1
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang banyak menyimpan kekayaan budaya maupun kekayaan alam. Menyandang stigma sebagai Pulau Seribu Pura dengan dilengkapi daya tarik budaya dan alam yang melimpah, maka Bali selalu berusaha berbenah diri dalam mempertahankan keasrian budayanya. Keasrian budaya Bali atau yang akrab disebut ajeg Bali merupakan pedoman penting masyarakat Bali dalam mempertahankan keluhuran nilai budayanya (Artadi,1993: 68-69). Masyarakat Hindu Bali dikenal sebagai masyarakat yang terbuka dan adaptif terhadap perubahan. Keterbukaan masyarakat Bali secara lokal, nasional, dan global telah melewati masa yang panjang melalui komunikasi dengan budaya yang ada di Jawa, Madura, dan Sasak, kemudian meluas dengan budaya India, Mesir, Arab,dan Belanda (Artadi,1993: 64-69). Bali yang kini ada dan dapat dilihat merupakan Bali yang telah mengalami berbagai proses perubahan kebudayaan. Manusia dan kebudayaan Bali tercatat dalam perjalanan sejarah mengalami beberapa perubahan mendasar. Menurut Kaler (1983: 14) dinamika perjalanan kebudayaan Bali dapat ditinjau dari 4 aspek, yaitu tradisi kecil, tradisi besar, tradisi modern,dan tradisi touristik. Tradisi kecil terpancar dari unsur-unsur kebudayaan pra Hindu seperti yang ditemukan di kehidupan masyarakat Bali Kuno (Bali Aga) yang memiliki corak kehidupan berpindah-pindah tempat (nomadhen). Tradisi besar mencakup aspek kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang berkembang seiring dengan agama Hindu. Selain itu, aspek Tradisi modern mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak jaman penjajahan, kemerdekaan dan
2
globalisasi. Tradisi touristik berkembang pada saat masyarakat dan kebudayaan Bali mulai mengenalkan dan mengembangkan potensi alam dan budayanya di industri pariwisata. Kebudayaan Bali sangat erat dijiwai oleh unsur kesenian, lembaga tradisional, dan bahasa Bali itu sendiri (Artadi, 1993: 15). Dalam menjalankan proses kebudayaan, masyarakat Bali sangat bergantung pada nilai-nilai religius, solidaritas dan estetika sehingga pada umumnya masyarakat Bali dikenal ramah dan mudah menjalin solidaritas yang rukun. Secara kosmologis, masyarakat Bali hidup dalam keserasian antara Tuhan, sesama manusia dan lingkungan. Ketiga unsur tersebut terangkum dalam pedoman hidup masyarakat Hindu di Bali yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana, yang berarti tiga unsur yang merupakan sumber sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan (Kaler,1983: 85). Konsepsi Tri Hita Karana sebagai identitas kebudayaan Bali menumbuhkan citra dan kehidupan masyarakat Bali yang fleksibel dan adaptif. Berkat keterbukaan dan penerimaan masyarakat Bali, baik melalui perdagangan, teknologi informasi, dan pariwisata telah membawa perkembangan Pulau Bali pada arus modernisasi yang pesat dengan berbagai peluang dan tantangan yang semakin kompleks (Suweda, 2013: 1-2). Berkat potensi alam dan budaya yang menarik, maka Bali menjadi salah satu tujuan wisata yang marak dikunjungi. Beberapa infrastruktur dibangun guna menghubungkan satu kabupaten dengan kabupaten lainnya dalam mempermudah arus perpindahan manusia dan barang. Jalan, pelabuhan, bandar udara maupun terminal-terminal yang ada di Bali dibangun dengan perencanaan yang tepat dalam 10 tahun terakhir. Pembangunan yang cepat dan aktif di Bali sebagian besar merupakan pembangunan yang bersifat mengeruk keuntungan dari dunia pariwisata. Beberapa bangunan Pura besar yang berstatus Cagar Budaya berdiri tegak dan berdampingan dengan hotel-hotel mewah dalam radius yang sangat dekat. Selain itu, dalam Artadi (1993: 67) dijelaskan bahwa terdapat pergeseran ranah pembangunan pariwisata yang
3
