Edisi Agustus 2002
KEKAYAAN ALAM KITA MASALAH KEBIJAKAN NASIONAL KEHUTANAN DI MASA TRANSISI OTONOMI DAERAH Ketua APHI, Adiwarsita Adinegara:
“Belum Terdapat Sinkronisasi antar Peraturan di Sektor Kehutanan” Sisipan LPEM-FEUI Unit Pemantauan Desentralisasi : KAJIAN BAGI HASIL KEHUTANAN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM PP No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi Seri Pelatihan Singkat LPEMFEUI 2002 KOTA SUKABUMI PUSAT PELAYANAN JASA TERPADU DI BIDANG PERDAGANGAN, PENDIDIKAN, DAN KESEHATAN Otonomi Pengelolaan Hutan : Sejumlah Problem Regulasi Seputar Otonomi Daerah
Gambar Sampul : Diambil dari kumpulan fotofoto dari Photoimage vol. 10. Foto isi diambil dari internet dengan fasilitas www.google.com.
KEKAYAAN ALAM KITA Dalam suatu kesempatan, seorang kawan menyarankan pemerintah Indonesia untuk membeli “koordinasi” bila dijual di toko toko, “borong sebanyak banyaknya”, demikian katanya. Meskipun hanya kelakar, ungkapan itu muncul akibat kekesalan yang mengarah pada rasa frustasi akibat lemahnya – untuk tidak mengatakan tidak adanya koordinasi – antar stakeholder dalam mengatasi berbagai persoalan di negara ini. Negeri ini memiliki cukup banyak para konseptor maupun praktisi yang menghasilkan pemikiran pemikiran cemerlang sebagai rekomendasi teknis untuk perbaikan berbagai macam bidang kehidupan. Namun kita ketahui, rekomendasi rekomendasi tersebut seringkali terhenti di arsip pemerintahan. Para pemegang kekuasaan bukannya tidak memahami pentingnya melaksanakan rekomendasi tersebut, namun tidak adanya tindakan nyata yang diambil sering hanya disebabkan masalah klasik tentang tidak adanya koordinasi antar pemegang kekuasaan di pusat, pusat – daerah, dan antara pemegang kekuasaan dengan para stakeholder bidang yang bersangkutan. Di bidang kehutanan, para rimbawan baik dari unsur pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sekitar hutan, maupun para pakar kehutanan, persis tahu bahwa pengelolaan hutan yang tidak komprehensip telah menyebabkan kerusakan hutan, kerugian fiskal karena kayu ilegal, lemahnya daya saing produk kehutanan, dll. Lantas siapa yang mesti disalahkan kalau para rimbawan berjalan dengan agenda kepentingannya sendiri sendiri? Semua berkontribusi dalam kesalahan pengelolaan hutan: pengusaha yang melakukan over cutting & membeli kayu spanyol (‘separo nyolong’ – curian, red.), oknum masyarakat/aparat yang melakukan pencurian kayu, NGO yang misleading dengan advokasinya, pemerintah yang tidak menjalankan fungsi perencanaan & pengawasan, dll. Namun rasanya tepat untuk menimpakan kesalahan utama pada pemerintah, karena merekalah pemegang kekuasaan yang diberikan masyarakat untuk mengatur negara ini. Pemerintah mempunyai potensi untuk menggolkan kebijakan publik lewat dukungan politik yang memberikan kekuasaan padanya, pemerintah memiliki alat penindak represif bagi para pelanggar tata kenegaraan, dan pemerintah pulalah yang mempunyai legitimasi formal untuk mengumpulkan pemikiran para rimbawan guna perbaikan pengelolaan hutan. Kata ‘koordinasi’ kiranya mempunyai makna penting, awal suatu kerjasama. Peran koordinasi tentu mensyaratkan suatu manajemen dan leadership yang kuat untuk dapat menyatukan berbagai divergensi kepentingan para rimbawan. Barangkali leadership inilah kuncinya, yang setidaknya memiliki dua ciri penting yaitu: justice (keadilan, kebersamaan) dan reverence (respek, keterbukaan), sebagaimana diungkapkan Hariadi Kartodiharjo. Adakah para pemimpin kita memiliki dua ciri penting itu untuk mengarahkan behavior change para rimbawan agar mau koordinasi, berbagi informasi & pengetahuan? Itulah soalnya, karena bilamana leadership itu ada, bukankah persoalan persoalan kehutanan harusnya menjadi semakin berkurang, bukannya bertambah? Tentu saja leadership para pemimpin bidang kehutanan menghadapi tantangan yang tidak sedikit mengingat permasalahan permasalahan kehutanan sebagaimana disampaikan di atas; dengan beberapa catatan tambahan tentang adanya disharmoni UU sektoral, serta berbagai distorsi kebijakan pada awal pelaksanaan otonomi daerah. Namun tentu segala kesulitan tersebut tidak menjadi excuse untuk tidak segera menunjukkan perbaikan kinerja. Adakah cerita sukses kehutanan dalam hal legal framework, penegakan hukum, jaminan pasokan bahan baku industri, atau kelestarian hutan? Ada kearifan tradisional yang mengatakan bahwa kekayaan Bumi ini cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup seberapapun banyaknya manusia bila dikelola dengan bijak, tapi tidak cukup bagi dua atau tiga orang yang serakah. Pengelolaan hutan secara bijak memang tidak mudah, saat ini barangkali hanya diperlukan one single success story untuk menjadi sedikit pelipur lara, sekaligus guna menyalakan api optimisme yang kian memudar. (pap)
Penerbit : Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Alamat Redaksi : Sekretariat KPPOD, Plaza Great River, 12th floor, Jl. HR. Rasuna Said Kav. X-2 No.1, Jakarta 12950, Phone : 62-21-5226018, 5226027, Fax : 62-21-5226027, http://www. kppod.org/, E-mail :
[email protected]. Dewan Pengurus KPPOD : Bambang Sujagad, Anton J. Supit, Bambang PS Brodjonegoro, P. Agung Pambudhi, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, Adnan Anwar Saleh, Hadi Soesastro, Sri Mulyani Indrawati, Djisman Simandjuntak, Susanto Pudjomartono, Sjarifuddin, Aco Manafe, dan Taufik L. Redaksi : P. Agung Pambudhi, Sigit Murwito, Robert Endi. Tata Letak : F. Sundoko. Iklan dan Distribusi : M. Regina Retno B.
1
MASALAH KEBIJAKAN NASIONAL KEHUTANAN DI MASA TRANSISI OTONOMI DAERAH1 Hariadi Kartodihardjo2
I. PENDAHULUAN
No. 22/1999. Berdasarkan uraian di atas, dalam naskah singkat ini dibahas landasan institusi dan masalah koordinasi serta divergensi kepentingan, identifikasi permasalahan pelaksanaan kebijakan nasional kehutanan, serta rekomendasinya.
Telah diketahui bersama bahwa hutan di Indonesia terus mengalami kerusakan. Sistem pengelolaan hutan yang dijalankan sejak awal tahun 70an terbukti tidak mampu menahan tekanan eksploitasi secara berlebihan, baik oleh pemegang hak pengelolaan atau pengusahaan hutan sendiri, maupun oleh II. LANDASAN INSTITUSI DAN KOORDINASI berbagai pihak lain yang secara formal tidak disertakan dalam 2.1. Institusi sebagai Masalah Pokok sistem pengelolaan hutan tersebut. Untuk memperbaiki permasalahan penyelenggaraan Pembahasan mengenai pengelolaan hutan di Indonesia kehutanan saat ini perlu dilihat keterkaitan antara empat sejauh ini menunjukkan bahwa pokok permasalahannya adalah komponen berikut: tidak berjalannya hampir Komponen Pertama Gambar 1. Keterkaitan Empat Komponen Pokok seluruh rekomendasi : Landasan dasar profesi, dalam Permasalahan Penyelenggaraan Kehutanan. teknis yang disarankan yang menjadi kontributor KOMPONEN II : KOMPONEN III : KOMPONEN IV : KOMPONEN I : kepada berbagai instansi LANDASAN DASAR penyebab benar salahnya INSTITUSI - MANAJEMEN INSTITUSI - KEBIJAKSUMBER MASALAH INTERNAL AN PUBLIK DI LAPANGAN kehutanan. Sejak awal PROFESI komponen kedua dan ILMU DAN Kabinet Reformasi ketiga; LEMB. PENGETAHUAN YG PDK, PL, telah dinyatakan adanya Komponen Kedua: DIMILIKI PLT. DEPHUT INDIVIDU pembaruan kebijakan Manajemen internal BALAI HAK ATAS HUTAN kehutanan, bahkan setiap organisasi yang DAN LAHAN KEBIJAKAN kebijakan pembaruan mempunyai peran SISTEM DAN PEMDALAM INSTRUMEN PROV. kehutanan juga diikat langsung maupun tidak LINGKUP KEBIJAKAN SISTEM/ KERJA MANAJEMEN oleh suatu letter of intent langsung dalam penyePEMPENGELOLAAN KAB. HUTAN dengan IMF bulan lenggaraan kehutanan, LEMB. NON Januari 1998 yang terus yang menjadi penyebab LEMB. PROFIT JATI DIRI USAHA diperpanjang hingga benar salahnya komINDIVIDU PROFIT tahun 2000; dan sampai ponen ketiga dan ------- SYMPTOM ------------- MASALAH POKOK ------------- SYMPTOM ------- ------- SYMPTOM ------saat ini, pembaruan pertama; kebijakan kehutanan Komponen Ketiga : belum memberi hasil secara signifikan. Bentuk kebijakan pub-lik dan instrumen kebijakan penyelengMandegnya pembaruan dan implementasi ke-bijakan garaan kehutanan, yang menjadi penyebab be-nar salahnya kehutanan terse-but sebenarnya terletak pada masalah – masalah kompo-nen keempat; institusi, baik berupa peraturan perundangan, kapasitas dan Komponen Keempat : Sumber penyebab dari berbagai kapabilitas organisasi penyelenggara kehutanan, serta lemahnya symptom keadaan di lapangan (illegal logging, kebakaran hutan, implementasi penyelesaian masalah dari proses-proses dialog penjarahan hutan, over cutting, dll), yaitu hak atas hutan dan multipihak. Oleh karena itu strategi yang diperlukan untuk lahan serta sistem/manajemen pengelolaan hutan. Keterkaitan memecahkan masalah pengelolaan hutan tidaklah tepat apabila dan ketergantungan antar keempat komponen tersebut disajikan diarahkan untuk kembali membahas masalah-masalah teknis dalam Gambar 1. kehutanan. Karena, sebagaimana diutarakan sebelumnya, Dalam penyelesaian masalah penyelenggaraan kehutanan rekomendasi-rekomendasi teknis tersebut sejauh ini tidak tentunya bisa dimulai dari komponen yang mana saja, sebagai berjalan. necessary condition. Alasannya, pertama, karena karakteristik Sehubungan dengan hal di atas, mengkaitkan pembahasan situasi di lapangan berbeda-beda. Kedua, permasalahan kebijakan pengelolaan hutan dengan pelaksanaan otonomi di lapangan harus ditangani saat ini juga, dan tidak harus daerah menjadi kebutuhan sangat penting, karena masalah- menunggu adanya profesi dan sistem yang kondusif. Namun masalah institusi penyelenggaraan kehutanan berkaitan erat apabila yang dikehendaki adalah penyelesaian yang bersifat lebih dengan pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kaitan ini, era permanen dan jangka panjang, maka harus ada penyelesaian otonomi daerah lebih tepat dikatakan sebagai awal pelaksanaan yang sifatnya mendasar, yang dimulai dari komponen pertama otonomi daerah. Karena pada saat ini pelaksanaan otonomi dan kedua sekaligus, sebagai sufficient condition. daerah masih sangat jauh dari apa yang dimandatkan oleh UU Penyelesaian sekaligus komponen pertama dan kedua Profesi yg tahu, mau dan mampu menjalankan misi penyeimbangan fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi dari hutan, sesuai dengan hak, kewenangan dan kewajiban yg dimiliki dan diakui oleh masyarakat
2
diperlukan, karena penggunaan ilmu dan pengetahuan serta peran jati diri profesi kehutanan hanya dimungkinkan apabila sistem di dalam setiap lingkup kerja memungkinkan untuk itu. Telah terbukti di dalam sistem yang tidak kondusif, para profesional yang mempunyai jati diri serta mempunyai ilmu dan pengetahuan yang cukup tentang permasalahan yang dihadapi justru, di banyak kasus, tersingkirkan. Pemikiran di atas meunjukkan bahwa pokok permasalahan yang kini dihadapi dalam pengelolaan hutan adalah lemahnya institusi baik dalam pengaturan manajemen internal organisasi dan hubungan antar organisasi, yang implikasinya melemahkan pembaruan kebijakan kehutanan yang diperlukan. 2.2. Masalah Koordinasi dan Divergensi Kepentingan3 2.2.1. Masalah Organisasi dan Leadership Hambatan pelaksanaan koordinasi sebenarnya terletak di dalam setiap organisasi yang akan melakukan koordinasi, yaitu adanya pertentangan antara fleksibilitas yang diperlukan (sebagai bagian dari proses dan hasil koordinasi) dengan kekakuan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan untuk organisasi tersebut. Sebaliknya, masalah koordinasi bukan terletak pada kebijakan dan tujuantujuannya. Dengan demikian, organisasi pemerintahlah yang paling memiliki masalah untuk melakukan koordinasi. Koordinasi memer-lukan pertukaran in-formasi secara inten-sif (networking), dan hasil pertukaran informasi tersebut dipergunakan untuk mengkonfirmasi waktu, biaya, dan aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan bersama. Koordinasi dapat berjalan apabila dapat dilaksanakan kegiatan-kegiatan selain yang sifatnya struktural (telah ditetapkan sebelumnya) dengan tujuan yang diartikulasikan secara jelas, didasarkan pada sharing pengetahuan, pencarian informasi secara sistematis, pertukaran, serta proses feedback. Pemrosesan informasi yang dikaitkan dengan sharing pengetahuan akan mengantarkan seluruh organisasi untuk belajar bersama, serta selalu melakukan penyesuaian kegiatankegiatan masing-masing yang didasarkan pada hasil assesment terhadap permasalahan yang sedang berlangsung. Pemrosesan informasi juga mendorong adaptasi organisasi secara dinamis dan tumbuhnya perilaku melakukan pengaturan sendiri di dalam setiap organisasi peserta. Setiap organisasi peserta juga menyesuaikan aktivitasnya sehubungan dengan perubahan kondisi dalam upayanya untuk mencapai tujuan bersama. Perilaku pengaturan sendiri dalam setiap organisasi peserta
mendorong adaptasi yang saling menguntungkan, dan pada akhirnya mewujudkan koordinasi secara nyata sebagaimana yang diinginkan. Dalam kaitan ini maka kualifikasi leadership sangat menentukan terjadinya koordinasi. Di luar kemampuan kepemimpinan yang sudah banyak diungkap dalam referensi manajemen, setidaknya ada dua ciri sikap yang sangat penting untuk itu, yaitu justice (keadilan, kebersamaan) dan reverence (respek, keterbukaan). Dua ciri sikap tersebut berfungsi sebagai kekuatan untuk mengintegrasikan seluruh anggota organisasi dan masyarakat di luarnya, dan dapat sebagai kekuatan yang mampu menghadapi tekanan institusi (baca: situasi sosial-politik yang tidak mendukung). Maka orang yang memiliki sikap dapat mengembangkan justice dan reverence itulah yang mestinya menjadi pemimpin organisasi atau instansi pengelola hutan. 2.2.2. Kepentingan Individu dan Politik Mengapa banyak organisasi publik struktur dan kontrol sistemnya begitu tidak dinamis? Mengapa prinsipprinsip reinventing governance tidak berjalan? Itu karena adanya dominasi kepentingan individu dan kepentingan politik. Teori orga-nisasi sudah cukup baik mengidenti-fikasi masalah-masalah birokrasi, tetapi gagal menerangkan berbagai rekomendasi pemecahan masalah yang tidak berjalan. Kegagalan itu terjadi karena rekomendasirekomendasi tersebut tidak masuk akal menurut kepentingan individu maupun kepentingan politik. Sebagaimana suatu organisasi usaha komersial yang selalu memaksimumkan profit, atau konsumen yang selalu memaksimumkan kegunaan (utility) barang dan jasa, maka secara agrerat pihak-pihak di dalam masyarakat juga mempunyai divergensi kepentingan yang digambarkan berikut. Pejabat publik yang keberadaannya karena dipilih (anggota DPR/D) membuat pilihan kebijakan yang diyakini dapat membuka kesempatan untuk terpilih kembali sambil melindungi integritas dan nilai-nilai yang berlaku di dalam lembaganya. Pejabat pemerintah membuat pilihan kebijakan publik yang diyakini dapat membuka kesempatan peningkatan karier sambil mendukung program-program yang dikuasainya. Sedangkan warga negara dan kelompok kepentingan membuat pilihan mendukung keputusan pejabat publik, hanya jika programprogramnya diyakini dapat mencapai tujuan dan aspirasi yang diinginkan. Permasalahannya adalah pilihan-pilihan tersebut sering tidak mengacu pada masalah riil di lapangan (the crux of the
3
long-standing problem). Saat ini, di awal era otonomi daerah, divergensi kepentingan dan divergensi kebijakan kehutanan tersebut semakin menonjol.
