen membuat pendapatan masing-masing individu dri sumber yang sama terbagi kecil-kecil, dan (c) kondisi tertentu juga ikut mengantar masyarakat nelayan menuju kemiskinan, misalnya: keterbatasan penguasaan modal perikanan (perahu dan alat tangkap), keterbatasan modal diluar usaha perikanan (uang), keadaan perumahan dan pemukiman yang tidak memadai, dan kemampuan yang rendah dalam memenuhi kebutuhan pokok pribadi (Febrianto dan Rahardjo, 2005) Di dalam perspektif sosio ekonomi, secara internal pada masyarakat nelayan miskin ditandai dengan rendahnya kepemilikan aset produktif, sumberdaya modal lemah, rendahnya jiwa dan kemampuan kewirausahaan. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap kemampuan akses usaha sangat terbatas. Sementara secara eksternal ditandai dengan adanya kepincangan distribusi kekayaan/pendapatan, ketertindasan dalam praktek bisnis, serta adanya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Kondisi ini akan berdampak pada semakin sempitnya peluang berusaha, dan semakin terdesa. Kemampuan akses usaha yang terbatas dan sempit, serta peluang berusaha yang semakin terdesak dan sempit, akan berakibat pada keterlibatan mereka dalam aktivitas ekonomi produktif semakin rendah (Mafruhah, 2009). Dengan demikian, maka secara ringkas dapat ditarik sebuah hipotesis, bahwa kondisi kemiskinan pada masyarakat nelayan tidak dapat dipisahkan dengan struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan. Pembangunan di kawasan pesisir, telah banyak dilakukan, dengan menekankan ada pemberdayaan nelayan, namun demikian juga belum mampu memberikan hasil yang memuaskan. Kemiskinan nelayan masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pesisir. Itu semua menunjukkan bahwa pembangunan kawasan pesisir, tidak menyentuh pada akar masalah kemiskinan nelayan. Kondisi nelayan miskin dengan segala permasalahannya tersebut masih nampak jelas terjadi di Kabupaten Jember, tepatnya di Desa Puger Kulon Kecamatan Puger Kabupaten Jember. Untuk meningkatkan produktivitas nelayan, Pemerintah Kabupaten Jember melalui Dinas terkait berupaya mencari terobosan-terobosan, seperti mengembangkan komoditas ikan laut, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan nelayan melalui pendidikan dan pelatihan penangkapan ikan, serta memberdayakan nelayan. Di Desa Puger Puger Kulon, sebagai kawasan pusat nelayan di Kabupaten Jember, mampu menghasilkan ikan sebanyak 2.973.000 kw pada akhir tahun 2008 dan meningkat menjadi 3.064.712 kw atau mengalami peninkatan 3,08 % per tahun. Produksi ini setara dengan 43,38 % produksi perikanan laut dari Kabupaten Jember. Hasil produksi perikanan di Desa Puger Kulon tersebut dihasilkan oleh nelayan yang berjumlah kurang lebih sebanyak 5.014 orang atau sekitar 44,36 % jumlah nelayan yang ada 54
Jurnal Ilmu Ekonomi, Volume 8 Nomor 1, Januari 2013
di Kabupaten Jember (kurang lebih 11.303 orang). Namun demikian, keberhasilan tersebut belum mampu memperbaiki kehidupan masyarakat nelayan, dimana hal ini dapat dilihat dari jumlah rumah tangga miskin diperkampungan nelayan tidak pernah berkurang, kalau tidak dikatakan bertambah. Sejalan dengan hal tersebut, maka penelitian ini mengkaji kemiskinan nelayan dan struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan di Desa Puger Kulon Kecamatan Puger Kabupaten Jember.
2.
Tinjauan Pustaka Kaum miskin kronis didefinisikan sebagai mereka yang mengalami kekurangan kemampuan secara signifikan untuk jangka waktu lima tahun atau lebih dan dapat dibedakan dari orang miskin sementara yang cenderung mampu bergerak keluar-masuk dari kemiskinan (Hickey dan Bracking, 2005). Kemiskinan kronis terjadi ketika individu secara keuangan miskin, terhambat, kurang gizi dan atau putus sekolah di usia sekolah (Baulch dan Masset, 2003). Karakteristik yang paling sering dikaitkan dengan kemiskinan kronis adalah beberapa situasi yang tidak menguntungkan, yang berhubungan dengan satu atau lebih dari hal-hal berikut: modal manusia, komposisi demografis, lokasi, aset fisik, dan jenis pekerjaan, dan beberapa lainnya (Mckay dan Lawson, 2003). Ukuran baru dari kemiskinan kronis berfokus pada kerentanan rumah tangga miskin terhadap beberapa guncangan yang terjadi saja, meskipun konsumsi rata-rata mereka sudah terletak agak jauh di atas garis kemiskinan (Mc Culloch dan Calandrino, 2004) Sebagian besar dari individu yang menderita miskin kronis memiliki akses ke jaringan sosial yang minimal dan dan bahkan beberapa kehilangan unsurunsur dasar dari jaminan sosial, sehingga dan menjadi lebih miskin. Kemiskinan kronis ini juga dapat dapat digolongkan pada tingkat yang berat yang mungkin sebagai akibat perampasan multidimensi, dan adalah karakteristik yang lebih potensial untuk mendefinisikan dari kemiskinan kronis (Mckay dan Lawson, 2003). Individu yang menderita miskin kronis adalah mereka yang tanpa adanya bantuan dari luar akan tetap berada dalam kemiskinan, dan pihak luarpun mungkin akan kesulitan untuk membantu mereka (Aliber, 2003). Rumah Tangga miskin kronis diidentifikasi sebagai rumah tangga yang sangat miskin yang dianggap rentan terhadap kemelaratan dan yang tidak memiliki prospek yang jelas untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka, dengan matapencaharian yang tidak jelas pula. Hal ini dibedakan dari rumah tangga miskin yang masih mampu mempertahankan mata pencaharian mereka meskipun mungkin sesekali rentan terhadap penurunan pendapatan akibat beberapa guncangan. Sejumlah faktor yang mencirikan rumah tangga miskin kronis dan rentan dari orang lain adalah faktor sumber daya dan tenaga mereka sendiri (Cleaver, 2005). Mengacu pada konsep kemiskinan kronis tersebut, maka kemiskinan pada buruh nelayan dapat digolongkan pada kemiskinan kronis. Kondisi tersebut diantaranya ditandai dengan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (papan, sandang dan papan), ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi) dan ketiadaan jaminan masa depan (Fathonah, 2010). Problem kemiskinan masyarakat nelayan mulai muncul ke permukaan setelah satu dekade dilaksanakannya kebijakan nasional tentang motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap pada awal tahun 1970-an. Kebijakan ini dikenal dengan istilah revolusi biru (blue revolution). Proyek besar ini berimplikasi pada keserakahan sosial atas sumber daya perikanan yang mendorong setiap individu untuk berkuasa penuh tehadap sumber daya tersebut. Keserakahan ini akan berakibat pada kelangkaan sumber daya perikanan. Kompetisi yang semakin tinggi dan kesenjangan akses dan pendapatan yang berimplikasi pada timbulnya kesenjangan sosial 55
Siswoyo HS, Kemiskinan Nelayan dalam Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
