Jurnal Kebudayaan Islam
KEARIF AN LOKAL KEARIFAN ADA T MIGOU P A’ TULANGBA WANG ADAT PA TULANGBAW DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Abu Tholib Khalik Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung Jl. Letnan Kolonel H. Endro Suratmin, Sukarame, Kota Bandar Lampung, Lampung 35131 E-mail:
[email protected]
Abstract Abstract: Local wisdom of Indigenous Peoples Migou Pa ‘Tulangbawang Lampung, contains a few anomalies. First, a person who violates customary law will be sanctioned in accordance with the level of the rank of cultures. If he is on the level of indigenous higher, the sanctions given to him will be doubled from legal sanctions must be received by people of customary middle class. In accordance, if he comes from the lowest class, he will get legal sanctions only half of the second level. Second, the natures of anomalies were found on the punishment for adultery to be discharged into the jungle. As adultery is considered an act of animal, the adultery are to be gathered with the animals in the forest. Nowadays, this kind of action could be considered not humane or could also be considered a violation of Human Rights (HAM). All this, according to the author, is intended that people of high rank could be more cautious, more aware of, and even obeying the law. In addition, according to the author, the fact that adultery should be thrown into the jungle is intended to provide a deterrent effect. Third, in the case of violation of the law which should eventually be fined, all members of his clique will be liable to pay a fine. It is intended that the family relatives of the click constantly remind each other that the violation of the law could be fatal. Keywords Keywords: Customary law, Migou Pa ‘Tulangbawang Lampung, anomalies, preventive, deterrent effect. Abstrak: Kearifan lokal Adat Masyarakat Migou Pa’ Tulangbawang Lampung, mengandung beberapa hal anomaly yakni, pertama seseorang yang melakukan pelanggaran hukum adat akan dikenai sanksi sesuai dengan level pangkat adatnya, jika sesorang itu dari level adat yang tinggi maka sanksi hukuman yang diberikan kepadanya akan dua kali lipat dari sanksi hukum yang harus diterima oleh orang yang pangkat adatnya klas
76 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Abu Tholib Khalik: Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ T ulangbawang (hal. 76-95)
menengah, sebaliknya jika sipelaku itu berasal dari kelas terendah maka sanksi hukumnya hanya separuh dari sanksi hukum orang level kedua. Kedua sifat anomaly itu terdapat pada hukuman bagi pelaku zina yang harus dibuang ke rimba, hanya karena perbuatan zina itu telah dianggap sebagai perbuatan binatang, maka para pelaku zina itu harus dikumpulkan dengan hewan–hewan di hutan, untuk zaman sekarang tindakan semacam ini bisa dianggap tidak manusiawi atau juga bisa dianggap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Semua ini menurut penulis dimaksudkan agar orang–orang berpangkat tinggi itu bisa lebih hati–hati, lebih sadar bahkan taat hukum, kemudian pelaku zina harus dibuang ke rimba raya menurut penulis hal ini dimaksudkan untuk memberi efek jera. Ketiga jika terjadi pelanggaran hukum yang akhirnya harus dikenai sanksi denda maka segenap anggota kliknya yang menanggung kewajiban membayar denda itu, dimaksudkan agar sanak family yang satu klik itu senantiasa saling mengingatkan bahwa pelanggaran hukum itu bisa berakibat fatal. Kata Kunci: Hukum Adat, Migou Pa’ Tulangbawang Lampung, anomaly, prefentif, efek jera.
A. PENDAHULUAN Kearifan lokal Adat Masyarakat Migou Pa’ Tulangbawang adalah salah satu subsistem dari masyarakat adat daerah Lampung pada umumnya. Ada pendapat dari cendekiawan Indonesia dalam hal hukum adat ini yaitu, masyarakat adat tidak banyak yang mampu berpikir rasional, intelektualis atau liberalis sebagaimana orang-orang Barat atau orang-orang Indonesia yang sudah kebarat-baratan dengan mengesampingkan kepribadian Indonesia. Oleh sebab itulah, hukum adat merupakan hasil ciptaan yang bersifat komunal magis dan juga religius (Supriyadi, 2008; 220). Masyarakat adat Migou Pa’ dalam Hukum/aturan yang memiliki sanksi Pidana termaktub dalam Bab. Hukuman Sepandjang Hadat Lampong pasal 7 dan 8, menyatakan: (7) Perampuan bunting tidak ada laki, didalem pepadun Mega, pepadun itu kena denda 30 riyal, perampuan diambil kepala mega, lelaki yang buntingken Kepala Mega, zaman Kolonial Belanda adalah Kepala Pemerintahan (eksekutif) tingkat marga, kemudian berubah dengan sebutan Pesirah, setelah zaman merdeka berganti lagi dengan sebutan Kepala Negeri. Isi Bumi, dalam hukum adat ini bermakna orang yang bersangkutan telah kehilangan harkat martabatnya sebagai manusia. 1
ISSN: 1693 - 6736
| 77
Jurnal Kebudayaan Islam
itu kalo ketangkep diambil kepala mega juga namanya isi bumi1. (8) Perampuan bunting dalem pepadun tiyuh2 tidak ada lakinya, pepadun itu didenda 14 riyal turut kerbaw harga 10 riyal, perampuan dan lelaki ditangkep pulang kepada kepala mega jadi isi bumi (Pn. Kepala Marga, 1913; 35). Demikian kedua ayat ini menunjukkan bahwa pada setiap level pepadun nilai dendanya berbeda, sehingga mengundang pertanyaan, mengapa orang yang level adatnya tinggi justru harus menerima sanksi yang lebih berat jika dibanding dengan anggota masyarakat yang level adatnya lebih rendah. Diskriminasi semacam ini tampak tidak lazim, sungguhpun di sini tidak tertera ancaman sanksi hukuman badan/kurungan sebagaimana yang lazim berlaku di dalam hukum positif ( Lex Positiva). Selain itu, dipertegas dengan ancaman denda yang menjadi kewajiban kelompok adat (Pepadun) pelaku kriminal itu, berarti segenap anggota pepadun itu wajib menerima sanksi dari kesalahan anggota pepadun-nya, hal ini merupakan suatu anomali karena akan menjadi beban bagi semua anggota pepadun. Pada masyarakat adat Lampung Pepadun, segala yang mengandung kesamaan sifat dengan isi kedua pasal di atas disebut “Cepalou”, artinya perbuatan tercela (Wawancara dengan M. Idham Gelar Stan Pengeran, Tokoh Adat Marga Suwai Umpu Migou Pa’ Tulangbawang di Menggala, 03– 03– 2014). Dalam hal Pepadun ini, sejak tahun 1928 yang disebut marga adalah satuan dari beberapa kampung, kemudian kampung-kampung itu meliputi beberapa kediaman kecil yang disebut umbul yang dikepalai oleh seseorang yang dituakan pada umbul yang bersangkutan (Hadikusuma, 1986:13). Namun demikian, yang belum sempat disebut adalah pepadun Suku sebagai subsistem dari Pepadun Tiyuh. Dalam wilayah Tulangbawang khususnya tiyuh (Desa) itu memiliki sub–sub yang juga merupakan pemukiman suatu klik/kelompok yang terletak di luar perkampungan biasanya tidak berjauhan dari sekitar tempat peladangan tempat ini disebut umbulan, biasanya umbulan itu milik kelompok suatu pepadun. Kalaupun ada seseorang atau beberapa orang yang turut berdomisili di umbulan itu dari pepadun lain biasanya ini karena ada hubungan perkawinan, baik itu saudara perempuan yang sekandung atau saudara misan, termasuk anak keturunannya. Akibat dari pertambahan jumlah inilah diperlukan pembagian kekuasaan yang absah secara adat. Inilah awal mula munculnya Pepadun Suku sebagai sub dari Pepadun Tiyuh sehingga setiap umbulan yang
2
78 |
Pepadun Tiyuh=Himpunan masyarakat adat desa/sub Marga.
