BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Hubungan Faktor Predisposisi dengan Cakupan IVA Hubungan signifikan terjadi antara tingkat pengetahuan WUS dengan cakupan IVA, dimana semakin baik tingkat pengetahuan WUS mempunyai hubungan dengan tingginya cakupan IVA di suatu Puskesmas. Dengan pengetahuan yang dimiliki oleh WUS terkait dengan test IVA untuk mendeteksi adanya lesi kanker serviks maka WUS mampu meningkatkan cakupan IVA. Teori yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2001) yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah merupakan hasil ”tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yakni: 1) tahu (know), 2) Memahami (comprehension), 3) Aplikasi (application), 4) Analisis (analysis), 5) Sintesis (synthesis) dan 6) Evaluasi (evaluation). Berdasarkan enam domain kognitif tersebut tentunya para WUS tahu tentang test IVA dan kaitannya dengan lesi serviks, selanjutnya paham terhadap perkembangannya, sampai pada kemampuan analisis, sintesis, dan menilai apa yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kanker serviks. Secara teori dikatakan bahwa WUS akan memperoleh pengetahuan melalui sistem penginderaan yaitu mata dan telinga, sehingga pemberian promosi kesehatan tentang IVA sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pengetahuan WUS guna
45
meningkatkan cakupan IVA
46
(Notoatmodjo, 2010). Banyak hal yang sudah dilakukan oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab dengan program deteksi dini kanker serviks ini, mulai dari dinas kesehatan provinsi, kabupaten dan kota serta puskesmas, diantaranya adalah sosialisasi dan promosi kesehatan melalui penyuluhan dan program pemeriksaan IVA gratis,`namun belum dilakukan secara optimal karena daerah yang dicapai belum merata. Program deteksi dini kanker serviks ini di tingkat pelayanan kesehatan yang paling dasar atau Puskesmas menjadi tanggung jawab dari bidang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), hanya beberapa Puskesmas yang sudah mengembangkan diri dengan memiliki klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT), sehingga akan lebih membantu mengoptimalkan program IVA (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2009) Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Purwanto tahun 1998 dikatakan bahwa seseorang akan mengadopsi atau melakukan sesuatu melalui suatu proses yang selalu didasari oleh pengetahuan, kesadaran yang positif. Saat hal tersebut terjadi semua yang diadopsi dan dikerjakan akan menjadi sesuatu yang langgeng, namun apabila sesuatu dikerjakan atau diadopsi tanpa didasari oleh suatu pengetahuan dan kesadaran maka semua yang diadopsi atau dikerjakan hanya bersifat sementara atau tidak akan berlangsung lama (Wawan dan Dewi, 2010). Wanita usia subur yang tidak tahu tentang pemeriksaan IVA merupakan faktor yang sangat berperan dalam peningkatan cakupan IVA. Saat mereka tidak tahu mereka tidak akan datang untuk melakukan pemeriksaan IVA, hal tersebut bukan sepenuhnya menjadi kesalahan dari WUS, namun juga seharusnya menjadi bahan pertimbangan
47
bagi setiap fasilitas pelayanan kesehatan karena program pemerintah yang saat ini sedang digalakkan belum banyak diketahui oleh sasaran dari pogram tersebut, yaitu WUS. Kurangnya sosialisasi dan perencanaan yang kuat serta dukungan dari pemerintah dan fasilitas pelayanan kesehatan itu sendiri salah satu dari penyebab kurangnya pengetahuan masyarakat tentang IVA, diluar faktor-faktor yang lain. Beberapa usaha sosialisasi mungkin telah dilakukan, namun distribusinya kurang merata (Anonim, 2011). Sosialisasi dan berbagai hal sederhana yang bisa diupayakan dalam meningkatkan pengetahuan WUS antara lain disetiap fasilitas pelayanan kesehatan menyediakan brosur yang bisa dilihat dan dibaca saat mereka sedang menunggu (Dizon dkk., 2009). Sikap WUS adalah hal yang kedua dalam faktor predisposisi yang memiliki hubungan yang signifikan dengan cakupan IVA. Semakin postiif sikap WUS mempunyai hubungan dengan tingginya cakupan IVA, hal ini didukung oleh pernyataan Notoatmodjo (2003) tentang sikap terhadap suatu kondisi yang menyatakan bahwa sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek. Lebih lanjut dinyatakan bahwa sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu 1) menerima (receiving), 2) merespon (responding), 3) menghargai (valeuning) dan 4) bertanggung jawab (responsible). Tidak cukup hanya dengan pengetahuan saja yang harus dikuasai oleh para WUS, namun lebih dari itu, menerima suatu kondisi harus disikapi atau direnspon dengan rasa tanggung jawab untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan terutama yang terkait dengan alat genital khususnya yang berhubungan dengan lesi serviks. Dengan
48
