JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
RESTRUKTURISASI EKONOMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM Fathul Djannah1 dan Rinaldy2 1
Dosen Institut Agama Islam Sumatera Utara Medan Dosen dan Dekan Fakultas Ekonomi Graha Nusantara Tapanuli Selatan Sumatera Utara
2
Abstract: Monetary economic crisis knocking over Indonesia gives negative impact to all social life, politic, economic, and legal aspects. Economic crisis causes the instability of monetary, inflation, and crisis of world banking. This circumstance is worsen by various conflicts in whole Indonesia. The Instability of social, politic and belief crisis to law. Economics restruturing have to immediately done for resque this nation from ruination sill. As early step to conduct the sinergy oriented by restructuring legal system simultaneously. Law reformation should create a consistent law and law as the leader which control every aspect of society’s life. Kata Kunci: Restrukturisasi, Ekonomi, Hukum Sampai sekarang masih ada yang mempertentangkan antara hukum dan ekonomi. Mereka berpendapat hukum dan ekonomi tidak mungkin bisa berjalan paralel, karena masing-masing merupakan dua kutub yang bertolak belakang. Ekonomi dinilai memiliki karakteristik gerak perkembangan yang cepat dan fleksibel, sementara hukum justru dianggap berjalan lambat dan kaku. Tapi sesungguhnya antara ekonomi dan hukum berkaitan erat di mana yang satu dengan lainnya saling mempengaruhi. Sejarah pertumbuhan ekonomi dan perkembangan hukum di seluruh dunia menunjukkan hal itu. Suatu perkembangan ekonomi akan mempengaruhi peta hukum. Sebaliknya perubahan hukum juga akan memberikan dampak yang luas terhadap ekonomi. Deregulasi yang dilaksanakan pemerintah, pada dasarnya juga merupakan produk hukum, karena menyangkut peraturan yang dapat memberi dampak yang luas dalam kehidupan perekonomian nasional (Saleh, 1998). Bahwa tugas hukum yang utama, khususnya bidang hukum ekonomi adalah senantiasa menjaga dan mengadakan kaidah-kaidah pengaman, agar pelaksanaan pembangunan ekonomi tidak akan mengorbankan hak-hak dan kepentingan pihak yang lemah. Hanya dengan cara serupa ini, hukum tetap mempunyai peranan dalam pembangunan ekonomi (Teba, 1991). Hukum dan ekonomi demikian erat hubungannya terutama ekonomi perusahaan dan ekonomi mikro yang ruang lingkupnya adalah interaksi bisnis antara para pelaku bisnis. Interaksi yang demikian jelas sangat membutuhkan aturan permainan, penyusunan aturan permainan adalah urusan para sarjana hukum, sedangkan memberi uraian mengenai mekanisme dari kekuatan-kekuatan ekonomi yang bekerja secara natural adalah urusan para ekonom (Gie, 1998). REFORMASI DAN RESTRUKTURISASI Akhir-akhir ini, istilah reformasi, restrukturisasi atau reorganisasi sering dikumandangkan. Menjadi pertanyaan, mengapa kita memerlukan reformasi dan restrukturisasi, terutama bidang ekonomi dan hukum? Reformasi bukan revolusi. Tetapi tanpa dukungan lima faktor berikut, bukan mustahil reformasi akan mengarah ke revolusi. Kelima faktor tersebut; pertama, penegakan hukum (law enforcement); kedua, predictability, yakni adanya kejelasan pola pikir dan pola tindak; ketiga, transparency, yakni keterbukaan mekanisme politik sehingga warga negara paham akan masalah yang dihadapi serta alternatif untuk mengatasinya; keempat, accountability, yakni kepercayaan bahwa kepentingan atau inisiatif yang diambil adalah sejalan dengan arah yang dikehendaki bersama; dan kelima, rationality, keharusan bagi seluruh komponen bangsa agar lebih mengutamakan akal sehat daripada perasaan dalam bertindak (Imawan, 2000). Hukum selalu rentan