PENINGKATAN FUNGSI INTERMEDIASI KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN DI PERDESAAN Oleh: Tuti Karyani dan Burhan Arief
Abstrak Petani dan UMKM merupakan pelaku ekonomi utama di perdesaan yang sangat potensial tetapi masih dihadapkan pada permasalahan kelangkaan modal (lack of capital) karena akses mereka terhadap lembaga keuangan formal rendah. Pada pihak lain diakui bahwa kredit terbukti dapat memutus lingkaran kemiskinan, oleh karena itu agar lebih berdampak secara luas, maka fungsi intermediasi lembaga keuangan harus ditingkatkan. Koperasi sebagai lembaga yang dekat dengan masyarakat perdesaan dapat diperkuat fungsinya sebagai lembaga keuangan mikro dengan mengacu pada strategi The Rural Finance Triangle (sustainability, impact, outreach) untuk memenangkan persaingan dengan para pemain baru. Kata Kunci: Kelangkaan modal (lack of capital), fungsi intermediasi, The Rural Finance Triangle. Pendahuluan
Kegiatan perekonomian di perdesaan masih didominasi oleh usaha-usaha skala mikro dan kecil dengan pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian, pengrajin, buruh serta pengecer. Sektor ini sangat potensial dan terlalu berharga untuk diabaikan (Abdullah Burhanuddin, 2006), tetapi masih dihadapkan pada masalah klasik yaitu adanya keterbatasan modal (lack of capital). Pengembangan usaha tentunya memerlukan modal investasi maupun modal kerja yang cukup besar untuk meningkatkan produktivitasnya melalui penggunaan teknologi baru sehingga pada gilirannya mampu meningkatkan pendapatannya serta 1
melakukan pemupukan modal. Hal ini sejalan dengan pendapat De Soto (2000) bahwa investment is the engine for economic growth. Access to financial services can provide access to the production means required to increase agricultural productivity and scale that lead to higher incomes. Oleh karena itu Hamid (1986) menyatakan bahwa keterbatasan modal dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat perdesaan dapat membatasi ruang gerak aktivitas sektor pertanian dan perdesaan. Dalam jangka panjang, kelangkaan modal bisa menjadi entry point terjadinya siklus rantai kemiskinan pada masyarakat perdesaan yang sulit untuk diputus. Apalagi sebagian besar jumlah penduduk miskin di Indonesia (36,61%) pada tahun 2009 berada di perdesaan (BPS,2010). Oleh karena itu penting sekali peran kredit sebagai sumber tambahan modal untuk memenuhi kurangnya permodalan tersebut. Sebenarnya, pemerintah menyadari hal ini dan telah berupaya sedemikian rupa melakukan penyaluran skim-skim kredit untuk memenuhi kebutuhan UMKM seperti KUT, KIK, KMKP, KKP, KUR, namun karena peraturan lembaga keuangan formal yang rigid menyebabkan UMKM kurang bahkan tidak mampu untuk mengakses lembaga keuangan formal terutama perbankan.
Oleh karena itu BI
kemudian mendorong peningkatan fungsi intermediasi yang memberikan aturan agar LDR (Loan to Deposit Ratio) mencapai 90% - 100%, hasilnya cukup baik, yaitu di Jawa Barat apabila dibandingkan dengan akhir tahun 2011, pada awal tahun 2012 kinerja intermediasi perbankan Jawa Barat sebenarnya meningkat dari 76,91% menjadi 78,29%, akan tetapi perkembangan intermediasi perbankan Jawa Barat tersebut ternyata
masih lebih rendah dibandingkan nasional yang tumbuh dari
89,23% pada periode triwulan IV-2011 menjadi 90,23% (BI, 2012) 2
Saat ini tuntutan terhadap pemenuhan permodalan usaha (terutama usaha kecil dan mikro) kembali menguat dan menjadi perhatian pemerintah, terlebih dalam kondisi terpuruknya
perekonomian global yang
menjurus menjadi
multidimensi ternyata UMKM lebih mampu bertahan menghadapinya.
krisis Syukur
(2002) berpendapat bahwa pengusaha UMKM sangat strategis untuk diberdayakan, karena jika diberdayakan secara tepat usaha kecil akan berkembang menjadi usaha menengah, sebaliknya apabila tidak diberdayakan menyebabkan kemiskinan makin besar dan menjadi beban seluruh bangsa. Pada situasi seperti ini, program pembangunan sosial yang menjadi tanggung jawab pemerintah serta dorongan kebutuhan pengembangan ekonomi keluarga miskin, merupakan peluang bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) untuk aktif mengambil peran sebagai institusi “alternatif” dalam penyediaan modal usaha bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan keluarga miskin yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan komersial (bank) karena lembaga ini menuntut jaminan serta prasyarat lain yang tidak dapat dipenuhi oleh kelompok usaha kecil dan mikro. Koperasi sebagai salah satu lembaga yang dapat mewadahi usaha ekonomi perdesaan dapat memanfaatkan peluang ini dengan mengembangkan diri menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terutama Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan Pinjam yang merupakan salah satu unit bisnis koperasi. LKM sebagai
lembaga
jasa
dalam
menjalankan
usahanya
harus
memberikan pelayanan yang baik agar masyarakat menjadi pelanggan setia dan mendayagunakan LKM secara maksimal. Upaya ini tentunya akan berdampak terhadap sustainabilitas (keberlanjutan) LKM itu sendiri.
