Arief Daryanto
MEMPOSISIKAN SECARA TEPAT PEMBANGUNAN PERTANIAN DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN NASIONAL Well Positioning Agricultural Development in The Perspective of National Development Arief Daryanto Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis-Institut Pertanian Bogor Jl. Dramaga Bogor
PENDAHULUAN Latar Belakang Topik pertanian untuk pembangunan (agriculture for the development) menjadi isu hangat sepanjang sejarah kehidupan manusia. Urgensi pembangunan pertanian untuk pembangunan nasional suatu negara secara teoritis telah teruji dan tidak terbantahkan lagi, namun dalam tataran impelementasi kebijakan terutama di negara-negara berkembang sering terjadi kebijakan yang salah sehingga sektor pertanian terabaikan atau ditinggalkan. Kebijakan pembangunan ekonomi di sebagian besar negara berkembang termasuk di Indonesia seringkali terdapat ketidakkonsistenan antara apa yang secara formal tertuang dalam dokumen perencanaan dengan tataran implementasi dalam pelaksanaan strategi pembangunan ekonomi. “Indonesia adalah negara agraris” ternyata bukan sekedar gelar kosong atau nostalgia. Dari waktu ke waktu terbukti sektor pertanian selalu menjadi andalan dalam pembangunan perekonomian nasional, dulu, sekarang, dan diyakini untuk masa yang akan datang. Terlepas dari itu, memang harus diakui bahwa sektor pertanian menghadapi tantangan yang semakin besar, seperti globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan, desentralisasi atau otonomi daerah, serta krisis pangan dan finansial. Sementara itu, di dalam negeri sendiri masih dirasakan kurangnya keberpihakan pengambil kebijakan terhadap pembangunan sektor pertanian dalam perspektif pembangunan nasional. Dalam era globalisasi, bahasa yang dikenal dalam pergaulan antarnegara adalah membangun kerja sama ekonomi atau menghadapi persaingan antarnegara. Untuk memenangkan persaingan, mau tidak mau harus memiliki daya saing yang unggul, yaitu terbangunnya efisiensi yang tinggi pada seluruh tingkatan pelaku ekonomi. Sektor pertanian sebagai sektor yang memiliki nilai strategis dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) bagi masyarakat tidak terkecuali dari keharusan membangun daya saing yang tangguh untuk bertahan menghadapi persaingan global yang semakin dinamis. Sektor pertanian telah diakui memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional yang dapat dilihat dari kemampuannya berkontribusi
26
Memposisikan Secara Tepat Pembangunan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Nasional
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja/berusaha, peningkatan pendapatan masyarakat, serta sumber perolehan devisa. Pertanian untuk pembangunan nasional juga dipandang sebagai suatu sektor yang memiliki kemampuan khusus dalam menghasilkan pertumbuhan yang berkualitas (growth with equity). Semakin besarnya perhatian terhadap melebarnya perbedaan pendapatan memberikan stimulan yang lebih besar untuk lebih baik memanfaatkan kekuatan pertanian bagi pembangunan. Kontribusi besar yang dimiliki sektor pertanian tersebut memberikan sinyal bahwa sudah saatnya kembali ke khitah sebagai negara agraris untuk lebih serius membangun pertanian. Pertanian di Indonesia sudah selayaknya dijadikan sebagai suatu sektor ekonomi yang sejajar dengan sektor lainnya. Sektor ini tidak lagi hanya berperan sebagai aktor pembantu apalagi figuran bagi pembangunan nasional, tetapi harus menjadi pemeran utama yang sejajar dengan sektor industri. Setelah tercapainya swasembada beras pada tahun 2008, tantangan berikutnya bagi rakyat Indonesia adalah bagaimana agar dapat semakin mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan sumber nabati nonkarbohidrat dan pangan hewani. Untuk itu, subsektor hortikultura dan peternakan akan menjadi semakin strategis di masa yang akan datang. Jika melihat lebih dalam kandungan gizi produk-produk peternakan seperti telur dan daging memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempe dan tahu. Protein telur dan daging ayam masing-masing mencapai sekitar 12,5 persen dan 18,5 persen per gram. Sementara, protein tempe dan tahu masing-masing hanya 11 persen dan 7,5 persen per gram. UNICEF pun mengakui bahwa perbaikan gizi berlandaskan pemenuhan kebutuhan protein memiliki andil sekitar 50 persen dalam pertumbuhan ekonomi negara-negara Eropa Barat seabad terakhir. Terlebih produk hortikultura (sayur dan buah) dan peternakan (susu) memiliki kandungan gizi utama yang sangat penting bagi kesehatan yang tidak dapat digantikan oleh produk-produk pangan lain. Selain dinilai strategis dari segi perannya, sektor pertanian di Indonesia juga memiliki potensi besar sekaligus prospek yang cerah untuk dikembangkan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia memiliki keunggulan (comparative advantage) yang tinggi di masing-masing subsektor di sektor pertanian sebagaimana dicerminkan dari potensi sumber daya pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) berbasis sumber daya lokal atau dikenal dengan istilah resources based industries. Maka dari itu, pembangunan pertanian merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya mewujudkan pembangunan nasional yang berkualitas dan seyogianya sektor ini layak pula ditempatkan pada posisi strategis dalam pembangunan nasional. Beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi Indonesia dalam memposisikan secara tepat sektor pertanian dalam pembangunan nasional adalah : (1) masalah pentingnya ketahanan pangan dan energi, (2) masalah stagnan atau menurunnya nilai tukar petani (term of trade) dari waktu ke waktu, (3) kecenderungan makin tingginya tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin di perdesaan, dan (4) masalah keberlanjutan pembangunan dan pelestarian lingkungan.