terhadap reformasi dan senantiasa berada dalam proses reformasi. Ada ungkapan Latin “ubi societas ibi ius” artinya, di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Ini merupakan ungkapan bijak, tetapi akan lebih tajam lagi apabila dikatakan “Hukum itu adalah sisi lain dari masyarakat dan berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan masyarakatnya” (Rahardjo, 2000). Pengalaman selama beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa kita memang hidup dalam suatu negara yang berdasar hukum, yang ingin dikatakan di sini adalah bahwa hukum kita selama ini didominasi oleh negara melalui pemerintah. Masyarakat negara hukum kita lebih merupakan suatu ”state based society” daripada ”community based society”. Negara dan pemerintah masih terlalu dominan dalam menentukan apa yang harus dilakukan oleh hukum dengan segala akibatnya. Dalam era reformasi ini kita tidak akan melihat peranan atau sumbangsih hukum kecuali apabila kita menempatkannya dalam konteks pemberdayaan masyarakat serta mengurangi kekuasaan negara dan pemerintah dalam penyelenggaraan hukum. Cita-cita tersebut akan dapat direalisasikan manakala kita membangun suatu masyarakat sipil (civil society) pemberdayaan masyarakat tersebut akan terjadi pada seluruh bidang hukum yaitu pembentukan hukum (legislation), peradilan (judiciary) dan pelaksanaan (enforcement) (Rahardjo, 2000). Hukum sebagai sarana kekuasaan politik menempati posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan fungsi lain. Salah satu indikasinya adalah negara sebagai suatu organisasi kekuasaan/kewibawaan mempunyai kompetensi untuk menciptakan keadaan di mana rakyat dapat memenuhi kebutuhannya secara maksimal. 7
Fathul Djannah dan Rinaldy: Restrukturisasi Ekonomi dalam Perpektif Hukum
Dalam kerangka pelaksanaan kekuasaan inilah tindakan pemerintah dalam suatu negara perlu dibatasi oleh hukum (Kusuma, 1999). Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (pengaturan-pengaturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain, hukum harus sesuai dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat (Setiardja, 1998). Reformasi hukum diperlukan untuk mengamankan perekonomian dari distorsi yang diciptakan oleh bisnis itu sendiri dan sebagai bagian dari lingkaran peraturan yang memungkinkan perekonomian bebas dan terbuka untuk berkembang pesat (Prawiro, 1998). Dengan reformasi hukum diharapkan terciptanya suatu tata pemerintahan yang baik (good governance) yaitu merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen yatu: pemerintah (government), rakyat (citizen) dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta (Taschereau and Campos, 1997). Bahwa reformasi ekonomi tanpa disertai reformasi di bidang hukum, serta politik dan sosial budaya tidak mungkin akan menghasilkan perbaikan. Menteri keuangan Inggris secara gamblang telah mengemukakan bahwa sulit bagi Indonesia untuk mengharapkan bantuan IMF dan dunia internasional apabila tidak segera mengadakan reformasi politik (Kompas, 7/5/1998). Salah satu kendala dalam melakukan restrukturisasi ekonomi adalah sangat terkait dengan aspek hukum. Itu artinya aspek hukum sangat berperan dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan ekonomi. Bahkan, umumnya strategi pembangunan di negara-negara baru dinilai gagal dalam memenuhi misinya untuk menghapuskan kemiskinan oleh karena lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi sehingga demikian tujuan pembangunan yang hendak dicapai adalah tingkat tertinggi pendapatan per kapita yang dihitung secara makro nasional dan bukannya penghapusan bentuk-bentuk kemiskinan yang paling