Sumber: Jurnal Pembangunan No. 4/2003
DUA WAJAH PEMBANGUNAN: EKONOMI PEDESAAN DALAM KETAHANAN NASIONAL Nurimansyah Hasibuan (Universitas Sriwijaya) Pendahuluan Wawasan-pembangunan, arah dan pendalaman pembangunan pedesaan menurut GBHN 1983 dan 1993 hampir tidak pernah berubah. Aspek pembangunan pedesaan dan perkotaan dimanteli dengan pembangunan daerah. Dalam GBHN 1983, terlihat pengulangan kembali harapanharapan dalam peningkatan sumberdaya manusia, peningkatan swadaya dan prakarsa masyarakat pedesaan, peningkatan kemampuan berproduksi, mengolah serta memasarkan hasil. Hanya dalam GBHN 1993, lebih ditekankan pada peranan kelembagaan di desa, seperti koperasi dan lembaga keuangan untuk mendukung peranan pedesaan dalam pembangunan nasional. Pengertian kelembagaan seyogyanya tidak terbatas pada lembaga yang bersifat fisik, tetapi juga nonfisik, seperti, nilai-nilai adat dan budaya yang masih dapat dilestarikan dan dikembangkan dalam mendukung kemajuan. Pernyataan GBHN masih bersifat umum, dan perlu penjabaran lebih lanjut terutama menyangkut konsep dan metodologi pembangunan. Boleh jadi, jika dua atau tiga orang menafsirkannya, tidak mustahil akan diperoleh dua atau tiga tafsiran, baik dalam bentuk rencana, pelaksanaan maupun evaluasi. Oleh karena itu, yang tiga hal pokok tadi (perencanaan. pelaksanaan dan evaluasi) sangat tergantung kepada gaya kepemimpinan, baik nasional, regional, maupun kepala
desa. Perubahan-perubahan gaya kepemimpinan inilah tampaknya diharapkan berubah secara berarti untuk menghadapi masalah-masalah pembangunan bangsa dalam Pejangka II mendatang. Gaya itu tampaknya harus berubah baik karena pengaruh ekstemal maupun intemal. Gaya itu pun akan mempunyai pengaruh yang berarti pula terhadap segmen-segmen dan prioritas pembangunan, baik nasional maupun regional. Apalagi jika dikaitkan dengan konsep Wawasan Nusantara yang semakin terbuka dalam gelombang globalisasi. Hal itu pun diharapkan akan lebih berarti pula mempengaruhi "dua wajah" pembangunan pada dua kawasan yang tampak tidak seimbang secara sempurna. Kedua wajah itu pun tidak akan pemah sama, tetapi perlu seimbang, untuk tidak melahirkan hambatan, ancaman, dan gangguan. Kenyataan pada akhir-akhir ini, setelah Pakto 1988, dispraritas kinerja pembangunan ekonomi pada wilayah perkotaan dan pedesaan cenderung semakin tinggi. Pengertian dua wajah itu berkait dengan dualisme wilayah, desa dan kota. Kalau dirinci, dualisme itu menyebar ke dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial-budaya, politik, atau juga teknologi. Membicarakan aspek-aspek itu paling tidak untuk beberapa aspek, akan mengenang satu nama, yakni Boeke. Boeke waktu itu lebih menekankan segi struktur dan
1
pelilaku sosial masyarakat, menghambat motivasi ekonomi.
yang
Selanjutnya, jika keadaan itu dikaitkan dengan gatra-gatra Ketahanan Nasional, kedelapan gatra itu dapat muncul dalam struktur, perilaku, dan kinerja yang berbeda. Walaupun kedua wilayah (perkotaan dan pedesaan) itu merupakan satu kesatuan geografis dan demografis, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan politik dan hankam dalam lingkungan Wawasan Nusantara, tetapi di antara kedua wilayah itu terdapat jurang, walaupun, dalam jangka pendek tampaknya masih merupakan masalah yang dapat dikendalikan. Tapi, jangka panjang, kalau jurang itu tidak diperkecil, dapat menjadi gangguan dan ancaman yang lebih serius, tidak saja dalam stabilitas ekonomi, tetapi juga ketahanan nasional. Apakah ini warisan sejarah, atau bisakah kita duga hal itu sebagai peninggalan kolonial? Atau paling tidak merupakan "structural-lagged" masa lalu yang masih mempengaruhi pengambilan keputusan pembangunan? Atau karena kebijakan yang secara tidak sengaja bersifat diskriminatif? Ataukah karena dampak sampingan dari suatu strategi pembangunan yang telah ditetapkan? Apapun jawabannya, tanggung jawab itu terletak pada kita semua. Disparitas yang semakin buruk dan berkepanjangan akan dapat menimbulkan gangguan dan ancaman terhadap keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Apapun sebabnya, generasi sekarang dan mendatang mempunyai kewajiban penuh untuk mengatasinya. Ini tampaknya, hanyalah sekelumit persoalan yang sudah sering diungkapkan di berbagai media-massa, seminar, lokakarya dan rapat-rapat kerja. Dalam kesempatan ini saya ingin mengungkapkannya kembali. Jadi, tidak ada yang baru dalam makalah ini. Tetapi
sepeni pepatah orang dulu mengatakan: "Hafal kaji karena diulang, pasal jalan karena ditempuh". Oleh karena itu, dalam rnakalah ini saya ingin melihat bahwa pembangunan ekonomi pedesaan mempunyai kaitan dengan ketahanan nasional. Pertama, ingin menyampaikan tentang adanya sikap implisit, dan juga dapat menjadi kelemahan implementasi idiologis, dan membawa sakwasangka, yang menjadi kelemahan yang dialami pembangunan desa. Kedua, menyampaikan peranan desa dalam gatra kandungan gatra alam, dan gatra sosial. walaupun tidak lengkap. Ketiga, adanya gangguan dan ancaman yang potensial, yang tercermin dalam berbagai bentuk disparitas kinerja pembangunan wilayah pedesaan dan perkotaan. Terakhir sebuah buhul simpul sekedar sumbang-saran.
