I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan
sumberdaya alam, terutama dari hasil pertanian. Sektor pertanian menjadi sektor penting sebagai penyedia input bagi sektor lain, sehingga sektor pertanian dikatakan berpengaruh dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka Indonesia mulai mencanangkan masa depan menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian akan semakin kuat. Sektor perkebunan merupakan bagian dari sektor pertanian yang dianggap pertumbuhannya paling konsisten jika dilihat dari hasil produksi, luas areal lahan, dan produktivitasnya. Sektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB). Berdasarkan harga yang berlaku, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang mendesak, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. Menurut BPS (2011), tanaman perkebunan Indonesia mampu menghasilkan 153 884.70 miliar rupiah terhadap PDB Indonesia, sedangkan untuk tenaga kerja sektor ini mampu menyerap 39 328 915 tenaga kerja. Beberapa komoditas perkebunan yang dianggap penting di Indonesia, seperti: karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu merupakan komoditas unggulan yang menyumbang devisa bagi negara secara rutin. Kelapa sawit, karet dan kakao tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan tanaman
perkebunan lainnya dengan laju pertumbuhan lebih dari lima persen per tahun. Pertumbuhan yang pesat dari ketiga komoditas tersebut pada umumnya berkaitan dengan tingkat keuntungan pengusahaan komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan areal komoditas tersebut guna meningkatkan jumlah produksi. Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia, yakni sebagai penghasil devisa negara, penyedia lapangan kerja, mendorong pengembangan agribisnis dan agroindustri, karena kakao dianggap sebagai salah satu komoditas unggulan subsektor perkebunan dari 15 komoditas unggulan nasional yang dicanangkan untuk dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia karena ekspor kakao Indonesia mampu membantu untuk meningkatkan devisa Indonesia, hal ini dibuktikan dengan mampunya kakao sebagai penyumbang devisa Indonesia peringkat keempat setelah kelapa sawit, karet, dan kelapa. Indonesia yang juga dikenal sebagai negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia turut berperan aktif dalam ekspor komoditas kakao dunia karena Indonesia menyumbang sebesar 15 persen kakao untuk dunia. (Direktorat Jendral Perkebunan , 2010). Indonesia sebagai negara pengekspor dituntut untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan pasar internasional sehingga sering mengesampingkan permintaan dalam negeri sendiri. Konsumsi kakao dalam negeri hanya berkisar sepertiga dari total produksi kakao Indonesia. (Direktorat Jendral Perkebunan, 2010). Kakao merupakan komoditas yang paling banyak dikelola oleh rakyat, pada periode 1987-2009, luas areal kakao PR bertambah dengan laju rata-rata sebesar
2
39.46 persen per tahun sedangkan pada tahun 1967-1986 rata-rata pertumbuhan luas areal kakao PR hanya sebesar 21.56 persen per tahun. Sebaliknya luas areal kakao PBN dan PBS tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama periode 1987-2009, namun cukup besar peningkatannya pada periode sebelumnya yakni pada tahun 1967-1986 yang mana besarnya masing-masing adalah 23.59 persen dan 37.97 persen. Tabel 1 akan menunjukkan bahwa periode empat tahun terakhir yakni 20052008, luas areal kakao PR dan PBN mengalami peningkatan masing-masing sebesar 7.14 persen dan 11.06 persen, sementara luas areal kakao PBS relatif tidak mengalami peningkatan luas areal yaitu sebesar 0.36 persen Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Kakao Indonesia Menurut Status Penguasaannya Tahun 2005-2008 Tahun
PR Luas (Ha)
Growth (%)
PBN Luas Growth (Ha) (%)
Luas (Ha)
PBS Growth (%)
Total Luas Growth (Ha) (%)
2005
1 081 102
-
38 295
-
47 649
-
1 167 046
-
2006
1 219 633
12.81
48 930
27.77
52 257
9.67
1 320 820
13.18
2007
1 272 782
4.36
57 343
17.19
49 155
(5.94)
1 379 279
4.43
2008
1 326 784
4.24
50 584
(11.79)
47 848
(2.66)
1 425 216
3.33
2009* Ratarata
1 372 705
3.46
55 165
9.06
47 473
(0.78)
1 475 343
3.52
6.22
10.56
0.07
6.11
Keterangan: * = angka sementara Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010
Seiring dengan perkembangan luas areal maka produksi kakao Indonesia juga terus mengalami peningkatan dari tahun 1967-2009 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 18.15 persen. Peningkatan produksi yang cukup signifikan terjadi pada PR periode 1987-2009 hingga mencapai 90.19 persen. Sementara itu, produksi kakao untuk PBN dan PBS juga terus mengalami peningkatan walaupun dalam kuantitas yang relatif kecil. Berikut ini produksi kakao periode 2000-2009 akan disajikan dalam tabel 2.
