ADAPTASI MASYARAKAT DAYAK BAKUMPAI TERHADAP ANOMALI DAN PERUBAHAN IKLIM
I.
PERUBAHAN DAN ANOMALI IKLIM
1.1. Definisi Secara harpiyah perubahan iklim menurut IPCC (2001) adalah perubahan yang merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik dalam jangka waktu yang panjang, minimal 30 tahun. Pengertian lain dari perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang iklim dalam jangka waktu berdekade ke jutaan tahun. Perubahan iklim bisa menunjukkan perubahan dalam rata-rata kondisi iklim, dapat mennyebabkan perubahan iklim yang berkondisi ekstrim, atau setiap bagian dalam iklim. Dengan kata lain perubahan iklim merupakan perubahan musiman jangka panjang dalam pola suhu, tetesan air, kelembaban, angin dan musim. Pengaruhnya, periodesasi musim hujan dan musim kemarau semakin kacau. Periode musim penghujan (November-Maret) dan kemarau (April-Oktober) lama berlaku telah berubah. Kini, musim kemarau bisa lebih panjang atau sebaliknya Sedangkan anomali iklim merupakan ketidakteraturan iklim yang menyebabkan terjadinya variasi, abnormalitas dan inkonsistensi. Pengertian lain adalah keanehan iklim atau cuaca, situasi iklim/cuaca yang menyimpang dari sebelumnya. Anomali iklim berdampak pada petani. Mereka tidak mampu memprediksi kapan waktu yang tepat untuk memulai menanam. Mereka menanam sebagaimana pola tanam biasanya meski resikonya rugi atau gagal panen.
1.2. Penyebab Perubahan dan Anomali Iklim Menurut Susandi (2010) perubahan iklim yang terjadi di akibatkan karena bumi memiliki temperatur tertentu sehingga gas-gas rumah kaca yang semakin meningkat menyebabkan radiasi matahari yang di pantulkan ke bumi tidak merata dan tidak tertangkap oleh lapisan gas rumah kaca. Gas rumah kaca (GRK) sendiri dihasilkan dari kegiatan manusia seperti kegiatan industri, kendaraan bermotor, kebakaran hutan, konversi lahan dsb. Beberapa macam/jenis gas paling utama yang termasuk greenhouse gasses alias gas rumah kaca adalah: • Carbon dioxide (CO2); • Methane (CH4); • Nitrous oxide (N2O); • Hydrofluorocarbons (HFCs); Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 1
• Perfluorocarbons (PFCs); and • Sulphur hexafluoride (SF6)
1.3. Dampak Perubahan Iklim Dampak yang akan terjadi akibat dari perubahan iklim adalah : a.
Kenaikan temperatur sehingga bumi semakin panas dan mencairnya es di kutub
b.
Peningkatan curah hujan sehingga sering terjadi banjir.
c.
Kenaikan permukaan air laut
d.
Merubah ketahanan pangan dan produktivitas pertanian
e.
