ANALISIS PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR MELALUI PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (STUDI KASUS DI PASURUAN DAN TANGERANG)
Oleh: RIYANTO BASUKI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Analisis Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesisir Melalui Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (Studi Kasus di Pasuruan dan Tangerang)” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Maret 2007
Riyanto Basuki NRP C 525010224
i
ABSTRAK RIYANTO BASUKI, 2007. Analisis Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesisir Melalui Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (Studi Kasus Di Pasuruan Dan Tangerang) (BUDY WIRYAWAN, sebagai ketua, JOHN HALUAN, sebagai anggota komisi pembimbing).
Kemiskinan saat ini merupakan fenomena global bagi negara berkembang yang harus diatasi. Di Indonesia, tingkat kemiskinan khususnya di masyarakat pesisir sudah sangat mengkhawatirkan. Hal ini terbukti dengan tingkat poverty headcount index (PHI) yang telah mencapai 32,14 %. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis dampak keberadaan lembaga keuangan mikro dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir. Tujuan khusus dari penelitian ini mengidentifikasi dan menganalisis (1) kelembagaan dan kinerja LKM, (2) keberadaan, fungsi dan peran LKM (3) persepsi anggota terhadap LKM, dan (4) merumuskan strategi intermediasi LKM. Analisis kelembagaan LKM dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu “teknik evaluasi implementasi”, analisis kinerja keuangan LKM menggunakan laporan keuangan secara vertikal dan horisontal, analisis dampak intermediasi LKM mencakup analisis tentang dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat karena beroperasinya LKM. Analisis ini dilakukan melalui tiga tahapan, mencakup: (1) Tabulasi dan pelevelan data; (2) Analisis Multidimensional Scaling (MDS); dan (3) Analisis Leverage. Hingga kini kedua LKM belum mampu berperan dengan baik didalam mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir. Hasil analisis MDS menunjukkan secara rata-rata kinerja kedua LKM di wilayah pesisir tersebut berbeda. Status kinerja KSU M3 Kabupaten Tangerang yang bernilai 42,91% masih termasuk “cukup buruk”. Sebaliknya status kinerja KSU LEPP Kabupaten Pasuruan (57,26%) telah termasuk “cukup baik”. Walaupun hingga saat ini masih belum menunjukkan kinerja yang baik, khususnya di KSU M3 Tangerang, yang ditunjukkan dari hasil nilai Multi Dimensional Scalling (MDS) dan Leverage yang “cukup buruk”, akan tetapi setidaknya sudah mengarah pada jalur yang benar. Kualitas lembaga, struktur keuangan, efisiensi dan rentabilitas usaha dengan nilai “cukup baik” menunjukkan bahwa kondisi lembaga dan keuangan cukup stabil. Program pendampingan untuk neningkatkan kapasitas dan kapabilitas usaha LKM perlu ditingkatkan, selain juga kecermatan dan kehati-hatian (prudential) dalam memberikan kredit. Kata kunci : Kemiskinan; Masyarakat pesisir; Lembaga keuangan mikro, Pasuruan, Tangerang
ABSTRACT RIYANTO BASUKI, 2007. An Analysis of Poverty Alleviation on Coastal Community through the Development of Micro Finance Institutions (Case study Pasuruan and Tangerang). (BUDY WIRYAWAN, as chairman, JOHN HALUAN, as member of advisory commitee)
Nowadays, poverty is global phenomenon in developing countries that have to be overcame. In Indonesia, level of poverty especially in coastal community need to be concerned. It is proven by percentage of Poverty Headcount Index (PHI) that reached 32,14 %. The aim of this research is to identify and analyze the impact Microfinance Institutions (MFI) in order is to eradicate poverty in coastal communities. Meanwhile, the specific objectives are to convey identification and analyze: (1) organization and performance of MFI; (2) MFI establishment, functions, and Roles; (3) MFI member’s perception; (4) formulating MFI strategy deal with intermediation. The analysis of MFI organization used qualitative approached namely “implementation evaluating technique”, performance analysis on MFI’s financial based on financial report both vertical and horizontal, while impact analysis on MFI intermediation covered impact analysis on community due to MFI establishment. Three levels of analysis have been applied, which are: (1) tabulation and data leveling; (2) Multi Dimension Scaling (MDS) Analysis and (3) Leverage analysis. Currently, those two MFIs are not in the best performance to alleviate the poverty on coastal community yet. Based on the result of MDS analysis it shows that both of the two MFIs located in coastal area had different average score performances. Status of performance showed by KSU M3 Kabupaten Tangerang was 42,91% indicated “fairly worse”. While, the performance of KSU LEPP Kabupaten Pasuruan was 57,26% indicated “fairly good” Eventhough by now, the work performance of those MFIs have not yet shown optimum condition, posed at the result MDS value and leverage, however there are already work in the correct direction. The “good” performance of the institution, the structure of financial, efficiency, and return on assets (ROA) showed that they were stabilize enough. Program for increasing MFI capacities and capabilities required to be improved, as well as carefulness/ prudential in giving credit. Keywords : Poverty; Coastal Community; Microfinance Institution, Pasuruan, Tangerang
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip atau memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm, dan sebagainya.
ii
ANALISIS PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR MELALUI PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (STUDI KASUS DI PASURUAN DAN TANGERANG)
RIYANTO BASUKI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
:
Nama Mahasiswa
:
Analisis Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesisir Melalui Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (Studi Kasus di Pasuruan dan Tangerang) Riyanto Basuki
Nomor Pokok
:
C525010224
Program Studi
:
Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. Ketua
Diketahui, Program Studi Teknologi Kelautan Ketua,
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir.John Haluan, M.Sc.
Prof.Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc.
Tanggal Ujian : 30 Maret 2007
Tanggal Lulus :
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 17 Maret 1960, merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara dari ayah Soedarsono dan Ibu Hj. Fatimah. Pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas diselesaikan di Yogyakarta pada tahun 1972, 1975, 1979. Pada tahun 1979 penulis diterima di UPN “Veteran” Yogyakarta pada fakultas Ekonomi. Sejak lulus sarjana muda tahun 1982, penulis bekerja pada Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta, sebagai Teknisi Sosial Ekonomi Perikanan. Pada tahun 1991 penulis menyelesaikan sarjana ekonomi di Universitas Nasional Jakarta, atas biaya sendiri. Pada tahun 1997-2001 penulis diangkat sebagai peneliti muda bidang sosial ekonomi perikanan pada Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta. Pada tahun 2002hingga saat ini penulis menjabat sebagai Kepala Sudirektorat Akses IPTEK, pada Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada tahun 2001 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi strata 2, Program Studi Teknologi Kelautan, Program Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor, atas biaya sendiri. Pada tahun 1991 penulis menikah dengan Restu Palupi Djarworini dan saat ini dikaruniai dua orang anak Reski Maulidina Putri dan Reski Hanafianto Putra.
v
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada penulis sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada Dr. Ir. Budy Wiryawan M.Sc. sebagai ketua komisi
pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan dalam penyelesaian penelitian dan penyusunan tesis ini. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada anggota komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc., atas segala saran, masukan, arahan dan bimbingan yang sangat berguna dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Mat Syukur M.S. yang telah berkenan bertindak sebagai penguji luar komisi. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa program pascasarjana pada jenjang strata S2. Rasa terimakasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, yang telah berkenan memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan. Kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Tangerang yang telah memberikan ijin penulis melakukan penelitian di Koperasi Mikro Mitra Mina dan Koperasi LEPP disampaikan ucapan terimakasih. Pengumpulan data primer di Pasuruan diselesaikan atas bantuan saudara Drs. Kusnadi M.A. beserta rekan-rekan mahasiswa Universitas Negeri Jember. Data primer di Tangerang telah dikumpulkan atas bantuan saudara Ir. Zulkifli M.Si. dan saudara Ir. Saiman. Atas bantuan tersebut dan kerjasamanya selama ini disampaikan terimakasih. Penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas dari bantuan rekan-rekan di lingkup Subdirektorat Akses IPTEK, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Kepada rekan Anton Nugroho S.Pi. penulis mengucapkan terimakasih atas masukan dan perbaikan tesis ini. Kepada saudara Ir. Cahyo Hartono M.Si. disampaikan
vi
terimakasih banyak atas bantuan dalam pengolahan data dan masukan berharga untuk tesis ini. Terakhir, kepada isteriku tercinta Restu Palupi dan anak-anakku Reski Maulidina Putri dan Reski Hanafianto Putra, atas segala doa, dorongan, semangat dan pengorbanan tidak lupa penulis sampaikan penghargaan dan terimakasih yang tak terhingga. Semoga apa yang tertuang dalam tesis ini bermanfaat bagi sesama.
Jakarta, Maret 2007.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xiv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xvi DAFTAR SINGKATAN........................................................................ xvii 1
PENDAHULUAN .........................................................................
1
1.1
Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2
Perumusan Masalah .......................................................................
6
1.3
Tujuan dan Manfaat .......................................................................
10
1.3.1 Tujuan Penelitian ................................................................
10
1.3.2 Manfaat Penelitian ..............................................................
11
Kerangka Pemikiran Penelitian .....................................................
11
2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
13
1.4
2.1
Kemiskinan dan Problematik Masyarakat Pesisir di Indonesia .....
2.2
Pemberdayaan
Masyarakat:
Perspektif
Teoritis
13
dan
Implikasinya dalam Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesisir di Indonesia..........................................................................
17
2.2.1 Perspektif teoritis ................................................................
17
2.2.2 Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir .........
18
2.3
Permasalahan Usaha Mikro di Indonesia ......................................
22
2.4
Batasan dan Kelembagaan Kredit Mikro .......................................
24
2.5
Potensi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro ......................
27
2.6
Perkembangan dan Model Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia..........................................................................................
31
2.6.1 Perkembangan lembaga keuangan mikro ............................
31
2.6.2 Model-model lembaga keuangan mikro di Indonesia .........
34
Model BRI Unit .............................................
34
2.6.2.1
viii
2.6.2.2
Model Grameen Bank ....................................
36
2.6.2.3
Model syariah .................................................
38
2.6.2.4
Model Koperasi ..............................................
42
3 METODOLOGI .............................................................................
50
3.1
Waktu dan Lokasi Penelitian .........................................................
50
3.2
Jenis dan Sumber Data ..................................................................
51
3.3
Metode Pengumpulan Data ...........................................................
51
3.4
Metode Analisis Data ....................................................................
53
3.4.1 Analisis kelembagaan LKM ................................................
53
3.4.2 Analisis kinerja keuangan LKM .........................................
55
3.4.2.1
Analisis vertikal dan analisis horizontal ........
55
3.4.2.2
Analisis rasio keuangan .................................
55
3.4.3 Analisis dampak intermediasi LKM .....................................
58
3.4.3.1
Tingkat kesejahteraan anggota .......................
58
3.4.3.2
Persepsi masyarakat .......................................
59
3.4.4 Analisis
kebijakan
pengembangan
LKM
dalam
mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir .....................
59
4 HASIL .............................................................................................
64
4.1 Profil Wilayah Pesisir Tangerang ...........................................
64
4.1.1 Geografi dan administratif ............................................
64
4.1.2 Demografi .....................................................................
65
4.1.3 Kelembagaan usaha sektor perikanan ...........................
66
4.2 Profil Wilayah Pesisir Pasuruan ..............................................
68
4.2.1 Geografi dan administrattif ...........................................
68
4.2.2 Demografi .....................................................................
69
4.2.3 Kelembagaan usaha sektor perikanan ...........................
71
4.3 Kelembagaan Koperasi ............................................................
72
4.3.1 Koperasi serba usaha M3 Tangerang ...........................
72
ix
4.3.1.1
Kebijakan dan prosedur ...............................
72
4.3.1.2
Pengelolaan organisasi ...............................
74
4.3.1.3
Jaringan ......................................................
75
4.3.2 Koperasi serba usaha LEPP Pasuruan .........................
76
4.3.2.1
Kebijakan dan prosedur .............................
76
4.3.2.2
Pengelolaan organisasi ...............................
77
4.3.2.3
Jaringan ......................................................
78
4.4 Analisis Kinerja Keuangan LKM .............................................
80
4.4.1 Koperasi serba usaha M3 Tangerang ...........................
80
4.4.1.1
Analisis vertikal dan horizontal .................
80
4.4.1.2
Rasio keuangan ............................................
83
4.4.2 Koperasi serba usaha LEPP Pasuruan .........................
85
4.4.2.1
Analisis vertikal dan horizontal .................
85
4.4.2.2
Rasio keuangan ..........................................
89
4.5 Dampak Intermediasi LKM......................................................
92
4.5.1 Koperasi serba usaha M3 Tangerang ...........................
92
4.5.1.1
Tingkat kesejahteraan ................................
92
4.5.1.2
Persepsi masyarakat ..................................
97
4.5.2 Koperasi serba usaha LEPP Pasuruan .........................
98
4.5.2.1
Tingkat kesejahteraan ................................
98
4.5.2.2
Persepsi masyarakat ................................... 102
5 PEMBAHASAN ............................................................................. 104 5.1 Analisis Kelembagaan LKM .................................................... 104 5.2 Analisis Kinerja Keuangan LKM ............................................ 111 5.3 Analisis Dampak Intermediasi LKM ...................................... 113 5.4 Analisis Kinerja LKM dalam Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesisir (Analisis MDS) ...................................... 115
x
5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja LKM dalam Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesisir (Analisis Leverage) ................................................................................ 117 5.5.1 Kinerja kelembagaan LKM ........................................... 118 5.5.2 Kinerja keuangan LKM................................................. 119 5.5.3 Kinerja dampak intermediasi LKM............................... 120 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 122 6.1 Kesimpulan ............................................................................. 122 6.2 Saran ....................................................................................... 124 DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 126 LAMPIRAN ........................................................................................... 130
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Kriteria dan garis kemiskinan ............................................................
15
2.
Beberapa indikator perkembangan lembaga keuangan mikro..............
26
3.
Rasio profit dari kredit portofolio lembaga keuangan mikro nonbank, tahun 2000 – 2002 ....................................................................
4.
Faktor-faktor pembentuk karakter lembaga keuangan mikro dengan pola BRI Unit, Grameen Bank dan LEPP ..........................................
5.
pengentasan
kemiskinan
masyarakat
pesisir
melalui
pengembangan LKM ............................................................................
59
Pengkategorian status kinerja LKM berdasarkan rentang nilai hasil analisis MDS ........................................................................................
9.
54
Pengkategorian dan nilai kategori untuk masing-masing variabel dalam analisis persepsi masyarakat terhadap keberadaan LKM, 2006
8.
52
Pengkategorian dan nilai kategori untuk masing-masing parameter dalam analisis kelembagaan LKM .......................................................
7.
49
Dimensi, fokus kajian (variabel) serta faktor (parameter) penelitian analisis
6.
31
62
Jumlah keluarga menurut tingkat kesejahteraan di kecamatan pesisir Tangerang tahun 2000 ..........................................................................
65
10.
Keragaan tempat pelelangan ikan dan pengelolanya di Tangerang ....
65
11.
Jumlah penduduk menurut kewarganegaraan, jenis kelamin dan kecamatan di Pasuruan tahun 2004 ....................................................
12.
Komposisi tenaga kerja sub sektor perikanan menurut kecamatan (orang) di Pasuruan, tahun 2004 ........................................................
13.
71
Perkembangan jangkauan dan cakupan layanan KSU M3, Tangerang, tahun 2003-2005 .................................................................................
15.
70
Komposisi jenis perahu dan sarana lain yang digunakan nelayan di Pasuruan, tahun 2004 .........................................................................
14.
69
75
Kondisi keuangan berdasarkan laporan laba (rugi) KSU M3 Tangerang, tahun 2003-2005 (per 31 Desember) ...............................
80
xii
16.
Kondisi
keuangan
berdasarkan
neraca
keuangan
KSU
M3
Tangerang, 2003-2005 (per 31 Desember) .......................................... 17.
Kinerja keuangan KSU M3 Tangerang berdasarkan beberapa rasiorasio keuangan, tahun 2003-2005 (per 31 Desember)..........................
18.
81
Total
pembiayaan
disalurkan,
pembiayaan
bermasalah
83
dan
pembiayaan lancar pada KSU M3 Tangerang, tahun 2003-2005 (per 31 Desember) ..................................................................................... 19.
Kondisi keuangan berdasarkan laporan laba (rugi) KSU LEPP Pasuruan, tahun 2003-2005 (per 31 Desember) .................................
20.
91
Hasil pengamatan terhadap beberapa aspek PP No. 9 tahun 1995 pada koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam di Jawa Barat..
25.
91
Total pembiayaan, pembiayaan bermasalah dan pembiayaan lancar pada koperasi LEPP Pasuruan, tahun 2004 (per 31 Desember) .........
24.
90
Total pembiayaan, pembiayaan bermasalah dan pembiayaan lancar pada koperasi LEPP Pasuruan, tahun 2005 (per 31 Desember) .........
23.
87
Kinerja keuangan KSU LEPP Pasuruan berdasarkan beberapa rasiorasio keuangan, tahun 2004 dan 2005 ................................................
22.
86
Kondisi keuangan berdasarkan neraca keuangan KSU LEPP Pasuruan, tahun 2003-2005 (per 31 Desember). ................................
21.
85
111
Kinerja keuangan KSU M3 Tangerang dan KSU LEPP Pasuruan berdasarkan analisis vertikal dan horizontal dan rasio-rasio keuangan, tahun 2006...........................................................................
26.
112
Hasil analisis parameter-parameter dampak intermediasi LKM (KSU M3 Tangerang dan KSU LEPP Pasuruan) dalam pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir, tahun 2006 .........................................
27.
115
Hasil skoring setiap faktor kinerja KSU M3 Tangerang dan KSU LEPP Pasuruan dalam upaya mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir, tahun 2006 .............................................................................
28.
116
Nilai analisis MDS (%) setiap fokus kajian kinerja LKM dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir, tahun 2006 ...............
117
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Kerangka pemikiran penelitian ..........................................................
12
2.
Bagan organisasi pengelola program PEMP, tahun 2006 ..................
20
3.
Lokasi penelitian (Tangerang)..............................................................
50
4.
Lokasi penelitian (Pasuruan) ................................................................
50
5.
Alur pikir metodologi penelitian dengan aplikasi RAPFISH (analisis MDS dan leverage)...............................................................................
6.
Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang berdasarkan tingkat pendapatan (Rp/tahun), tahun 2006 ....................
7.
99
Diagram batang sebaran karakter 64 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan jumlah anggota keluarga (jiwa/KK), tahun 2006 ............
16.
99
Diagram batang sebaran karakter 34 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan kepemilikan asset produktif (rupiah), tahun 2006 ..........
15.
98
Diagram batang sebaran karakter 64 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan kondisi rumah (nilai indeks), tahun 2006 .......................
14.
94
Diagram batang sebaran karakter 64 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan tingkat pendapatan (Rp/tahun), tahun 2006 ....................
13.
94
Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang berdasarkan nominal kredit diterima (rupiah), tahun 2006 .................
12.
94
Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang berdasarkan frekuensi kredit (kali), tahun 2006 ..................................
11.
93
Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang berdasarkan jumlah anggota keluarga (jiwa/KK), tahun 2006 .............
10.
93
Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang berdasarkan kepemilikan asset produktif (Rp/tahun), tahun 2006 ......
9.
93
Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang berdasarkan kondisi rumah (nilai indeks), tahun 2006 .......................
8.
63
99
Diagram batang sebaran karakter 64 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan frekuensi kredit (kali), tahun 2006 ..................................
100
xiv
17.
Diagram batang sebaran karakter 64 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan nominal kredit diterima (rupiah), tahun 2006 ..................
18.
100
Segitiga diagram kinerja LKM hasil analisis MDS dalam pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir di Tangerang dan Pasuruan .............................................................................................
19.
Diagram batang hasil analisis leverage kinerja kelembagaan LKM di Tangerang (A) dan Pasuruan (B) .........................................................
20.
118
Diagram batang hasil analisis leverage kinerja keuangan LKM di Tangerang (A) dan Pasuruan (B) ........................................................
21.
117
120
Diagram batang hasil analisis leverage kinerja dampak intermediasi LKM di Tangerang (A) dan Pasuruan (B) ...........................................
121
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Kuesioner penelitian analisis pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir melalui pengembangan lembaga keuangan mikro ....................
2.
Uraian fungsi dan tugas setiap jabatan dalam KSU LEPP Pasuruan, 2005. ....................................................................................................
3.
142
Perhitungan rasio-rasio keuangan sebagai indikator kinerja keuangan KSU M3 di Tangerang, 2004 - 2005....................................................
4.
130
145
Perhitungan rasio-rasio keuangan sebagai indikator kinerja keuangan KSU LEPP di Pasuruan, 2004 - 2005. .................................................
146
5.
Penjelasan RAPFISH ..........................................................................
147
6.
Matriks Euclidean Distance kinerja kelembagaan LKM di Pasuruan dan Tangerang ......................................................................................
7.
Matriks Euclidean Distance kinerja keuangan LKM di Pasuruan dan Tangerang.............................................................................................
8.
9.
150
152
Matriks Euclidean Distance kinerja dampak intermediasi LKM di Pasuruan dan Tangerang. .....................................................................
154
Justifikasi penggunaan teknis analisis MDS ........................................
156
xvi
DAFTAR SINGKATAN
1
ATK
= Alat Tulis Kantor
2
BAAC
= Bank for Agriculture Cooperative
3
BAZIS
= Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqoh
4
BBM
= Bahan Bakar Minyak
5
BDS
= Board of Development Service
6
BIMAS
= Bimbingan Masyarakat
7
BKD
= Badan Kredit Desa
8
BKKBN
= Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
9
BMT
= Baitul Mal Wa Tanwil
10
BPR
= Bank Perkreditan Rakyat
11
BPR-S
= Bank Perkreditan Rakyat-Syariah
12
BRI
= Bank Rakyat Indonesia
13
BTM
= Baitul Tamwil
14
BUMN
= Badan Usaha Milik Negara
15
BUUD
= Badan Usaha Unit Desa
16
DEP
= Dana Ekonomi Produktif
17
DKP
= Departemen Kelautan dan Perikanan
18
FGD
= Focus Group Discussion
19
ICA
= International Cooperatives Alliance
20
IDT
= Inpres Desa Tertinggal
21
JPS
= Jaring Pengaman Sosial
22
KIK
= Kredit Investasi Kecil
23
KK
=
24
KM
= Konsultan Manajemen
25
KMKP
= Kredit Modal Kerja Permanen
26
KMP
= Kelompok Masyarakat Pemanfaat
27
KSP
= Koperasi Simpan Pinjam
Kepala Keluarga
xvii
28
KSU
= Koperasi Serba Usaha
29
KUD
= Koperasi Unit Desa
30
KUM
= Karya Usaha Mandiri
31
Kupedes
= Kredit Usaha Perdesaan
32
KUT
= Kredit Usaha Tani
33
LDKP
= Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan
34
LEPP
= Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir
35
LKM
= Lembaga Keuangan Mikro
36
LPK
= Lembaga Perkreditan Kecamatan
37
LSM
= Lembaga Swadaya Masyarakat
38
LWK
= Latihan Wajib Kumpulan
39
M3
= Mikro Mitra Mina
40
MDS
= Multidimensional Scaling
41
NPL
= Non Performance Loan
42
PDB
= Produk Domestik Bruto
43
PEMD
= Pengembangan Ekonomi Masyarakat Daerah
44
PEMP
= Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
45
PHI
= Poverty Headcount Index
46
PINBUK
= Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil
47
PKS
= Pembangunan Keluarga Sejahtera
48
Pokmas
= Kelompok Masyarakat
49
PPD-PSE
= Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi
50
RAT
= Rapat Anggota Tahunan
51
ROA
= Return of Asset
52
ROE
= Return of Equity
53
RP
= Rembug Pusat
54
RTP
= Rumah Tangga Perikanan
55
SD
= Sekolah Dasar
56
SDM
= Sumberdaya Manusia
57
Simpedes
= Simpanan Perdesaan
xviii
58
SMP
= Sekolah Menengah Pertama
59
SPDN
= Solar Packed Dealer untuk Nelayan
60
THR
= Tunjangan Hari Raya
61
TPD
= Tenaga Pendamping Desa
62
TPI
= Tempat Pelelangan Ikan
63
UEP
= Usaha-usaha Ekonomi Produktif
64
UKM
= Usaha Kecil dan Menengah
65
UKMK
= Usaha Kecil Menengah dan KOperasi
66
UMKM
= Usaha Mikro Kecil dan Menengah
67
UPK
= Ujian Pengesahan Kumpulan
68
USP
= Unit Simpan Pinjam
xix
DAFTAR SINGKATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
PDB PHI KIK KMKP IDT UMKM LKM KSU LEPP M3 PEMP PEMD JPS PPD-PSE
= = = = = = = = = = = = = =
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
BBM KMP LSM SPDN DEP USP TPD KM DKP KUD KUT PKS Pokmas BKKBN LDKP BPR BRI BKD UEP BIMAS Kupedes Simpedes BAZIS ICA BUUD
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Produk Domestik Bruto Poverty Headcount Index Kredit Investasi Kecil Kredit Modal Kerja Permanen Inpres Desa Tertinggal Usaha Mikro Kecil dan Menengah Lembaga Keuangan Mikro Koperasi Serba Usaha Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Pengembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jaring Pengaman Sosial Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bahan Bakar Minyak Kelompok Masyarakat Pemanfaat Lembaga Swadaya Masyarakat Solar Packed Dealer untuk Nelayan Dana Ekonomi Produktif Unit Simpan Pinjam Tenaga Pendamping Desa Konsultan Manajemen Departemen Kelautan dan Perikanan Koperasi Unit Desa Kredit Usaha Tani Pembangunan Keluarga Sejahtera Kelompok Masyarakat Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan Bank Perkreditan Rakyat Bank Rakyat Indonesia Badan Kredit Desa Usaha-usaha Ekonomi Produktif Bimbingan Masyarakat Kredit Usaha Perdesaan Simpanan Perdesaan Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqoh International Cooperatives Alliance Badan Usaha Unit Desa
40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
UKM BAAC BPR-S BMT PINBUK BTM KUM KSP UKMK BUMN BDS FGD MDS ROA ROE LPK SD SMP SDM RTP LWK UPK RP RAT TPI THR ATK KK NPL
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Usaha Kecil dan Menengah Bank for Agriculture Cooperative Bank Perkreditan Rakyat-Syariah Baitul Mal Wa Tanwil Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil Baitul Tamwil Karya Usaha Mandiri Koperasi Simpan Pinjam Usaha Kecil Menengah dan KOperasi Badan Usaha Milik Negara Board of Development Service Focus Group Discussion Multidimensional Scaling Return of Asset Return of Equity Lembaga Perkreditan Kecamatan Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sumberdaya Manusia Rumah Tangga Perikanan Latihan Wajib Kumpulan Ujian Pengesahan Kumpulan Rembug Pusat Rapat Anggota Tahunan Tempat Pelelangan Ikan Tunjangan Hari Raya Alat Tulis Kantor Kepala Keluarga Non Performance Loan
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kemiskinan masyarakat tampaknya telah menjadi fenomena global bagi sebagian besar masyarakat di negara berkembang. Chen dan Ravalion (2004) mengindikasikan bahwa lebih dari 1 milyar penduduk dunia saat ini hidup dengan kurang dari US $ 1 per hari. Terkait dengan isu global ini, pemerintah Orde Baru dengan tujuan menurunkan tingkat kemiskinan masyarakat dalam rangka menciptakan
kesejahteraan
masyarakat
melakukan
pembangunan
dengan
pendekatan trickle down effect dan sentralistik. Melalui kedua pendekatan pembangunan tersebut, sebelum krisis ekonomi melanda Asia Tenggara, pemerintah Orde Baru mengklaim telah dapat menurunkan tingkat kemiskinan dari 70 juta atau 60 % dari jumlah penduduk pada tahun 1970 menjadi 27 juta atau 15 % dari jumlah penduduk pada tahun 1990 (Yamauchi, 2005). Menelaah lebih dalam pada kedua pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu diketahui masing-masing mengandung kelemahan mendasar. Pertama, pendekatan trickle down effect, yaitu paradigma pembangunan lama yang menyatakan bahwa kemiskinan adalah merupakan suatu keadaan sementara dimana dalam proses pembangunan secara otomatis akan terus berkurang, ternyata membutuhkan biaya yang sangat besar dan menjadi bola salju yang semakin lama jauh diluar kemampuan negara untuk membiayai sendiri. Ketergantungan terhadap pembiayaan dengan hutang luar negeri menjadi sangat dominan, sementara porsi pembangunan yang diharapkan mengalir kepada rakyat miskin tidak terjadi sebagaimana yang diharapkan. Kedua, pendekatan pembangunan sentralistik yang mengandalkan pemerintah pusat sebagai inisiator pembangunan memiliki dampak yang kurang menguntungkan pada dua arah (Ismawan, 2003a). Pada sisi pemerintah, beban pembangunan yang sebelumnya tersebar pada berbagai kelompok masyarakat mengerucut dan menjadi beban pemerintah sendiri. Di sisi lain, pengambil alihan berbagai kegiatan pembangunan oleh pemerintah telah memunculkan sikap apatis dan ketergantungan masyarakat yang semakin lama semakin besar. Kelompok usaha besar dan konglomerasi yang diharapkan pemerintah menjadi lokomotif pembangunan dan menjadikan
1
kelompok masyarakat ini mendominasi pertumbuhan ekonomi, pangsa pasar dan produk domestik bruto (PDB), akan tetapi ternyata tidak diikuti dengan pengelolaan internal perusahaan yang baik (good corporate governance). Perlakuan khusus dan berbagai fasilitas yang diberikan oleh pemerintah sebagai upaya mengakselerasi pertumbuhan dalam kenyataannya disalahgunakan dan memunculkan berbagai kegiatan yang tidak efisien. Lebih lanjut, Ismawan (2003a) mengatakan bahwa kelemahan kedua pendekatan yang selama ini digunakan didalam melaksanakan pembangunan berikut bias yang terjadi didalam pelaksanaannya ini berakibat pada beberapa fakta bahwa pembangunan yang dilaksanakan adalah berdasarkan pada pendekatan proyek yang mengandung kelemahan-kelemahan, yaitu: (1) Adanya pola berpikir proyek yang selalu dibatasi waktu anggaran yang sempit; (2) Bekerja berdasarkan anggaran yang dialokasikan; dan (3) Tidak ada kepastian tindak lanjut dari pelaksanaan pembangunan. Akibat dari ketiga hal tersebut adalah adanya batasan waktu yang terjadi yang seringkali mengkandaskan suatu kegiatan yang awalnya berjalan cukup baik. Keadaan ini menjadi semakin tidak menentu karena kurang terencananya keberlanjutan pasca kegiatan dan tidak memiliki exit strategy yang memadai. Pada akhirnya, kelemahan mendasar pada pendekatan pembangunan yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru tersebut berakibat pada kerentanan kondisi sosial ekonomi. Kondisi itu terbukti pada saat krisis melanda pada tahun 1998, dimana jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 24,2 % dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Dampak dari kesalahan sistem pembangunan pada masa lalu juga berimbas pada masyarakat pesisir, khususnya nelayan skala kecil. Bahkan bagi kelompok nelayan ini dampak yang dirasakan tampaknya lebih besar dibandingkan yang menimpa kelompok masyarakat lainnya. Data BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa jumlah desa pesisir di Indonesia adalah 8.090 desa dengan jumlah penduduk 16,24 juta jiwa dan jumlah KK adalah 3,91 juta. Beberapa literatur menunjukkan bahwa kelompok nelayan termasuk suatu kelompok masyarakat yang tergolong miskin dan bahkan jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin (Mubyarto et al., 1984; Imron, 1999,
2
2001). Hasil olahan yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan terhadap data Yayasan Smeru (2004) menunjukkan nilai Indeks Kemiskinan atau Poverty Headcount Index (PHI) masyarakat pesisir adalah sebesar 0,3214 atau secara rata-rata 32,14 % dari penduduk desa pesisir tergolong miskin. Sementara itu, nilai PHI untuk masyarakat seluruh Indonesia 0,18 atau “hanya” 18% dari penduduk Indonesia tergolong miskin. Kondisi ini menunjukkan bahwa penduduk desa pesisir secara rata-rata lebih miskin dibanding penduduk miskin di Indonesia. Penelitian yang dilakukan di tingkat mikro (Imron, 2002) juga mendukung fenomena kemiskinan yang dialami nelayan. Diketahui pendapatan per bulan yang diperoleh buruh nelayan slerek di Muncar, Jawa Timur hanya berkisar antara Rp 250.000 - 400.000,-.. Slerek adalah alat tangkap jenis purse seine yang digunakan oleh nelayan Muncar, dan pengoperasiannya menggunakan dua perahu ukuran antara 20 – 30 GT. Meskipun pada saat musim ikan pendapatan nelayan cukup tinggi karena banyak ikan yang dapat ditangkap namun keadaan seperti ini hanya berkisar antara satu atau dua bulan dalam setahunnya. Di luar musim tersebut pendapatan nelayan cenderung tidak menentu. Bahkan pada saat musim paceklik tidak jarang nelayan justru pulang dari laut dengan tangan hampa karena tidak ada ikan yang berhasil ditangkap. Apalagi jika musim ombak, tidak jarang nelayan justru tidak dapat melaut. Karena itu jika dibuat angka rata-rata per bulan dalam setahunnya, pendapatan nelayan cenderung kecil. Terkait dengan upaya meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, sedikitnya empat macam kebijakan pemerintah yang diketahui telah dilaksanakan dan mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan secara langsung, yaitu: (1) Kebijakan motorisasi dan modernisasi alat tangkap; (2) Kebijakan perluasan lapangan usaha; (3) Kebijakan pengaturan/regulasi; dan yang paling mutakhir adalah 4) Kebijakan pendanaan melalui revolving credit. Terkait dengan kebijakan yang terakhir disebut, sejak tahun 1974 pemerintah secara parsial telah mengeluarkan program bantuan kredit melalui Bank Rakyat Indonesia. Pada tahun-tahun berikutnya, program kredit ini dilanjutkan dalam bentuk seperti kredit investasi kecil (KIK), kredit modal kerja permanen (KMKP) dan kredit Bimas. Sekalipun demikian, paket bantuan kredit tersebut atau
3
program-program lain seperti program kredit bergulir atau program Inpres Desa Tertinggal (IDT) belum mampu mengatasi kesulitan ekonomi masyarakat nelayan. Tidak sedikit bantuan kredit dan kredit bergulir mengalami kemacetan sehingga pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan bantuan kredit untuk masyarakat nelayan. Hambatan pengembalian bantuan kredit ini disebabkan oleh kecilnya tingkat penghasilan nelayan sebagai akibat kesulitan memperoleh hasil tangkapan, besarnya biaya operasi, kerusakan peralatan tangkap, jaringan perdagangan ikan yang merugikan dan persepsi yang salah terhadap bantuan pemerintah. Alasan yang terakhir ini memandang bahwa setiap bantuan kredit modal atau peralatan tangkap yang disalurkan kepada nelayan dianggapnya sebagai pemberian yang cuma-cuma dari pemerintah sehingga nelayan tidak wajib mengembalikannya. Untuk itu, alternatif kebijakan yang terkait dengan pemberian kredit yang ditujukan untuk menangani masalah kemiskinan di nelayan tampaknya perlu dicari dengan segera. Salah satunya adalah program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dengan cara pemberian kredit pada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang didukung oleh lembaga keuangan mikro (LKM). Penjelasan mengenai perlunya program pembangunan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Pada tahun 1998, saat badai krisis menimpa Indonesia, sektor usaha besar dan korporat yang sesungguhnya diharapkan menjadi penopang ekonomi tidak dapat bertahan, kolaps dan gulung tikar. Sebaliknya, UMKM yang tenaga kerjanya didominasi oleh masyarakat dari kelompok masyarakat yang torgolong miskin ternyata mampu bertahan dan mampu berfungsi menjadi katup pengaman dampak krisis berupa meningkatnya permasalahan sosial secara masal. Usaha pada skala ini yang dilakukan oleh masyarakat terbukti dapat bertahan bahkan mengalami
pertumbuhan
sekitar
4,8%
hanya
dalam
tempo
2
tahun
(Sumodiningrat, 2003). Pada tahun 2001, jumlah UMKM mencapai 41,36 juta unit/pelaku atau 99,9 % dari total unit usaha yang ada di Indonesia, dan menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 76,54 juta orang atau 99,45 % angkatan kerja dan memberikan kontribusi 58 % pada produk domestik bruto (BPS, 2002).
4
Keberhasilan UMKM untuk bertahan dalam krisis ekonomi tidak lepas dari dukungan LKM. Selama ini LKM, yang dapat didefinisikan sebagai lembaga penyedia jasa keuangan (kredit, pinjaman atau bentuk pembiayaan lain) bagi usaha mikro dan kecil serta berfungsi sebagai alat pembangunan pada masyarakat desa, secara efektif menjadi sarana pengembangan ekonomi rakyat dan memberdayakan rakyat kecil karena mampu menyesuaikan dengan karakteristik UMKM yang cenderung dianggap tidak bankable oleh sektor perbankan komersial. Lembaga keuangan mikro mampu memberikan pelayanan kredit dalam skala yang cukup besar tanpa agunan, tanpa aturan yang ketat dan intensitas pendampingan lebih tinggi dibanding dengan pola kredit komersial (Aghion and Morduch, 2000). Dikaitkan dengan konteks UMKM, keberadaan LKM memuat tiga elemen kunci yaitu: (1) LKM mampu menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan yang relevan dengan kebutuhan riil masyarakat bawah, (2) LKM melayani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (masyarakat miskin merupakan target benefeciaries utama); dan (3) LKM menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat bawah. Dengan kata lain, keberadaan LKM terbukti mampu untuk menjangkau dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, LKM menjadi suatu institusi sosial yang berpihak pada masyarakat miskin tanpa memandang apakah mereka bankable atau tidak. Di sisi lain, LKM juga bertindak sebagai institusi komersial yang harus memperhatikan efisiensi dan efektifitas dalam mengelola usahanya agar terjaga keberlanjutannya. Lebih lanjut, LKM terbukti pula memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan dalam melayani pangsa pasar yang tidak terjangkau oleh lembaga keuangan komersial. Data bussines plan perbankan tahun 2002 menunjukkan tingginya daya serap usaha mikro terhadap dana perbankan. Hingga pertengahan tahun 2003, dari rencana penyaluran kredit usaha mikro sebesar Rp. 4,41 triliun, telah terealisasikan sebesar Rp. 7,17 triliun atau 163 % dari rencana semula (Salim, 2002). Melihat kecenderungan ini serta dengan mengingat bahwa sebagian besar dari pelaku ekonomi di Indonesia adalah kelompok berpenghasilan rendah yang bergelut dalam usaha kecil dan mikro, maka pemberdayaan LKM
5
merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengembangan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan. 1.2 Perumusan Masalah Upaya mengembangkan pelayanan keuangan mikro bagi masyarakat miskin dan pelaku ekonomi rakyat di wilayah pesisir kiranya perlu didahului dengan pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai siapa sebenarnya masyarakat miskin dan pelaku ekonomi rakyat. Tercatat dua kelompok miskin didalam masyarakat
pesisir
yang
dibedakan
menurut
usia
dan
aktifitas
yang
dikembangkan. Kelompok pertama adalah rakyat miskin yang dimasukkan kategori fakir miskin (The Poorest) seperti nelayan tanpa perahu dan yang berusia lanjut ataupun muda (the elder and the younger poor). Kelompok kedua adalah masyarakat miskin yang aktif secara ekonomi (economically active poor). Kelompok ini disebut juga kelompok masyarakat sektor mikro dan merupakan konstituen terbesar baik bagi ekonomi rakyat maupun pelaku ekonomi nasional. Agar dapat meningkat kesejahteraannya, kelompok pertama memerlukan intervensi pelayanan kebutuhan dasar baik pangan, kesehatan, pendidikan dan semacamnya. Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua secara strategis membutuhkan pelayanan keuangan mikro dan pendampingan dengan pertimbangan: (1) Mereka telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif sehingga kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas; dan (2) Mereka akan berpindah menjadi sektor usaha kecil yang diharapkan membantu penanganan kelompok pertama rakyat miskin (fakir miskin dan usia lanjut-muda) apabila mereka diberdayakan. Selanjutnya Ismawan (2003a) mengemukakan lebih dalam tentang kelompok economically active poor, secara umum kegiatan-kegiatan yang digeluti oleh kelompok ini dapat dibagi menjadi empat jenis kegiatan, yaitu: (1)
Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder (semua dilaksanakan dalam skala terbatas dan subsisten) dalam bidang perikanan tangkap skala kecil dan pengolahan produk perikanan skala rumah tangga;
(2)
Kegiatan-kegiatan tersier seperti bengkel, pembuat perahu tradisional;
(3)
Kegiatan distribusi seperti bakul ikan di pasar, kios penjual kebutuhan nelayan, serta usaha sejenisnya; dan
6
(4)
Kegiatan-kegiatan jasa lain, seperti kuli pengangkut ikan (manol), penjaga perahu, buruh di tempat pelelangan ikan dan sebagainya. Dalam kenyataannya, berbagai kegiatan yang termasuk dalam jenis kegiatan ini merupakan suatu ” jaring pengaman sosial” bagi kelompok masyarakat bawah. Jaring pengaman sosial inilah yang berfungsi menggantikan ketiadaan pelayanan dasar yang semestinya disediakan oleh pemerintah. Sebagian besar masyarakat yang berada dalam kelompok kegiatan ini berada dalam tahapan bertahan hidup (survival) dan menjadikan aktivitas yang dijalaninya sebagai persiapan untuk masuk kedalam kegiatan ekonomi lain yang lebih mapan. Lebih lanjut, sebagai sebuah entitas ekonomi yang cakupannya sangat besar
dan luas, karakteristik yang dimiliki ekonomi masyarakat pesisir sangat beragam dikarenakan beragamnya kegiatan yang dilakukan. Meskipun demikian, beberapa karakteristik dasar ekonomi masyarakat pesisir dapat teridentifikasi, yaitu: (1)
Informalitas. Sebagian besar ekonomi rakyat bekerja diluar kerangka legal dan peraturan (legal dan regulatory framework) yang ada. Ketiadaan maupun kelemahan aturan yang ada atau ketidakmampuan pemerintah untuk mengefektifkan peraturan yang ada. (yang sering kali merugikan pelaku usaha kecil) menjadi ruang yang membuat ekonomi rakyat menjadi berkembang. Hal ini untuk sebagian hal memang benar karena informalitas ekonomi rakyat menyebabkan mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa harus berhubungan dengan sumber pinjaman informal yang memiliki suku bunga sangat tinggi. Disisi lain, formalisasi ekonomi rakyat juga menyimpan bahaya. Ketidakpahaman pemerintah (terutama pemerintah daerah) terhadap keunikan kegiatan jasa ini menyebabkan tindakan formalisasi dalam bentuk menertibkan atau mengatur kegiatan-kegiatan ini pada kenyataannya seringkali merusak ”jaring pengaman sosial” yang secara riil telah mampu menyediakan pekerjaan pada masyarakat bawah.
