Lembaga Keuangan Mikro dan Pengentasan Kemiskinan: Kasus Lumbung Pitih Nagari di Padang1 Muhammad Adlin Sila Program Doktoral Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstract
This study explores the advent of microfinance institution that has been an important development in recent years. Through case study on one microfinance institution namely lumbung pitih nagari located in Padang, West Sumatra, Indonesia, this study found that the existence of the micro credit institute has been influenced by several factors such as state regulations. In 1997, the central bank of Indonesia (BI) carried out regulatory reforms in order to reduce the risk of bank failures. This regulation in fact has weakened the role of microfinance institutions in giving financial services to small-medium enterprises (SMEs). However, in the reformation era, many local microfinance institutions emerge as the Ministry of Cooperation and Small-Medium Enterprises has officially given support for the betterment of SMEs through soft loan mechanism. LPN has been one of its kind which is able to run profitably and at the same time to facilitate credit for SMEs in the region. Kata kunci: finance and micro credit, lumbung pitih nagari, modal sosial, nagari
1 Artikel ini berasal dari hasil penelitian sepanjang November 2007 yang dilakukan oleh Laboratorium Sosiologi FISIP UI dan dibiayai oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM di bawah skema penelitian “Replikator Grameen Bank” pada beberapa daerah di Indonesia.
2 |
MUHAMMAD ADLIN SILA
pendahuluan
Semakin banyak pihak mulai yakin kalau mekanisme keuangan dan kredit mikro merupakan strategi penting dalam penanggulangan kemiskinan. Buktinya adalah pemerintah pusat maupun daerah, begitu pula lembaga swasta ramai-ramai menyalurkan dana bergulir kepada kelompok masyarakat melalui lembaga keuangan dan kredit mikro (LKM). Meski begitu tetap ada kekhawatiran soal nasib LKM yang belum jelas secara hukum. Secara paradoksial, pemerintah memberikan dana bergulir yang mendukung keuangan dan kredit mikro, tetapi ada juga undang-undang yang memperlambat perkembangan LKM. Pemerintah mendorong berdirinya bank-bank pasar serta LKMLKM seperti lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP) di Jawa Barat, badan kredit kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, kredit usaha rakyat kecil (KURK) di Jawa Timur, Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, dan lembaga perkreditan desa (LPD) di Bali. Tetapi UU No. 7/1992 menetapkan hanya ada dua jenis bank, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Maka lembaga keuangan selain itu tidak dibolehkan menghimpun dana masyarakat. Akibatnya, lembaga-lembaga keuangan mikro itu mati satu per satu atau berubah status hukumnya menjadi koperasi atau BPR. Meskipun perkembangan keuangan mikro cukup pesat, usaha mempelajari beragam LKM di Indonesia masih kurang bergema. Misalnya, masih jarang kita temui studi yang mempelajari kekuatan dan keterbatasan berbagai bentuk LK M dalam mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat. Padahal, Indonesia dikenal sejak dulu telah mengembangkan LKM-LKM yang tetap bertahan dan berkembang, seperti, LKM syariah dalam bentuk baitulmal watamwil (BMT), Badan Kredit Desa (BKD), LDKP, atau LPN yang bernuansa adat setempat. Lembaga-lembaga ini tetap eksis meskipun lembaga sejenis dan yang lebih modern sudah merambah Indonesia, seperti replikator Grameen Bank dan micro banking. Di samping itu, beberapa bank umum seperti BPR dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga membuka unit-unitnya di desa untuk pembiayaan UKM yang lebih luas. Bertolak dari keberagaman model perkreditan mikro tersebut, studi ini menggali faktor-faktor utama yang menentukan kinerja lembaga keuangan mikro di daerah, dan seberapa luas dampak sosial Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
L embaga K euangan M ikr O
| 3
langsung dan tidak langsung terhadap rumah tangga, anggota dan komunitas. PE NG E RT I A N US A H A M I K RO, K R E DI T M I K RO, DA N L E M B AG A K R E DI T M I K RO
Indonesia sudah lama memiliki kebijakan yang mendukung beragam jenis dan bentuk LKM, seperti koperasi atau baitulmal watamwil (Hill 2001). LKM-LKM ini berfungsi sebagai lembaga perantara atau penyambung (intermediary) antara bank dan UMKM. Di setiap desa ada badan kredit desa dan lembaga dana kredit pedesaan. Selama Orde Baru, lembaga-lembaga ini mengalami mati suri karena praktis hanya pemerintah yang mengurusinya, baik melalui kebijakan kredit untuk UMKM maupun melalui kredit ringan oleh BRI (sebuah bank milik negara). Sementara bank-bank “plat hitam” (milik swasta) ogah memberikan kredit. Ketika krisis moneter terjadi tahun 1997, berbagai kebijakan menalangi kerugian perbankan justru semakin mempersulit keberadaan lembaga-lembaga kredit mikro ini (Rosengard 2007). Dalam sistem ekonomi, konsep keuangan mikro dianggap sesuai untuk pembangunan desa. Menurut ADB, keuangan mikro (microfinance) adalah sejumlah jasa pelayanan keuangan seperti deposito, pinjaman, jasa pembayaran, transfer uang dan asuransi untuk orang miskin dan kelompok keluarga pendapatan rendah serta untuk usaha kecil yang mereka miliki (lihat, ADB