Analisis Aplikasi Model Lembaga Keuangan Mikro dalam Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Di Kabupaten Cirebon 1
2
2
Anton Setyo Nugroho , Daniel R. Monintja , Hartrisari Hardjomidjojo
Abstract Population condition of coastal society in Indonesia is estimated up to 16.42 millions in 8,090 villages. According to compilation analysis of Institution Center of Statistic (2002) and SMERU (2000), the poverty headcount index (PHI) in average is 0.3214, which means around 32% of the population or 5,254,400 people in coastal area are living under poverty line based on Sajogjo‟s criteria. Many programs, projects and activities had been done to reduce poverty of the fisherman, the number of poor fisherman is increasing and the area of coastal village is broaden everyday. The presence of few LKM‟s (Lembaga Keuangan Mikro) gave a significant impact in poverty elimination. The objectives of this research were (1) to examine the achievement of PEMP using non-micro finance institution model or micro finance institution model from financial analysis, institution view and individual perception of the user (client), (2) to examine the impact of PEMP to the fisherman‟s rate of income using non-micro finance institution model or micro finance institution model. The result of institutional analysis on non-micro finance institution or micro finance institution that the management on LKM was run professionally compared to non-LKM; the standpoint of increasing the economy of coastal society on LKM is through bankable finance institution. On the other hand non-LKM was treated as grant; the status of LKM is a cooperation since 2004 while non-LKM is society-built. System of institutional, management, and user capacity showed that LKM was more systematic and organized compare with non-LKM. The finance system show that non-LKM better than LKM but the different between them not significant. It‟s mean, the system of finance on LKM need to be fixed. Both kind of program have not indicated intervention on increasing level of income compare with non-LKM. income level distribution on consumer of LKM better than non-LKM. The result of QFD shows that LKM system more organized than non-LKM, but LKM still have not complete desirous of consumer compared to non-LKM either creditor (tengkulak), the most important on prosedural, guarantee and rate. Keywords: Poverty, microfinance, institution, income PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan kemiskinan merupakan salah satu permasalahan penting dalam pembangunan. Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin di Indonesia pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 angka ini meningkat menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS, 1999). Populasi masyarakat pesisir sekarang ini diperkirakan mencapai 16,42 juta jiwa dan mendiami 8.090 desa. Menurut hasil kompilasi analisis BPS (2002) dan SMERU (2000), Nilai Poverty Headcount Index (PHI) rata – rata 0,3214, hal ini berarti sekitar 32% dari populasi atau sebanyak 5.254.400 masyarakat pesisir Indonesia berada pada level di bawah garis kemiskinan menurut (Sajogjo, 1984). Kemiskinan masyarakat pesisir berakar pada keterbatasan akses permodalan dan kultur kewirausahaan yang rendah. Keterbatasan akses permodalan membuat nelayan terjerat oleh para tengkulak, atau punggawa, yang kenyataannya tidak banyak menolong untuk meningkatkan kesejahteraannya, malah cenderung menjeratnya dalam lilitan utang yang tidak pernah dapat dilunasi. Sedangkan kultur kewirausahaannya masih bercorak manajemen keluarga dengan orientasi sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsistence). Selain itu, ketertinggalan masyarakat pesisir juga dipicu oleh keterbatasan dalam mengakses sumber permodalan dan lemahnya infrastruktur kelembagaan sosial ekonomi masyarakat di tingkat 1 2
Alumni PS MPI, SPs IPB : The best graduate of the sixth batch alumni of Professional Master Program of IPB, the first graduation ceremony (2007/2008) Staf Pengajar PS MPI, SPs IPB
44 desa. Kondisi seperti ini membuat masyarakat pesisir semakin tertinggal. Untuk itu Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan dalam kiprahnya berupaya untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi beban masyarakat pesisir yang ditempuh dengan memberikan penguatan baik yang bersifat ekonomi/ kelembagaan dan keterampilan maupun yang sifatnya sosial budaya yang muaranya kepada peningkatan kesejahteraan. Dalam merealisasikan hal tersebut ditempuh dengan pendekatan dalam bentuk program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Tujuan utama program ini adalah untuk membantu masyarakat pesisir dalam mengembangkan aktivitas ekonomi masyarakat melalui pemberian Dana Ekonomi Produktif (DEP). 2. Permasalahan a. Bagaimana perbandingan kinerja program PEMP dengan model non-Lembaga Keuangan Mikro (LKM) atau model LKM ditinjau dari analisis finansial, kelembagaan dan persepsi individu pemanfaat (nasabah) di Kabupaten Cirebon ? b. Bagaimana korelasi deskriptif antara program PEMP terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan bila menggunakan model non-LKM dan model LKM di Kabupaten Cirebon ? 3. Tujuan a. Mengkaji dan membandingkan kinerja PEMP dengan model non-LKM atau model LKM ditinjau dari analisis finansial, kelembagaan dan persepsi individu pemanfaat (nasabah) di Kabupaten Cirebon. b. Mengkaji korelasi deskriptif antara program PEMP terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan menggunakan model non-LKM dan model LKM di Kabupaten Cirebon.