3
Peranan Kredit Dalam Mendukung Usaha Petani dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) di Perdesaan
Sumodiningrat (2003) menyatakan bahwa perekonomian perdesaan seringkali ditandai oleh perekonomian rakyat kecil. Rakyat kecil diartikan sebagai pelaku ekonomi dengan memiliki aset yang sedikit, skala usaha kecil, tingkat pendidikan rendah, sehingga tidak mempunyai akses dalam kegiatan ekonomi yang sudah berkembang. Kelompok ini disebut juga sektor nonformal dan pengusaha-pengusaha mikro.
Setelah mengamati keadaan ekonomi rakyat desa, maka terdapat kesan
bahwa kegiatan ekonomi sangat lambat untuk dikembangkan. Namun demikian banyak pengalaman menunjukkan bahwa walaupun dalam kondisi yang lemah dan pemilikan faktor produksi yang sedikit, apabila mendapat kesempatan, ekonomi rakyat kecil ini dapat ditingkatkan produktivitasnya, sehingga mampu menciptakan kegiatan produktif di perdesaan. Dengan demikian sangat beralasan kalau Abdulah (2006) berpendapat bahwa sektor pertanian dan UMKM terlalu berharga untuk diabaikan dan perlu ada keberpihakan terhadap mereka. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya sumber-sumber dana yang diperlukan oleh masyarakat perdesaan untuk menjalankan usahanya sehingga masuknya peranan pelepas uang yaitu pengijon, tengkulak dan rentenir yang memberikan pinjaman uang, bahan baku dan penolong serta untuk keperluan biaya hidup, yang pada gilirannya produksi dan pemasaran dikuasai oleh mereka. Oleh karena itu menurut Pantoro (2008) kehadiran lembaga keuangan (LK) di perdesaan dibutuhkan paling tidak karena dua hal, yaitu (1) sebagai salah satu instrumen dalam rangka mengatasi kemiskinan. (2) LK dibutuhkan karena menjadi salah satu instrumen pengembangan pasar keuangan di perdesaan. Secara pragmatis, 4
pasar keuangan perdesaan merupakan aspek keuangan dari semua proses ekonomi di segmen usaha mikro, kecil dan menengah (termasuk petani) yang meliputi segala sesuatu yang menyangkut tabungan dan kredit usaha. Pada pemahaman ini dicantumkan kata tabungan dan kredit, guna menghindarkan pemahaman sempit seolah-olah di segmen petani dan pelaku UMKM hanya membutuhkan kredit, melupakan bahwa mereka mempunyai potensi menabung, dan/atau dapat diberdayakan kemampuannya untuk menabung. Dengan kata lain, pada pasar keuangan perdesaan terdapat potensi besar dalam hal penawaran dana (tabungan) dan permintaan dana (kredit).
Sebagai salah satu instrumen dalam mengatasi
kemiskinan maka terdapat kaitan antara kemiskinan dengan keberadan lembaga keuangan sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi intermediasi. Di Indonesia, garis kemiskinan BPS menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Selain itu, terdapat garis kemiskinan lainnya, yaitu garis kemiskinan Sajogyo dan garis kemiskinan Esmara. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang setara beras. Kelemahan dari metode ini adalah hanya menggunakan acuan satu harga komoditi dan porsinya dalam anggaran keluarga, bahkan dalam keluarga miskin, menurun secara cepat. Berdasarkan kelemahan tersebut Esmara mencoba untuk menetapkan suatu garis kemiskinan pedesaan dan perkotaan yang dipandang dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial, seperti yang diungkapkan secara berturut-turut dalam Susenas. Konsekuensi dari kemiskinan adalah tidak adanya pilihan bagi penduduk miskin (poverty giving most people no option) untuk mengakses kebutuhan5
kebutuhan dasar yaitu (1) kebutuhan pendidikan; (2) kesehatan; dan (3) kebutuhan ekonomi-misalnya kepemilikan alat-alat produksi yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan. Kondisi demikian menimbulkan rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain, sedemikian rupa sehingga menimbulkan keadaan di mana suatu negara akan tetap miskin dan akan mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Sebagaimana Nurkse (dalam Soekirno, 1981:218) mengatakan bahwa suatu negara adalah miskin karena memang miskin (a country is poor because it is poor). Nurkes menjelaskan konsep lingkaran „setan‟ kemiskinan atau lebih dikenal sebagai vicious circles of poverty. Pernyataan “a country is poor because it is poor”sungguh sangat menyedihkan. Sebuah pernyataan yang tidak berujung pangkal bahwa ia miskin karena tidak punya apa-apa, dan tidak punya apa-apa menyebabkan ia menderita kemiskinan. Ada beberapa solusi yang ditawarkan untuk „memotong‟ lingkaran setan kemiskinan di Indonesia, yaitu: 1) menggali potensi kekayaan alam. 2) meningkatkan produktivitas kerja. 3) menggiatkan masyarakat untuk menabung. 4) memberikan pinjaman untuk modal usaha. Namun demikian, kajian ini fokus pada fungsi intermediasi lembaga keuangan sehingga solusi yang ditawarkan ialah memberikan pinjaman yang akan menguatkan permodalan dan mengakibatkan meningkatnya kemampuan untuk menggunakan teknologi dan meningkatkan produktivitas
serta pada gilirannya
berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan kemampuan untuk mengkapitalisasi modalnya melalui investasi atau tabungan. Dengan perkataan lain maka masyarakat akan keluar dari lingkaran kemiskinan diputus oleh keberadaan modal (Nurkes 6
,1957; Seibel, 2000; Ajai Nair dan Kloeppinger-Todd, 2007). Oleh karena itulah maka sangat beralasan bila tingkat kemiskinan dipengaruhi dengan berjalannya fungsi intermediasi yang diproksi dari jumlah kredit dan jumlah lembaga keuangan, walaupun bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Dalam tataran konseptual, sejalan dengan pendapat Nurkes, Tampubolon (2002) juga menyatakan bahwa kredit dianggap mampu memutuskan “lingkaran setan” kemiskinan di perdesaan. Kondisi ini terbukti dengan pengalaman Grameen Bank di Bangladesh yang saat ini mengembangkan bisnisnya tanpa meninggalkan pemiliknya (kaum miskin) yang disebut sebagai Social Business. Pengenalan bisnis kepada masyarakat kecil ini juga dikembangkan oleh De Soto (2000) di Peru yang percaya bahwa untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat harus diberikan edukasi mengenai ekonomi pasar, dan ini bisa dilakukan melalui pemberian property rights dari pemerintah berupa sertifikasi lahan sehingga petani meningkat kemampuannya untuk mengakses modal karena adanya asset yang bisa diagunkan. Namun demikian, dalam implementasi peningkatan akses terhadap lembaga keuangan ini, memerlukan upaya lain berupa pemberdayaaan (empowerment) dari masyarakat penerima property rights, agar proses ini menggiring masyarakat untuk merubah orientasi usahanya menjadi profit oriented (komersial) dan pada gilirannya keluar dari kemiskinan. Peningkatan akses terhadap lembaga keuangan sekaligus juga dapat dijadikan sebagai upaya pengenalan ekonomi pasar (uang) kemudian disebut sebagai monetisasi. Menurut Tuti Karyani (2012) karena kemiskinan merupakan permasalahan yang cukup kompleks yang faktor yang mempengaruhinya juga sangat kompleks.