parah. Hal ini mengindikasikan pada praktek pembangunan hukum di beberapa negara lebih dipandang sebagai usaha-usaha yang bersifat teknis semata-mata, dan dilihat sebagai identik dengan modernisasi hukum intinya merupakan program untuk menunjang kompleksitas pembangunan. Ia sekedar untuk menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Bahkan sering dikatakan pembangunan hukum lebih berorientasi kepada usaha untuk melayani kebutuhan pasar. Hal ini mengakibatkan perspektif hukum jadi jauh dari hakikat dan tujuannya. Selain itu berbagai masalah yang dihadapi dalam bidang perekonomian adalah masalah resesi kapan akan berakhir. Begitu pula bagaimana keadaan perekonomian yang dialami oleh penduduk Indonesia masih belum bisa kita antisipasi kompleksitas dan dimensinya. Kita juga sulit mengantisipasinya kapan ekonomi Indonesia ini mulai bangkit. Kita tahu dengan pertumbuhan 8% sekalipun, amat sulit menampung 2,3 juta orang yang masuk di dalam pasar angkatan kerja. Kini dengan kondisi sebagai pekerja di berbagai perusahaan ataupun kegiatan usaha yang tersedia. Dunia ekonomi telah memasuki suatu fase ketidakstabilan yang luar biasa dan perjalanan masa depannya benar-benar tidak pasti (Chapra, 2000). Begitu peliknya permasalahan ekonomi, sehingga menjadi dilema yang tak kunjung padam. Bahkan begitu pesimistiknya, sehingga digambarkan dunia ekonomi tak ubahnya telah mengalami fragmentasi dan lebur dalam masamasa yang suram. Adakah hal yang menyebabkan kejadian tersebut? Dan apakah ada tawaran solusi yang dapat diberikan? Kiranya sangat diperlukan terobosan dan manuver yang berani untuk mengentaskan permasalahan ini. Terlebih kepentingan ekonomi secara luas, pada hakekatnya dapat menetralisir berbagai kepentingan lain (Hartono, 2000). Perlu disadari pula, seyogyanya perbaikan ekonomi diposisikan secara equalibrium dengan dimensi aspek lainnya seperti politik, birokrasi, dan hukum. Barulah dapat ditarik benang merahnya bagaimana korelasi antara restrukturisasi (menata kembali) ekonomi dalam pandangan hukum. Karena perjalanan di masa lalu adalah sebuah cemeti, dan permasahan ekonomi yang mengendap, disebabkan hampir semua tatanan kehidupan terjangkit virus nepotisme, korupsi, kolusi dan kemunafikan, sementara notabene produk-produk hukum yang ada tidak mampu menjawab perubahan yang terjadi dengan begitu cepat dan tantangan baru yang silih berganti dengan stadium yang sangat tinggi. Dan kondisi ini semakin diperunyam dengan piranti hukum yang ada teramat lemah dalam segi pengawasannya. Bahkan dalam segi pengaplikasiannya dapat dikatakan mandul. Sehingga sangat riskan untuk berorientasi untuk melakukan sebuah regulasi seperti restrukturisasi ekonomi yang menjadi basis pilar sendi ekonomi. MENGENTASKAN MASALAH KRISIS EKONOMI Hubungan antara ekonomi dengan hukum sangat erat. Kalau kita mau melakukan perbaikan atau katakanlah menata kembali perekonomian kita sebaiknya kita tinjau dari kaca mata (pandangan) hukum. Sesuatu yang sangat mustahil, dan teramat payah bila kita ingin melakukan suatu restrukturisasi ekonomi sementara kita memilah-milahnya dan memisahkannya dari aspek hukum. Bukankah dari uraian di atas digambarkan bagaimana strategi pembangunan di beberapa negara dinilai gagal karena telah menempatkan hukum sebagai persoalan teknis semata-mata dan dalam hampir banyak hal pembangunan hukum secara ketat dikendalikan oleh elite nasional dan internasional. Tentunya jika aspek hukum tidak mendapat prioritas utama, maka dalam hal ini mengakibatnya kerugian pada masyarakat secara komunal di bidang peningkatan ekonomi. Lebih dari itu dampak yang lebih luas akan mendorong kelompok elite yang mempunyai dan menguasai fasilitas-fasilitas pembangunan ekonomi. Pembangunan hukum yang diusahakan untuk menunjang proses peralatan tersebut hampir mustahil dilakukan. Ini disebabkan karena pranata-pranata politik sudah begitu rupa terintegrasi ke dalam tangan kelompok-kelompok elite tersebut. Akibatnya kondisi ini menimbulkan 8
