84
BAB VI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PARTISIPASI DENGAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PERDESAAN
6.1. Hubungan Antara Tingkat Partisipasi dengan Dampak Sosial 6.1.1. Analisis Uji Hipotesis Penelitian Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah semakin tinggi partisipasi anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan program CSR maka semakin kuat modal sosial komunitas perdesaan. Berdasarkan hipotesis tersebut, terdapat dua variabel yang akan diukur, yakni variabel tingkat partisipasi, yang dalam hal ini terbagi dalam tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, maupun pelaporan, dan variabel kekuatan modal sosial, mencakup tingkat kepercayaan, kekuatan kerjasama, serta kekuatan jaringan. Melalui perhitungan statistika dengan uji korelasi rank spearman dan menggunakan alat bantu SPSS v .15.0, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap perencanaan) dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar 0.849. Karena
p-value (Sig.(2-tailed)) > alpha
(0.1=10 persen) maka terima Ho, artinya tidak ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap perencanaan) dan variabel kekuatan modal sosial. Hubungan antara kedua variabel tersebut tidak berhubungan secara signifikan sehingga semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada tahap perencanaan tidak berhubungan pada peningkatan kekuatan modal sosial kelompok simpan pinjam. Uji kedua dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat partisipasi (tahap pelaksanaan) dan variabel kekuatan modal sosial. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap pelaksanaan) dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar 0.017. Karena p-value (Sig.(2-tailed)) < alpha (0.1=10 persen) maka tolak Ho, artinya ada korelasi antara variable tingkat partisipasi (tahap pelaksanaan) dan variabel kekuatan modal sosial. Terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut, sehingga semakin tingggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam maka semakin tinggi kekuatan modal sosial anggota kelompok simpan pinjam.
85
Uji ketiga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat partisipasi (tahap evaluasi) dan variabel kekuatan modal sosial. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap evaluasi) dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar 0.088. Karena p-value (Sig.(2-tailed)) > alpha (0.1=10 persen) maka tolak Ho, artinya ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap evaluasi) dan variabel kekuatan modal sosial. Hubungan antara kedua variabel tersebut bernilai signifikan sehingga semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada tahap perencanaan berpengaruh pada peningkatan kekuatan modal sosial anggota kelompok simpan pinjam, begitu pun sebaliknya. Sedangkan untuk penghitungan variabel tingkat partisipasi pada tahap pelaporan dan kekuatan modal sosial, nilai korelasi tidak keluar karena pada tahap pelaporan nilainya sama (1), jadi walaupun kekuatan modal sosial naik turun, dapat diperkiraan tidak ada hubungannya dengan tahap pelaporan. Selanjutnya adalah uji untuk mengukur hubungan antara tingkat partisipasi pada keseluruhan tahapan penyelenggaraan program dan kekuatan modal sosial. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis di atas, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan tahap pelaporan) dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar 0.079. Karena p-value (Sig.(2-tailed)) > alpha (0.1=10 persen) maka tolak Ho, artinya ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi pada seluruh tahapan dan variabel kekuatan modal sosial. Sebagai pembanding, dilakukan uji statistik terhadap variabel tingkat partisipasi menggunakan kerangka konsep Arnstein (1969) terhadap kekuatan modal sosial anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini untuk melihat korelasi diantara kedua variabel tersebut. Hasil uji statistik menunjukkan angka korelasi sebesar 0.031. Karena p-value (Sig.(2tailed)) > alpha (0.1=10 persen) maka tolak Ho, artinya ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi pada seluruh tahapan dan variabel kekuatan modal sosial. Kedua uji statistik dengan dua kerangka konsep yang berbeda menunjukkan hasil yang sama, dimana semakin tinggi partisipasi anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan program CSR maka semakin kuat modal sosial yang terbentuk.
