KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN* Oleh: Kecuk Suhariyanto, Badan Pusat Statistik Email:
[email protected]
1. PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52 persen penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pedesaan masih berkutat dengan beragam persoalan. Pembangunan nasional yang telah dilakukan selama beberapa dekade memang telah membawa perbaikan di daerah pedesaan (contohnya angka partisipasi sekolah penduduk berumur 7-18 tahun telah meningkat pesat dan persentase penduduk yang buta huruf menurun), namun keadaan sosial ekonomi penduduk pedesaan masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Pembangunan pertanian yang terlalu difokuskan pada peningkatan produksi pangan boleh dibilang cukup berhasil (produksi padi tahun 2007 diramalkan mencapai 57,05 juta ton gabah kering giling, naik 4,76 persen dibandingkan tahun 2006), namun peningkatan produksi ini nampaknya tak mempunyai korelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan yang mayoritas petani. Sekedar contoh adalah kondisi petani di Jawa Timur yang merupakan salah satu sentra produksi beras dan jagung. Pada tahun 2004 rata-rata pendapatan rumahtangga pertanian di Jawa Timur hanya sebesar Rp.7,7 juta per tahun, tidak jauh berbeda dengan rata-rata pendapatan rumahtangga pertanian di NTT (Rp.7,4 juta per tahun), yang sering kali dikonotasikan sebagai daerah terbelakang. Di tengah berlangsungnya pembangunan ekonomi yang tidak lagi menempatkan sektor pertanian sebagai fondasi ekonomi nasional, berbagai persoalan mendasar masih dihadapi penduduk pedesaan. Produktivitas tenaga kerja yang rendah, sempitnya lahan garapan, terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian, meningkatnya pengangguran dan petani gurem telah menyebabkan tingkat kesejahteraan penduduk pedesaan tak kunjung membaik, sehingga daerah pedesaan tetap menjadi kantong kemiskinan. Dengan memperhatikan sempitnya lahan garapan, sulit bagi penduduk pedesaan untuk dapat hidup layak hanya dari sektor pertanian, sehingga mereka harus mencari alternatif sumber penghidupan dari kegiatan di luar pertanian. Berbagai program kebijakan sudah dilaksanakan Pemerintah untuk memacu perkembangan sektor non-pertanian di pedesaan, dengan harapan sektor ini dapat menyerap tenaga kerja di pedesaan dan berperan serta dalam meningkatkan pendapatan penduduk pedesaan. Paper singkat ini bertujuan untuk melihat beberapa persoalan mendasar yang dihadapi penduduk pedesaan dan peranan sektor non-pertanian dalam ekonomi pedesaan. Untuk melihat kemampuan sektor nonpertanian dalam penyerapan tenaga kerja di pedesaan, digunakan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 1998 dan 2006, sementara untuk mengamati struktur perusahaan/usaha non-pertanian di pedesaan berdasarkan lapangan, lokasi dan skala usaha, digunakan data listing Sensus Ekonomi 2006 (SE06).
