TRANSFORMASI SOSIO-BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PEDESAAN Tri Pranadji dan Endang Lestari Hastuti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor
PENDAHULUAN Makalah ini merupakan hasil pengamatan lapangan pada masing-masing dua desa di empat provinsi (D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Selatan) yang dipilih secara purposif. Tujuan penulisan makalah ini adalah dalam rangka membuat alternatif rumusan model kebijakan atau perekayasaan sosio-budaya setempat dalam mempercepat transformasi (perekonomian) masyarakat pedesaan yang lebih sehat dan berkelanjutan. Ada semacam anggapan yang meluas bahwa tidak majunya masyarakat pedesaan disebabkan oleh “kematian” budayanya. Ini semua terjadi terutama disebabkan oleh ketidaktepatan pendekatan (perekayasaan) pembangunan (termasuk pertanian) yang digunakan selama ini dan sebelumnya. Mungkin karena ingin segera bisa menunjukkan prestasi kemajuan di bidang ekonomi pada masyarakat, termasuk negara pemberi hutang dan dunia luar; pemerintah masa Orde Baru telah menempuh strategi pembangunan yang menonjolkan pertumbuhan ekonomi. Strategi ini sekaligus berimplikasi sangat buruk terhadap khasanah sosio-budaya, termasuk sumberdaya manusia di pedesaan. Selain itu, penajaman strategi yang dibarengi dengan pemusatan kekuasaan ke atas atau pada kepala pemerintahan secara vertikal juga menimbulkan kehancuran khasanah demokrasi yang unik di pedesaan. Karena itu pula, kontrol terhadap pengurasan dan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan pedesaan menjadi semakin lemah, dan saat ini kondisi sumberdaya alam dan lingkungan pedesaan pun sudah pada tingkat yang gawat. Kondisi ekonomi masyarakat pedesaan, yang umumnya masih mengandalkan kegiatan pertanian sebagai tulang punggungnya, dewasa ini bisa dikatakan semakin menyedihkan. Jika dari gambaran ini pemerintah tidak segera menindaklanjutinya dengan langkah-langkah strategis dan terencana dengan baik, diperkirakan dalam satu atau dua dekade mendatang keseluruhan perekonomian masyarakat pertanian dan pedesaan Indonesia, yang diidealkan berbasis kerakyatan, akan mengalami kemunduran yang semakin parah. Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan hal itu, antara lain: daya dukung (tanah dan sumberdaya alam lainnya) yang semakin menurun, prasarana dan kelembagaan ekonomi yang terbelakang, sumberdaya manusia yang tidak tergarap dengan baik, TRANSFORMASI SOSIO-BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Tri Pranadji dan Endang Lestari Hastuti
77
tata nilai yang belum sepenuhnya mencerminkan daya saing yang bisa diandalkan, dan organisasi petani yang tidak berkembang sehat. TRANSFORMASI PERTANIAN DAN PEDESAAN Kata transformasi diambil dari terjemahan kata transformation (bahasa Inggris). Istilah tranform (Neufebet and Guralnik, 1988) dapat diartikan sebagai perubahan, dan tranformation dapat diartikan sebagai proses perubahan. Dalam arti yang lebih luas, transformasi mencakup bukan saja perubahan pada bentuk luar, namun juga pada hakikat atau sifat dasar, fungsi, dan struktur atau karakteristik perekonomian suatu masyarakat. Transformasi pertanian atau agribisnis di pedesaan, dapat diartikan sebagai perubahan bentuk, ciri, struktur, dan kemampuan sistem pertanian yang dapat menggairahkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan menyehatkan perekonomian masyarakat pedesaan. Meminjam pendapat Dumont (1971), pada masyarakat pedesaan yang tingkat perkembangan ekonominya belum maju dan didominasi oleh sektor pertanian, transformasi pertaniannya sekaligus dapat dipandang sebagai cerminan transformasi masyarakat desanya. Dalam pengertian yang lebih luas yang dikaitkan dengan perekayaan sosial-budaya pedesaan, transformasi masyarakat pedesaan dapat dipandang sebagai proses modernisasi atau pembangunan (Pranadji, 1999). Dalam pembangunan, sektor pertanian atau kegiatan agribisnis dapat dipandang sebagai leading sector-nya. Pranadji (1995), dalam Jurnal Analisis (CSIS Volume 5 Tahun XIV (1955), menjelaskan tentang transformasi ekonomi pertanian yang berciri budaya agribisnis tradisional/subsisten ke yang berciri budaya agribisnis modern/komersial. Tansformasi agribisnis di pedesaan merupakan respon dan antisipasi terhadap tuntutan kemajuan untuk hidup lebih baik, dan globalisasi pasar. Dengan demikian proses transformasi harus dipandang sebagai gejala alamiah dan proses aktif dari sistem sosial yang berada di belakang kegiatan agribisnis di pedesaan. Transformasi budaya agribisnis dicirikan oleh perubahan yang mencakup aspek kaitan pasar dan orientasi ekonomi, jenis teknologi, mutu tenaga kerja, dan sumber energi yan digunakan, sumber kapital, manajemen, spirit usaha yang menggerakkan, bentuk keorganisasian usaha, pelayanan usaha dan sebagainya. Belajar dari kasus yang ditemukan di Eropa Barat pada abad 17- 18, yaitu pada transformasi besar (Polanyi, 1957) dari peradaban tradisional-agraris ke modernindustrial, transformasi tadi tidak melahirkan kesejahteraan yang meluas. Proses transformasi memang menghasilkan kemajuan fisik dan pertumbuhan ekonomi yang sangat hebat. Namun pada saat yang hampir bersamaan melahirkan polarisasi yang tajam (Wertheim, 1976), yaitu orang yang kaya raya berjumlah sedikit di satu sisi, dan orang yang melarat berjumlah banyak di sisi lain.
AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 77-92
78
Jika proses transformasi masyarakat pedesaan diserahkan pada penetrasi pasar saja, maka diperkirakan akan memberikan gambaran yang suram bagi masyarakat pedesaan (Sudaryanto dan Pranadji, 1999; Sajogyo, 1974; Geertz, 1989; dan Pranadji, 1995). Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan (Van Dieren, 1995 dan Munasinghe, 1993), transformasi tadi harus juga mengindahkan aspek partisipasi, keadilan sosial, dan pemeliharaan daya dukung ekosistem setempat. Pembangunan yang semata-mata hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi, atau growth maniac (Chiras, 1985), bukan saja akan melahirkan ketidakstabilan sosial politik yang tinggi, namun juga akan melahirkan kehancuran ekosistem. Pada gilirannya hal ini akan mengancam keberlanjutan proses transformasi atau pembangunan itu sendiri. Dalam kaitannya dengan transformasi pedesaan oleh pemerintah dilakukan berbagai program perekayasaan sosio- budaya, yaitu : 1.
Proyek Penelitian dan Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air (P3HTA) Program atau proyek ini dilakukan di Jawa Tengah dengan tujuan utama (Anonim, 1993): (1) meningkatkan produksi dan pendapatan petani, (2) menekan erosi melalui perbaikan farming system, teknologi, dan pengolahan hasil tani, (3) meningkatkan dan mengembangkan aparatur kelembagaan mulai dari tingkat pedesaan sampai dengan provinsi
2.
Proyek Bangun Desa. Proyek Bangun Desa (Yogyakarta Upland Area Development Project /YUADP) merupakan program pembangunan kawasan lereng bukit jangka panjang dengan mengembangkan dan meningkatkan cara konservasi tanah dan usaha pertanian. Tujuan proyek ini adalah : (1) mempertahankan kelestarian perbukitan, (2) pengembangan pola pertanian tepat guna, (3) pembangunan prasarana dan sarana perekonomian desa, (4) peningkatan kesejahteraan masyarakat, (5) peningkatan kemampuan aparat pemerintah di semua tingkatan.
3.
Program/Proyek Bangun Nusa (NTASP) Program ini dilakukan di Nusa Tenggara Barat sejak tahun 1986/1987, yang merupakan program terpadu yang menitikberatkan kegiatannya pada penigkatan pelayanan untuk peningkatan produksi pertanian di pedesaan (Anonim, 1991 dan 1993).
4.
Proyek Irigasi Riam Kanan (PIRK) Proyek ini dilakukan di Kalimantan Selatan yang ditujukan untuk menunjang pembangunan pertanian berupa pembangunan irigasi atau pengairan. Di samping itu pembangunan bendungan dalam proyek ini berguna untuk pembangkit tenaga listrik dan air bersih.
TRANSFORMASI SOSIO-BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Tri Pranadji dan Endang Lestari Hastuti
79
TANAH DAN DAYA DUKUNG SETEMPAT Sumberdaya tanah (mencakup air) masih menjadi andalan kehidupan masyarakat pedesaan setempat. Perhatian pemerintah terhadap faktor tanah secara fisik masih lebih banyak dibanding dari segi sosial ekonominya. Gejala kelangkaan tanah tampaknya telah lama menjadi masalah serius bagi kehidupan masyarakat atau perekonomian pedesaan, kecuali di Desa Penggalaman dan Desa Sungai Rengas (Proyek Irigasi Riam Kanan, Provinsi Kalimantan Selatan mencapai 1 ha. Dengan pola tanam yang umumnya masih sederhana dan menekankan pada komoditas utama bahan makanan pokok seperti jagung, ubikayu dan kedelai. Hal ini menggambarkan bahwa mereka masih pada tingkat peradaban kehidupan masyarakat yang berada di sekitar garis subsistensi. Tekanan perhatian pemerintah di keempat provinsi atas tanah umumnya pada bagaimana meningkatan produktivitas tanah melalui introduksi teknologi pertanian. Kasus di Provinsi D.I. Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah (Jateng) terdapat kesamaan; yaitu bagaimana mengkombinasikan tujuan konservasi tanah (penyelamatan hutan, tanah dan air) pegunungan yang kritis dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat kesuburan. Peningkatan produktivitas tanah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) lebih ditekankan pada peningkatan produktivitas pertanian dataran rendah yang sangat kering dan kurang subur. Sedangkan di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) ditekankan pada peningkatan produktivitas dalam rangka penyediaan bahan pangan utama nasional, yaitu padi sawah. Kecuali di Kalsel, perhatian pemerintah di bidang bagaimana mencukupkan kebutuhan masyarakat petani di pedesaan atas tanah untuk usaha pertanian tampaknya tidak terlihat serius. Penataan luas tanah garapan ke arah besaran luas tanah yang dibutuhkan petani untuk hidup layak tidak diprogramkan secara khusus. Selain kebanyakan petani menguasai tanah berukuran sempit, luas tanah pertanian setempat dibandingkan jumlah penduduk yang harus dihidupi dari kegiatan pertanian tanaman setahun secara agregat (desa) juga tidak mencukupi. Pendeknya, dengan kondisi fisik dan luas tanah yang ada hingga saat ini, daya dukung pertanian setempat untuk kebutuhan hidup petani secara layak sudah tidak memenuhi syarat lagi. Penataan hukum atas tanah, dilihat dari kepentingan masyarakat pedesaan, belum menunjukkan gambaran yang baik. Kasus di DIY menunjukkan gambaran yang cukup baik, terutama dilihat dari pengembangan sertifikasi tanah (dari yang semula berstatus adat atau girik menjadi bersertifikat; leter D). Namun demikian program sertifikasi tadi tidak mengubah luasan penguasaan tanah oleh petani setempat. Kasus di NTB, program sertifikasi tanah dilakukan secara sepihak dan tidak disosialisasikan pada masyarakat pedesaan. Akibatnya, banyak petani yang tidak menyadari bahwa tanah yang digarapnya hanya sekedar “numpang lewat”. Setelah tanah bisa digarap dengan baik, justru banyak petani yang terusuir dari tanah garapannya. Suatu gambaran yang buruk bahwa banyak petani di NTB tidak AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 77-92
