Perspektif Kompleksitas Dalam Melihat Fenomena Empiris Sistem Ekonomiα
Hokky Situngkirβ Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute & Research Fellow Surya Research International
Rolan Mauludyχ Scholar on Complex Economics Dept. Comp. Soc. Bandung Fe Institute
0. Pengantar Dengan memahami bahwa sistem kompleks sebagai sistem yang sangat rumit di mana bagian-bagian di dalamnya memiliki keterkaitan dan interdependensi yang sangat tinggi maka tak pelak kita menyadari bahwa sistem ekonomi termasuk sebagai sebuah sistem yang kompleks. Kita tentu pernah mendengar sebuah ungkapan yang menunjukkan kelekatan sistem ekonomi dan identitasnya sebagai sebuah sistem kompleks: everything depends on everything else. Mengingat tingginya kompleksitas dalam sistem ekonomi ini, maka tentu saja dengan memperhatikan bahwa dampak dari setiap kebijakan ekonomi berkenaan dengan hajat hidup orang banyak, tentu ilmu ekonomi juga memerlukan perspektif yang luas dalam mengobservasi sistem ini. Sebagai ilustrasi sederhana, dalam sejarah fisika, dikenal sebuah kondisi yang disebut sebagai kondisi ‘transisi fasa’: sebuah titik kritis terjadinya perubahan fasa zat, misalnya dari cair ke gas. Hukum-hukum fisika konvensional bekerja dengan baik pada fasa zat yang pasti, seperti cair, gas, atau padat. Sayangnya, hal yang sama tak berlaku pada titik transisi fasa. Di titik ini, tingkat kompleksitas dari zat menjadi luar biasa rumit, satu hal menjadi begitu bergantung pada hal lain, everything depends on everything else. Sekarang coba kita lihat sistem ekonomi. Seorang ekonom pasti serta-merta sadar akan betapa rumitnya; ekonomi lekat dengan ungkapan, ‘semua hal sangat bergantung pada semua hal lain’. Contohnya, pergerakan saham-saham di Bursa Efek Jakarta. Mari kita berandai-andai, misalkan ada sebuah berita yang menyatakan bahwa pendapatan Telkom menurun. Akibatnya, investor mencabut investasinya dan beralih ke saham Indosat, yang mendongkrak nilai sahamnya di bursa. Terjadi korelasi negatif dari fluktuasi harga kedua saham. Artinya, sebagaimana analisis standar mengatakan, jika yang satu turun, yang lain terdongkrak. Bukannya keduanya berada di sektor yang sama? Namun ternyata, misalnya kenaikan saham Indosat tadi menjadi ekstrem. Begitu tingginya sampai-sampai perusahaan ini menaikkan jumlah produksi, jumlah cabang, jumlah tenaga kerja, bahkan tenaga kerja diupayakan bekerja siang dan malam untuk mempertahankan pencapaian ini. Makin banyak pula demand dari tenaga kerja di berbagai lokasi produksi Indosat yang berbondong-bondong ke warung Indomie siang dan malam. Akibatnya adalah penjualan yang menjadi berlipat ganda oleh perusahaan Indofood α
Makalah disampaikan pada diskusi bersama LPEM Universitas Indonesia, Jakarta, 12 Juni 2006. Peneliti di Surya Research International dan Bandung Fe Institute dengan bidang kajian sosiologi komputasional dan ekonofisika. χ Scholar bidang complex economics di Bandung Fe Institute. β
1
penghasil Indomie yang pada gilirannya akan juga mampu mendongkrak nilai sahamnya di bursa – justru terjadi korelasi positif antara saham dengan sektor yang sangat berbeda. Ini yang tak terantisipasi oleh analisis standar. Di sini jelas terlihat bahwa di sistem ekonomi ada saling-keterkaitan yang sangat intens. Jika ada 300 saham yang diperdagangkan di BEJ, maka untuk menganalisis situasi ekonomi yang direpresentasikan aktivitas dalam bursa efek, kita harus memperhatikan 90000 interaksi. Sebuah hal yang luar biasa rumit jika kita konsisten dengan pendekatan ekonomi konvensional. Fisika mengenal beragam model untuk analisis semacam ini lewat analisis model spin, disokong simulasi komputasional sehingga dinamika yang terjadi bisa teramati. Salah satu caranya, semua “spin” dianggap saling berinteraksi satu sama lain yang terikat sebuah aturan yang berubah menurut waktu. Fenomena kritis transisi fasa di fisika akhirnya berpeluang memberikan potensi besar dalam analisis pertumbuhan ekonomi. Dan interaksi yang dimaksud tidak harus berhenti di saham-saham. Saling-kebergantungan antar aktor ekonomi atau agen sistem sosial juga bisa menciptakan beragam tipe perilaku agregat yang beragam, ketika di lain tempat, pendekatan asumtif atas sistem yang teramati disambung oleh kebijakan yang asumtif pula. Konsekuensinya bisa dramatis bagi pertumbuhan sistem yang bersangkutan. Analisis sistem kompleks yang khusus membicarakan ikhwal sistem ekonomi secara umum lahir dari tuntutan