METODOLOGI 1. Lokasi Lokasi kajian dari penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Cirebon sebagai penerima program PEMP selama 5 (lima) tahun dan terdapat dua pola, yaitu menggunakan LKM dan non-LKM. 2. Metode Kerja Pengumpulan data Data yang digunakan terdiri data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pengelola Koperasi LEPP-M3 dan LKM dan juga wawancara kepada nasabah, sedangkan data sekunder diperoleh melalui berbagai buku dan literatur yang berhubungan dengan topik yang dibahas, seperti laporan dari koperasi dan LKM, di antaranya posisi kredit koperasi dan LKM, khususnya kredit mikro. Pengolahan dan Analisis Data Analisis kelembagaan non-LKM dan LKM Keberlanjutan sebuah skim pembiayaan erat kaitannya dengan kelembagaan kredit yang melekat dalam skim pembiayaan tersebut. Kelembagaan kredit dapat ditinjau dari (1) Proses skrining (screening process); (2) Mekanisme insentif (incentive mechanism); dan (3) Penegakan aturan (enforcement). Proses skrining diperlukan untuk mengurangi masalah-masalah yang berkaitan dengan ketidaktepatan target dan sasaran, serta free riders, sedangkan formulasi sistem insentif dan penegakan aturan didesain untuk menjembatani gap antara kemampuan membayar kembali pinjaman (capacity to repay) dan kesediaaan untuk membayar kembali pinjaman (willingness to repay). Melalui kelembagaan kredit demikian diharapkan kecenderungan terjadinya moral hazard dapat dikurangi. Analisis deskriptif dilakukan untuk membandingkan ada tidaknya ketiga bentuk kelembagaan skim pembiayaan (proses skrining, sistem insentif dan penegakan aturan) di LEPP – M3 yang menggunakan LKM dan non-LKM; yang merupakan sesuatu hal yang sangat mendasar dan perlu diterapkan secara tegas untuk menjamin tercapainya viabilitas lembaga keuangan dan sasarannya. Analisis rasio keuangan Dalam kajian ini analisis rasio keuangan yang digunakan ke dalam lima indikator, masing-masing ditentukan berdasarkan kebutuhan, yaitu :
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
45 a. Struktur keuangan, Nilai rasio yang diperoleh akan tergolong ”Baik” jika bernilai > 25%, ”Cukup Baik” jika bernilai 15 < x < 25%, ”Kurang Baik” jika bernilai 5 < x < 15% dan ”Buruk” jika bernilai < 5%. b. Aktiva produktif, Nilai rasio yang diperoleh tergolong ”Baik” jika bernilai < 3%, ”Cukup Baik” jika bernilai 3 < x < 5%, ”Kurang Baik” jika bernilai 5 < x < 10% dan ”Buruk” jika bernilai > 10%. c. Likuiditas/Loan to Deposit Ratio, Nilai rasio yang diperoleh akan tergolong “Baik” jika bernilai 81< x <85%, “Cukup Baik” jika bernilai 75 < x < 80% atau 86 < x < 90%, “Kurang Baik” jika bernilai 71 < x < 74% atau 91 < x < 94% dan “Buruk” jika bernilai < 71% atau > 94%. d. Efisiensi (BOPO), Nilai rasio yang diperoleh akan tergolong ”Baik” jika bernilai < 60%, ”Cukup Baik” jika bernilai 60 < x < 75%, ”Kurang Baik” jika bernilai 75 < x < 90% dan ”Buruk” jika bernilai > 90%. e. Rentabilitas, Nilai rasio yang diperoleh tergolong ”Baik” jika bernilai > 25%, ”Cukup Baik” jika bernilai 15 < x < 25%, ”Kurang Baik” jika bernilai 5 < x < 15% dan ”Buruk” jika bernilai < 5%. Di samping pengkategorian yang menunjukkan kinerja keuangan berdasarkan rasio keuangan yang dianalisis, masing-masing nilai rasio keuangan juga dikaji berdasarkan perbandingan antar waktu non-LKM (2001-2006) dan LKM (2003-2006), serta perbandingan dengan nilai rasio keuangan yang sama dari perusahaan yang sejenis. Uji t dan uji kemerataan tingkat pendapatan anggota Untuk mengetahui adanya dampak program LKM dan non-LKM pada pendapatan masyarakat digunakan uji t. Rumusan uji t berdasarkan Sugiyono (2004) berikut :
t=
X1 X 2 2 s s s1 s2 2r 1 2 n n n1 n1 1 2
dimana :
x1 = rataan contoh sebelum mendapat program LKM atau non-LKM x 2 = rataan contoh sesudah mendapat program LKM atau non-LKM s1 s2 2 s1 2 s2 r
= = = = =
simpangan baku contoh sebelum mendapat program LKM atau non-LKM simpangan baku contoh sesudah mendapat program LKM atau non-LKM ragam contoh sebelum mendapat program LKM atau non-LKM ragam contoh sesudah mendapat program LKM atau non-LKM korelasi antara dua contoh