27
Arief Daryanto
Tujuan Tulisan ditujukan untuk: (1) membahas perspektif historis pentingnya pertanian untuk pembangunan; (2) membahas mutlak kembali ke negara pertanian; (3) membahas peranan baru dan tantangan pembangunan pertanian; (4) membahas pentingnya paradigma baru pertanian untuk pembangunan nasional; dan (5) kondisi untuk mendukung keberhasilan strategi pertanian untuk pembangunan
PERSPEKTIF SEJARAH : Pertanian untuk Pembangunan
Sejarah pada hakekatnya adalah suatu rangkaian sebab akibat dari niat dan ikhtiar manusia, dalam konteks ini adalah dalam melaksanakan pembangunan pertanian dalam kerangka pembangunan nasional. Artinya, apa yang dicapai dalam pembangunan pertanian saat ini sebenarnya merupakan hasil dari pembangunan pertanian yang dilakukan pada masa lalu, dan pembangunan pertanian yang dilakukan saat ini akan berakibat pada kinerja pembangunan pertanian pada masa yang akan datang. Krisnamurthi (2006) mengungkapkan pentingnya sejarah dalam konteks revitalisasi pertanian, dikatakan bahwa sejarah menjadi penting bukan karena romantisme nostalgia atau mengagungkan kebanggaan prestasi, tetapi justru karena dapat menjadi cermin untuk mengenal jati diri dan untuk memperbaiki hari esok dalam lintasan sejarah itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa cermin itu bukan untuk mencari kekurangan dan kesalahan, tetapi sebagai modal untuk melangkah ke depan. Pembahasan perspektif sejarah dalam konteks pertanian dalam kerangka pembangunan (agriculture for the development) akan dikemukakan secara singkat (WDR, 2008) : Pertama, periode tahun 1960-an, pada periode ini didefinisikan dengan baik tentang paradigma klasik peranan pertanian dalam pembangunan. Beberapa aspek yang membumi pada periode ini adalah aspek sejarah (grounded in history), teori (grounded in theory), regulasi-regulasi empiris (grounded in empirical regularities), dan perilaku (grounded in behavior). Aspek sejarah yang tercatat dan membumi (grounded in history) adalah seperti pengalaman keberhasilan Eropa Barat dalam menerapkan pertanian untuk pembangunan (Western experience) dan keajaiban asia (Asian miracles). Aspek teori yang membumi (grounded theory) pertanian dalam pembangunan adalah pertanian menuju industrialisasi (agricultural on the road to industrializatiaon). Selanjutnya, regulasi-regulasi empiris (grounded in empirical regularities) adalah transformasi pertanian. Terakhir, perilaku (grounded in behavior) adalah bahwa pertanian ternyata responsif terhadap insentif-insentif. Pada periode (1960-1965) Indonesia di bawah pemerintahan dengan model ekonomi terpimpin dan pada periode (19651968) di bawah pemerintahan transisi ke pemerintah orde baru. Kedua, periode tahun 1970-an, pada periode ini banyak dijumpai keberhasilan pertanian dalam pembangunan, tetapi banyak implementasi yang mengalami kegagalan. Kebijakan bias perkotaan (urban bias) melalui strategi substitusi impor (SI) untuk industrialisasi. Strategi substitusi impor oleh Bhagwati
28
Memposisikan Secara Tepat Pembangunan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Nasional
(1987) ditandai oleh Nilai Tukar Efektif Impor (NTEm) yang lebih besar dari Nilai Tukar Efektif Ekspor (NTEx). Lahirnya strategi SI dipicu adanya fakta yang menunjukkan terjadi kecenderungan menurunnya nilai tukar komoditas pertanian yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang (Selatan) dengan produk yang dihasilkan oleh negara-negara industri atau maju (Utara). Pada periode ini juga ditandai adanya pembangunan perdesaan secara terpadu (integrated rural development) namun terdapat beberapa kelemahan, meliputi: (1) adanya overestimated kapasitas negara dalam mengkoordinasikan, (2) adanya underestimated terhadap munculnya peran sektor swasta, dan (3) adanya underestimated terhadap organisasi koperasi produsen. Di samping itu, juga banyak dijumpai kesalahan-kesalahan dalam proyek berbasis pertanian, sehingga menimbulkan komplikasi dan dukungan yang tidak memadai. Pada periode (19701985) di bawah pemerintahan Orde Baru dengan berbagai keberhasilan baik dalam pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Keberhasilan dalam meningkatkan produksi pangan melalui pengembangan infrastruktur irigasi, benih unggul bermutu, penggunaan pupuk kimia, pestisida kimia, mekanisasi pertanian, serta bimbingan dan penyuluhan. Puncaknya adalah tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Ketiga, kepemimpinan selama 20 tahun (1985-2005) di bawah pengaruh Konsensus Washington telah mengabaikan sektor pertanian. Beberapa kebijakan pada periode ini antara lain adalah : (1) melakukan penyesuaian fundamental makroekonomi, tetapi tidak melakukan penyesuaian kebijakan sektoral; (2) kebijakan industrialisasi melalui ekonomi terbuka, tetapi tidak melalui kebijakan pertanian yang tangguh; (3) kebijakan atau intervensi pemerintah di sektor pertanian, namun banyak menimbulkan kegagalan pasar (market failures); (4) penurunan kemiskinan di perdesaan melalui transfer, justru meningkatkan autonomous income; (5) investasi di bidang pertanian berdampak pada harga komoditas di pasar internasional rendah dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Pada periode (1985-1997) ditandai dengan mulai melambatnya pembangunan pertanian yang ditunjukkan melambatnya pertumbuhan produktivitas padi. Hingga tahun 1996, pembangunan ekonomi yang dilaksanakan rezim Orde Baru menunjukkan keberhasilan yang nyata : (1) pertumbuhan ekonomi khususnya sektor industri manufaktur sangat tinggi yaitu rata-rata 7 persen pertahun selama periode (1968-1996); (2) jumlah penduduk miskin secara absolut turun tajam dari 54,2 juta orang (40,1 persen) dari total penduduk pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta (11,4 %) dari total penduduk tahun 1996 (Irawan dan Rosmiati, 1999); (3) ketahanan pangan secara nasional cukup kuat, dimana ketersediaan pangan dan akses pangan cukup terjamin; (4) pangsa pertanian terhadap GDP telah menurun secara signifikan meskipun secara absolut GDP yang bersumber dari pertanian tetap meningkat; dan (5) Stabilitas makroekonomi dan perdagangan internasional cukup stabil, masalah hiperinflasi dan kontraksi ekonomi tidak pernah terjadi, serta perdagangan luar negeri mengalami surplus ekonomi. Pada periode (1998-2004) adalah periode transisi reformasi. Keberhasilan pembangunan yang dicapai bangsa Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru ternyata tidak berkelanjutan (unsustainable). Pada pertengahan tahun 1997 hingga
29
Arief Daryanto
pertengahan 1999 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang akut yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi sosial-ekonomi-politik, yang menumbangkan rezim Orde Baru. Perekonomian mengalami hiperinflasi, kontraksi ekonomi, serta pengangguran terbuka dan meningkatnya penduduk miskin. Insiden kemiskinan meningkat tajam menjadi 24,2 persen pada tahun 1998 dan 18 persen tahun 1999 (Irawan dan Rosmiati, 1999). Kondisi ini membalikkan kondisi Indonesia seperti pada awal 1980-an. Bahkan krisis pangan akut sehingga dikhawatirkan menimbulkan sindrom kehilangan generasi di masa datang. Impor beras meningkat tajam hingga 6 juta ton dan menempatkan Indonesia kembali menjadi negara importir terbesar dunia.
MUTLAK KEMBALI KE SEKTOR PERTANIAN Pertanian memiliki peranan yang sangat strategis dalam kehidupan sepanjang kehidupan manusia. Xenophon, filsuf dan sejarawan Yunani yang hidup 425-355 SM mengatakan bahwa “Agriculture is the mother and nourishes of all other arts”, Pertanian adalah ibu dari segala budaya. “Jika pertanian berjalan dengan baik, maka budaya-budaya lainnya akan tumbuh dengan baik pula, tetapi manakala sektor pertanian diterlantarkan, maka semua budaya lainnya akan rusak”. Pentingnya pertanian juga dinyatakan oleh filsuf terkenal Lao Tze, yang hidup sekitar 600 tahun SM. Dikatakan bahwa “There is nothing more important than agriculture in governing people and serving the Heaven”. Tidak ada suatu pun yang lebih penting di dunia ini selain pertanian, jika ingin masuk surga. Walaupun kedua pernyataan tersebut telah berusia lebih dari dua milenium, pernyataan ini masih relevan dengan kondisi yang dihadapi Indonesia dewasa ini. Bahkan di banyak negara, pernyataan ini masih dipegang, termasuk di negara-negara yang industrinya sudah maju. Bahkan banyak yang meyakini prinsip bahwa tidak ada negara maju yang tidak diawali oleh pertanian yang kuat. Pakar pembangunan ekonomi meyakini bahwa pertanian tetap menjadi penyedia sumber utama bahan pangan dan bahan baku industri, penyedia lapangan kerja dan kesempatan berusaha, penghasil devisa negara, dan sumber permintaan bagi produk-produk industri dan jasa dalam negeri. Mengingat pertanian merupakan penyedia bahan makanan, maka ketersediaan pangan menjamin stabilitas sosial, ekonomi dan politik. Keamanan pangan menjamin ketahanan bangsa dan negara. Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report/WDR), yang bertemakan ”Agriculture for the Development” menyatakan bahwa investasi yang lebih besar dan lebih baik dalam bidang pertanian (dalam arti luas termasuk agribisnis) di negara-negara berkembang, yang sebagian besar berada di Asia, merupakan langkah vital dan strategik bagi kesejahteraan 600 juta penduduk miskin yang hidup di negara-negara tersebut. Negara-negara berkembang akan gagal mencapai targetnya untuk mengurangi sampai setengah penduduk dunia dari tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah pada tahun 2015 kecuali jika sektor pertanian dan perdesaan tidak diabaikan. Pertumbuhan pertanian berdasarkan penelitian-penelitian yang sangat ekstensif (lebih dari 700 studi) sangat diyakini masih merupakan cara paling efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat miskin di perdesaan.