bahwa ilmu ekonomi konvensional memerlukan berbagai pembaharuan agar mampu menjelaskan berbagai fenomena yang ditemui di dunia nyata yang seringkali kurang bersesuaian dengan berbagai teori ekonomi yang luas berkembang namun justru sering menjadi referensi dalam pengambilan kebijakan, baik di tataran ekonomi makro maupun kebijakan yang berlingkup pada satu firma saja. Tuntutan ini pada akhir abad ke-20 yang lalu dibarengi pula dengan sebuah tren dalam ranah ilmu fisika yang menggunakan berbagai perangkat mekanika statistika dan sistem kompleks. Tren ini disebut ekonofisika, dan saat ini ekonofisika telah cukup banyak memberikan kontribusinya dalam pendalaman pemahaman kita akan sistem ekonomi yang kompleks ini. Dalam ilustrasi sederhana, kiprah ekonofisika dalam ilmu ekonomi ini ditunjukkan pada gambar 1.
FISIKA
EKONOMI EKONOFISIKA
model & perangkat analisis
metodologi, konsep, fundamental
Gambar 1. Ekonofisika dengan referensi model fisika dan ekonofisika yang melahirkan konsep, metodologi, dan fundamental baru dalam ekonomi.
Dalam hal ini, di samping model fisika dapat dianggap sebagai referensi dalam konstruksi model ekonomi dan keuangan, di sisi lain ekonomi pada dasarnya juga memberikan sifat-sifat fisis yang memang layak untuk didekati dengan ilmu fisika. Fisika secara umum, sebagaimana diterangkan di atas telah berubah dari bentuknya yang tadinya
2
sangat deterministik menjadi konstruksi solutif tatkala sebuah pertanyaan diajukan berkenaan dengan alasan terjadinya sebuah fenomena berdasarkan akal sehat atau pandangan analitis yang fundamental. Inilah yang juga terjadi dalam ekonofisika, ketika berbagai pertanyaan tentang terjadinya berbagai fenomena dalam sistem keuangan dan harus dijawab dengan alasan dan jawaban yang melibatkan akal sehat dan konsep-konsep fundamental. Jadi, pertanyaan tentang bagaimana interaksi antar pelaku ekonomi dan agen dalam sistem keuangan berinteraksi sedemikian sehingga menghasilkan data-data ekonomi keuangan sebagaimana dianalisis adalah sebuah pertanyaan fisika, dalam kacamata seorang ekonofisikawan. Contoh yang menarik adalah metode DFA (Detrended Fluctuation Analysis) yang diajukan pertama kali oleh beberapa peneliti biofisika dalam riset tentang sekuen-sekuen DNA dan sinyal psikologis. Hal serupa dapat juga terjadi dalam ekonofisika. Tidak cuma teknik, namun juga konsep dan dasar-dasar pendekatan ilmiah dapat hadir dalam ekonofisika yang sedang menganalisis sistem ekonomi keuangan. Hal ini membuka peluang yang selebar-lebarnya untuk penemuan fisika di antara jutaan data-data ekonomi keuangan. Hal ini ditunjukkan dengan lahirnya “ekonomi baru” sebagaimana ditunjukkan oleh pakar ekonomi kompleksitas dari Santa Fe Institute, W. Brian Arthur, yang ditunjukkan dalam tabel 1. Tabel 1. Analisis Ekonomi Lama vs Analisis Ekonomi Baru Ekonomi Lama Berdasarkan fisika abad ke-19 (ekuilibrium, stabilitas, dinamika deterministik) Pelaku ekonomi dianggap identik Jika eksternalitas berhasil ditiadakan dan semua agen ekonomi memiliki kemampuan yang sama, kita mencapai Nirwana. Elemen-elemennya adalah kuantitas dan harga Subyek ekonomi dilihat sederhana secara struktural Ekonomi sebagai soft-physics
Ekonomi Baru Berdasarkan fisika kontemporer dan kajian disiplin lain seperti biologi (stokastisitas, struktur, pola, pengorganisasian diri, siklus hidup) Terfokus pada kehidupan individual, tiap orang dianggap terpisah dan berbeda. Eksternalitas dan perbedaan senantiasa menjadi energi pendorong ekonomi. Tidak ada Nirwana. Sistem senantiasa berubah. Elemen-elemennya adalah pola dan kemungkinan Subyek dilihat kompleks secara inheren Ekonomi sebagai ilmu dengan matematika kompleksitas tingkat tinggi
Disarikan dari Waldrop, 1993
Makalah ini mengetengahkan beberapa ikhwal dari analisis kompleksitas yang menarik yang berpotensi memberikan kontribusinya bagi perkembangan ilmu ekonomi secara umum. Secara singkat kita diajak untuk melihat point-point yang menarik tentang bagaimana ekonofisika melalui mekanika statistik serta sistem kompleks-nya memberikan kontribusi aktif bagi perkembangan ekonomi di masa depan. Tentu banyak sekali bidang yang sudah dijelajahi oleh ekonofisika dan satu makalah tak akan mampu meng-cover seluruhnya. Namun penulis berharap melalui makalah singkat ini, kita akan mendapatkan big picture seperti apa kira-kira wajah ilmu ekonomi ketika ia memandang sistem sosial yang diobservasinya dilihat dalam perspektif sistem kompleks.
