KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NONPERTANIAN DALAM EKONOMI PERDESAAN Kecuk Suhariyanto Badan Pusat Statistik Jl. Dr. Sutomo No. 8 Jakarta Pusat
Abstract Agricultural development focusing on food production has been relatively success, though the production improvement was unable to show its positive correlation with rural people’s welfare level. There are many basic problems faced by the people in rural areas who are mostly farmers, causing various programs for non-agriculture development should come from and implemented by the government. Such basic constraints that should be thoroughly considered are: (1) the low productivity of human resource; (2) the opression for area size for each household engaged in agriculture, (3) the increasing number of small landholding farmers, (4) the low income of agricultural household which their economy is also stagnant, (5) the low level of agricultural wage, and (6) the fact that majority of rural people are poor. Therefore, to increase rural people’s welfare, agricultural development should be conducted parallel with the development of non-agricultural sectors. The economic activities in nonagricultural sectors are mostly related to trade and agro-based industry, although during 1998-2006, the ability of non-agricultural sectors in rural areas to provide job opportunity was not significantly offered and was not performed as expected. This is particularly because of the type of employment which is usually rely on the unpaid family labor, and also the condition of agricultural practices that mostly conducted at micro- or small-scale size known with specific characteristics of poor in management, capital, skills and carried out in a non-permanent locations. Key words : agricultural activity, non-agriculture, rural economy Abstrak Pembangunan pertanian yang difokuskan pada peningkatan produksi pangan relatif cukup berhasil, walaupun peningkatan produksi belum berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan. Berbagai persoalan mendasar masih dihadapi oleh masyarakat perdesaan, sehingga berbagai program kebijakan untuk memacu perkembangan sektor nonpertanian di perdesaan harus senantiasa menjadi perhatian pemerintah. Permasalahan mendasar di perdesaan yang perlu ditangani dengan lebih serius diantaranya: (1) rendahnya produktivitas tenaga kerja; (2) semakin sempitnya luas lahan yang dikuasai rumah tangga (RT) pertanian; (3) Jumlah RT petani gurem meningkat; (4) pendapatan RT pertanian rendah dan keadaan ekonominya stagnan; (5) rendahnya upah buruh tani; dan (6) mayoritas penduduk miskin. Dengan demikian, untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk perdesaan, pengembangan sektor pertanian harus dibarengi dengan usaha nonpertanian. Usaha nonpertanian yang dapat dikembangkan di perdesaan adalah usaha perdagangan dan industri pengolahan, sekalipun selama periode 1998-2996 kemampuan sektor nonpertanian dalam penyerapan tenaga kerja di perdesaan tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Hal ini selain tenaga kerja masih berstatus pekerja keluarga yang tidak dibayar juga sebagian besar usaha nonpertanian masih berskala mikro dan kecil yang lemah dalam manajemen, modal dan keterampilan serta dilakukan di lokasi yang tidak permanen. Kata kunci : kegiatan pertanian, nonpertanian, ekonomi perdesaan
PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52 persen penduduk Indonesia yang tinggal di daerah perdesaan masih berkutat dengan beragam persoalan. Pembangunan nasional dilakukan selama beberapa dekade memang telah membawa perbaikan di daerah perdesaan, antara lain angka partisipasi sekolah
8
penduduk berumur 7-18 tahun telah meningkat pesat dan persentase penduduk yang buta huruf menurun. Namun keadaan sosial ekonomi penduduk perdesaan masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Pembangunan pertanian yang terlalu difokuskan pada peningkatan produksi pangan boleh dibilang cukup berhasil, namun peningkatan produksi ini nampaknya tidak mempunyai korelasi positif dengan tingkat kesejahteraan