30
Memposisikan Secara Tepat Pembangunan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Nasional
Kembali ke Pertanian Kenaikan kinerja sektor pertanian yang menyumbang 4,3 persen terhadap pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 sebenarnya menimbulkan pertanyaan bagaimana sektor pertanian bisa tumbuh secepat itu mengingat tidak banyaknya investasi yang ditanamkan di bidang ini. Bahkan infrakstruktur di bidang pertanian (bendungan, saluran irigasi dan lain-lain) masih berbasis investasi pada tahun 1970-an. Hingga kini belum ada investasi yang signifikan untuk memperbaiki dan memperluas infrastruktur pertanian yang telah berumur sekitar 20 sampai 30 tahun. Pertumbuhan tanpa didukung investasi merupakan pertumbuhan yang tidak berkualitas karena mengandalkan sumber pertumbuhan eksternal, yaitu harga beberapa komoditas ekspor, seperti harga CPO, karet alam, dan kakao naik dengan sangat tajam. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mempertahankan kinerja sektor pertanian tersebut ke depan agar pertumbuhan yang terjadi berkelanjutan. Jika ingin mempertahankan dan memperbaiki kinerja sektor pertanian secara berkelanjutan, maka peningkatan investasi dan iklim investasi merupakan faktor yang sangat krusial yang harus segera ditangani secara serius. Peningkatan investasi untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri, memperbaiki tataniaga pertanian, memperkuat stok penyangga merupakan suatu keharusan. Pertanian kita tidak tumbuh dengan baik dan berkelanjutan jika infrastruktur, transportasi, pendidikan, perbankan, energi, tidak berkembang. Pertanian sulit maju dalam lingkungan iklim investasi yang tidak kondusif dan tidak mendukung. Peranan Investasi Pertanian Menurut WDR, di dunia ini ada tiga kelompok negara, yaitu agricultural based countries (ABC), transforming countries (TC) dan urbanized countries (UC). Indonesia dikelompokkan sebagai transforming countries. Semakin tinggi pendapatan per kapita, kontribusi relatif sektor pertanian terhadap GDP dan juga sumbangan relatif pertumbuhan sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan semakin rendah. Sebagai contoh di kelompok negara ABC, TC, dan UC, rata-rata sumbangan sektor pertanian berturut-turut sebesar 31 persen, 15 persen dan 6 persen. Sumbangan pertumbuhan sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di masing-masing kelompok negara adalah 27 persen (ABC), 8 persen (TC), dan 4 persen (UC). Fenomena ini disebut sebagai paradoks investasi di bidang pertanian untuk mempercepat terjadinya transformasi struktural (paradox of investing in agriculture to foster structural transformation). Indonesia, sebagai negara transforming countries dicirikan bahwa sebagian besar petani menggarap kurang dari setengah hektar lahan dan hasil panen tradisional hanya menyediakan sedikit peluang penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan. Strategi baru yang seyogyanya diadopsi oleh pemerintah kita adalah perubahan orientasi pembangunan pertanian yang selama ini terfokus pada tanaman dan ternak bernilai rendah (low-value commodities) ke yang bernilai tinggi (high-value commodities), dari orientasi pasar domestik ke
31
Arief Daryanto
pasar internasional, dari pertanian ke agroindustri dan sektor nonpertanian (agribisnis) di perdesaan yang menciptakan nilai tambah (value added) yang lebih tinggi. Kehidupan para petani tradisional dapat ditingkatkan dengan meningkatkan produktivitas yang membutuhkan investasi besar dalam perbaikan infrastruktur pertanian, pengelolaan lahan dan air, serta penelitian pertanian. Hal ini juga membutuhkan peningkatan iklim investasi untuk sektor pertanian dan agribisnis. Menarik pula untuk dikemukakan di sini bahwa semakin maju suatu negara (semakin tinggi pendapatan per kapita-nya), maka sumbangan relatif sektor agribisnis (agro-manufacturing dan agroservices) terhadap GDP juga semakin besar, sementara sumbangan relatif sektor pertanian terhadap GDP semakin kecil. Ke depan, Indonesia perlu meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor, dengan lebih banyak mengekspor produk-produk pertanian olahannya, dan ekspor komoditas pertanian tidak lagi didominasi bahan baku. Gambar 1 memperlihatkan arah perkembangan agribisnis yang harus diikuti Indonesia. Gambar 1 juga memperlihatkan potensi dan arah investasi pertanian ke depan. Indonesia memiliki peluang yang sangat besar (room for improvement) untuk meningkatkan kinerja agribisnisnya.
Gambar 1. Kontribusi Relatif Pertanian dan Agribisnis (Agro-industry dan Agroservices) seiring dengan Peningkatan Pendapatan Laporan Bank Dunia tersebut sebenarnya mempertegas bahwa peran pertanian dalam perspektif pembangunan nasional, sektor pertanian dapat dijadikan sektor andalan perekonomian bagi Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam. Rekomendasi Bank Dunia bahwa Indonesia perlu merevitalisasi pertanian untuk menciptakan pembangunan nasional yang mampu menciptakan pertumbuhan sekaligus pemerataan (growth with equity). Pertumbuhan pertanian yang berkelanjutan membutuhkan dukungan investasi yang lebih baik dan lebih besar. Selama ini pembangunan pertanian kita tidak ditopang dengan tingkat
32
Memposisikan Secara Tepat Pembangunan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Nasional
investasi yang memadai (underinvestment). Bahkan investasi di bidang pertanian yang sangat terbatas tersebut dialokasikan secara tidak benar pula (misinvestment).
