KEMAMPUAN DAN TANTANGAN BAGI INDONESIA DALAM MENGHADAPI KRISIS EKONOMI GLOBAL
OLEH : RUM RIYANTO.S
Ada dua ancaman yang dihadapi oleh ekonomi dunia saat ini yaitu krisis global dan perubahan iklim. Kedua ancaman ini mempengaruhi kehidupan banyak orang di penjuru dunia, terutama masyarakat miskin. Tulisan ini akan mengkaji peran kementrian keuangan dalam menghadapi krisis ekonomi yang saat ini sedang terjadi di wilayah Eropa. Krisis ekonomi di Eropa setidaknya terjadi semenjak November 2009. Pada bulan ini, tingkat bunga dari beberapa surat hutang Pemerintah menanjak drastis di beberapa negara di Eropa. Hal ini disebabkan oleh interaksi antara penurunan rating oleh berbagai jawatan rating dan spekulasi oleh bank dan dana lindung nilai di CDS dan pasar surat hutang.
Peningkatan bunga surat hutang pemerintah kemudian menghasilkan berbagai resiko yang membuat tingkat bunga semakin meningkat lagi. Dalam menghadapi krisis keuangan ini, pemerintah-pemerintah di Eropa memberikan pasokan fiskal untuk merangsang ekonomi dan mengatasi bank-bank yang ambruk. Walau begitu, hingga sekarang, krisis keuangan di Eropa masih belum dapat diatasi dan justru semakin memburuk. Penyebabnya terutama karena Uni Eropa mengalami kesulitan koordinasi di antara anggotanya. Di satu sisi, Eropa telah mengadopsi satu mata uang bersama, namun di sisi lain, setiap anggota memiliki kepentingan dan tidak mengelola keuangan dengan semangat kebersamaan. Collignon dari Friedrich Ebert Stiftung menyarankan agar Eropa mengadopsi economic government untuk lepas dari jerat egosentris negara-negara anggotanya. Rainer Lenz juga menyuarakan hal yang sama karena Eropa memerlukan suatu kebijakan keuangan untuk mengatur anggotanya. Kebijakan keuangan ini hanya mungkin dibuat apabila ada sebuah pemerintahan bersama. Hal ini sejalan dengan studi terbaru dari Institute of Development Studies (IDS). Studi yang berjudul “Time to Reimagine Development?” mengungkapkan kalau krisis merupakan sesuatu yang sulit dihadapi bahkan oleh masyarakat madani sekalipun.
Studi pada 20 kasus di berbagai penjuru dunia ini menyimpulkan kalau bagaimana pertumbuhan ekonomi diatur merupakan kunci dari penyembuhan dan kerjasama internasional tidak lebih baik daripada tindakan mandiri pemerintah untuk memperbaiki dampak dari krisis. Indonesia sendiri pernah mengalami krisis ekonomi pada pertengahan 1997 hingga tahun 2005. Ada lima faktor yang menjadi penyebab krisis ekonomi tersebut yaitu akumulasi dari kurang tepatnya kebijakan ekonomi, kelembagaan perbankan yang kurang kuat, krisis kepercayaan, diagnosis dan resep penanggulangan krisis yang kurang tepat, dan internasionalisasi pasar modal yang spekulatif dan tidak stabil. Belajar dari faktor-faktor penyebab ini, bisa jadi krisis keuangan di Eropa berlarut-larut karena beberapa faktor di atas, terutama kurang tepatnya langkah penanggulangan yang di ambil. Dampak Krisis Ekonomi Eropa pada Indonesia Indonesia memang telah terlepas dari krisis ekonomi tahun 1997, namun krisis ekonomi yang terjadi di Eropa sekarang mulai menjadi ancaman. Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani, pada tanggal 8 November 2011 kemarin menyebutkan kalau dampak bisa dirasakan Indonesia lewat jalur perdagangan dan aliran modal. Dampak juga dapat terjadi lewat remittance namun tidak terlalu mempengaruhi.
Perdagangan Lewat jalur perdagangan, dampak yang dapat dirasakan Indonesia terjadi pada bidang ekspor. Krisis di Eropa akan membuat permintaan barang dari negaranegara tersebut pada Indonesia menurun. Mereka tidak memiliki cukup dana untuk membeli barang-barang Indonesia. Akibatnya, produsen dalam negeri akan menurunkan harga barang ekspor. Walau begitu, porsi perdagangan Indonesia di Eropa hanya 10,4% dan di AS juga hanya 8.2%. Dampak krisis Eropa karenanya tidak akan terlalu besar pada perdagangan di Indonesia yang pasar ekspor utamanya adalah kawasan Asia. Aliran Modal Lewat jalur aliran modal, dampak terjadi pada fokus aliran dana. Karena dana besar sulit diraih, maka modal-modal yang masuk akan berukuran kecil. Modalmodal kecil ini lebih dapat diserap oleh pasar-pasar baru dan sektor riil. Ekonomi mikro menjadi terangkat namun tidak memberikan banyak sumbangan pada negara.