3
Tabel 2. Produksi kakao di Indonesia Menurut Status Pengusahaan Tahun 2000-2009 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009*
PR 363628 476924 511379 634877 636783 693701 702207 671370 740681 694783
PBN 34790 33905 34083 32075 25830 25494 33795 34643 31130 32588
PBS 22724 25975 25693 31864 29091 29633 33384 33993 31783 31070
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010
Tingginya permintaan kakao turut meningkatkan konsumsi kakao di Indonesia. Menurut BPS (2010), konsumsi kakao Indonesia dibedakan atas konsumsi cokelat instan dan cokelat bubuk. Perkembangan konsumsi kedua jenis cokelat tersebut dari tahun 1981-2008 relatif berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan yaitu masing-masing sebesar 35.71 persen untuk konsumsi cokelat instan dan 17.31 persen untuk konsumsi cokelat bubuk. Konsumsi cokelat bubuk sangat berfluktuasi dan tertinggi terjadi pada tahun 1996 yang mencapai 20.8 gr/kapita. Perkembangan konsumsi cokelat instan juga berfluktuasi dan cenderung meningkat sejak tahun 2004, hingga pada akhirnya tahun 2005 mencapai 31.2 gr/kapita, kemudian sejak tahun 2006 konsumsi cokelat instan berfluktuasi cenderung menurun hingga pada tahun 2008 hanya mencapai 23.4 gr/kapita. Pada tabel 3akan ditunjukkan besarnya konsumsi cokelat instan dan cokelat bubuk masyarakat Indonesia dari tahun 1981 hingga tahun 2008.
4
Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Cokelat Instan dan Cokelat Bubuk di Indonesia Tahun 1981-2008 Cokelat Instan Cokelat Bubuk Tahun Konsumsi Pertumbuhan Konsumsi Pertumbuhan (gr/ kapita) (%) (gr/ kapita) (%) 1981 10.4 1984 5.2 -50 1987 5.2 0 1990 5.2 0 1993 10.4 100 1996 20.8 100 1999 7.8 5.2 -75 2002 15.6 100 10.4 100 2003 7.8 -50 5.2 -50 2004 15.6 100 10.4 100 2005 31.2 100 10.4 0 2006 15.6 -50 10.4 0 2007 23.4 50 10.4 0 2008 23.4 0 10.4 0 Rata-rata 35.71 17.31 Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010
Perkembangan harga domestik kakao juga ikut mengalami peningkatan sejak tahun 1992 hingga 2008 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 24.64 persen. Peningkatan
Harga domestik (Rp)
yang cukup tajam terjadi pada tahun 1998 hingga mencapai 203.65 persen. 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010
Gambar 1. Perkembangan Harga Domestik Kakao Indonesia Tahun 1992-2008
5
Disisi lain, pada kenyataannya harga kakao ini masih dianggap rendah dibanding komoditas sawit dan karet, sehingga banyak perkebunana kakao yang dikonversi menjadi sawit maupun karet. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa butuh adanya perbaikan kinerja industri pada kakao. Menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti, 2011), harga kakao pada tahun 2011 menurun dari tahun 2010 yaitu dari 3 400 dolar AS per ton menjadi 2 200 dolar AS per ton. Hal ini juga diakibatkan dari nilai ekspor yang menurun dari tahun 2010 ke tahun 2011 sebesar 40 persen, yakni dari 430 000 ton menjadi 207 000 ton, sedangkan produksi kakao terus