lebih memprioritaskan pembangunan kawasan pariwisata perkotaan. Hal tersebut dibuktikan dengan maraknya pembangunan beberapa kafe dan diskotik yang sudah berdiri di beberapa desa adat di Pulau Bali. Selain itu, banyaknya tanah sawah yang dijual oleh masyarakat Bali dan telah dibeli oleh pihak pengembang pariwisata guna membuat hotel maupun restoran. Kondisi perkembangan pembangunan Bali saat ini sedang mengalami dilema besar, khususnya dalam hal mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang selalu dijunjung tinggi. Di satu sisi Pemerintah Provinsi Bali sedang gencar dalam memacu pembangunan, akan tetapi di sisi lain tidak ingin meninggalkan sumberdaya budaya yang ada. Sumberdaya budaya merupakan hasil aktivitas manusia masa lampau, baik berupa artefak,fitur, dan struktur meliputi bangunan, lansekap, dan sebagainya yang berada dalam suatu lokasi tertentu (Cleere,1990: 3-10). Salah satu wilayah di Bali yang banyak menyimpan tinggalan warisan budaya dan saat ini juga rentan terhadap perkembangan industri pariwisata adalah kawasan Pulau Serangan. Pulau Serangan terletak di Teluk Benoa, Kecamatan Denpasar Selatan Kota Madya Denpasar, Provinsi Bali. Pulau Serangan merupakan pulau yang pernah mengalami perluasan fisik dengan cara reklamasi. Luas Pulau Serangan sebelum direklamasi dan sesudah direklamasi, yakni dari 111 ha menjadi 481 ha (Darmawan, 2013:15-19). Ada pun batas-batas Kelurahan Pulau Serangan adalah sebagai berikut: bagian utara berbatasan dengan Desa Sanur Kauh, bagian timur berbatasan dengan Selat Badung, bagian selatan berbatasan dengan Kelurahan Benoa, dan bagian selatan berbatasan dengan Kelurahan Pedungan. Saat ini Kelurahan Serangan merupakan salah satu wilayah desa adat yang terdiri atas enam banjar, yaitu Banjar Pojok, Banjar Kawan, Banjar Tengah, Banjar Peken, dan Banjar Dukuh dengan jumlah penduduk 3.501 orang dengan sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah nelayan. (Sari dkk., 2013: 4). Pulau Serangan banyak menyimpan potensi Cagar Budaya, baik itu benda, situs,
4
bangunan dan struktur Cagar Budaya. Berikut adalah tabel tinggalan Cagar Budaya yang terdapat di Pulau Serangan. Tabel 1: Inventarisasi Cagar Budaya di Pulau Serangan
Cagar Budaya No Struktur
Kaw asan
Situs
Bangunan
Benda
1
Pura Dalem Sakenan
1 Prasada, 1 Gapura
12 Arca perwujudan
15Cagar Budaya
2
Pura Susunan Wadon
1 Prasada
2 Arca Nandi
3 Cagar Budaya
3
Pura Dalem Cemara
1 Prasada
2 Fragmen arca
3 Cagar Budaya
4
Masjid Assyuhada
1 Masjid
1 Mimbar, 1 alquran tua
4 Cagar Budaya
5
Makam Bugis
6
Rumah Adat Bugis
Total Jumlah
6 situs
18 makam 1 rumah 6 18 Benda 18 Makam Bangunan ( sumber : Sari dkk., 2013: 37)
Jumlah
19 Cagar Budaya 2 Cagar Budaya 48 Cagar Budaya
Keenam situs cagar budaya yang terdapat di Pulau Serangan tersebut sampai saat ini belum ditetapkan secara hukum oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali sebagai situs Cagar Budaya, akan tetapi berdasarkan kriteria cagar budaya sudah dapat dikatakan sebagai Cagar Budaya. Hal tersebut dapat ditinjau melalui rentan usia yang melebihi 50 tahun, mewakili masa gaya tertentu, baik itu masa klasik sampai masa islam, serta memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Beranjak dari hal tersebut, maka Pulau Serangan merupakan Kawasan Cagar Budaya yang penting untuk dilestarikan. Keberadaaan berbagai Cagar Budaya di Kawasan Pulau Serangan merupakan bukti dan saksi nyata dari
5
sebagian perjalanan kebudayaan masyarakat Bali. Salah satu contoh Situs Pura Dalem Sakenan yang pada bagian dalamnya terdapat sebuah pelinggih untuk pemujaan Bhatara Lamun (Sutedja dkk., 1992: 5-10). Berdasarkan sumber sejarah berupa usana Bali, dikatakan bahwa Pura Dalem Sakenan dibangun oleh Mpu Rajakertha bersamaan dengan pembangunan beberapa pura lainnya pada jaman pemerintahan Raja suami istri Masula Masuli pada tahun 1178 M hingga 1255 M (Sari dkk., 2013: 5). Potensi keberagaman nilai penting arkeologis yang terdapat di Pura Dalem Sakenan juga dapat ditinjau melalui keberadaan bangunan prasada, arca binatang, arca dwarapala, dan gapura kuno yang melingkupi keberadaan Pura Dalem Sakenan. Selain Pura Dalem Sakenan, juga terdapat Situs Pura Susunan Wadon. Situs Pura Susunan Wadon dibangun oleh Mpu Kuturan pada masa Kerajaan Mengwi abad ke 1617 M, hal ini dibuktikan dengan bentuk arsitektur bangunan yang sama dengan Pura Ulu Watu dan Pura Taman Ayun di Mengwi, Badung (Sari dkk., 2013:14). Selain Situs Pura Dalem Sakenan dan Pura Susunan Wadon, juga terdapat Situs Pura Dalem Cemara Lima yang. Situs Pura Dalem Cemara Lima dibangun oleh Mpu Kuturan pada abad ke 16-17 M, berdasarkan penelitian yang dilakukan Sutaba dkk, (1991: 2) dikemukakan bahwa bangunan Pura Cemara Lima memiliki karakteristik yang sama dengan Pura Uluwatu di Jimbaran Bali.
