OTONOMI DAERAH DI INDONESIA (Studi Kasus Daerah Kota Madya Depok )
Oleh FIKHAN HARUSI NIM : 0033218870
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT JURUSAN AKIDAH FILSAFAT PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
Alahamdulillah Segala puji dan syukur Ku panjatkan untuk Allah
Terimakasih dan cintaku yang dalam Untuk Bapak dan Ibuku yang sangat ku sayangi
Sayangku untuk seluruh kakak dan keponakanku Semoga kesuksesan akan selalu bersama mereka
Untuk seluruh dosenku yang ku banggakan Semoga seluruh dosenku selalu berada dalam rahmat Allah
Untuk seluruh sahabatku yang telah memotivasiku demi kesuksesanku Dan untuk dia yang ku damba menjadi pendampingku
Ya Allah sayangilah mereka Lindungilah mereka Anugerahkan kepada mereka anugerah Engkau yang terindah
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA (Studi Daerah Kotamadya Depok )
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Ushuluddin
Oleh FIKHAN HARUSI NIM: 0033218870
Di bawah bimbingan
Drs. Agus Nugraha, M.A. NIP. 150 299 478
Jurusan Akidah Filsafat/Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1429 H/2008 M
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi yang berjudul Otonomi Daerah di Indonesia (Studi Daerah Kotamadya Depok) telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 15 Oktober 2008, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 15 Oktober 2008 Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmaji, M. Fils NIP. 150 262 447
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A.
Anggota
Drs. Idris Thaha, MSi
M. Zaki Mubarok, MSi
Dr. Sirojudin Aly, M.A. 150 318 684
Dra. Haniah Hanafie, M.Si. 150 299 932
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA (Studi Kasus Daerah Kota Madya Depok )
Oleh FIKHAN HARUSI NIM : 0033218870
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT JURUSAN AKIDAH FILSAFAT PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
Alahamdulillah Segala puji dan syukur Ku panjatkan untuk Allah
Terimakasih dan cintaku yang dalam Untuk Bapak dan Ibuku yang sangat ku sayangi
Sayangku untuk seluruh kakak dan keponakanku Semoga kesuksesan akan selalu bersama mereka
Untuk seluruh dosenku yang ku banggakan Semoga seluruh dosenku selalu berada dalam rahmat Allah
Untuk seluruh sahabatku yang telah memotivasiku demi kesuksesanku Dan untuk dia yang ku damba menjadi pendampingku
Ya Allah sayangilah mereka Lindungilah mereka Anugerahkan kepada mereka anugerah Engkau yang terindah
OTONOMI DAERAH DI INDONESIA (Studi Daerah Kotamadya Depok )
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Ushuluddin
Oleh FIKHAN HARUSI NIM: 0033218870
Di bawah bimbingan
Drs. Agus Nugraha, M.A. NIP. 150 299 478
Jurusan Akidah Filsafat/Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1429 H/2008 M
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi yang berjudul Otonomi Daerah di Indonesia (Studi Daerah Kotamadya Depok) telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 15 Oktober 2008, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 15 Oktober 2008 Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmaji, M. Fils NIP. 150 262 447
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A.
Anggota
Drs. Idris Thaha, MSi
M. Zaki Mubarok, MSi
Dr. Sirojudin Aly, M.A. 150 318 684
Dra. Haniah Hanafie, M.Si. 150 299 932
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas anugerah dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai pembimbing umat menuju alam yang dipenuhi taufik dan hidayah Allah SWT. Alhamdulillah penulis dapat meneyelesaikan skripsi ini yang berjudul: OTONOMI DAERAH DI INDONESIA (STUDI KASUS DAERAH KOTAMADYA DEPOK ). Pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., dan Bapak Dr. Hamid Nasuh, M.A., sebagai Dekan dan Pudek Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.. 2. Bapak
Drs.
Agus
Darmaji,
M.Fils.,
sebagai
Kepala
Jurusan
Akidah
Filsafat/Pemikiran Politik Islam, Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A., sebagai Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.. 3. Bapak Drs. Agus Nugraha, MA, sebagai Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat berharga dan bermanfaat bagi penyelesaian penulisan skripsi ini.
4. Seluruh dosen-dosen yang telah mentransfer ilmu dan pengetahuan, serta membangun kerangka berpikir penulis selama mengikuti perkuliahan sejak semester I hingga saat ini. 5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memotivasi, mendorong dan membantu penulis baik dari segi moril maupun materil. Seluruh Kakak dan keponakan tercinta yang telah membantu penulis sebagai sumber motivasi dalam penulisan skripsi ini. 6. Seluruh kawan-kawan jurusan Pemikiran Politik Islam angkatan tahun 2000, Jamaluddin S.Sos, Lyus Oktari S.Sos, Umar Hadi S.Sos. Dan rekan-rekan guru Madrasah Aliyah (MA) Islamiyah dan SMP Islamiyah, A. Sujai S.Pd, Fahrurrozi S.Hi, Sodikin, Darmawan. Rekan-rekan FRIMA, FOSMIS, IKAMA, IRMA, FORSA (sepakbola). Mereka adalah kawan-kawan penulis yang selalu memberikan dorongan dan masukan-masukan yang berarti berupa ide-ide dalam penulisan skripsi ini. Serta Adinda Zuhairia yang selalu sabar dalam memberikan motivasi kepada penulis. Semoga seluruh amal baik mereka mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis memanjatkan doa, semoga Allah SWT senantiasa memberikan barakah, taufik dan hidayahnya kepada kita semua. Amin. Jakarta, Juli 2008 Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................
i
Daftar Isi ...........................................................................................................
iii
Bab I.
Pendahuluan ......................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..............................................
9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................
9
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan.........................................
10
E. Sistematika Penulisan ....................................................................
11
Bab II. Gambaran Umum tentang Otonomi Daerah.....................................
12
A. Sejarah Singkat tentang Kota Depok...............................................
12
B. Letak Geografis Kota Depok ..........................................................
16
C. Terbentuknya Depok sebagai Kota Administratif ...........................
20
D. Terbentuknya Depok sebagai Kotamadya ......................................
24
Bab III. Tinjauan Umum tentang Otonomi Daerah di Indonesia .................
29
A. Konsep Otonomi Daerah.................................................................
29
B. Dasar Penerapannya .......................................................................
37
C. Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ....................
40
D. Kebijakan – kebijakan Tentang Otonomi Daerah Depok..................
47
Bab IV. Implikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah Kota Depok Terhadap Kemajuan Pembangunan ..................................................................
50
A. Manajemen Pemerintahan...............................................................
50
A.1. Kemasyarakatan………………………………………….......
53
A.2. Ekonomi...................................................................................
55
A.3. Politik.......................................................................................
58
Bab V. Penutup ..............................................................................................
62
Daftar Pustaka .................................................................................................
65
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 menyentak semua wilayah Indonesia. Ibarat sebuah “Kran Air” yang baru dibuka, gaung Otonomi Daerah (Otda) merambah ke semua wilayah. Tidak terkecuali sebuah kota kecil namun padat penduduk, yakni Depok. Semua daerah seakan-akan berlomba dalam menata wilayahnya. Entah itu penataan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau Intenal Managementnya.1 Otonomi daerah sebagai sebuah konsep dasar bermakna bahwa pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat memberikan/menyerahkan kewenangannya kepada pemerintah yang ada di daerah-daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya secara mandiri tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat dalam menanganinya. UU Otda memberikan kekuasaan penuh kepada daerah untuk mengelola daerahnya dengan baik, pemerintah tidak lagi bersifat sentralistik akan tetapi desentralistik.2 Otonomi penuh berarti tidak adanya wewenang pemerintah pusat di daerah Kabupaten maupun Kota kecuali dalam bidang keuangan dan moneter, pertahanan keamanan, peradilan, politik luar negeri dan agama. Dengan demikian 1
Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa Membangun Kota, (Depok : Pokja Wartawan Depok, 2005), Cet. Ke-1, h. 34 2 Desentralistik adalah penyerahan kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom (kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1
masing-masing daerah ditantang untuk kreatif dalam menentukan langkah-langkah dan kebijakan-kebijakan ysng diambil demi membangun kehidupan masyarakat seperti apa yang mereka cita-citakan. Dengan adanya Otda persoalan tidaklah sebatas penyerahan kekuasaan saja akan tetapi kesiapan dan kesanggupan dari wilayah yang diberi wewenang tersebut merupakan poin penting dari sukses atau tidaknya pelaksanaan Otda di Indonesia. Sebab daerah-daerah yang memperoleh hak otonom, dengan adanya hal tersebut artinya dituntut untuk bisa mandiri yang tentunya bagi daerah-daerah yang kurang siap dengan adanya Otda bukan saja mengemban tugas berat selain itu juga harus pandai mensiasati segala permasalahan yang ada agar mereka mampu mandiri. Jika tidak, tidak menutup kemungkinan mereka akan terpuruk lantaran tujuan pelaksanaan dari Otda tidak mampu mereka realisasikan. Salah satu penunjang keberhasilan dari Otda adalah terletak pada sejauhmana pemerintah daerah mampu berupaya untuk mengembangkan potensi yang ada agar bisa optimal demi kemajuan daerah mereka. Pemda dituntut untuk professional, pandai dan juga arief dengan harapan segala kebijakan yang diambil sejalan dengan maksud dan tujuan yang ingin diupayakan. Terbentuknya Depok sebagai Kotamadya pada dasarnya tidak terlepas dari besarnya aspirasi masyarakat, tuntutan Depok menjadi Kotamadya semakin maksimum lantaran hal yan gsatu ini (aspirasi masyarakat). Di sisi lain Pemda Kabupaten
Bogor
bersama
Pemda
Propinsi
Jawa
Barat
memperhatikan
perkembangan tersebut, dan mengusulkan kepada pemerintah pusat dan juga DPR.
Memperhatikan aspirasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam SK DPRD Kabupaten Bogor, 16 Mei 1994, Nomor 135/SK,DPRD/03/1994 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Keputusan DPRD Propinsi Jawa Barat, 7 Juli 1997 Nomor 135/Kep,Dewan.06/DPRD/1997 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok maka pembentukan Kota Depok sebagai wilayah Administratif baru ditetapkan berdasarkan UU No.15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daeah Tk. II Depok yang ditetapkan pada 20 April 1999. Tanggal 27 April 1999 Depok resmi menjadi Kotamadya berbarengan dengan pelantikan Pejabat Wali Kotamadya Kepala Daerah Tk. II Depok, Drs. H. Badrul Kamal. Sebagai daerah yang memperoleh hak otonomi Depok tentunya mengalami apa yang dijelaskan di atas bahkan mungkin lebih berat, bayangkan wilayah yang sebelumnya amat bergantung kepada Pemerintah Pusat dan pemerintah Propinsi Jawa Barat, kini mau tidak mau harus mencoba mandiri. 3 Adalah tugas yang tidak ringan bagi Pemkot Depok untuk bisa – paling tidak berupaya agar Depok mampu terus berjalan walaupun harus terseok-seok. Proses Otda (Otonomi Daerah) yang harus dijalani oleh Pemkot Depok tidaklah mudah, banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh Pemkot Depok untuk mengarah pada yang namanya perbaikan. Perbaikan kedalam harus dilakukan oleh Pemkot Depok dikarenakan disana-sini masih banyak kekurangan. Hal-hal seperti ; SDM aparatur pemerintahan Kota Depok yang minim dan kurangnya tenaga
3
Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa, h. 34
professional adalah salah satu bentuk pekerjaan rumah (PR) Pemkot Depok. disaat akan melakukan pembenahan Pemkot Depok pun terbebani oleh benturan dana, lantaran pemerintah pusat tidak memiliki dana awal. Dana hanya diberikan oleh tingkat Kabupaten dan Propinsi. Yang tidak kalah pentingnya juga Depok lahir ditengah puncak krisis multidimensi (Tahun 1999). Di sinilah kemudian pemerintah daerah Kota Depok diuji sejauhmana kinerja mereka dalam menghadapi tugas berat yang harus mereka emban. Sebagai orang nomor satu di Depok sosok Badrul Kamal adalah orang yang paling berat bebannya lantaran harus membawa Depok kepada arah perbaikan sehingga Depok bisa berkembang dan mengalami kemajuan. Sukses atau tidaknya proses Otda yang harus dilalui Kota Depok dan berkembang atau tidaknya Depok saat itu, sedikit banyak tergantung pada sosok Badrul Kamal yang mengemban tugas sebagai kepala pemerintahan Kota Depok. Lantaran bukan saja kepemimpinannya
mampu
membuat
Depok
tetap
eksis
namun
juga
kepemimpinannya mampu membawa perubahan bagi Kota Depok kepada arah yang lebih maju. Lahirnya Depok seperti sekarang ini adalah sebuah pertanyaan tersendiri bagi penulis. Pemberdayaan SDM adalah proses peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kapasitas dari semua penduduk suatu masyarakat. Dilihat dari segi ekonomi, pemberdayaan SDM dapat digambarkan sebagai akumulasi modal manusia. Dilihat dari segi politik, pengembangan atau pemberdayaan SDM adalah mempersiapkan orang-orang untuk bukan saja aktif berpartisipasinamun juga menyadari dengan