ekonomi antar pengguna sumber daya perikanan (Hakim, 2010). Nelayan pada umumnya terdiri dari masyarakat yang pendidikannya relatif rendah dan hidupnya miskin. Mereka bekerja pada juragan yang mempunyai kapal dan alat tangkap yang memadai untuk melakukan penangkapan ikan di laut. Kemampuan mereka dalam meningkatkan pendapatan, menghidupi keluarga serta membangun hari depan yang lebih baik sengat rendah (Pakpahan, dkk., 2006). Di dalam komunitas masyarakat pesisir, nelayan dikenal sebagai golongan yang paling miskin, meskipun tidak seluruhnya nelayan itu miskin, namun hanya sebahagian kecil golongan masyarakat nelayan yang kehidupannya makmur, seperti para pemilik payang (glatheh) atau purse seine (sleret). Baik nelayan tradisional maupun nelayan buruh merupakan kelompok sosial terbesar dalam masyarakat nelayan di Indonesia. Kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan sosial menimpa sebagian besar dari kategori nelayan tersebut (Hakim, 2010) Nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana (Sudarso, 2007) Kemiskinan masyarakat nelayan merupakan masalah yang kompleks, hal ini terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Di tengah kesusahan itulah, masyarakat nelayan menggantungkan hidupnya pada institusi lain yang mampu menjamin kelangsungan hidup keluarganya. Kerentanan terhadap bencana dalam pekerjaannya dikonstruksi secara sosial, yaitu, muncul dari sosial dan keadaan ekonomi sehari-hari (Morrow, 1999). Secara umum terdapat sedikit hubungan antara penghindaran risiko bencana dan ukuran penghasilan dari kemiskinan, tetapi terdapat hubungan yang kuat antara ukuran penghasilan dan aset (Mosley dan Verschoor, 2005). Secara umum kemiskinan pada nelayan tradisional dapat dicirikan oleh: (1) teknologi penangkapan bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil, daya jelajah terbatas, daya muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap terbatas, dan perahu dilajukan dengan layar, dayung, atau mesin ber-PK kecil; (2) besaran modal usaha terbatas; (3) jumlah anggota organisasi penangkapan kecil antara 2-3 orang, dengan pembagian peran bersifat kolektif (nonspesifik), dan umumnya berbasis kerabat, tetangga dekat, dan atau teman dekat; (4) orientasi ekonomisnya terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari (Kusnadi, 2003). Faktor penyebab kemiskinan nelayan dalam dua kelompok. Pertama, sebabsebab kemiskinan nelayan yang bersifat internal, mencakup: (1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; (3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang menguntungkan buruh; (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut; dan (6) gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Kedua, sebab-sebab kemiskinan yang bersifat eksternal, mencakup: (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial; (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara; (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir; (4) penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan; (5) penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan; (6) terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen; (7) terbatasnya peluang kerja di sektor non-perikanan yang tersedia di desa nelayan; (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan (9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia (Kusnadi, 2003). 56
Jurnal Ilmu Ekonomi, Volume 8 Nomor 1, Januari 2013
Faktor alamiah, yakni yang berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumber daya ekonomi desa. Faktor non alamiah, yakni berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada, serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini (Sudarso, 2007). Razali (2004) menemukan data bahwa nelayan di Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, ada satu kelompok nelayan yang hidupnya tidak berkecukupan, yaitu nelayan yang tidak punya modal (nelayan kecil), dan mereka selalu dieksploitasi oleh nelayan yang punya modal (punggawa) dan pedagang (pa’bilolo) yaitu Sawi Bagang atau Pa’ Bagang atau pembantu utama punggawa dalam menangani kegiatan operasi penangkapan ikan. Kemiskinan nelayan ternyata juga tidak dapat dipisahkandengan unsur budaya. Penyebab kemiskinan nelayan adalah faktor budaya dan rusaknya sumberdaya alam khususnya daerah laut dan perikanan (pesisir) mangrove yang telah diubah menjadi tambak udang. Suyanto (1996) menggambarkan bahwa kehidupan nelayan tradisional dan buruh nelayan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sedikit goncangan atau kebutuhan mendadak, mereka akan collapse. Faktor penyebabnya menurut Suyanto, adalah karena akumulasi faktor yang sangat kompleks, mulai dari kungkungan alam dam irama musim yang sulit ditebak, ketinggalan teknologi, kekurangan modal, tingkat pendidikan yang rendah, penghisapandan posisi tawar-menawar yang lemah. Firth (1966) dalam salah satu penelitian di Malaysia, menambahkan bahwa musim dan cuaca dapat tiba-tiba menghentikan kegiatan penangkapan ikan di laut. Terhentinya usaha penangkapan berarti terhentinya sumber penghasilan untuk para nelayan. Dalam situasi seperti itu, para nelayan terpaksa menguras kembali tabungan kalau ada, atau mengambil kredit (Mubyarto, dkk., 1984) menuliskan, pemberian bantuan teknologi motorisasi, memberikan dampak negatif bagi produktivitas nelayan; karena motorisasi, ikan-ikan yang semula biasa ditangkap nelayan tradisional akan disedot oleh nelayan yang memiliki kapal modern bermesin dengan alat yang berdaya tangkap besar. penyebab kemiskinan nelayan adalah kurangnya modal, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat nelayan, dan keterikatan yang kuat antara nelasyan miskin dengan pembina/bos dan pembina kecil/palele (Gultom, 2009) Menurut Razali (2004), kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur yaitu nelayan terbagi atas kelompok kaya dan kaya sekali disatu pihak, miskin dan miskin sekali di satu pihak. Kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur, yaitu nelayan kaya/penguasa yang menekan nelayan miskin. Dengan demikian, kemiskinan masyarakat pesisir bersifat struktural dan ditengarai karena tidak dipenuhinya hak-hak dasar masyarakat seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan infra struktur. Kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses informasi, tekhnologi dan permodalan, budaya serta gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar nelayan semakin lemah. Kebijakan pemerintah kurang berpihak pada pemangku kepentingan di wilayah pesisir itu (Meiriana, 2008). Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya. Menurut Smith yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara Asia serta Anderson yang melakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan bahwa kekacauan aset 57
Siswoyo HS, Kemiskinan Nelayan dalam Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
perikanan (fixity and regidiy of fishing assets) adalah alasan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan orang lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis (Nikijuluw, 2001). Namun pendapat ini masih menyisakan perdebatan, terdapat argumen lain yang menyatakan mengapa nelayan miskin. Dari berbagai teori yang menerangkan tentang profesi nelayan tetap menjadi pilihan terakhir masyarakat pesisir. Profesi nelayan tetap menjadi pilihan terakhir dikarenakan tidak adanya peluang kerja di daratan (push factor theory). Profesi nelayan diminati nelayan dikarenakan bersifat given, dimana profesi nelayan menjadi the way of live yang diturunkan dari generasi ke generasi. Panayotou mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life) (Nikijuluw, 2001). Nelayan lebih senang memiliki kepuasan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena Way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of Life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.
3.
Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi adalah studi tentang pengalaman yang disadari (conscious experience). Jadi peneliti yang menggunakan fenomenologi nantinya akan meneliti pengalaman yang disadari dari responden penelitiannya bukan meneliti sesuatu yang diluar responden penelitiannya atau sesuatu diluar pengalaman sadar responden penelitiannya. (Prianti, 2011). Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Fenomenologi merupakan pandangan berfikir yang fokus menekankan kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunuia (Moleong, 2006). Penelitian ini dibatasi untuk mengungkap fakta-fakta yang berkaitan dengan struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan dan dampaknya terhadap kemiskinan nelayan. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Desa Puger Kulon Kecamatan Puger Kabupaten Jember Jawa Timur. Data dalam penelitian ini berupa realitas sosial atau aspek pemaknaan realitas atas fenomena struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan dan dampaknya terhadap kemiskinan nelayan, dimana data tersebut diungkapkan secara tidak langsung dari berbagai informasi dari informan kunci yang dikumpulkan secara tertulis dari rekaman dialog dan komentar, data berbagai narasi hasil pembicaraan sehari-hari di, berbagai kesempatan; berbagai stakeholder sehingga dapat diidentifikasi sejumlah konsep-konsep tentang pemahaman, cara pandang, cara berpikir dan sebagainya yang pada hakekatnya adalah data yang sebenarnya dari penelitian kualitiatif ini. Sumber data adalah key informan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi teknik analisis fenomenologi dari Van Kaam (Moustakas, 1994) : 58
Jurnal Ilmu Ekonomi, Volume 8 Nomor 1, Januari 2013
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
Listing and Preliminary Grouping : Mendaftar semua ekspresi yang relevan dengan pengalaman yaitu daftar jawaban partisipan atau responden penelitian (horizonalization); Reduction and Elimination : Menguji setiap ekspresi yang ada dengan dua persyaratan berikut : (a) Apakah ekspresi tersebut mengandung momen pengalaman yang penting dan mengandung unsur pokok yang cukup baik untuk memahami fenomena ? (b) Apakah ekspresi tersebut memungkinkan untuk dikelompokkan dalam suatu kelompok besar dan diberi label ? Clustering and Thematizing the Invariant Constituents (Thematic potrayal): Mengelompokkan data berdasarkan tema, yaitu mengelompokkan pengalaman responden penelitian yang berkaitan kedalam label-label tematik; Final Identification of the Invariant Constituents and Themes by Application: mengidentifikasi data dengan cara mengecek ulang kelengkapan transkrip wawancara dan catatan lapangan mengenai ekspresi aktor; Individual Textural Description: Menggunakan data yang benar-benar valid dan relevan. Dengan menggunakan invariant constituent dan tema yang valid dan relevan dari tahap sebelumnya, dapat disusun Individual Textural Description dari pengalaman setiap responden penelitian; Individual Structural Description : Menyusun variasi imagionatif masing-masing coreseacher. Hasil dari penyusunan Individual Textural Description dan Imaginative Variation akan membangun Individual Structural Description dari pengalaman setiap responden penelitian; Textural-Structural Description: Tahap ini merupakan proses penggabungan antara Textural Description dan Structural Description dari pengalaman masing-masing setiap responden penelitian;
Hasil interpretasi kemudian dikaitkan dengan teori yang ada sehingga interpretrasi tidak bersifat bias tetapi dapat dijelaskan oleh teori tersebut. Untuk memudahkan analisis (Neumen, 2003), peneliti dapat menggunakan strategi di bawah ini: a) Narrative (ceritakan secara detail kejadian dalam setting) b) Ideal types (Bandingkan data kualitatif dengan model kehidupan sosial yang ideal) c) Success approximation (Kaitkan data dengan teori secara berulang-ulang, sampai perbedaannya hilang) d) Illustrative method (Isi “kotak kosong” dalam teori dengan data kualitatif) e) Path Dependency and Contingency (Mulai dengan hasil kemudian lacak balik urutan kejadian untuk melihat jalur yang menjelaskan kejadian tersebut) f) Domain analysis (masukkan istilah-istilah asli yang menunjukkan ciri khas obyek yang diteliti) g) Analytical Comparison (identifikasi berbagai karakter dan temuan kunci diperoleh, bandingkan persamaan dan perbedaan karakter tersebut untuk menentukan mana yang sesuai dengan temuan kunci (Chariri, 2009) Kegiatan selanjutnya adalah menghubungkan subkategori dengan kategorinya. Sifat pertanyaan yang diajukan dalam pengkodean terporos mengarah pada suatu jenis hubungan. Alternatif hubungan-hubungan itu adalah hubungan antara kondisi kausal dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara konteks dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara kondisi pengaruh dengan strategi aksi/interaksi, hubungan antara strategi aksi/interaksi dengan konsekuensi. Menurut Lincoln dan Cuba (1985) serta Moleong (1999) untuk 59
Siswoyo HS, Kemiskinan Nelayan dalam Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas kriteria yang digunakan yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan (Idependability), dan kepastian (confirmability).
4.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Pembahasan tentang Struktur Sosial Ekonomi masyarakat nelayan secara umum difokuskan pada: Struktur Sosial komunitas nelayan, teknologi penangkapan, sistem bagi hasil dan sistem hutang piutang. Pembahasan lebih lanjut dalam penelitian ini secara berturutturut akan menguraikan hal-hal tersebut. 4.1 Struktur Sosial Komunitas Nelayan Struktur sosial komunitas nelayan Puger dibedakan pada alat produksi/armada yang digunakanan, serta peran mereka dalam aktivitas melaut dan ekonomi lainnya. Secara umum, baik itu nelayan perahu sekoci, payang (pakisan dan eder), maupun kapal, dapat dikelompokkan dalam 4 (empat tingkatan). Keempat tingkatan tersebut adalah : Pengambek, Juragan Darat, Juragan Laut dan Pandhega/ABK. Pengambek, adalah pihak yang memberikan pinjaman kepada Juragan Darat, dan ia juga adalah orang yang akan membeli hasil tangkapan ikan nelayan tersebut. Seorang pengambek si A, yang telah memberikan hutan kepada juragan darat si B, maka si pengambek tersebut berhak membeli ikan hasil tangkapan si juragan darat B, dan si B tidak dapat menjual kepada pedagang lain. Dengan demikian antara pengambek dan juragan darat sudah ada ikatan hutang piutang dan perjanjian jual beli. Selama hutang belum dibayar lunas, maka kewajiban ikatan ini akan tetap terus terjalin. Juragan darat atau pemilik kapal dan sekaligus pemilik modal untuk melaut, dan biasanya tidak ikut melaut. Namun dalam kondisi dan situasi tertentu, seorang juragan darat dapat sekaligus ikut melaut dan berperan sebagai juragan laut. Hal ini biasanya terjadi ada perahu jukung. Juragan laut atau Nahkoda adalah seorang yang bertanggung jawab penuh terhadap operasi penangkapan. Seorang nahkoda harus memiliki kemamuan serta pengetahuan yang luas tentang kelautan dan perikanan. Pengetahuan dan keahlian tersebut diperoleh dari pengalaman bekerja yang