Karya Ilmiah
PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN
Oleh : Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN 2007
KATA PENGANTAR
Pembangunan pedesaan merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun dalam merencanakan maupun melaksanakan program pembangunan pedesaan tidak bisa dilakukan secara seragam melainkan harus sesuai dengan ciri khas dari masing-masing desa. Sebab setiap desa memiliki karakteristik yang berbeda dilihat dari segi mutu sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), jumlah penduduk, keadaan sosial dan ekonomi, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, termasuk masalah dan kebutuhan pokok masyarakat yang berbeda pula. Pemerintah juga harus dapat mengatasi tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan, baik yang bersifat internal maupun eksternal agar tujuan pembangunan wilayah pedesaan dapat berhasil dicapai. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis juga menerima kritikan yang membangun bagi kesempurnaan karya ilmiah ini kedepannya. Kiranya tulisan ini dapat berguna bagi setiap pembaca.
Medan, Juli 2007 Penulis
Vera A. R. Pasaribu, S.Sos., MSP.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Tujuan Penulisan
4
PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN
4
2.1.Masalah Pokok Masyarakat Desa
4
2.2.Kondisi Empiris Pembangunan Indonesia
8
2.3. Kewenangan Desa
15
PEMBAHASAN
21
3.1. Pembangunan Masyarakat Desa
21
3.2. Melepas Ketergantungan Desa Dari Luar
29
3.3. Agroindustri Dalam Membangun Pedesaan
31
3.4. Pembangunan Desa Yang Berkelanjutan
34
3.5. Industrialisasi Desa-Democratic Governance
35
KESIMPULAN DAN SARAN
38
4.1. Kesimpulan
38
4.2. Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
42
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah lebih dari 200 juta pada awal abad ke-21, terbesar keempat di dunia setelah RRC, India, dan Amerika Serikat. Tersebar pada 13.000 pulau, di mana 70 persen bermukim di desa dan bekerja pada sektor pertanian. Setiap desa memiliki karakteristik yang berbeda dilihat dari segi mutu sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), jumlah penduduk, keadaan sosial dan ekonomi, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Masalah dan kebutuhan pokok masyarakat pada setiap desa juga berbeda. Hal ini berarti bahwa setiap program pembangunan pedesaan harus berbeda sesuai dengan ciri khas dari masing-masing desa. Sudah lama diakui bahwa pembangunan pedesaan merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ada manfaat langsung dan tidak langsung dari pembangunan prasarana yang sangat signifikan, baik dalam penciptaan kesempatan kerja maupun strategi yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan. Pembangunan pedesaan juga merupakan suatu strategi dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Investasi dalam prasarana pedesaan berbasis sumber daya setempat dengan jelas memberikan mamfaat yang signifikan bagi perekonomian dan kondisi sosial masyarakat pedesaan. Berbagai indikator ekonomi seperti peningkatan penghasilan, kesempatan kerja, produktifitas dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Manfaat sosial meliputi penghematan waktu, akses yang lebih mudah ke sekolah dan sarana kesehatan serta semakin baiknya arus informasi.
1
Dalam upaya mencapai keberhasilan tujuan pembangunan wilayah pedesaan saat ini, secara umum kita dihadapkan pada banyak tantangan yang sangat berbeda sifatnya dibandingkan pada masa-masa yang lalu. Tantangan pertama berkaitan dengan kondisi eksternal seperti perkembangan internasional yang berhubungan dengan liberalisasi arus investasi dan perdagangan global. Sedangkan yang kedua bersifat internal, yaitu yang berkaitan dengan perubahan kondisi makro maupun mikro dalam negeri. Tantangan internal disini dapat meliputi transformasi struktur ekonomi, masalah migrasi spasial dan sektoral, ketahanan pangan, masalah ketersediaan lahan pertanian, masalah investasi dan permodalan, masalah iptek, SDM, lingkungan dan masih banyak lagi. Proses transformasi suatu wilayah pedesaan menjadi suatu daerah agroindustri secara ilmiah telah banyak diulas peneliti dan akademisi dan menjadi tuntutan nyata dalam proses perkembangan modernisasi masyarakat pertanian, karena kegiatan pertanian berada di wilayah pedesaan. Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan ekonomi, kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya dengan memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya secara lebih terpadu. Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun seharusnya pembangunan wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.
1.2. Tujuan Penulisan Berdasarkan uraian di atas, maka tulisan ini penting untuk dilakukan terutama bila dikaitkan dengan upaya pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan yang saat ini mulai gencar dilakukan oleh pemerintah. Atas dasar itu maka tujuan dari penulisan ini
2
adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana pelaksanaan pembangunan desa, yang meliputi cara melepas ketergantungan desa dari luar, agroindustri dalam membangun desa, pembangunan desa yang berkelanjutan, serta industrialisasi desa.
3
BAB II PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN
2.1. Masalah Pokok Masyarakat Desa Merebaknya kebutuhan akan suatu strategi besar ekonomi nasional baru (grand strategy) sebenarnya telah lama dinantikan. Kini, setelah begawan ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo sendiri yang mengimbau para ekonom agar segera menyusun strategi ekonomi pasca krisis yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, barulah masalah ini menjadi aktual dalam mengisi wacana publik di tingkat nasional. Ini ditafsirkan sebagai pertanda awal bahwa para pakar ekonomi sudah mulai menyadari tentang tidak akan mampunya utak-atik kebijakan lama membawa bangsa keluar dari krisis. Merebaknya kebutuhan akan strategi besar ekonomi nasional baru, adalah pernyataan yang mendambakan hadirnya suatu perubahan yang fundamental dalam strategi dasar pembangunan ekonomi dengan sungguh-sungguh belajar dari krisis ini. Sebagai konsekuensinya, kita pun dituntut agar mau meninggalkan pola pikir dan pola tindak kita selama ini. Dalam kerangka itu, hal penting yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah menentukan ciri dari strategi baru yang hendak dibangun. Secara sederhana, ciri itu haruslah menutupi kekurangan, meluruskan kekeliruan, dan mengobati luka-luka bangsa yang pernah ditimbulkan di masa lampau. Kalau pun ada satu ciri yang paling kuat mewarnai masa lampau, itu tidak lain adalah ketidakadilan di semua matra kehidupan bangsa. Industri-pertanian, perkotaanperdesaan, Jawa-luar Jawa, penguasa/pengusaha-rakyat kecil/buruh, militer-sipil, lakilaki- perempuan, dan mayoritas-minoritas, adalah beberapa di antara dikotomi diskriminatif yang kita kenal pada tahapan terakhir Orde Baru.