penuh rasa tanggung jawab akan pentingnya proses politik dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasca reformasi seperti sekarang ini, pembangunan SDM sebagai pilar pembangunan amat relevan. Bagi daerah-daerah tertentu mungkin menjadi sangat relevan. Hal ini terjadi lantaran tidak semua daerah memiliki kualitas SDM yang cukup baik. Sebagai salah satu contoh Depok, minimnya SDM yang memadai menjadi persoalan bagi Pemkot Depok masa pemerintahan Badrul Kamal, terlalu sedikitnya SDM yang secara administrasi mampu memenuhi persyaratan untuk menjadi Kepal Dinas menyebabkan beberapa dinas hanya diisi oleh pejabat sementara atau pejabat yang menjalankan tugas sebagai Kepala Dinas. 4 Di sisi lain, pembangunan disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dalamnya pembangunan daerah, tentunya memerlukan peran aktif masyarakat. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, kedaulatan rakyat adalah hal yang mutlak. Karena itu rakyat bukan saja objek melainkan juga sebagai subjek dari pembangunan. Ini artinya rakyat haruslah diikutsertakan dalam proses pembangunan, mulai dari formulasi kebijakan, implementasi kebijakan hingga ke tahap evaluasi kebijakan. 5 Untuk merealisasikan itu semua, dibutuhkan kesadaran yang tinggi dalam bernegara, sehingga tercipta masyarakat yang maju dan cerdas serta berdedikasi tinggi dan tercipta Good Government sebagai struktur utama dalam bernegara. 4
Rusna Djanur Buana, H. Badrul Kamal Membangun Kota Depok, (Depok : Adhyssa Promosindo, 2005), Cet. Ke-2, h. 103 5 Jimly Asshidiqie, (ed), et.al., Sumber Daya Manusia untuk Indonesia Masa Depan, (Jakarat : PT. Citra Putra Bangsa, 1997), Cet. Ke-3, h. 187
Mewujudkan kesadaran yang tinggi dalam bernegara dan menciptakan masyarakat yang cerdas serta berdedikasi tinggi bisa ditempuh melalui jalur pendidikan. Hal pemenuhan pendidikan adalah merupakan tanggung jawab Negara. Ini sejalan dengan amandemen UUD 1945 yang ke-empat pasal 31 ayat 1-5, yang berbunyi : a. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan b. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya c. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan UU d. Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran dan pendapatan negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional e. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia 6
Pasal di atas begitu jelas mengamanatkan kepada negara akan hal pemenuhan hak rakyat dalam memperoleh pendidikan. Ini semestinya menjadi dasar yang kuat bagi terciptanya kualitas SDM yang baik, mengingat pembangunan dibidang pendidikan merupakan faktor utama bagi terciptanya mutu SDM yang berkualitas. Sementara itu, dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, urusan pendidikan juga diserahkan kepada daerah. Ini berarti daerah memiliki wewenang penuh dalam mengelola pendidikan yang ada di daerahnya, baik pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi.7
6
Heru Santoso, (ed), Sari Pendidikan Pancasila ; Dan UUD 1945 Setelah Perubahannya, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), Cet. Ke-1, h. 128 7 H.A.R. Tilaar, Kekuasaan Dan Pendidikan ; Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang : Indonesia Tera, 2003), Cet. Ke-1, h. 228
Di sisi lain bicara tentang Depok, keadaannya tempo dulu berbeda dengan Depok yang sekarang. Julukan Depok sebagai tempat jin buang anak lantaran hampir seluruh wilayahnya diselimuti oleh hutan belantara perlahan mulai hilang mengingat semenjak Universitas UI dipindahkan ke Depok, perlahan namun pasti wajah Depok saat ini telah berubah terutama di sepanjang jalan Margonda yang sekarang menjadi pusat perkembangan dan juga merupakan lambing kemajuan Depok. Betapa pesatnya pertumbuhan Depok, saat ini hampir tidak ada sejengkal tanahpun yang dibiarkan “menganggur”. Setiap sentimeter lahan Margonda telah menjadi lahan kegiatan ekonomi dan membuatnya sebagai pusat pertumbuhan Kota Depok. sebagai kota baru – ditilik dari formulasi kelahirannya (27 April 1999), dinamika ekonomi kota Depok sangat mengejutkan. Tahun 1998 atau setahun sebelum berstatus kota, pertumbuhan ekonomi Depok mengalami minus. Berdasarkan data Biro Statiska Kota Depok 1998-2000 menunjukan, tahun 1998 pertumbuhan sektor primer yang mengandalkan pertanian -28,96 persen, sekunder (industri pengolahan, listrik, gas, air minum, bangunan dan konstruksi) 38,79 persen, sektor tersier -14,89 persen. Hal ini tidak terlepas dari krisis politik dan ekonomi nasional, serta krisis ekonomi di kawasan Asia. Hal ini yang menjadi faktor tidak berkembangnya potensi ekonomi Depok adalah statusnya yang berada dalam bayang-bayang Kabupaten Bogor.8 Geliat Kota Depok mulai tampak pada tahun pertama setelah Depok berstatus Kotamadya. Seluruh sektor perekonomian menggeliat dan berpacu membangun Kota 8
Rusna Djanur Buana, H. Badrul Kamal Membangun Kota Depok, (Depok : Adhyssa Promosindo, 2005), Cet. Ke-2, h. 3
Depok. Ini ditandai dengan naiknya sektor primer seperti pertanian yang tadinya minus dua digit, mengalami pertumbuhan positif mencapai 2,67 persen. Sektor sekunder pun mengalami pertumbuhan 0,4 persen. Bidang industri pengolahan memperlihatkan hal yang positif dengan meningkat menjadi 0.08 persen, sedangkan listrik dan air minum serta bangunan dan konstruksi masing-masing mengalami pertumbuhan 4,18 persen dan 0,26 persen. 9 Pada masa transisi pertumbuhan itu bisa dibaca sebagai indikator sangat positif
bagi pondasi ekonomi lokal yang kokoh. Hal yang prestisius adalah
pertumbuhan ekonomi lokal Depok melampaui PDRB Jawa Barat yang sebesar 1,22 persen dan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) Indonesia yang hanya mencapai 0,79 persen. Begitu kontrasnya gambaran Kota Depok di atas dan keadaan riilnya saat ini bila dibandingkan Depok tempo dulu, mengindikasikan bahwa Depok mengalami perubahan dan perbaikan. Ini seolah-olah menjadi indikator positif yang tak bisa dipisahkan dari perubahan status Depok menjadi Kotamadya. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mendahulukan penelitian mengenai Otonomi Daerah di Indonesia, yang menitik beratkan pada pelaksanaannya di Daerah Kotamadya Depok. Pemilihan Kotamadya Depok sebagai tempat penelitian karena Depok secara geografis merupakan daerah penyangga Ibu Kota Negara (DKI Jakarta) yang juga daerah penghubung antara DKI Jakarta dan Jawa Barat. Selain itu Depok juga memiliki beberapa potensi daerah yang bisa dijadikan anadalan seperti SDA, sektor
9
Buana, H. Badrul Kamal Membangun, h.3-4
perekonomian khususnya dibidang perdagangan dan jasa, serta sektor industri lainnya. Selain alasan objektif di atas, alasan subjektif adalah penulis sendiri kelahiran Depok. dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat berguna bagi masyarakat Depok, khususnya bagi aparatur pemerintahan Kota Depok dalam menjalankan roda pemerintahan. Adapun judul skripsi yang coba penulis angkat adalah “Otonomi Daerah di Indonesia (Studi Kasus Daerah Kota Madya Depok )”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar pembahasan dalam karya ini lebih terarah, maka penulis membatasi dan memfokuskan kajian seputar penerapan Otonomi Daerah di Kota Depok dan implikasinya terhadap kemajuan pembangunan.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan yang diharapkan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui secara umum bagaimana pelaksanaan Otonomi Daerah Depok b.Untuk mengetahui sejauhmana Otonomi Daerah Depok berimplikasi terhadap kemajuan pembangunan
Sementara di sisi lain kegunaan penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi positif, baik secara akademis maupun non akademis. Selain itu sebagai syarat untuk memperoleh gelar S.I, dengan karya tulis ini juga penulis berharap semoga dapat bermanfaat bagi sarana menambah pengetahuan dalam mempelajari Otonomi Daerah. Karya tulis ini penulis harapkan juga bermanfaat bagi jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin & Filsafat tempat dimana penulis menimba ilmu.
D. Metode Penelitian Adapun metode yang akan digunakan penulis adalah Library Research (studi pustaka) dengan berusaha mencari dan mengumpulkan data-data di perpustakaan yang sesuai dengan pembahasan. Selain itu juga penulis akan menggunakan mediamedia seperti; surat kabar, majalah, bulletin dan sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan sebagai bahan referensi penulis dalam menelaah pembahasan. Adapun analisa yang akan penulis gunakan dalam karya tulis ini menggunakan
metode
deskriptif-analitik,
yaitu
suatu
pendekatan
dengan
mendeskripsikan atau mengurai unsur-unsur yang berkaitan dengan tema dimaksud serta menganalisanya. Sehingga data yang ada/yang diperoleh baik melalui peraturan daerah maupun referensi lain, agar diperoleh suatu jawaban yang pasti tentang hal yang menjadi kajian dalam skripsi ini.
Untuk aturan penulisan, penulis berlandaskan pada Buku Pedoman Akademik FUF Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh UIN Jakarts Press Tahun 2005/2006
E. Sistematika Penulisan Dalam hal sistematika penulisan , penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, yang disusun sebagai berikut : Bab I adalah Pendahuluan, yang berisikan : Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan, serta Sistematika Penulisan. Bab II adalah Gambaran Umum Tentang Kota Depok, yang meliputi : Sejarah Singkat Tentang Kota Depok, Letak Geografis Kota Depok, Terbentuknya Depok Sebagai Kota Administratif, Terbentuknya Depok Sebagai Kotamadya. Bab III adalah Tinjauan Umum Tentang Otonomi Daerah di Indonesia, yang meliputi : Konsep Otonomi Daerah, Dasar Penerapannya, dan Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. BAB IV adalah Impliksi Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Depok, yang meliputi : Manajemen Pemerintahan, Kemasyarakatan, Ekonomi, Politik, BAB V adalah Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG KOTA DEPOK
A. Sejarah Singkat Tentang Kota Depok Kota Depok tempo dulu tak lebih sebuah dusun terpencil di tengah hutan belantara. Baru pada 18 Mei 1696 ketika seorang pejabat tinggi VOC bernama Cornelis Chasteelien membeli areal tanah seluas 1.244 hektar (Depok dan sedikit wilayah Batavia Selatan), wajah Depok perlahan berubah menjadi sebuah wilayah yang bukan saja layak huni namun juga berubah menjadi sebuah Kota baru yang dilihat dari segi pembangunan tergolong mengalami kemajuan. Melihat Depok dengan wajahnya sekarang tentu sangat jauh berbeda dengan keadaannya tempo yang dijuluki tempat jin buang anak. Tahun 1871 pemerintah Belanda mengizinkan daerah Depok membentuk pemerintahan keresidenan sendiri dan diakui hingga 1942. Saat itu Depok diperintah oleh seorang Presiden
(sic)
(Cornelis Chasteelien) sebagai Badan Pemerintahan
Tertinggi. Di bawahnya terdapat kecamatan yang membawahi mandat (9 mandor) dan dibantu oleh para Pencalang Polisi Desa serta Komutir atau Menteri Lumbung. 10 Dari sinilah kemudian Cornelis disebut-sebut sebagai cikal-bakal Kota Depok. Lebih jauh bagaimana cerita sejarah tentang Kota Depok secara sekilas dapat kita lihat dari penjelasan berikut :
10
Eman Sutriadi dkk, Profil Penyelenggara Kota Depok Jawa Barat – Indonesia, (Depok : Yayasan Bakti Insan Persada, 2004), h. xii
“…Maka hoetan jang laen disabelah timoer soengei karoekoet sampai pada soengei besar, anak koe Anthony Chastelein tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanja boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan teoroen-temoeroennja tijada sekali-kali boleh potong ataoe memberi izin akan potong kajoe dari hoetan itoe boewat penggilingan teboe…dan mareka itoe tijada boleh bikin soewatoe apa djoega jang boleh djadi meroesakan hoetan itoe dan kasoekaran boeat toeroen-temoeroennja…”.11
Penggalan kalimat di atas (dengan ejaan Van Ophuijsen) merupakan hasil terjemahan Bahasa Belanda Kuno yang diambil dari isi Surat wasiat Cornelis Chastelein kepada anaknya Anthony Chastelein tertanggal 14 Maret 1714. Cornelis Chastelein adalah seorang Tuan tanah eks pegawai (pejabat) VOC (Verenigde Oost – indische Companigne). Sebagai anak bungsu, Cornelis mengikuti jejak ayahnya bekerja di VOC. Kedatangannya ke tanah Batavia (sekarang Jakarta) menumpang kapal uap yang saat itu memakan waktu kurang lebih tujuh bulan dengan melaui Tanjung Harapan, ujung selatan Benua Afrika. Saat dirinya aktif sebagai pegawai VOC, karier Cornelis ternyata cepat menanjak, makanya tak heran jika kemudian ia dipercaya menjadi anggota Real Ordinair atau Pejabat Pengadilan di VOC. Namun, kemudian ia pun lebih memilih hengkang dari VOC lantaran melihat pratek-praktek kecurangan dan kebobrokan ditubuh VOC. Dekadensi moral serta korupsi disegala bidang lapisan pihak-pihak Kompeni Belanda bertentangan dengan hati nurani penginjil ini. Sebagai agamawan panatik Cornelis tidak senang melihat dan menghadapi keadaan tersebut, maka ia tetap bersikukuh untuk keluar dari VOC. Saat itu Gubernur Jendral VOC dipindah tugaskan dari J. Champhuys ketangan Willem Van Outhorn, tiga bulan sebelum Cornelis resmi mengundurkan diri. 11
Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa Membangun Kota, (Depok : Pokja Wartawan Depok, 2005), Cet. Ke-1, h. 4
Cornelis Chastelein disebut-sebut sebagai penganut poligami, sedikitnya dua gadis pribumi dinikahi selain Chatarina Van Vaalberg. Meskipun tidak ada catatan mengenai siapa kedua perempuan tersebut, akan tetapi tercatat nama anak-anak Chastelein dari hasil perkawinannya tersebut, yaitu Maria Chastelein yang diakuinya sebagai anak dihadapan notaries, dan seorang lagi bernama Chatarina Van Batavia.12 Akhir abad 17 atau tepatnya pada tanggal 18 Mei 1696, Chastelein membeli beberapa bidang tanah di Batavia dan sekitarnya
(Sic).
Disebut-sebut daerah seperti
Jatinegara, Kampung Melayu, Pejambon, Mampang dan Depok menjadi hak milik Chastelein. Depok sendiri dibelinya seharga 700 ringgit dengan status tanah partikelir atau swasta yang lepas dari kekuasaan Kerajaan Hindia Belanda. Daerah otonomi Chastelein itu kemudian dikenal dengan sebutan Het Gemeente Bestuur Van Het particuliere Land Depok.13 Sebagai seorang meneer (Tuan tanah) saat itu ia menguasai tanah seluas 1.244 hektar, ini setara dengan kira-kira enam wilayah kecamatan pada zaman sekarang. Untuk menggarap wilayahnya tersebut, Chastelein kemudian mendatangkan para pekerja dari banyak wilayah, tercatat daerah Bali, Makasar, NTT, Maluku, Ternate, kei, Jawa, Batavia (Betawi), Pulau Rote, dan Filipina adalah wilayah-wilayah asal para pekerja tersebut. Semua berjumlah 120 orang (sumber lainnya menyebutkan 150 orang).