3
1. Distribusi Stabil Levy Salah satu konsep utama dalam ilmu pengetahuan adalah gerak random. Konsep ini diperkenalkan oleh Albert Einstein pada tahun 1905 dalam kajiannya mengenai bilangan Avogardo. Namun sebenarnya, formulasi awal pertama dari pekerjaan tersebut telah dilakukan oleh Louis Bachelier, lima tahun sebelumnya, dalam tesisnya mengenai perubahan harga. Bachelier mengusulkan penggunaan distribusi normal dalam melihat perubahan harga. Beberapa dekade kemudian, analisis ini digantikan pendekatan lognormal. Di sini, perbedaan logaritma harga mengikuti distribusi Gauss atau sering disebut geometric Brownian motion. Namun terdapat dua masalah dalam pendekatan ini yaitu (Mantegna dan Stanley, 2000): 1. Secara empiris ekor distribusi banyak data ekonomi (dan keuangan) lebih gemuk daripada nilai ekspektasi geometric Brownian motion. 2. Terjadi fluktuasi variansi perubahan harga Untuk mengatasi kendala tersebut, Benoit Mandelbrot (1963) mengusulkan penggunaan distribusi Levy dalam menganalisis perubahan harga. Distribusi Levy bersifat stabil, artinya setelah limit waktu tertentu proses stokastik yang ada tidak akan mengakibatkan terjadinya perubahan sifat distribusi. Distribusi tersebut lahir dari upaya Levy dan Khintchine untuk menyelesaikan masalah umum dari seluruh kelas distribusi stabil. Mereka menemukan fungsi karakteristik umum dari proses stokastik stabil sebagai berikut:
ln ϕ (q ) =
{
q α⎡ ⎛ π ⎞⎤ iμq − γ q ⎢1 − iβ tan⎜ α ⎟⎥ q ⎝ 2 ⎠⎦ ⎣
if α ≠ 1 .............(1)
⎡ ⎤ q 2 iμq − γ q ⋅ ⎢1 + iβ ln (q )⎥ qπ ⎣⎢ ⎦⎥
if α = 1
dimana ϕ (q) adalah transformasi Fourier probability density function, 0 < α ≤ 2 , γ adalah sebuah faktor skala positif, μ adalah sebuah bilangan riil, dan β adalah parameter kesimetrian yang bernilai antara -1 sampai dengan 1. Secara analitik masalah ini hanya dapat diselesaikan pada sedikit kasus, misalkan pada distribusi normal yang memiliki α = 2 . Artinya distribusi normal adalah sebuah kasus khusus dalam proses stokastik stabil. Untuk kasus distribusi stabil dan simetris ( β =0) atau nilai momen pertama sama dengan nol, maka akan didapatkan nilai aproksimasi asimtut proses stabil sebagai berikut (Mantegna dan Stanley, 2000):
PL ( x ) ≈ x
− (1+α )
.............(2)
Dari persamaan 2 terlihat bahwa asimtut yang dihasilkan mengikuti pangkat tertentu. Properti ini membawa konsekuensi teroretis terhadap momen-momen distribusi. Untuk semua proses stabil, ketika α < 2 maka nilai variansi menjadi takhingga. Secara teoretis kondisi ini mengakibatkan parameter tersebut menjadi tidak berguna. Misalkan dalam analisis resiko, variansi yang tak hingga mengakibatkan perhitungan estimasi resiko menjadi lebih rumit. Konsekuensi lain dari hukum pangkat adalah terjadinya kelebihan kurtosis (kurtosis > 3). Artinya akan ada banyak data yang menumpuk di ekor distribusi. Hal menarik jadi timbul ketika kita berbicara tentang berbagai fakta empiris dalam kajian tentang sistem ekonomi. Dari ulasan sebelumnya kita dapat melihat bahwa dari 4