Nilai t hasil perhitungan kemudian dibandingkan dengan nilai t tabel yang tersedia. Kriteria identifikasi ada dampak intervensi LKM dan non-LKM pada masyarakat ditunjukkan bahwa nilai t hasil perhitungan lebih besar dari nilai t(n-1) pada tabel. Selain menggunakan uji t, dilakukan pula uji kemerataan berdasarkan Koefisien Kemiringan Pearson (KKP). Uji ini untuk melihat terjadinya kemerataan pada setiap perubahan pada pendapatan (Walpole, 1988). Kriteria kemerataan ditentukan dengan perhitungan berikut :
KKPk = 3
KKPt = 3
x
k
Mk Sk
x M t
t
St
dimana : KKP
= Koefisien Kemiringan Pearson
x M
= nilai tengah contoh = median contoh
S
= simpangan baku contoh
k t
= sesudah ada program = sebelum ada program
Hasil pengolahan data menunjukkan merata jika : KKPk > KKPt atau KKPk = KKPt
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
46 Analisis tingkat kesejahteraan Analisis terhadap tingkat kesejahteraan dilakukan dengan cara pentabulasian dan pengkategorian data. Borang (LKM) dari beberapa peubah, yaitu tingkat pendapatan (Rp/tahun), kondisi rumah (nilai indeks kondisi rumah/luas tanah), kepemilikan aset produktif (Rp), jumlah tanggungan keluarga (orang/KK) dan tingkat pendidikan. Penilaian terhadap hal di atas dilakukan dengan teknik justifikasi kepakaran (expert judgement) yang dikelola obyektivitas penilaiannya melalui pendekatan studi analog terhadap kasus-kasus yang relatif serupa dengan peubah yang diukur. Analisis Quality Function Development (QFD) Tahapan penggunaan QFD, antara lain (1). Mengidentifikasi kemauan nasabah mengenai sifat yang diinginkan dari suatu produk, (2). Mempelajari ketentuan teknis dalam menghasilkan jasa (pinjaman), (3). Hubungan antara keinginan nasabah dengan ketentuan teknis yang berlaku, (4). Perbandingan kinerja pelayanan non-LKM dengan LKM, (5). Evaluasi nasabah untuk membandingkan pendapat nasabah tentang mutu jasa yang dihasilkan antara non-LKM dan LKM, dan (6). Trade off untuk memberikan penilaian pengaruh antar aktivitas atau sarana non-LKM dengan LKM. Bentuk representasi yang digunakan dalam analisis ini adalah Matriks House of Quality (HOQ).
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keadaan Umum Kabupaten Cirebon merupakan kabupaten di pantai utara Jawa Barat yang terdekat di bagian paling timur. Kabupaten ini terletak antara 108º32‟-108º49‟ BT dan 6º00‟-7º00‟ LS. Sebelah Utara dibatasi Kota Cirebon dan Laut Jawa, sebelah Timur dibatasi Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah, sebelah Selatan dibatasi Kabupaten Kuningan, dan sebelah Barat dibatasi Kabupaten Majalengka dan Indramayu. Konsentrasi kegiatan kelautan terdapat di 7 (tujuh) Kecamatan : Kapetakan, Cirebon Utara, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Gebang, dan Losari. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) mencapai 4.602 orang (18,82%). Kecamatan Gebang memiliki jumlah RTP terbesar dan sekaligus proporsi RTP terbesar pula (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah RTP dan RTBP Kabupaten Cirebon pada tahun 2003 Kecamatan RTP 638 818 689 302 2.830 325 4.602
Jumlah (org) RTBP 2.275 3.694 4.265 1.446 7.245 925 19.850
1. Kapetakan 2. Cirebon Utara 3. Mundu 4. Astanajapura 5. Pangenan 6. Gebang 7. Losari Total Keterangan : Nisbah = persentase RTP terhadap Total RTP = Rumah Tangga Perikanan RTBP = Rumah Tangga Bukan Perikanan = data tidak tersedia
Nisbah* Total 2.913 4.512 4.954 1.748 9.075 1.250 24.452
21.90 18.13 16.15 20.89 39.06 26.00 18.82
Potensi tambak di Kabupaten Cirebon cukup besar, yaitu 7.500 ha dan baru dimanfaatkan 68,56% (Tabel 2). Potensi yang masih tersedia dalam jumlah besar adalah di Kecamatan Losari dan Pangenan. Pengembangan tambak Udang, tambak Bandeng dan Rumput Laut tersebar di Kecamatan Kapetakan, Gebang, Losari, Astanajapura, Pangenan, Cirebon Utara dan Mundu. Untuk pengembangan tambak Udang dan Bandeng tersedia lahan 500 Ha, tersebar di Kecamatan Kapetakan, Babakan, Losari, Astanajapura dan Cirebon Utara. Bendung Karet di Kapetakan, serta rencana Bendung Karet di Bondet dan Losari akan menunjang pembudidayaan perikanan air tawar.