4
Strategi pembangunan yang didasarkan kepada doktrin pertumbuhan “leadingsectors” telah membuat hancur banyak industri kecil di pedesaan. Doktrin pertumbuhan sebagai adopsi pencangkokan sistem kapitalis, dan metode produksi modern ke dalam masyarakat desa Indonesia, cenderung memarginalisasi masyarakat dari sistem produksi dan proses pemanfaatan hasil-hasil produksi. Resikonya, hal ini tidak berhasil mengatasi problem-problem pokok yang berada di tengah masyarakat Sebut saja misalnya, penyerapan tenaga kerja secara massal, menurunnya hasil produksi pertanian di pedesaan, menurunnya tingkat upah, dan sebagainya (Husken, 1998). Proses ini juga menyebabkan kemerosotan ekonomi golongan miskin di pedesaan, yakni pembengkakan penduduk yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan-kegiatan usaha kecil. Pertumbuhan ekonomi yang timpang antara kawasan perkotaan dan pedesaan telah menimbulkan apa yang disebut premature urbanization bersamaan dengan terjadinya structural deformation dalam ekonomi (Sritua Arief, 1990). Mengalirnya tenaga kerja dari desa ke kota secara massif ternyata tidak dapat ditampung secara memadai dan berarti dalam struktur ekonomi perkotaan sebagai manifestasi dari perekonomian modern. Inilah yang memicu terjadinya apa yang disebut dengan deformasi struktural, wujudnya adalah terjadinya perluasan dan berkembangnya secara drastis sektor jasa dalam penyerapan tenaga kerja. Keberadaan sektor jasa ini bukan disebabkan oleh permintaan akan jasa-jasa oleh sektor modern, tetapi sematamata disebabkan oleh ketidaksanggupan sektor modern untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Margono Slamet (1978) mengemukakan bahwa masalah, ditinjau dari segi pembangunan, adalah adanya kesenjangan antara situasi yang ada dengan situasi
5
yang diinginkan. Adanya suatu situasi baru yang diinginkan tetapi tidak tercapai juga menimbulkan ada masalah. Masyarakat desa menginginkan produksi usaha tani meningkat, tetapi tidak tercapai, tentu ada masalah. Indonesia menginginkan gerakan reformasi dapat menciptakan stabilitas sosial dan ekonomi, tetapi tidak berhasil, tentu ada masalah. Di dalam kegiatan pembangunan desa, masalah akan muncul secara terus menerus dan dalam bentuk yang bermacam-macam. Penyebabnya, juga berbeda sehingga diperlukan proses identifikasi masalah untuk menentukan mana yang prioritas, yang mudah dipecahkan dan yang sulit dipecahkan. Prioritas adalah masalah yang benar-benar berat dan mengganggu kehidupan masyarakat desa sehingga seluruh masyarakat desa merasakan perlu pemecahan segera. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa masalah rumit di desa ternyata mudah dipecahkan oleh masyarakat, karena faktor penyebabnya secara dini sudah diketahui masyarakat. Sering terjadi ada kasus-kasus kecil yang sebenarnya penting untuk mendapat perhatian tetapi masyarakat baru bertindak setelah keadaan semakin memburuk. Hal yang sama dapat terjadi pada masalah yang dianggap ringan. Ada masalah yang benar-benar sulit, tetapi masyarakat desa tidak dapat bertindak, karena pemecahannya berada di luar kemampuan mereka, sehingga diperlukan bantuan para ahli dari luar masyarakat itu. Dorodjatun Kuncoro-Jakti (1994) mengemukakan bahwa masalah-masalah pokok masyarakat desa terdiri dari keterbelakangan dan kemiskinan, atau lebih tepat disebut masalah struktur yang menampilkan diri dalam wujud makin buruknya perbandingan antara luas tanah dan jumlah individu dan pola pemilikan atas tanah. Hal ini mendorong meningkatnya jumlah pengangguran baik terselubung maupun terbuka, serta berlakunya upah yang rendah. Selain itu, meningkat pula jumlah kaum proletariat
6
dikalangan petani. Di sisi lain, semakin kuat kekuasaan birokrasi negara yang bersifat nepotistik dan feodal, dan makin meluas korupsi dalam birokrasi. Masalah lain adalah membesarnya kekuasaan golongan minoritas termasuk orang asing di sektor perdagangan dan penanaman modal, dan adanya dualisme sosial, ekonomi, dan teknologi. Di Indonesia, terdapat beberapa masalah nasional mendasar yang menjadi pangkal problema pembangunan pedesaan yang perlu mendapat perhatian, yaitu: a. Pemikiran mendasar tentang dua titik tolak strategi pembangunan desa yang berlawanan yaitu pola strategi yang bersifat perencanaan dari atas dengan pola strategi perencanaan dari bawah b. Masyarakat desa menghadapi masalah kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidaktahuan c. Masalah kepemilikan tanah yang semakin sempit dan terbatasnya peluang kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang mendorong tingginya tingkat pengangguran dan urbanisasi d. Potensi pembangunan Indonesia yang terdapat di desa, yang apabila dilaksanakan dengan konsisten, maka pembangunan desa akan mampu mendorong akselerasi pemecahan masalah nasional yang multidimensi. Sayangnya, telah terjadi dekadensi kehidupan ekonomi dan sosial budaya di pedesaan, akibat kesalahan strategi pembangunan yang berorientasi pada pemusatan pembangunan industri di kota-kota yang menggunakan bahan baku impor.
7
2.2. Kondisi Empiris Pembangunan Indonesia Kondisi empiris yang terjadi di Indonesia sejauh ini menunjukkan terjadinya pola pembangunan dengan strategi pertumbuhan tersebut. Mulai jaman Orde Baru sampai era reformasi, watak itu masih demikian kental membaluti proses pembangunan. Bahkan, secara sistematik skema pembangunan ini juga merambah ke desa, dengan berbagai resiko. Jika kita klasifikasikan, setidaknya ada tiga skema besar dalam pembangunan desa sejauh ini. Pertama, pembangunan desa yang dibimbing langsung oleh negara. Sebagai aktor utama, negara telah melancarkan pembangunan dan pemberdayaan melalui skema “pembangunan nasional” dan “pembangunan daerah”, sebagai “master plan” yang direncanakan secara sentralistik (terpusat), birokratis (dikendalikan oleh institusi dan prosedur birokrasi) dan teknokratis (dirancang oleh para ahli). Partisipasi masyarakat (dalam katagori kritis) tidak dikenal sebagai menu utama perencanaan. Namun hanya diperlakukan sekadar bumbu pelengkap cita-rasa perencanaan semata. Negara, dengan demikian telah memonopoli kewenangan perumusan kebijakan, regulasi, informasi dan dana untuk memobilisasi agenda kegiatan pembangunan. Tercatat, untuk rentang waktu empat dekade terakhir dari pemerintahan, melalui skema pembangunan nasional dan daerah, sangat giat melancarkan berbagai program yang dimaksudkan untuk melancarkan transformasi ekonomi desa. Sebut saja mulai dari pembangunan desa terpadu sampai dengan penanggulangan kemiskinan desa. Melalui pembangunan itulah, pemerintah mengusung sejumlah tujuan yang mulia di desa. Diantaranya, memberbaiki kondisi fisik, membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memerangi kebodohan dan keterbalakangan, mengurangi kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi warga.
8
Dalam konteks itu, pembangunan desa terpadu (integrated rural development) merupakan master plan orde baru yang didukung lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia. Model ini ditempuh dengan skema perbaikan prasarana fisik spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran), peningkatan produksi pertanian melalui revolusi hijau, maupun pembangunan sektoral (berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial semacam pendidikan dan kesehatan). Pembangunan prasarana fisik spasial desa (perhubungan, ekonomi, sosial, dan pemasaran) itulah yang menjadi ikon utama pembangunan desa, yang notabene didanai secara terpusat melalui Inpres Bandes, mulai tahun 1969 sampai 1999. Jika pembangunan prasarana fisik yang berskala kecil ini melibatkan partisipasi (swadaya) masyarakat, maka pembangunan sektoral lebih menempatkan masyarakat desa sebagai obyek atau kelompok penerima manfaat (beneficiares). Pembangunan sektoral dikemas menjadi rangkaian “proyek berkelanjutan” yang didanai oleh APBN dan ditangani langsung oleh birokrasi negara baik di pusat maupun daerah (yang membantu pusat). Waktu itu para kepala desa selalu mengatakan bahwa semua departemen pemerintah, kecuali Departemen Luar Negeri, pasti mempunyai proyek pembangunan sektoral ke wilayah desa. Karena itu yang terjadi bukanlah daerah dan desa yang membangun, melainkan pembangunan yang dilancarkan di daerah dan desa oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini merupakan skema sentralisme pembangunan yang belum memperkenalkan desentralisasi pembangunan secara otentik, meski sejak 1982 sudah dikenal perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up planning). Kedua, pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat. Di satu sisi warga masyarakat, orang per orang, mengembangkan prakarsa dan potensi dirinya masingmasing
tanpa
digerakkan
secara
langsung
oleh
negara.
