FENOMENA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN EKONOMI PERDESAAN Rachmat Hendayana dan Sjahrul Bustaman Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor
Abstract In the early of 2007, an empirical study investigating the performance of Micro Finance Institution (MFI) in rural economic development perspective has been conducted in Java and off Java. The study applied PRA approach using group interview and individual in-depth interview techniques, involving the MFI board and customers. Using qualitative descriptive type of analysis, the study revealed the following: (a) The MFI has an advantage as one of the government policy instruments for income improvement through the implementation of accommodative scheme by understanding the farmer’s characteristics, that is Non Bank Non Cooperative (NBNC), (b) Critical factors in the development of MFI are focused on MFI human resource, institution legality, perception and appreciation of MFI customers/farmers and seed capital, (c) The development of MFI perspective should depend on the capability of MFI to maximize its strength and opportunity and minimize its weaknesses and avoid threats, (d) To optimize MFI as a government policy instrument, participative approach is needed and should be supported by MFI human resource by enhancing the capability of its management. The strategic approach to establish MFI initiative is based on the people needs considering the existence of critical factors. For the current MFI, the good strategies for its development is to optimize the “perceived value”. Key words: MFI, critical factors, participative, perceived value and seed capital. Abstrak Suatu pengkajian empiris tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang bertujuan untuk mengetahui kinerja LKM dalam perspektif pembangunan ekonomi perdesaan telah dilakukan di Jawa dan Luar Jawa pada awal tahun 2007 melalui pendekatan pemahaman perdesaan secara partisipatif menggunakan metode group interview dan individual indepth interview melibatkan pengurus dan pengguna LKM. Dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif terhadap LKM contoh yang dipilih secara sengaja, diperoleh gambaran sebagai berikut: (a) LKM masih berpeluang untuk dijadikan instrumen kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian menuju peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dengan menerapkan Skim yang akomodatif terhadap karakteristik masyarakat tani yakni pola Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K), (b) Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek sumberdaya manusia pengelola LKM, legalitas kelembagaan, persepsi dan apresiasi petani/nasabah, dan dukungan seed capital. (c) Perspektif pengembangan LKM akan sangat tergantung pada kemampuan LKM memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan unsur kelemahan dan menekan ancaman yang muncul. (d) Untuk dapat mengoptimalkan LKM sebagai intrumen kebijakan pemerintah yang efektif dan efisien diperlukan pendekatan secara partisipatif, diikuti penyiapan SDM pengelola LKM yang kapabel, memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan menekan ancaman dalam pengembangan LKM. Langkah strategis untuk memprakarsai pembentukan LKM selain harus didasarkan pada aspek kebutuhan masyarakat dan berbasis kelompok yang terseleksi juga harus mempertimbangkan adanya faktor kritis pengembangan LKM. Bagi wilayah yang sudah ada LKM tetapi akses petani masih rendah, langkah strategis yang perlu dilakukan adalah mengoptimalkan “perceived value”. Kata kunci : LKM, faktor kritis, partisipatif, perceived value, seed capital
PENDAHULUAN Tumbuh dan berkembangnya LKM di Indonesia tidak terlepas dari dinamika pembangunan ekonomi serta pengaruh faktor luar. Salah satu pendorong yang mengilhami perkembangan LKM di Indonesia, adalah keberhasilan Muhammad Yunus dalam mengembangkan LKM di Banglades yang terkenal de-
ngan Grameen Bank (GB). Model GB banyak di lihat orang sebagai suatu model pendekatan yang sukses dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan peran perempuan, sehingga banyak pihak yang mereplikasi metode GB tersebut (Anonim, 2007). Replikasi pola GB di Indonesia terjadi tahun 1989 di Nanggung Jawa Barat, diprakarsai Puslitbang Sosek Pertanian Badan Litbang Pertanian. Pengelolaan selanjutnya
29
dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Usaha Mandiri (YPKUM). Replikasi berikutnya dilakukan di beberapa daerah lain seperti Tangerang, di wilayah pasang surut Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan tempat lain yang belum teridentifikasi. Bagi Indonesia, persoalan keuangan mikro bukan hal baru. Pengelolaan Lembaga Keuangan Mikro sudah berkembang sejak lama dan telah menjadi topik pembicaraan para pakar dan praktisi ekonomi kerakyatan seperti antara lain Martowijoyo (2002), Sumodiningrat (2003), Budiantoro (2003), Ismawan (2002), Syukur (2002) dan lain-lain dalam momentum penanggulangan kemiskinan. Menurut Wijono (2005), LKM sudah banyak dibentuk dan tersebar mulai dari perkotaan sampai perdesaan, atas prakarsa pemerintah, swasta maupun kalangan lembaga swadaya masyarakat dalam bentuknya yang formal, non formal, sampai informal dengan karakteristiknya masing-masing. Meskipun karakteristik LKM beragam, namun fungsinya sama sebagai intermediasi dalam aktivitas suatu perekonomian. Banyak pihak meyakini LKM sebagai suatu alat pembangunan yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan karena layanan keuangan melalui LKM memungkinkan orang kecil dan rumah tangga berpenghasilan rendah untuk memanfaatkan peluang ekonomi, membangun aset dan mengurangi kerentanan terhadap goncangan eksternal. LKM menjadi alat yang cukup penting untuk mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu: menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan (Anonim, 2007). Menurut Martowijoyo (2002) dan Syukur (2006) gaung peranan kredit mikro untuk penciptaan lapangan kerja mandiri guna mengurangi kemiskinan ini mulai berkembang luas di dunia sejak ikrar Microcredit Summit di Washington DC, 1997. Permasalahannya adalah walaupun di lingkungan masyarakat telah banyak tumbuh dan berkembang LKM, namun kesenjangan antara permintaan dan penawaran layanan LKM masih tetap ada, faktanya di sektor pertanian pemenuhan kebutuhan permodalan bagi petani masih selalu menjadi persoalan (Retnadi, 2003). Kondisi tersebut mengundang persoalan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah kinerja LKM dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pelayanan jasa keuangan
30
bagi masyarakat tani?; (2) Apa saja faktorfaktor yang mempengaruhi pengelolaan LKM, (3) Bagaimanakah perspektif pembentukan dan pengembangan LKM dalam perspektif pembangunan perdesaan dan (4) Bagaimanakah langkah strategis yang harus ditempuh dalam pembentukan dan pengembangan LKM sehingga dicapai tingkat efektifitas dan efisiensi yang tinggi. Makalah secara umum bertujuan untuk membahas fenomena LKM dan perspektifnya dalam pembangunan ekonomi perdesaan. Secara spesifik bertujuan: (1) mengungkap keberadaan LKM dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pelayanan jasa keuangan bagi masyarakat tani?; (2) mengungkap faktorfaktor yang diduga mempengaruhi pengelolaan LKM; (3) mengungkap fenomena keberadaan LKM dalam perspektif pembangunan perdesaan; dan (4) menyusun langkah strategis dalam pembentukan dan pengembangan LKM yang efektif dan efisien. Hasil pembahasan akan berguna selain untuk melengkapi wacana LKM yang sudah ada, juga menjadi bahan masukan dalam penyusunan kebijakan terkait pembangunan ekonomi perdesaan ke depan. METODOLOGI Lokasi Kegiatan Pengkajian dilakukan terhadap empat belas LKM contoh yang dipilih secara sengaja dari empat provinsi yaitu DI Yogyakarta, Jatim, NTB dan Sulsel. Tabel 1. LKM Contoh di Lokasi Pengkajian, 2007 Lokasi DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Selatan
Nama LKM contoh 1. BUKP Kec. Tempel 2. Kelompok Tani Duri Kencana 3. Koperasi Susu Warga Mulya 4. UPPKP Kab. Gunung Kidul 5. Kelompok Tani Argo Mulyo, Cangkringan, Sleman 6. Kelompok Tani Pasrujambu 7. KUD Tani Makmur 8. BMT Jamiah 9. Koperasi Tani Wiresinge 10. KSU Karya Terpadu 11. Kelompok Tani Karya Harum 12. BRI Unit Bajo 13. Koperasi Pertanian Sukamakmur 14. LKM Amanah
Responden Responden adalah nasabah, calon nasabah dan pengurus LKM. Besar ukuran contoh dari nasabah dan calon nasabah 80 orang, dipilih secara acak sederhana di empat lokasi pengkajian. Sedangkan besar ukuran contoh dari pengurus LKM ditentukan secara insidental sesuai kondisi LKM contoh. Jenis dan Sumber Data Data primer dikumpulkan dari nasabah dan calon nasabah meliputi karakteristik individu, jenis usaha dan persepsinya terhadap LKM sedangkan dari pengurus LKM terkait dengan profil ke organisasian yaitu pengkategorian LKM, historis pembentukan, dimensi organisasi LKM, pengembangan skema perkreditan, dan unsur-unsur keberlanjutannya. Pengumpulan data dilakukan melalui kombinasi pendekatan wawancara individual (survey) menggunakan kuesioner, telaah mendalam dan diskusi kelompok. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber kepustakaan dan pelaporan yang terkait dengan pengembangan pelayanan jasa keuangan mikro, meliputi kondisi sosial ekonomi wilayah kajian dan review skim kredit LKM. Analisis Data Secara garis besar analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, dipertajam dengan analisis Structure Conduct Performance (SCP). Untuk mengungkap perspektif LKM dalam pembangunan ekonomi perdesaan, dilakukan pendekatan pada aspek kekuatan (strengthen), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity ) dan ancaman (threat ) atau disingkat SWOT. HASIL DAN PEMBAHASAN Eksistensi Lembaga Keuangan Mikro Historis Pembentukan LKM Secara historis, LKM di lokasi pengkajian ada yang sudah berdiri semenjak tahun 1971 tetapi ada juga yang berdiri baru setahun lalu (2006). Menurut latar belakang pendiriannya secara global dibedakan oleh dua kondisi
yakni berdiri atas inisiatif warga dan inisiatif pihak luar. Inisiatif warga selain didasarkan pada kebutuhan untuk mendukung kegiatan usaha ekonominya, juga adanya keperluan untuk fasilitasi penerimaan bantuan pihak luar. Sedangkan inisiatif dari pihak luar muncul karena berbagai alasan, diantaranya sebagai pengembangan usaha, dan keperluan mensukseskan program pembangunan yang belum tentu dibutuhkan warga setempat. Berdasarkan pengelompokkan kategori LKM versi Bank Indonesia, dari 14 LKM contoh teridentifikasi sekitar 50 persen termasuk dalam kategori Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K), sisanya tergolong dalam kategori LKM Koperasi dan LKM Bank (Tabel 2). Pengelompokkan LKM tersebut terutama dilihat dari kelengkapan administrasi LKM antara lain SK pembentukan LKM. Jika tidak didukung SK pembentukan, indikatornya dapat dilihat dari laporan kegiatan LKM. Kriteria itu lebih didasarkan pada keterkaitan dengan pembinaan operasional kelembagaannya. Dalam hal ini LKM Bank pembinaan operasionalnya berada di bawah Bank Indonesia, sedangkan LKM bukan Bank berada di luar pembinaan Bank Indonesia. Dimensi Organisasi LKM LKM sebagai sebuah organisasi memiliki dua dimensi utama yakni dimensi struktural dan kontekstual. Menurut Sobirin, (2007) dimensi struktural ditunjukkan oleh formalitas organisasi, spesialisasi dalam pencapaian sasaran, standarisasi kerja, hirarhi organisasi, kompleksitas organisasi, sentralisasi pengambilan keputusan, dukungan profesionalime pengurus dan rasio personil pendukung struktur organisasinya. Sedangkan dimensi kontekstual, dilihat dari ukuran atau besarnya organisasi, teknologi yang digunakan, lingkungan organisasi dan tujuan dan strategi organisasi. (Tabel 3). LKM yang memiliki dimensi struktural tinggi, sudah memiliki dukungan fasilitas fisik sebagai sarana kegiatan yang memadai, sedangkan LKM yang dimensi strukturalnya sedang dan rendah umumnya belum didukung fasilitas fisik, sehingga keberadaannya tidak segera dapat dikenali orang luar. Kelompok LKM ini baru didukung struktur organisasi secara normatif.
31
Tabel 2. Historis Pembentukan dan Kategori LKM Nama LKM
Tahun Berdiri
BRI Unit Bajo Kop. Pertanian Sukamakmur
2005 1999
LKM Amanah Kel.Tani Pasrujambe KUD Tani Makmur BMT Jami’ah Koperasi Tani Wiresinge KSU Karya Terpadu
2005 2006 1971 2002 1999 1998
Kel.Tani Karya Harum BUKP Kec. Tempel UPPKP Kel.Tani Cangkringan Kel. Tani Duri Kencana Kop. Susu Warga Mulya
1994 1987 2006 2004 2003 1998
Latar Belakang Pembentukan SK Dir. BRI Cab. Palopo Dinas Perindagkop Kab.Luwu No. 145/BH/KDK.209/VII/1999. Respon terhadap BLT Inisiatif BPTP, mendukung Prima Tani Aspirasi Petani Kopi Aspirasi Tokoh Masy.Islam setempat Aspirasi Anggota Kelompok Tani Pengembangan P4K (Proyek Pembinaan Petani Kecil) Gagasan Masyarakat Setempat Inisiatif Pemda DIY Inisiatif Pemda Gunung Kidul Inisiatif Dinas Pertanian Sleman Inisiatif Petani Salak Inisiatif Peternak
Kategori LKM Bank Koperasi B3K B3K Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi B3K B3K B3K B3K B3K Koperasi
Tabel 3. Dimensi Organisasi LKM Nama LKM BRI Unit Bajo Kop. Pertanian Sukamakmur LKM Amanah Kel. Tani Pasrujambe KUD Tani Makmur BMT Jami’ah Koperasi Tani Wiresinge KSU Karya Terpadu Kel. Tani Karya Harum BUKP Kec. Tempel UPPKP Kel. Tani Cangkringan Kel. Tani Duri Kencana Kop. Susu Warga Mulya
Dari sisi dimensi kontekstual, jangkauan layanan LKM di lokasi pengkajian berkisar pada satu desa (8 unit), satu kecamatan (3 unit) dan selebihnya sebanyak 3 unit jangkauannya mencapai satu kabupaten. Skim Perkreditan LKM Skim perkreditan adalah unsur paling substansial dalam pengelolaan LKM karena dapat menjadi faktor determinan atau penentu
32
Struktural Tinggi Sedang Rendah Sedang Sedang Tinggi Sedang Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Rendah Sedang Sedang
Dimensi LKM Kontekstual Satu Kabupaten Satu Desa Satu Desa Satu desa Tiga Kecamatan Satu Kecamatan Satu Desa Satu Kabupaten Satu Dusun Satu Kecamatan Satu Kabupaten Satu Desa Satu Desa Satu desa