Bangunan pura bukan satu-satunya yang menjadi kekayaan tinggalan Cagar Budaya di Pulau Serangan, turut pula ditemukan latar belakang perkembangan agama Islam di Pulau Serangan. Hal tersebut dapat ditinjau melalui keberadaan Situs Masjid Assyuhada yang terdapat di Kampung Bugis di Pulau Serangan. Dalam Sari,dkk (2013: 20) dijelaskan bahwa warga Bugis yang tinggal di Pulau Serangan memiliki kaitan erat dengan sejarah panjang dengan Puri Pemecutan Denpasar. Hal tersebut disebabkan karena para pemuda perantauan dari Bugis juga ikut serta dalam berperang melawan penjajah bersama para prajurit dari Puri Pemecutan Denpasar dalam perang Puputan Badung pada abad ke -17 M. Selain Masjid
6
Assyuhada, di Kampung Bugis ini juga terdapat Situs Makam Bugis Kuno tempat dikuburkan Syiekh Haji Mu dan beberapa tokoh umat Bugis Islam perdana di Pulau Serangan. Kampung yang dikenal dengan nama kampung Islam Bugis ini merupakan saksi sejarah keberadaan agama Islam di Bali beserta dengan kehidupan antar umat beragama (Sari dkk.,2013:19-21). Beranjak dari hal tersebut, maka Pulau Serangan dapat dikatakan sebagai Kawasan Cagar Budaya. Hal tersebut diperkuat dengan peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 tahun 2010, pada pasal 1 ayat 6 disebutkan bahwa Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Berdasarkan hal tersebut, maka Pulau Serangan layak mendapat perhatian ke ranah pelestarian Cagar Budaya berbasis kawasan. Upaya pelestarian cagar budaya di Pulau Serangan penting dilakukan karena mempertimbangkan 3 aspek penting, antara lain :
1. Terdapat enam Situs Cagar Budaya di Pulau Serangan yang masing-masing dilatarbelakangi nilai-nilai penting yang menarik dan komprehensif untuk dilestarikan. 2. Ranah pelestarian tinggalan Cagar Budaya di Pulau Serangan masih terarah ke beberapa lokasi seperti Situs Pura Dalem Sakenan dan
Situs Pura Dalem Cemara Lima,
sedangkan Situs-Situs di perkampungan Bugis belum mendapat upaya pelestarian yang ideal (Sari dkk., 2013: 19-36). Hal tersebut pula yang menyebabkan tinggalan-tinggalan lain seperti Situs Makam Bugis dan Situs Masjid Assyuhada terkesan tidak dihargai pelestariannya. 3. Aspek yang ketiga yang menjadi alasan pentingnya pelestarian kawasan Cagar Budaya Pulau Serangan adalah seputar perencanaan reklamasi Teluk Benoa yang digagas oleh PT. Tirta Wahana Bali Internasional. Perencanaan reklamasi Teluk Benoa merupakan mega proyek yang sudah mendapat rekomendasi ijin pembangunan melalui Perpres No.
7
51 tahun 2014 yang mengubah status kawasan konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum, termasuk wilayah Pulau Serangan ke dalam kawasan Teluk Benoa (Sudiarta dkk.,2013: 32). Melalui perubahan status kawasan Teluk Benoa yakni menjadi kawasan pemanfaatan umum, maka tidak menutup kemungkinan bagi pihak pengembang industri pariwisata untuk menggunakan Pulau Serangan sebagai tempat membangun berbagai infrastruktur tambahan pariwisata yang dikhawatirkan dapat mengancam keberadaan situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan.
Beranjak dari hal tersebut, maka salah satu upaya perlindungan yang tepat untuk menjaga keberadaan Cagar Budaya di Pulau Serangan adalah melalui upaya pelestarian berbasis kawasan. Berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 tahun 2010 pasal 1 ayat 22 disebutkan bahwa pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Upaya pelestarian yang dimaksud diarahkan pada kepentingan untuk menjaga nilai-nilai penting dari keberadaan Cagar Budaya di Pulau Serangan, baik itu nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan sesuai dengan amanat Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 tahun 2010. B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana strategi pelestarian Cagar Budaya yang paling tepat dilakukan di Pulau Serangan? C. RUANG LINGKUP PENELITIAN : Penelitian ini berupaya untuk mencari upaya pelestarian terhadap situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan. Lokasi penelitian ini adalah Pulau Serangan yang terletak di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Pulau Serangan memiliki luas
8
lahan 481 ha, terdiri dari tanah tegalan 394 ha, pemukiman 48 ha, dan sisanya berupa dangkalan pesisir dengan batas wilayah sebagai berikut (Darmawan,2013:16-18) : sebelah utara
: Desa Sanur Kauh,
sebelah selatan
: Kelurahan Tanjung Benoa,
sebelah timur
: Selat Badung, dan
sebelah barat
: Kelurahan Pedungan
Penelitian difokuskan pada kawasan Pulau Serangan dengan bertitik tumpu pada keberadaan situs-situs cagar budaya guna dijadikan analisis dalam menghadirkan strategi pelestarian kawasan Cagar Budaya yang ideal. Analisis berpangkal pada aspek nilai-nilai penting Cagar Budaya yang terdapat di Pulau Serangan kemudian ditunjang dengan analisis mengenai potensi ancaman Cagar Budaya di Pulau Serangan, baik itu ancaman karena kerusakan fisik Cagar Budaya atau pun ancaman karena pekembangan kawasan Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum.