86
6.1.2. Analisis Hubungan antara Tingkat Partisipasi Masyarakat dan Dampak Sosial Modal sosial dipahami sebagai perekat internal yang membuat aktivitas di dalam suatu komunitas tetap berlangsung secara fungsional. Modal sosial berada dalam struktur hubungan antar pihak yang berinteraksi walaupun dapat diteliti pada individu maupun kolektif (Serageldin, 2000). Dalam hal ini, diduga keterlibatan anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan LKMS Kartini berhubungan dengan sejauhmana anggota kelompok simpan pinjam berinteraksi satu sama lain dengan nilai-nilai yang mendasarinya, yakni kebajikan bersama (social virtue), simpati dan empati (altruism), serta kerekatan hubungan antar-individu dalam suatu kelompok (social cohesivity). Jika dikaitkan dengan data mengenai tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada sub-bab sebelumnya, dapat dianalisis bahwasanya dari 30 orang responden yang merupakan anggotan kelompok simpan pinjam LKMS kurang atau bahkan tidak terlibat pada tahapan perencanaan dan evaluasi penyelenggaraan program. Dugaan tersebut diperkuat dengan apa yang dipaparkan oleh Staff PGPA, Bapak Dali Sadli, sebagai perwakilan dari Perusahaan Geothermal, yakni:
“Perusahaan Geothermal memiliki keterlibatan mempersiapkan pembentukan koperasi tersebut, baik bersifat dukungan langsung berupa dana untuk pembangunan fisik maupun dana untuk penyelenggaraan pelatihan, sedangkan perencanaan teknis dilakukan secara keseluruhan oleh mitra perusahaan, yaitu PNM. Permodalan Nasional Madani(PNM) merupakan mitra Perusahaan Geothermal dalam penyelenggaraaan koperasi ini, dimana PNM melakukan pendampingan terhadap koperasi hingga awal pendirian hingga akan berakhir akhir tahun 2010 ini.”(Bapak Dali Sadli). Apa yang disampaikan oleh Bapak Dali Sadli, diperkuat oleh penjelasan yang disampaikan Ibu Lili Suciati, Manajer LKMS Kartini:
“Evaluasi program, dilakukan setiap bulan karena dalam perjalannya koperasi selalu dikontrol oleh mitra perusahaan. Sejauh pembiayaan kelompok dinilai sangat lancar, meskipun evaluasi kegiatan hanya dilakukan oleh pengurus dan evaluasi keseluruhan pada Rapat Akhir Tahun baru akan direncanakan untuk diselenggarakan, jadi sejauh ini memang masyarakat anggota
87
koperasi belum dilibatkan dalam mengevaluasi secara langsung, melainkan saran dan pandangan masyarakat ditampung melalui outreach staff yang terjun ke lapangan.”(Ibu Lili Suciati) Oleh karena itu, tingkat keterlibatannya dinilai rendah dan tidak berkorelasi, sehingga kurang dapat memunculkan aspek-aspek yang dapat memperkuat modal sosial masyarakat. Itu artinya, belum tentu dengan keterlibatan mereka dalam program pemberdayaan ekonomi lokal tersebut mempengaruhi sejauhmana tingkat kepercayaan, kekuatan kerjasama, dan kekuatan jejaring dalam sistem sosial masyarakat. Untuk tahapan pelaporan, nilai korelasi tidak keluar karena pada tahap pelaporan nilainya sama. Hal tersebut sejalan dengan data yang dipaparkan pada seluruh responden tidak berpartisipasi sama sekali pada tahapan ini. Hal tersebut diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Lili Suciati, Manajer LKMS Kartini, yang menyampaikan pandangannya terkait keterlibatan anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini:
“Pelaporan dalam hal ini dilakukan oleh pihak koperasi yang kemudian disampaikan ke mitra perusahaan, dan dari mitra perusahaan disampaikan kepada perusahaan. Sejauh ini masyarakat peserta kelompok simpan pinjam memang belum dilibatkan pada tahapan pelaporan.” (Ibu Lili Suciati) Sejauh ini, kapasitas anggota koperasi belum mampu untuk terlibat dalam pembuatan pelaporan secara sistematis, apalagi sebagian besar anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini merupakan ibu-ibu yang berangkat dari latar belakang pendidikan yang cenderung rendah. Tapi, untuk keberlanjutannya masyarakat anggota kelompok simpan pinjam akan dipersiapkan untuk dapat mengevaluasi kegiatan simpan pinjam secara mandiri, sekaligus dapat menyusun pelaporan pembiayaan tingkat kelompok secara terpadu. Berdasarkan uji korelasi antara variabel tingkat partisipasi pada setiap tahapan