Ada
warga
yang
9
mengembangkan pertanian, ada yang berbisnis, ada yang berdagang, ada yang membangun industri rumah tangga, ada yang bersekolah, ada yang merantau ke kota, dan seterusnya. Banyak warga masyarakat desa yang sukses mendongkrak mobilitas sosial, karena usaha mereka sendiri atau karena memanfaatkan dampak positif pembangunan yang digerakkan negara. Ketersediaan sarana perhubungan dan pasar, misalnya, memungkinkan warga desa bisa melakukan transaksi ekonomi atau hilirmudik ke kota dengan lancar dan mudah. Di sisi lain pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat sangat tampak dari sisi swadaya dan gotong-royong masyarakat secara kolektif. Jika ditinjau dari sudut pemerintahan lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan ciri khas dan basis “otonomi asli” desa, yang ada sejak dulu. Sementara jika dilihat dari konteks pembangunan desa di era Orde Baru, swadaya dan gotong-royong masyarakat merupakan komponen utama dalam pembangunan prasarana fisik spasial desa, yang dikombinasikan dengan bantuan dari pemerintah. Pemerintah selalu mengatakan bahwa bantuan desa merupakan stimulan yang membangkitkan swadaya. Ini adalah upaya lokalisasi pembangunan, bahwa masyarakat hanya diberi ruang yang sempit untuk mengelola pembangunan prasarana fisik yang berskala sangat kecil, sehingga masyarakat desa tidak perlu berpikir dan menyentuh pembangunan desa yang berskala lebih besar Ketiga, pembangunan yang digerakkan oleh modal, sering kita sebut kapitalisasi atau industrialisasi desa. Negara memang memberikan lisensi dan akses permodalan kepada para pengusaha (pemilik modal), baik nasional maupun internasional, untuk melancarkan industrialisasi di kawasan pedesaan. Memang ada industrialisasi yang berskala lokal-kecil yang digerakkan sendiri oleh masyarakat (home industry) misalnya
10
konveksi, keramik tanah, kain, batu-bata, makanan lokal, genting, agro-industri, dan masih banyak lagi. Model industri ini lebih bersifat padat karya ketimbang padat modal, yang sering dikatakan sebagai kekuatan penyangga ekonomi rakyat desa. Tetapi yang lebih krusial untuk kita cermati adalah industri padat modal berskala besar yang betulbetul melakukan eksploitasi terhadap tanah maupun sumberdaya alam di wilayah pedesaan. Kita bisa menyebut industri pariwisata, pengolahan hasil pertanianperkebunan (gula, kayu lapis, rokok, minyak goreng, makanan, tepung terigu, dll), pengolahan tanah-batu (genting, batu bata, keramik, dan sebagainya), pengolahan sampah, pengolahan air minum, real estate (perumahan mewah), pertokoan besar (mall), pertambangan, dan manufaktur, yang semuanya beroperasi di wilayah dan komunitas desa. Ketiga skema pembangunan di atas juga disertai dengan pembangunan politik yang dikendalikan negara. Tetapi pembangunan politik yang dijalankan Orde Baru bukanlah sebagai upaya transformasi politik (melalui desentralisasi dan demokratisasi), melainkan merupakan bentuk “rekayasa politik” melalui negaranisasi (sentralisasi, birokratisasi, korporatisasi, regimentasi, depolitisasi dan represi) untuk mengendalikan masyarakat dan menciptakan stabilitas politik. Sejak awal pemerintah, melalui doktrin Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan), selalu menegaskan bahwa stabilitas politik merupakan prasyarat pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan pemerataan. Namun negaranisasi ini secara empirik melakukan marginalisasi politik terhadap desa, sehingga desa telah kehilangan harga diri, otonomi dan demokrasi. Menengok perjalanannya sejauh ini, keterpurukan desa erat kaitannya dengan penerapan kebijakan eksploitatif dan represif (otoriter) pada rentang waktu di bawah kekuasaan pemerintahan orde baru. Perlakuan negara atas desa dengan cara-cara otoriter
11
tersebut terlegitimasikan dalam bentuk regulasi UU No.5/79 (IRE, 2005). Watak aturan itu diantaranya, pertama, korporatisasi-birokratisasi, yakni manajemen politik atas desa yang ditandai oleh semangat kontrol dari atas (top down), penyelenggaraan sistem politik dominatif dengan menghilangkan ruang partisipasi dari bawah. Kedua, homogenisasi berupa penyeragaman dari sekian pluralitas (komunitas dan asosiasi sipil setingkat desa), tanpa menghargai perbedaan, dan ketiga, eksploitatif yakni memanfaatkan sumberdaya atau kekayaan desa yang diolah tetapi hanya dimanfaatkan demi keuntungan negara semata, tentu mengabaikan peruntukan kepentingan warga desa. Secara mendasar, kebijakan dan regulasi tersebut mengandung semangat suatu konstruksi atau pemaknaan negara atas desa yang menggeser statusnya secara struktural, dari kesatuan hukum (adat) menjadi teritorial-administratif. Desa, dengan demikian, dipaksa untuk membuat preferensi yang sama (dalam hal format, struktur dan orientasi) yang pada substansinya cenderung bias Jawa sesuai skenario pemerintah (pusat). Maksudnya adalah mengintegrasikan arah pengembangan dan eksistensi desa ke dalam arus utama, atau ideologi negara. Dengan keadaan semacam itulah, dalam perspektif sejarah, regulasi pengaturan desa menjadi titik awal terjadinya reduksi atas otonomi desa, dengan dampak lamakelamaan desa makin “terbonsai”, pembiakan aspirasi lokal tidak memperoleh lahan berkembang, dan stagnasi menjadi sulit dielakkan. Jika ditelusur dari alasan kebijakan itu muncul, pemerintah Orde Baru nampaknya memandang bahwa keberadaan desadesa dengan kesatuan hukum beragam dari corak dan sifatnya, serta posisi yang sangat otonom tersebut tentu akan mempersulit upaya pengaturan dan pengendalian.
12
Disamping itu, kemajemukan struktur berbasis karakter kultur lokal dan perangkat sistem pemerintahan desa yang berlaku di dalamnya itu, dianggap akan menghambat pembangunan. Menggunakan kacamata pemerintah Orde Baru, desa-desa ditempatkan sebagai bagian organis dari keseluruhan sistem yang ada pada negara. Oleh karena itulah, untuk menempatkan desa dalam kedudukan dan peran terintegrasi kekuasaan pemerintah pusat, maka desa-desa tersebut akhirnya diseragamkan. Apabila mungkin,
penyeragaman
bukan
hanya
dalam
sistem
pemerintahan
dan
ketatanegaraannya saja, melainkan dalam sistem sosial budayanya. Selain untuk memudahkan pengawasan dan kendali, juga agar mempermudah pemerintah melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan. Homogenisasi dalam pola desa, dengan demikian tentu bukan sebatas makna kultural (menghilangkan pluralisme etnisitas), tetapi juga pada aras politik, yang berarti kontrol negara atas sumberdaya desa dapat dijalankan. Pola yang semacam itu berdampak pada keadaan kapasitas desa yang terus merosot dan bahkan hancur, dimana desa pada umumnya relatif gagal menghidupi dirinya secara mandiri, demi mewujudkan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi warganya. Apa yang terjadi dengan tiga skema pembangunan ekonomi yang ditopang dengan pembangunan politik di atas? Pembangunan tentu menjanjikan perbaikan kemajuan, pertumbuhan, kemakmuran, dan juga kesejahteraan. Di atas kertas, industrialisasi selalu menjanjikan peningkatan devisa negara, pendapatan asli daerah, penyediaan lapangan pekerjaan, maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Tetapi sejarah telah mencatat bahwa industrialisasi yang tumbuh dengan pesat telah menciptakan marginalisasi masyarakat lokal, pemiskinan dan kerusakan lingkungan. Banyak industrialisasi yang berjalan mulus, tetapi tidak sedikit proyek industrialisasi
13
yang menghadapi perlawanan dari masyarakat setempat, sehingga industrialisasi sering menimbulkan trauma sosial-ekonomi bagi masyarakat. Secara umum pembangunan dan industrialisasi desa memang telah menciptakan mobilitas sosial (kemajuan dan kemakmuran) warga desa. Mobilitas sosial bisa kita ukur dari indikator perubahan wajah fisik desa, perbaikan perumahan penduduk, peningkatan derajat pendidikan, perubahan struktur okupasi, perbaikan sarana dan prasarana transformasi penduduk desa, peningkatan kepemilikan perlengkapan modern (televisi, motor, mobil, telepon selular, parabola, mesin cuci, lemari es, dan masih banyak lagi), dan sebagainya. Jika melihat indikator ini, desa jauh lebih maju dan makmur, karena pembangunan dan industrialisasi desa. Berdasarkan oral history dari para orang tua yang telah melewati 2-3 zaman, kondisi sosial-ekonomi desa yang lebih baik (maju) itu baru mulai dirasakan sejak dekade 1970-an. Tetapi ledakan pertumbuhan dan mobilitas sosial itu belum menjadi fondasi yang kokoh bagi human well being, kesejahteraan dan keadilan di desa. Ketimpangan jauh lebih besar dan serius ketimbang kemajuan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh pembangunan. Setiap hari kita prihatin dengan balada yang menimpa para petani, mayoritas penghuni desa. Para petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao, cengkeh, lada, mangga, dan lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga dengan para cukong pemilik modal. Jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970, sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Berbagai upaya pembangunan selama lebih dari dua dekade berhasil menekan persentase penduduk miskin menjadi 11% pada tahun 1996. Namun jumlah penduduk miskin kembali meningkat setelah krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997. Menurut BPS, pada bulan Agustus 1999
14
jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sekitar 15,6 juta orang berada di kawasan perkotaan, dan 32,3 juta orang di perdesaan. Pada tahun 2002 angka kemiskinan mengalami peningkatan, tercatat sejumlah 25,08 juta (21,1%) penduduk pedesaan yang tergolong sebagai kaum miskin. Karena itu kesimpulan sementaranya adalah, bahwa pembangunan ekonomi dan industrialisasi desa yang ditopang oleh rekayasa politik di atas lebih banyak menciptakan ketimpangan, kemiskinan dan marginalisasi sehingga belum mengarah pada kesejahteraan dan keadilan di desa.