*
Disampaikan pada Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dengan tema Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat, Bogor, 4 Desember 2007
1
2. PERMASALAHAN DI DAERAH PEDESAAN Beberapa permasalahan mendasar di daerah pedesaan yang perlu ditangani dengan serius antara lain: a. Produktivitas tenaga kerja di pedesaan rendah Mayoritas penduduk pedesaan bekerja di sektor pertanian. Rendahnya produktivitas tenaga kerja di pedesaan bisa dilihat dari perbandingan jumlah tenaga kerja yang diserap sektor pertanian dan sumbangan sektor pertanian dalam perekonomian nasional. Tahun 2002 sektor pertanian menyumbang 16,04 persen terhadap PDB, sementara penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebesar 44,30 persen dari total penduduk yang bekerja. Tahun 2006 sumbangan sektor pertanian terhadap PDB turun menjadi 12,90 persen, namun jumlah penduduk yang bekerja di sektor ini hanya berkurang menjadi 42,10 persen. Ini menyebabkan produktivitas tenaga kerja pada sektor pertanian menjadi rendah. Nilai produktivitas pekerja sektor pertanian hanya sebesar Rp.6,51 juta per pekerja pada tahun 2006, menempati urutan terakhir dibanding sektor lainnya. Angka tersebut jauh dibawah produktivitas sektor lainnya seperti sektor perdagangan (Rp.16,23 juta), angkutan (Rp.21,96 juta), bangunan (Rp.24,01 juta), maupun sektor industri (Rp.43,25 juta). Produktivitas tertinggi dicapai oleh pekerja sektor pertambangan dan penggalian dengan nilai Rp.182,69 juta per pekerja. b. Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Pertanian Semakin Sempit Rata-rata penguasaan lahan pertanian per rumahtangga pertanian pengguna lahan semakin kecil, dari 0,80 hektar pada tahun 1993 menjadi 0,72 hektar pada tahun 2003 (data Sensus Pertanian 2003). Penurunan rata-rata penguasaan lahan di Jawa lebih cepat dibandingkan dengan luar Jawa. Di Jawa turun dari 0,47 hektar menjadi 0,38 hektar, sementara di luar Jawa turun dari 1,20 hektar menjadi 1,14 hektar. Semakin mengecilnya rata-rata penguasaan lahan pertanian terjadi karena berbagai faktor seperti meningkatnya jumlah rumahtangga pertanian, terjadinya fragmentasi pemilikan lahan, dan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang berkaitan erat dengan kemiskinan. Berdasarkan data Podes 2003, selama periode Agustus 1999-Agustus 2002 telah terjadi pengurangan lahan sawah yang cukup besar di Indonesia yaitu seluas 563.159 hektar atau rata-rata 187.720 hektar per tahun. Pengurangan lahan sawah terjadi karena fungsinya digunakan untuk keperluan lain seperti lahan pertanian bukan sawah (41,32%), perumahan (28,73%), industri (4,82%), perusahaan/perkantoran (8,59%) dan keperluan lainnya (16,60%). Perlu diperhatikan bahwa berdasarkan beberapa temuan dilapangan, konversi lahan sawah menjadi lahan pertanian bukan sawah umumnya hanya bersifat sementara saja, karena pada akhirnya akan digunakan untuk kepentingan non-pertanian seperti perumahan dan industri. c. Jumlah Rumahtangga Petani Gurem Meningkat Rumahtangga petani gurem adalah rumah tangga pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Lahan yang dikuasai bisa berasal dari milik sendiri atau menyewa dari pihak lain. Selama periode 1993-2003 jumlah rumahtangga petani gurem secara rata-rata meningkat 2,39% pertahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003 atau sekitar 56,2 persen dari
2
total rumahtangga pertanian pengguna lahan. Sempitnya penguasaan lahan ini akan menjadi kendala besar dalam upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Tabel 1. Indikator Pendidikan, Ketenagakerjaan, dan Kemiskinan 1998/1999 INDIKATOR
2006/2007
Unit
Kota
Desa
Kota
Desa
a APS Penduduk 7-12 tahun
%
97,8
94,10
97,98
96,75
b APS Penduduk 13-15 tahun
%
88,6
70,60
89,74
80,25
c APS Penduduk 16-18 tahun
%
67,7
36,20
65,50
45,01
d Penduduk =15 tahun yang buta huruf
%
5,2
16,10
4,72
11,60
a Penduduk =15 thn bekerja di pertanian
%
11,07
62,86
11,05
62,88
b Penduduk =15 thn bekerja di non-pertanian
%
88,93
37,14
88,95
37,12
c TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja)
%
59,56
71,94
62,31
69,17
d TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka)
%
9,29
3,30
12,94
8,39
e Setengah Pengangguran thd bekerja