Degradasi keanekaragaman hayati
II. KONSEP ADAPTASI 2.1. Definisi Adaptasi Berdasarkan sudut pandang ekologi manusia, menurut Iskandar (2009) adaptasi merupakan suatu strategi penanggulangan yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya untuk merespon berbagai perubahan ekosistem atau lingkungan biofisik dan sistem sosial. Pengertian lain mengenai konsep adaptasi dari sudut pandang manusia secara luas menurut Mazali (2003) diartikan sebagai perilaku manusia dalam mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki dalam menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan tindakan yang tepat guna sesuai dengan lingkungan sosial, kultural, ekonomi dan ekologis di tempat dimana mereka hidup. Adaptasi merupakan proses yang terjadi secara alamiah yang dilakukan oleh manusia dan makhluk hidup lain dalam habitat dan ekosistemnya sebagai sebuah reaksi atas perubahan yang terjadi. Sedangkan dalam hubungannya dengan perubahan iklim, Menurut definisi UNDP yang dikutip UNEP (2008), adaptasi perubahan iklim adalah “a process by which strategies aiming to moderate, cope with, and take advantage of the consequences of climate events are enhanced, developed and implemented.” Laporan tersebut juga menyertakan empat prinsip dalam proses adaptasi perubahan iklim yaitu menempatkan adaptasi dalam konteks pembangunan, membangun pengalaman beradaptasi untuk mengantisipasi variabilitas perubahan iklim, memahami bahwa adaptasi berlangsung dalam level yang berbeda, terkhusus di level lokal dan memahami bahwa adaptasi adalah proses yang terus berjalan. Adaptasi merupakan upaya makhluk hidup yang mengarah pada persiapan atau penyesuaian diri terhadap dampak perubahan iklim yang sedang terjadi. Adaptasi menjadi Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 2
semakin penting artinya dan sangat perlu untuk dilakukan karena upaya melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim tidak cukup. Perubahan iklim tidak dapat sepenuhnya dihindari dan berbagai kebijakan terkait dengan mitigasi memerlukan waktu untuk dapat berjalan dengan efektif. Individu, masyarakat maupun pemerintah perlu menyadari adanya perubahan iklim dan mempersiapkan berbagai strategi untuk beradaptasi, termasuk strategi yang bersifat antisipatif
2.2. Bentuk dan Macam Adaptasi Menurut Soemarwoto (2004) dan Iskandar bentuk dan macam adaptasi yang dilakukan ada empat (4) macam, antara lain adalah : a.
Adaptasi morfologi
b.
Adaptasi Fisiologi
c.
Adaptasi Tingkah Laku, dan
d.
Adaptasi Budaya (kultural)
2.3. Strategi Adaptasi Konsep-konsep kunci dalam kajian adaptasi sosial budaya adalah perilaku adaptif (adaptive behavior), tindakan strategis (strategic action) dan strategi adaptasi (adaptive strategy). Perilaku adapatif menunjukkan bentuk perilaku menyesuaikan cara-cara pada tujuan, mencapai kepuasan, melakukan pilihan-pilihan secara aktif maupun pasif. Tindakan strategis lebih spesifik menunjuk pada perilaku aktif yang dirancang untuk mencapai tujuan. Sedangkan strategi adaptasi menunjuk pada tindakan spesifik yang dipilih oleh individu dalam proses pengambilan keputusan dengan suatu derajat keberhasilan yang dapat diperkirakan (Bates 2001) Sementara itu menurut Moran (1982) yang dinamakan strategi adaptasi (adaptive strategy) secara umum dapat diartikan sebagai rencana tindakan yang dilakukan oleh manusia baik secara sadar ataupun tidak sadar, baik secara eksplisit maupun implisit dalam merespon berbagai kondisi internal atau eksternal.
III. ADAPTASI MASYARAKAT DAYAK BAKUMPAI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM 3.1. Sejarah dan Perkembangan Dayak Bakumpai Suku Bakumpai atau Dayak Bakumpai adalah suku asli yang mendiami sepanjang tepian daerah aliran sungai Barito di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yaitu Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 3