80
mempunyai tanah dan sebaliknya banyak bukan petani yang menguasai tanah di pedesaan. Dalam kaitannya dengan penguasaan tanah untuk usaha pertanian, kasus di Kalsel menunjukkan ada kemiripan dengan di NTB. Banyak (calon) tanah irigasi (Proyek) Riam Kanan telah dibagi-bagikan secara tertutup pada pejabat pemerintah daerah dan kalangan terbatas, dan mereka umumnya bukan petani. Di samping akan berimplikasi negatif terhadap produktivitas tanah irigasi setempat, hal ini juga sangat tidak sejalan dengan asas keadilan yang diamanatkan UndangUndang Dasar kita. Di satu sisi tanah sawah irigasi teknis banyak yang tidak tergarap, namun di sisi lain banyak petani menderita kelaparan terhadap tanah untuk usaha pertanian. Masalah ini tidak bertambah baik setelah para pejabat pada peroide berikutnya merasa “sungkan”, dan salah-salah bisa terancam kedudukannya, untuk menanganinya secara serius. Dilihat dari kepentingan peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan, tampaknya strategi perekayasaan sosio-budaya pedesaan yang didekati dari segi penataan fisik tanah belum menunjukkan gejala perbaikan yang berarti. Terdapat kesan bahwa program perekayasaan yang dijalankan pemerintah pusat di bidang pertanian seperti program memberikan “nasi bungkus” pada masyarakat pedesaan. Dibalik “nasi bungkus” tadi terdapat semacam kewajiban yang sangat berat, sebagian di luar kepentingannya, yang harus dipikul petani atau masyarakat pedesaan lahan kering. Misalnya saja, petani lahan kering di Jateng seakan-akan harus memikul kewajiban (secara gratisan) untuk mendukung kemajuan sistem usaha pertanian dan penyediaan jasa lingkungan bagi masyarakat di daerah hilir. Dalam hal ini, menjadi semakin jelas bahwa perekayasaan sosio-budaya (plus ekonomi), termasuk di bidang pertanahan, yang dilakukan pemerintah pusat masih sangat kurang memperhitungkan posisi masyarakat pedesaan sebagai subyek pembangunannya. Daya dukung kehidupan masyarakat pedesaan masih bertumpu pada tanah pertanian. Secara fisik daya dukung tadi hanya tampak baik di Kalsel. Sedangkan di Jateng, DIY, dan NTB secara fisik daya dukung tanahnya relatif rendah. Kawasan pengembangan irigasi di Kalsel merupakan daerah baru, sehingga secara fisik masih belum menunjukkan gejala lemahnya daya dukung tanah. Namun jika dilihat dari aspek kelembagaan atas tanah pertaniannya, maka daya dukung untuk pengembangan masyarakat pedesaannya tadi dalam beberapa tahun mendatang diperkirakan akan menunjukkan gejala penurunan yang sangat berarti. Program sertifikasi tidak terlalu bisa diandalkan untuk mengangkat fungsi tanah sebagai faktor peningkatan kesejahteraan petani atau masyarakat pedesaan. PRASARANA DAN KELEMBAGAAN EKONOMI Program pembangunan pertanian di pedesaan banyak ditekankan pada budaya material atau menekankan pada segi fisik. Kecuali di Jateng, TRANSFORMASI SOSIO-BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Tri Pranadji dan Endang Lestari Hastuti
81
pembangunan prasarana ekonomi di ketiga provinsi lainnya telah menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Jenis prasarana yang menonjol adalah bangunan jalan dan jembatan. Akhir-akhir ini telah berkembang pula jaringan listrik. Selain bangunan jaringan irigasi di Kalsel, bangunan prasarana pertanian lain yang menonjol adalah bendungan kontrol air atau check dam (DIY), bangunan terjunan air, gorong-gorong (DIY, Jateng dan NTB). Kasus NTB, di beberapa tempat telah dibangun jaringan irigasi dengan pompa sumur air dalam. Kecuali di Jateng, karena relatif terpencil, keberadaan prasarana jalan dan jembatan di ketiga provinsi sangat membantu masyarakat pertanian di pedesaan. Mereka menjadi lebih mudah melakukan mobilitas horisontal, terutama yang berkaitan dengan memperoleh input dan menjual hasil pertanian mereka. Salah satu kelemahannya, jalan ke lokasi usahatani atau farm road relatif belum memadai. Di Kalsel pun demikian, walaupun di sana terdapat bangunan jaringan prasarana irigasi dan jalan aspal yang relatif baik. Akibat yang timbul dari kurang tersedianya farm road yang memadai adalah relatif mahalnya ongkos angkut hasil pertanian dari lokasi usahatani ke pasar terdekat. Khusus di Jateng, angkutan umum pedesaan relatif jarang sehingga menyulitkan pengangkutan input dan produk pertanian setempat. Kelembagaan pedukung usaha pertanian yang tersedia di setiap tempat di tingkat desa tidaklah seragam. Kelembagaan permodalan, seperti BRI Unit Kecamatan atau Bank Perkreditan Rakyat, yang melayani kepentingan masyarakat pedesaan relatif cukup menonjol di DIY. Lembaga permodalan semacam ini di NTB juga telah tersedia, namun fungsi pelayannya masih sulit dijangkau petani. Kondisi lembaga ini di Jateng relatif tidak berfungsi. Setelah kredit KUT tidak tersedia, kelangkaan sumber pembiayaan untuk usaha pertanian rakyat (khususnya padi) menjadi sangat terasa. Perlu ditegaskan bahwa kekuatan pelayanan lembaga jasa permodalan untuk pertanian lahan kering relatif sangat lemah, terutama jika komoditas andalan yang diusahakan kurang diarahkan pada permintaan pasar yang tinggi. Lembaga pemasaran yang memberikan pelayanan bersaing baru bisa dirasakan di tingkat kabupaten. Bagi pengembangan pertanian setempat, antara desa dan kecamatan, seakan-akan merupakan ruang vakum, yang sulit dijangkau lembaga pemasaran modern. Titik kritis masalah pemasaran hasil pertanian terletak antara lembaga tingkat desa dan kecamatan atau kabupaten. Dalam kondisi demikian, potensi nilai tambah hasil pertanian yang tidak bisa dinikmati petani setempat menjadi relatif tinggi. Harga produk pertanian yang tinggi di tingkat konsumen, misalnya di perkotaan, tidak menjadi jaminan bahwa penerimaan harga di petani menggembirakan. Gambaran lembaga pemasaran tingkat desa yang lumayan baik dijumpai di Kalsel dan DIY. Lembaga koperasi, seperti KUD, tidak semuanya menggambarkan hal yang buruk. Hanya saja, jika keberadaan dan fungsi lembaga ini dikaitkan dengan pengembangan usaha pertanian di pedesaan maka gambarannya memang cukup AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 77-92