(2)
Mobilitas tinggi. Aspek informalitas ekonomi rakyat juga membawa konsekuensi tiadanya jaminan keberlangsungan aktifitas yang dijalani, dimana berbagai kebijakan pemerintah dapat secara dramatis mempengaruhi
7
keberlangsungannya. Akibatnya, sektor ekonomi rakyat merupakan sektor yang relatif mudah dimasuki dan ditinggalkan. Apabila pada aktifitas ekonomi tertentu terdapat banyak peluang maka dengan banyak pelaku yang menerjuninya, sebaliknya apabila terjadi perubahan yang mengancam keberlangsungan jenis usaha tertentu maka dengan segera pelakunya akan berpindah ke jenis usaha yang lain. Sebagai contoh, mekanisme yang dikembangkan pelaku ekonomi rakyat ini untuk menjawab tantangan ekonomi akibat berbagai situasi eksternal musim paceklik adalah melakukan diversifikasi aktifitas ekonomi pada bidang yang lain. Situasi ini tentu saja tidak terjadi dengan aktifitas primer seperti perikanan dimana para pelakunya jarang meninggalkan aktifitas perikanannya. (3)
Kemandirian tinggi. Sektor ekonomi rakyat masih selalu diyakini oleh banyak lembaga keuangan sebagai unbankable dan high risk.
Hal ini
merupakan salah satu contoh adanya persepsi yang salah tentang sektor ekonomi rakyat yang menyebabkan berbagai pihak, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, membatasi interaksi dengan sektor ekonomi rakyat. Akibatnya, berbagai kegiatan yang berhubungan dengan ekonomi rakyat dilaksanakan dalam bentuk proyek, baik yang menggunakan label penanggulangan kemiskinan maupun pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Dari persepsi yang muncul berupa rendahnya kemandirian sektor ekonomi rakyat ini kiranya perlu dikritisi mengingat pengalaman yang terjadi di masa krisis ekonomi melanda. Sektor ekonomi rakyat ternyata lebih mampu bertahan dibandingkan dengan sektor usaha
besar dan
konglomerasi. Pada prinsipnya, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh seseorang atau suatu masyarakat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum, aktivitas ekonomi masyarakat pesisir strata bawah yang mendominasi populasi penduduk di pesisir ditujukan untuk memenuhi tiga jenis kebutuhan utama mereka, yaitu: (1) Kebutuhan siklus kehidupan (life cycle needs); (2) Kebutuhan darurat (emergency needs); dan (3) Kebutuhan untuk memanfaatkan peluang. Kemampuan masyarakat yang dimaksud pada umumnya baru sebatas upaya memenuhi kebutuhan pertama dan kedua. Seringkali dana atau pembiayaan untuk
8
memenuhi kebutuhan siklus kehidupan, seperti kelahiran anak, menyekolahkan anak, menikah, dan meninggal, melebihi kemampuan masyarakat miskin dan untuk memenuhinya diperlukan sumber-sumber dana dari luar. Di samping itu, rakyat miskin ini akibat rendahnya kepemilikan aset menyebabkan mereka sering menghadapi hal-hal yang membutuhkan berbagai pengeluaran yang sering tidak terduga, baik yang bersifat personal maupun dan non personal (misal: digusur dari tempat tinggal). Mempertimbangkan situasi dan karasteristik yang dihadapi masyarakat miskin ini, maka keuangan mikro dalam berbagai pendekatannya perlu mencakup 3 elemen penting yaitu (Ismawan, 2003a): (1)
Menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman masyarakat tradisional seperti arisan, lumbung desa, lumbung piti nagari, dan sebagainya.
(2)
Melayani rakyat miskin. Keuangan mikro hidup dan berkembang karena melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada karenanya keuangan mikro memiliki karasteristik yang khas sesuai dengan rakyat miskin.
(3)
Menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksible. Sebagai konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, prosedur dan mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel. Tiga elemen ini memiliki arti bahwa pengembangan keuangan mikro tidak
hanya berarti pelayanan keuangan yang berskala sangat kecil, akan tetapi harus berarti pula bahwa kelompok masyarakat yang dilayani adalah rakyat miskin dan prosedur dan mekanisme yang digunakan dalam melayani mereka harus kontekstual dan fleksibel. Pemahaman mengenai LKM sendiri sering disalahartikan dari pengertian kata-kata dasarnya, lembaga keuangan mikro. Beberapa orang melihat dengan adanya kata mikro didalam LKM berarti lembaga tersebut harus juga berukuran mikro atau dengan kata lain LKM yang berskala besar tidak lagi dapat disebut LKM. Pengertian ini tentu saja merupakan pengertian yang salah karena suatu
9
LKM ditentukan bukan karena ukurannya akan tetapi karena jenis pelayanan yang diberikan kepada kelompok masyarakat tertentu (rakyat miskin). Mengenai ukuran suatu LKM dalam pengertian jumlah dana yang dikelola, jumlah staf, jumlah klien, dan semacamnya, tidak berhubungan dengan penyebutan LKM. Bahkan sebaliknya suatu LKM harus menjadi besar, karena biaya operasional suatu LKM relatif besar sementara nilai kredit dan simpanan yang dilayani mikro. Oleh karena itu, agar dapat bertahan LKM harus memiliki outreach yang besar dan ini berarti kelembagaan suatu LKM juga harus besar. Sebagai suatu wacana, keuangan mikro telah semakin mendapatkan posisi baik pada kalangan birokrasi dan pengambilan keputusan maupun para praktisi pembangunan. Namun sebagai suatu kebijakan apalagi lembaga keuangan mikro masih harus diperjuangkan LKM sebagai aktor utama dari pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir dan pengembangan keuangan mikro sendiri. Dari kondisi-kondisi tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian (research questions) yang muncul: (1)
Sejauh mana pembentukan dan penguatan kelembagaan LKM dalam upaya menjangkau masyarakat miskin di pesisir, khususnya nelayan?
(2)
Sejauh mana penguatan kinerja keuangan LKM dalam upaya meningkatkan akses permodalan masyarakat pesisir?
(3)
Sejauh mana persepsi masyarakat yang terkait dengan peran dan fungsi LKM terhadap upaya pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir telah terbentuk?
(4)
Berdasarkan
kondisi
kelembagaan,
kinerja
keuangan
dan persepsi
masyarakat yang terbentuk, strategi apa yang harus disusun agar LKM dapat berkembang dan mandiri sehingga mampu berperan dan berfungsi secara optimal dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir? 1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan Penelitian (1)
Mengidentifikasi dan menganalisis kelembagaan LKM di masyarakat pesisir dengan model LKM yang berbeda, yaitu KSU Mikro Mitra Mina (model Grameen Bank) dan LEPP-M3 (model perbankan konvensional).
10
(2)
Mengidentifikasi dan menganalisis kinerja keuangan LKM di masyarakat pesisir dengan model LKM yang berbeda, yaitu KSU Mikro Mitra Mina (model Grameen Bank) dan LEPP-M3 (model perbankan konvensional).
(3)
Mengidentifikasi dan menganalisis dampak keberadaan, fungsi dan peran LKM terhadap tingkat pendapatan anggotanya (efektivitas KSU M3 dan LEPP – M3 dalam kehidupan masyarakat pesisir);
(4)
Merumuskan dan menyusun strategi intermediasi lembaga keuangan mikro model KSU Mikro Mitra Mina dan model LEPP – M3 dalam pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir.
1.3.2 Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai: (1) Sumbangan pemikiran bagi penentu kebijakan dan semua pihak yang berkepentingan dalam pengentasan kemiskinan di wilayah pesisir melalui intermediasi lembaga keuangan mikro; (2) Sumbangan pemikiran dan bahan referensi dalam pengembangan ilmu dan kaji tindak di bidang pemberdayaan masyarakat pesisir; dan (3) Sumbangan pemikiran, arahan, dan bahan evaluasi (evaluation) bagi lembaga KSU M3 dan LEPP – M3 guna peningkatan kinerja.
1.4 Kerangka Pemikiran Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kerangka pemikiran evaluasi kinerja kelembagaan lembaga keuangan mikro secara menyeluruh. Kerangka pemikiran
diperlukan
untuk
mendapatkan
suatu
opsi
tentang
strategi
pengembangan kredit mikro yang selama ini dilaksanakan oleh LKM di masyarakat pesisir, sebagai salah satu implementasi kebijakan pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir Untuk itu, penelitian ini membagi aspek-aspek kajian berikut variabel dan parameternya ke dalam komponen-komponen berdasarkan tahapan kinerja yang meliputi input, proses, output dan dampak. Sebagai komponen input adalah kebijakan pemerintah yang terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir, pengembangan kredit mikro dan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Komponen proses adalah gambaran tentang kelembagaan kredit dan kinerja keuangan lembaga keuangan mikro yang diteliti. Komponen output dari program pengentasan kemiskinan
11
masyarakat pesisir melalui intermediasi LKM terhadap perekonomian masyarakat pesisir adalah perubahan kinerja LKM, serta tingkat pendapatan serta persepsi dan aspirasi anggota LKM antara sebelum dan sesudah program dijalankan. Selanjutnya, gambaran seluruh komponen dari tahapan kinerja program ini diharapkan dapat menggambarkan kekuatan, kelemahan dari sisi internal serta peluang dan ancaman dari sisi eksternal, yang menjadi bahan rumusan bagi opsi kebijakan pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir. Adapun bagan kerangka pemikiran studi sebagaimana diuraikan di atas disajikan dalam bagan berikut: INPUT KEBIJAKAN PEMERINTAH
PROGRAM PEMERINTAH
PROSES KSU M3 DAN LEPP ANGGOTA KSU M3 DAN LEPP • • • •
•
Jenis Usaha Modal dan Struktur Permodalan Skala Usaha Omset Usaha Pendapatan Usaha
•
Kelembagaan Kredit
LINGKUNGAN EKSTERNAL*
• Sumberdaya Finansial • Teknologi dan Informasi • Pasar dan Pemasaran
OUTPUT
DAMPAK
ANGGOTA
KSU M3 DAN LEPP
• Tingkat pendapatan • Persepsi dan aspirasi
• Kondisi Keuangan • Daya Jangkau, dll.
PENGENTASAN KEMISKINAN DI WILAYAH PESISIR MELALUI INTERMEDIASI LKM
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
12
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kemiskinan dan Problematik Masyarakat Pesisir di Indonesia Pada saat ini, walaupun sudah hidup dalam kemerdekaan selama puluhan tahun, namun dalam statusnya sebagai negara yang sedang berkembang, kondisi kemiskinan masih selalu tampak dan hadir di tengah-tengah masyarakat, baik di kota maupun di desa. Dalam hal ini istilah kemiskinan itu lebih diartikan sebagai suatu kondisi yang serba kekurangan, yang merupakan suatu definisi umum yang digunakan untuk menjelaskan tentang kemiskinan. Kemiskinan
merupakan
suatu
konsep
yang
cair,
dan
bersifat
multidimensional. Disebut cair, karena kemiskinan bisa bermakna subyektif, bermakna relatif, tetapi sekaligus juga bermakna absolut. Sedangkan disebut multidimensional, selain kemiskinan itu dapat dilihat dari sisi ekonomi, juga dari segi sosial, budaya dan politik (Nugroho, 1995). Kemiskinan subyektif adalah suatu bentuk kemiskinan yang lebih berkaitan dengan aspek psikhis, yaitu berkaitan dengan perasaan miskin yang dialami oleh pelakunya. Karena berkaitan dengan perasaan, maka kemiskinan subyektif itu lebih tepat disebut sebagai kemiskinan yang sifatnya psikhologis. Dalam kemiskinan yang seperti ini, perasaan miskin itu muncul karena beberapa sebab. Sebab yang paling umum adalah karena pelaku merasa tidak dapat memenuhi kebutuhannya, baik berupa kebutuhan primer ataupun sekunder. Walaupun secara obyektif kondisi kemiskinan lebih berkaitan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan primer, namun definisi tentang kebutuhan yang mana yang termasuk dalam kebutuhan primer, dan mana yang termasuk dalam kebutuhan sekunder, menjadi relatif antara individu. yang berbeda. Perasaan miskin itu juga muncul karena merosotnya kondisi ekonomi yang dialami oleh suatu keluarga, dari kondisi ekonomi yang lebih tinggi ke kondisi ekonomi yang lebih rendah. Kemiskinan relatif adalah suatu bentuk kemiskinan yang didasarkan pada perbandingan dengan kondisi ekonomi yang berada di luarnya, baik pada perbandingan dengan kondisi ekonomi orang lain yang ada di sekitarnya, atau didasarkan pada kondisi ekonomi masyarakat yang ada di daerah lain. Dengan demikian kemiskinan relatif itu terkait erat dengan masalah kesenjangan, yaitu 13
suatu kondisi ketidak-merataan yang ada di masyarakat. Adapun kesenjangan itu secara umum dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kesenjangan struktural dan kesenjangan kultural. Kesenjangan struktural adalah kesenjangan yang terjadi antara masyarakat dalam satu daerah dengan masyarakat di daerah lain (disebut juga kesenjangan daerah), atau antara satu kelas sosial dengan kelas sosial yang lain (kesenjangan kelas). Adapun kesenjangan kultural adalah kesenjangan yang disebabkan oleh perbedaan sikap dalam memandang materi, bunga bank, pendidikan, etos kerja, dan sebagainya. Oleh karena perbedaan sikap itu cenderung mengikuti batas-batas etnis, maka kesenjangan kultural juga cenderung muncul dalam kesenjangan etnis. Kemiskinan relatif lebih didasarkan pada perbandingan, maka kemiskinan jenis ini sangat terkait dengan aspek psikhis, jika penilaian perbandingan itu berasal dari dalam diri pelakunya. Sebaliknya kemiskinan relatif dapat bersifat obyektif, jika penilaian perbandingan itu berasal dari luar diri pelaku. Berbeda dengan dua jenis kemiskinan yang lain, kemiskinan obyektif (kemiskinan absolut) didasarkan pada nilai-nilai obyektif yang digunakan untuk mengukur garis batas kemiskinan. Dalam hal ini, secara umum suatu keluarga dikatakan miskin apabila keluarga itu tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara kondisi fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efisien (Harjosuwarno dan Mardimin, 2000). Untuk itu perhitungan kemiskinan didasarkan pada tingkat nutrisi yang dikonsumsi, sehingga dapat memenuhi jumlah kalori yang dibutuhkan untuk bekerja. Pendeskripsian kemiskinanan secara obyektif yang dikemukakan oleh para ahli secara lengkap dapat dilihat dapat dilihat pada tabel 1.
14
Tabel 1 Kriteria dan garis kemiskinan Penelitian
Kriteria
Esmara Konsumsi beras per kapita per tahun (kg) (1969-1970) Sayogyo (1970) Tingkat pengeluaran ekuivalen beras per orang per tahun: • Miskin • Miskin sekali • Paling miskin Ginneken Kebutuhan gizi minimum per orang per (1969) hari: • Kalori • Protein (Gr) Anne Both Kebutuhan gizi minimum (orang /hari): (1969-1970) • Kalori • Protein (Gr) Gupta (1973) Kebutuhan gizi minimum per orang pertahun (Rp) Hasan (1975) Pendapatan minimum per kapita per tahun (US$) Sayogyo (1984) Pengeluaran per kapita per bulan (Rp) Bank Dunia (1984) Indonesian-WB (1990) Escape Method (1984) BPS (1984)
Kota
Garis Kemiskinan Desa Kota & Desa 125
480 360 270
320 240 180
-
-
-
2000 50
-
-
2000 40
-
-
24.000
125
95
-
8.240
6.585
-
6.719
4.479
-
-
-
27.748
13.731 27.905
23.856 7.746 18.244
29.205 2.100 2.100 -
Pengeluaran per kapita per bulan (Rp) Pengeluaran per kapita per bulan (Rp) Pengeluaran per kapita per bulan (Rp)
• Konsumsi kalori per kapita per hari • Pengeluaran per kapita per bulan BPS (1993) • Konsumsi kalori per kapita per hari • Pengeluaran per kapita per bulan Sumber : Harjosuwarno dan Mardimin (2000)
Pada umumnya konsep kemiskinan lebih banyak dikaitkan dengan dimensi ekonomi. Dalam dimensi ekonomi, kemiskinan sangat mudah dapat dilihat dan menjelma dalam bentuk ketidak-mampuan suatu keluarga dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar manusia, seperti pangan, sandang, perumahan dan kesehatan. Dilihat dari dimensi sosial budaya, kemiskinan lebih sulit untuk diukur, dan tidak dapat dihitung dengan angka-angka. Meskipun demikian, dimensi sosial budaya dari kemiskinan itu dapat dilihat dan dirasakan, karena muncul dalam bentuk budaya kemiskinan. Dalam kondisi tertentu akan ada respon tertentu yang dilakukan oleh masyarakat miskin dalam menyikapi hidup, seperti boros dalam membelanjakan uang, mudah putus asa, merasa tidak berdaya, dan apatis (Lewis diacu dalam Ancok, 1995). 15
Adapun dalam dimensi sosial politik, kemiskinan muncul dalam bentuk terpinggirkannya kelompok miskin dalam struktur sosial yang di bawah, dan tidak dilibatkannya mereka dalam proses pengambilan keputusan. Hal itu muncul dengan termarginalisasinya kelompok miskin, sehingga tidak mempunyai akses, misalnya, terhadap lembaga keuangan. Begitu pula dalam program-program untuk perbaikan kelompok ini, mereka tidak punya akses untuk berpartisipasi dalam menentukan masa depannya, karena penentuan program biasanya dilakukan oleh orang luar yang merasa tahu atas permasalahan mereka; walaupun secara riil masyarakat miskin itulah yang sebetulnya merasakan dan tahu persis permasalahan yang dihadapi. Chambers, 1988 diacu dalam Soetrisno (2003), menyebutkan bahwa inti dari kemiskinan adalah jebakan kekurangan (deprivation trap). Jebakan kekurangan itu terdiri dari lima aspek yang saling terkait, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan, dan (5) ketidak-berdayaan. Disebut saling terkait karena kondisi yang ada dalam satu aspek akan mempengaruhi pada aspek-aspek yang lain. Orang yang miskin misalnya, akan selalu berada dalam kondisi yang rentan, tidak berdaya, dan seterusnya. Dari lima aspek tersebut, menurut Chambers, 1988 yang diacu dalam Soetrisno (2003) ada dua hal utama yang sering mengakibatkan orang miskin menjadi lebih miskin, yaitu kerentanan dan ketidak-berdayaan. Dengan kerentanan yang dialami, orang miskin akan mengalami kesulitan untuk menghadapi situasi darurat. Ini dapat dilihat pada nelayan perorangan misalnya, mengalami kesulitan untuk membeli bahan bakar untuk keperluan melaut, karena sebelumnya tidak ada hasil tangkapan yang bisa dijual, dan tidak ada dana cadangan yang bisa digunakan untuk keperluan yang mendesak. Belum lagi jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit. Hal yang sama juga dialami oleh nelayan buruh, mereka merasa tidak berdaya di hadapan para juragan yang telah mempekerjakannya, walaupun bagi hasil yang diterimanya dirasakan tidak adil.
16
2.2
Pemberdayaan Masyarakat: Perspektif Teoritis dan Implikasinya dalam Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesisir di Indonesia
2.2.1 Perspektif teoritis Istilah pemberdayaan seringkali dimaknai sebagai proses penyadaran masyarakat menjadi mandiri, tidak tergantung dan mampu menghadapi tantangan. Pemberdayaan masyarakat juga dikenal sebagai upaya pemampuan masyarakat agar
dapat
memecahkan
masalah
dengan
kekuatan
sendiri
secara
berkesinambungan. Kata pemberdayaan (empowerment) mengandung arti adanya sikap mental yang teguh atau kuat, sehingga kegiatan yang berbasis pemberdayaan adalah pertolongan yang diungkapkan dalam bentuk simbolsimbol. Simbol-simbol tersebut kemudian mengkomunikasikan kekuatan untuk mengubah hal-hal yang ada dalam diri kita (inner space), orang lain yang dianggap penting dan masyarakat sekitar. Pada dasarnya pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya menurut undang-undang. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan kemandirian, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Proses ini pada akhirnya akan menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Oleh karena itu Bank Dunia misalnya, percaya bahwa partisipasi masyarakat dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau masyarakat termiskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri. Menurut Kartasasmita (1996), pemberdayaan lebih ditekankan pada upaya peningkatan sekarang
harkat dan martabat lapisan
masyarakat yang dalam kondisi
tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan. Oleh karena itu, keberdayaan dalam konteks ini adalah merupakan kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik, mental, terdidik dan kuat tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Dalam kerangka pembangunan nasional upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang antara lain: (1) penciptaan suasana atau iklim 17
yang memungkinkan
masyarakat berkembang, (2) peningkatan kemampuan
masyarakat dalam membangun melalui berbagai bantuan modal bergulir, pembangunan sarana prasarana, baik sosial maupun kelembagaan, dan (3) perlindungan melalui keberpihakan kepada yang lemah dan mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. (Sumodiningrat, 1998). 2.2.2 Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) secara umum bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur
kewirausahaan,
penguatan
Lembaga
Keuangan
Mikro
(LKM),
penggalangan partisipasi masyarakat dan kegiatan usaha ekonomi produktif lainnya yang berbasis sumberdaya lokal dan berkelanjutan. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PEMP) mulai dilaksanakan pada tahun anggaran 2000 di 26 kabupaten/kota pada 7 provinsi yang merupakan bagian dari Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat Daerah (PEMD) sector Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program PEMP bukan bersifat charity (hadiah) tetapi merupakan suatu bentuk empowerment (pemberdayaan), sehingga sampai saat ini kegiatan PEMP 2000 masih tetap berlangsung di daerah dengan semakin berkembangnya modal usaha yang diberikan kepada masyarakat untuk dikelola bagi kepentingan usaha masyarakat itu. Pada tahun 2001 Program PEMP dilanjutkan dengan alokasi dana sebesar Rp. 105.8 milyar untuk 125 kabupaten/kota. Tahun 2002 dengan alokasi dana Rp. 90 milyar untuk 90 kabupaten/kota dan tahun 2003 dengan alokasi anggaran Rp. 120 milyar untuk 126 kabupaten/kota. Dana tersebut berasal dari kompensasi pengurangan subsidi energi atau Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PPD-PSE). PPD-PSE merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka memberikan kompensasi akibat adanya pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang diperkirakan berdampak langsung terhada daya beli masyarakat miskin akibat kenaikan harga BBM yang diberlakukan oleh pemerintah. PEMP memiliki 4 kegiatan utama, yaitu: (1) pengembangan lembaga keuangan mikro di tingkat masyarakat yang bernama lembaga Mikro Mitra Mina 18
(M3), pada awalnya adalah lembaga informal yang didirikan sendiri oleh masyarakat serta dijalankan atau diorganisir oleh mereka sendiri, (2) pengembangan usaha ekonomi produktif oleh kelompok pemanfaat yang merupakan kelompok-kelompok kecil yang memiliki kesamaan usaha, aspirasi dan tujuan, (3) pelatihan dan pengembangan kapasitas kelembagaan masyarakat lokal, yang dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat menjalankan program yang dilaksanakan, (4) pengembangan model pemberdayaan pasca program yang diarahkan pada pengembangan jaringan usaha antara masyarakat sasaran dengan kelompok lain, LSM, swasta, serta pemerintah. Program PEMP dirancang untuk tiga periode. Periode pertama, tahun 2001 sampai dengan tahun 2003, merupakan periode inisiasi dengan fokus pada penggalangan partisipasi dan penyadaran masyarakat (termasuk lembaga swadaya masyarakat), serta perintisan kelembagaan yang diharapkan sebagai cikal bakal holding company yang akan memayungi aktivitas ekonomi masyarakat pesisir. Sampai akhir 2003, program ini telah menjangkau 246 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, terbentuk 323 Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir (LEPP), 9 964 Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP), serta menyentuh sekitar 94.182 KK masyarakat pesisir (Direktorat PMP, 2003). Periode kedua, yang berlangsung dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006, merupakan periode institusionalisasi. Dalam kurun waktu tiga tahun periode ini, program akan difokuskan pada revitalisasi kelembagaan melalui peningkatan status LEPP menjadi berbadan hukum koperasi. Pada akhir 2004 telah berhasil terbentuk 160 koperasi masyarakat pesisir, 89 di antaranya merupakan pengembangan LEPP dan selebihnya merupakan koperasi baru dan koperasi perikanan yang telah eksis sebelumnya. Koperasi-koperasi tersebut adalah koperasi serba usaha, yang diharapkan akan memiliki berbagai unit usaha. Tahun pertama periode institusionalisasi, koperasi tersebut difasilitasi untuk mendirikan unit lembaga keuangan mikro (LKM). Periode ketiga, yaitu periode pengembangan LEPP kearah diversifikasi usaha secara bertahap akan dikembangkan unit usaha lain, seperti Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) dan Kedai Pesisir. Pada periode ini LEPP
19
diharapkan menjadi semacam holding company yang memiliki berbagai usaha yang menjadi kebutuhan utama masyarakat pesisir.
BANK PELAKSANA
Kesepakatan Bersama
DKP
koordinasi
Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi
KM kab./kota
Perjanjian Kerjasama
TPD
pendampingan
Kantor Cabang Bank Pelaksana
Dinas Kelautan dan Perikanan Kab./Kota
Koperasi LEPP M3/ Koperasi Perikanan/ Koperasi lainnya
MASYARAKAT PESISIR
Gambar 2. Bagan organisasi pengelola program PEMP, tahun 2006 Sumber: Direktorat PMP, 2006
Peningkatan status kelembagaan ini diiringi dengan perubahan sistem penyaluran dan status dana ekonomi produktif (DEP), dari semula sebagai dana bergulir yang dikelola oleh LEPP-M3 menjadi dana hibah kepada koperasi yang dijaminkan pada perbankan. Selanjutnya dana yang dikeluarkan oleh perbankan berstatus kredit/pinjaman yang dikelola oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Swamitra Mina/USP atau sejenisnya, yaitu salah satu unit usaha milik koperasi LEPP-M3 di bidang keuangan yang pembentukan serta pengelolaannya bekerjasama antara koperasi dengan bank pelaksana. Fungsi utama LKM ini adalah menjembatani keperluan permodalan masyarakat pesisir dengan lembaga pembiayaan/perbankan. Dengan demikian sistem penyaluran DEP yang semula melalui perguliran berubah menjadi skim kredit mikro. Pelaksanaannya, PEMP pada saat ini dikelola oleh organisasi yang melibatkan beberapa pemangku kepentingan dengan susunan, tugas dan fungsi sebagai berikut: (1) Pemerintah Pusat, (2) Pemerintah Daerah, (3) Konsultan
20
Manajemen, (4) Tenaga Pendamping Desa (TPD), (5) koperasi, dan (6) bank pelaksana. Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat adalah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang bertindak sebagai penanggungjawab dan pembina program di tingkat nasional. Penanggungjawab kegiatan ini adalah Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil yang bertugas mengelola program di tingkat nasional, seperti penyusunan pedoman umum, melaksanakan sosialisasi regional, pelatihan, monitoring dan evaluasi serta pelaporan. Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi dan kabupaten/kota yang menangani Program PEMP. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi sebagai representasi Departemen Kelautan dan Perikanan di daerah bertugas melakukan koordinasi sosialisasi, monitoring dan evaluasi serta pelaporan. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi juga mengusulkan kabupaten/kota calon penerima PEMP tahun berikutnya berdasarkan hasil evaluasi tahun berjalan. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab operasional program bertugas menetapkan Konsultan Pelaksana Kegiatan di Kabupaten/Kota, menetapkan koperasi pelaksana, sosialisasi dan publikasi tingkat kabupaten/kota, fasilitasi pembentukan LKM (bagi kabupaten/kota baru penerima Program PEMP), rekruitmen Tenaga Pendamping Desa, pelatihan, monitoring dan evaluasi serta pelaporan. Konsultan Manajemen. Konsultan Manajemen (KM) Kabupaten/Kota berfungsi membantu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota dalam aspek teknis dan manajemen Program PEMP. Pendampingan ini meliputi kegiatan inventarisasi potensi dan kebutuhan masyarakat pesisir dalam modal usaha, pemetaan jalur produksi, pasar, dan konsumen serta kemungkinan pengembangan program melalui kerjasama dengan berbagai pihak. Di samping itu tugas KM juga membantu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota dalam proses revitalisasi LEPP-M3 menjadi badan hukum koperasi (bagi kabupaten/kota baru penerima Program PEMP). KM dapat dijalankan oleh lembaga konsultan, LSM, dan Perguruan Tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tenaga Pendamping Desa (TPD). TPD merupakan tenaga profesional di bidangnya yang bersedia tinggal di tengah masyarakat sasaran dan bertugas 21
mendampingi masyarakat secara terus-menerus (selama program berlangsung) dalam bentuk mempersiapkan masyarakat pesisir untuk mengakses kredit pada LKM; mendampingi mereka menjalankan dan mengembangkan usaha baik dalam proses produksi maupun pemasaran; membuat laporan perkembangan kegiatan setiap bulan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota. Koperasi berfungsi sebagai komponen utama pelaksanaan
Koperasi.
Program PEMP di daerah. Dalam pelaksanaan kegiatan, koperasi harus berkoordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab
operasional
di
daerah
dan
juga
dengan
lembaga
perbankan/pembiayaan sebagai mitra usaha mereka. Bank Pelaksana. Bank Pelaksana adalah lembaga keuangan perbankan yang ditetapkan oleh DKP dengan tugas dan fungsi: (1) menyediakan kredit bagi koperasi sebagai konsekuensi dari adanya DEP yang dijaminkan untuk kegiatan penguatan modal; (2) menyalurkan DEP langsung dengan pola hibah melalui rekening koperasi yang ada di Bank Pelaksana untuk kegiatan pelaksanaan BPR Pesisir, SPDN dan atau Kedai Pesisir; dan (3) melakukan pendampingan teknis dan administratif kepada koperasi dan atau LKM/USP. 2.3
Permasalahan Usaha Mikro di Indonesia Sebagaimana diketahui 97% usaha kecil di Indonesia memiliki omset di
bawah Rp. 50 Juta/tahun, meskipun batas atas omset usaha kecil adalah sampai Rp. 1 Miliar.
Pada dasarnya jika Indonesia ingin menjangkau usaha kecil
terutama usaha kecil-kecil atau usaha mikro tersebut semestinya secara khusus mengarahkan perhatiannya pada kelompok ini karena mereka mewakili lebih dari 33 Juta pelaku usaha. Sampai saat ini hampir belum terlihat adanya program khusus pemberdayaan usaha mikro, padahal lapisan inilah penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia. Dalam setiap usaha pemberdayaan usaha kecil ada tiga aspek penting yang perlu dikembangkan yaitu : Pertama, lingkungan kondusif dan sistem administrasi pemerintahan yang mendukung; Kedua, dukungan non finansial berupa jasa perkreditan; dan Ketiga, dukungan finansial yang khusus ditujukan bagi usaha kecil. Di subsektor perdagangan umum misalnya, sekitar 80% usaha perdagangan eceran yang tidak berbadan hukum yang diwakili oleh 5,2 juta unit usaha hanya 22
memiliki omset di bawah Rp. 5 juta/tahun, sehingga usaha ekonomi rakyat lapis bawah ini benar-benar berskala gurem.
Program yang secara bersinggungan
mencoba mengatasi masalah ini pada umumnya masih dikaitkan dengan program penanggulangan kemiskinan.
Untuk tidak mencampuradukan permasalahan,
maka tawaran pendekatan yang dapat kita manfaatkan adalah dengan melihat sisi kehidupan masyarakat ini dari dua sisi : Pertama, sebagai penduduk aktif maka kegiatan ekonomi baik dalam bentuk produksi barang maupun jasa harus kita perlakukan sebagai usaha mikro sehingga tujuan utamanya adalah meningkatkan produktivitas dan kapasitas produktifnya; Kedua, sebagai rumah tangga konsumen setiap pendapatan/ pengeluaran masyarakat yang masih belum melampaui batas garis kemiskinan harus kita perlakukan sebagai penduduk miskin yang harus kita tingkatkan kondisi kehidupannya hingga melewati batas tersebut. Untuk mendorong usaha mikro ini memang disadari bahwa modal bukan satu-satunya pemecahan, tetapi tetap saja bahwa ketersediaan permodalan yang secara mudah dapat dijangkau mereka sangat vital, karena pada dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas uang. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untuk mendorong produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak terlepas dari keberadaan lembaga keuangan yang hadir di tengah masyarakat. Lingkaran setan yang melahirkan jebakan ketidakberdayaan inilah yang menjadi alasan penting mengapa Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro menempati tempat yang sangat strategis. Oleh karena itu kita perlu memahami secara baik berbagai aspek LKM dengan segemen-segmen pasar yang masih sangat beragam disamping juga masing-masing terkotak-kotak. Usaha mikro sering digambarkan sebagai kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan kemampuan permodalan rendah.
Akses UKM
terhadap lembaga keuangan formal rendah, sehingga hanya 17% UKM dapat mengakses kredit bank (Atmadja et al. 2002). Hal ini karena : (1) Produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UKM; 23
(2) Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit UKM; (3) Biaya transaksi kredit UKM relatif tinggi; (4) Persyaratan teknis bank kurang dipenuhi (agunan, proposal); (5) Terbatasnya akses UKM terhadap pembiayaan equity; (6) Monitoring dan koleksi kredit UKM tidak efisien; (7) Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri sehingga biaya pelayanan UKM menjadi mahal; (8) Bank pada umumnya belum terbiasa dengan pembiayaan kepada UKM. Penyaluran kredit usaha kecil (KUK) pada tahun 1997-1998 rata-rata sekitar 13% dari total kredit. Tahun 1999-2001 setelah penyehatan perbankan rata-rata KUK adalah 17% dari total penyaluran kredit perbankan.Secara singkat kredit perbankan diselenggarakan atas pertimbangan komersial sehingga meyebabkan UKM sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya (Soetrisno, 2003a). 2.4
Batasan dan Kelembagaan Kredit Mikro
Kredit mikro dapat diartikan bermacam-macam, karena memang produk kredit mikro sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksananya juga bermacam-macam ditinjau dari segi sifat dan status legalnya.
Perbedaan-perbedaan ini juga
merupakan ciri segmentasi pasar yang perlu dipahami dan bahkan dapat dilihat sebagai mekanisme fungsional dalam pembagian pasar dan target sasaran. Pemahaman ini diperlukan bagi penetapan kebijakan sesuai kelompok sasaran yang hendak dituju. Meskipun latar belakang program pengenalannya juga sangat terkait dengan munculnya tantangan yang dihadapi masyarakat ketika itu, namun demikian pembiayaan mikro tetap mempunyai universalitas sebagai penyedia jasa keuangan bagi usaha mikro dan kecil. Perkreditan mikro selain dilihat dari segi produk dan kelembagaannya juga dapat dilihat dari segi ”permintaan dan penawaran” atau dari sudut sumber dan penggunaan. Gambaran ini akan menjelaskan pembagian kerja fungsional antar lembaga perkreditan mikro dengan berbagai kelompok sasaran berdasarkan tingkat pendapatan dan bahkan dapat sangat terkait dengan penggunaan kredit. Pendekatan ini sekaligus untuk memahami dinamika perkembangan lembaga perkreditan mikro bagi pengembangan ekonomi rakyat. 24
Pada dasarnya kredit dapat dibedakan dalam dua sifat penggunaan yaitu kredit produktif dan kredit konsumtif. Untuk melihat sejauh mana sektor-sektor ekonomi produktif memberikan tanda adanya permintaan pasar yang kuat perlu dikaji struktur ekonomi masing-masing sektor berdasarkan atas pelaku usaha, disamping itu juga kaitannya dengan sasaran ekspor dan tersedianya dana sendiri oleh pelaku usaha.
Ciri pasar kredit mikro adalah kecepatan pelayanan dan
kesesuaian dengan kebutuhan pengusaha mikro. Berdasarkan nilai kredit maka besarnya kredit yang tergolong ke dalam kredit mikro lazimnya disepakati oleh perbankan untuk pinjaman sampai dengan Rp. 50 juta/ nasabah. Ada yang berpendapat bahwa dalam masyarakat perbankan internasional, kredit mikro dapat mencapai maksimum US $ 1.000,-. Di Thailand baru dalam taraf pilot project oleh Bank for Agriculture Cooperative (BAAC) menetapkan kredit mikro adalah kredit dengan jumlah maksimum Bath 100.000/ nasabah atau setara dengan US $ 2,500. Dengan demikian kredit mikro pada dasarnya menjangkau pengusaha kecil lapis bawah yang memiliki usaha dengan perputaran yang cepat. Lembaga perkreditan mikro di Indonesia pada dasarnya ada dua kelompok besar yakni Pertama, BRI unit dan BPR yang beroperasi sampai ke pelosok tanah air; dan kelompok yang kedua adalah koperasi, baik koperasi simpan pinjam yang khusus melayani jasa keuangan maupun unit usaha simpan pinjam dalam berbagai macam koperasi. Disamping itu terdapat LKM lain yang diperkenalkan oleh berbagai lembaga baik pemerintahan seperti seperti Lembaga Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan dan lain-lain, maupun swasta/ lembaga non pemerintah seperti yayasan, LSM, dan LKM lainnya termasuk lembaga keagamaan.
25
Tabel 2 Beberapa indikator perkembangan lembaga keuangan mikro
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis LKM
Jumlah (Unit)
Simpanan (RPmiliar)
2,148 3,916 5,345 1,097 35,218 2,272 264 3,038
9,254.00 27,429.00 0.38 85.00 1,157.00 334.00 209.00
Penyimpan (juta rek) 5.61 29.87 0.48 n.a. n.a. n.a. n.a.
1,146
188.01
54,444
38,656.39
BPR BRI Unit Badan Kredit Desa KSP USP LDKP Pegadaian BMT Credit Union & NGO
9 Total
9,431.00 14,182.00 0.20 531.00 3,629.00 358.00 157.70 157.00
Jumlah Peminjam (juta rek) 2.40 3.10 0.40 0.67 n.a. 1.30 0.02 1.20
Rata-rata Pinjaman (Rp juta) 3.93 4.57 0.00 0.79 n.a. 0.27 9.34 0.13
0.29
505.73
0.40
1.27
36.25
28,951.00
9.48
3.05
Pinjaman (Rp miliar)
Sumber: Ismawan dan Budiantoro, 2005 . LKM di Indonesia telah membuktikan bahwa (Soetrisno, 2003) : (1)
Tumbuh dan berkembang di masyarakat serta melayani UKM;
(2)
Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UKM);
(3)
Mandiri dan mengakar di masyarakat;
(4)
Jumlah cukup banyak dan penyebarannya meluas;
(5)
Berada dekat dengan masyarakat, dapat menjangkau (melayani) anggota dan masyarakat;
(6)
Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi anggotannya (tanpa agunan);
(7)
Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh kelompok miskin;
(8)
Mengurangi berkembangnya pelepas uang (informal money lenders);
(9)
Membantu menggerakan usaha produktif masyarakat dan;
(10) LKM dimiliki sendiri oleh masyarakat sehingga setiap surplus yang dihasilkan oleh LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik. Keunggulan
di
atas
menyebabkan
LKM
sangat
penting dalam
pengembangan usaha kecil karena merupakan sumber pembiayaan yang mudah diakses oleh UKM (terutama usaha mikro). Pelajaran BRI-Unit sebagai LKM telah memberikan pelayanan sampai ke pelosok tanah air dengan tingkat bunga 26
pasar dan tidak memerlukan subsidi.
Disamping itu secara empiris tingkat
pengembalian baik, mutu pelayanan lebih penting, mengenal dan pendekatan kelompok juga terbukti efektif sebagai pressure group dan mengurangi biaya dan resiko dalam penyaluran. LKM lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh pesat adalah lembaga keuangan syariah yang penyelenggaraannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariat islam. Lembaga keuangan syariah terdiri dari bank khusus (bank muamalat) dan bank lain serta BPR-S, sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), Baitul Tamwil (BTM) yang dikembangkan oleh Baitul Mal Muhammadiayah dan koperasi syirkah Muawanah yang digairahkan oleh pesantren-pesantren. Status legalnya ada yang berbentuk koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali tidak terkait dengan institusi pengembang. 2.5
Potensi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Bentuk lain kredit mikro yang diakui keberhasilannya oleh dunia adalah pola
Grameen Bank yang dirancang untuk memecahkan perkreditan bagi keluarga miskin. Model ini terbukti telah berhasil membangkitkan kegiatan ekonomi bagi kelompok penduduk
miskin di Bangladesh, sehingga dianggap sesuai untuk
memecahkan penyediaan modal bagi penciptaan kegiatan produktif untuk penduduk miskin. Syukur (2002) dalam hasil studinya mengemukakan bahwa Karya Usaha Mandiri (KUM) yang merupakan replikasi Grameen Bank sangat efektif sebagai instrumen delivery untuk kelompok sasaran, namun sustainability dari program ini tanpa dukungan dari luar yang terus menerus masih dipertanyakan, demikian juga daya saing terhadap produk kredit lain belum secara nyata menunjukan keunggulannya. Di dunia memang diakui bahwa Grameen bank adalah sistem perbankan sosial yang terbaik dan paling berhasil, sehingga menjadi model yang tepat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi kelompok penduduk miskin. Jika BRI unit telah diakui sebagai The Biggest and The Best Micro Banking System in the world, maka Grameen Bank adalah The Best Social Banking System. Perbedaannya terletak pada kemampuan untuk memobilisasi dana masyarakat dan 27
kegiatan usaha secara komersial yang sehat tanpa subsidi untuk perbankan mikro seperti yang telah ditunjukan oleh BRI-Unit. Sementara keunggulan Grameen Bank terletak pada kemampuannya untuk menjangkau masyarakat miskin menjadi produktif dan siap masuk dalam arus kegiatan ekonomi biasa, meskipun akhirnya juga dikerjakan oleh Grameen Bank sendiri tapi tidak tertutup untuk menjadi nasabah bank lain. Di Indonesia yang yang memiliki kekuatan koperasi sebagai sumber
pembiayaan
mikro
terbesar
kedua
setelah
BRI-Unit,
struktur
kelembagaannya masih sangat terfragmentasi dan belum bergerak sebagai sistem lembaga keuangan yang efisien, selain karena daya jangkaunya tidak dapat meluas juga terkesan kurang produktif. Di negara seperti Kanada, India, Korea, dan lainlain, LKM yang diselenggarakan koperasi menjadi kekuatan efektif untuk pembiayaan anggota koperasi baik para petani, peternak, produsen, maupun konsumen. Pada dasarnya potensi pengembangan LKM masih cukup karena : (1)
Usaha mikro dan kecil belum seluruhnya dapat dilayani atau dijangkau oleh LKM yang ada.
(2)
LKM berada di tengah masyarakat.
(3)
Ada potensi menabung oleh masyarakat karena rendahnya penyerapan investasi di daerah terutama pedesaan.
(4)
Dukungan dari lembaga dalam negeri dan Internasional cukup kuat. Segmentasi pasar LKM pada umumnya adalah kelompok usaha mikro
yang dianggap oleh bank : (1) Tidak memiliki persyaratan yang memadai. (2) Tidak memiliki agunan yang cukup. (3) Biaya transaksinya mahal/ tinggi. (4) Lokasi keompok miskin tidak berada dalam jangkauan kantor cabangnya. Permintaan kredit bagi LKM dapat diperhitungkan masih sangat luas dan segmennya bermacam-macam. Hal ini mengingat sebagian besar kelompok usaha mikro belum dapat dilayani oleh bank. Kelompok peminjam tersebut meliputi usaha produktif masyarakat yang memiliki perputaran usaha tinggi dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja.
28
Dilihat dari besarnya kredit yang disalurkan maka dua kekuatan besar penyelenggara kredit mikro adalah BRI-unit dan koperasi (KSP dan USP) yang masing-masing menyumbang 46% dan 31% terhadap total kredit mikro. Ditinjau dari jangkauan pelayanan (unit lembaga) maupun nasabah (peminjam), kemudian BRI menempati urutan kedua dalam jumlah nasabah dan BKD dalam titik pelayanan. Ditinjau dari kemampuan memobilisasi dana masyarakat hampir semua LKM, kecuali BRI unit sangat lemah sebagaimana ditunjukan oleh angka LDR diatas 1. BRI unit yang berhasil memobilisasi tabungan mencapai Rp. 17 triliun lebih hanya meminjamkan sekitar Rp. 6,1 triliun. LDKP meskipun kecil, sangat lokal dan terbatas mempunyai kemampuan mobilisasi tabungan masyarakat yang cukup bagus.
