Pendidikan & Syari’at Islam
REFORMULASI DAN REORIENTASI SISTEM PENDIDIKAN DAYAH DALAM MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL Oleh; Al Mawardi. MS, S. Ag, M. Ag
Abstract Globalization is not only as opportunity but also as a challenge for human to expand reading, to take possesion of analyzing and responding to all problems faced in modern era. In this era the exploitation of human resources, in one side, and natural sources on the other side are the consequences which are unvoidable. As a traditional Islamic educational institution, dayah should be able to become a controler in challenging that discrepancies. In this context, dayah as part of Acehnese social structure needs to be developed in order to be able to survive, and resolve the problems of globalization. There are several obstacles which are necessarily be modernized; curriculum, methodology, and teaching learning strategies. In fact the reformation of dayah is not new idea, it has been a motto which has been considered as a common sense among dayahnists “al-Muhafazhah ' ala al qadim as-shalih, wa al akhudzu bi al jaded al ashlah" (retaining all valuable traditions and adopting new most precious deed). Based on this motto, dayah should apply the system of teaching and learning strategies which are relevant to modern situation, such as providing its disciplies the capacities of operating high tech media but with upholding Islamic morality, and spirituality. Keyword: education, dayah, reformulation and reorientation
A. Latar Belakang Dayah adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam. Menurut Sutomo, ada beberapa aspek yang menarik dari dayah, yaitu: system asrama, kesederhanaan, kemandirian, kedisiplinan dan keterjangkauan biaya. Dengan pengasramaan, pendidikan, tuntunan, dan pengawasan dapat dilakukan secara langsung di dayah; Kedua, keakraban hubungan antara kyai dan santri memungkinkan kyai atau ulama memberikan pengetahuan yang “hidup” kepada santrinya; Ketiga, kemampuan untuk mencetak atau mendidik manusia dalam memasuki lapangan pekerjaan secara merdeka dan madiri; Keempat, kehidupan kyai yang sederhana tetapi penuh dengan kesenangan dan kekeluargaan merupakan teladan yang baik bagi masyarakat yang masih miskin; Keenam, sistem pendidikan yang dapat diselenggarakan dengan biaya yang relatif murah merupakan sarana yang baik untuk meningkatkan kecerdasan bangsa; Ketujuh, tingkat disiplinasi pembelajaran dayah yang sangat ketat, dimana santri diwajibkan belajar selama 20 jam perhari, mulai dari jam 4 pagi sampai dengan jam 23 malam. Secara historis dayah telah ada sejak awal masuknya Islam ke Aceh. Persoalannya, kenapa bangsa Indonesia umumnya, dan Aceh khususnya yang memiliki sejumlah dayah namun masih mengalami kelemahannya pada bidang keilmuan keislaman, sikap moral, serta bidang pengamalan terhadap nilai-nilai keberagamaan)? Seperti yang diketahui melalui berita (media cetak dan elektronik), dan melalui berbagai penelitian bahwa pemberlakukan syari’at Islam di Aceh masih 257
Pendidikan & Syari’at Islam belum berjalan dengan lancar dan sempurna. Artinya masih banyak masyarakat Aceh yang tidak beramal dan bersikap sesuai dengan al Qur’an dan al Hadis. Fenomena perampokan (Serambi Indonesia Juni 2011), pembunuhan (Serambi Indonesia 31 Oktober 2011), kenakalan remaja, pakaian ketat, tindakan asusila, narkoba, gambar atau video porno, khalwat, dan upaya penyebaran aliran sesat millata Abraham (Serambi Indonesia Desember 2010) merupakan sejumlah tindakan yang tidak asing dan sering terjadi di Aceh yang menjadi bukti bahwa masih lemahnya kesadaran masyarakat terhadap syariat Islam. Apakah dayah masih belum mampu mendongkrak kualitas sosio ekonomi, politik, budaya, ipteks dan imtaq masyarakat Aceh dalam konteks syari’at Islam? Bagaimanakah paradigma, strategi pendidikan dan peran yang harus diterapkan oleh dayah dalam menghadapi tantangan global sehingga mampu mencerdaskan manusia seutuhnya, dan mampu bersaing dalam sekala regional, nasional dan bahkan internasional? Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, penulis mencoba mereformulasikan sistem pendidikan dayah. Kumpulan tulisan ini direduksi dari berbagai sumber terkini seperti buku, majalah, jurnal, koran, hasil penelitian, thesis, skripsi, internet dan sejenisnya dengan mengadakan telaahan secara analisis dan komparasi.