http:// www.adb.org/). Dari definisi ini maka keuangan mikro sebagai lawan dari keuangan makro yang dikendalikan oleh pasar (market) dengan mengedepankan layanan keuangan dan kredit yang sesuai dengan kebutuhan dasar masyarakat. Selain itu, keuangan mikro juga mengutamakan nilai-nilai yang dianut masyarakat seperti kesejahteraan bersama (altruistic values) sehingga ia juga sering disebut sebagai ekonomi masyarakat (community economy). Ekonomi “formal” yang berbasis kapital, oleh karenanya berideologi kapitalisme, sangat menghindari nilai-nilai altruistik ini, karena takut akan terjadi distorsi pasar (disembededness). Aspek moralitas dari keuangan mikro ini sebagian dibangkitkan oleh gerakan keagamaan di Afrika dan Asia sebagai kritik terhadap imoralitas ekonomi Barat yang telah menghasilkan homo economicus yang bejat (Elahi 2004). Keuangan mikro mengutamakan nilai-nilai integritas diri, moralitas Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
4 |
MUHAMMAD ADLIN SILA
dan kemandirian ekonomi. Sukses Grameen Bank di Bangladesh membuka mata dunia tentang pentingnya keuangan mikro ini bagi pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) dan terciptanya perdamaian (peace making). Keuangan mikro mendapatkan momentumnya setelah krisis ekonomi 1997. Indonesia mengalami kemunduran pembangunan, dan dari sisi kesejahteraan sosial terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin. Kondisi ini mengharuskan pemerintah melakukan berbagai program penanggulangan dan pengentasan kemiskinan; salah satunya dengan memberi akses kepada masyarakat miskin agar dapat meningkatkan tambahan penghasilan (income generating) melalui program pengembangan usaha ekonomi skala mikro. Program ini menciptakan peluang usaha dan pemerataan pendapatan, melatih kemandirian dan meningkatkan kreativitas masyarakat miskin. Instrumen terpenting untuk memperbesar akses tersebut adalah penyediaan kredit mikro. Bank Indonesia (BI) mendefinisikan kredit mikro sebagai kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak Rp 100 juta per tahun. Kredit mikro melalui LKM tersebut digunakan untuk menstimulasi usaha dan kegiatan ekonomi agar lebih berkembang dan mempunyai dampak ekonomi yang signifikan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. LKM di Indonesia menurut BI dibagi menjadi dua kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta nonbank. LKM yang berwujud bank adalah BRI Unit Desa, BPR dan BKD. Sedangkan yang bersifat nonbank adalah koperasi simpan pinjam, unit simpan pinjam, lembaga dana kredit pedesaan, baitulmal wattamwil, LSM, arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA, kelompok swadaya masyarakat, dan credit union. Meskipun BRI Unit Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, namun karena persyaratan peminjaman yang menggunakan metode bank konvensional maka akibatnya masih banyak pengusaha mikro yang kesulitan mengaksesnya. LKM yang ada saat ini masih terbatas karena perbankan masih enggan terjun ke bidang usaha ini. Dunia perbankan di Indonesia beranggapan kredit mikro tidak memiliki nilai ekonomis (economic return) yang tinggi karena 1) jumlah kredit sangat kecil, 2) sangat berisiko (risiko tidak dapat melunasi kredit sangat besar), dan 3) memerlukan biaya koordinasi dan pengawasan yang cukup besar. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
L embaga K euangan M ikr O
| 5
Di sisi lain, pelaku ekonomi usaha mikro dan kecil pun enggan berhubungan dengan dunia perbankan karena persyaratan kredit dianggap terlalu berat dan prosedur pinjaman yang berbelit-belit. Oleh karena itu, pelaku ekonomi usaha mikro dan kecil umumnya lebih sering berhubungan dengan lembaga keuangan informal lain seperti bank pethithil atau bank keliling (rentenir) walaupun mereka harus membayar bunga yang sangat besar untuk setiap pinjamannya. DI M E NSI S O SI A L DA N E KONOM I PE NG E M B A NG A N L K M
Dari berbagai studi memperlihatkan bahwa pertimbangan dimensi/faktor ekonomi manajerial saja, seperti yang digunakan oleh perbankan, tidak cukup efektif mengembangkan LKM. Pertimbangan dimensi/faktor ekonomi penting untuk meminimalkan risiko kredit dan menjaga keberlanjutan LKM. Namun, penekanan yang terlalu besar pada faktor ekonomi akan membatasi jangkauan dan dampak kredit bagi masyarakat miskin. Bila kredit tidak berkembang maka dengan sendirinya LKM mengalami kemandekan. Kondisi tersebut dapat terjadi karena karakteristik usaha kecil yang bersifat subsisten dan kondisi kemiskinan sosial ekonomi yang cenderung membatasi pilihan-pilihan dan kesempatan masyarakat miskin, sangat berpengaruh dalam aksesibilitas, penggunaan, pengembangan dan pengembalian kredit mikro serta dampaknya pada masyarakat miskin. Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif berupa pendekatan sosiologis yang berusaha memperhitungkan dimensi/faktor sosial dalam pengembangan LKM dan kredit mikro. Dari studi-studi sosiologis yang ada, keberhasilan Grameen Bank dalam mengembangkan LKM dan mengelola kredit mikro adalah terletak dari usahanya memanfaatkan dan mengembangkan modal sosial untuk mendorong dan menjamin bisnis keuangan mikro. Modal sosial yang dimaksud adalah bentuk-bentuk organisasi sosial seperti nilai dan norma, kepercayaan serta jaringan sosial yang mendukung kerja sama untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu. Kita berutang pada konsep modal sosial Putnam (2000:19), yang menyatakan bahwa modal sosial adalah hubungan antara individu (connections among individuals), jaringan sosial (social networks), dan norma-norma hubungan timbal balik dan kepercayaan (norms of reciprocity and trustworthiness). Melalui tiga komponen modal sosial Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