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
konsekuensi dan tragedi yang luar biasa, di mana masih segar di benak kita masing-masing, peristiwa Mei 1998. Terjadinya aksi mobilisasi massa secara besar-besaran yang berakhir dengan drama kerusuhan dan penjarahan. Mengapa hal tersebut bisa sampai terjadi ? Jawabannya karena ada rasa kecemburuan sosial di antara anggota masyarakat yang disebabkan adanya perangkat hukum yang diskriminatif. Diskriminasi pada kegiatan ekonomi juga mewabah meliputi jenis kegiatan bidang usaha tertentu yang dapat dilakukan oleh golongan masyarakat tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Imbasnya menimbulkan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi didominasi oleh segelintir orang, dan telah menimbulkan ekonomi biaya yang tinggi (highcost economic). Masalah perekonomian yang paling mendasar yang meyebabkan keterpurukan sistem ekonomi di Indonesia sangat berkaitan erat dengan “campur tangan” International Monotery Fund (IMF) yang begitu besar, di mana aturan main yang disepakati kedua belah pihak tampaknya lebih banyak merugikan bangsa Indonesia. Tentunya kita sepakat bahwa masalah keterpurukan ekonomi nasional disebabkan oleh beberapa faktor lain, misalnya: keamanan, moral, sektor riil dan lain-lain. Hal inilah yang menyebabkan para ahli memperdebatkan masalah ekonomi secara makro. Perdebatan bukan masalah moneter, melainkan juga masalah struktural, seperti distorsi pasar, hingga masalah ketidakpastian politik (Nusridzki, 2003). Masalah penyebab krisis yang sesungguhnya menjadi penting sehubungan dengan penentuan alternatif tindakan pemulihan yang harus dilakukan. Hal ini juga menyangkut tindakan yang diambil International Monotery Fund (IMF) dalam mengatasi krisis ekonomi di Indonesia. Beberapa pengamat ekonomi mengkritik tindakan International Monotery Fund (IMF) terhadap Indonesia dalam mengatasi krisis moneter. Krisis yang terjadi pada pertengahan 1997 merupakan krisis moneter akibat terjadinya depresiasi rupiah, sehingga alasan itu pula yang mendorong Indonesia menunjuk International Monotery Fund (IMF) sebagai lembaga yang tepat untuk membantu memulihkan kondisi yang terjadi. Perjanjian Indonesia International Monotery Fund (IMF) Financial Policies) telah malampaui 22 bentuk kesepakatan. Dinyatakan dalam Letter of Intent (LoI) pertama bahwa kebijakan pemerintah dibangun menurut tiga pilar. Pertama, mendesain kerangka makro ekonomi yang memperbaiki neraca perdagangan, serta melakukan penyesuaian fiskal sebagaimana dilakukan pada sektor finansial. Kedua, strategi yang komprehensif untuk menstrukturisasi sektor finansial, termasuk penutupan institusi-institusi yang bangkrut. Dan ketiga, serangkaian ukuran struktural dalam upaya memperbaiki nilai-nilai pemerintah, seperti prinsip-prinsip yang terkandung dalam good governance: transparansi, akuntabilitas, partisipatif, dan lain-lain. Ketiga pilar tersebut diterjemahkan dalam programprogram reformasi ekonomi seperti terkandung dalam Letter of Intent (LOI), termasuk pula tak segan-segan menutupi institusi yang tidak “sehat”, seperti gebrakan IMF pertama kalinya dengan penutupan 16 bank. Bank-bank pemerintah tak ketinggalan turut direstrukturisasi, direkapitulasi, dan dimerger. Juga perbaikan