masyarakat perdesaan yang mayoritas petani. Sekedar contoh adalah kondisi petani di Jawa Timur yang merupakan salah satu sentra produksi beras dan jagung. Pada tahun 2004 ratarata pendapatan rumah tangga pertanian di Jawa Timur hanya sebesar Rp.7,7 juta per tahun, tidak jauh berbeda dengan rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian di NTT (Rp.7,4 juta per tahun), yang sering kali dikonotasikan sebagai daerah terbelakang. Di tengah berlangsungnya pembangunan ekonomi yang tidak lagi menempatkan sektor pertanian sebagai fondasi ekonomi nasional, berbagai persoalan mendasar masih dihadapi penduduk perdesaan. Produktivitas tenaga kerja yang rendah, sempitnya lahan garapan, terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, meningkatnya pengangguran dan petani gurem telah menyebabkan tingkat kesejahteraan penduduk perdesaan tidak kunjung membaik, sehingga daerah perdesaan tetap menjadi kantong kemiskinan. Dengan memperhatikan sempitnya lahan garapan, sulit bagi penduduk perdesaan untuk dapat hidup layak hanya dari sektor pertanian, sehingga mereka harus mencari alternatif sumber penghidupan dari kegiatan di luar pertanian. Berbagai program kebijakan sudah dilaksanakan Pemerintah untuk memacu perkembangan sektor nonpertanian di perdesaan, dengan harapan sektor ini dapat menyerap tenaga kerja dan berperan serta dalam meningkatkan pendapatan penduduk perdesaan. Paper singkat ini bertujuan untuk melihat beberapa persoalan mendasar yang dihadapi penduduk perdesaan dan peranan sektor nonpertanian dalam ekonomi perdesaan. Untuk melihat kemampuan sektor nonpertanian dalam penyerapan tenaga kerja di perdesaan, digunakan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 1998 dan 2006, sementara untuk mengamati struktur perusahaan/usaha nonpertanian di perdesaan berdasarkan lapangan, lokasi dan skala usaha, digunakan data listing Sensus Ekonomi 2006 (SE06).
Produktivitas Tenaga kerja di Perdesaan Rendah Mayoritas penduduk perdesaan bekerja di sektor pertanian. Rendahnya produktivitas tenaga kerja di perdesaan bisa dilihat dari perbandingan jumlah tenaga kerja yang diserap sektor pertanian dan sumbangan sektor pertanian dalam perekonomian nasional. Tahun 2002 sektor pertanian menyumbang 16,04 persen terhadap PDB, sementara penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebesar 44,30 persen dari total penduduk yang bekerja. Tahun 2006 sumbangan sektor pertanian terhadap PDB turun menjadi 12,90 persen, namun jumlah penduduk yang bekerja di sektor ini hanya berkurang menjadi 42,10 persen. Ini menyebabkan produktivitas tenaga kerja pada sektor pertanian menjadi rendah. Nilai produktivitas pekerja sektor pertanian hanya sebesar Rp 6,51 juta per pekerja pada tahun 2006, menempati urutan terakhir dibanding sektor lainnya. Angka tersebut jauh dibawah produktivitas sektor lainnya seperti sektor perdagangan (Rp 16,23 juta), angkutan (Rp 21,96 juta), bangunan (Rp 24,01 juta), maupun sektor industri (Rp 43,25 juta). Produktivitas tertinggi dicapai oleh pekerja sektor pertambangan dan penggalian dengan nilai Rp 182,69 juta per pekerja. Luas Lahan yang Dikuasai Rumah Tangga Pertanian Semakin Sempit
PERMASALAHAN DI DAERAH PERDESAAN
Rata-rata penguasaan lahan pertanian per rumah tangga pertanian pengguna lahan semakin kecil, dari 0,80 hektar pada tahun 1993 menjadi 0,72 hektar pada tahun 2003 (data Sensus Pertanian 2003). Penurunan ratarata penguasaan lahan di Jawa lebih cepat dibandingkan dengan luar Jawa. Di Jawa turun dari 0,47 hektar menjadi 0,38 hektar, sementara di luar Jawa turun dari 1,20 hektar menjadi 1,14 hektar. Semakin mengecilnya rata-rata penguasaan lahan pertanian terjadi karena berbagai faktor seperti meningkatnya jumlah rumah tangga pertanian, terjadinya fragmentasi pemilikan lahan, dan alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian yang berkaitan erat dengan kemiskinan.