2.3. Kewenangan Desa PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Seperti dilansir dari sinar harapan beberapa waktu lalu menurut Persada Girsang Dirjen Pemdes Depdagri mengungkapkan banyak hal dalam tuntutan kepala desa yang sebenarnya masuk akal dan memang harus dipenuhi. Ada juga tuntutan yang sebenarnya bertolak belakang dan tidak bisa dipenuhi. Sebut saja keinginan untuk terlibat dalam
15
kegiatan politik partai dan keinginan memperpanjang masa jabatan. Jika keinginan terlibat dalam politik diizinkan, bukan tidak mungkin akan terjadi benturan kepentingan dan bisa merugikan rakyat. Girsang menyatakan otonomi yang sesungguhnya bukan di kabupaten melainkan di desa. Tapi yang terjadi sekarang karena otonom itu berpusat di kabupaten, maka untuk izin mendirikan pasar di desa saja harus ada izin dari kabupaten. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 memberi kesempatan kepada Pemerintah Kabupaten untuk mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing. Otonomi daerah itu sendiri merupakan pemberian kewenangan Kepada Daerah untuk mengatur anggaran daerahnya sendiri, tapi tidak lepas dari pengawasan Pemerintah Pusat. Berkaitan
dengan
Otonomi
Daerah,
bagi
Pemerintah
Desa;
dimana
keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang
mampu
memenuhi
kepentingan
dan
kebutuhan
yang
dirasakannya.
Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik.
16
Namun demikian, realitas yang terjadi pada era otonomi dan desentralisasi yang muatannya sarat akan nilai-nilai demokrasi dan transparansi ini cenderung sering menghadirkan permasalahan yang kompleks di desa. Dimana pada era tersebut, proses politik berjalan seperti lebih cepat daripada kemampuan untuk mengelola manajemen pemerintahan desa yang otonom. Masyarakat atau kelompok masyarakat diperkenalkan dengan hal baru dalam konteks politik, yakni kebebasan menentukan sikap dan pendapat serta meniru demokrasi ala barat, dan demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Beberapa kendala lain yang pantas menjadi bahan pemikiran dan perlu dicari jalan keluarnya, antara lain: Pertama, merubah mentalitas aparatur, baik di tingkat Desa, Kecamatan maupun Kabupaten yang terbiasa bersikap sentralistis menuju mentalitas pemberdayaan daerah. Sehingga untuk melaksanakan suatu kebijakan terkadang masih harus menunggu Juklak, Juknis dan segala tuntunan dari atas (Tuntas). Kedua, usulan-usulan tentang prioritas program pembangunan di desa yang disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten setelah melalui Musbang di tingkat desa dan kecamatan sering terkesan hanya formalitas dan kurang diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh Pemerintah Kabupaten. Hal itu dapat dilihat dari usulan tentang prioritas program pembangunan di desa dan kecamatan yang “itu-itu saja” dari tahun ke tahun. Ironisnya, usulan-usulan itu sering terbentur pada ketidakmampuan daerah dalam hal pendanaan, atau bahkan terperangkap dalam jaring KKN model baru yang menyebabkannya terlantar dan hanya menjadi arsip dalam laci. Bukan rahasia lagi bahwa bagi desa atau kecamatan yang mempunyai orang yang memiliki akses di pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif, sangat memudahkan desa atau kecamatan
tersebut
memperoleh
prioritas
proyek-proyek
pembangunan.
17
Ketiga, jika Otonomi Desa benar-benar dapat diwujudkan, barangkali cukup menguntungkan bagi desa-desa yang memiliki aset dan sumber daya alam yang memadai, namun justru mempersulit untuk desa-desa yang kurang strategis dalam masalah
sumber
daya
alam
dan
tidak
memiliki
aset
yang
cukup.
Keempat, sikap ambigu Pemerintah Kabupaten dalam penanganan aset kabupaten yang ada di desa. Di satu sisi aset tersebut dituntut untuk menjadi mata air bagi PAD yang harus selalu mengalir deras. Di sisi lain, desa yang memiliki aset dan banyak menerima imbas dari keberadaan aset tersebut kurang dilibatkan penanganannya dan hanya menerima penyisihan hasil yang sangat jauh dari pantas, apalagi cukup. Contoh yang mudah mengenai hal ini adalah keberadaan pasar milik Pemerintah Kabupaten yang ada di desa. Ada satu wacana, bahwa untuk terwujudnya keadilan atau keseimbangan dalam pemanfaatan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten, desa-desa mesti tergabung dalam asosiasi atau paguyuban agar memiliki kekuatan untuk berembug dan tawar-menawar dalam hal pemanfaatan DAU Kabupaten. PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis subordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.
18
Reduksi sistematis terhadap kedudukan dan peranan BPD terlihat sekurangkurangnya dalam 2 (dua) hal, yaitu: (1). Tidak ditegaskannya kedudukan BPD sebagai parlemen/legislatif desa; (2). Mekanisme pengisian keanggotaan BPD yang semula dalam UU No. 22/1999 “dipilih” berdasarkan mekanisme demokratis, kini dalam UU No. 32/2004 ditetapkan secara musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan wilayah. Ditinjau
dari
sudut
aliran
pertanggungjawaban
(legal
accountabi-lity)
penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Kepala Desa versi UU No. 32/2004 maupun PP No. 72/2005, terlihat sangat kentara adanya tarikan ke atas. Pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 menyebutkan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota. Tanggung jawab Kepala Desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban, dan kepada masyarakat hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa. Rumusan aturan dalam pasal 15 ayat (2) PP desa itu tentu saja terlihat kontradiktif dengan pasal 35 huruf b PP desa, yang mengatur bahwa BPD memiliki salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa. Meskipun pada pasal 35 huruf c PP Desa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada Bupati/walikota, namun mengacu pada rumusan pasal 15 ayat (2) PP Desa di atas, sangat jelas terlihat ambiguitas pe-ngaturan kewenangan pengawasan BPD. Selain itu, menyangkut sistem perencanaan di desa terlihat pula belum adanya kehendak negara untuk membangun pola local self planning di desa. Pasal 63 PP Desa masih mengikuti jejak UU No. 32/2004, yang menempatkan perencanaan desa sebagai satu
19
kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Sementara itu, pasal 150 UU No. 32/2004 telah menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Apabila ditarik garis lurus untuk menghubungkan substansi pengaturan mengenai perencanaan di desa, daerah dan pusat, terlihat sangat jelas yang dibangun adalah model perencanaan terpusat (centralized planning). Sentralisasi perencanaan semacam itu sebenarnya justru mengingkari hakekat otonomi daerah, yang seharusnya terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya menjadi otonomi rakyat.
20
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Pembangunan Masyarakat Desa Prasyarat yang perlu diketahui untuk memberdayakan masyarakat desa adalah realita kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan masyarakat desa itu. Adapun kekuatan-kekuatan masyarakat desa meliputi : a. Secara kuantitas desa kaya akan SDM dan SDA b. Masyarakat desa memiliki jiwa kekeluargaan dan kegotongroyongan yang kuat, menjunjung tinggi semangat kebersamaan berdasarkan prinsip musyawarah dan mufakat c. Masyarakat desa sangat religius, berperilaku sesuai dengan norma-norma agama yang dianut sehingga mereka lebih jujur, sabar dan ulet d. Menghargai atau patuh terhadap pimpinan baik formal maupun nonformal e. Menjunjung tinggi dan mempertahankan tradisi sehingga mereka kurang terbuka terhadap perubahan f. Masyarakat desa mudah diajak kerja sama untuk membangun desa, terutama pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah keseharian mereka. Kelemahan-kelemahan masyarakat pedesaan itu meliputi: (1) Kelemahan yang mendasar adalah rendahnya kualitas SDM. Tingkat pendidikan mereka sangat rendah.