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
47 Tabel 2. Potensi dan pemanfaatan tambak Kabupaten Cirebon pada tahun 2004 Pemanfaatan Potensi (ha) Ha % 1. Losari 2.500 1.382 55.28 2. Gebang 600 491 81.83 3. Pangenan 1.834 1.074 58.56 4. Astanajapura 66 28 42.42 5. Mundu 100 71 71.00 6. Cirebon Utara 300 185 61.67 7. Kapetakan 2.100 1.911 91.00 Total 7.500 5.152 68.56 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Cirebon, 2006 Kecamatan
PEMP 2001 disalurkan kepada 6 KMP yang beranggotakan 70 orang. Lokasi PEMP adalah Kecamatan Cirebon Utara (Desa Mertasinga, Grogol, dan Jatimerta) dan Kecamatan Kapetakan (Desa Karangreja). Jenis usaha yang dilayani adalah penangkapan ikan. PEMP 2002 disalurkan kepada 16 KMP yang beranggotakan 181 orang. Lokasi PEM adalah Kecamatan Pangenan (Desa Pengarengan) dan Kecamatan Gebang (Desa Gebang Mekar dan Gebang Ilir). Jenis usaha yang dilayani adalah Budidaya Bandeng, Pembuatan Terasi, Pengolahan ikan, Galangan perahu, Penangkapan ikan dan Penangkapan Keong macan. PEMP 2003 disalurkan kepada 26 KMP yang beranggotakan 482 orang. PEMP dikonsentrasikan di Kecamatan Mundu (Desa Mundu Pesisir, Bandengan, Citemu, dan Waruduwur) dan Kecamatan Losari (Desa Tawangsari). Selain itu, dibangun juga 2 (dua) unit SPDN, yaitu di Kapetakan dan Gebang, masing-masing dengan kapasitas 8.000 l. PEMP 2004 disalurkan kepada perseorangan yang dinilai bankable untuk menerima dana kredit. Tercatat ada 42 debitur, yang pada umumnya berlokasi di Kecamatan Gebang dan Losari. Sebanyak 40 debitur adalah pedagang; sedangkan nelayan hanya 2 debitur. 2. Hasil Kajian a. Analisis kelembagaan non-LKM dan LKM Peran pelaksana lembaga ini akan sangat menentukan kondisi lembaga keuangan. Berbagai permasalahan muncul ketika kegiatan usaha dilaksanakan, seperti kredit macet, kinerja pengguna jasa yang rendah dan kurangnya pengawasan dari lembaga itu sendiri. Kondisi yang spesifik di masyarakat pesisir membutuhkan pemahaman khusus dari pihak lembaga keuangan, yaitu (1) kehidupan masyarakat nelayan dan petani ikan sangat tergantung pada ekosistem dan lingkungan yang sangat rentan pada kerusakan seperti pencemaran dan degradasi kualitas lingkungan, (2) sangat tergantung pada musim, dan (3) sangat tergantung pasar. Kondisi ini menimbulkan risiko yang cukup besar pada kesinambungan permodalan usaha. Bagi lembaga keuangan memberikan akses permodalan akan memiliki risiko dalam akumulasi modal usaha dan pengembangan lembaga tersebut. Dampak pada lembaga ini dapat mempengaruhi kinerja lembaga keuangan yang ada. LKM dan non-LKM terbentuk melalui program PEMP. Dalam pedoman umum PEMP selalu disebutkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir itu perlu didorong melalui tiga inisiatif perbaikan, seperti manajemen, teknologi dan akses masyarakat pada modal. Artinya, segala program pemberdayaan PEMP itu dirancang sebagai bentuk perbaikan tiga komponen di atas. Dalam prakteknya, kebijakan permodalan masyarakat pesisir telah berkembang menjadi jiwa program PEMP. Pemberian modal „secara komersial‟ telah menjadi penciri program PEMP. Program PEMP yang dilaksanakan sejak tahun 2001 hingga saat ini masih terus mencari bentuk ideal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Setidaknya terdapat 2 (dua) elemen penting dalam memperkuat peran PEMP sebagai akselerator peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, yaitu penguatan peran kelembagaan (institutional strengthening) pengelola program, dan peningkatan kapasitas (capacity building) lembaga ekonomi mikro. Namun demikian, kedua elemen ini tidak dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan jika tidak didukung oleh elemen lainnya, seperti Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP), keterlibatan stakeholders dan kemitraan yang dibangun oleh program dengan instansi terkait lainnya. Analisis kelembagaan ini menggunakan metode Focus Group Discusion (FGD) dengan indikator kelembagaan non-LKM dan LKM (Koperasi LEPP-M3), indikator pengelolaan non-LKM dan LKM, dan indikator kapasitas kelompok pemanfaat. Ketiga indikator tersebut menunjukkan