PERANAN BARU DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN KE DEPAN Peranan Baru Sektor Pertanian Pertanian dijadikan sebagai way of life dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat pertanian di perdesaan. Sekitar 45 persen tenaga kerja masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, diperkirakan pada daerahdaerah tertinggal proporsinya lebih besar lagi. Peranan sektor pertanian selama ini dalam perekonomian nasional secara tradisional kerap hanya dilihat melalui sejauhmana kontribusinya dalam pembentukan PDB, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan perolehan devisa. Peranan baru sektor pertanian sekarang ini dapat diletakkan dalam kerangka ”3 F contribution in the economy”, yaitu food (pangan), feed (pakan), dan fuel (bahan bakar) (Daryanto, 2009). Namun, apabila kita tidak mampu mengelola pertanian dengan baik, maka akan dapat menciptakan Jebakan Sindrom 3 F, yaitu Food, Feed, and Fuel, karena adanya trade off antara ketahanan pangan dan produksi energi (Putri, 2009). Selanjutnya Syaukat (2009) mengemukakan agar tidak terjadi trade off maka produk-produk pertanian yang dikembangkan harus dipilih secara selektif dengan mempertimbangkan potensi supply dan demand produk tersebut, waste (by product) yang dihasilkan dikelola dengan baik, serta kapasitas energi yang akan dihasilkan. Peranan pertanian kaitannya dengan ”food” adalah sektor pertanian menjadi leading sector dalam pembangunan ketahanan pangan. Artinya peranan sektor pertanian sangat menentukan terwujudnya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas melalui ketersediaan dan kecukupan pangan baik nabati maupun hewani. Kaitannya dengan “feed”, sektor pertanian memiliki peranan sebagai pemasok terbesar bahan baku utama pakan ternak. Jagung merupakan komoditas pertanian terbesar yang digunakan untuk pakan ternak unggas. Pakan ternak unggas menggunakan bahan baku yang berasal dari jagung sebesar ± 60 persen. Selama beberapa tahun terakhir ini, jagung digunakan sebagai penghasil sumber energi terbarukan (renewable) untuk keperluan bahan bakar (fuel). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian telah berperan sebagai penghasil energi, biofuel. Industri etanol (biofuel) di Amerika Serikat (AS) meningkat tajam, dari 166 pabrik pada tahun 2006, sekarang meningkat tajam menjadi 429 pabrik biofuel. Naiknya harga minyak dunia mendorong riset dan pembangunan pabrik biofuel menjadi feasible. Pasar jagung dunia telah mengindikasikan bahwa alokasi jagung bagi kebutuhan pakan ternak akan berkurang karena tersedotnya jagung untuk keperluan bahan baku etanol (biofuel). Konsumsi jagung yang meningkat untuk pengembangan biofuel sebagai salah satu alternatif bahan bakar di negara-negara
33
Arief Daryanto
maju, terutama Amerika Serikat (AS) akan mengurangi pasokan jagung untuk pakan ternak. AS telah mengalokasikan 55 juta ton jagung untuk industri etanol (biofuel) dalam negeri pada tahun 2006 dan diperkirakan tahun 2008 meningkat menjadi 82 juta ton. Perkembangan industri biofuel akan diikuti oleh China yang memasok 20 persen jagung dunia. Kecenderungan permintaan jagung yang meningkat baik untuk pemenuhan industri pakan ternak maupun pengembangan energi alternatif bahan bakar (biofuel) akan diikuti oleh naiknya harga jagung di pasar dunia. Peluang pasar ini tentunya dapat ditangkap untuk pengembangan jagung baik di daerah sentra produksi lama maupun daerah pengembangan baru. Besarnya peranan sektor pertanian termasuk di dalamnya aspek food (pangan), feed (pakan), dan fuel (bahan bakar) menunjukkan bahwa eksistensi sektor pertanian telah mampu menciptakan rantai nilai tambah bisnis yang berasal dari lahan usaha hingga makanan yang siap saji (from farm to table business). Sektor pertanian tidak hanya berkaitan dengan on-farm saja. Namun, lingkup sektor pertanian juga berkaitan dengan off-farm, baik hulu hingga hilir. Sektor pertanian memiliki peran yang strategis untuk mewujudkan pertumbuhan yang inklusif dan efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran di perdesaan. Tantangan Sektor Pertanian Tidak dapat dielakkan sektor pertanian menghadapi berbagai tantangan. Pertama, belum terciptanya tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi sehingga memiliki daya saing yang rendah. Kedua, kondisi sosial, ekonomi, politik, dan keamanan yang masih belum stabil sehingga kurang kondusif untuk menarik investasi pada sektor pertanian. Ketiga, kondisi infrastruktur yang kurang memadai di daerah-daerah sentra produksi. Keempat, kualitas sumber daya manusia (SDM) yang relatif rendah. Kelima, kebijakan pemerintah belum berpihak pada sektor pertanian. Walaupun Revitalisasi Pertanian sudah dicanangkan, tetapi di lapangan masih terlihat adanya inkonsistensi kebijakan (policy inconsistency). Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian, tampaknya semakin rumit. Kenaikan harga beras, kedelai, jagung, gula dan minyak goreng di dalam negeri melonjak tinggi dan hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Jika kenaikan harga produk-produk pertanian ini yang memiliki dampak pengganda (multiplier effects) yang sangat tinggi, maka dikhawatirkan dalam waktu dekat akan menimbulkan gejolak sosial, dan politik. Pemerintah dinilai gagal menempatkan secara tepat pembangunan pertanian dalam perspektif pembangunan nasional. Walaupun Indonesia memiliki potensi sumber daya pertanian, tetapi hingga saat ini kita masih mengimpor kedelai sebesar 70 persen, daging sapi 25 persen, jagung 10 persen, kacang tanah 15 persen, susu 90 persen, dan gula 30 persen dari kebutuhan nasional. Sayangnya, peranan sektor pertanian yang besar belum dapat dimanfaatkan secara optimal baik di daerah sentra produksi lama maupun daerahdaerah sentra produksi pertumbuhan baru. Permasalahan sektor pertanian di Indonesia tidak terlepas dari beragam isu dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian global. Beragam isu dan tantangan dalam
34
Memposisikan Secara Tepat Pembangunan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Nasional
pembangunan pertanian ke depan meliputi: pertama, penerapan teknologi yang masih rendah, hal ini membawa implikasi rendahnya produktivitas dan daya saing produk-produk pertanian di pasar baik pasar domestik maupun pasar dunia. Ke depan harus disadari bahwa perubahan teknologi (technological change) dan aplikasinya di tingkat petani pengguna adalah sumber pertumbuhan produktivitas dan daya saing. Kedua, biaya yang tidak efisien dan isu-isu rantai pasok. Ketidakefisienan biaya dalam seluruh mata rantai sistem dan usaha agribisnis menyebabkan biaya ekonomi tinggi. Ke depan integrasi antarpelaku usaha dalam menghasilkan produk melalui managemen rantai pasok dan rantai nilai akan mampu menekan biaya dan meningkatkan efisiensi dalam keseluruhan rantai pasok dalam menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing. Ketiga, perubahan preferensi konsumen dan prasyarat kesehatan pangan. Ke depan masyarakat konsumen semakin cerdas terutama konsumen di negaranegara maju. Kalau dahulu tuntutan konsumen hanya pada atribut jumlah dan harga, maka ke depan konsumen menuntut atribut yang lebih lengkap, seperti kualitas produk, kemanan pangan, kualitas produk, kandungan zat gizi, dan ecolabeling. Keempat, biaya inovasi teknologi baru yang mahal. World Economic Forum (WEF, 2009), sebuah lembaga pemeringkatan daya saing ternama, memasukan kelompok inovasi dan kecanggihan (innovation and sophistication) yang terdiri dari pilar kecanggihan bisnis (business sophistication) dan pilar inovasi (innovation) sebagai penentu daya saing suatu bangsa. Artinya adalah hanya bangsa-bangsa yang memberikan perhatian dan penghargaan yang tinggi terhadap IPTEK yang akan mampu bersaing di kancah pergaulan global. Kelima, investasi sektor swasta asing atau (foreign direct invesment). Kekurangan modal dalam melaksanakan pembangunan dialami tidak hanya oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia, namun juga oleh negara-negara maju. Untuk memenangkan persaingan dalam mendapatkan modal atau investasi asing (FDI) maka diperlukan iklim investasi yang kondusif. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia adalah tidak hanya menyangkut stabilitas sosial dan politik, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu ketenagakerjaan), regulasi, perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah, hak milik (property rights) mulai dari tanah sampai kontrak dan penegakan hukum (law enforcement). Keenam, globalisasi ekonomi dalam kerangka AFTA dan ACFTA. Paling tidak ada tiga fenomena yang berada dibawah regionalisasi: (a) persetujuan perdagangan bebas bilateral, seperti AFTA dan ACFTA; (b) kesepakatan diskriminasi berdasarkan kawasan atau daerah; dan (c) kelompok negara yang ingin bersatu satu sama lainnya. Beberapa alasan pentingnya ACFTA bagi China, antara lain adalah (Hakim, 2010) : (a) ASEAN kaya dengan sumber daya alam dan minyak bumi; (b)
35
Arief Daryanto
ASEAN merupakan emerging market dengan pasar sekitar 500 juta penduduk dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (c) Counter balance dominasi ekonomi Jepang dan Amerika Serikat. Bagi ASEAN beberapa alasan pentingnya melakukan perdagangan dengan China antara lain adalah : (a) China merupakan pasar dinamis dengan 1,5 miliar penduduk dan merupakan sumber pertumbuhan baru, produk peternakan yang memiliki prospek pasar ke China adalah ternak babi dan produk unggas; (b) wisatawan China merupakan kunci utama perkembangan pasar wisata di kawasan ASEAN; (c) mengurangi ketergantungan kepada pasar tradisional ASEAN: Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang; dan (d) lambatnya perundingan WTO dalam bidang pertanian di mana China menawarkan produk temperate zone sedangkan ASEAN memiliki komparatif advantage untuk produk tropis sehingga bersifat komplemen.
