PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN DALAM PERSPEKTIF KEMISKINAN BERKELANJUTAN Oleh
Iwan Setiajie Anugrah dan Erma Suryani Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Abstrak World Development Reeport (WDR) terbaru yang dikeluarkan Bank Dunia, menyatakan bahwa investasi pada sektor pertanian merupakan cara terbaik untuk mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan negara-negara berkembang. Jika sektor pertanian dan pedesaan diabaikan maka dunia akan gagal mencapai target untuk mengurangi setengah penduduk dunia dari tingkat kemiskinan dan kelaparan pada tahun 2015. WDR juga mengisyaratkan bahwa pertumbuhan pertanian masih merupakan cara efektif untuk peningkatan pendapatan petani miskin di pedesaan. Bagi masyarakat termiskin di pedesaan, pertumbuhan PDB yang berasal dari pertanian adalah sekitar empat kali lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan dibandingkan PDB dari luar sektor pertanian. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi riel sektor pertanian dan pedesaan serta permasalahan kemiskinan di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa PDB sektor pertanian Indonesia sampai dengan tahun 2006 tercatat mencapai pertumbuhan 3,41 persen dan memberikan tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 40,14 juta jiwa pada tahun yang sama. Sementara pertumbuhan investasi di sektor pertanian, melalui PMA dan PMDN, masing-masing sebesar 9,1 dan 30,6 persen dan pada tahun 2007, implementasi pembangunan pertanian dilaksanakan melalui 29 kegiatan utama, didukung oleh dana RAPBN sebesar Rp. 8.789,62 milyar. Disisi lain besarnya perhatian pemerintah pada pembangunan pertanian dan pedesaan juga dibarengi dengan masih tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan. Data BPS tahun 2006, jumlah kemiskinan di pedesaan masih 24,8 juta orang dari 39,1 juta masyarakat miskin di Indonesia. Sementara itu tingkat kemiskinan pada sektor pertanian, berdasarkan data BPS tahun 2004 mencapai sekitar 58,83 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Kemiskinan di sektor pertanian menjadi permasalahan yang dominan pada 30 propinsi di Indonesia. Pada tahun 2002, tercatat 69 program untuk mengurangi jumlah kemiskinan sebesar 2,77 juta per tahun yang melibatkan tidak kurang 17 instansi/Departemen, dengan alokasi dana sebesar Rp. 16,541 triliun dan meningkat menjadi Rp 32,06 triliun pada tahun 2007. Selain itu pada periode 2007-2009 dilakukan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) disamping program-program penanggulangan yang dilakukan oleh Departemen Pertanian serta Lembaga Swadaya Masyarakat. Dari gambaran tersebut, secara teoritis besarnya peningkatan PDB sektor pertanian, seharusnya menjadi dasar bagi pengurangan angka kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan, tetapi justru terjadi sebaliknya. Masih banyaknya perbedaan perhitungan penduduk miskin oleh beberapa instansi, secara keseluruhan mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi kemiskinan secara nasional. Ada dua faktor penting dari kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia: (1) Cenderung terfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin, dan (2) Kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Dengan demikian strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi pendekatan ekonomi saja, tetapi harus sistemik serta didukung oleh kajian-kajian lain yang dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan dasar kemiskinan, melalui faktor-faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan, gejala-gejala serta akibat dari kemiskinan itu sendiri, sehingga prioritas pembangunan pro-poor, pro-growth dan pro-employment yang menjadi target pembangunan nasional dapat terealisasikan dan tercapai. Kata kunci : pembangunan, pertumbuhan, kemiskinan
1