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Abu Tholib Khalik: Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ T ulangbawang (hal. 76-95)
telah diakui keberadaannya secara adat dipimpin seorang tokoh yang diberi jabatan eksekutif yakni sebagai Kepala Suku dan dalam jabatan adatnya dia adalah seorang Penyembang dalam level ketiga (Wawancara dengan Minak Raja Tihang, Tokoh Adat Marga Buai Bulan Migou Pa’ Tulangbawang, di Menggala 2–3–2014). Oleh karena itu, penting untuk menyelami nilai-nilai falsafi dalam hukum adat Migou Pa’ Tulangbawang, karena sebagaimana yang telah dikutip sepintas di atas, jika dari masyarakat diharapkan dapat memberi inspirasi pihak penegak hukum dalam melakukan tindakan preventif terhadap kemungkinan adanya tindakan criminal dan sebagainya. Kemudian untuk keberadaan satu Pepadun itu telah diatur sedemikian rupa sebagaimana termaktub dalam buku Pelatoeran Sepandjang Hadat Lampong.
B. LANDASAN TEORI Seorang cendekia Indonesia dalam satu makalah ilmiyah pada Konferensi Internasional Filsafat Nusantara Program World Class Research Universitas Gadjahmada Yogyakarta 24 Oktober 2009, ia berpendapat bahwa dalam era kemajuan bahwa filsafat Barat sudah demikian majunya dan mencapai puncak kejayaan hingga telah berhasil mengembangkan IPTEK dan telah menjadi kiblat peradaban dunia. Filsafat Barat yang hanya bersandar pada hasil kekuatan rasio dan daya cipta semata itu dirasakan ada kelemahan, antara lain kering dari sentuhan rasa, jauh dari moral hingga tak jarang bertentangan dengan nilai-nilai moral (Solihin, 2009: 5). Dalam menafsirkan budaya, hal itu menjadi penting artinya dalam rangka memperkuat kepribadian suatu bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia (Hilman H, dkk, 1986: 2). Ilmuwan Barat penafsir budaya Bali itu menutip pula pendapat Mascou, panggung yang didirikan pada tempat dan saat yang berbeda memang selalu berubah, penampilan para aktor pun demikian juga, namun gerakan-gerakan batiniah mereka tetap muncul dari keinginan-keingan dan nafsu-nafsu manusia yang sama dan menghasilkan efek-efek dalam pergantian-pergantian itu sendiri, dalam pergantian kerajaan-kerajaan pada setiap bangsa-bangsa (Geertz, 1992: 41). Suatu perubahan itu adalah kelaziman, namun antara keinginan nafsu dan rasio harus dikendalikan dengan aturan-aturan. Kelemahan pada aturan dapat membawa efek yang negative sejalan dengan dinamika yang ada. Maka dari itu wajarlah kalau ada pendapat dinamika aspirasi rakyat yang berkembang, dapat dianggap sebagai penunjang kegiatan pengembangan dari hukum nasional
ISSN: 1693 - 6736
| 79
Jurnal Kebudayaan Islam
berusaha mempertahankan dan menghormati perkembangan serta pertumbuhan hukum adat, sejauh tidak bertentangan dengan cita-cita hukum. Pengembangan sistim hukum nasional tidak cukup hanya didukung oleh mekanisme kegiatan lembaga pengembangan sistem hukum nasional, akan tetapi masih juga diperlukan adanya kesadaran hukum dari kalangan masyarakat yang mendalam (Wahjono, 1983: 162). Untuk kondisi Indonesia saat ini perlu digali dari budaya Indonesia asli, sebagaimana Pancasila yang merupakan hasil dari penggalian terhadap budaya asli Indonesia, dan ternyata cukup ampuh untuk dijadikan sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun mulai dari masa Orde Baru hingga kepada era Reformasi Pancasila telah jauh menyimpang dari apa yang telah dicita–citakan oleh Fouding Fathers. Landasan pemikiran para Tokoh Adat Migou Pa’ Tulangbawang yang terlibat langsung dalam penyusunan Buku Pelatoeran Sepandjang Hadat Lampong, secara sepintas setelah penulis mengamati buku tersebut tampak selain adat istiadat itu sendiri, juga ada nilai-nilai Islaminya. Hal ini menurut penulis adalah suatu kewajaran karena sejarah Tulangbawang sudah mulai memeluk agama Islam sejak abad XVI M, sebagaimana dijelaskan oleh seorang dosen sejarah di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga mengatakan, Islam masuk di daerah Lampung, berkat adanya kesadaran seorang Kepala daerah Tulangbawang yang dikenal bernama Minak Kemala Bumi, beliau memperdalam ilmu Agama Islamnya di Banten semasa diperintah oleh Sultan Hasanuddin tahun 1522–1570 M. setelah itu beliau melanjutkan pendidikannya ke Makkah, setelah itu beliau mohon pamit kepada Sultan untuk kembali ke daerah Lampung dan menjadi Mubaligh (Harun, 1995:11). Melihat apa yang dinyatakan cendekiawan ini maka wajar saja kalau hukum adat Migou Pa’ Tulangbawang itu bernuansa Islami. Sepanjang pengamatan penulis masyarakat adat Migou Pa’ Tulangbawang dalam hal menjalankan hukum–hukum adatnya tampak sangat demokratis, sehingga ada istilah populernya bahwa “Adat inou Meswarat, mepakat” (adat itu musyawarah mufakat). Setelah penulis mengamati realitanya memang demikian tradisi yang berlaku dalam masyarakat setempat, dalam prikehidupan beradat istiadat. Namun dalam realitas sosialnya, demokrasi mereka yang mengandung nilai–nilai kebebasan bukanlah kebebasan yang semena–mena sebagaimana pendapat seorang filosof yang menyatakan, kebebasan berdemokrasi bukanlah kebebasan tanpa batas sebagaimana Machiavelli yang menyatakan bahwa, secara prinsip memang alamiah jika manusia memiliki sikap suka melanggar, karena itu menurut Machiavelli dalam membuat sebuah peraturan asumsi dasar yang perlu dipegang adalah bahwa manusia itu pada prinsipnya
80 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Abu Tholib Khalik: Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ T ulangbawang (hal. 76-95)