lama, sehingga menjadi profesional dan sering mendapatkan hasil. Pandhega/ABK adalah nelayan yang hanya menyumbangkan tenaga, dengan beberap tugas bagian yang berbeda beda, tergantung jenis kapalnya. Namun biasanya untuk perahu/kapal payangan, sekoci, dan kapal, ABK akan terbagi dalam bagian : pelempar jaring, pelempar batu, penarik jaring, juru kuras, juru lampu dan penjemput (lecenan). Sementara untuk perah jukung, ABK hanya 2-3 orang, maka tugasnya adalah sama. Struktur komunitas nelayan serta pola hubungan kerja antar pelaku secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada perahu jukung, biasanya seorang juragan darat, biasanya juga sebagai juragan laut, dengan 2-3 orang ABK/Pandhega. Seseorang yang ingin menjadi nelayan (ABK/Pandhega), biasanya akan menemui seorang juragan darat, dan mengatakan bahwa dirinya ingin ikut melaut, dan mengajukan sejumlah pinjaman. Jika juragan darat sedang butuh tenaga (ABK) serta nilai pinjaman disepakati, maka seseorang yang melamar tadi akan diterima sebagai ABK. Biasanya besarnya pinjaman seorang ABK kepada Juragan Darat pada perahu jukung ini sekitar 1 – 2 juta rupiah. Jika seorang ABK sudah menerima pinjaman dari seorang Juragan, maka ia tidak dapat pindah ke juragan yang lain, sebelum mampu melunasi hutang-hutangnya kepada juragan sebelumnya. Sementara itu, untuk membeli kapal dan peralatan yang digunakan melaut, seorang juragan darat akan meminjam sejumlah uang kepada pengambek. Nilai pinjaman yang diberikan biasanya sekitar 40 % - 70 % harga kapal/perahu, jadi juragan masih harus mencari tambahan. Biasanya nilai 60
Jurnal Ilmu Ekonomi, Volume 8 Nomor 1, Januari 2013 pinjaman untuk perahu jukung sekitar 6 – 10 juta rupiah. Selain pinjaman uang, ia juga menerima pinjaman alat untuk menampung ikan dari bahan stereofoom, yang masyarakat setempat menyebur dengan ”tripung”. Pada perahu Jaringan, perahu payangan maupun sekocen, memiliki pola hubungan yang hampir sama, aturan main yang sama, yang membedadakan hanya besarnya hutang saja. Struktur social yang demikian ini jelas akan sangat merugikan nelayan buruh, dan bahkan akan menambah beban kemiskinan nelayan. 4.2 Pola dan Teknologi Penangkapan Pola dan teknologi penangkapan ikan di Puger dapat digolongkan dalam 4 (empat) golongan berdasarkan armada yang digunakan, yaitu nelayan jukung, nelayan payang, nelayan kapal dan nelayan sekoci. a. Nelayan Jukung : Nelayan golongan ini merupakan nelayan yang dalam aktivitas penangkapan dilaut menggunakan perahu/sampan kecil/jukung. Nelayan pemilik jukung di komunitas nelayan Puger berjumlah sekitar 400-an orang. Harga perahu jukung sekitar 15 – 25 juta, tergantung bahan dan pembuatannya, sedangkan harga jukung bekas rata-rata dibawah 15 juta. Ukuran jukung panjang 7 meter, lebar 60 cm dan tinggi sekitar 70 cm. Ciri khas perahu/sampan jukung adalah adanya ”katir” di kanan dan kiri sampan, serta adanya ”brayungan”, tempat katir dipasang (berupa kayu melengkung dari sampan sampai ke katir di bagian kanan dan kiri, depan dan belakang). Panjang katir sekitar 7,5 m dan panjang brayungan sekitar 4 m. Jukung memiliki kemudi yang panjangnya 2 m terbuat dari kayu. Peralatan dalam jukung biasanya terdiri atas mesin penggerak 2 buah dengan kapasitas masing-masing 9 PK lampu senter besar 2 buah (atau lampu lainnya sesuai kemampuan yang dimiliki), tali ”tampar”, Jangkar kayu 2 buah dengan pemberat batu masing-masing sekitar 5 kg, pengait yang terbuat dari kayu dan besi, box (tripung) ukuran 1,5 x 0,5 meter sebanyak 2-10 buah (tergantung musim), dan alat tangkap ikan seperti : prabean (alat untuk menangkap ikan tongkol, slengseng, benggol), sethet (alat untuk menangkap ikan lemuru) dan pancing (biasanya untuk menangkap ikan layur). Penggunaan alat tangkap disesuaikan dengan musim ikan dan kebutuhan. b.
Nelayan Jaringan (Pakisan dan Eder) : Sebelum tahun 2005 jumlah perahu “jaringan” (sebutan umum untuk perahu payang pakisan maupun eder) mencapai ratusan perahu, namun kini tinggal puluhan saja. Perahu jaringan (pakisan/eder) yang ada di Puger terbuat dari kayu jati, dengan spesifikasi sebagai berikut : panjang kurang lebih 10 -11 meter denganlebar sekitar 3 meter, dengan tinggi sekitar 2 meter. Perahu pakisan dan eder ini memiliki 2 tiang dibagian tengah perahu, stu di depan dan satu lagi dibelakang, dimana tiang depan lebih tinggi (kira-kira 3 meter) dari tiang belakang (kira-kira 2,5 meter). Dua tiang tersebut dihubungkan dengan dua batang kayu yang panjangnya sekitar 6 – 7 meter, dan diatas dua batang kayu tersebut, tepatnya diatas tiang bagian belakang, dibuatkan tempat semacam rumah kecil, sebagai tempat untuk Nahkoda mengendalikan kemudi kapal. Biasanya ditempat ini pula dipasang “soundsystem” sebagai sarana hiburan di saat melaut. Stang kemudi dihubungkan dangan sebatang kayu yang menjulur ke bawah ke bagian kemudi perahu dibagian samping kanan bawah perahu. Perahu payang dilengkapi dengan mesin PS 110 Mithsubishi 4 cilinder atau PS 120 Mithsubishi. Model perahu jaringan ini ada dua macam, yaitu eder dan pakisan. Secara umum kedua perahu ini sama, hanya ujung bagian depan saja yang berbeda. Pada perahu eder, ujung depan atas berbentuk lebih tumpul, sementara pada perahu pakisan berbentuk lebih runcing ke atas. Jaring yang 61
Siswoyo HS, Kemiskinan Nelayan dalam Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
digunakan adalah jaring yang mirip dengan jaring sethet, hanya ukuran yang lebih besar., yaitu denganpanjang sekitar 3.000 meter dan lebar 1.000 meter, dengan lebar mata jaring antara 3 – 4 inci. c.
Nelayan Payangan (Kapal, Eder dan Pakisan) : Nelayan Payangan, adalah nelayan yang menggunakan Jaring Payang, dengan sarana Perahu/Kapal besar, baik bentuk Pakisan maupun Eder, atau bentuk kapal. Kapal yang dimaksud disini adalah jenis kapal nelayan dengan ukuran yang lebih besar, dengan panjang 15 meter, lebar sekitar 5 meter dengan tinggi 2 meter. Model kapal ini bisa seperti pakisan maupun eder, namun dengan ukuran lebih besar. Jaring Payang Besar adalah jaring pukat kantong lingkar yang secara garis besar terdiri bagian kantong, badan/perut, kaki/sayap. Bagian kantong umumnya terdiri dari bagian-bagian kecil yang tiap bagian mempunyai nama-nama sendiri, antara lain: jaring jari atau ”tang-pontang” dengan panjang 25 meter, lebar atas 7 meter dan lebar bawah 9 meter, yang terbuat dari nilon; jaring payang kecil lebih kurang panjangnya 20 meter dengan lebar atas bawah 7 meter yang terbuat dari nilon dan jaring payang sedang dengan panjang sekitar 40 meter, terbuat dari nilon dan jaring besar dengan panjang 110 meter dan lebar 20 meter. Besar mata jaring dari ujung kantong sampai ujung kaki berbeda-beda, mulai 1 cm sampai dengan 40 cm. Pada bagian kaki dan mulut jaring diberi pemberat, sedangkan pada bagian atas dengan jarak tertentu diberi pelampung yang terbuat dari bola plastik sebanyak antara 10 – 20 buah (tergantung ukuran jaring). Untuk pelampung yang paling besar ditempatkan pada bagian tengah bibir atas dari mulut jaring, pada kedua ujung depan kaki disambungkan dengan tali yang sering disebut dengan tali slambar atau tali tarik.
d.