B. Fenomena Pendidikan Dayah antara Harapan dan Tantangan Secara garis besar dayah diklasifikasikan kepada dua bentuk, yaitu dayah salafiyah, dan dayah khalafiyah (terpadu). Dayah salafiyah adalah dayah yang menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam dilakukan secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik, berbahasa Arab. Penjenjangan pada dayah salafiyah tidak didasarkan pada satuan waktu, tetapi berdasarkan tamatnya kitab yang dipelajari. Dengan selesainya satu kitab tertentu, santri dapat naik jenjang dengan mempelajari kitab yang lebih tinggi tingkat kesukarannya. Pendekatan ini sejalan dengan salah satu prinsip pembelajaran modern, yang dikenal dengan pendekatan belajar tuntas (mastery learning). Dayah salafiyah tetap mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-aI-din) (Rochidin, 2004, 79). Sedangkan dayah khalafiyah adalah lembaga pendidikan Islam yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan menggunakan pendekatan modern, melalui satuan pendidikan formal, baik madrasah (MI, MTs, MA atau MAK), maupun sekolah (SD, SMP, SMU, dan SMK), atau nama lainnya tetapi tetap pendekatan klasikal. Kedua model dayah di atas mengalami kemajuan dan kemundurannya dalam dinamika sosio historis Islam di Aceh. Dayah salafiyah yang mengedepankan sikap kekeluargaan, kebersamaan, keikhlasan, kerelaan beramal, hidup saling 258
Pendidikan & Syari’at Islam bersaudara, saling menghargai, saling menghormati, hidup sederhana, mandiri, independen, bekerja ikhlas, taat pada kyai, tekun belajar, gemar beribadah dan menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan antara satu sama lainnya mengalami kemajuan dan kemundurannya sejak abad 15 sampai dengan 19 M. (Amiruddin, 2000: 5). Masa awal dari abad 19, dayah salafiyah berkembang pesat yang ditandai dengan besarnya kuantitas kontribusi dan tingginya pengakuan masyarakat baik dalam skala regional, nasional bahkan internasional. (Amiruddin, 2000:5). Kemenangan bangsa Indonesia pada perang Paderi, perang Banjar, perang Diponogoro dan sejumlah perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat lokal terhadap penjajahan Belanda di seluruh Indonesia adalah tidak terlepas dari peran serta para tokoh dayah. (Sartono Kartodirjo, 1977:131). Inti pendidikan yang ditanamkan pada dayah adalah pendidikan watak, karakter dan keagamaan. Dayah yang merupakan tempat masyarakat belajar (learning society) juga merupakan sumber informasi bagi masyarakat sekitarnya. Informasi ini bukan hanya sebatas pada informasi agama saja, tetapi juga meliputi masalah-masalah kehidupan seperti; persoalan pendidikan, pertanian, ekonomi, sosial, dan budaya. Dayah memiliki beberapa fungsi. Di antara fungsinya adalah; pendalaman pengetahuan tentang agama, tarbiyah al akhlaq (pembentukan kepribadian/budi pekerti) dan pengembangan masyarakat atau pusat rehabilitasi sosial. Dalam pandangan lain, fungsi dayah adalah menegakkan, dan memelihara agama, serta reproduksi ulama. Tujuan pendidikan di dayah tradisional pada umumnya lebih memprioritaskan capaian substansial keilmuan ketimbang capaian-capaian formal (izajah). Namunpun demikian, tetap ada tuntutan yang mendesak agar ada re-presepsi terhadap pemahaman kitab kuning (yellow book) yaitu bukan sekedar memahami secara tekstual, tetapi juga secara kontekstual. Atau bahkan tidak sekedar kitab kuning, tetapi juga mungkin kitab putih, hitam, merah, dan kitab biru. Tuntutan untuk memahami komprehensitas konteks dari literatur klasik merupakan tuntutan yang amat mendasar sebagai syarat kualifikasi keilmuan dalam rangka menjawab berbagai tantangan global. Di samping kelebihan dayah juga memiliki sejumlah kelemahannya. Kelemahankelemahan tersebut di antaranya: 1.
Manajemen pengelolaan dayah yang masih kurang berkualitas;
2.
Kaderisasi pimpinan dayah yang masih mengedepankan pendekatan nepotisme;
3.
Masih belum kuatnya budaya demokratis dan disiplin di lingkungan dayah;
4.
Masih kurangnya kebersihan di lingkungan dayah;
5.
Masih adanya persepsi masyarakat tentang dayah sebagai lembaga pendidikan kelas dua dan hanya belajar agama;
6.
Masih terbatasnya tenaga yang berkualitas, khususnya mata pelajaran umum; 259
Pendidikan & Syari’at Islam 7.
Masih kurang memadainya sarana dan prasarana pendidikan, baik asrama mupun ruang belajar;
8.
Masih dominannya sikap menerima apa adanya/fatalistik di kalangan para santri;
9.
