Laporan Analisis Kebijakan
TRANSFORMASI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO AGRIBISNIS (LKM-A) MENJADI LEMBAGA KEUANGAN MANDIRI PERDESAAN
Sahat M. Pasaribu Herlina Tarigan
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015
DAFTAR ISI 1. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 2. 2.1. 2.2. 2.3. 3. 3.1. 3.2. 3.3. 4. 4.1. 4.2.
Pendahuluan ........................................................................... Latar Belakang ........................................................................ Rumusan Masalah ................................................................... Tujuan .................................................................................... Justifikasi ................................................................................ Hasil Yang Diharapkan ............................................................. Metodologi .............................................................................. Kerangka Pemikiran ................................................................. Lokasi Kajian, Data dan Responden .......................................... Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data ............................. Hasil dan Pembahasan ............................................................. LKM-A yang Layang Dikembangkan .......................................... LKM-A Lembang Agri, Desa Cikajang, Lembang, Bandung Barat .. LKM-A Sauyunan, Desa Caluncat, Kecamatan Cangkuang, Bandung Kemampuan LKM-A Melaksanakan Kegiatan Agribisnis .............. LKM-A sebagai Lembaga Keuangan Mandiri Perdesaan: Sintesis .. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan .......................................... Kesimpulan ............................................................................. Implikasi Kebijakan .................................................................. Referensi ................................................................................
1 1 3 3 3 4 4 4 5 6 6 6 9 11 14 16 19 19 20 22
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Permasalahan paling mendasar yang dihadapi petani saat ini adalah kurangnya modal kerja, yakni uang tunai yang digunakan untuk membiayai usahataninya. Petani tidak memiliki agunan yang cukup untuk memenuhi persyaratan pinjaman/kredit bank. Ini berarti bahwa petani tidak akan pernah dapat mengakses fasilitas yang disediakan pihak perbankan selama agunan digunakan sebagai salah satu syarat peminjaman uang tunai. Oleh karena itu, harus diakui bahwa kurangnya modal kerja ini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja usahatani. Hingga saat ini (2015) program bantuan sosial dalam kegiatan agribisnis masih berlangsung dan sejumlah Gapoktan di berbagai daerah masih menerima Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (BLM PUAP). Jumlah penerima BLM PUAP sejak 2008 tercatat lebih dari 50.000 Gapoktan. Hasil penelitian sebelumnya melaporkan bahwa sebagian diantara penerima BLM PUAP ini berhasil mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro-Agribisnis (LKM-A) sebagaimana diharapkan oleh program ini, namun sebagian besar lainnya tidak berhasil mengembangkannya (Pasaribu et al., 2011). Hasil penelitian ini selanjutnya mengungkapkan gambaran pengembangan kelembagaan Gapoktan dan Unit Usaha Simpan Pinjam/LKM-A sebagai berikut: a. Pembentukan kelembagaan Gapoktan dan LKM-A hanyalah sarana bantu, karena pemerintah masih terfokus pada upaya peningkatan produksi melalui penerapan teknologi produksi. b. Pembentukan kelembagaan ditekankan baik untuk memperkuat ikatan-ikatan horisontal maupun memperkuat ikatan vertikal. c. Kelembagaan Gapoktan dan LKM-A dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan kontrol dari pemerintah, masih kurang kuat dalam aspek pemberdayaan masyarakat. d. Bentuk kelembagaan yang dikembangkan bersifat seragam dan mulai menggunakan pendekatan agribisnis, namun masih tersekat-sekat dan belum terintegratif. e. Pembinaan untuk kelembagaan Gapoktan dan LKM-A yang telah dilakukan melalui pendekatan kelompok, namun pendekatan partisipatif masih belum dilakukan secara maksimal. f. Pengembangan kelembagaan Gapoktan dan LKM-A cenderung menggunakan pendekatan struktural dari pada pendekatan kultural.
1
g. Introduksi inovasi teknologi dan rekayasa kelembagaan lebih menekankan pada pendekatan budaya material (bantuan dana, alsintan, sarana produksi) dibanding non material (membangun sistem nilai). h. Introduksi kelembagaan Gapoktan dan LKM-A dilakukan dalam rangka untuk memperoleh dana BLM PUAP, belum pada konsolidasi usaha ekonomi produktif sehingga mencapai skala ekonomi. i. Aspek modal masih dijadikan jurus klasik perancang kebijakan pemerintah untuk memecahkan masalah marjinalisasi ekonomi masyarakat pedesaan, namun masih lemah dari aspek pemberdayaan masyarakat. j. Kelembagaan pendukung belum dikembangkan dengan baik, pelaksanaan pembangunan terjebak dalam pendekatan sektoral.
karena
k. Sikap dan tindakan (aparat) pemerintah di atas tampaknya disebabkan karena pola pikir yang lemah dalam pemahaman di bidang kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat. Beberapa permasalahan mendasar yang melatarbelakangi pentingnya transformasi kelembagaan meliputi masalah struktur kelembagaan yang tidak lengkap, status badan hukum bersifat informal, pembagian tugas yang belum jelas, sistem koordinasi yang belum efektif, serta jenis kegiatan usaha yang belum mengikuti sistem dan usaha agribisnis. Jika kelembagaan yang telah dikembangkan, seperti kelembagaan kelompok tani, gabungan kelompok tani (Gapoktan), dan LKM-A tidak mengalami percepatan transformasi ke arah yang lebih maju, maka masa depan kelembagaan-kelembagaan tersebut akan mengalami kemandekan (stagnant). Harus disadari bahwa setiap perubahan memerlukan wadah atau kelembagaan. Dalam kaitan ini, perluk upaya mentransformasikan kelembagaan Gapoktan dan LKM-A ke arah kelembagaan yang profesional dan berbadan hukum (Saptana et al., 2014). Bagaimana mengubah seluruh pelaku usaha pada seluruh jaringan agribisnis, baik secara individual maupun kelompok, menjadi pelaku ekonomi produktif merupakan tantangan besar dalam kebijakan pengembangan agribisnis di perdesaan. Memerhatikan perkembangan ketersediaan modal kerja petani di perdesaan saat ini, salah satu solusi yang diduga dapat efektif membantu kesulitan permodalan petani adalah dengan mentransformasi Gapoktan dengan LKM-A menjadi lembaga keuangan yang kuat dan mandiri. Mendorong LKM-A menjadi lembaga keuangan yang mampu membantu petani di perdesaan sangat dibutuhkan untuk mengisi kesulitan akses petani ke perbankan. LKM-A dapat menjadi alternatif lembaga keuangan yang dekat dengan petani (secara fisik/lokasi maupun psikologis), sehingga upaya untuk memperkuat LKM-A dapat dinilai sebagai salah satu cara untuk membantu masalah keuangan petani kedepan. Dalam kaitan ini, LKM-A yang berhasil menunjukkan kemampuan mengelola dana dan berkembang perlu dipelajari 2