meningkat. Hal ini dipengaruhi karena terjadinya krisis eropa pada tahun 2011, sedangkan tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah Eropa. Selain itu pada penutupan perdagangan di Bursa ICE, harga kakao terus melemah karena prediksi bahwa permintaan terhadap komoditas pangan akan mengalami penurunan. Harga kakao berjangkan untuk kontrak pengiriman bulan September mengalami penurunan sebesar 12 dolar AS (0.52 persen) dan ditutup pada posisi 2 307 dolar AS per ton. Penurunan harga yang terjadi pada kakao ini diprediksi karena permintaan akan komoditas pangan, termasuk kakao ikut menurun sehingga berimbas pada pukulan harga yang melemah. (Kompas, 2012) Namun, bagi industri pengolahan kakao masalah harga yang dipaparkan diatas tidak menjadi satu hambatan yang menakutkan dalam pengolahan kakao. Hal ini jelas terlihat kontras karena menurut BPS (2011), industri masih menjadi konsumen terbesar kakao. Hal ini didukung karena industri lebih menghasilkan nilai tambah yang lebih. Menurut Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI, 2009) dalam Rahmanu (2009) menyatakan bahwa perusahaan pengolahan kakao yang ada di Indonesia berjumlah 28 perusahaan, namun hingga sampai tahun 2006 hanya ada
6
15 perusahaan yang tersedia dan dari 15 perusahaan pengolahan kakao hanya 10 perusahaan saja yang melakukan aktivitas produksi dan sisanya lima perusahaan lagi tidak melakukan aktivitas produksi. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi pengolahan kakao di Indonesia belum berkembang dengan baik, namun pada kenyataannya permintaan akan kakao terus mengalami peningkatan baik di pasar domestik maupun pasar intenasional. Menurut data BPS (2011), terdapat beberapa perusahaan baru yang masuk dalam industri kakao. Masuknya perusahaan baru dalam pengolahan kakao menggambarkan bahwa produksi kakao Indonesia mengalami peningkatan dan menjadi perhatian yang terus dikembangkan. Daerahdaerah yang menjadi sentra pemasok kakao juga terus mengalami peningkatan produksi sebagai penyumbang kakao Indonesia. Industri dinilai mampu memperbaiki kondisi yang tidak stabil dalam perkebunan kakao. Melalui peran industri maka dapat dilihat bagaimana persaingan kakao secara industrialisasi. Selain itu dari struktur industri yang tercipta dapat ditentukan bagaimana kinerja industri yang tepat dan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kinerja dari masing-masing industri. Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan adanya pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP). Pendekatan SCP ini mampu menjelaskan bagaimana langkah yang semestinya diambil, karena dengan mengetahui struktur, perilaku, dan kinerja pasar maka dapat diketahui kebijakan mana yang paling tepat untuk dilakukan. Antara struktur, perilaku, dan kinerja industri yang saling berhubungan satu sama lain dan ketiga hal ini akan saling mempengaruhi. Oleh karena itu penelitian dengan pendekatan SCP ini penting untuk dilakukan.
7
1.2.