proses stabil Levy dihasilkan distribusi power-law. Fenomena power-law telah dikenal lama dalam ekonomi, lebih dari 100 tahun yang lalu, melalui Vilfredo Pareto. Ekonom Italia ini menemukan bahwa karakteristik statistik kekayaan individu berdistribusi powerlaw. Pareto menunjukkan bahwa karakteristik ini berlaku secara umum, misalnya di Inggris, Jerman, Itali dan Peru. Karena kekayaan berdistribusi power-law maka ukuran kesenjangan yang terjadi tidak direpresentasikan dengan menggunakan variansi, tetapi menggunakan koefesien Gini. Satu dekade terakhir ini, power-law semakin sering dikaji. Hal ini terjadi karena ditemukan sejumlah fakta empiris yang berpengaruh terhadap ilmu ekonomi seperti ukuran perusahaan di Amerika Serikat (Axtell, 2001), ukuran kota (Gabaix, 1999), dan fluktuasi harga di pasar keuangan (Gabaix, dkk, 2003). Selain itu fenomena power-law juga ditemukan dalam analisis pertumbuhan. Namun berbeda dengan kekayaan, ukuran perusahaan dan ukuran kota, fenomena tersebut tidak terlihat melalui hubungan langsung. Amaral dan rekan (1997) mengkalkulasi laju pertumbuhan perusahaan manufaktur di Amerika Serikat tahun 1974-1993. Analisis dilakukan antara logaritma kekayaan awal ⎛S ⎞ ( s0 = ln S 0 ) dengan pertumbuhan ( r1 = ln⎜⎜ 1 ⎟⎟ ). Riset ini bertujuan untuk me-review teori ⎝ S0 ⎠ pertumbuhan perusahaan, yang dibangun oleh Gilbrat pada tahun 1931, yang menyakini bahwa distribusi yang terjadi akan berdistribusi normal. Dari hasil perhitungan ditunjukkan bahwa nilai p (r1 s0 ) terhadap r1 tidak berdistribusi normal, melainkan membentuk sebuah hubungan eksponensial. Canning dan rekan (1997) mengkaji fluktuasi pertumbuhan GDP. Jika yi ,t adalah GDP negara i pada waktu t maka dapat kita hitung pertumbuhan sebagai logaritma rasio ⎛g ⎞ GDP ( gi ,t = ln⎜⎜ i ,t +1 ⎟⎟ ). Dalam perhitungan tersebut dianggap bahwa pertumbuhan ⎝ gi ,t ⎠ dipengaruhi faktor internal negara ( δ i ), parameter global (ψ t ) dan faktor residu ( ri ,t ), dengan E [ri ,t ] = 0 , dimana gi ,t = δ i + ψ t + ri ,t
.............(3)
(A)
(B)
Gambar 2. (A) logaritma probabilitas kerapatan terhadap faktor residu dan (B) logaritma standar deviasi pertumbuhan GDP residual terhadap logaritma GDP (Canning, dkk, 1997)
5
Dari perhitungan diketahui bahwa logaritma probabilitas kerapatan yang terjadi ( ln ( p (r y )) ) membentuk hubungan linear terhadap faktor residual. Pada gambar 2-A terlihat bahwa variansi berhubungan dengan ukuran GDP. Pada gambar 2-B terlihat bahwa standar deviasi pertumbuhan GDP residual ( σ r ( y ) ) dan GDP membentuk hubungan linear logaritma berganda atau σ r ( y ) ≈ y −0.15 .