12
Rusna Djanur Buana, H. Badrul Kamal Membangun Kota Depok, (Depok : Adhyssa Promosindo, 2005), h. 16 13 Buana, H. Badrul Kamal Membangun Kota, h. 17
Latarbelakangnya yang dikenal sebagai penganut Protestan yang taat, atas permintaan ayahnya ia menyebarkan agama Kristen kepada para pekerjanya (budaknya). Chastelein membagi para pekerjanya menjadi 12 Fam (nama keluarga/marga). Fam itu antara lain; Soedira, Leander, Laurens, Jonathans, Loen, Tholense, Samuel, Joseph, Bacas, Jakob, Isakh, dan Zadokh. Untuk Fam yang disebutkan terakhir yaitu Fam Zadokh kini sudah tidak ada lagi. Hilangnya Fam ini disinyalir keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki yang mewarisi nama Fam Zadokh. Status Cornelis sebagai penguasa tanah partikelir memungkinnya mengatur pemerintahan sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah Belanda. Tak heran jika kemudian para pekerjanya saat itu mendapat hak yang sama dengan warga Belanda,
termasuk
dalam
bidang
pendidikan.
Untuk
menggerakkan
roda
pemerintahannya Chastelein memberlakukan sistem cukai kepada warganya, yang tidak lain adalah para pekerjanya. Besarnya cukai yang diterapkan Chastelein adalah 20% dari hasil panen para pekerjannya. Pada tanggal 28 Juni 1714, Cornelis Chastelein tutup usia. Namun sebelum itu, tepatnya tanggal 13 Maret 1714 ia sempat menulis surat wasiat yang di dalamnya antara lain berisi dan menjelaskan bahwa ia menghapus status budak para pekerjanya dan memerdekakan mereka. Bukan hanya itu, setiap keluarga berhak mendapatkan 16 ringgit. Hartanya 300 kerbau, dua perangkat gamelan berlapis emas, 60 tombak perak, juga dihibahkan Chastelein kepada para eks pekerjanya. Ia pun mewariskan beberapa bidang tanah kepada para eks pekerjanya.
Tahun 1715 Anthony, putra Cornelis Chastelein meninggal. Pada 1871 pemerintah Hindia Belanda memutuskan Depok menjadi wilayah otonomi sendiri. Pada tanggal 4 Agustus 1952 pemerintah Indonesia mengambil alih tanah partikelir yang dikuasai 12 Fam dan keluarga Chastelein setelah adanya perjanjian pelepasan hak dengan pimpinan Gemeente Bestuur Depok. Pemerintah Indonesia memberikan ganti rugi sebesar Rp. 229.261,26. Peralihan hak milik tanah partikelir tersebut ketangan pemerintah Indonesia menjadi tanda berakhirnya perjalanan keluarga Chastelein.14 Kendati demikian nama Chastelein dan sejarah hidupnya disebut-sebut terkait dan merupakan cikal-bakal dari lahirnya Kota Depok.15 Perkembangan pesat Kota Depok mulai tampak pada tahun 1976. Sebagai daerah penyangga Jakarta, lahan-lahan Depok mulai dibangun perumahan dan berkembang terus yang pada akhirnya pada tahun 1981 Pemerintah Pusat membentuk Depok menjadi Kota Administratif (Kotif). Tanggal 18 Maret 1982 Depok resmi menjadi Kotif yang saat itu diresmikan oleh Mentri Dalam Negeri Bapak H. Amir Machmud. Depok pun semakin menggeliat setelah statusnya kembali berubah yang tadinya Kotif (Kota Administratif) menjadi Kotamadya (Kota) sesuai dengan UU No.15 tahun 1999 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok. Bagaimana terbentuknya Depok menjadi Kotif dan Kodya akan dapat kita lihat pada pembahasan selanjutnya.
14
Rusna Djanur Buana, H. Badrul Kamal Membangun Kota Depok, (Depok : Adhyssa Promosindo, 2005), h. 20 15 Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa Membangun Kota, (Depok : Pokja Wartawan Depok, 2005), Cet. Ke-1, h. 5
B. Letak Geografis Kota Depok Secara geografis Depok terletak pada koordinat 6° 19’00’’ Lintang Selatan dan 106°43’00’’ - 106°55’30’’ Bujur Timur. Bentang alam Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah – perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50-140 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15 persen. Kota Depok sebagai salah satu wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 Km2 (sumber lain menyatakan 207.006 Km2).16 Berdasarkan letak geografis, Depok berbatasan dengan tiga Kabupaten dan satu Propinsi. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat (sekarang Kecamatan Pamulang) Kabupaten Tangerang dan masuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede - Kota Bekasi, dan Kecamatan Gunung Putri - Kabupaten Bogor. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong Gede - Kabupaten Bogor. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.17 Ibukota Kota Depok sebagai pusat pemerintahan, berkedudukan di Kecamatan Pancoran Mas. Tahun 2002 Kota Depok yang terdiri dari 6 Kecamatan dan 63 Kelurahan memiliki 779 RW dan 3.909 RT. Hampir sebagian besar kelurahan di Kota Depok
16
Kota Depok Dalam Angka 2002, (Depok : BPS-Depok, 2003), h. vi Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa Membangun Kota, (Depok : Pokja Wartawan Depok, 2005), h. 10 17
sudah terklasifikasi sebagai Swasembada, yakni 53 kelurahan dan 10 kelurahan dalam klasifikasi Swakarya. Secara tofografis Kota Depok merupakan dataran landai dengan rata-rata ketinggian 121 meter dari permukaan laut dan merupakan daerah resapan air bagi DKI Jakarta. Ini tentu saja dalam penataan pembangunannya perlu dikendalikan dan direncanakan, sehingga tidak mengancam ketersediaan air bagi DKI Jakarta. Disamping itu, kondisi tanah wilayah Kota Depok terdiri dari tanah darat dan tanah persawahan dimana sebagian besar tanah darat yang ada oleh Pemda sekarang dijadikan areal pemukiman. Secara rinci penggunaan lahan Depok adalah sebagai berikut : Pemukiman ± 10.968 hektar, Pertanian ± 4.653 hektar, Industri ± 344 hektar, Rawa/Setu ± 91 hektar, dan lain-lain ± 3.973 hektar.18 Dari segi sosial kependudukan, perkembangan Kota Depok diikuti pula dengan peningkatan jumlah penduduk yang cepat. Pada tahun 1990 Kota Administratif Depok berpenduduk 271.134 jiwa dan pada tahun 2000 menjadi 1.143.403 jiwa, tahun 2001 1.204.687 jiwa dan meningkat lagi pada tahun 2002 menjadi 1.247.233 jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 3,53 persen per tahun. Dimana jumlah penduduk laki-laki sekitar 630.935 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sekitar 616.298 jiwa dengan rasio jenis kelamin 102. Penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja di Kota Depok sebesar 498.893 jiwa sedangkan yang mencari pekerjaan sebesar 109.258 jiwa.19
18
Eman Sutriadi dkk, Profil Penyelenggara Kota Depok Jawa Barat – Indonesia, (Depok : Yayasan Bakti Insan Persada, 2004), h. xiv 19 Kota Depok Dalam Angka 2002, (Depok : BPS-Depok, 2003), h. vii
Tahun 2002/2003 di Kota Depok terdapat sebanyak 328 SD, dengan jumlah murid 119.372 orang dan jumlah guru sekitar 4.109 orang. SLTP berjumlah 125 sekolah dengan jumlah murid 40.423 orang dan jumlah guru 2.040 orang. Ditingkat SLTA terdapat 96 Sekolah dengan jumlah murid dan guru masing-masing 33.656 orang dan 1.345 orang. Masih pada tahun yang sama, di Kota Depok terdapat 7 Rumah Sakit, 26 Puskesmas, 4 Puskesmas Pembantu. Jumlah dokter praktek sekitar 165 orang dengan rincian 113 dokter umum, 23 dokter gigi, 29 dokter spesialis. Sementara dalam hal sarana ibadah, di kota Depok terdapat 502 masjid, 196 langgar, 833 musholla, 130 gereja, 5 vihara dan 8 pura.20 Secara goegrafis Depok pada dasarnya berpotensi untuk meju, mengingat posisinya yang berbatasan langsung dengan pusat pereknomian nasional sekaligus Ibukota Negara yaitu DKI Jakarta. Letaknya yang strategis tersebut menempatkan Depok sebagai pintu gerbang (pintu gerbang antara DKI dan Jawa Barat) bagi warga Jakarta yang ingin ke wilayah Jawa Barat ataupun sebaliknya melalui jalur selatan. Namun keunggulan ini tidak akan berarti apa-apa bila pemerintah Kota Depok tidak mampu memanfaatkan secara maksimal.21 Selain itu Depok yang tergolong wilayah termuda di Jawa Barat memiliki potensi yang dapat dijadikan modal untuk pembangunan yang mengarah pada perbaikan/kemajuan.
Sektor-sektor
seperti
pertanian,
industri,
perdagangan,
perhubungan dan komunikasi, serta keuangan dan koperasi adalah aset penting bagi
20
Kota Depok Dalam Angka, h. vii Rusna Djanur Buana, H. Barul Kamal Membangun Kota Depok, (Depok : Adhyssa Promosindo, 2005), h. 32 21
Depok sebagai modal pembangunan, tinggal sejauhmana Depok dalam hal ini Pemda dapat mengelola dengan baik sehingga bisa menjadi salah satu sumber bagi PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang nantinya bermanfaat bagi pembangunan daerah. Kedudukan Depok yang strategis tidak menutup kemungkinan menjadi daya tarik bagi para investor dalam dan luar negeri untuk menanamkan modalnya di Depok, yang bila dilihat dari sektor ekonomi hal ini sangat menguntungkan. Ini artinya, kemajuan atau pembangunan kearah yang lebih baik bukanlah sebuah hal yang mustahil atau tidak mungkin bisa dicapai oleh Pemda Depok selaku pengelola daerah. C. Terbentuknya Depok sebagai Kota Administratif Dekade tahun 1970-an Depok masih berbentuk Kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Bogor - Jawa Barat. Tahun 1976, permukiman warga mulai dibangun dan berkembang. Pemerintah Propinsi Jawa Barat selaku Pemda yang membawahi Kecamatan Depok tentu mengawasi apa yang terjadi di Depok. Sejalan dengan perkembangan pemukiman yang terjadi di daerah Depok, Propinsi Jawa Barat (Pemda) kemudian mengajukan usulan peningkatan Kecamatan Depok menjadi Kota Administratif Depok. Bak gayung bersambut, Pemerintah Pusat terinspirasi untuk menjadikan Depok sebagai daerah hinterland atau daerah pendukung dan penyangga Ibukota Jakarta. Saat itu Presiden Soeharto mengeluarkan Intruksi No. 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Terpadu yang meliputi Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi yang disingkat Jabotabek.22
22
Buana, H. Barul Kamal Membangun Kota, h. 23. Baca juga Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa Membangun Kota, (Depok : Pokja Wartawan Depok, 2005), h. 8
Usulan menjadikan Depok sebuah Kota Administratif akhirnya terwujud setelah pemerintah mengeluarkan PP No. 41 Tahun 1981 tentang Pembentukan Kota Administratif.23 Tanggal 18 Maret 1982 peresmian perubahan status itupun dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri yang saat itu dijabat Amir Machmud. Depok sejak saat itu resmi menjadi wilayah Administratif yang membawahi tiga Kecamatan dengan luas areal 6.794 hektar. Ketiga Kecamatan itu antara lain ; Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Beji, dan Kecamatan Sukmajaya. Wilayah itu kemudian ditambah dengan empat desa dari Kecamatan Cimanggis, dan dua desa dari Kecamatan Cibinong. Bila dispesipikasi ketiga Kecamatan tersebut terbagi dua puluh desa, dengan pembagian sebagai berikut : 1. Kecamatan Pancoran Mas, meliputi : a. Desa Depok b. Desa Depok Jaya c. Desa Pancoran Mas d. Desa Mampang e. Desa Rangkapan Jaya f. Desa Rangkapan Jaya Baru 2. Kecamatan Sukmajaya, meliputi : a. Desa Abadijaya b. Desa Mekarjaya
23
Buana, H. Barul Kamal Membangun Kota, h. 23
c. Desa Baktijaya d. Desa Sukmajaya e. Desa Sukamaju f. Desa Cisalak g. Desa Kelurahan Kalibaru h. Desa Kalimulya i.
Desa Jatimulya
j.