PENDAHULUAN World Development Report(WDR) terbaru yang dikeluarkan Bank Dunia, berkaitan dengan pembangunan pertanian serta masalah kemiskinan pedesaan, menyatakan bahwa investasi pada sektor pertanian merupakan cara terbaik untuk mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan di negara-negara berkembang. Investasi yang lebih besar pada sektor pertanian di negara-negara berkembang yang sebagian berada di Asia, merupakan langkah vital bagi kesejahteraan 600 juta penduduk miskin yang hidup di negara-negara tersebut. Laporan dengan judul Agriculture for Development tersebut mengungkapkan bahwa dunia akan gagal mencapai target untuk mengurangi hingga setengah penduduk dunia dari tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah pada 2015, kecuali sektor pertanian dan pedesaan tidak diabaikan (Bisnis Indonesia, 2007). Presiden Bank Dunia juga menegaskan bahwa kemiskinan di pedesaan mencapai tingkat tinggi sebesar 82 persen dari total kemiskinan di negara-negara berkembang. Fokus yang lebih besar pada pertanian, menurut Presiden Bank Dunia sangat penting jika mempertimbangkan tekanan populasi, penurunan lahan pertanian, kelangkaan air, kontaminasi lingkungan dan kebutuhan untuk membangun daerahdaerah miskin tertinggal. Sebagai ilustrasi dikemukakan bahwa antara 1995 dan 2003, di negara berkembang seperti China, India, Indonesia dan Thailand, pertanian memberi konstribusi rata-rata 7 persen terhadap pertumbuhan domestik bruto (PDB), kendati sektor tersebut mencakup sekitar 13 persen perekonomian dan memperkerjakan lebih dari separuh tenaga kerja (Bisnis Indonesia, 2007). Bagian laporan lain menunjukkan negara-negara tersebut, di mana 2,2 milyar penduduknya tinggal di pedesaan, pertumbuhan pertanian masih merupakan cara efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat miskin di pedesaan. Menurut WDR, pertumbuhan PDB yang berasal dari pertanian merupakan empat kali lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan dibandingkan pertumbuhan PDB yang berasal dari luar sektor tersebut. Kehidupan petani tradisional dapat ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas makanan pokok di daerah-daerah tertinggal. Data empiris menunjukkan bahwa meskipun sektor pertanian memberikan sumbangan yang besar dalam penciptaan kesempatan kerja dan jaminan pendapatan kepada masyarakat, namun ketidakseimbangan sistemik masih sering terjadi pada kelompok masyarakat tani yang sebagian besar berada di pedesaan. Meningkatnya kesempatan untuk memperoleh akses faktor produksi serta potensi dan kesempatan yang beragam, belum dapat mengurangi wajah kesenjangan antar sektor, antar daerah, dan antar golongan masyarakat pada sektor pertanian. Implikasi dari kondisi demikian, membuat sebagian besar penduduk masih berada dalam kondisi tertinggal, sehingga pembangunan pertanian seolah-olah hanya menguntungkan pelaku kegiatan ekonomi pertanian yang lebih kuat. Hasil-hasil pembangunan pertanian, tidak serta merta dapat merembes ke bawah sehingga tidak mampu mengangkat kesejahteraan petani, seperti yang diharapkan. Keadaan ini digambarkan oleh angka kemiskinan di pedesaan yang masih besar, serta Nilai Tukar Petani (NTP) yang tidak seimbang dengan kegiatan ekonomi non pertanian. Berdasarkan gambaran tersebut, maka pembangunan pertanian harus ditujukan untuk mempersiapkan masyarakat tani berkemampuan dalam memantapkan proses perubahan struktur yang muncul dari kemampuan petani 2
sendiri, sejalan dengan kebijakan pembangunan pertanian untuk meletakkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan (people centered development), sekaligus merupakan penajaman arah baru pembangunan pertanian seiring dengan agenda reformasi pembangunan. Arah baru pembangunan pertanian tersebut, ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui perkembangan struktur masyarakat tani yang muncul dari kemampuan masyarakat tani sendiri (Sumodiningrat, 2000) Menyadari bahwa potensi dan kemampuan masyarakat tani serta lokasi pedesaan yang tidak merata, maka perlu dirumuskan suatu upaya kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan yang dapat mendorong upaya perubahan dan penanganan permasalahan di sektor pertanian dan pedesaan, terutama permasalahan kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan yang terus berkelanjutan. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi riel sektor pertanian dan pedesaan serta permasalahan kemiskinan yang sampai saat ini senantiasa menjadi potret sosial, sekaligus menjadi pokok permasalahan yang belum dapat terselesaikan pada setiap proses pembangunan pertanian dan pedesaan yang dilakukan, sehingga menjadi bahan pemikiran bersama para pengambil kebijakan, individu masyarakat serta lembaga terkait lainnya. KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN CAPAIAN HINGGA 2006 Pada tahun 2006, pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM), telah menetapkan tujuh prioritas pembangunan nasional, meliputi: (1) Penanggulangan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan; (2) Peningkatan