KRISIS EKONOMI DAN HUBUNGAN PATRON-KLIEN DALAM MASYARAKAT PERDESAAN Oleh: Abdul Hakim* ABSTRACT Some strategies as peasant choices are efforts to extend their field or to keep the field they owned, maximizing efforts to meet their basic needs, efforts to avoid losses in farming, exploiting workers in the circle of family, and maximizing manpower available to do any kind of work. Peasant strategy choices are influenced by some factors such as: (1) resources possessed and self-capacity; (2) meaning given to the action of others (feedback of action); (3) values in the rural community; and (4) output obtained from social interaction (cooperation, competition, conflict, and consequences). There are differences of strategy choices applied among peasants with different social levels. The differences are caused by an authority difference on land, resources and workers, differences on point of views about action consequences, and on individual characteristics (especially age, experience, risk bearing courage, and motivation). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam konteks terjadi krisis ekonomi, sebagai suatu realitas sosial yang tidak bisa dihindari, aktor --- petani, dan masyarakat desa pada umumnya ---, akan menentukan suatu tindakan yang dipilih dari berbagai alternatif yang tersedia, untuk menghindarkan dirinya dari kesulitan hidup yang dihadapi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ritzer (1985:57) bahwa aktor mengejar tujuan dalam situasi di mana norma-norma mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan alat untuk mencapai tujuan. Norma-norma tersebut tidak menetapkan pilihannya terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih. Kemampuan inilah yang disebut Parsons sebagai voluntarism, yaitu kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuannya. Teori Parsons ini kemudian terkenal dengan sebutan Teori Tindakan Sosial Voluntaristik (Johnson, 1990:106). Dalam konteks penelitian ini, konsepsi Parsons tentang kemampuan individu dalam menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia untuk mencapai tujuannya atau dalam menghadapi realitas sosial, diadopsi sebagai pilihan strategi petani dalam menghadapi krisis. Terminologi strategi dalam penelitian ini dapat mengacu pada dua makna sebagaimana yang diungkapkan oleh Bennett (1982:viii), yaitu: respons jangka pendek yang bersifat menyesuaikan (short term adjustive responsse atau yang disebut pula dengan short-term adjustive or coping actions); dan *
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi dan Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Doktor dalam bidang Sosiologi.
1
tindakan yang direncanakan atau dipolakan dalam jangka panjang (long-term design atau adaptive-strategic operations). Dalam masyarakat petani perdesaan, respons jangka pendek tersebut antara lain dapat berupa tindakan untuk melakukan pekerjaan apa saja asal menghasilkan pendapatan untuk makan. Sedangkan respons jangka panjang dapat berbentuk pengalihan pekerjaan bertani ke pekerjaan lain dalam bidang non-pertanian. Salah satu strategi yang dipilih petani dalam menghadapi krisis ekonomi adalah dengan mengembangkan mekanisme untuk membagi sumberdaya yang tersedia. Oleh Wolf (1985) strategi ini disebut sebagai Strategi Defensif. Menurut Wolf, jika petani mengalami
tekanan
yang
“membahayakan”
kelangsungan
kehidupan
rumah
tangganya maka ia dapat mengatasinya dengan cara melakukan pinjaman, sewa, atau meminta bantuan dari rumah tangga lainnya yang ada di desa. Artinya, petani dapat berusaha menahan efek dari tekanan yang menimpanya dengan jalan membagi rata dampak tersebut dengan rumah tangga petani lain. Tulisan ini akan mengkaji strategi yang terakhir ini, sebagai salah satu bentuk strategi bertahan hidup yang diterapkan oleh petani dalam menghadapi krisis ekonomi di perdesaan. 1.2 Masalah Penelitian Ada dua hal yang menjadi masalah dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimanakah petani memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari selama masa krisis? (2) Bagaimanakah praktek hubungan patron-klien sebagai suatu adaptive strategic dalam mengahadapi krisis di perdesaan? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Relevan dengan permasalahan yang telah diteliti, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang utuh dan mendalam tentang: (1) upaya masyarakat perdesaan, dalam hal ini petani, dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari; dan (2) hubungan patron-klien sebagai salah satu bentuk strategi adaptasi untuk bertahan hidup atau mengutamakan slamat (safety first) dalam menghadapi krisis di perdesaan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya khasanah teoretis Sosiologi (Perdesaan), khususnya dalam hal-hal yang berkenaan dengan kemampuan adaptasi dan daya tahan masyarakat desa terhadap krisis ekonomi. Di samping itu hasil penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan masukan kepada 2
para
pembuat
kebijakan
dalam
upaya
penyempurnaan
kebijakan-kebijakan
penanganan krisis dan pemberdayaan masyarakat miskin persedaan. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kehidupan Subsistensi di Perdesaan dan Strategi Petani Konsep subsisten dalam konteks kehidupan petani dimaknai sebagai suatu situasi di mana petani tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya untuk hidup sehari-hari sebagai akibat dari sempitnya luas lahan yang dimiliki, ketiadaan modal usaha, tidak tersedianya lapangan kerja lain di luar sektor pertanian, bencana alam, dan sebagainya; sehingga berakibat pada rendahnya tingkat pendapatan mereka. Keadaan ini telah membawa kehidupan petani ke dalam apa yang disebut sebagai “krisis subsistensi”, yaitu suatu keadaan petani tidak lagi dapat memenuhi kebutuhannya untuk makan dari bahan pangan yang utama (beras), tetapi mereka mengalihkan (subsitusi) ke bahan pangan lain, misalnya umbi-umbian. Kondisi ini tentu tidak serta merta menjadikan petani mati kelaparan, karena berbagai usaha lain masih bisa mereka lakukan, antara lain: menjual binatang ternak, menjual sebagian lahan yang dimiliki, meminta bantuan keluarga atau tetangga, dan sebagainya. Scott (1994:25), melukiskan sebagai berikut: “Dicapainya suatu tingkat krisis subsistensi sudah tentu tidak berarti bahwa keluarga-keluarga petani ... otomatis mati kelaparan. Dalam prakteknya, petani mungkin akan makan umbi-umbian, anak-anak mereka dititipkan kepada kerabat untuk sementara waktu, menjual binatang ternak, menjual lahan yang dipunyai, atau mungkin seluruh keluarga bermigrasi”.