dari kota Marabahan, Barito Kuala (Kalimantan Selatan) sampai kota Puruk Cahu, Murung Raya (Kalimantan Tengah). Suku Bakumpai berasal bagian hulu dari bekas Distrik Bakumpai sedangkan di bagian hilirnya adalah pemukiman orang Barangas (Baraki). Sebelah utara (hulu) dari wilayah bekas Distrik Bakumpai adalah wilayah Distrik Mangkatip (Mengkatib) merupakan pemukiman suku Dayak Bara Dia atau Suku Dayak Mangkatip. Suku Bakumpai maupun suku Mangkatip merupakan keturunan suku Dayak Ngaju dari Tanah Dayak. Menurut situs "Joshua Project" suku Bakumpai berjumlah 41.000 jiwa. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Suku Dayak Bakumpai Jumlah populasi: kurang lebih 41.000. Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan adalah Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan: 20.609 (2000), Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur. Populasi suku Bakumpai di Kalimantan Selatan pada sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik berjumlah 20.609 jiwa. Di Kalimantan Selatan, suku Bakumpai terbanyak terdapat di kabupaten Barito Kuala sejumlah 18.892 jiwa (tahun 2000). Kabupaten yang terdapat suku Bakumpai: Barito Kuala (kecamatan Bakumpai, Tabukan dan Kuripan), Barito Selatan, Barito Utara, Murung Raya, Katingan, berupa enclave Sebagian suku Bakumpai bermigrasi dari hulu sungai Barito menuju hulu sungai Mahakam, yaitu ke Long Iram, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Hampir seluruh suku Bakumpai beragama Islam dan relatif sudah tidak nampak religi suku seperti pada kebanyakan suku Dayak (Kaharingan). Upacara adat yang berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan lama, misalnya ritual "Badewa" dan "Manyanggar Lebu". Menurut Tjilik Riwut, Suku Dayak Bakumpai merupakan suku kekeluargaan yang termasuk golongan suku (kecil) Dayak Ngaju. Suku Dayak Ngaju merupakan salah satu dari 4 suku kecil bagian dari suku besar (rumpun) yang juga dinamakan Dayak Ngaju (Ot Danum). Mungkin adapula yang menamakan rumpun suku ini dengan nama rumpun Dayak Ot Danum. Penamaan ini juga dapat dipakai, sebab menurut Tjilik Riwut, suku Dayak Ngaju merupakan keturunan dari Dayak Ot Danum yang tinggal atau berasal dari hulu sungai-sungai yang terdapat di kawasan ini, tetapi sudah mengalami perubahan bahasa. Jadi suku Ot Danum merupakan induk suku, tetapi suku Dayak Ngaju merupakan suku yang dominan di kawasan ini. Perbandingan hubungan suku Bakumpai dengan suku Dayak Ngaju, seperti hubungan suku Tengger dengan suku Jawa. Suku Dayak Ngaju merupakan suku induk bagi suku Bakumpai. Suku Bakumpai banyak mendapat pengaruh budaya Banjar dan Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 4
bahasa Banjar. Ada pula yang menamakan bahasa Bakumpai sebagai bahasa Banjar Bakumpai. Dalam penelitian mengenai ragam bahasa Melayu, Bahasa Banjar disebut Bahasa Melayu Banjar dan bahasa Bakumpai disebut Bahasa Banjar Bakumpai. Melihat perbandingan diatas dan kondisi riil yang ada di daerah pemukiman suku Bakumpai di sepanjang sunagi barito, kapuas, katingan dan mahakam, dapat dikatakan bahwa 90% orang bakumpai mengakui bahwa asal musala mereka daru Suku Dayak Ngaju. Tetapi perkembangan sejarah dan agamalah, terutama Agama Islam yang mayoritas mereka peluk, yang menyebabkan mereka lebih suka disebut suku bakumpai saja, tanpa menyebutkan Dayak. hal itu dikarenakan suku dayak yang lain masih memeluk agama tradisi atau agama lainnya. Memang harus diakui, Budaya Banjar dengan ala melayunya sangat besar pengaruhnya didalam mengejewantahkan nilai-nilai religius-social di kalangan orangorang Bakumpai. Hal ini dapat dilihat dari kesamaan praktek keagamaan antara orangorang Bakumpai dan Banjar/ Melayu yang banyak dipengaruhi oleh pemahaman keagamaan ala Syafi’iyah. Kalau orang Banjar mempunyai Martapura sebagai simbolisasi Serambi Mekkah-nya, maka Marabahan yang menjadi simbolisasi Serambi Mekkah-nya orang-orang Bakumpai. Anggapan ini sudah ada sejak zaman uluh bakas batuh (bahari) yang sampai sekarang masih ada, walaupun hanya di kalangan orang-orang Bakumpai tertentu saja. Tingginya tingkat intensitas gesekan budaya antara Melayu dan Bakumpai, selain disebabkan dari kesamaan keyakinan terhadap Islam, juga ditambah dengan dekatnya jarak antara Pusat Melayu Kota Banjarmasin dengan Kota Marabahan yang menjadi “kiblat” daerah-daerah Bakumpai. Sehingga