keberlanjutan dan perkembangan LKM. Skim perkreditan merupakan bagian dari pasar kredit yang penerapannya berhubungan dengan segmentasi pasar kredit. Berkenaan dengan skim perkreditan LKM, hasil observasi di lapangan mengidentifikasi ada 6 pola skim yang dijalankan oleh 14 LKM contoh, yakni skim pola bank konvensional, pola koperasi, Grameen Bank, pola bergulir, PUKK, dan pola UPPKP. Ke enam pola skim itu dapat disederhanakan ke
dalam tiga kelompok skim, yakni (a) Skim Pola Bank, (b) Skim Pola Koperasi, dan (c) Skim Pola Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K). Masing-masing skim tersebut memiliki karakteristik yang spesifik, terutama menyangkut sasaran nasabah, persyaratan peminjaman, prosedur peminjaman, mekanisme pengembalian, jangka waktu pinjaman, penentuan besarnya jasa/ bunga/partisipasi dll. Ditinjau dari sasaran nasabah, masingmasing LKM melayani segmen nasabah tertentu. Hasil observasi di lapangan terungkap 10 unit LKM dari 14 LKM contoh memiliki saranan sepenuhnya untuk mendukung kegiatan pertanian, dan selebihnya yang 4 unit LKM lainnya yakni BRI Unit di Sulsel, KSU Karya Terpadu di NTB, BMT Jamiah di Jatim dan BUKP di DIY sasarannya tidak sepenuhnya petani akan tetapi juga mencakup kegiatan ekonomi di luar pertanian. Persyaratan peminjaman juga bervariasi, namun secara garis besar dapat dikelompokkan pada tiga pola yakni pola bank konvensional, pola koperasi, pola bukan bank bukan koperasi. Perbedaan dari ketiga pola terletak pada penjaminan, keharusan berkelompok, keharusan memiliki rekening di bank, keharusan membuat Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), keharusan untuk menabung dan keharusan menyatakan ikrar secara lisan. Mekanisme pengembalian pinjaman keragamannya terletak pada tatacaranya yang dapat dilakukan langsung oleh individu peminjam kepada LKM, dan melalui kelompok tani. Sementara itu keragaman skim lainnya terungkap pula dari besarnya bunga. Dalam hal ini kecuali yang diberlakukan LKM Bank, dan BMT, besarnya bunga tidak memiliki angka yang standar. Masing-masing menetapkan besaran bunga sesuai kesepakatan diantara pengurus LKM dengan nasabah. Keragamannya terjadi antara 0,5 - 3 persen per bulan atau 6 36 persen per tahun. Dari sisi lamanya jangka waktu pinjaman keragaman yang terjadi lebih dipengaruhi oleh besarnya pinjaman. Keragaman yang terjadi antara 12 bulan hingga 36 bulan. Sementara itu untuk besarnya pinjaman, keragaman yang terjadi sangat signifikant. Pada LKM Bank, besarnya pinjaman tergantung pada kemampuan penjaminan. Pada LKM pola Koperasi tergantung pada nilai besarnya kon-
tribusi simpanan wajib dan simpanan pokok, sedangkan pada LKM pola B3K ditentukan sepihak oleh pihak pengelola. Pada pola B3K ini kemampuan memberikan pinjaman tergantung pada seed capital yang dikelolanya. Pada LKM pola B3K yang sudah mampu membangun linkage program dengan sumber permodalan misalnya dengan BUMN, PNM, dan sumber lain memiliki kemampuan lebih besar dibandingkan dengan LKM yang tidak memiliki hubungan dengan sumber modal lainnya. Jika ditinjau dari jenis pasar kreditnya terbagi pada pasar kredit formal (program dan non program) dan pasar kredit non formal. Dari 14 LKM contoh, terdapat satu LKM yang menjalankan skimnya berdasarkan pada pola pasar kredit formal yang non program yaitu LKM di Sulsel. LKM yang menjalankan pasar kredit formal dengan status program dijalankan oleh UPPKP, PUKK, dan Kelompok tani di Sleman. Selebihnya bersifat pasar kredit non formal. Dari kondisi skim LKM di lokasi pengkajian, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa jaminan keberlanjutan dari sisi viabilitas finansial melalui penerapan skim hanya terlihat pada LKM pola Bank dan pola koperasi. Sementara untuk pola B3K diperlukan upaya ekstra untuk mendukung keberlanjutannya, utamanya berhubungan dengan seed capital. Faktor Kritis Pengelolaan LKM Faktor kritis pengelolaan LKM pada intinya terletak pada unsur-unsur sumberdaya manusia, landasan hukum operasional LKM dan Seed capital. Dukungan Sumberdaya Manusia Pengelola LKM Pengelolaan LKM perlu ditangani secara profesional karena menyangkut spesialisasi pengelolaan keuangan yang rumit. Bagi LKM Bank, unsur SDM pengelola sudah memiliki kualifikasi standar. Tetapi pada LKM Koperasi dan B3K hampir sebagian besar belum memiliki ketentuan standar yang baku. Kepengurusan LKM lebih banyak didasarkan pada kewibawaan figur individu. Kondisi demikian sangat riskan ketika harus menghadapi kompetisi sehubungan dengan terjadinya perkembangan ekonomi ke depan.