Di kalangan petani di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, krisis subsistensi itu dapat teratasi karena adanya kebiasaan saling menolong antar kerabat dan tetangga, terutama dari mereka yang kaya kepada mereka yang sedang mengalami kesusahan. Petani-petani kaya menjadi dermawan bagi kelompok petani miskin, yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, antara lain: meminjamkan uang atau memberikan gabah atau beras, meminjamkan sebagian tanah yang mereka miliki untuk dikerjakan oleh petani miskin
yang sedang mengalami kekurangan pangan, dan juga membantu dalam
kegiatan-kegiatan serimonial. Fenomena ini oleh Lipton (1969) disebut sebagai bentukbentuk “asuransi terselubung”, atau oleh Scott (1994) disebut sebagai “etika subsistensi”, yang sangat fungsional saat krisis subsistensi terjadi. Michael Lipton, sebagaimana dikutip oleh Scott (1994:8) menyatakan bahwa, “banyak kebiasaan di desa yang secara sepintas lalu kelihatan ganjil, tetapi mempunyai makna sebagai 3
bentuk-bentuk asuransi terselubung”. Namun demikian, Breman dan Wiradi (2004) yang melakukan penelitian di perdesaan Subang Utara dan Cirebon Timur, membantah pendapat ini. Menurut mereka, mencari pekerjaan di tempat lain di dalam atau di luar sektor pertanian lebih fungsional dalam mengurangi terjadinya kesengsaraan di lapisan terbawah. “... saya cenderung tidak menyetujui observasi yang menyatakan bahwa patron membantu sedikit mengurangi perbedaan antar-golongan. Walaupun demikian ada hal yang dapat mencegah atau melunakkan terjadinya kesengsaraan di lapisan terbawah ekonomi desa, yaitu kemungkinan untuk meloloskan diri dengan mencari pekerjaan di tempat lain, entah di dalam atau di luar sektor pertanian” (Breman dan Wiradi, 2004:119).
Jika fenomena krisis subsistensi itu dibahas dalam konteks pemikiran Parsons (1937) bahwa individu itu adalah aktor yang aktif dan kreatif dari realitas sosialnya, maka kondisi tersebut tidak bisa diletakkan dalam perspektif budaya petani yang nrimo. Petani bukanlah individu yang menerima apa saja yang terjadi pada diri mereka sebagai suatu “takdir atas nasib” tetapi mereka juga berusaha mengatasi kesulitan yang dihadapi. Artinya, mereka sudah tentu berusaha untuk mendapatkan suatu tingkat pendapatan minimum yang dapat menghindari mereka agar tidak jatuh ke bawah batas subsistensi. Mengapa demikian, karena sebagaimana yang dikatakan oleh Scott (1994), upaya untuk memperoleh penghasilan minimum itu tidak hanya berdimensi fisiologis (hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum), tetapi juga memiliki implikasi sosial dan budaya. Individu bukanlah makhluk yang kebutuhannya hanya makan dan minum, tetapi merupakan bagian dari suatu sistem sosial yang di dalamnya ada aktivitas budaya di mana mereka tunduk dan patuh sebagai anggota dari komunitasnya. “Agar dapat menjadi anggota yang berfungsi penuh dalam masyarakat desa, sebuah rumah tangga memerlukan sumber penghasilan pada tingkat tertentu agar dapat memenuhi kewajiban-kewajiban serimonial dan sosialnya di samping menyediakan makanan yang memadai untuk dirinya sendiri dan meneruskan pekerjaannya bercocok tanam. Jatuh ke bawah tingkat itu, berarti bukan hanya menghadapi risiko kelaparan, akan tetapi juga kehilangan kedudukan sama sekali dalam komunitas dan mungkin jatuh ke suatu situasi ketergantungan selamalamanya” (Scott, 1994:14).