jahat dan akan mampu melakukan kejahatan kapan, dan dimana pun juga ada kesempatan untuk itu. Manusia menurut Machiavelli tidak akan pernah ada berbuat kebaikan kecuali karena adanya suatu kebutuhan. Andaikan manusia itu memiliki kesempatan memilih dan mengekspresikan kebebasan tanpa batas, maka dari itu keberadaan hukum pengatur kebebasan itu mutlak dibutuhkan (Rapar, 199: 46). Bukankah fungsi hukum itu menurut teori (Michael Hager) sebagai alat penertib, sebagai alat penjaga keseimbangan, ini berarti bahwa development law adalah suatu sistem hukum yang sensitive terhadap pembangunan, termasuk pembangunan pendidikan lebih jauh bahwa hukum dibuat tujuannya untuk mencapai keadilan (http://www.uid.ac.id; 2009: 2, diakses 26 Juni 2011). Kesan penulis dalam hal ini adanya suatu alat pengatur bagi manusia untuk tidak berbuat jahat, yakni hukum yang telah disepakati untuk ditaati bersama adalah mutlak, demi menghadang kemungkinan adanya tindakan-tindakan yang secara bersama dianggap salah, dan tindakan yang dianggap salah itu kalaupun terjadi sangat berpeluang bagi munculnya kerusuhan yang dapat berakibat ketidakharmonisan dan kesemrawutan dalam masyarakat. Dalam hal ini, seorang pakar ilmu politik menawarkan pemikiran simpatik yang menyatakan, kita tak sekadar berkeinginan mendapatkan orang-orang yang mau menjadi pejuang demokrasi yang dapat menerangi koleganya yang bernama para pemain politik, melainkan pula kita ingin dapati orang-orang yang memperjuangkan sistem nilai yang ternyata mampu membuktikan diri meskipun dengan segala ketidak sempurnaan, sebagai sistem sosial, ini juga bernama demokrasi (Saad, 2007: 6, http://www.madina-sk.com.; diakses 14–09–2010). Pada masyarakat Adat Migou Pa’ masa pemerintahan kolonial Belanda, ada satu gedung yang hingga saat ini masih berdiri kokoh di Kampung Ujung Gunung Menggala. Gedung ini didirikan pada tahun 1912, dikenal dengan nama “Gedung Perwatin” (tempat bermusyawarah para penyembang), fungsinya adalah selain sebagai pusat pengendalian pemerintahan kolonial juga sebagai tempat musyawarah antara pemerintah kolonial dengan para penyembang (Ruhiyat Kesuma Yudha, mantan Pembantu Bupati Tulangbawang, wawancara; 12 Maret 2014, di Kampung Ujung Gunung Menggala). Ternyata memang pemerintah kolonial turut memelihara tradisi musyawarah masyarakat adat Migou Pa’ ini, sungguhpun itu bisa jadi dimaksudkan untuk kepentingan mereka. Dalam observasi penulis, ternyata dalam menghadapi suatu acara adat (Begawi) memang para penyembang itu diundang oleh shahibul hajat untuk
ISSN: 1693 - 6736
| 81
Jurnal Kebudayaan Islam
hadir di suatu tempat yang biasa disebut Sessat (Balai Adat) untuk memusyawarahkan rencana gawi itu, di sini juru bicara shahibul hajat meminta in put kepada penyembang yang hadir dalam musyawarah itu tentang kewajiban dan hak-hak shahibul hajat, lalu mereka memberikan input–input sesuai ketentuan hukum adat (Observasi, 5 Maret 2014, dalam Peppung Adat, di Sessat Agung Migou Pa’, Kampung Lingai Menggala). Sepanjang pengamatan penulis, di antara para penyembang itu mempunyai hak suara yang sama, sungguhpun yang turut serta di dalam forum itu pangkat adatnya tidak sama, namun dalam forum itu semua mempunyai hak suara yang sama. Karena siapapun juga yang berbicara harus berlandaskan hukum adat itu sendiri jika tidak siapapun yang berbicara tidak akan ada nilainya. Tampaknya di sini ada nilai-nilai yang mengandung perintah agar semua anggota masyarakat adat itu menjadi orang yang paham, sadar, dan taat hukum.
C. MIGOU PA’ DAN ISLAM Masalah Cepalou sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Hukum Adat Migou Pa’ Tulangbawang yang diatur dalam satu aturan secara tertulis, berdasarkan hasil musyawarah besar para penyembang dan terbagi dalam pasalpasal yang tertata sedemikian rupa. Demikian pula dari pasal-pasal tersebut ada model hukuman yang dianggap sangat berisiko, ada juga yang dianggap hanya sebagai suatu pelanggaran dan tidak pula menjadi sesuatu yang dipandang sangat memalukan klik/pepadun-nya, karena tidakan itu masih bisa diselesaikan dengan perdamaian secara adat antar Pepadun . Kalaupun ada risiko tetapi cukup dengan pengorbanan materiil, tidak menjadikan korban moril berat yang juga membawa dampak bagi pepadun-nya. Lebih lanjut di sini penulis mencoba menyajikan beberapa pasal/ayat dari hukum adat/ Atoeran Proatin Megou Pa’ yang dianggap sebagai hal yang sangat berisiko sebagaimana telah dikutip pada pendahuluan ini yaitu, jika terjadi seorang wanita baik gadis, ataupun janda hamil, sedangkan dia nyata-nyata tidak bersuami, maka perempuan yang bersangkutan akan diganjar dengan hukuman badan berupa dijadikan Isi Bumi. Karena orang yang bersangkutan walaupun berasal dari orang kelas atas/ keluarga terhormat tetap akan dikenai sanksi hukum menjadi budak dari Kepala Marga. Dengan demikian, berarti harkat martabat orang itu pada masa sebelumnya sudah tak lagi melekat pada dirinya, atau dengan perkataan lain dia sudah hina dina dalam pandangan masyarakat umum, sehingga martabatnya itu seolah telah terkubur di dalam bumi, walaupun orangnya masih hidup di muka
82 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Abu Tholib Khalik: Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ T ulangbawang (hal. 76-95)