paling kaya sumber-daya hutan alamnya, di tahun 2001 jumlah unit HPH dan HTI yang masih beroperasi kurang dari separoh jumlah unit peru-sahaan tersebut pada tahun 1997. Banyak-nya konflik pengguna-an lahan dan menu-runnya potensi hutan 2.2.3. Ekonomi Biaya Tinggi alam produksi men-jadi penyebab tutup-nya usaha tersebut. Implikasi dari kondisi di atas bagi usaha kehu-tanan saat Menyusutnya produk kayu legal dari HPH dan HTI dalam ini, juga termasuk upaya untuk mengembangkan Hutan pasar domestik telah digantikan oleh produk kayu illegal serta Kemasyarakat-an di banyak lokasi, dibebani dengan ekonomi dari proses perijinan baru oleh kabupaten-kabupaten yang biaya tinggi. Hal demikian ini me-nyebabkan orientasi wilayah hutan produksi alamnya masih potensial. Kerusakan pengelolaan hutan ha-nya untuk melakukan penebangan hutan akibat illegal logging juga terjadi di dalam kawasan hutan alam yang masih tersisa dan bukan melindungi apa- hutan lindung dan kawasan konservasi. Evaluasi terhadap 42% lagi meningkatkan produktivitasnya. Beberapa referensi yang dari seluruh kawasan hutan lindung dan 58% dari seluruh berkaitan dengan terjadinya ekonomi biaya tinggi tersebut adalah kawasan konservasi, kerusakan yang telah terjadi untuk hutan sebagai berikut : lindung seluas 46% dan Tabel 1. Beban Swasta Berbentuk Pungutan Tidak Resmi oleh 1. Biaya pengurusan Pusat dan Daerah dalam Pengusahaan Hutan Alam (Jutaan Rp/th). kawasan konservasi seluas pengusahaan hutan – 38%. Banyaknya supply PROPINSI di luar biaya tetap dan JENIS BIAYA log illegal menyebabkan KALSEL KALTIM SULTENG IRJA RIAU biaya variable yang harga log turun hingga resmi, sekitar 24% - Biaya Koordinasi : mencapai Rp 250 ribu 46% dari biaya variable 1. Pengurusan ijin per m3 awal tahun 2002, 686 627 434 2. BINWASDAL 422 383 389 476 256 (Kartodihardjo, dari Rp 925 ribu per m3 3. Pelaporan 666 666 666 666 666 1998); di akhir tahun 2000. 3.656 3.656 3.656 3.656 3.656 2. B i a y a t r a n s a k s i Biaya Informasi Dengan tingginya pengusahaan hutan Biaya Strategi pungutan dan rendahnya 3.282 3.378 3.259 3 228 3.241 sekitar Rp 280.000,-/ harga log, maka 8.715 8.086 8.600 8.028 8.256 m3. Sehingga terdapat JUMLAH pengusahaan hutan k o m p o s i s i b i a y a Sumber : Hasil Survai Tim Deperindag-Sucofindo (Okt 2001). Tidak Dipublikasikan. alam sebenarnya tidak opersional (48%), lagi layak secara finansial : BINWASDAL = Bimbingan, pengawasan dan pengendalian; Masingpungutan kehutanan Keterangan menjalankan pengelolaan masing contoh kasus didasarkan pada perhitungan HPH dengan tebangan tahunan (31%), biaya transaksi seluas 1.000 Ha atau produksi log sebesar 30.000 m3/th. Maka beban pungutan hutan secara lestari. (21%) Banyak pemegang HPH tidak resmi rata-rata antara Rp. 267.600,-/m3 sampai Rp. 290.500,-/m3. (Lihat Tabel 1); harus melakukan over 3. Biaya pengurusan ijin-ijin dan pengesahan dalam pengusahaan cutting apabila masih ingin mendapat keuntungan normal dari sekitar 43% dari seluruh biaya operasional (APHI, 2001); usahanya. 4. Terdapat 58 kali inspeksi per tahun yang secara resmi dilakukan 12 instansi pemerintah terhadap 19 jenis kegiatan III. KEBIJAKAN NASIONAL DI AWAL ERA OTONOMI pengusahaan hutan (Prasetyo dan Hinrichs, 1999); DAERAH 5. Setiap tahun pemegang HPH harus melakukan 43 jenis 3.1. Masalah Efektivitas Kebijakan Nasional Kehutanan kegiatan, masing-masing kegiatan perlu berhubungan dengan Sasaran kebijakan penyelenggaraan kehutanan sebenarnya 2 sampai 8 instansi. Untuk melakukan hal-hal tersebut telah dirumuskan dan direkomendasikan oleh banyak pihak. setiap tahun harus melakukan 169 jenis urusan (meja) dan Sampai-sampai Lembaga Donor bagi Indonesia, CGI misalnya, untuk itu harus menyerahkan 1599 kertas kerja/peta yang juga telah menetapkan 8 butir sasaran kebijakan penyelenggaraan terdiri dari : 256 buku, 510 lembar peta, 7 lembar citra kehutanan, yang dituangkan dalam Keppres No. 80 Tahun landsat, dan 521 blanko isian. Urusan yang demikian itu 2000. Demikian pula program pembangunan kehutanan telah adalah pelaksanaan dari 7 buah PP, 4 Keputusan Presiden, 82 pula dituangkan dalam Rencana Strategis DepHut 2001 Keputusan Menteri, dan 20 Keputusan Dirjen (Hasil survai 2005. Misi Teknis ITTO untuk Indonesia (2001), juga telah Tim Deperindag dan Sucofindo, 2001); merumuskan sejumlah rekomendasi kebijakan. Sebelum itu letter of intent RI-IMF juga menyinggung sektor kehutanan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, dalam Pada umumnya selu-ruh rekomendasi kebijakan yang telah Tabel 2 disajikan munculnya berbagai pungutan baru/ekstra disarankan oleh ber-bagai pihak tersebut – baik mengikat maumaupun masalah-masalah yang secara potensial menimbulkan pun tidak – belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. ekonomi biaya tinggi seperti adanya tumpang tindih penggunaan Per-masalahan pokok yang kini mengemuka adalah lemahnya kawasan hutan, duplikasi pengurusan, maupun pembangunan koordinasi antara pemerintah pusat (DepHut) dengan pos-pos penarikan retribusi baru. pemerintah daerah (terutama Pemerintah Kabupaten), serta Kekuatan ekonomi kehutanan yang semula menjadi sumber lemahnya peran Pemda dalam merumuskan dan menjalankan energi bagi para konglomerat untuk mengembangkan bisnis dan kebijakan publik bagi pengurusan hutan secara adil dan lestari. dukungan politik, kini perlahan tapi pasti telah menurun drastis. Dalam pelaksanaan otonomi daerah telah diatur bahwa Di Kalimantan Timur, misalnya, sebagai lokasi yang sejauh ini pemerintah pusat bukan lagi sebagai executing agency melainkan
4
sebagai perencana dan pengendali serta pengatur kebijakan desentralisasi kehutanan; makro nasional. Lemahnya koordinasi menyebabkan berbagai 4. Mewujudkan mekanisme akuntabilitas bagi publik; kebijakan Pusat tidak dijalankan oleh Pemda. Misalnya 5. Penguatan lembaga kehutanan Kabupaten; dalam penaggulangan illegal logging, pemerintah pusat telah 6. Melaksanakan kegiatan operasional di Kabupaten. mengeluarkan SKB Menteri Kehutanan Nomor: 1132/ Tabel 2. Sumber-sumber Ekonomi Biaya Tinggi Kpts-II/2001 dan Menteri Rekomendasi tersebut di Awal Era Otda, 2001 Perdagangan dan Industri dapat ditata berdasarkan Nomor: 292/Mpp/ fungsi dan hierarkinya Propinsi Permasalahan Riau Jateng Kalsel Kaltim Sulteng Irja Ket. Kep/10/2001 tentang sebagaimana dituangkan 1) Penghentian Ekspor Kayu Pungutan Ekstra dalam Gambar 2. 1. Propinsi X X X X Bulat/Bahan Baku Serpih, 2. Kabupaten Kebijakan pelaksanaan X: X X X X XX ringan X serta Surat Keputusan 3. Kecamatan otonomi daerah semestinya XX : Masyarakat Lokal X X X X XX Menteri Kehutanan tentang 4. juga diintegrasikan dengan berat Tumpang Tindih X X Pencabutan Keputusan Lahan (HPH-IPHH) kebijakan penataan X XX X X M e n t e r i K e h u t a n a n Duplikasi Pengurusan organisasi Pusat. Dalam hal Pembangunan Pos X X X X X X Nomor 05.1/Kpts-II/2000 Retribusi Hasil Hutan ini fokus tugas Departemen t e n t a n g K r i t e r i a d a n Sumber : Hasil Survai Tim Deperindag-Sucofindo (Okt 2001). Tidak Dipublikasikan. Kehutanan adalah 1 ). Berdasarkan dasar hukum (perda) Standar Perizinan Usaha mer umuskan kembali Pemanfaatan Hasil Hutan tugas dan tanggungjawab dan Perizinan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi lembaga-lembaga sektor kehutanan, misalnya, dapat berupa (Nomor : 541/Kpts-II/2002). Kedua kebijakan Pemerintah kebijakan terhadap posisi UPT-UPT, seperti BKSDH, BRLKT, Pusat tersebut banyak ditentang oleh Pemerintah Kabupaten BPTH, BIPHUT, dan BEHHPH, serta BUMN Kehutanan dan tidak dijalankannya. dalam rangka otonomi daerah. PP 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Salah satu penyebab peningkatan rusaknya sumberdaya Kawasan Hutan dan PP 35/2002 tentang Dana Reboisasi hutan akhir-akhir ini adalah lemahnya hak-hak atas pengelolaan juga menimbulkan kontroversi, bukan hanya soal isinya, hutan – yang berlaku di semua fungsi hutan – sehingga hak melainkan adanya kontroversi tersebut melemahkan koordinasi menguasai hutan oleh negara menjadi seolah-olah seperti hutan pemerintahan sehingga lemah pula peran pemerintah dalam tanpa hak (open access forest resources). Realitas ini, ditambah menangani masalah-masalah kehutanan di lapangan. masalah-masalah yang menyebabkan tidak padunya kebijakan nasional dan kebijakan propinsi serta kabupaten, menjadikan 3.2. Pembaruan Kebijakan Nasional Kehutanan tidak terwujudnya pemerintahan kolektif (pusat-daerah) yang Lima program prioritas Departemen Kehutanan saat ini efektif. – yaitu