Dengan demikian, petani bukanlah aktor yang pasif, tetapi dinamis dalam batas-batas kemampuannya, memiliki “harga diri” untuk bertahan dalam komunitasnya dan menjaga eksistensi dirinya. Hal yang demikian ini sudah barang tentu tidak hanya terjadi dalam komunitas petani pra-kapitalis sebagaimana yang ditulis Scott, tetapi juga dalam komunitas petani era kapitalis saat ini. Bahkan, untuk kasus Indonesia, jumlah 4
petani yang termasuk ke dalam kategori kehidupan subsistensi semakin bertambah dengan kapitalisasi usaha pertanian, dan krisis ekonomi yang terjadi saat ini. Mengapa demikian, karena perjuangan untuk memperoleh hasil yang minimum bagi subsistensi, berlangsung dalam konteks kekurangan tanah, modal dan lapangan kerja. Ketiga aspek ini semakin nyata dalam situasi krisis ekonomi dewasa ini. Dalam menghadapi kemiskinan, beberapa hasil penelitian menunjukkan tentang bagaimana strategi masyarakat perdesaan umumnya dan petani (Jawa) khususnya untuk tetap bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosialnya. Dalam uraian berikut ini disajikan secara singkat gambaran strategi tersebut yang dikutip dari tulisan Marzali (1993). Tulisan Marzali ini didiskusikan dengan pendapat para ahli yang lain, sehingga penulis berhasil mengidentifikasikan beberapa strategi yang telah diungkapkan oleh para peneliti dalam lingkup kajian petani perdesaan. (1) Static Expansion Strategi yang oleh Boeke (1974) diberi nama Static Expansion pada intinya menyatakan bahwa petani Jawa bekerja di sawah bukanlah untuk mencari keuntungan, tetapi sekedar untuk mencukupi keperluan hidup keluarganya yang sederhana. Bila dengan satu bahu (0,7 ha) tanah pertanian yang ditanami sudah cukup untuk memenuhi keperluan hidup sebuah keluarga, maka ia tidak akan menginginkan lebih daripada itu. Dia sudah merasa puas, tenteram dan ayem. Nilai dan sikap seperti ini oleh Boeke disebut sebagai limited needs atau oriental misticism, dan ini bertentangan dengan pandangan hidup orang Barat yang bersifat unlimited needs. Pada orang Jawa yang berideologi limited needs tersebut respon mereka terhadap menyempitnya luas lahan yang pada akhirnya mengakibatkan kemiskinan adalah melakukan static expansion, yaitu memperluas daerah pertanian, namun tetap dengan tingkat teknologi dan sistem pembagian kerja semula. (2) Safety First Konsep yang paling banyak disebut sebagai suatu pilihan strategi bagi petani yang sedang mengalami krisis subsistensi adalah safety first (dahulukan selamat). Prinsip ini memiliki arti bahwa petani cenderung untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kegagalan daripada memaksimumkan penghasilan rata-ratanya. Prinsip ini telah mempengaruhi keputusan petani dalam memilih bibit dan menentukan cara-cara bercocok tanam yang dipandang paling baik, yang dapat menghindarkan mereka dari kegagalan panen. Sikap seperti inilah yang kemudian oleh banyak penulis (Wahrton, 1969; Roumasset, 1971) diinterpretasikan sebagai keengganan menanggung risiko 5
(risk averse). Sikap menghindari risiko dapat memberikan penjelasan tentang perilaku petani yang lebih suka menanam tanaman subsistensi daripada tanaman bukan pangan yang hasilnya untuk tujuan komersial. Namun, menurut penulis, konsepsi ini tidak sepenuhnya dapat digunakan untuk menjelaskan kondisi usaha tani saat ini, di mana hampir seluruh produk pertanian diorientasikan untuk tujuan-tujuan komersial. (3) Agriculture Involution Jalan keluar lain yang digunakan petani Jawa dalam mengatasi dampak krisis subsistensi, terutama yang disebabkan oleh ketiadaan pekerjaan lain di luar sektor pertanian adalah dengan mampekerjakan anggota keluarga atau kaum kerabat dalam usaha tani mereka. Penggunaan tenaga kerja dari kalangan kaum kerabat ini tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap meningkatnya produktivitas kerja per orang. Ibaratnya, sepetak sawah yang seharusnya bisa dikerjakan dengan tenaga kerja sebanyak lima orang tetapi ditambah lagi menjadi delapan atau sepuluh orang. Kenaikan hasil per hektar memang dicapai, tetapi hasil yang lebih tinggi itu hanya cukup untuk penyediaan pangan per orang. Fenomena ini yang kemudian oleh Geertz (1974) disebut dengan Agriculture Involution. (4) Rational Peasant Hayami dan Kikuchi (1981), tidak menafikan adanya prinsip dasar moral petani perdesaan yaitu saling tolong menolong (the norm of resiprocity), dan hak untuk hidup pada tingkat subsisten (the right to subsistence) sebagaimana yang dikemukakan Geertz, tetapi menurut mereka petani juga melakukan tindakan-tindakan rasional dalam menghadapi kemiskinan. Tindakan rasional di sini bukan berarti bahwa petani (peasant) adalah homo economicus atau rational actor yang cenderung berkalkulasi secara ekonomi dan egois demi meningkatkan kemakmuran sendiri tanpa peduli akan moral perdesaan, tetapi di dalam melakukan kalkulasi ekonomi mereka (peasant) juga memperhatikan kepentingan bersama masyarakat desa. Menurut Hayami dan Kikuchi, bertindak sesuai dengan norma masyarakat desa adalah cara yang paling tepat untuk menghemat biaya pengelolaan usaha tani. Seorang petani pemilik tanah yang rasional tentu akan lebih suka mempekerjakan tetangganya atas dasar hubungan tolong menolong daripada mengambil buruh tani di pasar bebas, meskipun upah untuk tetangga adalah sama atau sedikit lebih mahal daripada buruh tani. Karena biaya pengawasan atas kemalasan dan kecurangan buruh tani yang diambil dari pasar bebas dipandang lebih tinggi daripada tetangga sendiri. Namun demikian ini tidak berarti bahwa seorang pemilik tanah akan selalu tunduk kepada norma dan moral perdesaan. Semua ini tergantung pada situasi dan kondisi pada masa dan tempat 6