82
menyedihkan. Kegiatan simpan pinjam, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian banyak dijadikan kegiatan utama koperasi. Sayangnya lembaga ini jarang yang berhubungan langsung dengan petani. Lebih banyak fungsinya sebagai kepanjangan tangan pedagang besar. KUD di Jateng dan DIY praktis tidak berfungsi melayani petani setempat. Kecuali di NTB, lembaga alih teknologi di tingkat desa, seperti penyuluhan pertanian, relatif masih jalan. Hanya saja, tekanan perhatian lembaga ini masih terlalu banyak pada aspek produksi pertanian yang berupa bahan mentah atau produk olahan yang bernilai tambah rendah. Tampaknya dengan bergesernya peradaban ekonomi pedesaan ke arah yang lebih komersial, keberadaan lembaga ini perlu disesuaikan dengan pengembangan bisnis pedesaan atau agribisnis yang berciri industrial. Pada beberapa kasus, misalnya di NTB, penyuluh pertanian harus mampu mengubah cara atau pendekatannya ke petani. Di masa datang, kegiatan penyuluhan pertanian tidak bisa lagi hanya menggunakan pendekatan sekatan produksi. Orientasi kegiatan penyuluhan adalah menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing tinggi di pasaran. Posisi terhormat atau tidaknya lembaga penyuluhan pertanian di tingkat desa akan ditentukan oleh seberapa jauh mereka bisa melayani kebutuhan petani untuk meningkatkan kinerja kegiatan ekonominya yang berbasis sumberdaya pertanian setempat. KEHIDUPAN PETANI YANG SEMAKIN TERJEPIT Kasus di Jateng, DIY dan NTB menunjukkan bahwa daya dukung lahan pertanian setempat hampir tidak memungkinkan bisa menopang kehidupan ekonomi pedesaan yang lebih maju lagi. Kehidupan ekonomi petani di pedesaan semakin terjepit. Dengan lahan serba terbatas dan dengan produk andalan yang masih bernilai tambah relatif rendah sulit mengharap perkonomian pertanian di pedesaan setempat bisa dipacu lebih tinggi lagi. Peningkatan investasi untuk usaha pertanian hanya mungkin dilakukan di bagian atau subsistem pengolahan dan pemasaran hasil. Hanya sayangnya, kegiatan ini biasanya dikuasai oleh pelakupelaku ekonomi di luar desa. Oleh sebab itu, tanpa ada perubahan strategi yang mengarah pada peningkatan nilai tambah produk pertanian di pedesaan, maka investasi pertanian di pedesaan tidak akan rasional. Selama kondisinya seperti saat ini, kemajuan perekonomian pedesaan akan sulit dipacu lebih cepat lagi. Orientasi masyarakat pedesaan, kecuali kasus di Kalsel, tampaknya tidak akan memacu usaha pertanian setempat. Kasus di DIY menunjukkan bahwa pilihan usaha yang banyak diminati pelaku ekonomi pedesaan adalah kerajinan rumah tangga. Kondisi di NTB menunjukkan gejala kemacetan perkembangan usaha pertanian. Kasus di Jateng memberikan gambaran berbeda, mereka banyak yang mencari pekerjaan di perkotaan, seperti di Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Banyak dari kalangan muda lebih “memilih” hijrah ke kota dan membuka usaha TRANSFORMASI SOSIO-BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Tri Pranadji dan Endang Lestari Hastuti
83
kecil-kecilan (di bidang jasa pemasaran dan industri kerajinan tangan) di perkotaan dan ini juga banyak dijumpai di DIY. Sulit mengharapkan pelaku ekonomi di pedesaan, walaupun dari kalangan muda, dapat berkompetisi pada tingkat tinggi di perkotaan. Mereka umumnya berbekal tingkat pendidikan formal setingkat sekolah lanjutan, dan bahkan banyak yang hanya tamatan Sekolah Dasar (SD). Bekal pendidikan nonformal menjadi faktor dominan yang menggerakkan perkonomian pedesaan. Pertanian di pedesaan mereka tinggalkan dan diurus oleh orang-orang usia lanjut; karena bagi mereka kegiatan pertanian memang sudah sulit ditingkatkan lagi kinerja ekonominya. Agar secara ekonomi mereka tetap bisa bertahan hidup, mereka menjual jasa ketrampilan kerja yang serba pas-pasan yang mereka miliki ke luar desa. Untuk masyarakat pedesaan Jawa, seperti di Jateng dan DIY, orientasi kerja mereka adalah di kota-kota besar di Pulau Jawa. Umumnya mereka mengisi kegiatan sektor informal di daerah perkotaan. Sebagai contoh, banyak penduduk pedesaan dari DIY membuka usaha warung makan untuk pekerja golongan menengah dan kasar di daerah Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi). Kasus dari Desa Gondang Legi (Jateng), banyak pekerja golongan mudanya yang ikut-ikutan membuka usaha kerajinan membuat tas di Jakarta yang pasarannya ada yang ke luar negeri. Kasus dari Desa Gunungsari (Jateng) menunjukkan bahwa golongan muda yang bekerja di perkotaan umumnya masih sebagai buruh kasar. Kasus dari Desa Bagik Papan (NTB), banyak dari golongan pekerja mudanya yang lebih memilih sebagai TKI di luar negeri. Kasus di Kalsel memberikan gambaran yang berbeda dan positif terhadap kegiatan pertanian padi sawah. Hamparan sawah beririgasi teknis, di daerah (Proyek) Irigasi Riam Kanan, memberikan peluang kehidupan masyarakat pedesaan berkembang lebih baik. Dengan rancangan setiap kepala keluarga mendapat garapan seluas lebih dari 1 ha ternyata memberikan gambaran kemajuan ekonomi pedesaan yang lebih baik dibanding di tiga provinsi contoh (Jateng, DIY, dan NTB). Bahkan banyak transmigran dari Jawa yang berada di