Nelayan Sekoci (Sekocen) : Skoci (sekocen) mulai dikenal sejak tahun 2001 oleh nelayan Puger Kulon. Di komunitas nelayan puger, sekoci terbuat dari kayu jati, yang berbentuk hampir sama dengan kapal, namun lebih luas dan datar serta ditambah dengan tempat berteduh. Secara spesifik ukuran kapal ini panjang sekitar 15 meter dengan lebar antara 4 – 5 meter serta tinggi 2,5 meter. Beberapa alat yang digunakan antara lain : 1) Pancing uncalan : merupakan jenis pancing yang dilempar satu persatu menggunakan tali senar, yang panjangnya mencapai 3 rol atau sekitar 20 meter. Mata pancing yang digunakan adalah bentuk mata kail balik. 2) Pancing Prawean : merupakan suatu pancing yang terdiri dari tali panjang (tali utama), kemudian pada tali tersebut secara berderet pada jarak tertentu digantungkan tali-tali pendek (tali cabang) yang jumlahnya sekitar 9 – 11 buah, dan di setiap ujungnya diberi mata pancing. Panjang pancing ini sekitar 20 meter. 3) Pancing eretan : merupakan pancing yang hampir sama dengan pancing prewean, yang beda hanya ukuran mata pancing dan cara penangkapannya. Dengan pancing eretan, maka cara menangkapnya adalah dengan kapal bergerak, dan tali pancing di-”eret” (ditarik). 4) Pancing Rapala’an : merupakan pancing yang umpannya berupa ikan buatan, dengan ukuiran umpan yang bervariasi, tergantung jenis dan ukuiran ikan yang hendak di pancing.
62
Jurnal Ilmu Ekonomi, Volume 8 Nomor 1, Januari 2013
5) Pancing layang-layang : merupakan pancing yang menggunakan layang-layang dalam operasi penangkapannya, dengan besar layang-layang kurang lebih lebar 1 meter, dengan ketinggian diatas permukaan air laur kurang lebih 3 meter. 6) Pancing ondel-ondel : merupakan jenis pancing yang hampir sama dengan pancing repala’a dan hanya dibedakan oleh jumlah pancing umpan yang digunakan, dan layang-layang berekor sebagai penarik senar/benang. Bedanya dengan pancing layang-layang adalah pada jarak layang-layang dengan permukaan air laut, serta jumlah mata pancingnya. 7) Jaring : Jaring pada kapal sekoci merupakan jenis jaring yang memanjang atau persegi panjang, dengan ukuran panjang antara 100 meter sampai dengan 200 meter dengan lebar antara 30 sampai dengan 50 meter, yang terbuat dari bahan nilon. Lebar mata jaring sekitar 4 sampai dengn 6 inci, dimana setiap ruang jaring memilik mata jaring yang berbeda-beda. Secara umum, sistem teknologi penangkapan yang berkembang telah menggeser peran tenaga nelayan dengan seperangkat alat, dengan demikian, kemajuan teknologi yang terjadi justru semakin merugikan nasib nelayan yang hanya bermodal tenaga saja, 4.3 Sistem Bagi Hasil Pada Nelayan Sistem bagi hasil dari penangjkapan ikan dilaut ditentukan berdasarkan jenis alat transportasi penangkapan dan peran masing-masing individu yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat tersebut antara lain : juragan darat, juragan laut, dan para Anak Buah Kapak/Padhega/karyawan. Pada posisi Anak Buah Kapak/Padhega/karyawan maka dikenal beberapa job atau fungsi masing-masing nelayan, dan tergantung jenis perahu atau kapal yang digunakan. Pada perahu jukung dengan jaring sethet, biasanya dalam satu perahun terdapat 3 orang nelayan, dengan posisi 1 orang nahkoda dan 2 ABK. Nahkoda atau juragan laut biasanya dirangkap oleh pemilik perahu/juraga darat. ABK 1 dan ABK 2 dalam posisi yang setara, tanpa ada pembedaan fungsi, peran dan bagian. Nahkoda tetap pada posisi mengendalikan perahu/jukung. Pada jenis perahu ini biaya operasional ditanggung juragan darat sepenuhnjya, mulai BBM hingga konsumsi ABK. BBM yang dibutuhkan dalam setiap kali melaut, mencapai 50-75 liter solar, dengan harga Rp. 5.000,- per liter, dan biaya konsumsi sekitar Rp. 15.000,- per orang. Jadi setiap kali melaut juragan darat harus mengeluarkan uang antara Rp. 300.000,- sampai dengan Rp. 425.000,-. Sistem bagi hasil yang diterapkan secara umum adalah sebagai berikut : 50 persen dari hasil penjualan ikan hasil tangkapan menjadi hak juragan darat, sementara 50 persennya menjadi milik Nahkodan dan ABK. Kemudian, 50 persen milik Nahkodan dan ABK tersebut dibagi dua, dimana 50 persen untuk juragan laut/nahkoda, dan yang 50m persen (separonya) milik dua orang ABK/karyawan. Masing-masing ABK dan Nahkoda juga masih mendapatkan ikan yang disebut dengan ”lawuhan”, yang jumlahnya sekeranjang kecil (istilah setempat ”sepotong”), yang kira-kira 4 – 5 kg. Bagian ini diambilkan sebelum hasil tangkapan tersebut diturunkan untuk dijual. Pada perahu jaringan, baik eder maupun pakisan memiliki sistem bagi hasil yang sama, tergantung jumlah nelayan yang ikut melaut, yaitu antara 6 – 10 orang. Pada perahu jaringan , maka pihak-pihak yang akan mendapatkan bagian adalah : a) juragan darat 1 orang, dia adalah orang memiliki perahu, ia tidak ikut melaut, tetapi kalau ia ikut melaut, maka ia akan mendapatkan bagian sesuai dengan perannya di perahu; 63
Siswoyo HS, Kemiskinan Nelayan dalam Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
b) juragan laut (nahkoda) 1 orang, orang yang mengendalikan arah perahu dan menendalikan serta menjaga mesin; c) pelempar jaring 1 orang, adalah orang yang bertugas mengatur dan memberi aba-aba kapan jaring akan dilepas; d) pelempar batu 2 orang, adalah orang yang bertugas melempar jangkar ataupun batu pemberat pada hjaring; e) Lecenan 1 orang, adalah orang yang bertugas menjaga perahu ketika tambat dipelabuhan, menjemput dan memberi tahu ABK yang lain, kapan berangkat melaut, sambil mengantarkan baian masing-masing nelayan di keesokan harinya. Lecenan tidak ikut melaut, tetapi kalau ia ikut melaut, maka ia akan mendapatkan bagian sesuai dengan perannya di perahu; f) Sisanya biasanya antara 1-5 orang sebagai padhega/ABK biasa yang bertugas menarik jaring dan menguras perahu. Seluruh hasil, setelah diambil atau dikurangi untuk ”lawuhan” dan dibeli oleh pengambe’, dibagi menjadi 36 bagian (ditentukan dari jumlah