Remittance Dampak pada jalur remittance diduga tidak dapat terjadi karena kondisi perbankan Indonesia yang baik. CAR (rasio kecukupan modal) dari rata-rata bank komersial di Indonesia berada di atas 20 persen sejak akhir tahun 2000, pasca krisis. Hal yang sama juga ditunjukkn oleh nilai NPL (Non Performing Loan) yang rendah dan selalu di bawah CAR sejak akhir tahun 2000. Dua indikator kesehatan bank ini cukup menjamin kalau perbankan dalam negeri tidak terpengaruh rembetan dari krisis keuangan di Eropa. Belajar dari pengalaman krisis 1997, peran kebijakan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) merupakan peran kunci mengatasi krisis. PHLN mendistribusi ulang anggaran sehingga tepat sasaran dan efektif. Hal ini sejalan dengan solusi yang diberikan Sri Mulyani kalau pemerintah Indonesia harus hati-hati dalam mengalokasi dan mendistribusi anggaran pada berbagai sektor. Lebih lanjut, kebijakan PHLN sebisa mungkin lepas dari kepentingan internasional walaupun pihak asing yang memberikan pinjaman dan hibah tersebut, sebagaimana disarankan oleh studi IDS.
Faktor Pendukung Kekuatan Ekonomi Indonesia Kawasan ASEAN, termasuk Indonesia, memang tidak terlalu mengkhawatirkan dampak krisis ekonomi Eropa. Hal ini disebabkan telah cukup mapannya kawasan ini. Sumber Daya Alam Melimpah Masyarakat ekonomi di Indonesia semakin sadar dengan melimpahnya kekayaan alam di negeri ini. Proporsi sumber daya alam Indonesia yang tidak tersebar rata di negara ini memang menjadi halangan tersendiri. Sebelum Undang-Undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, sumber daya alam diatur pada tingkat pusat. Propinsi seperti Aceh dan Riau memiliki pertumbuhan ekonomi negatif, walaupun sumber daya alam minyak dan gas alam yang mereka miliki melimpah. Walau begitu, semenjak kebijakan desentralisasi fiskal tahun 2001, tidak ada lagi provinsi memiliki pertumbuhan negatif. Disparitas pendapatan antar provinsi semakin menurun seiring kebijakan pemerintah untuk mengurangi ketidak seimbangan pendapatan regional horizontal per kapita dengan memberikan subsidi pada daerah-daerah dengan pertumbuhan ekonomi negatif.
Selama dikelola dengan baik dan tidak adanya konflik horizontal, kekayaan alam di negara kita merupakan aset yang memperkuat ekonomi negara. Investor dari Asia Timur dan kawasan Oceania selain dari berbagai negara anggota ASEAN lainnya dapat lebih menyumbang daripada Amerika Utara dan Eropa. Pasar Konsumen yang Besar Faktor lain yang mendukung kekuatan Indonesia dalam menahan krisis ekonomi Eropa adalah pasar konsumen yang besar. Sebagai negara dengan salah satu jumlah penduduk terbesar di dunia, pasar Indonesia merupakan pasar yang diperhitungkan oleh banyak pihak pelaku ekonomi. Produk konsumen, makanan dan minuman, maupun retail menjamur di berbagai tempat. Laporan Divisi Statistik PBB tahun 2009 menempatkan Indonesia di urutan ke-18 sebagai pasar konsumen terbesar di dunia dari 201 negara. Pengeluaran konsumsi akhir rumah tangga di Indonesia secara total mencapai 316,730 juta dollar AS per tahun. Gambaran ini menunjukkan 59% dari GDP Indonesia dan mewakili 0,91% pasar konsumen dunia. Daya Beli Masyarakat yang Tinggi Daya beli masyarakat menjadi tinggi karena iklim usaha dan iklim kompetisi yang sehat.