Dalam kaitan dengan koperasi ketidak mampuan mobilisasi
tabungan ini bersumber dari dua hal : (1) Koperasi memungkinkan menggunakan ”modal penyertaan” sesuai ketentuan UU 25/1992 yang dapat memberikan konsesi pada keikutsertaan pengelola sebagai pengganti jaminan bagi deposito yang tidak dimiliki oleh koperasi, tapi hanya ada pada bank. (2) Istilah deposito tidak dikenal dalam koperasi, yang ada adalah tabungan dan biasanya sering diperlakukan sebagai modal luar saja.
Hal ini
menyebabkan data deposito menjadi under recorded atau tidak tercatat pada posnya. Jika modal penyertaan dan tabungan lain dicatat sebagai deposit pasti angka LDR setidak-tidaknya mendekati LKDP, karena sifat koperasi yang selalu mengutamakan prinsip pelayanan dari, oleh dan untuk anggota. Permasalahan yang dihadapi oleh LKM, terutama LKM bukan bank, pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam hal-hal yang bersifat internal dan eksternal. Yang bersifat internal meliputi keterbatasan sumberdaya manusia, manajemen yang belum efektif sehingga kurang efisien, serta keterbatasan modal. Sementara faktor yang bersifat eksternal meliputi kemampuan monitoring yang belum efektif, pengalaman yang lemah, serta infrastruktur yang kurang mendukung. Kondisi inilah yang mengakibatkan pelayanan LKM terhadap usaha mikro masih
29
belum mampu menjangkau secara luas akan sangat penting perannya dalam membantu investasi bagi usaha mikro dan kecil. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat LKM dapat dilakukan melalui : (1) Perkuatan permodalan dan manajemen lembaga keuangan masyarakat (KSP/USP dan LKM); (2) Penggalangan dukungan dan fasilitasi pembiayaan UKMK oleh lembaga keuangan; (3) Penggalangan partisipasi berbagai pihak dalam pembiayaan UKMK (Pemda, luar negeri, dan lain-lain); (4) Optimalisasi pendayagunaan potensi pembiayaan UKMK di daerah (Bagian Laba BUMN, Dana Bergulir, Yayasan, Bantuan Luar Negeri); (5) Peningkatan Capacity Building LKM; (6) Training bagi pengelola LKM, untuk meningkatkan kapasitas pengelola LKM; (7) Perlu adanya lembaga penjamin untuk menjamin kredit LKM dan tabungan nasabah LKM dan; (8) BDS yang mampu memberikan fasilitasi manajemen, keuangan, dan lainlain. Hasil penelitian The Asia Foundation (2003) di 6 propinsi, Lembaga Keuangan Mikro, menunjukkan tingkat profitabilitas yang cukup tinggi. Selama tahun 2000-2002 menunjukkan bahwa Unit Simpan Pinjam (USP) mengalami peningkatan keuntungan rata-rata 26%, sedangkan lembaga keuangan mikro lainnya (diluar koperasi dan BMT) memeperoleh keuntungan rata-rata 22 % (Tabel 3). Menarik untuk diperhatikan, kredit program yang dikeluarkan pemerintah dengan metode revolving fund ternyata mengalami penurunan yang cukup drastis dari tahun ke tahun. Hal ini merupakan tipikal kredit yang dikeluarkan pemerintah, umumnya memiliki performance yang sangat bagus pada awal program, kemudian menurun dan akhirnya menghilang. Hal ini disebabkan karena adanya moral hazard yang mempengaruhi kinerja kredit program, terlebih bila peminjam tahu bahwa hal ini merupakan bantuan hibah. 30
Tabel 3 Rasio profit dari kredit portofolio lembaga keuangan mikro non-bank 2000-2002
Sumber : The Asia Foundation 2003 Pengembangan KSP dan LKM ke depan harus diarahkan untuk menjadikan KSP dan LKM sehat, kuat, merata dan mampu menyediakan kebutuhan pembiayaan usaha mikro dan kecil agar mampu menghadapi tantangan untuk melaksanakan otonomi daerah.
Pengendalian dan pembinaan/fasilitasi,
serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan manajemen), meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pengelola KSP/ USP-LKM melalui diklat terusmenerus sangat diperlukan. Demikian pula pengembangan kemampuan layanan bagi anggota, meningkatkan jumlah produk keuangan yang didukung dengan pengembangan jejaring. 2.6
Perkembangan dan Model Keuangan Mikro di Indonesia Indonesia memiliki satu abad sejarah panjang dalam keuangan mikro
dihitung dari masa penjajahan belanda di akhir abad ke 19. Saat ini, terdapat berbagai bentuk formal, semi formal dan informal dari lembaga keuangan bercampur dengan program subsidi pemerintah yang berhubungan dengan pembangunan sektor dan penurunan kemiskinan. Terbentuknya lembaga-lembaga dan program-program tersebut telah membuat peran LSM di dalam keuangan mikro semakin tidak nyata dibanding negara lain di dunia. 2.6.1 Perkembangan lembaga keuangan mikro Pendekatan pemerintah untuk membangun keuangan di perdesaan berjalan di dua sisi. Di satu sisi, sejak tahun 1970 pemerintah secara aktif campur tangan dalam menentukan pasar keuangan dengan menciptakan berbagai program pinjaman 31
dengan persyaratan yang telah diatur untuk setiap kebutuhan yang terlihat penting. Hal ini dimulai dengan Bimas (Program Bimbingan Masyarakat), sebuah program intensifikasi padi, dimana komponen kredit dimulai Tahun 1972, dikuti dengan program intensifikasi untuk komoditi lain dan juga berbagai sektor pertanian terkait.
Untuk mendukung pengembangan usaha skala kecil, pemerintah
menyediakan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) sejak Tahun1977 melalui bank-bank komersial. Untuk golongan usaha kecil, Kredit Candak Kulak telah disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD), sebagian besar dialokasikan untuk perdagangan skala kecil, sementara untuk kegiatan selain pertanian Kredit Mini dan Kredit Midi tersedia di BRI unit desa. Semua sistem ini disubsidi, dengan menerapkan suku bunga dibawah rata-rata pasar, kebanyakan sekitar 12%, dan didanai oleh pemerintah atau Bank Indonesia dengan bunga 3% per tahun.
Pada era ini, sebuah kantor cabang BRI memiliki
126 program kredit dengan kondisi dan persyaratan dan pelaporan berbeda (Chaves dan Vega, 1993). Walaupun peraturan perbankan pada Tahun 1996 telah mengurangi
subsidi
hanya
untuk
beberapa
program
yang
mendukung
pengembangan koperasi, menjaga stok pangan dan swasembada pangan serta pengembangan wilayah Indonesia timur, tekanan terhadap penyediaan program bantuan pinjaman tetap berlangsung, terutama untuk alasan politik. Besarnya jumlah hutang-hutang bermasalah dan penyalahgunaan dana selama periode Bimas Tahun 1973-1983 telah terulang kembali oleh penggantinnya yaitu Kredit Usaha Tani (KUT), dan mencapai puncaknya pada Tahun 1998 ketika seorang menteri diduga melakukan pencairan dana KUT dengan sengaja untuk kepentingan perolehan suara partai barunya selama masa kampanye pemilihan umum. Dua program besar terakhir yang diperkenalkan adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT) antara Tahun 1993-1996, dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (PKS) pada Tahun 1996-1997. IDT menyalurkan dana bergulir sebesar Rp. 20 juta setiap tahun untuk setiap desa melalui pokmas (kelompok masyarakat) untuk mendanai kegiatan-kegiatan ekonomi produktif.
Pokmas bebas menentukan
kondisi-kondisi penyaluran dana ke anggotanya. Pada tahun 1997 sekitar 120.000 pokmas telah terbentuk dan sekitar tiga juta rumah tangga telah menerima dana 32
dengan besar rata-rata Rp. 200.000. PKS dilaksanakan oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), didanai oleh mobilisasi pungutan sebesar 2% dari pendapatan-pendapatan yang lebih dari Rp 100 juta dan dikelola oleh sebuah yayasan dibentuk pada era Orde Baru. Setiap penerima bantuan, dimana perempuan diklasifikasikan kedalam keluarga yang kurang makmur, mendapatkan hibah sebesar Rp 2.000 untuk memulai dan mengisi sebuah rekening penyimpanan, dan dinamai pinjaman Kukesra setelah dana yang terkumpul sebesar Rp. 25.000.
Pada tahun pertama implementasi saja program PKS
menyatakan telah mencapai 9,8 juta kepala keluarga pada 1997. Program yang terbaru adalah JPS (Jaring Pengaman Sosial) untuk mengurangi dampak dari krisis moneter pada Tahun 1997-1999, yang telah mendapatkan kritikan dan terjadi demonstrasi mahasiswa sehubungan dengan salah penggalokasian (missallocation) dana di berbagai lokasi. Di sisi lainnya, juga dimulai pada awal Tahun 1970-an, pemerintah pusat dan beberapa pemerintah provinsi telah mengunakan dana bantuan luar negeri, hibah dan subsidi untuk membentuk Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan (LDKP) di sepuluh (10) provinsi yang kemudian menjadi sebuah komponen dari Proyek Pembangunan Daerah Provinsi (Provincial Area Development Project PADP) di Tahun 1997–1982.
Proyek selanjutnya yaitu Pembangunan
Kelembagaan Keuangan (Financial Institutions Development) pada Tahun 1985 – 1993 bertujuan untuk menguatkan kapasitas LDKP dan BRI unit desa. Reformasi perbankan pada Tahun 1988 telah membuka peluang untuk membentuk bankbank swasta baru dan Bank Pekreditan Rakyat (BPR), yang menjamur di daerah perdesaan dan perkotaan. Dalam
pengembangan
koperasi,
pemerintahan
Orde
Baru
telah
menjadikan KUD sebagai satu-satunya koperasi di setiap kecamatan, dan mengharuskan koperasi-koperasi lain untuk bergabung dalam sistem KUD tersebut. Pada masa pemerintahan Habibie yang singkat, peraturan tersebut telah dicabut dan mengakui semua bentuk koperasi yang ada di masyarakat. BRI Unit sebagai bagian dari BRI, yang merupakan sebuah bank komersial, peraturan mengikuti UU perbankan dan mendapatkan pengawasan dari Bank Indonesia, sama halnya dengan BPR sebagai bank formal di perdesaan. 33
Untuk BKD, sejak terdaftar menjadi BPR, pengawasan secara formal dilakukan oleh Bank Indonesia.
Namun, karena kurangnya pegawai dan menimbang
pengalaman panjang BRI dalam mensupervisi cabang-cabangnya, Bank Indonesia telah mendelegasikan tugasnya kepada BRI untuk mendampingi dengan dukungan keuangan penuh. Pegadaian diatur sebagai satu kesatuan dengan pemerintah dan berada dibawah supervisi Menteri Keuangan. Koperasi dan unit simpan pinjam diatur dibawah peraturan koperasi dan berada dibawah supervisi Menteri Koperasi dan Pengembangan Usaha Kecil-Menengah. 2.6.2 Model-model lembaga keuangan mikro di Indonesia Pengentasan kemiskinan melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan salah satu usaha yang di tempuh pemerintah. Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia menerapkan berbagai sistem dalam usaha memperdayakan masyarakat. Sistem yang diterapkan memepunyai keunggulan masing-masing dalam rangka membantu pengentasan kemiskinan. Model LKM yang diterapkan seperti model BRI unit, model Grameen Bank, model BPR, model Syariah dan model Koperasi. 2.6.2.1. Model BRI Unit Model berikut sistemnya dari BRI unit desa mulai diperkenalkan sejak tahun 1973, setelah melalui sebuah tahapan percobaan sejak tahun 1969, untuk memperluas komponen kredit program intensifikasi padi (BIMAS). Terlepas dari asumsi 75% resiko kredit, pemerintah membayar BRI dalam bentuk subsidi. Bunga diturunkan menjadi 12% per tahun atau dibawah tingkat inflasi yang berkisar antara 19%-40% di tahun 1973-1976. Pendanaan melalui pencarian kredit dari Bank Indonesia dengan bunga hanya 3% per tahun. Dalam satu dekade (1973-1983), sejumlah 3.600 BRI unit desa terbentuk di seluruh Indonesia, berfungsi sebagian besar sebagai lembaga perantara penyalur dana untuk Bimas. Prosedur-prosedur normal perbankan seperti analisis pinjaman individu diabaikan. BRI unit desa memiliki keleluasaan untuk mengkaji dan menyetujui pinjaman. Hal ini terkait dengan target pinjaman yang harus dicapai. Akibatnya, seluruh BRI unit desa terus mengalami kerugian hingga dinaikkannya suku bunga hingga melebihi 50% di awal 1980-an.
34
Sistem unit ini kemudian mendapatkan tugas lain untuk melaksanakan Kredit Mini di tahun 1974 dan Kredit Midi tahun 1980 secara langsung kepada usaha mikro dan kecil di daerah pedesaan. Bunga pinjaman dan pendanaan juga mendapatkan subsidi, tetapi kedua program tersebut mengikuti prosedur normal perbankan untuk analisis pinjaman dan pengawasan pelanggaran. Volume pinjaman dari dua skema pinjaman tersebut tumbuh dengan cepat dan kualitas pinjaman juga dinilai tinggi. Kemudian di Tahun 1976, BRI unit desa memulai Tabanas, sebuah program menabung nasional yang disponsori oleh Bank Indonesia, yang menawarkan bunga tabungan sampai 15%. Bunga simpanan ini lebih tinggi dari bunga pinjaman sebesar 12%, sehingga memberikan penyebaran yang negatif dan tidak ada memberikan keuntungan bagi mereka. Pada 1984, unit memperkenalkan Kupedes (Kredit Usaha Perdesaan) sebagai program utamanya. Kupedes didesain untuk memenuhi kebutuhan yang belum tercapai, diusulkan dari studi lapang dan pengalaman selama masa pelaksanaan Kredit Mini dan Kredit Midi.
Merupakan suatu kejelasan bahwa
akses yang cepat dan lokasi yang tepat merupakan faktor penting bagi nasabah. Untuk menjawab kenyataan ini, prosedur Kupedes didesain sesederhana mungkin, dan merelokasi unit-unit yang sebelumnya terletak dekat dengan pusat produksi padi ke pusat perekonomian di kecamatan. Segera setelah program Kupedes diperkenalkan, proyek percontohan untuk mobilisasi simpanan dimulai. Pelaksanaan Simpedes (Simpanan Perdesaan) secara nasional sebagai instrumen menabung di unit-unit BRI dimulai Tahun 1986. Semenjak diterapkannya Simpedes sebagai instrumen tabungan, maka dalam jangka dua tahun telah mengalami breakeven point dan pada tahun 1987 telah bebas dari subsidi pemerintah (Robinson, 2001) Perubahan sistem unit BRI ke pendekatan komersial tahun 1984 berdasarkan beberapa prinsip yang merupakan hasil pembelajaran dari pelaksanaan Bimas, yang dianggap gagal dalam pengembalian kredit massal tersebut (Maurer, 1999). Seperti halnya BancoSol di Bolivia dan Grameen Bank di Bangladesh, BRI Unit merupakan LKM yang telah mandiri (self sufficient). Perbedaan prinsip antara BRI Unit dengan dua bank tersebut adalah Unit tidak memberikan kredit
35
dalam bentuk kelompok, demikian pula collateral masih merupakan pertimbangan utama dalam pemberian kredit di BRI Unit (Morduch, 1999).
2.6.2.2. Model Grameen Bank Model Grameen Bank merupakan salah satu sistem pemberian kredit kepada orang-orang termiskin di daerah pedesaan. Model ini didasarkan pada fenomena sosial bahwa kelompok masyarakat miskin perlu diberdayakan melalui kemudahan akses terhadap permodalan usaha ekonomi produktif. Kendala mendasar bagi kelompok tersebut dalam mengakses lembaga pembiayaan formal adalah masalah jaminan kredit. Semua transaksi dengan bank harus didukung dengan dokumen yang tertulis. Syarat tersebut merupakan kendala bagi kelompok miskin yang mayoritas buta huruf. Karena tidak dapat memperoleh pinjaman dari perbankan atau lembaga keuangan lainnya, maka orang-orang miskin terpaksa meminjam kepada para pelepas uang dengan bunga yang sangat tinggi. Inilah yang menyebabkan mereka tetap atau makin bertambah miskin. Grameen Bank resmi sebagai lembaga pembiayaan formal (bank) pada September tahun 1983, Grameen Bank pada awalnya merupakan suatu proyek (Grameen Project) yang dipelopori oleh Profesor Muhammad Yunus di Bangladesh dengan tujuan: (1) memperluas fasilitas perbankan bagi orang-orang miskin baik pria maupun wanita, (2) menghapus eksploitasi dari para pelepas uang, (3) menciptakan kesempatan untuk membuka lapangan kerja untuk memanfaatkan sumberdaya manusia yang kurang atau belum dimanfaatkan sepenuhnya, (4) menghimpun masyarakat yang kurang beruntung didalam suatu bentuk organisasi yang dapat mereka mengerti dan jalankan, sehingga mereka dapat menemukan kekuatan sosial politik dan ekonomi dengan bekerja sama, dan (5) memotong lingkaran setan yaitu: pendapatan rendah, investasi rendah; menjadikannya: pertambahan kredit, pertambahan investasi dan pertambahan pendapatan. Grameen Bank merupakan bank untuk orang-orang yang termiskin di daerah perdesaan Bangladesh karenanya bank tidak berlokasi dan beroperasi di kota-kota untuk mencegah urbanisasi. Cara kerjanya adalah sebagai berikut (Hashemi and Morshed, 1997): (1) para petugas Grameen Bank keluar masuk 36
kampung (desa) untuk menjelaskan mengenai bank tersebut dan cara operasinya, (2) peminjam potensial harus menggabungkan diri atau membentuk kelompok dengan 5 orang peminjam potensial lainnya yang kedudukan sosial ekonominya sama, (3) beberapa kelompok biasanya 5 atau 6 kelompok, membentuk satu pusat dan untuk itu dipilih seorang ketua dan seorang wakil ketua pusat tersebut, (4) kelompok yang terbentuk harus mengikuti latihan mengenai falsafah dan prinsip-prinsip
operasional
dari
Grameen
Bank
serta
harus
mengerti
kewajiban-kewajibannya sebelum mereka dapat diterima sebagai anggota dan mendapat pinjaman dari bank, (5) dua orang anggota pertama di dalam kelompok menerima pinjaman dan kemudian mulai membayar angsuran mingguan dan pinjamannya itu, (6) setiap peminjam harus menabung 1 taka (mata uang Bangladesh) dalam dana kelompok dan lima persen "pajak" kelompok atas pinjaman mereka dimasukan pula ke dalam dana kelompok, (7) setiap peminjam. juga membayar sejumlah uang yang besamya 25 persen dari bunga pinjamannya ke dalam dana darurat yang akan dipakai, terutama sebagai penangkal terhadap musibah yang mungkin dialami oleh kelompok, melunasi hutang dan menyantuni keluarganya apabila ada anggota yang meninggal, (8) bunga sebesar 16 persen akan ditarik menjelang akhir masa angsuran pinjaman, dan (9) semua transaksi Grameen Bank dengan anggota kelompok dilaksanakan pada waktu rapat mingguan dari pusat. Petugas Grameen Bank menghadiri rapat tersebut untuk menagih angsuran pinjaman dan menghimpun dana kelompok dan dana darurat untuk disimpan di Bank. Semua usulan pinjaman dibahas pula dengan petugas bank pada rapat kelompok. Beberapa pembaruan penting dari program Grameen Bank dalam pemberian pinjaman itu di antaranya adalah: (1) hanya orang-orang yang sangat miskin (yang diukur menurut nilai kekayaan) dapat memperoleh pinjaman dari bank, (2) tidak diperlukan adanya jaminan untuk pinjaman dari bank tersebut, (3) transaksi pinjaman dilaksanakan di lapangan dengan prosedur yang sangat sederhana, (3) angsuran pinjaman dibayar secara mingguan yang dilakukan selama satu tahun, dan (4) pinjaman diberikan kepada peminjam yang telah membentuk kelompok yang terdiri dari 5 orang. Pinjaman baru dapat diberikan sesudah diadakan rapat, walaupun belum semua anggota kelompok melunasi pinjamannya. 37
Dalam melaksanakan kegiatannya Grameen Bank tidak berdasarkan pada kedermawanan (filantropi) atau belas kasihan. Hubungan antara lembaga dengan nasabahnya benar-benar berdasarkan hubungan yang bersifat komersial. Bank menetapkan suku bunga yang kurang lebih sama dengan bank-bank lainnya. Pinjaman tanpa jaminan diberikan dengan pengelompokan nasabah dan penanaman disiplin yang ketat disertai pengarahan untuk menggalang persatuan dan solidaritas dikalangan nasabah serta memberi motivasi untuk bekerja keras. Model Grameen Bank adalah tepat bagi peminjam dalam bentuk kelompok yang melibatkan tenaga volunteers lokal sebagai ujung tombak , terbukti memiliki tingkat pengembalian yang sangat tinggi dan perkembangan yang cukup pesat. Pada saat ini (2004) telah memiliki 1.195 cabang, cakupan wilayah kerja tersebar di 43.681 desa dengan jumlah peminjam mencapai 3,12 juta jiwa, dimana 95 % adalah kaum perempuan (Yunus, 2004).
2.6.2.3. Model syariah Pengalaman krisis moneter menunjukkan bank syariah berkinerja lebih baik dibandingkan dengan bank konvensional. Terlihat dari relatif lebih rendahnya kredit macet (non performing loan) pada bank syariah dan tidak terjadinya negative spread dalam kegiatan operasionalnya. Hal ini bisa terjadi karena tingkat pengembalian pada bank syariah tidak mengacu pada tingkat suku bunga (Sumodiningrat, 2003b). Keberadaan bank syariah yang berbasiskan pada fondasi islam merupakan suatu sistem pendanaan yang berbasis pada kaidah islam, sebagai jawaban atas dominasi sistem kapitalis yang berbasis pada riba yang saat ini dirasakan menimbulkan jurang pemisah yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin, ketidakstabilan, kerusakan lingkungan dan eksploitasi tanpa batas (Setijawan dan Siregar, 2003). Produk-produk yang ditawarkan adalah: pembiayaan Al-Mudharabah, Al-Musyarakah, At-Murabahah, Al-Bai Bitsaman Ajil, Al-Ijarah, dan Baiu Takjiri. Secara rinci produk-produk syariah tersebut adalah seperti berikut.
38
Pembiayaan Mudharabah.
At-Mudharabah adalah suatu perjanjian
usaha antara pemilik modal dengan pengusaha, yang pihak pemilik modal menyediakan seluruh dana yang diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan atas usaha. Hasil usaha bersama ini dibagi sesuai dengan kesepakatan pada waktu akad pembiayaan ditandatangani yang dituangkan dalam bentuk nisbah misalnya 70:30; 65:35;. Apabila terjadi kerugian dan kerugian tersebut merupakan konsekuensi bisnis, maka pihak penyedia dana akan menanggung kerugian manakala pengusaha akan menanggung kerugian, managerial skill dan waktu serta kehilangan nisbah keuntungan bagi hasil yang akan diperolehnya. Prosedur bagi hasil usaha pembiayaan Al-Mudharabah, yaitu: (1) bank menyediakan 100% pembiayaan suatu proyek usaha, (2) pengusaha mengelola proyek usaha tanpa campur tangan bank namun bank mempunyai hak untuk tidak lanjut dan pengawasan, (3) bank dan pengusaha sepakat melalui negoisasi tentang porsi bagian untung masing-masing, (4) apabila terjadi kerugian bank akan menangguhg kerugian sebesar pembiayaan yang disediakan sedang pengusaha menanggung kerugian tenaga, waktu, manegerial skill, serta kehilangan nisbah keuntungan bagi hasil yang akan diperolehnya. Pembiayaan Al-Musyarakah. Al-Musyarakah adalah suatu pedanjian usaha antara dua atau beberapa pemillik modal untuk menyerahkan modalnya pada suatu proyek, dimana masing-masing pihak mempunyai hak untuk ikut serta, mewakilkan, atau menggugurkan haknya dalam manajemen proyek. Keuntungan dari hasil usaha bersama ini dapat dibagikan baik menurut proporsi penyertaan modal masing-masing maupun sesuai dengan kesepakatan bersama. Apabila rugi kewajiban hanya terbatas sampai batas modal masing-masing. Prosedur bagi hasil usaha Al-Musyarakah, sebagai berikut: (1) bank dapat memberikan fasilitas pembiayaan
suatu
proyek
yang
dianggap
layak
berdasarkan
prinsip
Al-Musyarakah (project financing participation), (2) dalam prosedur pembiayaan ini bank dengan nasabah atau nasabah-nasabahnya menyetujui untuk memberikan kontribusi pembiayaan sesuai dengan proporsi yang telah disepakati bersama, (3) semua pihak termasuk bank mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam manajemen perusahaan. dan semua pihak berhak untuk menggugurkan hak tersebut, (4) semua pihak melalui suatu negosiasi menyetujui nisbah pembiayaan 39
keuntungan usaha. Besamya nisbah pembagian keuntungan ini tidak semestinya harus sesuai dengan besamya penyertaan modal masing-masing, dan (5) seandainya terjadi kerugian dalam usaha maka masing-masing tidak bertanggung jawab kecuali sebatas besar penyertaan modalnya. Investasi bagi hasil At-Mudharabah dan Al-Musyarakah tidak termasuk pengertian penyertaan modal yang dilarang dilakukan lembaga perbankan karena investasi bagi hasil Al-Mudharabah dan Al-Musyarakah yang dilakukan bank Islam bukan merupakan penyertaan dalam bentuk saham, tetapi dalam bentuk pembiayaan yang berjangka waktu pendek (short term financing). Pembiayaan Perdagangan Al-Murabahah. Pembiayaan Al-Murabahah adalah pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi. Pembiayaan Al-Murabahah mirip dengan Kredit Modal Kerja yang biasa diberikan oleh bank-bank konvensional, dan karenanya pembiayaan Al-Murabahah berjangka waktu di bawah satu tahun (short run financing). Prosedur pembiayaan perdagangan Al-Murabahah, sebagai berikut: (1) mula-mula bank membelikan atau menunjuk nasabah sebagai agen bank untuk membeli barang Yang diperlukannya atas nama bank dan menyelesaikan pembayaran harga barang dari biaya bank, (2) bank seketika. itu juga menjual barang tersebut kepada nasabah pada tingkat harga yang disetujui bersama yang merupakan harga pembelian ditambah mark-up atau margin keuntungan untuk dibayar dalam jangka waktu Yang telah disetujui bersama, dan (3) pada waktu jatuh tempo, nasabah membayar harga jual barang yang telah disetujui tersebut kepada Bank. Pembiayaan Perdagangan AI-Bai Bitsaman Ajil. Al-Bai Bitsaman Ajil artinya pembelian barang dengan pembayaran cicilan. Pembiayaan Al-Bai Bitsaman Ajil adalah pembiayaan yang diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan barang modal (investasi). Pembiayaan Al-Bai Bitsaman Ajil mirip dengan Kredit Investasi yang diberikan oleh bank-bank konvensional dan karenanya pembiayaan ini berjangka waktu di atas satu tahun (long run financing). 40
Prosedur Pembiayaan Perdagangan Al-Bai Bitsaman Ajil, yaitu: (1) bank mengangkat nasabah sebagai agen bank, (2) nasabah dalam kapasitasnya sebagai agen bank, melakukan pembelian barang modal atas nama bank, (3) bank menjual barang modal tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan bank (mark up), dan (4) nasabah membeli barang modal tersebut dan pembayarannya ditakukan secara mencicil untuk jangka waktu yang telah disetujui bersama (Setijawan dan Siregar, 2003). Pembiayaan Pengadaan Barang Atas Dasar Baiu Takjiri & Al-Ijarah. Baiu Takjiri (sewa beli) adalah suatu kontrak sewa menyewa yang diakhiri dengan penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga sebagian dari padanya merupakan pembelian terhadap barang secara berangsur. Prosedur Pembiayaan Pengadaan Barang Atas Dasar Baiu Takjiri dan AlIjarah, sebagai berikut: (1) mula-mula bank membeli aset yang dibutuhkan oleh nasabah, (2) pada saat itu juga bank menyewakan aset tersebut kepada nasabah untuk jangka waktu tertentu dan pada akhir pembayaran sewa nasabah dapat memiliki aset tersebut, dan (3) tarif sewa dan persyaratan lainnya harus telah disepakati terlebih dahulu oleh kedua belah pihak. Perbedaan antara Pembiayaan Pengadaan Barang Al-Murabahah dan Al-Bai Bitsaman Ajil dengan pembiayaan pengadaan barang atas dasar leasing Al-Ijarah dan hire purchase (baiu takjiri) adalah (1) pada pembiayaan pengadaan barang Al-Murabahah dan At-Bai Bitsaman Ajil hak tanda kepemilikan (titles) beralih seketika dari pemasok ke bank dan dari bank ke nasabah, (2) pada pembiayaan pengadaan barang leasing (Al-Ijarah) hak tanda kepemilikan masih tetap pada bank atau penyedia dana sampai dijual kepada nasabah setelah habis masa kontrak, dan (3) pada pembiayaan pengadaan barang baiu takjiri hak tanda kepemilikan masih tetap pada bank atau penyedia dana sampai habis; masa kontrak, setelah itu beralih kepada nasabah. Perbedaan pembiayaan pengadaan barang yang dilakukan oleh bank konvensional dengan yang dilakukan oleh bank Islam adalah (1) pada pembiayaan perdagangan atau. pembiayaan pengadaan barang yang dilakukan bank 41
konvensional, yang menjadi pinjaman atau hutang terdiri dari hutang pokok yaitu harga dari barang dan hutang bunga yaitu biaya (dalam bentuk prosentase per tahun) yang dikenakan kepada nasabah secara tetap selama hutang pokok belum lunas, dan (2) pada pembiayaan perdagangan atau pembiayaan pengadaan barang yang dilakukan bank Islam, yang menjadi pinjaman atau hutang adalah harga baru. barang yang telah disepakati bersama antara bank dengan nasabahnya. Dengan adanya harga baru ini tidak ada lagi pemisahan antara pokok dan margin keuntungan tetapi semuanya sudah menjadi entity yakni harga jual yang fidak berubah dengan berubahnya waktu atau. turun naik suku bunga di pasar. Harga baru barang inilah yang harus dilunasi pada waktu jatuh tempo (Al-Murabahah) atau dicicil sampai lunas (Al-Bai Bitsaman Ajil). Pembiayaan Al-Qardhul Hasan.
Al-Qardhul Hasan adalah suatu
pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata dimana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman. Prosedur Pembiayaan Al-Qardhul Hasan diberikan kepada: (1) mereka yang memerlukan pinjaman konsumtif jangka pendek untuk tujuan-tujuan yang sangat urgen, dan (2) para pengusaha kecil yang kekurangan dana tetapi mempunyai prospek bisnis yang sangat baik. At-Qardhul Hasan merupakan pinjaman lunak tanpa bunga atau margin keuntungan sebesar apapun dari pokok. Bank tidak mendapat keuntungan apapun dari pembiayaan ini. Oleh karena itu dana untuk fasilitas ini diambil dari dana Badan Amil Zakat Infaq & Shadaqoh (BAZIS). Dalam menjalankan usahanya Bank Islam diawasi oleh suatu dewan yang dinamakan Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini dibentuk untuk mengawasi jalannya bank Islam sehingga senantiasa sesuai dengan prinsip Muamalah dalam Islam. Tugas Dewan Pengawas Syariah adalah untuk mendiskusikan masalahmasalah dan transaksi bisnis yang dihadapkan
kepadanya
sehingga
dapat
ditetapkan
kesesuaian
atau
ketidaksesuaiannya dengan Syariah Islam. Disamping itu untuk menjamin operasi bank Islam tidak menyimpang dari tuntutan syariah, maka pada setiap bank Islam hanya diangkat manager dan pimpinan bank yang sedikit banyak menguasai prinsip muamalah Islam (Setijawan dan Siregar, 2003).
42
2.6.2.4. Model koperasi Dalam konteks ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi (Sasono, 1999), kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya di bawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat sendiri (Mubyarto, 1994). Prinsip demokrasi ekonomi tersebut hanya dapat diimplementasikan dalam wadah koperasi yang berasaskan kekeluargaan. Menurut pengertian yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, Koperasi adalah Badan Usaha, sehingga Koperasi pada hakekatnya dipandang oleh Undang-Undang sebagai suatu perusahaan. Ia merupakan organisasi yang dibentuk oleh anggota-anggotanya untuk melakukan kegiatan usaha dan menunjang kepentingan ekonomi anggotanya. Konsekuensinya, dalam kedudukannya sebagai badan usaha, Koperasi akan bergaul dan berinteraksi dalam masyarakat bisnis, sehingga perlu memahami kaidah umum yang berlaku dalam dunia bisnis. Sementara itu, pada rumusan tentang jati diri Koperasi menurut International Cooperatives Alliance (ICA) di Manchester, Inggris, tahun 1995, dinyatakan bahwa Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasiaspirasi ekonomi, sosial budaya bersama melalui perusahaan yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis. Jadi, selain mempunyai motif ekonomi, maka Koperasi punya motif sosial dan budaya. Lembaga Koperasi telah ada di bumi Indonesia sejak 1896, yaitu dengan berdirinya sebuah Koperasi Kredit di Jawa Tengah. Selanjutnya tahun 1910 terbentuk Koperasi Konsumsi yang dipelopori oleh Budi Utomo, dan KoperasiKoperasi lainnya yang saat itu bermunculan secara sporadis yang dipelopori oleh berbagai kelompok masyarakat dengan berbagai kepentingan sosial dan ekonominya.
Saat Indonesia merdeka, Koperasi mendapat tempat terhormat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada pasal 33 yang menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia dibangun atas dasar kekeluargaan dan usaha bersama, dan dalam penjelasannya disebutkan bahwa “Koperasi” merupakan lembaga ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut di atas. Koperasi di 43
Indonesia didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas azas kekeluargaan (Soetrisno, 2003a). Tumbuh kembangnya Koperasi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan nama Bung Hatta. Semangat dan kepeloporannya dalam meyakinkan masyarakat dan bangsa bahwa Koperasi merupakan lembaga ekonomi yang sesuai dengan karakter dan kultur Indonesia, menjadikan Koperasi sebagai suatu gerakan ekonomi nasional, dan mengakibatkan berkembang pesatnya Koperasi di tanah air. Ada dua momentum penting dari perkembangan Koperasi Indonesia. Pertama pada awal 1970-an, dimana pemerintah menciptakan program nasional Badan Usaha Unit Desa (BUUD) yang kemudian disebut Koperasi Unit Desa (KUD). Meskipun terjadi pro dan kontra terhadap keberadaan, aktivitas maupun kinerjanya, jumlah KUD berkembang pesat di tanah air, dan menjadi milestone perkembangan gerakan koperasi Indonesia. Momentum penting lainnya adalah dikeluarkannya Inpres 18 tahun 1998 yang intinya menderegulasi pendirian/ pembentukan Koperasi baru. Kebijakan ini telah mengakibatkan tumbuhnya koperasi dua kali lipat dalam kurun waktu hanya 3 tahun. Kalau pada akhir 1997 jumlah koperasi mencapai 49 ribu unit, pada akhir 2001 jumlahnya mencapai angka 103 ribu unit. Pengalaman di Indonesia lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi regulatory dan development secara sekaligus (Shankar and Conan, 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu: (1) program pembangunan secara sektoral, (2) lembaga-lembaga pemerintah; dan (3) perusahaan baik milik negara maupun swasta. Sebagai
44
akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya. Selama ini koperasi dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. KUD sebagai koperasi program yang didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan seperti yang selama Pembangunan Jangka Panjang I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan bea pemerintah, Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh). Sampai dengan tahun 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103 ribu unit lebih, dengan jumlah keanggota ada sebanyak 26 juta orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi tahun 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif tahun 2001, sebanyak 96.180 unit (88.14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil (mikro). Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 5560 persen dari keseluruhan aset koperasi dan dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi. Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 – 2001, 45
pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/ lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi. Meskipun koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dahulu sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan peternakan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Sehingga terlahir koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain. Dua jenis koperasi yang tumbuh dari bawah dan jumlahnya terbatas ketika itu adalah koperasi peternakan sapi perah dan koperasi tebu rakyat. Kedua-duanya mempunyai ciri yang sama yaitu menghadapi pembeli tunggal pabrik gula dan konsumen kota. Pada sub sektor pertanian tanaman pangan yang pernah diberi nama “pertanian rakyat” praktis menjadi instrumen untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk mencapai swasembada beras. Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru dengan mengaitkan dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat ketat dengan Departemen Pertanian seperti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian terutama pupuk, membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian. KUD sebagai koperasi berbasis wilayah jumlahnya hanya 8.620 unit dan pendiriannya memang tidak terlalu luas (Menegkop dan UKM, 2004). Hingga menjelang dicabutnya Inpres 4/1984 KUD hanya mewakili 25% dari jumlah koperasi yang ada ketika itu, namun dalam hal bisnis mereka mewakili sekitar 46
43% dari seluruh volume bisnis koperasi di Indonesia. KUD meskipun bukan koperasi pertanian namun secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi berbasis pertanian juga sangat menonjol. Diantara koperasi yang ada di Indonesia yang jumlahnya pada tahun 2001 lebih dari 103 ribu unit, KUD termasuk yang mempunyai jumlah KUD aktif tertinggi yaitu 92% atau sebanyak 7.931 unit KUD pada saat ini tidak berbeda dengan koperasi lainnya dan tidak memperoleh privilege khusus, tidak terikat dengan wajib ikut program sektoral, sehingga pada dasarnya sudah menjadi koperasi otonomi yang memiliki rata-rata anggota terbesar. Pada tahun 2004 jumlah koperasi sudah mencapai 116 ribu (Menekop dan UKM, 2004). Problematika sektor pertanian di Indonesia yang akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian dimasa depan adalah issue kesejahteraan petani, peningkatan produksi dalam suasana desentralisasi dan perdagangan bebas. Bukti empiris di dunia Mengungkapkan bahwa pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara dengan sektor lainnya dalam suasana perdagangan bebas. Perkembangan koperasi pertanian ke depan digambarkan sebagai “restrukturisasi” koperasi yang ada dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam sebagai ciri umum. Pada saat ini saja hampir di semua KUD, unit simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup Koperasi. Sementara kegiatan pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil menjadi sangat selektif. Hal ini terkait dengan struktur pertanian dan pasar produk pertanian yang semakin kompetitif, termasuk jasa pendukung pertanian (jasa penggilingan dan pelayanan lainnya) yang membatasi insentif berkoperasi. Koperasi Nelayan karena kekuatan utamanya terletak pada kekuatan monopoli penguasaan pendaratan dan lelang oleh pemerintah, akan sangat di tentukan oleh policy daerah hak itu. Pemerintah daerah juga potensial untuk melahirkan pesaing baru dengan membangun pendaratan baru. Dengan pengorganisasian atas dasar kesamaan tempat pendaratan pada dasarnya 47
kekuatannya terletak pada daya tarik tempat pendaratan. Persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari nelayan tangkap menjadi nelayan budidaya, karena hampir sebagian terbesar perairan perikanan pantai sudah di kategorikan overfishing. Fenomena ini juga terjadi di negara seperti Kanada, Korea Selatan dan Eropa dimana koperasi nelayan sedang menghadapi situasi surut. Dari keempat model yang diuraikan, LKM dengan sistem syariah memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan ketiga model LKM lainnya. Fee atas pinjaman atau kredit yang difasilitasi LKM yang mereplikasi model syariah mengacu pada sistem bagi hasil. Sementara itu, fee yang diperoleh LKM yang mereplikasi BRI Unit, Grameen Bank dan LEPP fee dari pinjaman atau fasilitas kredit yang diberikan diperoleh melalui pengenaan atau pembebanan bunga atas pinjaman. Lebih lanjut, LKM dengan pendekatan BRI Unit juga memiliki karakter yang berbeda dibandingkan dengan LKM-LKM yang mereplikasi Grameen Bank dan LEPP. Skim kredit komersial yang merupakan fasilitas pinjaman atau kredit yang diberikan oleh LKM dengan pola BRI Unit secara teoritis sangat sulit untuk dijangkau oleh masyarakat miskin termasuk bagi masyarakat miskin di wilayah pesisir. Pernyataan ini ditunjang oleh suatu hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan oleh BRI Unit kepada masyarakat miskin di pedesaan hanya berkisar 18 % (Robinson, 2001). Oleh karena itu, dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir, tabel 4 di bawah menunjukkan urgensi perlunya penelitian yang mengkaji peran dan fungsi antara LKM yang mereplikasi pendekatan Grameen Bank dengan LKM yang mereplikasi pendekatan LEPP didalam strategi penanganan isu sosial ekonomi tersebut. Pola pembiayaan yang direplikasi dalam kedua pendekatan ini di satu sisi memiliki kesamaan dari kelompok masyarakat target pemanfaat pinjaman atau kredit yaitu kelompok masyarakat miskin. Di sisi lain, LKM dengan model Grameen Bank dan LEPP memiliki perbedaanperbedaan yang cukup signifikan pada aspek jaminan dan skim kredit.
48
Tabel 4 Faktor-faktor pembentuk karakter lembaga keuangan mikro dengan pola BRI Unit, Grameen Bank dan LEPP. No. 1.
Faktor Pembentuk Karakter Nasabah/ pemanfaat kredit/ pinjaman
BRI Unit
Grameen Bank1
LEPP
• Perorangan / individu
• Orang-orang yang sangat miskin • Wanita (97%) • Kelompok dengan anggota 5 orang
• Orang-orang tergolong miskin tetapi masih aktif dalam kegiatan ekonomi • Perorangan/ individu • Koperasi (paduan antara perbankan dan perbankan sosial) Diperlukan jaminan
2.
Sistem ekonomi
• Perbankan
• Perbankan sosial
3.
Jaminan/ agunan Skim kredit/ pinjaman
Diperlukan jaminan Kredit komersial
Dana sosial
Tidak disyaratkan
Tidak diperlukan jaminan • Berbasis pada kondisi sosial ekonomi masyarakat target/ pemanfaat • Transaksi pinjaman dilaksanakan di lapangan – rembug pusat (bank yang mendatangi nasabah) • Prosedur sangat sederhana • Dana kelompok • Dana darurat
4.
5.
Kredit komersial
Dana cadangan
Sumber: 1 http://www.grameen-info.org/bank/GBdifferent.htm
49
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan selama 6 bulan, mulai bulan Juni hingga Desember 2006. Lokasi penelitian adalah beberapa desa di wilayah Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Pasuruan yang merupakan cakupan wilayah kerja dua LKM, yaitu KSU Mikro Mitra Mina yang mereplikasi Grameen Bank (Kabupaten Tangerang) dan KSU LEPP yang mereplikasi Bank Konvensional di Kabupaten Pasuruan (gambar 3 dan 4).