7
maka dalam analisis pengaruh kredit ini tidak berdiri sendiri melainkan juga dicoba ditambahkan faktor lain seperti jumlah lembaga keuangan dan PDRB per kapita. Dengan menggunakan
data panel yaitu
data gabungan data silang
kabupaten/kota dan data time series selama kurun waktu 2004-2009 untuk jumlah penduduk miskin, jumlah kredit, jumlah lembaga keuangan, PDRB per kapita maka dilakukan analisis regresi panel. Sebelum melakukan estimasi model terlebih dahulu dilakukan uji spesifikasi model yang hasilnya Fixed Effect Model yang cocok .Tahap berikutnya dilakukan uji asumsi klasik yaitu uji multikolineritas, heterokedastisitas dan autokorelasi.
Hasil uji menunjukkan adanya autokorelasi sehingga untuk
mengatasinya menggunakan model autoregresi. Hasil akhir dari analisis regresi panel tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1 Hasil Estimasi Model Regresi Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan Variabel Koefisien t statistik Probabilitas Keterangan C 16,16 9.404791 0.0000 Nyata pada α = 5% Kredit -0,20 -5.236164 0.0000 Nyata pada α = 5% JLK -0,011 -0.307558 0.7591 Tidak signifikan PDRB -0,067 -0.551058 0.5829 Tidak signifikan AR (1) 0,523 10.22590 0.0000 Nyata pada α = 5% R-squared 0,99 Prob(F-statistic) 0,0000 D-W 2,1 F-statistic 370,3678 Dari Tabel 1 terlihat bahwa pengaruh kredit, jumlah lembaga keuangan, dan PDRB per kapita
secara simultan dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap
kemiskinan sebesar 99% sedangkan sisanya yaitu 1% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dinsukkan dalam model. Pengujian secara parsial dilakukan untuk mengetahui pengaruh masingmasing variabel independen terhadap variabel dependen. berarti jumlah kredit berpengaruh negatif terhadap
tingkat kemiskinan, yaitu semakin besar jumlah
8
kredit,maka kemiskinan akan berkurang. Untuk pengaruh jumlah lembaga keuangan, PDRB per kapita terhadap tingkat kemiskinan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan. PDRB
yang
tidak
signifikan
berpengaruh
terhadap
kemiskinan,
menunjukkan bahwa walaupun PDRB tinggi tetapi karena merupakan perhitungan rata-rata, maka tidak menunjukkan adanya pemerataan pendapatan sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap kemiskinan. Adapun keuangan yang tidak signifikan memberikan indikasi
untuk jumlah lembaga bahwa masyarakat masih
belum memiliki akses yang tinggi terhadap pelayanan lembaga keuangan walaupun jumlah bank sudah meningkat. Penelitian
Pie Guo di China ( 2009 ) bahkan
menyebutkan bahwa lembaga-lembaga keuangan di Cina tampaknya justru telah merampok uang kaum miskin untuk dipinjamkan kepada orang kaya di perkotaan, sehingga akhirnya dilakukan reformasi kebijakan untuk merestrukturisasi keuangan perdesaan yang ternyata hasilnya cukup baik, yaitu munculnya kompetisi pelayanan dari lembaga keuangan terhadap masyarakat perdesaan. Oleh karena itu, fenomena menyerbunya lembaga keuangan ke perdesaan perlu disikapi dengan baik dan bijaksana yang disertai pengawasan yang proporsional. Kaitan dengan peran kredit dalam mereduksi kemiskinan, memerlukan pengawasan yang cermat dalam penggunaannya agar tidak terjadi fungibility. Selain itu, pengaruh kredit juga dalam transmisinya memerlukan waktu dan proses yaitu dengan adanya kredit akan menarik kegiatan ekonomi yang akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja. Selanjutnya tenaga kerja akan mendapatkan upah sebagai sumber pendapatan keluarganya dan pada gilirannnya akan meningkatkan daya beli sehingga bisa mendorong keluarga keluar dari kelompok penduduk miskin. 9
Fenomena bahwa kredit investasi pengaruhnya terasa dalam jangka panjang juga terjadi di Afrika Selatan dan di beberapa negara lainnya (ADB,2001; Allen dan Ndikumana, 1998).