%
22,10
44,31
17,25
39,38
Juta
17,60
31,90
13,56
23,61
b Persentase Penduduk Miskin (P0)
%
21,92
25,72
12,52
20,37
c Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
-
3,52
4,84
2,15
3,78
d Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
-
0,98
1,39
0,57
1,08
e Indeks Gini
-
0,326
0.244
0,374
0,302
PENDIDIKAN
KETENAGAKERJAAN
KEMISKINAN a Jumlah Penduduk Miskin
Catatan: a. Data Ketenagakerjaan adalah kondisi Agustus tahun 1998 dan 2006 (data Sakernas) b. Data Kemiskinan adalah data tahun 1999 dan Maret 2007 (data Susenas) c. APS: Angka Partisipasi Sekolah d. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mengindikasikan besarnya penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu negara atau wilayah. TPAK diukur sebagai persentase jumlah angkatan kerja terhadap jumlah penduduk usia kerja. e. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. f. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
d. Pendapatan Rumahtangga Pertanian Rendah, Keadaan Ekonominya Stagnan Pada tahun 2004, rata-rata pendapatan per rumahtangga pertanian hanya sebesar Rp.9,3 juta setahun, dimana 48,6 persennya adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan nonpertanian seperti industri pengolahan hasil pertanian, industri pengolahan bukan hasil pertanian, perdagangan, buruh di luar pertanian, dan lainnya (BPS, 2005). Jika dihitung per bulan, rata-rata pendapatan rumahtangga pertanian hanya berkisar 775 ribu rupiah. Dengan memperhitungkan rata-rata jumlah anggota rumahtangga pertanian yang sekitar 4 orang per rumahtangga, nilai pendapatan ini tergolong kecil untuk dapat hidup layak.
3
Lebih dari separuh (58,02 persen) rumahtangga pertanian menyatakan bahwa keadaan ekonomi rumahtangganya sama saja atau tidak berubah dibandingkan dengan keadaan ekonomi rumahtangga setahun yang lalu. Yang lebih menyedihkan, sebagian rumahtangga pertanian (22,12 persen) mengaku bahwa keadaan ekonomi rumahtangganya justru menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Sebaliknya, hanya sekitar 19,86 persen rumahtangga pertanian yang menyatakan keadaan ekonominya meningkat. Berbagai kebijakan pertanian yang diterapkan Pemerintah nampaknya masih belum berhasil mengangkat kesejahteraan petani, karena banyaknya kendala yang dihadapi, seperti sempitnya pengusahaan lahan, rendahnya pendidikan petani, kurangnya diversifikasi usaha sub-sektor pertanian, dan sebagainya. e. Upah Buruh Tani Lebih Rendah Dari Upah Buruh Bangunan dan Industri Sekitar 70 persen penduduk miskin di daerah pedesaan mempunyai sumber penghasilan utama di sektor pertanian. Mudah diduga mereka adalah petani gurem atau buruh tani. Secara nasional, rata-rata upah nominal harian buruh tani selalu meningkat dari bulan ke bulan, namun secara riil rata-rata upah harian buruh tani cenderung mengalami penurunan. Rata-rata upah nominal harian buruh tani naik dari Rp.11.765,- pada Maret 2005 menjadi Rp.15.158,- pada Agustus 2007, namun upah riilnya turun dari Rp.2.614,- menjadi Rp.2.591,-. Penurunan upah riil ini menunjukkan melemahnya daya beli para buruh tani. Dibandingkan dengan upah buruh bangunan atau industri, upah buruh tani jauh lebih kecil. Pada Agustus 2007, upah harian buruh bangunan Rp.36.164,-, sementara upah buruh industri sekitar Rp.36.640 ,- per hari. f. Mayoritas Penduduk Miskin Berada Di Pedesaan Hingga saat ini, desa masih menjadi kantong kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta orang atau sekitar 16,58 persen dari total penduduk Indonesia. Sebagian besar (63,51 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan sehingga jumlah penduduk miskin di pedesaan 1,74 kali jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan. Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P 1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah pedesaan jauh lebih tinggi dari pada perkotaan. Pada bulan Maret 2007, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 2,15 sementara di daerah pedesaan mencapai 3,78. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan hanya 0,57 sementara di daerah pedesaan mencapai 1,08. Ini mengindikasikan bahwa tingkat kemiskinan di daerah pedesaan lebih parah dari pada daerah perkotaan.