bumi ini, tetapi dia telah disamakan dengan orang yang sudah mati dalam pandangan adat. Contoh lainnya seperti termaktub dalam pasal 18 dan 19: 18. Kalo siapa umpet-umpet (mencaci maki, pen.) orang atau dengan omong tiada patut, didenda f 6 hukuman itu disebut cepalou bangok, artinya “mulut kotor”. 19. Siapa baring berguling di sesat atawa pesiban-pesiban, ada perampuan liwat, dia masih tiada bangun, serta dia liat itu perampuan, hukumannya disebut cepalou bohou ngaring (buaya berbaring, sebagai pelanggaran etika jika melihat wanita dengan bernafsu, pen.), dendanya f 1 sampei f 6. (Pn. Kepala Marga, 1913; 36). Pasal 18 ini memberi kesan bahwa, mencaci maki itu kalau dalam Hukum Positif, termasuk suatu perbuatan yang memfitnah/perbuatan tidak menyenangkan, karena itu bisa merupakan fitnah terhadap seseorang yang dicaci maki itu, sedangkan kebenaran umpatan itu mungkin tidak dapat dibuktikan secara faktual. Dalam Islam ada firman Allah SWT dalam Q.S. 4: 148, Artinya: Allah tidak menyukai Ucapan buruk3, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya4. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Hadits Riwayat Muslim seperti berikut: Artinya: Mencaci-maki seorang mukmin adalah suatu kejahatan, dan memeranginya adalah suatu kekufuran (HR. Muslim). (Almath, Muhammad Faiz, 1991, 33). Berbeda dengan apa yang terkandung dalam pasal 19, selain secara etika merupakan tindakan tidak sopan juga sebagai tindakan amoral. Hal ini dipertegas dengan satu pasal, tepatnya pasal 21, berkenaan dengan kesukaan buruk manusia yakni: 21. Siapa-siapa meliat-liat gadis atawa bebai (ibu-ibu) lagi telanjang mandi, kena hukum Cepalo Jengok–Jengok, denda dari 3 sampei 10 riyal (f .20) (Pn. Kepala Marga, 1913; Pasal ini sinkron dengan peringatan firman Allah SWT dalam Q.S. 17: 17,
Ucapan buruk sebagai mencela orang, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang, dan sebagainya. 4 Maksudnya: orang yang teraniaya oleh mengemukakan kepada hakim atau Penguasa keburukan-keburukan orang yang menganiayanya. 3
ISSN: 1693 - 6736
| 83
Jurnal Kebudayaan Islam
Artinya: dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Secara sepintas, memang perbuatan mengintip ini tidak merugikan, tetapi sebagai masyarakat adat yang beradab, tindakan mengintip tergolong perbuatan tercela atau Cepalou, karena pada suatu saat dapat menjadi biang perbuatan kriminal dalam hal ini perbuatan zina. Dalam terjemahan di atas disebut sebagai perbuatan buruk, bahkan lebih tegas dalam Q.S. 24: 30, Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Selain pasal-pasal di atas ada lagi pasal yang tidak kalah kerasnya bahkan lebih keras lagi dan mengarahkan agar manusia itu bisa beradab yakni pada ayat 25 sampai dengan ayat 28, menyatakan: 25. Kalo ada perampuan masih di batang5 tempat mandi, tiba–tiba turun satu laki-laki tiada dengan ijin perampuan itu jadi laki-laki itu kena hukuman, Nuruni Sebai di wai, laki-laki itu didenda 3 riyal sampe 30 riyal, liat bagaimana kerja salahnya turun itu. 26. Kalo perampuan keluar di ambin belakang rumah, tiba ada laki-laki tegor atawa tanya dia menyaut atawa tidak, lantas laki-laki itu didenda dari 3 riyal sampei 10 riyal. 27. Siapa-siapa berjalan dalem kampong waktu siang hari pakei celana, pakei sarung tetapi disalindang di bahu liwat di muka orang banyak didenda 3 riyal. 28. Kalo lelaki naik rumah orang dari tangga belakangnya, bukan jalanan orang banyak dari luar rumah itu laki-laki punya rumah tiada di rumah, atawa naik orang punya pepadun tiada ijin yang punya didenda 3 riyal sampei 30 riyal (Pn. Kepala Marga, 1913; 37). Kebiasaan masyarakat Megou Pa’ dahulu memang menjadikan sungai sebagai tempat mandi, mengambil air untuk konsumsi sehari-hari, juga dijadikan sebagai sarana transportasi. Bahkan, dalam adat diatur agar setiap Batang di sini berarti suatu alat yang tersusun dari beberapa batang kayu disusun mirip rakit sebagai tempat pemandian disungai sekaligus sebagai MCK. 6 Pepadun adalah singgasana Penyembang, yang mirip bangku, tanpa sandaran, karena jika mau membuat sandaran itu harus begawi lagi dengan syarat tertentu. Batang = susunan kayu/ balok yang disusun mirip rakit yang lazin dijadikan sebagai tempat mandi, cuci dan Kakus (MCK). 5
84 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Abu Tholib Khalik: Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ T ulangbawang (hal. 76-95)
pepadun 6 agar memiliki “batang”, yakni sejenis rakit dari balok kayu dan sebagai kamar mandinya dibuatkan berupa bilik kecil mirip kamar mandi dan beratap dan kalau biliknya tidak beratap itu pertanda bahwa pemiliknya bukan orang kelas teratas kemudian penggunaannya pun diatur dalam hukum adat. Sebagaimana maksud pasal 25 di atas, dalam satu wawancara penulis mendapatkan penjelasan tentang hal tersebut, misalkan ada seorang laki-laki yang mau mengambil perahunya yang kebetulan ditambatkan di batang tersebut, sedangkan di batang itu sedang ada seorang perempuan maka dia harus meminta izin terlebih dahulu kepada perempuan itu, jika diizinkan perempuan itu barulah laki-laki itu boleh mengambil perahunya. Tetapi jika perempuan itu tidak menjawab maka berarti dia tidak mengizinkan, dan laki– laki itu wajib segera pergi dari tempat itu kalau tidak risikonya adalah denda (Minak Raja Tihang, Tokoh Adat Buai Bulan; Wawancara di Kampung Kibang Menggala 02-03-2011). Kemudian lazimnya orang-orang Migou Pa’ membuat rumah membelakangi rawa atau sungai, begitu pula karena kendaraan mereka dahulunya adalah perahu dan perahu itu berlabuh di tepi rawa ataupun sungai yang terkadang letaknya di sebelah belakang rumah. Lantas mungkin saja seseorang yang baru berlabuh atau mau berangkat dengan perahu itu, melintasi belakang rumah orang lain, jika kebetulan ada perempuan yang keluar dari pintu belakang rumahnya itu lalu ditegur oleh sang lelaki, maka ini sudah termasuk Cepalou, dan diancam dengan sanksi hukuman denda. Tetapi ini ada juga pengecualiannya, jika perempuan itu adalah muhrim si lelaki maka hukum itu tidak berlaku (Minak Raja Tihang, Tokoh Adat Buai Bulan; Wawancara di Kampung Kibang Menggala 02-03-2011). Pasal berikutnya tentang cara berpakaian yang dianggap tidak sopan, menurut social norm masyarakat Migou Pa’ kalau orang memakai kain sarung itu wajib menutupi dari pinggang hingga hingga betisnya, kalau kurang dari itu disebut penjung paccau, kalau pemakaian dengan cara ini tidak dibolehkan untuk turut serta dalam Peppung (Sidang Adat), karena sudah termasuk cara berpakaian yang tidak sopan. Kecuali jika orang itu mengenakan celana panjang maka sarung yang dipakainya itu cukup hingga bawah lutut saja. Lain halnya kalau bagi panitia Gawi (Hajatan Adat), wajib pakai sarung dan harus menutupi sampai atas lutut, karena ini sebagai simbol kepanitiaannya. Namun jika seperti yang termaktub di dalam pasal 27 tersebut di atas, ini sudah dianggap sebagai pelanggaran susila, karena itu adalah perilaku tidak sopan (Nurdin Syahrajou Gelar Minak Gayou Pikiran, Tokoh Adat Buai Bulan,