Fungsi Intermediasi Lembaga Keuangan Salah satu fungsi dari Lembaga keuangan ialah menjalankan fungsi intermediasi, yaitu menghubungkan antara masyarakat yang memiliki kelebihan dana (surplus) dengan yang kekurangan dana (deficit).
Dengan demikian lembaga
keuangan masuk dalam kategori lembaga jasa, yang kewajibannya memberikan pelayanan sebaik-baiknya terhadap nasabahnya. Seringkali lembaga keuangan di perdesaan kurang memperhatikan pelayanan yang seharusnya diberikan oleh suatu lembaga jasa, bahkan
menempatkan diri
sebagai orang yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan masyarakat. Tentu saja hal ini membuat hubungan antara masyarakat dengan lembaga tersebut menjadi kurang baik. Lembaga keuangan sulit dijangkau, sehingga pada akhirnya masyarakat lebih menyukai lembaga nonformal yang memberikan pelayanan dengan mudah, ramah walaupun mahal. Sebagai lembaga yang menawarkan jasa, lembaga keuangan dalam menjalankan fungsinya harus memenuhi kaidah sebagai lembaga yang memberikan pelayanan yang prima atau berkualitas. Dengan kata lain fungsi intermediasi akan berjalan baik apabila pelayanan yang diberikan berkualitas, dengan asumsi bahwa kualitas pelayanan yang baik akan meningkatkan respon masyarakat untuk menjadi nasabah di lembaga keuangan tersebut. Pendapat mengenai fungsi intermediasi harus dipandang dari sisi pelayanan lembaga keuangan diperkuat dengan Amended theory 10
yang menyatakan bahwa Financial intermediary is an entrepreneurial provider of financial services (Scholtens, B and Van Wensveen, D.M.N, 2000). Adapun untuk menilai kualitas pelayanan suatu Lembaga Jasa, maka menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1995,1998), terdapat lima dimensi yang harus diperhatikan yaitu: tangible, empathy, reliability, responsiveness, assurance. Tangibles merupakan bukti nyata dari kepedulian dan perhatian yang diberikan oleh penyedia jasa kepada konsumen. Pentingnya dimensi tangibles ini akan menumbuhkan image penyedia jasa terutama bagi konsumen baru dalam mengevaluasi kualitas jasa. Lembaga keuangan yang tidak memperhatikan fasilitas fisiknya akan merusak image perusahaan. Empathy merupakan kemampuan lembaga jasa yang dilakukan langsung oleh karyawan untuk memberikan perhatian kepada konsumen secara individu, termasuk juga kepekaan akan kebutuhan konsumen. Jadi komponen dari dimensi ini merupakan gabungan dari akses (acces) yaitu kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan dan komunikasi yaitu kemampuan untuk menyampaikan informasi untuk mengurangi asimetri informasi kepada konsumen untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan konsumen. Reliability atau kehandalan merupakan kemampuan perusahaan untuk memberikan jasa sesuai dengan apa yang telah dijanjikan secara tepat waktu. Pentingnya dimensi ini adalah kepuasan konsumen akan menurun bila jasa yang diberikan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Responsiveness atau daya tanggap merupakan kemampuan perusahaan atau yang dilakukan oleh langsung karyawan untuk memberikan pelayanan dengan cepat dan tanggap. Daya tanggap dapat menumbuhkan persepsi yang positif terhadap 11
kualitas jasa yang diberikan. Termasuk di dalamnya jika terjadi kegagalan atau keterlambatan dalam penyampaian jasa, pihak penyedia jasa berusaha memperbaiki atau meminimalkan kerugian konsumen dengan segera. Assurance atau jaminan merupakan pengetahuan dan perilaku employee untuk membangun kepercayaan dan keyakinan pada diri konsumen dalam mengkonsumsi jasa yang ditawarkan. Dimensi ini sangat penting karena melibatkan persepsi konsumen terhadap risiko ketidakpastian yang tinggi terhadap kemampuan penyedia jasa. Perusahaan membangun kepercayaan dan kesetiaan konsumen melalui karyawan yang terlibat langsung menangani konsumen. Dari koperasi yang diteliti oleh Tuti Karyani (2012) yang mengambil kasus di Garut (KPGS dan KUD Cisurupan) sebagai representasi agroekosistem dataran tinggi, dan di Indramayu yaitu KPL Mina Sumitra dan Koperasi Bina Hasil Tani menunjukkan bahwa secara umum untuk koperasi yang anggotanya memiliki keterkaitan dengan kepentingan sarana produksi dan pemasaran hasil yang dilakukan melalui koperasi, kualitas pelayanannya sudah baik yaitu KPGS, KUD Cisurupan (koperasi peternak sapi)) dan KPL Mina Sumitra (koperasi nelayan), tetapi untuk koperasi Bina Hasil Tani yang anggotanya petani padi masih menunjukkan pelayanan yang kurang baik, selain juga karena petani banyak pilihan menjual hasil padinya (sementara sistim resi gudang belum berjalan dengan baik), demikian juga untuk keperluan sarana produksi, petani padi memilih membeli di toko sarana produksi yang dekat lokasinya. Bila dilihat dari masing-masing aspek pelayanan, maka dari tangible (fisik) Bina Hasil Tani di Haur Geulis pun walaupun ada di bawah bimbingan PT Pertani, kenyataannya koperasi masih jauh dari harapan sebuah koperasi yang ideal. Kantor 12