6 |
MUHAMMAD ADLIN SILA
atau sering disingkat SC (social capital) ini, Putnam melihat SC dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan mereka secara terkoordinasi (Putnam 1993:169). Lebih lanjut, Putnam membagi antara bonding social capital dan bridging social capital. Yang pertama mengacu pada modal sosial yang berasal dari identitas-identitas yang bersifat eksklusif seperti persekutuan yang berbasis suku atau agama, dan yang kedua bersifat inklusif karena mengacu pada jaringan persekutuan yang lebih luas melewati basis kesukuan atau keagamaan yang cenderung homogen. Dalam kegiatan ekonomi, modal sosial mempunyai peran yang sangat penting dalam mempermudah kerja sama dan koordinasi serta meningkatkan pengawasan dan membatasi perilaku oportunistik yang seringkali menjadi faktor penting dalam menyumbang kegagalan program pengembangan LKM. Konsep Putnam ini memang yang paling sempit dibanding teoretikus yang lain seperti Coleman (1988) yang mendefinisikan social capital sebagai “a variety of different entities, with two elements in common: they all consist of some aspect of social structure, and they facilitate certain actions of actors whether personal or corporate actors within the structure”. Konsep ini memasukkan hubungan-hubungan horizontal dan vertikal sekaligus, serta juga perilaku di dalam dan antara seluruh pihak dalam masyarakat. Begitu pula artikel yang ditulis oleh Szreter (2002) yang membantu kita mengenali faktorfaktor apa saja yang membuat modal sosial itu meningkat atau menurun dalam situasi tertentu. Artinya, modal sosial itu adalah sebuah produk sosial (social construction) yang bersifat dinamis. Namun begitu, satu hal yang dilupakan oleh teoretikus modal sosial seperti yang dikembangkan oleh Putnam, yaitu apa yang disebut oleh Woolcock (2001:13-14) sebagai lingking social capital, yaitu modal sosial yang melingkupi sekelompok orang yang berbeda-beda dalam kondisi yang berbeda pula seperti mereka yang berada di luar komunitasnya membuat mereka berkemampuan memperoleh sumber daya yang lebih banyak dibanding yang tersedia di masyarakat mereka sendiri. PE RT U M BU H A N E KONOM I S U M AT E R A B A R AT
Setelah melewati masa krisis ekonomi, Provinsi Sumatera Barat mengalami perbaikan pertumbuhan ekonomi dari sekitar 3% menjadi Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
L embaga K euangan M ikr O
| 7
lebih dari 5% selama 2000-2004. Inflasi Sumatera Barat pada 2005 mencapai angka 17% setelah pemerintah pusat menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebagai kompensasi kenaikan ini, keluarga miskin memperoleh bantuan tunai langsung (BLT) yang mencapai Rp 100 juta per kelurahan untuk Kota Padang. Sektor pertanian selama 2000-2004 telah memperlihatkan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (6,5%) dibanding laju pertumbuhan ekonomi daerah, bahkan jauh di atas laju pertumbuhan sektor industri (4%). Pada tahun 2001 sektor pertanian memberikan kontribusi kurang dari 24% dalam Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) Provinsi Sumatera Barat, dan diperkirakan naik di atas 25% pada 2005 (Badan Pusat Statistik Sumatera Barat 2007). Hingga 2005, sektor industri Sumatera Barat masih didominasi industri kecil, industri rumah tangga dan industri kerajinan. Meski besar dari segi jumlah, namun dalam menciptakan nilai tambah masih sangat kecil. Kontribusi sektor manufaktur di dalam PDRB tidak lebih dari 14%. Sementara, investasi swasta yang diharapkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan belum memperlihatkan kinerja yang mengesankan (belum mencapai 20% dari PDRB). Investasi hanya mengalami pertumbuhan sebesar 1,1% selama 2001 dan naik menjadi 3,2% pada 2004, serta diperkirakan mengalami pertumbuhan sebesar 6,5% pada 2005. Banyak pihak mengeluh Sumatera Barat dianggap tidak memiliki iklim investasi yang kondusif, umpamanya soal kepastian status kepemilikan tanah (tanah komunal) yang mengurangi daya tarik (BPS Sumatera Barat 2007). Sementara itu, ekspor makin signifikan dalam pertumbuhan ekonomi daerah yang tumbuh kurang dari 3% pada 2001 tetapi meningkat pesat di atas 22% pada 2004. Pada 2005 laju ekspor Sumatera Barat diperkirakan mencapai 15,5%. Ekspor Sumatera Barat bersumber dan didominasi oleh 10 komoditas primer sektor perkebunan, seperti sawit dan karet (BPS Sumatera Barat 2007). Sedangkan peran produk manufaktur tidak lebih dari 10% dalam ekspor Sumatera Barat. Penduduk Sumatera Barat diperkirakan meningkat dari 4,6 juta jiwa pada 2006 menjadi 4,9 juta jiwa pada 2010. Jumlah penduduk miskin direncanakan turun dari 20,47% pada 2006 menjadi 10% pada 2010. Berdasarkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp 175 ribu per kapita pada harga konstan tahun 2005, jumlah penduduk Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
