KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN PERTAMBANGAN PASIR BESI : STUDI IMPLIKASI OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS DI KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)
KUS SRI ANTORO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2010
Kus Sri Antoro P052080041
ABSTRACT
KUS SRI ANTORO. Natural Resource Conflicts on Iron Sand Mining Area: An Implication Study of Regional Autonomy (A Case Study in Kulon Progo District Yogyakarta Province). Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN and ARIF SATRIA. The social transformation of coastal community in Kulon Progo District, Yogyakarta Province, as a result of ecosystem transformation, has occurred since 1980. These processes take place gradually as the progress of indigenous knowledge and supported by the subsistent local livelihood activities. The local government publishes the mining policy on the coastal area to earn native local income. The impacts of the policy not only triggers the natural resource conflicts between local community; local government; and private sector, but also threaten the sustainability of community’s knowledge evolution; ecosystem; and the local community existence. A qualitative research was conducted to analyzed the natural resource conflicts, power relation, and develop conflicts resolution, used Theory of Decentralization, Theory of Property Rights, Theory of Conflict, and Theory of Human Ecology on the political ecology perspective as conceptual analysis. The concept of Governmentality was used to analyzed the empirical dimensions i.e. : 1) the agrarian structure, 2) the political processes of natural resource policy, 3) the structure of conflict, and 4) the relation of power on natural resource control. The results are that 1) natural resource conflicts are caused by both of material grounds (agrarian structure, decentralization) and immaterial grounds (political economy, partiality), its existence are manifest and latent, 2) the political processes of natural resource policy indicate the involvement of political economy of global economic actor in the context of agrarian changes, 3) the complexity of structure of conflicts are on the level of power, policy, and community, and 4) the power relations of conflicting actors are mutual, conflictual, and neutral. The conclusions are 1) the structure of natural resource conflicts in Kulon Progo District could characterize as multi actors, multi dimensions, multi arenas, and multi matters, manifest and latent, perennial and temporal conflicts, 2) the web of power relations of natural resource in Kulon Progo district are an articulation of agrarian structure, political process of natural resource policy, and the structure of conflicts that occur on decentralized political system, 3) the ecological crisis in Kulon Progo District is connected to social political crisis, and 4) the alternative of natural resource policy in Kulon Progo district is difficult to develop due to the absence of equality, transparency, and trust on the conflicting actors. Keywords: agrarian structure, policy processes, conflicts, power relation, governmentality
RINGKASAN KUS SRI ANTORO. Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN AND ARIF SATRIA Perubahan sosial, sebagai akibat dari perubahan ekosistem, telah terjadi pada masyarakat pesisir Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 1980. Proses-proses ini terjadi secara bertahap mengikuti perkembangan pengetahuan setempat yang didukung oleh aktivitas matapencaharian secara subsisten. Pada tahun 2006, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menerbitkan kebijakan pertambangan pasir besi di kawasan pesisir untuk memperoleh pendapatan asli daerah. Kebijakan tersebut tidak hanya memicu konflik antara pemerintah, masyarakat, dan swasta, tetapi juga mengancam keberlanjutan evolusi pengetahuan, ekosistem, dan eksistensi masyarakat. Penelitian ini bertujuan 1) menganalisis struktur konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam, 2) menjelaskan pembentukan jejaring kekuasaan atas sumberdaya alam, 3) menganalisis hubungan konflik sumberdaya alam dan krisiskrisis sumberdaya alam dan sosial politik, 4) merumuskan sintesis sebagai alternatif pengelolaan sumberdaya alam. Metodologi yang digunakan ialah kualitatif intersubyektif, dengan menggunakan konsep Governmentality sebagai alat analisis bagi 1) struktur penguasaan sumberdaya alam, 2) proses politik kebijakan sumberdaya alam, 3) struktur konflik sumberdaya alam, dan relasi kekuasaan atas sumberdaya alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) konflik sumberdaya alam disebabkan oleh faktor yang berdimensi material, yaitu sistem politik dan struktur agraria, dan faktor yang berdimensi immaterial, yaitu politik ekonomi dan ketidakadilan, konflik bersifat laten dan manifest, 2) proses politik kebijakan menunjukkan keterlibatan kepentingan ekonomi politik dari agen ekonomi global dalam konteks perubahan-perubahan agraria, 3) struktur konflik bersifat kompleks dan terjadi pada aras kekuasaan, kebijakan, dan komunitas, dan 4) relasi-relasi kekuasaan atas sumberdaya alam dari pemerintah, masyarakat, dan swasta bersifat mutual, konfliktual, dan netral. Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1) struktur konflik sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo bersifat multiaktor, multidimensi, multidimensi, multimateri, manifest dan laten, serta sementara dan berlangsung terus-menerus, 2) jejaring kekuasaan atas sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo terbentuk melalui artikulasi struktur penguasaan sumberdaya alam, proses politik kebijakan, dan struktur konflik sumberdaya alam, 3) konflik sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo berhubungan secara sinergis dengan krisis sumberdaya alam dan krisis sosial politik setempat, dan 4) alternative pengelolaan sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo sulit
terbentuk karena ketiadaan kepercayaan, keterbukaan informasi dan komunikasi, dan kesetaraan kekuasaan antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.
Kata kunci: struktur agraria, proses politik kebijakan, struktur konflik, relasi kekuasaan, governmentality
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN PERTAMBANGAN PASIR BESI : STUDI IMPLIKASI OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS DI KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)
KUS SRI ANTORO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Satyawan Sunito
HALAMAN PENGESAHAN (sudah ada)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya tulis ini dipersembahkan khususnya untuk Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo, semoga menjadi bagian dari semangat kebangkitan perjuangan kaum tani di Indonesia menuju keadilan agraria.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini ialah konflik-konflik sumberdaya alam, dengan judul Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB yang telah membimbing penulis dalam proses belajar di IPB. 2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Ketua Komisi Pembimbing penulis, sehingga penyusunan tesis dapat terselesaikan sebaik-baiknya. 3. Dr. Arif Satria, SP., MSi. Anggota Komisi Pembimbing yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 4. Dr. Satyawan Sunito, Penguji Luar Komisi Pembimbing yang telah menguji dan memberi masukan yang sangat berarti bagi penyempurnaan tesis ini. 5. Dr. Ir. Lailan Syufina, MSc. Ketua Tim Penguji Tesis yang telah memberi masukan dalam ujian tesis penulis. 6. Dr. Ir. Suryo Adiwibowo, MSc. yang telah berkenan menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna pendalaman teori dan metodologi ekologi politik. 7. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MSc. yang telah berkenan menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna pendalaman konsep kelembagaan dan kebijakan sumberdaya alam. 8. The Indonesian International Education Foundation (IIEF) penyelenggara International Fellowship Program-Ford Foundation yang penulis ikuti dan penyandang dana penulis selama studi di IPB. 9. Segenap pihak yang telah berkenan menjadi sumber informasi bagi penelitian ini. 10. Kedua orang tua penulis yang begitu sabar dan penuh dedikasi mendidik penulis dalam kesederhanaan. Kedua saudara penulis yang telah mendukung kelancaran proses belajar penulis. Anak-anak yang penulis asuh, yang mengubah tanggungjawab menjadi daya gerak dan semangat hidup bagi penulis. 11. Para sejawat, kerabat, dan sahabat penulis yang senantiasa menyemangati dengan doa. Dengan segala keterbatasannya, penulis menyadari karya ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik yang membangun atas karya ini akan sangat berarti. Terima kasih. Bogor, Agustus 2010 Kus Sri Antoro
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 15 Oktober 1979 dari ayah Samidjan dan ibu Sunarsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 10 Yogyakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Agronomi. Pada tahun 2001-2004 penulis belajar secara informal kepada komunitaskomunitas gerakan organik di Jawa (khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta); hingga pada 2004-2008, bersama beberapa kolega, penulis memfasilitasi pelatihan –pelatihan pertanian berkelanjutan secara independen di beberapa daerah di Jawa. Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan studi strata satu dan pada saat yang sama penulis lolos seleksi dalam International Fellowship Program untuk melanjutkan jenjang pendidikan magister yang diselenggarakan oleh The Indonesian International Education Foundaton (IIEF) dan dibiayai oleh Ford Foundation. Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Beberapa aktivitas di luar akademik yang pernah penulis ikuti adalah Working Group of Yogyakarta-Central Java Postdisaster Rehabilitation 20062007 di bawah koordinasi Food and Agriculture Organization.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis
: Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi: Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus Di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
Nama
: Kus Sri Antoro
NIM
: P052080041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Ketua
Dr. Arif Satria, SP. MSi. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS..
Tanggal Ujian: 16 Agustus 2010
Tanggal Lulus: 20 Agustus 2010
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
DAFTAR SINGKATAN
x
1.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan 1.4 Ruang Lingkup Penelitian
1 1 4 5 5
2.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Ekonomi Politik Sumberdaya Alam 2.2. Teori Desentralisasi 2.3. Teori Penguasaan Sumberdaya Alam 2.4. Teori Konflik 2.5. Teori Ekologi Manusia 2.6. Kerangka Konseptua l
7 7 10 12 17 19 29
3.
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Sifat dan Jenis Penelitian 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.3. Tahapan Penelitian 3.4. Rancangan Penelitian
32 32 32 33 34
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Profil wilayah 37 4.1.2. Sejarah Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta 42 4.1.3. Kultur Politik 49 4.1.4. Konstelasi Ekonomi Politik 52 4.1.5. Ikhtisar 53 4.2. Struktur Penguasaan Sumberdaya Alam 4.2.1. Sejarah Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta 54
37 37
v
54
4.2.2.
Politik Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta 61 4.2.3. Konflik Agraria 64 4.2.4. Ikhtisar 70 4.3. Proses Politik Kebijakan Sumberdaya Alam 4.3.1. Proses-proses di Aras Internasional 73 4.3.2. Proses-proses di Aras Nasional dan Lokal 75 4.3.3. Proses-proses Legalisasi Pertambangan Pasir Besi 80 4.3.4. Ikhtisar 94 4.4. Struktur Konflik Sumberdaya Alam 4.4.1. Aras Konflik 100 4.4.2. Aktor-aktor yang Berkonflik 105 4.4.3. Materi Konflik 106 4.4.4. Arena Konflik 108 4.4.5. Eksistensi dan Dinamika Konflik 108 4.4.6. Ikhtisar 110 4.5. Relasi Kekuasaan atas Sumberdaya Alam 4.5.1. Aktor-aktor 115 4.5.2. Peran Aktor 116 4.5.3. Sifat Hubungan Interaksi 116 4.5.4. Ikhtisar 118 4.6. Konsep Governmentality 4.6.1. Pengertian Governmentality 121 4.6.2. Perbedaan Hegemoni dan Governmentality 122 4.6.3. Governmentality pada Struktur Penguasaan Sumberdaya Alam di lokasi penelitian 4.6.4. Governmentality pada Proses Politik Kebijakan vi
73
100
115
121
123
Sumberdaya Alam di lokasi penelitian 4.6.5. Governmentality pada Struktur Konflik Sumberdaya Alam di lokasi penelitian 4.6.6. Governmentality pada Relasi Kekuasaan atas Sumberdaya Alam di lokasi penelitian 4.6.7. Ikhtisar 124 4.7. Keterbatasan Penelitian 5.
KESIMPULAN DAN SARAN
123 124
124 127
DAFTAR PUSTAKA
131
vii
123
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbedaan Theory of Property Rights dan Theory of Access
17
Tabel 2. Perbedaan antara ekologi politik dan politik ekologi
21
Tabel 3. Batasan-batasan ekologi politik
24
Tabel 4. Batas wilayah Kabupaten Kulon Progo
38
Tabel 5. Karakteristik topografi Kabupaten Kulon Progo
39
Tabel 6. Kependudukan kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo
39
Tabel 7. Identifikasi status tanah dan luasannya di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo
63
Tabel 8. Struktur penguasaan sumberdaya alam di Daerah Istimewa Yogyakarta
72
Tabel 9. Proses politik kebijakan sumberdaya alam di lokasi penelitian
96
Tabel 10. Perbandingan materi produk hukum dan implikasinya dalam proses politik kebijakan sumberdaya alam di lokasi penelitian
98
Tabel 11. Struktur konflik sumberdaya alam di lokasi penelitian
113
Tabel 12.Perbedaan perspektif dalam Teori Modernisasi Ekologi
114
Tabel 13. Relasi kekuasaan atas sumberdaya alam di lokasi penelitian
120
Tabel 14. Perbedaan konsep hegemoni dan governmentality
123
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Struktur Penguasaan sumberdaya empirik
10
Gambar 2. Ginealogi evolusi pengetahuan ekologi politik
22
Gambar 3. Bagan alir kerangka konseptual
31
Gambar 4. Peta Kabupaten Kulon Progo
38
Gambar 5. Peta rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kulon Progo kawasan budidaya
41
Gambar 6. Peta rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kulon Progo kawasan lindung
42
Gambar 7. Wilayah swapraja 1830
44
Gambar 8. Wilayah swapraja 1945
44
Gambar 9. Struktur penguasaan sumberdaya alam di Daerah Istimewa Yogyakarta
71
Gambar 10. Lokasi konsesi pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo
82
Gambar 11. Proses politik kebijakan sumberdaya alam di lokasi penelitian
95
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kasultanan Yogyakarta 18 Maret 1940
137
Lampiran 2. Letter of Intent International Monetary Fund 15 Januari 1998
154
Lampiran 3. Surat kontrak politik Bupati Kulon Progo dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kulon Progo tahun 2007
171
.Lampiran 4. Surat Kanjeng Gusti Paku Alam IX tahun 2003
172
Lampiran 5. Hasil perbandingan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2009-2029 dengan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2009-2029
173
Lampiran 6 Hasil Evaluasi Menteri Dalam Negeri atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2009-2029
191
Lampiran 7. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No 5 Tahun 1954
205
Lampiran 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 33 Tahun 1984
217
Lampiran 9. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No 34 Tahun 1984
219 x
DAFTAR SINGKATAN
ADB
Asian Development Bank
AMDAL
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
BAKESBANGPOL
Badan Kesatuan Kebangsaan Politik
BAPPEDA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bappedal
Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan
BLH
Badan Lingkungan Hidup
BPN
Badan Pertanahan Nasional
DIY
Daerah Istimewa Yogyakarta
DPR
Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ESDM
Energi dan Sumber Daya Mineral
FAO
Food and Agriculture Organization
HB
Hamengku Buwono
IMF
International Monetary Fund
JLSJ
Jalan Lintas Selatan Jawa
JORC
Joint Ore Reserves Committee
KA ANDAL
Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan
KK
Kontrak Karya
KOMNAS HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
LANTAMAL
Pangkalan Utama Angkatan Laut
LINMAS
Perlindungan Masyarakat
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat xi
LoI
Letter of Intent
MENDAGRI
Menteri Dalam Negeri
MoU
Memorandum of Understanding
NKRI
Negara Kesatuan Republik Indonesia
ORBA
Orde Baru
OTDA
Otonomi Daerah
PAG
Paku Alamanaat Ground
PEMDA
Pemerintah Daerah
PERDA
Peraturan Daerah
PERDA
Peraturan Daerah
PP
Peraturan Pemerintah
PU
Pekerjaan Umum
RPERDA
Rancangan Peraturan Daerah
RTRWK
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
RTRWN
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
RTRWP
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
RUUK
Rancangan Undang-undang Keistimewaan
SDA
Sumberdaya Alam
SG
Sultanaat Ground
TNC
Transnational Corporation
TNI AL
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
UGM
Universitas Gadjah Mada
UNDP
United Nations Development Programme
USD
United States Dollar xii
UU
Undang-undang
UUPA
Undang-undang Pokok Agraria
VOC
Vereenigde Oostindische Compagnie
xiii
1
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Proses perubahan sosial telah terjadi pada masyarakat pesisir Kulon Progo sebagai akibat dari perubahan ekosistem sejak tahun 1980. Proses perubahan sosial tersebut terjadi secara bertahap mengikuti perkembangan pengetahuan komunitas lokal yang didukung oleh semangat bertahan hidup secara subsisten. Pertama, mereka memunculkan gagasan untuk mengubah lahan pasir pantai menjadi lahan hortikultura yang produktif dengan memanfaatkan potensi air tawar yang tersimpan pada kedalaman 3-6 m. Kedua, mereka memasuki era agribisnis dengan didukung oleh penguatan kelembagaan setempat. Sistem politik desentralisasi memungkinkan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola sumberdaya daerah secara otonom. Kawasan pesisir Kulon Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemda Kabupaten Kulon Progo menggulirkan kebijakan pertambangan pasir besi di kawasan pesisir. Kebijakan tersebut tak hanya menimbulkan konflik sumberdaya alam (SDA) antara komunitas lokal; Pemda; dan swasta, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem dan eksistensi komunitas lokal. Butir-butir yang menjadi isu dalam konflik tersebut antara lain: a. Kerusakan ekosistem gumuk pasir Kawasan pesisir di Kabupaten Kulonprogo merupakan bagian dari rantai gumuk pasir yang memanjang dari pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, dan merupakan satu dari 14 gumuk pasir pantai di dunia yang mempunyai fungsi ekologis sebagai benteng terhadap ancaman bencana tsunami. Rencana pertambangan pasir besi secara ekologis dikhawatirkan akan menyebabkan jasa lingkungan kawasan itu hilang, dengan mekanisme 1) intrusi air laut ke darat, 2) erosi benteng tsunami, dan 3) kepunahan potensi gumuk pasir yang langka (Kompas, April 2008d).
2
b. Penggusuran lahan hortikultura dan pemukiman Sebagian kawasan gumuk pasir telah diubah penduduk setempat menjadi lahan hortikultura tanpa mengurangi fungsi utamanya sebagai daerah penyangga (Shiddieq et al., 2008). Lahan produktif ini telah memberikan keuntungan baik materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan, evolusi pengetahuan, dan jaringan). Rencana pertambangan pasir besi tersebut akan mengalihfungsikan lahan secara total di kawasan seluas 22 x 1,8 km, di mana terdapat lahan dan pemukiman (Mulyono, 2008). c. Penghapusan lapangan kerja Lahan produktif tersebut telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik). Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan meningkatkan angka pengangguran usia produktif, baik di kawasan pesisir maupun sekitarnya (Kompas, April 2008c). d. Gangguan bagi penyediaan kebutuhan bahan pokok Lahan tersebut mampu menghasilkan cabai 702 ton/transaksi atau setara 17.548 ton/ bulan, sehingga menjadi penyedia kebutuhan cabai terutama di Jakarta dan Sumatera (Shiddieq et al., 2008). Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan berdampak bagi perekonomian riil di sektor kebutuhan pokok harian, yaitu cabai. e. Remarjinalisasi secara sistematis Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan berisiko sosial berupa remarginalisasi kawasan baik secara sosial maupun lingkungan, karena komunitas telah berpartisipasi dalam menggerakkan pertumbuhan tanpa merusak SDA. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena: 1. Pesisir Kulon Progo merupakan ekosistem unik karena mempunyai fungsi ekologi (benteng tsunami dan cadangan air tawar) dan fungsi sosial ekonomi (faktor bagi perubahan sosial). 2. Konflik pemanfaatan ruang dan SDA di pesisir Kulon Progo terjadi dalam struktur sosial, politik, dan budaya yang khas dan lebih rumit daripada daerah lain di Indonesia, sehingga hasil penelitian diharapkan memberi manfaat bagi upaya penyelesaian konflik serupa di daerah lain.
3
3. OTDA dan pembangunan berkelanjutan layak diuji untuk menemukan bentuk yang adaptif terhadap kepentingan multipihak, terutama dalam hal akses SDA sehingga keadilan lingkungan dan keadilan sosial terdekati. 4. Produksi pengetahuan tentang hubungan manusia dengan alam yang mampu menerangkan akar dan situasi masalah—dalam hal ini adalah konflik pemanfaatan ruang dan SDA dan relasi kekuasaan antarpihak atas SDA, belum banyak dilakukan.
1.2 Perumusan Masalah Konflik pemanfaatan ruang dan SDA di pesisir Kabupaten Kulon Progo merupakan manifestasi empirik dari jejaring kekuasaan atas SDA yang dapat diamati. Penelitian ini diawali dari dugaan bahwa kebijakan pertambangan pasir besi hanya sebagai pemicu konflik, sedangkan akar konflik dan arena konflik secara potensial telah ada secara laten. Akar konflik dan arena konflik berjalinan membentuk jejaring kekuasaan yang selalu diperbaharui oleh setiap pihak yang terlibat. Dengan demikian, penjelasan ekonomi politik atas relasi-relasi kekuasaan atas SDA yang terbentuk di aras lokal, regional, dan nasional perlu ditemukan. Beberapa pertanyaan pemandu untuk menemukan masalah di lokasi penelitian adalah: 1.
Apa
makna ekologis,
sosial, dan ekonomi
politik
kebijakan
pertambangan pasir besi bagi negara, rakyat, dan pasar? 2.
Bagaimana situasi penguasaan SDA dari masa ke masa?
3.
Bagaimana kekuasaan dioperasikan oleh kelompok dominan terhadap kelompok subordinat untuk menciptakan hegemoni?
4.
Apakah ketiga hal tersebut di atas dapat mendorong rekayasa menuju bentuk pengelolaan SDA yang relatif adil untuk negara, rakyat, dan pasar?
4
1.3 Tujuan Penelitian 1.
Menganalisis struktur konflik pemanfaatan ruang dan SDA
2.
Menjelaskan pembentukan jejaring kekuasaan atas SDA.
3.
Menganalisis hubungan konflik SDA dan krisis-krisis SDA dan sosial politik.
4.
Merumuskan sintesis sebagai alternatif pengelolaan SDA.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Perubahan ekosistem, dalam konteks ekologi manusia, lebih disebabkan oleh keputusan-keputusan politik daripada proses-proses alami. Kekuasaan baik itu dalam struktur maupun jejaring kekuasaan atas SDA menjadi faktor yang menentukan arah perubahan ekosistem. Struktur kekuasaan atas SDA tampak sebagai struktur penguasaan SDA dan sistem politik (dalam penelitian ini, penggunaan istilah SDA dan Agraria mengacu pada maksud yang sama, yaitu sumberdaya berbasis tanah, istilah SDA dipilih semata-mata untuk menjaga konsistensi penulisan). Jejaring kekuasaan atas SDA tampak sebagai proses politik kebijakan dan relasi kekuasaan dalam mengatur pemanfaatan SDA. Konflik-konflik SDA di kawasan pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo akan dibatasi dengan mengkaji: 1.
Struktur penguasaan SDA.
2.
Proses politik kebijakan SDA.
3.
Struktur konflik pemanfaatan SDA.
4.
Relasi kekuasaan atas SDA.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Ekonomi Politik SDA Struktur penguasaan SDA tidak terlepas dari struktur ekonomi politik di setiap level. Secara konseptual, negara, swasta, dan masyarakat merupakan aktoraktor yang terlibat dalam pembentukan struktur penguasaan SDA (Sitorus dan Wiradi, 1999). Dihubungkan dengan teori tindakan komunikasi Habermas (Hardiman, 1993), ketiga aktor tersebut berelasi secara produksi (dengan SDA) dan interaksi (dengan aktor yang lain). Hubungan produksi dapat dilihat sebagai pola penguasaan SDA, dan hubungan interaksi dapat dilihat sebagai sifat hubungan karena kepentingan (mutualistik atau konflik). Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari masa ke masa. Pada masa-masa awal kerajaan di Jawa, tanah berfungsi sebagai alat kontrol kekuasaan pusat (Raja) terhadap rakyat melalui pejabat-pejabat yang ditunjuknya untuk mengelola SDA (Peluso, 2006 dan Wiradi, 2000). Pada masa kolonial, pasca kebangkrutan VOC, struktur penguasaan SDA dibentuk melalui penertiban administrasi
oleh
pemerintah
kolonial
untuk
menjamin
kelangsungan
perekonomiannya, relasi kekuasaan dengan elit politik feodal diselenggarakan dalam kontrak politik1, terjadi juga pencampuran sistem feodal dan kolonial dalam pembentukkan struktur penguasaan SDA2 (Luthfi et al., 2009, Wiradi, 2000). Pada masa kemerdekaan, struktur penguasaan SDA dibentuk dengan semangat 1
Pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda muncul istilah-istilah legal yang mengacu pada bentuk penguasaan sumber agraria seperti Domein Verklaring (Bl) yaitu klausul peraturan agraria yang menyatakan bahwa tanah-tanah tanpa bukti hak eigendom mutlak menjadi milik negara, Eigendom (Bl) yaitu hak milik pribadi yang diberikan oleh pemerintah kolonial, Erfpacht (Bl) yaitu hak pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada perusahaan perkebunan tertentu selama 75 tahun, Apanage(Bl) yaitu nama untuk suatu persil tanah yang diberikan kepada para pejabat pemegang jabatan bekel di Jawa, dan Culturstelsel (Bl) yaitu kebijakan pemerintah pada masa Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang memaksa petani untuk menanami seperlima tanahnya dengan tanaman ekonomis yang ditentukan oleh pemerintah, yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial. 2 Rijksblad Kasultanan No 16/1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18/1918 menyatakan, ‘Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun’ (semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan melalui hak eigendom, maka tanah itu adalah milik kerajaanku) (Luthfi et. al, 2009: 157).
6
sosialisme melalui nasionalisasi aset dengan penghapusan segala bentuk penghisapan baik warisan kolonial maupun feodal, tonggak ini ditandai dengan kelahiran Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Pasca Gerakan 30 September 1965, UUPA dibekukan oleh Rezim Orde Baru (ORBA) melalui stigmatisasi ideologis yang beroposisi terhadap negara (Tjondronegoro, 1999). Pada masa ORBA struktur penguasaan SDA dibentuk untuk kepentingan ekonomi politik global melalui industrialisasi-modernisasi dengan negara sebagai pusat kekuasaan (Wiradi, 2000 dan Tjondronegoro, 1999). Pada masa reformasi, seiring pemberlakuan desentralisasi dan penguatan isu demokratisasi, UUPA sebagai produk hukum yang mengatur struktur penguasaan SDA berada di persimpangan kepentingan populisme dan neoliberalisme, keduanya berebut wacana dan praktik dalam menentukan arah ekonomi politik (Ya’kub, 2004 dan Setiawan, 2004). Otonomi Daerah (OTDA) mengubah sistem tata pengaturan dan pemerintahan di Indonesia secara mendasar. UU No 32 Tahun 2004 merupakan produk hukum yang membuka kesempatan pada penegakan kedaulatan lokal, keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat dan demokrasi dalam pengelolaan administrasi dan pembangunan, sekaligus penetrasi kapital dari aktor ekonomi global ke aktor lokal secara langsung melalui sistem politik yang mengondisikan ekslpoitasi SDA. Di satu sisi, pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma, narasi, dan strategi baru untuk menciptakan pertumbuhan yang lestari. Kelestarian pertumbuhan memerlukan prasyarat berupa kelestarian daya dukung lingkungan dan sosial. Prasyarat tersebut terpenuhi dengan cara pengelolaan SDA yang berefisiensi tinggi. Efisiensi ini diharapkan dapat terwujud melalui OTDA karena OTDA mendekatkan akses para aktor pembangunan daerah terhadap potensi daerahnya. Dengan demikian, OTDA secara teoritis merupakan sistem politik yang sejalan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang merupakan paradigma baru dalam menciptakan pertumbuhan berada dalam setting ekonomi politik pasar (developmentalism). Pertentangan antara pusat dan daerah; kewenangan yang tumpang tindih; kerendahan kapasitas pemangku birokrasi; dan penurunan
7
kualitas daya dukung lingkungan menjadi corak pelaksanaan OTDA di Indonesia (Kompas, 2009abc). Menurut Kartodiharjo (2006), masalah-masalah mendasar ekonomi politik SDA di Indonesia sejak pemberlakuan OTDA adalah: 1) Keterbukaan pasar dan permintaan SDA yang tinggi tanpa kepastian hak atas tanah dan SDA lain. 2) Substansi peraturan perundang-undangan cenderung bersifat eksploitatif terhadap SDA. 3) Tindakan eksploitasi SDA secara illegal menjadi instrumen pembenaran bagi pemerataan pemanfaatan SDA oleh masyarakat di kawasan SDA yang dimaksud. 4) Proses-proses politik, terutama di lembaga legislatif baik pusat maupun daerah, cenderung mengarah pada eksploitasi SDA. Kawasan pesisir Kulon Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi di propinsi DIY. Pemerintah melaporkan, cadangan total pasir besi di kawasan pesisir Kulon Progo sebesar 605 juta ton dengan kandungan Fe sekitar 10.8% dan proporsi tertinggi cadangan pasir besi sampai pada kedalaman 6-14 meter dari permukaan dengan total cadangan sekitar 273 juta ton dengan kandungan Fe (mineral biji besi) sekitar 14.2% (Mulyono, 2008)3. Impor pig iron untuk bahan baku pembuatan baja Indonesia diperkirakan 4 juta ton/tahun4. Potensi pasir besi di pesisir Kulon Progo diharapkan oleh pelaku industri dapat mengurangi ketergantungan bahan baku baja nasional (Anonim, 2008). Pertambangan ini akan dijalankan pada lahan dengan luas konsesi 3000 ha, 929 titik lokasi, dan dengan investasi US $ 600 juta untuk pertambangan dan US $ 1,1 M untuk infrastruktur5. Relasi kekuasaan di masa OTDA secara teoritis membuka kesempatan kepada negara, pasar, dan masyarakat untuk berposisi relatif setara satu sama lain. Akan tetapi, relasi kekuasaan yang setara tersebut tidak pernah terjadi, yang muncul justru penguatan watak hubungan mutualistik antara negara dan pasar 3
Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa Depan Aset Bangsa”, di PTS Yogyakarta Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta. 4 Proyek Pertambangan Pasir Besi, PT JM, 2008 5 Perjanjian di dalam kontrak karya menyebutkan: Sebesar 1,5 % dari penjualan per tahun pada 10 tahun pertama, dan sebesar 2 % pada periode selanjutnya diberikan untuk Regional Development dan Community Development senilai US $9.6 juta/tahun (dengan asumsi harga pig iron tahun 2007, yaitu US $320/ton). Pembagian keuntungan antara pemerintah Indonesia dengan TNC (investor) ialah 30 % : 70 % (Sumber: Anonim, 2008).
8
sebagai agen kapitalisme (negara-kapitalis), sejalan dengan marjinalisasi masyarakat (Gambar 1). Meskipun struktur penguasaan SDA empiris mengarah pada hegemoni negara-kapitalis (kelompok dominan) kepada rakyat, namun sesungguhnya kekuasaan tidaklah dimiliki oleh kelompok dominan secara mutlak, kekuasaan tidak terpusat melainkan tersebar. Hal ini tampak sebagai bentukbentuk perlawanan rakyat pada kebijakan pertambangan pasir besi itu dengan membentuk organisasi akar rumput (Grass Root Organization, GRO) dengan agenda politis. Negara
Masyarakat
Pasar
SDA
Gambar 1. Struktur Penguasaan SDA Empiris (sumber Sitorus dan Wiradi, 1999) Keterangan: Hubungan interaksi Negara dengan Pasar yang mutualistik. Hubungan interaksi Negara-kapitalis dengan Masyarakat yang bersifat hegemonik, melalui marjinalisasi. Hubungan produksi Negara-kapitalis dengan SDA yang berorientasi pasar. Hubungan produksi Masyarakat dengan SDA yang melemah.