kesempatan kerja, investasi dan ekspor; (3) Revitalisasi pertanian dan pedesaan; (4) Peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan; (5) Penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan reformasi birokrasi; (6) Pemantapan keamanan dan ketertiban dan penyelesaian konflik; (7) Rehabilitasi dan restrukturisasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias (Pikiran Rakyat, 2005). Dari tujuh prioritas pembangunan nasional tersebut, perhatian pemerintah terhadap permasalahan kemiskinan dan penanggulangannya melalui pengurangan kesenjangan, telah menjadi prioritas penting dalam pembangunan nasional, sehingga tema pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Presiden adalah pro-poor, progrowth, dan pro-employment, dengan fokus untuk menghasilkan sinergitas dan konsistensi kegiatan-kegiatan pokok antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan pada tujuh prioritas pembangunan sebagai pokok bahasannya. Di sektor pertanian, agenda pembangunan nasional selain difokuskan pada penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan dan peningkatan kesempatan kerja, inventarisasi dan ekspor, perhatian juga difokuskan pada agenda revitalisasi pertanian dan pedesaan. Pembangunan pertanian harus mampu menciptakan kesempatan kerja, dan mengentaskan kemiskinan, mengingat sampai saat ini sektor pertanian selain memberikan lapangan pekerjaan yang cukup besar juga memberikan kontribusi pada laju pertumbuhan perekonomian nasional. Pertumbuhan produk domestik brutor (PDB) pertanian terhadap pembangunan perekonomian nasional hingga tahun 2006, terus meningkat hingga mencapai 3,41 persen yang diperoleh dari pertumbuhan PDB subsektor perkebunan, peternakan serta subsektor tanaman pangan. 3
Tabel 1. Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Sektor Pertanian 20002006 Pertumbuhan (%) Sektor 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Pertanian luas 0,79 1,53 3,23 3,28 3,26 2,49 3,41 (1) Pertanian sempit 1,12 1,49 3,57 3,63 2,83 2,55 3,50 a. Pangan -0,79 1,53 2,57 2,79 2,89 2,57 2,89 b. Kebun 5,69 0,19 4,99 5,76 2,21 2,23 5,12 c. Ternak 3,56 3,28 5,85 4,26 3,35 2,87 3,99 (2) Kehutanan 2,62 1,60 2,14 -4,30 0,70 -2,03 -1,78 (3) Perikanan 4,73 5,00 1,98 4,79 6,89 4,27 5,23 PDB Total 4,39 3,97 4,38 4,72 5,05 5,60 5,23 Sumber : - Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2007 - Biro Pusat Statistik, 2006
Sementara tingkat penyerapan tenaga kerja sektor pertanian hingga tahun 2006 mencapai 40,14 juta orang. Pada Tabel 2 terlihat bahwa total angkatan kerja hingga tahun 2006 mencapai 105,39 juta orang, sehingga jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2006 mencapai 20,27 persen setara dengan 10,93 juta orang. Tabel 2. Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Periode 1999 – 2006 di Indonesia Bekerja Tahun Pertanian 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
38,38 40,68 39,74 40,63 43,04 40,61 41,81 40,14
Non pertanian 50,44 49,16 51,06 51,01 49,77 53,11 53,13 55,32
Total keluarga 94,85 89,84 90,81 91,65 92,61 93,72 105,80 105,39
(juta orang) Pengangguran terbuka
Total angkatan kerja
Jumlah
(%)
94,55 95,65 98,81 100,79 102,63 103,97 105,80 105,39
6,30 5,81 8,01 9,13 9,82 10,25 10,85 10,93
6,36 6,08 8,10 9,06 9,57 9,86 10,26 10,27
Sumber : - Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2007 - Biro Pusat Statistik, 2006
Dari Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa pertumbuhan sektor pertanian yang cukup tinggi, telah memberikan peluang untuk penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebanyak 38,09 persen dari total angkatan kerja tahun 2006. Jumlah yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2006 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005, sementara di sektor non pertanian terjadi sebaliknya. Namun demikian sektor pertanian masih tetap menjadi andalan penciptaan tambahan kesempatan kerja dalam jumlah yang cukup besar. Berdasarkan laporan Departemen Pertanian dalam buku ”Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian 2006”, disampaikan bahwa PDB sektor pertanian pada tahun 2006 tumbuh dengan sangat mengesankan dibandingkan pada tahun sebelumnya dan lebih tinggi dari pada tahun 2004 dan 2005. Hampir seluruh subsektor pertanian mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi dari tahun 4