apakah mampu ditransformasikan menjadi lembaga keuangan yang kuat. Kajian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi LKM-A tersebut dan merekomendasikan pengembangan LKM-A menjadi lembaga keuangan perdesaan yang mandiri atau dapat diintegrasikan kedalam kegiatan lembaga Gapoktan, koperasi (berbadan hukum) ataupun BUMDesa/BUMPetani. 1.2. Rumusan Masalah Kelembagaan agribisnis dalam LKM-A masih lemah, terutama dalam hal: (a) kompatibilitas antara struktur organisasi yang dibangun dengan peran atau fungsi yang harus dijalankan; (b) ketersediaan aturan main yang jelas dan transparan; (c) upaya peningkatan keterampilan teknis dan kapabilitas manajerial; (d) jiwa kewirausahaan pelaksana kegiatan bisnis; dan (e) jaringan kerja ( networking) bisnis yang lebih luas. Lemahnya kedudukan LKM-A dalam hal SDM dan secara administratif membutuhkan pemikiran yang serius untuk memberdayakannya hingga menjadi lembaga keuangan yang kuat, baik secara mandiri maupun terintegrasi dalam Badan Usaha Milik Desa atau Badan Usaha Milik Petani. Secara keseluruhan, masalah mendasar yang dihadapi petani jika ingin menguatkan petani dan memenuhi semua permasalahan diatas adalah tersedianya modal kerja yang memadai atau cukup menurut kemampuan manajemen yang dapat dikendalikan Gapoktan/Poktan/petani. 1.3. Tujuan Secara umum, kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi LKM-A penerima BLM PUAP yang dinilai oleh dinas pertanian setempat (atau menurut data sekunder di tingkat pusat) menunjukkan kinerja usaha agribisnis yang baik dan dinilai mampu berkembang menjadi lembaga keuangan mandiri. Secara khusus, kajian ini bertujuan untuk: a. Mengidentifikasi LKM-A yang layak dikembangkan menjadi lembaga keuangan. b. Mengevaluasi kemampuan LKM-A melaksanakan kegiatan agribisnis. c. Merumuskan tindak lanjut transformasi LKM-A menjadi lembaga keuangan mandiri perdesaan. 1.4. Justifikasi Kesulitan petani mendapatkan sumber permodalan untuk membiayai usaha pertanian diperlihatkan oleh kenyataan bahwa akses petani ke bank sangat terbatas. Kinerja usahatani kurang optimal antara lain disebabkan oleh kurangnya modal kerja yang dimiliki petani. Untuk meningkatkan kinerja usahatani, ketersediaan modal kerja menjadi salah satu prasyarat utama dan oleh karena itu diperlukan lembaga keuangan yang melayani petani dan dapat menyediakan kebutuhan usahatani tanpa mengharuskan agunan sebagai syarat meminjam dana. LKM-A diduga mampu 3
menyediakan dana dan atau menyiapkan kebutuhan petani untuk melakukan budidaya sesuai rekomendasi untuk keberhasilan usaha pertanian. Oleh karena itu, LKM-A perlu diberdayakan dan dimampukan untuk menjadi alternatif lembaga keuangan mandiri di perdesaan. 1.5. Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah (a) tersedianya informasi tentang LKM-A yang layak didorong sebagai lembaga keuangan mandiri perdesaan; (b) diketahuinya kemampuan LKM-A dalam melaksanakan kegiatan agribisnis; dan (c) diperolehnya rumusan tentang tindak lanjut mentransformasi LKM-A menjadi lembaga keuangan mandiri perdesaan. 2. Metodologi 2.1. Kerangka Pemikiran Sebagian besar pendapatan rumahtangga miskin di perdesaan umumnya berasal dari kegiatan budidaya atau usaha agribisnis. Agar program PUAP cukup efektif dalam penanggulangan kemiskinan maka dalam pelaksanaan program tersebut harus dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut: (a) pelaksanaan program PUAP diprioritaskan pada desa-desa pertanian miskin yang memiliki potensi pengembangan usaha agribisnis; (b) sasaran program PUAP diprioritaskan pada rumahtangga tani miskin; dan (c) upaya peningkatan pendapatan rumahtangga miskin ditempuh melalui pengembangan usaha agribisnis (Departemen Pertanian, 2009a). Ashari (2009) melaporkan bahwa secara garis besar sumber dana yang tersedia bagi masyarakat di perdesaan dapat dikelompokkan menjadi: (1) Sumberdana yang berasal dari masyarakat; (2) Kredit dari lembaga non-formal; (3) Kredit program pemerintah; dan (4) Kredit dari bank swasta dan koperasi. Dari keempat sumber tersebut, umumnya petani memperoleh tambahan modal untuk meningkatkan produktivitas usahataninya dengan menerapkan teknologi yang ada. Penguatan modal petani merupakan strategi utama dalam pelaksanaan program PUAP. Penguatan modal finansial tersebut diupayakan melalui penyaluran dana BLM sebesar Rp 100 juta rupiah per desa sesuai dengan usulan Gapoktan. Dana tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk konsumsi rumahtangga tetapi harus dimanfaatkan untuk modal usaha agribisnis dan bukan untuk modal usaha lainnya. Kedepan, Gapoktan diharapkan mampu mengembangkan sistem simpan pinjam yang mengarah pada terbentuknya LKM-A yang mudah diakses oleh rumahtangga tani miskin secara berkelanjutan. Selain itu, Gapoktan diharapkan pula dapat menjadi lembaga ekonomi perdesaan yang mampu berperanan dalam penyediaan jasa pengadaan input usaha agribisnis, jasa pemasaran dan pengolahan hasil pertanian yang dihasilkan oleh rumahtangga tani miskin (Departemen Pertanian, 2009b). Dengan demikian, program PUAP tersebut diharapkan menjadi 4
motor penggerak ekonomi perdesaan yang membangkitkan perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan, baik kesempatan kerja di tingkat usaha budidaya (on farm) maupun usaha agribisnis pertanian lainnya (off farm). Permasalahan terkait dengan aksesibilitas petani terhadap lembaga keuangan/bank sudah dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan pada banyak kesempatan. Namun, tidak satupun, sepanjang yang diketahui memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi petani tentang keterbatasan petani mengakses dan menembus persyaratan peminjaman oleh pihak bank. Oleh karena itu, diperlukan terobosan lain agar petani memperoleh kesempatan memiliki modal kerja yang cukup untuk mebiayai usaha pertaniannya. Terobosan tersebut diduga dapat diperoleh dengan memberdayakan Gapoktan/LKM-A dan menjadikannya sebagai lembaga keuangan yang kuat dan mampu menyediakan kebutuhan dana usahatani/uang tunai dan yang terhadapnya petani dapat mengakses fasilitas yang disediakan. Dengan memberdayakan LKM-A ini, maka lembaga tersebut akan menjadi alternatif lembaga keuangan yang berpihak kepada petani dan menjadi solusi terhadap sulitnya akses petani ke perbankan. Namun demikian, rencana tersebut perlu memperoleh dukungan politik pembiayaan pembangunan pertanian pemerintah (pusat maupun daerah). Meningkatkan kemampuan LKM-A di perdesaan pada dasarnya adalah bagian dari politik pembiayaan yang dimaksudkan untuk meningkatkan aksesibilitas petani terhadap lembaga keuangan. Politik pembiayaan pembangunan pertanian sendiri perlu disandingkan dengan tujuan dan ketersediaan pendanaannya yang di masa depan harus memerhatikan aspek sosial ekonomi, termasuk aspek kebutuhan dan peningkatan tanggungjawab petani. Tersedianya modal kerja petani diperkirakan dapat meningkatkan kinerja usaha pertanian dan pada akhirnya mencapai tujuan yang lebih besar, yakni meningkatnya pendapatan petani dan tersedianya hasil-hasil pertanian secara lokal (Pasaribu, 2012). 2.2. Lokasi Kajian, Data, dan Responden Kajian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat dengan mengambil contoh di 2 (dua) kabupaten, yakni Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung. Pemilihan lokasi hingga kelompok tani yang diwawancara secara kelompok dilakukan secara purposif menurut data sekunder yang tersedia pada Direktorat Pembiayaan Pertanian, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian yang selanjutnya dikonsultasikan dan dikonfirmasi dengan Dinas Pertanian setempat. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner/daftar pertanyaan, sementara data sekunder didapatkan dengan mengolah ulang hasil-hasil kajian/laporan atau publikasi terkait lainnya.
5
Responden dipilih menurut kelompok tani terpilih seperti disebutkan diatas, sementara jumlah responden bukan menjadi pertimbangan utama sejauh responden yang terpilih merepresentasikan kebutuhan kajian ini. Representasi disini berarti memiliki makna kelengkapan dan kedalaman informasi atau data yang digali sesuai dengan keperluan kajian. 2.3. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data Kajian ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pendekatan kualitatif serta pengamatan semi partisipatif. Unit responden dalam kajian ini adalah kelembagaan Gapoktan dan LKM-A, sehingga pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan teknik wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Data dan informasi tentang kinerja, perkembangan kelembagaan Gapoktan dan LKM-A, serta rencana kegiatan LKM-A juga dikumpulkan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan fokus pada analisis transformasi kelembagaan LKM-A ke arah kelembagaan keuangan mandiri di perdesaan. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1.