Rumusan Masalah Kakao merupakan salah satu komoditas sektor perkebunan yang memiliki
peran penting dalam sektor perekonomian Indonesia. Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2010), kakao merupakan salah satu komoditas unggulan dalam subsektor perkebunan yang dicanangkan untuk dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia karena kakao Indonesia mampu meningkatkan devisa negara. Potensi kakao sebagai salah satu komoditas unggulan menyebabkan tingginya permintaan akan kakao, tingginya permintaan yang meningkat setiap tahun diiringi dengan meningkatnya konsumsi kakao di Indonesia. Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2010), permintaan kakao untuk tahun 2010-2012 diprediksi akan mengalami peningkatan. Selama periode 19692009, ekspor total Indonesia mencapai lebih dari 70 persen dari total produksinya, dan sisanya digunakan untuk konsumsi dalam negeri dengan industri sebagai konsumen terbesar dalam konsumsi kakao. Hal ini disebabkan karena sangat elastisnya harga ekspor rill kakao dalam mempengaruhi kakao nasional. Sedangkan yang dikonsumsi oleh masyarakat dari konsumsi industri hanya sebesar 23.4 gr/kapita cokelat instan dan 10.4 gr/kapita cokelat bubuk pada tahun 2008. Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) pada tahun 2006, dari total kapasitas terpasang industri pengolahan nasional yang mencapai 300 ribu ton, pemanfaatan kapasitas produksinya baru 50 persen saja atau sekitar 150 ribu ton. Berikut proyeksi permintaan kakao Indonesia tahun 2010-2012 akan dipaparkan pada tabel 4.
8
Tabel 4. Proyeksi Permintaan Kakao Indonesia, 2010-2012 No Tahun Ekspor Industri Total permintaan (Ton) (Ton) (Ton) 1 2010 573 378 150 000 762 378 2 2011 596 503 150 000 746 503 3 2012 616 629 150 000 766 629 Rata-rata pertumbuhan (%) 0.43 0.00 0.73 Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010
Selama periode tahun 2010-2012, permintaan kakao diproyeksikan akan naik sebesar 0.73 persen. Kenaikan ini disebabkan karena volume ekspor 0.43 persen. Pada tahun 2010 total permintaan biji kakao kering diproyeksikan mencapai 726.38 ribu ton, kemudian naik menjadi 746.50 ribu ton pada tahun 2011 dan diproyeksikan naik kembali pada tahun 2012 menjadi sebesar 766.63 ribu ton. Disamping karena faktor tingginya permintaan yang disebutkan diatas, industri pengolahan kakao di Indonesia juga turut mengambil peran dalam mengolah kakao dalam negeri. Adanya industri yang mengelola kakao karena kakao memiliki potensi untuk bersaing sebagai komoditas perkebunan, selain itu kakao juga mampu menghasilkan keuntungan dan sangat besar peluangnya untuk dijadikan sebagai produk berbahan dasar kakao yang lebih baik. Tingginya permintaan produk berbahan dasar kakao ini dinilai mampu menghasilkan keuntungan yang lebih, sehingga tidak sedikit perusahaan yang masuk kedalam industri pengolahan kakao ini. BPS (2011) mempublikasi bahwa jumlah perusahaan yang masuk dari tahun 2000-2009 cenderung berfluktuatif. Jumlah perusahaan yang masuk dalam industri pengolahan kakao tertinggi terjadi pada tahun 2002, yaitu sebanyak 34 perusahaan, sedangkan jumlah perusahaan terendah terdapat pada tahun 2009. Pada tabel 5 akan dicantumkan banyaknya jumlah perusahaan yang masuk dalam industri pengolahan kakao.