Implementasi Sakwasangka
Idiologi
dan
Zaman Fisiokrat yang merindukan bumi adalah ibu sumber produktif, dimana sektor pertanian dipandang sebagai satusatunya sektor yang produktif, sedangkan sektor-sektor ekonomi lainnya adalah steril. Tetapi, zaman itu telah lama lewat, dan yang terjadi dewasa ini adalah semua sektor ekonomi adalah produktif. Sedangkan sektor pertanian dimana sebagian besar penduduk dan sumberdaya alam berada, sering dipandang sebagai wilayah yang inferior. Namun demikian, di Indonesia, pembangunan sektor pertanian identik dengan pembangunan pedesaan. Dan umumnya, kawasan pedesaan relatif terbelakang. Globalisasi telah merambah dengan cepatnya wilayah pedesaan melalui sistem komunikasi. Proyek-proyek pembangunan telah memperluas wawasan pembangunan pedesaan di satu pihak, tetapi dari aspek lain dalam kadar tenentu telah mulai menghancurkan nilai-nilai kebersamaan, 2
kekeluargaan, dan kesetiakawanan, karena perilaku individu pengelola pembangunan itu sendiri. Perjudian dan penjualan SDSB telah menghisap dana-dana yang tersedia di desa menuju dunia jasa modern di daerah perkotaan. Disamping itu, sistem rentenir jauh lebih pesat berkembang di wilayah yang relatif terbelakang bila dibandingkan dengan peranan lembagalembaga keuangan formal. Malahan berbagai perilaku yang diketegorikan modern telah merusak bagian-bagian kehidupan desa. Walaupun Revolusi Hijau telah berhasil secara makro, yakni meningkatkan produktivitas pangan, tetapi revolusi itu telah meninggalkan berbagai-kerawanan sosial, seperti kesenjangan dan semakin memperbesar sikap individualisme. Revolusi Hijau telah berhasil memperkaya kelompok tani besar, sementara petani kecil cenderung tersingkir dan keluar dari sektor pertanian, ia berusaha beralih ke luar pertanian, terutama menjadi migran ke lempat lain atau ke kota-kota terdekat, sehingga mempercepat arus urbanisasi. Arus urbanisasi makin cepat, yang didukung perbaikan pendidikan di pedesaan. Disamping, masalah masalah moralitas tergoncang tidak hanya di wilayah perkotaan, tetapi lebih jauh telah merasuk ke wilayah pedesaan. Memang konsep dan pendekatan pembangunan itu sudah jelas, tetapi sering kabur dalam menafsirkan, lalu terjadi deviasi dari rencana, sehingga memperlambat proses tercapainya tujuan ideal pembangunan. Demikian juga halnya dalam pembangunan ekonomi pedesaan, yakni terjadi perbedaan antara konsep dan tafsiran, terjadi perbedaan antar rencana dan aksi atau implementasi. Hal ini lazimnya terjadi karena ingin lebih praktis dan pragmatis, yang tercermin dalam kendala "biaya terbatas". Deviasi itu
kemungkinan akan makin besar dalam kondisi "informasi yang relatif tertutup". Sebagai gambaran tentang hal itu, secara singkat dikemukakan sekedar ilustrasi. Memang, ada ajaran yang agak idiologis tcntang kemungkinan akan mendorong atau menghambat pembangunan ekonomi desa. Ajaran klasik, misalnya, dimana dalam kondisi masyarakat yang feodalislik, kalau pembangunan pertanian dipercepat, ternyata yang mendapatkan hasil-hasilnya yang berlimpah adalah kaum bangsawan dan tuan-tuan tanah. Ini berarti pembangunan pertanian akan memperbesar jurang antara petani dan penyewa tanah dengan pemilik tanah. Oleh karena itu perlu secepatnya dikembangkan sektor-sektor di luar pertanian. Namun demikian, dengan lahirnya kaum kapitalis baru, kelompok ini melakukan eksploitasi ke sektor pertanian dan sektor-sektor primer lainnya. Sedangkan sektor-sektor yang dieksploitasi ini tidak atau kurang mendapat perlindungan. Oleh karena itu upaya peningkatan kesejahteraan penduduk pedesaan atau para petani semakin sulit. Kaum klasik baru, yang sebenamya telah dimulai dalam zaman Klasik, mengingatkan bahwa pembangunan pertanian sangat dibatasi dengan tahap decreasing-returs, sehingga perlu sektorsektor di luar pertanian yang mengalami increasing-return dikembangkan secepatnya Namun demikian, tercapainya tahap-tahap itu sangat tergantung pada teknologi. Kemudian ada lagi, karena orangorang komunis anti-feodalisme, anti tuan tanah, dan anti borjuasi maka setiap gagasan-gagasan membela petani dipojokkan: "Ini adalah orang kiri". Begitu pula, jika ada gagasan dan gerakan untuk membela yang kecil, maka timbul sakwasangka, gagasan itu membela kaum proletar, atau paling tidak "ada marhaenisme", hati-hati. Kita pernah 3