Beberapa permasalahan mendasar di daerah perdesaan yang perlu ditangani dengan serius antara lain:
Berdasarkan data Podes 2003, selama periode Agustus 1999-Agustus 2002 telah terjadi pengurangan lahan sawah yang cukup besar di Indonesia yaitu seluas 563.159 hektar atau rata-rata 187.720 hektar per tahun. Pe-
9
ngurangan lahan sawah terjadi karena fungsinya digunakan untuk keperluan lain seperti lahan pertanian bukan sawah (41,32%), perumahan (28,73%), industri (4,82%), perusahaan/ perkantoran (8,59%) dan keperluan lainnya (16,60%). Perlu diperhatikan bahwa berdasarkan beberapa temuan dilapangan, konversi lahan sawah menjadi lahan pertanian bukan sawah umumnya hanya bersifat sementara saja, karena pada akhirnya akan digunakan untuk kepentingan nonpertanian seperti perumahan dan industri.
adaan ekonomi rumah tangganya justru menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Sebaliknya, hanya sekitar 19,86 persen rumah tangga pertanian yang menyatakan keadaan ekonominya meningkat. Berbagai kebijakan pertanian yang diterapkan Pemerintah nampaknya masih belum berhasil mengangkat kesejahteraan petani, karena banyaknya kendala yang dihadapi, seperti sempitnya pengusahaan lahan, rendahnya pendidikan petani, kurangnya diversifikasi usaha sub-sektor pertanian, dan sebagainya.
Jumlah Rumah Tangga Petani Gurem Meningkat
Upah Buruh Tani Lebih Rendah dari Upah Buruh Bangunan dan Industri
Rumah tangga petani gurem adalah rumah tangga pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Lahan yang dikuasai bisa berasal dari milik sendiri atau menyewa dari pihak lain. Selama periode 1993-2003 jumlah rumah tangga petani gurem secara rata-rata meningkat 2,39 persen per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003 atau sekitar 56,2 persen dari total rumah tangga pertanian pengguna lahan. Sempitnya penguasaan lahan ini akan menjadi kendala besar dalam upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan petani.
Sekitar 70 persen penduduk miskin di daerah perdesaan mempunyai sumber penghasilan utama di sektor pertanian. Mudah diduga mereka adalah petani gurem atau buruh tani. Secara nasional, rata-rata upah nominal harian buruh tani selalu meningkat dari bulan ke bulan, namun secara riil rata-rata upah harian buruh tani cenderung mengalami penurunan. Rata-rata upah nominal harian buruh tani naik dari Rp 11.765 pada Maret 2005 menjadi Rp 15.158 pada Agustus 2007, namun upah riilnya turun dari Rp 2.614 menjadi Rp 2.591. Penurunan upah riil ini menunjukkan melemahnya daya beli para buruh tani. Dibandingkan dengan upah buruh bangunan atau industri, upah buruh tani jauh lebih kecil. Pada Agustus 2007, upah harian buruh bangunan Rp 36.164, sementara upah buruh industri sekitar Rp 36.640 per hari.
Pendapatan Rumah Tangga Pertanian Rendah, Keadaan Ekonominya Stagnan Pada tahun 2004, rata-rata pendapatan per rumah tangga pertanian hanya sebesar Rp 9,3 juta setahun, dimana 48,6 persennya adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan nonpertanian seperti industri pengolahan hasil pertanian, industri pengolahan bukan hasil pertanian, perdagangan, buruh di luar pertanian, dan lainnya (BPS, 2005). Jika dihitung per bulan, rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian hanya berkisar Rp 775.000. Dengan memperhitungkan rata-rata jumlah anggota rumah tangga pertanian yang sekitar 4 orang per rumah tangga, nilai pendapatan ini tergolong kecil untuk dapat hidup layak. Lebih dari separuh (58,02%) rumah tangga pertanian menyatakan bahwa keadaan ekonomi rumah tangganya sama saja atau tidak berubah dibandingkan dengan keadaan ekonomi rumah tangga setahun yang lalu. Yang lebih menyedihkan, sebagian rumah tangga pertanian (22,12%) mengaku bahwa ke-