sebelumnya. Subsektor tanaman pangan mengalami pertumbuhan (2,89%), perkebunan (5,12%) dan peternakan (3,99%). Kenaikan pada subsektor tanaman pangan didorong oleh kenaikan produksi padi, komoditas subsektor perkebunan terkait dengan peningkatan ekspor dan perbaikan harga komoditas perkebunan dunia. Sementara pada subsektor peternakan, kenaikan PDB disebabkan pulihnya kondisi konsumen untuk mengkonsumsi produk peternakan unggas. Pertumbuhan PDB sektor pertanian didukung adanya pertumbuhan investasi di sektor pertanian yang mengalami kenaikan selama periode 2005-2006. Investasi PMDN dan PMA pada tahun 2005, masing-masing meningkat 9,0 dan 15,0 persen dibanding tahun 2004 dan pada tahun 2006 masing-masing menjadi 30,6 dan 9,1 persen. Disamping investasi, hingga bulan Agustus 2006 proyek investasi PMDN dan PMA meningkat masing-masing 38,64 dan 87,63 persen. Dari keseluruhan peningkatan tersebut memberikan fakta terhadap peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian. Perkembangan pembangunan pertanian dari sisi kinerja produksi pertanian seperti padi pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 110.030 ton (0,95 persen) atau mencapai 54.663,594 ton dibanding tahun 2005. Peningkatan produksi jagung melalui benih hibrida berhasil meningkatkan produktivitas sebesar 0,47 persen. Produksi kacang dan umbi-umbian sekalipun belum optimal tetapi telah menunjukkan pencapaian produksi yang cukup baik. Produksi nasional buah-buahan juga mengalami peningkatan 9,34 persen menjadi 16.168.000 ton (angka sasaran). Produksi sayuran mengalami peningkatan 0,46 persen menjadi 9.101.987 ton pada tahun 2005 dan diperkirakan meningkat 6,5 persen pada tahun 2006 menjadi 9.700.000 ton. Peningkatan produksi komoditas perkebunan juga terjadi pada periode Oktober 2005-2006 sebesar 7,76 persen. Peningkatan yang sama juga terjadi pada populasi ternak, produksi dagung, telur dan susu, masing-masing 13,94 persen, 7,83 persen dan 7,77 persen. Secara keseluruhan, capaian pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2006 yang mencapai 3,50 tersebut tidak terlepas dari keberhasilan tiga program Departemen Pertanian, yaitu: (1) Peningkatan ketahanan pangan; (2) Pengembangan agribisnis yang pada intinya berupaya mendorong peningkatan daya saing, efisiensi dan penciptaan nilai tambah bagi petani; dan (3) Peningkatan kesejahteraan petani, dalam menciptakan kondisi berusaha dan mendorong partisipasi petani, pedagang serta pelaku lainnya yang terkait dengan peningkatan kapasitas dan kualitas produksinya. Pada tahun 2007 implementasi pembangunan pertanian diarahkan kepada 29 kegiatan utama yang bertujuan untuk mendorong percepatan pertumbuhan sektor pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani, disamping upaya untuk mengatasi permasalahan mendasar pembangunan pertanian yang hingga saat ini belum teratasi secara tuntas. Kedua puluh sembilan kegiatan utama tersebut didukung oleh dana RAPBN Departemen Pertanian tahun 2007 sebesar Rp 8.789,62 milyar. Adanya dukungan dana sebesar itu diharapkan kinerja pembangunan pertanian ke depan dapat meningkatkan peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional serta berdampak pada perubahan pembangunan pedesaan dan bagi sebagian besar petani kearah yang lebih baik.
5
PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN REALITAS KEMISKINAN PEDESAAN Mengangkat kemiskinan menjadi suatu prioritas pembangunan, nampaknya merupakan hal yang sangat tepat. Pembangunan yang tidak dikaitkan dengan kemiskinan akan menimbulkan peluang munculnya permasalahan-permasalahan jangka pendek dan jangka panjang yang akan membahayakan proses dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Pembangunan pertanian sebagai salah satu dasar bagi pembangunan nasional, nampaknya tidak hanya cukup puas menjadi sektor yang berperan tangguh pada persoalan-persoalan pembangunan perekonomian semata. Walau dalam masa krisis ekonomi dan moneter menunjukkan pertumbuhan yang positif diantara sektor-sektor lain yang terus menurun, namun lebih dari itu peran dan fungsi sektor pertanian sebagai leading sector perekonomian saat ini masih dihadapkan pada berbagai persoalan, sejalan dengan perubahan dan tuntutan pembangunan secara keseluruhan. Para pemerhati masalah pembangunan pertanian, mengkritisi juga perubahan paradigma pembangunan pertanian di Indonesia sejak tahun 1970 dalam kerangka perubahan paradigma pembangunan ekonomi kapitalis yang bertumpu pada modal besar, dimana kerangka