33
Landasan Hukum Operasional LKM Kegiatan pengelolaan dana masyarakat melalui LKM harus mendapatkan jaminan hukum dan secara nasional undang-undang tentang LKM sedang diupayakan. Ketiadaan payung hukum tersebut membatasi ruang gerak usaha pengembangan LKM karena terbatas oleh ketentuan dalam UU no 10/1998 Tentang Perbankan. Legalisasi yang dijadikan landasan gerak LKM oleh 14 unit LKM contoh beragam sesuai dengan pola yang dikembangkan. Dalam hal ini untuk LKM Bank, dasar hukumnya mengacu ada UU No 10/1998; LKM Koperasi mengacu UU No 12 tentang Perkoperasian yang implementasinya difasilitasi melalui Kantor Koperasi di masing-masing wilayah kerja LKM dalam Bentuk Badan Hukum (BH). Semua LKM Koperasi yang menjadi contoh dalam pengkajian sudah memiliki nomor BH Koperasi. Bagi LKM dengan pola B3K, legalisasinya tergantung pada institusi yang memprakarsai tumbuhnya LKM tersebut. Legalisasinya ada yang berupa SK Bupati, SK BPTP dan lainnya. Namun ada tiga LKM contoh yang belum jelas legalisasinya yakni LKM Amanah di Sulsel, Kelompok Tani Karya Harum di NTB dan Kelompok Tani Cangkringan di DIY. Dalam konteks LKM pertanian yang ruang lingkup kegiatannya terbatas pada dukungan permodalan usahatani, tampaknya ketiadaan payung hukum LKM tersebut tidak harus menjadi kendala. LKM Pertanian dapat diprakarsai pembentukan dan pengembangannya sejauh berada dalam koridor kegiatan usahatani dan dikelola oleh pengurus kelompok tani. Persepsi dan Apresiasi Petani/Nasabah Melalui pendekatan analisis dominasi terhadap unsur-unsur skim kredit (10 unsur) yang diajukan kepada nasabah, ada 8 unsur yang dipertimbangkan. Unsur-unsur tersebut ditampilkan secara berurutan sebagai berkut: (1) Prosedur pengajuan pinjaman kredit, (2) Peryaratan pengajuan pinjaman yang ditetapkan LKM, (3) Besarnya volume pinjaman yang dapat diajukan dan disetujui, (4) Besarnya tingkat bunga per tahun, (5) Kecepatan waktu pencairan pinjaman sejak pengajuan proposal/ permohonan, (6) Kesesuaian waktu pembayaran kembali pinjaman dengan panen, (7)
34
Sikap petugas dalam melayani nasabah dan (8) Besarnya agunan yang harus disediakan ketika mengajukan pinjaman. Hasil analisis tersebut menguatkan hipotesa umum bahwa keengganan masyarakat berpartisipasi terhadap lembaga keuangan bukan karena besarnya tingkat bunga, akan tetapi pada kerumitan prosedur. Terhadap aspek bunga mayoritas menempatkanya dalam pertimbangan yang ke empat setelah prosedur, persyaratan dan volume pinjaman. Sementara itu terhadap agunan, mayoritas nasabah hampir tidak mempertimbangkan atau menjadi pertimbangan akhir. Hal ini sejalan dengan kebijakan skim perkreditan LKM yang tidak memprioritaskan adanya penjaminan (kecuali pada LKM Bank). Solusi penjaminan bagi nasabah LKM adalah garansi kelompok tani. Di UPPKP, dipersyaratkan kepada kelompok yang akan mengajukan kredit untuk terlebih dahulu mendapat registrasi di Dinas Pertanian Meskipun masyarakat tani tidak menunjukkan persepsi negatif terhadap skim LKM, namun nasabah tetap mengajukan aspirasinya terhadap LKM. Secara umum karakteristik yang diinginkan oleh masyarakat tani calon pengguna itu adalah LKM yang memiliki skim perkreditan akomodatif terhadap karakteristik usahatani dan pengelolaannya dilakukan kelompok tani. Dukungan Permodalan LKM (Seed capital) Seed capital yang dimaksud adalah modal usaha untuk mendukung kegiatan LKM. Sebagai sumber modal awal bisa memanfaatkan berbagai sumber dana, antara lain dana CSR (Capital Sosial Responsibility) yang ada di tiap perusahaan swasta melalui pembentukan jalinan program (linkage programe), dana penguatan modal kelompok, dana bantuan langsung tunai (BLT), dana bantuan langsung masyarakat (BLM), dll yang tersedia di Departemen Teknis atau Departemen Sosial. Capital yang berasal dari sumber-sumber di atas biasanya tidak ada pembebanan bunga, terlebih yang berasal dari Departemen Teknis (misalnya Departemen Pertanian) yang merupakan penguatan modal bagi kelompok tani. Kalaupun ada namanya adalah partisipasi bukan bunga. Besar tingkat partisipasi tersebut kisarannya antara 3 – 6 persen per tahun.