10
Mayoritas Penduduk Miskin Berada di Perdesaan Hingga saat ini, desa masih menjadi kantong kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta orang atau sekitar 16,58 persen dari total penduduk Indonesia. Sebagian besar (63,51%) penduduk miskin berada di daerah perdesaan sehingga jumlah penduduk miskin di perdesaan 1,74 kali jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan. Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa
mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan jauh lebih tinggi dari pada perkotaan. Pada bulan Maret 2007, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 2,15 sementara di daerah perdesaan mencapai 3,78. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan hanya 0,57 sementara di daerah perdesaan mencapai 1,08. Ini mengindikasikan bahwa tingkat kemiskinan di daerah perdesaan lebih parah dari pada daerah perkotaan. KEGIATAN NONPERTANIAN DI PERDESAAN Dengan memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk perdesaan hanya dengan mengandalkan sektor pertanian akan sulit tercapai. Dengan penguasaan lahan yang sempit, sulit diharapkan bagi para petani untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak tanpa adanya usaha lain diluar sektor pertanian. Karena itu pengembangan sektor pertanian harus dibarengi dengan pengembangan usaha nonpertanian dengan memberi perhatian khusus pada usaha yang sudah ada atau usaha yang berpotensi besar di masing-masing daerah. Pengembangan sektor pertanian sendiri jangan hanya difokuskan pada upaya peningkatan produksi pangan, tetapi juga produk-produk pertanian lain yang lebih beragam dan bernilai tinggi sehingga dapat digunakan tidak hanya untuk keperluan konsumsi namun juga dapat menjadi bahan baku bagi kegiatan usaha nonpertanian. Sudah banyak program dan kebijakan yang dijalankan Pemerintah untuk mengembangkan usaha nonpertanian di perdesaan. Untuk melihat seberapa besar peranan sektor nonpertanian dalam ekonomi perdesaan, bisa disimak dari data Sakernas dan hasil listing SE06. Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Nonpertanian di Perdesaan Membandingkan situasi ketenagakerjaan di Indonesia antara periode Agustus 1998 (saat Indonesia sedang dilanda krisis) dan Agustus 2006 diperoleh gambaran yang tidak menggembirakan. Dalam periode tersebut jumlah pengangguran meningkat, yang tercermin
dari meningkatnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) baik di perkotaan maupun perdesaan. TPT di perkotaan naik dari 9,29 persen pada tahun 1998 menjadi 12,94 persen pada tahun 2006, sementara TPT di perdesaan naik dari 3,30 persen menjadi 8,39 persen. Tingkat pengangguran di perdesaan naik lebih cepat daripada perkotaan. Peningkatan tenaga kerja di perdesaan yang tidak diikuti oleh kesempatan kerja telah menyebabkan mereka menjadi penganggur. TPT di daerah perdesaan lebih rendah dari pada perkotaan, baik pada tahun 1998 maupun tahun 2006. Lebih rendahnya TPT di perdesaan karena jumlah penduduk setengah penganggur (bekerja kurang dari 35 jam seminggu) di perdesaan jauh lebih besar dari pada perkotaan. Persentase penduduk setengah penganggur terhadap total orang yang bekerja di perdesaan mencapai 44,31 persen pada tahun 1998 dan 39,38 persen pada tahun 2006, sementara di perkotaan hanya 22,10 persen dan 17,25 persen (Tabel 1). Sebagian besar penduduk perdesaan masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Dari 57,1 juta penduduk yang bekerja di daerah perdesaan pada bulan Agustus 2006, sekitar 62,88 persennya bekerja di sektor pertanian, sementara yang mempunyai lapangan pekerjaan utama di sektor nonpertanian hanya 37,12 persen. Komposisi ini