2. Interaksi dan Perilaku Aggregat Dalam model interaksi jaringan pertetanggaan, yang dikonstruksi oleh Durlauf (1996), ditunjukkan bahwa pada saat interaksi di tingkat lokal lemah, jika ukuran aggregasi diperbesar maka akan terjadi penurunan volatilitas secara cepat. Jika interaksi di tingkat lokal kuat maka penurunan volatilitas yang terjadi menjadi lebih lambat. Pada saat kondisi kritis, maka tingkat penurunan volatilitas yang terjadi mengikuti hukum pangkat (lebih lambat kejatuhannya dibandingkan dengan saat interaksi di tingkat lokal lemah). Dari observasi Canning dan rekan (1997) kita dapat melihat bahwa penurunan volatilitas pertumbuhan GDP mengikuti hukum pangkat. Secara empiris, penurunan volatilitas yang terjadi lebih lambat dibandingkan dengan pada saat interaksi di tingkat lokal lemah. Dapat kita simpulkan bahwa volatilitas sistem pada tingkat aggregat, dalam hal ini pertumbuhan GDP, sangat terkait dengan konstrain struktur interaksi di level mikro. Kesimpulan ini memperlemah posisi pendekatan konvensional ekonomi yang mengasumsikan hubungan agen bersifat independen. Hukum pangkat merupakan tanda sistem kompleks. Sistem kompleks adalah sebuah sistem yang berada di antara order dan disorder. Dalam kondisi ini muncul sejumlah properti lebih dari sekadar deskripsi awal sistem atau disebut juga membrojol atau emergence. Sistem kompleks berada pada kondisi kritis. Keadaan ini berhubungan dengan sifat pengaturan diri dalam kondisi kritis atau self-organized criticallity. Dalam kondisi tersebut dimungkinkan terjadi ketidakproporsionalan antara masukan dan keluaran sistem atau sering disebut non-linearitas.
3. Jembatan Makro-Mikro Ketika seorang hendak menganalisis suatu sistem sosial atau ekonomi, orang tersebut setidaknya mesti memperhatikan 2 hal penting. Pertama, interaksi dan umpan balik positif. Lingkungan ekonomis yang kompleks secara tipikal ikut tersusun oleh interaksi langsung antar pelaku ekonomi sebagai landasan mikroekonomisnya. Aktor individual dikonseptualisasikan sebagai pembuat keputusan yang pilihannya sangat tergantung pada keputusan aktor-aktor lain. Konseptualisasi ini sangat berbeda dengan model ekonomis yang tambun dan menganggap individu hanya terhubung ke sistem yang lebih besar semata lewat harga yang terbentuk di pasar. Padahal dengan cara lain, dengan menghubungkan secara langsung tiap pelaku ekonomi dengan sesamanya, model-model ekonomi bisa bergerak lebih jauh, mampu mengakomodasi seperangkat fenomena yang lebih kaya seperti yang dilakukan ekonofisika, jauh lebih beragam relatif terhadap model-model konvensional. Kedua, peningkatan hasil (increasing return) dan ketergantungan pada jalur (path dependence). Contoh sederhananya sebagai berikut. Anggap ada perusahaan dengan 10 pekerja dan 10 mesin yang bisa menghasilkan 100 unit output. Sekarang pertanyaannya adalah, dengan 20 pekerja dan 20 mesin, berapakah output yang dihasilkan? Jika
6
jawabannya ternyata kurang dari 200 unit, maka perusahaan itu mengalami penurunan hasil (decreasing return). Jika outputnya tepat 200 unit, maka yang didapat adalah penurunan hasil yang konstan. Sebaliknya, kalau perusahaan ternyata menghasilkan lebih dari 200 unit, yang berlaku adalah hasil yang meningkat. Lingkungan sosial dan ekonomi yang kompleks seringkali memunculkan beberapa jenis peningkatan hasil. Salah satu alasannya, hasil yang meningkat itu muncul sebagai konsekuensi dari hubungan umpan-balik positif. Contohnya, dua ilmuwan yang masingmasing mempunyai perspektif yang berbeda bekerja-sama. Ketika keragaman perspektif ini dilibatkan, maka kemajuan akan menjadi jauh lebih pesat jika dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan secara terisolasi. Patut dicatat bahwa kebergantungan adalah versi dinamik dari efek umpan-balik positif. Ketika perilaku dalam satu periode tertentu cukup untuk melahirkan perilaku serupa di masa depan, sebuah sistem bisa memunculkan tipe-tipe perilaku dalam jangka