8 |
MUHAMMAD ADLIN SILA
miskin pada 2006 masih akan lebih dari 1 juta orang. Dengan garis kemiskinan yang sama, maka pada 2010 jumlah penduduk miskin diharapkan sudah turun menjadi 490 ribu orang. Penurunan tingkat dan jumlah penduduk miskin absolut adalah sasaran utama pembangunan ekonomi daerah (lihat, pidato Gubernur Sumbar 2007). K E BI J A K A N PE M DA S U M B A R DA L A M SE K TOR U M K M
Sumber percepatan pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat diarahkan untuk memperkuat posisi ekonomi dan daya beli penduduk miskin. Selain revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan, usaha nonpertanian yang berskala menengah ke bawah atau UMKM juga menjadi prioritas pengembangan pemerintah Sumatera Barat tahun 2007 ini. Beberapa pertimbangan yang melandasi kebijakan ini adalah bahwa UMKM diharapkan menjadi penggerak utama perekonomian dengan jumlah sangat besar yaitu 501.410 unit di luar usaha pertanian. UMKM ada di setiap lapangan usaha, sehingga sangat berperan dalam memperkuat struktur ekonomi daerah, menyerap tenaga kerja cukup besar, termasuk yang berpendidikan renda h dan kurang terampil, berbasis sumber daya loka l, menghasilkan komoditas ekspor maupun untuk kebutuhan sendiri (lihat, pidato Gubernur Sumbar November 2007). Tabel 1. Jumlah Usaha dan Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha No 1 2 3
Skala Usaha Mikro Kecil Menengah dan besar Jumlah
Jumlah Unit % 423.280 84,42 74.410 14,84 3.720 0,74
Tenaga Kerja Orang % 674.559 69,67 208.856 21,57 84.810 8,76
501.410
968.225
100,00
100,00
Sumber: Pemda Sumatera Barat 2007
Tabel 1 memperlihatkan total usaha berskala mikro dan kecil di Sumatera Barat mencapai 99 %. Kedua usaha ini juga menyerap 90 % lebih tenaga kerja. Dengan besarnya porsi skala usaha ini maka dalam rangka meningkatkan sektor usaha kecil dan mikro, pemerintah setempat mengeluarkan langkah-langkah strategis. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
L embaga K euangan M ikr O
| 9
Misalnya, meningkatkan akses permodalan bekerja sama dengan lembaga keuangan seperti bank dan koperasi atau LKM. Berdasarkan kriteria UMKM menurut pelaporan kredit Bank Indonesia, maka pada tahun 2006 kredit yang disalurkan untuk UMKM di Sumatera Barat sebesar Rp 1.761,5 miliar atau 16 % dari total kredit, yaitu sebesar Rp 11.761,5miliar. Pemerintah daerah sadar bahwa tanpa kebijakan-kebijakan yang sifatnya afirmatif maka perkembangan UMKM akan sangat lambat. LU M BU NG PI T I H N AG A R I: MODE L L E M B AG A K R E DI T M I K RO BE R B A SI S DE S A
1. Na ga r i Nagari adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan basis kehidupan masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Penerapan UU No. 5/1979, yang mengubah Nagari menjadi desa, dianggap sebagai bentuk “jawanisasi” yang telah mematisurikan hubungan sosial, identitas dan kepemimpinan lokal Nagari. Setelah reformasi, konsep Nagari bangkit dan semakin membuncah dengan slogan “kembali ke Nagari”. Nagari mempunyai seperangkat mekanisme adat untuk mengatur segala bentuk hubungan sosial, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, hubungan antarmanusia dan hubungan antara manusia dengan alam. Nagari diatur dengan prinsip tali tigo sapilin: yaitu pertautan antarahukum adat, syari’at Islam dan hukum negara (hukum positif, UU). Khusus hubungan antara adat dan Islam, orang Minang berpegang pada prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (atau disingkat ABS dan SBK), untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan antara hubungan manusia, alam, dan Tuhan. Pemerintahan Nagari yang otonom dipegang secara kolektif dengan prinsip tigo tungku sajarangan (ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai), dan pengambilan keputusan dilakukan melalui permusyawaratan antara pemimpin dan kaumnya di Nagari. Salah satu berkah dari slogan “kembali ke Nagari” ini adalah keberadaan lembaga mikro kredit Lumbung Pitih Nagari (LPN), yang pengertian bebasnya adalah tempat penampungan uang milik Nagari.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
10 |
MUHAMMAD ADLIN SILA
2 . Na ga r i d a n Lumb u n g Pit i h Na ga r i LPN pada mulanya didirikan di setiap Nagari (pemerintahan terendah di Sumbar) dan selanjutnya mengalami perubahan. Data 2001 menyebutkan di setiap Nagari terdapat LPN, atau sekitar 543 LPN. Saat ini, sekitar 500-an LPN telah bubar dan sisanya ada yang berubah status hukum menjadi BPR, lainnya beroperasi dengan sistem koperasi, dan hanya satu dua yang masih berstatus LPN. Di Kota Padang hanya ada satu LPN yang masih aktif namun cukup maju, dengan sistem komputerisasinya, yaitu LPN Limau Manis. Melihat kondisi ini, maka status LPN dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk: (1) LPN dalam bentuknya yang asli; (2) LPN yang dibina oleh Bank Nagari (milik Pemda Sumbar); (3) LPN yang sudah beralih menjadi BPR dengan nama BPR-LPN dan berbadan hukum, serta semuanya menerapkan sistem konvensional. Menurut pengamatan penulis, perubahan status LPN ini dipengaruhi oleh lingkungan kelembagaan (institusional environment) seperti UU, dan tingkat kepercayaan (trust) masyarakat. Ketentuan dari Bank Nagari bahwa LPN atau koperasi yang sudah memiliki aset minimal Rp 1 miliar dapat berubah statusnya menjadi BPR (lihat, wawancara Divisi Mikro Banking Bank Nagari 2007). Sementara pada tingkat kepercayaan, LPN kalah bersaing dengan Bank, BPR atau koperasi yang dianggap lebih profesional. Bahkan, keberadaan rentenir atau bank keliling (Induk Julo) masih diminati oleh sebagian kecil masyarakat karena prosesnya yang mudah (atau dibuat semudah mungkin). 