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
48 kelebihan dan kekurangan masing-masing kelembagaan. Indikator kelembagaan menunjukkan bahwa non-LKM mempunyai nilai cukup (rataan 2,5) sedangkan LKM sudah baik (rataan 3). Indikator pengelolaan organisasi menunjukkan bahwa non-LKM mempunyai nilai cukup (rataan 2,3) dan LKM sudah baik (rataan 2,6), tetapi masih perlu pembenahan. Indikator kapasitas pemanfaat menunjukkan bahwa non-LKM mempunyai nilai cukup (rataan 2) dan LKM mempunyai nilai baik (rataan 2,6) tapi masih perlu pembenahan. b. Analisis rasio keuangan non-LKM dan LKM 1)
Analisis Rasio Keuangan non-LKM Perkembangan kinerja keuangan LEPP-M3 (non-LKM) berdasarkan perbandingan nilai rasio-rasio keuangan antara tahun 2004 – 2006 adalah : i. Struktur keuangan Secara keseluruhan struktur keuangan LEPP-M3 tergolong “Baik”. Nilai rasio struktur keuangan dari tahun 2004 (517,17%), tahun 2005 (357,64%) hingga tahun 2006 (297,28%) menunjukkan modal yang dimiliki mampu menjamin kondisi keuangan tetap stabil apabila terjadi penarikan simpanan pihak ketiga secara besar-besaran. Di sisi lain, menurunnya nilai rasio keuangan ini secara beruntun dan dalam jumlah yang cukup nyata perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan modal yang dimiliki sebagian besar masih berasal dari hibah dan bukan dari peningkatan modal internal. ii. Aktiva produktif Berdasarkan kecenderungan nilai rasio yang diperoleh tampak bahwa pengelola LEPPM3 mengalami kendala didalam menjamin kelancaran pengembalian pinjaman atau terjadinya ketidaklancaran didalam angsuran anggota. Nilai rasio di tahun 2005 (68,68%) yang tergolong “Buruk” mulai menurun menjadi di tahun 2006 (62,32%). Pembiayaan bermasalah dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Permasalahan ini timbul terutama pada anggota yang berprofesi sebagai nelayan. Hal ini terkait dengan rendahnya pendapatan akibat alam yang tidak bersahabat dan akibat teknologi penangkapan yang masih tradisional menyebabkan tidak mampu mendapatkan hasil tangkapan yang optimal. Pembiayaan yang diberikan pada kalangan pedagang atau bakul atau anggota yang berprofesi di pekerjaan berorientasi daratan tampaknya tidak menjadi suatu permasalahan (angsuran tetap lancar). iii. Likuiditas Berdasarkan kecenderungan yang terjadi diketahui bahwa kinerja keuangan LEPP-M3 cukup memprihatinkan. Nilai rasio pada tahun 2004 (74,8%), tahun 2005 (78,1%) dan tahun 2006 (66,8%) tergolong “Buruk”. Namun demikian telah ada upaya pengelola koperasi untuk memperbaiki kinerjanya. iv. Efisiensi Berdasarkan nilai rasio keuangan yang digunakan, tampak pengelolaan dana semakin efisien. Pada tahun 2004 (496,28%) menunjukkan kinerja “Buruk” dan 2005 (272,48%) meningkat, tetapi masih dalam kategori “Buruk”. Namun demikian pada tahun 2006 pengurus koperasi mampu meningkatkan nilai 212,3%, tetapi masih dikategorikan “Buruk”. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan dana untuk menghasilkan pendapatan tidak efisien. v. Rentabilitas Kemampuan LEPP-M3 dalam memperoleh laba berdasarkan aset (nilai Return on Asset atau ROA) maupun modal (nilai Return on Equity atau ROE) yang dimiliki semakin meningkat. Nilai ROA sebesar 29,79% pada tahun 2004 atau tergolong “Baik”, tetapi menurun hingga mencapai nilai 24,47% pada tahun 2005 atau tergolong “Cukup Baik”. Pada tahun 2006 (15,36%) masih tergolong “Cukup Baik” tetapi lebih menurun lagi. Untuk ROE nilai pada tahun 2004 (2,16%) yang tergolong “Buruk” dan semakin memburuk pada tahun 2005 (1,77%) dan tahun 2006 (1,11%).