LKM-A yang Layak Dikembangkan
Sebagai bagian dari pelaksanaan Program Bantuan Langsung MasyarakatPengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (BLM-PUAP) sejak tahun 2008, LKM-A dibentuk sebagai lembaga keuangan yang akan dikembangkan dibawah pengawasan Gapoktan. Program BLM-PUAP dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan modal petani dan meningkatkan akses petani terhadap lembaga permodalan, dengan menyediakan dana yang berasal dari APBN. Secara umum, Program PUAP memberikan kontribusi terhadap bertambahnya curahan jam kerja pada usahatani. Demikian juga dengan kinerja yang semakin baik, khususnya dalam manajemen usahatani yang ditunjukkan oleh pemanfaatan sarana produksi pertanian yang semakin berimbang serta praktek usahatani yang mengarah pada usaha pertanian yang baik (GAP). Peran pendamping (khususnya penyuluh) cukup menonjol dalam meningkatkan manajemen usahatani di lapangan. Perputaran uang yang dipinjamkan bervariasi, tergantung pada kebijakan pengurus Gapoktan yang bersangkutan. Kehatian-hatian pemilihan calon peminjam dana dari kalangan anggota kelompok tani yang secara selektif mengajukan permohonan pinjaman berdampak positif terhadap kelancaran pengembalian pinjaman oleh peminjam. Secara umum, keberhasilan usaha ekonomi didukung oleh ketersediaan modal yang berasal dari BLM PUAP. Kegiatan agribisnis yang dilakukan untuk komoditas pangan dan hortikultura serta usaha industri rumahtangga menunjukkan kecenderungan keberhasilan yang ditandai oleh nilai B/C ratio diatas 1. Namun, keberhasilan ini tidak dapat diklaim semata-mata karena bantuan modal dari BLM PUAP, meskipun bantuan tersebut telah memberikan sumbangan untuk keberhasilan petani pada banyak kegiatan agribisnis ( on-farm) (Pasaribu et al., 6
2011). Perlu juga diperhatikan bahwa tidak semua Gapoktan penerima BLM-PUAP mampu mengelola dana bantuan yang diberikan, bahkan mayoritas dari penerima ini tidak berhasil meningkatkan kegiatan agribisnis atau usahatani ke arah yang lebih baik. Secara nasional, Gapoktan penerima BLM-PUAP dan sudah memiliki LKM-A yang menjalankan kegiatan agribisnis perlu mendapat perhatian. Tanpa mengabaikan Gapoktan dengan LKM-A yang kinerjanya lemah, LKM-A yang memiliki potensi untuk dikembangkan perlu dibantu, didorong, dan diperkuat agar mampu menjadi lembaga keuangan yang mandiri yang menggerakkan usaha ekonominya di perdesaan. Dengan mengidentifikasi LKM-A yang memiliki potensi untuk dikembangkan, layak mendapat perkuatan modal kerja dan mengembangkannya menjadi lembaga keuangan yang sehat dan dapat dengan mudah dan secara langsung diakses petani. Perlu dicatat bahwa pengembangan LKM-A sejalan dengan perwujudan dari nawacita agenda pemerintahan saat ini sebagaimana dicantumkan dalam butir 3 agenda tersebut, yaitu “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Lebih lanjut, pengembangan LKM-A juga sejalan dengan cita-cita membangun kedaulatan pangan seperti tercantum dalam RJPMN 2015-2019 (Direktorat Pembiayaan Pertanian, 2015). Dalam konteks inilah kajian ini dilakukan dengan melihat lebih jauh di tingkat lapangan. Provinsi Jawa Barat dipilih karena lokasi yang relatif dekat (mengingat laporan ini harus segera disiapkan) dan sudah memiliki Gapoktan dengan LKM-A yang layak untuk dikembangkan. Realisasi penyaluran dana BLM-PUAP per 31 Desember 2014 di Provinsi Jawa Barat mencapai 3.740 Gapoktan yang tersebar di 25 kabupaten/kota. Setiap Gapoktan mempunyai kegiatan yang terintegrasi melalui pendekatan agribisnis yang didalamnya terdapat satu unit kegiatan terkait permodalan usahatani. Melalui unit usaha simpan pinjam, petani dibantu untuk mengatasi kebutuhan modal usaha maupun modal kerja dalam rangka meningkatkan produksi dan pendapatan petani Usaha simpan pinjam Gapoktan diharapkan menjadi lembaga keuangan mikro yang bergerak dibidang agribisnis (LKM-A). Proses penumbuhan LKM-A memerlukan jalan yang panjang dan upaya yang kuat dari berbagai pihak, terutama terkait dengan kesadaran petani tentang fungsi lembaga keuangan melalui pendampingan, peningkatan SDM pengelola secara teori maupun praktek pengelolaan keuangan, penguatan dan peningkatan modal (likuiditas) serta pengurusan badan hukum dan ijin usaha. Dari 3.740 Gapoktan penerima BLM PUAP, sekitar 15,5 persen atau 580 telah menerima Surat Keputusan Registrasi LKM-A. Sampai tahun 2015 baru sekitar 5 persen LKM-A yang memiliki Badan Hukum. Artinya, masih sedikit sekali LKM-A yang dinilai telahmemenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan Pedoman 7
Pengembangan LKM-A. Gambaran ini mengingatkan pentingnya kerja keras dari pihak terkait, baik pemerintah pusat, provinsi maupun tim teknis di kabupaten untuk membangkitkan kesadaran masyarakat perdesaan tentang pentingnya peran LKM-A sebagai lembaga pelayanan pembiayaan yang mengakar pada masyarakat setempat dan bertindak sebagai sumber keuangan untuk menanggulangi keterbatasan modal kerja, serta mudah dijangkau oleh petani. Kecilnya jumlah LKM-A yang berbadan hukum diduga disebabkan oleh beberapa persoalan karakteristik petani dan pertanian perdesaan yang menghambat proses transformasi kelembagaan ke arah lembaga ekonomi yang lebih mandiri dan modern. Dari hasil kajian, beberapa persoalan yang dihadapi kelembagaan LKM-A di perdesaan (Pasaribu et al, 2011) adalah: (1) Penguasaan lahan yang kecil dan cenderung semakin kecil akibat masalah fragmentasi lahan; (2) Kurangnya penguasaan teknologi agribisnis seperti pembibitan, usahatani, maupun pasca panen; (3) Kurangnya pengembangan produk (product development) dan promosi produk; (4) Kemampuan SDM yang rendah dalam hal kewirausahaan dan membangun jaringan kerjasama dengan kelembagaan ekonomi modern; (5) Kurang efektif dalam melakukan koordinasi vertikal maupun horizontal; dan (6) lemahnya konsolidasi kelembagaan dalam aspek manajemen, permodalan, maupun partisipasi anggota. Selain itu, hasil kajian yang sama mencatat, ada sembilan faktor kritis dalam upaya transformasi kelembagaan Gapoktan dan LKM-A, yaitu: (1) Sistem produksi petani masih berorietasi produk pertanian primer sehingga nilai tambahnya rendah (teknologi yang digunakan bersifat sederhana bahkan cenderung tertinggal); (2) Sistem usaha agribisnis berdayasaing dan berkelanjutan belum dijadikan landasan pembangunan pertanian dan pemberdayaan ekonomi produktif; (3) Kebijakan politik pertanian dalam pembangunan perekonomian rakyat masih lemah. Hal ini terlihat dari penempatan petani sebagai objek pembangunan, bukan subjek. Akibatnya, pengambilan putusan-putusan politik kurang demokratik dan cenderung inklusif; (4) Sistem menejemen dan keorganisasian masih lemah, kurang memanfaatkan basis kolektivitas masyarakat, pengertian agribisnis yang bias, kemitraan yang dibangun masih bersifat asimetris, pengambilan keputusan bersifat tertutup sehingga nilai tambah tidak terdistribusi secara adil; (5)Sistem penyelenggaraan pembangunan pertanian masih didasarkan pada kepemimpinan formal dan dukungan infrastruktur yang relatif terbatas; (6) Masih lemahnya struktur, fungsi, dinamika, dan konsolidasi internal organisasi; (7) Pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang belum terintegrasi baik secara verikal maupun horizontal; (8) Kurangnya sifat dan ketrampilan kewirausahaan; dan (9)Kurangnya dukungan sistem informasi yang handalmenyangkut aspek produksi, pemasaran, pengolahan maupun permintaan. Kajian yang dilaksanakan saat ini merupakan langkah lanjutan yang mencoba mengidentifikasi LKM-A yang layak dikembangkan menjadi lembaga keuangan 8
mandiri dengan mengevaluasi kemampuan LKM-A dalam melaksanakan kegiatan agribisnis khususnya kegiatan agribisnis komoditas yang sesuai dengan kondisi agroekosistem wilayahnya. Berikut diuraikan keragaan singkat dua LKM-A di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.