2.2 Teori Desentralisasi Friedman membatasi desentralisasi6 sebagai pembagian kewenangan; tanggungjawab; atau fungsi oleh pemerintah di level lebih tinggi (pusat) kepada 6
Desentralisasi dibedakan dengan devolusi (desentralisasi politik) dan dekonsentrasi (desentralisasi administrasi) dalam hal sifat otonomi dari daerah otonom secara politik dan administrasi. Devolusi menuntut pelimpahan otoritas politik secara penuh, sedangkan dekonsentrasi pelimpahan administrasi tanpa otoritas politik. Desentralisasi di Indonesia berada di antara kedua kutub kepentingan devolusi dan dekonsentrasi, sehingga ada pembatasan otoritas daerah secara politik maupun administrasi (Imawan, 2005: 41-43). Pemilihan bentuk pemerintahan
9
pemerintah di level lebih rendah (daerah)7 (Imawan, 2005: 40). Definisi serupa dikemukakan oleh Litvack dan Seddon8 serta Rondinelli dengan penekanan pada pengalihan kekuasaan politik (transfer of political power), sehingga desentralisasi bertujuan politik sebagai bagian dari demokratisasi untuk pencapaian efisiensi dan efektivitas secara administratif (Wasistiono, 2005: 61). Demokratisasi dibatasi sebagai proses perubahan struktur politik otoriter menjadi struktur politik yang memungkinkan diversifikasi kekuasaan (Imawan, 2005:43). Demokratisasi muncul sebagai reaksi atas kesenjangan kekuasaan dalam tata negara, yang ditandai dengan penyempitan partisipasi rakyat oleh pemerintah9. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, bentuk demokratisasi muncul sebagai gagasan good governance10. Good governance dipopulerkan secara efektif oleh oleh World Bank dalam Sub-Saharan Africa: from Crisis to Sustainable Growth (1989) (Pratikno, 2005). Governance dibatasi oleh World Bank sebagai cara pemerintah (the act of government) menggunakan kekuasaan untuk mengelola sumberdaya dalam pembangunan11, dan oleh UNDP sebagai penggerakan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi untuk mengelola urusan negara pada semua level12. Konsekuensi dari penerimaan gagasan governance ini adalah 1) ruang pemerintahan tidak didominasi oleh pemerintah, tetapi membuka keterlibatan civil sebagai Daerah Otonom dalam Negara Kesatuan, bukan Negara Federal, merupakan bukti pemaknaan desentralisasi di Indonesia yang berbeda dengan konsep devolusi dan dekonsentrasi. 7 …a ‘superior’ government assigns responsibility, authority, or function to ‘lower’ government unit that is assumed to have some degree of authority (Freidman dalam Shabbir 1983:35 cit. Imawan, 2005:40). 8 The transfer of authority and responsibility for public from the central government to subordinate or quasi-independent government organization, or the private sector (Litvack dan Seddon, 1992: 2 cit. Wasistiono, 2005:61). 9 Laporan Johannen dan Gomez (Democratic Transition in Asia, 2001) mengenai demokratisasi di Asia, dan Gunther et al. (The Politics of Democratic Consolidation, 1995) mengenai demokratisasi di Eropa Selatan menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi nasional untuk menampung aktor-aktor baru (non pemerintah) dalam politik menjadi awal gelombang demokratisasi (Imawan, 2005: 44). 10 Pemahaman atas good governance dimudahkan oleh Thompson dengan menghadirkan istilah kebalikannya, yaitu bad governance yang dicirikan dengan 1) ketiadaan batas yang tegas antara sumber-sumber milik rakyat dan milik pribadi, 2) ketiadaan aturan hukum yang jelas dan sikap pemerintah yang kondusif bagi pembangunan,3) regulasi yang berisiko pada ekonomi berbiaya tinggi, 4) ketiadaan prioritas pembangunan yang konsisten, dan 5) ketiadaan transparansi dalam pengambilan keputusan (Ibid: 46). 11 The way state power is used in managing economic and social resources for development society (Wasistiono,2005: 54). 12 The exercise of political , economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels (Ibid).
10
society dan private sector, 2) peran negara tidak lagi regulatif, melainkan fasilitatif, 3) pembangunan berkelanjutan dilaksanakan atas prasyarat legitimasi politik dan konsensus, dan 4) perampingan birokrasi. Dengan demikian, desentralisasi merupakan sistem politik yang kondusif bagi terselenggaranya governance menurut definisi World Bank maupun UNDP. Pelibatan sektor swasta dan masyarakat sipil dibangun atas asumsi bahwa pemerintah merupakan sumber kegagalan pembangunan, sehingga pemerintahan yang baik (good governance)13 adalah yang less government14 (Praktikno, 2005). Pemaknaan good governance oleh World Bank sebagai sound development management dirumusan melalui Washington Consensus15 yang memengaruhi kebijakan pembangunan Indonesia di akhir 1990an. Good governance versi sound development management dikatakan oleh Peters (2001:21) cit. Praktino (2005) sebagai
pemerintahan
model
deregulasi
(deregulated
government)
atau
pemerintahan model pasar (market government). Demokratisasi dijalankan dengan memaksa negara untuk berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor non negara.
2.3 Teori Penguasaan SDA (Land Tenure) Jaminan atas hak kepemilikan (property rights) menjadi salah satu butir dalam good governance. Locke memandang kepemilikan sebagai klaim moral
13
UNDP mengajukan 9 kriteria good governance sebagai berikut: 1) partisipasi (participation), 2) penegakan hukum (rule of law), 3) transparansi (transparency), 4) daya tanggap (responsiveness), 5) berorientasi pada consensus (consensus orientation), 6) kesetaraan (equity), 7) keefektifan dan efisiensi (effectiveness and efficiency), 8) akuntabilitas (accountability), dan 9) visi strategis (strategic vision). 14 Pemerintahan yang besar (big government) akan menjadi sumber bagi kepemerintahan yang buruk (bad governance) karena dalam operasionalisasi World Bank tidak representatif dan merupakan sistem non pasar yang tidak efisien (Weiss, 2000:801 cit. Pratikno, 2005: 235). 15 Zhang (2003:127) cit. Pratikno (2005: 238) mengemukakan bahwa Washington Consensus merupakan ideologi neoliberlisme Amerika Serikat yang sejak 1980an mengendalikan kekuatan globalisasi (US-originated ideology of neo-liberalism, which, since 1980s, has been the driving force for globalization). Washington Consensus dihasilkan dari pertemuan tiga lembaga keuangan raksasa (IMF, World Bank, dan Departemen Keuangan AS) dengan butir-butir good governance sebagai berikut:1) disiplin fiskal, 2) konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), 3) reformasi perpajakan dengan perluasan basis pajak dan tarif pajak moderat, 4) bunga bank yang dikendalikan oleh mekanisme pasar, 5) liberalisasi perdagangan, 6) nilai mata uang yang kompetitif, 7) keterbukaan pada intervensi asing, 8) privatisasi perusahaan negara dan daerah, 9) deregulasi , dan 10) jaminan hukum untuk hak kepemilikan (property rights).
11
atas hak-hak yang muncul dari pencampuran buruh dan tanah16, sedangkan pendapat oposannya, Marx17, memandang bahwa kepemilikan adalah pemberian. Berbeda dengan Locke dan Marx, Proudhon (1849)18 dan MacPherson (1978)19 memandang kepemilikan bukan sesuatu yang alami (natural), melainkan klaim yang memperoleh legitimasi sosial. Maine (1917) cit. Peluso dan Ribot (2003) mengemukakan bahwa hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), yang dicirikan dengan penguasaan si pemilik hak untuk memiliki, menggunakan, mewariskan, dan memindahkan penguasaannya kepada pihak lain. Schlager dan Ostrom (1992) membuat uraian atas a bundle of rights itu sebagai berikut: 1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users), pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners). 2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa, kepunyaan, dan pemilik. 3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu, berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik. 4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan dan pemilik. 5. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan 16
…property as the moral claim to rights arising from mixing of labor with land (Peluso dan Ribot, 2003:156). 17 Property is appropriation, thus the rights that derived from combining labor and land or resource use were superceded by state backed institutions of property, causing him (Marx) to regard property as theft (Ibid: 156-157) 18 One author teaches that property is a civil rights, based on occupation and sanctioned by law; another holds that it is a natural rights, arising from labor, and these doctrines, though they seem opposed, are both encouraged and applauded. I (Proudhon) contende that neither occupation nor labor nor law can create property, which is rather an effect without cause (Ibid:155). 19 …a right in the sense of an enforceable and supported by society through law, custom, or convention (Ibid).
12
merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas sesuatu yang diklaim sebagai miliknya. Menurut sifat kepemilikan dan aktornya, FAO (2002) membagi kepemilikan SDA menjadi empat kategori, yaitu: 1. Kepemilikan privat Hak atas sesuatu yang melekat pada seseorang, sekelompok orang, atau badan hukum, pemilik dapat mengambil manfaat sepenuhnya atas apa yang dimilikinya. Contoh: pekarangan yang dimilki oleh sebuah rumah tangga. 2. Kepemilikan komunal Hak atas sesuatu melekat pada sekelompok masyarakat tertentu di suatu kawasan secara bersama-sama, anggota masyarakat lain dapat turut mengambil menfaat jika diijinkan oleh masyarakat yang terlekati hak tersebut. Contoh: hutan adat suatu kelompok masyarakat. 3. Kepemilikan negara Hak atas sesuatu yang melekat pada negara dan pertanggungjawabannya diserahkan pada aparat negara sektoral. Kewenangan negara dalam mengakses sesuatu mengatasi kewenangan pribadi atau komunal. Contoh: hutan negara. 4. Open acces Hak atas sesuatu melekat pada siapa saja, sehingga siapapun dapat mengambil manfaat atas sesuatu itu. Contoh: udara. Ellsworth (2002) memberi istilah yang lebih luas bagi hak kepemilikan (property rights) dengan istilah kepastian tenurial (tenure security)20. Selanjutnya Ellsworth memetakan ada empat aliran pemikiran yang membentuk kepastian tenurial, yaitu:
20
Istilah property dan tenure sering digunakan secara bergantian untuk maksud yang sama, yaitu relasi sosial yang berkaitan dengan penguasaan suatu benda, perbedaan antara keduanya adalah property mulanya digunakan para ahli hukum untuk menyatakan hubungan kepemilikan yang bersifat privat individu, sedangkan tenure lebih mengacu pada akses dan kontrol dalam hubungan kepemilikan itu, yang sering ditemukan untuk kepemilikan komunal. Pada perkembangannya, property rights menjadi bagian dari tenure.
13
a. Aliran Property Rights Aliran ini menempatkan kepemilikan privat sebagai hubungan penguasaan yang terkuat, sehingga pencapaian status pemilik individu perlu diupayakan secara legal. Asumsi dasar yang dibangun dari aliran pemikiran ini adalah: 1) Tujuan utama dari property adalah produksi dan akumulasi kapital. 2) Mekanisme pasar adalah transaksi yang paling efisien dalam peralihan hak kepemilikan. 3) Ketimpangan
kepemilikan
tidak
akan
terjadi
sejauh
dilakukan
kompensasi pada pihak yang terlepaskan hak kepemilikannya. 4) Sumberdaya menjadi jaminan dalam akses modal, sehingga formalisasi atas hubungan subyek dengan sumberdaya sangat penting untuk dilakukan. Aliran pemikiran ini digerakkan oleh ekonomi pasar bebas dan banyak dianut oleh pakar hukum dan ekonomi di Indonesia. b. Aliran Agrarian Structure Tradition Aliran ini menekankan pada kemerataan distribusi sumberdaya daripada status kepemilikannya, upaya formalisasi sumberdaya secara individu tidak serta merta meningkatkan efisiensi. Kepastian tenure terletak pada kemauan politik pemerintah untuk menjamin distribusi penguasaan sumberdaya yang merata. Land reform adalah upaya yang sesuai untuk mencapai tujuan itu. Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria menganut aliran pemikiran ini. c. Aliran Common Property Advocates Aliran ini menekankan pada akses terbatas atas suatu sumberdaya bersama tanpa kepemilikan yang bersifat privat. Aliran ini membedakan dirinya dengan open acces dengan keberadaan pertanggungjawaban bersama para pengguna. Aliran ini berasumsi bahwa : 1) Efisiensi terletak pada pengelolaan bukan pada status kepemilikan. 2) Kepemilikan yang bersifat privat tidak dapat diterapkan pada sumberdaya yang berfungsi sosial, seperti tanah, air, hutan, dan laut.
14
3) Masyarakat adat mempunyai mekanisme yang lebih efisien dalam mengelola keberlanjutan fungsi sumberdaya meskipun tanpa dukungan hukum positif. 4) Manfaat dari nilai-nilai sosial lebih diutamakan daripada manfaat ekonomi. Pengelolaan secara adat/berbasis masyarakat atas suatu sumberdaya adalah contoh dari penganutan aliran ini, misalnya sasi. d. Aliran Institutionalist Aliran ini menekankan perhatiannya pada pengaruh ekonomi politik makro pada rejim-rejim penguasaan sumberdaya. Pengamatan terhadap politik akses dan kontrol atas suatu sumberdaya oleh beragam aktor sosial menjadi titik tolak aliran pemikiran ini. Kekuasaan dan distribusi menjadi konsep kunci untuk memahami bentuk rejim penguasaan sumberdaya, daripada tipe property. Menurut aliran ini, kepastian tenurial berasal dari kemampuan untuk memobilisasi kekuatan untuk menegakkan dan mempertahankan klaim. Rejim Agrarian Structure Tradition dan Common Property Advocates pun tidak kebal atas segala bentuk privatisasi, transaksi ekonomi bukan hanya terjadi melalui mekanisme pasar tetapi juga pada ranah politik (kebijakan) dan budaya (penyewaan tradisi). Aliran ini lebih tepat berbentuk sebagai kerangka pemikiran daripada rejim penguasaan. Jika hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers) (Peluso dan Ribot, 2003). Kekuasaan lebih berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin tidak mempunyai hak menurut hukum yang berlaku, namun kekuasaan yang melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas sumberdaya. Kekuasaan kemudian menjadi konsep penting untuk menelaah struktur penguasaan sumberdaya dalam perspektif kelas, ranah di mana konflik penguasaan sumberdaya sering berlangsung.
15
2.4
Teori Konflik
Kekuasaan dan konflik SDA dijelaskan oleh Teori Konflik Dahrendorf yang menyatakan bahwa konflik bersumber dari ketimpangan distribusi kekuasaan (Vago, 1989). Kekuasaan tidak tercermin pada pemilikan alat produksi semata, tetapi jauh lebih luas yaitu kontestasi aktor sosial dalam kontrol perilaku dan wacana pembentuk kesadaran aktor sosial yang lain, sehingga tujuan utama yaitu akses sumberdaya tercapai dengan pembenaran (legitimate). Menurut Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa ada konsensus sebelumnya. Konsep konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan yang dipaksakan, bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori fungsionalisme. Dengan demikian, posisi sekelompok orang dalam struktur sosial menentukan otoritas terhadap kelompok lainnya (otoritas berada di dalam posisi). Otoritas tidak bersifat stabil, hal ini karena masyarakat adalah asosiasi yang dikoordinasikan secara
imperative
(mutlak),
masyarakat
tampak
sebagai
asosiasi
yang
dikendalikan oleh hirarki posisi otoritas. Suatu ketika seseorang berada pada posisi superordinat, di suatu ketika yang lain ia berada di posisi subordinat. Kepentingan menjadi konsep kunci untuk memahami posisi aktor sosial dan berikut otoritasnya. Kepentingan dikategorikan oleh Dahrendorf menjadi kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata (kepentingan tersembunyi yang telah disadari). Berdasarkan kesamaan kepentingannya, Dahrendorf membagi kelompok menjadi 1) kelompok semu (quasi group), yaitu sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan sama, 2) kelompok kepentingan, yaitu agen riil dari konflik kelompok, dan 3) kelompok konflik, yaitu kelompok yang terlibat dalam konflik aktual (Ritzer dan Goodman, 2003). Kategorisasi kelompok ini berguna untuk memetakan aktor berdasarkan kepentingannya, terutama pada konflik di berbagai aras (multilevel conflict), baik pada ranah material maupun ranah proses kebijakan. Dahrendorf mengemukakan bahwa konflik juga menyebabkan perubahan dan perkembangan, akan tetapi penjelasan yang cukup baik mengenai fungsi konflik dijelaskan oleh Coser, The Function of Social Conflict (1956). Coser menyatakan bahwa 1) konflik dapat mempererat kelompok yang semula
16
terstruktur secara longgar, 2) konflik dapat membantu dalam pembangunan kohesi sosial melalui aliansi, 3) konflik dapat meningkatkan peran individu yang semula terisolasi, dan 4) konflik dapat membantu fungsi komunikasi pihak yang berkonflik demi suatu solusi. Kelemahan metodologis Teori Konflik Dahrendorf adalah bersifat makroskopik, sehingga konflik-konflik di tingkat individu atau yang bersifat internal terabaikan. Randall Collins, dalam Conflict Sociology (1975), mencoba membangun teori konflik yang lebih sintesis dan integratif dengan mengamati tingkat mikro karena menurutnya stratifikasi dan organisasi didasarkan atas hubungan timbal balik dari hidup keseharian21. Berdasarkan pemikiran Marx mengenai keterlibatan kondisi material dalam pencarian nafkah masyarakat modern, Collins berpendapat bahwa 1) aktor yang mempunyai kontrol atas sumberdaya akan lebih mampu menafkahi hidupnya secara lebih memuaskan daripada aktor yang tidak memiliki kontrol sehingga ia menjual tenaganya untuk dapat mengakses alat produksi, 2) kelas sosial dominan lebih mampu mengembangkan kelompok sosial ketimbang kelas sosial subordinat, dan 3) kelas dominan lebih mampu mengembangkan simbol dan sistem ideologi yang dipaksakan kepada kelas subordinat. Menilik kembali bagian sebelumnya tentang pembentukan struktur penguasaan SDA, kekuasaan (otoritas), posisi, dan kepentingan sebagai konsepkonsep kunci dalam Teori Konflik Dahrendorf digunakan untuk memahami hubungan interaksi aktor-aktor sosial dalam struktur penguasan sumber-sumber agraria. Sedangkan dalam perspektif Marxian, hubungan aktor-aktor sosial (material forces of production: capital, technology, human) dengan sumber agraria tersebut berupa hubungan produksi (relations of productions) yang dapat membentuk kerangka kesadaran sosial (superstructures and the ideas). Di dalam kerangka pemikiran seperti apakah hubungan manusia-alam itu terbentuk berikut sifatnya, diuraikan lebih lanjut dalam Teori Ekologi Manusia.
21
Kontribusi utama untuk teori konflik adalah menambah analisis tingkat mikro terhadap teori yang bertingkat makro ini. Saya (Collins) terutama mencoba menunjukkan bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari (Collins, 1990:72 cit. Ritzer dan Goodman, 2003: 160).
17
2.5 Teori Ekologi Manusia A. Sejarah Disiplin Ekologi Politik Ekologi dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari rumah tangga lingkungan (Odum, 1971). Ekosistem, istilah yang mengacu ruang interaksi komponenkomponen penyusun lingkungan, dikonseptualisasi oleh berbagai disiplin ilmu menurut kepentingannya, ekonomi menyebutnya SDA, biologi menyebutnya lingkungan hidup, studi pembangunan dan kependudukan menyebutnya daya dukung, ilmu sosial menyebutnya sumber-sumber agraria dan ilmu politik menyebutnya ruang fisik di mana berbagai kepentingan bertemu. Teori Ekologi Manusia kemudian muncul untuk menjembatani ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan terkait dengan perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia. Krisis ekologi yang mengacu pada metafisik dibedakan dengan krisis lingkungan yang bersifat fisik22. Ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam sebagai penyebab krisis ekologi membuka relung-relung kajian baru mengenai bagaimana hubungan tersebut diperbaiki. Antropologi ekologi mempelajari interaksi manusia dengan lingkungannya dalam membentuk kebudayaan suatu masyarakat, dan sebaliknya pemaknaan dan tindakan manusia terhadap alam mengubah karakteristik suatu lingkungan (Moran, 2006)23. Catton dan Dunlap memperkenalkan sosiologi lingkungan sebagai disiplin yang mempertautkan sistem ekologi dengan sistem sosial—pengetahuan, nilai-nilai, ideologi, komunitas dan identitas, kelas, teknologi, nutrisi, organisasi sosial, pola penatatagunaan sumber-sumber agraria, konflik pemanfaatan SDA, gerakan, dan perubahan sosial (Sumarti, 2007). Penjelasan ekonomi politik dari krisis ekologi terdapat pada ekologi politik, yang merupakan perkembangan dari ekologi budaya dan sosiologi lingkungan (Dharmawan, 2007), yang menekankan pada ekonomi politik SDA dan hubungan 22
Hutan gundul, tanah longsor, sungai tercemar,udara terpolusi merupakan contoh-contoh krisis lingkungan penyebabnya fisik mekanistik. Pencemaran air; tanah; udara, penggundulan hutan, erosi genetik, merupakan contoh-contoh krisis ekologi yang bersumber pada bentuk kesadaran dan tindakan manusia yang mewujud sebagai tatanan sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan ideologi suatu masyarakat. Krisis lingkungan mungkin selesai dengan pemecahan teknis, namun penyelesaian krisis ekologi menuntut perubahan cara pandang manusia terhadap alam dan relasi kekuasaan atas SDA, kemutakhiran teknologi dalam memanipulasi proses-proses kimiawi polutan tidak dapat mengubah cara hidup manusia. 23 Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia karya Clifford Geertz (1983) merupakan karya klasik mengenai antropologi ekologi yang banyak dikenal di Indonesia.
18
hubungan kekuasaan atas SDA (Blaikie, 1985; Bryant, 1998; Forsyth, 2003; dan Peluso, 2006). Ginealogi evolusi pengetahuan yang melahirkan ekologi politik tersaji pada Gambar 2. Ekologi politik (political ecology) berbeda secara mendasar dengan politik lingkungan (environmental politics) dalam hal sejarah; tujuan; landasan teori; dan metodologi24. Ekologi politik mampu menerangkan kondisi empirik penguasaan SDA yang sistemik (Bryant dan Bailey, 2000), sedangkan politik ekologi mampu menjelaskan berbagai alternatif pengelolaan kondisi sistemik tersebut demi kepastian hukum (Garner, 1999). Perbedaan utama antara ekologi politik (political ecology) dan politik ekologi (ecological politics/environmental politics) adalah sebagai berikut:
24
Environmental politics is a research field within political science that applies traditional political question to environmental matters…political ecology encompasses a wider understanding of politics than is traditionally found in environmental politics. Political ecology assesses the implications of a politicised environment (Bryant and Bailey, 2000:17)
19
Tabel 1. Perbedaan antara Ekologi Politik dan Politik Ekologi Pembeda
Ekologi Politik
Politik Ekologi
Tema sentral
Ekologi
Politik
Ranah kajian dominan
Ilmu
Ilmu politik
Lingkungan dan pembangunan, geografi, sosiologi Fokus
Manajemen kekuasaan atas SDA
Hasil
SDA
Kelembagaan SDA
Watak Metodologi
Manajemen
Kebijakan SDA
Empirik
Teoritik
20
Biologi‐Kimia‐Fisika
Antropologi
Ekologi
Antropologi Ekologi
Sosiologi
Sosiologi Lingkungan
Ekologi Politik (Political Ecology) Ekonomi Politik
Politik
Ekonomi
Politik Lingkungan (Environmental Politics)
Keterangan:
interaksi,
hasil,
cabang
Gambar 2. Ginealogi Evolusi Pengetahuan Ekologi Politik
21
B. Definisi Ekologi Politik Batasan ekologi politik mengacu pada tujuan pengkajian obyek formal. Forsyth (2003) mencatat ada beberapa pengertian yang merujuk pada kajian ekologi politik, Blaikie dan Brookfield (1987) misalnya menitikberatkan pada interaksi antara ekologi dan ekonomi politik25, Russet (1967) memberi batasan ekologi politik sebagai hubungan-hubungan antara sistem politik, sosial, dan lingkungan fisik26,
Lipietz (2000) membatasinya dalam perdebatan Marxian
mengenai keadilan, materialisme, dan alam dalam masyarakat kapitalis, dengan pencermatan pada keadilan distribusi hak dan sumberdaya27. Beberapa batasan ekologi politik berikut tujuannya disajikan dalam Tabel 2. Penelitian ini merujuk pada batasan yang dikemukakan oleh Watts (2000) dalam Robbins (2004) yaitu ekologi politik sebagai pendekatan untuk memahami hubungan-hubungan yang kompleks antara alam (nature) dan masyarakat (society) melalui analisis yang cermat mengenai bentuk-bentuk akses dan penguasaan sumberdaya dan implikasinya bagi kesehatan lingkungan (environmental health) dan keberlanjutan matapencaharian.
25
The phrase “political ecology” combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together this encompasses the constantly shifting dialectic between society and land based resources, and also within classes and groups within society itself (Forsyth, 2003:3 ). 26 As ecology is defined as the relation of organisms or groups of organisms to their environment, I have attempted to explore some of the relations between political systems and their social and physical environment (Ibid:3). 27 Political ecology, like the Marxist-inspired workers’ movement, is based on a critique—and thus an analysis, a theorized understanding, of the “order of things”. More specifically, Marx and the greens focus on a very precise sector of the real world: the humanity-nature relationship, and even more precisely, relations among people that pertain to nature (or what Marxists call the productive forces)(Ibid: 4 ).
22
Tabel 2. Batasan-batasan Ekologi Politik Sumber
Batasan
Tujuan
Blaikie dan Brookfield (1987) dalam Dharmawan (2007)
Combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy.
Explain environmental change in terms of constrained local and regional production choices within global political economic forces largely within a third world and rural context.
Watts (2000) dalam An approach to understand the complex Robbins (2004) relations between nature and society through a careful analysis of what one might call the forms of access and control over resources and their implications for environmental health and sustainable livelihoods
Explain environmental conflict especially in terms of struggles over “knowledge, power, and practice” and “politics, justice, and governance”.
Bryant
Assesses the implications of a politicized environment.
dan
Bailey A debate focuses on (1997) dalam Forsyth interactions between the state, non state aktors, (2003) and the physical environment.
23
C. Pendekatan-pendekatan Ekologi Politik Bryant (1998) membagi perkembangan pendekatan-pendekatan ekologi politik dalam tiga fase, yaitu 1) fase pertama, yaitu pendekatan struktural yang menempatkan struktur ekonomi politik sebagai basis analisis bagi krisis ekologi sehingga melahirkan rantai penjelasan (Neomarxian)28, 2) fase kedua, yaitu pendekatan aktor yang menempatkan relasi-relasi kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan pada bentuk-bentuk perlawanan29 sehingga melahirkan jaringan-jaringan relasi kekuasaan atas SDA (Neoweberian), 3) fase ketiga ialah pendekatan post-strukturalis30 yang mengangkat teori wacana, pengetahuan, dan kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan jalinan kuasa dan pengetahuan dalam menentukan arah dan peta perubahan lingkungan (Foucauldian)31. Ketiganya tidak meninggalkan relasi ekonomi politik dan proses-proses ekologis. Lebih lanjut, Bryant menganjurkan perluasan bidang garapan ekologi politik pada masalah-masalah perairan (non tanah), kesehatan masyarakat, kependudukan, dan keadilan sosial. Forsyth (2008) mengemukakan, pertemuan karya-karya Blaikie 28
Contoh yang paling tampak adalah The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries karya Blaikie (1985) 29 Contoh yang baik adalah Hutan Kaya Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa karya Peluso (2006). 30 Post-strukturalisme sebagai bagian dari Postmodernisme memfokuskan diri dalam kerja pewacanaan pola linguistik yang memproduksi subjektivitas dan identitas. Bahasa atau narasi sebagai pintu masuk sistem pengetahuan, selanjutnya sistem pengetahuan membentuk kesadaran (kerangka pemikiran, paradigma, ideologi). Sistem pengetahuan terkait dengan kekuasaan. Struktur bahasa tertentu merefleksikan struktur kekuasaan tertentu, misalnya dalam struktur Bahasa Jawa ada hirarki Kromo Inggil, Kromo Madya, dan Ngoko yang digunakan oleh pengguna dari struktur sosial yang berbeda-beda. Kromo Inggil digunakan oleh bawahan kepada majikan, atau kepada orang yang dituakan atau dihormati, Kromo Madya digunakan dalam relasi yang lebih setara, dan Ngoko digunakan oleh majikan kepada bawahan, atau sesama bawahan sebagai ciri bahasa kelas rendah. Kosakata dalam Kromo Inggil tidak menyediakan kata-kata umpatan, sedangkan dalam Ngoko kata-kata itu tersedia, sehingga seorang bawahan tidak dapat melakukan protes secara lugas atau mengemukakan kekecewaannya kepada majikan. Perbedaan Postmodernisme dan Post-strukturalisme adalah Postmodernisme berorientasi pada kritik kebudayaan, sedangkan Post-strukturalisme berkonsentrasi pada metodologi dan epistemologinya, dapat berupa dekonstruksi, penggalian makna dan simbol/narasi, atau analisis wacana (discourse analysis). Post-strukturalisme merupakan kritik sekaligus lanjutan dari Strukturalisme (dalam kerangka menemukan struktur). Strukturalisme membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan secara oposisi (oposisi biner, seperti: borjuis-proletar, penindas-tertindas, manusianon manusia, lelaki-perempuan). Kritik utama Post-strukturalisme terhadap Strukturalisme 1) tentang makna adalah bahwa makna tidaklah bersifat stabil, melainkan dalam proses, 2) tentang kebenaran bahwa setiap masyarakat mempunyai rezim kebenaran yang direproduksi melalui a) wacana yang diterima, b) mekanisme penyalahan, dan c) alat sanksi, dan d) dialektika yang mengukuhkan rezim dengan proses-proses pendisiplinan atau rutinisasi. 31 Whose Knowledge, Whose nature? Biodiversity, Conservation, and The Political Ecology of Social Movements karya Escobar (1998) adalah contoh dari tradisi ini.
24
dengan kenyataan bahwa krisis ekologi berdampingan dengan kerentanan sosial menjadi landasan bagi epistemologi ekologi politik yang berkeadilan sosial. Penelitian ini secara metodologis lebih dekat pada tradisi dari fase ketiga, dengan menekankan pada bentuk-bentuk hegemoni yang berangkat dari penggalian makna dan narasi (tidak sampai pada analisis wacana dan dekonstruksi). Hegemoni menurut Gramsci adalah penguasaan moral dan intelektual kelompok dominan terhadap kelompok subordinat secara konsensual, muara hegemoni adalah kontrol ideologi (Patria dan Arif, 1999; Roger, 1999; dan Sugiono, 1999). Relasi pengetahuan dan kekuasaan dijelaskan oleh Foucault sebagai dua sisi yang saling melengkapi32 keduanya
(pengetahuan dan
kekuasaan) pada akhirnya direproduksi dalam rangka menciptakan hegemoni namun dalam konteks post-struktural. Hegemoni dengan pendekatan Gramsci mempunyai keterbatasan untuk diterapkan pada kekuasaan yang tersebar, sementara gagasan knowledge/power Foucault terlampau jauh untuk mewadahi praktik-praktik yang mengarah pada hegemoni. Transisi metodologi dari hegemoni struktural Gramsci menuju relasi kekuasaan post-struktural Foucault diperlukan. Alur tersebut akan dibangun melalui Teori Kelas Dahrendorf,
Teori Akses Peluso,
hingga kemunculan
33
gagasan Governmentality .
32
Knowledge linked to power, not only assumes the authority of 'the truth' but has the power to make itself true. All knowledge, once applied in the real world, has effects, and in that sense at least, 'becomes true.' Knowledge, once used to regulate the conduct of others, entails constraint, regulation and the disciplining of practice. Thus, 'There is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time, power relations (Foucault. Discipline and Punishment, London, Tavistock, 1977, p27.) 33 Governmentality berbeda konsep dengan Government, Governance, dan Governability. Government (pemerintah) adalah aktor penyelenggara pemerintahan. Governance (kepemerintahan) adalah tata laksana penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah, lebih mengacu pada tatakelola. Governability (the capacity of government to govern) adalah kemampuan pemerintah untuk menjalankan pemerintahan. Government, Governance, dan Governability merupakan istilah-istilah dalam administrasi publik dan ilmu kepemerintahan yang berkaitan dengan bagaimana suatu pengelolaan institusi bernama negaradiselenggarakan oleh aktornya (lihat Praktikno, 2005; Wasistiono, 2005; dan Imawan, 2005). Governmentality adalah konsep yang diturunkan dari filsafat kekuasaan Foucault menyangkut ‘conduct of conduct’, dapat dipahami sebagai (www.wikipedia.org):
25
Konflik dan perubahan sosial dalam hubungannya dengan kekuasaan cukup memadai dijelaskan oleh Dahrendorf sebagai ketidakadilan distribusi kekuasaan sebagai pembeda kelas sosial dan sumber konflik34, teori konflik Dahrendorf memungkinkan perluasan kajian menuju relasi-relasi kekuasaan dibandingkan dengan teori konflik Marx yang membatasi pada penguasaan alat produksi. Kelembagaan SDA merupakan pengorganisasian kepentingan. Menurut perspektif kebijakan publik, syarat utama kelembagaan adalah kepastian hukum mengenai hak-hak atas SDA. Hak atas SDA di Indonesia mengacu pada teori kepemilikan (the theory of property rights) yang membatasi kepentingan orang atau kelompok sosial dengan sekelompok hak (a bundle of rights). Sedangkan permasalahan utama konflik sumberdaya bukanlah hak, melainkan akses yang menurut teori akses (theory of access) dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers)35. Peluso dan Ribot (2003) mengemukakan bahwa hak muncul sebagai klaim yang dilegitimasi oleh seperangkat pengakuan sosial yang 1) The way governments try to produce the citizen best suited to fulfill those governments' policies, 2) The organized practices (mentalities, rationalities, and techniques) through which subjects are governed 3) The "art of government" (Burchell 78), 4) "Governmental Rationality" (Gordon 1991: 1), 5) A ‘guideline’ for the analysis [Foucault] offers by way of historical reconstructions embracing a period starting from Ancient Greece (sic) through to modern neoliberalism”(Lemke 2) 6) “The Techniques and strategies by which a society is rendered governable” (Jones 174)
Li (2007) menggali makna Governmentality melalui penelusurannya atas asumsi-asumsi Foucault tentang kekuasaan, yaitu:1) Pemerintahan diterapkan pada tubuh sosial (populasi, masyarakat) dengan jalan pendisiplinan berupa pendidikan, penataan kebiasaan; aspirasi; dan kepercayaan, hal ini dikarenakan tidak mungkin mendisiplinkan tubuh sosial dengan alat-alat pendisiplinan bagi tubuh individu (sekolah, rumah sakit jiwa, dan penjara). 2) Tujuan pendisiplinan adalah agar tubuh sosial mengikuti kehendak pengendali dengan cara mengikuti kehendak diri sendiri (yang telah disesuaikan dengan kehendak penguasa). 3) Kehendak untuk memerintah (the will to govern), lebih khusus lagi kehendak untuk merekayasa (the will to improve) bersifat ekspansif. 4) Tujuan dari pemerintahan bukan tunggal dan dogmatis dan diselenggarakan dengan berbagai bentuk taktik yang melahirkan pembenaran (a way of thinking about government as the “right manner of disposing things” in pursuit not of one dogmatics goal , but “a whole series of specific finalties” to be achieved through “multiform tactics” [Foucault, 1991:95] dan 5) Pertanyaan analitis dari governmentality adalah bagaimana kekuasaan dioperasikan sehingga pengendalian berjalan tanpa ada perasaan terkendali pada yang dikendalikan. 34 35
Lihat Vago (1989:39) Lihat Peluso dan Ribot (2003:153).