Sebagian dayah masih bersifat eksklusif, kurang terbuka. Kelemahan selanjutnya adalah terlalu mengedepankan masalah keagamaan (keakhiratan),
kaku dalam metodologi pengajaran, terlalu bersifat tekstual, tidak memiliki planning yang terperinci dan rasional atas jalannya pendidikan dan pengajaran, tidak adanya keharusan membuat kurikulum yang lebih mudah dicerna dan dikuasai oleh santri. Selanjutnya, sistem pemberian materi masih bersifat tradisional, tidak adanya prioritas antara materi yang satu dengan materi, bahkan pedoman yang digunakannya pun tidak memiliki nilai edukatif, sehingga tidak memiliki landasan filsafat pendidikan yang utuh. (Abdurrahman Wahid, 1999:74). Secara umum, dayah belum memiliki kemampuan lebih dalam merumuskan visi misi dan tujuan pendidikan secara sistimatik yang tertuang dalam program kerja yang jelas, sehingga tahapan pencapaian tujuan juga cenderung bersifat alamiah. Sistem kepeminpinan sentralistik tidak sepenuhnya hilang sehingga acapkali mengganggu kelancaran mekanisme kerja kolektif, padahal banyak perubahan yang tidak mungkin tertangani oleh satu orang. Dalam merespon perubahan cenderung sangat lamban konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana benang tidak terputus dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik tangga ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yang bawah kaki satu melayang layang di udara bisa jadi terpeleset atau jatuh. Sistem pengajaran kurang efesien, demokratis dan variatif sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada peserta didik. Kurikulum pendidikannya terlalu kaku, tergantung pada kitab kuning yang ditulis oleh ulama salaf dan terfokus pada mazhab Syafi’i (bidah fiqh), pada aliran Asy ‘Ari (bidang kalam), dan pada pendapat Al Ghazali (bidang tasawuf). Lebih lanjut kultur belajar mengajar di dayah salafiyah kurang memberi kelonggaran untuk bertanya apalagi berdebat terutama dalam rumusan “mengapa“. Menurut Masdar F Mas’udi (1993:11), hal ini adalah karena pemikiran keilmuan dayah masih berhubungan erat dengan akar historis yang amat tipikal dalam kehidupan masyarakat Islam zaman kezumudan, yaitu pada pertengahan abad ke 13 M. Sebagian komunitas dayah salafiyah bahkan memiliki persepsi yang tidak sepenuhnya benar yakni menganggap bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang lahir dari proses pengamatan (ru’ya) dan penalaran (ra’yu), melainkan suatu nur yang memancar atau yang dipancarkan dari atas, dari sebuah sumber yang tidak diketahui bagaimana datangnya. Proses belajar di dayah pada umumnya lebih banyak menghafal ketimbang kemampuan memahami dan menalar. Kemampuan mengingat dan menghafal bukan sesuatu yang tidak penting, akan tetapi mesti seimbang dengan kemampuan menalar, sebab kalau dimensi menalar dilemahkan 260
Pendidikan & Syari’at Islam maka dengan sendirinya santri menjadi tidak mempunyai daya kritisitas yang memadai. Konsekuensinya, proses pendidikan hanya bersifat transfer of knowledge (memindahkan pengetahuan) dan mengabaikan proses pendalaman pemahaman serta kajian kritis. Begiru juga dengan literatur yang dikaji, sebaiknya bukan hanya terbatas pada kitab yang sudah menjadi barang jadi seperti fahtul muin, fathul wahab tetapi diprioritaskan pada ilmu metodologi seperti: ushul fiqh, tarikh tasyri’ dan semacamnya.
C. Modernisasi Pendidikan Dayah Kemajuan informasi komunikasi telah menembus tembok dayah yang menyebabkan terjadinya dinamika sosial ekonomi baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Kondisi ini menyebabkan dayah harus tampil dalam persaingan pasar bebas (global market). Guna menjawab berbagai tantangan tersebut, dayah melakukan reformulasi dan reorientasi kurikulum dan metode pengajarannya, sehingga kurikulum pengajaran kitab kuning berubah menjadi kurikulum umum, mengikuti kurikulum dan standar dari pemerintah. Secara sistematis, faktor-faktor yang menyebabkan moderniasi pendidikan dayah, adalah; Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah” sebagai isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Kedua, kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme Belanda. Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi. Keempat, dorongan kaum Muslim untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam agar sejalan dengan perkembangan zaman. Ada dua pendekatan dalam upaya pembaruan sistem pendidikan dayah, yaitu dengan merevisi kurikulumnya, dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran umum atau bahkan keterampilan umum, dan dengan membuka kelembagaan atau fasilitas-fasilitas pendidikan dayah bagi kepentingan pendidikan umum. (Azra, 1999:102). Cara pertama, seperti dikemukakan di atas, telah dimulai sejak masa Belanda, meski dengan skala yang sangat terbatas. Namun dalam masa kemerdekaan, pembaruan kurikulum itu terus menemukan nomenklaturnya. Begitu juga cara kedua, yang sebenarnya telah mulai dikembangkan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, tetapi baru mengalami peningkatannya setelah masa kemerdekaan, khususnya karena persaingan dayah dengan sistem kelembagaan madrasah modern yang ditempatkan di bawah pengawasan Departemen Agama RI yang sejak 1950-an melancarkan pembaruan madrasah dengan cara menegerikannya. Untuk meresponi perkembangan ini, dayah juga berinisiatif mendirikan madrasah di dalam kompleknya masing-masing, dengan cara memadukan sistem belajar, yaitu antara pendidikan dayah dengan pendidikan madrasah. Perpaduan 261
Pendidikan & Syari’at Islam ini diformulasikan sedemikian rupa sehingga melahirkan sistem pendidikan baru yang akhirnya disebut dengan dayah terpadu (integrated boarding school).