U
Laut Jawa
Tangerang
Lokasi Penelitian
DKI J a k a r ta
PULAU JAWA
Gambar 3. Lokasi Penelitian (Kabupaten Tangerang)
U Selat Madura
Lokasi Penelitian
Pasuruan
PULAU JAWA Gambar 4. Lokasi Penelitian (Kabupaten Pasuruan)
50
3.2 Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah berbagai data dan informasi yang diperoleh langsung dari informan maupun responden di lapangan yang merupakan pengurus dan anggota LKM. Data sekunder adalah berbagai data dan informasi yang diperoleh dari berbagai literatur maupun referensi yang terkait dengan tujuan dan sasaran penelitian. Data sekunder
didapatkan
dari
laporan
dan
penelitian
terdahulu
mengenai
Pengembangan KUKM. Data sekunder didapat dari sejumlah dinas dan instansi pemerintah seperti Kantor Statistik, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kelautan dan Perikanan maupun instansiinstansi penelitian.
3.3 Metode Pengumpulan Data Data tentang aspek kelembagaan dari LKM yang dianalisis (KSU M3 dan LEPP) diperoleh melalui wawancara semi terstruktur dengan informan kunci yang merupakan pengelola masing-masing LKM. Informasi tambahan diperoleh dari para anggota LKM yang dipilih secara acak berdasarkan latar belakang mata pencaharian. Instrumen pengumpulan data dalam hal ini adalah berupa panduan pertanyaan tentang kelembagaan LKM (lampiran 1). Data mengenai kinerja keuangan LKM diperoleh melalui penelusuran laporan keuangan masing-masing lembaga serta wawancara semi terstruktur dengan pengelola LKM untuk mendapatkan gambaran tentang kinerja keuangan yang tertuang didalam laporan keuangan. Data mengenai dampak intermediasi LKM berupa tingkat kesejahteraan diperoleh melalui wawancara terstruktur. Sedangkan data mengenai dampak intermediasi LKM berupa persepsi dan aspirasi diperoleh melalui Focus Group Discussion. Topik didalam FGD adalah hal-hal yang terkait dengan fokus kajian, mencakup: kemudahan memperoleh kredit, waktu penyaluran, kesesuaian jumlah dan bentuk kredit dengan kebutuhan usaha dan suku bunga. Peserta FGD adalah para anggota dari masing-masing LKM yang mewakili keragaman anggota LKM berdasarkan jenis mata pencaharian. Pemilihan peserta dilakukan secara acak di lokasi penelitian. Penggalian data terhadap aspek dampak ini dilengkapi dengan
51
pengamatan langsung terhadap kegiatan usaha responden yang dipandu dengan instrumen berupa daftar obyek pengamatan. Tabel 5
No.
Dimensi, fokus kajian (variabel) serta faktor (parameter) penelitian analisis pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir melalui pengembangan LKM
Dimensi
Fokus Kajian / Variabel
Faktor / Parameter
1. Kelembagaan Kebijakan dan prosedur • Kesesuaian kebijakan dengan syarat LKM replikasi Grameen Bank/LEPP • Kesesuaian prosedur dengan syarat replikasi Grameen Bank/LEPP Pengelolaan Organisasi • Kelengkapan struktur dan uraian pekerjaan jabatan personel pengurus • Kesesuaian kualifikasi SDM pengurus • Pemahaman atas tupoksi jabatan per pengurus Jaringan • Perkembangan jumlah kelompok/nasabah • Perkembangan lapangan usaha • Perkembangan mitra kerja 2. Kinerja Struktur keuangan • Rasio total modal terhadap simpanan Keuangan nasabah/KMP LKM Aktiva produktif • Rasio total pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan yang diberikan Likuiditas • Rasio total pembiayaan terhadap dana (Kemampuan menutupi yang diterima dari anggota (Loan to penarikan simpanan Deposit Ratio) nasabah) Efisiensi • Rasio biaya operasional terhadap jumlah (Kemampuan pendapatan operasional (Operating Profit pengendalian biaya Margin Ratio) - BOPO operasional) Rentabilitas • Rasio laba bersih terhadap total (Kemampuan harta/asset (Return on Assets) menghasilkan • Rasio laba bersih terhadap total modal keuntungan) sendiri (Return on Equity) 3. Dampak Tingkat kesejahteraan • Tingkat pendapatan Intermediasi anggota • Kepemilikan asset LKM • Jumlah tanggungan keluarga • Frekuensi kredit • Total nominal kredit Persepsi masyarakat • Kesesuaian kredit dengan kebutuhan terhadap keberadaan / usaha fungsi Program dan • Suku bunga LKM • Motivasi menabung
52
3.4 Metode Analisis Data Data terkumpul diolah dan dianalisis secara kuantitatif atau kualitatif. Secara rinci, analisis terhadap setiap aspek-aspek tersebut diuraikan sebagai berikut: 3.4.1 Analisis kelembagaan LKM Kehadiran koperasi di perekonomian dunia dilatarbelakangi oleh “gerakan otomatis untuk membela diri” dari suatu kelompok masyarakat terhadap tekanantekanan hidup yang dilakukan oleh kelompok lain dalam masyarakat, baik yang berupa dominasi sosial maupun yang berupa eksploitasi ekonomi, sehingga menimbulkan rasa tidak aman bagi kehidupan mereka (Hendrojogi, 2004). Latar belakang koperasi ini tercermin dari salah satu definisi koperasi yaitu perkumpulan manusia seorang-seorang yang dengan sukanya sendiri hendak bekerja sama untuk memajukan ekonominya (Djojohadikoesoemo, 1941 yang diacu dalam Hendrojogi, 2004). Berdasarkan latar belakang dan definisi tersebut maka analisis kelembagaan koperasi didalam penelitian ini diarahkan pada jawaban atas seberapa jauh aturan main (rules of the game) yang dikembangkan dalam wadah koperasi seperti KSU M3 di Kabupaten Tangerang dan KSU LEPP di Kabupaten Pasuruan dapat hidup dan berjalan di atas realitas sosial masyarakat. Pada saat aturan main yang dikembangkan oleh kedua koperasi dapat diterima oleh kelompok miskin di masyarakat pesisir maka diharapkan kelompok sasaran dari kedua koperasi ini akan dapat keluar dari tekanan sosial ekonomi yang menimpa mereka selama ini. Analisis kelembagaan LKM (KSU) dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu “teknik evaluasi implementasi” (Patton, 2006). Secara prinsip, dengan teknik tersebut dianalisis bagaimana dan pada tingkatan mana aturan main yang berlaku di masing-masing pendekatan (Grameen Bank dan LEPP) diterapkan oleh kedua KSU. Tiga fokus kajian/variabel untuk mendapatkan gambaran tentang dua hal tersebut adalah: (1) Kesesuaian antara kebijakan dan prosedur berdasarkan pendekatan pengelolaan LKM (Grameen Bank dan LEPP) yang ditetapkan dengan yang diterapkan oleh pengelola LKM di lokasi penelitian; (2) Kesesuaian kebutuhan pengelolaan organisasi dibandingkan dengan kelengkapan dan dinamika struktur dan uraian jabatan pengelola LKM, 53
kualifikasi dan pemahaman terhadap uraian jabatan para pengelola LKM. Aspek ini krusial untuk dianalisis mengingat organisasi adalah suatu alat pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya yang strukturnya bersifat relatif permanen tanpa menutup kemungkinan terjadinya regorganisasi apabila hal itu dipandang perlu, baik demi percepatan laju usaha pencapaian tujuan maupun dalam usaha peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktifitas kerja; (3) Ada tidaknya dan atau seberapa jauh pengembangan jaringan usaha LKM. Penambahan jumlah dan jaringan anggota/nasabah maupun jaringan dengan instansi pemerintah maupun non-pemerintah mengindikasikan berkembangnya prinsip kemitraan. Prinsip ini merupakan indikator penting terpenuhi atau tidaknya konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat didalam suatu program pembangunan dengan berbasis pada pengembangan koperasi. Hasil evaluasi dengan teknik analisis kualitatif terhadap parameter-parameter atau faktor penyusun ketiga fokus kajian kelembagaan LKM selanjutnya menjadi landasan nilai kategorik didalam analisis MDS (tabel 6). Tabel 6
No.
Pengkategorian dan nilai kategori untuk masing-masing parameter dalam analisis kelembagaan LKM Parameter
1. Kesesuaian kebijakan dengan syarat
1
Tidak replikasi Sesuai Tidak 2. Kesesuaian prosedur dengan syarat replikasi Sesuai Tidak 3. Kelengkapan struktur dan uraian pekerjaan jabatan personel pengurus Sesuai Tidak 4. Kesesuaian kualifikasi SDM pengurus Sesuai Tidak 5. Pemahaman atas tupoksi jabatan per pengurus Sesuai Tidak 6. Perkembangan jumlah kelompok/nasabah Sesuai Tidak 7. Perkembangan lapangan usaha Sesuai Tidak 8. Perkembangan mitra kerja Sesuai Keterangan: Penentuan selang nilai kategorik didasarkan pada parameter kinerja kelembagaan LKM.
Nilai Kategorik 2 3
4
Kurang Cukup Sesuai Sesuai Sesuai Kurang Cukup Sesuai Sesuai Sesuai Kurang Cukup Sesuai Sesuai Kurang Cukup Sesuai Sesuai Kurang Cukup Sesuai Sesuai Sesuai Kurang Cukup Sesuai Sesuai Kurang Cukup Sesuai Sesuai Kurang Cukup Sesuai Sesuai bobot kepentingan masing-masing
54
3.4.2 Analisis kinerja keuangan LKM Kinerja keuangan LKM adalah cerminan dari hasil kegiatan operasional dan non-operasional LKM yang disajikan dalam bentuk angka-angka keuangan. Hasil analisis kinerja keuangan merupakan informasi bagi manajemen untuk membuat berbagai keputusan di bidang pembiayaan, investasi dan operasi. Dalam hal ini, setiap manajer membutuhkan informasi keuangan untuk membuat program kerja, anggaran dan pengendalian. Untuk itu, analisis kinerja keuangan LKM (KSU M3 dan LEPP) dilakukan dengan melakukan analisis vertikal dan analisis horizontal serta analisis rasio keuangan. 3.4.2.1 Analisis vertikal dan analisis horizontal Analisis vertikal adalah upaya menganalisis laporan keuangan untuk satu periode tertentu dengan cara membanding-bandingkan pos yang satu dengan pos lainnya. Perbandingan tersebut dilakukan dengan menggunakan persentase dimana salah satu pos ditetapkan sebagai patokan 100%. Analisis horizontal adalah perbandingan antar pos-pos laporan keuangan untuk dua periode atau lebih. Tujuan perbandingan ini adalah untuk mengetahui perubahan dan perkembangan masing-masing pos selama jangka waktu tertentu. Sebagai patokan digunakan kondisi satu tahun pertama terhadap tahun-tahun berikutnya. Keterkaitan antara neraca keuangan dan laporan laba rugi diperuntukkan untuk melihat faktor yang dominan mempengaruhi kondisi atau kinerja keuangan masing-masing LKM yang diteliti. 3.4.2.2 Analisis rasio keuangan Dalam penelitian ini analisis rasio keuangan yang digunakan dikelompokkan kedalam lima indikator, masing-masing ditentukan berdasarkan kebutuhan, yaitu: (1) Struktur keuangan Struktur
keuangan
secara
umum
didefinisikan
sebagai
aktiva
perusahaan yang dibiayai dengan kewajiban (jangka pendek dan jangka panjang) dan modal sendiri (Darsono, 2006). Dalam kasus perusahaan pembiayaan, seperti LKM, kewajiban sebagian besar berupa simpanan pihak ketiga yang setiap saat dapat ditarik. Oleh karena itu, agar suatu LKM dapat terjamin kondisi keuangannya maka diperlukan suatu jumlah modal tertentu
55
yang harus dimiliki dan siap dikeluarkan oleh LKM untuk mengantisipasi terjadinya penarikan dana oleh pihak ketiga. Kondisi keuangan LKM akan semakin baik apabila persentase modal sendiri dibandingkan dengan simpanan pihak ketiga semakin besar, begitu pula sebaliknya.
Struktur Keuangan =
∑ Total mod al
∑ Total simpanan pihak ketiga
x 100%
Nilai rasio yang diperoleh akan tergolong “Baik” (nilai 4) jika bernilai >25%, “Cukup Baik” (nilai 3) jika bernilai >15-25%, “Cukup Buruk” (nilai 2) jika bernilai >5-15% dan “Buruk” (nilai 1) jika bernilai <5%.
Nilai
kategorik dari analisis rasio ini akan ditabulasi untuk keperluan analisis MDS. (2) Aktiva Produktif Aktiva produktif mengindikasikan kemampuan pihak pengelola mengoptimalkan aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan pendapatan (Darsono, 2006). Dalam kasus lembaga pembiayaan, seperti LKM, kinerja keuangannya
akan
mengoptimalkan
semakin
aktiva
yang
baik
jika
dimiliki
pihak
dengan
pengelola seminimal
mampu mungkin
menimbulkan pembiayaan bermasalah. Adapun suatu pembiayaan diartikan bermasalah apabila nasabah gagal dalam memenuhi kewajiban untuk membayar angsuran setelah jatuh tempo seperti yang telah disepakati bersama.
Aktiva Produktif =
∑ Total pembiayaan bermasalah x 100% ∑ Total pembiayaan diberikan
Nilai rasio yang diperoleh akan tergolong “Baik” (nilai 4) jika bernilai <3%, “Cukup Baik” (nilai 3) jika bernilai >3-5%, “Cukup Buruk” (nilai 2) jika bernilai >5-10% dan “Buruk” (nilai 1) jika bernilai >10%. Nilai kategorik dari analisis rasio ini akan ditabulasi untuk keperluan analisis MDS. (3) Likuiditas/Loan to Deposit Ratio Likuiditas secara umum didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan (LKM) untuk memenuhi semua kewajibannya yang jatuh tempo (Darsono,
56
2006). menyediakan dana lancar setiap saat diperlukan untuk mengantisipasi penarikan simpanan. Kinerja keuangan LKM dalam hal ini dianalisis berdasarkan nilai rasio total pembiayaan terhadap total kewajiban dalam bentuk modal, simpanan pihak ketiga dan pembiayaan dari pihak lain.
LDR =
∑ Total pembiayaan
∑ [Total mod al + simpanan + pembiayaan pihak lain]
x 100%
Nilai rasio yang diperoleh akan tergolong “Baik” (nilai 4) jika bernilai 81-85%, “Cukup Baik” (nilai 3) jika bernilai 75-80% atau 86-90%, “Cukup Buruk” (nilai 2) jika bernilai 71-74% atau 91-94% dan “Buruk” (nilai 1) jika bernilai <71% atau >94%. Nilai kategorik dari analisis rasio ini akan ditabulasi untuk keperluan analisis MDS. (4) Efisiensi/BOPO Rasio ini digunakan untuk melihat seberapa jauh efisiensi dan efektivitas penggunaan dana didalam menghasilkan pendapatan. Semakin kecil
rasio
menunjukkan
pengelola
LKM
semakin
efisien
dalam
menggunakan dana untuk menghasilkan pendapatan.
BOPO =
∑ Biaya operasional
∑ Pendapa tan operasional
x 100%
Nilai rasio yang diperoleh akan tergolong “Baik” (nilai 4) jika bernilai <60%, “Cukup Baik” (nilai 3) jika bernilai 60-75%, “Cukup Buruk” (nilai 2) jika bernilai >75-90% dan “Buruk” (nilai 1) jika bernilai >90%. Nilai kategorik dari analisis rasio ini akan ditabulasi untuk keperluan analisis MDS. (5) Rentabilitas Return on Asset (ROA) atau disebut juga Return on Investment (ROI) merupakan indikator tingkat pengembalian dari usaha yang dilakukan atas seluruh investasi yang telah dilakukan (Jusuf, 1996). Semakin tinggi nilai rasio ROA berarti semakin baik kinerja pengelola LKM. Sedangkan nilai rasio Return on Equity (ROE) menunjukkan keberhasilan usaha yang dilakukan oleh LKM untuk meningkatkan kekayaan pemberi modal (Jusuf, 57
1996). Rasio ini sangat tepat untuk digunakan karena LKM memiliki karakter modal bersumber dari banyak pihak. Semakin tinggi nilai ROE menunjukkan kinerja LKM yang semakin baik.
∑ Laba tahun berjalan x 100% ∑ Total aktiva ∑ Laba tahun berjalan x 100% ROE = ∑ Total mod al
ROA =
Nilai rasio yang diperoleh akan tergolong “Baik” (nilai 4) jika bernilai >25%, “Cukup Baik” (nilai 3) jika bernilai >15-25%, “Cukup Buruk” (nilai 2) jika bernilai 5-15% dan “Buruk” (nilai 1) jika bernilai <5%. Nilai kategorik dari analisis rasio ini akan ditabulasi untuk keperluan analisis MDS. Disamping
pengkategorian
yang
menunjukkan
kinerja
keuangan
berdasarkan rasio keuangan yang dianalisis, masing-masing nilai rasio keuangan juga dikaji berdasarkan perbandingan antar waktu (tahun 2003 – 2005) serta diperbandingkan dengan nilai rasio keuangan yang sama dari perusahaan yang sejenis. 3.4.3
Analisis dampak intermediasi LKM Analisis dampak intermediasi LKM mencakup analisis tentang dampak
yang ditimbulkan kepada masyarakat karena beroperasinya LKM. Analisis ini terbagi kedalam dua fokus kajian yaitu dampaknya terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan dampaknya terhadap persepsi masyarakat terhadap keberadaan KSU. 3.4.3.1 Tingkat kesejahteraan anggota Analisis terhadap tingkat kesejahteraan dilakukan dengan cara pentabulasian dan pengkategorian data. Tingkat pendapatan, kondisi rumah, nilai kepemilikan aset produktif, jumlah tanggungan keluarga, frekuensi penerimaan kredit dan total nominal pinjaman diterima ditabulasi. Kemudian nilai-nilai dari setiap variabel tingkat kesejahteraan tersebut dikategorisasi kedalam empat kategori, yaitu nilai rasio yang diperoleh akan tergolong “Baik” (nilai 4), “Cukup Baik” (nilai 3), “Cukup Buruk” (nilai 2) dan “Buruk” jika (nilai 1). Pemberian nilai dilakukan
58
dengan teknik justifikasi kepakaran (expert judgement) yang dikelola obyektivitas penilaiannya melalui pendekatan studi analog terhadap kasus-kasus yang relatif serupa dengan variabel yang diukur. 3.4.3.2 Persepsi masyarakat Analisis terhadap persepsi masyarakat dilakukan dengan cara pentabulasian dan pengkategorian persepsi yang muncul dari jawaban responden terkait dengan kemudahan memperoleh kredit, waktu penyaluran kredit, kesesuaian jumlah nominal kredit yang diberikan dengan kebutuhan usaha, kesesuaian bentuk kredit yang diberikan dengan kebutuhan usaha serta suku bunga dikelompokkan dan diberi nilai kategori yang masing-masing sesuai dengan kategori yang diberikan (tabel 7). Pemberian nilai dilakukan dengan teknik justifikasi kepakaran yang dikelola obyektivitas penilaiannya melalui pendekatan studi analog terhadap kasus-kasus yang relatif serupa dengan variabel yang diukur. Tabel 7
Pengkategorian dan nilai kategori untuk masing-masing variabel dalam analisis persepsi masyarakat terhadap keberadaan LKM, 2006.
No. Variabel 1. Kesesuaian kredit dengan kebutuhan usaha 2. Suku bunga
3. Motivasi menabung
Belum Sesuai (nilai 1)
Kategori / Nilai Kategori Sesuai (nilai 3)
Tidak Sesuai (nilai 1)
Sesuai (nilai 2)
Tidak Penting (nilai 1)
Belum Penting (nilai 2)
Sangat Sesuai/ dipertahankan (nilai 4) Penting (nilai 4)
Kajian tentang persepsi diperlukan untuk mengukur kondisi sesuatu kejadian atau hal. Semakin baik persepsi seseorang terhadap suatu kejadian yang diamati pada umumnya merupakan cerminan semakin baik kejadian atau hal yang diamatinya tersebut. 3.4.4 Analisis kebijakan pengembangan LKM dalam mengentaskan kemiskinan di masyarakat pesisir Untuk mengintegrasikan hasil analisis ketiga dimensi (kelembagaan, keuangan maupun dampak intermediasi) sehingga didapat suatu kebijakan dan strategi pengembangan LKM dalam mengentaskan kemiskinan di masyarakat pesisir digunakan suatu pendekatan analisis. Pengolahan Analisis MDS dan 59
Analisis Leverage dilakukan dengan menggunakan program RAPFISH (Pitcher and Preikshot, 2001) yang telah dimodifikasi sesuai dengan fokus kajian yang digunakan. Analisis ini adalah suatu teknik multi-diciplinary rapid appraisal untuk mengevaluasi comparative sustainability (Fauzi dan Anna, 2002). Lembaga keuangan mikro sebagai suatu entitas dalam lingkup yang luas seperti dalam suatu kawasan tertentu atau dalam lingkup yang sempit seperti model LKM itu sendiri. Atribut dari setiap demensi yang akan dievaluasi harus merefleksikan perkembangan LKM dalam mengentaskan kemiskinan. Ordinasi dari set atribut digambarkan dengan menggunakan multi-dimensional scaling (MDS). MDS sendiri pada dasarnya adalah teknik statistik yang mencoba
melakukan transformasi multi dimensi kedalam demensi yang lebih rendah (Fauzi dan Anna, 2002). Dimensi dalam penelitian ini adalah menyangkut aspek pengembangan LKM dari sisi kelembagaan, kinerja keuangan dan dampak intermediasi. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan pengembangan LKM dalam mengentaskan kemiskinan, sebagaimana dalam lampiran 9. Analisis ini dilakukan melalui tiga tahapan, mencakup: (1) Tabulasi dan pelevelan data; (2) Analisis Multidimensional Scaling (MDS); dan (3) Analisis Leverage. Penjabaran masing-masing tahapan adalah sebagai berikut:
(1) Tabulasi dan pelevelan data Data-data kualitatif maupun kuantitatif yang dikumpulkan dan menjelaskan kondisi parameter-parameter penelitian dianalisis secara deskriptif. Hasil analisis seluruh parameter kemudian dikuantitatifkan (penilaian/skoring kategorik) dan ditabulasikan. Teknik skoring ini dilakukan terhadap seluruh parameter yang mencerminkan kinerja kelembagaan, kinerja keuangan dan kinerja dampak intermediasi dari KSU M3 Kabupaten Tangerang dan KSU LEPP Kabupaten Pasuruan didalam mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir. Rentang nilai dalam skoring sesuai dengan pengkategorian untuk masing-masing indikator/parameter. Proses tabulasi dilakukan dengan menggunakan perangkat MS Excel 2003.
60
(2) Analisis MDS Analisis MDS digunakan untuk mengetahui gambaran posisi/status kinerja KSU M3 dan KSU LEPP didalam upaya pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir. Didalam MDS, obyek atau titik yang diamati dipetakan dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek atau titik tersebut diupayakan sedekat mungkin dengan titik asal. Sebaliknya titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan pada Euclidian distance yang dalam ruang yang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut (Fauzi dan Anna, 2002): d=
( x1 − x2
2
2
2
)
+ y1 − y 2 + z1 − z 2 + ....
Konfigurasi atau ordinasi dari suatu obyek atau titik dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal (dij) sebagaimana dalam persamaan : dij = a + bdij + e
Teknik regresi yang digunakan adalah algoritma ALSCAL yang biasa digunakan pada software statistika (Alder et al. dalam Fauzi dan Anna, 2002). Metode ALSCAL mengoptimalisasi jarak kuadrat (square distance = dijk) terhadap data kuadrat (titik asal = Oijk) yang dalam tiga dimensi ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut : m
S=
1 ∑ m k =1
(
∑∑ d ijk2 − Oijk2 i j Oijk4 ∑∑ i j
) 2
Dimana jarak kuadrat merupakan jarak euclidian yang dibobot, atau ditulis : d
2
= ∑ wka (xia − x ja ) r
2 ijk
a =1
Pada setiap pengukuran yang bersifat mengukur (metric) seberapa fit (goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal menjadi sangat penting. Goodness of fit dalam MDS adalah mengukur seberapa tepat (how well) konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Hal ini
61
dicerminkan dari besaran nila S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S diatas. Nilai S yang rendah menunjukkan good fit sementara nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Didalam RAPFISH model, nilai S yang baik adalah lebih kecil dari 0,25 (S<0,25). Untuk memudahkan penggambaran status kinerja LKM, analisis MDS dilakukan dalam bentuk skala persentase dari 0% (buruk) hingga 100% (baik) pada suatu sumbu x. Nilai 0% atau buruk mengindikasikan kinerja LKM sama sekali belum mampu berperan dengan baik didalam mengentaskan kemiskinan
masyarakat
pesisir.
Sebaliknya
nilai
100%
atau
baik
mengindikasikan kinerja LKM sudah mampu berperan dengan baik didalam mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir. Adapun selang nilai 0-100% tersebut dibagi kedalam empat kategori status kinerja LKM, yaitu: Tabel 8
Pengkategorian status kinerja LKM berdasarkan rentang nilai hasil analisis MDS Rentang Nilai Kategori 0,00 – 25,00 Buruk > 25,00 – 50,00 Cukup Buruk > 50,00 – 75,00 Cukup Baik > 75,00 – 100,00 Baik
(3) Analisis Leverage Analisis Leverage merupakan bagian dari Analisis MDS. Analisis statistik ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh parameter-parameter di setiap hal yang dikaji atau fokus kajian kinerja LKM. Dengan menggunakan metode analisis ini akan dapat dinilai parameter-parameter kunci atau parameter-parameter yang paling berpengaruh (baik bersifat mendukung maupun menghambat) terhadap kinerja LKM. Melalui hasil analisis leverage ini (parameter-parameter kunci), selanjutnya akan dapat diperoleh bahan rumusan kebijakan pengembangan LKM dalam pengentasan kemiskinan di masyarakat pesisir.
Untuk menggambarkan penggunaan analisis tersebut, secara sistimatika diuraikan dalam gambar 5 sebagai berikut :
62
Desain Penelitian
Penetapan Lokasi
Data Primer
- FGD - Kuestioner
Pengumpulan Data
Data Sekunder
Tabulasi Data -Kelembagaan LKM -Keuangan LKM -Dampak LKM
- Laporan Manajemen Koperasi - Laporan Keuangan LKM
Identifikasi dan Pendefinisian (didasarkan kriteria yang konsisten)
Review Attribut (meliputi berbagai kategori dan skoring kriteria)
Skoring Data (Mengkonstruksi reference point untuk good dan bad serta anchor)
Multi dimensional Scaling Ordination (untuk setiap attribut) Menggambarkan status kinerja LKM
Analisis Leverage (Analisis Anomali) Menilai parameter kunci terhadap kinerja LKM
Perumusan strategi intermediasi LKM dalam pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir
Gambar 5 Alur pikir metodologi penelitian dengan aplikasi RAPFISH (analisis MDS dan leverage)
63
4
HASIL
4.1 Profil Wilayah Pesisir Tangerang 4.1.1 Geografi dan administratif Tangerang terletak tepat di sebelah barat Propinsi DKI Jakarta. Di sebelah barat wilayah Tangerang berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Serang, di sebelah selatan dengan Kabupaten Bogor, di sebelah timur dengan Kota Tangerang dan DKI Jakarta, sedangkan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Luas wilayah seluruhnya mencapai 1110,38 Km2. Wilayah pesisir Tangerang terletak di bagian utara dengan luas total mencapai 229,59 km2 atau 20,68% dari luas total Tangerang. Ketinggian tempat di wilayah pesisir Tangerang berkisar antara 2 hingga 5 meter di atas permukaan laut. Jarak ke ibukota Tangerang berkisar antara 13 hingga 42 km. Secara administratif Tangerang secara keseluruhan terdiri dari 26 kecamatan. Tujuh kecamatan diantaranya merupakan wilayah pesisir, yaitu Kecamatan Kemiri, Kecamatan Kosambi, Kecamatan Kronjo, Kecamatan Mauk, Kecamatan Pakuhaji, Kecamatan Sukadiri dan Kecamatan Teluknaga. Dua diantara ketujuh kecamatan tersebut, yaitu Kecamatan Kemiri dan Sukadiri, merupakan kecamatan baru hasil pemekaran Kecamatan Mauk. Berdasarkan rencana pengembangan tata ruang, Tangerang terdiri dari tiga wilayah pembangunan yang merupakan pusat pembangunan. Dalam hal ini Kota Serpong akan menjadi pusat pembangunan wilayah bagian selatan, Kecamatan Balaraja akan menjadi pusat pembangunan wilayah bagian barat dan Kecamatan Teluknaga akan menjadi pusat pembangunan wilayah bagian utara. Bagi wilayah pesisir dengan adanya rencana pusat pembangunan tersebut maka Kecamatan Kronjo termasuk dalam pusat pertumbuhan Balaraja sedangkan enam kecamatan lainnya termasuk dalam pusat pertumbuhan Teluknaga. 4.1.2 Demografi Jumlah penduduk total Tangerang tahun 2001 sebanyak 2.869.901 jiwa. Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1995 (2.299.700 jiwa) maka laju pertumbuhan penduduk Tangerang selama 1995 – 2001 mencapai 4,13% 64
pertahun. Khususnya di wilayah pesisir, jumlah penduduk di kecamatan pesisir Tangerang tahun 2001 adalah sebanyak 509.163 jiwa atau sekitar 17,74% dari total penduduk Tangerang. Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1999 (469.586 jiwa) maka jumlah penduduk di kecamatan pesisir ini meningkat dengan laju sebesar 4,21% pertahun. Laju pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Tangerang secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Kronjo (4,52% pertahun) dan Kecamatan Teluknaga (5,20% pertahun). Sementara laju pertumbuhan penduduk di lima kecamatan pesisir lainnya lebih rendah dibandingkan dengan wilayah Tangerang secara keseluruhan. Tercatat laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Mauk adalah sebesar 3,80% pertahun, Kecamatan Kemiri 3,66% pertahun, Kecamatan Sukadiri 3,71% pertahun, Kecamatan Pakuhaji 3,62% pertahun dan Kecamatan Kosambi 4,21% (BPS, 2001). Secara tidak langsung, kondisi ini menyiratkan Kecamatan Kronjo dan Kecamatan Teluknaga merupakan pusat pertumbuhan bagi wilayah pesisir Tangerang. Khusus di wilayah pesisir, berdasarkan tingkat kesejahteraan (BPS, 2001) tampak bahwa dari total 108.443 kepala keluarga sebagian besar merupakan keluarga pra sejahtera (32,09%), sejahtera I (26,26%), dan sejahtera II (23,63%). Data didalam tabel 9 menunjukkan bahwa secara spasial jumlah keluarga pra sejahtera di kecamatan pesisir Tangerang lebih tinggi dibandingkan dengan ratarata wilayah Tangerang secara keseluruhan. Tabel 9
Jumlah keluarga menurut tingkat kesejahteraan di kecamatan pesisir Tangerang tahun 2000.
Kriteria A.Pra Sejahtera Alasan Ekonomi Non ALEK Jumlah
B. Sejahtera Tahap I - Alasan Ekonomi - Non ALEK Tahap II Tahap III
Kosambi
Kronjo
Kecamatan Mauk Pakuhaji
3.233 5.512 8.898 4.073 800 2.705 2.182 998 4.033 8.217 11.080 5.071 (21,86%) (42,20%) (40,41%) (24,63%)
3.722 1.598 5,721 2.545
1.741 2.514 4.034 1.720
4.285 3.143 4.980 3.374
2.258 1.980 5.385 4.238
Rata-rata Teluknaga Tangerang 3.916 2.482 6.398 (27,27%)
3.181 1.502 4.683 (16,59%)
3.916 3.318 5.507 3.069
3.078 3.916 8.821 5.551
65
Kriteria Tahap III Plus Jumlah
C. Total Keluarga
Kecamatan Rata-rata Mauk Pakuhaji Teluknaga Tangerang Kosambi Kronjo 366 486 1.384 1.849 2.186 827 14.413 10.375 16.286 15.515 17.064 23.552 (78,14%) (55,80%) (59,49%) (75,37%) (72,73%) (83,41%) 18.446
18.592
27.348
20.586
23.462
28.235
Sumber : Badan Pusat Statistik Tangerang, Tahun 2001
4.1.3 Kelembagaan usaha sektor perikanan Tempat Pelelangan Ikan. Tangerang memiliki tujuh tempat pelelangan ikan, masing-masing satu di setiap kecamatan pesisir. Pengelolaan TPI sebagian dilakukan oleh koperasi mina dengan pembinaan bersama oleh Dinas Kelautan dan Perikanan beserta Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Tangerang. Tabel 10 Keragaan tempat pelelangan ikan dan pengelolanya di Tangerang. NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
PENGELOLA
NAMA TEMPAT PELELANGAN IKAN TPI Kronjo, Kecamatan Kronjo TPI Benyawakan, Kecamatan Kemiri TPI Ketapang, Kecamatan Mauk TPI Karang Serang, Kecamatan Sukadiri TPI Cituis, Kecamatan Pakuhaji TPI Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga TPI Dadap, Kecamatan Kosambi
Dinas Perikanan dan Kelautan Dinas Perikanan dan Kelautan Dinas Perikanan dan Kelautan Koperasi Perikanan Laut "Bahari" Koperasi Unit Desa "Mina Samudera" Koperasi Unit Desa "Mina Dharma" Koperasi Unit Desa "Mina Bahari"
Sumber : Laporan Tahunan Dinas Perikanan Tangerang, 2005
Koperasi Perikanan. Koperasi perikanan di Tangerang berjumlah empat buah. Masing-masing adalah : (1) Koperasi Unit Desa "Mina Samudera" berkedudukan di Cituis Kecamatan Pakuhaji, (2) Koperasi Unit Desa "Mina Dharma" berkedudukan di Tanjung Pasir Kecamatan Teluknaga, (3) Koperasi Unit Desa "Mina Bahari" berkedudukan di Dadap Kecamatan Kosambi, dan (4) Koperasi Perikanan Laut "Bahari" berkedudukan di Karang Serang Kecamatan Sukadiri. Dari empat koperasi perikanan tersebut, hanya KUD "Mina Samudera" yang masih aktif dan memiliki kinerja yang bagus. Koperasi Unit Desa "Mina Samudera" memiliki empat unit usaha yakni : (1) Unit usaha pelayanan rekening
66
listrik, (2) Unit usaha niaga dan BBM, (3) Unit usaha tempat pelelangan ikan, dan (4) Unit usaha simpan pinjam. Lembaga Pembiayaan. Beberapa lembaga pembiayaan yang dijumpai di wilayah pesisir Tangerang antara lain adalah bank komersial, koperasi, Lembaga Perkreditan Kecamatan, pegadaian, dan lembaga non formal (pelepas uang dan langgan atau box). Keberadaan dan ketersebaran lembaga-lembaga tersebut tidak merata antar wilayah atau kecamatan pesisir. Dalam kelompok bank komersial terdapat BRI-BRI Unit dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Tidak semua kecamatan pesisir memiliki lembaga demikian, bahkan BPR hanya dijumpai di Kecamatan Teluknaga. Dengan demikian beberapa unit BRI dan BPR swasta tersebut memiliki wilayah pelayanan yang relatif luas dan bersifat lintas kecamatan. Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) juga tidak dijumpai di setiap kecamatan pesisir. Dari tujuh kecamatan pesisir di Tangerang hanya dua kecamatan yakni Kecamatan Kronjo dan Kecamatan Mauk yang memiliki LPK. Pada saat ini LPK Kronjo dan Mauk masih aktif melakukan aktivitas simpan pinjam. Pada saat ini hanya dijumpai satu lembaga pegadaian di wilayah pesisir Tangerang yakni Pegadaian Cabang Mauk. Pegadaian ini didirikan pada tahun 1902 dan tergolong kelas II dengan Kantor Wilayah Pusat berkedudukan di DKI Jakarta. Perum pegadaian ini juga memiliki wilayah pelayanan yang relatif luas dan bersifat lintas kecamatan. Pembiayaan non formal tampaknya lebih berkembang dan memiliki keterkaitan yang erat dalam pembiayaan usaha. Pelaku pembiayaan non formal di wilayah pesisir didominasi oleh para pedagang sarana dan hasil perikanan serta pedagang sarana dan hasil pertanian. Mekanisme pembiayaan non formal berlangsung melalui cara yang terdesain untuk memenuhi keterkaitan antara pasar komoditas, pasar tenaga kerja, dan pasar modal. Pelaku lainnya adalah bank keliling atau bank harian.
67
4.2 Profil Wilayah Pesisir Pasuruan 4.2.1 Geografi dan administratif Secara geografis Pasuruan terletak antara 112o3355" hingga 113005'37" Bujur Timur dan antara 7032'34" hingga 7057'20" Lintang Selatan dengan batas wilayah Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Pasuruan, Selat Madura dan Kabupaten Sidoarjo.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Malang.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo, Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto. Letak geografis Pasuruan yang sangat strategis tersebut, dimantapkan dengan posisinya pada jalur pusat pertumbuhan Surabaya - Malang dan Jember. Hal tersebut sangat menguntungkan dalam membuka peluang inyestasi di Pasuruan. Kondisi wilayah Pasuruan terdiri dari pegunungan berbukit dan dataran rendah, yang secara rinci terbagi menjadi tiga bagian, yakni: (1) bagian selatan terdiri dari pegunungan dan perbukitan dengan ketinggian permukaan tanah antara 186 m sampai 2.700 m yang membentang mulai dari wilayah Kecamatan Tosari, Puspo sampai Barat, yakni - Kecamatan Tutur, Purwodadi, dan Prigen, (2) bagian tengah terdiri dari dataran rendah yang berbukit dengan ketinggian permukaan antara 6 m sampai 91 m dan pada umumnya relatif subur, dan (3) bagian Utara terdiri dari dataran rendah pantai yang tanahnya kurang subur dengan ketinggian permukaan 2 m sampai 8 m. Daerah ini membentang dari Timur mulai dari wilayah Kecamatan Nguling ke arah Barat, yaitu Kecamatan Lekok, Rejoso, Kraton, dan Bangil.
Daerah utara merupakan daerah pesisir yang dominan
merupakan masyarakat nelayan.
Masyarakat pesisir adalah merupakan
masyarakat yang komplek dari segi konstruksi kelompok etnik dan pekerjaan. Dalam kaitannya dengan sumberdaya kelautan, masyarakat nelayan merupakan kelompok sosial terpenting/dominan dalam struktur masyarakat pesisir. Dilihat dari aspek sosial budaya Pasuruan memiliki kelompok etnik yang beragam, secara umum di Kabupaten ini terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu Jawa yang banyak bermukim di daerah pedalaman dan Madura yang banyak bermukim di wilayah pesisir, serta masyarakat Tengger, Cina dan Arab. Daerah perpaduan antara kebudayaan jawa dan madura sering disebut sebagai wilayah mendalungan. 68
Dari luas Pasuruan 147.401,50 Ha, 2,86% merupakan luas areal perikanan yang berupa tambak, kolam, dan danau. Sektor kelautan dan perikanan di Pasuruan sangat potensial untuk dikembangkan dalam rangka menunjang perekonomian daerah. Di Pasuruan terdapat 24 kecamatan dengan 3 kecamatan potensial perikanan yaitu Kecamatan Kraton, Kecamatan Lekok dan Kecamatan Nguling. 4.2.2 Demografi Jumlah Penduduk di Pasuruan pada Tahun 2005 sebanyak 1.447.930 orang dan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan jumlahnya hampir imbang. Sedangkan jumlah penduduk asing hanya sebanyak 17 orang. Sejumlah penduduk di Pasuruan tersebut, komposisinya dapat diikuti pada tabel 11.
Tabel 11 Jumlah penduduk menurut kewarganegaraan, jenis kelamin dan kecamatan di Pasuruan tahun 2004. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kecamatan
Purwodadi Tutur Puspo Tosari Lumbang Pasrepan Kejayan Wonorejo Purwosari Prigen Sukorejo Pandaan Gempol Beji Bangil Rembang Kraton Pohjentrek Gondang Wetan Rejoso Winongan Grati Lekok Nguling Jumlah Sumber: Pasuruan dalam Angka, 2005
Jumlah penduduk (jiwa) Laki-laki Perempuan 31,305 31,269 25,648 25,627 13,183 13,678 8,838 9,319 16,257 16,592 23,946 24,992 29,570 31,768 25,694 27,274 37,397 37,580 40,065 39,341 37,897 38,909 46,692 47,745 56,760 56,631 37,780 38,076 40,845 43,051 27,506 29,028 43,895 43,025 13,259 13,403 24,426 25,263 21,185 20,681 19,645 20,073 35,682 36,189 31,916 33,666 27,236 28,123 716,627 731,303
69
Berdasarkan tingkat pendidikan, penduduk Pasuruan masih didominasi oleh lulusan SD, SMP bahkan yang tidak tamat SD. Sekitar 544.331 orang atau 37,6% dari penduduk Pasuruan temyata masih belum tamat SD dan 524.065 orang atau 36,2% hanya tamat SD. Hal ini berarti lebih dari 73% masyarakat Pasuruan masih termasuk dalam tingkat pendidikan yang rendah. Fakta ini mengindikasikan perlunya upaya peningkatan ekonomi produktif di masyarakat harus disertai dengan peningkatan kualitas SDM seperti memperbanyak pelatihan live skill di masyarakat. Tenaga kerja yang bergerak di bidang perikanan, baik di laut maupun di darat sebanyak 13.785 orang. Komposisi tenaga kerja tersebut terdistribusi pada 18 wilayah kecamatan (tabel 12). Berdasarkan data dalam tabel 12 tersebut diketahui Kecamatan Beji, Bangil, Kraton, Lekok dan Nguling merupakan pusat aktivitas masyarakat nelayan di Pasuruan. Nelayan adalah masyarakat yang biasanya secara sosial ekonomi lebih memprihatinkan dibanding para petani ikan. Hal ini disebabkan pekerjaan mereka sangat rentan akan pengaruh musim. Jika data tersebut dikaitkan dengan program pemberdayaan masyarakat miskin di pesisir, maka Kraton, Lekok dan nguling adalah daerah yang harus diutamakan dalam program pemberdayaan masyarakat nelayan karena menjadi pusat aktivitas masyarakat nelayan miskin di Pasuruan. Tabel 12 Komposisi tenaga kerja sub sektor perikanan menurut kecamatan (orang) di Pasuruan, tahun 2004. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kecamatan Purwodadi Pasrepan Kejayan Wonorejo Purwosari Sukorejo Pandaan Gempol Beji Bangil
11 12 13 14
Rembang Kraton Pohjentrek Rejoso
Nelayan 192 25 .
Petani Ikan 12 15 32 30 42 11 30 10 107 688
2.710 -
30 558 4 273
70
No 15 16 17 18
Kecamatan Winongan Grati Lekok Nguling Jumlah
Nelayan 86 5.499 2.762 11.274
Petani Ikan 23 351 295 2.511
Sumber: Pasuruan dalam Angka, 2005.
4.2.3 Kelembagaan usaha sektor perikanan Berdasarkan data statistik yang diperoleh (tabel 13), sarana jenis perahu dan lainnya yang digunakan menunjukkan nelayan Pasuruan termasuk nelayan tradisional karena pada umumnya menggunakan perahu bermotor kecil. Tabel 13 Komposisi jenis perahu dan sarana lain yang digunakan nelayan di Pasuruan, tahun 2004. Tanpa Perahu (unit) 1. Kraton 202 2. Lekok 680 3. Nguling 450 4. Jumlah 1.332 Sumber: Pasuruan dalam Angka, 2005. No.