respon yang disertai tanggung jawab yang tinggi terhadap suatu kondisi yang terkait dengan pencegahan kanker serviks merupakan suatu sikap yang mendukung suatu gerakan untuk melakukan test IVA yaitu salah satu cara mendeteksi secara dini lesi serviks. Newcomb adalah salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, sehingga sikap menentukan kesediaan WUS datang ke Puskesmas untuk mendapatkan pelayanan pemeriksaan IVA (Nugroho, 2010) Tingkat Ekonomi menjadi hal yang ketiga yang memiliki hubungan yang signifikan dengan cakupan IVA. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa tingginya tingkat ekonomi WUS mempunyai hubungan dengan tingginya cakupan IVA. Hal ini didukung oleh Notoatmodjo (2010), yang menyatakan bahwa ekonomi adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi perilaku masyarakat, apabila penghasilan masyarakat cukup maka mereka akan memenuhi kebutuhan dengan maksimal dan sebaliknya apabila penghasilan masyarakat kurang, maka mereka akan mengabaikan kebutuhannya termasuk dalam mencari pelayanan kesehatan. Menurut Soetjiningsih dalam Sarwono (2007), menyatakan bahwa status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Lebih lanjut Kartono (2005), menjelaskan bahwa status ekonomi
49
adalah kedudukan seseorang atau keluraga di masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan. Semua faktor predisposisi memiliki hubungan yang sangat kuat dalam meningkatkan cakupan IVA. Pengetahuan, sikap dan tingkat ekonomi merupakan tiga hal yang saling terkait dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
6.2 Hubungan Faktor Pendukung dengan Cakupan IVA Faktor pendukung yang paling kuat hubungannya dengan cakupan IVA adalah sarana prasarana untuk pemeriksaan IVA. Ketersediaan sarana prasarana di fasilitas pelayanan kesehatan (Puskesmas) mempunyai hubungan dengan tingginya cakupan IVA. Diketahui bahwa sarana-prasarana yang berupa alat dan bahan untuk pemeriksaan IVA merupakan salah satu faktor pendukung untuk memperlancar proses pelaksanaan test IVA sehingga dapat meningkatkan cakupan IVA. Kuantitas (tersedia atau tidak) bukan merupakan faktor utama dalam sarana prasarana namun kenyamanan pasien juga menjadi penentu kualitas dari sarana dan prasarana dimana secara tidak langsung bisa menjadi tolak ukur dalam suatu pelayanan kesehatan (Nugroho, 2010). Penyediaan sarana prasarana ini erat kaitannya dengan kemampuan dan kemauan dari penyedia pelayanan dalam hal ini puskesmas dalam hal pembiayaan, baik itu alat dan bahan habis pakai maupun alat dan bahan yang bisa digunakan kembali, dan juga termasuk ruangan yang nyaman dan aman yang bisa membuat WUS merasa tenang tanpa harus ketakutan dengan
50
pemeriksaan IVA, sehingga keinginan untuk kembali datang untuk pun bisa diwujudkan. Hal ini salah satu bentuk bentuk promosi kesehatan juga yang dapat meningkatkan cakupan IVA di Puskesmas (Marimbi, 2010). Jarak tempuh WUS dari tempat tinggalnya dengan fasilitas pelayanan kesehatan (puskesmas) memiliki hubungan yang signifikan dengan cakupan IVA di Kota Denpasar. Membahas jarak tempuh yang dibutuhkan oleh WUS untuk mencapai Puskesmas terkait dengan waktu yang dibutuhkan WUS untuk mencapai fasilitas pelayanan kesehatan. Semakin dekat jaraknya, semakin cepat juga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fasilitas kesehatan (puskesmas), hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sastroasmoro (2005). Demikian juga waktu tempuh yang terkait dengan jarak, sehingga jarak dan waktu mempunyai hubungan dengan tingginya cakupan IVA. Jumlah Puskesmas di Kota Denpasar adalah 12 Puskesmas Induk dan juga dibantu oleh puskesmas pembantu, dimana masing-masing Puskesmas Induk rata-rata memiliki 2 sampai 3 Puskesmas Pembantu, dimana letaknya tidak berjauhan. Wilayah Kota Denpasar yang merupakan sebagaian besar perkotaan dan pusat kota maka tidak menjadi halangan yang berarti bagi masyarakat, terutama WUS untuk mencapai fasilitas pelayanan kesehatan atau Puskesmas (Setiawan dan Saryono, 2010). Jarak tempuh dan waktu yang dibutuhkan terkait secara tidak langsung dengan banyak faktor lain, diantaranya adalah dengan transportasi dan biaya. Pernyataan tersebut dinyatakan oleh penelitian yang dilakukan oleh Sastroasmoro (2005). Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa jika jarak
51
yang harus ditempuh WUS untuk mencapai puskesmas semakin jauh maka akan meyita waktu WUS lebih banyak untuk mencapai puskesmas, jika kita lihat dari perkembangan jaman saat ini dimana WUS lebih banyak juga bekerja di luar rumah maka jarak dan waktu ini akan menjadi pertimbangan bagi WUS untuk datang dan melakukan pemeriksaan di Puskesmas. Jarak Puskesmas yang jauh tentu saja tidak akan bisa ditempuh dengan jalan kaki, sehingga akan membutuhkan transportasi dan tentu saja biaya.