panjang yang beragam, masing-masing ditentukan oleh kejutan tertentu yang terjadi lebih dulu dalam untaian sejarahnya. Apa pentingnya konsep peningkatan hasil dan ketergantungan pada jalur pada produksi terhadap penentuan kebijakan? Contoh kasusnya bisa ditemui di peningkatan produksi dari perusahaan atau firma, lebih spesifik, perusahaan high-tech. Perusahaan-perusahaan teknologi tinggi memerlukan riset dan pengembangan yang kontinu untuk tetap membuat produk mereka kompetitif, karena memang saling-kebergantungan antara produk mereka dan produk perusahaan lain tak bisa dikesampingkan. Riset dan pengembangan menjadi keharusan demi membentuk peningkatan hasil semaksimal mungkin, serupa dengan ide dan inovasi yang lebih banyak tercipta oleh angkatan kerja yang besar dan beragam daripada angkatan kerja yang kecil lagi homogen. Sejalan dengan peningkatan hasil, ongkos rata-rata produksi per unit menurun sesuai tingkat produksi. Jadi keuntungan biaya akan meningkat untuk perusahaan yang berproduksi pada tingkat lebih tinggi. Lebih jauh, keberadaan ongkos produksi tetap yang substansial melahirkan skala produksi minimum yang dibutuhkan hingga produk bisa dilempar ke pasar. Kalau digabung, efek peningkatan hasil bisa berakhir di hanya satu atau beberapa perusahaan saja yang benar-benar mendominasi. Peningkatan hasil pada produksi barang atau pada pengembangan teknologi baru bukan satu-satunya alasan yang mengarah pada kesimpulan bahwa industri teknologi tinggi secara unik begitu peka pada perilaku pasar yang tidak kompetitif. Satu isu yang penting dalam aktivitas komputerisasi adalah harus diperhitungkannya gejala keterkuncian (lock-in) permintaan. Keterkuncian permintaan bisa dilihat dengan mudah di banyak kasus, seperti pada pertempuran format video betamax melawan VHS. Sekali seseorang yang hanya bisa mengoperasikan satu atau dua format VCR membeli satu buah mesin, maka, kecuali dia butuh mesin baru, dia `terkunci’ dalam satu format pita video. Gejala ini juga lumrah untuk barang lain, karena ternyata, hasrat seseorang untuk mempunyai satu format video standar akan sangat bergantung pada tingkat penggunaan standar oleh orang lain. Kata kuncinya adalah ‘orang lain’. Bayangkan, jika satu teman menggunakan standar yang sama, maka saling pinjam, saling berbagi, lalu saling berbagi tips antar teman menjadi mudah. Jika efek ini cukup kuat, maka peningkatan hasil jenis apapun yang bahkan sebenarnya independen satu sama lain hanya akan mengarah pada satu format standar saja. Alasan lain yang juga realistik, anggap saja akses ke satu format video didukung oleh tingkat penggunaan format itu. Kebergantungan ditentukan oleh persentase ketersediaan mesin pemutar di toko untuk masing-masing format. Sekali lagi, permintaan satu jenis
7
VCR yang juga berarti satu format pita video sangat bergantung pada tingkat permintaan oleh pembeli lain. Dengan adanya non-linearitas dalam hubungan makro-mikro seperti di-ilustrasikan di atas, apakah berarti kita kehilangan kemampuan untuk mengidentifikasi efek dari sebuah kebijakan secara luas? Tentu saja tidak. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut muncul sejumlah pendekatan baru. Salah satunya adalah Agent-Based Model (ABM) atau dalam ekonomi disebut Agent-Based Computational Economics. ABM adalah sebuah pemodelan dimana struktur sosial dan perilaku kelompok dibrojolkan dari interaksi agen-agen yang ada dari sistem artifisial tersebut (Epstein dan Axtell, 1996). Dalam ABM, agen-agen tersebut mengambil keputusan berdasarkan set aturan tertetu. Namun di sini agen dimungkinkan untuk belajar atau beradaptasi. Karakteristik umum dari agen-agen yang menyusun ABM antara lain: heterogen, keputusan didasarkan pada aturan tertentu, berinteraksi dengan lingkungan dan atau agen lain, serta ia dapat belajar dari pengalaman sebelumnya (Otter, dkk, 2001). Konseptualisasi ABM dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3 konseptualisasi ABM.