pemberantasan illegal logging, restrukturisasi industri, Ruang untuk melakukan upaya mensinergikan Pusat dan rehabilitasi hutan, pengendalian kebakaran hutan, dan Daerah tersebut menjadi sangat kecil, antara lain karena fungsi desentralisasi, memiliki dua karakteristik. Pertama, bertumpu dan tugas Departemen Kehutanan saat ini masih mengikuti pada pelaksanaan kegiatan dan tidak otomatis menunjuk platform sentralisasi. Ketika “Pusat” sudah tidak lagi menjadi penyelesaian sumber masalah. Kedua, Pemerintah Daerah tidak pusat kekuasaan, melainkan pusat koordinasi, maka landasan serta merta dapat mendukung pelaksanaan program tersebut. pijakannya adalah melakukan proses-proses hubungan kerja, Hal ini dapat dilihat dari divergensi program Dinas Kehutanan serta penguatan institusi – dalam arti aturan main dan organisasi Kabupaten dengan program Departemen Kehutanan. – Pemda. Implisit dalam konteks ini, maka hubungan fungsional Sumber masalah yang menghambat pengelolaan hutan alam lebih menonjol daripada hubungan struktural. Namun fungsi sekurang-kurangnya ada dua hal pokok. Pertama, semakin dan tugas untuk menguatkan institusi Pemda dalam struktur rendahnya kemampuan sistem pengelolaan hutan produksi organisasi Departemen Kehutanan tidak ada. Padahal hal tersebut yang saat ini masih berjalan – oleh swasta (HPH) dan BUMN adalah pekerjaan besar yang dapat menjadi pondasi peningkatan (HPH, PT Perhutani) – dan dibawah kendali Depar-temen kapasitas dan kapabilitas penyelenggaraan kehutanan secara Kehutanan serta Kementrian BUMN. Kedua, lemahnya proses nasional, yang melandasi mampunya pemerintah menyelesaikan komunikasi pusat-daerah dalam menen-tukan dan menjalankan berbagai bentuk masalah-masalah kehutanan yang tersebar di kebijakan kehutanan. hampir seluruh kawasan hutan di Indonesia. Berdasarkan sumber masalah di atas, maka apa yang perlu Dari perspektif kebijakan nasional, penyelengga-raan dijalankan saat ini sebaiknya bukanlah berorientasi pada penguatan lembaga kehutanan daerah dapat didekati dengan kebijakan teknis, melainkan kebijakan yang berkaitan dengan menggunakan pendekatan pembangunan wilayah. Implikasi penguatan institusi kehutanan secara keseluruhan, sebagai penting dari pendekatan ini adalah pada kerangka kerja yang berikut : dijalankan oleh Departemen Kehutanan. Pertama, kerangka 1. Memfokuskan tugas dan fungsi Departemen Kehutanan; kerja akan menghasilkan output parsial apabila tidak terdapat 2. Mendirikan organisasi – formal/informal – untuk pendukung integrasi program seluruh Eselon I lingkup Departemen proses perumusan dan implementasi kebijakan; Kehutanan. Kedua, syarat lain yang diperlukan adalah adanya 3. Merumuskan ulang instrumen kebijakan nasional untuk mekanisme dan penyelenggaraan proses perumusan dan
5
implementasi kebijakan bersama-sama dengan pemerintah daerah. Terwujudnya pemerintahan kolektif (pusat-daerah) akan IV. PENUTUP terhambat apabila kebijakan dijalankan secara instruksional Betapa sulitnya “menjadi Indonesia” saat ini. Kelonggaran sebagaimana era sentralisasi terdahulu. implementasi hukum dan lemahnya social capital 1 yang Ketiga, mekanisme kontrol Departemen Kehutanan terhadap pada umumnya terjadi, menjadikan apa yang secara obyektif penyelenggaraan kehutanan oleh Pemda. Dalam masa transisi harus dijalankan selalu terhenti di tengah jalan. Apa yang menggunakan dengan susah payah Gambar 2. Pemetaan Rekomendasi Penguatan Institusi instrumen hukum bisa disepakati untuk Penyelenggaraan Desentralisasi Kehutanan untuk mengontrol mencari penyelesaian pemerintah daerah masalah kehutanan INSTRUMEN KEBIJAKAN 3 NASIONAL UNTUK 1 5 – dalam beberapa hanyalah capaian DESENTRALISASI KEHUTANAN : PENGUATAN LEMBAGA 1. Merumuskan Kebijakan KEHUTANAN KABUPATEN : k a s u s – j u s t r u FOKUS DAN EFISIENSI TUGAS dengan konstruksi Kehutanan Nasional sesuai 1. Tingkatkan kemampuan SDM, DEPHUT : counter productive 1. Merumuskan yang sangat lemah, dengan desentralisasi kehutanan utamanya untuk meningkatkan kembali tugas dan 2. Rumuskan standar dan kriteria kemampuan perencanaan tanggungjawab lembaga-lembaga terhadap sasaran yang sektor kehutanan tanpa dapat SFM dan dukung unit-unit kehutanan kabupaten desentralisasi dengan bantuan 2. Kuatkan lembaga kehutanan di telah ditetapkan. 2. Rampingkan organisasi DepHut diperoleh landasan teknis. tingkat kabupaten dan pastikan 3. Tetapkan peraturan, ketentuan, pengelolaan hutan di kabupaten S e b a l i k n y a pengakuan yang pedoman untuk melaksanakan memperhatikan tata ruang dan otonomi daerah bidang kehutanan kaidah SFM pengakuan terhadap kuat baik informal 4. Tingkatkan upaya konservasi 2 hutan untuk manfaat jangka inisiatif daerah – (konsensus) maupun panjang ORGANISASI PENDUKUNG 5. Bangun suatu pilot project. 6 informal sekalipun formal (hukum). PROSES : KEGIATAN OPERASIONAL DI 1. Forum untuk membangun – dapat menjadi konsensus Hal ini antara KABUPATEN: dan penjabaran UU No 1. Re-deliniasi batas kawasan AKUNTABILITAS BAGI PUBLIK : 22/1999 dan UU No 41/1999 pemicu terwujudnya 2. Badan penyelenggara lain disebabkan hutan dan inventarisasinya dan 1. Laksanakan disiplin keuangan alokasikan kawasan hutan yang 4 dan pengendaliannya melalui p e m e r i n t a h a n desentralisasi aset-aset kehutanan bangunan institusi dikelola kabupaten, provinsi, dan pengikut sertaan masy. madani yang didesentralisasikan pusat 2. Terapkan mekanisme koordinasi kolaboratif pusat dan 3. Dewan Kehutanan Nasional penyelenggaraan 2. Dokumentasikan sistem dalam resolusi konflik sebagai badan pengambilan pengelolaan hutan oleh masy.adat daerah. Oleh karena kebijakan, konsultasi, dan supervisi kehutanan saat ini 3. Berikan legitimasi secara tepat dan jamin kepastian tenurial bagi semua pihak yg melakukan penduduk setempat i t u , De p a r t e m e n sedang collapse. partisipasi dalam perumusan kebijakan dan implementasinya K e h u t a n a n Pernyataan d i h a r a p k a n Sumber : Kartodihardjo (2002). Desentralisasi Kehutanan : Permasalahan Pokok Pengurusan Hutan t e r s e b u t d i a m b i l m e m p u n y a i Produksi – Suatu Telaah dari Rekomendasi Misi Teknis ITTO untuk Indonesia (2001). dari diskusi terbatas mekanisme lain mengenai Politik dalam melakukan kontrol pemerintah daerah. Mekanisme lain Kehutanan yang telah diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan tersebut misalnya peningkatan akuntabilitas kepada publik dan Program Pascasarjana IPB, tanggal 17 Mei 2002. Oleh dalam berbagai bentuk program yang dijalankan. Dalam karena itu perlu terus mencari alternatif solusi pemecahan pelaksanaan alokasi dana alokasi khusus (DAK) DR, misalnya, masalah penyelenggaraan kehutanan. Dalam kaitan ini cara Departemen Kehutanan perlu menyampaikan informasi itu penguatan dan penyatuan fungsi lembaga penyelenggaraan kepada pers, baik lokal maupun nasional. Publik diharapkan kehutanan harus terus dilakukan. Karena aspek institusi dapat “membantu” Departemen Kehutanan dalam hal kontrol penyelenggaraan kehutanan inilah yang menjadi problem utama penggunaan DAK DR tersebut. saat ini.
1
Diringkas dari makalah yang telah disampaikan dalam seminar “Peran Rimbawan Indonesia dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan Sekunder” kerjasama antara Fakultas Kehutanan UGM dengan Departemen Kehutanan, Yogjakarta, 1Juni 2002.
2
Staf Pengajar pada Fakultas Kehutanan dan Program Pascasarjana, IPB.
3
Konsep ini diolah dari paper Louis K. Comfort (2000) yang berjudul “Coordination in complex systems : increasing efficiency in disaster mitigation and response”. University of Pittsburgh, dan paper Edella Schlager (2001) yang berjudul “Commitment, Agency, and Reinventing Governance”.
4
Apabila sumberdaya ekonomi adalah bank account milik masyarakat, sumberdaya manusia adalah apa yang ada di “kepala” setiap orang, maka sumberdaya sosial (social capital) adalah apa yang ada dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan. Untuk memiliki social capital, seseorang harus punya relasi dengan lainnya sehingga hubungan yang ia jalin menjadi bagian dari sumber kemampuan yang ia miliki. Sebagai atribut dari struktur sosial yangmana setiap individu menjadi bagian di dalamnya, social capital tidak dapat menjadi milik individu bagi siapapun yang bisa memperoleh manfaat darinya. Social capital hadir hanya apabila setiap individu bersedia melakukan sharing. (Konsep dari Deepa Narayan, 2000. Bonds and Bridges : Social Capital and Poverty. World Bank).
6
Memasarkan
Andalan Produk Anda hingga pelosok
? Nusantara
!