tertentu. Pemilik tanah siap untuk melanggar atau memperbaharui norma tersebut jika mereka melihat peluang bahwa keuntungan akibat pelanggaran jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk kepatuhan. (5) Self Exploitation: Maksimasi Penggunaan Tenaga Ada kecenderung di kalangan petani lapisan bawah untuk menggunakan tenaganya sampai batas utilitas yang paling rendah. Artinya, mereka bersedia bekerja “apa saja” dengan tingkat upah “berapa saja” asal dapat memenuhi kebutuhannya akan makanan dan uang. Inilah yang oleh Chayanov disebut sebagai Self Exploitation atau swa-pacal. (6) Model Geografi Sosial Model Geografi Sosial dari Palte (1984), sebagai suatu strategi untuk keluar dari belenggu kemiskinan atau jurang krisis subsistensi berbeda dengan ahli-ahli yang telah disebutkan di atas. Kajian Palte tentang strategi petani dalam menghadapi kemiskinan dapat dipandang sebagai suatu penggambaran secara deskriptif dan historikal tentang respons petani Jawa secara sosial dan ekonomi sejak awal abad ke19 sampai dengan akhir dasawarsa 1970-an. Menurut Palte, dalam menghadapi kemiskinan, petani Jawa telah mengupayakan: (1) perluasan kawasan pertanian (ekstensifikasi); (2) intensifikasi penggarapan tanah; (3) penggunaan bibit unggul; (4) peningkatan cara-cara bertani; dan (5) membuka usaha-usaha nonpertanian. Strategi apa yang dipilih oleh petani untuk dapat menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan krisis sangatlah tergantung pada situasi lingkungan yang dihadapinya dalam mengelola usaha taninya. Proses pembuatan keputusan oleh petani tidaklah semata-mata masalah “untung-rugi” sebagaimana yang dikenal dalam konsepsi ekonomi tentang manajemen pertanian, tetapi meliputi hal-hal yang bekaitan dengan kerabat, teman, tetangga, dan komunitas di mana petani tersebut bertempat tinggal. Aspek-aspek yang berasal dari lingkungan tempat tinggal bukanlah sesuatu yang statis, tetapi bergerak dinamis. Karena itu proses penyesuaian atau proses pembuatan keputusan oleh petani akan selalu mengikuti
dinamika perubahan
lingkungan. 2.2 Interaksi Sosial dan Hubungan Patron-Klien di Perdesaan Hubungan patron-klien, menurut Scott (1993:7) adalah sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran --- petani lapisan bawah dengan petani lapisan atas --yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan dyadic (dua orang) yang terutama melibatkan persahabatan instrumental di mana seorang individu dengan 7
status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdaya yang dimilikinya untuk menyediakan perlindungan dan/atau keuntungankeuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Pada gilirannya, klien membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi, kepada patron. Menurut Scott (1993) sebagai suatu mekanisme sosial, ikatan patron-klien bukan bersifat modern ataupun tradisional secara keseluruhan. Memang, dari satu segi, gaya hubungan patron-klien, tidak peduli konteksnya, bersifat tradisional. Hubungan patron-klien bersifat partikularistik, tersebar dan informal, sedangkan ikatan modern bersifat universal, spesifik dan kontraktual. Namun demikian, walaupun gayanya tradisional, jaringan patron-klien berfungsi untuk menyatukan individu yang bukan kerabat dan sebagai sarana bagi terciptanya suatu integrasi vertikal. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dari kedua belah pihak dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing. Hal ini tercermin dalam arus hubungan patron ke klien dan sebaliknya klien ke patron. Deskripsi di bawah ini diringkas dari tulisan Scott (1993) yang ditulis dalam bukunya Perlawanan Kaum Tani. Beberapa bentuk barang dan jasa yang dipertukarkan oleh patron ke klien adalah sebagai berikut: 1. Penghidupan subsistensi dasar. Pada banyak daerah agraris, jasa utama dapat berupa pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocok tanam, dan juga mencakup penyediaan benih, peralatan, jasa pemasaran, nasehat teknis, dan sebagainya. 2. Jaminan krisis subsistensi. Umumnya, patron diharapkan memberikan jaminan pada saat bencana ekonomi, membantu menghadapi keadaan sakit atau kecelakaan, atau membantu pada saat panen gagal. 3. Perlindungan. Yang dimaksud di sini adalah penyediaan jasa dari patron yang bertujuan untuk melindungi klien dalam hal terjadinya konflik sebagai akibat hubungan-hubungan yang dijalin oleh klien dengan “orang luar”.