mengalami itu, malahan Undang-Undang Pokok Agraria 1960, sering dicap produk Komunis. Sehingga implementasinya lebih dari 30 tahun tetap terlantar. Namun demikian, tidak ada kemauan yang berwenang untuk mengubah atau memperbaharuinya. Sebaliknya, berbagai macam UU dari berbagai sektor modern di luar petanian harus segera diciptakan. Dengan adanya "perasaan yang demikian", maka puluhan tahun peluang-peluang kegiatan di pedesaan oleh petani kecil dan gurem terjepit. Harapan-harapan untuk kemandirian desa sebagai satuan ekonomi, sosial dan budaya semakin sulit terjangkau. Sikap "menunggu" proyek menjadi lebih dominan, sehingga menciptakan "budaya ketergantungan" pembangunan di pedesaan dan makin menguatnya sifat paternalistik yang didukung pula dengan sistem-sistem yang sentralistik. Selanjutnya, ada berbagai sebutan yang mewakili pihak yang memandang inferior terhadap suatu pedesaan. Dalam berbagai buku Teori Ekonomi Pembangunan, desa itu digambarkan secara umum adalah inferior terhadap kota. Gambaran itu walaupun sering tidak benar, tetapi masih diulang-ulang, sehingga citranya seolah-olah memang serba rapuh dan rendah. Seperti halnya penduduk desa itu malas, kurang produktif, nilai sosial mereka berkedudukan lebih tinggi daripada nilai-nilai ekonomi; tradisional, irrasional, tidak melihat jauh ke depan, beranak relatif banyak, motivasi kerja lemah, dan sebagainya. Ini menyebabkan mereka jatuh miskin. Masih banyak sebutan-sebutan lain yang diungkapkan. Itu semua, menggambarkan sikap angkuh dan sombong. Timbul pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak menggambarkan berbagai tuduhan tadi. Misalnya, ekonomi siapakah yang mendukung perang gerilya kemadekaan itu? Bukankah tentara rakyat waktu itu sebagian besar berasal dan
dilahirkan dari wilayah pedesaan? Kalau jawabannya cenderung, Ya, apakah tidak ada sesuatu yang perlu diluruskan dalam berbagai pandangan itu? Atau secara makro adalah strategi, pendekatan dan kebijakan pembangunan Indonesia itu perlu mendapat penyempurnaan atau revisi?
Ketergantungan dan Partisipasi Ketergantungan anggaran pembangunan desa sangat ditentukan oleh pihak atas. Ini terlihat dengan adanya desa dimasukkan ke dalam kesatuan negara. Jadi, intervensi begitu kuat, sehingga ketergantungan pada pihak atas cenderung membesar. Sulit untuk membicarakan dan menemukan bentuk-bentuk keputusan pembangunan tingkat desa, tanpa intervensi dari atas. Di luar Jawa, misalnya tampak lembaga-lembaga adat hampir seluruhnya dibekukan. Lahirnya UU No. 5 tahun 1979 tentang perangkat pemerintahan desa tampaknya sangat baik, tapi tidak didukung oleh sumberdaya manusianya. Kelembagaan desa secara formal amat lengkap, ada pemerintahan desa, LKMD, PKK, Karang Taruna, dan rembug desa. Tiap desa disediakan Koperasi, Sekolah Dasar, Pasar, Mesjid, kelompok tani, kelompok arisan, pramuka, Puskesmas, pelayanan KB, dan sebagainya. Seorang ibu rumah tangga bebas dengan leluasa menjadi anggota organisasi-organisasi sosial itu. Tidak ada tuduhan anggota rangkap, malahan dianjurkan. Ini pun termasuk jenis partisipasi. Seorang Kades dipilih langsung oleh warga desa yang berhak memilih. Ini merupakan bentuk partisipasi politik lokal. Namun demikian, masuknya budaya komersialisasi menambah "budaya bisnis" dalam pemilihan. Tidak mengherankan, kalau seorang calon Kades mencari atau 4