sekitar Kalimantan Selatan yang “melarikan diri” dan mencari penghidupan di daerah Irigasi Riam Kanan. Gambaran ini mematahkan hipotesis yang menyatakan bahwa kegiatan pertanian tidak populer lagi sebagai penghela perekonomian pedesaan. Secara umum dapat dikatakan bahwa perekonomian petani setempat, terutama yang berasal dari suku asli setempat (Kalsel), mengalami ketertinggalan. Di bidang pemacuan kemajuan ekonomi suku asli ini kalah agresif dibanding masyarakat pendatang. Perekonomian masyarakat dari suku Bugis dan Jawa, yang memanfaatkan sawah irigasi sebagai basis utama kegiatan ekonominya, relatif bisa menunjukkan bahwa kegiatan pertanian padi sawah masih bisa dijadikan tulang punggung perekonomian pedesaan. Ketertinggalan suku Banjar dalam pengembangan perekonomian padi sawah lebih banyak disebabkan bahwa pengetahuan teknis mereka tentang pengelolaan ushatani padi sawah relatif rendah dibanding kawan-kawannya yang berasal dari suku Jawa atau Bugis. AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 77-92
84
TATA NILAI DAN DINAMIKA EKONOMI SETEMPAT Kasus pengamatan di Kalsel memberikan pengetahuan yang menarik tentang peran tata nilai dalam percepatan transformasi dan dinamika perekonomian masyarakat pertanian di pedesaan setempat. Di Kalsel paling tidak terdapat 3 etnis atau suku yang dominan, yaitu suku Banjar (penduduk asli dan pendatang), Jawa (pendatang), dan Bugis (pendatang). Suku asli setempat (Banjar) mempunyai tingkat resistensi yang relatif tinggi terhadap inovasi. Selain itu juga mereka kalah bersaing dengan suku Jawa dalam kerajinan kerja, kerja keras, hidup prihatin (hemat), daya empati, cara kerja yang terorganisir, dan meletakkan visi ke depan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian setempat. Keunggulan suku Bugis yang menonjol adalah visi berpikirnya yang berjangka panjang, menggunakan cara berpikir yang cukup rasional, dan bekerja secara sistematik. Selain itu, semangat kewirausahaan orang Bugis di daerah irigasi Riam Kanan dalam pengelolaan lahan irigasi yang ada relatif maju dibanding suku Jawa sekalipun. Tata nilai ke arah kemajuan dalam pengelolaan sumberdaya lahan beririgasi yang terdapat pada suku Banjar tampaknya kalah cepat berkembang dibanding suku Bugis dan Jawa. Hal menarik pada suku Banjar yang telah berinteraksi dengan suku Bugis dan Jawa adalah adanya difusi tata nilai, dari suku Bugis dan Jawa kepada suku Banjar. Pada tahap awal, perekonomian suku Bugis dan Jawa lebih dinamis dibanding suku Banjar. Namun setelah berlangsung 3-4 tahun, perekonomian suku Banjar juga menggeliat mengikuti perekonomian suku Bugis dan Jawa. Sangat menarik untuk dikemukakan bahwa tingkat kemajuan dan dinamika perekonomian yang berbeda antarsuku dipengaruhi secara kuat oleh tata nilai yang dianut oleh suku yang maju. Keunikan dari kasus Kalsel adalah bahwa transformasi tata nilai masyarakat pedesaannya masih dalam bingkai perkembangan masyarakat agraris. Namun jika dibandingkan dengan kasus di Jateng dan DIY, maka gambarannya menjadi berbeda. Perubahan tata nilai pada masyarakat pedesaan di DIY dan Jateng telah terjadi jauh sebelum program perekayasaan pemerintah dilakukan, dan arah transformasinya cenderung lebih divergen. Tampaknya tingkat perkembangan kegiatan usaha pertanian di kedua provinsi ini telah menunjukkan gejala kejenuhan yang lumayan tinggi; sehingga perubahan tata nilai ke arah yang lebih maju pun tidak banyak berpengaruh terhadap perbaikan kinerja kegiatan usaha pertanian setempat. Transformasi tata nilai di kedua provinsi tadi diikuti (hampir bersamaan) dengan pergeseran fokus kegiatan ekonomi pedesaan; yang semula mengandalkan sektor pertanian menjadi ke arah sektor jasa dan industri kerajinan rumah tangga. Pada kasus pengamatan di NTB juga memberikan gambaran yang berbeda. Masyarakat pedesaan NTB tampaknya tidak mempunyai harapan terlalu besar terhadap kemajuan kegiatan di sektor pertaniannya. Tekanan alam yang berat, terutama dari segi ketersediaan air dan kesuburan tanah, telah memaksa TRANSFORMASI SOSIO-BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Tri Pranadji dan Endang Lestari Hastuti
85
masyarakat pedesaan setempat mencari sumber mata pencaharian di luar pulau. Tekanan alam tadi pada akhirnya juga menjadi tekanan ekonomi yang berat bagi masyarakat pedesaan setempat. Sebagai respon yang wajar, masyarakat pedesaan tidak merasa harus bertahan di desa. Mereka juga tidak enggan untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI. Tata nilai yang dinilai kurang sesuai untuk kemajuan di NTB adalah kurangnya rasa malu, kerja kurang keras dan rajin, daya empati yang rendah, dan kurang terorganisir. Tampaknya sulit mengharap sektor pertanian di NTB mampu menampung perubahan tata nilai ke arah yang lebih kompetitif. Dari segi perubahan tata nilai pada kegiatan pertanian di pedesaan, hanya kasus di Kalsel yang menggambarkan bahwa dengan perubahan tata nilai ke arah yang lebih maju perkembangan perekonomian masyarakat pedesaan setempat bisa lebih dipercepat lagi. Tingkat kemajuan perekonomian masyarakat pedesaan di NTB, walaupun sudah terjadi perkembangan yang dinamik, tampaknya telah mengalami kejenuhan dan kemacetan yang serius. Kasus pada masyarakat pedesaan di DIY dan Jateng, yang menggambarkan dinamika perekonomian yang lebih maju dan variatif, terutama pada golongan muda, sepertinya telah cukup lama mengenal dan menerapkan tata nilai yang menggerakkan perekonomian masyarakat ke arah yang lebih maju. Tampaknya terdapat hubungan yang erat antara tata nilai, sejarah perkembangan perekonomian masyarakat pedesaan setempat, dan daya dukung agroekosistem setempat.