koperasi bersatu dengan toko foto copy dan waserda yang sama sekali tidak lengkap. Ketimpangan ini juga dirasakan karena bersanding dengan Top Sindo milik Pertani yang menyediakan sarana produksi pertanian. Untuk
reliability (kehandalan), petugas koperasi Bina Hasil Tani dinilai
tidak baik karena karyawan yang melayani dinilai kurang faham dan kurang santun dalam memberikan
penjelasan, sehingga
kesannya
koperasi
seperti
tidak
membutuhkan anggota untuk berpartisipasi. Kesan dan penilaian seperti ini datang dari anggota yang bukan karyawan Pertani tetapi petani sekitar yang menjadi anggota koperasi. Kemudian untuk daya tanggap (responsiveness) karyawan koperasi masih ada yang menilainya kurang baik, bahkan tidak baik
disebabkan masih ada
perlakuan yang berbeda antara yang kenal dan yang masih belum kenal dengan karyawan. Kemudian bila ada masalah/keluhan, masih ada anggota yang merasa masalahnya tidak segera ditanggapi. Petugas lembaga koperasi masih punya sikap menunggu, tidak ada petugas lapangan seperti mantri yang ada di BRI. Selanjutnya dalam penilaian terhadap assurance (keterjaminan) koperasi, ada yang menilai masih kurang terjamin bahkan tidak terjamin, karena seringkali petugas belum mampu menjawab bila ditanya anggota mengenai permasalahan, atau bahkan data mengenai jumlah tabungan secara cepat dan akurat karena kurangnya fasilitas pendukung sistem informasi. Berdasarkan penilaian anggota mengenai empathy, (pemahaman secara individual) anggota
merasa bahwa karyawan secara khusus
tidak pernah memberikan bimbingan, penyuluhan atau pembinaan secara khusus sesuai dengan permasalahan.
Merancangbangun Koperasi Perdesaan Berkelanjutan
sebagai
13
Lembaga
Keuangan
Mikro
Berdasarkan permasalahan dan paradigma LKM yang sudah ada, maka ada bebarapa hal yang harus diperhatikan dalam merancangbangun kelembagaan LKM. Langkah tersebut ialah: (1). Memahami karakteristik bisnis (usaha) calon nasabah yang akan dilayani (2) Memahami paradigma kelembagaan yang sudah ada (3) Merancangbangun lembaga yang baru.
Tabel 2. Karakteristik dari Bisnis Calon Nasabah di Perdesaan Karakteristik Keterangan Keunikan Produk Gestatition period: Bervariasi untuk setiap jenis Pertanian dan UMKM komoditas (musiman, tahunan, dsb) berbasis pertanian Teknologi: bervariasi Supply produk: berfluktuasi baik jumlah maupun kualitas Lokasi Tersebar, sehingga secara fisik tidak terjangkau Skala Usaha: kecil-kecil Biaya transaksi menjadi mahal Risiko Risiko fisik: karena hama penyakit tanaman, penanganan pasca panen Risiko harga Jaminan Sebagian besar tidak punya jaminan sebagai agunan SDM Sebagian besar berpendidikan rendah, tidak bisa mempromosikan produknya sehingga tidak bankable. Kapasitas Kelembagaan Masih lemah Dengan karakteristik seperti ini lembaga keuangan bank yang merupakan lembaga profit oriented, tentunya akan berfikir ulang untuk terjun membiayai sektor ini, sehingga yang terjadi adalah munculnya urban bias atau lebih cenderung membiayai sektor perkotaan seperti perumahan, perdagangan, industri, jasa dan lainlain, missal di Jawa Barat kredit untuk sektor pertanian hanya 1% - 3% dari total kredit. 14
Walaupun saat ini sepertinya terdapat fenomena bank mulai melirik perdesaan, namun perlu didorong agar niatnya lebih tulus, bukan hanya bertujuan mengeksploitasi melalui penarikan
uang dari desa ke kota dengan akal-akalan
pembatasan jumlah pinjaman padahal simpanan yang dihimpun masih lebih besar (dilihat dari LDR yang masih rendah). Cara lainnya ialah bank tetap meminta agunan sekali pun atas kredit yang oleh pemerintah dijamin seperti KUR. Oleh karena itu, dalam merancangbangun Lembaga Keuangan Mikro di Perdesaan perlu diperhatikan bahwa terdapat paradigma baru mengenai keuangan perdesaan yang menganjurkan pendekatan sistem keuangan yang menekankan pada 3 strategi prioritas dalam mengembangkan pasar keuangan perdesaan (Gonzalez Claudio -and Vega. 2003; Zeller, 2003; Nagarajan and Meyer, 2005), yaitu:
Impact
ADVANCES (Institutions, Products, Services, Processes)
Enabling Environment
Outreach
Sustainability
Gambar 1. The Rural Finance Triangle Sumber: Gonzales Claudio and Vega, 2003; Zeller, 2003; Nagarajan and Meyer, 2005)
15
(i) Menciptakan lingkungan kebijakan yang menguntungkan, termasuk stabilitas ekonomi makro serta penurunan
kebijakan yang bias
terhadap sektor
perdesaan; (ii) Penguatan kerangka hukum dan peraturan kerja, termasuk meningkatkan dasar hukum untuk transaksi yang terjamin yang dapat memberikan berbagai pelayanan jasa keuangan, tidak hanya sekedar kredit. (iii) Membangun kapasitas LKM yang berorientasi tidak hanya pada kredit tetapi juga berorientasi pada pelayanan demand-driven ,misalnya variasi tabungan, dan jasa keuangan lainnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa segi tiga paradigma baru