D. TUJUAN DAN MANFAAT
Penelitian ini bertujuan untuk membuat strategi pelestarian Kawasan Cagar Budaya di Pulau Serangan. Penelitian ini juga diharapkan mendatangkan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain sebagai berikut : 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan mampu menyumbangkan ilmu bagi berbagai multidisiplin ilmu. 2. Bagi instansi-instansi arkeologis, penelitian ini diharapkan mampu menginspirasi peneliti-peneliti lain untuk mengembangkan lebih luas.
9
3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan mampu menunjang kualitas pendidikan bangsa. 4. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat membangkitkan kepedulian masyarakat untuk mencintai warisan budaya. E. KEASLIAN PENELITIAN Berdasarkan tujuan masalah dan ruang lingkup penelitian yang sudah dijabarkan, maka penulis menggunakan beberapa sumber penelitian dalam kerangka pembahasan dan analisis. Penelitian pertama diambil dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Drs. I Made Sutaba, Drs. I Wayan Sepur, Drs. I Gusti Made Rena, dan Drs. Anak Agung Gede Agung pada tahun 1991 yang berjudul Laporan Rencana Pemugaran dan Konservasi Pelinggih Ratu Agung di Pura Dalem Sakenan. Laporan tersebut membahas mengenai konsep, perencanaan pemugaran, dan konservasi Pelinggih Ratu Agung di Pura Dalem Cemara, Serangan. Penelitian tersebut dibahas mengenai susunan batu kapur pada Pelinggih Ratu Agung yang banyak mengalami kemelesakan dan miring akibat hilangnya perekat batuan dan adanya pengerusakan oleh akar tumbuh-tumbuhan dari pohon kepah. Bagian yang melesak adalah pada bagian badan sisi depan Pelinggih Ratu Agung. Untuk itu, penelitian tersebut mendesripsikan mengenai analisis kerusakan Pelinggih Ratu Agung dan perencanaan pemugaran Pelinggih Ratu Agung di Pura Dalem Cemara, Serangan. Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ida Ayu Gede Yuni Anita Sari,S.S dan kawan-kawan pada tahun 2013. Penelitian yang berjudul Laporan Kegiatan Inventarisasi Cagar Budaya di Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Madya Denpasar, Provinsi Bali ini membahas mengenai berbagai macam tinggalan-tinggalan cagar budaya yang terdapat di Pulau Serangan. Dalam Penelitian tersebut berhasil diinventarisasi enam situs cagar budaya, yakni
10
Situs Pura Dalem Sakenan, Situs Pura Dalem Cemara, Situs Pura Susunan Wadon, Situs Rumah Adat Bugis, Situs Masjid Assyuhada dan Situs Makam Bugis di Pulau Serangan. Dalam Penelitian tersebut juga dijelaskan masing-masing kelengkapan tinggalan cagar budaya di keenam situs tersebut, baik itu candi bentar, gapura kuno, al quran kuno, hingga makammakam kuno Bugis yang terdapat di Pulau Serangan. Penelitian karangan Drs. I Wayan Sutedja, Drs. I Wayan Muliarsa, Drs. I Made Suantra, dan Ir. I Gusti Made Rena pada tahun 1992 yang berjudul Pengumpulan Data dan Rencana Pelestarian Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Kelurahan Serangan Denpasar Selatan juga menjadi menjadi acuan dalam penelitian ini. Penelitian tersebut membahas mengenai kerusakan fisik dan kerusakan biologis dari keberadaan Situs Pura Dalem Sakenan Dalem Sakenan dan Pura Susunan Wadon. Kerusakan fisik dan kerusakan biologis yang ditemukan adalah pada gapura kuno di Pura Dalem Sakenan dan bangunan prasada di Pura Susunan Wadon. Jenis kerusakan fisik dan biologis pada masing-masing bagian situs lebih disebabkan oleh faktor melesaknya tanah dan tumbuhnya tumbuhan seperti algae dan moss pada bagian kaki dan badan bangunan gapura kuno dan prasada. Tesis karangan I Gede Surya Darmawan pada tahun 2013 yang berjudul Pemanfaatan Lahan Pra dan Pasca Reklamasi di Pulau Serangan juga dideskripsikan mengenai kondisi fisik dan sosial di Pulau Serangan. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai dampak perubahan pemanfaatan lahan pasca reklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam penelitian tersebut juga diuraikan mengenai kondisi geomorfologi dan kondisi geologi Pulau Serangan sebagai Pulau yang terletak di kawasan Teluk Benoa. Selain itu, dalam tesis tersebut juga dijelaskan mengenai kondisi sosial budaya, baik itu jumlah penduduk, latar belakang agama, serta kondisi ekonomi masyarakat di Pulau Serangan.