26
mewujud sebagai hukum, adat kebiasaan, dan konvensi, seperangkat pengakuan sosial ini merupakan konsensus yang menjadi titik tolak praktik-praktik hegemoni dengan cara-cara represif dan koersif (Peluso, 2006)
maupun penundukan-
penundukan secara halus (subtle ways) (Li, 2002). Li (2003) memperkenalkan kerangka konseptual untuk membedah situasi konflik melalui pendekatan kekuasaan (a conceptualization of power) dan penelusuran narasi (a repertoire of terms) proyek; posisi; praktik; dan proses. Konflik SDA bekerja pada dua situasi yaitu logika kapitalisme dan kekuasaan (yang oleh Foucault dilabeli sebagai governmental)36. Proyek adalah istilah yang mengacu pada jenis kegiatan baik yang berupa proyek pemerintah, proyek ekonomi (Swasta), maupun proyek politis (LSM). Posisi mengacu pada daya tawar masing-masing aktor dalam suatu proyek, ini terkait dengan bagaimana setiap aktor memosisikan dirinya di dalam arena konflik terhadap aktor lainnya. Praktik mengacu pada bentuk konkret bagaimana suatu proyek dijalankan dan posisi itu bekerja. Proses menekankan pada dampak-dampak tak terencana dari proyek dan praktik melintasi ruang dan waktu. Pasca ORBA, tidak ada lagi kekuasaan yang terpusat. Relasi kekuasaan berbeda dengan relasi dominasi dalam hal distribusi kekuasaan. Relasi dominasi tidak memberi kesempatan kelompok subordinat untuk membuat pilihan selain pilihan yang sudah ditentukan oleh kelompok dominan. Sedangkan di dalam relasi kekuasaan, kemungkinan dan pilihan tindakan setiap kelompok terbuka lebar. Menurut Foucault, relasi kekuasaan kini semakin dipengaruhi dan dikontrol oleh negara (governmentalized), inilah alasan Foucault menyebut model relasi kekuasaan ini dengan governmentality. Governmentality dipahami sebagai kewenangan yang direkayasa bukan untuk tujuan-tujuan pembangunan, melainkan untuk mengendalikan populasi dan sumberdaya demi kepentingan kelompok dominan tertentu (Li, 2007).
36
Conflict over natural resources are situated rather obviously within the logic of capitalism, …but they are also situated within the field of power Foucault labelled governmental, in which experts in and out of the state machinery attempt to enhance the quality of population, rearranging landscapes, livelihood, and identities according to techno-scientific criteria (Li, 2003:5120).
27
Perbedaan hegemoni Gramsci dan governmentality Foucault terletak pada tempat berlangsungnya kekuasaan, governmentality berlangsung dalam setiap relasi sosial bukan sekadar relasi negara dengan masyarakat seperti dalam pandangan Marx atau Gramsci. Konsep governmentality Foucault menggambarkan model relasi kekuasaan yang berlaku dalam masyarakat modern saat ini yang mana kekuasaan tidak hanya dijalankan melalui soverign power atau disciplinary power, tetapi justru cenderung dijalankan dengan cara‐cara yang positif. Substansi governmentality tidak beda dengan disciplinary power, yakni disiplin tubuh yang hanya dapat diketahui melalui efek‐efek dari kekuasaan itu. Jika disciplinary power diterapkan pada tubuh individu, maka governmentality diberlakukan pada tubuh sosial. Jika bentuk pengetahuan dari disciplinary power berupa rezim kebenaran, maka bentuk
pengetahuan
dari
governmentality
berupa
ekonomi
politik.
Governmentality dapat menjembatani kesenjangan metodologi struktural dan poststruktural dalam menelaah relasi kekuasaan. 2.6 Kerangka Konseptual OTDA merupakan sistem politik yang memungkinkan Pemda di tingkat kabupaten untuk mengambil keputusan terhadap bentuk-bentuk pengelolaan SDA dan lingkungan (SDA). Keputusan yang diambil oleh Pemda tersebut dilandasi oleh kepentingan ekonomi politik dan konsensus-konsensus yang membentuk rejim penguasaan atas SDA, baik itu berupa produk hukum dalam negeri maupun luar negeri; agenda-agenda lembaga internasional; dan yang tak kalah penting adalah pemaknaan terhadap SDA. Perpaduan OTDA dan rejim penguasaan SDA dimunculkan sebagai kebijakan atas SDA, dalam konteks penelitian ini adalah pertambangan pasir besi. Kebijakan atas SDA tertentu menimbulkan konflik SDA, baik itu bersifat material maupun immaterial. Konflik sebagai akibat dari kebijakan atas SDA dapat ditelaah dengan Teori Desentralisasi, Teori Property Rights, Teori Konflik, dan Teori Ekologi manusia sebagai alat analisis konseptual. Konflik tersebut pada dimensi empirik dianalisis melalui Struktur Penguasaan SDA, Proses Politik Kebijakan SDA, Struktur Konflik SDA, dan Relasi Kekuasaan atas SDA.
28
Dalam penelitian ini, istilah SDA dan agraria digunakan secara bergantian untuk merujuk pada maksud yang sama, yaitu sumberdaya alam berbasis tanah. Istilah SDA dipilih untuk menjaga konsistensi penulisan, kecuali pada hal-hal yang telah dianggap lazim dipergunakan istilah agraria. Teori Desentralisasi menjelaskan asumsi dasar, konsep dasar, dan konsekuensi dari desentralisasi, yang dalam bentuk teknisnya diterjemahkan sebagai sistem OTDA. Teori Property Rights menjelaskan asumsi dasar, konsep, dan bentuk-bentuk penguasaan SDA oleh aktor-aktor ekonomi politik, yaitu negara; masyarakat; dan pasar. Teori Konflik menjelaskan akar konflik, struktur konflik, arena konflik, dan analisis konflik, dalam konteks penelitian ini adalah konflik SDA. Teori Ekologi Manusia menjelaskan relasi ekonomi politik dan sosial budaya antara manusia dengan SDA. Konsep
Governmentality
digunakan
untuk
mencermati
relasi-relasi
kekuasaan dalam konflik SDA, baik itu yang bekerja pada tingkat tindakan maupun kesadaran. Hasil dari proses pencermatan tersebut diharapkan dapat digunakan untuk menilai arah konflik SDA dan arah perubahan ekosistem yang disebabkan oleh konflik tersebut. Secara sederhana, arah konflik dapat dinilai positif jika aktor-aktor yang berkonflik dapat memunculkan konsensus-konsensus baru yang menjamin kepentingan masing-masing dalam pemanfaatan ruang bersama. Namun, arah konflik dapat dinilai negatif jika keputusan-keputusan para aktor yang berkonflik justru mengarah pada krisis-krisis ekologi, sosial, dan politik. Alternatif kebijakan yang lebih adil bagi kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan tetap harus tercipta. Pemahaman terhadap konsep Governmentality adalah penting karena memungkinkan pengambil kebijakan untuk melihat permasalahan secara lebih luas dan mendalam, terutama jantung organisasi kepentingan atas SDA, yaitu: kekuasaan. Dengan demikian, pengambil kebijakan tidak hanya akan terjebak pada evaluasi kebijakan yang bersifat teknis, melainkan menemukan kerangka paradigmatik yang menjadi landasan bagi penyusunan suatu kebijakan. Bermula dari pemahaman pada Governmentality, pengambil kebijakan dapat memulai suatu pertanyaan : di dalam kerangka kesadaran dan kekuasaan seperti apakah suatu kebijakan SDA dilahirkan?
29
Rejim Penguasaan SDA
OTDA
Teori Desentralisasi (Teori Pendukung)
KEBIJAKAN Pengelolaan SDA
Struktur Penguasaan SDA
Teori Property Rights
Teori Konflik
Proses Politik Kebijakan SDA KONFLIKKONFLIK SDA Struktur Konflik SDA
Teori Ekologi Manusia (Teori Pendukung)
Relasi Kekuasaan SDA
GOVERNMENTALITY SDA
ARAH KONFLIK DAN PERUBAHAN EKOSISTEM Krisis-krisis SosialPolitik-Ekologi
Konsesuskonsensus Pengelolaan SDA ALTERNATIF KEBIJAKAN SDA
Gambar 3 Bagan Alir Kerangka Konseptual
30
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Sifat dan Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu menekankan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak diukur secara ketat dari segi jumlah; intensitas; maupun frekuensi (Denzin dan Lincoln, 1994 dalam Sitorus, 1998). Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi sumber data (triangulasi) pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen. Informasi yang diperlukan berasal dari elemen masyarakat (termasuk LSM), negara, dan swasta. Sumber informasi ditentukan secara purposive sampling dan snowbolling. Metode etnografi digunakan untuk menghimpun informasi wawancara dan pengamatan. Makna kualitatif penelitian ini juga dalam hal pemosisian peneliti terhadap subyek penelitian dalam relasi subyek-subyek (intersubjectivity). Fenomena sosial yang terbangun dalam konteks sosial dipertimbangkan sebagai pengetahuan yang dinamis. Metode yang dilakukan turut mengamati pembentukan, pelembagaan, dan pentradisian fenomena sosial itu (social contructionism37).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu sebagai berikut: Ruang : kawasan area pertambangan seluas 22x 1,8 km2. Waktu : periode 2006-2009, dari momentum sosialisasi hingga AMDAL.
3.3
Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu: 1. Tahap I Tahap I penelitian dilangsungkan selama 3 bulan efektif (Februari – April 2010) di tingkat komunitas dan jaringan pendukungnya. Penelitian ini bertempat 37
Social constructionism adalah teori sosiologi pengetahuan yang mempertimbangkan bagaimana fenomena sosial terbentuk dalam konteks sosial. “All knowledge, including the most basic, takenfor-granted common sense knowledge of everyday reality, is derived from and maintained by social interactions. When people interact, they do so with the understanding that their respective perceptions of reality are related, and as they act upon this understanding their common knowledge of reality becomes reinforced. Since this common sense knowledge is negotiated by people, human typifications, significations and institutions come to be presented as part of an objective reality (Berger and Thomas, 1966 In. www.wikipedia.org).
31
di Desa Bugel dan Garongan (Kecamatan Panjatan), Desa Karangwuni (Kecamatan Wates), dan Desa Karangsewu (Kecamatan Galur) dengan memilih masing-masing satu tokoh lokal berikut rumahtangganya. Pemilihan lokasi didasarkan pada alasan: a.
Desa Bugel
: lokasi inisiatif pertanian lahan pasir
b.
Desa Karangwuni : lokasi dengan frekuensi konflik paling tinggi
c.
Desa Garongan
: lokasi pusat kelembagaan petani
d.
Desa Karangsewu : lokasi pilot proyek
Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam.
2.
Tahap II
Tahap II penelitian dilangsungkan selama 2 bulan efektif (April- Mei 2010) di tingkat pengambil kebijakan (Pemda) dan pelaksana proyek (perusahaan) dan jaringan pendukungnya. Metode yang digunakan adalah wawancara terstruktur.
3.
Tahap III
Tahap III penelitian dilangsungkan selama 1
bulan efektif (Juni 2010)
dengan studi literatur, penelusuran dan analisis naskah mengenai sejarah struktur penguasaan SDA setempat, kebijakan tataguna agraria, dan proses politik kebijakan SDA.
3.4
Rancangan Penelitian
3.4.1.
Struktur konflik pemanfaatan ruang dan SDA a. Tujuan
: memetakan kepentingan
b. Metoda pengumpulan
: wawancara mendalam dan
data c. Variabel yang diamati
terstruktur : kepentingan aktor kunci dan perspektif aktor pelengkap
d. Metoda analisis data
: analisis sosial
32
3.4.2.
Pembentukkan jejaring kekuasaan atas SDA a. Tujuan
: memetakan aktor dan perannya
b. Metoda pengumpulan data
: wawancara mendalam dan terstruktur,penelusuran naskah
c. Variabel yang diamati
: peran aktor utama dan pendukung
d. Metoda analisis data
: analisis sosial
3.4.3. Analisis hubungan konflik SDA dengan krisis SDA dan sosial politik a. Tujuan
: mengetahui konsekuensikonsekuensi atas konflik yang terjadi
b. Metoda pengumpulan data
3.4.4.
: rekam jejak, penelusuran naskah
c. Variabel yang diamati
: arah konflik
d. Metoda analisis data
:analisis konflik,
Perumusan sintesis alternatif pengelolaan SDA a. Tujuan
: merumuskan penyelesaian
b. Metoda pengumpulan data
: rekam jejak konflik SDA
c. Variabel yang diamati
: kepentingan utama, akar konflik dominan, situasi konflik dominan
d. Metoda analisis data
: pendekatan multipihak
33
IV V.
HASIL L DAN PEM MBAHASAN N
4.1 Kondisi K Umum m Wilayah 4.1.1 Profil Wilaayah K kan a. Toppografi dan Kependuduk Kabup paten Kulon Progo meruupakan salahh satu dari llima daerah otonom di P Provinsi Daaerah Istimeewa Yogyakkarta, dengan luas daeerah 586,288 km2 (12 k kecamatan, 88 desa, dan d 930 peddukuhan) dan d posisi ggeografis 11 10o1’37” – k topografi, 110o16’26” BT dan 7o388’42” – 7o599’3” LS. Battas wilayah, karakteristik d kependuudukan (20008) Kabupateen Kulon Proogo, berturuut-turut disajiikan dalam dan G Gambar 4, Tabel T 3, Tabeel 4, dan Tabbel 5 sebagaai berikut:
Gambaar 4. Peta Kaabupaten Ku ulon Progo, P Propinsi DIY Y. Tabel 3. Batas Willayah Kabuppaten Kulon Progo Wilayah Perrbatasan Bagiaan Barat Kabupatenn Purworejoo Provinsi Jaw wa Tengah Bagiaan Timur Kabupatenn Sleman dan Bantuul Provinsi DIY Kabupatenn Magelang Provinsi Jaw Bagiaan Utara wa Tengah Bagiaan Selatan Samuderaa Hindia Sumbeer: www.kullonprogokabb.go.id
34
Tabel 4. Karakteristik Topografi Kabupaten Kulon Progo Bagian Tinggi tempat Kecamatan (m dpl) Bagian Utara 500-1000 Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, dan Kokap Bagian Tengah
100-500
Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah
Bagian Selatan
0-100
Temon, Wates, Panjatan Galur, dan sebagian Kecamatan Lendah
Sumber: www.kulonprogokab.go.id Tabel 5. Kependudukan Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo Kecamatan Luas (ha) Jumlah Desa Jumlah penduduk Temon 3.629,09 15 31.619 Wates
3.200,24
8
48.176
Panjatan
4.459,23
11
39.877
Galur
3.291,23
7
32.615
41
152.287
Jumlah 14.579,79 Sumber: www.kulonprogokab.go.id b. Sosiologi Lingkungan
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo No 1 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Kulon Progo, kawasan pesisir di tetapkan sebagai Kawasan Budidaya, yaitu pertanian lahan kering (lahan pasir) dan sebagai Kawasan Lindung Setempat (Gambar 5 dan Gambar 6). Penetapan fungsi kawasan ini merupakan penyesuaian terhadap karakteristik ekosistem dan sosial setempat. Pola kehidupan masyarakat pesisir di Kabupaten Kulon Progo terbentuk dari interaksi antara manusia dengan ekosistemnya. Ekosistem pesisir tersebut merupakan hamparan gumuk pasir (sandbank) seluas 44 km2 ; yang dihimpit oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Serang dan Sungai Progo. Ekosistem tersebut menyediakan potensi yang jarang ditemukan di ekosistem pesisir lain di Indonesia, yaitu air tawar di sepanjang pantai. Selain mengandung air tawar,
35
hamparan gumuk pasir di kawasan tersebut mengandung mineral besi. Dua potensi ekonomi ini (air tawar dan pasir besi) menjadi unsur penting dalam keputusan-keputusan politik yang berdampak pada perubahan sosial dan budaya setempat. Meskipun menempati kawasan yang dekat dengan aktivitas maritim pada umumnya, masyarakat pesisir Kulon Progo justru merupakan masyarakat agraris. Watak gelombang Samudera Hindia menjadi alasan bagi masyarakat untuk memilih strategi nafkah. Alasan lain yang melatarbelakangi pilihan masyarakat untuk hanya memanfaatkan potensi air tawar ialah bahwa akses ekonomi terhadap pasir besi memerlukan syarat teknologi tinggi berskala industri yang jelas tidak mereka kuasai.
36
Gambarr 5 Peta RTR RWK KP un ntuk Kawasaan Budidaya
37
Gambar 6. Peta RTRW WK KP untuk k Kawasan Lindung.
38
4.1.2 Sejarah Wilayah a. 1945-1950 Kultur sosial dan politik di Propinsi Yogyakarta tidak terlepas dari sejarah situasi kolonial yang membentuknya. Surjomiharjo (1989) mengungkapkan bahwa situasi kolonial, khususnya kota Yogyakarta sebagai pusat gerakan di masa kemerdekaan, melibatkan kekuatan ekonomi politik suatu minoritas asing dengan latar belakang peradaban yang berbeda. Minoritas asing ini membangun kerangka administrasi kolonial sejak 1880-1930 dan turut membentuk kompleksitas sosial melalui keterbukaan pada kekuatan pasar, aliran pemikiran, dan kebudayaan non Jawa di Yogyakarta. Konfigurasi yang beragam itu kini memberi nuansa bahwa Yogyakarta adalah miniatur Indonesia. Dinamika eksistensi lembaga swapraja juga tidak lepas dari situasi kolonial tersebut. Sebelum 1945, lembaga swapraja dalam arti struktur kekuasaan dan tata pemerintahan dapat dikatakan sebagai produk kekuatan ekonomi politik kolonial38. Wilayah Swapraja pada tahun 1830 (Gambar 7) hingga 1945 (Gambar 8) adalah wilayah Propinsi DIY yang sekarang. Sebagian wilayah Swapraja yang dikuasai oleh Paku Alam berada di dalam kota yaitu meliputi Kecamatan Paku Alaman yang sekarang, sedangkan wilayah luar kota (Kadipaten Adikarto) meliputi daerah Panjatan, Brosot, Bendungan, dan Temon, yang beribukota di Wates, kini Kadipaten Adikarto merupakan wilayah selatan Kabupaten Kulon Progo.
38
Dapat disimak dalam sejarah kekuasaan, baik yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian politik ; antara lain 1) Perjanjian Gianti 13 Februari 1755, 2) Penobatan KGPA Paku Alam I oleh Thomas Raffles pada 29 Juni 1812, 3) Kontrak Politik Paku Alaman dengan Inggris 17 Maret 1813, 4) Rijksblad Kasultanan No 16 tahun 1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18 tahun 1918 sebagai akibat pemberlakuan Agrarische Wet 1870, dan 5) Kontrak Politik Belanda dengan Sultan HB (1877-1940) sebagai akibat politik kekalahan perang Diponegoro, maupun hasil-hasil penelitian antara lain oleh Darmosugito (Sedjarah Kota Yogyakarta dalam Kota Yogyakarta 200 tahun 7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956, 1956), Soedarisman Poerwokoesoemo (Kasultanan Yogyakarta, Suatu Tinjauan Tentang Kontrak Politik 1877-1940, 1985), Selo Soemarjan (Perubahan Sosial di Yogyakarta, 1986), Abdurrachman Surjomiharjo ( Penelitian Kota Yogyakarta 1880-1930 Suatu Tinjauan Historis Perkembangan Sosial, 1989), Djoko Suryo (Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990, 2004) dan Luthfi et al. ( Keistimewaan Yogyakarta, Yang Diingat dan Yang Dilupakan, 2009).
39
Gambaar 7. Wilayaah Swapraja 1830 (sumb ber www.wikkipedia.com)).
Gambar G 8. Wilayah W Swaapraja 1945 (sumber ww ww.wikipediaa.com)
40
b. 1980-2006 Kemiskinan selalu melekat sebagai identitas masyarakat pesisir Kabupaten Kulon Progo. Mereka yang hidup di kawasan ini disebut Cubung oleh orang di luar komunitasnya, sebuah istilah yang bermakna keterbelakangan, golongan rendah, dan berpenyakitan. TJ (32) memberi kesaksian mengenai pencitraan ini39: “Dahulu, sewaktu saya masih kecil orang-orang pesisir disebut sebagai orang Cubung. Orang Cubung itu ya orang goblok, miskin, penyakitan, pokoknya terbelakang lah. Hal itu sudah pas dengan keadaannya karena kami tak punya pekerjaan selain bekerja sebagai buruh kasar di kota. Pertanian lahan pasir belum berkembang seperti sekarang, paling banter hasilnya cuma 3 kilo cabai. Keadaan di sini sebelum penggarapan lahan jauh lebih buruk karena untuk bisa makan nasi sehari harus mengumpulkan pendapatan seminggu. Setiap bulan Agustus-November dari laut selatan bertiup angin yang membawa pageblug (wabah), kalau sudah begitu, sakit mata dan kulit sudah langganan.” Sebelum dekade 1980-an masyarakat setempat memanen kelapa di sepanjang pesisir sebagai komoditas ekonomi untuk melengkapi komoditas lain yaitu anyaman daun pandan, yang sumbernya merupakan spesies endemik yang tumbuh liar. Penghasilan lain diperoleh dari penambangan garam dari air laut yang dalam istilah setempat aktivitas itu disebut sirat40. Perjuangan untuk hidup dan tekanan alam mendorong generasi muda memilih jalan penghidupan lain melalui urbanisasi (Kompas, April 2008ab)41. Kutipan wawancara dengan TJ (32) juga menyebutkan gejala urbanisasi pada dekade 1980-an tersebut: “Saya tidak pernah mimpi jadi petani dengan penghasilan minimal 30 juta per bulan seperti sekarang ini. Saya pernah kerja di Malaysia sebagai buruh selama 3 tahun pada tahun 1997-2000, hasilnya hanya 39
Catatan Harian Peta Konflik, 10 Februari 2010, TJ (32),: Wawancara dengan KN (50). Juli 2009 (Preliminary) 41 Catatan Harian Peta Konflik, 10 Februari 2010,TJ (32): 40
41
cukup untuk modal buka lahan 2000 m2. Saya ini tergolong gerbong terakhir pemuda yang beralih profesi menjadi petani, cukup terlambat dibanding teman-teman seusia saya yang tidak tergiur menjadi buruh perusahaan asing.”
Aktivitas ekonomi sebagai buruh di kota lambat laun mengendurkan ikatan sosial individu urban dengan lingkungan asalnya. Sistem sosial yang semula dibentuk oleh solidaritas mulai bersifat individualis. KN (50) mengemukakan bahwa komunikasi tradisional setempat adalah pembentuk ikatan sosial42:
“Orang-orang Cubung di pesisir ini mempunyai kebiasaan bertukar informasi, kebiasaan ini disebut endong-endongan. Apa yang dibicarakan di endong-endongan macam-macam, biasanya seputar masalah hidup sehari-hari. Kelak kebiasaan ini berperan dalam penyebaran gagasan dan teknologi bertani di lahan pasir.” Pada tahun 1982, salah seorang penduduk43 terinspirasi untuk memulai bercocok tanam di lahan pasir pantai, ketika ia mendapati sebatang tanaman cabai liar yang mampu tumbuh dan berkembang di bentangan gumuk pasir itu44 (Kompas, April 2008b). KN (50), penduduk yang memulai penggarapan lahan itu, mengemukakan sejarah awal mula perubahan ekosistem di pesisir Kulon Progo: “Sebelum kembali pulang untuk bertani, saya dulu bertahun-tahun merantau ke Jawa Barat dan Sumatera untuk mencari pekerjaan. Saya hampir putus asa karena tak mendapatkan hasil, dalam kondisi itu saya berjalan-jalan di tepi pantai dan saya mendapati sebatang tanaman cabai yang tumbuh liar dan berbuah. Lalu muncul gagasan saya, kalau tanaman liar saja bisa tumbuh apalagi kalau dirawat. Saya 42
Catatan Harian Peta Konflik, 15 Februari 2010, KN (50) Ada dua versi cerita mengenai kemunculan inspirasi ini, sumber lisan yaitu TJ (32) dan SR (40), keduanya Desa Garongan, menyatakan bahwa KN adalah sang pemula (lihat juga, Kompas April 2008b), sumber tertulis setempat menyatakan IJ adalah yang mengawali (Iman Rejo, 1996). Kedua versi tersebut menguatkan bukti bahwa gagasan untuk mengubah bentang alam pesisir menjadi lahan hortikultura berasal dari masyarakat lokal. 44 Catatan Harian Peta Konflik, 15 Februari 2010, KN (50): 43
42
memulai budidaya tanaman cabai dalam luasan kecil, dengan memanfaatkan air tawar di bawah pasir.”
Bersama beberapa warga lainnya, KN (50) memanfaatkan sumberdaya air tawar yang tersimpan di kedalaman 3-6 m di bawah permukaan pasir pantai untuk menyuplai kebutuhan air bagi tanaman (Kompas, April 2008a). Air tawar di tepi pantai memberikan berkah bagi jenis pekerjaan baru, yaitu petani hortikultura terutama cabai dan semangka. Pada tahun 1988-1995 budidaya tanaman hortikultura itu meluas di 4 kecamatan di kawasan pesisir (Temon, Wates, Panjatan, Galur), dengan didukung pengembangan teknologi dan informasi. Pada mulanya mereka hanya membangun sumur timba yang sangat sederhana pada galian pasir. Seiring dengan peningkatan pengetahuan dan pendapatan petani, sumur timba tersebut kemudian berkembang menjadi sumur berantai yang mampu menghemat waktu dan tenaga (Iman Rejo, 1999). Beberapa rumah tangga petani yang secara ekonomi lebih mapan kemudian mencukupi kebutuhan pengairan dengan menggunakan mesin. Menurut KN (50) komunikasi tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya mempunyai peranan dalam penyebaran pengetahuan setempat45:
“Kebiasaan endong-endongan membantu penyebaran apa yang saya lakukan. Kami mulai membicarakan bagaimana meningkatkan hasil, mulai dari mengubah sumur gronjong (berdinding bambu) menjadi sumur timba, dari sumur timba menjadi sumur renteng (berantai). Kami juga mulai memikirkan untuk membuat pagar angin baik itu menanam tanaman keras di daerah dekat pantai, maupun menanam tanaman selingan untuk melindungi tanaman utama. Hasil panen meningkat pesat seiring perkembangan pengetahuan masyarakat, dan teknologi yang diterapkan semakin canggih seiring pertambahan nilai jual, harga paling tinggi adalah ketika krisis moneter 1997, di sini banyak orang kaya mendadak.”
45
Catatan Harian Peta Konflik, 15 Februari 2010, KN (50)
43
Keberadaan jenis pekerjaan baru di desa lambat laun menggerakkan arus balik urbanisasi (Kompas, April 2008ab). Para pemuda yang dahulu bekerja di sektor industri di kota kembali ke desa untuk menekuni profesi sebagai petani yang lebih menjanjikan bagi penghidupan46. Matapencaharian baru ini mampu menyerap tenaga kerja dari luar kawasan, yaitu sebagai buruh petik47. Perkembangan informasi dan teknologi tidak hanya meningkatkan taraf hidup secara ekonomi tetapi juga membangun hubungan sosial dengan elemen pembangunan di luar komunitas pesisir, terutama akademisi. Pada tahun 2001 Fakultas Pertanian UGM mengkaji pengembangan potensi lahan pasir pantai. Pertukaran informasi antara akademisi dan para petani lahan pasir membuahkan kelembagaan baru di sektor distribusi, yaitu 1) pengaturan sarana produksi dan
2) sistem lelang. Pengaturan sarana produksi meliputi
kegiatan penyediaan pupuk dan benih, sedangkan sistem lelang untuk pengendalian harga panen. Kedua kelembagaan ini dijalankan oleh komunitas setempat melalui pengorganisasian diri. Posisi tawar petani terhadap pasar terbangun melalui proses interaktif yang panjang antara pengetahuan dan tindakan yang berubah dari waktu ke waktu. Sistem lelang mulai dilakukan pada tahun 2002. Sistem ini memungkinkan petani mempunyai daya tawar terhadap pasar distribusi dengan cara turut mengatur harga panen di tingkat petani48. 46
Dengan luas 1000 m2 atau 0,1 ha , hasil bersih rata-rata petani lahan pasir pantai untuk komoditas cabai adalah Rp. 11.554.090,00 dengan indeks B/C ratio sebesar 4,54 dan rata-rata produktivitas 2.014 ton per satuan luas; artinya sangat layak diusahakan (sumber: Shiddieq et al., 2008, Anonim, 2007, dan Rismiyadi, 2003). Laporan Kelompok Gisik Pranaji di Bugel pada Mei 2010 menyatakan bahwa rerata hasil cabai adalah 0,8 kg/tanaman, jarak tanam 1 x1 m diterapkan untuk setiap 1.000 m2 (dalam setiap 1.000 m2 ada 1.000 lubang) rerata penggarapan petani adalah 3.000 m2, sehingga rerata hasil panen per keluarga petani adalah 0,8 kg x 3.000 tanaman= 2.400 kg/ panen. Panen dilakukan 5 hari sekali selama dua bulan (puncak produksi), sehingga rerata hasil panen per keluarga petani selama dua bulan adalah: 2.400 kg x 12 kali panen= 28.800 kg. Harga cabai pada bulan Mei dan Juni 2010 rerata Rp. 15.000,00 , dengan demikian pendapatan kotor petani selama dua bulan adalah 28.800 kg x Rp. 15.000,00 = Rp. 432.000.000,00 (Empat ratus tigapuluh dua juta rupiah). Biaya produksi total untuk setiap 3000 m2 adalah Rp. 115.200.000,00 (harga panen Rp. 4.000,00/kg). Dengan demikian, pendapatan bersih petani dalam dua bulan adalah Rp.432.000.000,00-Rp.115.200.000,00= Rp.316.800.000,00 (Tiga ratus enambelas juta delapan ratus ribu rupiah). 47 Wawancara dengan SR (40), Garongan, Panjatan, Agustus 2008 (Preliminary). 48 Mekanisme sistem lelang sebagai berikut: 1) Kelompok tani di setiap dusun mengadakan rapat untuk mengambil keputusan mengenai pelaksanaan lelang menjelang panen. 2) Tempat, waktu, dan tenaga operasional lelang ditetapkan. 3) Pada waktu panen, setiap keluarga petani menyetorkan hasil panen kepada kelompok, hasil panen kemudian disortir oleh tenaga operasional lelang untuk dipilih yang memenuhi kualitas pasar,.