Desa Kelurahan Cibinong
3. Kecamatan Beji, meliputi : a. Desa Beji b. Desa Beji Timur c. Desa Kemirimuka d. Desa Pondok Cina e. Desa Kukusan f. Desa Tanah Baru Secara Administratif Depok berbatasan dengan : 1. Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Jagakarsa Propinsi DKI Jakarta 2. Bagian Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor 3. Bagian Barat berbatasan dengan Kecamatan Sawangan Kabupaten Bogor
4. Bagian
Timur
berbatasan
dengan
Kecamatan
Cimanggis
Kabupaten Bogor.24 Depok menjadi wilayah Administratif selama tujuh belas tahun. Dalam kurun waktu yang cukup panjang itu, Depok mengalami enam kali pergantian walikota, adalah sebagai berikut: 1. Drs. Moch. Rukasah Suradimadja (1982-1984) 2. Drs. H. M. I. Tamdjid (1984-1988) 3. Drs. H. Abdul Wachyan (1988-1991) 4. Drs. H. Moch. Masduki (1991-1992) 5. Drs. H. Sofyan Safari Hamim (1992-1996) 6. Drs. H Badrul Kamal (1997-1999) Dilihat dari priodesasi kepemimpinan di atas mengisyaratkan begitu demokratisnya kehidupan politik di Depok saat itu. Ini bisa dilihat dari tidak adanya pemimpin (walikota) yang menjabat dalam tempo yang sangat lama atau menjadi penguasa tunggal, hal yang berbeda terbalik bila kita lihat pada tataran politik nasional dimana Soeharto menjadi penguasa selama 32 tahun. Selama tujuh belas tahun keenam walikota tersebut mengawal dan mengupayakan pembangunan bagi Depok dengan segala keterbatasannya, mengingat posisinya yang masih di bawah bayang-bayang Kabupaten Bogor. Ketergantungan Depok terhadap kebijakan yang datangnya dari atas dalam hal ini Kabupaten Bogor
24
Imbas dari pemekaran Depok menjadi Kotamadya, daerah-daerah yang tadinya berbatasan dengan Kotif Depok dalam perkembangan berikutnya masuk ke dalam wilayah Depok (Kotamadya). Perbatasan ini mengalami perubahan ketika Depok berstatus Kotamadya.
sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat dan Propinsi telah menyulitkan Depok untuk berkembang. Ditambah lagi lemahnya perhatian Pemerintah Kabupaten mengingat Depok terlalu jauh dari pusat pemerintahan kota Bogor. Belum lagi ditambah adanya kewajiban menyetor uang kepada Pemerintah Kabupaten dan Propinsi yang pemanfaatannya tergantung kepada kebijakan keduanya, semakin membuat Depok tak berkutik. Bayangkan bila PAD Depok yang hanya sebesar Rp. 11,4 miliar saat itu masih harus berbagi dengan Kabupaten Bogor dan penggunaannya masih diatur oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Ini jelas menggambarkan bahwa pertumbuhan Depok sangat tergantung pada kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor.25
D. Terbentuknya Depok sebagai Kotamadya Terbentuknya Depok menjadi Kota seperti sekarang ini pada dasarnya tidak terlepas dari pesatnya perkembangan dan tuntutan masyarakatnya yang mendesak agar Depok menjadi sebuah Kotamadya. Disisi lain Pemda Bogor bersama Pemda Propinsi Jawa Barat juga memperhatikan perkembangan tersebut yang kemudian mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Kemudian dengan memperhatikan aspirasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan DPRD Kabupaten Bogor Nomor 135/SK,DPRD/03/1994
25
Buana, H. Barul Kamal Membangun, h. 3
tepatnya 16 Mei 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Keputusan DPRD Propinsi Jawa Barat 7 Juli 1997 Nomor 135/Kep, Dewan DPRD.06/DPRD/1997 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok, maka pembentukan Kota Depok sebagai wilayah Administratif baru ditetapkan berdasarkan UU No. 15 Tahun 1999, tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999.26 Pada tanggal 27 April akhirnya Depok resmi menjadi Kotamadya yang proses peresmiannya berbarengan dengan pelantikan Drs. H. Badrul Kamal sebagai Pejabat Wali Kota Madya Daerah Tingkat II Depok yang pertama, pada waktu itu beliau menjabat Walikota Administratif Depok. Akibat statusnya yang berubah, wilayah Depok diperluas ke Kabupaten Bogor lainnya. Depok yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga Kecamatan, yaitu; Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Beji, dan Kecamatan Sukmajaya. Kemudian diperluas (dimekarkan) menjadi enam Kecamatan, dimana wilayah Kecamatan Limo, Kecamatan Cimanggis, dan Kecamatan Sawangan masuk kewilayah Kotamadya Depok. Ditambah beberapa desa yang masuk wilayah Kecamatan Bojong Gede diantaranya ; Desa Bojong Pondok Terong, Ratujaya, Pondok Jaya, Cipayung, dan Cipayung Jaya. Dengan demikian, setelah statusnya berubah menjadi Kotamadya, wilayah Depok terdiri dari enam Kecamatan, enam puluh tiga Kelurahan, 772 RW,
26
Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa Membangun Kota, (Depok : Pokja Wartawan Depok, 2005), h. 9
3.850 RT serta 218.095 Rumah Tangga, dengan luas wilayah sekitar 207.006 Km2.27
Dari pejelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa perubahan status yang terjadi pada Kota Depok melalui jalan yang panjang. Proses yang terjadi pun menuntut kesabaran dan penantian yang tidak sebentar. Banyak energi yang terkuras disini, mungkin karena itu pulalah Depok semakin mematangkan diri dalam menghadapi perubahan status Kota yang tadinya Kotif menjadi Kotamadya (Kota). Proses politiknya yang terbilang berbelit-belit kemungkinan disebabkan oleh proses birokrasi yang berlaku di Indonesia. Banyaknya tahapan yang mesti dilalui menyebabkan proses perubahan itupun menjadi lama. Maka tak heran bila kemudian Badrul Kamal selaku walikota Administratif Depok saat itu bersama tokoh masyarakat yang ada harus berpeluh keringat menggapainya. Badrul pun kemudian aktif melobi Gubernur Jawa Barat dan Pemda Bogor serta DPRD Bogor, sementara para tokoh berusaha meyakinkan DPR dan eksekitif (pemerintah). Akhirnya perjuangan pun mendapatkan hasil maksimal setelah Mendagri Syarwan Hamid menetapkan peningkatan status Depok bersama sejumlah daerah lainnya. Pengesahan Depok menjadi Kotamadya yang kemudian disebut Kota dilaksanakan di Plaza Departemen Dalam Negeri pada tanggal 27 April 1999.28 Kemudian berdasarkan UU No. 15 tahun 1999 wilayah Kota Depok meliputi wilayah Administratif Depok yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya ditambah dengan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, yaitu : 27 28
Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa, h. 9 Buana, H. Barul Kamal Membangun, h. 26
1. Kecamatan Cimanggis, meliputi : a. Kelurahan Cilangkap b. Desa Pasir Gunung Selatan c. Desa Tugu d. Desa Mekarsari e. Desa Cisalak Pasar f. Desa Curug g. Desa Hajarmukti h. Desa Sukatani i.
Desa Sukamaju Baru
j.
Desa Jatijajar
k. Desa Tapos l.
Desa Cimpaeun
m. Desa Luwinanggung 2. Kecamatan Sawangan, meliputi : a. Desa Sawangan b. Desa Sawangan Baru c. Desa Cinangka d. Desa Kedaung e. Desa Serua f. Desa Pondok Petir g. Desa Curug
h. Desa Bojongsari i.
Desa Bojongsari Baru
j.
Desa Duren Seribu
k. Desa Duren Mekar l.
Desa Pengasinan
m. Desa Bedahan n. Desa Pasir Putih 3. Kecamatan Limo, meliputi : a. Desa Limo b. Desa Meruyung c. Desa Cinere d. Desa Gandul e. Desa Pangkalan Jati f. Desa Pangkalan Jati Baru g. Desa Kerukut h. Desa Grogol Selain mendapatkan tambahan tiga Kecamatan seperti yang telah disebutkan di atas, Depok mendapatkan tambahan lima desa yang semula masuk wilayah Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Lima desa tersebut adalah Cipayung Jaya, Ratu Jaya, Pondok Terong, dan Pondok Jaya. Kelima desa tersebut dimasukkan
kedalam wilayah Kecamatan Pancoran Mas. Kini, setelah lima tahun lebih berjalan, status desa tersebut meningkat menjadi kelurahan.29 Dari penjelasan di atas jelaslah kiranya bahwa terbentuknya Kota Depok tidak lepas dari kebijakan yang sifatnya skala nasional. Dimana pada saat yang bersamaan dan sesudahnya (tahun-tahun berikutnya) hampir semua daerah menuntut diberlakukannya hak otonom di daerah mereka. Sebagai sebuah kesimpulan sementara dapat penulis nyatakan bahwa perubahan status Depok dari kedudukan sebagai kota administrative yang disingkat Kotif menjadi kotamadya atau yang sering juga disebut kota, Depok menuju kepada arah pembangunan yang positif. Sebagai buktinya dapat kita lihat bagaimana pembangunan di sepanjang jalan margonda.
29
Buana, H. Barul Kamal Membangun, h. 30
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
A. Konsep Otonomi Daerah Ketika bola reformasi bergulir dan ketika sistem politik Negara berubah secara mendasar serta dalam rangka menghadapi tuntutan globalisasi yang syarat akan berbagai perubahan, tidak ada cara lain bagi pemerintah daerah untuk tetap survive, eksis pada abad 21 ini. Selain harus berbenah diri mereka juga (Pemda) harus akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan. Daerah harus mampu menyerasikan gerak langkah organisasi Pemda dengan tuntutan organisasi dan manajemen masa depan. Tuntutan reformasi yang diusung oleh masyarakat dimana mahasiswa berada pada barisan terdepan menuntut dilakukannya reformasi total sebagai koreksi terhadap berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintahan masa Orde Baru. Isu-isu demokratisasi pemerintahan ternyata bukan hanya mampu melengserkan rezim Soeharto namun juga berimbas pada terbukanya “Kran Air” yang selama ini tersumbat atau bahkan sengaja disumbat. Kebebasan berpendapat dan beraspirasi seakan-akan tak mau lagi dikekang, sehingga terkesan reformasi telah “menetaskan benih-benih kebablasan” mengingat begitu pariatifnya masyarakat memaknai arti reformasi dan kebebasan itu sendiri. Terlepas dari fenomena sejarah tersebut, bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya kekuasaan rezim Soeharto, ternyata berdampak cara
pandang para aparatur pemerintahan kita akan bagaimana jalannya pemerintahan selama ini. Terutama hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah yang selama ini bersifat sentralistik. Gagasan Otonomi pun semakin mendapat perhatian dan menjadi bahasan yang cukup menyita perhatian. Hal ini semakin diperkuat dengan banyaknya tuntutan yang datangnya dari daerah yang menginginkan wilayahnya mendapat hak otonom. Bergesernya sistem sentralistik menjadi desentralisasi disebut-sebut sebagai arus balik kekuasaan pusat ke daerah.30 Dalam Kamus Ilmiah Populer kata “Otonom” berarti “badan” (Daerah) yang mendapat hak otonomi. Sementara “Otonomi” sendiri mengandung arti mengurus diri (rumah tangga) sendiri ; pelaksanaan pemerintahan sendiri. 31 Dalam literature Belanda “Otonomi” searti dengan Zelfregering yang berarti pemerintahan sendiri, yang oleh Van Vollenhoven dibagi menjadi Zelfwetgeving (membuat
undang-undang
sendiri),
Zelfuitvoering
(melaksanakan
sendiri),
Zelfrechtspraak (mengadili sendiri), dan Zelfpolitie (memerintah sendiri). Otonomi atau Autonomy berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu; “autos” yang berarti “sendiri/self” dan “nomous” yang berarti “hukum atau peraturan” yag berarti : memberi aturan sendiri pemerintahan sendiri; atau hak untuk
30
S. H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Dearah, (Jakarta : Pustaka Sinar harapan, 1999), h. 2 31 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arkola, 1994) 3 Liat William L. Reece, Dictionary of Philosophy and Religion : Eastern and Western Though, Exponded Edition, (New York : Humanity Books, 1996), h. 54, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), h. 58
memerintah sendiri.32 Secara etimologi otonomi adalah kemampuan untuk membuat keputusan sendiri tentang apa yang hendak dilakukan terlepas dari pengaruh orang lain, atau mengungkapkan apa yang ingin diperbuat.33 Secara terminology, otonomi berarti : perasaan bebas;34 sering pula digunakan untuk menyebut; hak untuk menentukan sendiri dalam kebebasan moral dan pemikiran religius; atau hak memerintah sendiri (Self Government) bagian dari suatu kota, negara atau bangsa.35 Dalam konteks pendidikan, otonomi dapat diartikan ; hak untuk mengatur dan mengelola sendiri secara bebas dan bertanggungjawab akan manajemen pendidikan yang dilaksanakan. Sementara itu dalam konteks otonomi daerah, otonomi yaitu memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keaneka ragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka NKRI.36 Dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan, Otonomi Daerah berarti self government atau condition of living under one’s own lows. Artinya Otonomi
4
Baca John Sinclair (Ed), Collins COBUIL English Language Dictionary, Cet. 6, (London : Collins, 1990), h. 85 34
Baca Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Cet. 2, Terj. Tim Redaksi, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 16 35 Reece, Pendidikan Kaum Tertindas, h. 16 36 Baca UU Otonomi 1999, Cet. 4 (Jakarta : Restu Agung, 2001), h. 11, Baca juga UU Otonomi yang telah direvisi Tahun 2004
Daerah adalah daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws. 37 Dapat diartikan juga bahwa Otonomi Daerah adalah “Hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan Daerah Otonom adalah “Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.38 Berangkat dari pemahaman di atas, maka pada hakekatnya otonomi daerah adalah: 1. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah 2. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya itu di luar batas-batas wilayahnya 3. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain 4. Otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain baik secara vertikal maupun horizontal karena daerah memiliki actual independence39
37
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan, h. 33 Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan, h. 27 39 Actual Independence maksudnya daerah otonom bersifat self government, self sufficiency outhority, dan self regulation to its laws and affairs dari daerah lainnya baik secara vertical maupun secara horizontal 38
Adapun maksud dan tujuan otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan. melalui pemberian, pelimpahan, dan penyerahan sebagian tugas atau wewenang oleh pusat ke daerah diharapkan upaya pemerintah mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, lebih adil dan lebih makmur akan mudah terealisasikan. Dalam konteks ke Indonesiaan maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah secara tegas telah digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan. Pembangunan disini maksudnya pembangunan dalam arti luas yang meliputi segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dari sinilah muncul semacam kewajiban bagi daerah untuk ikut melancarkan pembangunan sebagai sarana bagi tercapainya kesejahteraan rakyat, yang diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab Tujuan pemberian otonomi kepada daerah setidak-tidaknya meliputi empat aspek sebagai berikut ; aspek politik, aspek manajemen pemerintahan, aspek kemasyarakatan, dan aspek ekonomi pembangunan.40 Aspek politik maksudnya untuk mengikutsertakan, menyalurkan aspirasi dan inspirasi masyarakat di lapisan bawah baik untuk kepentingan daerah maupun untuk kepentingan nasional dalam rangka proses pembangunan demokratisasi. Aspek manajemen pemerintahan maksudnya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terlebih pada pemberian pelayanan terhadap masyarakat yang salah satu upayanya dengan memperluas jenis-jenis pelayanan di 40
S. H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 36