tidak jauh berbeda dengan situasi yang ditemukan di daerah perdesaan pada tahun 1998, dimana 62,86 persen penduduk bekerja di sektor pertanian dan 37,14 persen di sektor nonpertanian (Tabel 2). Artinya, selama delapan tahun terakhir ini kemampuan sektor nonpertanian dalam menyerap tenaga kerja di perdesaan tidak menunjukkan perubahan yang berarti dan belum sesuai dengan harapan. Selama periode 1998-2006, jumlah penduduk yang bekerja di sektor nonpertanian turun 0,07 persen per tahun. Kegiatan nonpertanian yang cukup banyak menyerap tenaga kerja di perdesaan pada Agustus 1998 adalah perdagangan, rumah makan dan hotel (12,91%), diikuti oleh usaha industri (9,02%), jasa kemasyarakatan (7,60%), bangunan (3,36%), dan pengangkutan (3,30%). Pada Agustus 2006, kelima sektor tersebut masih merupakan sektor-sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja di perdesaan, namun selama periode 1998-2006 telah terjadi pergeseran-pergeseran pekerjaan yang cukup berarti. Selama periode 1998-2006, kegiatan non-
11
Tabel 1. Indikator Pendidikan, Ketenagakerjaan, dan Kemiskinan INDIKATOR
1998/1999 Kota Desa
2006/2007 Kota Desa
%
97,8
94,10
97,98
96,75
%
88,6
70,60
89,74
80,25
%
67,7
36,20
65,50
45,01
%
5,2
16,10
4,72
11,60
Unit
Pendidikan a APS Penduduk 7-12 tahun b APS Penduduk 13-15 tahun c APS Penduduk 16-18 tahun d Penduduk =15 tahun yang buta huruf Ketenagakerjaan a Penduduk =15 thn bekerja di pertanian b Penduduk =15 thn bekerja di nonpertani an c TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) d TPT (Tingkat Pengangg uran Terbuka) e Setengah Pengangg uran thd bekerja Kemiskinan a Jumlah Penduduk Miskin b Persentase Penduduk Miskin (P0) c Indeks Kedalaman Kemiskina n (P1) d Indeks Keparahan Kemiskina n (P2) e Indeks Gini
%
62,86 11,07
%
62,88 11,05
37,14
88,93 %
37,12
88,95 71,94
59,56 %
69,17
62,31 3,30
8,39
%
9,29 22,10
44,31
12,94 17,25
39,38
Juta
17,60
31,90
13,56
23,61
%
21,92
25,72
12,52
20,37
-
3,52
4,84
2,15
3,78
-
0,98
1,39
0,57
1,08
-
0,326
0.244
0,374
0,302
Catatan: a. Data Ketenagakerjaan adalah kondisi Agustus tahun 1998 dan 2006 (data Sakernas) b. Data Kemiskinan adalah data tahun 1999 dan Maret 2007 (data Susenas) c. APS: Angka Partisipasi Sekolah d. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mengindikasikan besarnya penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu negara atau wilayah. TPAK diukur sebagai persentase jumlah angkatan kerja terhadap jumlah penduduk usia kerja. e. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. f. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
12 Tabel 2. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 1998 dan 2006 Perdesaan Agustus 1998 Lapangan Pekerjaan Utama
Jumla
Agustus 2006 Jumla
Pert umb uhan per tahu
pertanian yang mengalami pertumbuhan tenaga kerja adalah sektor keuangan (12,92% per tahun), pertambangan (5,62% per tahun), pengangkutan (2,73% per tahun), listrik/gas/air (2,33% per tahun), dan bangunan (2,11% per tahun). Sebaliknya usaha jasa kemasyarakatan turun 2,02 persen, usaha perdagangan turun sekitar 0,96 persen, dan usaha industri 0,21 persen. Berdasarkan status pekerjaan utama, sebagian besar (46,52%) penduduk yang bekerja di sektor nonpertanian mempunyai status berusaha, artinya bekerja atau berusaha dengan menanggung resiko secara ekonomis. Berusaha disini baik dilakukan sendiri, dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar, maupun dibantu buruh tetap/buruh dibayar. Persentase penduduk yang bekerja di sektor nonpertanian yang berstatus buruh/karyawan sebesar 32,51 persen dan yang berstatus pekerja keluarga/ pekerja tak dibayar sebesar 9,29 persen atau sekitar 1,97 juta orang (Tabel 3).
13
Tabel 3.
Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Status Pekerjaan Utama, Agustus 2006
Perdesaan Status Pekerjaan Utama
Lapangan Pekerjaan Utama
Beru sah a (sen diri, dg buru h tdk teta p, dg buru h teta p)
Buru h/ kary awa n
5 0 , 5 0
5 , 0 9
4 6 Pertambang , an 4 Penggalian 3
2 9 , 8 8
Industri Pengolaha n
3 5 , 6 5
3 8 , 6 7
Listrik, Gas dan Air
1 7 , 7 6
7 3 , 1 3
Pertanian
Pek erja beb as di pert ani an
1 2, 8 2
-
Pe ker ja be ba s di no np ert ani an
Pek erja tak dib aya r
-
3 1, 5 9
1 6 , 7 6
6, 9 3
7 , 8 3
1 7, 8 6
9 , 1 1
-
5 6 , 8 1
0, 8 6
1 , 7 6
1 3, 2 1
1 2 , 7 2
0, 8 8
5 , 5 5
0, 9 0
6 , 4 6
1, 8 3
4 , 3
2 3, 3
-
2 8 , 7 1
Bangunan
1 3 , 6 2
Perdagang an, RM, Hotel
7 5 , 1 5
9 , 8 8
Angkutan, Komunikas i
6 8 , 7 0
1 7 , 6 9
Keuangan
1 5 , 6 8
7 7 , 8 7
Jasa Kemasyar akatan
1 6 , 9 6
7 4 , 7 5
4 9 , 0
1 5 , 2
-
-
-
-
14
8, 0
Ju ml ah
1 0 0 , 0 0 1 0 0 , 0 0 1 0 0 , 0 0 1 0 0 , 0 0 1 0 0 , 0 0 1 0 0 , 0 0 1 0 0 , 0 0 1 0 0 , 0 0 1 0 0 , 0 0 1 0 0 , 0
Besar kecilnya persentase pekerja di sektor nonpertanian menurut status pekerjaan utama sangat tergantung pada jenis kegiatan usaha yang dilakukan. Untuk sektor keuangan, jasa kemasyarakatan, dan listrik/gas/air, sebagian besar penduduk yang bekerja berstatus buruh/karyawan, sementara untuk sektor bangunan sebagian besar (56,81%) berstatus pekerja bebas, artinya mereka bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap dan mempunyai lebih dari 1 majikan dalam tiga bulan terakhir. Khusus untuk sektor perdagangan dan industri, masih banyak pekerja yang berstatus pekerja keluarga/tidak dibayar. Di sektor industri persentasenya mencapai 17,86 persen dan di perdagangan 13,21 persen. Jumlah jam kerja dapat dijadikan sebagai salah satu indikator produktivitas pekerja, dengan asumsi semakin besar jumlah jam kerja maka produktivitas pekerja juga semakin tinggi. Dari seluruh penduduk yang bekerja di sektor nonpertanian di perdesaan pada Agustus 2006, sekitar 77,58 persennya bekerja lebih dari 35 jam seminggu dan sisanya sebesar 22,42 persen dapat dikategorikan sebagai penduduk setengah pengangguran karena bekerja kurang dari 35 jam seminggu. Beberapa sektor nonpertanian yang mempunyai persentase penduduk setengah menganggur yang relatif tinggi adalah jasa kemasyarakatan (35,47%), pertambangan (24,40%), industri (24,01%), dan perdagangan (22,16%). Rata-rata jam kerja seminggu dari pekerja yang bekerja di berbagai sektor nonpertanian tidak terlalu bervariasi, antara 38-49 jam per minggu (Tabel 4). Meskipun demikian, besarnya upah/gaji/pendapatan pekerja per bulan yang diperoleh sangat bervariasi. Pendapatan tertinggi diterima pekerja yang bekerja di sektor keuangan (Rp 1,27 juta) dan pertambangan (Rp 1,09 juta). Sebaliknya, upah/gaji/ pendapatan terendah diterima pekerja di sektor industri (Rp 0,61 juta) dan perdagangan (Rp 0,57 juta).
15
Tabel 4.
Rata-Rata Jam Kerja Seminggu yang Lalu dan Rata-rata Upah/Gaji/Pendapatan Bersih (Rp) Selama Sebulan Pekerja*) menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Agustus 2006 Kota
Lapangan Pekerjaan Utama
Desa
Pertanian
39
Upah/Gaji/ pendapatan 518.629
Pertambangan Penggalian
49
Industri Pengolahan
35
Upah/Gaji/ pendapatan 397.880
2.009.196
45
1.094.336
46
894.465
45
609.463
Listrik, Gas dan Air
42
1.349.307
42
921.819
Bangunan
47
910.898
46
660.480
Perdagangan, RM, Hotel
50
878.067
49
566.535
Angkutan, Komunikasi
50
1.190.212
49
789.393