penyelenggaraan
program
dengan
dampak
sosial
menunjukkan
bahwasanya hanya tingkat partisipasi pada tahap pelaksanaan dan evaluasi saja yang menunjukkan hubungan signifikan sehingga dalam hal ini keterlibatan anggota kelompok simpan pinjam pada pelaksanaan program mempengaruhi
88
kekuatan modal sosial mereka. Sedangkan pada tahap perencanaan dan pelaporan, kedua variabel tersebut tidak berkorelasi, sehingga itu artinya, partisipasi anggota kelompok pada tahapan tersebut tidak berpengaruh pada kekuatan modal sosial. Ketika variabel tingkat partisipasi secara keseluruhan diuji hubungannya terhadap dampak sosial, baik dengan kerangka Uphoff maupun dengan kerangka Arnstein, diperoleh angka hubungan yang signifikan, itu artinya partisipasi anggota kelompok dalam penyelenggaraan program, baik pada tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan tahap pelaporan, berhubungan dengan kekuatan modal sosial anggota kelompok simpan pinjam. Bagaimana tingkat kepercayaan, kekuatan jejaring, serta kekuatan kerjasama antara masyarakat dengan masyarakat lain, maupun masyarakat terhadap pemerintah desa, dan masyarakat terhadap perusahaan geothermal sudah terbentuk sebelum program pemberdayaan ekonomi lokal ini diselenggarakan. Seiring dengan berjalannya waktu, hingga terbentuknya LKMS Kartini yang memfasilitasi
terbentuknya
kelompok-kelompk
simpan
pinjam
dengan
mengutamakan kebersamaan kelompok, dapat meningkatkan kepercayaan diantara masyarakat terhadap para stakeholder. Adanya kumpulan mingguan dan sistem tanggung renteng yang berlaku dalam kelompok memberi peluang bagi mereka untuk lebih merekatkan satu dengan lainnya. Meskipun demikian, sejauhmana keterlibatan masyarakat dapat membawa dampak bagi kekuatan modal sosial mereka, juga ditentukan oleh individu masing-masing. Hal tersebut diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh staff lapangan dari LKMS Kartini yang bertanggung jawab untuk mengkoordinir kelompok ibu-ibu di Desa Cihamerang, Teh Echa:
“Pada kenyataannya tidak semua anggota kelompok mau berkumpul setiap minggunya untuk sekedar bertemu dan beramah taman sekaligus membayar cicilan Bahkan beberapa anggota tidak pernah mengikuti kumpulan mingguan dan selalu menitipkan cicilan pinjaman dengan teman-temannya. Selain itu, terkadang kebiasaan buruk salah satu anggota justru merenggangkan hubungan antar anggota, karena meskipun berlaku sistem tanggung renteng, kebiasaan terlambat membayar cicilan atau bahkan tidak membayar sama sekali menimbulkan pertentangan-pertentangan batin diantara anggota kelompok terkait”.(Teh Echa)
89
Fakta tersebut, menggambarkan bahwa perlu adanya penguatan modal sosial diantara anggota kelompok simpan pinjam agar senantiasa terbentuk hubungan yang harmonis diantara anggota. Paling tidak, dengan adanya pertemuan yang rutin memberikan dampak pada tingkat kepercayaan diantara anggota kelompok, melalui adanya sistem pembiayaan kelompok yang mengharuskan salah satu anggota menjadi ketua kelompok yang selanjutnya mengkoordinir teman-teman sekelompoknya. Selain itu, melalui kumpulan-kumpulan mingguan, jejaring diantara anggota dapat berkembang, bahkan untuk kegiatan-kegiatan anggota kelompok yang harus dilaksanakan secara kolektif, anggota dapat menguatkan modal kerjasama diantara mereka.