4
3. KEGIATAN NON-PERTANIAN DI PEDESAAN Dengan memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan hanya dengan mengandalkan sektor pertanian akan sulit tercapai. Dengan penguasaan lahan yang sempit, sulit diharapkan bagi para petani untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak tanpa adanya usaha lain diluar sektor pertanian. Karena itu pengembangan sektor pertanian harus dibarengi dengan pengembangan usaha non-pertanian dengan memberi perhatian khusus pada usaha yang sudah ada atau usaha yang berpotensi besar di masing-masing daerah. Pengembangan sektor pertanian sendiri jangan hanya difokuskan pada upaya peningkatan produksi pangan, tetapi juga produk-produk pertanian lain yang lebih beragam dan bernilai tinggi sehingga dapat digunakan tidak hanya untuk keperluan konsumsi namun juga dapat menjadi bahan baku bagi kegiatan usaha non-pertanian. Sudah banyak program dan kebijakan yang dijalankan Pemerintah untuk mengembangkan usaha non-pertanian di pedesaan. Untuk melihat seberapa besar peranan sektor non-pertanian dalam ekonomi pedesaan, bisa disimak dari data Sakernas dan hasil listing SE06. 3.1 Penyerapan Tenaga Kerja Di Sektor Non-Pertanian Di Pedesaan Membandingkan situasi ketenagakerjaan di Indonesia antara periode Agustus 1998 (saat Indonesia sedang dilanda krisis) dan Agustus 2006 diperoleh gambaran yang tidak menggembirakan. Dalam periode tersebut jumlah pengangguran meningkat, yang tercermin dari meningkatnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) baik di perkotaan maupun pedesaan. TPT di perkotaan naik dari 9,29 persen pada tahun 1998 menjadi 12,94 persen pada tahun 2006, sementara TPT di pedesaan naik dari 3,30 persen menjadi 8,39 persen. Tingkat pengangguran di pedesaan naik lebih cepat daripada perkotaan. Peningkatan tenaga kerja di pedesaan yang tidak diikuti oleh kesempatan kerja telah menyebabkan mereka menjadi penganggur. TPT di daerah pedesaan lebih rendah dari pada perkotaan, baik pada tahun 1998 maupun tahun 2006. Lebih rendahnya TPT di pedesaan karena jumlah penduduk setengah penganggur (bekerja kurang dari 35 jam seminggu) di pedesaan jauh lebih besar dari pada perkotaan. Persentase penduduk setengah penganggur terhadap total orang yang bekerja di pedesaan mencapai 44,31 persen pada tahun 1998 dan 39,38 persen pada tahun 2006, sementara di perkotaan hanya 22,10 persen dan 17,25 persen (Tabel 1). Sebagian besar penduduk pedesaan masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Dari 57,1 juta penduduk yang bekerja di daerah pedesaan pada bulan Agustus 2006, sekitar 62,88 persennya bekerja di sektor pertanian, sementara yang mempunyai lapangan pekerjaan utama di sektor non-pertanian hanya 37,12 persen. Komposisi ini tidak jauh berbeda dengan situasi yang ditemukan di daerah pedesaan pada tahun 1998, dimana 62,86 persen penduduk bekerja di sektor pertanian dan 37,14 persen di sektor nonpertanian (Tabel 2). Artinya, selama delapan tahun terakhir ini kemampuan sektor nonpertanian dalam menyerap tenaga kerja di pedesaan tidak menunjukkan perubahan yang berarti dan belum sesuai dengan harapan. Selama periode 1998-2006, jumlah penduduk yang bekerja di sektor non-pertanian turun 0,07 persen per tahun. Kegiatan non-pertanian yang cukup banyak menyerap tenaga kerja di pedesaan pada Agustus 1998 adalah perdagangan, rumah makan dan hotel (12,91 persen), diikuti oleh usaha indutri (9,02 persen), jasa kemasyarakatan (7,60 persen), bangunan (3,36 persen), dan pengangkutan (3,30 persen). Pada Agustus 2006, kelima
5