MUNCULNYA PARADIGMA BARU PERTANIAN UNTUK PEMBANGUNAN NASIONAL Pelajaran Strategi Pembangunan Rezim Orde Baru Apabila penelaahan pembangunan pertanian dilakukan dalam ruang lingkup pembangunan ekonomi, yang berarti dalam ruang lingkup perubahanperubahan dalam struktur ekonomi, maka penelaahannya akan mencakup komposisi permintaan, kesempatan kerja, dan struktur perdagangan serta arus kapital atau modal. Dengan demikian, maka perubahan struktural dapat diartikan sebagai perubahan sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern. Analisis tentang struktur pertanian yang dualistik dalam pembangunan telah banyak dibahas, yang di satu sisi memperlihatkan kemandegan sektor pertanian tradisional dan dipihak lain pertumbuhan sektor modern di bidang industri. Hal yang sama terjadi di sektor pertanian, yaitu pertanian tradisional, subsisten, petani kecil dan buruh tani di satu pihak dan dipihak lain terdapat perusahaan pertanian besar, perkebunan besar, komersial, dan efisien. Meskipun badai krisis ekonomi telah menyebabkan ambruknya industri dalam negeri khususnya industri substitusi impor yang sangat tergantung pada bahan baku impor, namun pertanian yang dikelola secara industri mengalami booming dan terjadi ekspansi usaha yang cukup besar. Dalam melaksanakan rencana dan program pembangunan ekonomi selama pemerintahan Orde Baru Indonesia nampaknya mengikuti teori pembangunan ekonomi dari Rostow. Sebagai pengamat sejarah ekonomi dan pertumbuhan ekonomi, Rostow (1971) mengidentifikasikan lima tahapan transisi dalam proses pertumbuhan ekonomi dari primitif ke ekonomi modern. Pertama, masyarakat tradisional, yaitu masyarakat yang strukturnya dibangun dalam fungsi produksi terbatas, karena hambatan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi. Pada masa ini, produksi pertanian masih mengandalkan kelimpahan sumber daya dan tenaga kerja tidak terampil. Kedua, masyarakat peralihan atau transisi sebagai prasyarat tinggal landas. Pada masa ini masyarakat telah menerapkan konsep-konsep ilmu
36
Memposisikan Secara Tepat Pembangunan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Nasional
pengetahuan dan teknologi modern dalam fungsi produksi pertanian dan industri, seperti di Eropa Barat pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 dan pada abad akhir abad 19 dan awal abad 20. Perubahan-perubahan terjadi baik oleh faktor dari dalam maupun dari luar. Pada masa peralihan ini terjadi perubahanperubahan ekonomi, sosial, maupun politik menuju masyarakat modern. Pada masa ini, produksi pertanian pada transisi di antara mengandalkan kelimpahan sumber daya dan tenaga kerja kurang terampil ke arah penggunaan input-input produksi modern dan tenaga kerja cukup terampil. Ketiga, masyarakat tinggal landas. Masyarakat tersebut telah mampu mengatasi hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan, kemajuan ekonomi melalui perubahan teknologi menciptakan kegiatan yang terbatas dan kelompok elit terbatas yang mendukungnya. Tingkat investasi berkisar 5-10 persen; impor kapital merupakan sebagian besar investasi. Industri baru berkembang cepat, keuntungan diinvestasikan kembali pada industri baru yang menimbulkan dampak berganda dan akseleratif. Kelas pengusaha baru bertambah banyak, peranan swasta makin besar, para petani responsif terhadap perubahan teknologi, produktivitas pertanian tinggi dan permintaan terhadap hasil pertanian meningkat. Dalam 10-20 tahun mendatang struktur dasar ekonomi, sosial, politik masyarakat diubah untuk mempertahankan yang terus-menerus dan teratur. Pada masa ini, produksi pertanian sudah menggunakan input-input produksi modern dan tenaga kerja cukup terampil. Keempat, masyarakat berada dalam masa kecenderungan kemajuan yang berkesinambungan jangka panjang, meskipun terdapat fluktuasi. Kondisi perekonomian tumbuh secara teratur dengan meluasnya teknologi dan 10-20 persen pendapatan nasional diinvestasikan secara terus-menerus yang menyebabkan produksi meningkat lebih besar dari pertumbuhan penduduk. Terintegrasinya pembangunan sektoral ke dalam perekonomian nasional dan terintegrasinya perekonomian nasional ke dalam perekonomian internasional, melalui kegiatan ekspor-impor. Tuntutan terhadap sistem produksi modern yang efisien diimbangi terbangunnya kelembagaan, organisasi dan sistem nilai baru. Pada awal kematangan, industri dan teknologi terbatas tetapi pada masa kematangan industri teknologi meluas pada berbagai bidang usaha, canggih dan masyarakat mampu menyerap dan menerapkan teknologi modern dengan lebih efisien. Perkembangan ekonomi ditandai dengan adanya teknologi dan wiraswasta yang mampu menghasilkan produksi selektif dan mampu bersaing di pasar. Diperlukan waktu lebih kurang 60 tahun untuk beralih dari awal tinggal landas sampai akhir kematangan. Pada masa ini, produksi pertanian sudah berbasis IPTEK dan tenaga kerja berketerampilan tinggi. Kelima, masyarakat pada zaman konsumsi tinggi. Masyarakat berada pada keadaan ekonomi yang sektor-sektor utamanya secara bersama beralih barang-barang konsumsi awet dan jasa, seperti yang telah dilampaui oleh Amerika. Pendapatan perkapita naik, yang mengakibatkan konsumsi barangbarang lebih tinggi daripada kebutuhan pokok, dan struktur tenaga kerja berubah dengan rasio penduduk kota terhadap penduduk secara keseluruhan menjadi lebih besar serta terjadi pergeseran struktur tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Eropa Barat dan Jepang berusaha dan telah mencapai tahap ini,
37
Arief Daryanto
sedangkan Rusia masih perlu menyesuaikan politik. Timbul negara kesejahteraan (welfare state) sebagai manifestasi masyarakat yang telah melampaui masa kematangan teknik. Berdasarkan dokumen GBHN, Rejim Orde Baru telah menyusun dua tahapan strategi besar pembangunan berupa Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP1 (1969-1994) dan PU-PJP2 (1994-2019). Di mana PJP I diarahkan untuk menciptakan landasan yang kuat memasuki proses tinggal landas (take-off), sementara PJP2 merupakan masa tinggal landas, sesuai proses tahapan pembangunan Rostow, yang disebut sebagai era kebangkitan nasional kedua. Baik PU-PJP I maupun PU-PJP II menitik beratkan pada pembangunan ekonomi dan sama-sama bertumpu pada Trilogi Pembangunan: stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Ketiga tujuan pembangunan tersebut pada dasarnya dapat dipandang sebagai tujuan antara dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana tertuang dalam GBHN. Dalam konsep PU-PJP I (1969-1994) dengan jelas dikemukakan visi pembangunan ekonomi yaitu terwujudnya landasan memasuki era tinggal landas (take-off). Pada periode ini, diharapkan terciptanya struktur ekonomi yang kokoh dan berimbang yaitu struktur ekonomi dengan titik berat industri yang maju didukung oleh pertanian yang tangguh. Di samping itu, juga terpenuhinya kebutuhan pangan pokok rakyat. Strategi pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita yang semuanya dititikberatkan pada sektor pertanian dan sektor industri yang mengalami pergeseran secara bertahap: 1. Repelita 1: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian 2. Repelita 2: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku 3. Repelita 3: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembanda pangan dan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi 4. Repelita 4: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin 5. Repelita 5: melanjutkan Repelita 4. Pada akhir Pelita 5, terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh yaitu struktur ekonomi dengan titik berat industri yang maju dan didukung oleh pertanian yang tangguh dan siap memasuki fase tinggal landas. Secara formal, PU-PJP I mengandung visi, arah, dan strategi pembangunan yang jelas dan disusun dengan perencanaan jangka panjang. Implementasinya dilaksanakan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dengan demikian nampak jelas strategi pembangunan disusun berdasarkan teori transformasi ekonomi bertahap dan berimbang yang dipelopori oleh Rostow (1960). Simatupang (2000) melalui kajian terhadap dokumen PU-PJP I mengemukakan bahwa pembangunan sektor industri dilakukan secara bertahap mengikuti pola membalik arus yaitu diawali dari industri hilir (pengolah bahan