ORGANISASI PETANI DAN TRANSFORMASI EKONOMI Gejala yang menarik untuk dikemukakan bahwa saat ini hampir tidak ada organisasi (ekonomi) petani, seperti lembaga perkreditan desa, koperasi desa atau lumbung padukuhan, yang tumbuh kuat dari bawah, mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri dengan baik. Lumbung padukuhan yang dahulu sangat efektif menghela ekonomi subsisten tingkat desa (Pranadji, 1986), khususnya di DIY, sekarang sudah tinggal kenangan. Hingga kini organisasi ekonomi petani yang dibentuk dari atas hampir tidak ada yang mampu bertahan hidup dengan tingkat daya saing tinggi. Organisasi petani yang ada di pedesaan tampaknya tidak memiliki cukup tenaga untuk menggerakkan dinamika perekonomian pertanian di pedesaan. Hampir semua organisasi ekonomi petani di pedesaan relatif rapuh. Kerapuhan ini diperkirakan menjadi salah satu sebab serius mengapa kehidupan dan perekonomian masyarakat pedesaan semakin terbelakang dan melemah. Organisasi petani yang selama ini banyak dihidupkan dan bisa digerakkan dari atas lebih mirip sebagai organisasi pengerahan massa, dan gejalan ini teramati dengan jelas di pedesaan Jateng dan DIY. Organisasi seperti itu sangat sesuai, misalnya, untuk menyukseskan kegiatan kampanye partai politik dibanding untuk pemberdayaan usaha atau ekonomi masyarakat pedesaan yang sesungguhnya. Terdapat kesan bahwa pemerintah sepertinya membiarkan masyarakat petani di pedesaan tidak bisa berorganisasi, lalu dengan pandangan itu pemerintah secara AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 77-92
86
sepihak menentukan tentang perlunya (program atau proyek) pengorganisasian ekonomi petani. Pengalaman di Jateng dan DIY pada satu-dua dekade lalu menunjukkan bahwa jika masyarakat mengembangkan keorganisasiannya tanpa “restu” pemerintah, hal itu bisa dinilai sebagai pembangkangan politik (Pranadji, 2003). Konotasi yang berkembang satu-dua dekade lalu jika masyarakat berorganisasi hal itu dinilai sebagai bentuk “perlawanan” terhadap penguasa. Dalam banyak kasus (termasuk di Kalsel dan NTB), organisasi petani kelihatan berkembang, terutama jika keberadaan organisasi petani itu masih diperlukan pemerintah untuk melancarkan program atau proyek jangka pendek. Kinerja organisasi petani yang demikian ini tidak efisien dan sangat tergantung pada “belas kasihan” pemerintah. Baik di Jateng, Kalsel maupun di NTB gejala demikian sangat kentara, dan tampaknya aparat pemerintah tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang berbahaya bagi kelangsungan hidup dan daya saing perekonomian pedesaan. Oleh sebab itu, jika keorganisasian ekonomi petani (secara teoritis) dipandang sebagai sarana peningkatan daya saing masyarakat pedesaan setempat secara berkelanjutan, maka yang terjadi di lapangan adalah pembusukan atau penggembosan keorganisasian perekonomian pedesaan dari dalam. Gejala pembusukan organisasi dari dalam (misalnya pada kelompok tani di Kalsel atau KUD di DIY) antara lain ditunjukkan bahwa para petani, yang menjadi anggotanya, tidak merasa terlalu peduli dengan kemajuan atau kemunduruan organisasi tersebut. Mereka umumnya menyadari bahwa organisasi tersebut “milik” pemerintah atau aparat proyek. Rasa memiliki yang ada pada petani terhadap organisasi tersebut sangat rendah. Pembentukan organisasi dan pembuatan peraturannya umumnya dilakukan oleh aparat pemerintah atau aparat proyek. Petani di Jateng, NTB dan DIY umumnya merasa hanya sebagai “konsumen peraturan” yang sejak awal pembuatan dirinya tidak dilibatkan secara intensif. Petani umumnya menunjukkan kesan “tidak mau mengerti” aturan organisasi, namun hal itu tidak dapat diartikan sebagai petani tidak tahu sama sekali tentang pentingnya aturan main organisasi. Petani tidak mau mengerti karena ia merasa tidak dihargai dan juga kurang mendapat manfaat atas dibuatnya peraturan dan dibentuknya organisasi. Dijumpai hampir merata, baik di Kalsel, Jateng maupun DIY, terutama setelah proyek selesai, petani baru menyadari bahwa namanya dipakai tanpa minta izin (“dicatut”), untuk menyukseskan sebuah proyek. Informasi bahwa keberadaan proyek akan cenderung lebih menguntungkan secara sepihak bagi aparat sama sekali tidak terlintas di benak petani. Pendeknya, petani sebelum proyek dilaksanakan tidak atau sangat jarang diajak (secara intensif) melakukan proses perencanaan secara matang. Umumnya petani hanya dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan proyek secara fisik di lapangan. Banyak terjadi, baik di Jateng, Kalsel dan NTB, petani diposisikan sebagai tenaga upahan di lapangan. Dengan cara demikian, sepintas pekerjaan fisik di lapangan berjalan lancar. Jaringan kerjasama antara aparat proyek dan petani sangat sarat bermuatan ekonomi uang atau mutual benefit jangka pendek, dan jauh dari kesadaran untuk membangun jaringan mutual TRANSFORMASI SOSIO-BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Tri Pranadji dan Endang Lestari Hastuti
87