Kecamatan
Dikaitkan
dengan
wilayah
Motor Tempel (unit) 270 160 126 556
operasinya
Perahu (unit)
diketahui
Kapal Motor (unit)
533 7.791 1.040 8.324
bahwa
-
perairan
penangkapan yang relatif terbatas yaitu di selat Madura berpotensi menyebabkan persaingan dengan nelayan-nelayan dari daerah lain. Pesaing utama adalah nelayan Probolinggo, Gresik dan Lamongan yang memakai kapal atau perahu ukuran besar dengan teknologi gardan untuk penarik faring. Persaingan ini tentunya perlu dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan Pasuruan. Diperlukan suatu kajian untuk mencarikan mata pencaharian alternatif yang mampu memberikan jaminan lebih didalam pendapatan. Salah satu upaya mata pencaharian alternatif yang kiranya tidak terlalu banyak merubah kondisi sosial budaya masyarakat nelayan Pasuruan adalah usaha pengolahan ikan. Di Pasuruan terdapat 807 RTP pengolah ikan skala tradisional. Jumlah dan jenis pengolahan tradisional hasil laut di tahun 2002 meliputi pemindangan (917.5 ton), pengeringan (1 952.5 ton), pengasapan (8 195 ton), pembuatan tepung ikan (97.1 ton), ikan segar (294.9 ton), dan lainnya (50.3 ton). 71
Di Pasuruan juga tersebar coldstorage maupun pengalengan ikan sebanyak 24 unit, yaitu di Kecamatan Beji, Gempol, Rejoso, kawasan PIER, dengan rata-rata produksi 500 ton pertahun. Jenis ikan yang diolah adalah rajungan, kakap, teri nasi, tuna.
4.3 Kelembagaan Koperasi 4.3.1 Koperasi serba usaha M3 Tangerang 4.3.1.1 Kebijakan dan prosedur Mikro Mitra Mina (M3) adalah lembaga keuangan mikro yang melayani aktivitas simpan pinjam berskala kecil dengan menggunakan pendekatan Grameen Bank bagi kelompok miskin di wilayah pesisir. Sebagai bentuk replikasi Grameen Bank, maka segala aktivitas yang menyangkut pembentukan lembaga, perekrutan anggota dan kelompok, transaksi simpan-pinjam, pengembalian pinjaman dan aktivitas lainnya mengikuti metode yang digariskan Grameen Bank. Modifikasi dapat dilakukan sesuai kebutuhan lokalita setempat namun esensiesensi pokok Grameen Bank harus tetap dipertahankan. Pembentukan lembaga, perekrutan anggota dan kelompok didalam replikasi M3 difokuskan pada mekanisme pembentukan dan penguatan kelompok masyarakat untuk dapat berdayaguna didalam akses permodalan usaha. Adapun mekanisme tersebut dilapangan dibagi kedalam beberapa tahap yang secara sistematis mencakup: (1) Pertemuan umum; (2) Uji kelayakan; (3) Pembentukan kelompok; (4) Latihan wajib kumpulan atau LWK; (5) Ujian pengesahan kumpulan; dan (6) Pembentukan rembug pusat. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus KSU M3 dan para anggotanya diketahui bahwa pelaksanaan tahapan (2) dan (3) kurang sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan. Pengurus KSU M3 kurang memperhatikan pentingnya proses sosialisasi program. Mereka langsung mendatangi masyarakat target peminjam dalam rangka pembentukan kelompok. Informasi tentang calon potensial tidak begitu baik dikumpulkan terlebih dahulu. Kesan adanya ketergesa-gesaan juga diketahui dari kurang diperhatikannya kriteria keadaan rumah, asset rumah tangga dan pendapatan sebagaimana ditetapkan didalam uji kelayakan bagi anggota. Pembentukan kelompok
72
sepertinya lebih ditekankan pada posisi kedekatan rumah antar anggota didalam satu kelompok. Batasan tentang tidak adanya tali keluarga antar anggota didalam satu kelompok pada akhirnya tidak dapat dipenuhi. Di Desa Jenggot diketahui terdapat satu RP dengan 3 anggotanya memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Latihan Wajib Kumpulan telah dilakukan dengan cukup baik. Selama tiga hari para calon anggota diberikan gambaran dan pengertian yang selengkapnya mengenai tata cara pengajuan dan pengambilan pinjaman dalam program M3. Penelusuran terhadap materi LWK yang ada menunjukkan LWK yang telah dilaksanakan tampaknya sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, yaitu mencakup materi-materi: (1) Ikrar anggota; (2) Azas dan prinsip program kredit; (3) Fungsi dan peranan Kumpulan, Rembug Pusat, Dana Tabungan Kumpulan; (4) Prosedur pengajuan dan pengembalian pinjaman; (5) Tanggung jawab Rembug Pusat terhadap tunggakan anggota; dan (6) Sanksi-sanksi tunggakan kredit. Adanya kekhawatiran dari pengurus mengenai minimnya jumlah anggota M3 muncul kembali saat pelaksanaan ujian pengesahan kumpulan (UPK). Tahapan ini sesungguhnya bertujuan menguji pemahaman anggota terhadap azas, syarat dan prinsip-prinsip skema M3. Akibatnya, sebagian anggota masih belum benar-benar
memahami
materi
yang
sesungguhnya
menjadi
prasyarat
pembentukan rembug pusat. Rembug pusat yang dibentuk berdasarkan jumlah anggota tampaknya telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Rembug Pusat merupakan federasi dari beberapa kumpulan, yang terdiri dari minimal 2 Kumpulan (10 anggota) dan maksimal 8 Kumpulan (40 anggota). Rembug Pusat diketuai oleh seorang anggota dan dibantu oleh seorang wakil ketua yang dipilih secara musyawarah. Hasil survey menunjukkan bahwa rembug pusat umumnya beranggotakan 10 orang dan merupakan kaum ibu. Berdasarkan prosedur, semua aktivitas M3 dilakukan dalam pertemuan mingguan masing-masing RP dan setiap anggota kelompok wajib hadir. Aturan lebih lanjut, kehadiran dalam pertemuan mingguan RP dan disiplin dalam pembayaran angsuran pinjaman akan menjadi kriteria penilaian untuk mendapatkan pinjaman berikutnya. Pada kenyataannya, saat ini telah cukup
73
banyak pertemuan mingguan yang tidak lagi aktif. Akibatnya fungsi penarikan angsuran seminggu sekali yang seharusnya dilakukan saat pertemuan mingguan tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Penarikan angsuran saat ini dilakukan oleh pengurus melalui sistem door to door. Menurut beberapa anggota, ketidaklancaran angsuran disebabkan oleh tidak adanya sanksi terhadap peminjam yang lalai atau secara sengaja tidak mau membayar angsuran. Akibatnya, anggota lainnya merasa diperlakukan tidak adil dan pada akhirnya enggan untuk menanggung tunggakan yang ditimbulkan oleh anggota didalam kelompok mereka. Skema pembiayaan M3 di lapangan juga sudah mulai bergeser, terutama pada masyarakat target atau masyarakat pemanfaat program. Menurut kriterianya, pemanfaat haruslah merupakan keluarga nelayan yang sangat miskin. Pada kenyataannya, pemanfaat saat ini lebih banyak berasal dari kalangan non-target. Alasan utama dari pengurus dalam hal ini adalah untuk menyelamatkan pembiayaan yang diberikan agar tidak semakin menimbulkan pembiayaan bermasalah. 4.3.1.2 Pengelolaan organisasi Pengelolaan
organisasi merupakan salah satu faktor utama yang
mempengaruhi keberhasilan replikasi M3. Mulai dari pembentukannya hingga kini kepengurusan KSU M3 Tangerang tidak mengalami perubahan. Berdasarkan strukturnya, kepengurusan terdiri dari badan pengawas dan badan pelaksana. Badan pengawas terdiri dari ketua dan anggota. Badan ini bertugas mengawasi jalannya operasional lembaga yang dilaksanakan oleh badan pelaksana. Badan pengawas juga bertugas memeriksa kebenaran dan kelayakan laporan keuangan yang disampaikan tiap akhir tahun oleh badan pelaksana. Sedangkan badan pelaksana berjumlah lima orang yang terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris I dan II serta bendahara. Ketua memiliki tugas dan wewenang: (1) Memimpin rapat pengurus dan rapat anggota tahunan; (2) Menandatangani surat-surat keluar; (3) Bertindak dan atas nama KSU M3 mengadakan kerjasama dengan pihak lain; serta (4) Bertanggung jawab terhadap kinerja KSU M3 pada RAT. Pada saat ini kedudukan ketua dapat dikatakan tidak dilaksanakan dengan baik. Ketua KSU M3 lebih 74
banyak tidak di tempat karena memiliki kesibukan diluar tugasnya sebagai Ketua KSU M3. Tugas-tugas ketua saat ini banyak diperankan oleh wakil ketua. Namun demikian kualifikasinya dan perannya yang dominan sebagai ibu rumah tangga tidak memungkinkan untuk mampu bertugas secara optimal didalam menangani usaha koperasi. Akibatnya, banyak keputusan yang terkait dengan pelaksanaan usaha menjadi tertunda. Beberapa pekerjaan yang tertunda diantaranya adalah rekap transaksi harian menjadi laporan neraca keuangan bulanan dan laporan laba rugi bulanan. Kondisi ini kurang baik dari sisi pengendalian manajemen. Pengurus tidak dapat melihat kecenderungan yang terjadi di setiap pos neraca. Akibatnya, pengurus tidak akan mampu melakukan tindakan dengan segera manakala kondisi keuangan di suatu periode telah mengarah pada kondisi yang negatif dibandingkan periode sebelumnya. Wakil ketua bersama-sama dengan sekretaris I dan II serta bendahara (2 laki-laki dan 2 perempuan) pada saat ini lebih berperan sebagai petugas lapang yang bertugas melakukan pengumpulan angsuran pinjaman secara door to door. Hal ini terpaksa dilakukan mengingat rapat mingguan di beberapa rembug pusat tidak lagi berfungsi sebagai tempat setiap transaksi dalam skim kredit M3. Perlunya perbaikan didalam pengelolaan organisasi juga ditunjukkan belum dimilikinya bussines plan untuk setiap tahun yang akan dijalankan. Bussiness plan merupakan suatu alat penting didalam menjalankan bisnis. Didalamnya berisi uraian tentang proyeksi perkembangan usaha. 4.3.1.3 Jaringan Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui jangkauan dan cakupan layanan KSU M3 Tangerang sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 14 berikut: Tabel 14 Perkembangan jangkauan dan cakupan layanan KSU M3, Tangerang, tahun 2003-2005. Uraian Kecamatan Desa Rembug Pusat Anggota
Tahun 2003 2 3 27 584
Tahun 2004 3 5 36 757
Tahun 2005 3 5 37 656
Sumber: Profil KSU M3 Tangerang, 2005.
75
Data dalam tabel 14 menunjukkan bahwa dari tahun 2003 hingga 2005 telah terjadi peningkatan jangkauan dan cakupan layanan dari sisi cakupan kecamatan dan desa yang dilayani serta rembug pusat yang dibentuk. Namun demikian, tampak pula bahwa terjadi penurunan jumlah anggota sebanyak 101 orang atau sekitar 13,3% dibandingkan jumlah anggota di tahun 2004. Terjadinya penurunan jumlah anggota ini adalah berpangkal dari ketergesa-gesaan pembentukan rembug pusat. Beberapa prasyarat yang tidak dipenuhi menyebabkan adanya anggota yang mengundurkan diri. Dari sisi kemitraan, tampak pengurus KSU M3 sudah melakukan upayaupaya ke arah sana. Setidaknya kemitraan ditunjukkan dengan adanya pemberian tambahan modal dalam bentuk pinjaman berbunga lunak dari dinas kelautan dan perikanan setempat. 4.3.2 Koperasi serba usaha LEPP Pasuruan 4.3.2.1 Kebijakan dan prosedur Koperasi Sumber Usaha LEPP Pasuruan merupakan salah satu lembaga ekonomi lokal yang dibentuk melalui Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Oleh karena itu prosedur yang ditetapkan dan diterapkan oleh lembaga ini tidak akan terlepas dari prosedur yang ditetapkan dalam Program PEMP untuk LEPP. Berdasarkan pedoman umum Program PEMP yang berlaku, prosedur yang berlaku mulai tahun 2001-2006 untuk pembentukan hingga berjalannya fungsi LEPP sebagai lembaga keuangan mikro yang membiayai kegiatan ekonomi anggotanya (kelompok/individu) adalah sebagai berikut: (1) Penyusunan rencana kegiatan PEMP; (2) Pembentukan Kelompok Masyarakat Pemanfaat; (3) Pembentukan dan Pemilihan Pengurus LEPP; (4) Penguatan Status LEPP; (5) Penguatan fungsi lembaga keuangan mikro; dan (6) Penguatan fungsi lembaga ekonomi pendukung pembangunan daerah. Berdasarkan hasil wawancara terhadap berbagai stakeholder program PEMP di Pasuruan diketahui bahwa pembentukan dan penguatan KSU LEPP merupakan hasil dari diterapkannya kebijakan dan prosedur yang sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan.
76
4.3.2.2 Pengelolaan organisasi Pengelolaan organisasi sebagai salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penguatan kelembagaan LEPP dalam program PEMP perlu didasarkan pada prinsip pengelolaan program sebagai berikut: (1) Acceptable. Pilihan kegiatan ekonomi (usaha) berdasarkan potensi sumberdaya, kelayakan usaha serta kebutuhan/keinginan dan kemampuan masyarakat; (2) Transparency. Pengelolaan kegiatan dilakukan secara terbuka, diinformasikan dan diketahui oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat ikut memantaunya; (3) Accountability. Pengelolaan kegiatan harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat; (4) Responsiveness. Kegiatan dilakukan sebagai bentuk kepedulian atas beban penduduk yang kurang berdaya (miskin); (5) Quick disbursement. Penyampaian bantuan kepada masyarakat sasaran secara cepat dan tepat; (6) Democracy. Proses pemilihan peserta dan kegiatan PEMP dilakukan secara musyawarah; (7) Sustainability. Pengelolaan kegiatan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat secara optimal dan berkelanjutan, baik dalam lingkungan internal maupun eksternal; (8) Equality. Pemberian kesempatan kepada kelompok lain yang belum memperoleh kesempatan, agar semua masyarakat merasakan manfaat langsung; (9) Competitiveness. Setiap ketentuan dalam pemanfaatan dana ekonomi produktif (DEP) masyarakat diharapkan dapat mendorong terciptanya kompetisi yang sehat dan jujur dalam mengajukan usulan kegiatan yang layak. Secara rinci pemenuhan prinsip-prinsip pengelolaan program itu didalam pengelolaan organisasi Koperasi LEPP mencakup: (1) Menerima dan menyalurkan DEP kepada KMP/individu; (2) Mencatat dan mendokumentasikan kegiatan PEMP; (3) Membukukan penggunaan dana PEMP; (4) Melaporkan perkembangan kegiatan Program PEMP dan permodalan (keuangan) kepada pimpinan proyek/kuasa pengguna anggaran di dinas kabupaten/kota; (5) Membantu penyelesaian KMP bermasalah; (6) Melakukan pemeriksaan pembukuan KMP; (7) Berperan sebagai tim verifikasi bagi usulan ekonomi produktif masyarakat dan pembentukan KMP baru serta konsultasi dengan mitra desa setempat; (8) Mengembangkan kegiatan usaha yang dapat mendukung kegiatan usaha KMP/individu anggota; Melakukan identifikasi potensi dan mengembangkan kemitraan sebagai dasar perencanaan strategis untuk jangka pendek, menengah dan
77
panjang; (9) Berperan mengelola dana pengembangan modal usaha pasca kegiatan PEMP tahun anggaran berjalan dan menyalurkannya kepada KMP baru terutama di desa yang belum memperoleh program PEMP. Struktur organisasi KSU LEPP saat ini telah mampu disusun dan dikembangkan untuk dapat memenuhi prinsip-prinsip pengelolaan LEPP sebagaimana telah disyaratkan. Adapun aturan main dari setiap stakeholder yang terlibat dalam pengembangan KSU LEPP tergambar pada struktur organisasi. Mekanisme pemberian kredit juga telah diterapkan sesuai dengan pedoman umum yang disusun oleh pemerintah. Bahkan KSU LEPP telah menyusun suatu mekanisme pencairan kredit yang lebih terperinci sehingga diharapkan semakin mempermudah setiap calon nasabah didalam memahaminya dalam rangka memanfaatkan fasilitas program dimaksud. Pengelola KSU LEPP M3 juga telah menyusun business plan untuk setiap satu tahun ke depan sebagai acuan prestasi yang harus dicapai. Kesemuanya ditujukan untuk semakin meningkatkan kinerja KSU LEPP itu sendiri. Adanya berbagai perubahan sistem program yang dihasilkan melalui proses musyawarah menggambarkan bahwa kewenangan yang ada sudah terbagi secara relatif seimbang antara masyarakat penerima program dengan pengurus KSU LEPP. Di samping itu, dinamika sistem pembiayaan tersebut menggambarkan partisipasi masyarakat, meskipun baru terbatas dari kelompok elit, didalam memberikan tanggapan sudah mulai berjalan. 4.3.2.3 Jaringan Pada awalnya LEPP masih berfungsi sebagai lembaga keuangan mikro yang kegiatannya masih terbatas mengelola perguliran dana ekonomi produktif yang dialokasikan oleh pemerintah dan belum memiliki legalitas standar operasional yang jelas, dengan adanya perkembangan dari LEPP yang terus dikembangkan agar supaya menjadi Holding Company yang nantinya LEPP tidak hanya menangani satu usaha tetapi berbagai usaha yang ada hubungannya dengan masyarakat pesisir. Untuk itu perlu adanya upaya penguatan dari Dinas Kelautan dan Penkanan Pasuruan, Konsultan Managemen Daerah dan Pengurus LEPP untuk penguatan kelembagaan LEPP menjadi Koperasi Serba Usaha Lembaga Ekonomi Pengcmbangan Masyarakat Pesisir 78
Mikro Mitra Mina (KSU LEPP) dengan Nomor : 504/400/BH/424.055/2003 tanggal pendirian 05 Agustus 2003. Dengan adanya aspek legalitas yang jelas KSU LEPP Pasuruan akan dengan mudah untuk mengembangkan sayapnya merambah sektor lainnya agar lebih berdaya. Berdasarkan tujuannya, KSU LEPP adalah lembaga ekonomi yang dimiliki masyarakat pesisir untuk mendorong kegiatan perekonomian dikawasan pesisir. Wilayah kerja KSU LEPP Pasuruan meliputi 6 (enam ) Kecamatan, yaitu Kecamatan Beji, Kecamatan Bangil, Kecamatan Kraton, Kecamatan Rejoso, Kecamatan Lekok dan Kecamatan Nguling. Berbeda dengan badan usaha swasta, Bank atau yang lainnya KSU LEPP merupakan usaha yang berdasarkan kebersamaan (Solidarity Corporate) yang tetap menjunjung tinggi profesionalisme. KSU LEPP hadir untuk memberikan pelayanan kepada anggotanya, Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP), Nasabah dan masyarakat pesisir pada umumnya bagi kemajaan bersama. Perkembangan KSU LEPP menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari ada peningkatan dalam berbagai aspek. Salah satunya adalah unit-unit usaha yang meningkat. Saat ini di Kecamatan Lekok terdapat Unit Usaha Perbengkelan. Lokasi berada dalam kompleks TPI Lekok. Dengan adanya Unit Perbengkelan ini diharapkan akan meningkatkan pelayan kepada nelayan.
Meskipun Unit
Perbengkelan, namun unit ini menangani juga penjualan berbagai peralatan seperti pancing, jaring, jala dan sebagainya. Unit Perbengkelan langsung ditangani oleh Pendamping Lapang. Di Kecamatan Kraton terdapat Unit Waserda yang menyediakan berbagai peralatan serta sembako. Unit ini ditangani dan mengambil lokasi di rumah salah satu Ketua Kelompok.
79
4.4 Analisis Kinerja Keuangan LKM 4.4.1 Koperasi serba usaha M3 Tangerang 4.4.1.1 Analisis vertikal dan horizontal Tabel 15 berikut menyajikan kondisi keuangan KSU M3 Tangerang pada tahun 2003 hingga 2005 berdasarkan laporan laba rugi yang dilaporkan. Tabel 15 Kondisi keuangan berdasarkan laporan laba (rugi) KSU M3 Tangerang, tahun 2003-2005 (per 31 Desember). Pos-pos PENDAPATAN 01 Jasa pembiayaan 02 Bunga bank-pajak 03 Denda 04 Pendapatan lain-lain Total Pendapatan BIAYA 05 Gaji karyawan (+ lembur) 06 ATK 07 Telpon, listrik, air 08 Perawatan inventaris 09 Biaya bunga 10 Transport 11 Restitusi 12 Konsumsi 13 Sewa kantor 14 Biaya rapat 15 Rupa-rupa 16 Dana darurat 17 Dana sosial 18 Penghapusan utang 19 THR 20 Biaya RAT 21 Pembagian SHU 22 Bayar jasa tab.sukarela 23 Penyusutan Total Biaya Laba rugi tahun berjalan Pajak Laba setelah pajak
Tahun 2005 Rp %
Tahun 2004 Rp %
Tahun 2003 Rp %
96.421.920 1.153.943 7.373.300 119.000 105.068.163
91,77 1,10 7,02 0,11 100,00
82.444.750 2.588.222 3.520.000 315.900 88.868.872
92,77 2,91 3,96 0,36 100,00
43.492.400 1.871.633 1.114.000 220.000 46.698.033
93,14 4,01 2,39 0,47 100,00
41.040.000 581.500 1.671.000 2.683.500 4.491.164 1.790.500 4.350.600 851.500 2.584.300 35.000 1.530.000 4.200.000 1.530.500 240.297 6.350.570 73.930.431 31.137.732 3.113.773 28.023.958
55,51 0,79 2,26 3,63 6,07 2,42 5,88 1,15 3,50 0,05 2,07 5,68 2,07 0,33 8,59 100,00
35.610.000 1.522.900 1.705.100 3.195.500 1.620.000 1.829.400 4.508.100 1.330.300 2.562.500 175.000 1.811.300 57.500 248.600 251.400 2.230.000 1.950.300
52,72 2,25 2,52 4,73 2,40 2,71 6,67 1,97 3,79 0,26 2,68 0,09 0,37 0,37 3,30 2,89 0,66 9,62 100,00
19.855.000 1.527.000 1.264.200 610.000 1.056.600 1.573.400 1.094.600 687.500 79.700 1.661.050 565.000 274.500 345.000 1.750.000
53,55 4,12 3,41 1,65 2,85 4,24 2,95 1,85 0,21 4,48 1,52 0,74 0,93 4,72 0,52 12,24 100,00
445.024 6.494.800 67.547.724 21.321.148 2.132.115 19.189.033
193.974 4.536.850 37.074.374 9.623.659 0
Sumber: Laporan Keuangan Koperasi M3 Tangerang, 2005.
Dari pola yang diperoleh dari perubahan nilai-nilai dalam pos antara tahun 2003-2005 diketahui bahwa pos yang sangat mempengaruhi besarnya pendapatan yang dihasilkan adalah jasa pembiayaan. Lebih dari 90% pendapatan diperoleh 80
dari jasa pembiayaan. Sementara itu, cenderung meningkatnya kontribusi denda terhadap
besarnya
pendapatan
yang
dihasilkan
secara
tidak
langsung
menunjukkan adanya peningkatan terhadap pembiayaan bermasalah. Di sisi biaya, gaji karyawan (termasuk lembur) sangat mempengaruhi besarnya biaya yang perlu dikeluarkan oleh KSU M3 Tangerang didalam melaksanakan usahanya. Lebih dari 50% biaya disebabkan oleh pembayaran gaji dan THR terhadap karyawan. Tampaknya pengelola lebih memilih untuk melakukan upaya efisiensi melalui penghematan pada pos-pos biaya lainnya seperti ATK, jasa penggunaan energi listrik, air dan telepon, perawatan barang inventaris dan transport. Telaah lebih mendalam atas hasil analisis horizontal di atas dilakukan melalui kajian terhadap kondisi masing-masing pos neraca keuangan antar waktu. Tabel 16 berikut menyajikan kondisi keuangan KSU M3 Tangerang pada tahun 2003 hingga 2005 berdasarkan neraca keuangan yang dilaporkan. Tabel 16 Kondisi keuangan berdasarkan neraca keuangan KSU M3 Tangerang, 2003-2005 (per 31 Desember). Pos-pos Neraca AKTIVA 01 Kas 02 Bank 03 Pembiayaan diberikan 04 Sewa dibayar di muka 05 Inventaris 06 Bangunan Total Aktiva PASIVA Kewajiban 07 Tab. LWK dan Minggon 08 Tab. 5% Pinjaman
Tahun 2005 Rp %
Tahun 2004 Rp %
Tahun 2003 Rp %
23.717.129 52.382.631 317.677.050 3.500.000 25.402.280 50.000.000 472.679.090
5,02 11,08 67,21 0,74 5,37 10,58 100,00
48.048.255 76.643.860 231.289.850 3.500.000 28.272.850 50.000.000 437.754.815
10,98 17,51 52,84 0,80 6,46 11,42 100,00
14.530.443 79.076.066 185.812.200 2.562.500 21.044.650 303.025.859
4,80 26,10 61,32 0,85 6,94 100,00
26.937.600 69.799.400
5,70 14,77
19.048.000 46.279.000
4,35 10,57
7.650.300 21.954.000
2,52 7,24
2.402.972
0,51
3.375.875
0,77
3.232.900
1,07
10 Hutang Pajak
5.196.068
1,10
2.132.115
0,49
-
11 Hutang Usaha
14.040.059
2,97
35.819.000
8,18
-
1.320.000 8.351.000 300.150.000 16.458.033 28.023.958 472.679.090
0,28 1,77 63,50 3,48
1.100.000 5.192.000 300.150.000 5.467.995 19.190.830 437.754.815
0,25 1,19 68,57 1,25
09 Tab. Sukarela
Modal 12 Simpanan Pokok 13 Simpanan Wajib 14 Hibah 15 Cadangan Rugi Laba TOTAL PASSIVA
725.000 2.420.000 257.420.000 9.623.659 303.025,859
0,24 0,80 84,95 -
Sumber: Laporan Keuangan Koperasi M3 Tangerang, 2005.
81
Berdasarkan perbandingan antar pos di neraca keuangan tahun 2003 – 2005 KSU M3 Tangerang diketahui bahwa besarnya aktiva sangat dipengaruhi oleh besarnya pembiayaan diberikan atau pinjaman yang disalurkan. Pembelian rumah penduduk sebagai kantor juga cukup mempengaruhi besarnya aktiva yang dimiliki. Sementara itu besarnya pasiva sangat dipengaruhi oleh besarnya modal yang berasal dari hibah. Hibah dalam hal ini berupa dropping dana dari pemerintah (c.q. Departemen Kelautan dan Perikanan) melalui program pemberdayaan masyarakat melalui penguatan permodalan Mikro Mitra Mina. Modal yang bersumber dari penggalangan dana dari anggota tampak belum menjadi bagian yang mampu mengangkat kemandirian KSU M3 didalam permodalan. Kecenderungan yang tampak dari perbandingan antar pos dalam satu waktu didukung oleh hasil perbandingan pos antar waktu. Di sisi aktiva, terjadinya peningkatan aktiva tampak sangat dipengaruhi oleh meningkat atau tidaknya pembiayaan diberikan atau pinjaman disalurkan. Di sisi pasiva, meskipun modal yang bersumber dari anggota berupa simpanan pokok dan simpanan wajib semakin meningkat namun belum dapat berpengaruh besar terhadap total pasiva. Di sisi lain, kecenderungan semakin menurunnya hibah yang diterima sebagai kontributor besar terhadap total pasiva menunjukkan perlunya kerja ekstra dari pengelola untuk meningkatkan kinerja keuangan KSU M3. Berdasarkan analisis vertikal dan analisis horizontal terhadap laporan laba rugi dan neraca keuangan KSU M3 tahun 2003 hingga 2005 diketahui bahwa kinerja keuangan dapat ditingkatkan melalui: (1) Peningkatan produktivitas karyawan. Hal ini mengingat porsi biaya terbesar ditimbulkan oleh hal-hal yang terkait dengan reward dan insentif kepada karyawan; (2) Monitoring secara periodik terhadap kelancaran angsuran. Hal ini mengingat aktiva masih sangat dipengaruhi oleh besarnya pembiayaan yang diberikan atau pinjaman yang disalurkan. Peran ketua kelompok perlu lebih ditingkatkan dan merupakan isu krusial didalam keberlanjutan usaha KSU M3 dikarenakan adanya kecenderungan menurunnya jumlah nasabah atau anggota kelompok; (3) Perlunya penggalangan modal yang bersumber dari dalam atau anggota KSU M3. Hal ini mengingat pada masih dominannya hibah dari pihak lain terhadap modal didalam pasiva.
82
Sementara itu dari tahun ke tahun jumlah hibah tersebut tampaknya semakin menurun. 4.4.1.2 Rasio keuangan Berdasarkan data-data tentang kondisi keuangan maka dapat diketahui tingkat kesehatan KSU M3 Tangerang pada tahun 2004 dan 2005. Tingkat kesehatan keuangan LKM tersebut tercermin pada nilai beberapa rasio keuangan yang digunakan. Adapun nilai-nilai rasio keuangan tersebut disajikan pada tabel 17 berikut: Tabel 17 Kinerja keuangan KSU M3 Tangerang berdasarkan beberapa rasiorasio keuangan, tahun 2003-2005 (per 31 Desember). No .
Kinerja Keuangan/ Jenis Rasio
Nilai Rasio Keuangan (%) Tahun Tahun Tahun PT X (BPR) 2005 2004 2003 per 30 Desember 2005
1. Struktur Keuangan - Rasio total modal terhadap simpanan 275,63 292,45 793,51 pihak ketiga 2. Aktiva Produktif - Rasio total pembiayaan bermasalah 28,19 3,48 1,02 terhadap total pembiayaan diberikan 3. Likuiditas - Rasio total pembiayaan terhadap total 71,44 55,26 44,39 dana yang diterima dari anggota 4. Efisiensi - Rasio biaya operasional terhadap 70,36 82,22 79,39 pendapatan operasional 5. Rentabilitas - Rasio laba tahun berjalan terhadap aset 11,10 7,07 3,18 - Rasio laba tahun berjalan terhadap total 16,08 9,92 3,69 modal
231,35
0,47
58,26
84,53
3,55 5,46
Sumber: Data diolah, Laporan Tahunan KSU M3 Tangerang, 2005.
Penjelasan tentang perkembangan kinerja keuangan KSU M3 berdasarkan perbandingan nilai rasio-rasio keuangan antara tahun 2003 - 2005 serta dalam tabel 17 dipaparkan sebagai berikut: (1) Struktur Keuangan Secara keseluruhan struktur keuangan KSU M3 tergolong “Baik”. Nilai rasio struktur keuangan dari tahun 2003 (793,51%), tahun 2004 (292,45%) hingga tahun 2005 (275,63%) menunjukkan modal yang dimiliki mampu menjamin kondisi keuangan tetap stabil apabila terjadi penarikan simpanan pihak ketiga secara besar-besaran. Di sisi lain, menurunnya nilai rasio keuangan ini secara beruntun dan dalam jumlah yang cukup signifikan perlu 83
diperhatikan. Hal ini dikarenakan modal yang dimiliki sebagian besar masih berasal dari hibah dan bukan dari peningkatan modal internal. (2) Aktiva Produktif Berdasarkan kecenderungan nilai rasio yang diperoleh tampak bahwa pengelola KSU M3 mengalami kendala didalam menjamin kelancaran pengembalian pinjaman atau terjadinya ketidaklancaran didalam angsuran anggota. Nilai rasio di tahun 2003 (1,02%) yang tergolong “Baik” mulai menurun menjadi “Cukup Baik” di tahun 2004 (3,48%). Penurunan kinerja sangat signifikan terjadi di tahun 2005 karena nilai rasio yang diperoleh (28,19%) menunjukkan kondisi “Buruk”. Pembiayaan bermasalah dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Permasalahan ini timbul terutama pada anggota yang berprofesi sebagai nelayan. Hal ini terkait dengan rendahnya pendapatan akibat alam yang tidak bersahabat serta akibat teknologi penangkapan yang masih tradisional yang menyebabkan mereka tidak mampu mendapatkan hasil tangkapan yang optimal. Pembiayaan yang diberikan pada kalangan pedagang atau bakul atau anggota yang berprofesi di pekerjaan yang berorientasi daratan tampaknya tidak menjadi suatu permasalahan (angsuran tetap lancar). Tabel 18 berikut menyajikan persentase pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan berdasarkan lokasi penerima pembiayaan di tahun 2003-2005. Tabel 18 Total pembiayaan disalurkan, pembiayaan bermasalah dan pembiayaan lancar pada KSU M3 Tangerang, Tahun 2003-2005 (per 31 Desember). No. 1. 2. 3. 4.
Uraian Total nilai pinjaman yang disalurkan Jumlah yang seharusnya dibayar Jumlah yang nyata dibayar Pinjaman bermasalah
Nominal (Rupiah) 2003 2004 2005 456.200.000 1.038.844.000 1.669.332.000 283.243.400 780.706.800 1.780.475.100 278.600.300 744.534.300 1.309.903.300 4.642.700 36.172.500 470.571.800
Sumber: Laporan Tahunan KSU M3 Tangerang, 2005.
(3) Likuiditas Berdasarkan kecenderungan yang terjadi diketahui bahwa kinerja keuangan KSU M3 cukup memprihatinkan. Nilai rasio pada tahun 2003 (44,39%) dan tahun 2004 (55,26%) tergolong “buruk”. Namun demikian
84
tampak telah adanya upaya pengelola koperasi untuk memperbaiki kinerjanya. Hal ini tampak dari meningkatnya status kinerja menjadi “cukup buruk” pada tahun 2005 (71,44%). (4) Efisiensi Berdasarkan nilai rasio keuangan yang digunakan tampak bahwa pengelolaan dana semakin efisien. Pada tahun 2003 (79,39%) dan 2004 (82,22%) masih menunjukkan kinerja “cukup buruk”. Namun demikian pada tahun 2005 pengurus koperasi telah mampu memperbaiki kinerjanya. Nilai rasio keuangan ini (BOPO) sebesar 70,36 menunjukkan efisiensi yang dilakukan termasuk kategori “cukup baik”. (5) Rentabilitas Kemampuan KSU M3 dalam memperoleh laba berdasarkan aset (nilai ROA) maupun modal (nilai ROE) yang dimiliki semakin meningkat. Nilai ROA sebesar 3,18% pada tahun 2003 atau tergolong “buruk” mampu ditingkatkan hingga mencapai nilai 11,10% pada tahun 2005 atau tergolong “cukup buruk”. Bahkan untuk ROE nilai pada tahun 2003 (3,69%) yang tergolong “buruk” telah mampu ditingkatkan pada tahun 2005 (16,08%) hingga tergolong “cukup baik”
4.4.2 Koperasi serba usaha LEPP Pasuruan 4.4.2.1 Analisis vertikal dan horizontal Tabel 19 berikut menyajikan kondisi keuangan KSU LEPP Pasuruan pada tahun 2003 hingga 2005 berdasarkan laporan laba rugi yang dilaporkan. Tabel 19 Kondisi Keuangan berdasarkan laporan laba (rugi) KSU LEPP Pasuruan, tahun 2003-2005 (per 31 Desember). POS-POS NERACA PENDAPATAN 01 Jasa Bank 02 Jasa Pembiayaan 03 Pendapatan Prov.dan Adm 04 Pendapatan dll. Total Pendapatan BIAYA 05 Biaya barang dan jasa
Tahun 2005 Rp %
Tahun 2004 Rp %
Tahun 2003 Rp %
35.344.039 266.154.200 15.350.550 12.113.181 328.961.970
10,74 80,91 4,67 3,68 100,00
48.718.123 246.502.708 12.499.500 11.275.605 318.995.936
15,27 77,27 3,92 3,53 100,00
66.417.892 158.568.755 5.164.600 2.870.000 233.021.247
28,50 68,05 2,22 1,23 100,00
28.236.000
11,54
40.450.550
15,25
44.152.461
21,15
85
06 Biaya renovasi kantor 07 Biaya gaji karyawan 08 Biaya pendidikan 09 Pemeliharaan dan Perbaikan 10 Biaya penyusutan AK Tetap 11 Penghapusan AK Produktif 12 Jasa simpanan 13 Jasa pembiayaan dr pihak lain 14 Biaya lain-lain (sosial) 15 Biaya fee Total Biaya Laba-rugi tahun berjalan Laba rugi tahun lalu Total Laba Rugi
715.000 62.050.000 17.400.000 4.114.700 20.277.850 13.727.600 22.316.875 31.286.750 10.272.000 34.382.450 244.779.225 84.182.745 15.605.463 99.788.208
0,29 25,35 7,11 1,68 8,28 5,61 9,12 12,78 4,20 14,05 100,00
590.000 68.090.000 2.155.000 326.700 14.516.850 6.900.000 15.847.843 44.996.300 17.834.600 53.562.750 265.270.593 53.725.343 33.466.223 87.191.566
0,22 25,67 0,81 0,12 5,47 2,60 5,97 16,96 6,72 20,19 100,00
3.028.000 43.890.000 5.700.000 790.000 8.914.950 3.150.000 14.961.255 646.350 5.839.750 77.701.800 208.774.566 24.246.681 9.219.542 33.466.223
1,45 21,02 2,73 0,38 4,27 1,51 7,17 0,31 2,80 37,22 100,00
Sumber: Laporan Keuangan Koperasi LEPP Pasuruan, 2004-2005.
Perubahan nilai-nilai dalam pos antara tahun 2003-2005 menunjukkan besarnya pendapatan yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh jasa pembiayaan. Besarnya kontribusi jasa pembiayaan terhadap pendapatan KSU LEPP semakin ditunjukkan oleh peranan pos ini terhadap penurunan total aktiva pada periode 2004-2005. Di sisi biaya, gaji karyawan (termasuk lembur) paling mempengaruhi besarnya biaya yang perlu dikeluarkan oleh KSU M3 Tangerang didalam melaksanakan usahanya. Biaya yang dikeluarkan untuk gaji karyawan berkisar antara 21 – 25% dari total biaya. Pos lain yang cukup mempengaruhi komponen biaya adalah penyediaan barang dan jasa, jasa pembiayaan dari pihak lain serta biaya fee. Dalam skim kredit PEMP, KSU LEPP menetapkan adanya fee sebesar 18%. Fee tersebut dibagikan pada pengurus koperasi (8%), mitra desa (10%), ketua KMP (50%) dan sebagai dana penggemukan (10%), dana operasional (20%) dan dana sosial (2%). Fee ini dari sisi pemberdayaan menunjukkan adanya upaya peningkatan akses permodalan kepada masyarakat. Komposisi terbesar fee diberikan pada ketua KMP karena figur ini memegang peran penting didalam menjaga kelancaran angsuran pinjaman para anggotanya. Dari sisi biaya juga tampak adanya penurunan biaya pada periode 20042005, suatu kondisi yang berlawanan dengan periode 2003-2004. Penurunan biaya pada periode tersebut dikarenakan oleh menurunnya biaya atas jasa pembiayaan dari pihak lain. Upaya meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pengelola juga berpengaruh besar terhadap biaya secara keseluruhan. 86
Telaah lebih mendalam atas hasil analisis vertikal dan horizontal pada laporan laba rugi dilakukan melalui kajian terhadap kondisi masing-masing pos neraca KSU LEPP Pasuruan pada tahun 2003 hingga 2005 berdasarkan neraca keuangan yang dilaporkan. Tabel 20 Kondisi keuangan berdasarkan neraca keuangan KSU LEPP Pasuruan, 2003-2005 (per 31 Desember). 2005
POS-POS NERACA Rp
2004 %
Rp
2003 %
Rp
%
AKTIVA Aktiva Lancar 01 Kas 02 Bank 03 Pembiayaan diberikan 031 Program PEMP 032 Umum 04 Penyisihan Penghapusan AP 05 Aktiva Tetap dan Inventaris 06 Akumulasi penyusutan 07 Rupa-rupa Aktiva Total Aktiva PASIVA 08 Kewajiban lainnya 09 Simpanan 10 Pembiayaan dari pihak lain 11 Dana Bantuan 12 Modal 13 Cadangan 14 Rupa-rupa pasiva Laba-rugi tahun lalu Laba rugi tahun berjalan Total Pasiva
9.590.575 783.838.335 1.487.087.230 740.797.150 (1.600.000)
0,31 25,60
17.607.000 464.739.193
0,54 14,22
13.407.050 815.078.051
0,44 26,65
48,57 1.904.303.930 24,19 835.259.400 (0,05) (10.050.000)
58,26 25,55 (0,31)
1.660.887.355 528.259.400 (4.050.000)
54,31 17,27 (0,13)
70.044.600 2,29 54.684.600 1,67 (39.470.950) (1,29) (19.193.100) (0,59) 11.594.750 0,38 21.530.325 0,66 3.061.881.690 100.00 3.268.881.348 100,00
38.677.000 1,26 (7.526.250) (0,25) 13.613.325 0,45 3.058.345.931 100,00
331.741.553 10,83 363.063.493 11,11 5,72 566.415.400 17,33 175.000.000 2.477.264.103 80,91 2.257.800.000 69,07 (23.007.474) (0,75) (22.294.311) (0,68) 0,04 16.705.200 0,51 1.095.300 0,51 33.466.223 1,02 15.605.463 84.182.745 2,75 53.725.343 1,64 3.061.881.690 100.00 3.268.881.348 100,00
270.585.658 8,85 426.957.850 13,96 2.323.300.000 75,96 4.222.000 0,14 9.219.542 0,30 24.246.681 0,79 3.058.531.731 100,00
Sumber: Laporan Keuangan Koperasi LEPP Pasuruan, 2004-2005.
Berdasarkan neraca keuangan yang dimiliki tampak bahwa pembiayaan diberikan atau pinjaman yang disaalurkan merupakan komponen paling besar didalam aktiva KSU LEPP. Berdasarkan perbandingan antara neraca keuangan tahun 2003 dan tahun 2004 dapat diketahui bahwa pada tahun 2004 meningkatnya aktiva KSU LEPP sangat dipengaruhi oleh ekspansi kredit yang dilakukan. Hal ini tampak
dari
meningkatnya
pembiayaan
yang
diberikan
sejumlah
Rp
550.416.575,-. Pembiayaan ditujukan pada pembiayaan Program PEMP yang sudah lunas serta pembiayaan umum dengan tujuan menambah nilai pendapatan. Ekspansi kredit sebagian bersumber dari simpanan di bank tampak dari
87
berkurangnya aktiva lancar dalam bentuk simpanan di bank sejumlah Rp 350.338.858,-. Nilai investasi juga meningkat sebesar Rp 16.007.600,- dengan tujuan melengkapi sarana-prasarana yang mampu menunjang efektivitas dan efisiensi kegiatan usaha. Meningkatnya aktiva KSU LEPP di tahun 2004 sangat dipengaruhi oleh meningkatnya kewajiban dalam bentuk simpanan pihak ketiga dan pembiayaan dari pihak lain. Peningkatan aktiva sebaliknya diiringi dengan menurunnya modal yang dimiliki. Menurunnya modal disebabkan oleh pembangunan warung serba ada (waserda) yang merupakan salah satu upaya LKM untuk meningkatkan pendapatan. Kondisi keuangan KSU pada periode tahun 2004-2005 merupakan kebalikan dari periode tahun 2003-2004. Terjadi penurunan aktiva yang sangat dipengaruhi oleh menurunnya pembiayaan yang diberikan. Tercatat pada tahun 2005 terjadi penurunan pembiayaan yang diberikan sejumlah Rp 511.678.950,dibandingkan tahun 2004. Meningkatnya aktiva di bank lebih dikarenakan adanya penambahan DEP dari pemerintah dan bukan berasal dari adanya penumpukan aktiva dalam bentuk pembiayaan yang sudah jatuh tempo. Adapun peningkatan nilai aktiva tetap dan inventaris disebabkan oleh faktor inflasi disamping pengadaan barang untuk keperluan kantor maupun pengisian warung serba ada. Seperti halnya di periode tahun 2003-2004, tampak bahwa kondisi aktiva masih sangat dipengaruhi oleh kewajiban terhadap pihak ketiga. Peranan modal terhadap aktiva belum tampak karena di saat yang sama terjadi peningkatan modal sebesar Rp. 219.464.103,-. Secara menyeluruh analisis vertikal dan horizontal menunjukkan bahwa laba rugi KSU LEPP Pasuruan sangat dipengaruhi oleh biaya atas jasa pembiayaan dari pihak lain. Lebih lanjut, pos dalam biaya ini pada akhirnya mempengaruhi aktiva KSU LEPP. Kondisi ini tampak dari menonjolnya peran pembiayaan yang diberikan terhadap pembentukan aktiva KSU LEPP. Peran modal didalam pembentukan aktiva LKM ini tampaknya masih perlu ditingkatkan.