Keuangan
45
1.655.939
45
1.272.218
Jasa Kemasyarakatan
43
1.123.736
38
955.220
Jam kerja
Jam kerja
Jumlah 46 1.004.516 40 619.321 Sumber: Sakernas Agustus 2006 * Pekerja adalah buruh/karyawan/pegawai, pekerja bebas di pertanian dan pekerja bebas di nonpertanian Tabel 5. Jumlah Perusahaan/Usaha menurut Lapangan Usaha dan Lokasi Usaha di Daerah Perdesaan Tahun 2006 Lokasi Tempat Usaha Tidak Permane Kategori Permane Total n Lapangan n Usaha Ju Ju Ju % % % mla mla mla h h h Pertambangan 221 221 .93 1, dan .93 3, 1 98 1 28 C Penggalian 2.2 20 2.2 33 ,2 72. ,0 34. Industri 37. 0, D Pengolahan 4 609 1 702 907 85 Listrik, Gas 0, 11. 0, 11. 0, E dan Air 117 00 069 16 186 10 2.4 0, 85. 1, 87. 0, F Konstruksi 02 05 435 26 837 78 5.1 45 2.5 37 Perdagangan 2.6 58 41. ,7 ,4 03. ,3 37. Besar dan G Eceran 8 192 7 826 9 366 565 12 541 1.1 Akomodasi/Ma .25 ,6 .85 8, 07. 9, H kan/Minum 4 7 5 00 109 86 1.0 23 183 1.2 10 47. ,4 .63 30. ,9 2, I Angkutan 282 8 3 71 915 6 Perantara 1.6 0, 26. 0, 27. 0, J Keuangan 22 04 306 39 928 25 K 202 926 13 1.1 10 .43 4, .30 ,6 28. ,0 P Jasa-jasa 7 54 5 8 742 5 11. 4.4 10 6.7 10 229 10 60. 0, 69. 0, .44 0, Jumlah 387 00 062 00 9 00 Sumber: Sensus Ekonomi 2006 (Angka Sementara)
16
Struktur Perusahaan/Usaha Nonpertanian di Perdesaan Informasi mengenai profil perusahaan/ usaha di daerah perdesaan beserta beberapa karakteristik usahanya dapat dilihat dari data hasil Listing Sensus Ekonomi 2006 (SE06). Gambaran perusahaan/usaha di daerah perdesaan dapat dilihat menurut lapangan usaha, lokasi tempat usaha, skala usaha, status badan hukum, tahun berdiri, maupun jaringan usaha. Struktur Perusahaan/Usaha menurut Lapangan dan Lokasi Usaha Berdasarkan hasil listing SE06 yang mencakup seluruh kegiatan perusahaan/usaha selain sektor pertanian, jumlah perusahaan/ usaha di daerah perdesaan tercatat 11,2 juta perusahaan/usaha (Tabel 5). Lapangan usaha perdagangan besar dan eceran tercatat sebagai usaha terbanyak dengan jumlah 5,1 juta (45,78%), diikuti oleh usaha industri pengolahan (20,24%), angkutan (10,96%), jasa-jasa (10,05%), dana komodasi / makan / minum (9,86%). Dalam pelaksanaan SE06, pencacahan perusahaan/usaha dilakukan dengan pendekatan lokasi usaha yang dipilah menjadi perusahaan/usaha yang menggunakan lokasi permanen (bangunan khusus usaha atau bangunan campuran) dan lokasi tidak permanen. Berdasarkan tempat lokasi usaha, 60,28
melaksanakan kegiatannya pada lokasi permanen, dan sisanya (39,72%) pada lokasi tidak permanen seperti seperti usaha keliling, pedagang kaki lima di jalan atau trotoar, pangkalan ojek sepeda motor, los-los pasar, koridor stasiun dan lain-lain. Dari distribusi perusahaan/usaha perdagangan besar dan eceran menurut lokasi usaha dapat dilihat bahwa sekitar 50,64 persennya mempunyai lokasi usaha tidak permanen. Persentase usaha perdagangan yang dilakukan secara keliling mencapai 44,36 persen, sementara yang dilakukan di kaki lima 36,10 persen dan sisanya di los-los/koridor. Karakteristik yang serupa juga terjadi pada usaha akomodasi/makan/minum. Mayoritas usaha akomodasi/makan/minum dilakukan secara keliling (56,33%), di kaki lima (33,64%), dan di los-los/koridor (10,03%). Perlu dicatat bahwa untuk usaha transportasi mayoritas usaha dilakukan pada lokasi tidak permanen. Hal ini bisa dimengerti karena data yang ada menunjukkan bahwa 51,77 persen dari usaha transportasi di perdesaan adalah usaha ojek motor.