Akibatnya, masyarakat desa menjadi tidak berdaya
memanfaatkan atau memobiliser SDA untuk meningkatkan kesejahteraannya. Karena itu, peranan pendidikan terutama pendidikan nonformal menduduki posisi
21
kunci untuk membekali masyarakat desa dengan pengetahuan yang praktis, sikap mental yang baik, dan keterampilan yang handal sehingga mereka mampu melaksanakan pembangunan secara efektif. Sisi lain yang berkaitan dengan penyebab rendahnya kualitas SDM di pedesaan adalah terjadinya arus urbanisasi angkatan kerja muda yang memiliki pola pikir dinamis dan rasional untuk bekerja pada industri-industri yang dipusatkan di kota. Akibatnya, SDM yang tinggal di desa adalah mereka yang pola pikirnya statis, tradisional, dan sulit mengadopsi inovasi. Masalah urbanisasi yang tinggi di Indonesia terjadi akibat pemerintah kurang mengutamakan pembangunan industri pedesaan yang berbasis pada sektor pertanian. Tentu saja solusi yang tepat adalah pendekatan desentralisasi, yaitu pembangunan industri pedesaan yang sekaligus mampu meningkatkan pendapatan dan membuka peluang kerja baru di pedesaan. Korea Selatan dan RRC mampu membangun industri maju, setelah mereka berhasil mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan di pedesaan melalui pembangunan industri pedesaan. (2) Kemiskinan primer, yaitu suatu keadaan di mana penghasilan yang mereka peroleh dari hasil usaha tani tidak cukup memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk hidup sebagai manusia yang layak. Kesempatan kerja di luar sektor pertanian hampir tidak ada di pedesaan. Jumlah anak putus sekolah dan masyarakat yang tidak bisa baca tulis semakin besar seiring dengan rendahnya pendapatan. Diversifikasi di bidang pertanian tidak terlaksana karena rendahnya penguasaan teknologi, tidak ada modal, kontak dengan sumber informasi dalam meningkatkan pengetahuanadalah sangat jarang, dan harga yang tinggi dari sarana produksi pertanian terutama pupuk yang menjadi kebutuhan pokok.
22
(3) Posisi tawar masyarakat desa sangat lemah terutama waktu menjual hasil produsi usaha tani. Mereka selalu di dalam posisi yang dirugikan dan menjadikan mereka semakin miskin dan tidak berdaya. (4) Masyarakat desa tidak mau atau sering menolak inovasi, kalaupun ada hanya terbatas pada beberapa orang saja. Hal ini berhubungan dengan kehidupan mereka yang terikat pada tradisi. Mereka lebih yakin bahwa apa yang mereka miliki adalah yang terbaik. Pola pikir mereka sangat lokalit. Arthur Dunham (1958) merumuskan pembangunan masyarakat desa sebagai “organized efforts to improve the conditions of community life, primarily through the enlistment of self-help and cooperative effort from the villagers, but with technical assistance from government or voluntary organization.” Terdapat tiga ciri pokok pembangunan masyarakat desa, yaitu: pertama, adanya usaha-usaha yang terorganisir untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat; kedua, adanya peningkatan usaha kerjasama dan gotong royong dalam melaksanakan pembangunan; ketiga, pembangunan masyarakat desa memerlukan bantuan teknis dari pemerintah dan organisasi sukarela. Lebih lanjut Dunham mengemukakan empat unsur pembangunan masyarakat desa yaitu: a) a plan program with a focus on the total needs of the village community; b) technical assistance; c) integrating various specialties for the help of the commnunity; and d) a major emphasis upon self-help and participation by the residents of the community. Keempat unsur di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat desa adalah suatu program yang terencana, berfokus pada kebutuhan masyarakat, memerlukan bantuan teknis dari para ahli dari berbagai bidang, dan mengutamakan
23
kegiatan-kegiatan gotong royong untuk menumbuhkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan. Pembangunan masyarakat desa menjadi penting pada saat ini, karena Indonesia adalah negara agraris, mayoritas penduduk tinggal di desa, di mana kehidupan sosial dan ekonominya tergantung pada usaha tani tradisional. Modernisasi pertanian perlu mendapat prioritas untuk meningkatkan produksi pertanian dan kualitas hidup masyarakat desa. Bertitik tolak dari tujuan pembangunan masyarakat desa di atas, Einsidiel (1968) mengemukakan beberapa kriteria dari proyek-proyek pembangunan masyarakat desa yang berhasil dan efektif sebagai berikut. (1) that the project was a choice of the people, based on their felt needs; (2) that the project involved the active participation of the people in working toward a solution of these needs; (3) that the project enhanced the lives of the people and the whole community; (4) that the project initiated and established good working relationship among the technical field worker; (5) that the project developed positive and favorable attitudes among the people toward the government; (6) that the project generated community spirit in the process; (7) that the project encouraged the people toward self-reliance and self-help.
Hakikat otonomi daerah adalah mendidik masyarakat agar lebih berdaya, mampu bersaing dalam konteks kerjasama, dan profesional.
Masyarakat desa harus
memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan pembangunan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunawan (2000) yang menekankan: “Hal-hal yang sudah 24
dapat dilaksanakan oleh masyarakat perlu segera diserahkan pelaksanaannya kepada masyarakat. Yang belum dapat dilakukan masyarakat dilakukan oleh pemerintah, dengan tetap berpedoman bahwa suatu saat harus dapat dan segera dilakukan sendiri oleh masyarakat”. Membangun desa dengan karakteristik yang berbeda bukanlah masalah yang sederhana. Membangun desa adalah membangun manusia dengan segala hak dan kewajibannya yang perlu mendapat perhatian. Karena itu, untuk mencapai tujuan, maka pembangunan desa perlu berpedoman pada visi yang jelas. Echols dan Shadily (1990) mengemukakan arti visi atau vision sebagai penglihatan, daya lihat, pandangan, melihat ke depan dengan pikiran yang jernih. Pengertian visi dalam konteks pembangunan desa adalah segala sesuatu yang dapat diwujudkan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan
desa. Sebagai program yang terorganisasi, visi pembangunan masyarakat desa adalah usaha untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik sosial maupun ekonomi, memiliki potensi untuk mengorganisasikan sumber daya yang ada guna meningkatkan mutu hidup yang lebih baik berdasarkan prinsip swadaya dan swakarsa, mendorong tumbuh dan berkembangnya suatu masyarakat desa yang mandiri dalam arti mampu mendidik dan menolong diri sendiri, dan membangun suatu sistem kepemimpinan pedesaan yang demokratis. Menurut A.S. Hornby et. al. (1963), mengemukakan pengertian misi atau mission sebagai organized efforts; business or purpose in life; massage; charge ; duty; trust. Dalam konteks pembangunan desa, pengertian misi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang teroganisasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat desa. Berdasarkan pengertian di atas,
25
maka misi pembangunan masyarakat desa antara lain adalah melaksanakan kegiatan pembangunan desa guna meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Dilaksanakan melalui kegiatan gotong-royong (self-help), usaha bersama (cooperative effort), dan mengutamakan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat, memberdayakan masyarakat desa melalui jalur pendidikan nonformal sehingga mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan dan sikap mental positip untuk melaksanakan pembangunan, dan melaksanakan pembangunan SDM yang berkualitas melalui kegiatan pendidikan nonformal.
Pemberdayaan masyarakat akan efektif jika
pembangunan dilakukan bersama antara masyarakat dan aparat pemerintah sesuai dengan metode kerja doing with the people, dan membina suatu sistem kepemimpinan yang efektif di pedesaan. Di desa ada pemimpin formal dan informal.
Permasalahannya adalah
kemampuan untuk memerankan tugas-tugas kepemimpinan pedesaaan yang menjadi teladan sangat kurang, dan karenanya perlu dilakukan pembinaan. Pembinaan ini memerlukan kegiatan pendidikan formal dan nonformal guna meningkatkan kualitas kepemimpinan
pedesaan.
Margono
Slamet
(1978)
mengemukakan
ciri-ciri
kepemimpinan pedesaan yang baik, sebagai berikut: (1) Empati Pemimpin di pedesaan perlu memiliki kemampuan untuk menempatkan dirinya pada kedudukan orang lain. Memberikan pekerjaan atau tugas kepada seseorang harus sesuai dengan kemampuan orang itu. Pemimpin yang empati selalu bertindak sesuai dengan prinsip demokrasi, menghargai dan menerima pendapat orang lain, dapat berdiskusi atau berdialog bertitik tolak dari sudut pandang pendapat orang lain.