Perspektif LKM dalam Pembangunan Ekonomi Perdesaan Keberhasilan pengelolaan LKM banyak dipengaruhi berbagai faktor meliputi kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman eksternal. Berkenaan dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pengelolaan LKM tersebut, perspektif pengembangannya akan sangat tergantung pada kemampuan LKM memaksimalkan kekuatan dan peluang ada serta meminimalkan unsur kelemahan dan menekan ancaman yang muncul. Melalui analisis SWOT diperoleh gambaran dari kondisi LKM di lokasi pengkajian sebagai berikut: o
o
o
o
o
o
Kekuatan LKM: Akses masyarakat tani untuk mendapatkan pinjaman dana bagi modal tambahan sangat tinggi, karena persyaratannya relatif tidak berat dan tanpa agunan. Prosedur pengajuan pinjaman relatif sederhana, sehingga memudahkan calon nasabah untuk mengakses pinjaman ke LKM. Bunga pinjaman relatif rendah dibandingkan bunga bank konvensional. Variasi bunga yang dibebankan berkisar antara 3 - 12 persen per tahun. Sedangkan bunga pasar kisarannya mulai 36 - 48 persen per tahun. Lokasi LKM umumnya dekat dengan lokasi usatani, sehingga terhindar dari biaya transportasi. Kalaupun lokasinya jauh, biasanya petugas LKM yang datang ke tempat tinggal calon nasabah untuk memproses pinjaman. Tidak ada beban agunan yang dipersyaratkan untuk mengajukan pinjaman, sehingga dapat menjangkau semua lapisan masyarakat tani yang tidak memiliki agunan. Kelemahan: Pengelolaan LKM umumnya masih konvensional karena rekrutiment pengelola LKM tidak didasarkan pada kualifikasi kapabilitas yang standar. Bahkan di beberapa tempat lebih mengandalkan aspek ketokohan/figur individu. Pagu kredit yang dapat diberikan LKM relatif lebih kecil dibandingkan dengan pagu kredit dari lembaga perbankan formal, sehingga tambahan modal yang diajukan sering tidak terpenuhi seluruhnya. Kecilnya kemampuan memberikan pinjaman disebabkan karena umumnya LKM menghadapi kendala permodalan (seed capital)
o Nasabah dari sektor pertanian, waktu pembayarannya disesuaikan dengan waktu panen, sehingga dari sisi keuangan berpengaruh pada “turn over” pengelolaan keuangan LKM. o Karena tidak dipersyaratkan adanya agunan, sebagai gantinya LKM mensyaratkan calon nasabah masuk anggota kelompok. Artinya bagi calon nasabah yang di luar anggota tidak memiliki peluang memperoleh layanan LKM. Peluang Pengembangan: o Jumlah masyarakat tani di perdesaan yang membutuhkan tambahan modal usaha relatif banyak, dan mereka tidak akses ke lembaga keuangan formal (perbankan konvensional) sehingga pilihan mereka berpeluang mengarah ke LKM o Tingkat pengembalian dari nasabah petani relatif lebih lancar. NPL (Non Performing Loan) masih di bawah angka toleransi Ancaman: o Dasar hukum pengelolaan LKM beragam, dan terkadang tidak mengacu pada UU No 10/1998 tentang Perbankan o Ragam LKM di lingkungan masyarakat di perkotaan maupun perdesaan relatif banyak, sehingga dalam pemasaranya sangat ketat. Langkah Strategis Inisiasi LKM Strategi utama untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM di lokasi usahatani yang potensial, disarankan untuk dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: (1) Melakukan Penjajagan Lokasi dan Pemetaan Kebutuhan, (2) Melakukan pendekatan kelompok/gabungan kelompok, (3) Seleksi calon pembentukan LKM, (4) Sosialisasi LKM, (5) Pembentukan Organisasi LKM, (6) Fasilitasi dan Penguatan Modal, (7) Pelatihan bagi pengurus, (8) Operasionalisasi/memasarkan LKM, (9) Pendampingan dan Pembinaan, (10) Monitoring dan evaluasi, dan (11) Mengoptimalkan perceived value. Penjajagan Lokasi dan Pemetaan Kebutuhan. Pada dasarnya LKM hanya layak ditumbuhkembangkan pada lokasi produksi yang potensial dan masyarakatnya membutuhkan bantuan permodalan, sementara di daerah
35
itu belum ada satupun lembaga jasa pelayanan modal bagi masyarakat tani. Tahapan ini diperlukan untuk mengetahui kondisi tersebut
kan pembinaan usaha kepada nasabah agar usahanya memberikan nilai tambah yang tinggi.