44
Pada tahun 2005, PT. JM, PT NE, PT. KS dan AK Ltd. menjalin kerjasama bisnis untuk pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo49. AK adalah TNC di Australia dan mempunyai proyek pertambangan di beberapa negara, salah satunya adalah pertambangan emas di Peru. Pada tahun 2006 AK tersebut berubah nama IM Ltd50. Pada tahun 2006 Pemda Kabupaten Kulon Progo menerbitkan Ijin Kuasa Pertambangan berikut mineral ikutannya kepada PT. JM yang merupakan perusahaan keluarga lembaga swapraja Yogyakarta51. Saham yang dikuasai oleh PT. JM dalam bisnis ini sebesar 30 % dan IM Ltd. sebesar 70 %. 4.1.3. Kultur Politik a. Kedudukan Lembaga Swapraja Struktur kekuasaan dan politik di Yogyakarta tidak mengalami perubahan yang berarti bagi lembaga swapraja sebelum 1945 (Soemarjan, 1986). Kedudukan Raja, terutama Sultan Hamengku Buwono, bagi masyarakat Jawa adalah sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar yang diakui oleh RI dan dipertahankan sejak 1755, yaitu: Sampeyan Ngarso Dalem Ingkang Sinuwun
Kanjeng
Sultan
Hamengku
Buwono,
Senopati
Ing
Ngalogo,
Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping… (IX) Ing Ngayogyakarto Hadiningrat (Andika Paduka Yang Mulia Baginda Sultan Hamengku Buwono, Panglima Perang, Hamba Sang Maha Pengasih Pewaris
4) Hasil panen sebelum dan sesudah proses penyortran dicatat dalam buku administrasi, dan petani menerima tanda bukti. 5) Pada pukul 17.00-20.00 secara serentak dibuka lelang di setiap dusun. 6) Para pedagang atau tengkulak menuliskan harga beli secara rahasia dan tertutup dalam secarik kertas dan dimasukkan dalam kotak undian. 7) Pada pukul 20.00, kotak undian dibuka. 8) Harga yang tertinggi adalah harga penjualan cabai yang berlaku di tingkat petani pada hari itu, sehingga para pedagang yang akan memperoleh barang dagangan pada hari itu harus membeli sesuai harga yang telah disepakati. 49 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005 dan Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Due Diligence Results and Corporate Plan, tertanggal 3 November 2005: 50
Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Change of Name to IM Limited, tertanggal 7 Maret 2006. 51 Menurut Akta Notaris Pendirian PT JM No 40 Buntario Tigris Darmawa NG, SH.SE., PT JM didirikan 6 Oktober 2005.
45
Rasulullah Sang Penata Agama, Wakil Allah Yang Bertahta Ke..[I-X] Di Kerajaan Yogyakarta). Meskipun hubungan ekonomi politik antara Pemerintah Kolonial Belanda dengan Sultan diperbaharui setiap kali putra mahkota akan bertahta52, pandangan masyarakat di Yogyakarta khususnya terhadap kedudukan Sultan tidak berubah: Sultan adalah sosok yang dianugerahi kekuasaan politik, militer, dan keagamaan secara absolut53, sebuah konsep kekuasaan yang diadopsi dari Khaliffah Islamiyah di Timur Tengah pada Dinasti Abbassiyah. Kedudukan politik dan budaya Sultan dan Paku Alam tetap dipertahankan hingga sekarang dengan penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur di Propinsi DIY54. Keistimewaan Yogyakarta dinilai dari sumbangan lembaga swapraja bagi perjuangan kemerdekaan 1908-1950. 52
Soemarjan (1986) mengemukakan bahwa pasal-pasal penting dari semua perjanjian politik selalu mencantumkan: 1) kedaulatan Kasultanan di bawah kerajaan Belanda, 2) pemberlakuan undang-undang kolonial di dalam kerajaan, 3) pengambilan keputusan pergantian kekuasaan Kasultanan oleh Gubernur Jenderal, 4) kewajiban Sultan untuk patuh kepada Kerajaan Belanda sepanjang memerintah Kasultanan, 5) sistem pertahanan dan keuangan diatur oleh Gubernur Jenderal, berikut wewenang pengelolaan SDA seperti hutan jati, pertambangan, dan produksi dan distribusi garam (hal 6-7). 53 Kesadaran mistis masyarakat Jawa atas kekuasaan Sultan diwujudkan dengan kepercayan pada kekuatan spiritual Sultan untuk dapat membaca arah jaman dan kemampuannya dalam membawa kemakmuran dan keaadilan bagi rakyat. Mengenai hal ini, telah dilaporkan oleh Soemarjan bahwa pada tahun 1932 dan 1948, ketika Yogyakarta dilanda wabah, penduduk memohon Sultan untuk menyelamatkan mereka dengan cara mengarak pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung (panji hitam dengan tulisan-tulisan Arab yang diyakini sebagai bagian dari jubah penutup Ka’bah di Mekah) mengelilingi wilayah-wilayah epidemi. Arak-arakan itu diikuti oleh puluhan ribu orang dan dilakukan di tengah kota yang pada saat itu (1948) merupakan pusat revolusi, pergerakan, markas organisasi-organisasi politik, dan pembaruan sistem politik dari aristokrasi feodal menuju sistem demokrasi (Ibid: 24-25). 54 UU No 22 Tahun 1948 Tentang Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri pasal 18 (5) Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat didaerah itu. Hal ini merupakan penguatan dari 1) Amanat 5 September 1945 yang menyatakan peleburan kekuasaan Swapraja menjadi bagian dari Republik Indonesia. 2) UUD 1945 pasal 18, 3) Piagam Kedudukan Sultan dan Paku Alam oleh Ir.Soekarno 19 Agustus 1945, dan 4) Amanat 30 Oktober 1945 yang menyatakan penyelarasan pemerintahan DIY dengan UUD 1945. Sistem politik yang diatur dalam UU No 22 Tahun 1948 dikuatkan kembali dalam UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. UU No 22 Taun 1948 telah dicabut dengan penerbitan UU No 1 Tahun 1957 (Era Demokrasi Parlementer). UU No 1 Tahun 1957 pada akhirnya dicabut dengan penerbitan UU No 18 Tahun 1965 (Era Demokrasi Terpimpin). UU No 18 Tahun 1965 dicabut dengan penerbitan UU No 5 Tahun 1974 (Era ORBA), dan UU No 5 Tahun 1974 dicabut dengan penerbitan UU No 22 Tahun
46
b. Kekuasaan Lembaga Swapraja Menurut Rijksblad 1918, kekuasaan Sultan dan Paku Alam meliputi pemilikan dan pengelolaan SDA di seluruh wilayah kekuasaannya sepanjang sumber agraria yang dimaksud tidak dilindungi oleh hak eigendom. Kekuasaan Sultan dan Paku Alam juga meliputi dimensi politik pemerintahan, spiritual, dan kultur sosial. Di dalam budaya kekuasaan masyarakat Jawa dikenal istilah: Sabda Pandhita Ratu (perkataan seorang raja adalah hukum suci). Masyarakat Yogyakarta pada khususnya menganggap setiap kata dari Sultan merupakan petuah sakti yang didukung oleh kekuatan spiritual, perintah Sultan adalah hukum, keinginan Sultan adalah perintah bagi rakyatnya55.
4.1.4. Konstelasi Ekonomi Politik SDA Sejarah kelahiran Propinsi Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari sejarah kekuasaan ekonomi politik kolonial yang membelenggu lembaga swapraja sebagai pusat kekuasaan. Perubahan secara mendasar dalam struktur kekuasaan atas SDA di DIY telah berlangsung sejak 1945-1984, melalui momentum 1) penyerahan kedaulatan lembaga swapraja kepada RI, 2) kelahiran UUPA No 5 Tahun 1960, 3) kelahiran Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan UUPA dan aturan pelaksanaannya di DIY secara sepenuhnya, dan 4) Peraturan Daerah DIY No 34 Tahun 1984 yang menguatkan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984. Konstelasi ekonomi politik SDA di DIY berubah secara legal dari bentuk penguasaan oleh privat menjadi penguasaan oleh negara. Pergeseran konstelasi ekonomi politik SDA di DIY dari penguasaan oleh negara menjadi penguasaan oleh privat berlangsung sejak UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diterbitkan. UU tersebut menjamin kewenangan Pemda (terutama Bupati) untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan SDA. Di tingkat kabupaten, Bupati Kulon Progo adalah pengambil keputusan secara legal dalam agenda pembangunan. 1999 yang disempurnakan menjadi UU No 32 Tahun 2004 (Era Reformasi) yang mengatur bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. 55 Soemarjan (1986) : 25.
47
Di tingkat propinsi, DPRD dan Gubernur DIY telah mengajukan pengesahan Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta sejak 2007, yang akan menjamin keutuhan konstelasi kekuasaan politik dan ekonomi politik SDA di Propinsi DIY. Di tingkat nasional, agenda pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa telah dijalankan sejak tahun 2002 dengan dana hutang Asian Development Bank (ADB), proyek ini terhenti di Propinsi DIY karena terkendala pembebasan lahan. Beberapa peraturan perundangan yang terkait ekstraksi SDA, penataan ruang, dan lingkungan di Indonesia juga berubah sejak UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup ditetapkan. Di tingkat internasional, desentralisasi berdampak pada iklim investasi yang selaras dengan agenda OTDA, IM Ltd sebagai investor asing dapat menjalin kerjasama investasi dengan perusahaan lokal (PT. JM) tanpa halangan politik dari kekuasaan pusat. Sistem politik nasional yang baru membuka peluang yang sama bagi para pemodal lokal untuk meningkatkan intensitas penetrasi modal, termasuk industri ekstraktif di daerahnya. PT. JM merupakan perusahaan milik keluarga swapraja. Kultur politik masyarakat di DIY terhadap lembaga swapraja tidak berubah sejak lembaga kekuasaan itu didirikan. Situasi ini menguatkan dominansi budaya yang memudahkan penetrasi modal bagi PT. JM dan IM Ltd. Dualisme kedudukan otoritas tertinggi di Propinsi baik sebagai Gubernur dan Pemimpin Swapraja menjadikan tekanan-tekanan kepentingan investor pertambangan pasir besi semakin memperoleh legitimasi politik, sehingga pada akhirnya memicu konflik di daerah, terutama antara Pemda kabupaten dengan penduduk di kawasan pesisir. 4.1.5. Ikhtisar Situasi kolonial di DIY 1755-1945 merupakan cerminan dari sejarah ekonomi politik SDA. Penyempitan wilayah kekuasaan lembaga Swapraja sejak 1830 hingga penerbitan Rijksblad 1918 dan Perjanjian Politik 1940 merupakan bukti dominansi ekonomi politik dari kekuatan minoritas asing, sesungguhnya
48
lembaga Swapraja belum dapat dikatakan berdaulat sepenuhnya. Secara politis, lembaga ini merdeka bersamaan dengan kemerdekaan RI (pengakuan atas kemerdekaan RI dan pernyataan untuk bergabung menjadi bagian RI adalah bentuk lain dari penyerahan kedaulatan kepada RI), dengan konsekuensi tunduk pada hukum nasional. Minoritas asing yang berkuasa pada masa sebelum 1830 sesungguhnya adalah korporasi (VOC), dan meskipun pada generasi berikutnya digantikan oleh institusi politik (kerajaan Belanda) hingga 1945, kepentingan itupun tetap sama, yaitu ekonomi politik SDA atas wilayah DIY. Pergantian jaman tampaknya tidak mengubah konstelasi ekonomi politik tersebut, artinya kekuatan politik ekonomi asing masih saja mendominasi dengan bentuk, pola, dan cara yang berbeda. IM Ltd adalah kekuatan ekonomi politik asing yang baru tersebut.
49
4.2. Struktur Penguasaan SDA 4.2.1 Sejarah Agraria DIY a. Pra 1945 Menurut Wiradi (2009), perang Diponegoro (1825-1830) berdampak pada perubahan kebijakan ekonomi politik kolonial di Jawa, yaitu kelahiran Cultuurstelsel (tanam paksa) di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Van den Bosch 1830. Pada tahun 1848-1865, kaum liberal pemilik modal di Belanda menuntut keterlibatan dalam urusan tanah jajahan, tuntutan mereka dipenuhi oleh Menteri Jajahan Fans van de Putte (berhaluan liberal) dengan penerbitan RUU yang menjamin Hak Erfpacht (hak sewa jangka panjang dan murah) selama 99 tahun di tanah jajahan dan Hak Eigendom (hak milik mutlak) atas tanah-tanah komunal berada pada para pemodal. Pada 1870, diterbitkan Agrarische Wet yang diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1870 No 55, yang mengatur ketentuan antara lain sebagai berikut: 1) Larangan bagi Gubernur Jenderal untuk menjual tanah, kecuali terhadap bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota atau desa atau penggunaan tanah untuk pendirian perusahaan-perusahaan komersial. 2) Ijin bagi Gubernur Jenderal untuk menyewakan tanah sesuai dengan Undang-Undang, kecuali terhadap tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli atau terhadap tanah yang biasanya digunakan untuk pengembalaan atau yang meliputi wilayah perbatasan desa untuk maksud-maksud lain. 3) Jangka waktu penyewaan oleh Gubernur Jenderal dibatasi 75 tahun, dengan penghormatan pada hak-hak tanah penduduk asli. 4) Larangan bagi Gubernur Jenderal untuk menguasai tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli, atau tanah yang biasa digunakan untuk pengembalaan, atau tanah yang termasuk wilayah perbatasan desa yang digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali a) untuk tujuan-tujuan kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan b) untuk pendirian perkebunan atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar dapat diberikan.
50
5) Pemberian hak eigendom terhadap tanah-tanah yang dimiliki oleh penduduk asli, termasuk hak untuk menjual kepada pihak manapun. 6) Mekanisme penyewaan tanah oleh penduduk asli kepada bukan penduduk asli harus dilakukan sesuai dengan Undang-Undang. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Agrarische Wet tahun 1870 untuk Jawa dan Madura dituangkan dalam Agrarische Besluit tahun 1870. No. 118, Pasal 1 menyatakan : “Dengan kekecualian atas tanah-tanah yang termasuk dalam klausul 5 dan 6 Pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting Van Netherland Indie semua tanah hak miliknya tidak dapat dibuktikan, akan dianggap milik negara”56. Rijksblad Swapraja tahun 1918 mengacu pada ketetapan hukum tanah yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial berdasarkan domein verklaring.
b. 1945-1960 Tahun 1945-1960 merupakan periode pembentukan UUPA. Pada tahun 1948 diterbitkan UU No 3 Tahun 1948 tentang Perubahan Vorstenlandsch Grondhuurreglement, yang mengamanatkan pencabutan ketetapan hukum mengenai ‘tanah conversie’ di daerah Surakarta dan Yogyakarta dengan dasar pertimbangan pelaksanaan UUD 1945 pasal 27 dan 33. 57
melalui penerbitan UU No 3 Tahun 1950
Pembentukan DIY
merupakan tonggak dalam struktur
56
Staatsblad 1870, No 118 UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY: Pasal 1 (1) Daerah jang meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta. (2) Daerah Istimewa Jogjakarta adalah setingkat dengan Propinsi. Pasal 14 (1) Urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain sebagai termaksud dalam pasal 23 dan 24 Undang-undang No. 22 tahun 1948 bagi Daerah Istimewa Jogjakarta adalah sebagai berikut:
57
I. II. III. IV. V. VI.
Urusan Umum. Urusan Pemerintahan Umum. Urusan agraria. Urusan pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung. Urusan pertanian dan perikanan. Urusan kehewanan.
51
politik sekaligus struktur penguasaan sumber-sumber agraria di DIY. UU tersebut diturunkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) No 5 Tahun 1954 tentang Hak atas Tanah di DIY. Pokok-pokok pikiran Perda ini ialah: 1) Pernyataan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai kekuasaan untuk mengatur hak atas tanah. Sesuai dengan domein verklaring Tahun 1918. 2) Peraturan hak atas tanah didalam kota Yogyakarta, belum perlu diubah. 3) Kelurahan-kelurahan dalam batas yang tertentu diberi hak untuk mengurus dan mengatur (beschikkingsrecht) mengingat adat. 4) Kepada perseorangan diberi hak milik perseorangan turun-temurun (erfelijk individueel bezitsrecht) dengan tidak lepas dari desa-verband (keinginan masyarakat). VII. VIII. IX. X. XI. XII. XIII.
Urusan keradjinan, perdagangan dalam Negeri perindustrian dan koperasi. Urusan perburuhan dan sosial. Urusan pengumpulan bahan makanan dan pembagianja. Urusan penerangan. Urusan pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan Urusan kesehatan. Urusan perusahaan.
(2) Urusan-urusan tersebut dalam ajat (1) diatas didjelaskan dalam daftar terlampir ini (lampiran A) dan dalam peraturan-peraturan peleksanaan pada waktu penjerahan. (3) Dengan Undang-undang tiap-tiap waktu, dengan mengingat keadaan urusan rumah tangga Daerah Istimewa Jogjakarta dan kewadjiban Pemerintah jang diserahkan kepada Daerah Istimewa Jogjakarta di tambah. (4) Urusan-urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain dari pada jang tersebut dalam ajat (1) diatas, jang dikerdjakan oleh Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuk menurut Undang-undang ini, dilandjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan Undangundang. Penjelasan III. Urusan Agraria (tanah), meliputi: (1) penerimaan pejerahan hak ,,eigendom” atas tanah ,,eigendom” kepada negeri (medebewind); (2) penjerahan tanah Negara (beheersoverdracht) kepada djawatan-djawatan atau Kementerian lain atau kepada daerah autonom (medebewind); (3) pemberian idzin membalik nama hak ,,eigendom” dan “opstal” atas tanah, djika salah satu fihak atau keduanja masuk golongan bangsa asing (medebewind); (4) pengawasan pekerdjaan daerah autonom dibawahnja (sebagian ada jang medebewind). Pasal5 (1) Segala milik baik berupa barang tetap maupun berupa tidak tetap dan perusahaanperusahaan Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuknja Undang-undang ini mendjadi milik Daerah Istimewa Jogjakarta, jang selanjutnja dapat menjerahkan sesuatunja kepada daerah-daerah dibawahnja. (2) Segala hutang piutang Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum pembentukan menurut Undang-undang ini, mendjadi tanggungan Daerah Istimewa Jogjakarta.
52
5) Kelurahan sebagai badan Hukum diberi hak milik atas tanah terhadap tanah yang sampai saat ini sudah dikuasai (tanah desa). 6) Larangan untuk bangsa asing. 7) Batalnya hak milik atas tanah dengan syarat-syarat yang tertentu masih diperlukan. 8) Jaminan untuk Pemerintah sewaktu-waktu membutuhkan tanah. 9) Badan Hukum, umpama N.V. Yayasan, yang mengingini mempunyai hak atas tanah, perlu ditinjau dalam-dalam dan diatur tersendiri. Struktur penguasaan sumber-sumber agraria dalam kepentingan nasional ditandai dengan kelahiran UU No 5 Tahun 1960, diktum ke-empat UU tersebut menyatakan:
“hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada, pada waktu mulainya berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara”
Rijksblad Swapraja 1918 menjadi dasar hukum positif bagi Sultanaat Ground (SG) dan Paku Alamnaat Ground (PAG)58. SG dan PAG adalah status atas tanah-tanah yang dimaksud sebagai tanah swapraja (kerajaan), karena kedua lembaga tersebut telah ada sebelum kemerdekaan RI. Menurut perspektif masyarakat pesisir Kulon Progo, pengakuan terhadap tanah-tanah swapraja merupakan bagian dari konflik, seperti yang diungkapkan oleh TJ (32)59:
“Pewacanaan bahwa bentang lahan di pesisir ini adalah milik PA penting dilakukan agar proses menuju penambangan sukses. Apa benar PA punya hak milik atas tanah-tanah di pesisir? Jawabannya adalah UUPA 1960. Itu 58
Selama ini dibedakan secara tegas antara Sultan Ground (SG) dan Sultanaat Ground (SG), antara Paku Alam Ground (PA) dan Paku Alamanaat Ground (PAG). Sultan Ground adalah tanah milik Sultan sebagai perorangan, sedangkan Sultanaat Ground adalah tanah milik keraton Kasultanan. Paku Alam Ground (PA) adalah tanah milik Paku Alam secara perorangan, sedangkan Paku Alamanaat Ground (PAG) adalah tanah keraton Paku Alaman. 59 Catatan Harian Struktur Agraria, 14 Februari 2010, TJ (32): Menurut laporan Luthfi et al. (2009), luas tanah SG dan PAG di seluruh DIY yang tercatat di Biro Tata Pemerintahan DIY hingga tahun 2005 adalah sekitar 60.000.000 m2. Sedangkan perhitungan luas tanah tersebut menurut majalah Himmah pada tahun 2002 berjumlah 37.782.661 m2. Ketidakpastian letak dan luas tanah SG dan PAG juga diakui oleh Swapraja.
53 satu-satunya landasan hukum yang bisa diacu jika kita hidup di Indonesia. Kalau pihak penambang berdasar pada sejarah penguasa, maka kami juga punya sejarah pesisir. Kami sadar kok kami akan dimusuhi orang se-Jogja kalau melawan kekuasaan kraton. Tetapi, kami juga sadar kami akan menjadi musuh hati nurani jika kami mengiyakan ketidakadilan.”
Lembaga Swapraja bukan badan hukum dan bukan pula perorangan. KN (50) membangun argumentasinya berdasarkan PP No 224 Tahun 1961 yang mengatur pembatasan luas kepemilikan atas tanah60 dan UU NO 5 Tahun 1960 yang mengatur subyek hukum yang dijamin hak kemilikannya atas tanah, yaitu perorangan dan badan hukum61:
“Tanah di pesisir ini bisa disebut sebagai tanah gontai, yaitu tanah yang tidak diusahakan oleh pemiliknya. Sejauh saya ketahui, kepemilikan atas tanah gontai di luar kecamatan dapat dicabut oleh negara, misalkan saya mempunyai tanah yang saya telantarkan di Kecamatan Galur, maka negara bisa mencabut hak milik saya atas tanah itu untuk dialihkan kepada warga Galur. Jika memang benar bahwa PA mempunyai hak milik yang sah atas 60
Catatan Harian Struktur Agraria, 16 Februari 2010, KN (50):
61
Pasal 7 Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 17 (1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. (2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat. (3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. (4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur. Pasal 21 (1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
54 lahan pasir ini, maka menurut aturan itu hak kepemilikannya bisa beralih ke masyarakat yang menggarap.”
c. 1960-1984 Kemauan politik pemerintah ORBA menjadi hambatan bagi pelaksanaan UUPA sesuai dengan semangat sosialisme Indonesia62. Politik agraria dibekukan melalui praktik-praktik industrialisasi ekstraktif berbasis tanah melalui kontrak karya, yang secara ekonomi dan politik merugikan kepentingan nasional. DIY merupakan daerah yang relatif bersih dari praktik industrialisasi ekstraktif oleh pusat sepanjang pemerintahan ORBA karena kewibawaan Sultan dan Paku Alam. Posisi lembaga swapraja di DIY tetap mengakar, sehingga kebudayaan berfungsi sebagai kekuatan politik lokal untuk menangkal developmentalism rejim ORBA. Dalam pandangan politik kebudayaan masyarakat DIY, kekuasaan lembaga swapraja diangggap lebih absolut daripada Pemda sebagai wakil pemerintah pusat. Bukti dari hal ini adalah mekanisme pelaksanaan investasi dan agenda pembangunan berbasis agraria harus memperoleh ijin dari lembaga swapraja. Adalah suatu konsensus sosial bahwa hak pakai atas tanah-tanah swapraja di DIY oleh masyarakat harus melalui mekanisme magersari63 (pengakuan hak milik atas tanah berada pada lembaga swapraja) untuk memperoleh serat kekancingan (surat tanda relasi sebagai tanda bukti kesahihan hak pakai oleh masyarakat) dari lembaga pertanahan Swapraja, yaitu Paniti Kismo. KE (50) berpendapat mengenai magersari sebagai berikut:
“Saya ini meskipun tidak makan sekolahan tapi tahu undang-undang. Diktum ke-4 UUPA menyatakan bahwa: hak-hak dan wewenangwewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada, pada waktu mulainya berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara. Hal ini sudah jelas, Paku Alaman dan 62
Pasal 5 Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
63
Catatan Harian Penelitian Peta Konflik, 20 Februari 2010, KE (50).
55
Kasultanan tidak memiliki hak yang sah menurut hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Magersari itu akal-akalannya penguasa untuk memperoleh pengakuan masyarakat luas agar tambang besi jalan.” Harian Kedaulatan Rakyat tanggal 28 Mei 1984 memberitakan bahwa pada HUT ke-9 UUPA 24 September 1973, Hamengku Buwono IX mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri yang isinya penegasan sikap untuk menyetujui penyeragaman kebijakan agraria di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di DIY (Luthfi et al., 2009).
Inisiatif HB IX tersebut disambut oleh pusat dengan
penerbitan Keputusan Presiden (Kepres) No 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY, dan dikuatkan dengan Perda No 34 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY. d. 1984-sekarang Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan Perda No 34 Tahun 1984 merupakan tonggak baru dalam struktur penguasaan SDA di DIY secara de jure. Kepres dan Perda ini menggugurkan peraturan perundangan mengenai agraria sebelum penerbitan UUPA 1960, termasuk UU No 3 Tahun 1950 jo No 19 Tahun 1950 dan Perda No 5 Tahun 1954. Keberadaan SG dan PAG secara de jure sudah ditiadakan, akan tetapi secara de facto keberadaannya masih diakui. Proses hukum untuk pelegalan keberadaan SG dan PAG sedang diupayakan oleh pemda DIY melalui pengesahan Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY. RUUK akan dibahas secara lebih rinci dalam proses politik kebijakan.
4.2.2 Politik Agraria DIY Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan konsensus sosial keberadaan SG dan PAG menandakan dualisme politik agraria di DIY sejak 1984. Penerapan dualisme politik agraria ini berdampak pada ketidakpastian hukum dari struktur penguasaan SDA di DIY. Pengambilan keputusan status hukum atas suatu lahan pun menjadi kabur, antara wewenang BPN atau Paniti Kismo.
56
Politik agraria tidak dapat dilepaskan dari sistem dan kultur politik yang berlaku di DIY, yaitu kepala daerah harus berasal dari keluarga swapraja64, dan pengakuan terhadap kekuasaan politik kedua lembaga tersebut meliputi pengakuan terhadap kekuasaan atas wilayahnya (Tabel 6). Eksistensi SG dan PAG merupakan manifestasi eksistensi lembaga swapraja. Dualisme politik agraria dijalankan untuk menjaga integrasi sosial yang telah ada. Struktur agraria di Propinsi DIY menganut dualisme paham antara struktur agraria nasional dengan sistem feodal. Hukum positif mengatur bahwa semua tanah yang tidak bertuan adalah milik negara, masyarakat,
wacana ini diusung oleh
mengacu pada UU No 5 Tahun 1960 berikut peraturan
pelaksanaannya; akan tetapi, sistem feodal mengatur bahwa semua tanah tak bertuan adalah milik kerajaan, wacana ini diusung oleh Pemda, mengacu pada Rijksblad Swapraja Tahun 1918. Ditinjau dari posisi politiknya terhadap NKRI dalam hal ketatanegaraan, Propinsi DIY seharusnya mengacu diktum IV UU No 5 tahun 1960 yang menyatakan penghapusan tanah-tanah bekas swapraja atau swapraja yang masih ada. Namun, ditinjau dari pemaknaannya terhadap status keistimewaan suatu wilayah yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 18, Propinsi DIY merasa berwenang untuk mengatur struktur agraria dan penataan ruang secara otonom, sehingga RUU Keistimewaan yang menjamin pemberlakuan kembali sistem feodal atas tanah di DIY diajukan oleh otoritas tertinggi di Propinsi DIY, baik sebagai Gubernur maupun sebagai Pemimpin Swapraja. Kesadaran masyarakat pesisir Kulon Progo terhadap perbedaan konsep hak dan kuasa dalam menentukan akses sumberdaya tumbuh karena konflik agrarian ini, sebagaimana diungkapkan oleh BT (45)65: “Hak atas tanah di Indonesia itu sepertinya belum jelas, meskipun negara sudah mengaturnya melalui UUPA. Maksud saya, jika memang ada jaminan hak atas tanah bagi rakyat, mengapa kepemilikan tanah oleh pihak yang tidak berhak menurut UUPA masih diakui oleh pemerintah, misalnya ya PAG atau SG kalau di 64 65
Landasan hukum aturan ini adalah UU No 3 Tahun 1950 jo No 19 Tahun 1950. Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 11 Maret 2010, BT(45):
57
wilayah DIY. Menurut saya, hak itu tidak selalu menjamin pemilik hak untuk dapat memanfaatkan sepenuhnya apa yang menjadi haknya…Nah, kalau orang kampus bilang akses tanah dengan hak atas tanah itu berbeda. Silakan dicek apa pemahaman saya sudah pener (tepat). Orang bisa memanfaatkan tanpa harus memiliki hak, asalkan dia punya kekuasaan untuk mengendalikan situasi dan pendapat umum. Kasultanan atau Paku Alaman turut mengendalikan sistem pemerintahan di DIY, sehingga Kasultanan dan Paku Alaman itu mempunyai kekuasaan untuk turut mengatur tata cara kepemilikan tanah bagi warga DIY, melalui klaim SG atau PAG mereka dapat memanfatkan seluruh tanah tak bersertifikat di seluruh DIY, meskipun mereka tidak punya hak milik atas seluruh tanah itu. Jadi, kekuasaan itu lebih berperan dalam akses tanah daripada hak
atas tanah,
termasuk kekuasaan pemerintah, Kasultanan/Paku Alaman, rakyat, atau bahkan swasta.”
Struktur agraria menurut sistem feodal belum memperoleh legitimiasi hukum nasional, artinya klaim PAG masih sebatas wacana kultural yang akan dibawa ke ranah politik, akan tetapi struktur agraria empiris sudah menunjukkan ketimpangan otoritas antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kolaborasi kepentingan antara pemerintah dan swasta memungkinkan struktur agraria melahirkan hubungan produksi kapitalistik terhadap tanah dan konflik dengan masyarakat. Kolaborasi kepentingan tersebut diungkapkan oleh KE (50) sebagai berikut66:
“Permasalahannya adalah penguasa berselingkuh dengan pengusaha, termasuk soal mengatur hak atas tanah. Kalau jaman ORBA kita mengenal dwifungsi ABRI, sekarang ini dwifungsinya antara penguasa dan pengusaha.”
66
Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 21 Februari 2010, KE (50):
58 Tabel 6 Identifikasi Status Tanah dan Luasannya Di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo Status Tanah Kecamatan
Temon
Wates
Panjatan
Galur Total
Tanah
Hak
Negara
Milik
(ha)
(ha)
96,30
15,56
138,11
249,97
-
-
21,42
78,58
100,00
Palihan
-
56,25
-
111,24
167,49
Glagah
-
-
136,73
163,15
299,88
Karangwuni
-
197,62
4,50
152,13
202,12
Garongan
-
-
147,59
177,40
324,99
Pleret
5,53
-
163,62
151,82
320,97
Bugel
31,58
-
163,67
114,74
309.99
Karangsewu
-
-
278,16
141,67
419.83
Banaran
156
-
-
230,00
386,00
192,11
350,17
931,25
1458,84
2781.24
Desa
PA
PAG
(ha)
(ha)
Jangkaran
-
Sindutan
Jumlah (ha)
Sumber: Kantor Kepala Desa di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo (2008). Keterangan: PA: Tanah Kadipaten Paku Alaman PAG: Tanah Kadipaten Paku Alaman yang beralih menjadi tanah negara. Tanah Negara: Tanah yang tetapkan sebagai milik negara berdasar Ledger A tahun 1939. Hak Milik: Tanah yang dimiliki oleh penduduk berdasar sertifikat atau letter C.
59
4.2.3 Konflik Agraria Di pesisir Kabupaten Kulon Progo, terdapat 5 megaproyek berbasis agraria yang akan dijalankan, yaitu 1) Pembangunan Bandara Internasional, 2) Pelabuhan, 3) Lantamal TNI AL, 4) Pertambangan Pasir Besi dan Pabrik Baja, dan 5) Jalan Lintas Selatan Jawa (JLSJ) yang didanai oleh Asian Development Bank. Kompleksitas kepentingan atas SDA di pesisir Kulon Progo tersebut disadari oleh masyarakat setempat, sebagaimana diungkapkan oleh TJ (32)67:
“Di pesisir ini, ada 5 proyek besar yang ambisius: Pembangunan LANTAMAL TNI AL, Pembangunan Pelabuhan, Pembangunan Bandara Internasional, Pertambangan Pasir Besi, dan Jalan Lintas Selatan Jawa. Dua proyek terakhir itu dapat dikatakan megaproyek karena berdana besar dan meliputi daerah luas. Tambang besi ini senilai 600 juta Dollar, dan JLS itu menurut informasi kawan-kawan media akan menelan Rp. 15,5 Triliun berasal dari dana hutang ADB. Tiga proyek yang lain sudah dilokalisir menjadi masalah Kabupaten, mungkin karena kepentingannya tidak sekompleks Tambang Pasir Besi atau JLS.”