berdasarkan keterangan di atas, Suku Bakumpai adalah suku yang lahir dari proses interaksi dari berbagai suku yang mengitarinya. Katankanlah dalam hal ini Suku Dayak Ngaju dan Suku Banjar/ Melayu. Di samping Suku Bakumpai juga telah memiliki budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis tersendiri yang merupakan sebuah kombinasi dari ciri budaya yang relatif sama dengan budaya Dayak dan budaya Banjar/ Melayu. Selain itu, Suku Bakumpai juga telah mendapat pengakuan identitas suku dari pihak lain. Hal ini dapat dilihat dalam buku yang berjudul “Mencari Indonesia: demografi-politik pasca-Soeharto” (2007), karangan Riwanto Tirtosudarmo. Berdasarkan hal demikian, suku Bakumpai setidaknya sudah mengantongi dua prasyarat untuk dikatakan sebagai kelompok etnik, yaitu adanya pengakuan dari pihak lain dan ciri khas sendiri. Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 5
3.2. Kondisi Geografis dan Klimatologis Masyarakat Dayak Bakumpai Keadaan alam desa Jambu-Baru sebagaimana daerah kabupaten Barito Kuala pada umumnya, merupakan daerah rawa-rawa dan lahan gambut. Tanah di tepi sungai Barito memiliki ketinggian maksimum 5 meter dari permukaan laut. Bentuk morfologi kabupaten Barito Kuala merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0,2 sampai 3 meter dari permukaan laut (Barito Kuala dalam angka 2009). Dataran rendah seperti ini biasanya ditumbuhi oleh pohon galam (Melaleuce cajuputy), purun (Fimristylis) dan kumpai (Scirpus grossus L) oleh orang Bakumpai dikenal dengan istilah padang (Prasodjo dkk, 2004 : 47). Semakin menjauh dari tepi sungai Barito, ketinggian tanah semakin menurun. Kondisi ini membuktikan bahwa dataran rendah menempati wilayah paling luas di daerah desa Jambu-Baru dan desa di sekitarnya. Di pinggir sungai Barito tumbuh berbagai jenis pohon, seperti jingah (Gluta renghas), bungur, jamihing, lanan, dan lain-lain yang merupakan jenis pohon alami atau tumbuh dengan sendirinya. Selain itu, terdapat juga kebun karet, kebun rotan, pohon pisang dan kebun rotan yang merupakan hasil tanaman atau budi daya manusia. Di daerah ini terdapat dataran-dataran rendah yang tersusun oleh endapan aluvium dan endapan rawa (Truman, 2001). Daerah ini terletak pada zona iklim Indo-Australia yang bercirikan suhu, kelembaban, dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Temperatur rata-rata antara 25ºC hingga 27ºC, suhu maksimum 27,5ºC (bulan Oktober) dan suhu minimum 26,5ºC, sedangkan angka rata-rata hujan setiap tahunnya adalah 2,665 mm (Pemerintah Kabupaten Barito Kuala, 2008). Curah hujan tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada bulan Maret dan Desember yaitu sebesar 553,1 dan 483,4 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan September yakni sebesar 54,3 mm (Barito Kuala dalam angka 2009). Daerah gambut sebagai daerah rawa dengan kondisi air mengalami pasang surut yang berdampak kekeringan pada musim kemarau, dan banjir pada musim hujan. Meskipun ketinggian tanah maksimum hanya 5 meter dari permukaan laut, apabila musim kemarau tiba, permukaan tanah akan mengering. Kekeringan di musim kemarau sering menyebabkan kebakaran hutan dan kabut asap tebal. Sebaliknya, ketika musim hujan, bencana banjir rentan menimpa desa Jambu-Baru dan desa-desa sekitarnya karena kondisi tanah tergolong dataran rendah. Banjir sering sekali berlangsung lama meskipun curah
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 6
hujan sudah menurun. Hal ini disebabkan curah hujan yang masih tinggi di daerah hulu yang kemudian berdampak pada daerah hilir. Dilihat dari segi geografis, lahan pertanian petani Bakumpai termasuk kategori rawa pasang surut tipe A, yakni lahan yang selalu terluapi oleh air pada saat pasang besar maupun kecil. Pertanian di lahan rawa pasang surut tipe A merupakan wilayah pertama yang dikembangkan oleh petani setempat. Sejak ratusan tahun silam petani di lahan rawa pasang surut tipe A mengusahakan varietas lokal. Daerah-daerah yang termasuk kategori pasang surut tipe A ini umumnya terletak di pesisir atau di pinggiran sungai Barito (Hidayat, 2010 : 159).