38
Memposisikan Secara Tepat Pembangunan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Nasional
mentah menjadi bahan baku) dan selanjutnya secara bertahap ke industri hulu (industri dasar penghasil mesin-mesin industri). Hal ini berarti industrialisasi dirancang secara bertahap, diawali dengan pembangunan industri sederhana padat tenaga kerja yang selanjutnya diikuti pembangunan industri yang semakin maju hingga industri padat modal berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. Strategi industrialisasi dalam dokumen PU-PJP I menekankan prioritas pembangunan industri skala kecil-menengah yang padat tenaga kerja. Dalam hal inipun, gagasan populer akhir-akhir ini untuk menitikberatkan pengembangan industri/usaha kecil menengah sesungguhnya sudah dicanangkan oleh para penyusun PU-PJP I lebih dari 30 tahun lalu. Simatupang (2000) menyimpulkan bahwa secara formal grand strategy pembangunan ekonomi rejim Orde Baru ialah industrialisasi bertahap, artikulatif dan berimbang berbasis pertanian. Secara implisit, ini dapat diartikan sebagai industrialisasi dengan pendekatan sistem agribisnis. Selanjutnya dikatakan bahwa grand strategy pembangunan ekonomi tersebut ialah pembangunan dengan pendekatan sistem agribisnis atau pembangunan berbasis pertanian. Pada pendekatan ini, sektor kunci (key sector) atau sektor pemimpin (leading sector) bergeser secara bertahap, diawali oleh sektor pertanian lalu kemudian bergeser ke sektor industri. Suatu hal yang mungkin dapat dinilai sebagai salah satu kekurangan konseptual dari PU-PJP1 ialah tidak dimasukkannya secara eksplisit pembangunan infrastruktur (social overhead capital) sebagai salah satu prioritas utama pembangunan. Secara teoritis, infrastruktur yang memadai merupakan salah satu prasyarat esensial bagi pembangunan ekonomi secara umum lebihlebih pada masa transisi menuju tahap tinggal landas sebagaimana dikemukakan oleh Rostow (1960). Secara obyektif, pada awal pelaksanaan PJP1 kondisi infrastruktur ekonomi maupun sosial masih sangat kurang, berkualitas buruk dan penyebaran regionalnya timpang, sehingga merupakan salah satu kendala utama pembangunan. Krisis ekonomi yang menjadi krisis multidimensi menunjukkan bahwa rezim Orde Baru gagal menciptakan struktur ekonomi berimbang dan tangguh sebagaimana diamanatkan dalam GBHN dan tertuang dalam Pola UmumPembangunan Jangka Panjang I (PU-PJP I). Dengan demikian, pembangunan ekonomi yang secara de facto memprioritaskan pembangunan sektor industri yang tidak berbasis pada pertanian telah gagal menciptakan pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development). Simatupang (2000) mengemukakan bahwa perekonomian Indonesia menghadapi berbagai masalah struktural: (1) sindroma pertumbuhan tanpa transformasi struktural (growth without structural transformation); (2) sindroma kemunduran ketahanan pangan (food security backwarddation); dan (3) sindroma ketergantungan ekonomi eksternal (external economy dependency). Ketiga penyakit struktural inilah yang ditengarai menjadi penyebab perekonomian Indonesia sangat rapuh terhadap gejolak eksternal. Adalah fakta sejarah pertanian dan pembangunan nasional ditandai dengan berbagai keberhasilan dan kegagalan yang telah membawa masyarakat Indonesia pada kondisi saat ini.
39
Arief Daryanto
Paradigma Baru Pertanian untuk Pembangunan Paradigma adalah model atau pola yang diterima (Kuhn, 1989). Memposisikan secara tepat pembangunan pertanian dalam perspektif pembangunan nasional seharusnya diletakkan dalam kerangka yang lebih luas (paradigma), karena dalam prosesnya terjadi interaksi yang kompleks dalam perkembangan teori ilmiah (alam, fisik, dan sosial) serta tatanan sosial dan politik dalam implementasinya. Wong (2007) mengemukakan tiga argumen penting kembalinya minat pada pertanian untuk pembangunan, yaitu: (1) revolusi di bidang bioteknologi pertanian, terutama dipicu oleh pengembangan ilmu genetika dan mikrobiologi, (2) tumbuh pesatnya pasar modern seperti supermarket dan hipermarket yang mentransformasikan rantai pasokan pertanian ke makanan, dan (3) penurunan kemiskinan dan pelestarian lingkungan, dimana sektor pertanian menjadi kendaraan utama untuk menurunkan kemiskinan dan pelestarian lingkungan di kawasan perdesaan. Pada “Forum on How to Feed the World in 2050” FAO, Rome October 2009” membahas urgensi paradigma baru pertanian untuk pembangunan. Hal ini dilandasi beberapa argumen : (1) terjadinya krisis ekonomi, mendorong adanya permintaan menggunakan pertanian untuk pembangunan, tetapi adalah tidak mungkin untuk kembali kepada paradigma klasik; dan (2) diperlukan paradigma baru pertanian untuk pembangunan untuk menggantikan atau memperbaharuhi paradigma klasik (FAO, 2009). Terjadinya krisis ekonomi yang cenderung menjadi krisis multidimensional, mendorong adanya permintaan menggunakan pertanian untuk pembangunan, tetapi adalah tidak mungkin untuk kembali kepada paradigma klasik. Paling tidak ada 2 (dua) argumen: (1) “Pembangunan” adalah tidak lebih dari hanya industrialisasi (1950-1960), tetapi pembangunan bersifat multidimensional, mencakup aspek pertumbuhan (growth), keadilan (equity), keberlanjutan (sustainability), serta kemiskanan (poverty) dan kerentanan (vulnerability); dan (2) dalam kontek struktural, pertumbuhan pertanian telah berubah secara drastis, hal ini antara lain dipengaruhi oleh globalisasi ekonomi, rantai nilai terpadu (integrated value chains), inovasi teknologi (technological innovation), inovasi kelembagaan atau rekayasa sosial kelembagaan (institutional innovation), serta kendala-kendala lingkungan (environmental constraints). Oleh karena itu, diperlukan paradigma baru pertanian untuk pembangunan untuk menggantikan atau memperbaharuhi paradigma klasik. Dua karakteristik paradigma baru pertanian untuk pembangunan adalah: (1) mengingat bahwa pembangunan adalah bersifat multidimensional, maka diperlukan : (a) win-wins exist, but trade-offs are expected; dan (b) diperlukan penyusunan skala prioritas pada tingkat nasional (need priority setting at the national level); dan (2) pembangunan membutuhkan keduanya, yaitu proses (process) dan keluaran (outcome) bahwa pertumbuhan pertanian ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan yang bersifat multidimensional. Bagaimana peranan usaha tani kecil dalam pembangunan pertanian.