LKP bersandar pada
pemikiran dan ide berikut: a. Bahwa masyarakat perdesaan dapat bankable melalui lembaga yang tepat dan dengan produk dan jasa yang dirancang cocok untuk kondisi perdesaan . b. Kredit adalah hanya salah satu pelayanan keuangan yang diminta oleh nasabah perdesaan. c. Tujuan yang diinginkan untuk lembaga keuangan perdesaan mencakup memaksimalkan jangkauan dan mencapai kesinambungan dalam rangka membuat dampak terbesar pada kehidupan masyarakat perdesaan. d. Kemajuan pada lembaga, produk dan jasa serta pelayanan keuangan sehingga tidak menghambat transaksi keuangan di daerah perdesaan. Kemajuan tersebut didukung oleh lingkungan berupa dukungan kebijakan ekonomi makro. Masih mengacu pada paradigma baru LKM , maka langkah berikutnya ialah merancangbangun monetisasi perdesaan antara lain melalui penguatan 16
koperasi
sebagai lembaga kuangan mikro yang melaksanakan fungsi intermediasi. Hal ini disebabkan karena koperasi merupakan salah satu lembaga ekonomi yang juga bisa dijadikan lembaga keuangan yang diharapkan menjadi salah satu ujung tombak untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Usaha simpan pinjam merupakan salah satu usaha koperasi
yang telah
berakar dan dikenal secara luas oleh anggota koperasi dan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan PP No 9 Tahun 1995, kegiatan usaha simpan pinjam adalah kegiatan yang dilakukan untuk menghimpun dan menyalurkan dana melalui kegiatan usaha simpan dari dan untuk anggota koperasi, calon anggota, koperasi lain dan atau anggotanya. Dengan demikian koperasi simpan pinjam merupakan salah satu usaha lembaga keuangan non bank yang tumbuh sebagai lembaga keuangan alternatif karena sulitnya masyarakat terutama UMKM untuk mengakses sumber permodalan dari perbankan. Selama ini sebenarnya terdapat hubungan antara koperasi dengan perbankan sebagai lembaga intermediasi.
Paradigma yang muncul dalam hubungan
kelembagaan bila mengadaptasi konsep intermediasi dari Van der Meuleun et al (2005)
yang mengacu pada teori agensi dapat digambarkan sebagaimana dapat
dilihat pada Gambar 2
Paradigma lama hubungan Koperasi dengan Bank
17
Principal
BANK
Agent
ANGGOTA KOPERASI
KOPERASI
Principal
Principal
Gambar
BANK
BANK
Agent
Agent
manajemen
Manajemen
KOPERASI
Manajemen
1
ANGGOTA
2
ANGGOTA
3
2. Paradigma Lama Keterkaitan Bank (Intermediaries Institutions), Koperasi dan Anggotanya (dimodifikasi dari Van der Meulen, et.al, 2005)
Skema 1, koperasi bertindak sebagai mediator antara anggota dengan bank. Pada skema ini terdapat kerjasama bank dengan koperasi yang memfasilitasi pemanfaatan jasa pelayanan perbankan bagi anggota koperasi, misalnya gaji, dana pensiun, dana asuransi jiwa, dan simpanan anggota. Anggota memiliki otoritas individu dalam memanfaatkan jasa layanan perbankan dan memperoleh nilai tambah lebih jika berstatus pula sebagai anggota koperasi. Koperasi mendapatkan manfaat dari ikatan kerjasama dengan bank dan manfaat kepercayaan layanan operasional terhadap anggota, sehingga meningkatkan rasa memiliki, meningkatkan motivasi anggota untuk menyimpan uangnya di koperasi, memanfaatkan unit usaha layanan koperasi (waserda, sarana produksi, pembayaran listrik simpan-pinjaman, perumahan, dan lain lain). Skema ini menunjukkan terdapat hubungan simbiosis mutualistik antara bank dengan koperasi dan antara koperasi dengan anggotanya.
18
Skema 2, menunjukkan belum adanya keterpaduan hubungan antara bank dengan koperasi dan koperasi dengan anggotanya. Pada skema ke-2, koperasi melakukan hubungan yang erat dengan bank dan hanya menempatkan anggota sebagai pihak konsumen. Pada kondisi ini, koperasi juga berposisi sebagai kepanjangan tangan dan kaki tangan pihak perbankan, koperasi menjadi “broker” antara bank dengan anggota,
sehingga koperasi cenderung bertindak sebagai koperasi papan nama.
Selain itu yang lebih parah lagi bila didalamnya juga sarat dengan kepentingan politik dan koperasi mencari keuntungan dari anggotanya. Skema 3, koperasi memiliki hubungan yang kuat dengan anggota tetapi koperasi tidak memiliki akses ke perbankan. Pada kondisi ini koperasi kurang atau bahkan tidak mendapat kepercayaan dari perbankan walaupun koperasi berinteraksi kuat dengan anggota. Bank hanya berkenan berhubungan dengan koperasi bila adanya jaminan dari pengurus koperasi, pada kondisi ini prudential bank dibebankan atas koperasi. Oleh karena itu bila tidak ada lembaga lain yang muncul sebagai penjamin (Perum Pengembangan Keuangan Koperasi) misalnya maka koperasi tidak diberi kepercayaan untuk menyalurkan kredit perbankan. Skema 4. Paradigma baru merancangbangun LKM (yang disarankan) Hubungan koperasi dengan bank ialah bahwa bank merupakan unit usaha yang dimiliki oleh koperasi, dengan kata lain terdapat bank koperasi.