C. Reformulasi Pendidikan Dayah dalam Menghadapi Tantangan Global Dalam upaya membangun dayah sebagai pusat peradaban Muslim yang mampu berperan mencerdaskan kehidupan bangsa seutuhnya sehingga mampu bersaing dalam pentas global (regional, nasional dan internasional), reformulasi paradigma, visi-misi, kurikulum, metode dan kebijakan-kebijakan dayah adalah suatu keniscayaan. Reformulasi dan reorientasi yang dimaksudkan adalah merumuskan dan mengorientasikan kembali sistem pendidikan dan peranan dayah. Rumusan yang dimaksudkan hanya pada bidang teknis, dan performansinya, bukan pada hal-hal yang substansial seperti kesederhanaan (modesty) dan sikap keberagamaan. Dayah diharapkan memiliki peran yang besar dalam memberikan nilai-nilai moral bagi kehidupan masyarakat, mampu berpartisipasi dalam pengembangan dan peningkatan pendidikan nasional yang semakin terpuruk dibandingkan dengan kualitas pendidikan Negara-negara lain di Asia Tenggara, dan mampu tampil di garda terdepan dalam pengembangan masalah sosio ekonomi dengan cara mendidik atau memproduksi ulama, cendikiawan, ilmuan dan para pakar yang aktif, inovatif dan kreatif dalam pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan. Agar dayah mampu memenuhi tuntutan-tuntutan kemasyarakatan dan modernitas di atas, ada beberapa aspek penting yang perlu dikembangkan dan dirumuskan kembali. Pertama adalah kurikulum. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa dayah pada dasarnya hanya mengajarkan masalah hukum Islam (fiqh), masalah teologi (ilmu tawhid), tasawuf (mysticism), dan bahasa Arab (Arabic grammatology). Mata pelajaran tersebut biasanya direferensi dari kitab kuning, yaitu kitabkitab yang ditulis oleh ulama salaf pada masa lalu. Kurikulum seperti ini agaknya terlalu sempit bukan hanya pada jumlah kuantitasnya tetapi juga pada keterbatasannya yang hanya terfokus pada satu aliran pemikiran. Seperti yang diketahui bahwa di kebanyakan dayah, pelajaran filsafat dan pemikiran sama sekali tidak diajarkan. Begitu juga dengan materi fiqih atau hukum Islam biasanya hanya terfokus pada mazhab Syafi’i, dan masalah teologi pada aliran Asy ‘Ary. Keterfokusan materi kurikulum pendidikan seperti ini bukan hanya pada jenjang pendidikan dasar (SD), tetapi juga pada jenjang pendidikan tingkat menengah dan atas, bahkan pada jenjang pendidikan tinggi (Universitas). Artinya, ada pembatasan kurikulum pada dayah dengan cara tidak memberikan kesempatan kepada para santri untuk memperluas cakrawala pemikirannya dengan cara mengkaji berbagai referensi keislaman. Realitas seperti ini akan mengekang kreativitas dan berimplikasi kepada kejumudan, ketertutupan dan kekerdilan pemikiran para santri dan alumni dayah. Bahkan keterbatasan kurikulum seperti ini akan melahirkan generasi 262
Pendidikan & Syari’at Islam bangsa yang eksklusif, statis, menganggap diri paling benar, tidak memiliki kebebasan berpikir, dan otomatis tidak mampu menjawab problematika-problematika modern yang serba global. Kedua adalah berhubungan dengan proses belajar (learning-teaching process) di dayah. Pada umumnya, salah satu metode belajar yang dianggap efektif dan biasa digunakan secara turuntemurun di dayah adalah metode hafalan (memorization). Sebaliknya, jarang sekali dayah menggunakan metode dan strategi belajar yang bersifat analisis-kritis. Metode reproduksi seperti di atas diterapkan oleh para alumni dayah bahkan ketika mengajarkan materi-materi keislaman di berbagai lembaga pendidikan. Di sisi lain, di dayah biasanya hanya menggunakan kitab kuning (yellow book) sebagai modul atau referensi tunggal dalam proses belajar mengajar. Keterfokusan ini akan menyebabkan stagnasi dan tidak akan melahirkan kemajuan-kemajuan yang signifikan berkaitan dengan tradisi pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Berdasarkan hal ini, di dayah seharusnya diterapkan sistem pembelajaran yang bersifat analisis-strategis, komparatifmetodologis, dan humanis-rasionalis. Persoalan yang ketiga yang perlu diperhatikan adalah tentang pandangan hidup (way of life) dayah. Para komunitas dayah pada umumnya lebih memilih teologi Asy‘Ariyah dibandingkan dengan aliran Muktazilah. Misalnya masalah takdir (fate), di mana komunitas dayah lebih merujuk pada pemikiran Asy‘Ariyah dengan konsep kasb nya dibandingkan dengan pemikiran muktazilah dengan konsep ra’yu dan etos kerjanya. (William Montgomery, 1984: 135). Dalam perspektif tasawuf, komunitas dayah juga lebih konsist dan menggunakan pandangan Al Ghazali, yang menyatakan bahwa kebahagiaan hidup di akhirat adalah jauh lebih utama dari pada dunia. (Amin Haidari, 208:175). Hal ini akan mempengaruhi para santri untuk tidak memiliki etos kerja, etos karya dan optimisme dalam meraih kebahagiaan duniawi. Menurut mereka, kebahagiaan dunia adalah semu, tidak perlu dicari karena akan menghalanginya untuk meraih kebahagiaan akhirat yang abadi. Pandangan hidup seperti ini akan mempengaruhinya untuk tidak bersemangat dalam berusaha dalam masalah keduniaan seperti dalam bidang ekonomi, politik, dan ipteks. Tiga persoalan penting di atas hendaknya perlu diperhatikan baik oleh komunitas dayah itu sendiri, maupun oleh berbagai pihak atau instansi terkait. Hal ini bertujuan agar dayah sebagai salah satu pusat peradaban Muslim tidak mundur, punah, tersingkir dan tetap survive serta mampu bersaing (kompetitif) di era modern yang serba global. Lebih lanjut, berkenaan dengan reformulasi sistem pendidikan dayah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu masalah visi-misi dayah, kurikulum pendidikan dayah, sarana dan staf pengajar dayah serta masalah kebijakan-kebijakan pemerintah tentang dayah.