sektor tersebut masih merupakan sektor-sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja di pedesaan, namun selama periode 1998-2006 telah terjadi pergeseran-pergeseran pekerjaan yang cukup berarti. Selama periode 1998-2006, kegiatan non-pertanian yang mengalami pertumbuhan tenaga kerja adalah sektor keuangan (12,92 persen per tahun), pertambangan (5,62 persen per tahun), pengangkutan (2,73 persen per tahun), listrik/gas/air (2,33 persen per tahun), dan bangunan (2,11 persen per tahun). Sebaliknya usaha jasa kemasyarakatan turun 2,02 persen, usaha perdagangan turun sekitar 0,96 persen, dan usaha industri 0,21 persen. Berdasarkan status pekerjaan utama, sebagian besar (46,52 persen) penduduk yang bekerja di sektor non-pertanian mempunyai status berusaha, artinya bekerja atau berusaha dengan menanggung resiko secara ekonomis. Berusaha disini baik dilakukan sendiri, dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar, maupun dibantu buruh tetap/buruh dibayar. Persentase penduduk yang bekerja di sektor non-pertanian yang berstatus buruh/karyawan sebesar 32,51 persen dan yang berstatus pekerja keluarga/ pekerja tak dibayar sebesar 9,29 persen atau sekitar 1,97 juta orang (Tabel 3). Besar kecilnya persentase pekerja di sektor non-pertanian menurut status pekerjaan utama sangat tergantung pada jenis kegiatan usaha yang dilakukan. Untuk sektor keuangan, jasa kemasyarakatan, dan listrik/gas/air, sebagian besar penduduk yang bekerja berstatus buruh/karyawan, sementara untuk sektor bangunan sebagian besar (56,81 persen) berstatus pekerja bebas, artinya mereka bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap dan mempunyai lebih dari 1 majikan dalam tiga bulan terakhir. Khusus untuk sektor perdagangan dan industri, masih banyak pekerja yang berstatus pekerja keluarga/tidak dibayar. Di sektor industri persentasenya mencapai 17,86 persen dan di perdagangan 13,21 persen. Tabel 2. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Yang Bekerja Selama Seminggu Yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 1998 dan 2006 Pedesaan Agustus 1998 No
Lapangan Pekerjaan Utama
1
Pertanian
2
Pertambangan Penggalian
3
Industri Pengolahan
4
Listrik, Gas dan Air
5
Bangunan
6
Perdagangan, RM, Hotel
7
Angkutan, Komunikasi
8
Keuangan
9
Jasa Kemasyarakatan
Jumlah (org)
Agustus 2006 %
Jumlah (org)
%
Pertumbuhan per tahun (%)
36 060 282
62.86
35 896 921
62.88
-0.06
409 673
0.71
634 700
1.11
5.62
5 175 456
9.02
5 089 837
8.92
-0.21
51 536
0.09
61 951
0.11
2.33
1 927 262
3.36
2 277 653
3.99
2.11
7 405 556
12.91
6 852 938
12.00
-0.96
1 895 668
3.30
2 351 107
4.12
2.73
84 366
0.15
222 951
0.39
12.92
4 358 117
7.60
3 701 935
6.48
-2.02
Total
57 367 916
100.00
57 089 993
100.00
-0.06
Non-Pertanian
21 307 634
37.14
21 193 072
37.12
-0.07
Sumber: Sakernas 1998 dan 2006
6
Jumlah jam kerja dapat dijadikan sebagai salah satu indikator produktivitas pekerja, dengan asumsi semakin besar jumlah jam kerja maka produktivitas pekerja juga semakin tinggi. Dari seluruh penduduk yang bekerja di sektor non-pertanian di pedesaan pada Agustus 2006, sekitar 77,58 persennya bekerja lebih dari 35 jam seminggu dan sisanya sebesar 22,42 persen dapat dikategorikan sebagai penduduk setengah pengangguran karena bekerja kurang dari 35 jam seminggu. Beberapa sektor non-pertanian yang mempunyai persentase penduduk setengah menganggur yang relatif tinggi adalah jasa kemasyarakatan (35,47 persen), pertambangan (24,40 persen), industri (24,01 persen), dan perdagangan (22,16 persen). Tabel 3. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Selama Seminggu Yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Status Pekerjaan Utama, Agustus 2006