berbagai bidang kebutuhan masyarakat. Aspek kemasyarakatan maksudnya, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat di daerah sehingga tidak terlalu bergantung pada pemberian pemerintah (pusat). Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan pemberdayaan (empowerment) pada masyarakat. Aspek ekonomi pembangunan maksudnya, untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, daerah mempunyai hak-hak berupa mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya (pemerintahannya), memilih pimpinan daerah, mengelola aparatur daerah, mengelola kekayaan daerah, mengatur pajak daerah dan retribusi daerah, mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerahnya, mendapatkan sumbersumber pendapatan yang berada di daerah, dan mendapatkan hak-hak lainnya yang diatur dalam perundang-undangan.41 Adapun kewajiban-kewajiban daerah yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi meliputi ; melindungi masyarakat, menjaga persatuan-kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan NKRI; meningkatkan kualitas hidup masyarakat; mengembangkan kehidupan demokrasi; mewujudkan keadilan dan pemerataan; meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
menyediakan
fasilitas
sosial dan
fasilitas umum
yang
layak;
mengembangkan sistem jaminan sosial; menyusun perencanaan dan tata ruang
41
Wiyono dan Isworo, Kewarganegaraan, (Jakarta : Ganeca Exact, 2007), h. 23
daerah; mengembangkan sumber produktif daerah; melestarikan lingkungan hidup; mengelola administrasi kependudukan; melestarikan nilai-nilai sosial budaya; menentukan dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan Dalam menyelenggarakan pemerintahan di era otonomi daerah seperti sekarang ini, pada prinsipnya berpedoman pada asas-asas umum penyelenggaraan Negara, yaitu: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan Negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektivitas.42 Selain
itu,
kaitannya
dengan
lancarnya
roda
pemerintahan,
dalam
penyelenggaraannya, pemerintah menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan yang tentunya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Asas desentralisasi adalah penyerahan kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom (kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pusat ke daerah dalam hal ini kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Adapun asas tugas perbantuan adalah penugasan dari pemerintah (Pusat) kepada daerah dan/atau desa dari pemerintahan provinsi
42
Wiyono dan Isworo, Kewarganegaraan, h. 22
kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas perbantuan. Otonomi daerah yang merupakan pemberian hak otonomi kepada daerah, memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Penyelenggaraan
otonomi
daerah
dengan
memperhatikan
aspek
demokratis, keadilan, pemerataan, potensi, dan keanekaragaman daerah. b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada kabupaten dan kota, sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas. d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjaga hubungan antara pusat dan daerah secara serasi dan seimbang. e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom sehingga tidak ada lagi wilayah administrasi di dalam pemerintahan kabupaten atau kota. f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan fungsi legislatif daerah ataupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
g. Pelaksanaan otonomi daerah harus berdasarkan Kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antarsusunan pemerintah.43 B. Dasar Penerapannya Otonomi daerah merupakan salah satu pilar penyelenggaraan demokrasi. Formulasi kebijakan Otda yang mengacu pada prinsip-prinsip good and clean governance, aspiratif, berkeadilan dan menghargai pluralisme merupakan instrument penting bagi tujuan-tujua nasional untuk memajukan daerah, mensejahterakan masyarakatnya, serta menguatkan integrasi nasional. Meskipun banyak kekurangan disana-sini, kebijakan Otda pada era reformasi sekarang ini yang dilaksanakan oleh pemerintah 5 tahun belakang pada prinsipnya mengacu pada UU No.22 dan UU No.25 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 dan UU No.33 tahun 2004. Menurut UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 44 Selaras dengan Peraturan Perundang-undangan di atas, terdapat pula Peraturan Perundangan-undangan lainnya sebagai dasar pelaksanaan otonomi daerah, antara lain sebagai berikut : 1. Pasal 18 UUD 1945 43 44
Wiyono dan Isworo, Kewarganegaraan, h. 22 Liat UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Menyatakan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan di bagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. 2. Pasal 18A UUD 1945 Menyatakan bahwa hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten dan Kota atau antara Provinsi dan Kabupaten dan Kota, diatur undang-undang
dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah. 3. Pasal 18B UUD 1945 Menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.45 4. UU No.8 tahun 2005 Tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.3 tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang 5. Ketetapan MPR RI No.VI/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
45
Lihat UUD 1945 yang telah di amandemen
Dari pemaparan di atas dapat kita nyatakan bahwa otonomi daerah merupakan kemandirian
daerah
untuk
mengatur
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
melaksanakan pembangunan di daerah Kemandirian disini maksudnya adalah kemampuan daerah untuk mengelola dan mengembangkan potensi, baik berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Ini tentunya harus dilakukan secara optimal tanpa bergantung pada daerah lain dalam kerangka NKRI. Oleh. Karena itu, pelaksanaan otonomi daerah hendaknya mendorong dan memberdayakan masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat, menumbuhkan
peranserta
masyarakat
dan
kreatifitas
masyarakat,
dan
mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Dalam pelaksanaan otonomi daerah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu ; adanya kemampuan dibidang ekonomi yang cukup memadai, adanya sumber daya manusia yang handal, memiliki sumber daya alam yang memadai, adanya dukungan dibidang pertahanan dan keamanan daerah. Hal-hal ini penting untuk diperhatikan karena sejatinya otonomi daerah memberikan kesempatan pada daerahdaerah untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki sebagai kesinambungan pembangunan nasional. Otonomi bukan sekedar pelimpahan wewenang yang karenanya justru daerah otonom menjadi terpuruk akibat kurang siapnya daerah lantaran aspek-aspek di atas kurang diperhatikan Disamping itu, kurang, siapnya mental pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam mengemban amanah otonomi daerah yang diidamkan oleh bangsa Indonesia
secara keseluruhan akan memunculkan berbagai permasalahan yang justru malah membebani masyarakat di daerah.
C. Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia Kondisi pemerintahan daerah yang ada sekarang pada dasarnya terbentuk melalui perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Oleh sebab itu tidaklah bijak jika kita meninggalkan aspek histories tersebut dalam kajian ini. Mengutip pendapat Sarundjajang, paradigma pemerintahan daerah di Indonesia selama ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Paradigma Pertama antara kurun waktu tahun 1903-1922 ditandai dengan adanya pengakuan Pemerintahan Daerah dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Paradigma Kedua antara kurun waktu tahun 1922-1942 Desentralisasi Versi Kolonial. Paradigma Ketiga antara kurun waktu tahun 1942-1959, merupakan pase pencarian bentuk desentralisasi menuju demokrasi. Paradigma Keempat antara kurun waktu tahun 1959-1974, merupakan masa dimana terjadinya desentralisasi yang dipaksakan. Paradigma Kelima – ORBA – ketika masa berlakunya UU No.15 Tahun 1974 tentang Otonomi Terbatas dan kecenderungan Sentralistik dalam pelaksanaannya. Paradigma Keenam – Era Reformasi saat ini – masa berlakunya UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian
direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 yang oleh Sarundjajang disebut-sebut sebagai arus balik kekuasaan pusat ke daerah.46 Berdasarkan sejarah, perkembangan otonomi daerah di Indonesia secara garis besar bisa dibagi menjadi empat periode, antara lain; Periode I, Periode Kolonial, Periode II, Periode Kemerdekaan (ORLA), Periode III, Periode ORBA, Periode IV, Periode Reformasi (sekarang). Lahirnya ‘Reglement’ (Staatsblad 1855 No. 2) yang mengatur tentang pemerintah daerah dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda bukanlah atas dasar asas desentralisasi seperti yang kita kenal sekarang ini, yaitu memberikan hak otonom pada daerah-daerah koloni saat itu. Namun, selajur dengan politik penjajahan pada umumnya, pemerintah Kolonial semula hanya melaksanakan asas dekonsentrasi. Dengan begitu, pengaturan tentang sistem politik daerah masa itu masih bersifat sentralisasi, sehingga peranan pemerintahan Pangreh Praja atau sering disebut sebagai Pamong Praja memegang posisi yang sangat menentukan.47 Otonomi masa kolonial berlandaskan pada hukum adat yang secara yuridis mencapai titik kulminasinya setelah ditetapkan politik etis (etische politic) atau “Politik Balas Budi” yang dicanangkan oleh orang-orang Belanda yang progresif, sebagai reaksi terhadap Culture Stetsel yang berdampak pada timbulnya pemerasan
46
S. H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 4 47 Soehino, Perkembangan Pemerintahan Daerah, (Yogyakarta : Liberty, 1983), h. 5
tenaga rakyat Indonesia dalam peristiwa penanaman paksa tanaman keras (culture) yang memberikan kerugian begitu besar bagi pemerintahan Belanda. 48 Oleh sebab itulah, Pemerintah Hindia Belanda melakukan perubahan dalam ketatanegaraannya dengan menjalankan sistem pemerintahan yang lebih intensif dan disemangati dengan tujuan pokok untuk mengimbangi gerakan kebangsaan yang dipelopori oleh kaum cendikiawan bangsa Indonesia, dimana mereka adalah para orang Hindia Belanda terpelajar hasil didikan Sekolah Belanda. Ketika itu pemerintah Belanda menempatkan beberapa cendikiawan Hindia Belanda tersebut kebeberapa instansi pemerintahan lokal di beberapa daerah untuk menjadi pejabat setempat. Yang tanpa disadari oleh mereka sebenarnya hal tersebut menjadi senjata boomerang bagi Belanda. Decentralisatiewet 1903 adalah produk kemudian yang dihasil Belanda berkaitan dengan sistem pemerintahan daerahnya. Berdasarkan kebijakan ini bisa diartikan bahwa Belanda mencoba mendasarkan pemerintahan daerahnya atas asas desentralisasi yang tentunya versi kolonial. Sejak diberlakukannya UU Desentralisasi yang ada saat itu, wilayah Hindia Belanda terlihat terbagi menjadi dua jenis otonomi daerah, yaitu yang berdasarkan pada hukum asli Indonesia dan otonomi daerah yang berdasarkan Decentralisatiewet 1903. Pada prinsipnya jauh sebelum Penjajah menguasai kepulauan Indonesia sebagai wilayah administratif, kerajaan lama di Indonesia masih memiliki wewenang administratif dalam memerintah wilayah teritorial yang berada di bawah pengaruh 48
B. Hestu Handoyo, Otonomi Daerah : Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah, (Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 1998), Cet. Ke-1, h. 46
kekuasaan mereka. Namun, pemerintah kerajaan-kerajaan tersebut tetap terikat oleh sebuah perjanjian yang selanjutnya disebut “Kontrak Politik”. Pada masa pendudukan Jepang, wilayah Indonesia dibagi kedalam tiga teritori kekuasaan militer, yaitu Sumatra berada di bawah kekuasaan Kepala Pasukan Angkatan Darat (KPAD) yang berada di Bukit Tinggi. Kemudian Jawa yang berkedudukan di Jakarta. Sedangkan kepulauan selebihnya berada di bawah kekuasaan Kepala Pasukan Angkatan Laut di Makasar.49 Dengan demikian dapat kita pahami bahwa pada zaman kolonial (Jepang) implementasi dari asas desentralisasi kaitannya dengan otonomi daerah tidak memunculkan “daerah otonom”. Para kolonialis (Jepang) bahkan kerap kali mengeluarkan kebijakan deviasi yang menyesatkan untuk menyelubungi sikap jajahan atas nama pemerintah daerah menurut versinya masing-masing. Masih menurut
Sujatmo,
bahwa
selama
kependudukan
Jepang,
pengaturan
asas
desentralisasi semakin kabur. Pada prinsipnya kebijakan dan aturan yang diambil atau diterapkan oleh pejajah hanyalah bersifat kamuflase. Mereka sengaja mengeluarkan peraturan perundang-undangan
yang
terus
menyudutkan
bangsa
Indonesia
demi
melanggengkan kekuasaan di Indonesia. Kaum kolonial memasang ikatan yang menjerat hak warga Indonesia pada setiap sendi kehidupan bernegara. Pada era berikutnya yaitu pada masa kemerdekaan (Orde Lama) dimana kekuasan berada ditangan Soekarno, paling tidak terdapat beberapa kali perubahan 49
Sujatmo, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggungjawab, (Jakarta : Ghalia Inodonesia, 1984), Cet. Ke-2, h. 138-139
kebijakan tentang pengaturan daerah-daerah dalam sistem pemerintahan kita kala itu. Di mulai dengan UU No.1 tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional, maka Indonesia telah mengawali komitmennya tentang arti negara kesatuan dalam format negara-bangsa. Karena UU ini masih bersifat sederhana dan minim penjabarannya, selang tiga tahun kemudian lahirlah UU No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU No.22 tahun 1948 tersebut merupakan penghapusan perbedaan antara pemerintahan di pulau Jawa-Madura dan di luar Jawa-Madura. Namun sangat disayangkan, UU tersebut dianggap gagal dalam pemberlakuannya karena instabilitas politik nasional yang disebabkan Agresi Militer Belanda di tahun yang sama. 50 Seiring berubahnya politik-kekuasaan negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat, ada satu hal yang menarik dari proses pergantian peraturan pemerintahan daerah. Sementara issue federalistik Indonesia bergulir, proses untuk kembali kepada semangat UUD 1945, terbitlah UU Negara Indonesia Timur No.44 tahun 1950. Tepat setelah sistem politik negara kembali berdasarkan UUD 1945 yang selaras dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka asas federalisme yang baru seumur jagung, kandas sudah. Efeknya dari hal tersebut adalah lahirnya kebijakan berupa Penetapan Presiden yang tertuang dalam UU No.6 tahun 1959 yang disusul dengan PenPres No.5 tahun 1960 setahun kemudian. Namun, kedua UU tersebut sangat
50
Inu Kencana Syafie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1996), Cet. Ke-1, h. 10
menonjolkan sifat sentralistik dari kepemimpinan Soekarno yang otoritarian dengan Demokrasi Terpimpinnya.51 Soekarno di penghujung kekuasaannya mengganti kebijakannya kembali dengan mengeluarkan UU No.18 tahun 1965 untuk mengatur lebih lanjut permasalah otonomi daerah. Namun integritas isi UU tersebut secara substantif tidak memiliki nilai lebih dari peraturan-peraturan sebelumnya. Kendati terdapat sedikit perubahan dalam hal bentuk dan susunan pemerintahan daerah serta wewenangnya. 52 Dalam pengaplikasiannya UU ini terbentur kasus G 30 S/PKI yang terjadi di tahun yang sama.53 Kemudian pada masa Orde Baru , pemberlakuan UU No.5 tahun 1974 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakyat, yakni memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan masyarakat;
2.
Pemberian otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab;
3.
Asas desentralisasi dilaksanakan secara bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan;
51
H. Syaukani dkk, Otonomi Daerah : Dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 107-108 52 H. Syaukani dkk, Otonomi Daerah : Dalam Negara Kesatuan, h. 112 53 B. Hestu Cipto Hardoyo, Otonomi Daerah dan Urusan-urusan Rumah tangga; Daerahdaerah Pokok Pikiran Menuju Reformasi Hukum di Bidang Pemerintahan Daerah, (Jakarta : Universitas Atma Jaya, 1998), Cet. Ke-1, h. 61
4.
Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dengan tujuan, disamping aspek pendemokrasian;
5.
Tujuan
pemberian
otonomi
kepada
daerah
adalah
untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan politik dan kesatuan bangsa.54 Asas desentralisasi yang coba diterapkan pada prinsipnya adalah sentralisasi yang dibungkus dengan dekonsentrasi. Sehingga prinsip-prinsip “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” diganti oleh UU No.5 tahun 1974 menjadi prinsip-prinsip “otonomi yang nyata dan bertanggungjawab”. Sementara itu dalam penjelasan UU tersebut dijelaskan bahwa istilah “seluas-luasnya” dianggap dapat membahayakan keutuhan negara kesatuan.55 Banyak kalangan yang menilai bahwa penerapan otonomi daerah di Indonesia semakin memasung kreatifitas daerah untuk membangun daerahnya secara mandiri dan bersahaja. Terkesan daerah diperas hasil sumber dayanya untuk kepentingan pemerintah pusat. Lebih jauh lagi , UU No.5 tahun 1974 – menekankan konsentrasi daerah untuk mewujudkan pembangunan berskala global. Pemerintah melalui UU
54
Sujatmo, Otonomi Yang Nyata dan Bertanggungjawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), Cet. Ke-2, h. 11 55 H. Syaukani dkk, Otonomi Daerah : Dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 143
tersebut menekankan bahwa prinsip “otonomi lebih merupakan kewajiban bukan hak”. 56 Dengan satu kebijakan tersebut, Seoharto bersama rezim orde barunya “memelihara” dan “mengupayakan” kesejahteraan daerah-saerah di seluruh pelosok nusantara. Padahal, dinamika problematika daerah sudah “gerah dan jemu” dengan aturan tersebut, sehingga munculnya berbagai permasalahan yang semakin kompleks, tidak sebatas ekonomi pembangunan saja, bahkan ikut tercerabutnya daya nalar kehidupan sosial budaya masyarakat selaku manusia beradab. Dalam tiga dekade tersebut, pembahasan otonomi daerah bisa dibilang hanya berkutat pada satu “cara main” saja yang sifatnya sempit sementara permasalahan akibat ketimpangan pusat dan daerah begitu beragam. Sangat jelas sekali, mandulnya efektifitas
kinerja
daerah
dan
jajaran
pemerintahannya
disebabkan
oleh
sentralistiknya pemerintahan Orde Baru dalam memperhatikan dan memperdulikan nasib daerah-daerah di Indonesia. Kemudian bebicara tentang era reformasi yang ditandai dengan lengsernya Seoharto dari tampuk kursi kekuasaannya selama 32 tahun pada 1998. Beralihnya kepemimpinan ketangan Bj. Habibie, pelaksanaan otonomi belum mendapatkan titik cerah, bahakan pada masanya terjadi peristiwa referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk memilih antara tetap atau lepas dari NKRI. Ide dan proses referendum tersebut pun menjadi polemik bangsa yang menjadi perhatian banyak kalangan.
56
Lihat Penjelasan UU No.5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
“Bercerainya” Timor-Timur dari kekuasaan Indonesia, juga terjadi pada masa kekuasaan Bj. Habibie. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dilengkapi dengan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.57 Kemudian keduanya direvisi menjadi UU No.32 dan 33 tahun 2004 yang sampai detik ini dipakai oleh pemerintah dalam mengatur pemerintahan daerah.
D. Kebijakan – kebijakan Tentang Otonomi Daerah Depok Adapun berbagai kebijakan tentang otonomi daerah kota Depok adalah sebagai berikut : a. Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I jawa Barat No. 31 Tahun 1990 tentang Pola Induk Pengembangan Wilayah Jawa Barat Dalam Jangka Panjang (20-30 tahun). b. Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 650/555Pem/1993 tanggal 17 Februari 1993 dan Surat Edaran Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 130/4334-Otda/1993 tanggal 11 November 1993 tentang Persiapan Peningkatan Status Kota Administratif Cilegon, Bekasi, Depok dan Tasikmalaya menjadi Kotamadya Tingkat II. c. Surat
Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat
II
Bogor
No.
065/190/Kpts/Huk/1993 tanggal 2 Agustus 1993 tentang Pembentukan
57
Kedua UU tersebut baru diberlakukan efektif terhitung tahun 2001. Lihat I. Darmawan, Wilayah Kerawanan Otonomi Daerah, (Jakarta : Media Indonesia, Kamis, 16 Nopember 2001)
Kelompok
Kerja
Peningkatan
Status
Kota Administratif
menjadi
Kotamadya Daerah Tingkat II Depok. d. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bogor menyusun Rencana Kerja Peningkatan Status Kota Administratif Depok menjadi Pemerintah Kotamadya Depok pada November 1993. e. Resume studi kelayakan oleh mahasiswa UI pada Desember 1993. Kesimpulan
studi,
Pembentukan
Kotamadya
Depok
menggunakan
alternatif kedua, yaitu meliputi enam wilayah yang terdiri dari Kecamatan Pancoran Mas, Bojong Gede, Beji, Sukmajaya, dan Limo. Kesimpulan ini sejalan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 31 Tahun 1990. f. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor mengajukan permohonan persetujuan peningkatan status Kota Administratif menjadi Kotamadya Depok kepada DPRD Kabupaten Bogor melalui surat No. 650/48 Tapem pada Maret 1994. g. DPRD Kabupaten Bogor pada tanggal 9 Mei 1994 mengagendakan pembahasan usulan Bupati Bogor tersebut dalam rapat paripurna DPRD Kabupaten Bogor pada tanggal 16 Mei 1994. Rapat paripurna menetapkan untuk menyetujui usulan peningkatan status Kota Administratif Depok menjadi Kotamadya Depok yang dituangkan dalam Surat Keputusan No. 135 Tahun 1994
h. DPR RI menyetujui usulan pemerintah tentang peningkatan status 11 Kota Administratif menjadi Kotamadya pada 26 Maret 1999. Kotif Depok termasuk dalam paket ini. Hal tersebut tercantum dalam UU No. 15 Tahun 1999. i.
Bersamaan dengan keluarnya UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, status Depok berubah menjadi Kotamadya. Keputusan Mendagri untuk meningkatkan status kota Administratif menjadi Kotamadya dikeluarkan pada tanggal 27 April 1999, dan kini diperingati sebagai hari jadi Kota Depok. Bersamaan dengan itu, sebutan Kotamadya Depok berubah menjadi Kota Depok.58
58
Rusna Djanur Buana, H. Barul Kamal Membangun Kota Depok, (Depok : Adhyssa Promosindo, 2005), h. 27-28
BAB IV IMPLIKASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH KOTA DEPOK TERHADAP KEMAJUAN PEMBANGUNAN
A. Manajemen Pemerintahan Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan bab-bab sebelumnya, kemajuan penbangunan secara signifikan di kota Depok tampak ketika Depok mengalami perubahan status dari kota administratif (bagian dari kabupaten Bogor) menjadi Kota Madya. Menggeliatnya pusat perbelanjaan dan bisnis sepanjang jalan Margonda Raya (dari stasiun Depok lama – UI) adalah bukti riil dari perubahan status.tersebut. Kendati tertalalu dini menjadikan gambaran di atas sebagai dasar bagi penulis untuk menyatakan bahwa penerapan otonomi di Depok telah berjalan dengan baik (untuk tidak menyatakan berhasil/sukses), tetapi cukup kiranya untuk di jadikan bahan perbandingan bagaimana saat Depok menjadi daerah administratif dengan status barunya yang kini disebut sebagai Kota Depok. Dari sinilah kemudian mungkin bisa disepakati penilaian akan tingkat keberhasilan penerapan otonomi daerah di kota Depok. Secara fisik pembangunan Kota Depok terlihat jelas mengalami kemajuan. Hal ini tidak lepas dari perubahan status yang di alami Depok dalam kerangka kebijakan otonomi daerah nasional. Dengan adanya kebijakan perimbangan keuangan daerah dan pusat yang di atur dalam UU No.33 Tahun 2004 memungkinkan bagi Pemda setempat untuk mengambil kebijakan yang jitu dalam hal pembangunan. Dari
sinilah kemudian bisa dipahami kenapa Pemda Kota Depok yang saat itu di jabat Badrul Kamal memfokuskan kebijakan pembangunan di daerah margonda. Selain merupakan daerah pusat pemerintahan karena kantor walikota bearada di daerah tersebut, kemudian akses masuk ke daerah margonda pun terbilang mudah karena lokasinya yang sangat strategis dengan didukung pasilitas trasnportasi yang memadai. Oleh karena itu amatlah bisa dipahami jika bermunculan dan menjamurnya bangunan-bangunan komersil seperti pusat perbelanjaan modern, restaurant, agenagen maskapai penerbangan, bank, perumahan, hotel atau tempat penginapan bahakan
ruko-ruko.
Hal
ini
terjadi
lantaran
daerah
margonda
dianggap
menguntungkan secara financial sehingga menarik minat investor local maupun luar untuk menginves modalnya di Depok. Bagi Depok keadaan ini sangat membantu untuk melancarkan agenda pembangunan yang sudah dicanangkan. Sebagai langkah awal dalam kerangka penerapan hak otonomi yang dimiliki Depok nampaknya kebijakan tersebut amatlah tepat. Gam baran yang terjadi diatas merupakan bukti bahwa Depok telah menjalankan statusnya yang baru dengan baik karena mengalami kemajuan dalam pembangunan. Dengan dibangunnya kantor DPRD Kota Depok di daerah Kota KembangSukmajaya dan didirikannya lembaga peradilan tingkat kota seta beberapa infrastruktur kota lainnya yang masih berkaitan dengan penunjang keberhasilan jalannya pemerintahan daerah, seolah-olah Depok mau menunjukan sudah sebarapa jauh mereka mampu melewati dan melaksnakan hak otonom yang dimilikinya. Rampungnya proyek pembangunan RSUD Depok di Sawangan yang saat ini tinggal
menunggu proses peresmian saja merupakan bukti keseriusan Pemda Depok dalam membangun dan memajukan daerahnya . Saat ini hampir bisa dibilang seluruh wilayah yang ada di Depok sudah tersentuh jalur dan sarana transportasi yang memadai. Angkutan Kota atau yang lazim disebut angkot saat ini sudah semakin banyak. Sebagai contoh di daerah kecamatan Sawangan yang dulunya belum ada rute/trayek angkutan umum (angkot) kini sudah ada, sebut saja di sini trayek angkot D.25, D.28, D. 21 dan D. 27 yang secara berurutan masing-masing menghubungkan wilayah; Pasir putih-Sawangan-BSI Duren Mekar (D.25), Ciputat-Citayam (D.28), Bedahan-Arko Parung (D.21), dan Pengasinan Arko- Kamp.Kebon, Pndk. Cabe (D.27). Disamping itu di lakukan pengaspalan jalan serta betonisasi untuk mendukung jalur transportasi di wilayah Depok yang tentunya berdampak pada aspek ekonomis dalam pembangunan Depok. Kebijakan untuk mengembangkan daerah pusat pembangunan dengan ditetapkannya Kec. Sawangan sebagai alternatif setelah sekian lama fokus di wilayah jalan Margonda mengindikasikan bahwa Pemda Depok ingin melakukan pemerataan pembangunan keseluruh wilayah yang termasuk dalam kekuasaan pemerintahan Depok. Secara perlahan namun pasti sepertinya langkah tersebut membuahkan hasil. Dengan memfokuskan wilayah Sawangan sebagai daerah permukiman ternyata disambut baik oleh kalangan investor. Sebagai bukti disini bisa disebutkan beberapa nama komplek perumahan yang ada di Sawangan, seperti; Telaga Golf (TG) dan Telaga Jambu di kelurahan Sawangan, Riveria di Bedahan, Bukit Sawangan Permai di Sawangan Baru dan Pasir putih, BSI Pengasinan, BSI Duren Mekar dan lain-lain.
Otonomi daerah merupakan awal kemandirian daerah dalam membangun daerahnya. Karena di dalam otonomi daerah setiap wilayah kabupaten dan kota dapat menyusun dan menetapkan Anggaran dan Pendapatan Daerah (APBD) secara mandiri tanpa campur tangan dari pemerintahan yang secara struktural berada di atasnya. Depok sebagai kota yang belum lama lahir mendapatkan keuntungan yang luar biasa dari konsekuensi lahirnya otonomi daerah, karena dengan otonomi daerah, kota Depok menjadi kota yang dapat merencanakan, mengatur, dan mengadakan pembangunan di kota Depok, dan dengan demikian segala hal mengenai pembangunan yang tengah berlangsung di kota Depok dapat dikontrol dan diawasi lebih mudah dan terarah.