kerangka hukum serta regulasi dalam sistem keuangan, termasuk rekapitulasi sektor keuangan. Upaya peningkatan investasi dinyatakan dengan menyusun daftar negatif bidang usaha yang terbuka dan tertutup bagi investasi, baik domestik maupun asing. Dalam LoI juga dinyatakan secara eksplisit tentang perlunya menghilangkan restriksi dalam hal kepemilikan modal asing pada perdagangan bebas dan retail. Kesepakatan dalam LoI mengenai investasi itu ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya keputusan Presiden Nomor 118 Tahun 2000, yang menunjukkan reformasi besar-besaran dalam hal investasi. Ringkasnya, restrukturisasi yang perlu dilakukan dalam pembangunan ekonomi adalah memperbaiki sistem-sistem yang selama ini cenderung mengalami disequilibrium (ketidakseimbangan) dalam pengelolaan ataupun pelaksanaannya. Adanya prinsip saling ketergantungan (interdepensi) dan interaksi dari macam-macam aktor kelembagaan di semua level di dalam negara adalah sangat mutlak (Masduki, 2004). Kesepakatan bersama menyangkut pengaturan negara dan itu sangat terkait dengan kerangka good governance, di mana hubungan negara, masyarakat madani dan sektor swasta harus dilandasi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas publik, dan partisipasi, yaitu suatu prasarat kondisional yang dibutuhkan dalam proses pengambilan dan keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik. Proyek good governance di tanah air menghadapi suatu kendala besar di tengah political society yang korup dan kekuatan civil society yang masih lemah. Kekuatan-kekuatan politik, konglomerat dan birokrat lama yang dibesarkan orde baru belum mau melepaskan kekuasaannya dan kepentingan-kepentingan mereka telah menghalangi agenda reformasi politik, hukum dan ekonomi. Proses demokrasi yang tengah berlangsung belum berhasil melahirkan struktur politik dan ekonomi baru, tetapi masih didominasi oleh elite dan konglomerat sementara warga masyarakat umumnya belum memiliki kemampuan dan pengalaman partisipasi dalam mengambil kebijakan publik dan politik. Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas dapat diketahui, untuk mengentaskan masalah krisis ekonomi yang sedang melanda bangsa Indonesia, sangat perlu dilakukan suatu regulasi dan formula yang tepat untuk mengatasinya, yaitu salah satunya dengan melakukan restrukturisasi ekonomi. Dan hal tersebut diharapkan dapat membawa sebuah icon yang lebih baik dalam pemulihan ekonomi yang fundamental. Penggunaan kekuasaan ekonomi, dan bentuk penyimpangan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi (abuse of public trust for private gain) yang menimbulkan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi didominasi segelintir orang adalah merupakan bagian dari subsistem perekonomian kita yang harus segera dibenahi. Stabilitas moneter merupakan salah satu penentu kekuatan ekonomi. Editorial Wall Street Journal 12 Januari 1998 menyatakan “Petunjuk awal bagi penyelesaian krisis di Asia adalah menyadari bahwa masalah krisis moneter”. Artikel ini memberikan beberapa rekomendasi untuk menstabilkan mata uang dan membuat kesimpulan. Bila kurs mata uang telah distabilkan, pemulihan ekonomi dapat berlangsung. Hal ini tak akan terjadi selama mata uang ini terus mengambang, sementara yang terjadi sebenarnya mereka semakin tenggelam dan ikut membenamkan perekonomian 9
Fathul Djannah dan Rinaldy: Restrukturisasi Ekonomi dalam Perpektif Hukum