trust (dan saling menghormati, mutual respect) antarpetani ataupun antara petani dan aparat pemerintah. Dalam organisasi ekonomi petani, selama proyek berjalan, tidak dibangun sistem akuntabilitas penyelenggaraan organisasi yang sehat. Organisasi petani di Kalsel dikembangkan berdasar kelompok hamparan sawah agar sistem pengelolaannya mudah diintergrasikan dengan jaringan drainase irigasi rawa pasang surut. Pembentukan organisasi petani berdasar hamparan juga dijumpai di DIY, Jateng dan NTB. Dalam satu kasus, pola organisasi petani di Kalsel bisa dimanfaatkan oleh tokoh tani setempat untuk membangun skala ekonomi minimum, namun tidak demikian yang terjadi di DIY, Jateng dan NTB. Di Kalsel hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena lokasi hamparan sawah hampir berimpit dengan pemukiman petani. Selain itu, biasanya manajemen organisasi petani (seperti KUD) tidak transparan, dan cara pengambilan keputusannya hanya dilakukan oleh elit pengurus tertentu. Dilihat dari keutuhan sistem agribisnis, pembentukan organisasi petani cenderung mengikuti pola bersekat yang rentan terhadap gangguan alam, harga, dan persaingan bisnis yang ketat. Sekatan organisasi yang menghasilkan nilai tambah paling rendah adalah organisasi produksi bahan baku, yang umumnya dilakukan oleh petani. Sistem keorganisasian petani yang tidak utuh menyebabkan tidak efisien, bahkan titik lemah dari bangunan organisasi petani justru terletak pada organisasi produksi bahan bakunya. Keadaan ini menjadi sangat berbahaya, karena runtuhnya sekatan organisasi produksi bahan baku akan menghancurkan sekatan organisasi lainnya. Seefisien apapun organisasi di atas sekatan organisasi produksi bahan baku maka hal itu tidak akan banyak gunanya jika sistem sekatan organisasi produksi bahan baku tidak sehat. Selain itu, sistem keorganisasian agribisnis dan kegiatan usaha ekonomi lainnya di pedesaan kebanyakan tidak didasarkan pada pembentukan interdependensi yang relatif simetris di antara para anggotanya. Akibatnya, dalam keorganisasian usaha yang demikian akan mudah terjadi konsentrasi kapital pada beberapa atau satu orang pelaku ekonomi di pedesaan. Jika kondisi ini benar-benar terjadi, dan tidak ada sistem kontrol moral yang kuat dari budaya masyarakat setempat, maka akan mudah terjadi proses penimpangan sosial yang mengarah pada inefisiensi dan kerentanan sistem perekonomian di pedesaan. Sistem ini mudah terjadi pada keorganisasian ekonomi setempat yang menganut pola patronklien dan juga yang mengikuti pola ekonomi pasar. Transformasi perekonomian pedesaan dari yang semula mencirikan gambaran masyarakat pertanian tradisional-subsisten menjadi lebih ke arah gambaran masyarakat pertanian maju-industrial tampaknya tidak sepenuhnya bisa berjalan mulus. Kondisi sistem pertanian dan masyarakat lahan kering di NTB dan Jateng sangat tidak mendukung ke arah itu. Gambaran di DIY lebih memungkinkan kerena sarana pendukung fisik dan semangat kewirausahaan masyarakat setempat relatif sudah berkembang. Sistem pertanian sawah di Kalsel AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 77-92
88
lebih memudahkan organisasi ekonomi petani tumbuh relatif sehat. Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa struktur dan organisasi ekonomi masyarakat pedesaan yang menggerakkan proses transformasi belum cukup andal untuk menopang proses transformasi tadi. Organisasi ekonomi pedesaan berbasis kegiatan nonpertanian dan bisa menjangkau perekonomian kota cukup berkembang di DIY. Karena interaksinya dengan ekonomi kota relatif besar, pengaruh negatif kelemahan organisasi petani di DIY relatif tidak mengganggu perekonomian pedesaan setempat. Pada salah satu desa di Jateng, yang infrastruktur fisik dan semangat kewirausahaannya relatif baik, juga menunjukkan hal yang tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di DIY. Perkembangan perekonomian pedesaan, dengan demikian, banyak ditentukan oleh kemampuannya menggalang dengan jaringan organisasi ekonomi dan kekuatan pelaku ekonomi di luar desa. Organisasi ekonomi masyarakat perkotaan yang sarat dengan ciri komersial, berbasis industri dan jasa, dan didukung sistem kelembagaan formal yang relatif kuat menjadi penggerak dan “pengatur” perkembangan ekonomi pedesaan. Jika keorganisasian ekonomi petani dibiarkan lemah hampir dipastikan ekonomi pedesaan akan mengalami kemunduran yang semakin parah. Walaupun di Jawa (kasus DIY dan Jateng) secara alamiah telah berkembang jaringan integrasi antara ekonomi kota dan desa, namun sejauh organisasi ekonomi petani dan desa masih dibiarkan lemah maka manfaat integrasi tersebut tidak akan menjamin masa depan perekonomian pedesaan menjadi lebih baik, berdaya saing tinggi dan berkelanjutan. Perbandingan kekuatan ekonomi kota dan desa masih sangat timpang, sehingga interdependensi yang terbangun antara sistem organisasi perekonomian kota dan desa akan bersifat sangat asimetris. Akibatnya, dalam berhadapan dengan modernisasi dan globalisasi pasar posisi ekonomi masyarakat pedesaan akan tetap relatif lemah.