LKM-A Lembang Agri, Desa Cikajang, Lembang, Bandung Barat LKM-A Lembang Agri merupakan salah satu dari sembilan LKM-A di Kabupaten Bandung Barat. Tumbuh dan dikembangkan oleh Gapoktan Lembang Agri, sebagai langkah untuk menyelesaikan persoalan pembiayaan petani hortikultura yang sulit mengakses permodalan ke lembaga keuangan formal. Sekalipun secara organisasi LKM-A tidak terpisahkan dari struktur organisasi Gapoktan, seharusnya pertanggungjawaban pengelolaan dana harus dilakukan secara terpisah sesuai Permentan No. 273/Kpts/OT.160/4/2007. LKM-A Lembang Agri berkedudukan di Desa Cikidang, Kecamatan Lembang. Lembaga ini sudah memiliki kantor sendiri dengan perangkat keras maupun lunak yang relatif memadai. Usaha digerakkan oleh tenaga SDM yang berpendidikan SMP hingga Diploma, berusia muda, bersemangat, dan terlibat langsung dalam usahatani. Sistem usaha agribisnis maupun simpan-pinjam dibangun secara komputerisasi dengan membuka web sendiri untuk kepentingan komunikasi dan promosi. LKM-A Lembang Agri merupakan lembaga keuangan dengan kegiatan simpan pinjam modal usahatani hortikultura (khususnya sayuran). Pengembangan unit simpan pinjam dalam struktur organisasi Gapoktan Lembang Agri merupakan proses penumbuhan dan pengembangan LKM-A yang progresif dan dinamis hingga pada waktu yang relatif cepat (tahun 2011) Gapoktan terpilih menjadi juara III Nasional PUAP berprestasi. Berturut-turut tahun 2013 dan 2014, Gapoktan ini terpilih menjadi juara Gapoktan Penggerak Pembangunan Hortikultura dan juara pertama LKM-A tingkat Provinsi Jawa Barat. Sesuai kondisi agroeksistem wilayahnya, Lembang Agri mengkhususkan diri bergerak pada tanaman hortikultura meliputi komoditas cabe, tomat, kubis, buncis, brokoli, dan wortel. Menyadari memiliki masyarakat yang mudah sekali mengalihkan penggunaan uang pada barang-barang konsumsi, lembaga ini sepakat memberikan pinjaman modal usahatani dalam bentuk sarana dan prasarana usahatani sesuai alasan kebutuhan anggota saat mengajukan pinjaman. Pemaduan unit usaha penyedia sarana dan pra sarana produksidengan unit usaha simpan pinjam secara operasional, dilakukan sebagai bagian dari strategi menekan kemungkinan tunggakan atau ketidaklancaran pengembalian pinjaman. Selain simpan pinjam, Gapoktan menangani penyediaan input (benih, pupuk dan obat), dan pemasaran hasil. Saat ini Gapoktan memiliki 3 (tiga) kios saprodi. Pengurus tidak saja berharap pengembalian pinjaman berlangsung lancar, tetapi ikut 9
memikirkan dan mengusahakan agar usahatani anggota bisa berhasil. Keberhasilan usahatani dianggap penentu kelancaran pengembalian pinjaman dan perputaran modal. Guna mendukung hal tersebut, pengurus berperan aktif melakukan pelatihan dengan mengundang PPL, mitra tani, petugas/pengamat hama, bahkan petugas perusahaan obat-obatan. Secara operasional, LKM-A Lembang Agri sudah memiliki panduan dalam bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Dengan misi meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan melalui peningkatan pendidikan, pengetahuan, ketrampilan, dan sifat kepemimpinan serta peningkatan produksi pertanian, lembaga berperan sebagai motor penggerak perekonomian dan pendidikan non formal petani. Pencapaian misi ini dilakukan melalui kegiatan unit usaha penyediaan saprotan, pemasaran, diklat, konsultasi pertanian dansimpan pinjam. LKM-A Lembang Agri menggunakan modal awal dana penguatan modal program PUAP. Sebagian modal berasal dari iyuran pokok sebesar Rp 100,000 per anggota, iyuran wajib sebesar Rp 5,000 per anggota per bulan, dan iyuran sukarela. Usahatani hortikultura merupakan usahatani berbiaya tinggi sehingga modal yang tersedia kurang memadai. Guna peningkatan likuiditas/modal, pengurus mencoba membangun kerjasama dengan beberapa pihak yang seperti Yayasan Daarut Tauhid, PT Alamanda Sejati Utama, dan PT Cibodas Agro Lestari. Kerjasama ini bermanfaat menambah permodalan sehingga lebih banyak anggota yang bisa mendapatkan pinjaman modal usahatani. Disamping beragam hak, AD/ART juga mengatur kewajiban bagi anggota Gapoktan/LKM-A, terutama aturan-aturan kewajiban membayar pinjaman. Unit usaha penyediaan input dan pemasaran output secara tidak langsung berfungsi sebagai pengikat kemungkinan peminjam tidak mengembalikan pinjaman karena Gapoktan bisa langsung memotong pinjaman saat membeli produksi dan melakukan restrukturisasi hutang jika petani benar-benar gagal panen. Cara yang ditempuh dengan memperikan pertolongan tambahan pinjaman jika hal tersebut potensial memberi keberhasilan bagi petani. Beberapa permasalahan yang dihadapi LKM-A Lembang Agri: 1. Permodalan.
Pertanian hortikultura merupakan usahatani berbiaya tinggi (high cost) sehingga untuk bisa melayani petani dalam jumlah banyak dibutuhkan jumlah modal yang besar. Dengan kapasitas modal terbatas, masih petani kecil yang bisa dilayani (20 juta per kelompok atau 3 juta per petani). LKM-A memerlukan pertambahan modal dengan tingkat bungan yang ringan.
2. Pasar. Agar harga produksi hortikultura dan pemasaran bisa berjalan lebih stabil, Gapoktan melakukan koordinasi dengan semua anggota dalam rangka 10
penataan pola tanam. Dibutuhkan kemampuan membaca pasar yang jeli karena harus bersaing dengan berbagai sentra hortikultura di Indonesia. 3. Risiko. Tanaman hortikultura memiliki risiko gagal panen atau gagal harga yang cukup tinggi. Petani berusaha menyiasati usahatani dengan bertanam tumpangsari. Kegagalan pada satu komoditas diharapkan bisa diatasi atau dikurangi dengan hasil komoditas lain. Situasi ini mengharuskan LKM-A atau Gapoktan memiliki kemampuan melakukan restrukturisasi hutang dengan menunda jatuh tempo hutang hingga musim tanam selanjutnya atau menambah jumlah hutang dengan harapan bisa meningkatkan produksi komoditas lain yang belum menghasilkan.