mempunyai sponsor pihak-pihak yang mempunyai dana. Pemilih itu dapat dibeli suaranya (Rahardjo, 1991). Pada banyak desa, persaingan dalam pemilihan Kades (pilkades) menjadi tidak wajar. Disamping itu, pengaruh budaya lama masih kuat pula, para pemilih lazimnya masih berkaitan darah yang mencerminkan "nepotisme" baru. Paham nepotisme menjadi pedoman yang implisit dalam menentukan personalia perangkat kelembagaan di desa. Hal ini perlu dalam upaya menjamin kestabilan pemerintah desa (dapat juga dibaca menjamin stabilitas kepentingan pribadi). Kades juga menjadi Ketua LKMD, sedangkan isteri Kades menjadi ketua PKK, disamping anggota LKMD. Kalau ditelusuri, sulit mendapatkan anggota perangkat lembaga-lembaga desa yang bukan kerabat yang masih berhubungan daerah atau teman-teman dekat, yang kira-kira tidak berani/tidak mau melakukan kritik. Pola ini tampaknya tidaklah menjadi hal-hal yang merugikan desa, jika mereka yang lebih pantas dari segi kemampuan dan ketrampilan tidak tersingkir. Sering terlihat bahwa Kades tidak begitu mempunyai tanggung jawab kepada rakyatnya. Oleh karena Kades lebih cenderung memupuk loyalitasnya kepada Camat dan Bupati. Bupatilah yang mengeluarkan Surat Keputusan sahnya seorang Kades. Kades tahu benar, bahwa kalau tidak demikian, penggantinya dapat direkayasa dari Atas. Begitu pula dia tahu, proyek selalu datang dari Atas. Dalam pelaksanaan proyek pun lebih penting pula petunjuk-petunjuk dari Atas. Rakyat juga tahu bahwa uang proyek yang sampai ke dalam tahap realisasi proyek, sudah disunat dulu. Oleh karena mereka merupakan warga desa yang masih dekat, maka mereka pun bertambah pengetahuannya tentang budaya "rente proyek".
Lahirnya, Undang-Undang tentang pemerintahan Desa pada tahap awal tampaknya diharapkan semakin tinggi kadar mengurus rumah tangga desa sendiri, tetapi dalam prakteknya dominasi Atas tetap begitu kuat, sehingga banyak hal terjadi kekakuan-kekakuan, seperti melemahnya partisipasi, melemahnya demokrasi desa, dan berkurangnya inisiatif karena sering dirundung "takut tidak sesuai dengan petunjuk". Walaupun ada proyek-proyek dengan berbagai macam bentuk proyek Inpres dan berbagai proyek sektoral lainnya, tetapi bila diteliti lebih jauh, keputusan-keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, ternyata partisipasi masyarakat desa relatif sangat lemah. Pengertian partisipasi, seyogyanya terpadu pula, tetapi dalam implementasi cenderung pada partisipasi sebagian pada tahap pelaksanaan. Dalam pelaksanaan pun sering pula terjadi kolusi antara KadesAtasan-LKMD. Atasan yang seyogyanya lebih intensif dalam pengendalian, rnalahan di sana-sini mempengaruhi pula mulai dari perencanaan sampai ke tahap pelaksanaan. Tampak dengan jelas fungsi Kades sering terlibat banyak dalam mengerahkan sumberdaya manusia dan alam, seperti dalam kerja borongan, menyiapkan bahan bangunan, mengumpulkan warga desa untuk diceramahi karena atasan yang sektoral makin banyak masuk desa. Ikatan yang paling sulit dilepaskan seorang Kades adalah banyaknya "petunjuk", tetapi sangat mengikat. Tampak dengan jelas ada hambatan-hambatan psikologis-ideologis yang tenanam dalam masa-masa tertentu untuk mengembangkan pedesaan.
Disparitas Desa-Kota Jika memperhatikan kocenderungan perkembangan perluasan pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi wilayah perkotaan akan terus berkembang, baik 5
secara struktur geografis, demografis maupun fungsi-fungsi ekonomi dan sosialbudaya begitu juga hankam. Perubahanperubahan itu lebih terarah, jika didukung oleh perencanaan yang bersifat indikatif. Namun demikian, khusus untuk pembangunan pedesaan, kurang mantap dan kurang jelas digariskan dalam GarisGaris Besar Haluan Negara. Tetapi, ini pun dapat dibuat alasan untuk fleksibilitas. Pembangunan pedesaan tampaknya terselip dalam mantel pembangunan daerah. Sebagai sub-pembangunan daerah, dapat berakibat prioritas dapat saja menjadi bias. Sifat bias itu, lazimnya, lebih cenderung ke wilayah perkotaan. Ini mudah dipahami, karena di wilayah perkotaan tersedia kecukupan fasilitas dan di sini pula para pengambil keputusan berdomisili. Selama hampir 25 tahun terakhir ini, angka-angka statistik membuktikan kecenderungan-kecenderungan itu. Jika strategi dan kebijakan pembangunan Indonesia tidak lebih memprioritaskan pembangunan wilayah pedesaan, maka kecenderungan bias itu akan semakin besar. Hal ini akan membawa kondisi disparitas yang semakin melebar dan lebih dalam. Belajar dari masa lalu, hampir dalam semua kinerja pembangunan, kinerja desa berjalan relatif rendah atau terbelakang. Ukuran-ukuran sosialekonomi yang sering diajukan misalnya, harapan hidup, tingkat kematian, rasio dokter dengan jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan melek huruf, beban tanggungan dan sebagainya. Memang, kurang tepat membandingkan kinerja pembangunan Kota-Desa hanya dengan satu-dua indikator. Namun demikian pada tahap awal dan juga secara ekonomis, membandingkan peningkatan konsumsi penduduk desa kota masih merupakan salah satu ukuran yang relevan. Disparitas "kemakmuran" kota