Setiap proyek tersebut tidak berhubungan secara struktural, akan tetapi sinergis dalam kepentingan. Pembangunan JLSJ telah berlangsung secara bertahap sejak tahun 2002 di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, proyek ini terhenti di DIY karena terkendala pembebasan lahan. Tiga kabupaten di DIY yang terlintasi JLSJ adalah Gunungkidul, Bantul, dan Kulon Progo. Pembebasan lahan di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul sudah memasuki tahap kesepakatan jumlah kompensasi, akan tetapi pembebasan lahan untuk JLSJ di Kabupaten Kulon Progo masih terhambat oleh ketiadaan kesepakatan mengenai gagasan kompensasi terkait proyek pertambangan pasir besi. Keberhasilan proyek pertambangan pasir besi akan mendukung keberhasilan pembangunan JLSJ di Kabupaten Kulon
67
Catatan Harian Penelitian Peta Konflik, 15 Maret 2010, TJ(32):
60
Progo68. Kepala Bapeda Kabupaten Kulon Progo juga mengemukakan sinerginitas kepentingan dari megaproyek-megaproyek di Kulon Progo:
“PT JM adalah pemegang kontrak karya, bukan perusahaan lain. Saya tidak tahu persis apakah ada perusahaan lain yang akan menambang sebelum 2006. Secara struktur, proyek pasir besi ini tidak ada kaitannya
dengan
JLS,
tetapi
sama-sama
menjadi
program
pembangunan yang akan sinergis. Mengapa proyek pasir besi baru dimulai tahun 2006? Karena ijin kuasa pertambangan untuk PT JM dikeluarkan Bupati tahun itu. Alternatif kebijakan yang bentuknya program tampaknya tidak perlu karena proses sudah berjalan sampai tahap studi lingkungan, yang penting adalah ada win win solution.”
Ketidakpastian hukum atas tanah di pesisir Kabupaten Kulon Progo menjadi masalah utama bagi proyek-proyek berbasis agraria di DIY. Ketidakpastian hukum tersebut merupakan artikulasi faktor politik, sosial, hukum, dan budaya, yang kemudian muncul sebagai konflik-konflik land tenure, yaitu 1) konflik politik hukum, yaitu antara hukum feodal dan hukum nasional, 2) konflik kepemilikan dan aktor, yaitu antara kepemilikan privat dengan kepemilikan negara, 3) konflik aliran pemikiran, yaitu antara aliran property rights dengan aliran agrarian structure, 4) konflik teoritis, yaitu antara teori property rights yang menyatakan bahwa akses dikendalikan oleh sekelompok hak dengan teori akses yang menyatakan bahwa akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan. Penjelasan atas konflik-konflik land tenure tersebut diuraikan sebagai berikut:
68
Catatan Harian Proses Politik Kebijakan, 29 Mei 2010, Kepala Bapeda Kabupaten Kulon Progo: Kepala Bapeda menjelaskan bahwa proyek JLS dan Pasir besi memang sedang terkendala. JLS terhambat soal pembebasan lahan, tetapi di Gunungkidul dan Bantul sudah selesai. Sedangkan proyek pasir besi terkendala perbedaan persepsi antara masyarakat dan pemerintah. Dekan Fak. Biologi PTN Di YOGYAKARTA mengemukakan risiko-risiko megaproyek di pesisir jika tidak taat asas AMDAL. Sedangkan Pak BT (45) menyosialisasikan penolakan beserta alasan dan faktafakta seputar skandal perundang-undangan. Saya mengajukan pertanyaan kepada Kepala Bapeda mengenai 1) Keberadaan perusahaan lain sebelum tahun 2006 yang akan melakukan proyek pertambangan di pesisir, 2) Hubungan proyek pasir besi dengan program JLS, 3) Alasan waktu penyelenggaraan proyek pasir besi, dan 4) Alternatif kebijakan yang dapat menguntungkan semua pihak dengan meminimalisasi konflik.
61 1) Konflik Politik Hukum
Ditinjau dari politik hukum, struktur agraria di Propinsi DIY secara de jure mengikuti hukum nasional, akan tetapi secara de facto mengikuti hukum feodal. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan dua lembaga pertanahan yang samasama mempunyai legitimasi hukum dalam penyelenggaraan agenda ekonomi politik berbasis agraria, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Paniti Kismo. Pelaksanaan UU No 5 Tahun 1960 beserta peraturan pelaksanaannya belum pernah dilaksanakan oleh BPN Propinsi DIY. Undang-undang No 3 Tahun 1950 dan Perda No 5 Tahun 1954 mengatur bahwa peraturan perundangan mengenai agraria di DIY mengacu pada peraturan perundangan kolonial yang telah berlaku sebelum kemerdekaan, terutama Rijksblad 1918 yang menjadi sumber hukum positif bagi SG dan PAG. Undang-undang No 5 Tahun 1960, Kepres 33 Tahun 1984, dan Perda DIY 34 Tahun 1984 mengatur bahwa peraturan peundangan mengenai agraria di DIY mengacu pada peraturan perundangan nasional yang berlaku sejak 1960, terutama dalam hal penghapusan SG dan PAG. Menurut dalil hukum lex posteriori derogate lex anteriori, dan lex superiori derogate lex inferiori, UU No 5 tahun 1960 menghapuskan Perda No 5 tahun 1954 yang merupakan turunan dari UU No 3 Tahun 1950. Penafsiran pemerintah propinsi DIY terhadap Pasal 18 UUD 1945 adalah landasan hukum bagi penyelenggaraan sistem politik sekaligus penataan sumber agraria secara khusus di DIY. 2) Konflik Kepemilikan dan Aktor Ditinjau dari sistem kepemilikan dan aktor, struktur agraria di Propinsi DIY lebih dekat kepada sistem kepemilikan privat dan kepemilikan negara. Menurut sistem kepemilikan privat, seluruh tanah di DIY yang tidak memiliki tanda bukti kepemilikan menjadi milik lembaga swapraja. Menurut sistem kepemilikan negara, seluruh tanah yang tidak memiliki tanda bukti kepemilikan menjadi tanah negara. Aktor yang berkonflik dalam hal kepastian hukum atas sumber agraria adalah Negara dengan lembaga swapraja. Dualisme politik agraria di DIY
62
menunjukkan bukti bahwa posisi Pemda Propinsi DIY mewakili kepentingan nasional (negara) sekaligus mewakili kepentingan feodal (lembaga swapraja). 3) Konflik Aliran Pemikiran Ditinjau dari aliran pemikiran, struktur agraria di Propinsi DIY lebih dekat kepada aliran property right dan aliran agrarian structure tradition. Dominansi rejim property rights memunculkan upaya-upaya untuk mencapai kesahihan klaim atas suatu sumberdaya melalui jalur hukum. Dalam konteks struktur penguasaan SDA di DIY, pemerintah dan lembaga swapraja mencapai kesahihan klaim itu melalui pengesahan RUUK DIY, sedangkan masyarakat mencapai kesahihan klaim itu melalui supremasi hukum agraria. Masyarakat di pesisir Kulon Progo memaknai pengesahan RUUK DIY sebagai bagian dari legitimasi proyek-proyek konfliktual, sebagaimana diungkapkan oleh SR (40)69:
“Ini artinya bahwa saat ini status SG/PAG itu tidak diakui negara, dan pihak Kasultanan/Paku Alaman tahu itu, sehingga diperjuangkan… RUUK akan menjadi konflik lebih besar, kalau rakyat menyadari hakhaknya. Bagi kami, RUUK dan kontrak karya sama saja, keduanya harus ditolak harga mati.”
Governmentality berada pada rejim property rights, para pihak berupaya untuk memperoleh kepastian hukum terlebih dahulu untuk mendapatkan akses. Pemerintah menempuh upaya magersari, masyarakat mewacanakan sertifikasi. Dimensi legal formal menjadi hal yang penting untuk memperoleh legitimasi akses atas suatu sumberdaya. 4) Konflik Teoritis Teori property rights mengakui bahwa hak menjadi pembatas legitimasi seseorang atau sekelompok orang untuk mengakses suatu sumberdaya. Akses dinilai legal apabila hak melekat pada aktor.
Teori akses mengakui bahwa
kekuasaan menjadi penentu legitimasi seseorang atau sekelompok orang untuk mengakses suatu sumberdaya. 69
Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 16 Maret 2010, SR(40):
63
Menurut teori property rights, lembaga swapraja tidak mempunyai hak atas tanah-tanah di DIY secara legal karena di DIY telah diberlakukan UU No 5 Tahun 1960 melalui Kepres No 33 Tahun 1984 dan Perda DIY No 34 Tahun 1984. Struktur penguasaan SDA secara de jure menunjukkan hal ini. Menurut teori akses, lembaga swapraja dapat mengakses SDA meskipun tidak memiliki hak untuk akses karena kekuasaan yang melekat pada lembaga tersebut. Struktur penguasaan SDA secara de facto menunjukkan hal ini. Ketidakpastian struktur agraria di Propinsi DIYmemungkinkan aktor yang berkuasa dapat mengakses ruang berikut isinya secara bebas, open acces atas SDA justru berpotensi dilakukan oleh pemerintah dan swasta karena keduanya mengendalikan otoritas politik dan ekonomi. Menurut masyarakat di pesisir Kulon Progo, ketidakpastian hukum atas tanah menjadi salah satu faktor utama proyek pertambangan pasir besi bisa dijalankan, seperti yang diungkapkan oleh SR (40)70:
“Barangkali benar bahwa warga penggarap dan swasta sama-sama memanfaatkan ketidakpastian hukum atas tanah di pesisir ini. Itu kalau kami dianggap tidak berhak atas tanah ini. Dahulu pernah ada perusahaan lain yang mau menambang pasir besi, tetapi tidak jadi, entah apa sebabnya, mungkin tidak berani karena ini wilayah PA.” Relasi antara struktur agraria di DIY dan konflik pertambangan terjalin melalui ketidakpastian hukum atas tanah. Pemerintah dan swasta memanfaatkan ketidakpastian hukum atas tanah untuk melegalkan pertambangan, mengingat investor lokal proyek ini adalah keluarga swapraja, yang juga berperan sebagai penjamin kesahihan PAG. Masyarakat memanfaatkan ketidakpastian hukum atas tanah ini untuk mewacanakan kembali otoritas negara terhadap tanah di DIY, terutama Kepres No 33 tahun 1984 tentang Pemberlakuan sepenuhnya UU No 5 tahun 1960 di DIY, wacana ini diusung oleh masyarakat penggarap yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah (30 % dari masyarakat pesisir tidak memiliki sertifikat tanah).
70
Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 16 Maret 2010, SR(40):
64
Relasi antara struktur agraria dengan proses politik kebijakan terjalin melalui RUUK DIY. Perundangan ini akan menjamin otoritas lembaga swapraja dalam penataan ruang dan sumber agraria, dalam sistem politik yang otonom, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 5 dan 9 RUUK DIY71. Kesahihan status PAG menjadi bagian dari legitimasi proyek pertambangan pasir besi. RUUK adalah bagian dari proses politik kebijakan untuk menjamin kepastian hukum atas tanah di DIY. Hubungan antara struktur agraria dengan relasi kekuasaan terletak pada kekuasaan Pemda untuk menentukan arah perubahan land tenure, dari kepemilikan negara menjadi kepemilikan privat, dari aliran pemikiran agrarian structure tradition menjadi aliran pemikiran property right . Dalam konteks ekologi manusia, perubahan ekosistem lebih disebabkan oleh keputusan-keputusan politik daripada proses alami. Struktur agraria tidak dapat dimaknai sebagai hal yang terpisah dari perubahan ekosistem karena memengaruhi pilihan keputusan politik terhadap lingkungan. Struktur agraria empirik di pesisir Kulon Progo terbentuk dari kolaborasi kepentingan pemerintah 71
Pasal 5 (1) Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan-urusan pemerintahan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang tentang Pemerintahan Daerah dan urusan-urusan istimewa yang ditetapkan UndangUndang ini. (2) Kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. Pengusulan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur; b. penetapan kelembagaan Pemda Provinsi; c. bidang kebudayaan; dan d. bidang pertanahan dan penataan ruang. (3) Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. (4) Pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdais. Pasal 9 (1) Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan di bidang pertanahan dan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, Kesultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum Kebudayaan. (2) Sebagai Badan Hukum Kebudayaan, Kesultanan mempunyai hak milik atas Sultanaat Grond. (3) Sebagai Badan Hukum Kebudayaan, Pakualaman mempunyai hak milik atas Pakualamanaat Grond (4) Pengelolaan dan pemanfaatan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kepentingan publik demi kesejahteraan rakyat. (5) Hak milik, tata guna serta pemanfaatan dan pengelolaan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond diatur dalam Perdais sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
65
dan swasta, bentuk keputusan politik yang diambil adalah pertambangan, perubahan ekosistem yang akan terjadi adalah perubahan bentuk dan fungsi kawasan dari kawasan penyangga menjadi kawasan industri ekstraktif. Ketimpangan struktur agraria adalah masalah mendasar yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menentukan kebijakan lingkungan yang bersifat teknis.
4.2.4. Ikhtisar Struktur penguasan SDA di DIY ditandai dengan Kontestasi wacana sejak masa kolonial hingga pascakolonial. Domein verklaring yang diacu dalam Rijksblad 1918 maupun UU No 5 Tahun 1960 sesungguhnya hasil dari kontestasi antara pengakuan kedaulatan lembaga swapraja berikut wilayah kekuasaannya dengan pengakuan kedaulatan negara berikut wilayah kekuasaannya. Keduanya sesungguhnya berada pada satu mazhab pemikiran yang sama, yaitu pengakuan terhadap hak kepemilikan (property rights) yang diterjemahkan menjadi produk hukum sebagai bentuk pengakuan sosial. Kontestasi wacana tersebut masih berlangsung dalam konteks perbedaan aktor dan agenda ekonomi politik, yaitu antara lembaga swapraja dan pemerintah (bersandar
pada
Rijksblad
1918
dan
produk
hukum
nasional
yang
memfasilitasinya) berhadapan dengan masyarakat pesisir Kulon Progo (bersandar pada UU No 5 Tahun 1960 beserta produk hukum turunannya). Perbedaan yang terbaca dari penelitian ini, dan membedakan dengan kontestasi wacana di tahuntahun sebelumnya, adalah digunakannya kekuasaan untuk meraih pengakuan sosial, mengacu pada Teori Akses, dengan bentuknya adalah upaya legalisasi RUUK DIY oleh pemerintah daerah dan lembaga swapraja. Penerapan Teori Akses atas tanah di DIY bukan semata-mata menjadi tujuan dan alat bagi pengakuan status hukum, melainkan juga menjadi penentu siapa yang akan bertahan hidup dari pertarungan wacana tersebut, masyarakat atau korporasi yang berkoalisi dengan lembaga swapraja dan pemerintah daerah.
66
S truk tu r P en g u as aa n S u m be rd aya A g raria D e Jure (1984)
Huk um Nasional
VS
H ukum Feodal
Sw apr aja Str uktur Penguasaan Sum ber daya A g raria
D e Facto (1984)
Tanah N egar a H ak Milik M asy ar ak at Tanah Adat Propert y R ight Reg ime
VS
Agrarian Structu re R egime
Tanah P r ivat
VS
Tanah Neg ar a
Wacana/A liran Pem ik iran
Gambar 9. Struktur Penguasaan SDA di DIY 1984-2010
67 Tabel 7.Struktur Penguasaan SDA di DIY Ranah
Hukum Nasional
Materi UU No 5 Tahun 1960 Diktum ke -4: Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada, pada waktu mulainya berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara Keputusan Preseiden No 33 Tahun 1984: Pemberlakuan UU No 5 Tahun 1960 berserta peraturan pelaksanaannya di DIY.
Konsekuensi
Tidak ada tanah tidak bertuan dan milik lembaga swapraja di DIY, kepemilikan tanah beralih kepada negara.
Peraturan Daerah Propinsi DIY No 34 Tahun 1984: Pemberlakuan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan pencabutan rijksblad-rijksblad di DIY.
Hukum Feodal
Politik
Sosial dan Budaya
Rijksblad Swapraja Tahun 1918: Seluruh tanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut hak eigendom maka menjadi milik kerajaanku.
Rancangan UU Keistimewaan DIY
Pengakuan atas tanah-tanah Swapraja melalui keberadaan status SG dan PAG serta mekanisme magersari.
Tidak ada tanah tidak bertuan di DIY karena Hak Eigendom disertai tanda bukti kepemilikan menurut hukum kolonial. Tanah tidak bertuan bukan serta merta menjadi milik negara.
Pengakuan kembali kepemilikan tanah-tanah swapraja di DIY oleh negara.
Eksistensi kepemilikan tanah swapraja simultan dengan eksistensi kekuasaan swapraja.
68
4.3. Proses Politik Kebijakan Proses politik kebijakan pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo bersifat multiaras, multiaktor, dan multiarena dari tahun 2005-2010, disebut multiaras karena berlangsung dari aras internasional hingga komunitas, disebut multiaktor karena melibatkan korporasi lintas negara (Transnational Corporation, TNC); korporasi nasional dan lokal; pemerintah pusat dan daerah; lembaga swapraja; dan masyarakat lokal, disebut multiarena karena berlangsung pada dimensi hukum; politik; ekonomi; sosial; dan budaya. Di aras internasional, proses kemunculan rencana pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo dimulai dari 2005 hingga 2006, yaitu dari perjanjian bisnis antara TNC, korporasi nasional, dan korporasi lokal hingga perubahan nama TNC. Di aras nasional, proses ini dimulai dari 2005 hingga 2010, yaitu dari kerjasama kemitraan (MoU) korporasi nasional hingga penerbitan Kontrak Karya. Dan di aras lokal, proses ini dimulai sejak 2006 hingga 2010, yaitu dari perijinan kuasa pertambangan hingga perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP). 4.3.1. Proses-proses di aras internasional Proses-proses di aras internasional dan nasional yang melatarbelakangi keputusan proyek pertambangan tersebut pada 2005-2006 diuraikan sebagai berikut: 1. Perjanjian bisnis antara PT JM dan NE Ltd. dengan AK Ltd. telah berlangsung sejak 2005, sebelum penerbitan kuasa pertambangan di tingkat lokal. Informasi potensi pasir besi telah diketahui sejak tahun akhir 1970 dan awal 1980 oleh PT. AT, dan penelitiannya disempurnakan oleh Lurgi dan Davy McKee dalam tahun 198572. 72
Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005:
69
2. Laporan AK tentang kondisi geologi lokasi, teknik dan infrastruktur, transaksi komersial, struktur hukum Indonesia dan peningkatan modal yang melibatkan Mc n Sc Pty Ltd. sebagai konsultan geologi dan Ba n Mc International sebagi konsultan hukum. AK berencana untuk melakukan 1) perubahan nama menjadi IM Ltd., 2) konsolidasi modal untuk 10 basis, 3) meningkatkan permodalan sebesar 2.2 juta USD, dan 4) perekrutan jaringan (shareholders) untuk basis prioritas73. 3. Laporan Memorandum of Understanding antara PT JM dengan PT KS sebagai mitra yang mengambil alih pengolahan pig iron dan Outokompu Technology Asutralasia sebagai mitra yang menangani semua parameter teknik dan teknologi dalam pemrosesan mineral dan rancangan infrastruktur74. 4. Presentasi jadwal perusahaan pada Desember 2005.75 5. Laporan perubahan nama AK Ltd. menjadi IM Ltd. pada 7 Maret 200676. 6. Laporan tentang penandatanganan kontrak oleh PT JM untuk eksplorasi di area rencana konsesi pertambangan seluas 22 x 1,8 km, melibatkan PTN di Yogyakarta77. 7. Laporan IM Ltd tentang dimulainya program eksplorasi pada 28 Maret 200678.
73
Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Due Diligence Results and Corporate Plan, tertanggal 3 November 2005:
74
Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Outokompu and KS Participation Irosands-Pig Iron ProjectYogyakarta, Indonesia, tertanggal 8 November 2005. 75 Announcement to ASX of Transaction 12 August 2005, Completion of due diligence 30 September 2005,Execution of formal agreements 21 October 2005,Issue shareholder meeting papers 26 October 2005, Announcement to ASX of Outokumpu & KS involvement 08 November 2005, Issue prospectus (to raise $2.2M) 17 November 2005, Shareholder meeting 29 November 2005, Capital consolidation 1 for 10 06 December 2005, Close Prospectus 16 December 2005, Change of Name (IM Ltd) 16 December 2005. 76 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Change of Name to IM Limited, tertanggal 7 Maret 2006. 77 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Drilling Contact Signed-Ironsands-Pig Iron Project, tertanggal 7 Maret 2006. 78 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Drilling Program Commence-Ironsands-Pig Iron ProjectYogyakarta, Indonesia, tertanggal 28 Maret 2006.
70
8. Laporan IM Ltd tentang dimulainya program eksplorasi ke-2 untuk memperoleh status JORC pada 5 Mei 200679. 9. Presentasi singkat tentang proyek (project brief) pada Mei 2006 oleh IM Ltd80. 10. Laporan bantuan IM Ltd. untuk rehabilitasi infrastruktur pascabencana gempa bumi 27 Mei 2006 kepada Pemerintah Propinsi DIY sebesar 100 juta rupiah81. Laporan hasil eksplorasi IM Ltd dan hasil status JORC pada 12 Juli 200682. 11. Laporan IM Ltd. tentang pembiayaan JORC sebesar 30 % oleh PT JM83. 4.3.2. Proses-proses di aras nasional dan lokal Proses-proses di aras nasional dan lokal antara tahun 2006-2010 adalah sebagai berikut: 1) 6 Oktober 2005 79
Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Second Drilling Rig Commence-Ironsands-Pig Iron ProjectYogyakarta, Indonesia, tertanggal 5 May 2006. 80 Isinya antara lain: Anticipated Product Grades Concentrate Ore % Pig Iron % % Fe up to 13 58 to 60 C 1.5 to 2.5 Si 0.5 max TiO2 7 to 9 P 0.1 max V2O5 0.5 to 0.6 S 0.05 max 1.2 to 1.4 SiO2 Ti 0.05 max Al2O3 3.3 to 3.5 S 0.03 to 0.05 V 0.02 max P2O5 0.24 to 0.26 Fe 94 min TiO2, V2O5, SiO2, Al2O3 merupakan senyawa oksida yang akan ikut dalam slug (lumpur limbah) sehingga tidak dihitung sebagai mineral. 81
Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Yogyakarta Earthquake, tertanggal 29 Mei 2006, isinya:
82
Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Inferred Resource-JORC Compliant- Ironsands-Pig Iron Project, Yogyakarta, tertanggal 12 Juli 2006, isinya:
83
Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: IM Earns 30 % Interest- Ironsands-Pig Iron Project, Yogyakarta, tertanggal 28 September 2006, isinya:
71
PT JM mengajukan Surat Permohonan Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi Pasirbesi dan Mineral Pengikutnya kepada Pemda Kabupaten Kulon Progo.
2) 12 Oktober 2005 Pemda Kabupaten Kulon Progo memberikan ijin KP Eksplorasi Bahan Galian Pasir Besi dan Mineral Pengikutnya kepada PT JM, dengan surat No. 008/KPTS/KP/EKPL/X/2005. 3) November 2006 PT JM membentuk anak perusahaan dan bermitra dengan IM. Ltd. (PMA) maka perlu konversi dari Kuasa Pertambangan ke Kontrak Karya (KK) menurut UU. No. 1/1967 dan UU. No.11/1967. PT JM mendapat persetujuan Pencadangan Wilayah dari otoritas tertinggi di Kabupaten Kulon Progo (Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral/ESDM No. 1614 tahun 2004) dengan menyetorkan uang jaminan kesungguhan sebagai syarat mendapat Persetujuan Prinsip Aplikasi KK (Keputusan Menteri ESDM No. 1603/40/MEM/2003). 4) 19 - 20 April 2007 Pemerintah RI dan PT JM/IM Ltd. melakukan rapat pembahasan KK di Hotel MP Yogyakarta. 5) 26 Juni 2007 Departemen/instansi terkait di Pemerintahan Pusat, Provinsi, dan Kabupaten (interdepartemen) merundingkan Aplikasi KK di Hotel BK Jakarta. 6) 6 dan 12 Oktober 2007 PT JM dan lembaga swapraja melakukan sosialisasi dengan kepala desa di seluruh Kabupaten Kulon Progo. Pihak lembaga swapraja dan sekaligus komisaris PT JM
mengungkapkan bahwa proyek
pertambangan merupakan amanat HB IX pada tahun 199384 kepada 84
Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX wafat tahun 1988. Catatan Harian Penelitian Relasi Kekuasaan atas SDA, 20 April 2010 :
Terkait dengan temuan rekaman video itu, saya menggali pendapat beberapa pengurus PAGUYUBAN. Berikut pendapat Pak SR (40): “Bukti itu justru menjelaskan bahwa proyek
72
putra mahkota. Pertemuan ini terdokumentasi secara audio visual. 6 hari kemudian
Pemda
Kabupaten
Kulon
Progo
memberikan
ijin
perpanjangan kedua Eksplorasi Bahan Galian Pasir besi dan Mineral pengikutnya (hasil eksplorasi awal: Titanium dan Vanadium) kepada PT. JM No : 15/KPTS/KP/EKPL/X/2007. 7) 29 November 2007 Pemda melakukan sosialisasi Rencana Pengembangan Kawasan Pantai Selatan untuk guru-guru se-Kawasan Pantai Selatan di Gedung Kc Kantor Kabupaten Kulon Progo. 8) 01 Desember 2007 Pemda melakukan sosialisasi Rencana Pengembangan Kawasan Pantai Selatan untuk Perangkat Desa se-Kawasan Pantai Selatan di Gedung Kc Kulon Progo. 9) 5 Desember 2007 Bupati dan Tim Perunding Kabupaten. Kulon Progo melakukan Kunjungan Kerja ke PT. KS dan Pemerintah Kota Cilegon dalam rangka persiapan pembangunan pabrik pengolahan besi baja di Kabupaten Kulon Progo. 10) 6 Desember 2007 Pemda melakukan audiensi dengan Fraksi DPR-RI di Gedung Nusantara Lt. 7 Jakarta. 11) 13 Desember 2007 Direktorat Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi dan PT.JM/IM Ltd. melakukan penjelasan kemajuan KK di Hotel Sph Yogyakarta. 12) 15 Desember 2007 Bupati Kulon Progo berkirim surat ke Komisi VII DPRRI tentang Dana Community Development dan Regional Development dalam Naskah KK antara Pemerintah RI dengan PT. JM/IM Ltd. pasir besi bukan berasal dari agenda pembangunan, seperti yang disosialisasikan pemerintah selama ini. Sudah jelas itu kepentingan pribadi yang mengatasnamakan pembangunan. Tetapi kemudian menjadi kepentingan banyak pihak di tingkat pusat, skandal kejahatan perundang-undangan Perda RTRW itu buktinya”
73
13) 19 Januari 2008 Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan PT. JM/IM Ltd. menjalin kesepakatan tentang persentase dana Community Development dan Regional Development yaitu sebesar 1,5 % dari penjualan untuk sepuluh tahun pertama dan 2 % setelah tahun kesepuluh. 14) 23 Januari 2008 Bupati mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi berisi permintaan penambahan dana untuk Regional Development dan Community Development sesuai kesepakatan dengan PT. JM/IM Ltd. 15) 29 Januari 2008 Pemda Kabupaten Kulon Progo menerbitkan Surat ijin lokasi kepada PT. JM untuk Proyek Percontohan & Pusat Studi Tenaga Kerja Pertambangan di Desa Banaran Galur, dengan SK. Bupati No. 23 Tahun 2008. 16) 28 Februari 2008 Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batubara berkirim surat kepada PT. JM/IM Ltd. Ttg agar memenuhi permintaan Pemda Kulon Progo untuk. penambahan dana Regional Development dan Community Development. 17) 25 Juni 2008 PT JM melakukan sosialisasi pertambangan pasir besi kepada akademisi, organisasi masyarakat, dan kemahasiswaan di Yogyakarta. 18) Juli 2008 PT JM melakukan sosialisasi dan koordinasi untuk stabilitas keamanan operasional proyek pertambangan kepada korps militer distrik Kabupaten Kulon Progo85. 85
Catatan Harian Penelitian, Relasi Kekuasaan atas SDA, 20 April 2010, TJ (32): “Seperti yang sudah kami duga, kami akan dihadapkan dengan aparat bersenjata. Ya, kalau itu memang kemauan pemerintah, apa boleh buat. Mereka memaksa kami untuk melawan. Wong tani iku pakaryane nandur, yen awakdewe dipenging nandur lombok, wong tani arep nandur sopowae sing menging wong tani nandur lombok, yen ora nandur dudu tani arane ( petani itu kerjanya menanam, kalau kami dilarang untuk menanam cabai di pesisir ini, maka kami akan tanam siapapun yang melarang kami menanam cabai, karena kalau tidak menanam bukan petani namanya).”
74
19) 4 November 2008 Pemerintah RI melalui Menteri ESDM melakukan Kontrak Karya dengan PT JM/IM Ltd. di Jakarta 20) 22 Juni 2009 Raperda RTRWP DIY ditetapkan dalam sidang paripurna DPRD DIY dan Gubernur, memuat 129 pasal, tanpa pasal pertambangan. 21) Agustus 2009 PT.
JM
mempublikasikan
pemberitahuan
rencana
pelaksanaan
AMDAL. 22) 20 Oktober 2009 Konsultasi Kerangka Acuan-Analisis Dampak Lingkungan (KA ANDAL) dilaksanakan di kantor Pemda Kulon Progo. 23) 13 Januari 2010 Melalui surat bernomor 1/KEP/DPRD/2010, DPRD Kabupaten Kulon Progo menyetujui usulan Bupati untuk perubahan rencana tata ruang wilayah, khususnya kawasan pesisir untuk pertambangan pasir besi. Permohonan Bupati ini tertuang dalam Surat Bupati No 180/3027 tertanggal 11 Desember 2009. 24) 20 Januari 2010 AMDAL PT JM mulai dilaksanakan. 25) 16 Februari 2010 Hasil evaluasi MENDAGRI atas Raperda RTRWP DIY diterbitkan, hasil evaluasi ini mengacu pada Rapera RTRWP DIY yang berjumlah 160 pasal. 26) 4 Maret 2010 Perda No 2 Tahun 2010 tentang RTRWP DIY disahkan oleh Gubernur. Perda ini memuat pasal pertambangan dan berisi 160 pasal.
Proses-proses politik kebijakan di aras nasional hingga komunitas merupakan proses-proses yang dapat diamati perkembangan dan relasinya dengan struktur penguasaan SDA, struktur konflik SDA, dan relasi kekuasaan atas SDA.
75
4.3.3. Proses-proses legalisasi pertambangan pasir besi di Kulon Progo Struktur Penguasaan SDA, Struktur Konflik SDA, dan Relasi Kekuasaan atas SDA terkait proyek pertambangan pasir besi86, sehingga pembahasan terhadap proses-proses tersebut akan memperoleh porsi utama dalam bagian ini. Sumber informasi setempat, SR (40), mengemukakan alur kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dalam kutipan berikut:
“Sedulur-sedulur, tampaknya pemerintah akan menyukseskan proyek tambang besi ini dengan tiga cara. Pertama, yaitu AMDAL untuk menerbitkan ijin lingkungan bagi kontrak karya. Kedua, perubahan perda tata ruang DIY agar bisa menjadi landasan untuk menyusun AMDAL, yang isinya kita sudah mengetahui semua, dan ketiga adalah pengesahan RUUK untuk menjadi UUK DIY sehingga ada jaminan kepastian hukum atas tanah-tanah tak bertuan di seluruh propinsi ini. Sehingga, tampaknya tidak ada jalan lain bagi kita kecuali memperjuangkan pembatalan Perda DIY No 2 tahun 2010 dan RUUK itu. Jika salah satu dari keduanya sukses, maka kita akan segera dipunahkan oleh Pemimpin Swapraja dan kroni-kroninya. Menurut tim analis kita, kontrak karya tidak akan dapat dibatalkan kecuali oleh ESDM dan PT JMI, dan pembatalan sepihak akan merugikan karena si pembatal akan dikenakan denda. Tentu tidak ada yang mau rugi dalam bisnis. Menolak proyek tambang pasir besi adalah satu paket dengan penolakan pada RUUK dan JLS.”