11
Berdasarkan sumber-sumber penelitian di atas, maka penelitian mengenai pelestarian Kawasan Cagar Budaya dengan melibatkan keenam Situs Cagar Budaya di Pulau Serangan belum pernah dilakukan. Penelitian hanya berfokus pada beberapa Situs Cagar Budaya, seperti Pura Dalem Sakenan dan Pura Dalem Cemara Lima. Penelitian mengenai dampak reklamasi Teluk Benoa terhadap keberadaan Situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan juga belum pernah dilakukan. Beranjak dari hal tersebut, maka masih terbuka peluang penelitian dengan membahas strategi pelestarian Kawasan Cagar Budaya di Pulau Serangan Bali dalam menanggapi reklamasi Teluk Benoa. F. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka yang digunakan oleh penulis antara lain merujuk pada pada beberapa buku dan laporan penelitian. Buku yang berjudul Butir-Butir Tercecer tentang Adat Bali karangan I Gusti Ketut Kaler di tahun 1994 merupakan sumber rujukan yang menguraikan pengetahuan tentang adat Bali. Dalam buku Butir-Butir Tercecer tentang Adat Bali banyak membahas dan memberikan gambaran nilai-nilai moral dan budaya pada masyarakat Hindu di Bali. Selain itu, penulis juga merunut pada sumber buku karangan I Ketut Artadi tahun 1993 mengenai Manusia di Bali. Dalam buku karangan I Ketut Artadi diuraikan mengenai sejumlah perilaku manusia Bali dan pergeseran nilai akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan arus komunikasi. Data tambahan juga diperoleh penulis dari Laporan Penelitian yang berjudul Kajian Modeling Dampak Perubahan Fungsi Teluk Benoa Untuk Sistem Pendukung Keputusan (Decision Support System) dalam Jejaring KKP Bali, karangan Ketut Sudiarta, dkk pada tahun 2013. Buku tersebut merupakan sumber pustaka yang memberikan tambahan informasi mengenai kondisi fisik dan sosial budaya masyarakat di Kawasan Teluk Benoa.
12
Selain itu, dalam laporan penelitian ini berisi beberapa pemaparan mengenai kondisi pariwisata di KawasanTeluk Benoa dan Bali secara umum. Tesis karangan I Gede Surya Darmawan tahun 2013 yang berjudul Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi Di Pulau Serangan juga menjadi data acuan yang digunakan oleh penulis. Dalam Tesis tersebut berisi uraian mengenai faktor-faktor dampak perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai kawasan pesisir yang dilengkapi dengan keberadaan beberapa situs cagar budaya. Dalam penggunaan pendekatan manajemen sumberdaya arkeologi atau cultural resource management (CRM), penulis mengambil sumber rujukan dari ICOMOS Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance tahun 1981. Sumber tersebut digunakan karena di dalamnya memberikan pemaparan mengenai konsep pelestarian kawasan sumberdaya budaya, analisis perencanaan pengembangan kawasan sumberdaya budaya, dan hubungan antara kawasan sumberdaya budaya dengan kepariwisataan. G. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan model penalaran induktif. Penalaran induktif adalah model pemikiran yang dijabarkan melalui kajian fakta-fakta atau gejala yang bersifat khusus untuk selanjutnya disimpulkan dengan fakta atau gejala yang bersifat umum (Kusumohartono,1987: 30-35). Penalaran ini dilakukan dengan melihat fenomena yang terkait dengan keberadaan situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan. Hasilnya kemudian diolah untuk menemukan strategi pelestarian berbasis kawasan dengan mengacu pada potensi nilai penting dan ancaman yang dihadapi oleh tinggalan Cagar Budaya di Pulau Serangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen sumberdaya budaya (cultural resource management). CRM dapat didefinisikan sebagai gabungan dari
13
berbagai macam keahlian manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan, dan pengevaluasian warisan budaya (Kusumohartono, 1988: 20-26). Pada dasarnya, pendekatan manajemen sumberdaya budaya adalah satu model manajemen khusus untuk mencapai tujuan pelestarian dan pemanfaatan ( Clarke dan Smith,1996: 7-11). CRM memiliki prosedur manajemen yang dapat digunakan untuk menangani permasalahan pelestarian dari keberadaan Cagar Budaya di Pulau Serangan. Perangkat manajemen yang dimaksud terdiri atas identifikasi situs-situs cagar budaya, penentuan nilai penting situs-situs cagar budaya dan identifikasi tingkat ancaman yang ada sehingga diperoleh strategi pelestarian yang tepat. Teknik analisis bersifat kualitatif, yakni dengan mengamati, mengidentifikasi dan kemudian mendeskripsikan masing-masing komponen nilai penting serta potensi ancaman, terutama ancaman yang disebabkan oleh dampak reklamasi Teluk Benoa yang dapat mengancam keberadaan Situs Cagar Budaya di Pulau Serangan. Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini mencakup beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: 1. Tahap pengumpulan data Tahap pengumpulan data meliputi pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang didapat dari survei dan juga didapat dari sumber wawancara. Sasaran data yang dicari terdiri dari :