6.2. Hubungan Antara Tingkat Partisipasi dengan Dampak Ekonomi 6.2.1. Analisis Uji Hipotesis Penelitian Hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah semakin tinggi partisipasi anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan program CSR, maka semakin kuat taraf hidup komunitas perdesaan. Berdasarkan hipotesis tersebut, terdapat dua variabel yang akan diukur, yakni variabel tingkat partisipasi, yang dalam hal ini tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam dan variabel taraf hidup, mencakup komposit, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, dan tingkat tabungan. Melalui perhitungan statistika dengan uji korelasi rank spearman dan menggunakan alat bantu SPSS v .15.0, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap perencanaan) dan variabel dampak ekonomi (mencakup tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tabungan, dan taraf hidup) adalah sebesar 0.468. Karena p-value (Sig.(2-tailed)) > alpha (0.1=10 persen) maka terima Ho, artinya tidak ada korelasi antara variabel ingkat Partisipasi (Tahap Perencanaan) dan Dampak Ekonomi. Hubungan antara kedua variabel tersebut tidak signifikan sehingga itu artinya semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan tidak berhubungan pada peningkatan tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tabungan serta taraf hidup anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini. Uji kedua dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat partisipasi pada tahap pelaksanaan dan dampak ekonomi atau taraf hidup.
90
Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis yang tertera pada tabel diatas, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap pelaksanaan) dan variabel dampak ekonomi (mencakup tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tabungan, dan taraf hidup) adalah sebesar 0.215. Karena p-value (Sig.(2-tailed)) > alpha (0.1=10 persen) maka terima Ho, artinya tidak ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap perencanaan) dan dampak ekonomi. Hubungan antara kedua variabel tersebut bernilai negatif sehingga semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada tahap pelaksanaan tidak berpengaruh pada peningkatan tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tabungan serta taraf hidup anggota kelompok simpan pinjam. Uji ketiga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat partisipasi pada tahap evaluasi dan dampak ekonomi atau taraf hidup. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap evaluasi) dan variabel dampak ekonomi (mencakup tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tabungan, dan taraf hidup) adalah sebesar 0.245. Karena p-value (Sig.(2-tailed)) > alpha (0.1=10 persen) maka terima
Ho, artinya tidak ada korelasi antara variabel tingkat
partisipasi (tahap evaluasi) dan dampak ekonomi. Hubungan antara kedua variabel tersebut tidak signifikan, sehingga semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada tahap evaluasi, tidak behubungan dengan peningkatan tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tabungan serta taraf hidup anggota kelompok simpan pinjam. Uji keempat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat partisipasi pada tahap pelaporan dan dampak ekonomi atau taraf hidup. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian, nilai korelasi tidak keluar karena pada tahap pelaporan nilainya sama (1), jadi diperkirakan, keterlibatan anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan program pada tahap pelaporan tidak memiliki korelasi terhadap kondisi ekonomi anggota kelompok simpan pinjam, meliputi tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tabungan, dan taraf hidup. Uji terakhir dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat partisipasi pada seluruh tahapan penyelenggaraan program dan dampak
91
ekonomi. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis yang tertera di atas, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan tahap pelaporan) dan variabel dampak ekonomi adalah sebesar 0.058. Karena p-value (Sig.(2-tailed)) > alpha (0.1=10 persen) maka tolak
Ho, artinya ada korelasi antara variabel tingkat
partisipasi (tahap evaluasi) dan variabel dampak ekonomi. Sebagai pembanding, dilakukan uji statistik untuk melihat korelasi antara variabel tingkat partisipasi dengan kerangka konsep arnstein dan variabel taraf hidup. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis yang tertera di atas, didapatkan angka korelasi sebesar 0.006, yang mana berarti terdapat hubungan yang signifikan diantara dua variabel tersebut. Uji statistik yang dilakukan dengan kerangka konsep Uphoff maupun Arnstein menunjukkan bahwa kedua variabel berkorelasi dengan signifikan. Jadi semakin tinggi partisipasi anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan program CSR maka semakin kuat taraf hidup komunitas perdesaan.