3 . Lumb u n g Pit i h Na ga r i Lim a u Ma ni s Atas rekomendasi Bank Nagari Provinsi Sumatera Barat, ditambah dengan pengamatan langsung ke lapangan, studi ini fokus pada LPN yang berada di Kota Padang yaitu LPN Limau Manis yang terletak di Kelurahan Limau Manis, Kecamatan Pauh, Padang, Sumatera Barat. Menurut sejarah, LPN ini berasal dari Lumbung Padi Nagari atau tempat penampungan hasil-hasil pertanian masyarakat yang berdiri tahun 1930-an. Dalam perkembangannya, Lumbung Padi ini berubah menjadi Lumbung Pitih Nagari, yang tidak lagi menampung padi tapi uang (pitih). Tahun 1982, keberadaan LPN diperkuat Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
L embaga K euangan M ikr O
| 11
dengan lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Tingkat I, No. 2/1982, yang menjadi pedoman kerja LPN di setiap Nagari yang berjumlah 543 buah itu. Sebelumnya, khusus di Kota Padang saja terdapat 26 LPN. Tahun 1977, masing-masing LPN menerima dana dari pemerintah daerah sebesar Rp 500 ribu. Setelah itu, hampir semua LPN vakum bahkan ada yang bubar. Saat ini, di Kota Padang hanya menyisakan 2 LPN; satu di Pasar Alay (sebelah selatan Kota Padang) dan lainnya di Kelurahan Limau Manis, Kecamatan Pauh. Kebangkitan LPN Limau Manis dimulai tahun 1989. Dari modal awal Rp 500 ribu, LPN Limau Manis sudah memiliki aset Rp 1 miliar lebih pada 2007. Ia pernah meraih penghargaan dari Gubernur Sumatera Barat tahun 1995 sebagai LPN terbaik Tingkat I Propinsi Sumatera Barat. Menurut laporan Bank Nagari, LPN Limau Manis juga memiliki tingkat kredit macet sekitar 4% yang termasuk sehat untuk ukuran LKM. Sesuai dengan BAB III pasal 4 Perda No. 01/1982 tentang LPN di Sumatera Barat yang disahkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri No. 140.23-918 pada tanggal 10 Juli 1982, maka tujuan dan lapangan usaha LPN adalah: (1) mendorong pembangunan ekonomi rakyat desa atau kelurahan melalui tabungan terarah serta penyaluran modal yang efektif; (2) membentuk dan menghimpun modal untuk pembangunan di desa/kelurahan; (3) mewujudkan suatu badan usaha simpan pinjamyang berfungsi sosial dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi berdasarkan Pancasila; dan (4) menciptakan pemerataan dalam kesepakatan berusaha bagi warga dan tenaga kerja pedesaan dan kelurahan. Kegiatan LPN Limau Manis antara lain menggalakan tabungan rakyat desa atau kelurahan, penyimpanan kas pemerintah desa/ kelurahan dan dana pihak ketiga lainnya, pemberian pinjaman, penyertaan modal di badan usaha lainnya, dll. (lihat, wawancara Syahrifuddin 2007). Anggota LPN Limau Manis sampai 31 Desember 2006 berjumlah 1.185 orang. Dari jumlah itu yang tercatat sebagai anggota aktif sebanyak 980 orang dan 205 tidak aktif. Kalau dikelompokkan berdasarkan keanggotaan ada 15 orang anggota inti, 55 orang anggota penyangga 55, dan 1.115 orang calon anggota. Dari Tabel 2 memperlihatkan aset LPN yang sudah mencapai lebih dari Rp 1 miliar, dan memenuhi syarat untuk berubah status menjadi Bank Pembiayaan Rakyat (BPR). Tapi kepada penulis, Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
12 |
MUHAMMAD ADLIN SILA
manajer LPN memberi alasan mengapa LPN belum berubah status menjadi BPR: “Nasabah kami adalah orang-orang kecil dan tinggal di desa, kalau kami berubah status menjadi BPR, mereka akan meninggalkan kita karena kesannya seperti bank umum lainnya yang cenderung mempersulit untuk memperoleh kredit.” Memang kalau kita lihat dari segi sifat keanggotaan nasabah, LPN ini mengadopsi model koperasi yaitu melalui sistem keanggotaan tetap, misalnya ada anggota inti, dan anggota penyangga, yang memiliki simpanan wajib dan pokok. Sementara calon anggota adalah istilah yang ditujukan bagi penabung dan penerima kredit yang belum menjadi anggota inti atau penyangga. Istilah calon anggota ini sebenarnya tidak ada dalam UU perkoperasian, tapi murni inovasi dari LKM seperti LPN ini. 4 . Pe ny e l e sa i a n Ma sa l a h K r e d it Ma ce t Menurut Desi, Manajer II LPN Limau Manis, bahwa LPN yang dikelolanya termasuk sehat karena hanya mengalami kredit macet sekitar 4%. Untuk menekan angka persentase tingkat kemacetan pembayaran kredit, LPN melakukan beberapa langkah di antaranya: (1) langkah persuasif dengan mendekati ahli waris nasabah untuk melunasi (dalam akad kredit, pihak istri akan memberikan kuasa jika yang menerima kredit adalah suami, begitupun sebaliknya); (2) jika ini tidak berhasil, LPN akan melakukan pendekatan adat dengan meminta bantuan ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang mewadahi semua suku yang ada dalam Nagari; dan (3) jika ini tidak berhasil maka akan menyita kendaraan yang dijaminkan, lalu menjualnya; kelebihan dari hasil penjualan itu akan diberikan kepada si nasabah (jaminan untuk memperoleh kredit adalah suratsurat kendaraan). Bagi nasabah bermasalah yang pegawai negeri sipil (PNS) akan dipotong gajinya langsung di Bank Nagari. Sebelumnya, nasabah memberikan kuasa kepada Bank Nagari untuk memotong gaji yang bersangkutan jika mempunyai masalah kredit, karena Bank Nagari adalah satu-satunya bank penerima gaji PNS di Sumatera Barat. Orientasi pemberian kredit adalah komersil sehingga hanya nasabah yang memiliki unit usaha yang diprioritaskan memperoleh kredit. Dari seluruh nasabah yang menerima kredit, sekitar 75% untuk keperluan penguatan modal dan hanya 25% untuk keperluan konsumtif. Lama usaha yang dimiliki harus sedang berjalan minimal Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