40
Memposisikan Secara Tepat Pembangunan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Nasional
KONDISI-KONDISI UNTUK KEBERHASILAN DALAM MENGGUNAKAN PERTANIAN UNTUK PEMBANGUNAN NASIONAL Terdapat dua proposisi kondisi yang diperlukan untuk keberhasilan dalam menggunakan pertanian untuk pembangunan, yaitu kondisi pertama, diperlukan adanya re-konseptualisasi tentang peranan pertanian untuk pembangunan dalam paradigma yang baru dan kondisi kedua, diperlukan redesign pendekatan untuk efektivitas implementasi dalam paradigma baru (FAO, 2009). Dalam melakukan rekonseptualisasi tentang peranan pertanian untuk pembangunan dalam paradigma yang baru maka diperlukan : (1) harus mempertimbangkan adanya aspek komplementer (complementarities) dan (tradeoffs) dalam fungsi yang bersifat multidimensional dalam menggunakan pertanian untuk pembangunan, dalam hal ini penting mendefinisikan secara jelas tentang prioritas dan strategi negara; (2) dalam mendesain proses tentang bagaimana pertumbuhan pertanian untuk mencapai pembangunan nasional ditengah tekanan pasar, pada akhirnya diperlukan biaya imbangan untuk pertumbuhan (debate on farm size); (3) redefinisi tentang bagaimana peran pemerintah dalam mendukung pertanian, pemerintah harus menyusun skala prioritas sosial di antara konflik kepentingan, bagaimana pemerintah mengatasi kegagalan pasar, regulasi, dan mengikutsertakan sektor swasta melalui kemitraan usaha (partnership). Sementara itu, dalam melakukan redesign pendekatan untuk efektivitas implementasi dalam paradigma baru maka diperlukan : (1) percobaan (experiment) dengan pendekatan baru dan belajar menginternalisasi untuk perluasan untuk kesuksesan dalam kebijakan dan implementasi praktis, harus mau belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya dan melakukan identifikasi dampak dalam pilihan-pilihan baru; (2) kepastian struktur tatakelola (governance structure) untuk pemerintah untuk memahami peran baru pertanian dalam pembangunan, perlunya redesign Kementerian Pertanian untuk menggunakan pertumbuhan pertanian untuk pembangunan dengan perspektif teritorial dan menggerakkan peran organisasi produsen; (3) membangun keahlian atau kepakaran (expertise) dalam menggunakan pertanian untuk pembangunan, baik tingkat lokal, nasional dan internasional. Peran kunci lembaga FAO sebagai narasumber dalam menggunakan pertanian untuk pembangunan.
STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN UNTUK PEMBANGUNAN NASIONAL Reorientasi Pembangunan dari Pembangunan Ekonomi Konvensional ke Arah Pembangunan Ekonomi Secara Berkelanjutan Pendekatan pembangunan ekonomi konvensional yang dikenal dengan antropocentrism memiliki cara pandang bahwa manusia adalah pemilik yang ada di bumi ini, oleh karena itu setiap keputusan atau pilihan ekonomi harus mengedepankan kepentingan manusia di atas kepentingan elemen alam lainnya. Sementara itu, ekonomi ekologi (ecocentrism) memiliki cara pandang bahwa
41
Arief Daryanto
setiap elemen ekosistem (manusia, hewan, dan tumbuhan) memiliki kedududukan/ hak derajat dalam memperjuangkan/mendapatkan kepentingan yang sama (Diesendorf dan Hamilton, 1997). Dengan adanya reorientasi pembangunan dari pendekatan ekonomi konvensional yang hanya berdasarkan pertimbangkan ekonomi semata ke arah pembangunan ekonomi berkelanjutan yang didasarkan pada pertimbangan aspek (profit, people, dan planet) serta memperhatikan aspek kemiskinan (poverty) dan kerentanan (vulneralibity) dapat menjaga tingkat, stabilitas, dan keberlanjutan dalam menerapkan strategi pertanian untuk pembangunan. Memposisikan Pertanian sebagai Sektor Andalan dalam Pembangunan Nasional Peran baru sektor pertanian dalam menyediakan pangan (food), pakan (feed), dan enegri (biofuel) menjadikan sektor pertanian layak dijadikan sektor andalan dalam pembangunan nasional. Demikian juga halnya, tujuan pembangunan yang bersifat multidimensional (growth, equity, sustainability, poverty, and vulnarebility) juga menjadikan sektor pertanian layak dijadikan sektor andalan dalam pembangunan nasional. Secara umum, politik pertanian di Indonesia dalam kondisi lemah. Walaupun semua komponen bangsa (academicion, business man, government, and community) menyadari akan pentingnnya sektor pertanian dalam memperkuat struktur perekonomian nasional, perhatian pemerintah dan elit politik belum sebesar peran sektor pertanian itu sendiri. Mewujudkan Kemandirian Pangan Secara Berkelanjutan Kecukupan pangan adalah masalah hidup dan matinya suatu bangsa, sehingga kemandirian pangan secara berkelanjutan merupakan prioritas tujuan pembangunan pertanian. Dalam kondisi saat ini, sektor pertanian memiliki tiga peran baru atau dikenal dengan”3 F contribution in the economy”, yaitu food (pangan), feed (pakan), dan fuel (bahan bakar). Peranan pertanian kaitannya dengan ”food” adalah sektor pertanian menjadi leading sector dalam pembangunan ketahanan pangan. Kaitannya dengan “feed”, sektor pertanian memiliki peranan sebagai pemasok terbesar bahan baku utama pakan ternak. Pasar pangan dunia telah mengindikasikan bahwa alokasi pangan (biji-bijian) bagi kebutuhan pangan dan pakan ternak akan berkurang karena tersedot untuk keperluan bahan baku etanol (biofuel). Kemandirian pangan dapat dilakukan dengan meningkatkan produksi pangan secara berkelanjutan, yaitu melalui: (1) upaya meningkatkan kesejahteraan petani pangan melalui peningkatan produksi, kualitas hasil, dan pengembangan komoditas pangan bernilai ekonomi tinggi (hortikultura dan peternakan); (2) upaya mempertahankan momentum pertumbuhan tinggi produksi pangan dan menjaga stabilitasnya melalui pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan, (3) upaya mengatasi fenomena ketidakstabilan produksi melalui perbaikan kualitas sumber daya pertanian; dan (4) upaya meningkatkan daya saing produk pangan melalui peningkatan efisiensi, pengembangan produk, dan promosi produk pertanian ramah lingkungan.