6.2.2. Analisis Hubungan antara Tingkat Partisipasi dan Dampak Ekonomi Masyarakat Desa Cihamerang merupakan kategori masyarakat yang menjadikan sektor pertanian sebagai ujung tombak kehidupan. Kehidupan masyarakat pertanian identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Hal tersebut diperkuat oleh informasi dari Bapak Ujur Juheri sebagai tokoh masyarakat:
“Kondisi ekonomi masyarakat wilayah Desa Cihamerang tergolong rendah atau dalam arti lain banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar masyarakat bekerja di sektor pertanian, yang pada kenyataanya tingkat kepemilikan akan lahan cukup sedikit, bahkan faktor cuaca dan hama yang tidak menentu sering mengakibatkan gagal panen. Di samping itu, distribusi hasil pertanian yang bergantung pada keberadaan tengkulak membuat harga jual produk hasil pertanian menjadi relatif rendah, akibatnya pendapatan masyarakat pun menjadi tidak menentu.” (Bapak Ujur Juheri) Mengacu pada informasi di atas, dapat dilihat bahwasanya kehidupan masyarakat Cihamerang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Hal tersebut
92
diperkuat dengan informasi dari Kepala Desa Cihamerang, yakni Bapak Deden Sumitra bahwa dari keseluruhan jumlah penduduk yakni 6715 orang, jumlah keluarga miskin mencapai 924 kepala keluarga. Dengan keikutsertaan anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan LKMS Kartini, mereka berharap dapat memperoleh peningkatan pendapatan dan taraf hidup. Hal tersebut diperkuat oleh informasi dari Bapak Dudung Abdullah, Kasie PMD Kecamatan Kabandungan:
“Penyelenggaraan program pemberdayaan ekonomi lokal oleh Perusahaan Geothermal melalui pembentukkan LKMS Kartini telah berjalan kurang lebih satu setengah tahun, dimana dalam hal ini adanya lembaga keuangan dalam bentuk koperasi tersebut sedikit banyak telah menjawab kebutuhan masyarakat kecamatan kabandungan, khususnya masyarakat desa Cihamerang akan kebutuhan bantuan modal untuk pengembangan usaha di tingkat rumah tangga.”(Bapak Dudung Abdullah) Informasi di atas menggambarkan bahwa penyelenggaraan program pemberdayaan ekonomi lokal melalui kelompok simpan pinjam LKMS Kartini sesuai dengan kebutuhan masyarakat, khususnya anggota kelompok simpan pinjam. Namun dalam cakupan seperti apa kebutuhan masyarakat tersebut dapat dipenuhi melalui keikutsertaan anggota kelompok simpan pinjam dalam program ini, penting untuk melihat sejauhmana anggota kelompok simpan pinjam berpartisipasi pada setiap tahapan penyelenggaran program. Berdasarkan pembahasan pada beberapa sub-bab di atas, tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam di Desa Cihamerang tergolong masih cukup rendah, karena pada tahapan perencanaan dan pelaporan, anggota kelompok simpan pinjam sama sekali tidak terlibat. Untuk tahapan pelaporan, nilai korelasi tidak keluar karena pada tahap pelaporan nilainya sama. Diperkirakan seluruh responden tidak berpartisipasi sama sekali pada tahapan ini. Sedangkan untuk tahapan evaluasi, hanya sedikit dari masyarakat yang terlibat dalam proses melihat sejauhmana pencapaian kegiatan simpan pinjam dengan tujuan kegiatan. Pada tahap pelaksanaan hampir semua masyarakat terlibat aktif, baik melalui intensitas kehadiran dalam kumpulan mingguan, keikutsertaan sebagai ketua kelompok, maupun kehadiran dalam kegiatan-kegiatan pelatihan.