RANCANGAN KEBIJAKAN Sebagai kesimpulan dan implikasi kebijakan, di bawah ini disajikan butirbutir rancangan kebijakan untuk percepatan transformasi masyarakat pedesaan ke arah yang lebih sehat dan berkelanjutan: (1) Percepatan transformasi sosio-budaya pedesaan merupakan keperluan yang mendesak, terutama untuk mengejar ketertinggalan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, perekayasaan sosio-budaya yang dilakukan harus disertai dengan pendekatan penyelenggaraan pembangunan yang bersifat desentralistik, di mana kekhasan setiap daerah dapat dijadikan dasar untuk menentukan pola pembangunan masyarakat pedesaan yang bersifat khas pula. Dengan pendekatan ini, keleluasan masyarakat pedesaan untuk menentukan program pembangunan yang akan dijalankan menjadi lebih terbuka. Dengan TRANSFORMASI SOSIO-BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Tri Pranadji dan Endang Lestari Hastuti
89
demikian, kreativitas masyarakat setempat dapat dijadikan penggerak utama percepatan transformasi perekonomian pedesaan. (2) Sumberdaya tanah masih menjadi salah satu kendala besar bagi pengembangan perekonomian pedesaan. Kegiatan usaha pertanian masih menjadi andalan perekonomian rumah tangga di pedesaan, dan penguasaan tanah secara layak oleh petani menjadi faktor strategis. Oleh sebab itu, perekayasaan sosio-budaya untuk mempercepat transformasi masyarakat pedesaan harus dibarengi dengan melakukan reformasi keagrariaan di pedesaan yang lebih terarah. Demikian pula pengembangan organisasi petani, seyogyanya dibarengi juga dengan konsolidasi sumberdaya lahan di pedesaan. Kegagalan dalam melakukan reformasi agraria akan dapat menjadikan perkembangan masyarakat pedesaan kehilangan pijakan atau basis usaha yang jelas. (3) Keorganisasian petani dan agribisnis di pedesaan masih tersekat-sekat dan menjadikan sistem ekonomi dan agribisnis tidak sehat dan berdaya saing rendah. Perekayasaan keorganisasian petani dan agribisnis di pedesaan perlu diarahkan untuk menghasilkan produk pertanian akhir yang bernilai tambah tinggi. Sistem pengorganisasian petani dan agribisnis secara integratif perlu dipertimbangkan sebagai langkah strategis untuk peningkatan daya saing masyarakat pertanian di pedesaan. Keorganisasian usaha tadi perlu didasarkan atas kepemilikan secara kolektif oleh masyarakat pedesaan. Jaringan kemitraan usaha yang dikembangkan haruslah didasarkan pada interdependensi yang simetris. (4) Sistem manajemen yang digunakan dalam pengorganisasian sistem usaha dan agribisnis di pedesaan harus menggunakan kaidah pertanggungjawaban yang jelas (accountability), keterbukaan manajemen (transparency), pengambilan keputusan yang bersifat partisipatif dan demokratik. Dengan cara demikian keorganisasian sistem usaha agribisnis didukung sistem manajemen yang sehat, dan selebihnya kepentingan anggota organisasi perekonomian di pedesaan tadi bisa terakomodasi dengan baik. Dengan cara demikian pengorganisasian agribisnis bisa memberikan pelayanan yang relatif memuaskan bagi petani khususnya dan masyarakat pedesaan pada umumnya. (5) Tata nilai yang dikembangkan dalam perekonomian pedesaan harus mendukung ke arah kemajuan dan ketinggian daya saing masyarakat pedesaan. Seperangkat tata nilai yang sesuai untuk itu adalah kerja keras, rajin, pola hidup hemat, produktif, rasa malu dan punya harga diri, motif berprestasi atau kompetitif, tidak resisten terhadap inovasi, berdaya empati tinggi, kerjasama yang terorganisir dan sistematik, cara berpikir yang rasional dan impersonal, bervisi jangka panjang dan adanya kepemimpinan yang diandalkan. Sosialisasi terhadap seperangkat tata nilai tadi harus menjadi bagian dari pengembangan budaya usaha masyarakat dan sumberdaya manusia pedesaan setempat.
AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 77-92
90
(6) Di masa datang perlu dipikirkan tentang terbentuknya struktur masyarakat pedesaan yang lebih diferensiatif dan jauh dari kesan masyarakat yang polaristik. Struktur masyarakat yang demikian tadi perlu dibarengi dengan pengembangan kemampuan sumberdaya manusia pedesaan yang mempunyai ketrampilan dan etos keja atau kewirausahaan yang bisa diandalkan. Dengan gambaran ideal demikian ini para perancang kebijakan tingkat makro (nasional) harus mampu merumuskan langkah-langkah strategis ke arah itu, dan tidak terjebak dalam perencanaan yang bersifat yearly planning. Perancanaan tadi harus bervisi jangka panjang dan bersifat multy years planning. (7) Dalam rangka lebih mempertajam pencapaian program pembangunan pedesaan di masa datang, dukungan pengetahuan tentang kekuatan sosiobudaya lokal menjadi sangat penting. Oleh sebab itu, sekaligus dalam rangka mempertajam dan memperoleh pengayaan pengetahuan, dalam rangka pelaksanaan desentralisasi pembangunan pertanian dan pedesaan di masa datang, maka kegiatan penelitian atau studi sosial ekonomi perlu memperhatikan aspek sosio-budaya lokal. Dengan visi ini, pembangunan pertanian akan bisa dijadikan penghela seluruh elemen perekonomian masyarakat pedesaan. Lebih lanjut, visi untuk membangun perekonomian berdasarkan semangat kerakyatan akan semakin mudah diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA Chiras, D.D. 1985. Environmental Science : A Framework For Decision Making. The Benjamin/Cumming Publising Cmpany, Inc. Menlo Park. Dunmont, R. 1971. Agriculture as Man’s Tranformations of The Rural Environment. In Peasant and Peasant Societies (Ed. By I.Shenin). Penguin Book Inc.Middlesex. Geertz, C. 1989. Penjaja Dan Raja. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hagen, E. 1962. On The Theory of Social Change: How Economic Growh Begins. The Dorsey Press Inc. Illinois. Munasinghe, M.1993. Environmental Economic and Sustainable Development. The World Bank. Washington, D.C. Neufeldt,V. and D.B. Guralnik. 1988. Webster s New Woprld Dictionary of American English. Webter s New World. New York. Polanyi, T. 1957. The Great Tranformation: The Political Economic Origin of Four Time. Beacon Press. London. Pranadji, T. 1995. Wirausaha, kemitraan Dan Pengembangan Agribisnis Secara Berkelanjutan. Analisis CSIS, XIV (5): 332-343. Center of Strategic and International Studies. Jakarta. TRANSFORMASI SOSIO-BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Tri Pranadji dan Endang Lestari Hastuti
91
Pranadji, T. 1986. Subsidi Pupuk, Dilema Kualitas, Hingga Organisasi Petani. Forum Ekonomi, V(38):18-21. ISEI. Jakarta. Pranadji, T. 1999. Perekayaan Sosio – Budaya Dalam Percepatan Tranformasi Masyarakat Pedesaan Secara Berkelanjutan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Proposal Penelitian. Pranadji, T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Sajogyo. 1974. Modernization Without Development in Rural Java. A Paper Contributed to The Study on Change in Agrarian Structure. FAO of Un, (1972-1973). Bogor Agricultural University. Sudaryanto, T. dan Pranadji,T.1999. Peran Kewirausahaan dan Kelembagaan(kemitraan) Dalam Peningkatan Daya Saing Produk Tanaman Pangan. Makalah Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV, 22-24 Nopember 1999, Balitro, Bogor. Van Dieren, W. 1995. Taking Nature Into Account: A Report of The Club of Rome Toward a Sustainable National Income. Copernicus, Springer-Verlag New York Inc. New York. Wertheim, W.F. 1976. The Rising Waves of Emancipation: From Counterpoint Towards Revolution. In Sociology and Development. Tavistock Publication Ltd.London.
AKP. Volume 2 No. 1, Maret 2004 : 77-92
92