86
Catatan Harian Penelitian, Proses Politik Kebijakan SDA, 1 Mei 2010, SR (40): Saya diundang untuk mengikuti rapat PAGUYUBAN yang sifatnya tertutup, yang membahas hasil analisa tim PAGUYUBAN mengenai strategi kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk meloloskan proyek pertambangan pasir besi dan proyek-proyek industri lainnya. Hasil pembahasan ini akan disampaikan ke forum PAGUYUBAN secara terbuka setelah permasalahan dianggap dapat disampaikan secara sederhana. Pada rapat tertutup inilah saya memperoleh kutipan tersebut dari SR (40).
76
Proses-proses politik kebijakan yang terkait dengan Struktur Penguasaan SDA, Struktur Konflik SDA, dan Relasi Kekuasaan atas SDA tersebut adalah: A. Kontrak Karya Kontrak karya antara Pemerintah RI dengan PT. JM dan IM Ltd. dilakukan pada 4 November 2008, mendahului penerbitan UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang disahkan pada 12 Januari 2009. UU tersebut mengakhiri mekanisme Kontrak Karya dalam industri pertambangan di Indonesia yang telah berlangsung sejak 1967. Mekanisme kontrak karya ditempuh karena menurut UU No 11 Tahun 1967 perusahaan asing tidak diperbolehkan mempunyai kuasa pertambangan di dalam negeri secara langsung, dan kekuasaan untuk melakukan kerjasama dengan perusahaan asing berada pada pemerintah pusat. Kontrak karya mengacu pada hukum pejanjian, sehingga tidak dapat dibatalkan kecuali oleh Kementerian ESDM , PT. JM dan IM Ltd. Kontrak karya dapat dijalankan jika ijin lingkungan telah diterbitkan melalui mekanisme AMDAL. Butir-butir kontrak karya yang penting adalah sebagai berikut (denah lokasi Gambar 10) : Masa operasi
: 30 tahun
Luasan
: 2.987 Ha (22 x 1,8 km)
Investasi
: 1,7 M US$., 600 Juta US$ untuk Penambangan dan 1,1 M US $ untuk Infrastruktur
Pajak
: 20 Juta US $ per tahun
Pendanaan Lokal
: 7 Juta US $ per tahun selama 10 tahun dan selanjutnya 2 persen.
Royalti
: 11,25 Juta US $ per tahun
Penambangan
: 2011
Produksi besi
: 2012
Volume
: 1 juta ton per tahun.
Rasio investasi
: JM 30% dan IM Ltd. 70 %.
Sebelum operasional, investor mempunyai masa penyelidikan umum selama 1 tahun, perpanjangan 1 tahun. Masa eksplorasi 3 tahun dengan 2 kali
77
p perpanjanga an masing-m masing 1 tahun. Selaanjutnya, m masa studi kelayakan t termasuk AMDAL A selaama 1 tahuun, dengan perpanjangaan 1 tahun dan masa k konstruksi seelama 3 tahuun.
Area pertambangan 222 x 1,8 km2
Gam mbar 10. Lokkasi Konsesii Pertambangan Pasir Beesi Di Kabupaten Kuulon Progo DIY D
B. Anaalisis Mengeenai Dampakk Lingkungaan (AMDAL L) AMDA AL merupakkan mekanissme hukum untuk peneerbitan ijin lingkungan l s suatu usaha yang berdaampak besarr dan pentinng87, dalam hal ini adalah proyek p pertambanga an pasir beesi. Pengum muman pelaaksanaan A AMDAL oleeh PT JM d dilakukan paada Agustus 2009, Konssultasi publik k KA ANDA AL pada Okttober 2009, d pelaksaanaan studi ANDAL dan A muulai Januari 2010. Dokuumen AMD DAL, RKL, d UPL dipputuskan layyak oleh Gubbernur (di tinngkat daerahh) atau Kepaala Bapedal dan ( tingkat pusat) jika memenuhi persyaratann yaitu 1) aada kesesuaiian proyek (di d dengan renccana tata ruaang wilayah, 2) dampak negatif terhadap lingkun ngan dapat d ditanggulang gi oleh teknnologi yangg tersedia, 3) 3 biaya pennanggulangaan dampak l lebih kecil daripada d mannfaat dampakk positif pro oyek, 4) ada konsistensi rancangan, 8 87
Dasar hukum m AMDAL adaalah Peraturan Pemerintah Noo 27 Tahun 1999 tentang AM MDAL.
78
jenis proyek, luasan proyek, dan tidak terdapat perubahan mendasar pada lingkungan di mana proyek dilaksanakan88. Proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo termasuk sebagai proyek yang dinilai berdampak penting menurut Keputusan Kepala Bapedal No 56 Tahun 199489, sehingga merupakan usaha yang wajib mempunyai dokumen AMDAL baik menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 11 Tahun 2006 maupun PP No 27 Tahun 199990. Suatu dokumen AMDAL pada dasarnya dinilai layak jika memenuhi kelayakan ekonomi dan lingkungan, serta kesesuaian jenis proyek dengan peruntukan tata ruang di mana proyek tersebut akan dilaksanakan91.
88
Dasar hukumnya adalah PP No 27 Tahun 1999 pasal 22, pasal 25, dan pasal 26.. Dampak penting adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha atau kegiatan; Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 1982, menyatakan bahwa setiap rencana kegiatan yang diperkirakan akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan AMDAL. Dampak penting suatu usaha atau kegiatan menurut Penjelasan Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 1982, dan Pasal 2 dan Pasal 3 PP Nomor 51 Tahun 1993 ditentukan oleh faktor-faktor berikut: a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak, b. Luas wilayah persebaran dampak, c. Lamanya dampak berlangsung, d. Intensitas dampak, e. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak, f. Sifat kumulatif dampak, g. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak.
89
90
PP No 27 Tahun 1999, Pasal 3: (1) Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan padat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi : a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan atau perlindungan cagar budaya; f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik; g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; h. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup; i. Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi, dan/atau mempengaruhi pertahanan negara. 91 PP No 27 Tahun 1999 Pasal 16: (4) Instansi yang bertanggung jawab wajib menolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan.
79
C. Perubahan RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan landasan bagi pelaksanaan studi AMDAL, baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota. Sifat RTRW adalah berhierarki, artinya RTRWN menjadi payung bagi RTRWP, dan RTRWP menjadi payung bagi RTRWK. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2008 pasal 892, Raperda RTRWP DIY 2009-2029 baru dapat ditetapkan oleh Pemda setelah memperoleh persetujuan substansi teknis dari instansi pusat yang membidangi tata ruang. Raperda RTRWP DIY 2009-2029 ditetapkan oleh Gubernur dan DPRD DIY pada 22 Juni 2009, dan menurut Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2005
92
Pasal 5 Gubernur dibantu BKPRD Provinsi mengoordinasikan penyusunan rancangan perda RTRWP dan RTR Kawasan Strategis Provinsi, dengan memperhatikan RTRWP yang berbatasan, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN. Bupati/Walikota dibantu BKPRD Kabupaten/Kota mengoordinasikan penyusunan rancangan perda RTRWK/K, RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan RDTR Kabupaten/Kota, dengan memperhatikan RTRWK/K yang berbatasan, RTRWP, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN.
KONSULTASI RANCANGAN PERDA Bagian Kesatu Konsultasi Rancangan Perda Provinsi Pasal 6 Gubernur mengkonsultasikan rancangan perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) kepada instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang yang dikoordinasikan oleh BKTRN. Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) guna mendapatkan persetujuan dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang. Pasal 7 Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 menyangkut substansi teknis rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi, untuk disesuaikan dengan RTR Pulau/Kepulauan dan RTRWN. Materi konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi beserta lampirannya. Lampiran rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa : dokumen RTRWP dan album peta; dan dokumen RTR Kawasan Strategis Provinsi dan album peta. Pasal 8 Konsultasi atas substansi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dilakukan sebelum rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi disetujui bersama DPRD. Pasal 9 Persetujuan dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) menjadi bahan Menteri Dalam Negeri dalam melakukan: evaluasi terhadap rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi; dan klarifikasi terhadap perda tentang RTRWP dan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi yang telah ditetapkan.
80
pasal 3993 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2008 pasal 1494, Raperda RTRWP DIY 2009-2029 seharusnya diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk proses evaluasi selambat-lambatnya pada 25 Juni 2009 (3 hari sejak Raperda ditetapkan), dan proses evaluasi Raperda RTRWP DIY 2009-2029 oleh Menteri Dalam Negeri selambat-lambatnya selesai pada 10 Juli 2009 (15 hari sejak Raperda diterima). Perda No 2 Tahun 2010 tentang RTRWP DIY disahkan oleh Gubernur pada 4 Maret 2010. Perda ini memuat perubahan substansi dengan Raperda RTRWP DIY yang telah disahkan, perubahan substansi ini tidak melibatkan DPRD DIY 2009-2014 (Kompas, 21 April 2010). Perubahan substansi tersebut95 berupa: 1) Penghilangan pasal Raperda: pasal 1 (13), 11, 37, 39, 55, 102, dan 115, 2) Perubahan bunyi pasal Raperda menjadi Perda: pasal 38 (2) menjadi pasal 36 (3), pasal 42 menjadi pasal 39, dan pasal 95 menjadi pasal 97, 3) Penambahan pasal Perda: pasal 1 (22) (27) (41) (42), 52, 53, 54, 58, 59, 60, dan 79, dan 4) Penambahan dengan perubahan bunyi pasal Perda: dari pasal 114 sampai dengan pasal 160.
93
PP No 79 Tahun 2005 Pasal 39, Raperda tentang Rencana Tata Ruang disampaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD (ayat 1). Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi Raperda tentang Rencana Tata Ruang (ayat 2). Evaluasi Raperda dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterima rancangan oleh Menteri Dalam Negeri. 94 Permendagri No 28 Tahun 2008 Pasal 14 (1) Rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi yang telah disetujui bersama DPRD sebelum ditetapkan oleh Gubernur, paling lambat 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi. (2) Penyampaian rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan lampiran rancangan perda dan surat persetujuan dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang. (3) Hasil evaluasi dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan disampaikan kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan perda dimaksud. (4) Gubernur menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan melaporkan hasilnya kepada Menteri Dalam Negeri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya Keputusan Menteri Dalam Negeri. 95 Tabel perbandingan Raperda RTRWP DIY hasil paripurna (129 pasal) dan Raperda RTRWP DIY yang diajukan ke Menteri Dalam Negeri (160 pasal) disajikan lampiran.
81
Raperda RTRWP DIY 2009-2029 yang ditetapkan oleh Gubernur dan DPRD DIY memuat 129 pasal, sedangkan Perda No 2 Tahun 2010 tentang RTRWP DIY 2009-2029 memuat 160 pasal. Hasil evaluasi Raperda RTRWP DIY 2009-2029 oleh Menteri Dalam Negeri ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 650-46 Tahun 2010 tertanggal 16 Februari 201096. Hasil evaluasi ini tidak mengacu pada Raperda RTRWP yang ditetapkan oleh Gubernur dan DPRD DIY karena memuat materi evaluasi untuk pasal 149 dan 150. Menurut konsideran Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, persetujuan substansi atas Raperda RTRWP DIY 20092029 dituangkan dalam Surat Menteri Pekerjaan Umum kepada Gubernur Nomor HK.01.03-Mu/487 tertanggal 31 Agustus 2009 dan Surat Menteri Kehutanan kepada Gubernur Nomor S.932/Menhut-VII/2009 tertanggal 11 Desember 2009. Perda No 2 Tahun 2010 Pasal 60 ayat 2 huruf b nomor 2) berbunyi Kawasan pesisir pantai selatan untuk pertambangan pasir besi, di Kecamatan Wates, Panjatan, dan Galur. Pasal ini menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan AMDAL yang ditargetkan selesai Oktober 201097. 96
Dokumen terlampir Paragraf 3 Kawasan Peruntukan Pertambangan Pasal 58 Kebijakan penetapan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) huruf c memanfaatkan potensi sumber daya mineral, batu bara dan panas bumi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Pasal 59 Strategi untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sebagai berikut: a. mengoptimalkan kawasan peruntukan pertambangan; b. menghindari perubahan fungsi lahan; c. mengembangkan pengelolaan kawasan dengan potensi sumber daya mineral, batu bara dan panas bumi secara optimal dengan memperhatikan daya dukung lingkungan. Pasal 60 Arahan penetapan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 58 sebagai berikut : (1) Kegiatan pemanfaatan sumber daya mineral batu bara dan panas bumi dapat dilakukan di: a. kawasan lindung bawahan, kawasan lindung setempat dan kawasan rawan bencana alam; dan b. kawasan pertanian, kawasan pariwisata, kawasan permukiman perdesaan, kawasan industri, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. (2) Penetapan kawasan peruntukan pertambangan di : a. Kabupaten Gunungkidul untuk pertambangan batu kapur di Kecamatan Ponjong, Panggang, dan untuk pertambangan kaolin di Kecamatan Semin; b. Kabupaten Kulon Progo yaitu :
97
82
D. RUUK DIY Substansi RUUK DIY yang terkait kepentingan terhadap sumber daya alam adalah sistem politik dan struktur penataan ruang dan sumber-sumber agraria. Sistem politik tersebut adalah : a) Penetapan Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakil Gubernur, mengacu pada UU No 22 Tahun 1948 dan UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sistem politik ini diusulkan dalam naskah RUUK DIY versi Pemerintah Propinsi DIY. b) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung. Sistem politik ini diusulkan dalam naskah RUUK DIY versi Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM dan Dewan Perwakilan Daerah. c) Penempatan Sultan dan Paku Alam sebagai lembaga (paradhya) yang berwenang: 1) Memberikan
arahan
umum
kebijakan
dalam
penetapan
kelembagaan Pemda Provinsi, kebudayaan, serta pertanahan dan penataan ruang; 2) Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui
bersama
oleh
DPRD
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta dan Gubernur; 3) Memberikan rekomendasi untuk penindakan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang melakukan penyimpangan; 4) Memberikan persetujuan terhadap rencana pinjaman daerah sebelum diajukan ke Pemerintah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; 5) Memberikan persetujuan dalam hal Pemda Provinsi bermaksud menerbitkan obligasi daerah; dan
1) Perbukitan Menoreh untuk pertambangan emas di Kecamatan Kokap, mangaan di Kecamatan Kokap, Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, Nanggulan, Pengasih; dan 2) Kawasan Pesisir Pantai Selatan untuk pertambangan pasir besi di Kecamatan Wates, Panjatan dan Galur. c. Kabupaten Sleman untuk pertambangan pasir di Kecamatan Pakem dan Minggir.
83
6) Memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemda Provinsi dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat. d) Penempatan Sultan dan Paku alam sebagai pejabat (paradhya) yang berhak: 1) Menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Kewenangan Istimewa; 2) Mendapatkan seluruh informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan; 3) Mengusulkan perubahan dan/atau penggantian Perdais; 4) Mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur setelah diputuskan oleh badan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajibannya, tidak lagi memenuhi syarat, dan/atau melanggar larangan sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur; 5) Memperoleh pelayanan dan dukungan administrasi. 6) Mengajukan pertanyaan kepada Pemda Provinsi dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di bidang kelembagaan Pemda Provinsi, kebudayaan serta pertanahan dan penataan ruang; 7) Mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota di bidang kebudayaan serta pertanahan dan penataan ruang; dan memiliki hak imunitas; protokoler setingkat Menteri; dan keuangan. e) Pengaturan kewajiban Gubernur dan DPRD DIY untuk: 1) Melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam UndangUndang tentang Pemerintahan Daerah; 2) Mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Parardhya; dan 3) Melakukan konsultasi dengan Parardhya untuk urusan-urusan: pengusulan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur;
84
penetapan kelembagaan Pemda Provinsi; bidang kebudayaan; dan bidang pertanahan dan penataan ruang. f) Struktur agraria yang diatur dalam RUUK DIY adalah: 1) Penetapan lembaga swapraja sebagai Badan Hukum Kebudayaan yang mempunyai hak milik atas Sultanaat Ground (SG) dan Paku Alamanaat Ground (PAG). 2) Pengaturan hak milik, tata guna, pemanfaatan, dan pengaturan atas SG dan PAG melalui Perdais. Ketidakpastian hukum atas tanah di Propinsi DIY adalah kendala bagi proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo. DPR RI telah didorong oleh Pemerintah Propinsi DIY dan lembaga swapraja untuk mengesahkan RUUK sejak 2007, agar ketidakpastian hukum atas tanah itu dapat diakhiri dengan penetapan seluruh tanah tidak bertuan di DIY sebagai hak milik lembaga swapraja. Dalam konteks penelitian ini, proses politik kebijakan SDA di Kabupaten Kulon Progo berupa 1) Kontrak Karya sebagai wujud kepentingan ekonomi politik terhadap SDA berbentuk proyek pertambangan, 2) AMDAL untuk penerbitan ijin lingkungan bagi Kontrak Karya, 3) Perubahan Rencana Tata Ruang Propinsi sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan AMDAL, dan 4) RUUK DIY sebagai penjamin kepastian hukum atas tanah dan kontrol pengelolaan SDA melalui sistem politik. Alur proses politik kebijakan SDA di lokasi penelitian di aras nasional hingga komunitas disajikan dalam Gambar 11, dan proses kebijakan SDA di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 8. Governmentality berada pada kepentingan ekonomi politik neoliberal yang bekerja di level internasional, nasional, dan lokal. Kepentingan ekonomi politik tersebut masuk melalui mekanisme yang diatur oleh produk hukum atau narasi yang mengikat secara hukum dan memperoleh legitimasinya sebagai kebijakan. Di aras internasional narasi tersebut adalah 1) Brundtland Report 1987 yang menjadi landasan bagi pembangunan berkelanjutan, 2) Washington Consensus 1989 yang menjadi landasan bagi pelaksanaan desentralisasi, dan 3) Letter of Intent (LoI) IMF yang menjadi landasan bagi perubahan kebijakan fiskal dan struktural.
85
Brundtland Report 1987 merupakan kelanjutan dari Club of Rome 1972 (Limit to Growth) yang melahirkan konsep baru mengenai pembangunan berkelanjutan. Pembangunan didefinisikan oleh The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) sebagai: “The modification of the biosphere and the application of human, financial, living and non-living resources to satisfy human needs and improve the quality of human life . . . For development to be sustainable it must take account of the social and ecological factors as well as economic ones: of the living and nonliving resource base, and of the long-term as well as the short-term advantages and disadvantages of alternative actions” (The World Conservation Strategy 1980, dipublikasikan oleh IUCN).
Definisi Pembangunan Berkelanjutan menurut Brundtland Report 1987 adalah: “Sustainable development is meeting the needs of the present without compromising the ability of future generations to develop.” (Our Common Future dipublikasikan oleh The UN World Commission on Environment and Development). Pembangunan berkelanjutan diadopsi oleh UU No 23 Tahun 1997 dan UU No 32 Tahun 200998 dan menjadi paradigma baru dalam pembangunan di Indonesia. Penerjemahan teknisnya adalah pelaksanaan AMDAL bagi proyekproyek berdampak penting untuk memenuhi kelayakan ekonomi dan lingkungan. Desentralisasi di Indonesia bermula dari pokok-pokok pikiran Washington Consensus. Washington Consensus pertama kali dirumuskan oleh John Williamson pada 1989, dan merupakan kesepakatan bersama 3 lembaga yaitu 98
UU No 23 Tahun 1997, Pasal 1, Ketentuan Umum, nomor 3: Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan; UU No 32 Tahun 2009, Pasal 1, Ketentuan Umum, Nomor 3: Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
86
World Bank, IMF, dan Dapartemen Keuangan AS, memuat 10 kebijakan reformasi99 bagi negara berkembang (Third World) pascaperang dingin dan apartheid, yaitu: 1)
Disiplin fiskal
2)
Penataan kembali prioritas belanja publik
3)
Reformasi pajak
4)
Laju liberalisasi kepentingan
5)
Laju pertukaran matauang yang kompetitif
99 The story started in the Spring of 1989 when I (John Williamson) was testifying before a Congressional committee in favor of the Brady Plan (Williamson, 2004). 1. Fiscal Discipline. This was in the context of a region where almost all countries had run large deficits that led to balance of payments crises and high inflation that hit mainly the poor because the rich could park their money abroad. 2. Reordering Public Expenditure Priorities. This suggested switching expenditure in a progrowth and propoor way, from things like nonmerit subsidies to basic health and education and infrastructure. It did not call for all the burden of achieving fiscal discipline to be placed on expenditure cuts; on the contrary, the intention was to be strictly neutral about the desirable size of the public sector, an issue on which even a hopeless consensus-seeker like me did not imagine that the battle had been resolved with the end of history that was being promulgated at the time. 3. Tax Reform. The aim was a tax system that would combine a broad tax base with moderate marginal tax rates. 4. Liberalizing Interest Rates. In retrospect I wish I had formulated this in a broader way as financial liberalization, stressed that views differed on how fast it should be achieved, and— especially—recognized the importance of accompanying financial liberalization with prudential supervision. 5. A Competitive Exchange Rate. [ I have seen it asserted that a competitive exchange rate is the same as an undervalued rate. Not so; a competitive rate is a rate that is not overvalued, i.e. that is either undervalued or correctly valued. My fifth point reflects a conviction that overvalued exchange rates are worse than undervalued rates, but a rate that is nether overvalued nor undervalued is better still.] I fear I indulged in wishful thinking in asserting that there was a consensus in favor of ensuring that the exchange rate would be competitive, which pretty much implies an intermediate regime; in fact Washington was already beginning to edge toward the two-corner doctrine which holds that a country must either fix firmly or else it must float “cleanly”. 6. Trade Liberalization. I acknowledged that there was a difference of view about how fast trade should be liberalized, but everyone agreed that was the appropriate direction in which to move. 7. Liberalization of Inward Foreign Direct Investment. I specifically did not include comprehensive capital account liberalization, because I did not believe that did or should command a consensus in Washington. 8. Privatization. As noted already, this was the one area in which what originated as a neoliberal idea had won broad acceptance. We have since been made very conscious that it matters a lot how privatization is done: it can be a highly corrupt process that transfers assets to a privileged elite for a fraction of their true value, but the evidence is that it brings benefits (especially in terms of improved service coverage) when done properly, and the privatized enterprise either sells into a competitive market or is properly regulated. 9. Deregulation. This focused specifically on easing barriers to entry and exit, not on abolishing regulations designed for safety or environmental reasons, or to govern prices in a non-competitive industry. 10. Property Rights. This was primarily about providing the informal sector with the ability to gain property rights at acceptable cost (inspired by Hernando de Soto’s analysis).
87
6)
Liberalisasi perdagangan
7)
Liberalisasi penanaman modal asing hingga level lokal
8)
Privatisasi
9)
Deregulasi
10)
Property Rights (Kepastian hukum atas Hak Kepemilikan)
Penandatangan LoI antara Pemerintah RI dan IMF pertamakali pada 31 Oktober 1997, pokok-pokok isinya adalah: 1) Penyehatan sektor keuangan; 2) Kebijakan fiskal; 3) Kebijakan moneter; 4) Penyesuaian struktural (diterjemahkan sebagai Reformasi Hubungan Pusat - Daerah dalam hal kewenangan dan keuangan, selanjutnya menjadi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagai prasyarat operasionalisasi kebijakan fiskal dan moneter). Pada 15 Januari 1998 Pemerintah RI dan IMF menandatangani LoI yang ke2, pokok-pokok isinya adalah sebagai berikut: 1) Kebijakan makro-ekonomi a. Kebijakan fiskal b. Kebijakan moneter dan nilai tukar 2) Restrukturisasi sektor keuangan a. Program restrukturisasi bank b. Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan 3) Reformasi struktural a. Perdagangan luar negeri dan investasi b. Deregulasi dan swastanisasi c. Social safety net (Jaringan Pengaman Sosial, JPS) d. Lingkungan hidup (penyusunan UU Lingkungan Hidup yang
baru, pengganti UU No 23 Tahun 1997)
88
UU No 23 Tahun 1997 (terbit 23 September 1997) disusun dalam kerangka sistem politik sentralistik100 (saat itu Indonesia belum menerapkan desentralisasi, karena UU No 22 Tahun 1999 terbit pada 7 Mei 1999). PP No 27 Tahun 1999 (terbit 7 Mei 1999) disusun dalam kerangka sistem politik desentralisasi yang mengubah kewenangan penerbitan ijin dari Menteri Lingkungan Hidup (menurut UU No 23 No 1997) menjadi kepada Kepada Bapedal (di tingkat pusat) atau Gubernur (di tingkat daerah)101. 100
Pasal 11 (1) Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri. (2) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi serta tata kerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Pasal 12 (1) Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat: a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah; b. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 13 (1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya. (2) Penyerahan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20 (1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup. (2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia. (3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri. (4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri. 101
PP No 27 Tahun 1999, Pasal 1 , Ketentuan Umum, nomor 9: Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat pusat berada pada Kepala Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan di tingkat daerah berada pada Gubernur; Pasal 16: (2) Keputusan atas penilaian kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh Iima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2). (3) ApabiIa instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan daIam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rnaka instansi yang bertanggung jawab dianggap menerima kerangka acuan dimaksud. (4) Instansi yang bertanggung jawab wajib rnenolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan.
89
Di aras nasional, produk hukum yang dimaksud adalah 1) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan daerah, 2) UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang mengatur kuasa pertambangan, 3) UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur kaidah-kaidah penyusunan RTRW, dan 4) PP No 27 Tahun 1999 tentang AMDAL yang mengatur kaidah-kaidah penyusunan dan penilaian dokumen AMDAL. Di aras lokal, produk hukum yang dimaksud adalah 1) RUUK DIY, 2) Kepres No 33 Tahun 1984, dan 3) Perda DIY No 34 Tahun 1984. Matriks mengenai materi produk hukum dan implikasinya dalam proses politik kebijakan SDA di Kabupaten kulon Progo disajikan dalam Tabel 9. 4.3.4. Ikhtisar Proses politik kebijakan SDA di lokasi penelitian tidak terlepas dari kepentingan ekonomi politik global yang masuk melalui cara, 1) penyusupan agenda liberalisasi ke dalam produk hukum nasional, yaitu penerbitan UU No 22 Tahun 1999 dan PP No 27 No 1999; 2) pengurangan kekuasaan pemerintah pusat dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah (good governance is less government), baik itu dalam hal penataan ruang maupun pengelolaan SDA, yaitu penerbitan UU No 26 Tahun 2007 dan PP No 27 Tahun 1999 sebagai turunan UU No 23 Tahun 1997; 3) pemanfaatan ketidakpastian hukum dalam kewenangan dan tanggungjawab pemerintah, yaitu penerapan kontrak karya (UU No 11 Tahun 1967) di era yang sudah tidak memberlakukannya lagi (UU No 4 Tahun 2009) dan penerapan dualisme politik agraria di DIY. Di aras nasional, kontrak karya ditandatangani setelah kesepakatankesepakatan bisnis interkorporasi memperoleh kepastian hukum di aras Pasal 20 (1) Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 19 ayat (2), dalam jangka waktu selarnbat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 18 ayat (2). (2) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dianggap layak lingkungan.
90
internasional, artinya pemerintah pusat adalah pihak yang tiba-tiba menerima hasil kesepakatan tersebut tanpa dilibatkan dalam proses yang mendahuluinya. Mekanisme ini memungkinkan untuk terjadi karena kontrol dan tangungjawab pemerintah pusat terhadap agenda ekonomi politik SDA di daerah ditiadakan oleh UU 32 Tahun 2004 (hanya 6 bidang yang menjadi wewenang pusat). Akan tetapi, pada saat penentuan kontrak karya, pemerintah pusat dilibatkan sebagai mitra bisnis pada proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo. Dua hal yang sesungguhnya menunjukkan inkonsistensi wewenang dan tanggungjawab pemerintah. Di aras lokal, keterlibatan masyarakat tidak diupayakan oleh pengambil kebijakan sejak rencana pertambangan itu baru pada taraf proses penerbitan ijin kuasa pertambangan (2006). Pengabaian ini terus berlangsung hingga penerbitan proses penerbitan Perda No 2 Tahun 2010 yang mengatur RTRWP DIY 20092029 oleh Gubernur , termasuk pengabaian terhadap peran DPRD. Proses politik kebijakan SDA di lokasi penelitian merupakan cerminan dari 1) struktur kekuasaan empirik, artinya pengambilan keputusan atas suatu bentuk pengelolaan SDA di suatu daerah merupakan mata rantai dari keputusankeputusan dari kekuatan-kekuatan tidak tampak, dalam hal ini adalah TNC dan lembaga finansial internasional, yang telah lama bekerja di aras nasional, 2) ketidakpastian wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan SDA berikut dampaknya, 3) jalur hukum merupakan mekanisme yang lentur (flexible) bagi penyesuaian-penyesuaian kepentingan utama pengelolaan SDA, yaitu komoditisasi SDA.
91
Proses Politik Kebijakan SDA Nasional Kontrak bisnis antara : Australia Kimberly Diamond (AKD), JMM, Krakatau Steel
Kontrak Karya : Indo Mines, JMI, Pemerintah RI
Proses Penerbitan Ijin Lingkungan, Kesesuaian zonasi Kepastian hukum atas tanah,
Perubahan nama: JMM menjadi JMI AKD menjadi Indo Mines
Sosialisasi JMI ke: Militer, Perangkat Desa, Akademisi, Ormas
RUUK DIY, AMDAL, Perda RTRW
2005-2006 Internasional
2008
2009-2010
Operasional
2011
Lokal dan Komunitas
Gambar 11. Alur Proses Politik Kebijakan SDA Di Lokasi Penelitian.
92
Tabel 8. Proses Politik Kebijakan SDA Di Lokasi Penelitian Aras Internasional
Nasional
Propinsi
Kabupaten
Komunitas
Aktor Korporasi TNC dan Lokal (TNC-L)
Aktivitas dan Waktu Peristiwa Perjanjian bisnis, 2005
Tujuan Industri ekstraksi mineral
Korporasi TNC-L dan Pemerintah RI (ESDM) Pemerintah Daerah dan BKPRN
Kontrak Karya , 2008
Industri ekstraksi mineral
Swapraja dan Pemerintah Pusat Korporasi Lokal dan Swapraja Swapraja dan Pemerintah Daerah Korporasi TNC-L dengan Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Propinsi Pemerintah Daerah dan Korporasi Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten Swapraja dan Seluruh Kepala Desa Korporasi dan Militer Korporasi dan Masyarakat di luar kawasan
Penatanaan Ruang Propinsi, 2009-2010 Legalisasi RUU K DIY, 2007 Investasi, 2005 RUUK DIY, 2007 AMDAL, 2010
Penyesuaian RTRWP untuk Proyek Pertambangan Kepastian Hukum atas Tanah Swapraja Penanaman modal Kepastian Hukum atas Tanah Swapraja Penerbitan ijin Lingkungan
Pengesahan RTRWP DIY, 2010 Ijin Kuasa Pertambangan ,2006 Penyesuaian RTRWK, 2010 Sosialisasi proyek, 2007 Sosialisasi proyek, 2008 Sosialisasi proyek, 2008
Korporasi dan Organisasi Masyarakat
Sosialisasi proyek, 2008
Korporasi dan Akademisi
Sosialisasi proyek dan MoU Reklamasi pascaoperasi, 2008
Landasan hukum bagi AMDAL Pendapatan Asli Daerah Landasan hukum bagi AMDAL Perolehan dukungan politik Perolehan dukungan stabilitas keamanan Perolehan dukungan terhadap proyek secara sosial Perolehan dukungan terhadap proyek secara sosial Perolehan dukungan otoritas ilmiah terhadap proyek
Pemerintah Daerah dan Masyarakat terdampak Pemerintah Daerah Propinsi dan Masyarakat terdampak
Sosialisasi AMDAL, 2009 Sosialisasi perubahan RTRWP, 2009
Perolehan dukungan terhadap proyek secara sosial Perolehan dukungan terhadap RTRWP secara sosial
93
Pemerintah Daerah Kabupaten dan Masyarakat terdampak Swapraja dan Masyarakat terdampak
Sosialisasi perubahan RTRWK, 2010
Korporasi dan Masyarakat terdampak
Sosialisasi Kontrak Karya, 2008
Sosialisasi Magersari, 2008
Perolehan dukungan terhadap zonasi kawasan secara sosial Perolehan dukungan terhadap tanah swapraja secara sosial Perolehan dukungan terhadap proyek secara sosial
94
Tabel 9. Perbandingan Materi Produk Hukum dan Implikasinya dalam Proses Politik Kebijakan SDA Di Lokasi Penelitian Aras
Internasional
Substansi
Dasar Hukum
Aturan
Desentralisasi
Washington Consensus 1989
10 Reformasi kebijakan untuk liberalisasi
Pembangunan Berkelanjutan
Brundtland Report 1987
Definisi Pembangunan Berkelanjutan
Kebijakan fiskal dan struktural
LoI IMF 17 Oktober 1997-14 Mei 1999
Paket kebijakan IMF dibidang sistem politik dan lingkungan hidup
Otonomi Daerah
UU No 32 Tahun 2004
Pasal 10, Pasal 13, Pasal 14
UU No 11 Tahun 1967
Pasal 15
UU No 4 Tahun 2009
Pasal 169
UU No 32 Tahun 2009
Pasal 36
PP No 27 Tahun 1999
Pasal 16, Pasal 20
UU No 26 Tahun 2006
Pasal 10
Kontrak Karya Nasional
Ijin Lingkungan
RencanaTataRuang Wilayah Propinsi
Implikasi Liberalisasi ekonomi membutuhkan prasyarat berupa sistem politik yang sesuai, yaitu sistem otonomi daerah. Kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologi mendapat porsi yang sama dalam pembangunan. Efisiensi pertumbuhan ekonomi dicapai melalui desentralisasi. Reformasi kebijakan fiskal menuntut reformasi kebijakan politik dan lingkungan. Selain 6 urusan pemerintahan pusat, urusan pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah daerah (propinsi pengemban fungsi administratif, kabupaten pengemban fungsi eksekutif) Kontrak Karya dalah mekanisme hukum untuk investasi di sektor pertambangan. Mekanisme Kontrak karya setelah tahun 2009 dihapuskan. Kontrak karya sebelum penerbitan UU masih berlaku. Ijin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Di tingkat daerah, kelayakan suatu dokumen AMDAL ditentukan oleh kemauan politik Gubernur. Penyusunan RTRW daerah menjadi kewenangan pemerintah daerah.