Pedesaan Status Pekerjaan Utama
N o
Lapangan Pekerjaan Utama
Berusaha (sendiri, dg buruh tdk tetap, dg buruh tetap)
Buruh/ karyawan
Pekerja bebas di pertanian
Pekerja bebas di non pertanian
Pekerja tak dibayar
Jumlah
1
Pertanian
50.50
5.09
12.82
-
31.59
100.00
2
Pertambangan Penggalian
46.43
29.88
-
16.76
6.93
100.00
3
Industri Pengolahan
35.65
38.67
-
7.83
17.86
100.00
4
Listrik, Gas dan Air
17.76
73.13
-
9.11
-
100.00
5
Bangunan
13.62
28.71
-
56.81
0.86
100.00
6
Perdagangan, RM, Hotel
75.15
9.88
1.76
13.21
100.00
7
Angkutan, Komunikasi
68.70
17.69
12.72
0.88
100.00
8
Keuangan
15.68
77.87
-
5.55
0.90
100.00
9
Jasa Kemasyarakatan
16.96
74.75
-
6.46
1.83
100.00
Total
49.02
15.27
8.06
4.34
23.31
100.00
Non Pertanian
46.52
32.51
0.00
11.68
9.29
100.00
-
Sumber: Sakernas Agustus 2006
Rata-rata jam kerja seminggu dari pekerja yang bekerja di berbagai sektor non-pertanian tidak terlalu bervariasi, antara 38-49 jam per minggu (Tabel 4). Meskipun demikian, besarnya upah/gaji/pendapatan pekerja per bulan yang diperoleh sangat bervariasi. Pendapatan tertinggi diterima pekerja yang bekerja di sektor keuangan (Rp.1,27 juta) dan pertambangan (Rp.1,09 juta). Sebaliknya, upah/gaji/pendapatan terendah diterima pekerja di sektor industri (Rp.0,61 juta) dan perdagangan (Rp.0,57 juta).
7
Tabel 4. Rata-Rata Jam Kerja Seminggu Yang Lalu Dan Rata-Rata Upah/Gaji/Pendapatan Bersih (Rp) Selama Sebulan Pekerja *) Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Agustus 2006 Kota No
Lapangan Pekerjaan Utama
Jam kerja
Desa Upah/Gaji/ pendapatan
1
Pertanian
39
518,629
2
Pertambangan Penggalian
49
3
Industri Pengolahan
46
4
Listrik, Gas dan Air
5
Jam kerja
Upah/Gaji/ pendapatan
35
397,880
2,009,196
45
1,094,336
894,465
45
609,463
42
1,349,307
42
921,819
Bangunan
47
910,898
46
660,480
6
Perdagangan, RM, Hotel
50
878,067
49
566,535
7
Angkutan, Komunikasi
50
1,190,212
49
789,393
8
Keuangan
45
1,655,939
45
1,272,218
9
Jasa Kemasyarakatan
43
1,123,736
38
955,220
Jumlah
46
1,004,516
40
619,321
Sumber: Sakernas Agustus 2006 * Pekerja adalah buruh/karyawan/pegawai, pekerja bebas di pertanian dan pekerja bebas di non-pertanian
3.2 Struktur Perusahaan/Usaha Non-Pertanian Di Pedesaan Informasi mengenai profil perusahaan/usaha di daerah pedesaan beserta beberapa karakteristik usahanya dapat dilihat dari data hasil Listing Sensus Ekonomi 2006 (SE06). Gambaran perusahaan/usaha di daerah pedesaan dapat dilihat menurut lapangan usaha, lokasi tempat usaha, skala usaha, status badan hukum, tahun berdiri, maupun jaringan usaha. Struktur Perusahaan/Usaha Menurut Lapangan dan Lokasi Usaha Berdasarkan hasil listing SE06 yang mencakup seluruh kegiatan perusahaan/usaha selain sektor pertanian, jumlah perusahaan/usaha di daerah pedesaan tercatat 11,2 juta perusahaan/usaha (Tabel 5). Lapangan usaha perdagangan besar dan eceran tercatat sebagai usaha terbanyak dengan jumlah 5,1 juta (45,78 persen), diikuti oleh usaha industri pengolahan (20,24 persen), angkutan (10,96 persen), jasa-jasa (10,05 persen), dan akomodasi/makan/minum (9,86 persen). Dalam pelaksanaan SE06, pencacahan perusahaan/usaha dilakukan dengan pendekatan lokasi usaha yang dipilah menjadi perusahaan/usaha yang menggunakan lokasi permanen (bangunan khusus usaha atau bangunan campuran) dan lokasi tidak permanen. Berdasarkan tempat lokasi usaha, 60,28 persen perusahaan/usaha di daerah pedesaan melaksanakan kegiatannya pada lokasi permanen, dan sisanya (39,72 persen) pada lokasi tidak permanen seperti seperti usaha keliling, pedagang kaki lima di jalan atau trotoar, pangkalan ojek sepeda motor, los-los pasar, koridor stasiun dan lain-lain.