88
4.4.2.2 Rasio keuangan Berdasarkan data-data tentang kondisi keuangan maka dapat diketahui tingkat kesehatan KSU LEPP Pasuruan pada tahun 2004 dan 2005. Tingkat kesehatan LKM tersebut tercermin pada nilai beberapa rasio keuangan yang digunakan yang disajikan pada tabel 21. Tabel 21 Kinerja keuangan KSU LEPP Pasuruan berdasarkan beberapa rasiorasio keuangan, tahun 2004 dan 2005 No .
Kinerja Keuangan/ Jenis Rasio
Nilai Rasio Keuangan (%) Tahun Tahun Tahun PT X (BPR) 2005 2004 2003 per 30 Desember 2005
1. Struktur Keuangan - Rasio total modal terhadap simpanan 746,75 621,87 858,62 pihak ketiga 2. Aktiva Produktif - Rasio total pembiayaan bermasalah 36,60 49,01 terhadap total pembiayaan diberikan 3. Likuiditas - Rasio total pembiayaan terhadap total 97,55 83,18 dana yang diterima dari anggota 4. Efisiensi - Rasio biaya operasional terhadap 74,41 82,22 85,59 pendapatan operasional 5. Rentabilitas - Rasio laba tahun berjalan terhadap aset 2,75 1,64 0,79 - Rasio laba tahun berjalan terhadap total 3,40 2,38 1,04 modal
231,35
0,47
58,26
84,53
3,55 5,46
Sumber: Data diolah, Laporan Tahunan KSU LEPP Pasuruan 2004 dan 2005
Penjelasan tentang perkembangan kinerja keuangan KSU LEPP berdasarkan perbandingan nilai rasio-rasio keuangan antara tahun 2003 - 2005 serta dalam tabel 21 dipaparkan sebagai berikut: (1) Struktur keuangan Secara keseluruhan struktur keuangan KSU LEPP sudah tergolong “baik”. Nilai rasio struktur keuangan dari tahun 2003 (858,62%), tahun 2004 (621,87%) hingga tahun 2005 (746,75%) menunjukkan modal yang dimiliki mampu menjamin kondisi keuangan tetap stabil apabila terjadi penarikan simpanan pihak ketiga secara besar-besaran. Di sisi lain, jika melihat tujuan pembentukan LKM ini adalah meningkatkan motivasi menabung masyarakat pesisir maka tampak tujuan tersebut perlu lebih ditingkatkan. Hal ini tampak dari nilai struktur keuangan yang dimiliki oleh perusahaan sejenis (Bank
89
Perkreditan Rakyat PT X) di tahun 2005 yang relatif telah lebih baik hanyalah sebesar 231,35%. (2) Aktiva produktif Berdasarkan kecenderungan nilai rasio yang diperoleh tampak bahwa pengelola KSU LEPP telah melakukan berbagai pembenahan terhadap mekanisme pemberian pinjaman. Hal ini tampak dengan adanya penurunan nilai rasio aktiva produktif di tahun 2004 sebesar 49,01% menjadi 36,60% di tahun 2005. Namun demikian nilai rasio keuangan di tahun 2005 tersebut masih menunjukkan kinerja yang tergolong “buruk” sehingga masih diperlukan upaya-upaya yang lebih konkrit dari pihak pengelola KSU LEPP untuk mengatasi pembiayaan bermasalah (kredit macet). Tabel 22 dan tabel 23 berikut menyajikan persentase pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan berdasarkan lokasi penerima pembiayaan di tahun 2005 dan 2004. Tabel 22 Total pembiayaan, pembiayaan bermasalah dan pembiayaan lancar pada koperasi LEPP Pasuruan, 2005 (per 31 Desember). Kecamatan/Desa
Total Pembiayaan
Nominal (Rupiah) Pembiayaan Bermasalah
Pembiayaan Lancar
Kecamatan Kraton Ds Kalirejo 799.300.000 273.765.250 525.534.750 Ds Pulokerto 320.600.000 201.633.100 118.966.900 Ds Semare 464.350.000 276.515.900 187.834.100 Kecamatan Nguling Ds Kapasan 75.000.000 62.121.350 12.878.650 Ds Kedawang 152.000.000 150.089.600 1.910.400 Ds Watuprapat 75.000.000 65.563.500 9.436.500 Kecamatan Lekok Ds Jatirejo 283.500.000 283.500.000 Ds Semedusari 381.000.000 381.000.000 Ds Tambak Lekok 81.000.000 37.430.525 43.569.475 Ds Wates 279.000.000 279.000.000 Total 2,910.750.000 1.067.119.225 1.843.630.775 Sumber: Data diolah, Laporan Tahunan KSU LEPP Pasuruan, 2005. Keterangan: Pembiayaan (kredit) di Kec. Nguling pada tahun 2004 sebesar Rp. 302.000.000,- telah dihapus dari pembukuan laporan keuangan.
90
Tabel 23 Total pembiayaan, pembiayaan bermasalah dan pembiayaan lancar pada koperasi LEPP Pasuruan, Tahun 2004 (per 31 Desember). Kecamatan/Desa
Total Pembiayaan
Nominal (Rupiah) Pembiayaan Bermasalah
Pembiayaan Lancar
Kecamatan Kraton Ds Kalirejo 640.300.000 444.951.050 195.348.950 Ds Pulokerto 320.600.000 230.828.700 89.771.300 Ds Semare 458.850.000 315.508.700 143.341.300 Kecamatan Nguling Ds Kapasan 75.000.000 61.945.200 13.054.800 Ds Kedawang 152.000.000 149.875.525 2.124.475 Ds Watuprapat 75.000.000 57.563.600 17.436.400 Kecamatan Lekok Ds Jatirejo 268.000.000 268.000.000 Ds Semedusari 334.000.000 334.000.000 Ds Tambak Lekok 254.500.000 254.500.000 Ds Wates 73.000.000 38.695.825 34.304.175 Total 2.651.252.000 1.299.368.600 1.833.339.704 Sumber: Data diolah, Laporan Tahunan KSU LEPP Kab. Pasuruan, 2005.
Ada tiga hal yang menjadi penyebab utama terjadinya kredit bermasalah. Pertama adalah penyalahgunaan oleh Ketua Kelompok terhadap angsuran yang masuk terutama di Desa Semare dan Desa Watu Prapat. Akibatnya, banyak anggota yang tidak mau bayar sebelum dana angsuran yang digunakan oleh Ketua Kelompok dikembalikan. Kedua, kondisi alam yang kurang mendukung terutama bagi nasabah yang berprofesi sebagai pembudidaya tambak. Bagi mereka yang umumnya tinggal di Desa Pulokerto sering mengalami banjir yang menyebabkan terganggunya hasil panen dan pendapatan. Akibatnya, angsuran program terganggu dari jadwal yang telah ditetapkan. Ketiga, masih adanya isu bahwa kelompok yang lunas lagi mendapatkan pinjaman dan kalaupun mendapat pinjaman maka nilainya lebih kecil dari pada nilai yang diterima sebelumnya. (3) Likuiditas Menurunnya kinerja keuangan KSU LEPP berdasarkan nilai rasio keuangan ini ( di tahun 2005 yang mencapai 97,55%) lebih disebabkan adanya penerimaan DEP dari pemerintah. Fenomena ini menunjukkan penambahan modal belum tentu dapat diantisipasi dengan baik oleh pengurus dan berakibat pada menurunnya kinerja keuangan koperasi.
91
Sebelumnya, pada tahun 2004, likuiditas KSU LEPP sudah tergolong “baik” karena tercatat memiliki nilai rasio sebesar 83,18%. Kinerja keuangan KSU LEPP bahkan lebih baik jika dibandingkan dengan kinerja keuangan BPR PT X yang memiliki nilai rasio sebesar 58,26% atau tergolong “buruk”. (4) Efisiensi Berdasarkan nilai rasio keuangan yang digunakan tampak bahwa pengelolaan dana semakin efisien. Meskipun hingga tahun 2005 berdasarkan rasio keuangan ini kinerja KSU LEPP masih tergolong “cukup buruk” namun demikian tampak adanya kecenderungan yang signifikan untuk menjadikan efisiensi tergolong ”cukup baik”. (5) Rentabilitas Kemampuan KSU LEPP dalam memperoleh laba berdasarkan aset (nilai ROA) maupun modal (nilai ROE) yang dimiliki semakin meningkat. Nilai ROA sebesar 0,79% telah meningkat hingga 2,75% pada tahun 2005. Begitu pula dengan nilai ROE yang terus meningkat, mulai dari 1,04 pada tahun 2003 menjadi 3,40% pada tahun 2005. Meskipun nilai ROA (3,55%) dan nilai ROE (5,46%) BPR PT X menunjukkan kondisi lebih baik, namun demikian perlu diperhatikan bahwa KSU LEPP tidak hanya melayani pembiayaan umum namun juga pembiayaan Program PEMP yang memiliki karakteristik unik dan memerlukan perlakuan khusus, Skim untuk nasabah PEMP diarahkan dalam upaya meningkatkan akses, jadi nilainya dibatasi untuk dapat memenuhi kebutuhan banyak orang dibandingkan dengan nasabah umum yang diarahkan untuk upaya komersil. Artinya, kemampuan menghasilkan laba dari KSU LEPP relatif tidak lebih buruk dibandingkan dengan BPR PT X. 4.5 Dampak Intermediasi LKM 4.5.1 Koperasi serba usaha M3 Tangerang 4.5.1.1 Tingkat kesejahteraan Sebaran tingkat kesejahteraan dari 64 anggota KSU LEPP dari beberapa variabel yaitu tingkat pendapatan (Rp/tahun), kondisi rumah (nilai indeks kondisi rumah), kepemilikan asset produktif (Rp), jumlah tanggungan keluarga 92
(orang/KK), frekuensi pemanfaatan kredit (kali) dan total nominal kredit diterima (Rp) digambarkan dalam diagram-diagram batang (gambar 6 – 11) berikut uraian
Tk. Pendapatan ( x R p 1000)
penjelasannya sebagai berikut: 50000 45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 Responden
Gambar 6
Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang berdasarkan tingkat pendapatan (Rp/tahun), tahun 2006.
Ko n disi Ru m ah (In deks Ru m ah )
40 30 20 10 0 1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 Responden
Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang berdasarkan kondisi rumah (nilai indeks), tahun 2006.
N ilai A set P ro d u k tif (x R p 1000)
Gambar 7
60000 45000 30000 15000 0 1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 Responden
Gambar 8
Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang berdasarkan kepemilikan aset produktif (Rupiah), tahun 2006. 93
A n g g o ta K K (jiw a/K K )
12 10 8 6 4 2 0 1
5
9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81
Responden
Gambar 9 Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang jumlah anggota keluarga (jiwa/KK), tahun 2006.
F reku en si K red it (kali)
9
6
3
0 1
5
9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 Responden
Gambar 10 Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang berdasarkan frekuensi kredit (kali), tahun 2006.
T o ta l N o m in a l K re d it (x R p 1 0 00 )
10000 8000 6000 4000 2000 0 1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 Responden
Gambar 11 Diagram batang sebaran karakter 81 anggota KSU M3 Tangerang berdasarkan nominal kredit diterima (Rupiah), tahun 2006.
94
(1) Tingkat pendapatan Karakter anggota KSU M3 berdasarkan tingkat pendapatan tahunan adalah antara Rp 404.000,- hingga Rp 9.120.000,- per kapita per tahun (asumsi 5 jiwa/KK). Pada tahun 2001 tingkat pendapatan anggota KSU M3 per kapita berkisar antara Rp. 489.600,- hingga Rp. 2.200.000,- dan rata-rata Rp. 1.307.965,- (Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, 2002c). Secara umum, dapat dilihat adanya peningkatan pada pendapatan anggota KSU M3. Namun demikian, jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita per tahun penduduk di Tangerang tahun 2004 diketahui hanya 2 KK (2,5%) yang memiliki pendapatan di atas PDRB per kapita kabupaten. Selebihnya atau 79 KK (97,5%) masih dibawah PDRB per kapita kabupaten. Hal ini menunjukkan pada umumnya anggota KSU masih merupakan kelompok masyarakat berpendapatan dibawah rata-rata (Badan Perencana Daerah, 2005). (2) Kondisi rumah Indeks rumah mencerminkan kemampuan seseorang untuk memenuhi persyaratan rumah sehat. Artinya, masyarakat tersebut sudah cukup berdaya didalam
mengakses
dimensi
kesehatan
untuk
meningkatkan
taraf
kesejahteraannya. Dengan asumsi masyarakat belum berdaya adalah anggota KSU M3 yang memiliki rumah dengan nilai indeks kurang dari 11 (hasil nilai maksimum – 34 - dibagi 3) maka diketahui sebagian besar anggota KSU sudah
mampu mengakses
dimensi kesehatan
sebagai modal untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Tercatat hanya 1 dari 81 KK (1,23%) yang memiliki rumah dengan nilai indeks kurang dari 11. (3) Aset produktif Kepemilikan aset produktif merupakan modal bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Secara visual (gambar 8) dapat dilihat adanya kecenderungan bahwa karakter responden berdasarkan pemilikan aset produktif (Rupiah) dapat dibagi kedalam 2 kelompok, yaitu: (a) kelompok anggota KSU dengan nilai aset produktif < Rp 5.000.000,-. Kelompok ini masih merupakan pelaku usaha dengan skala mikro. Usaha dengan skala ini sangat erat dengan permasalahan keterbatasan modal; dan (b)
95
kelompok pemilik aset produktif dengan nilai lebih dari Rp 5.000.000,- hingga Rp 50.000.000,- yang merupakan pelaku usaha skala kecil. Pada saat ini, sebanyak 29 orang (35,80%) anggota KSU M3 merupakan pelaku usaha mikro dan lainnya sebanyak 52 orang (64,20%) sudah merupakan pelaku usaha skala kecil. (4) Anggota keluarga Anggota KSU secara rata-rata memiliki jumlah anggota 5 orang per KK sehingga dari tingkat kesejahteraan dilihat dari sudut keluarga berencana sudah cukup baik. Dengan asumsi setiap KK dalam satu rumah hanya terdiri dari keluarga inti (bapak, ibu dan 3 anak) maka anggota KSU memiliki potensi untuk merencanakan kehidupan keluarganya dengan cukup baik. (5) Frekuensi penerimaan kredit Frekuensi penerimaan kredit secara rata-rata adalah 5 kali selama 3 tahun. Artinya, mereka dapat melunasi pinjaman rata-rata dalam waktu 6 bulan. Kondisi ini dilihat dari sudut pandang prosedur peminjaman merupakan hal yang menggembirakan. Mereka pada umumnya telah cukup memiliki potensi usaha yang mampu dikelola dengan baik untuk dapat memenuhi ketentuan angsuran pinjaman yang dibebani bunga sebesar 2,5%. Menurut pengelola KSU M3, meskipun hingga kini angsuran masih dalam kondisi yang baik namun potensi pembiayaan bermasalah sangat tinggi terutama untuk anggota dengan profesi nelayan. Faktor cuaca yang tidak menentu dan kondisi wilayah perairan untuk daerah penangkapan yang semakin padat sangat menyulitkan para anggota KSU M3 tersebut untuk dapat dengan baik mengangsur pinjaman. Hal ini didukung pula oleh hasil analisis rasio keuangan yang menunjukkan indikasi pembiayaan bermasalah meningkat secara cukup signifikan mulai dari tahun 2004 (nilai rasio NPL dari 3,48% menjadi 28,19%). (6) Total jumlah/nominal pinjaman (kredit) diterima Rata-rata pinjaman anggota KSU M3 adalah sekitar Rp 3,5 juta. Dengan rata-rata telah mendapat pinjaman sebanyak 5 kali maka rata-rata per kredit adalah sekitar Rp 700.000,-. Jika melihat karakter usahanya (pengolah ikan 96
atau penjual ikan) dimana perputaran modal berjalan cukup cepat maka besarnya pinjaman dibandingkan dengan usaha yang dilakukan tentunya pinjaman tersebut sudah cukup memadai, akan tetapi dari sisi LKM belum menunjukkan kinerja yang baik karena kredit yang diberikan sebagian besar masih tergantung pada hibah dari pemerintah. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi besar kecilnya pinjaman yang diberikan kepada masyarakat. Bila kinerja LKM masih seperti ini, maka tidak tertutup kemungkinan jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat menjadi tidak memadai seiring dengan perkembangan usahanya. 4.5.1.2 Persepsi masyarakat Persepsi dari 71 anggota KSU M3 terhadap kesesuaian kredit menunjukkan sebagian besar (69,01%) atau 49 orang menyatakan kredit yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan usaha yang mereka jalankan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena skala usaha yang dilakukan oleh sebagian besar anggota koperasi ini merupakan skala usaha mikro. Pada skala ini besarnya pinjaman sekitar Rp 100.000,-/bulan dirasakan sudah cukup membantu didalam penguatan permodalan usaha mereka. Tampak adanya kecenderungan rata-rata bertambahnya usaha (usaha baru) para penerima kredit setelah menerima fasilitas pinjaman untuk keempat kalinya. Persepsi dari 73 anggota KSU M3 terhadap kesesuaian suku bunga yang menjadi syarat pinjaman dirasakan sudah sesuai oleh 64 orang anggota (87,67%). Sisanya yaitu sebanyak 9 orang (12,33%) masih dirasakan belum sesuai. Ketidaksesuaian suku bunga tersebut timbul karena dirasakan memberatkan dari sisi pembiayaan terhadap usaha yang mereka jalankan. Persepsi dari 57 anggota KSU M3, diketahui sebagian besar atau sebanyak 41 orang (71,93%) masih merasa menabung belum dirasa sebagai suatu perilaku yang penting mereka lakukan. Hal ini dikarenakan mereka masih lebih mementingkan pendapatan yang diperoleh untuk digunakan memenuhi keperluan menambah modal atau hal-hal yang bersifat konsumtif. Dibandingkan dengan persepsi mereka terhadap kesesuaian kredit, tampaknya terdapat dua indikasi, yaitu: (1) Persepsi tentang kesesuaian kredit lebih berorientasi pada kondisi usaha mereka saat ini. Belum terdapat perencanaan yang matang yang dibuat untuk 97
mengembangkan skala usaha mereka; (2) Adanya keterbatasan dari KSU M3 untuk dapat memenuhi sepenuhnya kebutuhan modal usaha anggotanya.
4.5.2 Koperasi serba usaha LEPP Pasuruan 4.5.2.1 Tingkat kesejahteraan Sebaran tingkat kesejahteraan dari 64 anggota KSU LEPP dari beberapa variabel yaitu tingkat pendapatan (Rp/tahun), kondisi rumah (nilai indeks kondisi rumah), kepemilikan aset produktif (Rp), jumlah tanggungan keluarga (orang/KK), frekuensi pemanfaatan kredit (kali) dan total nominal kredit diterima (Rp) digambarkan dalam diagram-diagram batang (gambar 12 – 17) berikut uraian penjelasannya sebagai berikut:
Tk. Pendapatan ( x Rp 1000)
30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 1
5
9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 Responden
Gambar 12 Diagram batang sebaran karakter 64 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan tingkat pendapatan (Rp/tahun), tahun 2006.
Kondisi Rumah (Indeks Rumah)
30 25 20 15 10 5 1
5
9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 Responden
Gambar 13 Diagram batang sebaran karakter 64 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan kondisi rumah (nilai indeks), tahun 2006.
98
Nilai Aset Produktif (x Rp 1000)
20,000 15,000 10,000 5,000 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 Responden
Gambar 14 Diagram batang sebaran karakter 34 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan nilai kepemilikan aset produktif (rupiah), tahun 2006. (Keterangan: 30 responden lainnya tidak memiliki aset produktif) Anggota KK (jiwa/KK)
7 6 5 4 3 2 1 1
4
7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 Responden
Gambar 15 Diagram batang sebaran karakter 64 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan jumlah anggota keluarga (Jiwa/KK), tahun 2006.
Frekuensi Kredit (kali)
6
3
c
1
5
9
13
17
21
25
29
33
37
41
45
49
53
57
61
Responden
Gambar 16 Diagram batang sebaran karakter 64 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan frekuensi kredit (kali), tahun 2006.
99
Total Nominal Kredit (x Rp 1000)
30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 1 4
7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 Responden
Gambar 17 Diagram batang sebaran karakter 64 anggota KSU LEPP Pasuruan berdasarkan nominal kredit diterima (rupiah), tahun 2006. (1) Tingkat pendapatan Karakter anggota KSU LEPP berdasarkan tingkat pendapatan tahunan adalah antara Rp 1.619.000,- hingga Rp 6.750.000,- per kapita per tahun (asumsi 4 jiwa/KK). Pada tahun 2003, tingkat pendapatan anggota masih berkisar antara Rp 1.500.000,- hingga Rp 2.550.000,- (Laporan Tahunan KSU LEPP Kab. Pasuruan, 2005). Hal ini menunjukkan telah adanya peningkatan pendapatan anggota yang cukup signifikan hanya dalam jangka waktu 2 tahun. Namun demikian, dibandingkan dengan pendapatan per kapita per tahun penduduk di Pasuruan tahun 2004 diketahui masih belum ada anggota KSU LEPP yang memiliki pendapatan di atas PDRB per kapita kabupaten. Hal ini menunjukkan secara umum anggota KSU LEPP masih merupakan kelompok masyarakat berpendapatan dibawah rata-rata (BPS, 2005). (2) Kondisi rumah Indeks rumah mencerminkan kemampuan seseorang untuk memenuhi persyaratan rumah sehat. Artinya, masyarakat tersebut sudah cukup berdaya didalam
mengakses
dimensi
kesehatan
untuk
meningkatkan
taraf
kesejahteraannya. Dengan asumsi masyarakat belum berdaya adalah anggota KSU LEPP yang memiliki rumah dengan nilai indeks kurang dari 11 (hasil nilai maksimum – 34 - dibagi 3) maka diketahui sebagian besar anggota KSU sudah
mampu mengakses
dimensi kesehatan
sebagai modal untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Tercatat seluruh anggota KSU LEPP memiliki rumah dengan nilai indeks lebih dari 11.
100
(3) Aset produktif Kepemilikan aset produktif merupakan modal bagi setiap anggota masyarakat untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya. Secara visual (gambar 14) dapat dilihat adanya kecenderungan bahwa karakter responden berdasarkan pemilikan aset produktif (Rupiah) dapat dibagi kedalam 2 kelompok, yaitu: (1) kelompok anggota KSU LEPP dengan nilai aset produktif < Rp 5.000.000,-. Kelompok ini masih merupakan pelaku usaha dengan skala mikro. Usaha dengan skala ini sangat erat dengan permasalahan keterbatasan modal; dan (2) kelompok pemilik aset produktif dengan nilai lebih dari Rp 5.000.000,- Rp 50.000.000,- yang merupakan pelaku usaha skala kecil. Pada saat ini, dari total 34 anggota KSU LEPP yang memberikan data, sebagian atau sebanyak 14 orang (41,18%) merupakan pelaku usaha mikro dan lainnya sebanyak 20 orang (58,82%) sudah merupakan pelaku usaha skala kecil. (4) Anggota keluarga Anggota KSU LEPP secara rata-rata memiliki jumlah anggota 4 orang per KK sehingga dari tingkat kesejahteraan dilihat dari sudut keluarga berencana sudah cukup baik. Dengan asumsi setiap KK dalam satu rumah hanya terdiri dari keluarga inti (bapak, ibu dan 2 anak) maka anggota KSU LEPP sudah memiliki potensi untuk merencanakan kehidupan keluarganya dengan cukup baik. (5) Frekuensi penerimaan kredit Frekuensi penerimaan kredit secara rata-rata adalah 4 kali selama 4 tahun. Artinya, mereka dapat melunasi pinjaman rata-rata dalam waktu 12 bulan. Kondisi ini dilihat dari sudut pandang prosedur peminjaman merupakan hal yang menggembirakan. Mereka (anggota KSU LEPP) pada umumnya telah cukup memiliki potensi usaha yang mampu dikelola dengan baik untuk dapat memenuhi ketentuan angsuran pinjaman. Hal ini juga ditunjukkan dengan adanya perbaikan kinerja KSU LEPP dari sisi pembiayaan bermasalah yang menurun dari tahun ke tahunnya.
101
(6) Total jumlah/ nominal pinjaman (kredit) diterima Rata-rata pinjaman 61 anggota KSU LEPP adalah sekitar Rp 3,12 juta. Dengan rata-rata telah mendapat pinjaman sebanyak 2 kali maka rata-rata per kredit adalah sekitar Rp 1.5 juta per pinjaman per 2 tahun. Jika melihat karakter usahanya (pengolah ikan atau penjual ikan) dimana perputaran modal berjalan cukup cepat maka besarnya pinjaman dibandingkan dengan usaha yang dilakukan tentunya pinjaman tersebut sudah cukup memadai, akan tetapi dari sisi LKM belum menunjukkan kinerja yang baik karena kredit yang diberikan sebagian besar masih tergantung pada hibah dari pemerintah. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi besar kecilnya pinjaman yang diberikan kepada masyarakat. Bila kinerja LKM masih seperti ini, maka tidak tertutup kemungkinan jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat menjadi tidak memadai seiring dengan perkembangan usahanya.
4.5.2.2 Persepsi masyarakat Persepsi sebagian besar anggota KSU LEPP menyatakan kredit yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan usaha yang mereka jalankan. Hal ini dimungkinkan karena skala usaha yang dilakukan oleh sebagian besar anggota koperasi ini tergolong skala usaha mikro. Pada skala ini besarnya pinjaman sekitar Rp 100.000,-/bulan dirasakan sudah cukup membantu didalam penguatan permodalan usaha mereka. Hal ini menjadi berbeda kiranya jika di masa mendatang usaha mereka diharapkan dapat berkembang dari sisi skala usaha. Persepsi dari sebagian besar anggota KSU LEPP terhadap kesesuaian suku bunga yang menjadi syarat pinjaman dirasakan sudah sesuai. Masih adanya anggota yang merasa suku bunga pinjaman belum sesuai adalah dikarenakan dirasakan memberatkan dari sisi pembiayaan terhadap usaha yang mereka jalankan. Persepsi dari sebagian besar anggota KSU LEPP masih merasa menabung belum dirasa sebagai suatu perilaku yang penting mereka lakukan. Hal ini dikarenakan mereka masih lebih mementingkan pendapatan yang diperoleh untuk digunakan memenuhi keperluan menambah modal atau hal-hal yang bersifat konsumtif. Dibandingkan dengan persepsi mereka terhadap kesesuaian kredit,
102
tampaknya terdapat dua indikasi, yaitu: (1) Persepsi tentang kesesuaian kredit lebih berorientasi pada kondisi usaha mereka saat ini. Belum terdapat perencanaan yang matang yang dibuat untuk mengembangkan skala usaha mereka; (2) Adanya keterbatasan dari KSU LEPP untuk dapat memenuhi sepenuhnya kebutuhan modal usaha anggotanya.
103
5 PEMBAHASAN
5.1 Analisis Kelembagaan LKM Kinerja kelembagaan KSU M3 Tangerang maupun KSU LEPP Pasuruan dilakukan dengan menggunakan pendekatan pada jati diri koperasi. Adapun jati diri koperasi dari identifikasi pernyataan-pernyataan yang menyangkut tiga hal, yaitu: pengertian, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi. Salah satu pengertian menyatakan bahwa koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi sosial, ekonomi dan budaya mereka melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis (Hendrojogi, 2004). Berdasarkan pengertian ini, jati diri koperasi dapat dikenali dari karakteristik sebagai berikut: (1) koperasi adalah otonom; (2) koperasi adalah kumpulan orang-orang; (3) orang-orang bersatu secara sukarela; (4) anggota selain sebagai pemilik sekaligus sebagai pelanggan koperasi; (5) pengendalian perusahaan dilakukan oleh anggota secara demokratis. Pengertian ini sesuai dengan sejarah pembentukan koperasi baik inspirasinya maupun gerakannya yang mula-mula timbul adalah merupakan suatu defensive reflex (gerakan otomatis untuk membela diri) dari suatu kelompok masyarakat terhadap tekanan-tekanan hidup yang dilakukan oleh kelompok lain dalam masyarakat, baik yang berupa eksploitasi ekonomi sehingga menimbulkan rasa tidak aman bagi kehidupan mereka (Hedrojogi, 2006). Tidaklah salah kalau dikatakan bahwa koperasi itu merupakan suatu wadah bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang dalam rangka usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berusaha meningkatkan tingkat hidup mereka. Koperasi melandaskan pada nilai-nilai: (1) menolong diri sendiri; (2) bertanggung jawab kepada diri sendiri; (3) demokrasi; (4) persamaan; (5) keadilan; dan (6) solidaritas. Berdasarkan tradisi para pendirinya, para anggota koperasi juga percaya pada nilai-nilai etis: (1) kejujuran; (2) keterbukaan; (3) tanggung jawab sosial dan peduli pada orang lain. Prinsip
koperasi
adalah
pedoman
bagi
koperasi-koperasi
dalam
melaksanakan nilai-nilai koperasi dalam praktik. Prinsip-prinsip tersebut
104
tercantum di dalam Identitas Koperasi yang dirumuskan dalam Kongres International Cooperative Alliance – ICA di Manchester Inggris tahun 1995 sebagai berikut (Atmadja et.al. 2002; Hendrajogi, 2004): (1) Keanggotaan yang sukarela. Koperasi adalah organisasi yang bersifat sukarela, terbuka bagi semua orang yang bersedia menggunakan jasa-jasanya dan bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan tanpa membedakan jenis kelamin (gender), latar belakang sosial, ras, politik atau agama. (2) Pengawasan demokratis oleh anggota. Koperasi adalah organisasi demokratis yang diawasi oleh para anggotanya, secara aktif menetapkan kebijakan dan membuat keputusan. Pria dan wanita yang dipilih sebagai wakil anggota bertanggungjawab kepada rapat anggota. Dalam koperasi primer, para anggota memiliki hak suara sama (satu anggota satu suara) dan koperasi pada tingkattingkat lainnya juga dikelola secara demokratis. (3) Partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi. Para anggota memberikan kontribusi permodalan koperasi secara adil dan melakukan pengawasan secara demokratis (terhadap modal tersebut). Apabila ada, para anggota biasanya menerima kompensasi yang terbatas atas modal yang disyaratkan untuk menjadi anggota. Para anggota mengalokasikan sisa hasil usaha untuk beberapa atau semua dari tujuan berikut: 1) mengembangkan koperasi mereka, mungkin dengan membentuk dana cadangan, sebagian daripadanya tidak dapat dibagikan; 2) membagikan kepada anggota seimbang dengan transaksi mereka dengan koperasi; 3) mendukung kegiatan lainnya yang disahkan oleh rapat anggota. (4) Otonomi dan kemandirian. Koperasi adalah organisasi otonom, menolong diri sendiri serta diawasi oleh para anggotanya. Apabila koperasi mengadakan perjanjian dengan organisasi lain, termasuk pemerintah, atau memupuk modal dari sumber luar; koperasi melakukannya berdasarkan persyaratan yang menjamin pengawasan demokratis oleh para anggotanya dan yang mempertahankan otonomi mereka. (5) Pendidikan, pelatihan dan penerangan. Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para anggota, wakil-wakil anggota yang dipilih oleh rapat anggota serta para manajer dan karyawan, agar mereka dapat melakukan
105
tugasnya lebih efektif bagi perkembangan koperasinya. Mereka memberikan penerangan kepada masyarakat umum – khususnya pemuda dan para pembentuk opini di masyarakat – tentang hakikat perkoperasian dan manfaat berkoperasi. (6) Kerjasama antar koperasi. Koperasi melayani para anggotanya secara kolektif dan memperkuat gerakan koperasi dengan bekerja sama melalui organisasi koperasi tingkat lokal, nasional, regional dan internasional. (7) Kepedulian terhadap masyarakat. Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat sekitarnya secara berkelanjutan melalui kebijakankebijakan yang diputuskan oleh rapat. Berdasarkan jati diri koperasi tersebut yang dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan di KSU M3 Tangerang (Grameen Bank) dan KSU LEPP Pasuruan pada dasarnya kesemuanya secara tepat telah memihak kelompok masyarakat yang lemah dalam akses permodalan. Tujuannya tidak lain adalah agar kelompok masyarakat ini dapat lepas dari tekanan kemiskinan dan meningkat taraf kesejahteraannya. Kinerja kelembagaan KSU M3 selanjutnya dikaji berdasarkan beberapa elemen esensial dari Grameen Bank adalah (Thas dan Getubig, 1993 dalam Syukur, 2002): (1)
Sasaran ditentukan dengan kriteria yang jelas. Anggota masyarakat yang berhak memperoleh pinjaman skim Grameen Bank adalah mereka yang memiliki lahan tidak lebih dari 0,5 acre atau memiliki kekayaan tidak lebih dari nilai sebidang lahan yang subur seluas 1,0 acre;
(2)
Menekankan pada peminjam wanita. Grameen Bank menekankan pada sasaran wanita karena merupakan peminjam yang lebih disiplin dibandingkan dengan pria.Wanita hanya akan menggunakan pinjaman untuk keperluan produktifdan dapat menjamin bahwa angsuran pinjaman akan diambil dari keuntungan usaha.
(3)
Lembaga pelayanannya berada di tingkat yang paling bawah (grassroot level). Petugas bermotivasi sebagai motivator untuk sasaran (calon anggota).
Calon
anggota
yang
terdiri
dari
5
orang
anggota
mengorganisasikan diri membentuk sendiri kelompoknya. Setelah
106
terbentuk enam kelompok maka mereka akan membentuk Rembug Pusat (RP) yang akan mengadakan pertemuan seminggu sekali. Dalam RP inilah seluruh kegiatan Grameen Bank dilaksanakan. (4)
Suku bunga dan kriteria peminjaman. Peminjam dikenakan bunga komersial dan pinjaman hanya boleh digunakan untuk kegiatan produktif.
(5)
Aplikasi dan prosedur pinjaman yang sederhana. Peminjam hanya cukup mengisi satu lembar aplikasi pinjaman yang sangat sederhana dan bila perlu cukup secara lisan dengan hanya membubuhkan tanda tangan sebagai tanda bahwa mereka memiliki tanggung jawab pinjaman.
(6)
Jumlah pinjaman manageable dan dibayar mingguan. Pinjaman diberikan dalam bentuk tunai dan dibayar selama satu tahun berbasis mingguan.
Diberikan
pemahaman
bahwa
peminjam
hanya
akan
meminjamsebatas kemampuan membayar kembali. (7)
Penyaluran pinjaman baru (first loan). Penyaluran pinjaman pertama terhadap anggota dalam satu kelompok yang terdiri dari 5 (lima) anggota tersebut dilakukan secara bergiliran dengan pola 2-2-1. Tujuan utama pola penyaluran demikian adalah untuk menguji kesungguhan anggota untuk mengembalikan tepat waktu sebelum anggota lainnya dalam kelompok tersebut mendapatkan pinjaman.
(8)
Terdapat sistem insentif dan pinalti. Bila anggota dapat melunasi pinjaman pertama dengan baik, maka mereka berhak memperoleh pinjaman lebih besar pada periode berikutnya (insentif). Bila tidak mengembalikan pinjaman secara lancar, maka waktu perolehan pinjaman berikutnya akan ditunda beberapa waktu (pinalti).
(9)
Akuntabilitas. Seluruh transaksi dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab pada pertemuan mingguan. Petugas lapang (bank worker) didorong untuk dapat memberikan kritik yang konstruktif untuk perbaikan sistem administrasi bank agar selalu diperoleh perbaikan sistem administrasi.
(10)
Mobilisasi tabungan. Terdapat berbagai jenis tabungan, diantaranya adalah tabungan wajib mingguan, tabungan yang diperoleh tertentu dari
107
nilai kredit yang diperoleh anggota. Kewajiban menabung adalah bagian dari mendidik anggota. (11)
Otonomi. Kegiatan. Kegiatan operasional dilakukan tanpa adanya intervensi dari pemerintah walaupun dana yang disalurkan sebagian besar diperoleh dari pemerintah.
(12)
Pelatihan staf. Semua staf dilatih secara praktis, disiplin dan teliti dengan cara magang dilapangan selama 6 bulan.
(13)
Kepemimpinan. Pengelola memiliki komitmen tinggi. Data yang dikumpulkan menunjukkan setidaknya beberapa hal yang
dilakukan oleh pengelola KSU M3 Tangerang maupun yang terjadi terkait dengan penguatan kelembagaan koperasi simpan pinjam ini kurang sesuai dengan pengertian, nilai-nilai maupun prinsip-prinsip dasar koperasi maupun elemenelemen esensial yang dikembangkan dalam Grameen Bank. Beberapa hal tersebut adalah: (1)
Pengurus M3 kurang memperhatikan pentingnya proses sosialisasi program. Hal ini berakibat pada cukup banyaknya anggota yang kurang memahami tujuan dibentuk dan dikuatkannya lembaga keuangan mikro dalam wadah koperasi simpan pinjam ini. Anggota-anggota yang dimaksud adalah yang tidak menyadari bahwa fasilitas (pinjaman) yang diterima sesungguhnya berimplikasi pada adanya tanggung jawab mereka terhadap anggota lainnya yang akan tidak atau terhambat mendapatkan fasilitas tersebut apabila mereka lalai didalam mengasur pinjaman.
(2)
Mekanisme pemilihan atau kelayakan anggota dan pembentukan kelompok kurang memperhatikan sasaran yang jelas. Akibatnya, kelembagaan koperasi ini tidak dapat memenuhi nilai-nilai koperasi seperti persamaan dan solidaritas.
(3)
Koperasi tidak hanya bertujuan ekonomi dalam bentuk keuntungan ekonomi namun juga memiliki tujuan sosial. Dengan demikian, adanya pergeseran masyarakat target karena alasan mengurangi kemungkinan resiko timbulnya pembiayaan bermasalah dirasakan kurang sesuai. Keputusan ini menunjukkan pengelola kurang memahami fungsi dan perannya didalam membangun kekuatan koperasi. Hal ini sebetulnya
108
dampak dari belum lengkapnya pengelola meskipun dalam struktur yang ada sepertinya sudah memadai. Kurangnya pengelola dimaksud adalah pengelola di tingkat grassroot yaitu anggota (masyarakat) yang mampu menyadari
tugas
mereka
bertanggungjawab
didalam
sebagai kelancaran
pimpinan angsuran
kumpulan pinjaman
yang para
anggotanya. (4)
Bertambahnya jumlah kelompok namun disertai dengan menurunnya jumlah anggota menunjukkan pula kurang kuatnya penguatan lembaga koperasi simpan pinjam yang mereplikasi Grameen Bank ini;
(5)
Penguatan kelembagaan koperasi juga belum dapat tercapai pada saat pengembangan lapangan usaha dan mitra kerja masih belum dapat dipenuhi dengan baik. Hal ini terjadi dikarenakan masih terbatasnya pengawasan sosial pada anggota yang lalai didalam memenuhi kewajiban mengangsur pinjaman. Adapun kinerja kelembagaan KSU LEPP Pasuruan selanjutnya dikaji
berdasarkan elemen-elemen esensial yang mencakup: (1) Acceptable. Pilihan kegiatan ekonomi (usaha) berdasarkan potensi sumberdaya, kelayakan usaha serta kebutuhan/keinginan dan kemampuan masyarakat; (2) Transparency. Pengelolaan kegiatan dilakukan secara terbuka, diinformasikan dan diketahui oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat ikut memantaunya; (3) Accountability. Pengelolaan kegiatan harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat; (4) Responsiveness. Kegiatan dilakukan sebagai bentuk kepedulian atas beban penduduk yang kurang berdaya (miskin); (5) Quick disbursement. Penyampaian bantuan kepada masyarakat sasaran secara cepat dan tepat; (6) Democracy. Proses pemilihan peserta dan kegiatan PEMP dilakukan secara musyawarah; (7) Sustainability. Pengelolaan kegiatan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat secara optimal dan berkelanjutan, baik dalam lingkungan internal maupun eksternal; (8) Equality. Pemberian kesempatan kepada kelompok lain yang belum memperoleh kesempatan, agar semua masyarakat merasakan manfaat langsung; (9) Competitiveness. Setiap ketentuan dalam pemanfaatan dana ekonomi produktif (DEP) masyarakat diharapkan dapat mendorong terciptanya kompetisi yang sehat dan jujur dalam mengajukan usulan kegiatan yang layak.
109
Data yang dikumpulkan menunjukkan setidaknya beberapa hal yang dilakukan oleh pengelola KSU LEPP Pasuruan maupun yang terjadi terkait dengan penguatan kelembagaan unit simpan pinjam koperasi ini relatif lebih baik dibandingkan dengan KSU M3. Penguatan kelembagaan yang sebenarnya cukup mengalami kendala di awal pembentukannya berangsur-angsur membaik dengan dirubahnya sistem perguliran dana menjadi skim kredit. Dalam skim kredit LEPP, KSU LEPP menetapkan adanya fee sebesar 18%. Fee tersebut dibagikan pada pengurus koperasi (8%), mitra desa (10%), ketua KMP (50%) dan sebagai dana pengembangan (10%), dana operasional (20%) dan dana sosial (2%). Fee ini dari sisi pemberdayaan menunjukkan adanya upaya peningkatan akses permodalan kepada masyarakat. Komposisi terbesar fee diberikan pada ketua KMP karena figur ini memegang peran penting didalam menjaga kelancaran angsuran pinjaman para anggotanya. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya (tabel 24) tampak bahwa nilai kategorik yang diperoleh kurang lebih menyiratkan hasil yang sama, yaitu KSU LEPP Pasuruan (Unit Simpan Pinjam) lebih baik dibandingkan dengan KSU M3 Tangerang (Koperasi Simpan Pinjam). Tabel 24 Hasil pengamatan terhadap beberapa aspek PP No.9 tahun 1995 pada koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam di Jawa Barat
No. 1. 2. 3. 4.