95
Lokal*
Kepastian hukum atas tanah dan sistem politik
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2008
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 14
RUUK DIY
Pasal 5, Pasal 9, Pasal 21
UU No 32 Tahun 2004
Pasal 56, Pasal 58, Pasal 226
UU No 22 Tahun 1999
Pasal 34
UU No 5 Tahun 1960
Pasal 58, Ketentuan konversi, Pasal IX, Diktum ke 4
Persetujuan substansi oleh Menteri PU dilakukan sebelum Raperda ditetapkan. Hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri wajib ditindaklanjuto oleh Gubernur bersama DPRD. Penyusunan Perda secara sepihak oleh Gubernur adalah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Swapraja memiliki hak milik atas tanah SG dan PAG, dan memiliki wewenang untuk menetapkan kelembagaan pemerintah daerah propinsi, penataan agrarian dan ruang, dan Gubernur dipilih secara langsung . Kepala Daerah dipilih secara langsung dan pembatasan masa jabatan 5 tahun dalam 2 kali periode. Keistimewaan sebagaimana dimaksud UU No 22 Tahun 1999 adalah tetap dengan ketentuan penyelenggaraan pemerintahan menurut UU 32 Tahun 2004. Tidak diatur penetapan Gubernur. Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan dilantik oleh Presiden, masa jabatan 5 tahun. Untuk 2 kali periode. Keistimewaan sebagaimana dimaksud UU No 5 Taun 1974 adalah tetap dengan ketentuan penyelenggaraan pemerintahan menurut UU 22 Tahun 1999. Swapraja tidak memiliki hak atas tanah, hak atas tanah tidak bertuan beralih kepada negara.
Keterangan: Lokal* : Aras Propinsi, Kabupaten, dan Komunitas
96
4.4. Struktur Konflik SDA
Struktur konflik SDA di lokasi penelitian bersifat 1) multiaras, yaitu berlangsung di aras kekuasaan; kebijakan; dan komunitas; 2) multiaktor, yaitu melibatkan pemerintah; masyarakat; dan swasta; 3) multimateri, yaitu meliputi persoalan agraria; proyek; penataan ruang; dan kebijakan lingkungan; 4) multiarena, yaitu berlangsung pada arena hukum; politik; ekonomi; sosial; dan budaya; 5) manifest (mengemuka) dan laten (tersembunyi); dan 6) dinamis, yaitu temporal (terhenti atau berlangsung sementara) dan perennial (berlangsung terus menerus). Struktur konflik SDA di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 10.
4.4.1. Aras konflik 1.
Aras Kekuasaan
Di aras kekuasaan, konflik otoritas interpihak berlangsung untuk mengendalikan klaim kebenaran dan rule of the game baik yang dilakukan di wilayah kebijakan maupun komunitas.
Struktur Penguasaan SDA, Kontrak
Karya, Ijin Kuasa Pertambangan, Proyek Pertambangan, dan Partisipasi Publik adalah materi konfliktual di aras kekuasaan yang dikelola melalui rule of the game. Struktur penguasaan SDA merupakan materi konflik antara lembaga swapraja dan Pemerintah Pusat, ini merupakan konflik hukum antara UU No 5 Tahun 1960 dengan Rijksblad Swapraja 1918. Kontrak Karya merupakan materi konflik antara Pemerintah Pusat dan Masyarakat, ini merupakan konflik hukum antara UU No 11 Tahun 1967 dengan UU No 4 Tahun 2009. Ijin Kuasa Pertambangan merupakan materi konflik antara Pemda Kabupaten dengan Masyarakat, ini merupakan materi konflik UU No 11 Tahun 1967 dengan UU 32 Tahun 2009. Proyek pertambangan merupakan materi konflik antara Korporasi dengan Masyarakat dan LSM, konflik ini berdimensi sosial ekonomi. Klaim kebenaran dibentuk oleh Pemerintah dan Korporasi dengan mewacanakan 1) pertambangan sebagai jalan keluar bagi pengentasan kemiskinan, 2) peniadaan konflik sosial, sebagai gantinya adalah perbedaan
97
persepsi antara pihak penambang dan masyarakat102, 3) proses politik sebagai bagian dari prosedur kebijakan, 4) struktur agraria yang sudah selesai dengan bentuk daerah istimewa (PAG), dan 5) kekuasaan adalah hal lain di luar produk hukum yang mengatur prosedur kebijakan, misalnya AMDAL adalah netral dari kepentingan politik. Klaim kebenaran dibentuk oleh masyarakat dengan mewacanakan 1) pertambangan sebagai agenda remarjinalisasi, 2) konflik sebagai akibat ketidakadilan, 3) proses politik sebagai transaksi kepentingan pihak-pihak yang menyetujui pertambangan, 4) struktur agraria sebagai hal mendasar yang belum selesai, dan 5)
dan kekuasaan tersembunyi dalam produk hukum, misalkan
persetujuan pada AMDAL adalah gerbang menuju kekalahan karena Gubernur menjadi penentu kelayakan dokumen, sesuai bunyi pasal 20 PP No 27 Tahun 1999 tentang AMDAL.
2. Aras Kebijakan
Di aras kebijakan, konflik regulasi untuk perubahan struktur penguasaan SDA serta struktur dan pola ruang oleh masing-masing pihak berlangsung untuk kepastian hukum pemanfaatan ruang, konflik ini tidak hanya berlangsung pada taraf penerapan produk hukum tetapi juga dalam taraf substansi produk hukum. RUUK DIY, Penataan Ruang, dan AMDAL adalah materi konfliktual di aras kebijakan. RUUK DIY adalah rancangan produk hukum yang akan melegalkan penguasaan tanah-tanah negara oleh lembaga swapraja. Menurut masyarakat, secara substansi RUUK DIY bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960, Kepres No 33 Tahun 1984, dan Perda No 34 Tahun 1984; namun, menurut pemerintah, RUUK DIY akan mengakhiri ketidakpastian hukum atas sumber agraria dalam konteks sistem kekuasaan yang berlaku DIY. Penataan Ruang merupakan pelembagaan kepentingan atas ruang dan SDA yang diselenggarakan secara legal. Zonasi dalam rencana tata ruang berkekuatan 102 Catatan Harian Peta Konflik, Wawancara Kepala Badan Perlindungan dan Kesejahtaraan Masyarakat DIY, 6 April 2010: “Sebenarnya hanya ada perbedaan persepsi saja soal kebijakan itu, tidak sampai konflik”
98
hukum untuk dijadikan landasan bagi pelaksanaan suatu proyek, termasuk menjadi landasan bagi kelayakan suatu dokumen AMDAL. Menurut pemerintah, perubahan RTRWP DIY merupakan amanat dari UU No 26 Tahun 2007, dan penetapan zonasi kawasan pesisir menjadi kawasan pertambangan merupakan keputusan pusat. Menurut masyarakat, perubahan RTRWP DIY merupakan upaya legitimasi proyek pertambangan karena proses penyusunan RTRWP tidak mengacu pada prosedur yang telah ditentukan dalam 1) UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam hal kaidah dan prosedur penyusunan perundang-undangan, 2) UU No 26 Tahun 2007 dalam hal keterlibatan peran masyarakat, dan 3) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2008 dalam hal prosedur penyusunan dan tata cara evaluasi Raperda RTRWP. Perubahan RTRWP DIY dilakukan setelah AMDAL berjalan. AMDAL merupakan prosedur hukum untuk penerbitan ijin lingkungan suatu usaha atau kegiatan yang dijamin kesahihannya melalui pendekatan ilmiah, sebagaimana diungkapkan oleh Dr. SH (37)103:
“AMDAL itu berfungsi sebagai dokumen hukum, dokumen ilmiah, dan dokumen publik. Sebagai dokumen hukum, AMDAL merupakan prosedur yang berlandaskan dan berkekuatan hukum, sehingga dapat dijadikan landasan dalam membuat kebijakan. Sebagai dokumen ilmiah,
AMDAL
merupakan
prosedur
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik secara kaidah maupun teknisnya, sehingga mempunyai legitimasi yang kuat untuk dijadikan landasan kebijakan. Dan sebagai dokumen publik, AMDAL bersifat terbuka untuk diakses masyarakat. Dengan demikian, AMDAL itu dapat menengahi kepentingan sosial, lingkungan dan ekonomi.”
Menurut pemerintah, AMDAL merupakan bagian dari tata kelola lingkungan yang wajib dilaksanakan, dan bersifat netral dari kepentingan politik.
103
Catatan Harian Penelitian Relasi Kekuasaan atas SDA, 14 Mei 2010, Dr.SH(37):
99
Menurut masyarakat, persetujuan terhadap AMDAL merupakan persetujuan terhadap proyek pertambangan, sebagaimana diungkapkan oleh TJ (32) 104;
“Kalau kami sudah mau diajak masuk ke alam pikiranmu maka kami sudah kalah, dan kehidupan di pesisir yang tumbuh selama 30 tahun akan habis sudah. AMDAL adalah pintu masuk untuk menyetujui pertambangan, maka kami menolak AMDAL”
dan dalam konteks relasi kekuasaan atas SDA di lokasi penelitian, AMDAL tidak netral dari celah politisasi, sebagaimana diungkankan oleh Dr. ED (35)105: “Jika pasal 16 dan 20 PP No 27 tahun 1999 dicermati bunyi pasalnya1, memang tidak menutup kemungkinan bahwa kolusi akan terjadi dengan memanfaatkan peraturan perundangan. Tetapi, sejauh ini hal itu belum pernah terjadi. Dokumen AMDAL yang dibatalkan biasanya yang copy paste dari dokumen AMDAL proyek lain, tidak sesuai tata ruang wilayah, atau terbukti keterlibatan komisi penilai dalam menyusun AMDAL”
3. Aras Komunitas Di aras komunitas, konflik kepentingan interpihak berlangsung sebagai pewacanaan ekonomi, lingkungan, dan sosial karena bentuk material dari isu pertambangan belum ada—proyek pertambangan belum dilaksanakan, dan kontrol terhadap arah perubahan ekosistem. Pemerintah dan swasta menghendaki ekosistem pesisir (existing) berubah fungsi menjadi kawasan pertambangan, dengan konsekuensi ekstraksi sumberdaya mineral, risiko lingkungan, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Masyarakat menghendaki ekosistem tersebut tetap sebagai kawasan pertanian, dengan 104
Catatan Harian Penelitian, Proses Politik Kebijakan SDA, 18 Maret 2010, TJ(32):
105 Pasal 20 PP No 27 Tahun 1999 dan Catatan Harian Penelitian Relasi Kekuasaan, 14 Mei 2010, Dr. ED (35):
100
konsekuensi agenda-agenda pemerintah yang bertujuan untuk akumulasi modal menjadi lambat. Pemerintah dan swasta menggunakan wacana pertumbuhan yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat (trickle down effect), pertumbuhan itu diciptakan melalui industrialisasi yang terkendali secara teknik untuk penanggulangan dampak lingkungan (ecological modernization). Masyarakat menggunakan wacana pertumbuhan dari bawah (bottom up) yang berdampak pada perubahan sosial (arus balik urbanisasi), pertumbuhan itu diciptakan melalui perkembangan pengetahuan dan kelembagaan sumberdaya yang terkendali secara partisipatif untuk mempertahankan struktur dan fungsi kawasan sebagai kawasan budidaya dan penyangga. Setiap pihak menggunakan wacana masing-masing untuk mengontrol arah perubahan ekosistem. Kontrol terhadap arah perubahan ekosistem terjadi di ruang politik dan sosial. Di ruang politik, pemerintah dan swasta melakukan kontrol tersebut melalui kontrak karya, proses kebijakan tata ruang dan lingkungan, dan kebijakan agraria. Di ruang politik, masyarakat melakukan kontrol tersebut melalui pengorganisasian diri sebagai alat perjuangan (Paguyuban). Di ruang sosial, pemerintah dan swasta melakukan kontrol tersebut melalui sosialisasi kepada para pihak yang tidak terkena dampak langsung, baik itu di aras lokal (Asosiasi Kepala Desa seluruh Kabupaten Kulon Progo, Militer Distrik Kabupaten, Ormas dan Gerakan Mahasiswa) maupun nasional (Komisi VII DPR RI). Di ruang sosial, masyarakat melakukan kontrol tersebut dengan membangun modal sosial berupa jaringan kerja dengan pihak lain yang sejalan dengan agenda Paguyuban baik interlokal (Kendeng, Jember, Pacitan), nasional (KOMNAS HAM)106, maupun
106 Catatan Harian Relasi Kekuasaan, 22 Juni 2010: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang diwakili oleh AhB melakukan investigasi potensi pelanggaran HAM proyek pertambangan pasir besi. Investigasi ini merupakan yang kedua kali pascapenyerangan pada warga 27 Oktober 2008 lalu. Pertemuan ini bertempat di sekretariat Paguyuban dihadiri oleh warga perwakilan seluruh desa, segenap pengurus Paguyuban, LSM Hukum, Ormas Islam, dan media massa. Informasi yang diperoleh LBH adalah dokumen antara tahun 2008 hingga 2010, baik itu berupa dokumen cetak, kesaksian lisan, maupun audio visual, termasuk perkembangan di tingkat Propinsi DIY terkait pengiriman surat Paguyuban kepada Pemerintah Propinsi DIY untuk memohon pembatalan Perda No 2 tahun 2010 kepada Menteri Dalam Negeri pada 21 Juni 2010.
101
internasional (Solidarity of Kulon Progo di Australia), sebagaimana diungkapkan oleh TJ (32)107: “Kasus pasir besi boleh saja terlihat kecil dan terseok-seok di sini, tetapi di luar sana akan meledak gelombang perlawanan yang lebih besar, semua akan di luar dugaan lawan kami. Kami memang hanya bergerak di pesisir saja, tidak menyeberang Jl. Deandles itu kecuali memang dipandang perlu pemanasan. Dan akan seperti itu yang kami lakukan, hanya di pesisir, modal kami cuma hand phone, komputer, dan modem. Menggalang kekuatan warga sewilayah Kulon Progo saja tidak akan terjadi, bukan karena kami tidak mau berbagi nasib, tetapi sedulur-sedulur kami di utara lebih nyaman ditindas daripada memperjuangkan nasibnya yang senasib dengan kami. PAGUYUBAN justru diuntungkan dengan adanya JLS yang macet di pesisir ini. Kami ini sekecil pasir di pesisir ini, terlalu kecil dan tak berarti, tetapi sebutir pasir itu menyatakan keberadaannya dengan menjadi klilip, entah klilip-nya Pemimpin Swapraja atau ADB, yang jelas orang yang kelilipan tidak dapat menyingkirkan klilip-nya seorang diri.”
4.4.2. Aktor-aktor yang berkonflik 1. Pemerintah Konflik SDA di Kabupaten Kulon Progo melibatkan Pemerintah Pusat di aras nasional dan Pemerintah Daerah di aras lokal. Pemerintah pusat yang dimaksud adalah 1) Kementrian ESDM yang berperan sebagai pemegang kontrak karya dengan swasta, 2) Kementrian PU yang berperan sebagai penyelaras penataan ruang propinsi dengan penataan ruang nasional, 3) Kementrian Dalam Negeri yang berperan sebagai pengambil keputusan atas kesahihan RTRWP DIY 2009-2029, dan 4) Kementrian Lingkungan Hidup yang berperan sebagai instansi pusat yang bertanggungjawab atas proses kebijakan lingkungan. Pemerintah Daerah yang dimaksud adalah 1) Pemda Kabupaten Kulon Progo yang berperan sebagai pemberi Ijin Kuasa Pertambangan yang dimohonkan 107
Catatan Harian Penelitian, Proses Politik Kebijakan, 20 Mei 2010, TJ (32)
102
oleh swasta. 2) Pemda Propinsi DIY berperan sebagai instansi penyusun RTRWP dan sebagai instansi yang bertanggungjawab untuk menerbitkan keputusan kelayakan AMDAL, RTRWP akan menjadi acuan bagi penataan ruang kabupaten dan KA ANDAL rencana pertambangan. 2. Masyarakat Masyarakat berperan sebagai pihak yang menanggung dampak langsung secara materi dan imateri atas kebijakan pertambangan di setiap aras tersebut. 3. Korporasi Korporasi berperan sebagai investor, penanggungjawab operasional pertambangan, dan pemrakarsa AMDAL, hal ini telah dijelaskan pada bagian Proses Politik Kebijakan SDA. 4. Lembaga Swapraja Lembaga swapraja berperan sebagai penjamin kepastian hukum atas tanah swapraja melalui RUUK dan pemilik saham PT JM, hal ini telah dijelaskan pada bagian Struktur Penguasaan SDA dan Proses Politik Kebijakan SDA.
4.4.3. Materi konflik 1. Agraria Materi pokok konflik SDA di lokasi penelitian adalah ketidakpastian hukum atas struktur penguasaan SDA, telah dijelaskan secara rinci ada pada bagian Struktur Penguasaan SDA. 2. Proyek Mekanisme kontrak karya yang ditempuh oleh pemerintah RI dengan Korporasi menempatkan Pemerintah Pusat sebagai aktor dominan yang diuntungkan secara langsung dari proyek pertambangan dan Pemerintah Daerah sebagai aktor subordinat yang menjamin legalisasi operasional proyek di lapangan. Hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan UU No 11 Tahun 1967 sebagai dasar hukum Kontrak Karya. Mekanisme kontrak karya yang dilakukan dalam konteks desentralisasi akan menempatkan bagi pemerintah daerah sebagai penanggungjawab utama dampak proyek. Hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 32 Tahun 2009. Ketimpangan dalam distribusi keuntungan dan risiko
103
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan kecil terjadi apabila proyek tersebut mengacu pada UU No 4 Tahun 2009. 3. Penataan Ruang Penataan ruang menjadi materi konfliktual dalam hal 1) substansi, yaitu perubahan status kawasan yang berdampak konflik sosial, dan 2) prosedur, yaitu ketiadaan keterlibatan masyarakat dan DPRD dalam penyusunan RTRWP DIY. Materi konfliktual dalam RTRWP DIY telah dijelaskan pada bagian Proses Politik Kebijakan SDA. Ketidakpercayaan masyarakat di lokasi penelitian terhadap pemerintah dan penyelenggaraan negara tumbuh sebagai akibat dari pelanggaranpelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah terutama pemerintah daerah, sebagaimana diungkapkan oleh KN (50)108: “Kami akan sikapi dengan berkirim surat pada Presiden dan seluruh instansi pemerintah juga non pemerintah. Rekaman video [sosialisasi dan konsolidasi yang dilakukan oleh PT JM dan lembaga swapraja kepada militer, akademisi, organisasi masyarakat dan mahasiswa, dan perangkat desa pada 2007-2008 dan penyerangan serta pembakaran terhadap kampong-kampung di area konsesi pertambangan pada 2008] itu akan kami kirimkan ke KOMNAS HAM. Kami akan mengungkapkan bukti dan memberi peringatan, jika proyek ini masih saja diteruskan kami tidak akan percaya pada penyelenggaraan negara ini. Merekalah yang makar, bukan kami.” dan sebagaimana diungkapkan oleh PN (45): “Sebenarnya, sebelum kebacut (terlanjur), pemerintah bisa mengganti kebijakannya itu. Pemerintahlah yang berkuasa untuk membatalkan agenda pembangunan, saya yakin jika pemerintah mau rembug ulang untuk mencari proyek lain yang mewadahi kepentingan warga, warga akan menyambut baik. Tentu saja syaratnya ya bukan pertambangan. Pariwisata pertanian, desa wisata, pengolahan hasil pertanian, atau apapun itu yang mendukung perkembangan masyarakat selama ini. Dan modelnya jangan seperti maling (pencuri) gitu, tidak perlu 108
Catatan Harian Relasi Kekuasaan 20 April 2010, KN (50).
104
sembunyi-sembunyi dan menggunakan preman. Manungsa iku duwe utek lan ati, iso mikir lan ngrasa, paringan Gusti iku kudu dienggo ben ora mudhun drajate dadi setan (manusia itu punya otak dan hati, dapat berpikir dan merasa, karunia Tuhan itu harus digunakan agar tidak turun derajatnya menjadi setan).” 4. Kebijakan Lingkungan Kebijakan lingkungan menjadi materi konfliktual dalam hal 1) wacana otoritas, yaitu antara AMDAL sebagai wilayah ilmiah yang dianggap netral atau wilayah politik, dan 2) wacana politis, yaitu antara AMDAL sebagai bagian dari pelestarian lingkungan atau AMDAL sebagai bagian dari penetrasi modal ekstraktif.
4.4.4. Arena konflik 1. Hukum Hukum menjadi arena konflik baik menurut tinjauan aras, aktor, maupun materi konflik. Hukum adalah produk politik. Narasi produk hukum adalah bentuk kekuasaan yang absolut dalam sistem kekuasaan modern. Kerangka kesadaran dan kepentingan pengambil kebijakan tertuang dalam narasi produk hukum. Dalam konteks penelitian ini, perubahan arah ekosistem sangat tergantung dari kepentingan ekonomi politik dari instansi yang bertanggungjawab dalam memutuskan kelayakan dokumen AMDAL. 2. Politik Politik menjadi arena bagi 1) kontrol rule of the game yang mengarahkan proses menjadi legitimate, 2) kesahihan klaim atas SDA , 3) celah untuk melegitimasi kepentingan. 3. Ekonomi Ekonomi menjadi arena yang diperebutkan dalam kontestasi mode of production, dalam hal ini pertambangan vis a vis pertanian. 4. Sosial dan Budaya Sosial menjadi arena bagi kontestasi legitimasi kepentingan atas klaim penguasaan SDA, tatanan sistem (social order), dan keadilan. Kebudayaan
105
menjadi arena bagi kontestasi antara ekosistem bagi perkembangan industri ekstraktif atau ekosistem sebagai bagian perubahan sosial dan kebudayaan.
4.4.5. Eksistensi dan Dinamika Konflik A. Eksistensi Konflik 1. Manifest, konflik bersifat manifest ketika konflik tersebut mengemuka. 2. Laten, onflik bersifat laten ketika konflik tersebut tersembunyi. B. Dinamika konflik 1. Temporal, konflik bersifat temporal ketika terhenti sementara waktu. 2. Perennial, konflik bersifat perennial ketika berlangsung terus-menerus Dimensi immaterial yang menjadi akar dari konflik-konflik SDA di lokasi penelitian adalah bentuk kesadaran atas SDA dan lingkungan, yaitu: 1) SDA dan lingkungan diperlakukan sebagai komoditas bagi ekonomi ekstraktif (wacana pemerintah dan swasta) atau komoditas bagi ekonomi ekologis (wacana masyarakat), 2) SDA dan lingkungan dinilai potensinya bagi produksi ekonomi an sich (mode of production) atau bagi perubahan sosial dan budaya suatu masyarakat, dan 3) SDA dan lingkungan dimaknai secara sektoral (barang dan jasa) atau integral. Bentuk kesadaran terhadap SDA dan lingkungan menentukan bentuk-bentuk pengelolaan terhadapnya. Dimensi material yang menjadi akar dari konflik-konflik tersebut adalah 1) Agraria, yaitu ketidakpastian hukum dalam struktur penguasaan SDA, 2) Desentralisasi yang memungkinkan penetrasi kapital dari taraf global ke taraf lokal secara leluasa, 3) Ekonomi politik internasional yang masuk melalui narasi kebijakan, dan 4) Ketimpangan kekuasaan antara pemerintah dan korporasi dengan masyarakat dalam menentukan struktur penguasaan SDA, politik kebijakan SDA, dan relasi kekuasaan atas SDA . Menurut Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa ada konsensus sebelumnya. Konsep konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan yang dipaksakan, bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori fungsionalisme. Dengan
106
demikian, posisi sekelompok orang dalam struktur sosial menentukan otoritas terhadap kelompok lainnya. Bentuk-bentuk konsensus tersebut adalah 1) UU No 5 tahun 1960 yang mengatur struktur agraria, 2) demokratisasi yang dijanjikan oleh sistem politik OTDA, dan 3) kesetaraan relasi kekuasaan antaraktor pembangunan. Konflik muncul dari konsensus yang tidak diselenggarakan, dalam konteks pesisir Kulon Progo adalah 1) kemunculan status PAG dalam struktur agraria, 2) pengabaian kepentingan dan peran masyarakat dalam sistem politik OTDA, dan 3) ketidaksetaraan relasi kekuasaan yang difasilitasi oleh peraturan perundangundangan, misalnya pasal 20 PP No 27 Tahun 1999 tentang AMDAL, ketiganya merupakan konsensus tandingan bagi konsensus awal. Dalam hal ini, posisi Pemda dan swasta adalah subordinat terhadap negara, dan posisi masyarakat adalah subordinat terhadap Pemda dan swasta. Peraturan perundangan nasional merupakan bentuk konsensus yang dipaksakan bagi Pemda dan swasta; sehingga Pemda dan swasta menggunakan otoritasnya untuk mengubah kebijakan di tingkat lokal (AMDAL, RUUK, dan Perda No 2 Tahun 2010), dan kebijakan Pemda merupakan bentuk konsensus yang dipaksakan bagi masyarakat; sehingga masyarakat menggunakan otoritasnya untuk melawan kebijakan di tingkat lokal. Dimensi konflik-konflik SDA di lokasi penelitian meluas dari konflik ekonomiekologis menjadi konflik sosial dan politik. Ketimpangan kekuasaan melahirkan perbedaan daya masing-masing aktor untuk menentukan arah perubahan ekosistem; dalam hal ini, pemerintah dan swasta lebih berdaya untuk menentukan perubahan ekosistem dan sosial daripada masyarakat. Ketimpangan kekuasaan juga memungkinkan ketiadaan keterbukaan informasi oleh pemerintah dan swasta yang memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap tujuan-tujuan positif dari kebijakan pertambangan pasir besi, contohnya adalah sosialisasi dan konsolidasi dengan kelompok masyarakat yang tidak terkena dampak. Kepercayaan adalah modal utama bagi penyelesaian konflik yang menjamin perimbangan kepentingan dan kekuasaan atas SDA di pesisir Kulon Progo.
107
4.4.6. Ikhtisar Konflik pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo tidak dapat dimaknai secara prosedural, misalnya konflik dipahami sebagai akibat penyimpangan idealisme peraturan dengan pelaksanaan di lapangan, akan tetapi konflik bersumber dari hal mendasar yang belum selesai di tingkat peraturan perundangan, yaitu bentuk kesadaran terhadap SDA dan lingkungan dan ketimpangan kekuasaan. Governmentality berada pada rejim kebenaran yang mengukuhkan sistem pengetahuan dan kesadaran terhadap lingkungan sebagai SDA. Kesadaran bahwa lingkungan sebagai SDA menempatkan alam sebagai komoditas barang dan jasa, komoditisasi adalah bagian utama dari mode of production selain tenaga kerja. Akibatnya, alam sebagai unsur dalam perubahan sosial dan kebudayaan menjadi terabaikan. Sistem pengetahuan, baik itu berupa bangunan pengetahuan (the body of knowledge) atas SDA, rejim kebenaran, paradigma, maupun keyakinan sesungguhnya merupakan bentuk lain dari kekuasaan. Suatu sistem pengetahuan dapat beralih menjadi ideologi ketika rejim kebenaran terhadapnya selalu dikukuhkan. Ideologi pembangunan dikukuhkan melalui sistem pengetahuan positivistik dan ekonomi politik kapitalistik. Dalam konteks penelitian ini, Modernisasi Ekologi berperan sebagai alat pengukuh rejim kebenaran dari ideologi pembangunan dengan bentuk pembangunan berkelanjutan. Gagasan pembangunan berkelanjutan mengasumsikan bahwa negara, rakyat, dan pasar berada dalam kesetaraan kekuasaan dalam mewujudkan sinergisitas pembangunan ekonomi, sosial, dan ekologi. Pembangunan berkelanjutan tidak meninggalkan logika trickle down effect dalam pemerataan pertumbuhan. Pembangunan berkelanjutan merupakan varian dari developmentalisme yang lebih ramah dan sesuai dengan sistem desentralisasi. Desentralisasi lahir dari Washington Consensus yang dimunculkan bukan tanpa agenda ekonomi politik tertentu. Desentralisasi menyediakan ruang bagi akumulasi modal di tingkat lokal oleh aktor global, yang mekanisme pengelolaan risikonya selaras dengan modernisasi ekologi.
108
Mol dan Spaargaren (2000) menyatakan bahwa penyelesaian terbaik bagi masalah–masalah lingkungan adalah melalui teknologi dan industrialisasi. Fisher dan Freudenburg (2001) mengemukakan bahwa ukuran yang digunakan dalam Teori Modernisasi Ekologi dalam mendefinisikan peningkatan lingkungan (environmental improvement) adalah kelayakan secara ekonomis (economically feasible) dan kelayakan secara politis (politically feasible). Kritik terhadap Teori Modernisasi Ekologi berlangsung dari luar dan dari dalam teori itu sendiri. Dari luar teori tersebut, Buttel (2000) cit. Fisher dan Freudenburg (2001) menyarankan bahwa Modernisasi Ekologi perlu dihubungkan dengan teori perubahan sosial dan teori sejarah pembangunan agar terbangun teori yang lebih utuh. Beck (2005) dalam Risk Society menawarkan Reflexive Modernization sebagai tandingan bagi dominansi Modernisasi Ekologi yang dinilai abai terhadap pemicu-pemicu terbentuknya masyarakat berisiko. Kritik dari dalam teori tersebut dibangun oleh Berger et al. (2001) yang menggunakan konsep Govermentality Foucault dalam melihat kekuasaan sebagai faktor penting yang tidak tersentuh oleh Teori Modernisasi Ekologi dan Christoff (1996) yang menawarkan Strong Ecological Modernization sebagai alternatif bagi Weak Ecological Modernization.