Pemerintah mendorong berdirinya banyak UKM (Usaha Kecil Menengah) dengan menghilangkan berbagai hambatan dalam akses pembiayaan, teknologi, layanan infrastruktur, dan pasar. Pertumbuhan UKM yang tinggi membuat tenaga kerja menjadi lebih banyak terserap dan menurunkan tingkat pengangguran. Diversifikasi sumber impor juga menjadi semakin besar, tidak hanya Eropa dan Amerika Serikat, karena keanekaragaman UKM yang muncul membutuhkan berbagai bahan baku yang tidak hanya atau bahkan tidak disediakan oleh Eropa dan Amerika Serikat. Peran Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia Sejalan dengan hal tersebut, Wakil Menteri Keuangan, Anny Ratnawati, tanggal 10 November 2011, menyebutkan kalau APBN 2012 untuk mitigasi telah disiapkan. Kementerian Keuangan akan
mereview kembali APBN-P secara
berkala untuk mewaspadai dampak krisis keuangan Eropa. Selain itu, Bank Indonesia dan Bank Dunia baru saja menggelar diskusi khusus strategi untuk menghadapi tantangan makro ekonomi akibat krisis ini. Rencananya, BI akan berfokus pada penerapan Basel III dalam perbankan.
Basel III adalah standar internasional perbankan yang mewajibkan penyediaan dana penyangga konservasi modal sebesar 2.5% sebagai dana untuk menjaga-jaga ketika terjadi kondisi tekanan keuangan. Pada kondisi demikian, dana penyangga ini dapat ditarik untuk menyerap kerugian. Memang dalam beberapa minggu terakhir, rupiah cenderung menurun karena kekhawatiran investor. Walau begitu, Bank Indonesia juga telah mengambil beberapa langkah intervensi. Langkah ini antara lain pengawasan pasar keuangan dan ketahanan bank, penyiapan protocol manajemen krisis, mekanisme operation twist di pasar valuta asing dan SBN, dan penurunan suku bunga acuan BI ke tingkat 6%. Kesimpulan Krisis Eropa dan AS dapat memberikan dampak negatif pada perekonomian Indonesia lewat perdagangan, aliran modal, dan remittance. Dengan sumber daya alam yang melimpah, pasar konsumen yang besar, dan daya beli masyarakat yang tinggi, disertai langkah-langkah strategis yang dilakukan Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia, diharapkan krisis Eropa dan AS tidak akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia.
Referensi Radio Australia. 9 November 2011. ASEAN Yakin Tidak Terpengaruh Krisis Ekonomi Eropa dan AS. http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/news/stories/201111/s3360324.htm Bisnis Indonesia. 29 November 2011. BI: Rupiah Tak Bisa Melawan Arus. Bisnis Indonesia. 30 November 2011. Darmin: Siapkan Sekoci Krisis Global dari Sekarang. Bisnis Indonesia. 1 Desember 2011. BI dan Bank Dunia bahas Antisipasi Krisis Global. Boediono. 2008. Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia. Jurnal Keuangan Publik, Vol. 5, No. 1, hal 1-17 Collignon, S. 2010. Democratic Requirements for a European Economic Government. Friedrich Ebert Stiftung International Policy Analysis. Jackson, J.K. 2009. The Financial Crisis: Impact on and Response by The European Union. Congressional Research Service. Lenz, R. 2011. Crisis in the Eurozone: Financial Management without A Financial Policy. Friedrich Ebert Stiftung Perspective. Megantara, A., Iskandar, D., Slamet, K. 2010. Manajemen Perbendaharaan Pemerintah: Aplikasi di Indonesia. Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan Akuntansi Pemerintah. Departemen Keuangan RI. Media Indonesia. 8 November 2011. Krisis Ekonomi Eropa bisa Berimbas ke Indonesia.
Media Indonesia. 11 November 2011. Indonesia Terus Waspadai Dampak Krisis Eropa. Schulmeister, S. 2011. The European Monetary Fund: A Systemic Problem Needs A Systemic Solution. Austrian Institute of Economic Research. Thoha, M. 2006. Menata Masa Depan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis: Perspektif Ekonomi Politik Islam. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. United Nations Statistic Division. 2010. National Accounts Main Aggregates Database. http://unstats.un.org/unsd/snaama/selbasicFast.asp Walter, A. 2008. Governing Finance: East Asia’s Adoption of International Standards. Cornell University Press. Widhiyanto, I. 2008. Fiscal Desentralization and Indonesia Regional Income Disparity (1994-2004). Jurnal Keuangan Publik, Vol.5, No. 1, hal. 19-53 Wiley-Blackwell (2011, September 28). New report reveals the impact of global crises on international development. ScienceDaily. Retrieved December 1, 2011, from http://www.sciencedaily.com/releases/2011/09/110928105707.htm