KPPOD NEWS, tempatnya media yang menjangkau seluruh nusantara,
disebarkan ke semua pemerintahan Tk. II di Seluruh Indonesia No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis + Penempatan Iklan Full colour 1 (satu) halaman cover belakang luar Full colour 1 (satu) halaman cover belakang dalam Full colour 1 (satu) halaman cover depan dalam Full colour 1 (satu) halaman dalam Full colour 1/2 (setengah) halaman dalam b/w colour 1 (satu) halaman dalam b/w colour 1/2 (setengah) halaman dalam
Tarif Rp. 5.000.000,Rp. 3.000.000,Rp. 3.000.000,Rp. 2.000.000,Rp. 1.000.000,Rp. 1.000.000,Rp. 750.000,-
7
Ketua APHI, Adiwarsita Adinegara:
“Belum Terdapat Sinkronisasi antar Peraturan di Sektor Kehutanan” Pemberlakuan kebijakan otonomi daerah, yang efektif sejak 1 Januari 2001, bisa menjadi faktor positif maupun negatif bagi aktivitas berusaha dan kehidupan ekonomi umum di daerah. Positif, kalau ia bermanfaat memendekan rantai perizinan usaha sehingga bisa lebih efisien, atau mampu menghadirkan situasi kondusif dan menyediakan kelembagaan yang efektif bagi proses investasi di daerah. Sedangkan negatifnya, kalau yang kemudian muncul justru hambatan perdagangan dan ekonomi biaya tinggi sebagaimana yang mulai dirasakan belakangan ini. Namun bagi Adiwarsita, Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), sejatinya otonomi itu akan lebih banyak membawa harapan, dan kita lebih berpeluang mendapatkan segi positifnya, kalau daerah (terutama pemda) benarbenar konsisten menjalankannya secara benar. Artinya, demikian ia menguraikan, pelaksanaan kebijakan tersebut mampu mengarah kepada pencapaian sejumlah tujuan utama yang dirangkumnya dalam tiga “perspektif otonomi daerah”. (1) Perspektif politik (di mana otda memberikan ke wenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan
kebijakan sumber daya alam (termasuk komparatifnya, sektor kehutanan juga sumber daya hutan); (2) perspektif memberikan kontribusi signifikan berupa ekonomi (di mana otda diharapkan akan perolehan devisa dari ekspor komoditas memberikan keadilan distribusi manfaat tersebut. “Tidak perlu mengimpor bahan pengelolaan SDA); dan (3) perspektif baku dari negara lain, karena industri sosial budaya (kesempatan berkembangnya hutan di negeri ini berbasis sumber daya sistem dan tata nilai lokal yang khas alam domestik, dan impor hanya membuat sehingga mengurangi di tingkat pusat terdapat sektor kehutanan kita resistensi dan konflik larangan ekspor kayu log, kehilangan keunggulan pengelolaan sumber namun sebagian Kepala komparatifnya,” demikian daya hutan). Daerah (Gubernur dan imbau pengusaha yang D a l a m k o n t e k s B u p a t i / Wa l i ko t a ) j u s t r u lama bergerak di bisnis s e k t o r k e h u t a n a n , memberikan izin eskpor kehutanan ini. Namun optimisme berbagai perspektif melalui surat keputusan Adi ini terbentur oleh tersebut dirasa sangat yang dibuatnya. kenyataan ironis lain, penting. Kita tahu, pengalaman saat otda tidak dijalankan bahwa pemerintah tampaknya kurang secara konsisten selama ini, betapa mampu menangkap sumbangan strategis urusan pengelolaan kehutanan menjadi tadi, setidaknya kalau kita melihat problem besar, lebih-lebih secara sosial dukungan regulasi yang mereka keluarkan. dan ekologis. Sebaliknya, harapan dengan Contoh yang dengan antusias disebutnya hadirnya kebijakan otda yang baru, dan adalah kenyataan belum sinkronnya ketaatan kita untuk menerapkannya, peraturan perundangan. Sebagai misal, sektor kehutanan lebih dapat memberikan di tingkat pusat terdapat larangan ekspor kontribusinya berupa pendapatan pajak kayu log, namun sebagian Kepala Daerah dan non pajak, peluang usaha, penyerapan (Gubernur dan Bupati/Walikota) justru tenaga kerja dan berbagai efek ikutan memberikan izin eskpor melalui surat keputusan yang dibuatnya. lainnya di daerah. Kenyataan lain, merujuk kepada paper Selain itu, karena keunggulan kajian kritis yang dibuat APHI, substansi PP No. 34 /2002 yang dikeluarkan belum lama ini, sebagai penjabaran atas UU No.41/1999 tentang Kehutanan, sama sekali tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat sekitar hutan. Ini jelas mengabaikan perspektif sosbud dalam kebijakan otda, yang bahkan akan menimbulkan resistensi warga lokal dan konflik dalam pengelolaan hutan. Adiwarsita memberikan data, bahwa dari 102 pasal dalam PP tersebut, sangat sedikit (hanya 1 pasal) yang mengatur tentang pemberdayaan masyarakat sekitar lokasi hutan. Tentu sangat disesalkan, karena derajat akomodasi sosial yang rendah semacam ini berlawanan dengan paradigma pengelolaan hutan berbasis (bersambung ke hal 16)
8
KAJIAN BAGI HASIL KEHUTANAN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Latar Belakang Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah ditetapkan secara nasional sebagai dasar pelaksanaan otonomi daerah, sudah barang tentu membawa konsekuensi tersendiri. Pemerintah daerah diharuskan untuk memiliki kemandirian dalam pembiayaan kebutuhan daerahnya. Konsekuensi perubahan struktur keuangan daerah inii juga dialami oleh Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang pada bulan Agustus 2001 mendapatkan hak otonomi khusus melalui UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam, fokus utama dalam hal desentralisasi keuangan Propinsi NAD ialah bagi hasil sumber daya alam (BHSDA), disebabkan perannya yang relatif dominan dibandingkan sumber penerimaan lainnya. BHSDA di sini termasuk di dalamnya adalah penerimaan dari sektor minyak bumi dan gas alam, kehutanan, pertambangan umum, dan perikanan. Fokus kali ini akan menitikberatkan pada kajian bagi hasil sektor kehutanan Propinsi NAD, yang tentunya memiliki peran yang cukup signifikan dalam struktur pembiayaan daerah serta perencanaan pembangunan NAD di masa yang akan datang. Dasar Hukum Penerimaan Negara Non Pajak dari sektor kehutanan terdiri dari: (1) Dana Reboisasi (DR); (2) PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan) yang merupakan rolyalti; (3) land-rent (Iuran Hak Pengusahaan Hutan/IHPH) yang bersifat license fee. Peraturan pemerintah terbaru yang mengatur mengenai tarif DR adalah PP No. 92/1999. Tarif DR merupakan tariff satuan US$ per m3, di mana besarnya tergantung dari (1) kategori luas wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/ bukan kayu. Menurut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, pungutan DR ini dikenakan terhadap Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Sedangkan peraturan terbaru mengenai tarif PSDH tertuang dalam SK Menhutbun No. 859/Kpts-II/1999. Tarif yang dikenakan ialah tariff satuan Rp per m3, yang besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. PSDH dikenakan terhadap pemegang
HPH, HPHH dan pemegang Izin Pemanfaatn Kayu (IPK). Perhitungan jumlah kayu yang dikenai kewajiban untuk membayar PSDH dan DR didasarkan pada Laporan Hasil Penebangan (LPH). Sistem pelaporan produksi hasil hutan tersebut bersifat self assessment yaitu perusahaan pemegang HPH mengisi volume produksi dan jenis tanaman, setelah itu diterbitkan dokumen SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan). Pengesahan LPH dilakukan setelah diadakan pengukuran sampling 10% dari area produksi oleh petugas kehutanan untuk menguji kebenaran pengisisan dokumen LPH. Mengenai IHPH (Iuran Hak Pengusahaan Hutan) merupakan pungutan yang bersifat license fee (terkait dengan perizinan). Tarif IHPH diatur dalam PP No. 59/1998. Di dalam PP tersebut dijelaskan bahwa tariff yang dikenakan adalah tariff satuan Rp pe satuan luas HPH (hektar). Besarnya tariff tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru/perpanjangan/HPHTI). IHPH dikenakan satu kali untuk jangka waktu berlakunya HPH (sekitar 20 tahun). Dari ketiga jenis penerimaan tersebut yang ikut dibagihasilkan hanya (1) PSDH serta (2) IHPH. Sementara DR masuk dalam Dana Alokasi Khusus (DAK). Obyek Data 1. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) Obyek yang termasuk dalam penghitungan PSDH antara lain: (1) kayu bulat, (2) bahan baku serpih (BBS), (3) produksi tanaman hutan, (4) produksi non kayu, (5) tunggakan. Sehingga dengan rumus penghitungan PSDH sebagai berikut: Volume x Harga Patokan x Tarif 1. Volume: maksudnya adalah volume kayu bulat, BBS, produksi tanaman hutan serta produksi non kayu. Data volume ini tercatat dalam rencana produksi tahunan yang dibuat oleh Dinas Kehutanan Daerah yang kemudian terkumpul pada Departemen Kehutanan. 2. Harga Patokan: untuk perhitungan PSDH diperoleh dari SK Menperindag yang sampai saat in I masih menggunakan SK No. 204/MPP/Kep/6/2001 tentang Penetapan Harga Patokan Untuk Perhitungan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Daftar harga patokan ini dikeluarkan (untuk penyesuaian) oleh Deperindag setiap 6 bulan sekali.
9
3. Tarif: untuk mendapatkan angka bagi hasil kehutanan diperlukan daftar tarif untuk PSDH yang termasuk jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Dephutbun, yaitu dalam PP No. 74/1998 tentang Perubahan Atas PP No. 59/1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2. Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) Obyek yang termasuk dalam penghitungan IHPH adalah: 1. Luasan penggunaan hutan (hektar). Rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya IHPH adalah:
penghitungan provisi sumber daya alam mengingat tarif PSDH di mana tarif per kategori kayu berbeda, yaitu: l Meranti : Rp. 640.000/m3 l Rimba campuran : Rp. 360.000/m3 l Kayu indah : Rp. 905.000/m3 Bagi Hasil Pusat dan Daerah Dalam kaitannya dengan BHSDA sektor Kehutanan yang tercantum dalam UU No. 25/1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ini, dari tiga jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah disebutkan sebelumnya, hanya PSDH dan IHPH saja yang dibagihasilkan. Sementara itu dana reboisasi dipungut oleh pemerintah pusat dan disalurkan ke daerah melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK). Pembagihasilan PSDH dan IHPH ini sebesar 80% untuk Pemerintah Daerah dan 20% untuk Pemerintah Pusat. Dalam hal ini bagian pemerintah daerah ini nantinya juga terbagi lagi menjadi: 16% untuk Tingkat Propinsi, 32% untuk Kabupaten daerah penghasil, dan sisanya 32% sisanya untuk Kabupaten lainnya yang bukan penghasil. Dengan pembagian yang demikian serta dengan
Luas x Tarif Sesuai dengan rumus tersebut maka data yang diperlukan adalah data luas hutan yang merupakan IHPH baik baru perpanjangan maupun HPHTI. Demikian juga tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru/perpanjangan/HPHTI). 2. Tarif. Penerimaan dari IHPH menggunakan basis tarif yang tercatat pada PP No. 59/1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. No Kabupaten/Kota
BHSDA dari PSDH (miliar)
BHSDA dari Total BHSDA IHPH (miliar)
(miliar)
Perhitungan Perkiraan Propinsi NAD 4,8463 0,0019 4,8482 Produksi 1 Kabupaten Aceh Selatan 2,3776 0,0000 2,3776 Perhitungan besarnya 2 Kabupaten Aceh Tenggara 0,9521 0,0000 0,9521 PSDH, didasarkan oleh 3 Kabupaten Aceh Timur 3,3102 0,0100 33.202 Rencana Produksi Kehutanan masing-masing kabupaten. 4 Kabupaten Langsa 0,6462 0,0000 0,6462 Hasil rencana produksi ini 5 Kabupaten Aceh Tengah 0,9521 0,0000 0,9521 akan menjelaskan jumlah 6 Kabupaten Aceh Barat 7,0743 0,0000 7,0743 kayu dalam m3. Akan tetapi, 7 Kabupaten Aceh Besar 0,6462 0,0000 0,6462 karena keterbatasan sarana 8 Kabupaten Aceh Pidie 1,3029 0,0000 1,3029 dan prasarana, penjelasan 9 Kabupaten Aceh Utara 0,9521 0,0000 0,9521 rinci per jenis kayu dari suatu 10 Kabupaten Lhokseumawe 0,6462 0,0000 0,6462 rencana produksi masih 1,5638 0,0000 1,5638 belum dapat dilakukan. 11 Kabupaten Simeulue 1,5638 0,0000 1,5638 Untuk itu pihak Departemen 12 Kabupaten Aceh Singkil Kehutanan harus membuat 13 Kabupaten Bireun 0,9521 0,0000 0,9521 suatu asumsi tertentu untuk 14 Kota Banda Aceh 0,6462 0,0000 0,6462 menjelaskan proporsi kayu. 15 Kota Sabang 0,6462 0,0000 0,6462 Saat ini asumsi yang Total Kabupaten/Kota 24,232 0,0100 24,242 dipakai untuk menjelaskan Propinsi + Kabupaten/Kota 29,078 0,0120 29,090 proporsi kayu dalam rencana produksi adalah: menggunakan data produksi tahun 2001 yang diasumsikan l 50% kayu meranti sama dengan tahun 2002 maka diperoleh pembagian l 45% kayu rimba campuran BHSDA Kehutanan untuk Propinsi NAD tahun 2002, yaitu l 5% kayu indah sebagai berikut: Tabel Perkiraan Penerimaan Bagi Hasil Pembuatan asumsi ini jelas untuk suatu saat akan Kehutanan Dari PSDH dan IHPH untuk Propinsi dan merugikan dan merupakan salah satu kelemahan Kabupaten/Kota Di Propinsi NAD Tahun 2002
10
PP No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi Untuk menunjang pembangunan ekonomi, pemerintah mengenakan pungutan atas setiap hasil kayu yang ditebang dari hutan berupa Dana Reboisasi. Dana Reboisasi adalah dana untuk mereboisasi dan merehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Jadi, Dana Reboisasi ini dimaksudkan sebagai sumber dana untuk merehabilitasi kerusakan hutan. Te rd a p a t b e b e r a p a k e l e m a h a n mendasar di dalam PP ini. Meskipun PP ini berlandaskan pada UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, namun peraturan ini masih berbau sentralistik dan masih mencerminkan besarnya peranan pemerintah pusat. Sebagai contoh, masih banyaknya ketetapan pengaturan lebih lanjut yang masih harus diatur dengan Keputusan Menteri, yaitu Menteri Keuangan atau Menteri Teknis (Menteri Kehutanan). Hal ini dapat dilihat pada pasal 3 ayat 5 yang menyatakan: “Format dokumen LHC dan LHP ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Teknis” . Selain itu, pada pasal 6 ayat 5 disebutkan: “Format dokumen SPPDR ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Teknis”. Sesuai dengan terminologi, Dana Reboisasi dipungut dari pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan
alam yang berupa kayu, sedangkan pada pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa pengenaan Dana Reboisasi didasarkan pada LHC. Hal ini tidak tepat karena apabila pengenaan Dana Reboisasi didasarkan pada LHC, sama artinya Dana Reboisasi dibayarkan berdasarkan potensi kayu atau nilai dari tegakan, bukan berdasarkan pada kayu hasil tebangan yang diproduksi. Pe n g g u n a a n i s t i l a h “ k e g i a t a n pendukung” dalam definisi Dana Reboisasi mengandung makna multiinterpretatif. Seringkali terjadi, kegiatan pendukung yang dilaksanakan tidak ada hubungannya dengan kegiatan reboisasi, tetapi Dana Reboisasi justru dipakai untuk pembayaran gaji PNS, studi banding ke luar negeri, pembelian transportasi udara dan sebagainya. Selain itu, terdapat diskriminasi atas daerah dalam penggunaan Dana Reboisasi, sebagaimana dalam pasal 13 ayat 4: “ Dana dalam Rekening Pembangunan Hutan Kabupaten/Kota tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan pendukung rehabilitasi.” Pada pasal 10 disebutkan bahwa 60% dari dana reboisasi diberikan kepada pusat dan dialokasikan ke Departemen Teknis, sementara 40% diberikan kepada daerah penghasil yang akan disalurkan sesuai peraturan yang berlaku. Pada kenyataannya, alokasi Dana Reboisasi melalui Dana Alokasi Khusus seringkali
tidak sesuai dengan perhitungan yang sudah ditetapkan. Pasal ini juga memberi peluang kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk membuat berbagai regulasi yang berkenaan dengan pungutan hasil hutan, yang akhirnya menimbulkan kemungkinannya tumpang tindih peraturan yang satu dengan yang lain. Dari uraian di atas, tampaknya PP No. 35/2002 ini masih banyak kelemahannya. Dalam PP perrlu dijelaskan hal-hal yang lebih rinci, seperti skema alokasi Dana Reboisasi yang tidak memungkinkan adanya celah penyalahgunaan dana sehingga sasaran dari PP ini agar tersedianya dana untuk merehabilitasi hutan dapat tercapai. Catatan: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK): izin untuk kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu. Laporan Hasil Cruising (LHC): dokumen yang disahkan petugas kehutanan yang berwenang yang membuat nomorr pohon, jenis, diameter, tinggi dan taksiran volume kayu dari hasil cruising di areal yang telah ditetapkan. Laporan Hasil Penebangan (LHP): dokumen yang disahkan oleh instansi kehutanan yang memuat nomor batang, jenis, diameter, panjang, dan volume hasil penebangan di areal yang telah ditetapkan. Surat Perintah Pembayaran Dana Reboisasi (SPPDR): dokumen yang memuat besarnya kewajiban Dana Reboisasi yang harus dibayar oleh wajib bayar.