nelayan yang melaut, semakin banyak yang ikut melaut, maka bilangan pembagi semakin besar). Dari 36 bagian tersebut, pembagiannya sebagai berikut : (i) Juragan Darat, 18 bagian; (ii) Juragan laut 9 bagian; (iii) Pelempar jaring 1,5 bagian; (iv) Pelempar batu 2,5 bagian (2 orang, @ 1,25 bagian); (v) Lecenan 1 bagian; dan (vi) ABK/Karyawan 4 bagian (dibagi 4 orang, @ 1 bagian). Di perahu payangan, maka biaya operasional yang ditanggung juragan darat hanya biaya BBM, sementara biaya makan atau konsumsi menjadi tanggungan masing-masing ABK. Masingmasing perahu memiliki standar berapa jumlah nelayan yang harus terlibat, hal ini mengikuti ukuran jaring dan perahu. Apabila ada anggota ABK yang tidak bisa melaut, maka juragan darat harus mencari tenaga pengganti, yang disebut dengan tenaga ”selangan”, bisa jadi tenaga selangan tersebut adalah si juragan itu sendiri, atau lecenan-nya atau nelayan lain yang sedang bebas. Untuk penggunaan nelayan ”selangan” ini juragan darat harus membayar Rp. 15.000,- per orang serta menanggung biaya konsumsinya. Biaya BBM yang dikeluarkan untuk sekali melaut, sekitar Rp. 600.000,- sampai dengan Rp. 700.000,-. Pada payangan ini, atau masyarakat setempat menyebutnya kapal/perahu payang, maka sistem bagi hasil sedikit berbeda dengan perahu jaringan. Perbedaan terletak pada basis pembagian hasil tangkapan, jika pada perahu payangan bagi hasil didasarkan perolehan tanpa dipotong biaya operasional, maka pada kapal, bagi hasil didsarkan pada hasil setelah dipotong biaya operasional. Hal-hal lain dibagi sama dengan sistem pada perahu jaringan, hanya berbeda jumlah bilangan pembagi, tergantung banyaknya ABK yg terlibat. Pada sekocen, sistem bagi hasilnya sama dengan pada kapal, dimana hasil setelah dipotong biaya operasional, hanya bedanya di dalam sekocen, biaya operasional tersebut meliputi biaya BBM dan konsumsi (perbekalan) selama melaut, yaitu dalam jangka waktu 5-6 hari. Biaya melaut selama 5-6 hari tersebut nilainya kira-kira sebesar Rp. 4.000.000 sampai dengan Rp. 5.000.000,-. Jika diamati, maka sistem bagi hasil ini sangat merugikan nelayan buruh (pandhega), dimana bagian mereka sangat kecil. Kondisi ini akan sangat memperparah kemiskinan yang mereka hadapi.
64
Jurnal Ilmu Ekonomi, Volume 8 Nomor 1, Januari 2013
4.4 Sistem Hutang Piutang Pada masyarakat pesisir, khusunya nelayan, hampir dipastikan tidak ada lembaga keuangan formal yang berani memberikan kredit, bahkan KUD Mina sekalipun. Hal ini didasarkan pada ketakutan pihak pemberi pinjaman, mereka takut bahwa pinjaman tersebut tidak terbayar atau terlambat dibayar. Alasan ini didasarkan pada : (a) bahwa nelayan tidak memiliki penghasilan tetap yang dapat dipastikan jangka waktunya, (b) sudah menjadi kultur nelayan, kalau meminjam maka ”tidak wajib” untuk membayar, jika masih ada hari esok. Kultur ini terkait dengan kewajibannya hutang pada pengambe’ atau juragan. Kondisi inilah yang menjadikan tumbuh suburnya keberadaan pengambe’ dan lintah darat, yang berkedok macam-macam. Secara umum, pihak-pihak yang memberikan pinjaman kepada masyarakat nelayan di Desa Puger Kulon antara lain : a.
Pengambe’ : Pengambe’ adalah pihak yang biasa memberikan pinjaman kepada Juraga darat, dengan nilai yang bervariasi, tergantung pada kapal/perahu yang dimiliki atau akan dibeli juragan serta tingkat kepercayaan pengambe’ kepada juragan. Nilai pinjaman untuk juragan perahu/jukung, maka pinjamannya biasanya antara 6 – 10 juta (dalam kondisi tertentu bisa lebih, bahkan ada yang sampai dengan 15 juta). Nilai pinjaman untuk juragan perhau eder dan pakisan biasanya berkisar antara 30 – 60 juta (dalam kondisi tertentu bisa lebih atau bisa kurang). Nilai pinjaman untuk juragan kapal, 60 – 100 juta, dan untuk juragan sekocen 100 – 150 juta. Aturan tentang nilai pinjaman ini tidak baku, tergantung masing-masing pengambe’. Seorang juragan darat yang sudah berhutang kepada pengambe’ maka ia akan terikat untuk menjual hasil ikannya kepada pengambe’ dengan harga yang ditentukan oleh pengambe’. Harga yang telah ditetapkan oleh pengambe’ tersebut masih harus dipotong Rp. 500,- per kg ikan, jadi misalnya harga ikan pada umumnya Rp. 5.000,- per kg maka yang diberikan kepada juragan darat adalah Rp. 4.500,- per kg.
b.
Juragan Darat : Juragan darat atau pemillik kapal, adalah tempat para juragan laut/nahkoda dan ABK untuk meminjam. Seperti juga halnya pada pengambe’, maka besarnya pinjaman yang diberikan oleh juragan darat juga bervariasi berdasarkan kapal/perahu, kecakapan dan posisi peminjam, serta kepercayaan dan kedekatan dari juragan kepada peminjam. Besarnya pinjaman yang diberikan juragan darat perahu jukung antara 1 – 2 juta rupiah, pada juragan perahu pakisan, eder, kapal maupun sekocen pada umumnya pinjaman yang diberikan kepada ABK antara 2 – 5 juta, sedangkan untuk nahkoda pinjaman yang diberikan kepadanya bisa duakalil lipat, yaitu antara 5 – 10 juta Bahkan dalam kondisi tertentu bisa lebih dari itu, tergantung kepercayaan.
c.
Koperasi Simpan Pinjam Harian : Lembaga ini berbadan hukum koperasi, dan memberikan pinjaman kepada siapa saja dengan sistem membayar angsuran secara harian. Nilai yang dipinjamkan relatif kecil, hanya dalam hitungan ratusan ribu, dan dengan jangka waktu yang singkat, paling lama 2 bulan. Bunga yang diberikan sekitar 20 % untuk jangka waktu 2 bulan. Siapa saja boleh meminjam tanpa jaminan apapun, hanya berdasarkan kepercayaan petugas dengan nasabah.
d.
Lintah Darat : Ini adalah individu-individu yang memberikan pinjaman tanpa jaminan kepada masyarakat, termasuk masyarakat nelayan. Bunga yang diberikansangat tinggi, yaitu sebesar 15 % sampai dengan 25%. Bunga yang diberikan ini dapat terus berlipat-
65
Siswoyo HS, Kemiskinan Nelayan dalam Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
lipat, bahkan sering kali nilai bunga yang ditanggung melampaui nilai pinjaman pertamanya. e.