263
Pendidikan & Syari’at Islam 1. Visi dan Tujuan Pendidikan Dayah Terwujudnya pendidikan keagamaan dan pondok dayah yang berkualitas, mandiri, dan berdaya saing, dan kuat kedudukannya dalam Sistem Pendidikan Nasional sehingga mampu menjadi pusat unggulan pendidikan agama Islam dalam rangka menghasilkan kader ulama yang intelektual, cerdas, terampil, percaya diri, berkepribadian kuat, mampu mengembangkan diri dan mampu mengembangkan umat manusia seutuhnya serta bertanggungjawab terhadap masyarakat adalah visi utama dari pondok dayah. Dengan dasar ini dayah berkewajiban; 1). Menyiapkan kader-kader muslim yang menguasai ilmu pengetahuan Islam dan ilmu pengetahuan umum yang luas dan mendalam serta memiliki pribadi muslim yang berakhlak mulia; 2). Menyiapkan kader muslim yang memiliki sifat istiqomah terhadap ajaran yang diyakini dan mampu mengamalkan kepada masyarakat; 3). Menyiapkan kader muslim yang berwawasan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan dilandasi nilai-nilai ajaran Islam yang kuat dan mampu menerapkan dalam kehidupan masyarakat; 4). Meningkatkan mutu pendidikan dan kelembagaan keagamaan, memperkuat jalinan kerjasama dalam pemberdayaan dayah, mengupayakan pemberdayaan santri, dan memperkuat motivasi dan kemampuan dayah dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar tujuan tersebut dapat dicapai, maka reformulasi dan reorientasi sistem pendidikan dayah harus dilakukan. Ada beberapa pendekatan strategis yang harus diperhatikan agar tercapainya tujuan pendidikan tersebut, di antaranya adalah: 1.
Mengembangkan sistem kendali mutu pendidikan dan kelembagaan untuk meningkatkan mutu lulusan pendidikan keagamaan;
2.
Mengupayakan penguatan kelembagaan, kedudukan pendidikan keagamaan, dan unsurunsur instrumental kependidikan pada pendidikan keagamaan;
3.
Mengupayakan pengembangan potensi-potensi, dan kesejahteraan santri, penguatan organisasi dan jaringan kerja (network), sistem pelayan dayah, dan penguatan kelembagaan dan sumberdaya dayah dalam pelayanan kepada masyarakat (social service enfowerment).
2. Dayah dalam Sistem Pendidikan Nasional Pada umumnya, dayah bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, dayah bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Karena itu, dayah tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan dayah yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum dayah; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan. 264
Pendidikan & Syari’at Islam Kegiatannya terangkum dalam “Tri Dharma dayah” yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara. Posisi strategis dayah dalam sistem pendidikan nasional itu juga memberikan peranan yang penting dalam Sisdiknas, yang secara sistematis diklasifikasi kepada empat peranan, yaitu: 1.
Peranan Instrumental, yaitu bahwa dayah merupakan kreasi murni para ulama/kyai dalam usaha menciptakan sarana pendidikan;
2.
Peranan Keagamaan, yaitu bahwa dayah tumbuh dan berkembang sepenuhnya berdasarkan motivasi agama, mengefektifkan usaha penyiaran dan pengalaman ajaran-ajaran agama;
3.
Peranan Memobilisasi Masyarakat, yaitu bahwa dayah di samping lembaga pendidikan formal lainnya telah berkiprah besar dalam memobilisasi masyarakat Indonesia dari tidak berpendidikan kepada berpendidikan dan berperadaban (educated people) Dalam bahasa lain, dayah adalah pusat pengembangan yang terbaik bagi masyarakat (center of excellent for society) yang bukan saja mengarahkan agar masyarakat cerdas secara akal, tetapi juga secara emosional dan spiritual;
4.