L embaga K euangan M ikr O
| 13
6 bulan. Untuk keperluan bisnis, maksimal kredit yang bisa diajukan adalah Rp 25 juta, sedangkan untuk konsumtif (ini pun sangat selektif) maksimal kredit sebesar Rp 5 juta. Tabel 2. Perkembangan Indikator Kinerja Keuangan LPN Limau Manis Padang, Sumatra Barat (Rp miliar). Data diolah dari Laporan Pertanggungjawaban LPN Limau Manis 26 Februari 2007. No 1 2 3
4
5 6 7 8 9 10 11
Uraian Aset Pinjaman Beredar Simpanan Bunga Tahunan Simanis Takesra Taris Simpanan Saham Simpanan Pokok Simpanan Wajib Penghimpunan Dana Penyertaan Modal Modal Non-Anggota Dana Resiko Biaya Pendapatan Sisa Hasil Usaha (SHU)
2005 1.138.668.602 726.454.169
2006 1.209.775.380 754.919.200
90.663.438 473.669.675 298.525.000
95.000.000 600.000.000 59.000.000
4.571.330 94.033.201 874.237.213 17.466.714 67.400.108 11.979.100 150.495.918 223.884.627 73.388.709,04
4.700.000 113.000.000 882.335.909 42.500.000 75.535.00 34.000.000 183.669.046 268.906.825,04 85.237.779,04
Bagi nasabah yang memiliki unit usaha, pemberian kredit pun bertahap dari segi nominalnya. Sebagaimana penuturan Syafei (pengusaha empang ikan segar): “Saya awalnya memperoleh kredit Rp 5 juta, setelah lunas selama 3 bulan, saya diberikan lagi Rp 10 juta. Setelah lunas baru diberikan lagi Rp 25 juta. Saat ini saya sedang berusaha melunasi kredit saya sesuai waktu yang disepakati. Soalnya kalau lancar dan tidak nunggak saya bisa mengajukan kredit lagi,” (lihat, wawancara 2007). Jumlah kredit yang diminta tergantung pada volume usaha yang digeluti. Volume usaha menentukan berapa jumlah modal usaha yang dibutuhkan. Tentang taksiran volume usaha ini maka LPN Limau Manis mempunyai tim khusus untuk melakukan taksiran yang dimaksud. Aspek kepribadian pada nasabah juga menjadi perhatian. Jika menurut tim penaksir si nasabah cacat secara moral, kredit tidak disetujui meskipun memenuhi syarat-syarat yang lainnya. Jangka waktu pengembalian kredit tergantung kesepakatan, bisa sebulan hingga tiga bulan, dengan pembayaran per hari atau mingguan.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
14 |
MUHAMMAD ADLIN SILA
L PN DA N PE M BE R DAYA A N E KONOM I M A S YA R A K AT N AG A R I
Studi Nursyir wan Ef fendi dan Luck y Zamzami (2005) menemukan bahwa pedagang kecil di Kota Padang yang berlatar belakang etnik Minang menjadi bagian dari modernisasi tapi tidak merasakan manfaat dari program pembangunan yang ada. Mereka mengandalkan modal sosial yang berdasarkan pada sistem kekerabatan dan kesukubangsaan yang tidak sesuai dengan pola pembangunan ekonomi yang ada. Akhirnya, para pedagang ini semakin memperkuat keberadaan identitas etnik mereka agar tetap bisa bertahan hidup di kota. Untuk menuju Nagari mandiri, pemerintah daerah menggulirkan program pembentukan Paga Nagari. Maksudnya adalah memberikan pelatihan teknis bagi pemuda Nagari, yaitu berupa pelatihan montir radio/TV, bengkel sepeda motor dan mobil, ada pula salon kecantikan, tukang pangkas rambut, juru ukur, menjahit pakaian dan lain sebagainya. Bila di setiap Nagari sudah tersedia jasa sebagaimana tersebut di atas maka masyarakat Nagari tidak perlu mencari jasa itu ke luar wilayah Nagarinya dan biayanya juga akan lebih murah. Program ini juga membuka kesempatan lapangan kerja bagi anak Nagari. Berdasarkan data di Kelurahan Limau Manis per September 2007, total penduduk di kelurahan itu berjumlah 4.233 orang (laki-laki 2.145 dan perempuan 2.086) dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 1.011 KK. Sebagian besar (80%) nasabah LPN berasal dari kelurahan ini. Kehadiran LPN ini sedikit mengurangi sepak terjang “Induk Julo” (rentenir) dan “Julo-Julo Tembak” (arisan tembak). Dalam sistem pembayarannya “Induk Julo” menggunakan metode 10:11, artinya kalau Anda dapat kredit Rp 100 ribu, kemudian wajib membayar 11 kali dengan jumlah Rp 10 ribu. Jadi “Induk Julo” atau bank keliling ini mengambil keuntungan Rp 10 ribu dari setiap Rp 100 ribu yang dipinjamkan atau bunga sebesar 10%. Yang menjadi nasabah dari praktik “Induk Julo” kebanyakan adalah ibu-ibu pedagang di pasar tradisional. Maka, kehadiran LPN Limau Manis di Kelurahan Limau Manis telah memberikan pilihan alternatif bagi warga setempat untuk memperoleh dana pinjaman yang lebih aman dan manusiawai. Budaya menabung juga tumbuh di kalangan warga, termasuk kepercayaan terhadap lembaga keuangan dan kredit mikro jika Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
L embaga K euangan M ikr O
| 15