yang sebenarnya bisa bertahan. “Kebijakan moneter yang rasional merupakan landasan pembangunan ekonomi, memelihara mata uang yang kuat dan perbankan yang sehat merupakan tanggung jawab pemerintah yang utama” (Prawiro, 1998). Pertumbuhan kelembagaan dan sistem ekonomi serta sistem keuangan di Indonesia telah melupakan sendi-sendi dasar yang sesungguhnya yakni ketahanan ekonomi masyarakat. Tugas memasuki alam globalisasi tersebut diserahkan kepada konglomerat, yang ternyata sangat rapuh. Tidak mengejutkan karena para analis telah mengingatkan keadaaan sebenarnya sejak lama. Sementara itu, sistem ekonomi kerakyatan itu sendiri ditinggalkan dengan berharap bahwa konglomerat itu dapat mengantar Indonesia menuju pada kemakmuran rakyat (Rachbini, 2001). PENGARUH HUKUM TERHADAP EKONOMI Dalam The Asian Wall Street Journal 27 April 1998 halaman 1, diberitakan bahwa di Indonesia akan didirikan suatu pengadilan khusus untuk mengadili perkara-perkara kebangkrutan. Namun, yang menyakitkan hati dalam berita tersebut adalah kata-kata berikut: “Tetapi sementara para bankers asing menyambut gembira perubahan itu, ternyata tidak ada kepastian hukum terhadap apa yang mereka harapkan, yaitu mekanisme hukum yang efektif dalam mengumumkan para debitur yang bangkrut”. Sebab: “Mekanisme hukum Indonesia kurang dapat dipercaya dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan antara kreditur dan debitur secara tuntas” (hlm. 7). Demikian pula: “Sistem pengadilan Indonesia secara luas mendapat persepsi yang buruk karena aparat penegak hukum diduga sering menerima suap dan bisa mengatur jalannya pengadilan” (hlm. 7). Tambahan pula: “Para kreditur berkata bahwa reformasi UU Kepailitan dan prosedur negoisasi dalam restrukturisasi hutang senilai 68 Milyar Dollar mempertinggi krisis ini”. Karena itu, Failissement Verordening yang sebetulnya masih berlaku di Indonesia harus segera diubah dan diganti sejumlah pasalnya sebab: “Beberapa bankers asing khawatir UU Kepailitan yang lama khususnya, mereka mengecam sistem peradilannya, karena pengadilan Indonesia tidak dapat menunjukkan bukti yang efektif sebagai saluran bagi para kreditur untuk mencari keadilan” . Kiranya kutipan-kutipan di atas sudah menjelaskan dengan gamblang betapa suatu sistem hukum (yang baik ataupun yang buruk) dapat menimbulkan atau justru menjatuhkan kepercayaan masyarakat (termasuk masyarakat dunia), baik terhadap kredibilitas pemerintah, pengadilan maupun para pengusaha kita, dan mempengaruhi kehidupan ekonomi, dalam hal ini masalah perbankan dan dikucurkannya pinjaman IMF kepada Indonesia. Di sinilah, tampak lagi betapa suatu sistem hukum dan sistem peradilan suatu negara dapat mempengaruhi kehidupan ekonomi keuangan. Pencabutan izin operasi bank ini, terutama berkaitan dengan cara penanganan yang secara hukum salah kaprah dan banyak menyinggung kepentingan-kepentingan orang besar di Indonesia, telah ikut memperparah krisis ekonomi dan lebih melemahkan sistem ekonomi yang dengan susah payah telah dibangun selama 50 tahun. (Hartono, 1999). Untuk itulah perlu segera dilaksanakan reformasi ekonomi, berarti mengubah paradigma ekonomi, cara kerja dan mekanisme semua lembaga-lembaga ekonomi, termasuk perusahaan-perusahaan BUMN, perusahaan swasta, dan koperasi (Indonesia, asing maupun transnasional), agar benar-benar memenuhi kebutuhan kepentingan rakyat, bukan hanya melayani kepentingan segolongan kecil masyarakat Indonesia, orang asing, perusahaan-perusahaan transnasional ataupun organisasi internasional. Tampak bahwa baik di dalam reformasi politik maupun di dalam reformasi ekonomi, penegakan hak-hak asasi manusia amat dituntut. Reformasi hukum, dengan sendirinya harus benar-benar menuju pada kehidupan Negara Hukum dan Negara Kesejahteraan dengan ujung tombaknya pada keadilan, kejujuran dan kebenaran, serta