6.3 Hubungan Faktor Pendorong dengan Cakupan IVA Hubungan signifikan terjadi antara kompetensi paramedis dan medis dengan cakupan IVA. Paramedis dan medis yang kompeten adalah yang memiliki sertifikat pelatihan IVA, dan mampu melakukan pemeriksaan IVA dengan baik sesuai dengan prosedur tetap merupakan salah satu faktor pendorong yang mempunyai hubungan dengan tingginya cakupan IVA. Salah satu kendala dalam pelaksanaan deteksi dini kanker serviks adalah karena kurangnya SDM sebagai pelaku deteksi dini, hal ini dapat mengurangi motivasi WUS untuk melakukan deteksi dini (Marimbi, 2010) Jika dilihat jumlah dari paramedis dan medis yang ada di setiap Puskesmas di Kota Denpasar sudah mencukupi namun kompetensi mereka dalam melaksanakan pemeriksaan IVA tidak merata, hal ini juga merupakan salah satu faktor yang membuat paramedis dan medis menjadi ragu-ragu dan kurang percaya diri untuk
melakukan
pemeriksaan
IVA
karena
mereka
belum
mendapatkan pelatihan IVA (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2009).
pernah
52
Sikap paramedis dan medis memiliki hubungan yang signifikan dengan cakupan IVA. Semakin positif sikap paramedis dan medis mempunyai hubungan dengan tingginya cakupan IVA. Sikap positif ini ditunjukkan dalam rangkaian pernyataaan yang menyatakan hal-hal positif dan mendukung mengenai suatu obyek dalam hal ini program deteksi dini kanker serviks dengan pemeriksaan IVA, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini sebagian besar dari paramedis dan medis yang bertanggung jawab dalan program IVA ini memiliki sikap yang positif, namun masih ada yang memiliki sikap negatif, hal ini berkaitan dengan pengalaman pribadi. Secara teori pengalaman pribadi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi sikap. Banyak dari paramedis dan medis yang belum memiliki pengalaman yanng cukup dalam melakukan pemeriksaan IVA (Wawan dan Dewi, 2010). Perilaku paramedis dan medis berhubungan secara signifikan dengan cakupan IVA. Semakin aktif perilaku paramedis dan medis mempunyai hubungan dengan tingginya cakupan IVA. Perilaku paramedis dan medis merupakan faktor yang dapat memotivasi WUS untuk memeriksakan dirinya terutama yang terkait dengan kesehatan genitalnya. Perilaku aktif dari paramedis dan medis dapat dilihat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan berhubungan dengan program pemeriksaan itu sendiri, yaitu salah satunya dengan melakukan penyuluhan atau sosialisasi tentang IVA itu sendiri kepada WUS (Wawan dan Dewi, 2010). Semakin seringnya paramedis dan medis melakukan pemeriksaan IVA baik itu di Puskesmas maupun di praktek swasta mandiri juga merupakan perilaku yang aktif yang dikerjakan oleh paramedis
53
dan medis. Prosedur pembentukan perilaku yang positif maupun negatif menurut Skinner dalam Marimbi (2009), dilihat dari bagaimana seorang paramedis dan medis tersebut melakukan identifikasi tentang hal-hal yang terkait dengan kanker serviks dan IVA pada WUS, melakukan analisis serta melakukan tindakan pemeriksaan IVA secara prosedural. Semakin sering prosedural tersebut dilakukan akan membentuk perilaku yang lebih aktif.
6.4 Kelemahan Penelitian Pada penelitian ini yang menjadi kelemahan penelitian adalah sampel yang digunakan hanya WUS yang datang ke Puskesmas di Kota Denpasar, sehingga WUS yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan lain tidak terdeteksi.