Seri Pelatihan Singkat LPEM-FEUI 2002 Peningkatan kewenangan daerah di era otonomi di satu sisi menciptakan peluang optimalisasi potensi daerah dan di sisi lain juga menuntut peningkatan kualitas SDM pada setiap tingkat pemerintahan daerah demi terciptanya keselarasan antara pembangunan daerah dengan garis besar makro perencanaan nasional, kelarasan antara penetapan prioritas pembangunan daerah dengan aspirasi masyarakat, serta demi tercapainya akuntabilitas anggaran keuangan daerah. Termasuk di dalam hal ini ialah pencapaian kemampuan untuk melihat berbagai implikasi jangka pendek, menengah, maupun panjang, berbagai kebijakan daerah yang telah, sedang, dan akan ditempuh. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka LPEM-FEUI sebagai suatu lembaga pendidikan dan penelitian yang telah berpengalaman cukup lama dalam menyelenggarakan berbagai pelatihan bagi para aparat perencana maupun pelaksana
pembangunan daerah, baik di tingkat staf maupun pimpinan, merencanakan untuk menyelenggarakan sejumlah pelatihan singkat bagi para aparat pemerintah daerah sebagai suatu wujud tanggung jawab maupun komitmen LPEM-FEUI untuk ikut serta memajukan daerah. Gambaran singkat mengenai berbagai pelatihan yang akan dilaksanakan LPEM-FEUI pada tahun 2002, adalah sebagai berikut. Produk Domestik Regional Bruto dan Indikator-indikator Pembangunan, Februari dan Oktober 2002 (2 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk memperluas wawasan peserta mengenai berbagai indikator pembangunan daerah serta manfaatnya bagi pengambil keputusan, baik pada tingkat makro maupun mikro. Indikator pembangunan yang akan dicakup dalam pelatihan ini antara lain ialah indikator kemakmuran dan kemajuan daerah
11
seperti PDRB, PQLI, dan HDI serta berbagai indikator distribusi pendapatan , kesehatan, kependudukan, tenaga kerja, pendidikan, dan inflasi. Dengan mempergunakan berbagai indicator ini para aparat pemerintahan daerah dapat melihat tingkat kemajuan daerah yang telah dicapai dan sasaran-sasaran yang masih harus dicapai. Analisa Potensi Ekonomi Daerah, Februari dan Oktober 2002 (2 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan serta memperluas wawasan para perencana dan pelaksana pembangunan di daerah dalam mengidentifikasikan berbagai potensi daerah yang dimiliki maupun dalam melakukan estimasi terhadap sejumlah potensi penerimaan daerah. Kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan identifikasi terhadap berbagai potensi daerah serta estimasi terhadap berbagai potensi penerimaan daerah menjadi sangat penting dalam era otonomi ini. Selain itu, wawasan potensi daerah akan sangat membantu daerah dalam menyusun perencanaan pembangunan, baik untuk masa pendek, menengah, maupun panjang. Proyeksi Ekonomi Daerah: Suatu Pendekatan Kuantitatif, Februari dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini betujuan untuk meningkatkan kemampuan kuantitatif peserta dalam menyusun berbagai proyeksi perekonomian daerah dengan menggunakan berbagai data maupun informasi yang dimiliki daerah. Peserta akan dibekali dengan langkah-langkah penyusunan proyeksi ekonomi daerah, dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data hingga analisa data dan penggunaan informasi yang diperoleh dari hasil simulasi yang telah dilakukan. Pelatihan ini bermanfaat pula untuk mengestimasi berbagai dampak kebijakan yang telah dan akan diambil maupun dalam membantu melihat kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan. Evaluasi Kinerja Proyek-proyek Pembangunan (Evaluasi Pasca Proyek), Februari, Oktober, dan Desembar 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk: (1) Membekali peserta dengan pengetahuan dasar mengenai cara-cara melakukan EKPP dengan menggunakan peralatan Kerangka Kerja Logis seperti yang dituangkan dalam SK Menteri/Ketua Bappenas No. Kep. 195/Ket/12/1996, (2) Menjelaskan proses perencanaan proyek sebagai pendukung melakukan EKPP, dan (3) Mempertajam pemikiran dan daya analisa para pengambil keputusan dalam menentukan proyek-proyek pembangunan nasional/daerah/sektoral yang memperoleh prioritas pelaksanaan dengan berbagai kendala yang ada. Perencanaan Proyek-proyek Pembangunan, Maret dan September 2002 (2 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta dalam merencanakan, menganalisa dan mengevaluasi proyek-proyek pembangunan dengan titik berat pada tahap identifikasi, perencanaan, dan evaluasi kinerja setelah poyek selesai. Mengingat banyaknya sisi yang perlu diperhatikan, setiap pelatihan akan dikonsentrasikan pada satu bidang bahasan saja. Topik yang ditawarkan adalah: (1) Pendidikan-kesehatan, (2) Sosial, (3) Pertanian dan Agro Industri, (4) Infratstruktur. Kajian Ekonomi Makro Daerah untuk Pengambilan Keputusan, Februari dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk mempertajam kemampuan serta memperluas wawasan peserta dalam membaca dan menganalisa berbagai gejala ekonomi makro daerah bagi penentuan arah maupun perumusan strategi kebijakan pembangunan daerah. Peserta akan diperkaya dengan kemampuan membaca implikasi kebijakan ekonomi makro pemerintah pusat terhadap perekonomian daerah seperti terbentuknya berbagai kerja sama perdagangan regional antarnegara, penetapan status ekonomi khusus suatu daerah. Hal ini akan sangat berguna untuk dapat menarik investor ke daerah.
12
Membedah APBD dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal, Februari dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan: (1) Memberi pengetahuan dan pemahaman kepada peserta tentang prinsip-prinsip anggaran secara umum, (2) Memberi pemahaman atas berbagai faktor yang mempengaruhi serta perhitungan dari setiap komponen dalam APBD, dan (3) Mengidentifikasi beberapa jenis pajak dan retribusi yang dapat diciptakan daerah tanpa melanggar rambu-rambu yang telah diatur dalam UU No. 34/2000 dan mengelola sisi pengeluaran APBD. Analisa Kebijakan Publik, Maret dan Okteober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan dalam menganalisa kualitas suatu kebijakan publik dengan melihat berbagai aspek yang mempengaruhi pengambilan kebijakan publik. Peserta akan diberikan berbagai teknik dan metode pengambilan kebijakan publik yang benar, mulai dari tingkat persiapan sampai implementasi. Analisa Input-Output Daerah, Februari dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan dasar pemahaman struktur perekonomian di suatu daerah secara lebih komprehensif dengan menggunakan analisis Input-Output. Selain itu, pembuat kebijakan dapat memprediksi secara ilmiah dampak dari perubahan permintaan akhir—misalnya investasi—di sector mana yang bisamemberikan output yang optimal bagi perekonomian daerah yang bersangkutan, serta detil output masing-masing sektor yang ada. Pengembangan Masyarakat (Community Decelopment), Maret dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini ditujukan bagi staf perusahaan swasta maupun pemerintah untuk memahami pola sosial budaya masyarakat setempat (di mana perusahaan berlokasi), sehingga dapat melakukan pengembangan masyarakat dengan focus pada persepsi, harapan, dan pengalaman masyarakat setempat. Materi yang dibahas: (1) Pendekatan kultural, (2) Langkah-langkah menggali potensi, persepsi, dan harapan masyarakat, (3) Menelusuri partisipasi masyarakat, (4) Cost Benefit Analysis, dan langkah peyiapan masyarakat. Manajemen Keuangan Publik, Maret dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai berbagai prinsip dan aspek pengelolaan anggaran, sejak tahap perencanaan hingga implementasi. Keseimbangan antara target penerimaan daerah dengan berbagai alokasi pengeluaran akan menjadi sangat penting karena akan sangat memperngaruhi kecepatan dan arah pembangunan daerah. Standar Analisa Biaya, Maret dan Oktober 2002 (1 Minggu) Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan wawasan para peserta mengenai metode penetapan standar analisa biaya. Peserta akan bertukar pikiran dalam menetapkan estimasi standar biaya suatu kegiatan melalui contoh kasus yang bersifat aplikatif. Seperti disyaratkan dalam UU No. 25/1999 yaitu anggaran berdasarkan kinerja (performance budgeting) di mana pemerintah daerah dapat memepertanggungjawabkan setiap pengeluaran yang dilakukan. Hal ini menjadi sangat penting guna pelaksanaan displin dan akuntabilitas anggaran, selain juga bernanfaat untuk menentukan prioritas pengeluaran berdasarkan value for money dari kegiatan yang dilakukan. Catatan: l Pelatihan akan diselenggarakan bila jumlah peserta tercatat minimum 10 orang l LPEM-FEUI bersedia untuk melaksanakan kegiatan pelatihan-pelatihan tersebut di atas sesuai dengan permintaan, seperti di daerah atau instansi tertentu.
KOTA SUKABUMI PUSAT PELAYANAN JASA TERPADU DI BIDANG PERDAGANGAN, PENDIDIKAN, DAN KESEHATAN
Seperti daerah perkotaan pada di daerah. umumnya, kontribusi sektoral terhadap Perubahan tersebut pendapatan Kota Sukabumi terbesar d i a n t a r a n y a p a d a berasal dari sektor perdagangan dan jasa, peran pemerintah yaitu sekitar 47% dari PDRB. Dengan daerah dalam proses luas wilayah kira-kira hanya 4.800 ha, p e m b a n g u n a n . Sukabumi tidak banyak memiliki sumber Sebelum pelaksanaan daya untuk dikembangkan. Sumber daya otonomi daerah, peran terbesar adalah manusia. Berdasarkan p e m e r i n t a h p u s a t sensus penduduk tahun 2000 penduduk dalam pembangunan wilayah sangat Kota Sukabumi berjumlah kurang lebih besar yaitu melalui inpres. Tetapi dengan 252.284 jiwa yang tersebar di 7 kecamatan. pelaksanaan otonomi daerah dengan sistem Dilihat dari pendidikannya, 4% penduduk DAU, daerah diberi kewenangan yang lulus pendidikan tinggi D1 s/d S1, 26% lebih besar untuk mengatur urusannya SLTA, 16% SLTP, 35% SD dan 22% sendiri serta menentukan proyek-proyek tidak tamat SD. Keterbatasan Kota pembangunan berdasarkan prioritas dan Sukabumi dalam potensi D a l a m m e m b a n g u n kebutuhan masingsumber daya alam, tidak kota di era otonomi daerah m a s i n g . K e g i a t a n menyurutkan Walikota ini, yang terpenting adalah rutin dan proyekSukabumi, Dra. Hj. Molly kreatifitas dari pemda dan proyek pembangunan Mulyahati Djubaedi, MSc masyarakat dalam mencipbeserta seluruh aparatnya takan dan menangkap dalam membangun Kota p e l u a n g y a n g a d a d i Sukabumi di era otonomi daerah. daerah saat ini. Dalam membangun kota di era otonomi daerah dipertanggungjawabkan dan dikaji ulang ini, yang terpenting adalah kreatifitas dari sendiri oleh daerah, tanpa harus diteliti pemda dan masyarakat dalam menciptakan terlebih dahulu oleh propinsi. “Kalau dan menangkap peluang yang ada di dulu untuk mendapatkan inpres kita daerah. Hj. Molly yang menjabat Walikota harus mengajukan ke propinsi, dari Sukabumi sejak tahun 1998, menilai propinsi ke pusat, di pusat dibahas bahwa pelaksanaan otonomi daerah saat terlebih dahulu di rakornas, lalu ini telah banyak membawa perubahan kembali ke ke propinsi untuk konsultasi dalam pemerintahan dan pembangunan teknis, sehingga memakan waktu yang
panjang”. Dalam hal kelembagaan, Pemda melakukan perampingan struktur dengan menggabungkan beberapa lembaga yang dapat digabung. Dari struktur lama yang terdiri dari 43 bidang, mulai dari asisten, dinas dan lembaga-lembaga instansi vertikal, dirampingkan menjadi hanya 27. Beberapa dinas yang digabung antara lain Kantor Departemen Transmigrasi digabung dengan Kependudukan, Asisten semula ada tiga menjadi dua, Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan dijadikan satu, dan sebagainya. “Kelembagaan kita sekarang ini menjadi kaya fungsi ramping struktur”, ungkap Hj. Molly. Selama 1½ tahun pelaksanaan otonomi daerah, Kota Sukabumi menghadapi beberapa kendala, antara lain pertama, keberadaan dan kedudukan lembaga legislatif (DPRD) yang secara politis seolah-olah lebih kuat dari Pemkot. Sebagai contoh, dalam kasus pertanggungjawaban walikota yang semula hanyalah sebagai persyaratan, sekarang dalam praktiknya sering dipolitisir. Buktinya walikota belum menyampaikan pertanggungjawaban, DPRD sudah melakukan penolakan. “Bagaimana ditolak kalau laporan triwulan diterima ?” ungkap Hj. Molly. Permasalahan lainnya adalah adanya kewenangan DPRD untuk menyusun anggaran sendiri, dimana anggaran tersebut merupakan bagian dari APBD sehingga walikota yang harus mempertanggungjawabkan. Hal tersebutlah yang membuat kurang harmonisnya hubungan antara DPRD dan Pemkot. Kedua, masalah pendanaan. Saat ini masih belum jelas kewenangan mana yang pendanaannya menjadi kewenangan pusat dan mana yang menjadi kewenangan daerah. Sebagai contoh perusahaan-perusahaan (pabrik) yang ada di daerah, dimana pegawainya ada di daerah, yang terkena dampak polusi juga daerah, tetapi pajak perusahaan yang menerima pemerintah pusat sedangkan daerah hanya mendapat pembagian dari PBB. Ketiga, masalah kepegawaian. Karena pegawai negeri dan pemda yang mengangkat pemerintah pusat, akibatnya terjadi ketidak sesuaian akan kebutuhan