4. Jasa patron kolektif. Secara internal, patron sebagai kelompok dapat melakukan fungsi ekonomi secara kolektif. Mereka dapat memberikan subsidi atau sumbangan untuk tujuan-tujuan kolektif masyarakat desa, misalnya dalam bentuk sumbangan tanah untuk fasilitas umum. Berbeda dengan arus patron ke klien, arus barang dan jasa dari klien ke patron amat sukar untuk digolongkan, karena seorang klien umumnya menyediakan tenaga 8
dan keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya. Unsur-unsur tipikal dalam arus hubungan ini, antara lain mencakup jasa pekerjaan dasar (biasanya pekerjaan dalam usaha tani), dan pemberian jasa tambahan berupa bantuan dalam pekerjaan domestik (rumah tangga patron). Interaksi sosial dalam arus hubungan pertukaran antara patron dengan klien tidaklah berlangsung dalam posisi kesetaraan, karena dominansi kekuasaan dan kepemilikan sumberdaya ada pada patron. Dengan kata lain terdapat ketimpangan dalam hal kekuasaan dan sumberdaya pada kedua belah pihak, sehingga terjadilah pertukaran yang tidak seimbang. Dalam Teori Pertukaran yang dikemukakan oleh Peter Blau (Johnson, 1990:82) tentang munculnya pertukaran yang tidak seimbang disebutkan bahwa, “... tidak dapat dihindarkan, bahwa orang yang selalu menerima kemurahan hati secara sepihak harus menerima suatu posisi subordinasi, paling tidak kalau ia mau mempertahankan hubungan itu. Menerima suatu posisi subordinasi adalah mengakui utang seseorang dan ketergantungan-nya pada kemurahan hati pihak lain ...”. III. METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan yang Digunakan Untuk melihat sejauh mana dinamika sosial ekonomi masyarakat desa selama masa krisis, dan perubahan-perubahan sosial ekonomi apa yang terjadi, peneliti menggunakan kajian etnografis. Kajian etnografis digunakan untuk mengetahui dan mendalami aspek kultural yang melatarbelakangi suatu sikap dan perilaku tertentu yang muncul dalam berbagai aktivitas ekonomi dan sosial sebagai akibat dari krisis. 3.2 Fokus Penelitian (1) pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, mencakup: strategi yang digunakan untuk bertahan hidup di era krisis, strategi yang dipilih dalam mengahapi krisis, dan alasan pemilihan strategi tersebut; dan (2) hubungan patron-klien dan konflik yang terjadi; difokuskan pada: proses pertukaran yang terjadi, makna atas pertukaran, “keuntungan” yang diperoleh dari pertukaran, konflik dalam pertukaran dan mekanisme penyelesaian konflik dalam pertukaran.
3.3 Lokasi Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data 9
Penelitian ini dilakukan di Dusun Tempuran Desa Sidomulyo, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri. Peneliti menggunakan metode pengamatan berperanserta (participation observation) agar dapat melakukan interaksi sosial lebih lama dan mendalam dengan subyek penelitian. Dalam prakteknya, pengamatan didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview), dan instrumen pendukung berupa catatan lapangan (field notes). Sumber data penelitian ini adalah para petani dari berbagai tingkatan pelapisan sosial. Data dikumpulkan dengan mendatangi informan di rumah, di sawah atau tegalan, dan di tempat-tempat mereka biasa berkumpul (gardu siskamling), dalam acara-acara slametan, dan sebagainya. Proses pengumpulan data berlangsung secara snowball, dengan key informan Kepala Dusun. 3.4 Analisis Data Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber. Setelah itu langkah berikutnya membuat reduksi data yang dilakukan dengan jalan menyusun abstraksi yang berisi intisari dari setiap fokus yang diteliti. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam bentuk satuan-satuan untuk kemudian dibuat kategorisasi. Tahap berikutnya adalah memeriksa keabsahan data. Setelah selesai tahap ini, peneliti kemudian melangkah ke tahap interpretasi data dan mengolahnya menjadi laporan penelitian. Proses analisis data tersebut mengikuti model Analisis Data Interaktif dari Miles dan Huberman (1984) yaitu analisis yang dilakukan terus menerus selama pengumpulan data di lapangan sampai pengumpulan data selesai dilaksanakan. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemenuhan Kebutuhan Hidup Sehari-hari Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari kemampuan masing-masing petani berbeda, tergantung pada penghasilan yang mereka dapatkan baik sebagai petani maupun dari pekerjaan lain di luar pekerjaan sebagai petani. Uraian tentang bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana upaya petani pada pelbagai lapisan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan sekaligus memperlihatkan strategi yang digunakan, jika kebutuhan tersebut tidak mencukupi dari hasil panen mereka. Apabila dibandingkan dengan petani gurem yang terdiri dari penyakap dan petani tunakisma, petani besar lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari10
harinya. Bahkan untuk kebutuhan primer seperti pangan dan sandang tidak menjadi persoalan utama. Hal ini dikarenakan kebutuhan mereka cukup terpenuhi dari hasil panen tanaman yang usianya tidak terlalu lama, seperti halnya jagung, pepaya, padi, ketela, dan sayur-sayuran. Beberapa petani yang memiliki pekarangan juga memanfaatkan untuk menanam buah-buahan dan tanaman lain yang dapat dijual dan dikonsumsi langsung. Bagi petani besar yang memiliki lahan pekarangan cukup luas, jenis tanaman yang mereka kembangkan juga cukup banyak, antara lain: kelapa, buah-buahan (mangga, rambutan, pisang) dan berbagai jenis tanaman umbi-umbian. Namun untuk petani kecil dan buruh tani, jarang yang memiliki pekarangan luas dan bahkan rumah-rumah mereka saling berhimpitan satu sama lain. Tanaman pekarangan ini sangat membantu untuk pemenuhan konsumsi dan juga memenuhi kebutuhan uang tunai sehari-hari. Kebutuhan yang relatif sulit dipenuhi oleh petani adalah kebutuhan untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Hanya petani besar dan beberapa petani kelas menengah yang