A.1 Kemasyarakatan Setelah Depok menjadi kota yang memiliki pemerintahan sendiri, maka pembangunan fisik menjadi prioritas, hal ini dapat dilihat dengan terdapatnya RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Kota Depok, dibangunnya Fly Over di jalan Nusantara kota Depok untuk menghindari macet kendaraan yang akan melalui jalan yang melalui rel kereta. Hal tersebut di atas merupakan sebagian dari bukti yang dapat dilihat secara jelas pada pembangunan secara fisik di kota Depok. Kota Depok merupakan daerah penyanggah ibu kota yang harus mendapatkan perhatian dengan baik dari pemerintah pusat. Dilihat dari aspek pertahanan dan keamanan ibu kota, maka perhatian berupa pembangunan fisik sebagai bentuk dari penopang perekonomian kota Depok
merupakan konsekuensi nyata yang tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan diberbagai bentuknya yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dan didukung sepenuhnya oleh pemerintahan daerah. Pembangunan fisik sangat penting sebagai penopang pembangunan di bidang lainnya untuk mencapai tujuan negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan Negara merupakan awal dimana negara memposisikan diri tidak hanya sebagai otoritas tertinggi yang dapat mengikat warga negaranya dalam mencapai cita-cita bangsa dan Negara. Namun jauh dari itu, negara sebagai identitas rakyat yang berada di dalamnya
dapat
memberikan
yang
terbaik
untuk
kemajuan
negara
dan
mensejahterakan rakyatnya secara bersamaan. Setiap sektor fisik maupun nonfisik yang akan dicapai pada tujuan pembangunan, tidak terlepas dari dukungan pembangunan fisik di suatu daerah, begitupun pada kota Depok. Sebagai kota yang baru berkembang, Depok masih harus berbenah diri, dengan dibangunnya berbagai sarana fisik yang dapat menunjang berbagai sector pembangunan. Oleh karena itu, Prasarana fisik yang telah dan akan dibangun semaksimal mungkin untuk tidak terlepas dari landasan yang dapat menopang kehidupan masyarakat Depok. Pembangunan mental spiritual harus seimbang dengan pembangunan fisik. Untuk itu semua, pemerintah kota Depok telah melakukan berbagai pendekatan. Seperti dibangunnya masjid “Baitul Kamal” yang terdapat di kompleks perkantoran pemda Depok, secara simbolis pembangunan masjid tersebut merupakan kemajuan
yang menarik dan signifikan dalam menjalankan keseimbangan antara nilai-nilai yang bersifat materi dan religi. Selanjutnya, fenomena yang terjadi di kota Depok yang kaitannya dengan pembangunan mental spiritual adalah
pemerintah kota Depok
kerap melakukan “safari Ramadhan” pada setiap bulan suci Ramadhan, yaitu dengan berkunjung ke masjid-masjid untuk melakukan sholat tarawih secara berjamaah, dengan harapan ada hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan rakyat. Pembangunan mental spiritual sangat penting untuk membina karakter dan sisi spiritual masyarakat kota Depok. Karena perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang tertanam di dalam jiwanya. Oleh karena itu, kota Depok merupakan kota yang berwawasan lingkungan hidup dan mengedepankan nilai-nilai religi sebagai kota niaga dan pendidikan, hal ini yang menjadi visi kota Depok dalam membangun kota Depok sebagai kota penyanggah ibu kota. Di sisi lain, pemerintah kota Depok sering kali mengadakan acara dzikir bersama di masjid Baitul Kamal dan sholat subuh berjamaah dengan kepala daerah kota Depok. Hal ini setidaknya mencerminkan nilai-nilai spiritual yang diterapkan sebagai bagian yang tidak bias dipisahkan dari kota Depok.
A.2 Ekonomi Setelah
kota
Depok
berubah
status
menjadi
kota
Depok
–yang
pemerintahannya telah terpisah dari kabupaten Bogor, maka pembangunan perekonomian kota Depok mengalami perubahan yang signifikan, yaitu berupa kemajuan perekonomian kota Depok.
Kemajuan perekonomian kota Depok tidak hanya diyakini sebagai dampak positif dari pemisahan kota administrasi pemerintahan dari kabupaten Bogor. Namun, ini juga merupakan dampak dari regulasi yang tepat terhadap ketetapan mengenai otonomi daerah sebagai suatu bentuk sistem pemerintahan yang harus diterapkan di daerah-daerah. Dari sistem sentralisasi menjadi system disentralisasi. Tabel 1. Table Perkembangan APBD 2000-2006 FSHAPE \* MERGEFORMAT
F
BAB IV IMPLIKASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH KOTA DEPOK TERHADAP KEMAJUAN PEMBANGUNAN
A. Manajemen Pemerintahan Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan bab-bab sebelumnya, kemajuan penbangunan secara signifikan di kota Depok tampak ketika Depok mengalami perubahan status dari kota administratif (bagian dari kabupaten Bogor) menjadi Kota Madya. Menggeliatnya pusat perbelanjaan dan bisnis sepanjang jalan Margonda Raya (dari stasiun Depok lama – UI) adalah bukti riil dari perubahan status.tersebut. Kendati tertalalu dini menjadikan gambaran di atas sebagai dasar bagi penulis untuk menyatakan bahwa penerapan otonomi di Depok telah berjalan dengan baik (untuk tidak menyatakan berhasil/sukses), tetapi cukup kiranya untuk di jadikan bahan perbandingan bagaimana saat Depok menjadi daerah administratif dengan status barunya yang kini disebut sebagai Kota Depok. Dari sinilah kemudian mungkin bisa disepakati penilaian akan tingkat keberhasilan penerapan otonomi daerah di kota Depok. Secara fisik pembangunan Kota Depok terlihat jelas mengalami kemajuan. Hal ini tidak lepas dari perubahan status yang di alami Depok dalam kerangka kebijakan otonomi daerah nasional. Dengan adanya kebijakan perimbangan keuangan daerah dan pusat yang di atur dalam UU No.33 Tahun 2004 memungkinkan bagi
50
Pemda setempat untuk mengambil kebijakan yang jitu dalam hal pembangunan. Dari sinilah kemudian bisa dipahami kenapa Pemda Kota Depok yang saat itu di jabat Badrul Kamal memfokuskan kebijakan pembangunan di daerah margonda. Selain merupakan daerah pusat pemerintahan karena kantor walikota bearada di daerah tersebut, kemudian akses masuk ke daerah margonda pun terbilang mudah karena lokasinya yang sangat strategis dengan didukung pasilitas trasnportasi yang memadai. Oleh karena itu amatlah bisa dipahami jika bermunculan dan menjamurnya bangunan-bangunan komersil seperti pusat perbelanjaan modern, restaurant, agenagen maskapai penerbangan, bank, perumahan, hotel atau tempat penginapan bahakan
ruko-ruko.
Hal
ini
terjadi
lantaran
daerah
margonda
dianggap
menguntungkan secara financial sehingga menarik minat investor local maupun luar untuk menginves modalnya di Depok. Bagi Depok keadaan ini sangat membantu untuk melancarkan agenda pembangunan yang sudah dicanangkan. Sebagai langkah awal dalam kerangka penerapan hak otonomi yang dimiliki Depok nampaknya kebijakan tersebut amatlah tepat. Gam baran yang terjadi diatas merupakan bukti bahwa Depok telah menjalankan statusnya yang baru dengan baik karena mengalami kemajuan dalam pembangunan. Dengan dibangunnya kantor DPRD Kota Depok di daerah Kota KembangSukmajaya dan didirikannya lembaga peradilan tingkat kota seta beberapa infrastruktur kota lainnya yang masih berkaitan dengan penunjang keberhasilan jalannya pemerintahan daerah, seolah-olah Depok mau menunjukan sudah sebarapa jauh mereka mampu melewati dan melaksnakan hak otonom yang dimilikinya.
Rampungnya proyek pembangunan RSUD Depok di Sawangan yang saat ini tinggal menunggu proses peresmian saja merupakan bukti keseriusan Pemda Depok dalam membangun dan memajukan daerahnya . Saat ini hampir bisa dibilang seluruh wilayah yang ada di Depok sudah tersentuh jalur dan sarana transportasi yang memadai. Angkutan Kota atau yang lazim disebut angkot saat ini sudah semakin banyak. Sebagai contoh di daerah kecamatan Sawangan yang dulunya belum ada rute/trayek angkutan umum (angkot) kini sudah ada, sebut saja di sini trayek angkot D.25, D.28, D. 21 dan D. 27 yang secara berurutan masing-masing menghubungkan wilayah; Pasir putih-Sawangan-BSI Duren Mekar (D.25), Ciputat-Citayam (D.28), Bedahan-Arko Parung (D.21), dan Pengasinan Arko- Kamp.Kebon, Pndk. Cabe (D.27). Disamping itu di lakukan pengaspalan jalan serta betonisasi untuk mendukung jalur transportasi di wilayah Depok yang tentunya berdampak pada aspek ekonomis dalam pembangunan Depok. Kebijakan untuk mengembangkan daerah pusat pembangunan dengan ditetapkannya Kec. Sawangan sebagai alternatif setelah sekian lama fokus di wilayah jalan Margonda mengindikasikan bahwa Pemda Depok ingin melakukan pemerataan pembangunan keseluruh wilayah yang termasuk dalam kekuasaan pemerintahan Depok. Secara perlahan namun pasti sepertinya langkah tersebut membuahkan hasil. Dengan memfokuskan wilayah Sawangan sebagai daerah permukiman ternyata disambut baik oleh kalangan investor. Sebagai bukti disini bisa disebutkan beberapa nama komplek perumahan yang ada di Sawangan, seperti; Telaga Golf (TG) dan Telaga Jambu di kelurahan Sawangan, Riveria di Bedahan, Bukit Sawangan Permai di Sawangan Baru dan Pasir putih, BSI Pengasinan, BSI Duren Mekar dan lain-lain.
Otonomi daerah merupakan awal kemandirian daerah dalam membangun daerahnya. Karena di dalam otonomi daerah setiap wilayah kabupaten dan kota dapat menyusun dan menetapkan Anggaran dan Pendapatan Daerah (APBD) secara mandiri tanpa campur tangan dari pemerintahan yang secara struktural berada di atasnya. Depok sebagai kota yang belum lama lahir mendapatkan keuntungan yang luar biasa dari konsekuensi lahirnya otonomi daerah, karena dengan otonomi daerah, kota Depok menjadi kota yang dapat merencanakan, mengatur, dan mengadakan pembangunan di kota Depok, dan dengan demikian segala hal mengenai pembangunan yang tengah berlangsung di kota Depok dapat dikontrol dan diawasi lebih mudah dan terarah.
A.1 Kemasyarakatan Setelah Depok menjadi kota yang memiliki pemerintahan sendiri, maka pembangunan fisik menjadi prioritas, hal ini dapat dilihat dengan terdapatnya RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Kota Depok, dibangunnya Fly Over di jalan Nusantara kota Depok untuk menghindari macet kendaraan yang akan melalui jalan yang melalui rel kereta. Hal tersebut di atas merupakan sebagian dari bukti yang dapat dilihat secara jelas pada pembangunan secara fisik di kota Depok. Kota Depok merupakan daerah penyanggah ibu kota yang harus mendapatkan perhatian dengan baik dari pemerintah pusat. Dilihat dari aspek pertahanan dan keamanan ibu kota, maka perhatian berupa pembangunan fisik sebagai bentuk dari penopang perekonomian kota Depok merupakan konsekuensi nyata yang tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan
diberbagai bentuknya yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dan didukung sepenuhnya oleh pemerintahan daerah. Pembangunan fisik sangat penting sebagai penopang pembangunan di bidang lainnya untuk mencapai tujuan negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan Negara merupakan awal dimana negara memposisikan diri tidak hanya sebagai otoritas tertinggi yang dapat mengikat warga negaranya dalam mencapai cita-cita bangsa dan Negara. Namun jauh dari itu, negara sebagai identitas rakyat yang berada di dalamnya
dapat
memberikan
yang
terbaik
untuk
kemajuan
negara
dan
mensejahterakan rakyatnya secara bersamaan. Setiap sektor fisik maupun nonfisik yang akan dicapai pada tujuan pembangunan, tidak terlepas dari dukungan pembangunan fisik di suatu daerah, begitupun pada kota Depok. Sebagai kota yang baru berkembang, Depok masih harus berbenah diri, dengan dibangunnya berbagai sarana fisik yang dapat menunjang berbagai sector pembangunan. Oleh karena itu, Prasarana fisik yang telah dan akan dibangun semaksimal mungkin untuk tidak terlepas dari landasan yang dapat menopang kehidupan masyarakat Depok. Pembangunan mental spiritual harus seimbang dengan pembangunan fisik. Untuk itu semua, pemerintah kota Depok telah melakukan berbagai pendekatan. Seperti dibangunnya masjid “Baitul Kamal” yang terdapat di kompleks perkantoran pemda Depok, secara simbolis pembangunan masjid tersebut merupakan kemajuan yang menarik dan signifikan dalam menjalankan keseimbangan antara nilai-nilai yang bersifat materi dan religi. Selanjutnya, fenomena yang terjadi di kota Depok yang
kaitannya dengan pembangunan mental spiritual adalah
pemerintah kota Depok
kerap melakukan “safari Ramadhan” pada setiap bulan suci Ramadhan, yaitu dengan berkunjung ke masjid-masjid untuk melakukan sholat tarawih secara berjamaah, dengan harapan ada hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan rakyat. Pembangunan mental spiritual sangat penting untuk membina karakter dan sisi spiritual masyarakat kota Depok. Karena perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang tertanam di dalam jiwanya. Oleh karena itu, kota Depok merupakan kota yang berwawasan lingkungan hidup dan mengedepankan nilai-nilai religi sebagai kota niaga dan pendidikan, hal ini yang menjadi visi kota Depok dalam membangun kota Depok sebagai kota penyanggah ibu kota. Di sisi lain, pemerintah kota Depok sering kali mengadakan acara dzikir bersama di masjid Baitul Kamal dan sholat subuh berjamaah dengan kepala daerah kota Depok. Hal ini setidaknya mencerminkan nilai-nilai spiritual yang diterapkan sebagai bagian yang tidak bias dipisahkan dari kota Depok.
A.2 Ekonomi Setelah
kota
Depok
berubah
status
menjadi
kota
Depok
–yang
pemerintahannya telah terpisah dari kabupaten Bogor, maka pembangunan perekonomian kota Depok mengalami perubahan yang signifikan, yaitu berupa kemajuan perekonomian kota Depok. Kemajuan perekonomian kota Depok tidak hanya diyakini sebagai dampak positif dari pemisahan kota administrasi pemerintahan dari kabupaten Bogor. Namun, ini juga merupakan dampak dari regulasi yang tepat terhadap ketetapan mengenai
otonomi daerah sebagai suatu bentuk sistem pemerintahan yang harus diterapkan di daerah-daerah. Dari sistem sentralisasi menjadi system disentralisasi.
Tabel 1. Table Perkembangan APBD 2000-2006
PAD (Juta)
70,000.00
60,000.00
50,000.00
40,000.00
30,000.00
20,000.00
10,000.00
0.00 PAD (Juta)
1
2
3
4
5
6
7
13,297.48
26,664.12
34,501.62
42,581.48
54,567.01
64,060.87
68,631.17
Tahun 2000 sebesar Rp 13.297.480
Tahun 2001 sebesar Rp 26.664.120
Tahun 2002 sebesar Rp 34.501.620
Tahun 2003 sebesar Rp 42.581.480
Tahun 2004 sebesar Rp 54.567.010
Tahun 2005 sebesar Rp 64.060.869
Tahun 2006 sebesar Rp.68.631.174 Table di atas menjelaskan perkembangan APBD Depok 2000-2006
menunjukkan angka kenaikan setiap tahunnya ini menjelaskan bahwa sektor ekonomi Depok selalu menunjukkan angka-angka positif yang berdampak terhadap perkembangan positif APBD Depok.