13
pegawai di daerah. Sebagai contoh di Sukabumi ada Kantor Tenaga Kerja Transmigrasi, yang diserahkan ke Pemkot baru pegawainya saja, sementara kantor dan aset-asetnya belum diserahkan, dan masih banyak yang dimanfaatkan oleh pusat atau propinsi. Keempat, yang paling utama adalah mengenai kewenangan kepala daerah. Sebelum pelaksanaan otonomi, kepala daerah juga sebagai kepala wilayah yang menjadi wakil presiden di daerah. Dengan otonomi daerah mengakibatkan kewenangannya terbatas hanya sebagai kepala daerah bukan kepala wilayah. Pembatasan tersebut menimbulkan permasalah dalam berhubungan dengan pihakpihak lain. Misalnya dengan Kepolisian, sebelum pelaksanaan otonomi antara kewenangan daerah otonom tidak atau Walikota dan Kepolisian ada koordinasi belum dilengkapi dengan peraturan yang diatur dengan PP yang disebut pelaksana yang mendukung, maka sebagai Musyawarah Pimpinan Daerah pelaksana di lapangan meraba-raba apa (Muspida). Dalam Muspida walikota yang dimaksud oleh UU dan akibatnya atau bupati sebagai penguasa tunggal intepretasi otonomi masing-masing daerah dapat melakukan koordinasi dengan menjadi berlainan. Menanggapi rencana kepala-kepala keamanan atau kepolisian revisi UU Otonomi Daerah, Hj. Molly dengan baik. Dengan pemisahan antara mengatakan, “Selama tidak mengganggu TNI dan Polri, apalagi polisi langsung di tugas dan fungsi pemda oke-oke saja, bawah presiden, polisi menjadi merasa dan revisi tersebut tidak menjadikan lebih tinggi dari kepala daerah. “Bukannya disintegrasi yang lebih besar terhadap kita ingin menjadi penguasa tunggal, NKRI. Selama revisi dilakukan untuk tetapi posisi-posisi yang semacam ini meningkatkan pelaksanaan otonomi yang kemudian mengganggu”, demikian daerah dan rasa tanggung jawab dan harmonisnya kehidupan berbangsa dan ditegaskan oleh Hj. Molly. Walikota yang memulai karir sebagai bernegara kesatuan tidak menjadi masalah. pegawai negeri pada Bapeda Selama revisi dilakukan Yang perlu direvisi dari Propinsi Jawa Barat tahun untuk meningkatkan pelak- UU 22 dan 25 adalah 1974 ini menyayangkan sanaan otonomi daerah a g a r k e w e n a n g a n bahwa pelaksanaan otonomi dan rasa tanggung jawab yang sudah diberikan d i In d o n e s i a t e rk e s a n dan harmonisnya kehi- k e p a d a d a e r a h terburu-buru dan kurang dupan berbangsa dan tidak ditarik lagi persiapan. Di satu pihak bernegara kesatuan tidak menjadi kewenangan pemerintah pusat, telah dikeluarkan UU No.22 menjadi masalah. dan tentunya perlu dan 25 tahun 1999 sebagai dasar pelaksanaan Otonomi Daerah yang penyempurnaan kelengkapan dari kedua dimulai tahun 2001, tetapi di lain pihak UU tersebut.” Terlepas dari berbagai belum dilengkapi dengan Peraturan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Pemerintah (PP) sebagai pedoman pembangunan dalam era otonomi ini, Hj. pelaksananya. Sementara PP yang sudah Molly merasa bahwa aparatur Pemkot ada banyak yang bertentangan dengan Sukabumi mampu bekerja dengan baik. kedua UU tersebut, misalnya BBNKB Walau demikian diakuinya bahwa dilihat ditarik kembali dan BPN ditangguhkan. dari standar kepegawaian, aparatur Menurut Hj. Molly hal tersebut bukan yang ada sekarang ini belum memenuhi berarti pemerintah pusat tidak serius persyaratan. Seperti ketika dilakukan dalam melaksanakan otonomi daerah peningkatan status Kepala Dinas menjadi tetapi karena semuanya dipikirkan dalam Eselon II, para aparat Kota Sukabumi waktu yang bersamaan dan sangat singkat. belum memenuhi persyaratan golongan Karena UU yang mengatur mengenai kepegawaian. Menurut Hj. Mooly. hal
14
tersebut terjadi karena di masa lalu recruiting pegawai tergantung dari pusat sehingga menyebabkan keterlambatan dan keterbatasan di daerah. Strategi pembangunan. Dengan luas wilayah kira-kira hanya 4.800 ha, dan sumber daya alam yang terbatas untuk dikembangkan, sementara daerah di sekitarnya mulai berkembang, seperti Pelabuhan Ratu yang sekarang menjadi ibu kota Kab. Sukabumi. Sementara Kota Sukabumi yang menjadi daerah transit hanya memiliki sumber daya manusia. Untuk itu sumber daya yang ada ini harus mampu untuk meraih peluang yang ada. Walikota yang meraih Master bidang Community Development dari Missouri University, Amerika Serikat ini mengatakan, “Jika manusianya tidak kreatif dan berkualitas bagaimana mereka dapat hidup, dan menjadi apa mereka ? Jika Orang Sukabumi tidak mampu dan tidak berkualitas, lama-lama kota ini akan penuh dengan orang-orang dari luar yang mencari penghidupan di sini. Perkembangan daerah sekitar merupakan peluang bagi kita, sehingga kita yang harus dapat menyediakan pelayanan jasa bagi orang-orang yang membutuhkan. Dengan kemampuan dan kualitas yang tinggi, kita akan mampu berkiprah di kota sendiri dan di luar juga mampu berkiprah tidak hanya sebagai buruh, tetapi minimal menjadi manager”. Ditambahkannya pula bahwa, “Pendidikan merupakan hal yang utama untuk memunculkan harga diri, kepribadian dan untuk memunculkan kreatifitas dalam menciptakan apapun.” Dengan melihat peluang yang dimiliki,
Pemerintah Kota (Pemkot) Sukabumi mengarahkan pembangunan untuk mewujudkan Sukabumi sebagai Pusat Pelayanan Jasa Terpadu di bidang Perdagangan, Pendidikan dan Kesehatan. Untuk peningkatan kualitas pendidikan masyarakat, dilakukan bukan dengan cara pembangunan sekolah-sekolah baru tetapi dengan mengembangkan sekolah-sekolah yang sudah ada dengan manajemen pendidikan yang lebih modern. Upaya yang dilakukan diantaranya regrouping beberapa SD menjadi satu dan memperbaiki manajemennya menjadi lebih modern. Kemudian membuat SD-SD percontohan di setiap kecamatan. Sekolah-sekolah percontohan tersebut dilengkapi dengan fasilitas Lab. Bahasa Inggris, Perpustakaan dengan Standar Internasional, serta menerapkan program workshop di tiap jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SLTA yaitu dengan memberikan ketrampilan dan pengetahuan, untuk pengembangan produksi daerah. Hasilnya saat ini SD-SD tersebut yang menjadi andalan untuk juara UKS tingkat nasional. Di Kota Sukabumi terdapat 7 Akademi dan Sekolah Tinggi akan tetapi hingga kini lulusan SLTA di Sukabumi lebih berminat meneruskan pendidikan ke daerah lain seperti Jakarta, Bandung, dan lain-lain. Untuk itu saat ini Pemkot Sukabumi, merencanakan membangun Universitas Sukabumi. Sementara untuk pelayanan kepada masyarakat, difokus pada pemberian pelayanan yang prima kepada masyarakat. Dinas-dinas instansi termasuk juga dengan kecamatan-kecamatan dan kantor kelurahan, diberi tugas-tugas khusus dengan orientasi pelayanan yang cepat, murah dan mudah, serta diterapkan sistem pelayanan satu atap. Dalam membahas sesuatu permasalahan, masing-masing dinas bergabung sehingga pengguna jasa pelayanan tidak perlu datang ke tiap-tiap dinas. Di tingkat kecamatan sudah mulai melakukan pelayanan selama 24 Jam. Dalam membangun Kota Sukabumi juga melakukan kerjasama dengan daerah lain di Indonesia. Saat ini ada payung kerjasama dengan Pemda Kab. Sukabumi yang disetujui oleh Gubernur Jawa Barat. Kota Sukabumi mempunyai berbagai fasilitas seperti pasar, rumah sakit dan sekolah, sementara Kab. Sukabumi membutuhkan pasar, RS dan sarana lainnya yang ada di kota. Oleh karenanya
dilakukan kerjasama untuk saling fasilitas tersebut didanai oleh investor, mengisi. Dari kerjasama itu dilakukan sementara Pemkot menyediakan titik-titik pembagian hasil pajak dan retribusi. untuk pemasangan iklan pada fasilitas Dalam pembangunan dan perbaikan yang akan dibangun. Walau mereka jalan yang menghubungkan kedua memberikan dana untuk pembangungan daerah, juga dilakukan kerjasama dengan fasilitas-fasilitas tersebut tetapi tetap harus pembagian tugas sesuai dengan tanggung memenuhi kewajiban pajak dan retribusi jawab masing-masing daerah, sehingga sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pembagunan wilayah dapat terpadu. sehingga Pemkot tetap akan memperoleh Upaya Peningkatan pemasukan pajak reklame. Para pengusaha yang PAD Ke p a d a p a r a i n ve s t o r Dari total APBD berinvestasi di Kota Suka- Pemkot Sukabumi tidak sebesar Rp. 168 Milyar, bumi, diharap dapat mem- memberikan insentif dalam k o n t r i b u s i P A D bantu pengembang-an bentuk pembebasan pajak dalam pembiayaan usaha para pengusaha atau retribusi, tetapi dengan pembangunan daerah lokal dalam hal bantuan memberikan pelayanan b e l u m s i g n i f i k a n teknologi dan pemasaran. yang lebih baik dengan kira-kira baru 10% atau sekitar 15 pelayanan terpadu. Pelayanan terpadu Milyar. Untuk meningkatkan PAD kepada investor dilakukan di Kantor Kota Sukabumi melakukan upaya Pelayanan Penanaman Modal, Lingkungan intensifikasi dan ekstensifikasi potensi- Hidup dan Pariwisata (KPMLP). Para potensi yang ada. Untuk meningkatkan pengusaha yang berinvestasi di Kota kesadaran wajib pajak dan retribusi Sukabumi, diharap dapat membantu u n t u k m e m e n u h i k e w a j i b a n n y a , pengembangan usaha para pengusaha Pemkot Sukabumi menampung aspirasi lokal dalam hal bantuan teknologi dan masyarakat dalam pembuatan peraturan. pemasaran. Kendala dalam pemasaran Dalam membuat perda tentang retribusi produksi masyarakat Sukabumi adalah lebih mengedepankan adanya pelayanan keterbatasan teknologi dan tempat yang diberikan kepada masyarakat. penjualan secara berkelanjutan, disamping Bersama-sama dengan DPRD, Pekot produk-produknya juga masih terkesan mengadakan penilaian kelayakan terhadap asal ada, tanpa memperhatikan kualitas dan berbagai perda pajak dan retribusi yang kemasannya. Untuk itu Dinas Perindag sudah ada. Pemkot Sukabumi juga sedang terus berusaha untuk memberikan training merencanakan untuk membuat perda bagaimana meningkatkan kualitas produk tentang Pajak Parkir, Pajak Hotel dan dan bagaimana memanage perusahaan. Restoran, serta melihat potensi di lapangan yang dapat mendatangkan pemasukan bagi Mendorong Partisipasi Masyarakat daerah. Upaya lain dalam peningkatan Menurut Hj. Molly, pada dasarnya PAD adalah dengan mendirikan usaha tugas pemda adalah membangun pemerintah daerah, seperti saat ini sudah sarana dan prasarana yang bermanfaat ada 3 BUMD, yaitu PDAM, PD Pasar, langsung kepada masyarakat. Untuk dan Apotek Waluya. Terobosan lain itu pembangunan yang dilakukan oleh adalah dengan menanamkan modal di Pemkot harus didasarkan atas kebutuhan Bank Jawa Barat serta membuka kelas VIP dan aspirasi masyarakat. Dalam upaya pada rumah sakit yang ditujukan untuk menampung aspirasi masyarakat, pemda kalangan atas, serta membangun rumah melakukan dialog dengan masyarakat, baik potong hewan yang dikelola oleh swasta secara formal maupun informal, seperti dengan sistem sewa selama satu tahun pengajian sebulan sekali di kediaman sebesar Rp.100 juta. walikota. Selain itu juga menyediakan Pemkot Sukabumi berusaha mengajak kotak surat pengaduan di tiap-tiap para investor untuk berpartisipasi kecamatan dan kelurahan, serta membuat dalam pembiayaan pembangunan Kota program warung komunikasi. Dalam Sukabumi. Saat ini sedang direncanakan kinerja kelembagaan, fungsi humas atau untuk membangun beberapa fasilitas penerangan yang semula lebih pada peran kota seperti gapura, lampu hias kota, penyuluhan atau sebagai juru penerang, tugu-tugu peringatan, taman lalu lintas, dikembangkan menjadi penerima dan perbaikan lapangan sepak bola menjadi penyalur aspirasi warga. Program-program stadion. Semua pembangunan fasilitas- pembangunan dirumuskan dengan
15
membahas bersama DPRD dan juga melibatkan unsur-unsur masyarakat lain seperti LSM, Dewan Kota, dan Tokoh Masyarakat, dan lain-lain. Menanggapi permintaan dari masyarakat untuk membangun fasilitas umum seperti tempat ibadah, jalan, dan lain-lain, Walikota meminta masyarakat untuk memberikan kontribusi pula. Dicontohkannya saat ini telah dibangun tidak kurang dari
7 kilometer ruas jalan yang lahannya merupakan sumbangan dari masyarakat secara sukarela, sementara Pemkot yang menyediakan dana untuk pembangunannya. Hal ini berbeda dengan pembangunan yang merupakan prakarsa dari pemerintah, biasanya terdapat keberatan dari masyarakat dalam hal ganti rugi yang diberikan. Pada tahun 2001 jumlah dana swadaya murni masyarakat mencapai Rp. 7
Milyar lebih, yang diantaranya digunakan untuk pembangunan dan perbaikan sarana transportasi, peribadatan, sosial dan keagamaan. Dengan pendekatan seperti ini diharapkan akan dapat mewujudkan Kota Sukabumi sebagai Pusat Pelayanan Jasa Terpadu di bidang Perdagangan, Pendidikan dan Kesehatan. git, teet.