93
Hipotesis kedua dari penelitian ini menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam, maka semakin tinggi dampak ekonomi yang diperoleh. Dampak ekonomi dipahami sebagai bentuk perubahan yang dirasakan dan diperoleh oleh anggota kelompok simpan pinjam setelah terlibat dalam implementasi program CSR. Perubahan tersebut dilihat dari beberapa aspek, yakni tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tabungan, dan tingkat taraf hidup yang mencakup jenis lantai bangunan terluas tempat tinggal, jenis dinding rumah terluas, fasilitas tempat buang air besar/wc, sumber penerangan, sumber air minum, bahan bakar untuk memasak, dan alat transportasi yang dimiliki. Keseluruhan aspek tersebut dinilai cukup untuk menjelaskan sejauhmana taraf hidup kehidupan ekonomi anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini. Hasil pengolahan data mengenai hubungan antara tingkat partisipasi dengan dampak ekonomi, baik dengan kerangka konsep Uphoff (1979) maupun konsep Arnstein (1969) menunjukkan bahwasanya tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam memiliki hubungan korelasi yang signifikan terhadap dampak ekonomi. Itu artinya bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam, maka semakin tinggi pula dampak ekonomi yang akan diperoleh oleh anggota kelompok simpan pinjam. Meskipun demikian, hasil pengolahan data juga menunjukkan bahwasanya hubungan antara tingkat partisipasi pada setiap tahapan, yakni tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pelaporan, masing-masing tidak memiliki korelasi positif dengan dampak ekonomi. Itu artinya, dalam melihat hubungan antara tingkat partisipasi dengan dampak ekonomi tidak dapat dipisahkan secara parsial tiap-tiap tahapan penyelenggaraan program. Suatu program akan memiliki dampak yang lebih nyata,
ketika
setiap
stakeholder
berpartisipasi
pada
setiap
tahapan
penyelenggaraan. Pinjaman modal yang diberikan oleh LKMS Kartini diarahkan untuk mendorong ibu-ibu membukan usaha baru maupun mengembangkan usaha yang sudah ada, meskipun pada kenyataannya, beberapa ibu anggota kelompok memanfaatkan uang tersebut untuk kebutuhan pribadi. Hak tersebut sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh Ibu Lili Suciati, Manajer LKMS Kartini:
94
“Perkembangan kemajuan koperasi dinilai sangat pesat hingga menurut Ibu Suci adanya LKMS Kartini banyak muncul pengusaha-pengusaha kecil, misalnya saja bermuculan ibu-ibu yang berjualan. Meskipun demikian, banyak juga anggota kelompok simpan yang ternyata memanfaatkan modal pinjaman untuk penggunaan yang tidak produktif.”(Ibu Suci) Terkait dengan sejauhmana pinjaman modal memberi kontribusi terhadap kesejahteraan anggota kelompok simpan pinjam, jumlah pinjaman dari LKMS Kartini dinilai relatif kecil dan kurang berpengaruh pada kebutuhan modal, khususnya bagi anggota kelompok simpan pinjam yang memanfaatkan bantuan modal untuk usaha dalam bidang pertanian maupun peternakan. Hal tersebut sejalan dengan informasi yang disampaikan oleh Bapak Ujur Juheri, Tokoh Masyarakat setempat, yakni jumlah pinjaman yang relatif sedikit menurut Bapak Ujur membawa dampak pada tidak terlalu signifikannya pengaruh keberadaan pinjaman koperasi bagi masyarakat.