a. Data dari sumber primer, meliputi data arkeologi berupa situs-situs cagar budaya yang terdapat di Pulau Serangan. Hasil wawancara berupa gambaran mengenai latar belakang dan perkembangan sosial budaya masyarakat di Pulau Serangan. Turut pula disajikan data wawancara dari Kepala Banjar dan Bendesa Adat (sesepuh masyarakat) Pulau Serangan, khususnya dalam hal pembuatan batas-batas areal di masing-masing
14
Pura demi kepentingan melestarikan situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan. Pendekatan wawancara dan pembuatan batas-batas areal di masing-masing Situs Cagar Budaya dilakukan dengan sistem zonasi. b. Data dari sumber sekunder, meliputi beberapa buku, arsip-arsip, jurnal, surat kabar, laporan penelitian, dan peta yang memiliki keterkaitan dengan keberadaan situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan. Sumber pustaka tidak hanya berperan dalam menyajikan data mengenai keberadaan Cagar Budaya dan perkembangan sosial budaya masyarakat di Pulau Serangan. Peran lain dari penggunaan sumber pustaka, yakni dapat memberikan pemaparan mengenai kondisi geomorfologi di Pulau Serangan dan dampak reklamasi Teluk Benoa terhadap ketahanan ekosistem dan keberadaan situssitus cagar budaya di Pulau Serangan. Dalam penentuan batas-batas zonasi di kawasan Cagar Budaya Pulau Serangan, maka dirujuk Undang-Undang Cagar Budaya No.11 tahun 2010, kemudian Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2011tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, serta ditunjang dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 tahun 2009, yang merupakan rencana tata ruang wilayah Provinsi Bali dalam kurun waktu tahun 2009-2029. 2. Deskripsi Data Data yang diperoleh dari survei dan studi pustaka dideskripsikan secara verbal. Khusus data mengenai keberadaan situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan, selain disajikan secara verbal juga disajikan secara visual melalui foto dan dipetakan sebaran keberadaan Situs Cagar Budaya di Pulau Serangan. 3. Tahap Analisis Data
15
Penggabungan sumber data baik dari data primer dan data sekunder selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan Cultural Resource Management (CRM) atau pendekatan manajemen sumberdaya budaya. Proses dalam CRM berkembang secara dinamis dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sumberdaya. Kerangka kerja yang diterapkan dalam langkah pendekatan CRM (Pearson dan Sullivan,1995: 20-35), meliputi: a. Identifikasi sumberdaya arkeologi b. Penetapan nilai penting sumberdaya budaya arkeologi c. Analisis potensi ancaman yang ada d. Merancang kebijakan pelestarian berdasarkan nilai penting e. Merancang strategi pelestarian yang sesuai dan mencapi kebijakan pelestarian, dan f. Merancang mekanisme pengawasan dan evaluasi kerja Penelitian ini mengidentifikasi sumberdaya arkeologi, lalu mengidentifikasi nilai penting dan potensi ancaman, serta merancang strategi pelestarian yang tepat. Langkah terakhir yakni merancang mekanisme pengawasan dan tahapan evaluasi kerja tidak dilakukan karena keterbatasan data. Dalam penentuan kriteria nilai-nilai penting, yakni mengacu pada ketentuan Undang-undang Cagar Budaya No.11 tahun 2010 yang menerangkan bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Pada tahap analisis, digunakan analisis yang diperoleh dari penggabungan analisis nilai-nilai penting Situs Cagar Budaya (eksisting) dan analisis potensi ancaman (prediksi) yang dapat mengancam keberadaan Situs Cagar Budaya di Pulau Serangan. Dalam analisis nilai penting Situs Cagar Budaya, diambil 3 sampel nilai penting yaitu nilai penting sejarah, nilai
16