dapat menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Peneliti tidak menemui adanya petani kelas bawah di Dusun Tempuran yang mampu membiayai pendidikan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Petani kelas bawah memaknai pendidikan tinggi sebagai sesuatu yang mahal, elitis dan eksklusif. Artinya, hanya untuk mereka yang mampu secara finansial. Makna pendidikan bagi masyarakat Dusun Tempuran yang sebagian besar bekerja sebagai petani amatlah penting. Tidak ada satu pun informan penelitian ini yang memberikan makna lain tentang urgensi pendidikan. Namun, bagi kebanyakan mereka pendidikan yang dimaksud hanya sampai jenjang pendidikan menengah. Persepsi mereka tentang biaya pendidikan tinggi yang mahal, menyebabkan mereka tidak memiliki pengharapan untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Dari hasil wawancara, menunjukkan adanya sikap dan perilaku subsisten di kalangan petani kelas menengah dan kelas bawah dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hal prinsip dan penting bagi petani kelas menengah ke bawah adalah bagaimana upaya agar pendapatan yang mereka peroleh hari ini cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup hari ini. Jika ada surplus maka petani umumnya tidak menyimpan surplus tersebut dalam bentuk tabungan di Bank, tetapi hanya disimpan sementara waktu di rumah, karena mereka akan segera membelanjakan untuk keperluan sekunder rumah tangga atau untuk membiayai kegiatan penanaman berikutnya. Menyimpan uang tunai di rumah juga dimaksudkan untuk antisipasi jika sewaktu-waktu ada undangan untuk menghadiri acara mantenan atau sunatan, dimana 11
mereka harus mengeluarkan uang tunai untuk meneuhi keperluan tersebut. Berapa pun jumlahnya, yang penting uang harus tersedia, terutama untuk memenuhi kebutuhan dalam aktivitas sosial dan ritual. Pola hidup subsisten dalam artian pendapatan hari ini untuk konsumsi hari ini juga sangat tampak pada kelompok petani kecil kelas bawah. Hasil usaha yang diperoleh petani kecil masih kurang untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Lahan sempit yang mereka miliki hanya ditanami padi dan palawija, terutama jagung, lombok dan sayuran (terutama terong). Sedangkan harga komoditas tersebut cenderung tidak stabil, sangat ditentukan oleh situasi pasar. Hasil panen hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bahkan sering tidak mencukupi. Karena itu strategi yang digunakan untuk tetap dapat bertahan hidup dan memenuhi fungsi-fungsi sosialnya, petani kecil menerima pekerjaan sebagai buruh tani, atau mengerjakan pekerjaan apa saja yang dapat menghasilkan uang. Misalnya, memetik buah kelapa, menebang kayu, dan sebagainya. Sedangkan isteri mereka membantu pekerjaan di rumah-rumah petani besar, misalnya membantu mencuci pakain, menyeterika, membersihkan rumah dan pekerjaan domestik lainnya, atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Petani kelas menengah dan terutama petani kecil yang memiliki lahan kurang dari satu hektar hidup secara subsisten di wilayah Dusun Tempuran yang diteliti. Hasil panen mereka digunakan untuk konsumsi hari ini dan untuk keperluan persiapan musim tanam berikutnya. Mereka bisa hidup tetapi tidak bisa berkembang. Dari pengamatan peneliti, dalam empat tahun terakhir, bentuk fisik rumah para petani kecil dan menengah tidak ada perubahan sama sekali. Bahkan mereka tidak bisa lagi memperbaharui cat rumah mereka pada saat hari raya agama (Idul Fitri) tiba. Hanya petani besar yang mampu merehab rumah dan itu hanya sebatas mengganti lantai dan mengecat dinding. 4.2 Hubungan Parton-Klien Sebagai Bentuk Safety First Strategy Masyarakat Perdesaan Jika konsep Safety First diterapkan pada petani lapisan bawah (khususnya mereka yang memiliki lahan kurang dari setengah hektar), maka makna konsep ini sama dengan mempertahankan kehidupan pada tingkat subsistensi. Petani lapisan bawah yang terdiri dari petani berlahan sempit, buruh tani, dan mereka yang tidak memiliki lahan sama sekali, tidak ada kata lain, kecuali bagaimana mengusahakan agar penghasilan yang diperoleh hari ini cukup untuk keperluan makan hari ini juga. 12
Dalam konteks pemberian “jaminan sosial” dalam hubungan patron-klien diketahui bahwa tidak semua petani dan buruh tani miskin memperoleh bantuan yang sama dari petani kaya (patron) yang ada di perdesaan. Semakin dekat “jarak sosial” antara patron dengan klien semakin besar kemungkinan untuk memperoleh bantuan yang lebih besar dibandingkan dengan yang lain. Jika dikelompokkan menurut tingkatan kemungkinan memperoleh bantuan yang lebih banyak, maka tenaga kerja tetap dari kaum kerabat dan orang kepercayaan berada pada urutan pertama. Kemudian dalam urutan kedua, terdapat kelompok tenaga kerja tetap bukan dari kaum kerabat tetapi merupakan tetangga dekat dan juga keluarga pembantu rumah tangga yang bekerja pada petani kaya tersebut, ketiga adalah tenaga kerja tetap bukan tetangga dekat, dan urutan terakhir adalah tenaga kerja tidak tetap. Tingkat kedekatan yang berbeda-beda ini bukan hanya membawa implikasi dalam hubungan vertikal patron-klien yang berujud perbedaan dalam pemberian “jaminan sosial” yang berbeda, tetapi juga dalam tataran hubungan horizontal antarklien, karena dapat menimbulkan “kecemburuan” di antara mereka. Munculnya sebutan “wonge juragan” (orangnya majikan) adalah pertanda dari hal ini. Artinya, mereka membuat pembedaan antara “kita” (bukan orang dekat majikan), dan “mereka” (orang dekat dengan majikan). Walaupun demikian sebagian yang lain menganggap ini sebagai hal yang biasa, karena ada perbedaan dalam berat-ringan peran yang diemban. Orang yang dekat dengan majikan melakukan pekerjaan lebih banyak dibandingkan dengan yang lain, disamping karena faktor kepercayaan. Jadi, menurut mereka adalah suatu hal yang wajar jika majikan memberikan sesuatu yang “lebih” kepada orang kepercayaan, dibandingkan dengan yang diberikan kepada pekerja yang lain.