Aspek Umum Organisasi Pengelolaan Pembinaan Rata-rata (dalam persen)
Kondisi Baik (Jumlah dan %) KSP USP 4 (100,0%) 3 (100,0%) 18 (56,2%) 11 (40,7%) 47 (83,9%) 34 (97,1%) 35 (89,7%) 29 (96,7%) 82,45 83,63
Keterangan: B : Baik KB : Kurang Baik TT : Tidak Tentu
5.2 Analisis Kinerja Keuangan LKM Dalam mengelola perusahaan, akan jauh lebih baik jika kita mengetahui keadaan faktual (sebenarnya) perusahaan tersebut. Keadaan yang dimaksud salah satunya adalah kesehatan keuangan perusahaan, problem-problem yang sedang
110
dihadapi dan penyebab-penyebabnya serta hal-hal lain yang berhubungan dengan perusahaan. Pengetahuan yang baik tentang hal tersebut akan dapat meningkatkan mutu atau efektivitas manajemen, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pengarahan maupun pengendalian. Salah satu cara untuk mendeteksi kesehatan suatu perusahaan dan problem-problem yang sedang dihadapinya adalah melalui analisis rasio-rasio keuangannya. Analisis rasio-rasio keuangan memudahkan kita mengetahui dalam hal-hal atau bidang-bidang apa saja perusahaan sedang menghadapi problem-problem serius bahkan kritis (jika ada) sehingga dapat dilakukan perbaikan-perbaikan yang mampu mencegah semakin memburuknya kondisi atau kesehatan perusahaan. Jika itu tidak dilakukan, akan mengganggu bahkan membuat terhentinya aktivitas perusahaan pada masa-masa berikutnya. Analisis rasio-rasio keuangan juga membantu dalam mengetahui kinerja perusahaan baik secara keseluruhan maupun mendetail dari waktu ke waktu, termasuk sumberdaya manusianya. Secara ringkas hasil analisis kinerja keuangan KSU M3 Tangerang dan KSU LEPP Pasuruan disajikan dalam tabel 25 berikut: Tabel 25 Kinerja keuangan KSU M3 Tangerang dan KSU LEPP Pasuruan berdasarkan analisis vertikal dan horizontal dan rasio-rasio keuangan tahun 2006 Analisis Keuangan • Analisis VertikalHorizontal
KSU M3 Tangerang
KSU LEPP Pasuruan (Hasil)
• Pendapatan: 1. Didominasi jasa pembiayaan (>90%). 2. Kontribusi denda meningkat = meningkatnya pembiayaan bermasalah) • Biaya: Didominasi pembayaran gaji dan THR karyawan (>50%). • Aktiva: Didominasi pembiayaan diberikan/pinjaman disalurkan. • Pasiva: - Didominasi modal dari hibah / droping dana dari pemerintah - Akumulasi tabungan
• Pendapatan: 1. Didominasi jasa pembiayaan (>90%). 2. Kontribusi denda meningkat = meningkatnya pembiayaan bermasalah) • Biaya: Didominasi pembayaran gaji dan THR karyawan (>50%).
• Aktiva: Didominasi pembiayaan diberikan/pinjaman disalurkan. • Pasiva: - Didominasi modal dari hibah / droping dana dari pemerintah - Akumulasi tabungan sebesar 10,8% dari total pasiva
111
Analisis Keuangan
KSU M3 Tangerang
KSU LEPP Pasuruan (Hasil)
sebesar 5,7% dari total passiva • Struktur Keuangan
• Aktiva Produktif
• Likuiditas
• Efisiensi
• Rentabilitas
• Modal yang dimiliki mampu menjamin kondisi keuangan tetap stabil apabila terjadi penarikan simpanan pihak ketiga secara besar-besaran. Statusnya “Baik” • Pembiayaan bermasalah dari tahun ke tahun cenderung meningkat dan berada dalam status “Buruk”. • Likuiditas semakin baik meskipun masih dalam status “Cukup Buruk” • Pengelolaan dana semakin efisien dan sudah dalam status “Cukup Baik” • Nilai ROE semakin baik dan sudah berada dalam status “Cukup Baik”
• Modal yang dimiliki mampu menjamin kondisi keuangan tetap stabil apabila terjadi penarikan simpanan pihak ketiga secara besar-besaran. Statusnya “Baik” • Pembiayaan bermasalah dari tahun ke tahun cenderung membaik meskipun masih berstatus “Buruk”. • Likuiditas semakin baik meskipun masih dalam status “Cukup Buruk” • Pengelolaan dana semakin efisien dan dalam kondisi peralihan antara status “Cukup Buruk” menjadi “Cukup Baik”. • Nilai ROE semakin baik dan sudah berada dalam status “Cukup Baik”
Dari sisi kesehatan keuangan tampak bahwa status kinerja kedua koperasi tidak berbeda jauh. Permasalahan yang dihadapi juga relatif sama yang ditunjukkan oleh kecenderungan yang terjadi pada nilai-nilai hasil analisis rasio keuangannya. Perbedaan yang signifikan hanya diketahui pada aktiva produktif. Meskipun kondisi yang tercatat di kedua koperasi ini masih tergolong “cukup buruk” namun pada KSU M3 Tangerang jumlah pembiayaan bermasalah semakin meningkat dan sebaliknya pada KSU LEPP Pasuruan jumlah pembiayaan bermasalah semakin menurun. Jika dikaitkan dengan masyarakat target tampak bahwa penguatan akses permodalan semakin membutuhkan energi yang besar pada masyarakat miskin (target replikasi Grameen Bank) dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang mendekati ambang atau batas kemiskinan (target replikasi LEPP). Pendampingan yang intensif dalam penguatan akses permodalan merupakan kunci bagi penciptaan keadilan ekonomi di masyarakat yang semakin tidak memiliki akses permodalan. Dengan kata lain, program pemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan
masyarakat
pesisir
melalui
penguatan
akses
112
permodalan perlu didukung dengan kebijakan yang mengarah pada perlunya dukungan tersedianya program dengan jangka waktu menengah dan panjang.
5.3 Analisis Dampak Intermediasi LKM Ukuran dari berhasil tidaknya pembangunan di suatu masyarakat melalui penguatan peran lembaga keuangan mikro dapat dilihat dari lima hal sebagai berikut: (1)
Meningkatnya pendapatan dan kekayaan. Tingkat pendapatan dan kepemilikan rumah dan kepemilikan aset produktif dan non produktif setiap anggota koperasi dalam hal ini menjadi ukurannya. Secara tidak langsung kedua ukuan ini menunjukkan baik buruknya pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi di wilayah operasional koperasi;
(2)
Meningkatnya lapangan usaha. Menurun tidaknya jumlah tanggungan keluarga merupakan salah satu pendekatan untuk mengukur hal ini;
(3)
Meningkatnya
pemanfaatan
fasilitas
pinjaman
yang
disediakan.
Pemahaman tentang hal ini dilihat dari meningkat tidaknya frekuensi dan nominal fasilitas pinjaman yang diberikan oleh koperasi; (4)
Meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap fasilitas yang diberikan oleh koperasi. Hal ini merupakan bekal untuk menerapkan mekanisme atau prosedur peminjaman yang sesuai dengan kebutuhan usaha masyarakat lokal;
(5)
Meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan keuangan rumah tangga yang baik. Pengelolaan keuangan yang baik akan mendukung lancar tidaknya pengembalian pinjaman. Hal ini penting menjadi ukuran keberhasilan penguatan peran LKM di masyarakat pesisir semenjak masyarakat ini memiliki image sebagai masyarakat yang konsumtif dan cenderung boros. Berdasarkan data yang terkumpul, kelima hal tersebut di atas yang menjadi
ukuran tidak langsung dampak intermediasi lembaga keuangan mikro dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin atau pengentasan kemiskinan di wilayah pesisir dapat dirangkum dalam tabel 26 sebagai berikut:
113
Tabel 26 Hasil analisis parameter-parameter dampak intermediasi LKM (KSU M3 Tangerang dan KSU LEPP Pasuruan) dalam pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir tahun 2006
No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Aspek Kinerja Dampak Intermediasi KSU M3 Tangerang LKM Tingkat pendapatan Sebagian besar anggota KSU memiliki pendapatan di bawah PDRB per kapita (tk.produktivitas) kabupaten. Kondisi rumah Sebagian besar anggota KSU sudah mampu mengakses dimensi kesehatan sebagai modal untuk meningkatkan kesejahteraannya
KSU LEPP Pasuruan
Tidak ada anggota yang memiliki pendapatan di atas PDRB per kapita kabupaten. Sebagian besar anggota sudah mampu mengakses dimensi kesehatan sebagai modal untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kepemilikan aset Lebih dari sebagian anggota Lebih dari sebagian (produktif) (64%) adalah pelaku usaha anggota (58,82%) kecil. merupakan pelaku usaha skala kecil. Jumlah tanggungan Setiap anggota KSU Setiap anggota KSU keluarga memiliki potensi untuk memiliki potensi untuk merencanakan kehidupan merencanakan kehidupan keluarganya dengan cukup keluarganya dengan baik (jumlah anggota per KK cukup baik (jumlah rata-rata 5). anggota per KK rata-rata 4). Frekuensi kredit Pada umumnya anggota Pada umumnya anggota KSU memiliki usaha yang KSU memiliki usaha jika mampu dikelola dengan yang jika mampu baik dapat memenuhi dikelola dengan baik ketentuan angsuran pinjaman dapat memenuhi (bunga sebesar 2,5%/bulan). ketentuan angsuran pinjaman. Total nominal kredit Besarnya pinjaman Besarnya pinjaman dibandingkan dengan usaha dibandingkan dengan yang dilakukan sudah usaha yang dilakukan memadai, namun belum sudah memadai, namun diimbangi dengan kinerja belum diimbangi dengan keuangan yang baik kinerja keuangan yang baik Persepsi terhadap Kredit yang diberikan Kredit yang diberikan kesesuaian kredit dengan dirasakan sudah sesuai dirasakan sudah sesuai kebutuhan usaha dengan kebutuhan usaha dengan kebutuhan usaha yang mereka jalankan. yang mereka jalankan. Persepsi terhadap suku Suku bunga yang menjadi Suku bunga yang bunga syarat pinjaman dirasakan menjadi syarat pinjaman sudah sesuai. dirasakan sudah sesuai. Persepsi terhadap Sebagian besar belum Sebagian besar belum motivasi menabung memiliki motivasi memiliki motivasi menabung. menabung.
114
5.4 Analisis Kinerja LKM dalam Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesisir (Analisis MDS) Hasil analisis terhadap kelembagaan, kinerja keuangan dan dampak intermediasi kedua KSU merupakan bahan untuk melakukan suatu analisis atau uji statistik multivariat yaitu Analisis MDS. Seluruh faktor di setiap fokus kajian diberi nilai kategorik. Hasil penilaian tersebut disajikan dalam tabel 27. Hasil analisis MDS untuk masing-masing LKM yang menggambarkan status kinerjanya dari sisi kelembagaan, kesehatan keuangan dan dampak intermediasi disajikan dalam tabel 28. Tabel 27 Hasil skoring setiap faktor kinerja KSU M3 Tangerang dan KSU LEPP Pasuruan dalam upaya mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir, tahun 2006 Fokus Kajian / Faktor 1. Kelembagaan 1.1. Kesesuaian kebijakan dengan syarat replikasi 1.2. Kesesuaian prosedur dengan syarat replikasi 1.3. Kelengkapan struktur dan uraian pekerjaan jabatan personel pengurus 1.4. Kesesuaian kualifikasi SDM pengurus 1.5. Pemahaman atas tupoksi jabatan per pengurus 1.6. Perkembangan jumlah kelompok/nasabah 1.7. Perkembangan lapangan usaha 1.8. Perkembangan mitra kerja Sub Total 1 2. Kinerja Keuangan 2.1. Struktur Keuangan 2.2. Aktiva Produktif 2.3. Likuiditas 2.4. Efisiensi 2.5. Rentabilitas Sub Total 2 3. Dampak Intermediasi LKM 3.1. Tingkat pendapatan 3.2. Kondisi rumah 3.3. Kepemilikan asset 3.4. Jumlah tanggungan keluarga 3.5. Frekuensi kredit 3.6. Total nominal kredit 3.7. Persepsi terhadap kesesuaian kredit dengan kebutuhan usaha 3.8. Persepsi terhadap suku bunga 3.9. Persepsi terhadap motivasi menabung Sub Total 3 Total (1-3)
Rentang Skoring
KSU M3
KSU LEPP
1–4 1–4 1–3
2 2 2
3 3 2
1–3 1–4 1–3 1–3 1–3 8 – 27
2 2 2 2 2 16
3 3 3 3 3 23
1–4 1–4 1–4 1–4 1–4 5 - 20
3 1 2 2 3 11
4 1 4 2 1 12
1-3 1-3 1-3 1-3 1-3 1-3 1-3 1-4 1-4 8 - 26 21 - 63
1 2 2 3 2 1 3 2 1 17 44
1 3 2 3 3 1 3 2 1 18 53
115
Tabel 28 Nilai analisis MDS (%) setiap fokus kajian kinerja LKM dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir, tahun 2006
LKM KSU M3 Tangerang KSU LEPP M3 Pasuruan
Kelembagaan 50,84 73,64
Nilai MDS (%) Kinerja Dampak Keuangan Intermediasi 43,50 34,39 48,97 49,15
Rata-rata 42,91 57,26
Sumber: Data primer, diolah.
Data dalam tabel 28 (hasil analisis MDS) menunjukkan kinerja KSU M3 Tangerang dalam menunjang upaya pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir melalui replikasi Grameen Bank belum optimal. Secara umum, status kinerja KSU M3 berdasarkan nilai rata-ratanya (42,91%) masih tergolong “cukup buruk”. Kondisi ini terjadi disebabkan baru ada satu aspek, yaitu sisi kelembagaan (50,84%), yang sudah tergolong “cukup baik”. Sementara itu, kinerja KSU ini dari dua aspek lainnya, yaitu kinerja keuangan (43,50%) dan dampak intermediasi (34,39%), masih tergolong “cukup buruk”. Data dalam tabel yang sama (tabel 28) juga menunjukkan bahwa status kinerja KSU LEPP Pasuruan dalam menunjang upaya pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir melalui replikasi LEPP relatif lebih baik dibandingkan dengan KSU M3 Tangerang. Secara rata-rata (57,26%) status kinerja KSU M3 telah dapat digolongkan “cukup baik”. Namun demikian, tampak bahwa kinerja KSU ini, sama dengan KSU M3 Tangerang, barulah ditopang dari sisi kelembagaan (73,64%) yang telah tergolong “cukup baik”. Sementara itu, kinerja KSU LEPP Pasuruan dari dua aspek lainnya, yaitu kinerja keuangan (48,97%) dan dampak intermediasi (49,15%), masih tergolong “cukup buruk”. Status kinerja kedua LKM dalam upaya mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir pada periode ini belum dapat dinilai gagal. Program pembangunan berbasis masyarakat merupakan suatu program pembangunan yang memerlukan waktu yang relatif cukup lama untuk dapat ditentukan keberhasilan maupun kegagalannya. Perubahan sosial yang diharapkan terjadi dan menuju ke arah pemupukan modal sosial berupa meningkatnya solidaritas dan kebersamaan antar anggota masyarakat didalam memperbaiki taraf hidup mereka merupakan suatu proses yang tidak dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat.
116
Pendampingan yang intensif dalam penguatan akses permodalan merupakan kunci bagi penciptaan keadilan ekonomi di masyarakat yang semakin tidak memiliki akses permodalan. Dengan kata lain, program pemerintah untuk mengentaskan
kemiskinan
masyarakat
pesisir
melalui
penguatan
akses
permodalan perlu didukung dengan kebijakan yang mengarah pada perlunya dukungan tersedianya program dengan jangka waktu menengah dan panjang.
Pasuruan
Gambar 18
Segitiga diagram kinerja LKM hasil analisis MDS dalam pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir di Tangerang dan Pasuruan.
5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja LKM dalam Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesisir (Analisis Leverage) Untuk
dapat
mengetahui
potensi
dan
permasalahan
di
dalam
mengembangkan peran LKM untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat di wilayah pesisir maka dianalisis parameter-parameter yang mempengaruhi status kinerja kedua LKM yang dikaji, baik KSU M3 Tangerang dan KSU LEPP Pasuruan. Analisis untuk hal ini dilakukan melalui analisis Leverage.
117
5.5.1 Kinerja kelembagaan LKM Hasil analisis leverage untuk kinerja kelembagaan kedua LKM di wilayah pesisir disajikan dalam gambar 18. Tampak pola yang jelas dari kinerja kelembagaan kedua LKM tersebut bahwa parameter yang paling dominan hingga paling tidak dominan didalam mempengaruhi kinerja kedua LKM untuk mampu berperan dengan baik didalam pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir secara berturut-turut adalah: perkembangan mitra kerja, perkembangan lapangan usaha, perkembangan nasabah, pemahaman tupoksi, kualifikasi SDM pengelola Koperasi/LKM, kelengkapan struktur pengelola Koperasi/LKM, kesesuaian prosedur dan kesesuaian kebijakan. Perkembangan Mitra Kerja
Perkembangan Mitra Kerja
1.20
Perkembangan Lapangan Usaha
Perkembangan Lapangan Usaha
0.92
Perkembangan Nasabah
0.40
Kelengkapan Struktur
0.30
Kesesuaian Prosedur
0.27
Kesesuaian Kebijakan
0.13 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Nilai Leverage Parameter Kelembagaan
A
4.04
Pemahaman Tupoksi
0.44
Kualifikasi SDM
4.17
Perkembangan Nasabah
0.87
Pemahaman Tupoksi
6.22
1.2
1.4
3.89
Kualifikasi SDM
3.71
Kelengkapan Struktur
3.66
Kesesuaian Prosedur
3.57
Kesesuaian Kebijakan
3.57 0
1
2
3
4
5
6
Nilai leverage Parameter-parameter Kelembagaan
B
Gambar 19 Diagram batang nilai hasil analisis leverage untuk kinerja kelembagaan LKM di Tangerang (A) dan Pasuruan (B), 2006 Parameter kunci kelembagaan mencerminkan berjalannya proses penguatan suatu lembaga dalam jalur yang benar. Kesesuaian kebijakan dan prosedur pada saat ini tidak lagi menjadi parameter-parameter kunci manakala tahap sosialisasi dan penerapan seyogyanya telah dilakukan dan mantap. Kedua parameter ini sesungguhnya merupakan pembentukan nilai-nilai dasar (bedrock value) yang melandasi penguatan kelembagaan di masing-masing LKM. Nilai dasar tersebut
118
7
pada umumnya dampaknya terbatas pada personel-personel pengurus di masingmasing LKM dan tidak meluas kepada masyarakat pesisir. Sebaliknya, perkembangan mitra kerja dan lapangan usaha menjadi parameter-parameter kunci dikarenakan pada saat ini LKM mulai dituntut dapat mengembangkan kerja sama dengan pihak-pihak lain. Kerjasama yang diharapkan adalah dalam lingkup penguatan permodalan dan pendampingan masyarakat dalam rangka mengurangi ketergantungan lembaga keuangan mikro di wilayah pesisir ini terhadap bantuan program pemerintah. Dengan kata lain, didalam kelembagaan kinerja kedua LKM harus mampu mencapai suatu kondisi yang mendukung ke arah kemandirian. 5.5.2 Kinerja keuangan LKM Hasil analisis leverage untuk kinerja keuangan kedua LKM di wilayah pesisir disajikan dalam gambar 19. Tampak pola yang jelas dari kinerja keuangan kedua LKM tersebut bahwa parameter yang paling dominan hingga paling tidak dominan didalam mempengaruhi kinerja kedua LKM untuk mampu berperan dengan baik didalam pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir secara berturutturut adalah: rentabilitas, efisiensi, likuiditas, aktiva produktif dan struktur keuangan. Sebagai lembaga keuangan formal, pengelola masing-masing LKM dituntut untuk menghasilkan laba agar mampu mengoptimalkan dan mengembangkan modal yang telah dipunyai. Untuk itu, efisiensi operasional harus semakin ditingkatkan. Pada akhirnya, kembali dapat dilihat bahwa dalam upaya mendukung pengentasan kemiskinan masyarakat di wilayah pesisir maka kemandirian kedua LKM ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri menjadi target utama. Aktiva produktif dan struktur keuangan lebih sebagai parameter yang mengontrol pengelola didalam melaksanakan kegiatannya. Pemahaman tentang kondisi kedua parameter ini berfungsi sebagai informasi bagi pengelola didalam membentuk manajemen yang profesional.
119
Rentabilitas
Rentabilitas
6.04
Efisiensi
Efisiensi
4.09
Likuiditas
0.09
0
7.65
2.91
Struktur Keuangan
1
2
3
4
5
6
7
Nilai Leverage Parameter Kinerja Keuangan
A
Gambar 20
10.24
Aktiva Produktif
0.55
Struktur Keuangan
12.05
Likuiditas
1.69
Aktiva Produktif
16.60
0
2
4
6
8
10
12
14
Nilai Leverage Parameter Kinerja Keuangan
B
Diagram batang nilai hasil analisis leverage kinerja keuangan LKM di Tangerang (A) dan Pasuruan (B), 2006.
5.5.3 Kinerja dampak intermediasi LKM Hasil analisis leverage untuk kinerja dampak intermediasi LKM di wilayah pesisir disajikan dalam gambar 20. Tampak pola yang jelas dari kinerja dampak intermediasi kedua LKM tersebut bahwa parameter yang paling dominan hingga paling tidak dominan didalam mempengaruhi kinerja kedua LKM untuk mampu berperan dengan baik didalam pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir secara berturut-turut adalah: persepsi menabung, persepsi suku bunga, persepsi kesesuaian kredit, total nominal kredit, frekuensi kredit, jumlah anggota KK, kepemilikan asset produktif, kondisi rumah dan tingkat pendapatan. Pembentukan persepsi masyarakat yang baik terhadap menabung diperlukan dalam rangka penguatan modal sendiri. Di samping itu dengan adanya kebutuhan menabung secara tidak langsung menyiratkan bahwa masyarakat mulai memiliki sistem manajemen keuangan yang baik dengan berlandaskan pada perencanaan kehidupan keluarga yang baik dan berjangka panjang. Persepsi suku bunga yang baik juga akan mendukung masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh kedua LKM. Kendala yang dihadapi lebih bersumber pada aturan atau prosedur peminjaman telah memperhatikan karakter usaha yang dilakukan oleh masyarakat target.
120
16
18
Sementara itu, tingkat pendapatan dan membaiknya kondisi aset produktif dan non produktif termasuk bukan parameter kunci semenjak ketiga parameter ini merupakan indikasi keberhasilan penguatan peran LKM di masyarakat pesisir untuk pengentasan kemiskinan. Sesuai dengan waktu atau periode yang diperlukan, tampak bahwa tujuan tersebut belum dapat tercapai pada saat ini.
Persepsi Menabung
12.50
Persepsi Suku Bunga
3.46
Kondisi Rumah
3.35
1.72
Jumlah Anggota KK
4.76
Kepemilikan Asset Produktif
2.10
Frekuensi Kredit
5.35
Jumlah Anggota KK
5.94
Total Nominal Kredit
5.86
Frekuensi Kredit
6.33
Persepsi Keseuaian Kredit
6.84
Total Nominal Kredit
7.78
Persepsi Suku Bunga
7.05
Persepsi Keseuaian Kredit
Persepsi Menabung
1.07
Kepemilikan Asset Produktif
0.79 0.66
Kondisi Rumah Tk. Pendapatan
Tk. Pendapatan
0.54
2.51 0
0
2
4
6
8
10
12
14
1
2
3
4
5
6
7
Nilai Leverage Parameter Dampak Intermediasi
Nilai Leverage Parameter Dampak Intermediasi
A Gambar 21
B
Diagram batang nilai hasil analisis leverage kinerja dampak intermediasi LKM di Tangerang (A) dan Pasuruan (B), 2006.
121
8
9
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Hasil analisis terhadap upaya pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir melalui pengembangan lembaga keuangan mikro dengan mereplikasi konsep dan program Grameen Bank (KSU M3
Tangerang) dan LEPP-M3 (KSU LEPP
Pasuruan) menunjukkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Dari sisi kelembagaan KSU M3 Tangerang diketahui beberapa hal sebagai berikut: 1) pengurus kurang memperhatikan proses sosialisasi program sehingga masih cukup banyak anggota yang kurang memahami tujuan dibentuk dan dikuatkannya LKM dalam wadah KSP ini; 2) mekanisme pemilihan atau kelayakan anggota, pembentukan kelompok yang belum memperhatikan sasaran dengan jelas, kecenderungan meningkatnya kredit bermasalah dan menurunnya jumlah anggota merupakan faktor-faktor penyebab belum dapat terpenuhi dengan baiknya nilai-nilai koperasi berupa persamaan dan solidaritas. Sedangkan pada KSU LEPP Pasuruan tampak bahwa konsistensi pengurus untuk menerapkan kebijakan dan prosedur sesuai dengan syarat-syarat replikasi LEPP telah menunjukkan hasil yang positif terkait penguatan kelembagaan LKM ini. (2) Dari sisi kesehatan keuangan di KSU M3
Tangerang dan KSU LEPP
Pasuruan tampak adanya kecenderungan bahwa: 1) pendapatan didominasi oleh jasa pembiayaan, kontribusi denda meningkat oleh karena meningkatnya pembiayaan bermasalah dan biaya didominasi oleh pemenuhan hak-hak karyawan atau pengurus; 2) aktiva didominasi oleh pembiayaan diberikan dan pasiva didominasi modal tidak tetap dari program pemerintah; 3) kondisi keuangan tetap stabil meskipun terjadi penarikan simpanan pihak ketiga secara besar-besaran; 4) likuiditas semakin baik; 5) pengelolaan dana semakin efisien; dan 6) koperasi sudah cukup mampu menghasilkan laba dari modal dan aset yang dimilikinya. Perbedaan yang signifikan antar kedua LKM tersebut adalah terletak pada pembiayaan bermasalah yang semakin meningkat di KSU M3
Tangerang sedangkan di KSU LEPP Pasuruan
pembiayaan bermasalah semakin menurun.
122
(3) Dari aspek dampak intermediasi peran dan fungsi LKM yang dikaji terhadap pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir tampak bahwa: 1) sebagian besar masyarakat pemanfaat adalah pelaku usaha mikro dan pengelolaannya mampu menjamin pengembalian angsuran pinjaman berjalan dengan baik; 2) perlu adanya penambahan fasilitas pinjaman atau kredit karena belum semua kebutuhan pembiayaan pelaku usaha dapat dilingkupi; 3) persepsi menabung di masyarakat sebagai landasan kemandirian LKM belum terpenuhi dengan baik. (4) Indikasi-indikasi yang diperoleh dari ketiga aspek yaitu penguatan kelembagaan, kinerja keuangan serta dampak intermediasi KSU M3 Tangerang menunjukkan bahwa fungsi dan peran LKM didalam upaya mengentaskan
kemiskinan
masyarakat
pesisir
masih
memerlukan
pembenahan. Hasil analisis MDS menunjukkan status kinerja KSU M3 Tangerang yang bernilai 42,91% masih termasuk “cukup buruk”. Sebaliknya, dari hasil analisis pada ketiga aspek yang sama diketahui bahwa fungsi dan peran KSU LEPP
Pasuruan sebagai suatu LKM didalam upaya
mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir sudah cukup baik. Kondisi ini ditunjukkan oleh hasil analisis MDS terhadap status kinerja KSU LEPP Pasuruan (57,26%) telah termasuk “cukup baik”. (5) Secara umum, fungsi dan peran kedua LKM yang dikaji (KSU M3 dan KASU LEPP) pada saat ini didalam upaya mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir masih dalam tahap penguatan kelembagaan dari sisi internal atau keorganisasian. Hal ini dikarenakan pembentukan status kinerja kedua LKM secara keseluruhan relatif lebih didominasi oleh nilai status kinerja dari aspek kelembagaan dibandingkan dengan nilai status kinerja keuangan dan nilai status kinerja dampak intermediasi. (6) Lebih lanjut, analisis leverage menghasilkan parameter-parameter kunci dalam pembentukan status kinerja kelembagaan kedua LKM adalah perkembangan mitra kerja dan lapangan usaha. Parameter kunci dalam pembentukan status kinerja keuangan kedua LKM adalah rentabilitas dan efisiensi. Adapun parameter kunci untuk dampak intermediasi peran LKM terletak pada bagaimana persepsi masyarakat terhadap menabung dan
123
manfaat yang dapat diambil dari fasilitas (kredit) yang diberikan oleh kedua LKM.
6.2 Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat disimpulkan beberapa opsi kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan peran LKM dalam pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir dan sesuai dengan penguatan jati diri koperasi sebagai berikut: (1) Pada aspek penguatan kelembagaan, diperlukan suatu kebijakan yang mengarah
pada
profesionalisme (kredit/pinjaman)
perumusan dan
dan
pelaksanaan
program
penyusunan
mekanisme
pemanfaatan
berbasis
kondisi
sosial
ekonomi
peningkatan
lokal.
fasilitas Program
peningkatan profesional dalam bentuk serangkaian kegiatan pelatihan untuk pengelola diharapkan secara sistematis mampu mewujudkan SDM pengelola koperasi yang memahami secara benar pengelolaan LKM berbasis pada masing-masing pendekatan. Program kedua yang disarankan diharapkan berupa serangkaian kegiatan yang secara sistematis mampu mewujudkan skema pinjaman atau kredit yang semakin mudah diakses oleh masyarakat setempat. Secara tidak langsung kedua program yang disarankan diharapkan akan mampu memperbaiki kinerja keuangan dan memperluas dampak intermediasi kedua LKM tersebut. (2) Pada aspek pengelolaan keuangan, diperlukan suatu kebijakan yang mengarah
pada
perumusan
dan
pelaksanaan
program
peningkatan
akuntabilitas keuangan LKM. Program yang ditujukan bagi pengelola kedua LKM ini diharapkan berisikan serangkaian kegiatan pelatihan dan studi banding ke LKM-LKM lain yang telah dianggap lebih mampu berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan masyarakat. Program ini juga diharapkan berisikan serangkaian kegiatan yang bertujuan meningkatkan kemitraan dan dengan lembaga-lembaga pembiayaan dan pendampingan teknis dari lembaga-lembaga pembiayaan yang telah menjadi mitra. (3) Di level masyarakat, diperlukan suatu kebijakan yang mengarah pada program-program sosialisasi LKM berikut jasa-jasa yang dihasilkannya.
124
Program-program tersebut diperlukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat didalam kegiatan ekonomi yang dijalankan melalui intermediasi LKM. Secara rinci program tersebut berisikan serangkaian kegiatan yang secara sistematis bertujuan meningkatkan penggunaan fasilitas pinjaman yang diberikan LKM oleh masyarakat melalui penyadaran bahwa apapun hasil yang diperoleh LKM pada prinsipnya akan kembali (berdampak) pada masyarakat. (4) Perlu adanya kajian yang lebih mendalam terhadap penelitian ini, seperti menganalisis sampai sejauh mana dampak perbaikan kinerja LKM terhadap peningkatan teknologi dalam bidang perikanan.
125
DAFTAR PUSTAKA
Aghion, B.A. de and Morduch, J. 2000. Microfinance Beyond Group Lending, in Economics of Transition, Vol. 8, No. 2, pp 401 – 420. Ancok,
D, 1995, Pemanfaatan Organisasi Lokal untuk Mengentaskan Kemiskinan, dalam Awan Setya Dewanta, et al., (ed): Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta, Aditya Media.
Atmadja, P., Prijambodo, Widharso, H., Permana O.H., Yasin, S., Cahyono, J.E. Ma’sud, D.A. 2002. Pengembangan KSP dan USP Koperasi Sebagai Lembaga Keuangan. Penerbit Yayasan Studi Perkotaan (Sandikota). Jakarta. Hal 24. Badan Perencana Pembangunan Daerah. 2005. PDRB Kabupaten Tangerang Tahun 2005. Badan Pusat Statistik. 2002. Kabupaten Tangerang dalam Angka Tahun 2001. Tangerang. 194 hal. Badan Pusat Statistik, 2002. Kinerja UKM di Indonesia. 203 Hal Budiman, A. 1996, Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. 372 hal. Chambers, R. 1988. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang. LP3ES, Jakarta. Hal 140. Chaves, R.A. and Gonzales C.G. Vega, 1996. The Design of Successful Rural Financial Intermediaries: Evidence from Indonesia, World Development, vol. 24, No. 1. pp 65 – 78. Chen, S. and Ravallion, M. 2004. Have the World's Poorest Fared Since the Early 1980s?" World Bank Mimeo. 39 p. Darsono, P. 2006. Manajemen Keuangan: Kajian Pengambilan Keputusan Bisnis Berbasis Analisis Keuangan. Diadit Media. Jakarta. Hal 47-64 Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, 2005. Data Kemiskinan Masyarakat Pesisir di Indonesia. Draft II Juni 2005. Belum diterbitkan. 309 Hal. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, 2003. Pedoman Umum Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir TA. 2003. 165 Hal Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, 2006. Pedoman Umum Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir TA. 2006. 125 Hal. Fauzi, A dan Anna, S., 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan, Vol. 4, No. 3, 2002. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Intitut Pertanian Bogor. Hal 44-47.
126
Harjosuwarno, S. dan Mardimin, J. 2000, Konsep Ketidakadilan dan Kemiskinan, dalam Maridimin, J. (ed): Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia. Yogyakarta, Penerbit Kanisius. Hashemi, S.M. and Morshed, L. 1997. Grameen Bank: A Case Study. In Wood, G.D. and Syarif, I.A. (eds): Who Need Credit? Poverty and Finance in Bangladesh. Z. Books Ltd, London. Pp 217 – 230. Hendrojogi. 2004. Koperasi: Asas-asas, Teori dan Praktik. PT RajaGrafindo Perkasa. 385 hal. Imron, M. 2003, Kemiskinan dalam Masyarakat Nelayan, dalam “Jurnal Masyarakat dan Budaya” Vol. V No. 1/2003. Jakarta, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI. Hal 63-82 Isbandi, R.A. 2003, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universtas Indonesia. 354 hal. Ismawan, B. 2003. Keuangan Mikro Dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Dalam Kemiskinan dan Keuangan Mikro. Penerbit Gema PKM Indonesia, Jakarta. Hal 89. Ismawan, B. 2003a. Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Menanggulangi Kemiskinan. Dalam Bunga Rampai Lembaga Keuangan Mikro. Business Innovation Center of Indonesia, bekerjasama dengan Kantor Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Hal 128 – 130. Ismawan, B dan Budiantoro, 2005. Mapping Microfinace in Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat, Edisi Maret 2005. hal 38 -42. Jain, S and Mansuri, G. 2003. A Little at A Time. The Use of Regularly Schedule Repayment in Microfinance Program; in Journal of Development Economics, Vol. 72, No. 1. pp 253 - 279 Jusuf, J. 1996. Analisis Kredit untuk Account Officer. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.. 289 hal. Kartasasmita, G. 1996, Pembangunan untuk Rakyat. Penerbit CIDES Jakarta. Hal 44. Kementrian Koperasi dan UKM. 2004. Data Koperasi 1999 – 2004. Jakarta. 27 hal Korten, D.C. dan Syahrir, 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Penerbit YOI, Jakarta . Hal 240. Maurer, K. 1999. Bank Rakyat Indonesia (BRI); Indonesia (Case Study). Consultative Group to Assist the Poorest (CGAP). Working Group on Saving Mobilization, Eschborn. P 6. Morduch, J. 1999. The Microfinance Promises, in Journal of Economic Literature, Vol. 37, No. 4, pp 1569 – 1614. Morris, D., 1977, Measuring the Condition of the World’s Poor: the Physical Quality of Life. New York, Pergamon Press.
127
Mubyarto, 1994. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFE-UGM. 263 hal Mubyarto, L. Sutrisno, M. Dove, 1984, Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi Antropology di Dua Desa Pantai. Penerbit Rajawali Jakarta: Hal 18-19; 175-176 Nugroho, H., 1995, Kemiskinan, Ketimpangan, dan Pemberdayaan, dalam Awan Setya Dewanta, dkk, (ed): Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta, Aditya Media. Hal 31. Patton, M.Q. 2006. Metode Evaluasi Kualitatif. (Terjemahan). Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 309 hal. Pitcher, T.J. and D. Preikshot. 2001. RAPFISH: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49(3). Fisheries Center University of British Columbia. Vancouver. P 255-270. Robinson, M.S. 2001. The Microfinance Revolution. Sustainable Finance for the Poor. International Bank for Reconstruction and Development. World Bank. p 114-115. Salim, A., 2002. Perubahan Sosial : Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Penerbit Tiara Wacana. Yogyakarta 318 hal. Sasono, A. 1999. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan. Makalah Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan. Hotel Sangri-La Jakarta 5-7 Desember 1999. Setijawan, E. dan Siregar, M. E., 2003. Peran Perbankan Syariah Dalam Pengembangan Sektor Usaha Kecil dan Mikro. Dalam Bunga Rampai Lembaga Keuangan Mikro. Business Innovation Center of Indonesia, bekerjasama dengan Kantor Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Hal 32. Shankar, R. and Conan, G., 2002. Second Critical Study on Cooperative Legislation and Policy Reform, ICA, RAPA, New Delhi, Soetrisno, N., 2003. Lembaga Keuangan Mikro: Energi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat? Dalam Syukur M. et.al. (Eds) Bunga Rampai Lembaga Keuangan Mikro. Penerbit Business Innovation Center of Indonesia, Bogor. 215 hal. Soetrisno, N., 2003a. Koperasi Indonesia: Potret dan Tantangan. Jurnal Ekonomi Rakyat. http//www.ekonomi rakyat.com. Sumodiningrat, G., 1998. Pembangunan Untuk Rakyat : Sebuah Agenda Reformasi. Dalam Perencanaan Pembangunan (Bappenas). No. 13. Hal 25 – 36. Sumodiningrat, G., 2003. Peranan Lembaga Keuangan Mikro dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait Dengan Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi Rakyat. Tahun II, No. 1. Hal 7-10. Sumodiningrat, G., 2003a. Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pemberbayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Dalam Proceeding Semiloka Nasional Pengembangan Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil Bagi UMKM dan Pengawasannya. Kerjasama Bank Indonesia-PEG/USAID. Hal 19.
128
Syukur, M., 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit Rumah Tangga Miskin. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Tidak Diterbitkan. 197 Hal. The Asia Foundation, 2003. Microfinance Services in Indonesia : A Survey of Institutions in 6 Provinces. Jakarta. Hal 50. Wahyono, A., Imron M., Endrawasih R., Sudiyono, Antariksa. 2001 Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, (Penerbit Media Presindo, Yogyakarta: Hal 55; 185. Winahyu, R. dan Santiasih, 1993, Pengembangan Desa Pantai, dalam Mubyarto et.al., Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan. Aditya media, Yogyakarta. Yamauchi, C., 2005. Evaluating Poverty Alleviation: Methodological and Empirical Evidence from Indonesia. Department of Economics University of California, Los Angeles, CA 951477.
[email protected]. P 2-3 Yunus, M. 2004. Grameen Bank at Glance, http://www.grameen-info.org/bank/ GBGlance.htm. 8 pp.
129
Lampiran 1
KUESIONER ANALISIS PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR MELALUI PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (Studi Kasus KSU Mikro Mitra Mina, Kabupaten Tangerang dan Koperasi Perikanan LEPP Kabupaten Pasuruan)
Nama Pencacah Tanggal pencacahan Paraf Pencacah
: : :
Tanggal Editing Editor Paraf Editor
: : :
130
A. Identitas Umum Responden 1. Nama
: .............................................
2. Umur
: .... tahun
3. Status
: Menikah/Tidak Menikah
4. Alamat a. RT/RW
: ..................................................
b. Desa
: ..................................................
c. Kecamatan
: ..................................................
d. Kabupaten
: ..................................................
B. Kondisi dan Kepemilikan Aset Rumah Bagian dari kuesioner ini bertujuan mengetahui tingkat kesejahteraan seseorang berdasarkan kondisi dan kepemilikan aset rumah seseorang sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan. Pertanyaan diarahkan pada kondisi sebelum dan sesudah responden menjadi anggota koperasi (lihat status keanggotaannya di profil koperasi). 1. 2.
Status rumah Luas pekarangan
: Milik sendiri (4); Sewa (2); Numpang (0) : …………m2. (dalam lingkungan pemukiman temasuk rumah yang dimiliki tidak termasuk pekarangan di tempat lain). 3. Luas rumah : Besar (4); Sedang (3); Kecil (0); (relatif menurut lingkungan). 4. Jenis atap : Genteng (4); seng (1); rumbia (0). 5. Dinding rumah : Tembok (3); stengah tembok (2); kayu/papan (1); bambu (0). 6. Lantai ruamah : Tegel (4); plester semen/campuran teraso, keramik, dll (3); papan kayu/bambu (2); tanah (0). 7. Jenis penerangan : Listrik PLN (4); Listrik Genset (2); Bukan listrik (0). 8. Jenis jamban : WC (4); jamban terbuka (2); di sungai (0). 9. Sumber air minum : Sumur sendiri (3); sumur bersama (2); di sungai/mata air (0). 10. Perabot Elektronik : Ada Telepon (3); Tidak ada Telepon (1); Tidak ada barang elektronik (0) 11. Total nilai Indeks Rumah: _______________
C. Karakteristik Rumahtangga Bagian kuesioner ini menggambarkan struktur demografi/kependudukan tingkat keluarga. Informasi ini cukup krusial didalam “menangkap” dan (selanjutnya) mengkaji isu atau permasalahan sosial – khususnya di bidang lahan kerja dan kesempatan kerja - yang mempengaruhi kebijakan didalam pengembangan kelembagaan dan peningkatan kinerja lembaga keuangan mikro. 1. 2.
Jumlah Anggota KK : ……… orang Status per anggota KK (Informasi tentang anggota rumah tangga termasuk yang tinggal di tempat lain, tetapi menjadi tanggungan keluarga ini).
131
Nama
Hubungan Pendidengan L/P Umur Dikan KK
Pekerjaan Utama
Lainnya
Tingla serumah (Ya/tdk)
D. Penguasaan Aset Produksi Bagian kuesioner ini menggambarkan kedekatan responden untuk mengakses sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keseimbangan akses sumberdaya didalam suatu masyarakat merupakan salah satu titik kritikal didalam upaya membangun dan mengembangkan lembaga keuangan mikro. Jenis Lahan Besaran Status No. 1. Lahan (milik sendiri) 2. Lahan budidaya/garapan a. Sawah ..... - Irigasi ..... - Tadah hujan ..... b. Kebun/Tegalan ...... c. Kolam ...... d. Lainnya .... ...... 3. Kapal ...... 4. Mesin ...... 5. Alat tangkap (jelaskan jenisnya) ...... a. ..... ...... b. ..... ...... 6. Lainnya ...... ...... Keterangan: Kolom “Status” merupakan status kepemilikan dan diisi dengan kode (3) jika milik sendiri; (2) jika sakap; (1) jika sewa dan (0) jika lainnya. Uraian tentang masing-masing sistem kepemilikan aset produksi yang digunakan ................................................................................................................................................................... ................................................................................................................................................................... ................................................................................................................................................................... ................................................................................................................................................................... ...................................................................................................................................................................
132
Jenis Asset
Jumlah
Umur Ekonomis (tahun)
Sudah di gunakan (tahun)
Tahun beli
Nilai beli (Rp)
Nilai sekarang (Rp)
1. Alat Perikanan a. b. 2. Alat Pertanian a. b. E. Lainnya 1. 2. 3.
E. PENDAPATAN (selama satu tahun terakhir) Bagian kuesioner ini menggambarkan pendapatan responden berdasarkan sumbernya. Pendapatan juga merupakan salah satu pendekatan untuk mengetahui dinamika kesejahteraan penduduk suatu wilayah. Data yang dikumpulkan diharapkan akan menggambarkan adanya peningkatan pendapatan dan perkembangan jenis usaha / keragaman sumber pendapatan responden antara sebelum dan sesudah menjadi anggota LKM. 1. Usaha Perikanan Tangkap - uraikan analisis finansial per alat tangkap yang digunakan Jenis pembiayaan/penerimaan
Jawaban
A. Musim Ikan (Ramai) - Jumlah bulan/musim (bulan) - Jumlah trip melaut (kali) - Jumlah hari per trip (hari) - Pendapatan kotor (Rp) - Biaya operasional per trip (Rp/trip) - Pendapatan bersih per trip (Rp) – setelah bagi hasil - Pendapatan bersih per musim (Rp)
….. ….. ….. ….. ….. …..