penegakan HAM, termasuk dalam dunia bisnis dan perekonomian. Karena itu, dibutuhkan suatu UU Antimonopoli, UU Persaingan, UU tentang Praktek-Praktek Bisnis yang Curang, dan masih banyak lagi, termasuk UU tentang Perjanjian, UU tentang Usaha Bisnis, dan UU tentang Perimbangan Keuangan Negara antara Pusat dan Daerah, yang lebih mengutamakan kepentingan. PERANAN HUKUM UNTUK MEMBANTU MENGATASI KRISIS EKONOMI Hukum tidak hanya berupa peraturan-peraturan, tetapi merupakan sistem yang terdiri dari: asas-asas hukum, budaya hukum, peraturan atau materi hukum, lembaga, aparatur, sumber daya manusia, sarana dan prasarana hukum baik yang fisik maupun nonfisik seperti proses dan mekanisme dan informasi hukum. Karena itu, yang perlu dibenahi, dibangun dan ditransformasikan dalam rangka reformasi hukum, antara lain (dan jelas tidak semata-mata) untuk mengatasi krisis ekonomi adalah transformasi yang menyangkut unsur atau aspek dari sistem hukum itu. Seperti yang dikemukakan oleh Amran dalam “Analisis Ekonomi terhadap Sistem Hukum Nasional”, (Amran, 1998) dalam peraturan perundangan-perundangan saja, masih banyak yang harus segera diundangkan, antara lain: produk hukum yang berkaitan dengan ekonomi mikro, yaitu: Satu, hukum yang berkaitan dengan faktor produksi, tenaga kerja, lahan modal dan teknologi, perusahaan-perusahaan perorangan, persekutuan, perseroan terbatas, perseroan besar, perseroan multi nasional, perusahaan milik negara dan koperasi. Hukum yang berkaitan dengan pasar (pasar barang, pasar tenaga kerja, pasar uang, pasar modal, dan pasar bonds) dan struktur pasar (persaingan sempurna, monopoli, dan persaingan tidak sempurna). Hukum yang berkaitan dengan keluaran (output), hak cipta, jasa gudang, dan angkutan, serta asosiasi bisnis. Dua, produk hukum yang berkaitan dengan ekonomi makro, antara lain: hukum yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hukum yang berkaitan dengan perimbangan pelaksanaan aktivitas dan hasil-hasil pembangunan antardaerah, hukum yang berkaitan dengan penanaman modal: swasta pemerintah, koperasi dan asing. Hukum yang berkaitan dengan hak-hak konsumen, hukum yang berkaitan dengan pembagian pendapatan dan keadilan, serta kepemilikan, hukum yang berkaitan dengan arus aliran barang, jasa intra dan 10
JURNAL EQUALITY, Vol. 10 No. 1 Februari 2005
antardaerah, serta kepemilikan, hukum yang berkaitan dengan perekonomian intra dan antardaerah, serta internasional, dan hukum yang berkaitan dengan administrasi negara. Di samping itu, yang paling mendesak adalah adanya SDM yang tangguh untuk menangani masalah-masalah ekonomi internasional, transnasional dan nasional sekarang ini, terutama di bidang hukum ekonomi (nasional, transnasional dan internasional) yang meliputi sengketa kepailitan, kredit macet, impor-ekspor, perdagangan antardaerah dan antarpulau. Masalah product liability, dumping, unfair business practices, perbuatan melawan hukum (termasuk yang dilakukan oleh instansi pemerintah), Sengketa lingkungan dan perlindungan konsumen, dan masih banyak lagi. Juga aparat kepolisian, kejaksaan, panitera, pegawai dari eselon IV dan III dari kantor-kantor pemerintahan, yang langsung berhadapan dengan masyarakat sampai ke eselon I dan para staf ahli atau para pakar Menteri secara terus-menerus memerlukan penambahan pengetahuan wawasan mengenai perkembangan-perkembangan lama dan baru yang sedang kita hadapi. Untuk itulah, kita perlukan mekanisme Continuing Legal Education (CLE) atau Pendidikan Hukum Berkelanjutan (PHL), baik di luar maupun di dalam lingkungan universitas atau perguruan tinggi, baik formal maupun nonformal (Harono, 