dan
pertumbuhan desa dalam
periode 1987- 1990 semakin tinggi bila dibandingkan dengan periode 1980-1990 (Mubyarto, 1991). Secara nasional pertumbuhan kemakmuran kota dalam periode 1987- 1990 adalah sekitar 26%, sedangkan Desa tumbuh hanya sekitar 11,4%. Jadi, walaupun investsi ditingkatkan dua kali lipat di pedesaan untuk masa datang, sedangkan di wilayah perkotaan dianggap tetap, masih belum juga akan mencapai tingkat pertumbuhan yang sama. Ini pun dengan anggapan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga penduduk diperlukan sebagai proksi pendapatan. Apalagi adanya upaya menyamakan pendapatan kota-desa tentu sangatlah sulit. Tetapi jika dilihat dari konsep keseimbangan, maka banyak aspek-aspek lain yang perlu mendapat perhatian yang lebih diprioritaskan di masa datang, sehingga disparitas itu tidak makin membesar dan mendalam, tetapi lebih menuju ke arah konvergensi yang lebih wajar. Untuk menghadapkan persaingan kota desa terdapat resiko tinggi. Sebaliknya, disandingkan terlebih dulu, sehingga efek tetesan itu semakin besar, baik yang berasal dari kegiatan pembangunan swasta maupun pemerintah. Sensus penduduk 1990, memperlihatkan pula jurang tingkat pendidikan penduduk desa dan kota. Angkatan kerja yang tidak/belum sekolah dan yang belum/tidak tamat SD di wilayah kota hanya sekitar 44% dari jumlah angkatan kerja, sedangkan di pedesaan 65%. Jadi, jelaslah bahwa perangkat pemerintahan desa belum dapat memenuhi beban yang dipikul, sehingga kualitas pemerintahan yang partisipatif masih sulit untuk dilakukan. Profil kependudukan Indonesia (BPS, 1993) menyajikan perubahan dalam kemajuan variabel demografis selama 20 6
tahun terakhir. Angka kelahiran total per 1000 wanita menunjukkan penurunan yang sangat tajam, yakni 5.160 pada tahun 1968, telah berkurang menjadi 2.691, sedangkan di wilayah pedesaan penurunan itu agak lamban, yakni dari 5.745 menjadi 3.664. Selanjutnya, angka kematian bayi di wilayah perkotaan telah menurun, yakni dari 119 per seribu kelahiran pada tahun 1970, menjadi 53 pada tahun 1990. Pada wilayah pedesaan disamping jumlah kematian yang secara absolut tinggi, juga turunnya relatif lamban, yakni 123 menjadi 77 bayi. Hal yang sangat dikuatirkan adalah pemerintah jauh lebih maju dalam membantu pembangunan desa, tetapi swasta berperilaku lebih eksploitatif, atau pihak oknum perangkat pemerintah berkolusi dengan swasta. Hal ini merupakan hambatan besar dalam mencapai tujuan pembangunan pedesaan. Tidak disangsikan bahwa selama sekitar dua-setengah dekade terakhir ini, wilayah pedesaan mendapat perhatian pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya, irigasi, listrik dan komunikasi. Hal itu dibarengi penyediaan berbagai sarana produksi pertanian terutama tanaman pangan. Semua prasarana dan sarana itu disediakan dengan subsidi dan diperkenalkan pula teknologi pertanian (terutama pangan). Berbagai sistem paket seperti Bimas, Inmas, Supra Insus dan berbagai macam pola PIR untuk beberapa komoditas pertanian. Hal ini telah menunjukkan hasil-hasil yang luar biasa, seperti swasembada pangan peningkatan ekspor hasil pertanian, penyediaan bahanbahan agro-industri, dan peningkatan pengetahuan serta ketrampilan petani dalam penerapan teknologi pertanian. Namun demikian, dibalik berbagai sukses itu, muncul berbagai dampak yang masih memerlukan perhatian lebih serius. Seperti dampak-dampak ekonomi dan