13
Patron (Petani Kaya)
Klien I (Kaum Krabat dan org kepercayaan)
Klien II (Tenaga Tetap bertetangga dan Pembantu Rumah Tangga)
Klien III (Tenaga Kerja Tetap tdk bertetangga)
Klien IV (Tenaga Kerja tdk Tetap)
Gambar 4.1 “Jarak Sosial” Antara Patron-Klien Bagaimana dengan orang lain yang tidak tergolong ke dalam kelompok klien di atas? Mereka juga memperoleh bantuan dari petani kaya, tetapi hampir semua mereka adalah tetangga dari petani kaya tersebut. Jadi walaupun mereka bukan merupakan tenaga kerja (tetap maupun tidak tetap) tetapi karena mereka tetangga dan perlu bantuan, maka petani besar juga akan mengulurkan tangan untuk membantu. Makna safety first sebenarnya dapat diperluas dalam konteks petani perdesaan di Jawa umumnya dan di Dusun Tempuran khususnya, karena mereka memiliki falsafah hidup “sing penting slamet” (yang penting selamat). Dalam hubungannya dengan usaha tani, konsep ini pada lapisan menengah dan atas di perdesaan memiliki makna bahwa hasil usaha tani harus cukup untuk makan dan untuk membiayai kegiatan tanam berikutnya. Jika ini tidak tercapai maka akan dinilai sebagai suatu kegagalan yang sama maknanya dengan jatuh ke bawah tingkat subsistensi seperti pada petani lapisan bawah, walaupun secara substantif berbeda jika dilihat dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Petani lapisan menengah dan atas relatif tidak mengalami permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan keseharian mereka karena 14
hasil panen yang mencukupi untuk itu. Kesulitan mereka lebih tampak pada usaha pemenuhan modal untuk membiayai kegiatan tanam pada lahan mereka yang relatif luas. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, tanaman pekarangan sangat membantu petani dalam pelbagai pelapisan sosial untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan kebutuhan uang tunai, karena itu budidaya tanaman pekarangan dilakukan oleh semua petani; (2) bahwa meskipun petani memiliki cukup kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka tetap mengutamakan kebutuhan yang sangat diperlukan (perilaku hemat), hal ini disebabkan oleh tekanan untuk selalu dapat menyediakan biaya bagi keperluan musim tanam berikutnya; (3) pemberian hak-hak khusus dari majikan kepada para pekerja hanya berlaku bagi mereka yang berstatus sebagai “orang kepercayaan”; (4) pada petani lapisan bawah strategi ini dimaknai sebagai upaya mempertahankan kebutuhan hidup pada taraf subsistensi; (5) pada petani kelas menengah dan atas, strategi ini berarti mempertahankan tingkat keuntungan minimal yang dapat diraih sehingga ada surplus untuk membiayai kegiatan tanam selanjutnya; (6) petani lapisan bawah memperoleh bantuan dari petani kaya, terutama jika mereka melaksanakan kegiatan dalam keluarga (mantenan, sunatan, kematian, dsb.), besarnya bantuan ini dipengaruhi oleh jarak sosial antara mereka dengan petani kaya. 5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: (1) untuk lebih mengetahui secara mendalam dan komprehensif tentang dinamika sosial ekonomi yang terjadi di perdesaan sebagai akibat penerapan strategi adapatasi petani dalam menghadapi dampak krisis dan kesulitan hidup sehari-hari, menurut peneliti masih diperlukan penelitian tingkat mikro, terutama yang berkaitan dengan sejauh mana peran “jaminan sosial” yang diberikan petani besar kepada 15
petani kecil dan buruh tani dalam pemenuhan kebutuhan petani yang dimensinya semakin luas (tidak hanya pangan dan papan tetapi juga pendidikan anakanaknya)? Selain itu, identifikasi yang lebih teliti dan akurat tentang dampak krisis dan jenis bantuan yang dibutuhkan petani agar dapat terus menjalankan usaha taninya dan dengan demikian roda perekonomian perdesaan tetap dapat tumbuh. (2) Untuk suatu kepentingan kebijakan pemberdayaan petani dalam artian yang lebih luas, diperlukan suatu produk kebijakan yang mengarah pada pemberian insentif berproduksi. Petani, sejauh hasil penelitian ini, tidak atau kurang membutuhkan pemberdayaan dalam arti pengayaan pengetahuan bertani, tetapi bantuan dalam bentuk subsidi langsung untuk menurunkan harga pupuk, kestabilan harga komoditas pertanian, dan “campur tangan” atau intervensi pemerintah dalam pola penguasaan tanah yang cenderung terlalu timpang dan penguasaan tanah oleh orang-orang kota di perdesaan. DAFTAR PUSTAKA Akatiga, 1999. Krisis dan Daya Tahan Masyarakat Miskin di Indonesia. Bandung: Akatiga Foundation. Barlett, Peggy