Investor ”Arto Sarahan” : Investor sarahan adalah orang yang menyertakan modalnya kepada juragan darat secara sukarela. Aturan yang berlaku tidak baku, hanya sebatas perjanjian antara investor dengan juragan darat. Saat ini pada umumnya yang berlaku adalah setiap investasi sebesar Rp. 3.000.000,- maka si investor akan mendapatkan bagian sebesar 1 bagian, dari setiap kali kegiatan melaut. Bagian investor ini merupakan tanggungan juragan laut secara pribadi. Ketika juragan laut merugi, tidak mendapat ikan, maka investorpun juga tidak mendapat bagian, tetapi tidak ikut merugi.
Hutang piutang antara pengambe’ dengan juragan darat, dan juragan darat dengan juragan laut maupun ABK, tidak akan pernah ditagih, selama mereka masih terikat mau bekerjasama. Hutang aka ditagih kalau juragan darat pindah pengambe; atau ABK ganti juragan. Sistem hutang piutang ini jelas sangat mengikat dan merugikan nelayan, yang pada ujung-ujungnya akan semakin membenamkan nelayan dalam jurang kemiskinan. Ibaratnya akibat hutang piutang ini, nelayan semakin menjadi miskin.
4.5 Pembahasan Hasil Penelitian Bagi masyarakat nelayan Puger, berdasarkan pengamatan peneliti, maka sumber kemiskinan nelayan ditinju dari struktur sosial ekoomi masyarakat nelayan, dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Sistem pasar hasil tangkapan yang monopsoni, dimana nelayan tidak dapat menjual hasil tangkapannya ke pasar atau pembeli secara terbuka atau bebas. Nelayan buruh tidak ikut menjual hasil, keputusan menjual diserahkan pada juragan, dan juragan juga tidak mampu menjual kepada pembeli secara langsung, namun dengan terpaksa harus menjual kepada pengambe’. Pada sistem ini, harga ditentukan pengambe’ juragan tidak memiliki kekuatan menentukan harga. Mengapa juragan ”pasrah” menjual kepada pengambe’, hal ini tidak dapat dilepaskan dari sistem hutang-piutang yang terjadi antara juragan dan pengambe’, seperti yang sudah diuraikan pada Bab IV sebelumnya. Kepasrahan juragan darat terhadap pengambe’ ini dapat dilihat pada pernyataan Juragan-3 seorang juragan darat pemilik perahu pakisan sebagai berikut : ”namanya saja saya juragan, tetapi saya sebagai juragan itu tugasnya hanya mencari ikan bersama ABK, mengenai harga ikan, semua yang menentukan adalah pengambe’, berapa harganya saya hanya bisa ikut saja, saya hanya dengar-dengar saja, misalnya harga diluar itu tujuh ribu per kilo, tapi saya hanya dibayar enam ribu lima ratus per kilo, ya saya tinggal terima saja” Hal senada juga diungkapkan oleh Juragan-2, seorang juragan perahu Eder Besar, yang menyatakan : ”pokoknya semua yang menentukan itu pengambe’, kita ini sudah terikat hutang, tidak bisa menjual kepada yang lain, tidak boleh, saya harus menjual ke Ji Titik, pengambe’ saya, kalau saya menjual kepada yang lain, pasti nanti peralatan yang ada di perahu saya akan diambil oleh anak buahnya Ji Titik”
66
Jurnal Ilmu Ekonomi, Volume 8 Nomor 1, Januari 2013
Sistem pasar yang demikian ini bisa terjadi karena tidak berfungsinya Tempat Pelelangan Ikan (TPI), sebagai pemegang otoritas pasar di kawasan pelabuhan, para pembeli dari luar daerah tidak dapat memasuki areal TPI, karena dihadang dan dilarang oleh ”orang-orang suruhan” pengambe’, dan aparat pemerintah tidak mampu bertindak. Kondisi ini dibenarkan oleh tokoh masyarakat-1, yang menyatakan : ”meskipun di sini ada TPI, tetapi tidak ada fungsinya, tidak lebih hanya sebagai mantri pasar yang mungut karcis kepada para pedagang kecil dan pengambe’, sementara aparat kepolisian dari Polairud juga tidak berperan apa-apa terhadap ulah orang-orang suruhan pengambe’ yang melarang pedagang luar daerah masuk” Dengan sistem ini, maka nelayan tidak memiliki pilihan dalam menjual hasil ikannya. Alur distribusi ikan dari nelayan sampai ke konsumen dapat digambarkan dalam diagram berikut ini. NELAYAN : Juragan Laut, Pandhega
Juragan Darat
Konsumen
Pengecer
Pengambe’
Pedagang Lokal
Konsumen
Pengolah
Konsumen
Pengecer Pedagang Antar Kota
Konsumen
Pengolah
Gambar 1 : Diagram alur distribusi ikan dari Nelayan Puger sampai ke Konsumen b) Sistem Hutang yang membebani nelayan sepanjang masa. Hutang yang dilakukan oleh juragan darat kepada pengambe’ akan menjadi beban bagi juragan darat dan anak buahnya, dalam hal ini juragan laut/nahkoda/juru mudi dan para pandhega lainnya. Pada sistem hutang antara juragan darat dengan pengambe’, maka manakala juragan darat berhutang kepada pengambe’ untuk keperluan membeli peralatan perahu/kapalnya, maka ikan hasil tangkapan perahu milik juragan tadi harus dijual ke pengambe’, dengan harga yang ditentukan pengambe’, serta dalam setiap kg ikan hasil tangkapan tersebut dipotong antara Rp. 500,- sampai dengan Rp. 1500,- oleh pengambe’, sebagai uang jasa atas keikutsertaan modal milik pengambe’. Hal ini seperti yang diutarakan pengambe’-1 : ”den kule ngalak bagian per kilo neka mon juko’ pas rang-larang, kulo nglalak bagian sebu lema’, king mon depak juko’ de-mude, gih kule gun ngalak sekonek, nek-sekonek ebeng, ling gun ngalak lemaratus. Peseh neka ibarata mon cak reng penter e nyama uang jasa, neka pun lumrah e dina’”
67
Siswoyo HS, Kemiskinan Nelayan dalam Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
(saya ambil bagian per kilo ini kalau waktu ikan mahal, saya ambil bagian seribu lima ratus, tapi kalau waktu ikan murah, ya saya Cuma ambil sedikit, sama-sama sedikit, paling Cuma ambil lima ratus. Uang ini ibaratnya, kalau kata orang pintar yang dinamakan uang jasa, ini sudah lumrah di sini) Bagi juragan darat yang berhutang mungkin wajar kalau harus membayar semacam ”bunga” atau uang jasa tersebut kepada pengambe’ atas penggunaan modal milik pengambe’, tetapi bagi juragan laut, dan para pandhega, maka hal ini tidak ada hubungannya. Karena juragan laut dan pandhega tidak ikut berhutang, tetapi hasilnya ikut dipotong, seperti yang diungkapkan oleh nelayan-5 sebagai berikut : ”sing utang niku lak juragan-ne, ning nopo kulo koq tumut dipotong, niku lak mboten adil namine” (yang hutang itu kan juragannya, tetapi mengapa saya ikut dipotong,itu kan tidak adil namanya). Dengan sistem ini, nelayan buruh yang sama sekali tidak terlibat hutang, ikut menanggung hutang, dan ini sepanjang masa, sepanjang juragan masih punya hutang kepada pengambe’. c) Sistem Bagi hasil yang tidak sebanding, hal ini seperti diketahu sebelumnya, bahwa sistem bagi hasil rata-rata dilaksanakan dengan sistem separo hasil untuk