sosial-budaya. Dampak-dampak itu tidak saja terbatas secara lokal, tetapi juga melebar secara regional. Adalah sulit untuk memandang wilayah pedesaan sebagai wilayah yang homogen. Padahal dipahami bahwa struktur dan potensi desa atau desa-desa dalam suatu wilayah dengan wilayah lain amat berbeda. Paling tidak ada wilayah pedesaan Jawa dan Luar lawa, atau desa-desa di IBT dan di IBB. Disamping ada desa-desa pada dataran rendah dan tinggi, desa-desa yang sering dikelompokkan pada wilayah pantai dan perbatasan. Namun demikian, ada juga desa yang relatif maju dan yang masih tertinggal. Desa-desa terakhir tadi sering dibicarakan dalam konteks desa miskin. Namun demikian, desa yang tidak miskin pun terdapat kelompok miskin. Kelompok terakhir ini diukur dengan indikator fisik. Tetapi, penduduk miskin sering juga diukur dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita, yang jumlah masih sekitar 27,2 juta lagi. Sekitar 66% kelompok miskin itu bermukim di wilayah pedesaan. Oleh karena penduduk itu (yang 66%) bermukim di wilayah pedesaan, maka dibuat ukuran ganda untuk orang-orang miskin di perkotaan dan yang di pedesaan. Orang-orang kota, pada tahun 1990 disediakan garis kemiskinan sekitar Rp 21.000, sedangkan mereka yang di desa dibuatkan garis kemiskinan sekitar Rp 13.000,-. Garis kemiskinan tersebut sangat kritis dan sensitif. Bila ditingkatkan saja beberapa ratus rupiah, akan menghasilkan angka-angka jumlah kemiskinan yang lebih tinggi. Disamping itu, ukuran ini pun sangat bersifat politis. Kebutuhan atau pengeluaran konsumsi rumah tangga itu masih terbatas, sehingga gambaran kesenjangan pembagian pengeluaran rumah tangga masih banyak belum diperhitungkan. Selain itu, kualitas barang7
barang dan jasa yang dikonsumsi penduduk kota dan desa dianggap tetap terwakili dalam harga. Dalam hal itu, daya beli penduduk pada kedua wilayah itu sulit untuk dibandingkan. Setiap ukuran akan selalu mempunyai kelemahan masing-masing. Tetapi yang jelas, pengeluaran itu belum dapat mewakili kebutuhan dasar yang lain seperti kebutuhan akan adanya kebebasan memilih dan juga bebas dari rasa takuk. Jika rasa takut itu relatif tinggi maka lazimnya diikuti dengan pengeluaran lebih tinggi untuk perlindungan atau berjagajaga. Di wilayah perkotaan, kesempatan untuk mempunyai kebebasan memilih relatif terbuka daripada di wilayah pedesaan. Hal ini pun mencerminkan kehidupan demokrasi, baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Secara ekonomis, dengan sadar kualitas hidup mereka di desa direndahkan, karena kebutuhan mereka sangat terbatas. Karena mereka kurang ke salon, hampir tidak pernah menonton ke bioskop, jarang bepergian jauh dari desa, sedangkan listrik semakin langka, sebagian wanitanya memakai pupur yang diolah dari tepung beras, minum air kali atau sumur bukan air dari PAM, minyak rambut sebagian dari minyak goreng, dan sebagainya. Oleh karena itu nilai rupiah kebutuhan konsumsi penduduk miskin relatif sangat rendah. Begitu pula untuk bahan bakar, mereka menggunakan kayu, walaupun berasal dari hutan, gratis, dianggap tidak mempunyai nilai rupiah. Walaupun dinilai dengan rupiah tentunya mereka rasakan jauh lebih mahal minyak tanah atau gas listrik, oleh karena harus mengorbankan sejumlah rupiah. Dengan belum adanya perkiraan pendapatan nasional desa dan kota yang terpisah, maka sulit untuk mengukur produktivitas penduduk pedesaan dan
perkotaan dalam menciptakan nilai tambah. Namun demikian, dengan mengambil sektor pertanian sebagai proksi, sebagai gambaran kegiatan utama di pedesaan, masih dapat mengemukakan wajah kesenjangan antara ekonomi perkotaan dan pedesaan. Disamping itu, ada beberapa ukuran sosial ekonomi yang juga dapat diajukan, seperti sebaran penduduk, kualitas/tingkat pendidikan, pengeluaran rumah tangga, distribusi kemiskinan, tingkat kematian, dan kebutuhan gizi. Semua indikator itu, membuktikan inferiotitas kondisi penduduk di wilayah pedesaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang sudah sering dipertanyakan. Misalnya, mengapa hal itu mesti terjadi? Jawabannya, mudah-mudah sulit. Kalau diikuti jawaban-jawaban tradisional, lebih sering dikemukakan aspek-aspek serba inferiomya berbagai gatra pembangunan