26
(2) Anggota Masyarakat Berasal dari masyarakat desa itu sendiri yang kualitas atau prestasinya di masa lalu dapat diterima sebagai pemimpin. (3) Penuh pertimbangan Pemimpin di pedesaan harus arif dan bijaksana, memperhatikan orang lain, dan harus mempertimbangkan semua akibat dari suatu kebijakan atau tindakan, termasuk melihat dan menerima kenyataan-kenyataan yang ada di dalam masyarakat. (4) Lincah Harus proaktif, penggembira, memiliki semangat yang tinggi, terbuka, suka bicara dengan siapa saja untuk membicarakan kepentingan masyarakat, serta dinamis. (5) Memiliki emosi yang stabil Memiliki pola perilaku baku, konsisten, dan pola pikirnya dapat diikuti orang lain. (6) Berkeinginan memimpin Dipilih dari tokoh masyarakat yang memiliki keinginan menjadi pemimpin. Walaupun banyak ide, pandai, tetapi tidak ada keinginan memimpin, tidak akan menjadi pemimpin yang baik. (7) Memiliki kompetensi menjadi pemimpin Kompetensi ini menyangkut kemampuan, kecakapan, serta keinginan untuk memimpin. Di desa banyak orang yang ambisius menjadi pemimpin, tetapi tidak mampu untuk memimpin. Orang seperti ini tidak akan menjadi pemimpin yang baik. (8) Pandai/cerdas
27
Artinya dia harus memiliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional yang baik. Dia harus mampu mengidentifikasi dan menganalisis masyarakat yang dipimpinnya dan sekaligus menentukan tujuan apa yang akan dicapai untuk kepentingan masyarakat desa. Dia juga harus memiliki pola pikir kosmopolitan broad-minded dan bukan pola pikir lokalit narrow-minded. Mampu menjadikan masalah yang rumit menjadi sederhana, dan tidak sebaliknya menjadikan masalah yang sederhana menjadi rumit. (9) Berkeyakinan serta konsisten Harus memiliki rasa percaya diri yang kuat serta konsisten di dalam mengambil keputusan. Tidak mudah terbawa arus masyarakat dan malah harus mampu mengarahkan arus keinginan masyarakat desa untuk melaksanakan pembangunan. (10) Memiliki rasa percaya terhadap diri sendiri. Harus memiliki self of confidence agar dapat menempatkan dirinya sebagai teladan dan panutan bagi masyarakat desa.
Rasa percaya diri diperlukan untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul karena adanya perbedaan persepsi terhadap pembangunan di dalam masyarakat. (11) Kemampuan membagi kepemimpinan Harus mampu membagi tugas kepemimpinan sesuai dengan porsi dan wewenang masing-masing. Mana tugas atau wewenang yang sudah dapat dikerjakan oleh orang lain atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat desa harus dilimpahkan. Idealnya, pimpinan desa bertindak sebagai fasilitator atau mitra kerja masyarakat, sedangkan yang melaksanakan pembangunan adalah masyarakat itu sendiri.
28
3.2. Melepas Ketergantungan Desa Dari Luar Untuk menelaah hubungan ekonomi antara suatu wilayah, kita bisa mengutip pendapat seorang pemikir strukturalis, Galtung (1971). Ia membedakan antara centre yang merupakan pusat pertumbuhan dengan daerah pinggiran (periphery) yang terkebelakang. Hal ini berlaku untuk hubungan keluar ataupun didalam suatu negara. Hubungan yang dihasilkan tersebut digambarkan telah menguntungkan masyarakat di pusat-pusat secara keseluruhan, dan merugikan mayoritas masyarakat di daerah pinggiran. Tanpa disadari, sejak lama kondisi pembangunan desa-kota kita menggambarkan konstruksi mengenai tata hubungan ekonomi domestik yang timpang. Desa telah menjadi komoditas empuk bagi penghisapan surplus ekonomi pusat-pusat pembangunan di kota. Prospek ekonomi rakyat pedesaan sangat dikhawatirkan akan bertambah suram pada masa yang akan datang, jika perilaku elit kekuasaan di seluruh tingkatan tidak mengalami perubahan pola pikir pemihakan terhadap rakyat di desa. Dalam tulisannya Arief (1995) mengemukakan bahwa urbanisasi penduduk dari sektor pertanian di pedesaan berlangsung akibat adanya investasi dari sektor manufaktur dan jasa yang selama ini masih terfokus di kota/pusat. Ketika kegiatan di kota memberikan tawaran imbalan tinggi kepada penduduk desa yang berpindah, sementara itulah sektor pertanian akan mengalami kelangkaan relatif pekerja. Seiring dengan itu pula, interaksi antar aktor-aktor ekonomi, antar maupun intra sektor, telah menambah keruh keadaan dengan adanya pengambilan keputusan politik yang tidak berpihak kepada rakyat di desa. Sehingga, sektor pertanian, dimana sebagian besar bangsa kita menggantungkan hidupnya, jauh dari perannya sebagai pondasi pembangunan yang sesungguhnya. Dilain sisi, sektor manufaktur semakin tidak memiliki linkage dengan sektor primer, yaitu pertanian. Ini bisa kita lihat dari besaran volume total impor produk
29
barang primer Indonesia yang semakin meningkat sejak awal 70-an sampai saat ini. Justru ketergantungan kita akan produk barang primer dari luar negri bertambah tinggi. Pergeseran sistem perdagangan internasional komoditas pertanian menuntut kemampuan sektor pertanian kita untuk mampu bersaing menghadapi kekuatan agribisnis multinasional yang selama ini telah menguasai pasar. Dimana dari hasil studi yang dilakukan oleh FAO tahun 1995 terungkap bahwa perdagangan hasil-hasil pertanian masih didominasi oleh negara-negara maju seperti USA, Uni Eropa, Australia dan Kanada dengan pangsa pasar sekitar 86% sedangkan total dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia baru berkontribusi 14%. Saat ini kita dihadapkan kenyataan tingkat pertumbuhan sektor pertanian yang sangat rendah dan meluasnya jumlah penduduk yang menggantungkan hidup di sektor informal musiman, akhirnya menyebabkan efek kemiskinan sosial meluas. Situasi shared poverty atau involusi seperti yang digambarkan oleh Geertz (1983) yang terjadi sejak lama di pedesaan kita sekarang ini makin nyata. Bila kita tidak memiliki strategi yang jelas dalam pengembangan potensi pedesaaan jangka panjang, hal ini sangat membahayakan. Penerapan ideologi liberalisasi perdagangan internasional yang disertai liberarisasi arus investasi asing dalam kerangka WTO, APEC ataupun organisasi internasional lainnya dalam situasi likuiditas internasional Indonesia yang belum sehat seperti sekarang, dapat membawa pengaruh negatif dalam pengembangan industri lokal dan menambah beban ekonomi rakyat khususnya di desa. Kekuatan ekonomi domestik, secara substansial, akan tergeser keluar. Rakyat di desa dan Indonesia secara keseluruhan akan memasuki fase ketergantungan yang lebih dahsyat kepada orang luar, atau secara sistematis akan menjadi buruh di atas tanah sendiri.
30
3.3. Agroindustri Dalam Membangun Pedesaan Integrasi antara konsep agroindustri dan pembangunan desa menjadi penting keterkaitannya dalam penyediaan dan penyaluran sarana produksi, penyediaan dana dan investasi, teknologi, serta dukungan sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif. Pengembangan agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan tingkat ekonomi, juga sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan
petani.
Wibowo
(1997)
mengemukakan
perlunya
pengembangan
agroindustri di pedesaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar diantaranya: (1) memacu keunggulan kompetitif produk/komoditi serta komparatif setiap wilayah, (2) memacu peningkatan kemampuan suberdaya manusia dan menumbuhkan agroindustri yang sesuai dan mampu dilakukan di wilayah yang dikembangkan, (3) memperluas wilayah sentra-sentra agribisnis komoditas unggulan yang nantinya akan berfungsi sebagai penyandang bahan baku yang berkelanjutan, (4) memacu pertumbuhan agribisnis
wilayah
dengan
menghadirkan
subsistem-subsistem
agribisnis,
(5)
menghadirkan berbagai sarana pendukung berkembangnya industri pedesaan. Untuk mengaktualisasikan secara optimal strategi tersebut di atas, perumusan perencanaan pembangunan ekonomi pedesaan, perlu disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna. Sehingga alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas dapat menghasilkan output yang optimal, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap pembangunan wilayah. Pengalaman yang sangat berharga bagi kita selama ini menjelaskan bahwa program pembangunan desa kurang terkoodinasi dalam suatu sistem yang baik dalam konteks sumberdaya maupun secara fungsional seringkali kurang menjamin dalam tiga hal endurance (daya tahan), integrity (keutuhan) dan continuity (kesinambungan).