B. Musim Paceklik (sepi) - Jumlah bulan/musim (bulan) - Jumlah trip melaut (kali) - Jumlah hari per trip (hari) - Biaya operasional per trip (Rp/trip) - Pendapatan bersih per trip (Rp) - Pendapatan bersih per musim (Rp)
….. ….. ….. ….. ….. …..
C. Total pendapatan bersih per tahun (Rp)
…..
133
2.
Usahatani Tanaman Palawija – uraikan analisis finansial per jenis tanaman budidaya Jenis
Total
A. Total luas lahan garapan (ha) B. Produksi per panen (kg) C. Nilai produksi/pendapatan kotor (Rp) D. Biaya Produksi a. Sewa tanah (Rp) b. Bibit c. Pupuk d. Obat – obatan e. Upah Tenaga Kerja F. Bagi hasil (Rp)* G. Pendapatan bersih (Rp) = C - (E+F) H. Pendapatan bersih per tahun = G x musim tanam 3.
..... ..... ..... ..... ..... ..... .....
Tanaman Tahunan - uraikan analisis finansial per jenis tanaman yang dibudidayakan Jenis
Total
A. Total luas lahan garapan (ha) B. Produksi per panen (kg) C. Nilai produksi/pendapatan kotor (Rp) D. Biaya Produksi a. Sewa tanah (Rp) b. Bibit c. Pupuk d. Obat – obatan e. Upah Tenaga Kerja F. Bagi hasil (Rp)* G. Pendapatan bersih (Rp) = C - (E+F) H. Pendapatan bersih per tahun = G x musim tanam 4.
..... ..... .....
..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... .....
Peternakan - uraikan analisis finansial per jenis ternak Biaya Dan Penerimaan
Jenis Ternak
Total
1. Jumlah ternak sekarang (ekor) 2. Nilai jual (Rp) 3. Nilai yang dikonsumsi (Rp) 4. Penerimaan kotor (2+3) 5. Nilai beli (Rp) 6. Biaya input (Rp) 7. Biaya tenaga kerja 8. Biaya peralatan 9. Total biaya (5+6+7+8) (Rp) 10. Penerimaan bersih (4-9) (Rp) Catatan : Jenis unggas dihitung apabila memiliki minimal 5 ekor dewasa (sedang).
134
5.
Perikanan Budidaya Kolam atau Tambak Jenis Ikan
Biaya Dan Penerimaan
Total
1. Jumlah ikan sekarang (Kg) 2. Nilai jual (Rp) 3. Nilai yang dikonsumsi (Rp) 4. Penerimaan kotor (2+3) 5. Biaya input (Bibit, pakan, dll) (Rp) 6. Biaya tenaga kerja (Rp) 7. Biaya peralatan (Rp) 8. Total biaya (5+6+7) (Rp) 9. Penerimaan bersih (4-8) (Rp) 6.
Pendapatan dari Berburuh (satu tahun terakhir) Anggota Keluarga Yang Bekerja
Jenis Pekerjaan Berburuh
HOK/ Bln
HOK/ th
Upah/ th
Pendapatan Bersih/th
1. _____________ 2. _____________ 3. _____________ 4. _____________ Jumlah 7.
Pendapatan Dari Sumber Lain Keterangan
Rata-Rata Pendapatan Per bulan (Rp)
Jumlah Pendapatan Pertahun (Rp)
1. Pensiun / gaji / honor *) 2. Menyewakan alat pertanian, perikanan, tanah, rumah dan lain-lain 3. Kiriman atau pemberian dari anggota keluarga diluar dan dalam desa **) 4. Ojek 5. Sopir/kenek mobil 6. Lainnya (sebutkan) ………………………. Total Pendapatan *) Pegawai Negeri / TNI / POLRI/ Swasta termasuk tunjangan natura ( beras, lauk pauk dan lainnya ). **) Ternasuk dalam bentuk sandang, pangan dan lain-lainnya.
135
8.
Pendapatan dari Kegiatan Luar Pertanian ( Selain Berburuh ) Biaya Dan Penelitian
Total
Jenis Pekerjaan *)
1. Hasil Kotor Fisik (satuan) 2. Nilai Hasil Kotor (Rp) 3. Biaya Input Produksi (Rp) 4. Biaya Tenaga Kerja (Rp) 5. Biaya Lain-lain (sewa, transport, dsb (Rp) 6. Nilai Hasil Bersih (Rp) *) Isikan : 1. Hasil perikanan : jualan ikan segar, ikan olahan (pindang, asap, asin), terasi, kerupuk,dsb 2. Kios / warung di pasar / di rumah / keliling (kebutuhan rumahtangga). 3. Dagang pikulan : Sayuran / lauk pauk, makanan, minuman 4. Gerobak dorong : Sayuran / lauk pauk, makanan, minuman 5. Hasil pertanian : Padi, palawija, sayur-sayuran, buah-buahan dll. 6. Lainya (sebutkan) : …………………………………… 9.
Rekapitulasi Pendapatan Rumah Tangga Uraian
Pendapatan dari usaha sektor perikanan (penangkapan) Pendapatan dari usaha tani padi dan palawija Pendapatan dari tanaman tahunan Pendapatan dari sektor peternakan Pendapatan dari sektor perikanan (kolam dan tambak) Pendapatan dari berburuh Pendapatan dari luar pertanian (dagang dan industri rumahtangga perikanan dan non perikanan, jasa, dll) 8. Pendapatan dari sumber lain 9. Total pendapatan rumah tangga 10. Jumlah anggota rumah tangga 11. Pendapatan per kapita (9 : 10)
Nilai (Rp.)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Rp. ________________ ____________ Orang Rp ________________
136
F. Keanggotaan dalam KSU Mikro Mitra Mina 1. Lama menjadi anggota Mikro Mitra Mina : _____________ bulan, sejak_________ 2. Pinjaman : (a) Pertama, Jumlah Rp._________
(b) Kedua, Jumlah Rp. _________
3. Penggunaan Pinjaman : 1. Pengguna
: (a) Suami
(b) Istri
(c) Lainnya _________________
2. Penggunaan Pinjaman I (a) Jenis Penggunaan : (1) Produktif, Rp. __________ (2) Konsumtif, Rp. _________ (b) Jenis Usaha : (1) Usaha Lama, Rp. _______________ (2) Usaha Baru, Rp. _______________ 3. Penggunaan Pinjaman II (a) Jenis Penggunaan : (1) Produktif, Rp. __________ (2) Konsumtif, Rp. _________ (b) Jenis Usaha : (1) Usaha Lama, Rp. _______________ (2) Usaha Baru, Rp. _______________ 4. Penggunaan Pinjaman III (a) Jenis Penggunaan : (1) Produktif, Rp. __________ (2) Konsumtif, Rp. _________ (b) Jenis Usaha : (1) Usaha Lama, Rp. _______________ (2) Usaha Baru, Rp. _______________ 5. Penggunaan Pinjaman IV (a) Jenis Penggunaan : (1) Produktif, Rp. __________ (2) Konsumtif, Rp. _________ (b) Jenis Usaha : (1) Usaha Lama, Rp. _______________ (2) Usaha Baru, Rp. _______________ 6. Penggunaan Pinjaman V (a) Jenis Penggunaan : (1) Produktif, Rp. __________ (2) Konsumtif, Rp. _________ (b) Jenis Usaha : (1) Usaha Lama, Rp. _______________ (2) Usaha Baru, Rp. _______________
G. Pengembangan Kultur Wira Usaha Bagian kuesioner ini menggambarkan perkembangan kultur wirausaha responden sebelum dan sesudah menjadi anggota. Gambaran perkembangan didasarkan dari perkembangan interaksi responden dengan lembaga kredit lain sebelum dan sesudah menjadi anggota KSU. Asumsi yang kembangkan adalah semakin banyak berhubungan dengan lembaga kredit lain dengan kualitas hubungan yang semakin membaik menunjukkan adanya perubahan positif dalam kultur wirausaha responden.
137
KRITERIA
ANTAR WAKTU SEBELUM SESUDAH
a. Lembaga _____________________ (1) Frekwensi/Intensitas (2) Besar Pinjaman (3) Tujuan Pinjaman b. Lembaga _____________________ (1) Frekwensi/Intensitas (2) Besar Pinjaman (3) Tujuan Pinjaman c. Lainnya ______________________ (1) Frekwensi/Intensitas (2) Besar Pinjaman (3) Tujuan Pinjaman
2. Jika tidak terjadi perubahan perilaku kredit, berikan penjelasan mengenai alasan mengenai hal tersebut (sebagai contoh : KSU M3 tidak atau belum mampu memenuhi kebutuhan kredit yang relatif besar, dsb.). ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ 3. Jika terjadi perubahan perilaku kredit, berikat penjelasan mengenai alasan perubahan tersebut (komparasi mengenai kelebihan/kekurangan prosedur, mekanisme, dsb.) ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ H. Persepsi dan Aspirasi mengenai Skim Mikro Mitra Mina Bagian dari kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan aspirasi responden tentang fakta sosial yang terkait dengan skim mikro mitra mina. Dalam hal ini, persepsi adalah pendapat responden tentang suatu fakta sosial yang terjadi, sedangkan aspirasi adalah pendapat seseorang tentang suatu fakta sosial yang seharusnya atau sebaiknya
138
terjadi. Persepsi karenanya merupakan tanggapan atas fakta sosial yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi. Sedangkan aspirasi merupakan persepsi seseorang tentang fakta sosial yang sama namun ideal menurut responden, karena terkandung dalam diri responden dan hanya muncul dalam kesadaran responden itu sendiri. KRITERIA
PERSEPSI
ASPIRASI
1. Aturan dan Mekanisme a. Pembentukan Kelompok b. Latihan Wajib Kumpulan c. Pertemuan Mingguan d. Angsuran Mingguan e. Bunga Pinjaman f. Kewajiban Menabung g. Periode Kredit 2. Optimalisasi Wahana Minggon di Rembug Pusat 3. Lain-Lain
139
Lampiran 2. Uraian fungsi dan tugas setiap jabatan dalam KSU LEPP Pasuruan, 2005.
Fungsi dan Tugas Setiap Jabatan Rapat Anggota Anggota KSU LEPP adalah Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) pada Program PEMP dan untuk KMP pasca program PEMP yaitu kelompok masyarakat pesisir yang masuk menjadi anggota LEPP berdasarkan kriteria yang ditentukan. Sehingga rapat anggota adalah rapat yang dihadiri oleh perwakilan KMP. Rapat anggota berfungsi untuk: 1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat yang sifatnya umum dalam rangka pengembangan KSU LEPP sesuai AD dan ART; 2. Mengangkat dan memberhentikan pengurus KSU LEPP; 3. Menerima laporan perkembangan KSU LEPP dari pengurus; 4. Untuk ketentuan yang belum ditetapkan dalam rapat anggota, akan diatu ketentuan tambahan. Pengurus Secara umum fungsi dan tugas pengurus adalah: 1. Menyusun kebijakan umum LEPP yang telah dirumuskan dalam rapat anggota; 2. Melakukan pengawasan operasional LEPP dalam bentuk: a. Persetujuan pembiayaan untuk suatu jumlah tertentu. b. Pengawasan tugas manajer (pengelola) c. Memberikan rekomendasi produk-produk yang akan ditawarkan kepada anggota sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat pesisir. 3. Melaporkan perkembangan LEPP kepada para anggota dalam rapat anggota. Kepengurusan LEPP terdiri dari ketua, sekretaris dan anggota. Fungsi dan tugas masing-masing jabatan adalah sebagai berikut: 1. Ketua a. Memimpin rapat anggota dan rapat pengurus; b. Memimpin anggota pengurus; c. Melakukan pembinaan kepada pengelola; d. Ikut menandatangani surat-surat berharga serta surat-surat lain yang bertalian dengan penyelenggaraan keuangan LEPP; e. Menjalankan tugas-tugas yang diamanahkan oleh anggota LEPP sebagaimana tertuang dalam AD/ART LEPP, khususnya pencapaian tujuan. 2. Sekretaris a. Membuat serta memelihara berita acara yang asli dan lengkap dari rapatrapat anggota dan rapat-rapat pengurus; b. Bertanggung jawab atas pemberitahuan kepada anggota sebelum rapat diadakan sesuai dengan ketentuan AD/ART; c. Memberikan catatan-catatan keuangan LEPP hasil laporan dari pengelola; d. Memverifikasi dan memberikan saran pada ketua tentang berbagai situasi dan perkembangan LEPP.
140
Pengawas Secara umum fungsi dan tugas pengawas dalam LEPP adalah mengawasi jalannya operasional LEPP berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam rapat anggota. Pengelola Pengelola adalah pelaksana operasional harian KSU LEPP. Pengelola terdiri dari manajer, staf pembiayaan, administrasi pembukuan, kasir dan marketing. Uraian fungsi dan tugas masing-masing adalah sebagai berikut: 1. Manajer a. Memimpin operasional KSU LEPP sesuai dengan tujuan dan kebijakan umum yang digariskan oleh pengurus; b. Membuat rencana kerja secara periodik yang meliputi: rencana pembiayaan, rencana biaya operasional dan rencana keuangan; c. Memimpin dan mengarahkan kegiatan yang dilakukan oleh staf; d. Membuat laporan secara periodik kepada pengurus dan DKP yang berupa: laporan pembiayaan baru KMP, Laporan perkembangan pembiayaan, laporan keuangan. e. Membina usaha anggota LEPP baik perorangan maupun kelompok. 2. Staf pembiayaan a. Melakukan pelayanan dan pembinaan kepada peminjam (KMP); b. Menyusun rencana pembiayaan; c. Menerima berkas pengajuan pembiayan; d. Melakukan hasil analisis pembiayaan; e. Mengajukan berkas pembiayaan hasil analisis kepada komisi pembiayaan f. Melakukan administrasi pembiayaan; g. Melakukan pembinaan anggota pembiayaan agar tidak macet; h. Membuat laporan perkembangan pembiayaan. 3. Staf Administrasi dan Pembukuan a. Menangani administrasi keuangan; b. Mengerjakan jurnal dan buku besar; c. Menyusun neraca percobaan; d. Melakukan perhitungan bagi hasil/bunga simpanan; e. Menyusun laporan keuangan secara periodik. 4. Staf Kasir a. Bertindak sebagai penerima uang dan juru bayar/kasir; b. Menerima/menghitung uang dan bukti penerimaan c. Melakukan pembayaran sesuai dengan perintah manajer; d. Melayani dan membayar pengambilan tunai; e. Melayani dan membayar pengambilan tabungan f. Membuat buku kas harian g. Setiap awal dan akhir jam kerja menghitung uang yang ada. 5. Staf Marketing a. Melakukan kegiatan penggalangan tabungan masyarakat.
141
b. Menyusun rencana, pengembangan produk dan analisa data tabungan. c. Mencari nasabah, menganalisa usaha nasabah (kelayakan). d. Memantau angsuran nasabah yang masuk dan mendatangi nasabah yang jatuh tanggal pembayarannya. e. Membantu mencari jalan keluar bagi nasabah atau KMP yang bermasalah dalam hal angsuran yang tertunda.
142
Lampiran 3. Perhitungan rasio-rasio keuangan sebagai indikator kinerja keuangan KSU M3 di Tangerang, 2004 – 2005.
1. Struktur Permodalan Tahun 2005 = (Rp 326.279.033 : Rp 118.376.099) x 100% Tahun 2004 = (Rp 311.909.995 : Rp 106.653.990) x 100% Tahun 2003 = (Rp 260.565.000 : Rp 32.837.200) x 100% Tahun 2005 PT X (BPR) = 231,35% (per 30 Desember 2005)
= = =
275,63% 292,45% 793,51%
= = =
28,19% 3,48% 1,02%
= = =
71,44% 55,26% 44,39%
= = =
70,36% 82,22% 79,39%
= = =
11,10% 7,07% 3,18%
= = =
16,08% 9,92% 3,69%
2. Aktiva Produktif / Non Performance Loan Tahun 2005 = (Rp 470.571.800 : Rp 1.669.332.000) x 100% Tahun 2004 = (Rp 36.172.500 : Rp 1.038.844.000) x 100% Tahun 2003 = (Rp 4.642.700 : Rp 456.200.000) x 100% Tahun 2005 PT X (BPR) = 0,47% (per 30 Desember 2005)
3. Likuiditas/Loan to Deposit Ratio Tahun 2005 = (Rp 317.677.050 : Rp 444.655.132) x 100% Tahun 2004 = (Rp 231.289.850 : Rp 418.563.985) x 100% Tahun 2003 = (Rp 185.812.200 : Rp 418.563.985) x 100% Tahun 2005 PT X (BPR) = 58,26% (per 30 Desember 2005)
4. Efisiensi/BOPO Tahun 2005 = (Rp 73.930.431 : Rp 105.068.163) x 100% Tahun 2004 = (Rp 67.547.724 : Rp 88.868.872) x 100% Tahun 2003 = (Rp 37.074.374 : Rp 46.698.033) x 100% Tahun 2005 PT X (BPR) = 84,53% (per 30 Desember 2005)
5. Rentabilitas ROA Tahun 2005 = (Rp 52.458.880 : Rp 472.679.090) x 100% Tahun 2004 = (Rp 30.944.807 : Rp 437.754.815) x 100% Tahun 2003 = (Rp 9.623.659 : Rp 303.025.859) x 100% Tahun 2005 PT X (BPR) = 3,55 % (per 30 Desember 2005)
ROE Tahun 2005 = (Rp 52.458.880 : Rp 326.279.033) x 100% Tahun 2004 = (Rp 30.944.807 : Rp 311.909.995) x 100% Tahun 2003 = (Rp 9.623.659 : Rp 260.565.000) x 100% Tahun 2005 PT X (BPR) = 5,46 % (per 30 Desember 2005)
143
Lampiran 4. Perhitungan rasio-rasio keuangan sebagai indikator kinerja keuangan KSU LEPP di Pasuruan, 2004 – 2005.
1. Struktur Permodalan Tahun 2005 = (Rp 2.477.264.103 : Rp 331.741.553) x 100% Tahun 2004 = (Rp 2.257.800.000 : Rp 363.063.493) x 100% Tahun 2003 = (Rp 2.323.300.000 : Rp 270.585.658) x 100% Tahun 2005 PT X (BPR) = 231,35% (per 30 Desember 2005)
= = =
746,75% 621,87% 858,62%
2. Aktiva Produktif / Non Performance Loan Tahun 2005 = (Rp 1.067.119.225 : Rp 2.910.750.000) x 100% = Tahun 2004 = (Rp 1.299.368.600 : Rp 2.651.252.000) x 100% = Tahun 2003 = Data pembiayaan bermasalah tidak diperoleh Tahun 2005 PT X (BPR) = 0,47% (per 30 Desember 2005)
36,60% 49,01%
3. Likuiditas/Loan to Deposit Ratio Tahun 2005 = (Rp 2.910.750.000 : Rp 2.984.000.000) x 100% = Tahun 2004 = (Rp 2.651.252.000 : Rp 3.187.278.893) x 100% = Tahun 2003 = Data total pembiayaan tidak diperoleh Tahun 2005 PT X (BPR) = 58,26% (per 30 Desember 2005)
97,55% 83,18%
4. Efisiensi/BOPO Tahun 2005 = (Rp 244.779.225 : Rp 328.961.970) x 100% Tahun 2004 = (Rp 265.270.593 : Rp 318.995.936) x 100% Tahun 2003 = (Rp 208.774.566 : Rp 233.021.247) x 100% Tahun 2005 PT X (BPR) = 84,53% (per 30 Desember 2005)
= = =
74,41% 82,22% 85,59%
= = =
2,75% 1,64% 0,79%
= = =
3,40% 2,38% 1,04%
5. Rentabilitas ROA Tahun 2005 = (Rp 84.182.000 : Rp 3.061.881.690) x 100% Tahun 2004 = (Rp 53.725.343 : Rp 3.268.881.348) x 100% Tahun 2003 = (Rp 24.246.681 : Rp 3.058.531.731) x 100% Tahun 2005 PT X (BPR) = 3,55 % (per 30 Desember 2005)
ROE Tahun 2005 = (Rp 84.182.000 : Rp 2.477.264.103) x 100% Tahun 2004 = (Rp 53.725.343 : Rp 2.257.800.000) x 100% Tahun 2003 = (Rp 24.246.681 : Rp 2.323.300.000) x 100% Tahun 2005 PT X (BPR) = 5,46 % (per 30 Desember 2005)
144
Lampiran 5. Penjelasan RAPFISH Sumber: Kavanagh, P. 2001. RAPFISH Software Description: For Microsoft Excel. RAPFISH Project. University of British ColumbiaFisheries Centre.. 1.1 Interpretation This section provides a brief overview of how to interpret RAPFISH ordinations. The reason for developing a procedure such as RAPFISH is that we need, as a society, quantitative tools to monitor and assess the health of fisheries ecosystems and the complex relations with human communities and economies which rely on fisheries. Given clear metrics describing fisheries health, tracked over time and for various locations and species of fish, fisheries managers can make more informed decisions about for fisheries policy and seasonal management. The effects of various policy and management choices on fisheries health can also be tracked over time. The two-dimensional RAPFISH ordination gives a graphical summary of the differences in fisheries as described by the RAPFISH attribute scores. The position of a fishery on the “sustainability” horizontal x-axis gives a relative ranking of the fisheries between the two extreme reference fisheries with all BAD and all GOOD attribute scores. The position of the vertical y-axis indicates variation in fisheries attributes that are not related to sustainability. The vertical axis is arbitrary and depends on the particular selection of the UP and DOWN reference fisheries. By convention, the UP fishery has the first half of the attributes set to the worst case BAD values and the other half all GOOD; the DOWN reference is the opposite of the UP fishery. The Multi-Dimensional Scaling (MDS) operation at the heart of RAPFISH is described in detail in [3], [4], and [9]. Essentially, MDS transforms multidimensional statistics (in our case a group of fisheries with multiple attribute scores) into a lower dimension representation which maintains similar distance properties (between cases (fisheries). For RAPFISH, a twodimensional representation is selected with a Ratio level of measurement allowing a transformation polynomial of order 1 (default). Selecting Ratio means that a metric analysis is used. Given an input matrix S of distances (dissimilarities) between multi-attribute fisheries (squared Euclidean distances from Proximities function), the RAPFISH ALSCAL algorithm generates a two-dimensional set of fisheries scores with squared Euclidean distance matrix D2 approximately equal to matrix S transformed by a monotonic linear function with 0 intercept:
λ{S} = D2 + E where symbol λ means “a monotonic linear transformation with 0 intercept” and E is an error (residual) matrix equal to the difference between λ{S} and D2 matrices. The ALSCAL iterative algorithm strives to minimize the error E in a least squares sense. Iterations stop when the s-stress metric is below a specified minimum (0.005 by default).
145
s-stress = (stress)1/2 stress = ||E|| / ||λ{S}|| where || X|| means “sum of squares of all the elements of matrix X”. A low value of s-stress (or stress) is desired to give us confidence that the solution is a good representation of the input data. Iterations may also stop if a maximum number of iterations has occurred or if the solutions stop reducing s-stress. The solution is not generally unique and/or an exact solution may not exist. The error return code from the RAPFISH g77ASLCAL function indicates the reason for the iterations stopping. The rotating, flipping, and scaling operations are intended to allow successive RAPFISH ordinations to be compared on the same axes. The design and use of the anchor and reference fisheries also provides repeatability in the RAPFISH 2-dimenional ordinations. The numbers 0 to 100 and –50 to 50 are entirely arbitrary and have not been “calibrated” to any other biological or fisheries management value metric. However the BAD and GOOD reference fisheries indicate what we believe to be, respectively, fisheries with all the worst and all the best features for ecosystem health. The position of a fishery on the BAD to GOOD “sustainability” axis and its position relative to other fisheries helps us get a sense of the relative sustainability of the set of fisheries, for sustainability defined for each of the RAPFISH attribute sets. We do not (yet) know how a particular RAPFISH sustainability measure might relate to the actual sustainability of the fisheries ecosystem and its involved human economy, communities, and social organization. It is very important that the same sets of attributes, order of attributes, scoring definitions, anchor fisheries, and reference fisheries be used for all RAPFISH analyses, in order that results can be compared. For instance, if one wanted to compare the Red Sea fisheries with the North Atlantic, without running all together in the same RAPFISH spreadsheet, one must ensure that all the above conditions are the same in both analysis runs; otherwise the comparison would not be consistent. 1.2 RAPFISH Error and Variability Some sources of error in the RAPFISH technique are: • attribute scoring error due to imperfect knowledge of the fisheries, misunderstandings of the RAPFISH attributes and scoring guidelines, differences in opinion or judgement by several people, and data entry errors. • incomplete convergence of the MDS solution (higher stress values) • convergence on an ambiguous solution (for instance mirror image of “correct” solution) • attributes not applicable for some fisheries The Monte Carlo simulation allows the user to test the effect of various amounts of scoring error on the RAPFISH ordination. The anchor and reference fisheries should, ideally, not move for Monte Carlo runs.
146
1.3 Sustainability “Calibration” MDS is useful for illustrating differences between multi-attribute scored fisheries. The coordinate along the BAD to GOOD fishery axis gives a relative measure of “sustainability”, as defined by the RAPFISH multiple attribute scores. However, we have not defined sustainability for fisheries as a whole, but rather only specific attributes of sustainability. How a particular combination of attribute scores relates to concepts of “sustainability” is yet to be defined. Further study is required to define and “calibrate” the sustainability axis, probably through some kind of scaling before or after MDS, so that for each combination of attribute scores the sustainability measure makes sense and tends to agree with other methods of fisheries health assessment. Another sort of calibration desired is that for each of the attribute sets (ecological, technological, etc.) the sustainability scales are not biased relative to each other. A caution about BAD and GOOD: Other fisheries may be just as bad as BAD but with some attributes OK. Presently, RAPFISH does not consider this possibility. RAPFISH weights all attributes evenly, which may not be realistic. Another difficulty is that some attributes may be correlated to others to some extent, so it is not, perhaps, correct to “count them twice”. Some further study is needed here. 1.4 Dominant Attributes The Leveraging calculation allows the user to check for changes in ordination when successive attributes are left out. Just as the sustainability axis is not truly calibrated, we cannot know the meaning of the attribute leveraging values.
147
Lampiran 6. Matriks Euclidean Distance kinerja kelembagaan LKM Pasuruan dan Tangerang Kab. Pasuruan 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2.358291
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
21.94312
31.7109
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
17.90374
15.54545
16.16545
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6.397661
16.16545
15.54545
31.7109
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
2.358291
0
31.7109
15.54545
16.16545
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6.244654
3.886363
27.82454
11.65909
20.05181
3.886363
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.13102
7.772727
23.93818
7.772727
23.93818
7.772727
3.886363
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
14.01738
11.65909
20.05181
3.886363
27.82454
11.65909
7.772727
3.886363
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
19.2502
19.58482
12.12608
4.03937
27.67153
19.58482
15.69846
11.8121
7.925734
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
19.2502
23.63216
8.07874
8.086707
23.62419
23.63216
19.7458
15.85943
11.97307
4.047337
0
0
0
0
0
0
0
0
20.59666
27.67153
4.03937
12.12608
19.58482
27.67153
23.78517
19.89881
16.01244
8.086707
4.03937
0
0
0
0
0
0
0
0
18.05675
27.82454
3.886363
20.05181
11.65909
27.82454
31.7109
27.82454
23.93818
16.01244
11.9651
7.925734
0
0
0
0
0
0
0
14.17039
23.93818
7.772727
23.93818
7.772727
23.93818
27.82454
31.7109
27.82454
19.8988
15.85147
11.8121
3.886363
0
0
0
0
0
0
10.28402
20.05181
11.65909
27.82454
3.886363
20.05181
23.93818
27.82454
31.7109
23.78517
19.73783
15.69846
7.772727
3.886363
0
0
0
0
0
5.051204
12.12608
19.58482
27.67153
4.03937
12.12608
16.01244
19.8988
23.78517
31.7109
27.66357
23.62419
15.69846
11.8121
7.925734
0
0
0
0
5.051204
8.07874
23.63216
23.62419
8.086707
8.07874
11.9651
15.85147
19.73783
27.66357
31.7109
27.67153
19.7458
15.85943
11.97307
4.047337
0
0
0
3.704748
4.03937
27.67153
19.58482
12.12608
4.03937
7.925734
11.8121
15.69846
23.62419
27.67153
31.7109
23.78517
19.89881
16.01244
8.086707
4.03937
0
0
2.358291
0
31.7109
15.54545
16.16545
0
3.886363
7.772727
11.65909
19.58482
23.63216
27.67153
27.82454
23.93818
20.05181
12.12608
8.07874
4.03937
0
148
Kab. Tangerang 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.40292
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
6.395108
32.26012
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.40292
16.18935
16.07077
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6.395109
16.07077
16.18935
32.26012
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.40292
0
32.26012
16.18935
16.07077
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.40292
4.047337
28.21278
12.14201
20.11811
4.047337
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.40292
8.094674
24.16545
8.094674
24.16545
8.094674
4.047337
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.40292
12.14201
20.11811
4.047337
28.21278
12.14201
8.094674
4.047337
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9.066983
20.19716
12.06296
4.007813
28.25231
20.19716
16.14982
12.10249
8.055149
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
9.066983
24.2445
8.015625
8.055149
24.20497
24.2445
20.19716
16.14982
12.10249
4.047337
0
0
0
0
0
0
0
0
7.731046
28.25231
4.007813
12.06296
20.19716
28.25231
24.20497
20.15763
16.1103
8.055149
4.007813
0
0
0
0
0
0
0
0
6.395108
28.21278
4.047337
20.11811
12.14201
28.21278
32.26012
28.21278
24.16545
16.1103
12.06296
8.055149
0
0
0
0
0
0
0
6.395108
24.16545
8.094674
24.16545
8.094674
24.16545
28.21278
32.26012
28.21278
20.15763
16.1103
12.10249
4.047337
0
0
0
0
0
0
6.395108
20.11811
12.14201
28.21278
4.047337
20.11811
24.16545
28.21278
32.26012
24.20497
20.15763
16.14982
8.094674
4.047337
0
0
0
0
0
7.731046
12.06296
20.19716
28.25231
4.007813
12.06296
16.1103
20.15763
24.20497
32.26012
28.21278
24.20497
16.14982
12.10249
8.055149
0
0
0
0
7.731046
8.015625
24.2445
24.20497
8.055149
8.015625
12.06296
16.1103
20.15763
28.21278
32.26012
28.25231
20.19716
16.14982
12.10249
4.047337
0
0
0
9.066983
4.007813
28.25231
20.19716
12.06296
4.007813
8.055149
12.10249
16.14982
24.20497
28.25231
32.26012
24.20497
20.15763
16.1103
8.055149
4.007813
0
0
10.40292
0
32.26012
16.18935
16.07077
0
4.047337
8.094674
12.14201
20.19716
24.2445
28.25231
28.21278
24.16545
20.11811
12.06296
8.015625
4.007813
0
149
Lampiran 7. Matriks Euclidean Distance kinerja keuangan LKM di Pasuruan dan Tangerang Kab. Pasuruan 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9.264706
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
7.941176
18.97059
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4.191176
7.720588
11.25
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
13.01471
11.25
7.720588
18.97059
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9.264706
0
18.97059
7.720588
11.25
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5.514706
3.75
15.22059
3.970589
15
3.75
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7.941176
11.47059
7.5
3.75
15.22059
11.47059
7.720588
0
0
0
0
0
0
0
0
4.191176
15.22059
3.75
7.5
11.47059
15.22059
11.47059
3.75
0
0
0
0
0
0
0
7.941176
18.97059
0
11.25
7.720588
18.97059
15.22059
7.5
3.75
0
0
0
0
0
0
11.69118
15.22059
3.75
15
3.970589
15.22059
18.97059
11.25
7.5
3.75
0
0
0
0
0
11.69118
15.22059
3.75
15
3.970589
15.22059
18.97059
11.25
7.5
3.75
0
0
0
0
0
9.264706
7.5
11.47059
15.22059
3.75
7.5
11.25
18.97059
15.22059
11.47059
7.720588
7.720588
0
0
0
13.01471
3.75
15.22059
11.47059
7.5
3.75
7.5
15.22059
18.97059
15.22059
11.47059
11.47059
3.75
0
0
9.264706
0
18.97059
7.720588
11.25
0
3.75
11.47059
15.22059
18.97059
15.22059
15.22059
7.5
3.75
0
150
Kab. Tangerang 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.173175
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
4.457404
19.73504
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.207404
8.043864
11.69118
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4.423175
11.69118
8.043864
19.73504
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.173175
0
19.73504
8.043864
11.69118
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9.530933
4.073276
15.66177
3.970589
15.76445
4.073276
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6.883874
12.01445
7.720588
3.970589
15.76445
12.01445
7.941177
0
0
0
0
0
0
0
0
3.133874
15.76445
3.970589
7.720588
12.01445
15.76445
11.69118
3.75
0
0
0
0
0
0
0
4.457404
19.73504
0
11.69118
8.043864
19.73504
15.66177
7.720588
3.970589
0
0
0
0
0
0
3.099645
15.66177
4.073276
15.76445
3.970589
15.66177
19.73504
11.79386
8.043864
4.073276
0
0
0
0
0
3.099645
15.66177
4.073276
15.76445
3.970589
15.66177
19.73504
11.79386
8.043864
4.073276
0
0
0
0
0
5.746705
7.720588
12.01445
15.76445
3.970589
7.720588
11.79386
19.73504
15.98504
12.01445
7.941177
7.941177
0
0
0
9.496704
3.970589
15.76445
12.01445
7.720588
3.970589
8.043864
15.98504
19.73504
15.76445
11.69118
11.69118
3.75
0
0
8.173175
0
19.73504
8.043864
11.69118
0
4.073276
12.01445
15.76445
19.73504
15.66177
15.66177
7.720588
3.970589
0
151
Matriks Euclidean Distance kinerja dampak intermediasi LKM di Pasuruan dan Tangerang Kab. Pasuruan 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9.750432968
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.081357002
19.90078163
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6.219211578
8.438405991
11.46237659
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11.61257935
11.46237659
8.438405991
19.90078163
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.16000748
0.40957436
21.94865417
10.48627853
11.8719511
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
7.612781525
4.275303364
17.76313019
6.30075407
15.73767948
4.684877872
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7.612781525
8.623538017
15.5890131
4.126636505
20.08591461
9.033112526
4.34823513
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11.29895115
12.3097086
14.36028957
2.897912741
23.77208519
15.1767292
8.034405708
3.686170101
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
14.09717083
20.95602989
11.47818279
5.696133614
26.73808098
23.82305145
16.68072701
12.33249092
8.646321297
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
18.35741615
25.21627617
10.05810165
9.956378937
25.31799889
28.08329773
20.94097328
16.5927372
12.90656757
4.2602458
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
19.83031845
29.63497925
8.585199356
14.37508106
23.84509659
32.5019989
25.35967636
21.01144028
17.3252697
8.678948402
4.418703079
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
24.09056282
33.89522552
7.165118217
18.63532639
22.4250145
36.76224518
29.61992264
25.27168655
21.58551598
12.93919468
8.678949356
4.2602458
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
20.27238274
37.71340561
3.346936226
22.45350838
18.6068325
40.58042526
33.43810272
29.08986855
25.40369797
16.75737572
12.49713039
8.078427315
3.818181753
0
0
0
0
0
0
0
0
0
22.41003418
33.43810272
5.484588146
24.59115982
14.33152962
36.30512238
37.71340561
33.36517334
29.67900085
21.0326786
16.77243423
12.3537302
8.093484879
4.275303364
0
0
0
0
0
0
0
0
22.41003418
29.08986855
7.658705711
26.76527786
9.983294487
31.9568882
33.36517334
37.71340561
34.02723694
25.38091469
21.12066841
16.70196533
12.44172001
8.623538017
4.34823513
0
0
0
0
0
0
0
18.7238636
25.40369797
8.887429237
27.99400139
6.297124863
25.81327248
29.67900085
34.02723694
37.71340561
29.06708527
24.80683899
20.38813591
16.12788963
12.3097086
8.034405708
3.686170101
0
0
0
0
0
0
15.92564487
16.75737572
11.76953697
25.19578171
3.331130743
17.16695023
21.0326786
25.38091469
29.06708527
37.71340561
33.45316315
29.03445816
24.77421188
20.95602989
16.68072701
12.33249092
8.646321297
0
0
0
0
0
11.6653986
12.49713039
13.18961906
20.93553543
4.751212597
12.9067049
16.77243423
21.12066841
24.80683899
33.45316315
37.71340561
33.29470444
29.03445816
25.21627617
20.94097328
16.5927372
12.90656757
4.2602458
0
0
0
0
10.19249725
8.078427315
14.66252041
16.51683426
6.224113941
8.488001823
12.3537302
16.70196533
20.38813591
29.03445816
33.29470444
37.71340561
33.45316315
29.63497925
25.35967636
21.01144028
17.3252697
8.678948402
4.418703079
0
0
0
5.932250977
3.818181753
16.08260155
12.25658798
7.644196033
4.227756023
8.093484879
12.44172001
16.12788963
24.77421188
29.03445816
33.45316315
37.71340561
33.89522552
29.61992264
25.27168655
21.58551598
12.93919468
8.678949356
4.2602458
0
0
10.16000748
0.40957436
21.94865417
10.48627853
11.8719511
0
4.684877872
9.033112526
15.1767292
23.82305145
28.08329773
32.5019989
36.76224518
40.58042526
36.30512238
31.9568882
25.81327248
17.16695023
12.9067049
8.488001823
4.227756023
0
152
Kab. Tangerang 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.73237
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0
5.276406
20.04163
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7.201146
8.438406
11.60323
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.807629
11.60323
8.438406
20.04163
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11.14194
0.409574
22.08951
10.48628
12.0128
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.594715
4.275303
17.90398
6.300754
15.87853
4.684878
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.594715
8.623538
15.72987
4.126637
20.22677
9.033113
4.348235
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
12.28089
12.30971
14.50114
2.897913
23.91294
15.17673
8.034406
3.68617
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
12.29176
21.11449
11.56621
5.854591
26.82611
23.98151
16.83918
12.49095
8.804779
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
16.55201
25.37473
10.14613
10.11484
25.40603
28.24175
21.09943
16.7512
13.06503
4.260246
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
18.02491
29.79344
8.673231
14.53354
23.93313
32.66046
25.51813
21.1699
17.48373
8.678948
4.418703
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
19.49781
34.21214
7.200331
18.95224
22.46023
37.07916
29.93684
25.5886
21.90243
13.09765
8.837406
4.418703
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15.67963
38.03032
3.382149
22.77042
18.64205
40.89734
33.75502
29.40678
25.72061
16.91583
12.65559
8.236885
3.818182
0
0
0
0
0
0
0
0
0
17.81728
33.75502
5.519801
24.90808
14.36674
36.62204
38.03032
33.68209
29.99592
21.19114
16.93089
12.51219
8.093485
4.275303
0
0
0
0
0
0
0
0
17.81728
29.40678
7.693918
27.08219
10.01851
32.2738
33.68209
38.03032
34.34415
25.53937
21.27913
16.86042
12.44172
8.623538
4.348235
0
0
0
0
0
0
0
14.13111
25.72061
8.922642
28.31092
6.332337
26.13019
29.99592
34.34415
38.03032
29.22554
24.9653
20.54659
16.12789
12.30971
8.034406
3.68617
0
0
0
0
0
0
14.12023
16.91583
11.85757
25.35424
3.419163
17.32541
21.19114
25.53937
29.22554
38.03032
33.77008
29.35137
24.93267
21.11449
16.83918
12.49095
8.804779
0
0
0
0
0
9.859987
12.65559
13.27765
21.09399
4.839245
13.06516
16.93089
21.27913
24.9653
33.77008
38.03032
33.61162
29.19291
25.37473
21.09943
16.7512
13.06503
4.260246
0
0
0
0
8.387087
8.236885
14.75055
16.67529
6.312146
8.64646
12.51219
16.86042
20.54659
29.35137
33.61162
38.03032
33.61162
29.79344
25.51813
21.1699
17.48373
8.678948
4.418703
0
0
0
6.914185
3.818182
16.22345
12.25659
7.785047
4.227756
8.093485
12.44172
16.12789
24.93267
29.19291
33.61162
38.03032
34.21214
29.93684
25.5886
21.90243
13.09765
8.837406
4.418703
0
0
11.14194
0.409574
22.08951
10.48628
12.0128
0
4.684878
9.033113
15.17673
23.98151
28.24175
32.66046
37.07916
40.89734
36.62204
32.2738
26.13019
17.32541
13.06516
8.64646
4.227756
0
153
Lampiran 9 Justifikasi penggunaan teknis analisis MDS
Pengskalaan Multi Dimensional didasari pada pendekatan PSR (Pressure, State, Response) serta Multi Variate Statistic Analysis dengan fokus evaluasi objek. Obyek yang dievaluasi adalah kinerja LKM dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir. Untuk mengetahui itu disusun 3 (tiga) elemen sebagai Pressure. Pressure dinyatakan dalam seperangkat indikator yang merupakan bagian dari State (kondisi ideal).
Kinerja kondisi ideal dibandingkan dengan fakta di lapangan
dianalisis melalui Response dari setiap pernyataan State. Secara tabulasi disajikan hubungan antara PSR sebagai berikut: Pressure 1.
Kelembagaan
2.
Kinerja Keuangan
3.
Dampak Intermediasi LKM
State
Response
1.1. Kesesuaian kebijakan dengan syarat replikasi 1.2. Kesesuaian prosedur dengan syarat replikasi 1.3. Kelengkapan struktur dan uraian pekerjaan jabatan personel pengurus 1.4. Kesesuaian kualifikasi SDM pengurus 1.5. Pemahaman atas tupoksi jabatan per pengurus 1.6. Perkembangan jumlah kelompok/nasabah 1.7. Perkembangan lapangan usaha 1.8. Perkembangan mitra kerja 2.1. Struktur Keuangan 2.2. Aktiva Produktif 2.3. Likuiditas 2.4. Efisiensi 2.5. Rentabilitas 3.1. Tingkat pendapatan
1–4
3.2. Kondisi rumah 3.3. Kepemilikan asset 3.4. Jumlah tanggungan keluarga 3.5. Frekuensi kredit 3.6. Total nominal kredit 3.7. Persepsi terhadap
1-3 1-3 1-3
1–4 1–3
1–3 1–4 1–3 1–3 1–3 1–4 1–4 1–4 1–4 1–4 1-3
1-3 1-3 1-3
154
kesesuaian kredit dengan kebutuhan usaha 3.8. Persepsi terhadap suku bunga 3.9. Persepsi terhadap motivasi menabung
1-4 1-4
Penentuan nilai Response untuk kinerja kelembagaan didasarkan pada konsep dan prinsip koperasi, untuk kinerja keuangan didasarkan pada konsep dan prinsip kesehatan keuangan LKM dengan basis analisis rasio keuangan, sedangkan dampak intermediasi didasarkan pada konsep persepsi terhadap dampak. Dari fakta nilai yang diperoleh dari data lapangan, dimasukkan dalam program RAPFISH yang berbasis pada analisa multivariat
155