ISSN: 1693 - 6736
| 85
Jurnal Kebudayaan Islam
wawancara di Kampung Karta, 10 Maret 2014). Dalam pasal 28 di atas menaiki rumah tidak dengan melintasi tangga yang biasa digunakan untuk umum, maka tindakan itu dianggap sebagai melawan hukum, oleh karena itu pelakunya wajib dikenai sanksi berupa denda, karena sudah dicurigai berniat berbuat jahat, terutama kejahatan terhadap kaum perempuan di rumah tersebut. Memang dalam banyak hal, orang-orang Migou Pa’ sangat memuliakan kaum perempuan, salah satunya seperti termaktub pada pasal 29 Aturan Proatin berikut ini: 29. Siapa tangkep gadis dengan paksa, atawa kasih malu pegang-pegang saja, kendati dia laju kawin, maka dia kena denda, kalo dia pepadun6 Mega 30 riyal turut satu kerbau harga 10 riyal pepadun tiyuh 14 riyal turut satu kerbau harga 10 riyal; pepadun suku 12 riyal turut satu kerbau harga 10 riyal (Pn. Kepala Marga, dk., 1913; 37). Sepintas pasal ini memberi kesan bahwa betapa hukum adat Migou Pa’ mengagungkan kaum perempuan, karena istilah tangkep di sini maksudnya bisa disamakan dengan menculik, perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, dengan sanksi hukuman yang jelas. Demikian pula, perlakuan yang sama terhadap orang kelas tinggi akan mengakibatkan sanksi yang juga tinggi terhadap pelakunya, semakin tinggi kelas adat orang yang menjadi korban semakin tinggi pula risiko/sanksi hukumnya. Kelak pada sub pokok bahasan, pasal-pasal Berisiko ringan berikut hal ini akan diperjelas. Dalam pasal-pasal dari Atoeran Peroatin yang sempat penulis amati selama penulisan ini ternyata ada sesuatu yang khas dalam pelaksanaan hukum adat pada masyarakat adat Migou Pa’, karena jika terjadi seseorang dari kalangan mereka melakukan pelanggaran hukum adat, maka yang harus menanggung risiko hukumnya tidak cuma si Pelaku sendiri, tetapi segenap anggota klik nya. Salah satu contoh sebagaimana termaktub dalam pasal 11, yang berbunyi: “Siapa bikin matiken orang berpangkat mega, maka yang matiken itu bayar bangun, artinya mengganti jiwa yang mati tadi, f. 450, dia kena denda lagi 30 riyal dan 1 kerbau harga 10 riyal, ditanggung olih pepadun yang matiken tadi” (Pn. Kepala Marga, 1913: 35). Istilah bayar bangun mirip dengan diyat dalam hukum Islam, hanya saja yang tampak aneh dalam segi tanggung jawab hukum, apakah hal semacam ini layak untuk dipandang sebagai suatu keadilan. Karena dalam Islam siapa berbuat itulah yang bertanggung jawab, tetapi pada hukum adat Migou Pa’ ini kenapa orang yang tidak tahu-menahu tentang tindakan kriminal dari seseorang hanya karena dia sebagai anggota klik nya namun tetap dimintai tanggungan jawab secara hukum, apakah ini tidak akan menimbulkan akibat yang sangat
86 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Abu Tholib Khalik: Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ T ulangbawang (hal. 76-95)
buruk, karena seseorang akan berpikir bahwa akibat hukum dari tindakannya yang dianggap pelanggaran ini tidak menjadi tanggung jawabnya pribadi dari pelaku kesalahan itu, lantas bisa berakibat si pelaku tidak akan menjadi jera berbuat salah, bahkan akan seenaknya melakukan kesalahan, atau mungkinkah ada makna hakiki dibalik semua ini. Seharusnya para perumus hukum itu memperhatikan Firman Allah SWT dalam Q.S. 99: 7-8, Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. Penulis mengambil pengertian dari ayat ini, siapapun yang berbuat salah itulah yang harus bertanggung jawab secara pribadi, namun realitanya pada masyarakat Migou Pa’ mengapa justru suatu pelanggaran hukum oleh seseorang namun menjadi tanggung jawab moril matril dari klik-nya. Hal ini termasuk anomali juga, namun masih perlu dikaji lebih lanjut apa gerangan makna falsafi dari aturan yang membebani jama’ah itu sehingga demikianlah adanya, hal ini pasti ada makna-makna yang khusus dalam sifatnya majaziyah. Kalau dalam hukum positif perihal efek jera akan menjadi salahsatu tujuan dalam pemberian sanksi hukum terhadap seorang pelaku kejahatan, karena semua akan menjadi tanggung jawabnya sendiri. Namun dari pengamatan penulis dalam realitas sosialnya, antara anggota pepadun yang satu dengan yang lainnya diharapkan akan saling mengingatkan agar tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, demikian pula jika beberapa orang dari anggota satu pepadun sering melakukan pelanggaran hukum terkait masalah cepalou, maka klik itu akan dijauhi masyarakat bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat. Dalam permasalahan ini karena hukum adat Migou Pa’ ini menampakkan diri secara etis maka ada baiknya diperhatikan pula produk pemikiran seorang filosof Yunani di sekitar masalah hukum dan etika. Aristoteles mengatakan bahwa orang banyak menahan diri bukan karena malu, tetapi karena takut pada kejahatan dan hukum atasnya. Untuk melawan hawa nafsu tidak ada faedahnya perkataan-perkataan ataupun peringatan-peringatan, tetapi perlu dipakai kekuasaan. Jadi undang-undang harus mengatur hal pendidikan dan tingkah laku manusia (Schmid, 1988; 29). Kekuasaan di sini dapat diartikan kekuasaan yang ada pada para pemimpin adat/ penyembang, dengan peraturan yang telah mereka buat bersama itulah mereka memberikan didikan terhadap perilaku anggota masyarakatnya.