Belum Terdapat Sinkronisasi (bersambung ke hal 8)
masyarakat sebagai pengganti paradigma pengelolaan hutan berbasis negara yang berlaku sebelum-nya. Sebagai orang yang banyak berkecimpung di lapangan, Adi masih bisa menyod o r k a n sejumlah bukti tambahan lagi, untuk sekali lagi menunjukan lemahanya dukungan regulasi pemerintah dalam urusan pengelolaan hutan. Misalnya, untuk menjawab pertanyaan KPPOD soal perbandingan laju kerusakan hutan sebelum dan sesudah otda diberlakukan, Adi membenarkan sinyalemen bahwa memang ada peningkatan derajat deforestasi saat ini. Namun, menurut identifikasinya, tidak adil kalau ini hanya dilihat sebagai akibat prilaku masyarakat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat justru mengkontribusi secara signifikan. Sebagai contoh, diterbitkannya PP N0. 06/1999 yang memberikan keleluasaan bagi Kepala Daerah dalam mengeluarkan izin-izin hak penguasaan hutan (HPH) 100 -10.000 hektar tanpa disertai mekanisme pelestarian hutan yang jelas. Sementara itu, Departemen Kehutanan yang berkewajiban menyusun kriteria kelestarian hutan serta nantinya melakukan pengawasan ternyata tidak dapat menepatinya secara optimal. Melihat uraian dari Ketua APHI tadi, problem regulasi tampaknya menjadi sumber pokok dari permasalahan
16
pengelolaan dan pengurusan sektor hutan hutan produksi justru dilarang. kita, bahkan di saat kebijakan otda mulai Sebelum itu, dalam kerangka otonomi diberlakukan (vide, konfirmasinya dalam daerah, perbaikan dan koordinasi kebijakan artikel Kajian Perda hal…). Namun, (baik di tingkat pusat maupun daerah) yang luput dari pengamatan Adi, adalah perlu dijlankan lebih awal. Pertama, di p r o b l e m antara pusat dan daerah perlu dibangun regulasi ini kesepakatan akan garis kewenangan dan tidak ha-nya perimbangan keuangan sehingga tidak berada di level terjadi tumpang tindih peraturan. Kedua, p e m e r i n t a h di antara departemen/kementerian di pusat tapi ju- tingkat pusat perlu dihilangkan cara ga terlihat pa- berpikir sektoral, sehingga kebijakan yang da sejumlah dikeluarkan benar-benar mencerminkan Perda dan SK kesepemahaman semua pihak, termasuk Kepda yang akomodasi atas kepentingan para dikeluarkan stakeholder terkait. sejumlah Di kalangan pihak swasta sendiri, daerah. Bahkan sifat persoalannya tidak seperti yang dilakukan Asosiasi Pengusaha main-main, karena menyangkut pe- Hutan Indonesia (APHI), penggalangan langgaran substansi dan prinsip di sebgaian kerja sama bagi koordinasi kebijakan besar daerah yang dianalisa. kehutanan telah dimulai. Misalnya, APHI Namun, terlepas dari masalah ini, apa bersama APKASI menandatangani MoU yang ditawarkan Adi sebagai dalam hal penentuan di antara departemendi solusi ke depan tampaknya sertifikat pengelolaan tingkat pusat perlu dihilangkan lebih penting dan menarik cara berpikir sektoral, sehingga h u t a n p r o d u k s i untuk dicermati. Dianta- kebijakan yang dikeluarkan l e s t a r i ( P H P L ) , ranya, yang terksesan kalsik benar-benar mencerminkan sebagai perwujudan namun perlu disebut ber- kesepama-haman semua k o m i t m e n ulang-ulang untuk menun- pihak, ter-masuk akomodasi p e m e l i h a r a a n jukan sentralnya problem a t a s k e p e n t i n g a n p a r a kelestarian sumber i t u , y a k n i p e n e g a k a n stakeholder daya hutan di era hukum (law enforcement). otda de wasa ini. Maraknya praktik ilegal logging di sejumlah Langkah lain adalah pemben-tukan daerah dapat diselesaikan kalau instrumen berbagai forum di daerah yang bersifat supremasi hukum benar-benar kuat, multi-pihak untuk bersama-sama terlibat seperti kebijakan moratorium logging. dalam akomodasi dan pembahasan rencana Selain itu, lembeknya penegakan hukum kebijakan kehutanan. “Menggembirakan, ini di sektor kehutanan juga terlihat bahwa dengan langkah-langkah tersebut, pada inkonsistensi dan diskriminasi beberapa hasil konkrit telah ada semisal kebijakan pemerintah yang mengijinkan ditangguhkannya beberapa rencana penam-bangan di kawasan hutan lindung, pelaksanaan perda kehutanan,” demikian sementara pengelolaan hutan di kawasan Adi menutup pembicaraan.* (ndi).
Otonomi Pengelolaan Hutan : Sejumlah Problem Regulasi Sebagai fondasi sistem pemerintahan d e m o k r a t i s , U U No. 2 2 Ta h u n 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan pokok rujukan segenap peraturan perundangan sektoral yang didesentralisasikan kepada daerah. Menurut UU tersebut, kecuali kewenangan dalam sejumlah bidang dalam pasal 7 ayat [1], pada prinsipnya semua kewenangan pengurusan berbagai sektor merupakan kewenangan daerah. Demikian halnya sektor kehutanan, meski dalam pasal 7 ayat [2] ditetapkan bahwa kebijakan pendayagunaan sumber daya alam masih merupakan bagian dari kewenangan pusat, namun pengelolaannya dan pemeliharaan kelestarian lingkungannya adalah kewenangan otonom daerah (pasal 10 ayat [1]). Dengan dasar yuridis seperti itu, segala regulasi yang mengatur pengelolaan sektor kehutanan, maupun konsekuensi tanggung jawab konservasi alamnya, mesti mencerminkan terselenggaranya kewenangan daerah. Namun, dua peraturan pokok menyangkut pengelolaan hutan saat ini, yakni UU No. 41 Tahun 1999 (tentang Kehutanan) dan jabaran utamanya dalam PP No. 34 Tahun 2002 (tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan), secara umum tidak mencerminkan koherensi sistemiknya dengan prinsip desentralisasi dan otonomi pengelolaan hutan dan acuan dasar yuridis di atas (contoh inkoherensi ini bisa dilihat pada bagian uraian tentang problem regulasi kehutanan di level nasional). Di luar kedua peraturan di atas, contoh serupa yang juga dikeluarkan oleh pemerintah pusat adalah SK Menteri Kehutanan No.541/KPTSII/2002 yang mencabut SK Menteri Kehutanan No.05.1/KPTS-II/2000 tentang Kriteria dan Standard Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi. Dengan keputusan baru ini, maka pelimpahan wewenang kepada pemda dalam hal memberikan izin HPH/
IUPHH yang diberikan setelah tanggal 31 Desember 2000 dicabut atau dibatalkan. Tulisan ini ber-maksud mengidentifikasi sejum-lah problem, yakni ditinjau dari perspek-tif desentralisasi dan otonomi daerah, yang terdapat dalam kedua perundangan terbitan pusat tersebut. Selanjutnya, juga akan diperlihatkan kecenderungan terjemahan regulasi pengelolaan sektor kehutanan itu dalam berbagai produk hukum di sejumlah daerah. Akar Problem Regulasi di Level Nasional Dari sisi kebijakan otonomi daerah, terdapat beberapa poin sebagai ulasan atas isi UU No.41 Tahun 1999 dan PP No.34 Tahun 2002 yang merupakan rujukan pokok dalam rezim pengelolaan kehutanan saat ini. Pertama, pada dasarnya, semua hutan di dalam wilayah Indonesia dan kekayaan alam yang dikandungnya berada dalam penguasaan negara - dengan tetap memper-hatikan secara bersyarat hak hukum masyarakat adat. Melalui pemerintah sebagai perangkat negara, prinsip penguasaan itu diterjemahkan dalam bentuk pengaturan dan pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; penetapan status kawasan hutan dan bukan kawasan hutan; dan pengaturan
hubungan dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan kehutanan. Prinsip dasar di atas kiranya tidak diterjemahkan sebagai penguasaan (pengaturan dan pengurusan) oleh pemerintah pusat. Dalam rangka otonomi daerah, penyederhanaan rantai perizinan, dan pertimbangan efektivitas pengurusan hutan, desentralisasi atau pelimpahan kewenangan pengelolaan hutan mutlak diberikan kepada pemerintah di level yang paling dekat dengan keberadaan sektor tersebut (Pemda kabupaten). Kewenangan itu mesti berjumlah banyak (bukan hanya sebagian seperti halnya pasal 66 UU No. 41 / 1999) dan berangkaian utuh (kecuali aspek pengawasan yang dipegang oleh pusat sebagaimana yang diatur pasal 61 UU No. 41 / 1999). Kenyataan bahwa UU No. 41 / 1999 lebih berorientasi pada sentralisasi pengelolaan hutan merupakan indikasi bahwa prinsip dasar di atas tidak diterjemahkan secara konsisten dalam pasal-pasal perinciannya. Kedua, di level peraturan penjabaran, yakni PP No. 34 Tahun 2002, orientasi sentralisasi pengelolaan hutan juga tampak kuat. Ini merupakan bentuk pengabaian atas pasal 66 ayat (3) yang mendelegasikan PP ini untuk mengatur lebih lanjut tentang penyerahan kewenangan pengelolaan
17
kehutanan, baik menyangkut pengelolaan hutan, pemanfaatan hasil hutan maupun penataan kawasan hutannya. Pilihan sejumlah perda ini tidak melalui disiplin metodologi tertentu, tetapi berdasarkan pertimbangan ketersedian data (perda) dan hasil kajian KPPOD semata. Kajian yang dilakukan bersifat tekstual murni (tanpa investigasi lapangan), dan menggunakan beberapa acuan seperti harmonisasi antar perda dengan peraturan perundangan yang relevan (eksternal) maupun antar pasal di dalam perda bersangkutan (internal), daya dukung materi peraturan terhadap kepentingan umum masyarakat maupun dunia usaha, dan kesesuaiannya dengan rezim internasional yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia (WTO, dll.). Dengan berbagai acuan di atas, digolongkan bentuk-bentuk tingkat kebermasalahan setiap perda, yakni: (1) bermasalah yuridis (menyangkut relevansi acuan yuridis, kelengkapan yuridis, dll); (2) bermasalah substansi (menyangkut kejelasan obyek, filosofi pajak dan retribusi, dll); (3) bermasalah prinsip (menyangkut prinsip free internal trade, prinisp persaingan sehat, dll); (4) kategori perda yang secara umum tidak memiliki ketiga permasalahan tersebut. Untuk selengkapnya dan intensitas kebermasalahan masing-masing perda, diringkas dalam satu tabel berikut ini. Melihat peta persoalan yang ada dalam tabel di atas, dapat diajukan satu-dua catatan umum atas tendensi permasalahan regulasi kehutanan di sebagian daerah yang ada. Pertama, tingginya tingkat kebermasalahan substansi dan prinsip (dari angka absolut) dan dominannya kedua kebermasalahan tersebut jika dibandingkan dengan kebermasalahan yuridis dan status tidak bermasalah (dari angka prosentase), menyiratkan adanya kecenderungan distorsi yang mendasar dalam regulasi kehutanan di daerah. Sulit untuk tidak mengambil kesimpulan keras, dari banyaknya tingkat kebermasalahan yang ada yang justru menyangkut problem pokok seperti dampak negatif dari kehadiran perda tersebut terhadap perekonomian (berupa ekonomi biaya tinggi, pemajakan ganda, pembebanan dunia usaha/masyarakat) sebesar 46,1%; kerancuan pemaknaan Tendensi Kebermasalahan Perda di filosofi pajak dan retribusi (30,7%) Daerah Dalam bagian ini, dipetakan bentuk- dan implikasinya atas ketidakjelasan bentuk permasalahan yang terdapat dalam pengaturan hak dan kewajiban (28,2%) 44 perda di 29 daerah yang mengatur sektor atau wan-prestasi untuk memberikan hutan kepada pemerintah daerah). Seperti yang diulas oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), sejumlah pasal dalam PP ini hanya mencerminkan besarnya dominasi peran pusat (Menteri Kehutanan) dalam pengelolaan hutan di daerah. Seperti belum terkomodirnya kewenangan kabupaten dalam penentuan tata hutan (pasal 4) dan dalam pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (pasal 5), penarikan kembali wewenang perizinan Rencana Kerja Tahunan (RKT) kepada pemerintah pusat melalui Menteri Kehutanan (pasal 47), dan sebagainya. Kecenderungan lain dari PP ini adalah adanya upaya memoderasi derajat sentralisasi sebagian pasalnya untuk menjadi kewenangan dekonsentrasi di propinsi. Misalnya dalam hal penyusunan rencana pengelolaan hutan (pasal 14), peran instansi di propinsi tampak besar. Untuk ukuran jangka panjang (20 tahun) dan jangka pendek (5 tahun), rencana itu disusun oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan propinsi dan disahkan oleh Menteri Kehutanan; sedangkan untuk jangka pendek (1 tahun) disusun oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dan disahkan oleh Gubernur. Di sini, akses Kabupaten sebagai unit peme-rintahan yang paling dekat dengan keberadaan sektor kehutanan tidak jelas, dan peran kewenangan desentrasliasinya menjadi kecil. Baik sentralisasi maupun dekonsentrasi pengelolaan kehutanan di atas jelas bertentangan dengan PP No. 25 Tahun 2000 sebagai penerjemahan paling penting dari UU No. 22 Tahun 1999. Pada bagian kewenangan pemerintah dalam bidang kehutanan (pasal 2) ditegaskan secara limitatif bahwa peran pusat banyak berkaitan dengan penetapan norma, kriteria dan standar umum; sedangkan kewenangan propinsi (pasal 3) berkaitan dengan pembuatan pedomaan dalam segi inventarisasi dan pemetaan hutan, perizinan pemanfaatan hasil hutan lintas kabupaten/kota, pengawasan alat dan mesin, dan sebagainya. Tidak terlihat adanya mandat kewenangan pembuatan kebijakan dan rencana operasional dari pengelolaan sektor hutan.