109 Tabel 10. Struktur Konflik SDA Di Lokasi Penelitian Aras
Kekuasaan
Kebijakan
Komunitas
Keterangan: Laten Manifest
Aktor
Materi
Arena
Sifat
Dinamika
Pemerintah Pusat dengan Swapraja
Struktur Agraria
Hukum
Laten
Perennial
Pemerintah Pusat dengan Masyarakat*
Kontrak Karya
Hukum
Manifest
Perennial
Pemerintah Daerah dengan Masyarakat*
Ijin Kuasa Pertambangan
Politik dan Ekonomi
Manifest
Perennial
Pemerintah Daerah dengan LSM
Partisipasi publik
Politik
Manifest
Temporal
Masyarakat* dengan Korporasi
Proyek Pertambangan
Ekonomi dan Sosial
Manifest
Perennial
LSM dengan Korporasi
Proyek Pertambangan
Sosial
Manifest
Perennial
Pemerintah Pusat dengan Masyarakat*
Penataan Ruang
Politik dan Hukum
Manifest
Perennial
Pemerintah Daerah dengan Masyarakat*
AMDAL
Politik dan Hukum
Manifest
Perennial
Swapraja dengan Masyarakat*
RUUK DIY
Hukum
Laten
Perennial
LSM dengan Korporasi
AMDAL
Hukum
Manifest
Perennial
Pemerintah Daerah dengan Masyarakat*
Penataan Ruang
Hukum
Manifest
Swapraja dengan Masyarakat*
Struktur Agraria
Sosial dan Budaya
Laten
Perennial
Masyarakat* dengan Korporasi
Proyek Pertambangan
Sosial
Manifest
Perennial
Masyarakat* dengan LSM
Isu Ekonomi Politik
Sosial
Laten
Temporal
Masyarakat* dengan Masyarakat**
Proyek Pertambangan
Sosial
Laten
Temporal
: Konflik tersembunyi : Konflik mengemuka
Perennial Temporal
: Konflik masih berlangsung : Konflik terhenti sementara
Masyarakat* : Masyarakat yang terkena dampak langsung Masyarakat** : Masyarakat yang tidak terkena dampak
110 Tabel 11. Perbedaan Perspektif dalam Teori Modernisasi Ekologi Modernisasi ekologi yang lemah
Modernisasi ekologi yang kuat
(Weak Ecological Modernization)
(Strong Ecological Modernization)
Ekonomistik
Ekologis
Teknologis
Kelembagaan dan Sistemik
Instrumental
Komunikatif
Teknokartik, Neo-korporatis, Tertutup
Terbuka (Deliberative Democratic)
Nasional
Internasional
Hegemonik, Penyeragaman
Penganekaragaman (Diversiying)
Sumber: Christoff (1996,p490) cit. Berger et al. (2001, p 61)
111
4.5.
Relasi Kekuasaan atas SDA
Relasi kekuasaan atas SDA di lokasi penelitian dapat dipetakan menurut 1) aktor, yaitu pemerintah, korporasi, lembaga swapraja, LSM dan masyarakat terdampak, 2) peran aktor yang terbentuk menurut kepentingan masing-masing, dan 3) sifat hubungan interaksi aktor-aktor tersebut, yaitu mutul (saling menguntungkan), konfliktual (saling menegasikan), dan netral. Relasi kekuasaan atas SDA disajikan dalam Tabel 12.
4.5.1. Aktor-aktor Aktor-aktor yang terlibat dalam pembentukan relasi kekuasaan atas SDA di lokasi penelitian adalah pemerintah (pusat dan daerah), lembaga swapraja, korporasi, masyarakat, dan LSM. Semua aktor tersebut berinteraksi secara aktif. Relasi yang terbangun interaktor sesungguhnya tidak konsisten secara diametris, bergantung pada materi yang sedang dimainkan, misalkan dalam materi ketidakpastian hukum SDA pemerintah pusat dan lembaga swapraja berelasi secara konfliktual, namun dalam hal kontrak karya keduanya berelasi secara mutual. Agar pembacaan terhadap relasi kekuasaan atas SDA di lokasi penelitian menjadi lebih sederhana, relasi-relasi yang dijelaskan dalam bagian ini dibatasi dalam relasi-relasi yang terbangun untuk mewujudkan pertambangan pasir besi. Pemerintah pusat adalah insitusi yang mempunyai otoritas dalam mengendalikan arah kebijakan nasional melalui produk hukum nasional, misalkan penataan ruang (UU No 26 Tahun 2007); struktur penguasaan SDA (UU No 5 tahun 1960); pengendalian dampak lingkungan (UU No 32 Tahun 2009); dan mekanisme penanaman modal asing (UU No 4 Tahun 2009). Pemerintah daerah adalah institusi yang mempunyai otoritas dalam mengendalikan arah kebijakan daerah melalui produk hukum daerah, misalkan penataan ruang (Perda RTRWP DIY 2009-2029), penerbitan keputusan kelayakan atas hasil studi AMDAL (Keputusan Gubernur), dan ijin usaha (Keputusan Bupati).
112
Lembaga swapraja mempunyai otoritas dalam menentukan stabilitas tatanan sosial (social order) melalui sistem politik daerah istimewa (RUUK DIY) dan penguasaan struktur agrarian (Rijksblad Swapraja 1918), dan dukungan sosial atas wilayah kekuasaannya (magersari). Korporasi, baik lokal maupun internasional, mempunyai otoritas dalam menentukan bentuk pengelolaan SDA melalui penanaman modal (kontrak karya), perubahan struktur dan fungsi ekosistem (proyek pertambangan), dan kelayakan ekonomi lingkungan (AMDAL). Lembaga Swadaya Masyarakat mempunyai otoritas dalam mengawal proses kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan proyek melalui pengawasan kebijakan publik (Perda RTRWP DIY 2009-2029). Masyarakat mempunyai otoritas dalam membangun jaringan sosial baik itu interlokal (gerakan akar rumput di sepanjang pesisir Jawa selatan), nasional (KOMNAS HAM), dan internasional (Australian Solidarity for Kulon Progo) untuk menyikapi kebijakan pemerintah daerah secara politis. 4.5.2. Peran Aktor Peran yang diambil oleh masing-masing aktor di lokasi penelitian berbedabeda, bergantung pada posisi politiknya dalam hubungan tata negara. Pemerintah berperan sebagai pengambil kebijakan dalam dimensi legal formal. Korporasi berperan sebagai penanam modal dan operasionalisasi proyek industri. Lembaga swapraja berperan sebagai penjamin stabilitas sistem politik dan struktur penguasaan SDA setempat. LSM berperan sebagai pengawas kebijakan publik, dan masyarakat berperan sebagai korban dari kebijakan pemerintah dan kostelasi ekonomi politik yang terbangun.
4.5.3. Sifat hubungan interaktor Pemerintah daerah dan korporasi berelasi secara mutual melalui penerbitan ijin kuasa pertambangan. Pemerintah daerah dan lembaga swapraja berelasi secara mutual melalui pemeliharaan struktur penguasaan SDA dan sistem politik keistimewaan. Pemerintah dan LSM berelasi secara netral melalui pengawasan
113
Penataan Ruang, dan berelasi secara konfliktual dalam hal perumusan bentuk kebijakan SDA. Pemerintah dan masyarakat berelasi secara konfliktual melalui perumusan bentuk kebijakan SDA dan proses-prosesnya. Korporasi dan lembaga swapraja berelasi secara mutual melalui kepemilikan saham. Korporasi dan Masyarakat serta LSM berelasi secara konfliktual melalui proyek pertambangan. LSM dan lembaga swapraja berelasi secara netral dalam hal struktur penguasaan SDA dan sistem politik.Masyarakat dan lembaga swapraja berelasi secara konfliktual melalui struktur penguasaan SDA. Masyarakat dan LSM berelasi secara netral dalam hal kebijakan SDA, dan berelasi secara konfliktual dalam hal komitmen penolakan kebijakan, sebagaimana diungkapkan oleh BT (45), KN (50), SR (40), dan TJ (32) berturut-turut sebagai berikut109: BT (45) “Sebenarnya kalau dikatakan antipati ya tidak, tetapi saya ini merasa aneh saja, pernah ID dan WL berkunjung ke Paguyuban menawarkan program, tetapi program itu tidak menjawab kebutuhan masyarakat, ya jelas warga tidak mau. Itu yang terjadi juga pada LSM-LSM lain yang mau beraktivitas di pesisir ini.”
KN(50): “Selama ini, tanpa bantuan LSM, warga mampu membuat jaringan sendiri dengan berbagai pihak. Keterlibatan berbagai pihak terkadang juga tidak menguntungkan bagi PAGUYUBAN, hal itu kami sudah belajar tahun lalu”
SR(40): Saya ini sebenarnya ada pertanyaan pada siapapun. Kelahiran LSM itu dari mana mulanya? Dan mengapa terkadang lucu, misalkan, sebuah LSM didanai oleh Bank Dunia, terus apakah LSM itu akan 109 Catatan Harian Penelitian Relasi Kekuasaan atas SDA, 10 Mei2010 , BT(45), KN (50), dan TJ (32).
114
menjalankan program yang menentang kebijakan penyandang dananya? Apa rakyat tidak bisa bergerak sendiri dengan kekuatannya? Biarkan rakyat belajar dan tidak menjadi aneh. Kok aneh? Ya iya, kalau seorang buruh tani yang tidak pernah makan sekolahan dan mengunyah isi buku bisa mengucapkan kapitalisme, neoliberalisme, good governance, demokratisasi, atau partisipatoris itukan malah diragukan kemerdekaannya sebagai rakyat?”
TJ (32): “Lihat yang di luar Jawa, LSM itu menciptakan kemandirian atau ketergantungan? Kalau LSM bukan bagian dari penyelesaian maka LSM itu menjadi bagian dari persoalan. Apa benar para aktivis itu mengimani bahwa LSM adalah nabinya perubahan? Kalau iya, maka maju mundurnya masyarakat itu dikendalikan oleh penyandang dana LSM-LSM itu, bukan tidak mungkin lho IM Ltd. mendanai LSM yang akan membela warga pesisir. Sudahlah, biar mereka mau berkata apa, terserah. Kami punya prinsip, kalau Anda datang kemari untuk menjadi dewa penolong maka pergi saja, tetapi kalau Anda datang kemari untuk menjadikan masalah kami sebagai masalah Anda , maka mari duduk bersama, kita cari jalan keluarnya. Saya tahu nasib kami mahal untuk dijual ke manapun, bahkan sekadar untuk meraih gelar master ilmu lingkungan. Iya kan?” 4.5.4. Ikhtisar Governmentality berada pada bentuk kesadaran terhadap pembangunan berkelanjutan, desentralisasi, dan pemaknaan konflik SDA. Pembangunan berkelanjutan baik secara teoritis maupun praktik adalah konsep yang sedang berkembang untuk menemukan bentuknya yang adaptif terhadap perkembangan masalah lingkungan yang multidimensi.
Secara teoritik, pembangunan
berkelanjutan di Indonesia merupakan konsep pembangunan yang bertumpu pada Modernisasi Ekologi yang lemah (mengacu kritik Christoff). Secara praktik, pembangunan berkelanjutan di Indonesia masih mengutamakan pertumbuhan
115
ekonomi (developmentalism) daripada keseimbangan pertumbuhan antara ekonomi, eklogi, dan sosial. Desentralisasi baik secara teoritik maupun praktik adalah konsep yang ditujukan untuk liberalisasi ekonomi. Secara teoritik, desentralisasi di Indonesia memungkinkan
karena
pengambilan
keputusan
terhadap
bentuk-bentuk
pengelolaan SDA berada di tingkat kabupaten. Secara praktik, sejarah desentralisasi di Indonesia tidak lepas dari fenomena euforia reformasi yang memaknai desentralisasi sebagai kedaulatan lokal. Sistem politik di Propinsi DIY tidak mengacu UU No 32 Tahun 2004 secara sepenuhnya, dalam hal pemilihan kepala daerah secara langsung. Di DIY berlaku sistem penetapan bukan pemilihan, artinya Pemimpin Swapraja sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Posisi Pemimpin Swapraja sebagai kekuatan politik kenegaraan (Gubernur) sekaligus pemimpin kebudayaan (Raja) mereduksi fungsi kontrol terhadap relasi kekuasaan atas SDA ketika kepentingan dua kelembagaan itu sinergi. Konflik-konflik SDA dimaknai oleh para pihak secara berbeda-beda. Pemerintah dan Korporasi memaknai konflik sebatas masalah prosedural, yaitu perbedaan persepsi yang dapat diselesaikan melalui kompensasi. Masyarakat memaknai
konflik
sebagai
ruang
kekuasaan
yang
akan
menentukan
keberlangsungan hidup mereka dan keutuhan fungsi ekosistem. Dalam konteks penelitian ini, perbedaan pemaknaan secara mendasar tersebut meniadakan upaya win-win solution karena prasyarat tidak terpenuhi, yaitu: 1) Kepercayaan, 2) Keterbukaan, 3) Kesetaraan, dan 4) Kepastian Hukum.
116
Tabel 12. Relasi Kekuasaan atas SDA Di Lokasi Penelitian Peran dan Sifat Hubungan Interaksi AKTOR Pemerintah
Pemerintah
Korporasi
Masyarakat terdampak
Lembaga Swapraja
LSM
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Ijin kuasa Korporasi
pertambangan (Mutual) Kebijakan
Masyarakat
SDA dan
terdampak
prosesnya (Konfliktual)
Proyek pertambangan (Konfliktual)
Struktur Agraria dan Lembaga
Sistem Politik
Swapraja
Daerah Istimewa
Penguasaan
Struktur
investasi
Agraria
(Mutual)
(Konfliktual)
(Mutual) Pengawasan kebijakan
LSM
Kebijakan
Proyek
SDA
SDA dan
pertambangan
(Netral)
prosesnya
(Konfliktual)
Komitmen
(Konfliktual)
Proses
penolakan
Pengawasan
penerbitan ijin
proyek dan
RTRW
lingkungan
Struktur
(Netral)
(Netral
Agraria Empirik
Sistem politik Daerah Istimewa dan
-
Struktur Agraria (Netral)
(Konfliktual)
117
4.6. Keterbatasan Metodologi Penelitian ekonomi politik SDA mempunyai implikasi bagi studi kebijakan dan manajemen SDA karena mengamati kerangka pemikiran suatu kebijakan terhadap SDA. Penelitian ekonomi politik SDA secara kualitatif dengan penggalian informasi secara
intersubyektif (menempatkan informan sebagai
subyek bukan obyek ) dan metode analisis perluasan studi kasus (extended case method) (Buroway, 1998) merupakan penelitian yang belum lazim dilakukan di wilayah studi kebijakan dan kelembagaan SDA. Pengamatan dalam penelitian ini adalah 1) proses kebijakan, 2) kerangka pemikiran suatu kebijakan, 3) sejarah dan substansi kebijakan, dan 4) relasi suatu kebijakan terhadap konstelasi ekonomi politik dominan. Metodologi ini akan melengkapi informasi penelitian studi kebijakan SDA dan Lingkungan yang lazim dilakukan dengan pendekatan kuantitatif (AHP, ASWOT, MDS). Sebagai sebuah pendekatan, penelitian kualitatif intersubyektif ini mempunyai keterbatasan baik dalam
metodologi mapun metode. Secara
metodologi, penelitian ini dibatasi oleh: 1. Positionality Positionality adalah posisi peneliti di dalam penelitian, termasuk jarak sosial antara peneliti dengan subyek sumber informasi. Jarak sosial yang relatif sama terhadap setiap subyek merupakan upaya peneliti untuk menciptakan
ruang
netral. 2. Otoritas Peneliti dibatasi oleh otoritas di luar dirinya untuk menelusuri informasi lebih jauh karena hambatan-hambatan struktural yang sejak awal sudah melekat, misalnya adalah peneliti adalah pihak luar dan bukan bagian dari lembaga yang diteliti. 3. Informasi pembanding Keberadaan informasi pembanding penting untuk mengetahui alur perdebatan teoritis atas suatu topik penelitian dan untuk menyusun pertanyaanpertanyaan
pokok
bagi
penelitian
selanjutnya.
Keterbatasan
informasi
118
pembanding disebabkan oleh kelangkaan penerapan metodologi penelitian yang serupa. 4. Penerimaan publik Penelitian kualitatif yang sama sekali tidak mengandalkan kuantifikasi data sebagai alat analisis merupakan penelitian yang masih jarang diterima dan masih dianggap memiliki derajat kesahihan yang rendah (dalam arus utama positivisme). Peneliti pada umumnya memilih pendekatan kuantitatif karena ukuran-ukuran pasti memberikan efek kepercayaan diri dalam mengambil keputusan. Namun, keterbatasan penelitian kuantitatif untuk suatu gejala kompleks dan sistemik adalah pada metode reduksionis (penyeragaman) yang digunakan. Fakta-fakta yang diabaikan turut berkontribusi dalam membentuk suatu gejala kompleks, sehingga ketiadaan fakta-fakta heterogen tersebut merupakan sumber kebiasan data yang tidak terhindarkan. Secara metode, penelitian ini mempunyai keterbatasan berupa: 1. Ketepatan momentum Momentum yang tepat penting untuk diketahui oleh peneliti sebelum turun ke lapangan, karena ketidaktepatan momentum akan berpengaruh pada perolehan data otentik. Dalam penelitian ini, peneliti menghadapi hal tersebut, sehingga suatu metode tertentu (di luar kelaziman namun masih dalam etika akademik) ditempuh untuk memperoleh data otentik. 2. Teknik penelusuran data Penelusuran data otentik untuk tema konflik merupakan hal yang sulit karena keselamatan peneliti selama penelitian perlu dijaga. Kesalahan teknik penelusuran data dapat mengakibatkan peneliti dilibatkan dalam konflik yang diteliti, atau malah ditempatkan sebagai sumber konflik baru oleh setiap pihak. 3. Analisis Data Penelitian kualitatif yang tidak mengandalkan kuantifikasi data sebagai alat analisis mempunyai keterbatasan dalam menetapkan ‘standar pengukuran’. Penelitian ini menyiasati hal tersebut dengan triangulasi data, terutama kaidahkaidah normatif dalam hukum positif sebagai standar yang dimaksud.
119
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.KESIMPULAN Secara khusus dalam rangka menjawab tujuan penelitian, penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Struktur konflik SDA di kawasan pertambangan pasir besi Kabupaten Kulon Progo besifat 1) multiaras, yaitu aras kekuasaan; kebijakan; dan komunitas, 2) multiaktor, yaitu pemerintah; lembaga swapraja; korporasi; masyarakat; dan LSM, 3) multimateri, yaitu agraria; penataan ruang; kebijakan lingkungan, 4) multidimensi, yaitu dimensi hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, 5) manifest dan laten, yaitu konflik yang mengemuka dan tersembunyi, serta 6) temporal dan perennial, yaitu berlangsung sementara atau terus-menerus. Struktur konflik SDA tersebut merupakan hasil dari 1) kontestasi aktor baik itu berupa kontestasi kepentingan, wacana, mapupun otoritas, 2) relasi kekuasaan atas SDA multilevel baik itu yang terjalin di wilayah politik, sosial, maupun budaya, dan 3) sistem politik dan ekonomi politik neoliberal yang berhadapan langsung dengan eksistensi lokal. 2. Jejaring kekuasaan atas SDA di kawasan pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo terbentuk melalui artikulasi faktor struktur penguasaan SDA (agrarian structure), proses politik kebijakan SDA di dalam sistem politik otonomi daerah, dan struktur konflik SDA. Sifat dari relasi kekuasaan yang terbentuk adalah konfliktual, mutual dan netral, bergantung pada kepentingan aktor yang berinteraksi. 3. Konflik SDA di kawasan pertambangan pasir besi di Kulon Progo berhubungan secara sinergis dengan krisis SDA dan krisis sosial politik. Hal ini didorong oleh proses politik kebijakan SDA yang tidak partisipatif sejak semula. 4. Alternatif pengelolaan SDA bagi kawasan pertambangan pasir besi di Kulon Progo yang relatif adil terhadap kepentingan multipihak sulit terwujud karena ketiadaan kepercayaan, keterbukaan informasi, dan kesetaraan kekuasaan interpihak dalam menentukan arah perubahan ekosistem.
120
Secara umum, penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Political Ecosystem Perspektif ekonomi politik yang terbangun di lokasi penelitian adalah perspektif yang dominan dalam pengelolaan ekosistem, yaitu ekosistem merupakan bagian dari ideologi pembangunan yang diterjemahkan sebagai pengelolaan (mode of production) atas SDA. Ekosistem di lokasi penelitian bersifat politis daripada bersifat ekologis. Kemenangan suatu pihak atas pihak lain dalam mewacanakan makna ekosistem turut menentukan perubahan arah ekosistem dan merupakan kemenangan dalam mempertahankan hidup. 2. Kekuasaan dan Akses Kekuasaan atas suatu SDA di lokasi penelitian lebih menentukan keberhasilan akses suatu pihak daripada klaim hak atasnya. Di lokasi penelitian, klaim atas SDA adalah hasil dari legitimasi baik itu pada wilayah hukum, sosial, politik, maupun budaya. Di lokasi penelitian, ketidakpastian hukum karena ketidakhadiran hak atas SDA dari suatu pihak dapat diselesaikan dengan kekuasaan untuk menghadirkan hak tersebut melalui penciptaan legitimasi. Ketidakpastian dipelihara oleh pemerintah dan lembaga swapraja untuk mempertahankan tatanan sosial, dan dipelihara oleh masyarakat untuk mempertahankan kelangsungan hidup, artinya penyelesaian konflik dengan logika zero sum game dan perangkat kekuasaan pemerintah merupakan pengakhiran akses masyarakat atas SDA. 3. Konsepsi Ekosistem Konsepsi tentang ekosistem di lokasi penelitian tidak berdiri sendiri dalam ruang pengetahuan ekologi, melainkan terkait dengan relasi kekuasaan atas SDA. Kelahiran suatu narasi ekologi yang diterjemahkan sebagai produk hukum terkait dengan sejarah ekonomi politik. Narasi ekologi di aras nasional lahir sebagai bagian dari upaya desentralisasi, dan desentralisasi merupakan upaya menuju liberalisasi ekonomi. Peralihan kewenangan dalam mengambil keputusan atas kelayakan lingkungan suatu usaha di tingkat daerah dari Menteri (UU No 23 Tahun 1997) kepada Gubernur (PP No 27 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2009) merupakan bukti campur tangan ekonomi politik dalam membentuk konsepsi ekosistem. Hal yang khas terjadi di lokasi penelitian adalah posisi
121
pemrakrasa dan instansi yang bertanggungjawab (menurut definisi dalam PP No 27 Tahun 1999) secara fungsional sulit dipisahkan, dengan demikian kebijakan lingkungan justru menjadi peluang bagi upaya-upaya marjinalisasi lingkungan melalui industri ekstraktif. 4. Analisis Konflik Konflik SDA di Kabupaten Kulon Progo merupakan hasil interaksi antara akar konflik dan arena konflik. Akar konflik SDA tersebut bersifat material, yaitu berbasis agraria dan OTDA,
dan immaterial, yaitu ekonomi politik dan
ketidakadilan. Arena konflik dari konflik SDA tersebut adalah struktur penguasaan SDA, sistem politik, dan kultur feodal. Konflik-konflik SDA di lokasi penelitian tidak dapat dimaknai sebagai konflik ekologis yang berdiri sendiri, tetapi merupakan konflik yang sistemik, holistik, dan semakin kronis seriring dengan tekanan-tekanan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
5.2.SARAN 1.
Perubahan sistem politik dari sistem aristokratis menjadi sistem yang demokratis di tingkat lokal penting untuk terjadi bagi keterbukaan dan kesetaraan kekuasaan atas SDA.
2.
Pemaknaan ulang terhadap ekosistem dalam fungsi ekosistem sebagai agen perubahan sosial dan budaya penting untuk ada.
3.
Penelitian terhadap bentuk pengelolaan SDA di lain tempat dengan perbedaan latarbelakang sosial dan budaya perlu dilakukan sebagai pembanding untuk mengetahui pola-pola pengelolaan SDA di Indonesia.
4.
Penelitian
mengenai
sistem
pengetahuan,
terkait
dengan
produksi
pengetahuan ekologi, penting untuk dilakukan.
122
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Laporan Baseline Survey: Optimalisasi Lahan Pasir Pantai Bugel Kulon Progo untuk Pengembagan Tanaman Hortikultura dengan Teknologi Inovatif Berwawasan Agribisnis. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta _______, 1940. Surat Perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta Tertanggal 18 Maret 1940 _______.2008. Application for Contract of Works from The Government of the Republic of Indonesia by PT JM and IM Limited. ________, 2008.. Industri Baja Terpadu Kulon Progo Jogyakarta: Aktivitas Pertambangan Berwawasan Lingkungan, dari Pasir Besi ke Pig Iron. Materi presentasi Buroway, M. 1998. The extended case method. Sosiological Theory 16 (1), 4-33. Blaikie, P. 1985. The Polical Economy of Soil Erosion. Longman.New York Bryant, R. L. 1998. Power, knowledge, and political ecology in the third world: a review. Progress in Physical Geography , 22 (1), 79-94. Bryant, R.L. and Bailey, S.2000. Third World Political Ecology. Routledge. London Berger, G., A.Flynn, F. Hines, and R.Johns. 2001. Ecological Modernization as a Basis for Environmental Policy: Current Environmental Discourse and Policy and The Implication on Environmental Suply Chain Management. Innovation, Vol 14 (1). 55-72 Beck, U.. 2005. Risk Society Towards a New Modenity (Mark Ritter, Translator). SAGE Publications. London Dharmawan, A.H. 2007. Dinamika sosio-ekologi pedesaan: perspektif dan pertautan keilmuan ekologi manusia, sosiologi lingkungan dan ekologi politik. Sodality Vol 1, No 1, April 2007. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB, 1-40 .
123
Darmosugito. 1956. Sedjarah Kota Yogyakarta Dalam Kota Yogyakarta 200 Tahun, 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956. Jogjakarta: Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun. Ellsworth, L.. 2002. A Place in The World: Tenure Security and Community Livelihoods, a Literature Review. Forest Trends and Ford Foundation. Escobar, A. 1998. Whose knowledge, whose nature? biodiversity, conservation, and the political ecology of social movements. Journal of Political Ecology 5, p 53-82. jpe.library.arizona.edu FAO. 2002. Land Tenure and Rural Development. Roma Fisher, D. and William R. Freudenburg. 2001. Insights and Applications, Ecological Modernization and Its Critics: Assesing The Past and Lookng Toward The Future. Society and Natural Resources, 14: 701-709 Forsyth, T. 2003. Critical Political Ecology The Politics of Environmental Science. Routledge. London. ________2008. Political ecology and the epistemology of social justice. Geoforum 39, pp 756-764 Foucault, M., 1977. Discipline and Punishment, Tavistock, London Garner, R. 1999. Environmental Politics. MacMillan. London Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta Hardiman, Fx.B. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu Masyarakat, Politik, dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Kanisius. Yogyakarta IMF. 1997. Letter of Intent October 17, 1997. _____, 1998. Letter of Intent January 15, 1998 Iman Rejo, 1996. Laporan Perintis Lingkungan Hidup Gisik Wana Tara Dusun Bugel Kecamatan Panjatan Kabupaten Kulon Progo Propinsi DI Yogyakarta. Tanpa Penerbit. _________, 1999.Teknologi Pertanian dan Agroindustri: Sumur Renteng. tanpa penerbit, Yogyakarta.
124
Imawan, R.. Desentralisasi, Demokratisasi, dan Pembentukan Good Governance Dalam Desentralisasi dan OTDA (Syamsudin Haris, Ed). LIPI, AIPI, Partnership for Governance Reform in Indonesia, p 40-51 Kartodiharjo, H. Politik Lingkungan dan Kekuasaan. Equinox. Jakarta Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 Tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY
Kontan Weekly (2008). No 10 XIII. Amri, Asnil Bambani. “Pembayun: Itu Bukan Tanah Warga”. Minggu 14 Desember 2008. Kompas (2008a). Arif, A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Yang Muda, Yang Bertani” Jumat, 11 April 2008 __________ (2008b). Arif, A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Berguru Hidup pada Gumuk Pasir”. Jumat, 11 April 2008 ___________ (2008c). Arif,A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Petani Berhadapan dengan Kekuasaan” Jumat, 11 April 2008 ___________ (2008d). Arif,A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Ancaman Kehancuran Pesisir Selatan Kulon Progo” Jumat, 11 April 2008 ____________ (2009a). Kristanto, T.A. “Sejarah Panjang Pengaturan Otonomi” . Jumat, 22 Mei 2009 hal 43 (kolom 1-7) ___________(2009b). Isworo, B. “Kacamata Kuda dan Hancurnya SDA” . Jumat, 22 Mei 2009 hal 42 (kolom 1-7) ____________ (2009c). Sumantri,B.S. “Hubungan Pusat-Daerah: Kewenangan Tumpang Tindih Menjadi Tidak Produktif”. Jumat, 22 Mei 2009 hal 41:(kolom 1-5) Li, T. M. 2002. Engaging Simplification: Community-Based Resource Management (CBNRM) , Market Processes and State Agendas in Upland Southeast Asia. World Development Vol 30 (2) pp265-283. _______. 2007. Governmentality. Anthropologica 49 (2) 275-281 ________. 2003. Situating resource struggles concepts for empirical analysis. Economic and Political Weekly, November 29, 2003. Pp 5120-5128 Luthfi, A.N., M. Nazir S., A. Tohari, Dian A.W., dan Diar Candra T. 2009. Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan. STPN. Yogyakarta
125
Mol, A.P.J. and Gert Spaargaren. 2000. Ecological Modernization Theory in Debate: A Review. Environmental Politics 9 (1) 17-49 Moran, E. F. 2006. People and Nature. Blackwell. Oxford Mulyono, 2006. Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa Depan Aset Bangsa”, di UMY Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta Menteri Dalam Negeri, 2010. Hasil Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY 2009-2029, tertanggal 16 Februari 2010. Odum, E. 1971. Fundamentals of Ecology. Saunders. Philadelphia Poerwokoesoemo, S. 1985. Kadipaten Paku Alaman, Gadjah Mada Univerity Press, Yogyakarta Patria, N. dan A. Arief. 1999. Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Peluso, N. L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Konpahlindo. Jakarta ________, and J.C. Ribot. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2) , pp 153-181 Praktikno. 2005. Good Governance dan Goernability. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 8 (3) Maret 2005. p 231-248 Peraturan Daerah Propinsi DIY No 4 Tahun 1954 Tentang Hak atas Tanah di DIY Peraturan Daerah Propinsi DIY No 34 Tahun 1984 Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UUU No 5 Tahun 1960 Di Propinsi DIY Peraturan Daerah Propinsi DIY No 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY 2009-2010 Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY 2009-2029 Ritzer, G. dan D. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.(Terjemahan). MacGrawHill Robbins, P. (2004). Political Ecology A Critical Introduction. Blacwell. Malden Roger, S.. 1999. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Insist dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta
126
Schlager, E. and E. Ostrom. 1992. Property Rights Regimes and Natural Resources: A Conseptual Analysis, Land Economics 68(3), p 249-262 Setiawan, U. 2004. Menemukan pintu masuk untuk keluar (Relevansi Tap MPR No 9/MPR/2001, UUPA No 5/1960, dan Keppres 34/2003 bagi pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia). Jurnal Analisis Sosial Vol 9, 1 April 2004. pp 65-83 Soemarjan, S. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Shiddieq, D., Tohari, B. Djadmo, D. Kastono, Saparso, Sulakhudin, dan Y.G. Bulu. 2008. Pertanian Berkelanjutan di Lahan Pasir Pantai Selatan DIY. Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta Sitorus, F.M.T. (1998). Penelitian Kualitatif Suatu Pengantar. IPB: Bogor ______ dan Wiradi (1999) “Kata Pengantar” dalam SMP Tjondronegoro. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. AKATIGA. Bandung Sugiono, M. 1999. Krtitik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Sumarti, T. 2007. Sosiologi Lingkungan Dalam Ekologi Manusia (Suryo Adiwibowo Ed.) Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor Suryo, D. 2004. Penduduk dan PErkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990. The 1st International Conference on Urban History Surabaya, August 23-25 2004. Surjomihardjo, A. 1989. Penelitian Kota Yogyakarta 1880-1930 Suatu Tinjauan Historis Perkembangan Sosial. Berita Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tahun ke-3 No 1.p 17-27. UU No 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. UU No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta UU No 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria UU No 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
127
UU No 4 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Batubara UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup Vago, S. 1989. Social Change, Prentice Hall Wasistiono, S. 2005. Desentralisasi, Demokratisasi, dan Pembentukan Good Governance Dalam Desentralisasi dan OTDA (Syamsudin Haris, Ed). LIPI, AIPI, Partnership for Governance Reform in Indonesia, p 51-63 Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. AKATIGA, SAINS, KPA. www. wikipedia.org/governmentality diakses 21 Januari 2010. _________./social_constructionism. diakses 21 Januari 2010 Ya’kub, A. 2004. Agenda Neoliberal menyusup melalui kebijakan agraria di Indonesia. Jurnal Analisis Sosial Vol 9, 1 April 2004, pp 47-64