ISSN: 1693 - 6736
| 87
Jurnal Kebudayaan Islam
Sekitar masalah ini Montesque menasehatkan bahwa, dalam sebuah demokrasi, rakyat memiliki hak untuk melakukan hal–hal tertentu sepanjang itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Karena jika masyarakat memiliki kebebasan tanpa batas sehingga aturan–aturan hukum juga dilanggar, maka pada hakikatnya kebebasan itu sudah tidak ada lagi, lantas jika pelanggaran hukum sudah menjadi sebuah kepuasan dalam negara maka berarti ketidakstabilan dimulai. Lebih jauh Machiavelli menyatakan, memang secara alamiah manusia itu memiliki sikap suka melanggar, oleh karena itu dalam membuat sebuah peraturan haruslah asumsi dasar yang perlu dipegang adalah, manusia itu pada prinsipnya jahat dan akan mampu melakukan kejahatan kapanpun, dan di manapun selagi ada kesempatan untuk itu. Manusia tidak akan pernah ada perbuatan baik kecuali karena alasan adanya kebutuhan. Andai manusia memiliki kesempatan memilih dan mengekspresikan kebebasannya tanpa batas, maka dari itu keberadaan hukum pengatur kebebasan itu mutlak dibutuhkan (Rapar, 1991: 46). Secara implisit Machiavelli menghendaki adanya negara hukum, dan ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum itu sendiri. Hukum ibarat barang mati jika tanpa adanya penegakan yang sesuai dengan tujuan hukum itu. Cepalou sebagai bahagian dari Hukum adat di kalangan masyarakat Migou Pa’ terhimpun dalam 12 ayat mulai dari cepalou dengan sanksi hukum ringan hingga kepada pelanggaran yang mempunyai sanksi hukum sedang dan berat. Secara psikologis, sebahagian manusia mempunyai sifat suka dipuji, atau gila hormat, lantas akibat daripada itu tidak jarang terjadi pelanggaran hukum, maka wajarlah kalau Machiavelli berpendapat bahwa secara prinsip memang adalah alamiah jika manusia itu memiliki sikap suka melanggar. Oleh karena itu menurut Machiavelli dalam membuat sebuah peraturan asumsi dasar yang perlu dipegang adalah bahwa manusia itu pada prinsipnya jahat dan akan mampu melakukan kejahatan kapanpun, dan dimanapun juga selagi ada kesempatan untuk itu (Rapar, 1991: 46). Ternyata memang ada koherensi antara hukum adat Migou Pa’ yang membuat ketentuan bahwa orang bersalah itu wajib dihukum, hanya saja pada Machiavelli tetap mengharapkan sanksi hukum itu tetap menjadi tanggung jawab orang seorang yang menjadi pelaku suatu perbuatan melawan hukum itu, dan sekali-kali tidak untuk menjadi tanggung jawab jama’ah ataupun klik dari si pelaku sebagaimana terdapat di dalam hukum adat Migou Pa’ tulangbawang. Lebih lanjut penulis menengok pula pendapat suatu telaah tentang keadilan versi John Rawls yang mengatakan bahwa, hukum sebagai basis pelaksanaan hak dan kewajiban individu dalam interaksisosial bisa menjadi signal.
88 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Abu Tholib Khalik: Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ T ulangbawang (hal. 76-95)
Keadilan yang berbasiskan peraturan bahkan yang sifatnya administratif formal sekalipun, tetaplah penting karena pada dasarnya dia memberikan suatu jaminan minimum bahwa setiap orang dalam kasus yang sama harus diperlakukan secara sama (Ujan, 2001; 27). Ternyata Rawls juga menghendaki agar seorang pelaku kejahatan itu tetap wajib bertanggung jawab secara pribadi, memang dalam sistem hukum modern bisa saja seseorang tersangka itu dibantu oleh seorang atau suatu lembaga penegak hukum dengan maksud agar segala keputusan akhir dari hakim dapat proporsional, sehingga diyakini bahwa tidak akan ada kezaliman dalam keputusan hakim yang menjatuhkan sanksi hukum terhadap seorang terdakwa itu. Sekitar masalah penegakan hukum seorang ulama kontemporer menyatakan bahwa, Islam lebih dari sebagai suatu sistem politik, ia merupakan suatu sistem menyeluruh yang mencakup aqidah, dan nilai–nilai moral, ia merupakan doktrin sosial kemasyarakatan dan seruan kepada keadilan dan keseimbangan dalam semua urusan, baik secara individual maupun komunal (Asad, Muhammad, 1985; 160). Dalam hal ini penulis menganggap makna hakiki dari pada butir aturan ini, mempunyai nilai dakwah sebagaimana diharapkan dari Firman Allah dalam Q.S.103: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. dan Q.S. 66: 6 berikut ini: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Di atas telah disinggung sepintas bahwa barang siapa yang telah terkena sanksi hukuman berat dalam adat maka dengan sendirinya dia telah merasa kehilangan harga diri karena telah diibaratkan sebagai Isi Bumi yang berarti kehormatannya telah terkubur, hal ini tidak semata-mata menjadi beban moral bagi orang yang bersangkutan tetapi rasa kehilangan harga diri itu akan merambah kepada sanak keluarganya terutama yang masih satu klik .
D. SANKSI DAN KELAZIMAN HUKUM Dalam masalah pengertian hukum menyatakan bahwa, pengertian hukum itu selalu berkembang karena terkait dengan perkembangan dari zaman keISSN: 1693 - 6736
| 89
Jurnal Kebudayaan Islam
zaman. Sejak awal abad XV M, kebanyakan orang menyamakan arti “hukum” itu adalah undang–undang, pada sebahagian pakar Ilmu Hukum menyebutnya dengan istilah Positive Law. Secara tradisional lebih-lebih dipandang sebagai sesuatu yang bersifat ideal atau etis. Pada abad V sampai dengan XV, hukum yang dituju adalah peraturan-peraturan yang memancarkan ketentuan-ketentuan Allah (Huijbers, Theo, ed., 1995: 21). Pendapat pakar ini tampak cukup dekat dengan cara pandang para pencipta Atoeran Proatin Migou Pa’ yang menjadi fokus penulisan karya ini. Sebagaimana telah disinggung sepintas di atas bahwa Islam mengingatkan agar muslim menjauhi perbuatan zina, berarti sesuatu yang dapat menjadi penyebab ataupun peluang perbuatan itu harus dijauhkan. Demikian juga di atas sempat disinggung masalah diskriminasi dalam pemberian sanksi hukum, yang disesuaikan dengan pangkat adat si pelaku, sehingga semakin tinggi pangkat adat seseorang pelaku pelanggaran hukum maka akan semakin tingi pula sanksi hukuman baginya. Kemudian pelaku pelanggaran hukum adalah orang seorang, tetapi yang menanggung akibat hukum/sanksi hukumnya adalah satu klik itu. Hal ini dalam satu diskusi penulis dengan beberapa tokoh adat Migou Pa’ semasa pengumpulan data, di peroleh kejelasan tentang hal ini yaitu, untuk memancing rasa tanggung jawab para anggota klik dari Pepadun yang bersangkutan agar berhati-hati dalam setiap masalah, jangan terlalu memperturutkan emosi. Tidak kecuali seorang pakar budaya yang sudah cukup banyak menjadi pemerhati budaya Indonesia mengatakan, sistem gelar status adalah sistem prestise murni, dari gelar seseorang dapat diketahui secara pasti apa yang seharusnya ditunjukkan si penyandang gelar itu dalam setiap konteks kehidupan publik secara praktis (Geert, 2000: 170). Dengan demikian, kalaupun di sekitar tempat itu ada anggota klik-nya yang menyaksikan adanya benih-benih pelanggaran hukum maka dia wajib mencegah kemungkinan terjadinya kerusuhan atau pelanggaran hukum, sebab jika itu terjadi maka semua akan menanggung akibat hukumnya. Atau mungkin juga akibat psikisnya dalam masyarakat dapat timbul anggapan bahwa klik itu adalah klik yang tidak bisa bermasyarakat. Jika hal ini terjadi maka semua anggota klik itu akan divonis demikian oleh masyarakat umum, jika sampai terjadi vonis sosial itu harus ditanggung oleh segenap anggota pepadun -nya, yang pada puncaknya mereka akan terkucil dalam pergaulan. Sanksi yang berat jika pelanggaran itu terjadi terhadap orang yang pangkat adatnya tinggi, hal ini berarti agar kaum yang lebih rendah itu tidak sembrono terhadap orang berpangkat tinggi itu, ini bermakna juga preventif. Sebaliknya