pembangunan sektor pertanian tidak lagi ditempatkan sebagai pondasi ekonomi nasional, tetapi dijadikan buffer (penyangga) dalam upaya untuk mendorong dan mensukseskan sektor industrialisasi yang dijadikan lokomotif pertumbuhan ekonomi. Perkembangan kebijakan pelaksanaan dan paradigma pembangunan, terjadi kecenderungan bahwa kelahiran faham ideologi ekonomi kapitalis yang dijalankan pada kebijakan selanjutnya, cenderung melaksanakan pembangunan pertanian dengan cara jalan pintas (by-pass approach) yaitu revolusi hijau tanpa reforma agraria sehingga dengan adanya perubahan paradigma tersebut menciptakan missing link dalam pelaksanaan pembangunan pertanian dari satu periode ke periode lain. Pertanian tidak lagi dipandang dalam aspek menyeluruh tetapi direduksi sebagai sekedar persoalan produksi, teknologi, dan harga. Sementara tanah sebagai alas pembangunan pertanian tidak dianggap sebagai faktor amat penting. Pada waktu itu data menunjukkan bahwa sejak sepuluh tahun terakhir (1993-2003) jumlah petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 Ha (baik milik, sewa, dan bagi hasil) terus meningkat 2,39 persen per tahun, dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta rumah tangga atau dengan kata lain persentase rumah tangga petani gurem (tanpa lahan) terhadap rumah tangga pengguna lahan meningkat dari 52,7 persen pada tahun 1993 menjadi 56,5 persen pada tahun 2003 (Rusastra et al, 2007) Hasil penelitan di tingkat mikro di beberapa desa, memperjelas keterkaitan antara kepemilikan lahan, tingkat kemiskinan dan kerawanan pangan dimana kelompok masyarakat paling miskin dan rawan pangan di pedesaan adalah petani gurem dan buruh tani yang sekaligus mengindikasikan semakin miskinnya petani di pedesaan. Terlepas dari polemik untuk mencari keabsahan dalam metode dan alat dalam penentuan "orang miskin", secara nyata lerlihat bahwa berdasarkan perhitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen dengan jumlah penduduk yang lebih besar yaitu 37,4 juta orang. Bahkan berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional 6
(BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga pra sejahtera dan sejahtera I) pada tahun 2001 saja sudah mencapai 52,07 persen atau lebih dari setengah jumlah keluarga di Indonesia. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi kemiskinan di Indonesia. Perkembangan jumlah penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 (data BPS 2003) mencapai 37,3 juta orang atau sekitar 17,4 persen dari penduduk Indonesia pada tahun 2003. Tabel 3 menunjukkan perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia periode 19762006. Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia tahun 1976-2006 Berdasarkan Daerah Perkotaan dan Daerah Pedesaan Jumlah Penduduk miskin (jutaan) Persentase (%) Tahun Daerah Daerah Daerah Daerah Jumlah Jumlah Perkotaan Pedesaan Perkotaan Pedesaan 1976 10 44,2 54,2 38,8 40,4 40,1 1978 8,3 38,9 47,2 30,8 33,4 33,3 1980 9,5 32,8 42,3 29,0 28,4 28,6 1981 9,3 31,3 40,6 28,1 26,5 26,9 1984 9,3 25,7 35,0 23,1 21,2 21,6 1987 9,7 20,3 30,0 20,1 16,4 17,4 1990 9,4 17,7 27,2 16,8 14,3 15,1 1996 7,2 15,3 22,5 9,7 12,3 11,3 1999 15,6 32,4 48,0 19,3 26,1 23,4 2000 12,3 26,4 38,7 14,6 22,4 19,1 2001 8,6 29,3 37,9 9,8 24,8 18,4 2002 13,3 25,1 38,4 14,5 21,1 18,2 2003 12,3 25,1 37,3 13,6 20,2 17,4 2004 11,4 24,8 36,1 12,1 20,1 16,7 2005 12,4 22,7 35,1 11,4 19,5 15,97 2006 14,3 24,8 39,1 13,4 21,9 17,8 Sumber: - Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan di Indonesia 1976-1990. Biro Pusat Statistik 1992 - Irawan dan Romjati, 2000 - Data dan Informasi Kemiskinan tahun 2003. Buku I: Provinsi. Badan Pusat Statistik 2003 - Biro Pusat Statistik, 2006
Dari jumlah penduduk tersebut 20,2 persen diantaranya tersebar di pedesaan, dimana secara geografis daerah pedesaan di Indonesia sebagian besar penduduknya hidup dan bermatapencaharian dari sektor pertanian. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung data tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian sebagai mata pencaharian bagi sebagian besar masyarakat Indonesia berada dalam lingkup kemiskinan secara agroekosistem. Berdasarkan lapangan pekerjaan utama, baik yang dilakukan oleh kepala rumah tangga maupun secara individu penduduk bahwa persentase penduduk miskin pada sektor pertanian mencapai diatas 50 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di lapangan pekerjaan lainnya.