Di bawah ini adalah APBD Depok tahun 2006 yang bisa dijadikan sebagai pemahaman tambahan.
APBD TAHUN 2006 NO
URAIAN
JUMLAH
1
PENDAPATAN
1.1
Pendapatan Asli Daerah
68.631.174.736,00
1.2
Dana Perimbangan
520.303.329.045,00
1.3
Lain-lain Pendapatan Yang Sah
3.000.000.000,00
Jumlah Pendapatan
591.934.503.781,00
2.
BELANJA
2.1
Belanja Aparatur
187.399.370.468,20
2.2
Belanja Pelayanan Publik
487.503.066.197,77
Jumlah Belanja
674.902.436.665,97
SURPLUS/(DEFISIT)
(82.967.932.884,97)
3.
PEMBIAYAAN
3.1
Penerimaan Daerah
97.885.102.084,97
3.2
Pengeluaran Daerah
14.917.169.200,00
Jumlah Pembiayaan
82.967.932.884,97
Lebih jauh di sini bisa dijelaskan bahwa PDRB per kapita pada tahun 2005 atas dasar harga konstan berkisar Rp 4.740.868,66. Laju Perubahan Ekonomi (LPE) pada tahun sebesar 6,93%.
Pertumbuhan perekonomian di suatu daerah sangat berkaitan erat dengan pembangunan infrastruktur yang berada di daerah tersebut, karena dengan demikian, laju
pertumbuhan
perekonomian
dapat
ditingkatkan
dengan
memanfaatkan fasilitas yang telah dibuat untuk memenuhi kehidupan warga masyarakat Depok. Wilayah kota Depok yang secara geografis sangat strategis, menempatkan kota Depok sebagai kota yang menjadi pilihan dalam berinvestasi dalam berbagai sektor perekonomian. Di sisi lain, Depok sebagai wilayah perkotaan merupakan salah satu hal penentu dalam mengubah pola hidup masyarakat dari sistem agraris menuju masyarakat industri, atau yang lebih sederhana mendorong masyarakat kota Depok untuk bergerak diberbagai sektor perekonomian seperti Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Ini merupakan konsekuensi logis dari dampak pembangunan. Namun yang terpenting adalah tingkat kesejahteraan penduduk semakin meningkat, karena peluang untuk bergerak dalam bidang perekonomian semakin besar.
A.3 Politik Perkembangan politik kota Depok sangat mempengaruhi kebijakan yang lahir sebagai ketetapan yang harus dijalankan oleh masyarakat Depok. Oleh karena itu, Depok yang secara geografis memiliki pemerintahan lebih kecil ketimbang sebelumnya −saat Depok masih menjadi bagian dari kabupaten Bogor, maka pada saat ini Depok tengah mengalami situasi berbeda. Karena ketika isu politik mencuat kepermukaan maka hal tersebut akan mudah menjadi isu hangat untuk diperbincangkan oleh masyarakat. Dengan demikian, fungsi masyarakat sebagai pengontrol kebijakan akan berjalan lebih efektif. Perkembangan politik di suatu wilayah tidak terlepas dari tingkat pendidikan masyarakatnya.
Sehingga
kepedulian
masyarakat
terhadap
perpolitikan yang berkembang secara positif berbanding lurus dengan tingkat pendidikan masyarakatnya. Hal ini menjadi penting, ketika masyarakat di hadapkan kepada isu-isu global atau regional yang
berdampak terhadap kemajuan
pembangunan daerah, maka kemampuan untuk mengkaji dan memahami hal tersebut dibutuhkan kemampuan intelektual yang didukung oleh tingkat pendidikan. Politik sebagai sarana untuk membuat kebijakan, dan legitimasi masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat harus menjadi perhatian bagi masyarakat59, hal itu tentu akan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kota Depok. Oleh karena itu, peran masyarakat sangat penting untuk menjadi fungsi kontrol, dan berperan sesuai fungsinya yang menempatkan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi. Dan saat ini, perhatian dan keterlibatan masyarakat kota Depok dalam bidang politik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan kota Depok itu sendiri. Pemberdayaan SDM (Sumber Daya Manusia) di kota Depok merupakan hal penting, karena ketika Depok secara infrastruktur pembangunan semakin meningkat, maka harus diimbangi oleh sumber daya manusia yang harus memadai. Karena dengan demikian, akan terdapat keseimbangan di berbagai bidang kehidupan. Dengan otonomi daerah, maka Pemberdayaan SDM warga kota Depok lebih mendapatkan
59
apresiasi,
berupa
pengangkatan
pegawai
Sukarna, Sistem Politik, Bandung: Penerbit Alumni, 1981, h. 30
negeri
sipil
yang
mayoritas adalah warga Depok itu sendiri. Kemudian jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan yang perlahan-lahan telah diisi oleh individu warga Depok, hal ini bagi masyarakat Depok merupakan kemajuan yang berarti. Karena dalam waktu yang lama sebelumnya, warga Depok hanya berperan sebagai penonton dan obyek dari kebijakan pembangunan yang tengah berlangsung. Tingkat pendidikan masyarakat Depok kini lebih baik, hal ini di dorong oleh perubahan hidup masyarakat yang pada awalnya memiliki pola hidup masyarakat agraris, namun saat ini kesadaran akan pentingnya pendidikan dalam menghadapi perkembangan zaman menjadi penting bagi masyarakat kota Depok, karena persaingan dalam memenuhi kebutuhan hidup harus ditopang oleh kemampuan intelektual yang dapat diperoleh melalui pendidikan yang memadai. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 80 75 70 65 60 55 2001 2002
IPM
2003 2004 2005 2006
IPM
2001
2002
2003
2004
2005
2006
65.08
71.82
73.9
76.13
76.85
77.81
Indeks di atas menjelaskan bahwa kurun waktu 2001-2006 pembangunan manusia (SDM) Depok menunjukkan angka-angka progressif setiap tahunnya. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 78.10 nomor 3 se-Indonesia dan tertinggi se-Jawa
Barat.
Ini
artinya
kualitas
manusia
(masyarakat)
Depok
semakin
membaik. Keadaan seperti ini tentu tidak lepas dari semakin membaiknya tarap pendidikan masyarakatnya. Di bidang pendidikan, Pemkot Depok telah merehabiltasi 512 lokal SD/SMP/sederajat, baik itu negeri-swasta. Juga memberikan tambahan dan bantuan operasional sekolah Rp 10.000 per siswa setiap bulan kepada seluruh siswa SD/SMP/SMA dan sederajat, serta gratis SPP untuk SD negeri dan bebas DSP bagi SMP/SMA negeri. Tingkat pendidikan masyarakat Depok kini lebih baik, data menunjukkan Angka Melek Huruf tahun 2005 berkisar 97,98%, rata-rata lama sekolah 10,61 tahun (2005). Prestasi lainnya adalah pendidikan luar sekolah (paket A) terbaik tingkat nasional. Akhirnya, harapan untuk dapat berdiri sejajar dengan kota lain seperti Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi telah memotivasi semua elemen Depok untuk terus bekerja keras melanjutkan pembangunan dengan harapan kota ini dapat mandiri kokoh dan menjadi kota yang akhirnya dapat dijadikan contoh. Harapan itu perlahanlahan sudah mulai terwujud. Walau jatuh bangun, kota Depok berhasil mencatat beragam prestasi dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini (Walikota Nur Mahmudi Ismail; Warta Depok edisi 10, Maret 2008, hal 5). Demikian beberapa gambaran tentang perjalanan Depok setelah berubah status menjadi Kotamadya. Jelaslah kiranya bahwa perubahan status Depok memberi pengaruh positif yang mengarah pada perbaikan dan kemajuan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Otonomi daerah merupakan anugerah bagi daerah yang memiliki keinginan besar untuk memaksimalkan fungsi kewenangan pemerintahan daerah. Kewenangan yang proporsional dan optimal dalam menggerakkan setiap sumber daya yang berada di daerah akan menjadikan daerah memiliki kemandirian dalam membangun daerahnya. Dengan sistem desentralisasi yang diterapkan beriringan dengan otonomi daerah
dapat
menempatkan
daerah
sebagai
inspirator
penetap
kebijakan
pembangunan daerah. Pembangunan yang mengedepankan keseimbangan pusat dan daerah dengan menempatkan daerah sebagai yang menetapkan kebijakan, maka akan menjadikan daerah sebagai wilayah yang pembangunannya berdasarkan potensi yang berada di daerah tersebut. Potensi-potensi dasar yang berkembang di suatu daerah sangat berkaitan erat dengan kepentingan daerah yang berkesinambungan. Oleh karena itu, daerah harus menjadi inspirator, regulator, dan pengontrol pembangunan yang berlangsung di daerah. Dengan lahirnya otonomi daerah yang didukung oleh peraturan yang berangkat dari nilai-nilai keadilan dan kedaulatan rakyat, maka memberikan peluang besar daerah untuk membangun daerahnya secara maksimal.
Depok sebagai kota yang menginjak usia ke-10 merupakan kota yang memiliki kesempatan seperti kota-kota lain di Indonesia dalam membangun wilayahnya. Karena dengan bergulirnya otonomi daerah sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kewenangan daerah yang lebih besar untuk mengatur daerahnya, maka akan memberikan peluang untuk memberikan yang terbaik bagi kota Depok terbuka sangat lebar. Pembangunan kota Depok dalam berbagai sektor mengalami kemajuan yang sangat signifikan, hal ini merupakan buah dari diterapkannya otonomi daerah, khususnya bagi kota Depok. Karena dengan otonomi daerah dengan sistem desentralisasi menjadikan daerah sebagai pengambil kebijakan yang dapat menggerakkan berbagai sektor kehidupan yang dapat menopang kota Depok untuk lebih maju. Kota Depok yang pada awalnya kota Administratif yang terdiri dari tiga kecamatan (kecamatan Pancoranmas, kecamatan Beji, dan kecamatan Sukmajaya), sekarang menjadi kota madya yang telah memiliki APBD sendiri dengan diperluas wilayahnya yang terdiri dari enam kecamatan –ditambah 3 kecamatan: kecamatan Sawangan, kecamatan Beji, dan kecamatan Cimanggis). Dengan demikian, ruang kota yang memungkinkan pembagian daerah peruntukkan pembangunan akan semakin mudah, dan semakin sempurna untuk menjadi sebuah kota madya. Berdasarkan berbagai hal yang telah dijelaskan, maka otonomi daerah yang tengah diterapkan di kota Depok telah memberikan kontribusi positif yang sangat besar bagi masyarakat Depok. Karena dengan otonomi daerah pemerintah kota Depok
dapat merencanakan pembanguan kota Depok secara mandiri demi kepentingan kota Depok
yang
berkelanjutan,
dengan
mengedepankan
keadilan
sosial
demi
mewujudkan Depok yang lebih sejahtera dan berkeadilan. Akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa penerapan otonomi daerah di kota Depok berimplikasi pada kemajuan pembangunan Depok. Ini dapat di lihat pada perkembangan fisik kota Depok serta tingkat pertumbuhan ekonomi Depok.
B. Saran-saran Dengan adanya Otonomi di Daerah Kota Depok, diharapkan pembangunan yang berjalan bisa merata. Dalam pengertian bahwa, selama ini pembangunan hanya terfokus di daerah Margonda Raya/atau tempat-tempat yang strategis saja, akan tetapi pembangunan itu harus diberikan secara merata, ke seluruh Kota Depok. Selain itu tingkat kesejahteraan masyarakat Depok harusnya, lebih diperhatikan lagi, tak hanya itu, pendidikan, kesehatan dan masalah keamanan, kebersihan, serta ketertiban dapat dinikmati oleh masyarakat Depok. Harus lebih ditingkatkan lagi. Sehingga apa yang menjadi visi Kota Depok “Menuju Kota Depok yang Melayani dan Mensejahterakan”, terlihat nyata adanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rojali, Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme Sebagai Satu alternatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Abra, Syarofin, MF., Demitologisasi Politik Indonesia; Mengusung Elitisme dalam Orde Baru, Jakarta: PT. Rosada Cindosindo, 1998. Al-Mawardi, Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Basyir Al-Baghdadi, AlAhkam Ashultoniyah, Mesir: Darul Fikri, 1970. Ashiddiqie, Jimly, (ed), et. Al., Sumber Daya Manusia untuk Indonesia Masa Depan, Jakarta: PT. Citra Putra Bangsa, 1997. Ass’arie, Musa, Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: LSFI, 2002. Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000. Dwiyanto, Agus, Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Galang Printika, 2002 Djanur, Buana Rusna, H. Badrul Kamal Membangun Kota Depok, Depok: Adyssa Promosindo, 2005. Hermawan, Eman, Politik Membela Yang Benar, Teori, Kritik dan Nalar, Yogyakarta: Yayasan KLIK & DKN Garda Bangsa Jakarta, 2001. Informasi Depok Membangun Tahun 2002
Ismail, Soelistyani Gani, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Ghala Indonesia, 1998. Kartaprawira, Rusdi, Sistem Politik Indonesia, Bandung: Sinar Baru Agesindo, 1990. Molang, Lexy J, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya, 1998. Nasdution, AH., Pengembangan Moral Inti Pembangunan Nasional, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999. Nawawi, Hadani, H. dan Mimi Martini H., Manusia Berkualitas, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1999 Patimura, Luthfi, Manajemen Otonomi Daerah, Yogyakarta: PT. Ujung Gading Saksi, 2001 Pokja Wartawan Depok, Depok Merajut Asa Membangun Kota, Depok: Pokja Wartawan Depok: Adhssa Promosindo, 2005. Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia: Kesetabilan, Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Santoso, Heru, et.al., Sari Pendidikan Pancasila; dan UUD 1945 setelah Perubahannya, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002. Sukarna, Sistem Politik, Bandung: Penerbit Alumni, 1981. Tilaar, H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, Magelang: Indonesia Terra, 2003. Tim Penyusun , Buku Pedoman Akademik FUF Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Ubaidillah, A., et.al., Pendidikan Kewargaan, Demokrasi HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000
Umar, Musni, DPRD di Era Otonomi Daerah: Memancang Pilar Demokrasi, Jakarta: Insed, 2003. Wijiyanto, Kewarganegaraan (Citizenship), Jakarta: Piranti Darma Kalokatama, 2005. Yayasan API, Panduan Parlemen Indonesia, Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2001.