“Misalnya saja, bagi masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani, modal yang harus disediakan untuk sekali musim tanam, mencapai belasan juta, namun pinjaman koperasi hanya berjumlah 500 ribu. Bahkan celetuk Bapak Ujur, “Aduh neng, untuk beli pupuk aja tidak cukup, apalagi untuk memenuhi keseluruhannya”. (Bapak Ujur) Apa yang disampaikan oleh Bapak Ujur Juheri sejalan dengan informasi yang disampaikan oleh Bapak Deden Sumitra, Kepala Desa Cihamerang:
“Menurut Saya, sedikit banyak program ini dapat membantu kebutuhan masyarakat, meskipun belum sepenuhnya karena jumlah pinjaman yang dinilai sangat sedikit, sehingga belum dapat memenuhi seluruhnya kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, Bapak Kepala Desa mengharapkan agar LKMS Kartini dapat menyentuh seluruh bagian dari masyarakat Desa Cihamerang, sehingga bergeraknya bank-bank keliling dapat dihentikan secara perlahan serta semua masyarkat dapat meningkatkan kondisi perekonomiannya secara bertahap.” (Bapak Deden Sumitra) Meskipun demikian, Bapak Ujur mengakui bahwa koperasi ini paling tidak sedikit membantu masyarakat, khususnya anggota kelompok simpan pinjam dalam hal
95
permodalan, sesuai dengan informasi yang disampaikan Bapak Dudung di atas. Terlebih Desa Cihamerang tergolong desa yang terletak di wilayah pedalaman, sehingga akses terhadap pinjaman modal pengembangan usaha ke luar cenderung sulit. Sejalan dengan hal tersebut, Ibu Lili Suciati menambahkan bahwa:
“Jika dilihat dari jumlah anggota simpan pinjam yang terus bertambah dari waktu ke waktu , LKMS Kartini sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara umum khususnya Desa Cihamerang.”(Ibu Lili Suciati) Keikutsertaan anggota kelompok secara aktif dalam kegiatan simpan pinjam dapat tergolong berdampak positif apabila pada praktik nyatanya, anggota kelompok simpan pinjam secara penuh memanfaatkan pinjaman modal untuk membuka usaha atau pengembangan usaha yang sudah ada sehingga hasil dari kegiatan produktifnya tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan aset usaha sembari membayar cicilan pinjaman kepada LKMS Kartini. Kehadiran anggota kelompok simpan pinjam dalam pertemuan mingguan dinilai sangat penting, karena hal tersebut mempengaruhi peningkatan pinjaman dari LKMS Kartini
untuk putaran selanjutnya, misalnya saja pada putaran
pertama, jumlah pinjaman sebanyak Rp 500.000,00. Karena pada setiap kumpulan mingguan ibu-ibu aktif hadir dan membayar cicilan dengan baik, maka untuk putara selanjutnya, pinjaman akan ditingkatkan menjadi Rp 1.000.000,00. Begitu pula dengan dengan putaran berikutnya, akan meningkat sejalan dengan partisipasi ibu-ibu kelompok dalam kegiatan tersebut. Partisipasi aktif tidak saja ditunjukkan pada pelaksanaan kegiatan, pada tahap perencanaan, evaluasi, dan pelaporan anggota kelompok simpan pinjam juga sudah seharusnya turut terlibat aktif, sehingga apa yang menjadi kelemahan dan kelebihan program dapat diidentifikasi secama mandiri oleh anggota kelompok simpan pinjam. Kelemahan program dapat diperbaiki agar program menjadi lebih baik, dan kelebihan program dapat selalu ditingkatkan untuk menjadi keunggulan. Jadi, partisipasi aktif anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan program sangat penting untuk keberhasilan program dan pencapaian masyarakat.