2)
Analisis rasio keuangan LKM Penjelasan tentang perkembangan kinerja keuangan LKM Swamitra Mina Kecamatan Gebang berdasarkan perbandingan nilai rasio-rasio keuangan antara tahun 2005 - 2006 tersaji dalam paparan berikut : i. Struktur keuangan Secara keseluruhan struktur keuangan Swamitra Mina tergolong “Baik”. Nilai rasio struktur keuangan dari tahun 2005(233,17%) dan tahun 2006 meningkat menjadi (851,11%). Kondisi ini menunjukkan modal yang dimiliki mampu menjamin kondisi
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
49 keuangan tetap stabil apabila terjadi penarikan simpanan pihak ketiga secara besarbesaran. Naiknya nilai rasio keuangan ini dan dalam jumlah cukup nyata ini dikarenakan peningkatan modal internal. ii. Aktiva produktif Berdasarkan kecenderungan nilai rasio yang diperoleh tampak bahwa pengelola Swamitra Mina mengalami kendala didalam menjamin kelancaran pengembalian pinjaman atau terjadinya ketidaklancaran didalam angsuran anggota. Pada awalnya nilai rasio di tahun 2005 (3,06%) yang tergolong “Cukup Baik” namun mulai menurun menjadi di tahun 2006 (15,24%) dan tergolong “Buruk”. Pembiayaan bermasalah dari tahun 2005 ke tahun 2006 cenderung meningkat. Permasalahan ini timbul terutama pada anggota yang berprofesi sebagai nelayan. Hal ini terkait dengan rendahnya pendapatan akibat alam yang tidak bersahabat dan akibat teknologi penangkapan yang masih tradisional yang menyebabkannya tidak mampu mendapatkan hasil tangkapan optimal. Pembiayaan yang diberikan pada kalangan pedagang atau bakul atau anggota yang berprofesi di pekerjaan yang berorientasi daratan tampaknya tidak menjadi suatu permasalahan (angsuran tetap lancar). iii. Likuiditas Berdasarkan kecenderungan yang terjadi diketahui bahwa kinerja keuangan Swamitra Mina cukup baik. Nilai rasio pada tahun 2005 (86,61%), tahun 2006 (76,60%) tergolong “Cukup Baik”. Namun pihak LKM terus berupaya untuk meningkatkan ke arah yang baik. iv. Efisiensi Berdasarkan nilai rasio keuangan yang digunakan, tampak bahwa pengelolaan dana semakin efisien. Pada tahun 2005 (80,86%) menunjukkan kinerja “Cukup Buruk” namun pada tahun 2005 (74,97%) meningkat menjadi “Baik”. v. Rentabilitas Kemampuan Swamitra dalam memperoleh laba berdasarkan aset (nilai ROA) maupun modal (nilai ROE) yang dimiliki semakin menurun. Namun nilai ROA 18,61% pada tahun 2005 atau tergolong “Cukup Baik” tetapi menurun hingga mencapai nilai 15,76% pada tahun 2006 tetapi masih tergolong “Cukup Baik”. Untuk ROE nilai pada tahun 2005 (23,54%) dan tahun 2006 (21,63) yang tergolong “Cukup Baik”. Kedua lembaga keuangan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Struktur keuangan keduanya cenderung baik, tetapi pada LKM lebih baik (persentasenya lebih besar). Kondisi aktiva produktif keduanya cenderung buruk. Likuiditas pada non-LKM buruk, sedangkan pada LKM cukup baik. Efisiensi pada non-LKM justru memburuk, sedangkan pada LKM justru membaik. Rentabilitas (Rasio laba tahun berjalan terhadap aset) pada keduanya cukup baik, sedangkan (Rasio laba tahun berjalan terhadap total modal) pada non-LKM memburuk dan pada LKM cukup baik. Secara keseluruhan analisis keuangan pada LKM lebih baik dibandingkan pada non-LKM, terutama pada tingkat pengembalian. Tetapi perbedaan keduanya tidak terlalu nyata . c. Hasil Uji t dan kemerataan tingkat pendapatan anggota Uji t dilakukan pada LKM Swamitra Mina dan non-LKM. Dari hasil yang didapatkan pada nonLKM sebesar 9,66898E-15 dan LKM sebesar 4,81794E-12. Kriteria yang mengidentifikasikan ada dampak intervensi LKM dan non-LKM pada masyarakat ditunjukkan bahwa nilai t hasil perhitungan lebih besar dari nilai t(n-1) pada tabel. Jumlah contoh yang diwawancarai adalah 50 orang tiap LKM maupun non-LKM. Nilai t(n-1) yang dipakai adalah t 0,05 (49). Dari tabel t didapatkan nilai 1.6766. Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil yang didapatkan dari penelitian menunjukkan semuanya berada di bawah nilai t tabel. Artinya dampak intervensi LKM dan nonLKM belum berarti terhadap tingkat pendapatan nasabahnya. Akan tetapi pada LKM lebih berpengaruh intervensinya terhadap pendapatan dibandingkan dengan non-LKM. Pada perhitungan kemerataan tingkat pendapatan didapatkan hasil pada LKM adalah KKPk sebesar 0,177763576 dan KKPt sebesar -0,081308572. Hal ini menunjukkan bahwa KKPk > KKPt. Berarti pada penerima LKM mempunyai pendapatan yang merata, sedangkan pada non-LKM didapatkan nilai KKPk sebesar -0,58287657 dan KKPt sebesar 0,250882748. Ini menunjukkan pada non-LKM nilai KKPk < KKPt sehingga menunjukkan tingkat pendapatan peminjamnya tidak merata.