khususnya pembangunan ekonomi di wilayah itu. Namun demikian, berbagai penjelasan itu mengalami kurang taat asas. Kadang-kadang terselip juga penjelasan idiologis yang diselubungi ketakutan untuk memaparkannya. Untuk menjelaskan lebih lanjut, di utarakan sebagian saja indikator sosial-ekonomi. Diperkirakan sampai dengan akhir Pembangunan Jangka Panjang Kedua (Pejangka II), jumlah penduduk Indonesia sebagian besar masih bermukim di wilayah pedesaan. Dewasa ini bagian penduduk Indonesia yang termasuk wilayah perkotaan adalah sekilar 30%. Beberapa daerah yang bagian penduduk kotanya di atas 30%, antara lain adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatra Utara, dan Kalimantan Timur. Namun demikian, walaupun semakin meluasnya wilayah perkotaan bukan berarti berkurangnya kerawanan sosial ekonomi. Kasus yang agak lain adalah bagian penduduk di perkotaan di propinsi Kalimantan Timur, yakni sekitar 49% 8
dewasa ini, yang sepuluh tahun yang silam telah mencapai 40%. Wilayah pedesaan yang luas tetapi sepi penduduk. Penduduk perkotaan sebagian besar berrnukim di sepanjang Pantai Timur dan sebagian besar pedesaan di sepanjang sungai dan di kawasan perbatasan. Penduduk DKI Jakarta telah lengkap 100% menjadi penduduk kota, walaupun masih digelari dengan "Big-village". Jika kondisi penduduk yang demikian dikaitkan dengan aspek ketahanan nasional, maka saya teringat dengan strategi penaklukkan suatu wilayah: "Jangan diserang pada lokasi yang dipertahankan dengan kuat". Kalau demikian, kerawanan itu semakin jelas, pada wilayah yang sangat luas, tetapi penduduknya begitu jarang. Apalagi pada wilayah-wilayah perbatasan. Karena itu pula relevansi program transmigrasi sangat tepat. Tetapi itupun belum memadai, karena transmigrasi yang direncanakan dan dibiayai dari APBN, bukan transmigrasi spontan, kemungkinan motivasinva relatif lemah. Kalau diperhatikan dari segi tenaga kerja, maka struktur ekonomi Indonesia masih cenderung bersifat agraris. Pada Sensus terakhir, tenaga kerja Indonesia sekitar 49% masih pada sektor pertanian, tetapi nilai tambah yang disumbangkannya pada produk nasional bruto hanya sekitar 22% (dengan migas), atau sekitar 26% (tanpa migas). Semakin jelas kesenjangan sektoral yang terjadi, yakni 49% pekerja dengan nilai tambah hanya 22%. Sebaliknya, secara kasar, 51% bagian penduduk memproduksi 78% kue nasional. Ini baru kesenjangan antara sektor pertanian dan sektor-sektor lain. Padahal pada sektor-sektor lain itu masih terdapat pula pekerja-pekerja "gurem", seperti buruh harian, pekerja keluarga, dan pekerja pada sektor informal.
Hal itu akan menimbulkan trade-off dengan hal-hal lain. Namun demikian, dewasa ini terjadi pula sumber-sumber pengangguran tertinggi di wilayah pedesaan. Kalau Revolusi Hijau telah berhasil mengantarkan Indonesia pada tahap Swasembada pangan, bebas dari impor beras pada tahun 1984, dewasa ini mulai mengimpor lagi, tetapi terjadi konsentrasi penguasaan lahan yang semakin tinggi. Perkiraan hasil sensus pertanian 1987 dan 1983 memperlihatkan bahwa penguasaan lahan di atas setengah ha telah meningkatkan dari sekitar 36% menjadi 66%. Tentunya dengan rasa berdebar kita menunggu hasil Sensus Pertanian 1993 ini. Ini berarti bahwa penguasaan harta produktif telah semakin langka bagi petani kecil dan dengan sendirinya meningkatkan jumlah buruh tani. Tingkat upah yang rendah di wilayah pedesaan, tanpa perlindungan dari pemerintah, telah mendorong lagi kecepatan urbanisasi. Telah banyak kebijakan dan program pembangunan Indonesia yang tercurah untuk kawasan pedesaan. Walaupun banyak program, namun bila dilihat dari jumlah dana baik dari APBN maupun dari kredit perbankan, ternyata jumlah dana itu jauh lebih kecil daripada berbagai kredit perbankan ke sektor-sektor perdagangan, industri dan perkotaan. Oleh karena itu timbul pula berbagai analisis struktural. Sektor pedesaan dengan kegiatan utamanya pertanian telah "diperas" untuk sektor kota. Dengan ciri-ciri yang dikemukakan di atas beserta analisis struktural tampaknya kurang konsisten, tetapi ada benarnya.