LKM-A Sauyunan, Desa Caluncat, Kecamatan Cangkuang, Bandung Gapoktan dan LKM-A Sauyunan terdapat di Desa Ciluncat, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung Barat. Lembaga ini bergerak dibidang agribisnis padi, namun sektor ekonomi yang berkembang secara wilayah merupakan kombinasi seimbang sektor perdagangan, industri, dan pertanian. Selama sepuluh tahun terakhir, perkembangan kedua sektor yang pertama secara signifikan menekan sektor pertanian. Ini terlihat dari konversi lahan yang terjadi secara pesat, ditunjukkan fakta hamparan lahan pertanian yang semakin menyempit. Lahan pertanian yang bertahan sebagian letaknya terjepit diantara bangunan pemukiman, pertokoan, maupun pabrik. Gapoktan Sauyunan terdiri dari 4 (empat) kelompok tani dengan salah satu unit usahanya adalah simpan pinjam yang dikelola oleh LKM-A Sauyunan. Lembaga ini bergerak di bidang agribisnis padi dan merupakan salah satu dari 13 LKM-A (di Kabupaten Bandung terdapat 22 LKM-A) yang sudah memiliki Badan Hukum. Pengesahan Badan Hukum No.17/BH/518-KOP/III/2015 dengan SISP 518/SISP/25/KK/III/2015. Bagi LKM-A Sauyunan, kedudukan sebagai lembaga ber-Badan Hukum memberi manfaat tambahan diantaranya membangun kepercayaan diri sebagai lembaga yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga membuka peluang bekerjasama dengan lembaga lain. Badan Hukum ini menandakan lembaga tersebut secara kepengurusan, permodalan, kepemilikan dan kelayakan rencana kerja dinilai sudah memenuhi standar yang ditetapkan. Selain bantuan melalui program PUAP, modal LKM-A berasal dari simpanan pokok sebesar Rp 250.000 per anggota, simpanan wajib Rp 5000 per bulan, simpanan sukarela, dan bunga dari hasil pemberian pinjaman ke anggota. Jumlah modal yang bergerak saat ini mencapai 400-an juta. Aset tidak bergerak tercatat 165 juta. Mekanisme pemberian pinjaman mengikuti langkah-langkah: (1) Penyusunan rencana usaha (RU) oleh anggota yang hendak meminjam; (2) Pengajuan pinjaman 11
dengan RU disampaikan kepada ketua kelompok; (3) Ketua kelompok mempelajari RU dan memberikan memo untuk mengajukan pinjaman ke pengurus LKM-A; dan (4) Berdasarkan RU dan memo ketua kelompok yang dianggap lebih mengenal usahatani dan karakter peminjam, pengurus LKM-A mengeluarkan pinjaman sejumlah yang dibutuhkan. Penjaminan ketua kelompok belum mampu meniadakan persoalan penagihan. Untuk kasus yang berat atau sulit, LKM-A melibatkan Babinsa sebagai juru tagih. Sekitar 47 dari 144 orang anggota gapokta secara aktif mengikuti kegiatan simpan pinjam. Pinjaman dikenakan bunga sebesar 2 persen perbulan dengan lama pinjaman rata-rata satu musim tanam. Kehadiran LKM-A Sauyunan telah memberi dampak positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat, khususnya petani anggota Gapoktan. Dampak dimaksud meliputi: (1) Mampu mengatasi kebutuhan modal usahatani tanpa agunan yang seringkali menjadi penghambat petani mengakses perbankan; (2) Berkurangnya jumlah bank keliling (rentenir) yang beroperasi di dalam desa akibat sebagian penduduk memilih meminjam ke LKM-A; dan (3) Berhasil mengurangi peminjaman modal usahatani ke bandar/pedagang pengumpul padi yang seringkali menentukan harga produksi sepihak lebih rendah dari harga pasar. Mengingat permodalan menjadi permasalahan paling mendasar yang dihadapi petani, fungsi dan peran LKM-A menjadi sangat strategis dalam rangka mengembangkan usaha pertanian. Kurangnya modal kerja yang tidak dapat diatasi bisa berdampak pada perolehan produksi dalam arti mengandung risiko terhadap pendapatan. Risiko lain yang dinilai mendesak untuk diatasi adalah bencana kekeringan dan serangan hama. Petani memandang kepentingan terhadap adanya asuransi pertanian sudah sangat mendesak. Transformasi LKM-A menjadi lembaga keuangan yang mandiri di pedesaan memerlukan selektifitas, setidaknya berdasarkan pengalaman pelaksanaan usaha simpan pinjam yang telah berlangsung. Identifikasi terhadap beberapa LKM-A yang ada mutlak diperlukan untuk menganalisis persyaratan minimum agar LKM-A bisa berperan menjadi lembaga keuangan yang bisa diakses petani secara mudah dan menjalankan usaha permodalan dengan berdaya saing dan berkelanjutan. Sistesis terhadap beragam kasus LKM-A berfungsi mendapatkan gambaran potensi, peluang dan hambatan dalam menjadikannya menjadi lembaga keuangan yang mudah diakses petani sekaligus mempunyai fungsi kontrol yang efektif terhadap potensi penyelewengan penggunaan, kemacetan pengembalian pinjaman, maupun kegagalan usahatani. Lembaga keuangan mandiri pedesaan diharapkan menjadi solusi persoalan permodalan usahatani saat kelembagaan perbankan sulit untuk diakses akibat persyaratannya yang tidak memungkinkan terpenuhi petani. Hasil identifikasi terhadap kedua LKM-A di atas maka aspek-aspek penting dipenuhi oleh LKM-A adalah:
12
Aspek
LKM-A Lembang Agri
LKMA Sauyunan
Keterangan
Komoditas
Hortikultura
Padi
Sesuai agroekosistem setempat.
Status Badan Hukum
Sudah berbadan hukum (2015)
Sudah berbadan hukum (2015)
Keduanya dinilai sudah memenuhi persyaratan menjalankan kegiatan bisnis
Struktur Organisasi
Merupakan bagian dari Gapoktan dan sudah memiliki struktur pengelolaan tersendiri.
Merupakan bagian dari Gapoktan dan sudah memiliki struktur pengelolaan tersendiri.
Secara struktur sudah mandiri dalam mengelola permodalan
Tujuan atau orientasi organisasi
Pemberdayaan dalam rangka pengembangan agribisnis dan peningkatan pendapatan petani
Pemberdayaan dalam rangka pengembangan agribisnis dan peningkatan pendapatan petani
-
Tingkat pengembalian pinjaman
Secara keseluruhan kembali dengan tingkat masalah dibawah 10 persen
Secara keseluruhan kembali dengan tingkat masalah dibawah 5 persen
Strategi mengatasi persoalan tunggakan
Restrukturasi hutang
Menangguhkan pinjaman selanjutnya. Pada situasi kegagalan panen dilakukan restrukturasi hutang.
Pengelola LKM-A ikut menganalisis keadaan usahatani
Nilai-nilai dan kekuatan kelancaran pemanfaatan dan pengembalian pinjaman
Rasa malu, keinginan usahatani maju, kebanggaan dipercaya
Rasa malu, terbangunnya pengawasan berlapis (ketua kelompok dan pengelola LKM-A)
Kekuatan dominan internal
Dampak kehadiran LKM-A
Berkurangnya ketergantungan modal terhadap bandar (risiko tekanan harga jual produksi)
Berkurangnya ketergantungan terhadap rentenir yang berbungan tinggi/mencekik
Berdampak terhadap aksesibilitas petani terhadap modal dan peningkatan penerimaan petani
Permodalan dan strategi mengatasi
Hanya mampu melayani anggota dalam jumlah pinjaman kecil. Pengurus bermitra dengan swasta.
Hanya mampu melayani sebagian kecil anggota. Seleksi peminjam lebih ketat.
Keduanya memerlukan pertambahan modal.
Ketrampilan SDM
Memiliki pendidikan formal dan pengalaman yang relatif memadai.
Pendidikan formal yang rendah dengan semangat melayani
Keduanya belum optimal namun memiliki potensi untuk ditingkatkan 13
Aspek
LKM-A Lembang Agri
LKMA Sauyunan
Keterangan
yang tinggi.
ketrampilannya.
Harapan terhadap pemerintah
Bantuan modal berupa pinjaman lunak, penjaminan usaha
Bantuan modal berupa pinjaman lunak dan penjaminan terhadap risiko usaha.
Keduanya memerlukan perolehan pertambahan modal usaha.