penting ilmu pengetahuan, dan nilai penting kebudayaan. 3 sampel nilai penting diambil mengacu pada pendapat Tanudirjo (2004: 6-7) yang berhasil membagi kriteria nilai penting ke dalam 3 bagian, yakni nilai penting sejarah, nilai penting ilmu pengetahuan, dan nilai penting kebudayaan. Dalam analisis nilai-nilai penting, dideskripsikan nilai-nilai penting yang terdapat dari masing-masing Situs Cagar Budaya di Pulau Serangan secara kualitatif. Dalam variabel penentuan nilai penting Cagar Budaya, maka diacu pada kriteria nilai penting menurut Tanudirjo (2004: 6-7), yakni : a. Nilai Penting Sejarah, jika sumberdaya mampu : 1. Memberikan gambaran mengenai kejadian maupun peristiwa penting yang pernah terjadi di masa lampau, baik itu peristiwa pada masa prasejarah maupun sejarah. 2. Menghadirkan tokoh-tokoh sejarah maupun karya dari tokoh- tokoh sejarah yang terkemuka dalam suatu bidang tertentu. 3. Mendeskripsikan tahapan perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, atau dapat mewakili salah satu tahapan penting tersebut, baik itu penemuan baru, munculnya ragam baru, maupun munculnya penerapan teknologi baru. b. Nilai Penting Ilmu Pengetahuan, dapat terpenuhi jika sumberdaya budaya berpotensi untuk menghadirkan penelitian sehingga diharapkan mampu menjawab masalahmasalah dalam bidang keilmuan tertentu, antara lain : 1. Bidang keilmuan arkeologi, apabila sumberdaya budaya dapat menjelaskan sejarah dan proses budaya masa lampau, sehingga dapat merekonstruksi kehidupan manusia pada masa lampau.
17
2. Bidang keilmuan antropologi, apabila sumberdaya budaya dapat memberikan gambaran pengetahuan mengenai perubahan budaya, sejarah adaptasi hingga evolusi ragawi di suatu daerah. 3. Bidang keilmuan sosial, apabila sumberdaya budaya dapat memberikan gambaran mengenai kehidupan sosial masyarakat di suatu daerah, baik itu pola komunikasi sosial, interaksi sosial, dan struktur sosial yang berlangsung di suatu daerah atau komunitas tertentu. 4. Bidang keilmuan arsitektur dan Teknik Sipil, apabila sumberdaya budaya dapat memberikan pemahaman mengenai teknik rancang bangun bangunan, kajian penggunaan bahan bangunan hingga ketrampilan dalam mendesain suatu bangunan. 5. Bidang llmu kebumian, apabila sumberdaya budaya mampu untuk untuk memberikan pemahaman mengenai prinsip-prinsip dalam bidang ilmu kebumian, baik itu geologi, geomorfologi, maupun geodesi. c. Nilai Penting Kebudayaan, suatu sumberdaya budaya dapat dikatakan memenuhi kriteria nilai penting kebudayaan jika memenuhi 3 unsur yakni : 1. Etnik, artinya sumberdaya budaya mampu untuk menghadirkan pemahaman mengenai latarbelakang kehidupan sosial, sistem kepercayaan, dan mitologi yang dijadikan bagian dari jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu. 2. Estetik, jika suatu sumberdaya budaya memiliki unsur keindahan, baik itu seni hias, seni rupa, seni bangun, hingga bentuk kesenian lainnya. Selain itu aspek estetik juga menyinggung mengenai keserasian antara bentang alam dan karya budaya (saujana budaya) sehingga dapat dijadikan sumber inspirasi dalam menghasilkan karya-karya budaya yang bermanfaat di masa kini maupun di masa depan. 3. Publik, artinya suatu sumberdaya budaya mampu dikembangkan sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat, khususnya mengenai sejarah masa lampau sehingga
18
dapat menyadarkan tentang keberadaan manusia sekarang. Selain itu aspek publik juga bermanfaat apabila suatu sumberdaya budaya berpotensi untuk dijadikan tempat rekreasi maupun tempat wisata sehingga kehadiran sumberdaya budaya dapat menambah penghasilan masyarakat. Identifikasi mengenai potensi ancaman terhadap keberadaan situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan juga turut didesripsikan setelah analisis nilai-nilai penting dari situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan berhasil diidentifikasi. Dalam mengidentifikasi potensi ancaman yang disebabkan oleh dampak reklamasi Teluk Benoa, maka dibagi golongan tingkat ancaman ke dalam dua jenis, yakni ancaman fisik dan ancaman sosial budaya. Dalam Nur (2009: 91-92) dijelaskan bahwa terdapat dua jenis ancaman terhadap sumberdaya arkeologi, yaitu ancaman alam (natural risk) dan ancaman yang disebabkan oleh manusia (human-made risk) atau yang lebih akrab disebut ancaman sosial budaya. Dalam penelitian, diidentifikasi tingkat fisik dan tingkat ancaman sosial budaya secara kualitatif, yakni dijelaskan potensi ancaman secara deskriptif tanpa angka dan statistik. Berikut