7
70 60
%
50 40 30 20 10 0 2000
2001
2002
2003
2004
Industri
Jasa
Tahun Tdk. Bekerja
Pertanian
Gambar 1. Proporsi Penduduk Miskin Menurut Sektor Mata Pencaharian, Tahun 2000-2004
Berdasarkan data BPS (2004) bahwa penyebaran penduduk miskin berdasarkan lapangan pekerjaan pada 30 provinsi yang ada selama ini, menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja di sektor pertanian lah yang menempati persentase cukup besar dibandingkan dengan sektor pekerjaan lainnya. Sebaran penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Proporsi Penduduk Miskin Usia 15 Tahun Keatas yang Bekerja di Sektor Pertanian Menurut Provinsi
< 50 Babel DKI. Jakarta Jawa Barat DI. Yogyakarta Banten Bali
50 - < 6 Rau Jatim Sulut NTB Kaltim Sumbar Jateng
Proporsi (%) 60 - < 70 Maluku Utara Lampung Sumsel Maluku Utara Sulteng Kalsel Gorontalo Jambi Sulsel Aceh Sumut
70 - < 80 Bengkulu Kalbar Kalteng Sultra
80 - < 90 NTT Papua
Sumber : Data dan Informasi kemiskinan tahun 2004. Buku II Provinsi. Badan Pusat Statistik 2004
INTROSPEKSI DAN PEMIKIRAN KE DEPAN Permasalahan kemiskinan pedesaan secara spesifik dalam kegiatan pertanian sangat beragam berdasarkan agroekosistem maupun usahatani yang dilakukan maka upaya kearah pemahaman akar kemiskinan itu sendiri merupakan prasyarat utama dan penting untuk dilakukan. Adanya kecenderungan pemaksaan program-program pengentasan/penanggulangan kemiskinan yang bersifat general dimana semua permasalahan kemiskinan dianggap sama pada setiap daerah/agroekosistem, sudah saatnya tidak dijadikan alat untuk mempercepat upaya pengentasan secara nasional dan tidak lagi populis untuk dilakukan pada upaya pembangunan ke depan. Konsep pemberdayaan dan model partisipatif yang bersifat bottom up dimana masyarakat petani sebagai subjek kemiskinan sudah sepantasnya diakomodasikan dalam perencanaan-perencanaan pembangunan pertanian di masa yang akan datang melalui 8
hasil analisa kebutuhan petani/masyarakat miskin itu sendiri, lingkungan agroekosistem serta lingkungan luar lain yang mendukung akses pembangunan wilayah miskin itu sendiri. Berdasarkan distribusi penduduk miskin di sektor pertanian, menunjukkan bahwa penduduk miskin pada subsektor tanaman pangan mencapai 75 persen, kemudian perkebunan dan kehutanan 13 persen, peternakan 5 persen dan perikanan 7 persen (BPS, 2006). Adanya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan ke daerah kabupaten dan kota, hendaknya dijadikan media untuk lebih mendekatkan dan menjelaskan kondisi akar kemiskinan yang sebenarnya pada setiap daerah otonom sehingga dapat melanjutkan tindakan penanggulangan kemiskinan yang terarah, mengingat kajian secara spesifik tentang permasalahan kemiskinan yang dihadapi nampaknya akan lebih efektif melalui akurasi data riil di tingkat mikro, sebagai upaya awal untuk membenahi sekaligus mendorong agar tindakan yang dilakukan bisa lebih efektif dan mengenai sasaran. Mengingat kemiskinan bukan hanya merupakan permasalahan individual maka proses perencanaan pengentasannya juga tidak hanya secara individual, tetapi lebih ke arah penanganan secara massal/agroekosistem dalam tatanan yang dapat memberikan motivasi kearah pemberdayaan, bukan pada bantuan sesaat yang lebih banyak mengakibatkan ketergantungan, sehingga tidak berdampak pada penguatan ekonomi lokal/masyarakat miskin itu sendiri. Kecenderungan program kemiskinan sebagaimana telah banyak dilakukan selama ini, nilai politis bantuan dan program terkesan lebih dominan dibandingkan dengan aspek ekonomis dan strategis, walaupun tentunya pola tersebut masih akan memerlukan waktu yang amat panjang untuk mencapai tujuan dibandingkan dengan program-program yang bersifat instant, tanpa dapat menumbuhkan kemandirian sosial masyarakat yang menjadi sasaran kompensasi dana penanggulangan itu sendiri. Ketidaksepakatan yang paling menonjol dalam menjelaskan konsep kemiskinan sebenarnya bukan terletak pada penerapan ukuran kemiskinan itu. Bukan pada indikator kuantitatif kemiskinan, melainkan pada penyebabnya seseorang atau sekelompok menjadi orang miskin dan faktor-faktor penyebabnya. Upaya menjawab pertanyaan tersebut, berbagai ilmuwan dan kalangan pemerintahan memberikan penjelasan yang berbeda, bahkan secara diametral, sehingga rekomendasi yang diajukan untuk memecahkan persoalan kemiskinan-pun berbeda. Dengan demikian, tentunya implikasi yang muncul dari implementasi program penanggulangan kemiskinan juga akan berbeda. Nampaknya pemahaman dan kriteria tentang batasan kemiskinan yang khusus berdasarkan kondisi pertanian secara spesifik sudah saatnya dipikirkan agar penanganan masalah kemiskinan di sektor pertanian bisa lebih terarah dan pasti. Restrukturisasi terhadap data kemiskinan di sektor pertanian dengan segala batasanbatasan yang riil di tingkat petani, nampaknya perlu ditinjau kembali dalam upaya membenahi langkah konkrit yang akan diambil oleh pengambil kebijakan. Hal ini penting untuk penanggulangan sekaligus pengentasan melalui pemberdayaan masyarakat secara partisipatif di tingkat petani dapat terwujud dan mengenai sasaran, dan pada akhirnya tujuan untuk membantu mengikis jumlah kemiskinan di tingkat petani secara bertahap bisa berkurang. Dengan demikian secara bertahap pembangunan pedesaaan yang bertumpu pada masyarakat pertanian terus 9