dilihat dari tingginya uang simpanan nasabah di LPN Limau Manis (lihat, Tabel 2). Kenyataan ini dipertegas oleh Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Limau Manis, Wardas Tanjung, bahwa kehadiran LPN Limau Manis telah mengangkat tingkat kesejahteraan warga dilihat dari jumlah nasabahnya. “Yang perlu ditingkatkan adalah upaya “jemput bola” agar warga semakin sadar tentang kehadiran LPN ini di tengah-tengah masyarakat, kalau bisa lebih agresif dari upaya para Induk Julo yang tidak bosan-bosannya mendatangi rumah warga menawarkan jasa pinjamannya,” kata Wardas (lihat, wawancara 2007).2 Hanya saja memang ada kendala dalam faktor penjaminan. Sertifikat tanah tidak bisa dijadikan jaminan karena dimiliki secara komunal oleh suku-suku setempat. Di Kelurahan Limau Manis terdapat 5 suku: Tanjung, Melayu, Caniago, Jambak dan Piliang. Kelima suku ini memiliki aparat-aparat adat, yaitu Kepala Mudo, Pandito, Kepala Paruik, Penghulu, Rang Tuo. Proses sertifikasi tanah harus memperoleh persetujuan dari kelima aparat adat tersebut. Dan kalaupun harus ada nama dalam sertifikat, maka nama suku yang dipakai misalnya Chaniago, dan sebagainya. Namun, beberapa warga Nagari berusaha memperoleh sertifikat atas nama sendiri dengan membeli tanah di luar dari tanah ulayat yang dimiliki kaum dari pihak istri. Saat ini, persepsi tentang kepemilikan individual mengemuka di kalangan masyarakat Minang yang dikenal komunal-matrilineal. Misalnya, status kepemilikan tanah yang dulunya bersifat komunal atau mengatasnamakan sukunya, bergeser ke kepemilikan individual (Erwin 2007). Akibat modernisasi, sistem kekerabatan yang dahulunya masih dominan bersifat komunal atau keluarga besar (extended family) sedikit demi sedikit terbentuk beberapa keluarga inti (nuclear family) yang menuntut pengakuan hak-hak individual. Terdapat beberapa kasus menyebutkan bahwa banyak suami dari perempuan Padang membeli tanah atau rumah di luar tanah kaum (adat), sehingga yang bersangkutan memiliki hak-hak individual seperti kepemilikan tanah dan rumah. 2 Selain sebagai Ketua KAN Limau Manis, Wardas Tanjung juga menjabat sebagai Kepala Subag Pendidikan dan Kebudayaan Pemko Padang. Dia lahir 1960, berasal dari suku Tanjung dan sedang menyelesaikan studi tingkat magister dalam bidang sosiologi di FISIP Universitas Andalas. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
16 |
MUHAMMAD ADLIN SILA
Kesimpulannya, dampak sosial LPN terhadap tingkat pendapatan rumah tangga, perbaikan rumah, tingkat pendidikan anak, tingkat kesehatan anggota rumah tangga, tenaga kerja upahan dalam rumah tangga, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan di tingkat rumah tangga, cukup berarti. Meskipun datanya tidak tersedia secara memadai tapi indikator ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam menilai dampak sosial LPN di masyarakat. P O T E NSI L PN SE B AG A I PE NG E L OL A S U M BE R DAYA A L A M
Sejak diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah, UU ini memberi peluang kembali eksisnya struktur dan kultur lokal, begitu juga struktur dan kultur ekonomi masyarakat adat. Di era reformasi, masyarakat adat juga mempunyai peluang memulai pendekatan pemberdayaan ekonomi yang paling sesuai dengan kondisi dan karakteristik daerahnya; yakni peluang untuk memberdayakan ekonomi dengan basis masyarakat adat itu sendiri. Namun, peluang ini bukanlah hal yang mudah digapai. Masyarakat adat telah lama mengalami proses marjinalisasi yang menyebabkan mereka dalam keadaan lemah dan kurang berdaya (powerless). Di balik peluang tersebut tentu saja ada tantangan dan kelemahan struktural dan kultural dalam diri mereka. Namun, dengan adanya UU No. 10/1998 tentang perbankan, yang memperbaharui UU No. 7/1992 yang hanya membolehkan Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat menghimpun dana, maka fungsi kelembagaan LKM nonbank seperti LPN menjadi terbatas. Bank Nagari sebagai satu-satunya bank yang ditunjuk oleh Pemda setempat untuk mengelola SDA, membuat aset Nagari-nagari harus dikelola oleh Bank Nagari. Tentang keberadaan UU ini, Syahrifuddin mengatakan: “Kami pengurus LPN memerlukan payung hukum yang lebih jelas tentang mekanisme kerja LPN. Sebab saat ini, konsep kerja kami gado-gado, bank tidak, koperasi pun tidak. Dan kalau bisa, jangkauan kerja kami jangan hanya di Nagari Limau Manis saja,” (lihat, wawancara 2007). Da ri ha sil pa ntaua n penulis, sistem kea nggotaa n LPN memakai sistem koperasi, tapi dalam hal pemberian kredit mereka Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
L embaga K euangan M ikr O
| 17
mensyaratkan aset yang dijaminkan (collateral ) seperti lazimnya praktik di dunia perbankan. PE NGUATA N K A PA SI TA S K E L E M B AG A A N
Karena undang-undang tentang perbankan, Bank Nagari hanya melakukan pembinaan kepada LPN yang sudah menjadi BPR sementara LPN yang belum menjadi BPR tidak diberikan pembinaan sama sekali. “Dulu sebelum terbit UU itu, LPN di Sumatera Barat berjumlah sekitar 543. Bank Nagari sering memberi modal pinjaman dan pembinaan SDM untuk penguatan kapasitas lembaga. Setelah tidak ada lagi, kami hanya bermodalkan ilmu yang dulu saja,” ungkap Desi, Manajer II LPN Limau Manis (lihat, wawancara 2007).