Peranan pembinaan mental dan keterampilan, artinya bahwa dayah bukan hanya berperan mencerdaskan sikap keberagamaan generasi bangsa, tetapi juga menjadikan bangsa terampil, memiliki keterapilan yang tinggi (high life skill) dan menguasai pengetahuan teknologi.
3. Reformulasi Kurikulum Pendidikan Dayah Pendidikan dayah harus sesuai dengan perkembangan zaman. Dayah harus memiliki jenis pendidikan dasar mulai dari play group, dan TK, Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ), dan SD Islam Terpadu. Pendidikan sejenis TK dan Play Group didirikan dengan tujuan pembentukan sikap, watak dan kepribadian anak yang berahlakul karimah, menjadi pribadi yang kreatif dan mandiri melalui aktivitas pembelajaran yang kreatif dalam bentuk permainan yang menyenangkan sesuai dengan kondisi anak usia bermain. Sedangkan TPQ sebagai salah satu pendidikan non formal yang menerapkan kurikulum paduan antara LPPTKA dengan kurikulum muatan lokal dayah, diharapkan mampu menghasilkan anak didik yang mampu membaca Al-Qur'an dengan fasih, yang pada akhirnya juga mampu menghafal, dan menguasa ilmu-ilmu berkenaan dengan al Qur’an. Selanjutnya, keberadaan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) dengan tujuan agar mampu menyikapi pengaruh globalisasi dan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum pendidikan dayah harus menekankan pada ketercapaian kompetensi murid, pembelajaran ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan majemuk (multiple intellegency) yang dimiliki anak, dan diadakan program perbaikan dalam upaya pencapaian ketuntasan belajar (mastery learning). Pada tingkatan pendidikan tinggi, dayah juga harus mendirikan Sekolah Tinggi 265
Pendidikan & Syari’at Islam Agama Islam (STAI), baik program D.2, S.1 dan bahkan S.2 yang kurikulum pembelajarannya lebih bernuansa ilmiah, metodologis, analisis dan filosofis. Sebagai kurikulum tambahan, dayah juga harus menerapkan pendidikan ekstra kurikuler yang meliputi; Muhadlarah, pramuka, qasidah, computer, kaligrafi, naghom, marching band, hajir marawis, simtud dhuror, tata boga/tata busana, studi komparatif, kewirausahaan, kelompok Ilmiah Remaja, Lembaga Bahasa (Arab dan Inggris), Olah Raga (Volley, Tenis meja, Basket, Sepakbola, Bulutangkis dll), Seni Beladiri Pencak Silat, Nasyid dan Kelompok Paduan Suara.
4. Reformulasi Fungsi dan Kepemimpinan Dayah Diketahui bahwa dayah memiliki sejumlah fungsi utamanya, yaitu sebagai wahana tafaqquh fi al din, dengan cara transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam; pemeliharaan tradisi Islam; dan sebagai reproduksi ulama. Agar dayah tetap eksis dan mampu menghadapi tantangan global, direfungsionalisasi dayah merupakan suatu keharusan. Dayah yang memiliki posisi dan kedudukan yang khas seperti yang disebutkan di atas, diharapkan mampu menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat (people-centered development), dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (value-oriented development). Dayah diharapkan bukan hanya sekedar memainkan ketiga fungsi di atas, tetapi juga menjadi pusat penyuluhan kesehatan; pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan; pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup; dan menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Berkenaan dengan dayah sebagai pusat pemberdayaan ekonomi kemasyarakatan, dayah harus berpartisipasi dan memiliki andil yang besar dalam aktivitas-aktivitas vocational dan ekonomi, seperti dalam usaha-usaha agrobisnis yang mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan kehutanan; pengembangan industri rumah tangga atau industri kecil seperti konveksi, kerajinan tangan, pertokoan, koperasi dan sebagainya. Berkenaan dengan peralihan kepemimpinan, dayah juga seharusnya tidak berdasarkan garis keturunan (patriliniar). Selama ini, proses suksesi atau peralihan kepemimpinan pada dayah selalu berdasarkan keturunan, artinya bahwa pimpinan dayah tidak digantikan oleh orang lain yang tidak memiliki hubungan darah atau keluarga dengan pimpinan sebelumnya. Suksesi atau proses peralihan kepemimpinan seperti ini tidak selamanya berimplikasi konstruktif. Oleh karena itu, ajang peralihan kepemimpinan yang menggunakan pendekatan patrilineal perlu diperbaharui menjadi pendekatan mutu, kualitas, proporsionalitas, profesionalisme, dan demokratisasi. Artinya, siapa saja memiliki kesempatan untuk menggantikan pimpinan atau menjadi kyai suatu dayah, selama ia memiliki kemampuan, kewibawaan dan mendapatkan persetujuan dari suara terbanyak. 266
Pendidikan & Syari’at Islam 5. Reformulasi Tenaga Pengajar dan Fasilitas Pendidikan Dayah Tenaga pengajar di dayah biasanya dikenal dengan sebutan kyai, ulama atau ustadz. Ustadz adalah salah satu unsur terpenting yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran di dayah. Profesionalisme dan proporsionalisme seorang ustadz di satu sisi, dan lengkap serta memadainya prasarana pendidikan di sisi lain akan melahirkan proses dan produk pendidikan dayah yang bermutu, berkualitas dan berdaya saing. Berangkat dari asumsi ini, maka agenda reformulasi dan reorientasi tenaga kependidikan dan fasilitas pendidikan di dayah merupakan suatu keniscayaan. Prinsip-prinsip profesionalisme ustadz atau kyai adalah memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme, memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang yang sesuai dengan bidang tugasnya, memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan tugasnya, memiliki kode etik profesi, memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, memperoleh penghasilan yang sesuai dengan prestasi kerja, memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan, memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, serta memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum. (Mustafa. AB, 2009: 87). Ustadz yang profesional selalu terbuka, baik secara psikologis maupun secara sosiologis. Menerima kritik dengan ikhlas, serta memiliki empati, berupa respon afektif terhadap pengalaman emosional dan perasaan orang lain. (Reber, 1988: 56). Ustadz adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mangarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi santri pada jalur pendidikan dayah. Dalam rangka menjadikan dayah sebagai pusat peradaban muslim, ustadz harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional. Untuk dapat menjalankan tugas-tugas tersebut, para ustadz harus memiliki kompetensi tertentu. Sepuluh kompetensi yang harus dimiliki ustadz/kyai adalah: 1) memiliki kepribadian ideal; 2) penguasaan landasan pendidikan, 3) menguasai bahan pelajaran; 4) kemampuan menyusun program pengajaran; 5) kemampuan melaksanakan program pengajaran; 6) kemampuan menilai hasil dan proses belajar-mengajar; 7) kemampuan menyelenggarakan program bimbingan; 8) kemampuan menyelenggarakan program administrasi dayah; 9) kemampuan bekerjasama dengan sejawat dan masyarakat; dan 10) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran di dayah. 6. Reformasi Prasarana Pendidikan Dayah Sarana dan prasarana pendidikan dayah adalah semua benda bergerak maupun tidak bergerak yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan proses pembelajaran di dayah baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara umum, jenis-jenis sarana dayah adalah seperti; a) 267
Pendidikan & Syari’at Islam alat pelajaran, meliputi; kitab-kitab, kamus, al Qur’an, Hadis, majalah, jurnal, alat peraga, alat-alat peraktek, dan alat tulis-menulis. b) media pendidikan, yaitu seperti 1) media audio (radio, tape recorder); 2) media visual (film, graft, globe, table, spanduk, poster, papan bulletin, OHV dan lainlain); 3) media audio-visual seperti TV, VCD, film bunyi dan gerak. Semua peralatan dan media di atas harus dilibatkan secara langsung dalam proses pembelajaran di dayah. (Nurhayati Djamas, 2005: 185). Beberapa model prasarana pendidikan adalah seperti a. Bangunan dayah yang meliputi; 1) ruang belajar (Rg laboratorium, Rg khusus bid studi, Rg keterampilan/bengkel, Rg perpustakaan, Rg serbaguna, dan Rg belajar); 2) ruang administrator seperti ruang pimpinan dayah, Rg TU, Rg sidang, Rg ustadz, dll); 3) ruang penunjang seperti masjid, musholla, kantin, WC/MCK, gardu, dll; 4) prasarana lingkungan/infrastruktur, seperti jalan, jembatan, lapangan upacara, halaman parkir, saluran air, gardu listrik, tempat sampah, dll. b. Prabot dayah, yaitu segala perlengkapan yang tidak terlibat langsung dalam proses belajar mengajar, tetapi berfungsi sebagai penunjang pembelajaran, seperti meja belajar, kursi, lemari buku, meja dan kursi guru, papan tulis, meja tamu, percetakan dll. Sarana dan prasarana pendidikan seperti di atas sering tidak didapatkan secara lengkap di dayah. Oleh karena itu, agar dayah mampu eksis di era modern yang serba global, maka reformulasi prasarana pendidikan dayah perlu dilakukan. Upaya reformulasi dan reorientasi sarana dan prasarana pendidikan tersebut dapat dilakukan dengan cara: menyusun master plan dan penertiban tata ruang dayah; meningkatkan kuantitas fasilitas ruang belajar dan perkantoran, melakukan rehabilitasi dan pembangunan kembali gedung-gedung dayah yang rusak, pembangunan training center sebagai pusat kegiatan santri dan ustadz, pengupayaan pembangunan rumah ustadz atau kyai yang asri, luas dan memadai; penambahan literatur dan koleksi buku/kitab untuk perpustakaan dengan cara pengadaan dan penataan perangkat keras (hard ware) yang diperlukan; membangun dan mengembangkan laboratorium MIPA, Lab Bahasa (Language Development Center), dan Lab Dakwah yang refresentatif dan bermutu; serta membangun infrastruktur atau fasilitas sanitasi, air bersih dan MCK, tempat peristirahatan ustadz dan santri yang bersih, asri, indah, nyaman dan menyenangkan. Begitu juga dengan masalah perkantoran dayah, harus direformulasi dan direorientasikan agar mencerminkan perkantoran modern dan islami. Untuk menjadikan dayah sebagai lembaga pendidikan modern yang mampu menghadapi perkembangan zaman, keberadaannya harus dibenahi dan disesuaikan dengan tuntutan zaman dalam kerangka tidak merusak ciri-ciri substantif yang dimilikinya. Perkantoran dayah harus sepenuhnya berfungsi sebagai pelayanan bagi segenap elemen dayah (stake holders). Untuk itu, perbaikan dan pemantapan sistem manajemen partisipatoris yang 268
Pendidikan & Syari’at Islam bertumpu pada kebersamaan, pendelegasian wewenang yang rasional, peningkatan kontrol, pengendalian dan pengawasan keuangan melalui mekanisme yang akuntabel dan transparan dengan mengembangkan manajemen “Open Office” sekali seminggu, yang berlandaskan kepada 3 K (kemudahan, kelancaran dan keterbukaan) adalah suatu agenda yang tidak terelakkan.