adalah sumber-sumber ancaman terhadap keberadaan situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan sebagai dampak dari reklamasi Teluk Benoa : a. Ancaman yang disebabkan oleh faktor fisik : 1. Penggenangan dan banjir di hiterland yang disebabkan oleh peristiwa backwater. Pulau Serangan yang merupakan daerah perairan Teluk Benoa juga mengalami ancaman apabila Reklamasi Teluk Benoa jadi dilakukan. Reklamasi perairan Teluk Benoa akan secara langsung mengurangi volume tampungan banjir. Saat ini sebelum direklamasi, debit air di Teluk Benoa pada saat pasang yakni 2 m dengan rentang pasang surut harian 2.6 m sehingga sebagian besar wilayah Teluk benoa tidak digenangi air laut (Sudiarta dkk.,
19
2013: 5-17). Apabila reklamasi jadi dilakukan maka debit air yang ada di teluk akan sama, sementara volume tampungan di dalam teluk berkurang. Hal tersebut dapat memicu terjadinya banjir di wilayah Teluk Benoa termasuk juga Pulau Serangan sehingga dapat mengancam keberadaan situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan. 2. Perubahan konteks keruangan di Pulau Serangan yang disebabkan oleh pemanfaatan ruang di Pulau Serangan. Melalui Perpres No. 51 tahun 2014 yang mengubah status kawasan konservasi Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum, di mana wilayah Pulau Serangan masuk ke dalam kawasan Teluk Benoa. Hal tersebut mengancam keberadaan situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan karena tidak menutup kemungkinan bahwa kawasan Pulau serangan akan dijadikan lokasi baru bagi penambahan infrastruktur pariwisata, seperti hotel, cafe, dan villa. Untuk itu, diperlukan upaya pelestarian bagi keberadaan Cagar Budaya di Pulau Serangan.
b. Ancaman karena faktor sosial budaya : 1. Lunturnya nilai-nilai tradisi masyarakat Bali di Pulau Serangan sebagai akibat dari gencarnya pembangunan di Bali (Artadi,1993: 68), khususnya dengan adanya reklamasi Teluk Benoa yang secara tidak langsung dapat mengancam nilai-nilai tradisional dari keberadaan situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan. 2. Berkembangnya gaya hidup masyarakat Bali yang konsumerisme dan suka menjual tanah warisan leluhurnya. Seiring dengan berkembangnya kawasan Teluk Benoa menjadi kawasan pemanfaatan umum, maka tentu akan berdampak pada kemajuan pembangunan. Hal tersebut juga berdampak pada kenaikan harga tanah, sehingga akan sangat berbahaya apabila areal tanah di sekitar situs-situs cagar
20
budaya di Pulau Serangan diminati oleh investor untuk menanamkan hotel, apartement, dan cafe. Beranjak dari hal tersebut, apabila identifikasi nilai penting dan identifikasi potensi ancaman berhasil dilakukan, maka selanjutnya dilakukan analisis komprehensif dari penggabungan kedua sampel tersebut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan strategi pelestarian Kawasan Cagar Budaya yang paling tepat diterapkan di Pulau Serangan. Strategi yang diperoleh tersebut merupakan hasil strategi yang dapat mewakili keberadaan dari masingmasing Situs Cagar Budaya. 4 Kesimpulan Kesimpulan berisi mengenai konklusi dari tujuan penelitian, yaitu mengenai Strategi Pelestarian Cagar Budaya di Pulau Serangan Bali, yang berisi rekomendasi bagi para pihak pemangku kebijakan (stakeholders) dalam menentukan model pelestarian Cagar Budaya berbasis kawasan.
21
Bagan Alir Penelitian
Pengumpulan Data
Data Primer : -
-
Data Sekunder :
Survei : Data Situs-situs cagar budaya yang terdapat di Pulau Serangan. Wawancara : Gambaran mengenai latar belakang dan perkembangan sosial budaya masyarakat di Pulau Serangan. Ploting Situs : Ploting sebaran Situs-situs cagar budaya di Pulau Serangan.
-
Identifikasi Nilai Penting Situs Cagar Budaya 1. Nilai penting sejarah. 2. Nilai penting ilmu pengetahuan. 3. Nilai penting kebudayaan.
Laporan Penelitian Peta Sebaran Situs di Pulau Serangan Jurnal dan buku
Undang-Undang Cagar Budaya No.11 Tahun 2010 Perda Bali No. 16 Tahun 2009 Perpres No. 45 Tahun 2011
Identifikasi Potensi Ancaman Fisik 1. Potensi banjir di kawasan teluk benoa. 2. Perubahan konteks keruangan.
Identifikasi Potensi Ancaman Sosial Budaya 1. Lunturnya nilai tradisi Bali. 2. Berkembangnya gaya hidup konsumerisme
Analisis Nilai-Nilai Penting dan Analisis Potensi Ancaman (fisik dan sosial budaya) di Setiap Situs Cagar Budaya.
Menghasilkan Strategi Pelestarian Kawasan Cagar Budaya Pulau Serangan