96
Gambar 11. Transaksi antara petugas outreach LKMS Kartini dan seorang ibu anggota LKMS Kartini 6.3. Ikhtisar Modal sosial dipahami sebagai perekat internal yang membuat aktivitas di dalam suatu komunitas tetap berlangsung secara fungsional. Modal sosial berada dalam struktur hubungan antar pihak yang berinteraksi walaupun dapat diteliti pada individu maupun kolektif (Serageldin, 2000). Dalam hal ini, diduga keterlibatan
anggota
kelompok
simpan
pinjam
LKMS
Kartini
dalam
penyelenggaraan LKMS Kartini berpengaruh pada sejauhmana anggota kelompok berinteraksi satu sama lain. Berdasarkan uji korelasi antara variabel tingkat partisipasi pada setiap tahapan dengan dampak sosial menunjukkan bahwasanya hanya tingkat partisipasi pada tahap pelaksanaan dan evaluasi saja yang menunjukkan hubungan positif sehingga dalam hal ini keterlibatan anggota kelompok simpan pinjam pada pelaksanaan program mempengaruhi kekuatan modal sosial mereka. Sedangkan pada tahap perencanaan, evaluasi, dan pelaporan, kedua variabel tersebut tidak berkorelasi, sehingga itu artinya partisipasi masyarakat pada tahapan tersebut tidak berhubungan dengan kekuatan modal sosial. Ketika variabel tingkat partisipasi , baik dengan kerangka konsep Uphoff (1979) maupun Arnstein (1969), secara keseluruhan diuji hubungannya terhadap dampak sosial, diperoleh angka hubungan positif, itu artinya, partisipasi anggota kelompok dalam penyelenggaraan program, baik pada tahap perencanaan, tahap
97
pelaksanaan, tahap evaluasi, dan tahap pelaporan, mempengaruhi kekuatan modal sosial dalam kategori anggota kelompok simpan pinjam tersebut. Hipotesis kedua dari penelitian ini menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam, maka semakin tinggi dampak ekonomi yang diperoleh oleh masyarakat. Dampak ekonomi dipahami sebagai bentuk perubahan yang dirasakan dan diperoleh oleh anggota kelompok simpan pinjam setelah terlibat dalam implementasi program CSR dimana perubahan tersebut dilihat dari beberapa aspek, yakni tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tabungan, dan tingkat taraf hidup yang mencakup jenis lantai bangunan terluas tempat tinggal, jenis dinding rumah terluas, fasilitas tempat buang air besar/wc, sumber penerangan, sumber air minum, bahan bakar untuk memasak, dan alat transportasi yang dimiliki. Hasil pengolahan data mengenai hubungan antara tingkat partisipasi dengan dampak ekonomi menunjukkan bahwasanya tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam memiliki hubungan korelasi yang signifikan terhadap dampak ekonomi. Itu artinya, bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam, maka semakin tinggi pula dampak ekonomi yang akan diperoleh oleh anggota kelompok simpan pinjam. Hasil pengolahan data juga menunjukkan bahwasanya hubungan antara tingkat partisipasi pada setiap tahapan, yakni tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pelaporan, masingmasing tidak memiliki korelasi positif dengan dampak ekonomi. Itu artinya, dalam melihat hubungan antara tingkat partisipasi dengan dampak ekonomi tidak dapat dipisahkan secara parsial tiap-tiap tahapan penyelenggaraan program. Suatu program akan memiliki dampak yang lebih nyata, ketika anggota kelompok simpan pinjam berpartisipasi pada setiap tahapan penyelenggaraan. Begitu juga dalam melihat keterhubungan antara tingkat partisipasi dengan dampak ekonomi, tidak
dipisahkan
secara
parsial
berdasarkan
masing-masing
tahapan.
Penyelenggaraan program pemberdayaan akan membawa dampak positif baik bagi kekuatan modal sosial maupun taraf hidup masyarakat apabila masyarakat berpartisipasi pada setiap tahapan penyelenggaraan program.