E. Kesimpulan Globalisasi, di samping peluang, merupakan tantangan bagi lembaga pendidikan dalam membaca, menelaah dan merespon semua ‘suguhannya’ dengan cara persuasif dan akademis. Dayah sebagai lembaga pendidikan Islam nonformal harus mampu menjadi nakhoda membawa santri dan komunitasnya mampu menghadapi tantangan yang ada, sekaligus mengisi peluang yang memungkinkan. Dalam konteks ini, upaya pengembangan sumberdaya manusia (human resource development), di satu sisi dan sumberdaya alam (natural resource) di sisi lain adalah suatu agenda yang tidak terelakkan. Banyak aspek dari kehidupan manusia yang senantiasa perlu untuk dikembangkan. Pengembangan tersebut akan bedampak positif baik bagi kehidupan sosial budaya, maupun bagi setiap individu sebagai bagian dari masyarakat. Dayah sebagai bagian dari struktur sosial budaya juga perlu dikembangkan, agar tetap eksist, survive, dan mampu menghadapi tantangan global. Persoalan penting yang direformulasi pada dayah adalah masalah sistem pendidikannya, yang berkenaan dengan kurikulum, strategi belajar-mengajar dan tentang pandangan hidupnya. Pada dasarnya, gagasan reformulasi dan modernisasi pada dayah bukanlah sesuatu yang asing, hal ini karena pada dayah ada moto pembaruan yang berbunyi “al-Muhafazhah ‘ala al qadim as-shalih, wa al akhudzu bi al jaded al ashlah” (memelihara yang lama tapi baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Berdasarkan moto ini dayah seharusnya menerapkan sistem belajar mengajar yang lebih sesuai dengan kehidupan modern, dan kembali merumuskan kurikulum pendidikannya, sehingga mampu memberikan kesempatan kepada para santri dan masyarakat sekitarnya untuk memperoleh wawasan dan cakrawala berpikir yang luas, mampu berkompetisi secara sehat dan rasional, menjadi lebih terbuka (open minded), inklusif, lebih optimis dalam hidup dan kehidupan, cerdas intelektualnya, sahih imannya, shaleh amalnya, dan brilian fisiknya. Masih diperlukan pemikiran lebih lanjut dan aplikatif tentunya untuk mewujudkan sebuah metodologi dan arah kebijakan baru tentang dayah. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan secara terus menerus (kontinuitas), baik dengan melakukan penelitian komprehensif yang mengungkap masalah pendidikan dayah, atau melakukan kajian kontekstualisasi pemikiran ulama klasik Islam dalam hal reformulasi sistem pendidikan dayah, atau juga dapat dilakukan dengan melakukan kajian-kajian intensif dan memasukkan ruh Islam dari apa yang telah ada dan dihasilkan dari para reformis Muslim kontemporer. 269
Pendidikan & Syari’at Islam F. Daftar Pustaka Amiruddin, Hasbi, 2000, “Lembaga Pendidikan Islam yang Terlupakan” Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Islam, pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar- Raniry Banda Aceh tanggal 12 Februari 2000 Azra, Azyumardi, 1999, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos. Djamas, Nurhayati, 2005, Manajemen Madrasah Mandiri, Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Haedari, Amin, 2007, Transformasi Pesantren, Jakarta: Media Nusantara _________, 2008, “Some Notes on The Improvement of Pesantren in Indonesia”, International Journal of Pesantren Studies, vol. 2 No.2, tahun 2008, Jakarta: PSPP HS, Mastuki, El-sha, M. Ishom, 2006, Intelektualisme Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka Kuntowijoyo, 1991, “Peranan Pesantren dalam Pembangunan Desa: Potret sebuah Dinamika”, dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan. Steenbrink, A, Karel, 1986, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES Stinnett, T.M, dan Huggett, Albert. J, 1963, Professional Problems of Teachers. Second Edition. New York: The Macmillan Company. Wahid, Abdurrahman,1993, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: Dharma Bahakti Yunus, Mahmud, 1977, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya
270