Tingkat bunga pinjaman yg diharapkan
6 persen per tahun
5 persen per tahun
Diperlukan subsidi
Organisasi, tujuan atau orientasi organisasi, SDM, strategi dan kekuatan sistem pengendalian/pengembalian pinjaman, serta badan hukum merupakan aspek penting dalam menilai kelayakan LKM-A untuk ditransformasi menjadi lembaga keuangan yang mandiri. Kelima aspek di atas menggambarkan menejemen pengelolaan dan teknis lembaga yang berkaitan dengan keprofesionalan dalam meningkatkan kinerja lembaga serta kemampuan membangun pola dan budaya kerja. Pelatihan, pendampingan, pembinaan dan fasilitasi masih tetap diperlukan sehingga LKM-A bisa menciptakan aturan-aturan, prosedur standar, sistem monitoring dan evaluasi, serta mekanisme pengembangan permodalan yang bisa diakses, dimanfaatkan, dan dikembangkan oleh petani. Secara bersamaan LKM-A mampu menyediakan modal yang cukup sesuai dengan besaran kebutuhan usahatani komoditas yang berkembang di wilayah bersangkutan. Seperti disebutkan sebelumnya, kesulitan petani dalam mengakses lembaga keuangan formal adalah prosedural dan syarat mutlak adanya agunan. Keterbatasan pengetahuan dan aset petani, sifat usahatani yang sangat tergantung kuat pada faktor eksternal seperti iklim, benih, hama penyakit dan sebagainya mengingatkan pentingnya lembaga permodalan dan penjaminan (seperti asuransi pertanian) yang memiliki mekanisme dan aturan yang tidak seketat lembaga keuangan formal. Dalam hal ini kehadiran pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat khususnya petani, perlu memberdayakan petani dengan pengembangan organisasi yang sudah melembaga di masyarakat dan memanfaatkan modal sosial seperti kepercayaan, rasa malu, saling mempercayai dan saling mengontrol sebagai unsur positif pengaturan yang memiliki keketatan maupun fleksibilitas tersendiri. 3.2.
Kemampuan LKM-A Melaksanakan Kegiatan Agribisnis
LKM-A Lembang Agri dan LKM-A Sauyudan memiliki kekhasan dalam melaksanakan kegiatan agribisnisnya. Perbedaan keduanya diakibatkan perbedaan komoditas yang dikelola sesuai basis komoditas setempat. Komoditas hortikultura 14
membutuhkan modal usahatani yang tinggi, risiko serangan hama penyakit yang tinggi, ketergantungan terhadap iklim yang tinggi, dan persaingan pasar yang lebih kompetitif dengan sifat produksi yang gampang busuk. Konsekuensinya, membutuhkan penjaminan dalam hal pengembalian pinjaman maupun penjaminan atas risiko usaha yang tinggi pula. Akibatnya, kondisi ini mempengaruhi dinamika pengurus LKM-A dalam membangun komunikasi dan koordinasi baik secara vertikal maupun horizontal secara internal maupun eksternal. LKM-A Lembang Agri melakukan komunikasi internal secara face to face dan media handphone. Pemukiman dan hamparan lahan yang berdekatan membuat komunikasi berjalan lebih intensif. Sementara secara eksternal komunikasi banyak dilakukan melalui handphone, email/website, dan menghadiri seminar atau pameran (oleh pemerintah maupun swasta/perusahaan). Keberhasilan pemasaran komoditas hortikultura yang kompetitif sangat ditentukan oleh kecepatan melakukan komunikasi dan optimalisasi jejaring yang dibangun. LKM-A secara aktif melakukan kerjasama dengan beberapa pihak lain terkait produksi dan pemasaran. Penyeragaman besaran BLM PUAP kepada semua Gapoktan menyebabkan memiliki kekuatan dan manfaat yang berbeda. Bagi Gapoktan berbasis komoditas hortikultura jumlah tersebut jauh dari cukup. Pengurus mencoba melakukan mitra permodalan dengan beberapa yayasan atau perusahaan yang bersedia menanamkan modal untuk dikelola oleh LKM-A Lembang Agri dengan perhitungan pembagian hasil atau pertambahan keuntungan. Keterbatasan modal membuat pengurus melakukan selektifitas peminjam dengan peraturan yang jelas dan tegas. Realitanya, LKM-A belum mampu memberi pinjaman sejumlah total biaya produksi. Peminjam sebagian besar adalah petani berlahan sempit atau petani menanam komoditas berbiaya kecil seperti wortel atau buncis. Karakteristik komoditas hortikultura yang dibutuhkan sepanjang tahun dan harus bersaing dengan komoditas yang sama dari beberapa sentra hortikultura di Jawa Barat (puncak, Garut, dll) maupun di tanah air (Berastagi, Wonosobo), pengurus Gapoktan melakukan pengaturan pola tanam agar tidak terjadi banjir produksi sejenis komoditas pada saat bersamaan dan menyebabkan harga anjlok. Pengaturan pola tanam menjaga agar produksi bisa tersedia secara berkelanjutan. Hal ini berfungsi mengurangi risiko penurunan harga jual komoditas, dan pada akhirnya menentukan kemampuan petani mengembalikan pinjaman modalnya. Risiko usahatani yang besar dan biaya yang tinggi mendorong pengurus Gapoktan dan pengelola LKM-A melakukan usaha agribisnis secara terintegrasi. Penanggungjawab unit usaha sarana dan pra sarana, unit usaha produksi, dan unit usaha permodalan memiliki ruang pekerjaan sendiri-sendiri, tetapi dalam implementasinya terhadap usahatani dan pinjaman anggota memiliki hubungan yang saling mendukung sekaligus mengkontrol. Misalnya, pinjaman modal diberikan dalam bentuk input produksi dan pembayarannya langsung dipotong saat 15
pemasaran hasil. Kelancaran dalam penyerahan produksi dan pembayaran hutang menentukan kelancaran perolehan pinjaman pada musim tanam selanjutnya.Sistem agribisnis terintegrasi seperti di atas mendorong Gapoktan memperhatikan seluruh rangkaian agribisnis secara seimbang, karena keberhasilan sistem dipengaruhi masing-masing sub sistem, termasuk mekanisme kerja sub sistem permodalan yang ditangani LKM-A. Ketersediaan modal dan aksesibilitas petani terhadap modal tersebut sangat menentukan usahatani dan produksi. Kondisi ini agak berbeda dengan LKM-A Sauyudan yang berbasis padi. Sifat komoditasnya yang relatif lebih memiliki fleksibilitas daya tahan dengan biaya usahatani yang lebih rendah (sekitar 6-8 juta per ha). Pinjaman modal yang diberikan kepada petani diperketat dalam seleksi penentuan peserta (seleksi berlapis oleh ketua kelompok, pengurus Gapoktan, dan pengelola LKM-A), namun ada tidak mengikat dalan input maupun produksi. Pinjaman diberikan dalam bentuk uang, bukan saprodi. Hingga saat ini, kedua Gapoktan belum menangani pengolahan hasil secara baik. Pemasaran komoditas masih mengandalkan segar, untuk padi dalam bentuk gabah kering giling. Sifat komoditas pertanian yang gampang busuk perlu ditangani berupa pengolahan hasil secara lebih serius. Langkah ini berperan meningkatkan nilai tambah komoditas dan peningkatan pendapatan petani. 3.3.