3.3. Strategi dan Pola Adaptasi Masyarakat Dayak Bakumpai 3.3.1. Cara Bertani di Lahan Pasang Surut Dampak perubahan iklim bagi kalangan petani seperti terjadi gagal panen karena tidak bisa memprediksi musim hujan dan kemarau secara tepat, sehingga mempengaruhi aktivitas pertanian. Jika petani mengalami persoalan dengan hasil pertaniannya, dampak yang dirasakan dapat meluas di kalangan masyarakat. Akhir-akhir ini masyarakat kota Banjarmasin mengalami kenaikan harga beras yang cukup tinggi. Padahal, kota Banjarmasin penerima hasil pertanian dari dua kabupaten yang merupakan lumbung padi yakni Banjar dan Barito Kuala. Pertanian di kabupaten Barito Kuala antara lain dilakukan petani Bakumpai yang merupakan bagian dari suku-bangsa Dayak. Padahal selama ini, suku-bangsa Dayak lebih umum dikenal sebagai peladang berpindah bukan pertanian menetap. Pemilihan Lokasi Hal menarik yang dilakukan dalam cara bertani petani Bakumpai di lahan pasang surut di desa Jambu-Baru adalah pemilihan lokasi pertanian yang disebut tana. Sebelum masa penjajahan Jepang, lahan petani Bakumpai berada di sekitar desa Jambu-Baru, yakni berada di hulu, hilir maupun areal belakang kampung. Untuk mencapai lahan pertanian tersebut, petani Bakumpai menggunakan jukung (perahu kecil yang didayung). Lamanya bertani ditempat tersebut paling lama 1 tahun karena adanya pengaruh musim hujan yang menyebabkan lahan terendam lebih lama dan terkadang bisa menyebabkan kegagalan panen. Oleh karena itu kemudian mencari lahan baru. Alasan jauhnya lokasi dari tempat tinggal yang menyebabkan petani Bakumpai sering berpindah lokasi mencari lahan baru, terlebih jaman Jepang walaupun hasil panen Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 7
melimpah di daerah kalteng tetap saja para petani merasa jauh karena harus ditempuh dengan jukung (perahu kecil di dayung) yang akhirnya menemukan tempat di Kecamatan Tabukan Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Alasannya sederhana yaitu faktor jarak yang lebih dekat. Lokasi tepatnya yaitu di Sungai Kambe dan dilakukan sampai sekarang. Dalam menjalankan aktivitas bertani, petani Bakumpai dalam waktu tertentu pergi meninggalkan desa untuk sementara di sungai Kambe. Petani Bakumpai membangun tempat tinggal sementara, yang dinamakan hubung, terbuat dari bahan yang sederhana seperti kayu galam untuk tiang-tiang rumah, dan atap dari kulit galam ataupun dari daun rumbia yang disebut hatap. Di dalam hubung hanya ada dua ruangan, yakni sebagai tempat tidur, sekaligus ruang tamu, serta untuk makan dan tempat untuk memasak atau dapur. Pada tahun 2008, petani Bakumpai membuka lahan pertanian atau tana tersebut di sekitar desa agar dekat dengan pemukiman penduduk. Lahan pertanian dipilih dengan pertimbangan terdapat sungai yang dinamakan Tabukan, sungai ini merupakan salah satu dari beberapa sungai di wilayah desa Jambu-Baru, tapi satu-satunya sungai yang mudah dilalui oleh transportasi kelotok atau ces. Berduyun-duyun masyarakat membuka lahan di lokasi tersebut, apalagi dengan kemudahan dekat dengan desa. Sayangnya, harapan untuk bertani di desa sendiri tidak tercapai. Ketika petani Bakumpai menanam padinya, air pasang datang dalam waktu yang lama sehingga merendam tanaman padi. Beruntung bagi petani Bakumpai yang tidak bergantung pada lahan itu saja. Mereka masih memiliki lahan pertanian di sungai Kambe sehingga meskipun gagal tanam, tapi masih bisa bertani di lahan yang lain