42
Memposisikan Secara Tepat Pembangunan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Nasional
Mengurangi Jumlah Petani Miskin dan Membangun Partisipasi Petani Strategi pertanian untuk pembangunan memiliki tujuan yang bersifat multidimensional. Salah satunya adalah mengurangi jumlah petani miskin. Pembangunan pertanian berperan strategis dalam pengentasan penduduk miskin di wilayah perdesaan, karena sebagian besar penduduk miskin di Indonesia terkonsentrasi di wilayah perdesaan. Pertumbuhan sektor pertanian akan memberikan kontribusi besar dalam penurunan jumlah penduduk miskin dan pengangguran di wilayah perdesaan. Pelaksanaan pembangunan pertanian harus menjadi basis bagi partisipasi petani sehingga petani mampu mengaktualisasikan kegiatan usaha taninya secara optimal untuk meningkatkan pendapatannya. Hasilhasil pembangunan harus terdistribusi makin merata antar sektor, antarsubsektor dalam sektor pertanian dan antar lapisan masyarakat agar tidak ada lagi lapisan masyarakat yang tertinggal dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan meningkat. Pertanian untuk Pembangunan Mampu Memadukan Pertumbuhan, Pemerataan dan Keberlanjutan Pertumbuhan sektor pertanian sangat dibutuhkan untuk mengakselerasi perekonomian di wilayah perdesaan. Sektor pertanian Indonesia, hingga saat ini masih sangat tergantung pada hasil produksi primer bertumpu pada komoditas pangan beras, sehingga memiliki nilai tambah yang rendah dan kurang memiliki daya saing. Ke depan, pemerintah harus dapat mendorong perkembangan produkproduk pertanian bernilai ekonomi tinggi, produk-produk olahan untuk meningkatkan nilai tambah, dan meningkatkan serta memperluas pangsa pasar. Pertumbuhan sektor pertanian secara berkelanjutan akan memacu pertumbuhan sektor-sektor lain secara serasi dan seimbang, sehingga dapat memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha melalui kaitan ke belakang dan ke depan dalam kegiatan produksi dan konsumsi. Salah satu model baru dalam pembangunan pertanian berkelanjutan adalah SCPI (Sustainable Crop Production Intensification) atau dikenal dengan Save and Grow (FAO, 2011). Model Save and Grow merepresentasikan pergeseran besar dari model homogen produksi pangan (the homogeneous model of crop production) ke arah padat pengetahuan (knowledge-intensive), sering berkaitan dengan lokasi spesifik dan sistem usaha tani. Membangun Sistem Agribisnis Berdaya Saing dan Berkelanjutan Berdasarkan kriteria di atas maka pelaksanaan pembangunan pertanian berkelanjutan dapat dilakukan dengan pendekatan agribisnis berdaya saing secara berkelanjutan. Dilihat dari basis sumber daya yang digunakan, agribisnis sangat tergantung dengan faktor ekosistem atau lingkungan. Dengan demikian pembangunan pertanian yang dilakukan dengan pendekatan agribisnis dapat terus tumbuh secara berkelanjutan, seharusnya dapat diarahkan agar memiliki kompabilitas yang tinggi terhadap SDAL di mana agribisnis tersebut dikembangkan. Hal tersebut akan berhasil apabila pada setiap lini subsistem agribisnis dapat menetapkan tujuan yang ingin dicapainya tidak hanya didasarkan pada keuntungan saja tetapi juga memperhatikan aspek sosial (pemerataan) dan
43
Arief Daryanto
ekologi (lingkungan). Strategi pembangunan pertanian berkelanjutan pada subsistem produksi dilakukan dengan pendekatan pertanian secara berkelanjutan. Pada subsistem lainnya yang pada dasarnya masuk dalam kegiatan agroindustri, maka dalam proses pengolahannya dilakukan dengan melakukan pengolahan limbah secara baik. Artinya bagi limbah yang dapat digunakan sebagai masukan pada proses produksi pertanian dapat saling mendukung, sebagai ilustrasi pemanfaatan ampas tahu dapat digunakan sebagai bahan makanan untuk sapi potong dan ampas industri gula (blotong) dapat digunakan sebagai pupuk pada kegiatan usaha tani. Sementara itu untuk limbah yang bersifat merusak lingkungan dapat dikelola secara lebih baik melalui analisis dampak lingkungan. Melalui pembangunan sistem agribisnis berdaya saing dan berkelanjutan memberikan beberapa manfaat, yaitu: (1) pengembangan agribisnis berbasis SDAL yang dapat diperbaharui (renewable) dan secara kuantitas tidak akan pernah habis, (2) kegiatan agribisnis dapat dengan mudah diintegrasikan dengan proses daur ulang alam, sehingga mutu interaksi masyarakat agribisnis dan lingkungan dapat dipertahankan, (3) kegiatan agribisnis sangat fleksibel diintegrasikan dengan setiap tahap perkembangan pembangunan, apakah sebagai sumber pertumbuhan ekonomi lokal, regional, atau nasional, (4) pembangunan pertanian yang dilakukan dengan pendekatan agribisnis berkelanjutan juga membuka peluang kesempatan kerja secara ekstensif dan peningkatan pendapatan dengan adanya nilai tambah, (5) Hasil produk yang dilakukan melalui agribisnis berkelanjutan akan bersifat standar, berkualitas baik (higienis), dan berdaya saing tinggi.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Pergeseran paradigma pertanian untuk pembangunan dari paradigma klasik ke paradigma baru mulai banyak diterima oleh banyak negara, sebagai konsekuensi logis dari peran baru sektor pertanian dalam pembangunan nasional dan tujuan pembangunan yang bersifat multidimensional. Kembalinya minat pertanian untuk pembangunan dipicu oleh : (1) revolusi bioteknologi terutama pengembangan ilmu genetika dan mikrobiologi; (2) pesatnya pertumbuhan pasar modern yang mampu mentransformasikan rantai pasokan dari komoditas pertanian ke produk pangan; dan (3) tuntutan penurunan jumlah penduduk miskin dan pelestarian lingkungan. Pembangunan sektor pertanian dalam perspektif pembangunan nasional harus diletakkan dalam kedudukan yang seimbang dengan pembangunan sektor ekonomi lain dalam kerangka industrialisasi secara bertahap, artikulatif, dan berimbang berbasis pertanian. Pertanian untuk pembangunan dalam implementasinya dapat dilakukan dengan pengembangan agribisnis berdaya saing dan berkelanjutan. Hal ini membawa beberapa implikasi: (1) terpenuhinya secara berkesinambungan kebutuhan dasar nutrisi bagi masyarakat dari generasi ke generasi, pakan bagi
44
Memposisikan Secara Tepat Pembangunan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Nasional
industri peternakan, dan kebutuhan energi terbarukan; (2) menyediakan kesempatan kerja dan pendapatan yang memadai; (3) dapat memelihara tingkat kapasitas produksi sumber daya alam dan lingkungan; (4) mengurangi timbulnya pencemaran dan degradasi lingkungan; (5) dapat menghasilkan berbagai produk pertanian baik primer maupun hasil olahan yang berkualitas, sehat (aman), dan berdaya saing tinggi; dan (6) berkurangnya jumlah penduduk miskin dan vulnerability-nya. Strategi implementasi pembangunan pertanian berkelanjutan dapat dilakukan melalui: (1) reorientasi pembangunan dari pembangunan ekonomi konvensional ke arah pembangunan ekonomi secara berkelanjutan; (2) memposisikan pertanian sebagai sektor andalan dalam pembangunan nasional; (3) mewujudkan kemandirian pangan secara berkelanjutan; (4) mengurangi jumlah petani miskin dan membangun partisipasi petani; (5) pertanian untuk pembangunan mampu memadukan pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan; dan (6) membangun sistem agribisnis berdaya saing dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Bhagwati, J.N. 1987. Memikirkan Kembali Strategi Perdagangan dalam Mengkaji StrategiStrategi Pembangunan, diterjemahkan oleh Pandam Guritno. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Daryanto, A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press. Diesendorf, M and Hamilton, C, 1997. Human Ecology, Human Economy. Allen and Unwin, Sydney. FAO. 2011. Save and Grow. A Policy Maker’s Guide to the Sustainable Intensification of Smallholder Crop Production. Food and Agriculture Organization. Rome. FAO. 2009. Agiculture for Development : Toward a New Paradigm and Guidlines for Success A Sequel to the World Development Report 2008. Forum on How to Feed the World in 2050, FAO, Rome Oct. 2009. Hakim, D. B., 2010. China-ASEAN Free Trade Area. Institut Pertanian Bogor. Khun, T.S., 1989. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Diterjemahkan oleh Tjun Surjaman dari Judul Asli The Structure of Scientific Revolution Edisi Kedua. Penerbit Remadja Karya CV-Bandung. Krisnamurthi, B. 2006. Revitalisasi Pertanian : Sebuah Konsekuensi Sejarah dan Tuntutan Masa Depan. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Putri, E. I. K. 2009. Ancaman dan Solusi atas Krisis Pangan, Energi dan Air serta Peran Keilmuan Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan dalam Mengatasi Krisis Tersebut. Orange Book : Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dalam Menghadapi Krisis Global. Simatupang, P. dan N. Syafaat. 2000. Industrialisasi Berbasis Pertanian sebagai Grand Strategy Pembangunan Ekonomi Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 18(1 dan 2):1-15.
45
Arief Daryanto
Syaukat, Y. 2009. Ketahanan Pangan dan Energi : Trade Off?. Orange Book : Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dalam Menghadapi Krisis Global. WDR. 2008. World Development Report 2008: Agriculture for Development. Permanent URL for this page: http://go.worldbank.org/ZJIAOSUFU0. WEF. 2009. The Global Competitiveness Report 2009-2010. World Economic Forum. Geneve. Wong, L.C. Y. 2007. Development of Malaysia’s Agricultural Sector : Agriculture as an Engine Growth?. Presented at the ISEAS “Conference on the Malaysia’s Economy: Development and Challenges”, 25-26 January 2007. ISEAS, Singapura.
46