8
Tabel 5. Jumlah Perusahaan/Usaha Menurut Lapangan Usaha Dan Lokasi Usaha Di Daerah Pedesaan Tahun 2006 Lokasi Tempat Usaha Kategori Lapangan Usaha
Tidak Permanen Jumlah
C
Pertambangan dan Penggalian
D
Industri Pengolahan
E
Listrik, Gas dan Air
F
Konstruksi
G
Perdagangan Besar dan Eceran
H
Akomodasi/Makan/Minum
I
Angkutan
J
Perantara Keuangan
K-P
Permanen
%
Jumlah
Total %
Jumlah
%
-
-
221,931
3.28
221,931
1.98
37,907
0.85
2,234,702
33.01
2,272,609
20.24
117
0.00
11,069
0.16
11,186
0.10
2,402
0.05
85,435
1.26
87,837
0.78
2,603,366
58.37
2,537,826
37.49
5,141,192
45.78
565,254
12.67
541,855
8.00
1,107,109
9.86
1,047,282
23.48
183,633
2.71
1,230,915
10.96
1,622
0.04
26,306
0.39
27,928
0.25
Jasa-jasa
202,437
4.54
926,305
13.68
1,128,742
10.05
Jumlah
4,460,387
100.00
6,769,062
100.00
11,229,449
100.00
Sumber: Sensus Ekonomi 2006 (Angka Sementara)
Dari distribusi perusahaan/usaha perdagangan besar dan eceran menurut lokasi usaha dapat dilihat bahwa sekitar 50,64 persennya mempunyai lokasi usaha tidak permanen. Persentase usaha perdagangan yang dilakukan secara keliling mencapai 44,36 persen, sementara yang dilakukan di kaki lima 36,10 persen dan sisanya di los-los/koridor. Karakteristik yang serupa juga terjadi pada usaha akomodasi/makan/minum. Mayoritas usaha akomodasi/makan/minum dilakukan secara keliling (56,33 persen), di kaki lima (33,64 persen), dan di los-los/koridor (10,03 persen). Perlu dicatat bahwa untuk usaha transportasi mayoritas usaha dilakukan pada lokasi tidak permanen. Hal ini bisa dimengerti karena data yang ada menunjukkan bahwa 51,77 persen dari usaha transportasi di pedesaan adalah usaha ojek motor. Struktur Perusahaan/Usaha Menurut Skala Usaha Penentuan skala usaha dalam pelaksanaan SE06 menggunakan kriteria tenaga kerja atau omset yang mengacu pada UU No.9 Tahun 1995, Inpres No. 10 Tahun 1999 dan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan besar. Berdasarkan kriteria tenaga kerja yang biasa digunakan dalam industri pengolahan, skala usaha dibedakan menjadi usaha mikro (1-4 orang), kecil (5-19 orang), menengah (20-99 orang), dan besar (= 100 orang). Berdasarkan omset, skala usaha dirinci menjadi usaha mikro (< Rp.50 juta), kecil (Rp.50 juta- Rp. 1 Milyar), menengah (Rp. 1 Milyar-Rp. 3 Milyar), dan besar (= Rp. 3 Milyar). Hasil tabulasi struktur perusahaan/usaha menurut skala usaha berdasarkan tenaga kerja tidak jauh berbeda dengan berdasarkan omzet. Kegiatan non-pertanian di pedesaan didominasi oleh usaha berskala mikro dan kecil. Dari 11,2 juta perusahaan/usaha yang ada di daerah pedesaan, mayoritas merupakan perusahaan/usaha berskala mikro (89,62 persen)
9