Struktur Perusahaan/Usaha menurut Skala Usaha Penentuan skala usaha dalam pelaksanaan SE06 menggunakan kriteria tenaga kerja atau omset yang mengacu pada UU No.9 Ta-
Tabel 6. Persentase Perusahaan/Usaha menurutLapangan Usaha dan Skala Usaha (berdasarkan jumlah TK) di Daerah Perdesaan Tahun 2006
Kategori Lapangan Usaha
Mikro
Skala Usaha (berdasarkan jumlah TK) Unit Kecil Menengah Besar pembantu
Jumlah
C D E F G H
Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran Akomodasi/Makan/Minum
90,70 94,43 76,07 84,09 85,36 91,70
9,06 5,15 7,46 14,40 14,44 7,88
0,12 0,33 11,03 1,24 0,15 0,42
0,07 0,08 1,11 0,14 0,04 0,00
0,04 0,01 4,33 0,12 0,01 0,00
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
I J K-P
Angkutan Perantara Keuangan Jasa-jasa
94,13 58,16 93,48
5,72 29,29 6,02
0,10 10,35 0,36
0,01 1,74 0,02
0,03 0,45 0,12
100,00 100,00 100,00
Jumlah 89,62 Sumber: Sensus Ekonomi 2006 (Angka Sementara)
10,04
0,27
0,05
0,03
100,00
persen perusahaan/usaha di daerah perdesaan
hun 1995, Inpres No. 10 Tahun 1999 dan per-
17
undang-undangan lainnya yang berkaitan dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan besar. Berdasarkan kriteria tenaga kerja yang biasa digunakan dalam industri pengolahan, skala usaha dibedakan menjadi usaha mikro (1-4 orang), kecil (5-19 orang), menengah (20-99 orang), dan besar (= 100 orang). Berdasarkan omset, skala usaha dirinci menjadi usaha mikro (< Rp 50 juta), kecil (Rp 50 juta - Rp 1 Milyar), menengah (Rp 1 Milyar - Rp 3 Milyar), dan besar (= Rp 3 Milyar). Hasil tabulasi struktur perusahaan/ usaha menurut skala usaha berdasarkan tenaga kerja tidak jauh berbeda dengan berdasarkan omzet. Kegiatan nonpertanian di perdesaan didominasi oleh usaha berskala mikro dan kecil. Dari 11,2 juta perusahaan/usaha yang ada di daerah perdesaan, mayoritas merupakan perusahaan/usaha berskala mikro (89,62%) dan usaha kecil (10,04%), yang biasanya sangat lemah dari segi permodalan, managerial dan ketrampilan (Tabel 6).
banyak menyerap tenaga kerja di perdesaan adalah usaha perdagangan dan industri pengolahan. Pekerja pada kedua sektor ini masih banyak yang berstatus pekerja keluarga/ tidak dibayar dan sekitar seperempatnya adalah setengah pengangguran. Mayoritas perusahaan/usaha nonpertanian di perdesaan merupakan usaha berskala mikro dan kecil yang biasanya lemah dalam managemen, modal, dan ketrampilan. Sekitar 40 persen kegiatan nonpertanian tersebut dilakukan di lokasi yang tidak permanen. DAFTAR PUSTAKA BPS. 1999. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 1998, BPS, Jakarta. BPS. 1999. Keadaan Pekerja Di Indonesia Agustus 1998, BPS, Jakarta. BPS. 2005. Sensus Pertanian 2003: Hasil Pencacahan Survei Pendapatan Rumah tangga Pertanian, BPS, Jakarta.
KESIMPULAN
Suhariyanto, K. 2006. Dibalik Angka Kemiskinan, Kompas, 14 September 2006.
Daerah perdesaan masih menjadi kantong kemiskinan karena berbagai persoalan mendasar yang dihadapi penduduk perdesaan belum terpecahkan. Untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk perdesaan, pengembangan sektor pertanian harus dibarengi dengan pengembangan usaha nonpertanian.
Suhariyanto, K. 2006. Kemiskinan dan Konversi Lahan, Kompas, 16 Oktober 2006.
Selama periode 1998-2006, kemampuan sektor nonpertanian dalam menyerap tenaga kerja di perdesaan tidak menunjukkan perubahan yang berarti dan belum sesuai dengan harapan. Kegiatan nonpertanian yang
18
BPS. 2007. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 2006, BPS, Jakarta. BPS. 2007. Keadaan Pekerja Di Indonesia Agustus 2006, BPS, Jakarta. BPS. 2007. Laporan Perekonomian Indonesia 2006, BPS, Jakarta. BPS. 2007. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2007, BPS, Jakarta.