Dari gambar di atas terlihat bahwa agen-agen di level mikro, misalnya individu, rumah tangga atau perusahaan, saling berinteraksi satu sama lain. Dari interaksi tersebut di hasilkan pola atau karakteristik sistem di level makro. Dalam ABM pola makro yang dihasilkan tersebut dapat lebih dari sekedar akumulasi karakteristik agen di level mikro. Artinya ABM dapat mengakomodasi karakteristik sistem sosial sebagai sebuah sistem kompleks. Langkah kerja konstruksi ABM dapat dilihat pada gambar 4. Pertama-tama kita melakukan perumusan masalah. Setelah itu dikonstruksi aspekaspek mikro yang membangun model tersebut, misalnya jenis-jenis agen, perangkat yang digunakan oleh agen, aturan interaksi yang digunakan, serta bentuk-bentuk evaluasi dan adaptasi yang terjadi. Konstruksi mikrostruktur ini lalu disimulasikan di dalam komputer. Hasil yang didapat dari proses tersebut lalu diverifikasi. Dari tahap tersebut kita akan mendapatkan sejumlah implementasi teoritis yang dapat berguna bagi pengambil keputusan dalam menentukan arah kebijakan yang sebaiknya dilakukan. Dibandingkan dengan metode-metode konvensional yang biasa digunakan selama ini, ABM memiliki kelebihan antara lain: 1. Adanya agen yang heterogen mengakibatkan sistem sosial memiliki tingkat kerumitan yang sangat tinggi, yang tidak mampu dikerjakan oleh metode
8
konvensional. Berbeda dengan pendekatan konvensional, ABM dapat mengakomodasi agen yang heterogen. 2. ABM dapat menunjukkan perilaku membrojol di level makro akibat interaksi yang non-linier yang terjadi di level mikro. Hal ini tidak terakomodasi oleh metode-metode konvensional. 3. Perangkat ini dapat dijadikan laboratorium dalam menguji dampak kebijakan tertentu, sebelum diimplementasikan. Saat ini, ABM menjadi cutting-edge dalam ilmu sosial dan ekonomi. Contoh aplikasi perangkat ini dalam ilmu sosial misalnya dalam kasus epidemi flu burung (Situngkir, 2004). Contoh penggunaan perangkat ini dalam analisis ekonomi, misalnya dalam membandingkan continous dan continous interval trading system, dalam perspektif likuiditas di Bursa Efek Jakarta (Situngkir, Hariadi dan Surya, 2005b).
Gambar 4 langkah kerja konstruksi ABM.
4. Statistika dan Analisis Deret Waktu Dalam usaha mengatasi persoalan ekonomi terkadang tidak diperlukan upaya untuk melihat hubungan makro-mikro yang terjadi. Misalnya dalam prediksi harga, kita dapat melakukan prediksi tanpa harus mengkontruksi hubungan interaksi agen di pasar. Terkait dengan hal tersebut, terdapat 3 konsep besar yang berkembang dalam ilmu fisika, yang dapat memberikan kontribusi atau pengaruh yang cukup berarti dalam analisis ekonomi sebagai sebuah sistem kompleks, meliputi: 1. Mekanika. Pendekatan ini meliputi beberapa konsep di fisika mengenai gaya dan energi potensial. Agen atau pelaku ekonomi pada dasarnya mirip dengan konsep partikel dalam fisika. Hal lain yang merupakan sumbangan dari mekanika pandangan ini adalah ia dapat digunakan untuk mempelajari 9
2.
3.
bagaimana sifat atau karakteristik dari sistem ekonomi dilihat dari sifat-sifat umum statistika dari data-data. Konsep ketidak-linieran sistem. Salah satu konsep yang berkembang dalam fisika terutama termodinamika, adalah konsep ketidak-linieran sistem. Fenomena ketidak-linieran ini begitu banyak ditemui dalam sistem-sistem fisis. Perkembangan yang lebih maju dalam ilmu fisika tentang ketidak-lineran sistem ini, telah membuat beberapa konsep, seperti transisi fasa, entropi, statistika fisika dan sebagainya. Fisika Komputasi. Komputasi mungkin merupakan salah satu piranti baru yang menjanjikan guna menganalisis suatu fenomena. Fisika komputasi telah banyak digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena dalam sistem fisis, seperti bagaimana mensimulasikan model spin magnet, mensimulasikan model jatuhan pasir dan lain sebagainya.
Aplikasi dari ketiga konsep tersebut dapat digunakan secara luas dalam analisis deret waktu. Salah satunya adalah dalam prediksi. Berbagai metode prediksi telah dikembangkan berdasarkan konsep-konsep tersebut seperti model jaring saraf buatan (Situngkir dan Surya, 2003), GARCH (Hariadi dan Surya, 2005) dan hukum pangkat Zipf (Situngkir dan Surya, 2005a). Ketiga konsep tersebut juga dapat berguna dalam menganalisis kebijakan, misalnya dalam menentukan area harga kompetitif di pasar modal (Situngkir, Hariadi dan Surya, 2005c).