berkembang pada kemampuan yang mandiri. Konsep pemberdayaan nampaknya akan lebih berharga menciptakan ekonomi rakyat dari pada menciptakan ketergantungan pada berbagai bantuan. PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN Sebagaimana diketahui, penanggulangan kemiskinan telah lama dilakukan sejalan dengan munculnya permasalahan kemiskinan. Berbagai program tersebut telah dilakukan berbagai instansi pemerintah dengan jumlah dana yang relatif besar. Sebagai contoh berdasarkan data lima tahun yang lalu, pada tahun 2002 (Bina Desa No.88/Maret/2002) secara keseluruhan pemerintah waktu itu menganggarkan dana sebesar Rp 16,541 triliun untuk penanggulangan kemiskinan yang akan disalurkan melalui 16 departemen dan instansi pemerintah. Dana tersebut akan mencakup 69 program dengan rincian bahwa 16 program untuk penanggulangan kemiskinan, 33 program reguler, 13 crash program dan 8 untuk program lainnya. Pada waktu itu (2002) program-program tadi ditujukan untuk mengurangi jumlah kemiskinan sebesar 2,77 juta jiwa dan mempunyai sasaran hingga tahun 2004, dengan pengurangan angka kemiskinan per tahun 2,27 juta jiwa, sehingga angka kemiskinan selama tiga tahun dapat ditekan 8,3 juta jiwa. Beberapa departemen dan instansi dan besaran alokasi dana program kemiskinan T.A. 2002 disajikan pada Tabel 5. Tabel 5.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Sumber:
Alokasi Dana Program Penanggulangan Kemiskinan Menurut Instansi, Tahun Anggaran 2002 Instansi Departemen Pendidikan Nasional Departemen Kesehatan Departemen Sosial BKKBN Bulog Kimpraswil Degdagri dan Otda Kementerian KUKM Departemen Kelautan dan Perikanan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Biro Pusat Statistik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Departemen Agama Bappenas Departemen Pertanian Departemen Perindustrian dan Perdagangan Total alokasi dana pada tahun 2002
Besaran dana (Rp) 2,003 triliun 1,219 triliun 1,109 triliun 1,370 triliun 4,697 triliun 3,115 triliun 1,145 triliun 290,040 milyar 98,225 milyar 4,000 milyar 7,088 milyar 593,284 milyar 29,702 milyar 326,469 milyar 425,000 milyar 61,096 milyar 43,909 milyar 16,541 triliun
Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan dalam Bina Desa No.88/Maret/2002
10
Program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan pada tahun 20072009 melalui Menko Kesra dengan program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dengan orientasi 2827 kecamatan (2007), 3800 kecamatan (2008), dan 5263 kecamatan (2009), membutuhankan anggaran sebesar Rp 32,06 triliun. Program tersebut diwujudkan dalam program PPK untuk 21,92 juta orang atau 5,46 juta KK miskin dan P2KP dengan jangkauan 10 juta orang atau 2,5 juta KK miskin (Royat, 2007). Sedangkan program-program sektor pertanian yang berorientasi penanggulangan kemiskinan di pedesaan juga relatif banyak seperti P4K, Delivery, P2LK, Pidra, PK2PM, Poor Farmers (PFI3P/P4UM), PKMP, LUEP dan Primatani dan program lainnya. Pada program-program tersebut dirancang untuk dapat langsung memberdayakan para petani miskin di pedesaan dengan berbagai pendekatan masing-masing (Harniati, 2007). Program penanggulangan kemiskinan dalam implementasinya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga telah banyak dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh LSM Bina Swadaya diantaranya: (1) Peningkatan kapasitas aparat pemerintah dalam program-program penanggulangan kemiskinan; (2) Peningkatan peran corporate melalui program CSR; (3) Peningkatan kapasitas kelembagaan lokal masyarakat; (4) Penyediaan fasilitas kredit mikro melalui lembaga keuangan mikro (Hermantyo et el., 2007 dan Irawati, 2007). Dari keseluruhan program penanggulangan kemiskinan tersebut diharapkan pengentasan kemiskinan khususnya pada sektor pertanian dan kemiskinan di pedesaan secara bertahap dapat mencapai sasaran, sehingga jumlah masyarakat miskin di pedesaan yang sebagian besar dialami oleh para petani dapat berkurang. KESIMPULAN