LKM-A sebagai Lembaga Keuangan Mandiri Perdesaan: Sintesis
Sejauh ini, permodalan masih merupakan persoalan penting yang dihadapi petani dalam menjalankan agribisnis di pedesaan. Sekalipun lembaga perbankan mengembangkan kiprahnya hingga ke wilayah tersebut, namun undang-undang dan aturan yang diterapkan dalam dunia perbankan menjadi tembok-tembok yang membatasi aksesibilitas petani untuk memanfaat permodalan yang disediakan lembaga itu. Belum lagi sifat sistem usahatani yang khas, musiman, banyak tergantung pada faktor-faktor eksternal. Kehadiran LKM-A sebagai lembaga keuangan mikro yang tidak menyaratkan agunan dengan prosedur yang sederhana, mengedepankan pemberdayaan petani dengan kekuatan modal sosial yang tumbuh di masyarakat, telah direspon sangat positif oleh masyarakat petani. Namun demikian, masih terdapat berbagai keterbatasan yang dihadapi lembaga ini dalam mengoptimalkan pelayanan keuangan, diantaranya: 1. Keterbatasan ketersediaan modal yang bisa dipinjamkan kepada anggota dibanding kebutuhan modal petani. Menurut petani, diperlukan ketersediaan modal lembaga tiga kali lipat modal produksi per musim tanam. 2. Penambahan modal perlu disertai dengan sumberdaya manusia pengelola LKM-A.
peningkatan
kemampuan
16
3. Keterbatasan kemampuan lembaga jika harus mendapatkan bantuan modal (tunai) dari lembaga keuangan formal. 4. Keterbatasan kapasitas SDM. Perlu pendampingan yang intensif bagi petani dalam membangun komunikasi dan koordinasi dengan pihak-pihak luar. Beberapa unsur pendukung penting dalam melakukan transformasi LKM-A menjadi lembaga keuangan yang mandiri meliputi: 1. Memiliki badan hukum. Badan hukum sangat penting sebagai pelindung petani penyimpan dan peminjam uang, azas legalitas melindungi operasionalisasi lembaga, mengembangkan pola jejaring usaha dengan lembaga keuangan lain dan penguatan usaha LKM-A. 2. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Organisasi dengan AD/ART akan mencakup pembagian tugas yang jelas dan menjadi unsur pendukung berjalannya menejemen dan pelayanan keuangan yang baik yang dapat ditingkatkan kinerja maupun transparansi serta akuntabilitasnya. 3. Modal sosial. Modal sosial dengan nilai-nilai dan norma masyarakat desa yang mendukung kelancaran proses simpan-pinjam keuangan. Tanggungjawab dan keterbebanan peminjam melakukan pembayaran hutang dipengaruhi rasa kepemilikan atas aset lembaga karena sebagian modal (simpanan wajib dan sukarela) adalah milik anggota. 4. Tata cara pelaksanaan. Aturan dan prosedur peminjaman disiapkan secara sederhana, sehingga terjangkau oleh petani/pelaku agribisnis perdesaan. 5. Evaluasi. Mengenal dan memahami petani, termasuk mengevaluasi kemampuan dan kemauan melakukan strukturisasi hutang tanpa memberatkan petani namun bersifat mengamankan keuangan lembaga/permodalan. Faktor penghambat: 1. Bentuk badan hukum LKM-A adalah koperasi yang dikeluarkan oleh Kementrian Perkoperasian, namun kementerian ini, sepanjang yang dapat ditelusuri tidak mempunyai konsep atau pemahaman tentang PUAP dan LKMA. Hal ini membuat konsep kerja dan sinergisitas lembaga menjadi kurang optimal. 2. Keterbatasan kemampuan LKM-A untuk mengakses dan memperoleh modal sesuai bunga lembaga keuangan formal. Diantara peran penting yang perlu dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka memfasilitasi LKM-A melakukan transformasi menjadi lembaga keuangan mandiri di pedesaan adalah:
17
1. Membantu proses pengurusan dan penerbitan badan hukum LKM-A, baik secara administrasi maupun keuangan dengan sistem persentase. 2. Memberi subsidi bunga bagi LKM-A untuk menambah kemampuan akses mendapatkan ketersediaan modal dari lembaga keuangan lain. Misalnya dengan membantu membayar selisih bunga bank dengan kemampuan LKMA/petani 3. Memberikan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan oleh SDM LKM-A agar mampu melaksanakan pengelolaan keuangan sebagaimana lembaga keuangan formal, tetapi dengan format dan prosedur lembaga keuangan non formal. 4. Mendorong kerjasama berbagai kegiatan bisnis dengan pendekatan kemitraan yang didukung pemerintah, baik tingkat pusat atau daerah (public-private partnerships) dalam rangka akselerasi pengembangan LKM-A menjadi lembaga keuangan mandiri. Matriks dibawah ini menyajikan aspek-aspek penting yang perlu dipenuhi LKM-A agar dapat bertransformasi menjadi lembaga keuangan mandiri di perdesaan: Aspek
Deskripsi
Komoditas/bisnis
Pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman obat, peternakan atau lainnya sesuai dengan agro-ekosistem setempat, termasuk onfarm, off-farm maupun non-farm
Status Badan Hukum
Memenuhi persyaratan untuk menjalankan kegiatan bisnis
Struktur Organisasi
Secara struktur sesuai dengan karakteristik kemandirian dalam mengelola permodalan
Tujuan atau orientasi organisasi
Pemberdayaan dalam rangka pengembangan agribisnis dan peningkatan pendapatan petani
Tingkat pengembalian pinjaman
Harus tinggi dengan cara mengidentifikasi dan menetapkan calon nasabah yang layak untuk menghindari masalah dalam pengembalian pinjaman dan menekan NPL serendah-rendahnya
Strategi mengatasi persoalan tunggakan
Pengelola LKM-A turut menganalisis keadaan usahatani atau menilai bisnis petani dan membantu menangani persoalan dengan nasabah (petani) dan melakukan restrukturasi pinjaman
Nilai-nilai dan kekuatan kelancaran pemanfaatan dan pengembalian pinjaman
Menjalin komunikasi secara konsisten dan berkesinambungan. Kekuatan dominan secara internal dengan menciptakan rasa malu tanpa merendahkan martabat peminjam, meningkatkan keinginan usahatani yang lebih maju, serta menjadi kebanggaan dan dapat dipercaya
Dampak kehadiran LKM-A
Berdampak terhadap aksesibilitas petani terhadap sumber-sumber permodalan dan meningkatkan penerimaan petani. LKM-A diorientasikan dapat mengurangi ketergantungan modal petani yang berasal dari pelepas uang/bandar (risiko tekanan harga jual produksi)
Permodalan dan
Memerlukan penguatan lembaga dengan penambahan modal 18
Aspek
Deskripsi
strategi mengatasi
secara signifikan untuk menjangkau lebih banyak petani. Mampu melaksanakan kegiatan bisnis dengan menjalin kemitraan dengan kalangan swasta
Ketrampilan SDM
Meskipun sebagian pelaksana LKM-A memiliki pendidikan formal dan pengalaman yang relatif memadai, namun peningkatan kualitas dan kapasitas SDM perlu terus ditingkatkan
Harapan terhadap pemerintah
Dibutuhkan dorongan langsung dengan fasilitas dan program, termasuk bantuan modal berupa pinjaman lunak, penjaminan usaha
Tingkat bunga pinjaman yg diharapkan (subsidi bunga)
Diperlukan subsidi bunga mengingat kemampuan LKM-A yang diduga hanya mampu menanggulangi suku bunga hingga 6 persen per tahun
Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019 mencantumkan langkah operasional peningkatan kesejahteraan petani dengan, antara lain, melindungi petani melalui penyediaan dan penyempurnaan sistem penyaluran subsidi input, pengamanan harga produk hasil pertanian di tingkat petani dan pengurangan beban risiko usahatani melalui asuransi pertanian serta memberdayakan petani dengan penguatan kelembagaan petani, peningkatan ketrampilan serta akses terhadap sumber-sumber permodalan (Kementerian Pertanian, 2015). Langkah ini senafas dengan amanat UU No. 19/2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani. Dengan deskripsi diatas, LKM-A yang memiliki potensi untuk dikembangkan perlu diperkuat dengan memenuhi semua persyaratan dasar lembaga keuangan, termasuk dengan membantu memberikan ijin usaha, baik on-farm, off-farm, maupun non-farm. Mengintegrasikan seluruh program pengembangan sesuai dengan langkah operasional peningkatan kesejahteraan petani, LKM-A diharapkan bertransformasi menjadi lembaga keuangan yang dapat beroperasi secara mandiri. 4. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 4.1. Kesimpulan Gapoktan yang membawahi LKM-A pada umumnya memiliki sumberdaya dengan kemampuan manajemen yang baik, meskipun mereka tidak menikmati pendidikan tinggi. Terbatasnya modal yang dimiliki untuk dikelola juga menjadi penyumbang terhadap rendahnya omset kegiatan yang dilakukan LKM-A, baik kegiatan bisnis on-farm, maupun off-farm. Keterbatasan modal adalah tantangan tersendiri LKM-A, walaupun sudah memiliki dokumen badan hukum koperasi. Akses ke lembaga keuangan formal (perbankan) masih terbatas, bukan karena banyaknya urusan administrasi, tetapi lebih pada ketidaksediaan aset untuk dijadikan agunan pinjaman. Para pengurus LKM-A memiliki kemampuan manajerial, termasuk pengelolaan keuangan yang memadai, setidaknya pada tingkat keberhasilan yang dicapai saat 19