90 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Abu Tholib Khalik: Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ T ulangbawang (hal. 76-95)
bila terjadi korban palanggaran hukum itu adalah terjadi pada orang yang berpangkat rendah, dan pelakunya adalah orang yang berpangkat tinggi, maka sanksi hukumnya lebih berat. Makna agar orang–orang berpangkat tinggi itu memanusiakan orang kecil, sebagai suatu ciri peradaban suatu kaum. Lazimnya para ahli sosiologi menyebut orang-orang yang suka berlaku kasar itu dengan sebutan Nomaden, yaitu orang yang masih rendah tingkat peradabannya dan masih sering berpindah tempat kediaman, alias tidak menetap. Istilah ini memang khas yang berarti ternoda, dan noda inipun ada tingkattingkatannya lagi yakni, kelas berat, agak berat dan ringan. Celakanya curing ini berdampak sangat negatif bagi segenap anggotanya, sampai-sampai diharamkan Cepalou sebagaimana telah dijelaskan di atas sebagai suatu tindakan tercela atau perbuatan yang memalukan, sebagaimana diatur di dalam pasal 7 sampai dengan pasal 9 Atoeran Proatin Migou Pa’ Tulangbawang. Pasal-pasal ini mengancam dengan hukuman badan yang sangat berat sekali, karena keadaan nista yang tiada taranya ini akan dikenakan pada siapapun pelakunya, demikian pula rasa malu akan ditanggung oleh segenap anggota pepadun-nya. Hal yang lebih keras lagi Pepadun-nya dianggap cacat, dalam bahasa khasnya disebut “ Pepadun Curing” (Ternoda), dan jika mereka akan mengadakan kegiatan adat terpaksa harus membayar denda terlebih dahulu barulah kegiatan adatnya bisa dilaksanakan. Bahkan, suatu sikap para tokoh adat yang dianggap sangat berlebihan yaitu sesorang pimpinan/penyembang dari satu pepadun yang dalam keadaan Curing itu, tidak dibenarkan untuk ikut serta dalam segala musyawarah persoalan adat. Ketiga model cacatnya pepadun itu adalah, pertama pepadun lekkep (telungkup/tumpah) , yang kedua pepadun tegecing (miring), dan ketiga pepadun kamah (kotor) (Maria, 1993: 23). Sanksinya jika ini terjadi maka diwajibkan merehabilitasinya dengan jalan, pepadun itu harus begawi lagi dan membayar sejumlah denda, jika pepadun tersebut sampai lekkep , tetapi jika hanya tegecing juga harus direhabilitasi, namun dendanya cuma separoh dari denda pepadun lekkep. Lantas jika pepadun hanya kamah saja, mereka sekadar membayar denda senilai harga satu ekor kerbau (Minak Raja Tihang, Tokoh Adat Buai Bulan; Wawancara di Kampung Kibang Menggala 02-03-2014). Khusus masalah perempuan berzina sebagaimana termaktub dalam pasal 7 dan 8 yang telah dikutip pada bahagian pendahuluan di atas menurut seorang tokoh adat Buai Bulan sanksinya amat sangat berat yakni pada zaman dahulu sebelum masa pemerintahan kolonial Belanda, perempuan bunting/hamil tanpa suami itu dibuang ke dalam rimba. Karena perbuatan zina itu adalah perbuatan hewan, maka pelakunya dianggap lebih layak berbaur dengan binatang di rimba ISSN: 1693 - 6736
| 91
Jurnal Kebudayaan Islam
daripada harus berbaur dengan manusia (Nurdin Syahrajou Gelar Minak Gayou Pikiran, Tokoh Adat Buai Bulan, wawancara di Kampung Karta, 10 Maret 2014). Hal ini penulis anggap lebih kejam dari Firman Allah SWT dalam Q.S. 24: 2 berikut ini: Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Dari ketiga sanksi tersebut di atas sanksi yang terberat adalah yang ketiga, karena segenap anggota pepadun tersebut dianggap sudah tidak lagi sebagai anggota masyarakat adat, sebelum memenuhi apa yang menjadi persyaratan untuk bebas dari vonis hukuman adat. Pepadun tegecing dikenai sanksi agak berat yaitu berupa larangan bagi penyembang termasuk segenap anggotanya untuk turut serta dalam Peppung (sidang/rapat) Adat, sebelum denda yang menjadi kewajibannya dipenuhi, karena selama dalam masa hukuman, mereka diperlakukan sebagai orang–orang yang tidak beradat. Untuk sanksi hukuman yang ketiga, mereka tetap boleh ikut peppung adat, tetapi tatkala mereka begawi maka gawi itu belum bisa dilaksanakan sebelum sanksi dendanya terbayar (Nurdin Syahrajou Gelar Minak Gayou Pikiran, Tokoh Adat Buai Bulan, wawancara di Kampung Karta, 10 Maret 2014). Bagaimanapun juga jika sudah terkena sanksi semacam ini maka tak ayal lagi segenap anggota pepadun itu akan merasakan terhina, hanya disebab-kan oleh tindakan salah orang seorang dari anggota pepadun-nya. Maka wajar saja kalau antara satu dan lainnya dalam satu pepadun itu saling mengingat-kan dan menjaga guna menghindari kemungkinan adanya sanksi hukum. Sebab sanksi hukum yang harus ditanggung oleh seseorang itu pasti terjadi karena sebab– sebab tertentu yakni pelanggaran terhadap hukum adat. Tatkala seseorang melakukan pelanggaran hukum adat maka vonis masyarakat terhadapnya tiada lain kecuali “tidak tahu adat”, dan sanksi ini cukup me-nakutkan bagi segenap masyarakat adat, karena akan memperburuk citra pribadi maupun kliknya di mata masyarakat adat. Vonis semacam ini lazimnya secara psikis lebih terasa dibanding vonis hakim Pengadilan Negeri karena vonis ini berlaku turun temurun tidak ada batasan waktu berlaku, hal ini sebagai salahsatu ciri dari masyarakat madani/civil society. Dalam cara pandang Tocquevillian, civil society dilihat sebagai wilayah– wilayah kehidupan sosial yang bersifat terorganisir dan berciri antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating) dan keswadayaan
92 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Abu Tholib Khalik: Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ T ulangbawang (hal. 76-95)
(self supporting), memiliki kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan terikat dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya; AA GN Ari Dwipayana, Memperkuat Civil Society, Memperkuat Budaya Kewargaan, 2010: 3, ari dwipayana- http://lkis. or.id; Diunduh 07-12-2010). Keterikatan dengan norma–norma adat inilah yang menyebabkan vonis itu sangat menakutkan, atau dengan kata lain dapat memberikan efek jera terhadap pelakunya, kemudian terhadap pihak lain dapat menjadi sesuatu yang menakutkan sehingga menjauhkan niat untuk melakukan pelanggaran hukum. Lebih lanjut dalam hal ini perlu disimak pandangan seorang pakar yang mengatakan bahwa, jika suatu hukum bisa menegakkan suatu tatanan sosial namun menyebabkan kemalangan abadi bagi manusia, dari sudut pandang Islam hukum ini tidak bisa diterima, bahkan jika hukum tersebut diterima oleh mayoritas. Isu yang ketiga adalah bagaimana dan oleh siapa hukum tersebut harus disahkan (Yazdi, Muhammad Taqi Misbah, terj. Anna Farida Anvari, 2008, A Glimpse at the Political Philosophy of Islam, http://home.swipnet.se/ islam/articles, diunduh 7–9–2010. hal. 5). Dalam hukum adat Migou Pa’ Tulangbawang yang menjadi pokok tinjauan dalam karya tulis ini sangat Tampak adanya dukungan terhadap ketentuan–ketentuan Hukum Islam, dengan demikian maka penegakan hukum adat Migou Pa’ Tulangbawang wajib dipegang oleh pemerintah dalam rang mewujudkan manusia Indonesia yang adil dan beradab.