pemilik perahu dengan segala peralatannya, seperempat hasil untuk juru mudi/nahkoda dan seperempat hasil lainnya untuk para pandhega/ABK. Kondisi ini memberikan kontribusi yang besar terhadap ketimpangan penghasilan. Namun demikian, pandhega/nelayan buruh ini tidak memiliki kekuatan untuk melawan juragan, kalaupun ada perlawanan sifatnya hanya sembunyi-sembmunyi dengan cara mencuri sedikit hasil tangkapan. d) Sistem bagi hasil yang tidak transparan. Sistem bagi hasil yang sudah tidak seimbang seperti tersebut dalam point 4, masih ditambah lagi dengan ketidak transparanan juragan dalam menghitung hasil tangkapan. Seperti diketahui, bahwa terhadap hasil tangkapan tersebut berapa kuantitasnya dalam kg, nelayan tidak tahu, yang ia tahu bahwa hasil yang diperoleh tersebut dalam hitungan ”gendung”. Sementara hasil dijual dengan takaran kg atau kwintal. Nelayan hanya dapat menduga bahwa dalam satu gendung tedapat 15 potong, dan dalam setiap potong kira-kira 4-5 kg. Nelayan hanya dapat menduga bahwa dalam satu gendung hanya berisi ikan seberat 60 – 70 kg saja. Padahal, dalam pengamatan peneliti, dalam satu gendung setelah ditimbang dengan benar, berat ikan mencapai rata-rata 90 kg per gendung, dan ini jumlah yang dibayar pedagang. e) Pola hidup boros dan tidak terencana. Nelayan, apabila pada musim panen ikan cenderung bersifat boros dan menghambur-hamburkan uang, untuk keperluan yang tidak baik, seperti berjudi, minum-minuman keras, ke pelacuran, dan berfoya-foya. Hal ini seperti diungkapkan tokoh masyarakat-3, sebagai berikut : “nanti sampean pada malam minggu, datang saja ke lapangan, nanti sampean akan menyaksikan pesta minum-minuman keras yang luar biasa, dan bahkan ada yang pesta pil koplo, itu semua dilakukan oleh nelayan-nelayan muda, mereka hura-hura. Meskipun muda mereka sebenarnya juga sudah berkeluarga” Dan benar saja, peneliti melakukan pengamatan di lapangan pada beberapa malam minggu saat musim ikan, hasilnya didapati banyak anak-anak muda bergerombol sambil minumminuman keras, dalam bentuk berkelompok. Terkait dengan judi, ternyata judi dilakukan dengan sangat tertutup dan sembunyi-sembunyi. Sementara judi yang lebih terbuka adalah dalam bentuk judi togel, tetapi anehnya judi togel justru marak pada saat musim paceklik, 68
Jurnal Ilmu Ekonomi, Volume 8 Nomor 1, Januari 2013
karena judi jenis ini nilainya sangat kecil. Lokalisasipun juga akan ramai pada saat musim ikan, meskipun status lokalisasi tersebut sebenarnya sudah ditutup. Namun secara illegal tetap buka, dan ini diketahui oleh aparat desa.
5.
Kesimpulan Secara umum nelayan di Indonesia, dan di Desa Puger Kulon khusunya, terkait dengan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: (2) kemiskinan nelayan secara nyata keberadaannya di kawasan pesisir, khususnya di Desa puger Kulon adalah nyata adanya dan belum terentaskan hingga saat ini. Keberadaan nelayan miskin tersebut selaian karena kondisi alam juga disebabkan oleh kondisi struktur masyarakat yang semakin meminggirkan masyarakat nelayan miskin; (2) kemiskinan nelayan erat kaitannya dengan struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan; Berdasarkan konsep pelibatan modal sosial dan modal spiritual tersebut, serta dengan mempertimbangan sosial masyarakat Puger Kulon, maka program pemberdayaan yang tepat adalah dengan melibatkan modal sosial dan modal spiritual tersebut. Pelibatan modal spiritual dan modal sosial tersebut dimanifestasikan dalam program: (1) pemberdayaan pendidikan, dan (2) pemberdayaan ekonomi.
Daftar Pustaka Acheson, James M. 1981. Antropology of Fishing. Annual Review of Antropology. Vol 10: 275-316 Aliber, Michael. 2003. Chronic Poverty in South Africa: Incidence, Causes and Policies. World Development Vol. 31, No. 3, pp. 473–490, 2003 Baulch, Bob dan Masset, Edoardo. 2003. Do Monetary And Nonmonetary Indicators Tell The Same Story About Chronic Poverty? A Study Of Vietnam In The 1990s. World Development Vol. 31, No. 3, Pp. 441–453, 2003 Cleaver, Frances. 2005. The Inequality of Social Capital and the Reproduction of Chronic Poverty. World Development Vol. 33, No. 6, pp. 893–906, 2005 Fathonah, Siti dan Setyaningsih, Dyah N. 2010. Pemberdayaan Perempuan Dalam Pengentasan Kemiskinan Pada Keluarga Nelayan. Rekayasa, Vol. 8 No. 1:27-39 Febrianto, Priyono Tri & Rahardjo. 2005. Eksploitasi Hubungan Pandega-Juragan dalam Modernisasi, Perikanan Tangkap di Desa Grajagan Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Sosianis, 18 (2): 325-339
69
Siswoyo HS, Kemiskinan Nelayan dalam Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
Gultom, Dame T. 2009. Akar Penyebab Kemiskinan dan Pola Perilaku Ekonomi Nelayan di Kecamatan Labuihan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Lembaga Penelitian UNILA, Lampung Imron, Masyhuri. 2003. Kemiskinan Masyarakat Nelayan. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol 5 No. 1: 63-81 Islam, S. Aminul. 2005. Sociology of Poverty: Quest for a New Horizon. Bangladesh eJournal of Sociology. Vol. 2. No. 1:1-8 Kusnadi. 2002. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press. Bandung Kusnadi. 2003. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LkiS. Yogyakarta. Mc Culloch, Neil dan Calandrino, Michele. 2004. Vulnerability and Chronic Poverty in Rural Sichuan. World Development Vol. 31, No. 3, pp. 611–628, 2003 Mckay, Andrew And Lawson, David. 2003. Assessing The Extent And Nature Of Chronic Poverty In Low Income Countries: Issues And Evidence. World Development Vol. 31, No. 3: 425–439 Meiriana, Bhekti. 2008. Konflik Rumpon Nelayan Puger: Studi Tentang Tindakan Kolektif Nelayan Non Rumpon Di Komunitas Nelayan Puger, Kabupaten Jember. Disertasi. Univeritas Indonesia. Tidak Dipublikasikan Mosley, P. & Verschoor, A. 2005. Risk Attitudes and the Vicious Circle of Poverty. The European Journal of Development Research. Volume 17, Number 1:59-88. Nikijuluw, Victor P.H.. 2001. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Proyek Pesisir, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Hotel Permata, Bogor, 29 Oktober 2001 Pakpahan, Helena Tatcher., Lumintang, Richard W. E., dan Susanto, Djoko. 2006. Hubungan Motivasi Kerja Dengan Perilaku Nelayan Pada Usaha Perikanan Tangkap. Jurnal Penyuluhan Maret 2006, Vol. 2, No. 1 : 26-34 Razali, Ivan. 2004. Startegi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Laut. Jurnal Pemberdayaan Komunitas. Vol 3, No.2:
70