ini. Hal ini mengindikasikan kekuatan yang dimiliki pengurus meskipun pencapaian tersebut masih berada pada tingkatan dengan cakupan pelayanan yang relatif rendah (jumlah nasabah masih terbatas). Keberhasilan ini bukan semata-mata karena prestasi manajemen, tetapi lebih didasarkan atas peran pengurus dengan tingkat kepercayaan pengelolaan yang ditunjukkan kepada nasabah (termasuk pembukuan keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan). Gapoktan membutuhkan bantuan perkuatan agar dapat bertransformasi menjadi lembaga keuangan yang dapat diakses petani di perdesaan. Gapoktan dengan LKM-A yang sudah berbadan hukum dinilai layak dipertimbangkan sebagai lembaga keuangan perdesaan yang mandiri yang terhadap lembaga ini dapat diberikan kepercayaan mengelola dana yang lebih besar. Dana yang lebih banyak akan menjangkau lebih banyak lagi petani yang membutuhkan modal usaha atau modal kerja, termasuk modal untuk membiayai usahatani. Ketrampilan lanjutan dapat diperoleh melalui berbagai pembinaan, langsung maupun tidak langsung dari pemerintah setempat ataupun dengan bermitra usaha dengan kalangan swasta. 4.2. Implikasi Kebijakan Secara sosial, modal utama yang dimiliki pengurus LKM-A adalah adanya kepercayaan anggota terhadap pengelolaan bisnis/kegiatan agribisnis yang dijalankan. Dalam kaitan dengan modah usaha, LKM-A memiliki keterbatasan. Bantuan modal usaha agribisnis melalui Program PUAP sebesar Rp. 100 juta kepada Gapoktan kini sangat kurang untuk menjalankan bisnis yang semakin maju, khususnya oleh LKM-A yang sudah berbadan hukum (koperasi). Nilai bantuan tersebut saat ini sudah dan terus meningkat, namun sulit mendeteksi sumbangan yang diberikan nilai bantuan tersebut karena secara operasional dana bantuan ini digabungkan dengan dana operasional yang berasal dari sumber lain. Dengan kondisi seperti saat ini, LKM-A yang sudah berbadan hukum, maju, dan mempunyai potensi untuk dikembangkan layak dipertimbangkan untuk menerima bantuan modal tambahan untuk memperkuat modal usaha yang tersedia. LKM-A perlu ditingkatkan, diperkuat, dan didorong menjadi lembaga keuangan yang mandiri di perdesaan. Diantara keuntungan memiliki lembaga keuangan yang kuat di perdesaan adalah (a) petani memiliki kesempatan memperoleh modal kerja untuk membiayai usahatani, (b) mempunyai calon nasabah (petani anggota kelompok tani) yang terseleksi dengan perputaran dana yang besar, (c) LKM-A hadir dan berlokasi di perdesaan, dekat dengan petani, dan dapat dipercaya dan diawasi secara langsung oleh petani, (d) LKM-A dapat mengembangkan bisnis dengan membuka unit perdagangan khusus, seperti kios usahatani, distribusi input usahatani, pemasaran bersama hasil pertanian, dan kegiatan bisnis lainnya, dan (e) dapat meningkatkan keuntungan usahatani atau memperbaiki kesejahteraan petani atau masyarakat perdesaan pada umumnya. Dengan beberapa keuntungan diatas, LKM-A yang berprestasi (memiliki badan hukum koperasi) layak dipertimbangkan memperoleh 20
dana tambahan melalui bank dengan subsidi bunga. Subsidi bunga diajukan untuk menolong petani dan membantu LKM-A mengembangkan usaha/bisnis. Memerhatikan pengenaan agunan untuk meminjam modal kerja ke perbankan, LKM-A akan mengalami kesulitan meningkatkan usaha strategisnya. Jika LKM-A tidak dapat mengakses perbankan, apalagi yang dapat dilakukan petani? Oleh karena itu, transformasi LKM-A menjadi lembaga keuangan yang mandiri di perdesaan harus menjadi tujuan penguatan lembaga keuangan mikro. Pernyataan ini beralasan karena Indonesia belum memiliki bank yang khusus melayani kepentingan petani (bank pertanian), meskipun UU No. 19/2013 mengamanatkan pentingnya lembaga pembiayaan untuk membantu kegiatan pertanian. Melalui pendekatan kemitraan (public-private partnerships) berbagai kegiatan bisnis di perdesaan dapat dilaksanakan dan diharapkan dapat berkembang dengan produk pertanian yang memiliki daya saing. Lembaga atau instansi terkait dalam pengembangan usaha di perdesaan perlu mengambil posisi yang tepat membantu meningkatkan kemampuan usaha pertanian yang menghasilkan produk bermutu dan memiliki nilai komersial. Secara khusus, pemerintah daerah (instansi terkait) perlu menyediakan rencana bisnis terapan (applied business plan) dengan fasilitas regulasi, promosi, dan pengawalan yang didukung oleh peran penting lembaga keuangan seperti LKM-A dan dikerjasamakan dengan kalangan swasta setempat hingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat perdesaan. Secara diagram, kegiatan kemitraan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
LKM-A
Dukungan pendanaan
Mitra usaha lokal
Dukungan pendanaan
Kegiatan bisnis
Petani/ Kelompok tani
Program/Fasilitas
Program/Fasilitas Program/Fasilitas
Pemerintah Daerah (lembaga/dinas terkait)
21
Terjadinya perubahan skema perkreditan saat ini dengan KUR format baru, misalnya, terbuka kesempatan bagi LKM-A untuk mengakses perbankan. Namun, dukungan pemerintah sangat vital dengan menyediakan fasilitas khusus agar dapat memenuhi kebutuhan ini, seperti peraturan yang mengijinkan LKM-A melakukan transaksi kredit ke perbankan dan diikuti oleh suku bunga rendah (subsidi) dan fasilitas lainnya. Sumber dana lain, seperti dana CSR dapat diusulkan sebagai sumber permodalan lain, sehingga perusahaan penyedia dana CSR bukan hanya memberikan modal untuk menghasilkan produk tertentu, tetapi juga memiliki kesempatan berinvestasi dan memberikan kontribusi pengembangan lembaga keuangan mikro di perdesaan. Referensi Ashari. 2009. Optimalisasi Kebijakan Kredit Program Sektor Pertanian di Indonesia . Analisis Kebijakan Pertanian 7 (1). Departemen Pertanian. 2009a. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Deptan Press. Jakarta. Departemen Pertanian. 2009b. Petunjuk Teknis Penyaluran dan Pemanfaatan Dana BLM PUAP. Deptan Press. Jakarta. Direktorat Pembiayaan Pertanian. 2015. Pengembangan LKM-A pada Gapoktan PUAP Tahun 2015. Direktorat Pembiayaan Pertanian, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta. p. 2. Kementerian Pertanian, 2015. Pedoman Pengembangan LKM-A pada Gapoktan PUAP Tahun 2015. Deptan Press. Jakarta. Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019. Kementerian Pertanian. Jakarta. Pasaribu, S. 2012. Politik Pembiayaan Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan. Dalam Ananto, EE., et al. (Eds.): Kemandirian Pangan Indonesia dalam Perspektif Kebijakan MP3EI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta. pp. 108-120. Pasaribu, SM., JF. Sinuraya, NK. Agustin, S. Wahyuni, Y. Supriyatna, Y. Marisa, J. Hestina, E. Jamal, B. Prasetyo, Saptana, Sugiarto, Supadi, dan M. Iqbal. 2011. Penentuan Desa Calon Lokasi PUAP 2011 dan Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor. Saptana, S. Wahyuni, dan S.M. Pasaribu. 2013. Strategi Percepatan Transformasi
Kelembagaan Gapoktan dan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis Dalam Memperkuat Ekonomi di Perdesaan. Jurnal Manajemen dan Agribisnis 10 (1): 60-70.
22
23