Penutup Seperti telah diutarakan tadi bahwa program-program pembangunan pedesaan selama 25 tahun terakhir terus berkembang, walaupun dalam anggaran 9
yang masih tetap terbatas. Hampir tiap Departemen mempunyai program untuk wilayah pedesaan, namun kondisinya, hampir dalam semua aspek pembangunan masih tertinggal dari kinerja pembangunan di wilayah perkotaan. Ada beberapa sebab yang tampaknya menjadi penghambat ke arah kemajuan: Pertama, kondisi geografis yang sedemikian luas, sehingga sulit dalam jangkauan operasional. Kedua, sebaran dan jumiah penduduk yang berkombinasi dengan kondisi pertama tadi. Ketiga, orientasi pembangunan ekonomi yang cenderung pada pertumbuhan ekonomi, sehingga prioritas terletak pada segi-segi yang mendukung efisiensi. Keempat, potensi desa belum dikelola secara optirnal, oleh karena kendala pertama, kedua dan ketiga tadi. Kelima, kondisi sosio-budaya yang masih membelenggu para perencana ekonomi, sebagai akibat adanya "structural-lagged" masa lalu. Keenam, belum jernihnya pandangan tentang desa, sehingga ada sikap pandangan yang serba inferior terhadap pedesaan dan serba superior terhadap perkotaan. Ketujuh, pembangunan pedesaan lebih cenderung pada pendekatan penyiapan prasarana dan sarana fisik daripada non fisik. Kedelapan, partisipasi masyarakat sulit berkembang karena sistim pemerintahan yang relatif serba sentralistik, baik pusat terhadap daerah, dan juga daerah terhadap desa. Kedelapan, faktor SDM yang sangat lambat berkembang kualitasnya, dan terjadi braindrain tenaga-tenaga yang relatif berkualitas, karena kesenjangan insentif. Kalau demikian, pembangunan pedesaan di masa datang memerlukan terobosan-terobosan. Pertama, mengubah pandangan bahwa (agak sedikit radikal) dengan mengutamakan yang di belakang, sehingga secara berangsur pepatah "adhoh watu, cedha ratu" dapat direduksi secara lebih berarti. Kedua, pembangunan pedesaan yang terintegrasi perlu, tetapi perlu waktu yang lebih panjang dan
kesabaran. Oleh karena itu, keterpaduan dalam waktu perlu dimasukkan. Proyek tidak hanya berdasarkan anggaran tahunan, kemudian "selesai", kalau perlu ada kesinambungan yang terintegratif juga. Ketiga, memprioritaskan wilayah yang kurang tidak berdaya secara ekonomis, apakah karena terisolasi atau over eksploitasi terhadap sumberdaya alamnya. Keempat, pengembangan sumberdaya manusia saja belum cukup, tanpa didukung distribusi harta produktif dan penyediaan prasarana dan sarana di pedesaan. Hal ini sangat relevan dengan perkembangan buruh tani yang semakin meningkat. Program transmigrasi tampaknya merupakan salah satu penjabaran yang dimaksud. Kelima, membangkitkan budaya bersaing, tetapi tetap bersanding dalam asas kekeluargaan, sehingga hal ini dapat menjadi sumber pertumbuhan baru. Keenam, pembenahan kembali prasarana dan struktur pemerintahan desa, dan kalau perlu Undang-Undangnya pun direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan keterbukaan guna mendukung munculnya demokrasi desa yang mendorong sikap dan perilaku partisipatif yang utuh. Ketujuh, gaya kepemirnpinan parternalistik yang positif kadang-kadang memang perlu, tetapi seyogyanya dikurangi dan pendekatan atasbawah pun perlu diimbangi dengan pendekatan bawah-atas sesuai dengan kemajuan pembangunan desa masingmasing.
Daftar Kepustakaan Chambers, R. (1980). Rural poverty unperceived: Problems and Remedies, Work Bank Staff Working Paper No. 400: Washington. Danusaputro, ST. Munadjat. (1977). Hubungan timbal-balik antara Hukum dan kenyataan-kenyataan masyarakat untuk 10
hukum ketahanan nasional, Ketahanan Nasional, 20(6), 30-56.
Majalah
Djojohadikusumo, Sumitro (1977). Ketahanan Nasional di bidang ekonomi, makalah pada wawancara TVRI, 25 April: lakarta. Hadiwegeno, Soetatwo dan Agus Pakpahan (1993). Identifikasi wilayah miskin di Indonesia, Prisma, 3(12). 23-56. Hasibuan, Nuriman. (1989). Industrialisasi pedesaan Luar Jawa: Kondisi Kinerja dan Makalah pada simposium Prospek. Industrialisasi pedesaan, IPB: Bogor. Peranan Industri _____________.(1990). Kerajinan pada Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Kawasan Sumatra dan Sekitarnya. Makalah pada seminar nasional tentang Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sumatra, 5-8 Maret: Brastagi. _____________. (1992). Social Development and income distribution in Indonesia. Makalah seminar pada The third convention of The East Asian Economic Association 2021 Agustus: Seoul.
Swarso. (1980). Tinjauan tentang kebutuhan akan teori ketahanan nasional, Majalah Ketahanan Nasional, 29(9), 68-84. Soebroto, R. (1986). Kepemimpinan pamong desa sebagai komunikator dalam distribusi pemerataan hasil-hasil pesbangunan di pedesaan, Makalah seminar, FISIPOL UGM: Yogyakarla. Tjondronegoro, Sediono P. (1990). Revolusi hijau dan perubahan sosial di pedesaan Jawa, Prisma, 2(9). 3-14. _____________ .(1991). Kemiskinan dan pemerataan pendapatan di Indonesia, 19761990, Biro Pusat Statistik: Jakarta. _____________.(1993). Profil kependudukan lndonesia, Biro Pusat Statistik: Jakarta. _____________.(1982). Pokok-pokok pengertian dan sejarah perkembangan wawasan nusantara, Majalah Ketahanan Nasional, 37(11). 28-35. _____________ . (1992). World Development Report Development and The Environment, World Bank: Washington.
Mubyarto. (1991). Masalah dan tantangan pembangunan pedesaan dalam PJP II, Makalah Seminar pada Pembangunan Masyarakat Desa Dalam Menyongsong Pembangunan nasional Jangka Panjang Tahap II. Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa: Yogyakarta. Rahardjo, Dawam (1991). Pemerintahan desa dalam perubahan sosial budaya, Makalah Seminar tentang Optimalisasi Peranan Desa: Malang. Sayogyo. (1993). Pemikiran tentang kemiskinan di Indonesia, Prisma, 3 (12).3-9
11