Melakukan Pendekatan Kelompok/Gabungan Kelompok. Makna pendekatan kelompok dalam konteks LKM adalah sebagai penjaminan, kompensasi dari tidak adanya agunan (collateral). Oleh karena itu pendekatan kelompok menjadi krusial untuk mendukung keberlanjutan LKM.
Operasionalisasi / Memasarkan LKM. Setelah tahapan 1–7 dianggap selesai kegiatan LKM dapat mulai beroperasi dengan cara ”memasarkannya” kepada anggota. Tugas memasarkan LKM dalam prakteknya dapat disinerjikan dengan kegiatan pendampingan dan pembinaan kegiatan, sehingga selain tercapai prinsip efisien juga efektifitasnya terpenuhi.
Seleksi Kelompok Calon Penyelenggara LKM. Dalam kenyataan di lapangan banyak dijumpai kelompok, maka langkah yang diperlukan adalah melakukan seleksi untuk memilih kelompok yang layak sebagai calon penyeleng-gara LKM. Sosialisasi Kegiatan LKM. Sosialisasi kegiatan LKM ditujukan kepada pengurus dan anggota kelompok guna memberikan pengetahuan tentang seluk beluk LKM. Dalam sosialisasi disampaikan informasi yang lengkap, jelas dan transparan tentang LKM memenuhi prinsip-prinsip 4 W 1 H (what, why, where, when, who, How). Pembentukan Organisasi LKM. Pembentukan organisasi LKM diawali dengan rekruitmen pengurus inti yang terdiri dari manajer, asisten administrasi dan teknik operasional. Kemudian rekruitmen staf pendukung dilakukan melalui kualifikasi tertentu. Pemilihan pengurus dilakukan secara partisipatif dan demokratis. Fasilitasi dan Penguatan Modal LKM. Untuk mendukung langkah awal operasional LKM diperlukan dukungan fasilitasi organisasi yang normatif bagi sebuah organisasi, utamanya modal awal. Sebagai sumber modal awal bisa memanfaatkan berbagai sumber dana, antara lain dana CSR (Capital Sosial responsibility) yang ada di tiap perusahaan swasta melalui pembentukan jalinan program (linkage programe), dana penguatan modal kelompok, dana bantuan langsung tunai (BLT), dana bantuan langsung masyarakat (BLM), dll yang tersedia di Departemen Teknis atau Departemen Sosial. Pelatihan bagi Pengurus LKM. Pengurus LKM harus mampu melakukan pengelolaan dana dengan cara yang standar. Untuk itu kegiatan pelatihan bagi pengurus menjadi hal yang sangat krusial. Melakukan pelatihan bagi pengurus LKM untuk meningkatkan kapabilitas pengurus dalam mengelola LKM, dan melaku-
36
Pendampingan dan Pembinaan. Guna menjamin terlaksananya LKM sesuai dengan harapan, diperlukan pendampingan yang intensif. Pendampingan tidak saja dilakukan kepada SDM pengelola LKM akan tetapi juga kepada nasabah. Pendampingan kepada pengelola LKM dimaksudkan agar kemampuannya mengelola dana LKM memenuhi standar akuntasi sedangkan pendampingan terhadap nasabah ditujukan agar nasabah mampu memanfaatkan dana pinjamannya secara efisien dan efektif. Monitoring dan Evaluasi. Kegiatan Monev dilakukan untuk mengetahui perkembangan LKM dan permasalahan yang merupakan hambatan serta upaya pemecahannya, sehingga upaya penumbuhan dan pengembangan LKM berjalan sesuai dengan rencana. Mengoptimalkan Perceived Value. Upaya melakukan optimalisasi perceived value ditujukan pada kondisi dimana sudah ada LKM tetapi akses petani terhadap LKM terkendala. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa indikator keberhasilan LKM harus dilihat dari dua sudut pandang yakni sudut pandang petani sebagai pengguna jasa keuangan dan sudut pandang LKM sebagai lembaga penyedia jasa keuangan. Dari sudut pandang petani (expected value) LKM diharapkan untuk meningkatkan keuntungan usahataninya, sedangkan dari sudut pandang LKM (value proposition) semua yang ditawarkan oleh LKM (penyedia jasa keuangan) dapat memenuhi kebutuhan petani dalam upaya meningkatkan keuntungan usahataninya. Jadi tolak ukurnya adalah sudut pandang LKM terhadap petani atau bagaimana LKM mempersepsi petani. Kedua sudut pandang yang berbeda ini pada akhirnya harus dipertemukan dalam perceived value yaitu persepsi petani terhadap penawaran nilai yang benar-benar bisa dirasakan manfaatnya. Filo-
sofi perceived value ini dapat secara jelas digambarkan dengan menggunakan teori himpunan sebagai berikut:
Nasa bah
Expected Value
LKM
Perceived Value
Value Propositon
Perceived value digambarkan sebagai irisan dua lingkaran yang masing-masing merepresentasikan kondisi kebutuhan nasabah dan keragaan LKM. Dalam tataran praktis, upaya mengoptimalkan perceived value dapat ditempuh melalui intensifikasi kegiatan pendampingan dan pembinaan terhadap LKM dan masyarakat tani calon nasabah. Pendampingan, mempunyai peran sangat penting bagi berhasil dan berkembangnya LKM. Melakukan pendampingan dan asistensi terhadap kegiatan kelompok dalam melakukan pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam administrasi pengelolaan dana. Melakukan pendampingan dan asistensi terhadap kegiatan kelompok dalam melakukan pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam administrasi pengelolaan dana. Sementara itu pembinaan dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasilguna penumbuhan dan pengembangan LKM, disamping meningkatkan motivasi dan kemampuan pelaksanaan dilapangan serta kapasitas manajemen pengelola LKM. Mendorong kegiatan kelompok ke arah kegiatan pengelolaan LKM yang berkelanjutan (sustainabel). LKM harus terus berjalan meskipun keterlibatan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta secara langsung telah berkurang. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan LKM masih berpeluang untuk dapat dijadikan salah satu instrumen kebijakan pe-
merintah dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian menuju peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. SKIM LKM yang berpeluang diakomodasi masyarakat tani adalah pola Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K). Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek sumberdaya manusia pengelola LKM, legalitas kelembagaan, persepsi dan apresiasi petani/nasabah, dan dukungan seed capital. Perspektif pengembangan LKM akan sangat tergantung pada kemampuan LKM memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan unsur kelemahan dan menekan ancaman yang muncul. Saran-saran Untuk dapat mengoptimalkan LKM sebagai intrumen kebijakan pemerintah prakarsa penumbuhan dan pengembangan LKM perlu dilakukan secara partisipatif, mengakomodatif karakteristik masyarakat tani serta diikuti dengan penyiapan SDM pengelola LKM yang kapabel. Langkah strategis untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM selain harus didasarkan pada kondisi wilayah setempat juga mempertimbangkan adanya faktor kritis pengembangan LKM. Bagi wilayah yang sudah ada LKM tetapi akses petani masih rendah, langkah strategis yang perlu dilakukan adalah mengoptimalkan “perceived value” DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2007. Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Keuangan Mikro. http://www.profi.or.id/ind/. Budiantoro. S. 2003. RUU Lembaga Keuangan Mikro: Jangan Jauhkan Lembaga Keuangan Dari Masyarakat. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Th II. No 8. www.ekonomirakyat.org. Djoko Retnadi. 2003. Kunci Sukses Lembaga Keuangan Mikro, Pahami Karakteristik Orang Kecil. Harian Kompas. Rabu, 13 Agustus 2003 Martowijoyo, S., 2002. Dampak Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat Terhadap Kinerja Lembaga Perdesaan.
37
Artikel - Th. I - No. 5. Jurnal Ekonomi Rakyat. www.ekonomirakyat.org Sumodiningrat, G. 2003. Peranan Lembaga Keuangan Mikro Dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait dengan Kebijakan Otonomi Daerah. Artikel Th II No 1. Jurnal Ekonomi Pertanian. www. ekonomirakyat.go.id. Syukur , M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit Rumah Tangga Miskin. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB. Syukur,
38
M., 2006. Membangun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Pertanian yang
Berkelanjutan: Sebuah Pengalaman Lapang. Warta Prima Tani.Volume 1 Nomor 1. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Wijono, WW., 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Kongkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi Khusus. http://www. fiskal. depkeu. go.id/bkf/kajian/ wiloejo1.pdf.