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
50 d. Analisis tingkat kesejahteraan 1)
2)
3)
4)
Tingkat pendapatan Karakter anggota LEPP-M3 non-LKM berdasarkan tingkat pendapatan tahunan adalah Rp 2.030.000,- hingga Rp 8.970.000,- per kapita per tahun (asumsi 4 jiwa/KK). Jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita per tahun penduduk di Kabupaten Cirebon tahun 2004, diketahui tidak ada anggota LEPP-M3 (non-LKM) yang memiliki pendapatan di atas Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita kabupaten. Hal ini menunjukkan secara umum anggota LEPP-M3 tersebut masih merupakan kelompok masyarakat berpendapatan di bawah rataan. Berkaitan dengan salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) yaitu memberantas kemiskinan dan kelaparan yang dalam implementasinya adalah mengurangi separuhnya (antara tahun 1990-2015) masyarakat yang mempunyai pendapatan 1 US dollar per hari (untuk Indonesia direvisi menjadi 1,5 US dollar per hari) dan mengurangi separonya (antara tahun 1990-2015) masyarakat yang menderita kelaparan. Apabila diasumsikan 1 US dollar sama dengan Rp 9.000,00, maka minimal pendapatan masyarakat 1,5 US dollar per hari adalah Rp 13.500,00 atau Rp 405.000,00 per bulan atau dalam setahun masyarakat pesisir minimal memperoleh penghasilan Rp. 4.860.000,00. Menurut perhitungan kemiskinan dari MDGs menunjukkan pada anggota non-LKM sebanyak 22 orang (44%) anggota masih dibawah batas MDGs. Sebanyak 28 orang anggota (56%) sudah melampaui batas yang diterapkan oleh MDGs. Karakter anggota LKM Swamitra Mina berdasarkan tingkat pendapatan tahunan adalah Rp 2.080.700,- hingga Rp 8.040,000,- per kapita per tahun (asumsi 4 jiwa/KK). Jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita per tahun penduduk di Kabupaten Cirebon tahun 2004 diketahui tidak ada anggota LKM Swamitra Mina yang memiliki pendapatan di atas PDRB per kapita kabupaten. Hal ini menunjukkan secara umum anggota LKM Swamitra Mina tersebut masih merupakan kelompok masyarakat berpendapatan di bawah rataan. Menurut perhitungan kemiskinan dari MDGs menunjukkan pada anggota LKM Swamitra Mina sebanyak 19 orang (38%) anggota masih di bawah batas MDGs. Sebanyak 31 orang anggota (62%) sudah melampui batas yang diterapkan oleh Milenium Development Goals (MDGs). Kondisi rumah Indeks rumah mencerminkan kemampuan seseorang untuk memenuhi persyaratan rumah sehat, artinya, masyarakat tersebut sudah cukup berdaya didalam mengakses dimensi kesehatan untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya. Dengan asumsi masyarakat belum berdaya adalah anggota LEPP-M3 Kecamatan Mundu dan LKM Swamitra Mina yang 2 memiliki rumah dengan nilai luas kurang dari 8 m (diketahui sebagian besar anggota keduanya sudah mampu mengakses dimensi kesehatan sebagai modal untuk meningkatkan kesejahteraannya (BPS, 2005). Tercatat seluruh anggota LEPP-M3 Kecamatan Mundu yang 2 memiliki rumah dengan dengan luas dari 9 – 15 m sebesar 22% dan yang luasnya di atas 2 16 m sebesar 78%, sedangkan pada anggota LKM Swamitra Mina yang memiliki rumah 2 2 dengan dengan luas dari 9 – 15 m sebesar 16% dan yang luasnya di atas 16 m sebesar 84%. Aset produktif Kepemilikan aset produktif merupakan modal bagi setiap anggota masyarakat untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pada saat ini, dari total 50 anggota LEPP-M3 Kecamatan Mundu yang memberikan data, sebagian atau sebanyak 32 orang (64%) merupakan pelaku usaha mikro dan lainnya sebanyak 18 orang (36%) sudah merupakan pelaku usaha skala kecil. Dari total 50 anggota LKM Swamitra Mina yang memberikan data, sebagian atau sebanyak 31 orang (62%) merupakan pelaku usaha mikro dan lainnya sebanyak 19 orang (38%) sudah merupakan pelaku usaha skala kecil. Tingkat pendidikan Hubungan antara kemiskinan dan pendidikan sangat penting, khususnya karena sektor pendidikan sangat berperan dalam mempengaruhi angka kemiskinan dan juga sektor pekerjaan. Orang yang berpendidikan lebih baik dan memiliki pendapatan yang lebih tinggi mempunyai peluang yang rendah menjadi miskin (BPS, 2005). Dari hasil penelitian terhadap 50 anggota LEPP-M3 Kec. Mundu menunjukkan bahwa anggota yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 7 orang, tamat SD sebanyak 13 orang, tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 21 orang dan tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 9 orang.