F., (ed.), 1980. Agriculture Decision Making: Anthropological Contributions to Rural Development. New York: Academic Press. Bennett, John W., 1982. Off Time and the Enterprise: North American Family Farm Management in a Context of Resource Marginality. Minneapolis: University of Minnesota Press. Billah, M., 1984. “Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Daerah Pedesaan Jawa (Tengah)”. Dalam Tjondronegoro dan Wiradi (eds), Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: PT.Granedia. Breman, Jan, 1992. Kerja dan Hidup Sebagai Buruh Tanpa Lahan di Pesisir Jawa. Project Working Paper Series No.B-26. Bandung: Akatiga Foundation. Breman, Jan, dan Gunawan Wiradi, 2004. Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa: Studi Kasus Dinamika Sosio-Ekonomi di Dua Desa Menjelang Akhir Abad Ke-20. Jakarta: LP3ES. Creswell, John W., 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks: SAGE Publications. Geertz, Clifford, 1986. Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa. Diterjemahkan oleh Pustaka Grafitipers. Jakarta: Pustaka Grafitipers. --------------, 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Diterjemahkan oleh Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya. 16
---------------, 1976. Involusi Pertanian. Diterjemahkan oleh S. Supomo. Jakarta: Bhratara K.A. Hayami dan Kikuchi, 1981. Asian Village Economy at the Crossroad. Baltimore: John Hopkins University Press. Jackson, Karl D., 2002. “Akar dari Krisis”. Dalam Sofyan S. Harahap, (ed.), Pelajaran dari Krisis Asia. Jakarta: Pustaka Quantum. Johnson, Doyle Paul, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang. Jilid 1. Jakarta: PT. Gramedia. ---------------, 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang. Jilid 2. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Lincoln, Yvonna S., dan Egon G. Guba, 1985. Naturalistic Inquiry. USA: Sage Publications. Lipton, Michael, 1968. Why Poor Stay Poor. London: Temple Smith. ---------------, 1969. “The Theory of the Optimizing Peasant”. Dalam Journal of Development Studies 4, p.341. Lyon, Margo, 1984. “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan Jawa”. Dalam Tjondronegoro dan Wiradi, (eds.), Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: PT.Gramedia. Miles, Matthew B., dan A. Michael Huberman, 1984. Qualitative Data Analysis: A Source Book of New Methods. Baverly Hills: Sage Publications Inc. Manning, C., 1988. “Rural Employment Creation in Java, Lessons from the Green Revolution and Oil Boom”. Dalam Population and Development Review, vol.14, Maret:47-80. Migdal, Joel, 1974. Peasant, Politic, and Social Change in the Third World. Princeton: Princeton University Press. Marzali, Amri, 1993. “Beberapa Pendekatan dalam Kajian tentang Respon Petani Terhadap Tekanan Penduduk di Jawa”. Dalam Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (JIIS), No.4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mubyarto, 1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. ---------------, 1996. “Kondisi Kemiskinan Pedesaan di Indonesia Dewasa Ini”. Dalam M.T. Felix Sitorus, et al. (eds.), Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Grasindo. Popkin, Samuel, 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press. 17
Soetomo, Greg., 1997. Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian. Jakarta: Penerbit Kanisius. Scott, James C., 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Diterjemahkan oleh Hasan Basari. Jakarta: LP3ES. _________, (ed.), 1993. Perlawanan Kaum Tani. Dterjemahkan oleh Budi Kusworo, et al. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Shanin, Teodor, (ed.), 1990. Tani dan Masyarakat Tani. Diterjemahkan oleh Abdullah Taib, et al. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Strauss, Anselm, dan Juliet Corbin, 1990. Basics of Qualitative Research: Grounded Theory, Procedures and Techniques. New Delhi: SAGE Publications. Suharso, Pujo, 2002. Tanah, Petani, Politik Pedesaan. Solo: Pondok Edukasi. Tjondronegero, Sediono, dan Gunawan Wiradi, 1989. “Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan”. Makalah. Yogyakarta: PAU Universitas Gadjah Mada. ---------------, (Eds.), 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: PT. Gramedia. Wolf, Eric R., 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Diterjemahkan oleh Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS). Jakarta: CV Rajawali.
18