31
Pembangunan ekonomi pedesaan haruslah sinergi dari pembangunan wilayah pedesaaan dimana memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan poin tersebut, dapat dipaparkan bahwa industrialisasi pertanian seharusnya membawa cakrawala baru dalam pembangunan pedesaan. Meningkatkan produktivitas pertanian harus diikuti oleh peningkatan investasi dalam pertanian modern beserta industri pengolahan dan sektor jasa lainnya di desa. Pengembangan kawasan potensial dengan basis pedesaan sebagai pusat pertumbuhan akan mentransformasikan pedesaan menjadi kota-kota pertanian (agropolitan). Perkotaan pertanian ini diharapkan dapat mengimbangi interaksi antar wilayah secara sehat yang dapat menimbulkan aspek positif lainnya yaitu mengurangi arus urbanisasi penduduk. Di samping nilai tambah produksi pedesaan akan meningkat, industrialisasi juga akan mencegah berkembangnya pengangguran terdidik di desa, dan mendorong mereka untuk tetap bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya, yang juga sebagai pusat-pusat pertumbuhan. Apa yang dapat dijelaskan mengenai kecenderungan pembangunan ekonomi di desa sejauh ini? Strategi pembangunan yang ditandai, sentralisasi, birokratisasi dan eksploitasi yang diterapkan ke desa tersebut menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil dengan beberapa ciri negatifnya (Anne Booth, 1990). Pertama, sikap dasar pengusaha dalam perusahaan kecil dan menengah ditandai oleh pendekatan otokratik. Hal ini dapat dilihat dari pimpinan perusahaan yang mempunyai kebutuhan sangat rendah akan informasi dari orang lain, mutu kepemimpinan dan inisiatif dari rekan kerja, dan memberikan ruang partisipasi bagi rekan kerja dalam pengambilan keputusan. Ini merupakan bentuk dari sikap paternalistik yang masih sangat menonjol, dan bahkan dilanggengkan.
32
Kedua, kurangnya ketrampilan dasar yang diperlukan untuk mengelola suatu usaha agar berhasil. Dalam industri kecil, dapat dikatakan terdapat kekurangan “knowhow” usaha. Kekurangan ini di semua bidang dunia usaha, tetapi bukan pengetahuan yang baik mengenai produk, atau metode pembuatannya karena kedua hal inilah sebenarnya yang mendorong pengusaha untuk berdiri sendiri. Ketiadaan atau kekurangan pengetahuan ini dapat dilihat di bidang-bidang seperti tata buku, aspek keuangan, aspek pemasaran, aspek distribusi, pengelolaan sumber daya, dan sebagainya. Lebih lanjut hal ini akan membuat pihak investor atau bank tidak bersedia menyediakan kredit. Artinya pengusaha kecil akan tetap kesulitan dalam usahanya meningkatkan modal untuk perluasan dan pembesaran modal dan produksi Ketiga, keengganan pengusaha kecil untuk mencari informasi tentang lembagalembaga yang dapat membantunya. Inilah penyebab mengapa kunjungan-kunjungan tidak dilakukan pada lembaga-lembaga keuangan dan juga tidak ada usaha mencari informasi mengenai lembaga-lembaga itu. Juga keengganan pengusaha-pengusaha kecil menjadi anggota atau himpunan produsen dan perserikatan-perserikatan bebas lainnya dalam ekonomi, atau sekedar meminta nasehat kepada mereka. Bahkan juga untuk mengikuti pelatihan-pelatihan baik niaga maupun yang teknis. Ciri-ciri industri kecil di Indonesia yang seperti ini hampir merata ada di seluruh desadesa yang ada. Walaupun struktur industri di Indonesia mempunyai perbedaanperbedaan antar daerah atau provinsi. Misalnya di Jawa Tengah, juga di daerah Yogyakarta, jumlah kerajinan rumah tangga terhadap jumlah penduduk relatif sangat besar. Sedangkan di Jawa Barat dan Jawa Timur menunjukkan angka yang jauh lebih rendah.
33
3.4. Pembangunan Desa Yang Berkelanjutan Dalam situs Walhi tentang pembangunan berkelanjutan, dipaparkan bahwa bahwa pembangunan yang berkelanjutan dapat diartikan secara luas sebagai kegiatankegiatan di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa sekarang tanpa membahayakan daya dukung sumberdaya bagi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana. Arus globalisasi yang semakin kuat perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa mekanisme pasar tidak selalu mampu memecahkan masalah ketimpangan sumberdaya. Kebijakan pembangunan harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan aset-aset di wilayah pedesaan. Penataan kembali tersebut lebih
berupa
integrasi
lingkungan/ekosistem.
kepada
Walaupun
pemanfaatan wawasan
ganda,
agroekosistem
yaitu
ekonomi
merupakan
dan
sesuatu
pengelolaan yang kompleks dan rumit, akan tetapi keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap kemandirian teknis. Wibowo (1997) mengungkapkan empat aspek umum ciri-ciri spesifik terpenting mengenai konsep agroekosistem. Empat aspek umum tersebut adalah: kemerataan (equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan produktivitas (productivity). Secara sederhana, equitability merupakan penilaian tentang sejauh mana
34
hasil
suatu
lingkungan
sumberdaya
didistribusikan
diantara
masyarakatnya.
Sustainability dapat diberi pengertian sebagai kemampuan sistem sumberdaya mempertahankan produktivitasnya, walaupun menghadapi berbagai kendala. Stability merupakan ukuran tentang sejauh mana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh fluktuasi faktor lingkungan. Productivity adalah ukuran sumberdaya terhadap hasil fisik atau ekonominya. Dimasa yang akan datang, dalam konteks pembangunan pedesaan yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya di desa haruslah dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan memperbaiki kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus diberdayakan, serta menerapkan model pemanfaatan sumberdaya yang efisien.
3.5. Industrialisasi Desa-Democratic Governance Terlihat jelas bahwa Indonesia saat ini sedang dalam tahap awal dari proses industrialisasi. Sehingga tidak sepenuhnya ada struktur industri yang jelas. Dampak yang lain adalah terjadinya luapan tenaga kerja yang membutuhkan penampung, dalam hal ini industri kecil mempunyai kemampuan akan hal tersebut. Desa yang secara sumber daya, manusia dan alam tersedot secara luar biasa oleh pola pembangunan tersebut. Dampaknya bagi desa tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik, sosial dan budaya. Lebih jauh lagi adalah tata kelola pemerintahan dan kelembagaan di desa. Sehingga kajian tentang industrialisasi desa sangat erat terkait dengan proses demokratisasi di desa, apakah akan mengarah pada sisi negatif atau sisi positif.