Kapasitas strategis menyangkut kemampuan lembaga untuk mengelola, mengembangkan visi, misi dan strategi organisasi. Kapasitas ini meliputi: (i) kemampuan memahami kebijakan keuangan yang ada, mengenali lanskap LPN di lokasi, mengenali potensi calon anggota/nasabah, menentukan tujuan dan prioritas lembaga; (ii) mengembangkan organisasi (sentralisasi/desentralisasi), mengembangkan sumber pendanaan dan mengembangkan kemandirian dari donor. Sedangkan, kapasitas teknis menyangkut kemampuan lembaga untuk mengelola dan mengembangkan teknis manajerial, seperti SDM, pola hubungan kerja dan koordinasi, serta pengelolaan kredit. Dari hasil studi di lapangan, LPN Limau Manis cukup berhasil dalam kemampuannya meningkatkan jumlah anggota dan tingkat pengembalian kredit (lihat, Tabel 2). penutup
LPN Limau Manis cukup maju dan termasuk sehat untuk ukuran LKM. Keberhasilan Limau Manis dalam menghimpun dana dan memperoleh keuntungan dalam pengembalian kredit ditempuh dengan cara menekan angka persentase tingkat kemacetan pembayaran kredit agar supaya LPN memperoleh kepercayaan dari nasabah (trust). Modal sosial yang dikembangkan LPN Limau Manis Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
18 |
MUHAMMAD ADLIN SILA
adalah mengombinasikan unsur tradisional (otoritas Kerapatan Adat Nagari dan Nagari/bonding atau eksklusif ) dan unsur modernitas (otoritas Bank Nagari dan BPD/bridging atau inklusif, dan linking) sekaligus dalam mengurangi persentase kredit macetnya. Bagan 1. Model Pengembangan Modal Sosial LPN: Shared & Exclusif Bonding Social Capital & Instructive Bridging and Linking Social Capital
Model hibridasi ini menjadikan LPN tanggap dalam menghadapi beberapa permasalahan UMKM di Sumatera Barat yang sempat teridentifikasi seperti: (1) lemah dalam permodalan, sehingga kesulitan dalam pengembangan usaha; (2) kurang efisien karena skala usaha yang relatif kecil; (3) lemah dalam manajemen, sehingga pengelolaan usaha tidak tertata baik; (4) terbatas dalam penggunaan teknologi, sehingga produktivitas dan kualitas hasil masih relatif rendah; (5) lemah dalam mengakses permodalan dan pemasaran; (6) sebagian besar usaha belum berbadan hukum; dan (7) desain dan kemasan produk masih sederhana. DA F TA R pustaka
“ADB: Fighting Poverty in Asia and the Pacific.” Dalam http://www. adb.org/. Amir M.S. 2006. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Padang: P.T. Mutiara Sumber Widya. Keuangan Mikro di Indonesia. 2005. SMERU Research Institute, No. 13, Jan-Mar. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19
L embaga K euangan M ikr O
| 19
Ef fendi, Nursyir wan dan Luck y Zamzami. 2005. “Ethnic Enterpreneur and The Phenomena of “on-the ground development” in Indonesia.” Jurnal Antropologi, Jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas, Tahun VI, Nomor 9, Januari-Juni. Erwin. 2005. “Tanah: Adat dan Agama Islam.” Jurnal Antropologi, Jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas, Tahun VI, Nomor 10, Juli-Desember. ________. 2006. Tanah Komunal: Memudarnya Solidaritas Sosial pada Masyarakat Matrilinial Minangkabau. Padang: Andalas University Press. Herri dkk. 2007. “Studi Peningkatan Peran Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam Pembiayaan Usaha Mikro Kecil (UMK) di Sumbar.” Center for Banking Research (CBR)-Andalas University Press. Nee, Victor. 2005 “The New Institutionalisms in Economics and Sociology.” The Handbook of Economic Sociology. 2nd edition. Diedit oleh Neil J. Smelser dan Richard Swedberg. Princeton: Princeton University Press. Pidato Gubernur Sumatera Barat dalam acara “Silaturahmi Saudagar Minang (SSM)” di Hotel Pangeran Beach, 19 Oktober 2007. Pidato Gubernur Sumatera Barat pada acara pembukaan “Pertemuan Saudagar Minang” yang pertama di Kota Padang, Sumatera Barat, November 2007. Putnam, Robert. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon and Schurster. Rosengard, Jay K. 2007. “The Promise and the Peril of Microfinance Institutions in Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 43, No. 1. Szreter, Simon. 2002. “The State of SocialCapital: Bridging Back in Power, Politics and History.” Theory and Society, hal 573-621, Vol. 31, No. 5, Oktober. Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press. ________. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper Series SA31. London: IIED. Woolcock, M. 2001. “The Place of Social Capital in Understanding Social and Economic Outcomes.” Isuma, Canadian Journal of Policy Research 2: 1, hal. 1-17.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 1-19