9
Tabel 5. Jumlah Perusahaan yang Masuk Dalam Industri Kakao, 2000-2009 Tahun Jumlah Perusahaan Tahun Jumlah Perusahaan 2000 24 2005 31 2001 26 2006 25 2002 34 2007 18 2003 25 2008 18 2004 17 2009 15 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Masuk dan keluarnya jumlah perusahaan ini membuktikan bahwa persaingan akan kakao Indonesia cukup kompetitif, semakin sedikit jumlah perusahaan dalam suatu industri menunjukkan bahwa tingginya hambatan untuk masuk dalam industri, selain itu tingginya hambatan juga menggambarkan kinerja yang baik dalam suatu industri. Sedangkan mudahnya suatu perusahaan baru untuk masuk ke dalam industri kakao terjadi karena mudahnya memperoleh informasi, rendahnya hambatan masuk indusri, banyaknya penjual, dan produk yang homogen. Hal ini menjadi satu perhatian karena akan meninmbulkan suatu struktur pada industri kakao Indonesia yang berdampak pada penetapan harga (perilaku industri) dan kinerja industri kakao dalam negeri. Namun untuk memasuki suatu industri kakao tidaklah mudah, industri kakao baru harus dapat memahami kondisi pasar yang ada. Struktur industri yang tercipta tidak dapat dihindari, namun untuk menciptakan suatu persaingan yang diinginkan dalam industri dapat melakukan perbaikan perilaku dan kinerja industri dengan meninjau struktur industri yang telah tercipta, karena ketiga hal ini memang sangat erat hubungannya. Pada akhirnya penelitian ini akan melihat bagaimana persaingan kakao dari segi industri dengan melakukan analisis struktur, perilaku, dan kinerja dari masing-masing industri. Dari
10
rumusan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi perumusan masala dalam penelitian ini yaitu: 1.
Bagaimana struktur industri kakao di Indonesia?
2.
Bagaimana perilaku industri kakao di Indonesia?
3.
Bagaimana kinerja industri kakao yang ada di Indonesia?
4.
Bagaimana hubungan struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja industri kakao di Indonesia? Dari keempat rumusan masalah ini penulis berharap dapat mengetahui hasil
yang menjadi penelitian penulis sehingga dapat memperoleh dan menyajikan hasil yang tepat. 1.3.
Tujuan Penelitian Melihat dari rumusan masalah yang telah dipaparkan maka tujuan penelitian
dilakukan untuk menjawab rumusan masalah, yang akan dipaparkan dalam empat poin yaitu: 1.
Mengetahui struktur industri kakao yang ada di Indonesia
2.
Mengetahui perilaku industri kakao yang ada di Indonesia
3.
Mengetahui kinerja industri kakao yang ada di Indonesia
4.
Mengetahui hubungan struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao, serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja industri kakao di Indonesia Secara singkat penelitian ini akan membahas tentang struktur, perilaku, dan
kinerja industri kakao yang ada di Indonesia sehingga pada akhirnya dapat memberi kebijakan yang paling tepat.
11
1.4.Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca, pelaku usaha/industri kakao, maupun stakeholder yang berpartisipasi di dalamnya sehingga dapat mengambil kebijakan yang sesuai, maka diharapkan dari penelitian ini dapat : 1.
Memberikan informasi mengenai persaingan kakao dari segi industri melalui pendekatan struktur, perilaku, dan kinerja industri (SCP).
2.
Membantu industri kakao dalam mengambil keputusan yang tepat dengan melihat aspek SCP.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas mengenai struktur, perilaku, dan kinerja industri
kakao di Indonesia dengan data yang digunakan bersifat time series pada tahun 2000-2009 melalui pendekatan SCP. Dalam penelitian ini akan dibatasi dengan hasil olahan kakao menjadi cokelat, dalam arti penelitian ini lebih mengkerucutkan pada cokelat. Data yang diperoleh untuk melanjutkan penelitian ini berasal dari kode industri KBLI 15314 yaitu industri pengupasan, pembersihan, dan pengeringan kakao menjadi konsumsi cokelat. Adapun penelitian ini dilakukan untuk melihat bahwa kakao Indonesia juga bersaing didalam negeri. Disamping itu penelitian mengenai SCP ini mampu melihat persaingan yang terjadi didalam industri dengan melihat bagaimana struktur dan perilakunya. Dan melalui kinerja mampu melihat keuntungan yang diperoleh sehingga dapat memprediksi produksi cokelat
kedepannya.
12