18
kejelasan prosedur pelayanan (30,7%), dan sebagainya, bahwa prinsip dan substansi dari kehadiran perda di sejumlah kabupaten itu tidak membantu apaapa bagi pengaturan hubungan dan pengelolaan hutan yang baik di daerah, dan malahan membebani masyarakat swasta yang memiliki keterkaitan aktivitas dengan sektor tersebut. Kedua, cukup luasnya persebaran perda-perda yang bermasalah prinsip dan substansi memperlihatkan bahwa kesadaran banyak daerah atas pentingnya kualitas-kualitas dasar dalam pembuatan kebijakan publiknya belum cukup terjiwai. Catatan ini lebih khusus lagi untuk Kabupaten Bengkulu Selatan, di mana hampir semua perda kehutanannya mengandung satu atau lebih permasalahan prinsip dan substansi. Kasus serupa, namun lebih moderat, juga terdapat dalam perda Kabupaten Gorontalo (Perda No.12/00 dan No. 62/00), Kabupaten Gianyar (Perda No.7/00), Kabupaten Aceh Tengah (Perda No.10/01), dan sebagainya. Ke t i g a , d a l a m k a i t a n d e n g a n keberlakukan otonomi daerah, dan melihat saat penerbitan berbagai perda tersebut yang berkisar antara tahun 1999 dan 2001, kecenderungan di atas kian mempertegas sinyalemen bahwa kondisionalitas yang dihasilkan otda (seperti kreativitas daerah, kemandirian pengaturan, dll) sedikit-banyak malah kontraproduktif. Proses eksperimentasi dan pembelajaran terhadap sistem baru itu memang memerlukan waktu yang relatif panjang, namun pemakluman demikian tidak lalu berarti bahwa kebijakankebijakan fatal yang sesungguhnya bisa dideteksi/dikoreksi boleh dibiarkan. Catatan Akhir Setidaknya dalam hal regulasi, baik di level nasional maupun di sebagian daerah, pengaturan dan pengurusan sektor hutan belum mendapatkan tingkat kualitas yang memadai. Kalau di tingkat UU dan PP terdapat problem yang berakar pada paradigma dan manajemen pengelolaan hutan yang sentralisasitik, atau pada batasbatas tertentu didekonsentrasikan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di propinsi; di dalam sejumlah perda yang dikeluarkan beberapa daerah saat ini tampak kuat rendahnya kualitas kebijakan dan daya dukungnya bagi pengembangan usaha kehutanan. Selain itu, bahkan
ketika pengelolaan hutan belum benarbenar didesentralisasikan, daerah juga cenderung eksesif (kebablasan) dalam menerjemahkan keotonomiannya dalam pembuatan regulasi tersebut. Dengan semua gambaran singkat di atas, para pelaku sektor usaha kehutanan saat ini menghadapi dilema ganda.
Tendensi sentralisme dari pemerintah pusat, seperti juga diakui APHI, membuat mata rantai perizinan menjadi panjang dan meciptakan birokrasi yang sulit bekerja efisien; namun keotonomian pengaturan daerah juga menghasilkan sejumlah keber-masalahan dan kelemahan regulasi yang serius. Namun demikian, opsi dan
solusi yang kemudian perlu diambil hendaknya tidak mengorbankan sistem keseluruhan yang sedang kita jalani saat ini (yakni sistem pemerintahan demokratisdesentralistis). Meski dengan itu pula proses eksperimentasi dan pembelajaran terhadap sistem baru tersebut harus juga dipercepat.* (ndi)
Tabel 1: Kebermasalahan 39 Perda di Sektor Kehutanan No.
Angka Kebermasalahan
Tingkat Kebermasalahan
Jenis Kebermasalahan
1.
Bermasalah Yuridis
l Relevansi Acuan Yuridis l Keberlakuan Acuan Yuridis l Kelengkapan Yuridis
Jumlah Absolut 0 0 3
2.
Bermasalah Substansi
l Diskoneksi Tujuan dan Isi
10
25%
l Kejelasan Obyek l Kejelasan Subyek
14 2
35% 5,10%
l l l l
11 12 12 2
28,20% 30,70% 30,70% 5,10%
l Persaingan Sehat l Ekonomi Negatif l Akses Masyarakat
0 18 2
0% 46,10% 5,10%
l Kewenangan
4 1
10,2 2,50%
3.
4.
Bermasalah Prinsip
Tidak Bermasalah
Kejelasan hak kewajiban KejelasanProsedur dan birokrasi Filosofi Pajak dan Retr. Keutuhan Wil. Eko. (free internal trade )
Prosentase (n= 39) 0% 0% 7,60%
Keterangan Asal Daerah Merata di semua daerah Idem dito Dari 2 daerah (Bengkulu Sel. No. 7/01 dan Kapuas No.11/00) Sebagiannya adalah perda Kab. Bengkulu Sel. (No.7/01, No.09/01 dan No.24/00); sisanya mera-ta di sejumlah daerah Idem dito Dari 2 daerah (Gianyar No.7/00 dan Bengkulu Sel.7/01) Merata di sejumlah daerah Idem dito Idem dito Dari 2 daerah (Jembrana No.28/01 dan Pontianak No.19/01 Merata di semua daerah Merata di sejumlah daerah Dari 2 daerah (Merangin No.5/00 dan Karo No.41/01) Merata di sejumlah daerah Dari Kab. Kampar (No.9/99)
19
Seminar “Forum Pengkajian Perencanaan Tingkat Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu” Dalam seminar “Forum Pengkajian Perencanaan Tingkat Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu”, yang diadakan pada tanggal 9-11 Juli 2002 di Graha Praja Sunter, Jakarta Utara yang diadakan atas kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten (Bapekab) Administrasi Kepulauan Seribu dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Beberapa ahli menyampaikan pandangannya tentang masa depan Kepulauan Seribu. Dalam makalahnya yang berjudul Prospek dan Tantangan Pengembangan Budidaya Laut Berbasis Masyarakat di Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Dedy Yaniharto dan Maman Surachman dari BPPT mengemukakan bahwa sesuai dengan karakter Kepulauan Seribu, maka rencana pembangunan sebaiknya difokuskan pada tiga aspek yakni kegiatan ekonomi, dalam hal ini perikanan, wisata bahari, dan konservasi (taman nasional). Sedangkan makalah dari Otto S. R Ongkosono dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang berjudul Pelestarian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Berbasis Masyarakat menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup di seluruh tahap pelaksanaan pembangunan, mulai dari identifikasi masalah, kekuatan, kelemahan, kendala dan peluang, serta perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan. Myra F. Gunawan dari Direktorat Jendral Pariwisata membawakan makalah berjudul Pengembangan Pariwisata Bahari Kepulauan Seribu. Mengacu pada visi pembangunan Kepulauan Seribu, yaitu sebagai ladang dan taman bahari yang berkelanjutan, menyiratkan pesan mendalam agar sumber daya yang dimiliki Kepulauan Seribu dapt menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat setempat, sekaligus dapat menjadi tempat yang menyenangkan dan memberikan suasana kenyamanan bagi masyarakat dan wisatawan.(lpem-feui) Wacana Pembentukan Propinsi Cirebon Menguat Wacana pembentuk Propinsi Cirebon yang telah lama bergulir, pada dua bulan terakhir kembali menguat. Hal itu akibat tidak adanya perhatian dari Pemerintah Propinsi Jawa Barat atas bencana kekeringan yang mulai melanda wilayah Kabupaten Cirebon dan daerah Indramayu. Sikap Pemda Propinsi Jawa Barat yang seakan menganaktirikan itu pula yang dirasakan oleh masyarakat Cirebon sejak lama hingga tercetus keinginan untuk mendirikan propinsi yang terpisah dari Jawa Barat. Keinginan itu semakin menguat pada pertemuan tertutup yang diadakan baru-baru ini dan dihadiri 100 tokoh dari berbagai kalangan yang ada di seputar Cirebon. Pertemuan itu dimaksudkan untuk menyamakan persepsi, visi, dan misi sehingga implementasi pembentukan Propinsi Cirebon tidak akan mengalami kendala. Masalah Seputar Cukai Rokok Sejumlah bupati dan pejabat pemda dari beberapa daerah produsen rokok di antaranya Kudus, Kediri, Malang, Pasuruan dan Surabaya, meminta kepada pemerintah pusat untuk mengalokasikan pendapatan bunga cukai rokok untuk daerah-daerah tersebut. Meski tidak sesuai dengan maksud dari diberlakukannya cukai rokok, pemda merasa selama ini pemda tidak memperoleh pendapatan dari cukai rokok meskipun pemda memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan sumber daya manusia dan infrastruktur di daerah. Menanggapi permintaan sejumlah daerah itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Machfud Sidik menegaskan pihaknya menolak usulan bagi hasil penerimaan cukai sebesar 10% yang diminta oleh pemda penghasil rokok karena tidak diatur dalam peraturan perundangan-undangan. Kendati demikian, Machfud mengatakan, aspirasi pemda tetap diakomodasi sebagai masukan dalam perubahan UU yang mengatur tentang perimbangan keuangan. Machfud menambahkan, daerah dapat berdebat soal bagi hasil cukai rokok pada saat amandemen UU otonomi daerah-UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara itu, beberapa perusahaan rokok di Jawa Timur menolak membayar cukai rokok kecuali yang selama ini telah dibayarkan kepada pemerintah pusat. Masyarakat Harus Awasi Keuangan Daerah Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno meminta masyarakat memantau kinerja eksekutif dan legislatif di daerah terutama soal keuangan daerah yang menyangkut anggaran belanja pegawai dan dewan. Demikian dinyatakan Mendagri menanggapi adanya jatah dana sebesar Rp 250 juta per anggota dengan dalih bantuan untuk fraksi. Menurut Mendagri, masyarakat sejak awal dapat turut serta memantau penyusunan anggaran dan perda. DPRD Dukung Revisi Otonomi DPRD Sulawesi Tenggara mendukung usulan Gubernur La Ode Kaimoeddin kepada pemerintah pusat yang meminta revisi undangundang Otonomi Daerah, terutama pasal yang mengatur kewenangan pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah propinsi. Hal itu disebabkan kekurangpahaman dalam pembagian kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota yang mengakibatkan sering terjadinya miskomunikasi antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah propinsi. Menurut Gubernur La Ode Kaimoeddin, sejak diberlakukannya UU Otonomi Daerah pemerintah kabupaten/kota tidak lagi menghargai pemerintah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Seiring dengan usulan tersebut, rencana revisi UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah baru akan dibahas setelah amandemen keempat UUD 1945 selesai dibahas di MPR. Hal itu dimaksudkan agar pembahasannya lebih terkonsentrasi. Ada lima poin yang akan ditekankan dalam rencana revisi tersebut yakni regulasi kewenangan, pegawai daerah, keuangan daerah, teritori daerah, dan hubungan kepala daerah dengan DPRD setempat. (sun –dari berbagai media)
20
*
Bentuk logo merupakan stylirisasi dari kaca pembesar yang terbentuk atas huruf KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) menjadi mnemonic (jembatan keledai) dari pemantau.
*
Logo Dengan huruf FrnkGothITC Hvlt Bold berwarna electric blue melambangkan keteguhan Lembaga dalam menjalankan kegiatan utamanya yaitu melakukan pemantauan dan pengkajian terhadap pelaksanaan otonomi daerah di seluruh Indonesia.
*
Huruf O (otonomi) adalah lensa kaca pembesar berbentuk pusaran air berwarna gradasi biru gelap.
*Gradasi warna dari pusat pusaran ke arah lingkaran terluar menjadi semakin
nyata. Hal ini melambangkan pergeseran dari sistem pemerintahan yang selama ini terpusat lama kelamaan menjadi terdesentralisasi yang sesuai dengan konsep otonomi daerah.