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
51 5)
Anggota keluarga Anggota LEPP-M3 dan LKM Swamitra Mina secara rataan memiliki jumlah anggota 4 orang per KK, sehingga dari tingkat kesejahteraan dilihat dari sudut keluarga berencana sudah cukup baik. Dengan asumsi setiap KK dalam satu rumah hanya terdiri dari keluarga inti (bapak, ibu dan 2 anak) maka anggota LEPP-M3 dan LKM Swamitra Mina sudah memiliki potensi untuk merencanakan kehidupan keluarganya dengan cukup baik.
e. Analisis QFD Analisis QFD adalah suatu cara untuk meningkatkan mutu barang atau jasa dengan memahami kebutuhan konsumen, lalu menghubungkannya dengan ketentuan teknis untuk menghasilkan barang atau jasa di tiap tahap pembuatan barang atau jasa yang dihasilkan. Berdasarkan hasil FGD dan kuesioner menunjukkan sistem prosedur dan kinerja yang harus menjadi perhatian oleh LKM Swamitra Mina adalah tiga nilai tertinggi. Hasilnya menunjukkan nilai kepentingan dan nilai relatif tertinggi adalah pengajuan kredit ke Ketua LKM, administrasi dan penagihan. Pada prosedur pengajuan kredit ke LKM menunjukkan nilai kepentingan 110 dengan nilai relatif 0,214. Pada sistem administrasi menunjukkan nilai kepentingannya 75 dan nilai relatifnya 0,146, pada penagihan menunjukkan nilai kepentingan 120 dan nilai relatif 0,234. Hasil QFD di atas dapat disimpulkan bahwa keinginan nasabah yang utama adalah prosedur yang mudah, tidak ada agunan, bunga rendah dan jangka waktu yang lama. Pada prosedur, bunga dan agunan ternyata LKM belum dapat bersaing dengan tengkulak. Agunan pada non-LKM lebih disukai nasabah, karena tidak memakai agunan dibandingkan LKM. Secara prosedur peminjaman tengkulak lebih mudah dibandingkan dengan LKM. Dalam hal bunga, sebaiknya LKM haruslah menurunkan bunga, sehingga tidak memberatkan nasabah. Akan tetapi persaingan bunga dengan tengkulak dapat menimbulkan konflik sosial di masyarakat pesisir itu sendiri. Dalam hal mekanisme penagihan menunjukkan pada non-LKM masih perlu dilakukan perbaikan, agar mampu bersaing dengan LKM maupun tengkulak. Secara kinerja pada LKM lebih baik dari pada non-LKM. Secara prosedural yang harus diperhatikan adalah sistem pengajuan kredit, administrasi dan penagihan. Ketiga hal ini menjadi penting diperhatikan untuk menjaga sistem yang dijalankan benar-benar tertib.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a.
b.
Secara kinerja kelembagaan, pengelola dan kapasitas pemanfaat menunjukkan bahwa sistem LKM lebih sistematis dan terorganisir dibandingkan dengan sistem yang digunakan non-LKM. Secara kinerja keuangan menunjukkan bahwa LKM lebih baik daripada non-LKM, tetapi belum terlalu nyata. Hal lainnya, LKM lebih dapat mengintervensi terhadap kenaikan tingkat pendapatan dibandingkan dengan non-LKM dan tingkat kemerataan pendapatan pada nasabah LKM lebih merata dibandingkan dengan non-LKM. Hasil QFD menunjukkan bahwa secara kinerja LKM lebih terorganisir dibandingkan non-LKM, tetapi LKM masih belum memenuhi keinginan nasabah dibandingkan dengan non-LKM maupun tengkulak, terutama pada prosedur, agunan dan bunga. Agar LKM mampu bersaing dengan nonLKM maupun tengkulak, maka harus dibenahi ketiga hal tersebut, dengan tetap memperhatikan aturan-aturan yang harus dipenuhi untuk menjaga keberlangsungan LKM.
2. Saran a.
b.
Perlunya dibuat sistem strategi yang lebih baik pada LKM agar dapat memenuhi keinginan nasabah, yaitu tidak hanya berpusat pada faktor pemberian modal, tetapi melakukan pendampingan pada nasabah. Persaingan antara LKM, non-LKM dan tengkulak adalah hal wajar, akan tetapi yang terpenting bagi LKM adalah mengadopsi hal positif yang terdapat dalam non-KM dan tengkulak.
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008
52
DAFTAR PUSTAKA BPS. 1999. Data Statistik Kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ____. 2002. Kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ____. 2005. Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Cirebon. 2006. Laporan Tahunan. SMERU. 2000. Peta Kemiskinan Indonesia. SMERU, Jakarta. Sajogjo, S. 1984. Golongan Miskin dan Partisipasinya dalam Pembangunan Desa. Prisma 6(3) : 10 – 17. Sugiyono. 2004. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta, Bandung. Walpole, R. E. 1988. Introduction to Statistics. MacMillan Publishing Co. Inc., New York.
Jurnal MPI Vol. 3 No. 2. September 2008