19
Anggota
Bank Koperasi Manajeme n
masyarakat
Gambar 3. Pemanfaatan Koperasi sebagai Pemilik Bank (LKM)
Model LKM ini mirip dengan Rabbo Bank di Belanda yang dimiliki oleh koperasi, BAAC (Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives) yaitu Bank Pembangunan Pertanian yang dimiliki Pemerintah Thailand.
Pemilik adalah
anggota, dan bank dengan petugasnya sebagai agen yang memiliki fungsi intermediasi terutama dalam penguatan modal anggota yang kemudian memperluas jangkauannya baik secara fisik untuk calon-calon anggota dan masyarakat secara umum. Anggota merupakan pemilik sekaligus penggunanya, namun selain anggota LKM lebih memperluas pelayanan kepada masyarakat umum, tanpa melupakan anggota. Ada beberapa hal yang perlu perhatian, pengawasan dan pembenahan yang terjadi di lapangan, bahwa banyak pemilik BPR yang menamakan diri koperasi, tetapi sesungguhnya menodai prinsip-prinsip koperasi. Koperasi hanya milik 20 orang anggota yang sebenarnya hanya keluarga saja, dan mereka menjual jasa keuangan ke masyarakat dengan biaya transaksi dan bunga yang tinggi. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk ikut sebagai anggota pemilik, bahkan terkesan menjadi bahan eksploitasi.
20
Koperasi sebagai lembaga jasa, seharusnya memberikan pelayanan secara maksimal kepada anggota baik sebagai pemilik dan pengguna tanpa dibebani biaya transaksi. Koperasi hanya akan mendapat fee dari pelayanan yang diberikan kepada anggota, adapun biaya transaksi hanya dibebankan kepada bukan anggota. Pada koperasi sebagai pemilik bank atau yang mempunyai unit simpan pinjam, selain koperasi memberi pelayanan kredit juga bisa memberikan fasilitas sistem pembayaran melalui bank koperasi, sehingga memudahkan transaksi serta lebih aman dibandingkan dengan transaksi yang sifatnya tunai. Untuk menguatkan permodalan LKM milik koperasi, maka diperlukan modal penyertaan dari pemerintah dengan memanfaatkan dana padanan (MAP). Sumber lain yang memungkinkan untuk pengembangan modal koperasi diusulkan agar kredit-kredit program yang disediakan pemerintah seperti program KUR, KKP, KCR dan kredit program lainnya hendaknya disalurkan melalui LKM milik koperasi baik langsung atau melalui linkage program dengan perbankan lain. LKM juga dapat dijadikan sebagai penampung dana kredit Bansos (Bantuan Sosial) yang bersumber dari APBN maupun APBD. LKM yang sifatnya unit system, akan lebih mengenal nasabahnya karena para petugasnya diangkat dari masyarakat sekitarnya. Untuk keamanan kredit, maka diperlukan lembaga penjamin kredit baik yang selama ini secara khusus ada untuk koperasi yaitu Perum Pengembangan Keuangan Koperasi (PPKK) maupun berupa Lembaga Penjamin Kredit Daerah (LPKD) yang merupakan bentukan pemerintah daerah. Namun demikian, sekecil apa pun risiko yang akan ditanggung, maka tetap harus diantisipasi agar tidak terjadi, yaitu dengan cara melakukan pembinaan dan sekaligus pengawasan kredit agar sesuai dengan tujuan kreditnya. 21
Simpulan 1. Fungsi intermediasi LK yang ditunjukkan dari jumlah kredit yang disalurkan, berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, yaitu semakin besar nilai kredit yang disalurkan maka kemiskinan akan berkurang. Hal ini menunjukkan relevansi yang kuat dengan teori Nurkes yaitu investasi (dalam hal ini melalui kredit) dapat memutus rantai kemiskinan. 2. Berdasarkan penilaian dari nasabah, fungsi intermediasi koperasi secara keseluruhan sudah baik, namun sebenarnya apabila dianalisis lebih dalam dengan menilai pelayanan masing-masing koperasi maka nampak bahwa koperasi pada hasil usahtani padi yang kurang baik, adapun untuk koperasi yang berkaitan dengan pelayan kebutuhan produksi dan pemasaran tergolong sudah baik. 3. Rancangbangun lembaga keuangan di perdesaan yang terbaik ialah LKM yang dimiliki koperasi, karena sifatnya unit system sehingga lebih mengenal nasabahnya dengan baik, terhindar dari leakages (kebocoran) sumber dana ke luar desa, serta lebih mudah dalam pembinaan dan pengawasan. Walaupun demikian
untuk
keterjaminan, masih tetap memerlukan Lembaga Penjamin Kredit seperti Perum PKK ataupun LPKD. Saran 1.
Untuk memelihara eksistensi koperasi menjadi LKM yang berkelanjutan,
maka LKM harus terus meningkatkan kualitas pelayanan untuk memenangkan persaingan dengan para pemain baru. Oleh karena itu peran agen seperti Mantri (di BRI Unit) perlu disediakan koperasi, sebagai upaya jemput bola yang ternyata peran mantri ini sebagai ujung tombak kesuksesan BRI Unit. Selain upaya mengenal 22
anggota dan usahanya sekaligus juga dapat dijadikan upaya pengawasan kredit agar tidak terjadi fungibility.. 2.
Untuk meningkatkan aksesibilitas dan outreach dunia usaha ke pelosok
diperlukan penyediaan infrastrukur yang memadai seperti sarana transportasi dan jaringan komunikasi dan jaminan keamanan. Kualitas birokrasi daerah juga perlu ditingkatkan sedemikian rupa sehingga memiliki paradigma melayani bisnis. 3.