1999). KESIMPULAN Restrukturisasi ekonomi adalah suatu upaya yang harus segera dilaksanakan, guna menyelamatkan posisi ekonomi kita yang sedang terpuruk bahkan berada di ambang kehancuran. Fenomena tersebut di atas, merupakan sebuah gambaran dan sinyal betapa sistem perekonomian kita menuntut secara dini upaya perbaikan secara komprehensif dan simultan. Gejala ini apabila tidak diantisipasi secara lebih jauh akan membawa konsekuensi yang lebih buruk, dan berimplikasi pada keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Restrukturisasi ekonomi juga harus dilaksanakan, menurut paradigma dan perspektif hukum, karena pada dasarnya hukum adalah merupakan bagian terpenting dari aspek ekonomi. Selain itu restrukturisasi ekonomi dan pembenahan sistem hukum sangat terkait dengan prinsip good governance. Ekonomi dinilai memiliki karakteristik gerak perkembangan yang cepat dinamis dan fleksibel, harus disenergikan dengan hukum yang justru dianggap berjalan lamban dan kaku. Perbedaan karakteristik inilah yang menjadi tantangan bagi para ahli hukum dan ekonomi untuk memadukan keduanya agar tercipta keseimbangan yang harmonis dalam pembangunan nasional. Tugas hukum yang utama adalah menjaga, mengadakan kaidah-kaidah pengaman, memberikan kepastian, keadilan dan memberikan sanksi tegas bagi setiap pelanggaran agar pelaksanaan pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak-hak dan kepentingan pihak yang lemah. Suatu sistem hukum yang buruk secara langsung dapat menimbulkan bahkan menjatuhkan kepercayaan masyarakat (termasuk masyarakat internasional) terhadap kredibilitas pemerintah, pengadilan, lembaga keuangan, perbankan, maupun dunia usaha kita dan secara mutlak dapat mempengaruhi roda kehidupan ekonomi. Restrukturisasi ekonomi berarti mengadakan pembenahan terhadap paradigma ekonomi, sistem, cara kerja dan mekanisme semua lembaga-lembaga ekonomi. Sedangkan reformasi hukum tidak saja membenahi mental aparat penegak hukum, pengadilan dan peraturan perundangundangan yang ada, tapi juga harus menciptakan suatu penegak hukum yang konsisten dan berkeadilan serta yang terpenting adalah mampu memposisikan hukum sebagai panglima dalam mengatur segala sendi kehidupan masyarakat dan negara. DAFTAR PUSTAKA Capra M. Umar. 2000. Sistem Monoter Islam. Gema Insani. Jakarta. Gie, Kwik Kian. 1998. Masalah-Masalah Hukum Sekitar Pasar Modal. Makalah Persahi. Jakarta. Hartono, Sri Rejeki. 2000. Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Mandar Maju. Bandung. Hartono, Sunaryati. 1999. Reformasi Total untuk Mengatasi Krisis Ekonomi dan Krisis Total yang Melanda Indonesia. PT. Alumni. Bandung. Imawan, Riswanda. 2000. Menuju Tata Indonesia Baru. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kusuma, Mulyana W. 1998. Perspektif Teori dan Kebijaksanaan Hukum. Rajawali Press. Jakarta. Masduki, Teten. 2004. Korupsi dan Reformasi Good Governance. Makalah Seminar Nasional tanggal 10 Januari 2004. Nurezdki, Nanda. 2003. Sektor Riil dan IMF, dalam Gatra edisi 45 Volume IX, tahun 2003. Prawiro, Radius. 1998. Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Rachbini, Didik J. 2001. Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi, Grasindo. Jakarta. Rahardjo, Satjipto. 2000. Menuju Tata Indonesia Baru. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Saleh, Ismail. 1997. Hukum dan Ekonomi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Setiardja, Gunawan A. 1998. Dialektika Hukum dan Moral. Kanisius. Yogyakarta. Taschereau, Suzanne and Campos, Jose Edgardo J. 1997. Building Government Citizen-Business Partnerships. Institute On Governance. Ottawa-Canada.
11