E. SIMPULAN Cepalou sebagai subsistem hukum dalam budaya masyarakat Migou Pa’ dan penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan, walaupun sekilas tampak ada hal– hal secara logika agak ganjil karena orang yang tidak berdosa harus turut menanggung risiko hukum, bahkan cenderung mengabaikan hak–hak asasi manusia karena perempuan dan laki–laki pelaku zina akan dibuang kedalam rimba, seolah-olah mereka sudah tidak lagi diperlakukan sebagaimana layaknya manusia tetapi sudah disamakan dengan binatang Hukum adat yang berlaku pada masyarakat adat Migou Pa’ Tulangbawang ternyata mempunyai arti hakiki dalam rangka mengarahkan kaumnya menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya yakni: 1. Gelar adat yang disandang seseorang itu mengandung risiko, semakin besar/tinggi kelas adat seseorang maka akan semakin besar pula risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu maka setiap orang yang bejulug beadeg (memiliki gelar adat) itu mesti ekstra hati–hati menjaga dirinya agar tidak terjebak dalam hal–hal yang dapat mengakibatkan dirinya terkena tindakan yang biasa disebut ISSN: 1693 - 6736
| 93
Jurnal Kebudayaan Islam
Cepalou itu sehingga mengakibatkan ia harus terkena sanksi hukum adatnya sendiri. Sehingga di sini ditemukan adanya upaya preventif dari pembuat aturan. Dalam hal ini termasuk juga kewajiban menyadarkan para anggota klik -nya yang diperkirakan akan berbuat melanggar hukum, karena jika terjadi sesuatu dan pelakunya harus dikenai sanksi hukum semua anggota pepadun yang menanggung akibatnya akan mengenai semua anggota pepadun itu juga. 2. Ternyata ada nilai–nilai tersembunyi di dalam fasal–fasal pada Hukuman Sepandjang Hadat Lampong, di antaranya tentang anomaly pelaku kesalahan itu karena orang berpangkat tinggi akan dikenai sanksi hukuman lebih tinggi jika dia melakukan kesalahan, walaupun bentuk kesalahan itu sama dengan pelaku yang berpangkat lebih rendah dan hanya diberi sanksi lebih rendah, maksudnya di sini lagi-lagi terarah kepada tindakan preventif, agar orang-orang yang berpangkat tinggi itu tidak berani melakukan kesalahan dikarenakan itu berisiko tinggi. Dengan jalan demikian keberadaanya akan berwibawa di kalangan masyarakatnya, karena dia bersih dari celaan hukum; 3. Jika misalnya Hukum Positif di Indonesia bisa mengandung essensi semacam yang telah disebutkan pada nomor 2 di atas tentu para petinggi pusat maupun daerah itu akan takut melakukan kesalahan, misalnya korupsi walau pun nilai uang yang dikorup oleh pejabat pusat itu nomilannya lebih kecil tetapi jika dia akan dikenai sanksi hukum yang besar maka dia akan berpikir dua tiga kali untuk melakukan itu. Namun jika dia melakukan kesalahan besar sekalipun tetapi risiko yang dihadapinya bisa kecil atau hilang sama sekali sehingga dia terbebas dari ancaman hukuman, tentu korupsi, atau tindakan melawan hukum lainnya tidak akan pernah berakhir.
DAFTAR PUSTAKA Adnan Troe. 1997. Menyelami Tulangbawang . Pemerintah Kab. Tulangbawang. Al-Haidar. 1999. Lampung Bersimbah Darah. Jakarta: Gema Insani Press. Al Math. Muhammad Faiz. 1991. 1100 Hadits Terpilih Sinar Ajaran Muhammad. Jakarta: Gema Insani Press. Ancok. Djamaludin. 2007. http://ancok.staff.ugm.ac.id Diunduh 20–11–2010. Asad. Muhammad. Terj. Afif Muhammad. 1985. Sistem Pemerintahan Islam (Minhaj al–Islam fi Al–Hukmi). Kanwil. Propinsi Lampung. Tanjungkarang Telukbetung.
94 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Abu Tholib Khalik: Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ T ulangbawang (hal. 76-95)
Beerling. Kwee. Mooij .1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana. Bukri. dkk.. 1977/1978. Sejarah Daerah Lampung. Kanwil. Propinsi Lampung. Tanjungkarang Telukbetung. Geertz. Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. terj.. Francisco Budi Hardiman. dari; The Interpretation of Cultures. Selected Essays. Yogyakarta: Kanisius. . 2000. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Harun. Yahya. 1995. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hilman Hadi Kesuma. Dkk . 1978. Adat Istiadat Daerah Lampung. Kanwil Depdikbud. Prop. Lampung. Huybers. Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius. Jean Couteau. Prof. Dr.; 2009. Makalah berjudul Memaknai “Watu Gunung dan Oedipus Raja” Sebagai Mitos Tentang Waktu dan Yang Melampaui Waktu. Johanes Mardimin (Ed.) . 1998. Jangan Tangisi Tradisi. Yogyakarta: Kanisius. Julia Maria. 1993. Kebudayaan Orang Menggala. U.I. Press. Jakarta. Kaelan. 1996. Filsafat Pancasila: Paradigma. Depdikbud: Yogyakarta. Kartodirdjo. Sartono. 1994. Pembangunan Bangsa. Yogyakarta: Aditya Media. Kepala Marga. Tuan. Dkk. 1913. Pelatoeran Sepandjang Hadat Lampong . Batavia: Uit Gevers end Drukkers Maatschappy. Munthoha. Dkk.. 2002. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: UII. Press. Poespowardojo. Soerjanto. 1989. Strategi Kebudayaan. Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: Gramedia. Riyanto. Joko. 2012. Hukum yang Tajam Kebawah dan Tumpul Keatas; Koran Jakarta. 9 Januari 2012. Schmid. JJ. Von. 1988. Terj. Wiratno. dkk. Ahli–ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum. PT. Pembangunan. Jakarta. Ujan. Andre Ata. 2001. Keadilan dan Demokrasi Telaah Filsafat Politik John Rawls. Yogyakarta: Kanisius. Yazdi. Muhammad Taqi Misbah. 2008. terj. Anna Farida Anvari. A Glimpse at the Political Philosophy of Islam. http://home.swipnet.se/islam/articles. diunduh 07092010.
ISSN: 1693 - 6736
| 95