LKM perlu menerapkan lebih fleksibel cara pembayaran kembali kredit
perdesaan disesuaikan dengan tipe usaha anggota. Penerapan teknik pembayaran kredit „yarnen‟ pada usahatani perlu dikembangkan terus dengan penyesuaian bunga sesuai lama pinjaman. 4.
Mobilisasi tabungan sebagai sumber permodalan sekaligus merupakan
edukasi bagi masyarakat untuk hidup hemat dan meningkatkan pemupukan modal. Upaya jumput bola tabungan juga perlu dilakukan oleh petugas lapangan, selain menagih angsuran kredit. 5.
Pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap LKM yang pemiliknya
mengaku sebagai koperasi tetapi tidak menerapkan prinsip koperasi, karena hal ini akan merusak citra koperasi. 6.
Untuk meminimalisir risiko tidak kembalinya kredit, maka diperlukan Tim
Teknis yang memberikan pembinaan dan pendampingan kepada petani dan UMKM yang mendapat kredit. Tim Teknis ini yang sudah ada misalnya BDS (Business Development Service). Khusus untuk keberhasilan usahatani secara teknis, maka peran PPL lebih ditingkatkan lagi dengan senantiasa mengikuti perkembangan teknologi dan informasi melalui upaya capacity building.
23
24
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Burhanudin , 2006. Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan. Jakarta: LP3ES. ADB. 2001. Finance for the Poor: Microfinance Development Strategy. Manila. Asian Development Bank. Ajai Nair, Renate Kloeppinger-Todd, 2007. Reaching Rural Areas with Financial Services:Lessons from Financial Cooperatives (FCs) in Brazil, Burkina Faso, Kenya, and Sri Lanka Allens, Donald S dan Leonce Ndikumana .1998. Financial Intermediation and Economic Growth in Southern Africa. Working Paper 1998-004B. Melalui: http://research.stlouisfed.org/wp/1998/98-004.pdf federal reserve bank of st. Louis Bank Indonesia, 2012. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Jawa Barat Triwulan I V,2011. Kantor Bank Indonesia. Jawa Barat. ______, 2010. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, Maret 2009. Jakarta De Soto, Hernando. 2000. The Mystery of Capital. New York: Basic Books Gonzalez Claudio -and Vega. 2003. Stages In The Evolution Of Thought On Rural Finance. Economics and Sociology. Occasional Paper No. 2134. Hamid E.S. 1986. Dalam Seminar. Kredit Perdesaan di Indonesia. Mubyarto dan Edy Suandi Hamid (Eds.). Yogyakarta: BPFE . Nagarajan, Geetha and Richard L. Meyer. 2005. Rural Finance: Recent Advances and Emerging Lessons, Debates and Opportunities. Reformatted version of Working Paper No. (AEDE-WP-0041-05), Department of Agriculture, Environmental, and Development Economics, The Ohio State University (Columbus, Ohio, USA)
Nurkse, Ragnar. 1957. Problem of Capital Formation in Underdeveloped Countries, Oxford : Oxford University Press Pantoro, Setyo. 2008. Pendekatan Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan Implikasinya. Koran-rakyat-online. Parasuraman, A. Valarie, A. Zeithaml, & L. Berry, 1998. Communication and Control Processes in the Delivery of Service Quality, Journal of Marketing, Vol. 52,pp.35-48.
25
Pei Guo, 2009. The structure and reform of rural Finance in China. China Agricultural Economic Review, Vol. 1 No. 2, 2009, Emerald Group Publishing Limited. Center for Chinese Agricultural Policy, China Academy of Sciences,Beijing, People‟s Republic of China. Beijing. Scholtens, B., and van Wensveen, D.M.N. (2000). A Critique on The Theory of Financial Intermediation, Journal of Banking and Finance 24, 1243-1251 Seibel Hans Dieter, 2000. Poverty reduction and Rural Finance: From unsustainable programs to sustainable institutions with growing outreach to the poor. Sumodiningrat, Gunawan. 2003. Peranan Lembaga Keuangan Mikro dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait dengan Kebijakan Otonomi Daerah. Artikel Tahun II no. 1 Jurnal Ekonomi Pertanian. Soekirno, S., 1981, Pengantar Teori Makroekonomi, Jakarta: Penerbit FE UI. Syukur , M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit Rumah Tangga Miskin. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB. Tampubolon, S.M.H. 2002. Kredit Untuk Petani. Dalam Suara dari Bogor: Sistem & Usaha Agribisnis: Kacamata Sang Pemikir. Harianto R Pambudy. Tungkot S dan Burhanudin (Eds). Bogor. Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE Foundation. Tuti Karyani, 2011. Fungsi Intermediasi Lembaga Keuangan Perdesaan Dalam Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian di Jawa Barat.Disertasi. Unpad. Bandung. Van der Meuleun B, Maria Nedeva, Dietmar Braun. 2005. Intermediaries Organisation and Processes: theory and research issues. Position Paper for PRIME Workshop, 6-7 October 2005, The Netherlands Zeithaml, Valerie A, Leonard L., Berry and A,Parasuraman (1996), The Behavioral Consequences of Service Quality, Journal of Marketing, Vol. 60, pp.31-46. Zeller, Manfred. 2003. “Models of Rural Finance Institutions.” Paving the Way Forward for Rural Finance: An International Conference on Best Practices, June 2003
26
PENINGKATAN FUNGSI INTERMEDIASI KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DI PERDESAAN DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN
ARTIKEL ILMIAH
Oleh : Burhan Arief Tuti Karyani
Disajikan dalam Rangka Dies Natalis IKOPIN 2012
27