Keseluruhan uraian di atas hanya memperhatikan kondisi pengentasan kemiskinan dalam arti kuratif, artinya tidak mempersoalkan penyebab kemiskinan terjadi. Dalam kaitan ini masih sulit diharapkan menjadi acuan dan memberikan kontribusi dalam pencegahan terjadinya kemiskinan. Sebaliknya, pemerintah memiliki peran yang sangat besar. Banyak kebijakan pemerintah yang secara nyata mengurangi jumlah orang miskin, tetapi tidak sedikit kebijaksanaan pemerintah juga yang justru mengakibatkan terjadinya proses kemiskinan. Kebijakan seperti ini perlu dikaji secara kritis agar upaya pengentasan kemiskinan dapat maksimal. Peningkatan persentase kenaikan PDB sektor pertanian masih diikuti dengan jumlah penduduk miskin (pedesaan). Hal ini bertolak belakang dengan pandangan ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin. Disamping itu, adanya perbedaan jumlah dan perhitungan penduduk miskin dari beberapa instansi, masih mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran 11
bantuan sosial untuk orang miskin. Faktor kedua, adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri, sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. Data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama untuk perencanaan lokal. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi pendekatan ekonomi saja, tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas. Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti (tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosisologi, ilmu antropologi dan lainnya) perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya. Hal yang sama juga harus segera dilakukan di sektor pertanian, agar tercipta sistem penanggulangan kemiskinan yang benar-benar nyata berdasarkan akar kemiskinan yang sebenarnya terjadi di sektor pertanian. DAFTAR PUSTAKA BPS. 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Jakarta. BPS. 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku I : Provinsi dan Buku 2 : Kabupaten. Jakarta. BPS. 2004. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004. Buku I : Provinsi dan Buku 2 : Kabupaten. Jakarta. BPS. 2006. Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005-2006. Berita Resmi Statistik No.47/IX/1 September 2006. Jakarta. Departemen Pertanian. 2007. Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian 2006. Jakarta. Harian Bisnis Indonesia, edisi November 2007. Sektor Pertanian Kunci Pengentasan Kemiskinan. Harian Pikiran Rakyat, edisi 14 April 2005. Tujuh Prioritas Pembangunan 2006. Harniati. 2007. Program-program Sektor Pertanian yang Berorientasi Penanggulangan Kemiskinan. Materi Sekretaris Badan Pengembangan SDM Pertanian pada Seminar Nasional : Meningkatkan Peran Sektor Pertanian 12
Dalam Penanggulangan Kemiskinan, Diseminarkan tanggal 21 Agustus 2007 di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Hermantyo, A Irawati. 2007. Pengalaman LSM Dalam Pendampingan dan Pemberdayaan Keluarga Miskin. Materi LSM Bina Swadaya pada Seminar Nasional : Meningkatkan Peran Sektor Pertanian Dalam Penanggulangan Kemiskinan, Diseminarkan tanggal 21 Agustus 2007 di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Irawati, AH. 2007. Pengalaman LSM Dalam Pendampingan dan Pemberdayaan Keluarga Miskin. Materi pada Seminar Nasional Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan di Bogor 21 Agustus 2007. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Royat, Sujana. 2007. Kebijakan Pemerintah Dalam Penanggulangan Kemiskinan. Materi Assisten Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan pada Seminar Nasional : Meningkatkan Peran Sektor Pertanian Dalam Penanggulangan Kemiskinan, tanggal 21 Agustus 2007 di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Rusastra, IW (et al.). 2006. Tingkat Kesejahteraan dan Penanggulangan Kemiskinan Petani di Pedesaan. Materi Seminar Internal, Kinerja Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007 dilaksanakan di Bogor, 3-4 Oktober 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Rusastra, I.W dan T.A Napitupulu. 2007. Karakteristik Wilayah dan Keluarga Miskin di Pedesaan. Materi pada Seminar Nasional : Meningkatkan Peran Sektor Pertanian Dalam Penanggulangan Kemiskinan, Diseminarkan tanggal 21 Agustus 2007 di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Rusastra, IW et al. 2007. Kesejahteraan dan Pemikiran Penanggulangan Kemiskinan Petani. Prosiding Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Kedi Suradisastra et al. (ed.). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Sumodiningrat, Gunawan. 2000. Pembangunan Ekonomi melalui Pengembangan Pertanian. PT. Bina Rena Pariwara. Jakarta.
13