5. Catatan Penutup Gambaran-gambaran di atas memberikan deskripsi yang jelas bahwa secara khusus, efek dari kebijakan-kebijakan yang berbeda dapat menjadi sangat tak linier – dan seringkali observasi kita akan sistem pun terkaburkan oleh berbagai perangkat metodologi yang berperan sebagai penggaris ketika memformulasikan masalah. Lagi-lagi sayangya, sebagaimana diutarakan di atas, sejarah adalah penunjuk jalan yang lemah untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan-kebijakan selanjutnya. Di sinilah ekonofisika dengan berbagai pendekatannya mulai dari ekstraksi informasi hingga pembuatan model dan simulasi komputasional dapat berguna sebagai alat bantu. Satu hal yang menjadi pelajaran penting bagi masyarakat ilmu pengetahuan termasuk mereka yang duduk sebagai pengambil kebijakan publik, bahwa dalam sistem sosial dan ekonomi, semua hal berkaitan dengan semua hal lain. Bagi penyusun kebijakan, kesalahan pengambilan keputusan di satu sisi dapat berakibat yang justru fatal bagi sistem secara keseluruhan. Satu-satunya harapan untuk memahami hal ini adalah dengan kesadaran bahwa sistem sosial dan ekonomi merupakan sistem kompleks. Untuk ini, kolaborasi antara ekonom dan ekonofisikawan adalah hal yang lebih masuk akal, jauh lebih berguna dibanding perdebatan-perdebatan mazhab atau aliran antar sesama ekonom itu sendiri yang mungkin tak kunjung henti.
Daftar Pustaka Adamic, L. (2003) Zipf, Power-Laws and Pareto: A Ranking Tutorial, Information Dynamics Lab, HP Labs Palo Alto.
10
URL: http://ginger.hpl.ho.com/shk/papers/ranking/ranking/html. Amaral, L.N., S. Buldyrev, S. Havlin, H. Leschhorn, P. Maass, M. Salinger, H.E. Stanley, dan M.H.R. Stanley (1997) Scaling Behavior in Economics: I. Empirical Results for Company Growth, J. Phys. I France 7, p621-633. Axtell, R. (2001) Zipf Distribution of US Firm Sizes, Science, vol. 293(5536), p18181820. Canning, D., L.A.N. Amaral, Y. Lee , M.Meyer, dan H.E. Stanley (1998) Scaling The Volatility of GDP Growth Rates, Economics Letters 60, p335–341. Durlauf S.N. (1996) Statistical Mechanics Approaches to Socioeconomic Behavior, Working Papaer University of Wisconsin at Madison dan Santa Fe Insitute. Durlauf S.N. (1997) Why Should Policymakers Know About Economic Complexity, Working Papaer University of Wisconsin at Madison dan Santa Fe Insitute Epstein, J. M., dan R. Axtell (1996) Growing Artificial Societies: Social Science from the Bottom Up, MIT Press. Gabaix, X. (1999) Zipf's Law For Cities: An Explanation, The Quarterly Journal of Economics, August 1999, p739-767. Gabaix X., P. Gopikrishnan, V. Plerou, dan H.E. Stanley (2003) A theory of Power-Law Distributions in Financial Market Fluctuations, Nature, Vol. 423, p267-270. Hariadi, Y. dan Y. Surya (2005) Asimetri GARCH dan simulasi Monte Carlo pada peramalan GBP/USD, Working Paper 2005b Bandung Fe Institute. Mandelbrot, B. (1963) The Variation of Certain Speculative Prices, Journal of Bussiness, Vol. 36, p394-419. Mantegna, R., dan H. E. Stanley (2000) An Introduction To Econophysics, Correlations and Complexity in Finance. Cambridge University Press. Otter, H.S., A. Veen, dan HJ. de Vriend (2001) ABLOoM: Location behaviour, spatial patterns, and agent-based modelling, Journal of Artificial Societies and Social Simulation vol. 4, no. 4. Situngkir, H. dan Y. Surya (2003) Peramalan Jangka Pendek Deret Waktu Keuangan di Indonesia: Eksperimentasi Persepsi Jaring Saraf Buatan Pada Peta Poincare, Working Paper 2003r Bandung Fe Institute. Situngkir, H. (2004) Epidemiology Through Cellular Automata, Case of Study: Avian Influenza in Indonesia. Working Paper 2004e Bandung Fe Institute. Situngkir, H. dan Y. Surya (2005a) Simulasi Investasi dengan Hukum Pangkat Zipf: Analisis Zipf (m,2) dalam Teks Data Indeks Keuangan, Working Paper 2005c Bandung Fe Institute. Situngkir, H., Y. Hariadi, dan Y. Surya (2005b) Membandingkan Continous dan Continous Interval Trading System Dalam Perspektif Likuiditas, laporan penelitian Surya Research International dan Bursa Efek Jakarta. Situngkir, H., Y. Hariadi, dan Y. Surya (2005c) Pola Transaksi Dalam Kaitannya Dengan Herding Behavior, laporan penelitian Surya Research International dan Bursa Efek Jakarta.
11
Surya, Y., Situngkir, H., Hariadi, Y., & Suroso, R. (2004). Aplikasi Fisika dalam Analisis Keuangan: Mekania Statistik Interaksi Agen. Sumber Daya MIPA Jakarta.
12