35
Pertama, penguatan transformasi politik dalam bentuk demokrasi dan otonomi desa tampaknya mengalami keterbatasan dan kesulitan jika tidak ditopang oleh basis ekonomi desa yang kuat. Jika demokrasi dan otonomi desa tidak mampu menjawab tuntutan kesejahteraan sosial-ekonomi maupun pengurangan kemiskinan, maka program demokratisasi dan desentralisasi secara lambat-laun akan mengalami delegitimasi dan distrust di hadapan rakyat desa, dan dalam jangka panjang akan semakin mempersulit kedua agenda transformasi politik itu. Karena itu diyakini bahwa industrialisasi desa merupakan alternatif untuk menjawab ketegangan antara desentralisasi-demokratisasi dengan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa. Industrialisasi desa merupakan alternatif untuk memperkuat program APBDes yang baik (transparan, akuntabel, responsif dan partisipatif) maupun Alokasi Dana Desa (ADD), memperlancar demokrasi dan otonomi desa, memperkuat basis ekonomi bagi otonomi desa, mengurangi kemiskinan, menekan laju urbanisasi, serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa. Kedua, keberadaan desa hampir tidak lepas dari kebijakan pemerintah maupun kaitan (linkage) ekonomi antara desa dan kota. Program pembaharuan desa, termasuk desentralisasi dan demokratisasi desa, hampir tidak pernah menyentuh isu kaitan desakota itu. Sejarah telah membuktikan bahwa pembangunan ekonomi, termasuk industrialisasi desa, selalu bias kota, yang tidak berpihak pada desa. Meski kapitalisasi dan industrialisasi masuk ke wilayah desa, tetapi hanya menjadikan desa sebagai obyek eksploitasi yang hasilnya dibawa dan dinikmati oleh kota. Desa menjadi tempat produksi, sementara kota menjadi tempat perdagangan, distribusi dan konsumsi. Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekadar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari
36
arus komoditas primer dari desa. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah. Ketiga, industrialisasi desa tentu bukan fenomena baru. Sebagaimana sudah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, dan akan diperkuat dalam argumen di bawah, tata kelola industrialisasi desa telah berjalan lama tanpa sentuhan governance reform, melalui demokratisasi (partisipasi masyarakat) dan desentralisasi (kewenangan desa). Keputusan untuk membuka hadirnya investasi (industrialisasi) ke desa merupakan kewenangan pemerintah supradesa, sementara desa hanya menjadi wilayah (lokasi) proyek industrialisasi. Desa secara kelembagaan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam proses awal masuknya investasi ke desa, dan masyarakat tidak memperoleh ruang partisipasi untuk mengontrol proses ekonomi-politik yang sangat elitis itu. Karena tidak adanya governance reform dalam tata kelola industrialisasi desa, maka yang terjadi kemudian adalah bahwa industrialisasi tidak menguntungkan desa, bahkan malah menimbulkan kerugian besar bagi desa, meminggirkan dan memiskinkan masyarakat desa, dan tidak jarang memunculkan konflik antara masyarakat setempat dengan perusahaan (industri). Dalam kaitan peta problem dan kecenderungan perubahan yang tengah terjadi itulah, pergerakan industrialisasi desa tentu perlu dipahami sebagai tantangan mendasar yang perlu dijawab secara antisipatif-kritis saat ini dan di masa-masa mendatang. Memadukan industrialisasi desa, kesejahteraan warga dan democratic governance
37
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan Memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi haruslah menjadi paradigma baru dalam program pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Perubahan kondisi internal dan ekternal yang terjadi menuntut kebijakan yang tepat dan matang dari para pembuat kebijakan dalam upaya pengembangkan potensi wilayah pedesaan. Sudah saatnya menjadikan desa sebagai pusat-pusat pembangunan dan menjadikan daerah ini sebagai motor utama penggerak roda perekonomian melalui sektor pertanian. Pembangunan
daerah
pedesaan
yang
berkelanjutan
diharapkan
dapat
menyediakan lebih banyak kesempatan kerja dan meningkatkan penghasilan. Hal ini akan mendorong para pekerja di pedesaan untuk tetap tinggal dan bekerja di desa mereka. Hal ini dalam jangka panjang akan lebih menguntungkan perekonomian perkotaan dan pedesaan. Pembangunan
desa
adalah
suatu
proses
pendidikan
nonformal
yang
dilaksanakan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang terorganisasi, terencana, berkesinambungan, dan bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Melalui pembangunan desa, diharapkan tumbuh dan berkembang potensi individu atau kelompok untuk memobilisasikan sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya -- real needs, felt-needs, dan expected needs -- serta untuk memecahkan permasalahannya.
38
Pengembangan agroindustri sebagai pilihan model modernisasi pedesaan haruslah dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Untuk itu perumusan perencanaan pembangunan pertanian, perlu disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna. Sehingga alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas, dapat menghasilkan output yang optimal, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Agar model pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dapat terwujud diperlukan pedoman pengelolaan sumberdaya melalui pemahaman wawasan agroekosistem secara bijak, yaitu pemanfaatan asset-aset untuk kegiatan ekonomi tanpa mengesampingkan aspek-aspek pelestarian lingkungan. Pengalaman menunjukkan bahwa kekurangberhasilan program pembangunan masyarakat desa seringkali disebabkan oleh banyak hal, yang antara lain sebagai berikut. (a) Pendekatan kegiatan pembangunan masyarakat seringkali dilaksanakan melalui top down intervention dan yang sifatnya sangat sentralistik, mengabaikan bottom-up intervention. (b) Pembangunan masyarakat seringkali dilaksanakan dengan pendekatan proyek . Kelemahan pendekatan ini adalah: pertama, kurang memperhatikan kegiatan tindak lanjut pasca proyek; kedua, lebih berorientasi pada kepuasan pelaksana, dan
bukan
kepada
manfaatnya
bagi
masyarakat;
dan
ketiga,
lebih
mengutamakan target fisik jangka pendek, dibandingkan dengan manfaat dan dampaknya terhadap kemandirian masyarakat untuk pembangunan yang berkelanjutan (sustainable self propelling development ). (c)
Adanya asumsi-asumsi yang salah terhadap kelompok sasaran, seperti :
39
- Anggapan bahwa masyarakat itu bodoh, tidak mau maju, dan miskin - Anggapan bahwa yang baru selalu lebih baik dan cukup dengan peniruan model yang ada dan telah berhasil. (d) Terlalu menggunakan parameter-parameter ekonomi dan kurang memanfaatkan ukuran-ukuran nonekonomi. (e)
Perangkap kecongkakan intelectual (intelectual pride), yang tercermin pada: pertama, ketertutupan kegiatan untuk mengaitkan dan melibatkan pihak lain yang sebenarnya memiliki
tanggung jawab dan kepentingan yang sama
terhadap pembangunan masyarakat; dan kedua, kealpaan tentang kaitan kegiatan sistem pembangunan masyarakat dalam arti luas.
4.2. Saran Karena orang miskin di pedesaan menjadi semakin tergantung pada kegiatan non-pertanian sebagai sumber penghasilan mereka, maka langkah-langkah untuk merangsang penghasilan pedesaan non-pertanian menjadi demikian penting dalam upaya pengentasan kemiskinan. Usaha pertanian sebagai koridor pembangunan pedesaan khususnya pengembangan usaha pertanian skala kecil/mikro dapat digunakan sebagai wahana untuk meningkatkan penghasilan para petani. Pengembangan prasarana pedesaan merupakan instrumen untuk memfasilitasi dan merespon tantangan pembangunan. Melalui pembangunan prasarana pedesaan, kebutuhan dan kesempatan pengembangan ekonomi dan sosial dapat diwujudkan melalui potensi terbesarnya. Pendekatan kesempatan kerja dalam pengembangan prasarana pedesaan merupakan strategi penting untuk membantu kaum miskin.
40
Memperkuat kemampuan pemerintah setempat berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan prasarana pedesaan dengan menggunakan pendekatan prasarana pedesaan yang berkelanjutan untuk pembangnan daerah yang reguler dan kritis. Indonesia sebagai negara kepulauan di mana mayoritas penduduk berdomisili di desa perlu merumuskan paradigma baru pembangunan dengan mengutamakan pembangunan industri pedesaan yang mampu mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan pada masyarakat desa. Untuk itu, peningkatan kualitas SDM melalui jalur pendidikan nonformal perlu mendapat prioritas agar masyarakat desa memiliki life skill yang mantap.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, Pembangunan Berkelanjutan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), http://www.walhi.or.id/kampanye/globalisasi/kttpemblan/ind_pf_rio+10_/). 2. Arief, S., 1995, Neo-Kolonialisme, Makalah pada Seminar Ekonomi Rakyat yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa, di Jakarta, 3 Agustus 1995. 3. A.S. Horby et al. 1963. Advanced Learner,s Dictionary of Current English. London: Oxford University. 4. Budiusman, 2006, Industrialisasi Desa, Membangun Ekonomi Bagi Otonomi, Tangerang. 5. Dunham, Arthur, 1958. Community Welfare Organization, Princples and Practice. New York : Thomas Y. Crowel Company. 6. Dorodjatun Kuncoro-Jakti, 1994. Kemiskinan Di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 7. Galtung, J., 1971, A Structural Theory of Imperialism, Journal of Peace Research 8: 81-117. 8. Geertz, C., 1983, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, terjemahan dari: Agriculture Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1963. 9. John M. Echols Dan Hassan Shadily, 1990. Kamus Indonesia Inggris, Jakarta: Penerbit Gramedia. 10. Kuntoro Boga Andri, 2006, Perpektif Pembangunan Wilayah Pedesaan, Inovasi Online, Edisi Vo.6/XVIII/Maret 2006, PPI Jepang.
42
11. Mangatas Tampubolon, Problematik dan Prospek Pembangunan masyarakat Desa Ditinjau dari Segi Pendidikan Non formal. 12. Margono Slamet, 1978. Kumpulan Bacaan Penyuluhan Pertanian (Edisi - Ketiga). Bogor: IPB. 13. Wibowo, R., 1997, Strategi Industrialisasi Pertanian dan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan, Makalah disampaikan pada pelatihan pengkajian sistem usahatani spesifik lokasi dengan pendekatan teknologi terapan adaptif, BPPFP Ciawi-Bogor, 14 Maret -12 April 1997.
43