dan usaha kecil (10,04 persen), yang biasanya sangat lemah dari segi permodalan, managerial dan ketrampilan (Tabel 6). Tabel 6. Persentase Perusahaan/Usaha Menurut Lapangan Usaha dan Skala Usaha (berdasarkan jumlah TK) di Daerah Pedesaan Tahun 2006 Skala Usaha (berdasarkan jumlah TK) Kategori Lapangan Usaha
Kecil
Menengah
Besar
Mikro
Unit pembantu
Jumlah
C
Pertambangan dan Penggalian
90.70
9.06
0.12
0.07
0.04
100.00
D
Industri Pengolahan
94.43
5.15
0.33
0.08
0.01
100.00
E
Listrik, Gas dan Air
76.07
7.46
11.03
1.11
4.33
100.00
F
Konstruksi
84.09
14.40
1.24
0.14
0.12
100.00
G
Perdagangan Besar dan Eceran
85.36
14.44
0.15
0.04
0.01
100.00
H
Akomodasi/Makan/Minum
91.70
7.88
0.42
0.00
0.00
100.00
I
Angkutan
94.13
5.72
0.10
0.01
0.03
100.00
J
Perantara Keuangan
58.16
29.29
10.35
1.74
0.45
100.00
K-P
Jasa-jasa
93.48
6.02
0.36
0.02
0.12
100.00
Jumlah
89.62
10.04
0.27
0.05
0.03
100.00
Sumber: Sensus Ekonomi 2006 (Angka Sementara)
4. KESIMPULAN Daerah pedesaan masih menjadi kantong kemiskinan karena berbagai persoalan mendasar yang dihadapi penduduk pedesaan belum terpecahkan. Untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan, pengembangan sektor pertanian harus dibarengi dengan pengembangan usaha non-pertanian. Selama periode 1998-2006, kemampuan sektor non-pertanian dalam menyerap tenaga kerja di pedesaan tidak menunjukkan perubahan yang berarti dan belum sesuai dengan harapan. Kegiatan non-pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja di pedesaan adalah usaha perdagangan dan indutri pengolahan. Pekerja pada kedua sektor ini masih banyak yang berstatus pekerja keluarga/ tidak dibayar dan sekitar seperempatnya adalah setengah pengangguran. Mayoritas perusahaan/usaha non-pertanian di pedesaan merupakan usaha berskala mikro dan kecil yang biasanya lemah dalam managemen, modal, dan ketrampilan. Sekitar 40 persen kegiatan non-pertanian tersebut dilakukan di lokasi yang tidak permanen.
10
DAFTAR PUSTAKA BPS (1999). Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 1998, BPS, Jakarta. BPS (1999). Keadaan Pekerja Di Indonesia Agustus 1998, BPS, Jakarta. BPS (2005). Sensus Pertanian 2003: Hasil Pencacahan Survei Pendapatan Rumahtangga Pertanian, BPS, Jakarta. Suhariyanto, K. (2006). Dibalik Angka Kemiskinan, Kompas, 14 September 2006. Suhariyanto, K. (2006). Kemiskinan dan Konversi Lahan, Kompas, 16 Oktober 2006. BPS (2007). Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 2006, BPS, Jakarta. BPS (2007). Keadaan Pekerja Di Indonesia Agustus 2006, BPS, Jakarta. BPS (2007). Laporan Perekonomian Indonesia 2006, BPS, Jakarta. BPS (2007). Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2007, BPS, Jakarta.
11