Cara Bertani Dengan Pranatamangsa Masyarakat petani Bakumpai mengenal dua musim (mangsa) yaitu wayah pandang (musim kemarau) dan wayah danum (musim air). Wayah pandang berlangsung antara bulan November hingga April, masa pancaroba pada bulan Mei, sedangkan Wayah danum berlangsung antara bulan Juni hingga Oktober. Perbedaan musim ini akan mempengaruhi aktivitas pertanian yang dilakukan. Sebelum masyarakat bertani terlebih dahulu membuka lahan pertanian. Pertama kali dilakukan adalah mandirik, yakni memotong rumput, menebang pohon hingga lahan menjadi bersih. Masa kerja ini tergantung luasnya lahan yang akan digarap. Setelah itu, pekerjaan selanjutnya dinamakan marangai, yakni mengangkat pohon-pohon yang Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 8
ditebang ke pinggir lahan atau dikumpulkan di tengah lahan untuk dibakar. Lahan yang akan ditanami berada di sekitar desa dan berada di tepi sungai Barito. Sebelum paung dimasukan ke dalam lobang persemaian, terlebih dahulu rumput-rumput kumpai (Scirpus grossus L) dibersihkan menggunakan pisau lantik atau tajak. Dua jenis alat pembersih ini dapat memotong rumput dengan cepat dan rata. Setelah lahan dibersihkan, manugal dilakukan oleh dua orang dengan pembagian kerja memasukan paung dan membuat lobang. Satu orang bekerja membuat lobang tanah, tempat paung dimasukan dengan tuntu (tongkat) yang ujungnya dibuat agak lancip, sedangkan yang satu orangnya bertugas memasukan paung. Benih padi yang disebut dengan tugal dalam bentuk rumpun padi akan tumbuh sekitar satu bulan. Ukuran tinggi tugal sekitar 40cm, lingkarannya 10cm. Fase kedua, adalah wayah malacak yang dilakukan sekitar bulan Desember. Setelah benih padi menjadi tugal, kemudian digali dengan parang dengan cara diiris-iris ukuran persegi empat yang disebut lacak. Irisan lacak tersebut dikumpulkan dalam satuan yang disebut babasung, supaya memudahkan membawa ke sawah. Satu basung terdiri dari 30 hingga 40 irisan lacak. Setelah lacak diambil, petani Bakumpai pun berangkat ke lahan pertanian. 12 Basung lacak diperkirakan dapat ditanami untuk lahan seluas 20 burungan (1 hektar = 35 burungan). Pekerjaan malacak hampir sama dengan manugal, perbedaannya selain pada ukuran tugal dan lacak juga pada lokasi dan waktu tanamnya. Menyiapkan lahan sebagai tempat tugal ditanam dengan cara dibersihkan menggunakan tajak. Rumput yang sudah dipotong untuk sementara dibiarkan tergeletak di atas lahan, sehingga menjadi bacam (busuk dan berbau). Setelah itu barulah lacak ditanam yang cara melakukannya mirip dengan manugal, bedanya kalau benih tugal masih dalam bentuk padi, sedangkan lacak sudah menjadi rumpun padi. Waktu menanam lacak dapat berlangsung dari seminggu hingga setengah bulan, tergantung pada ketersediaan tugal. Setelah lacak ditanam petani Bakumpai kembali ke desa dan beraktivitas seperti biasa. Petani bakumpai akan kembali ke sawah setelah usia lacak 15 hari untuk melakukan perawatan yakni membersihkan rumput di sekitar lacak. Setelah malacak, petani kemudian membersihkan lahan sawah disebut manatak yang dilakukan pada bulan Februari dan Maret. Tajak menjadi alat utama untuk manatak selain dapat memotong rumput dengan cepat, juga dapat membalik rumput tersebut. Setelah selesai manatak, rumput dibiarkan di sawah atau disebut mambacam hingga dua minggu. Sambil manatak, petani Bakumpai memeriksa bantangan dari kemungkinan Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 9
adanya hama tikus yang bersarang. Setelah itu, yiawang yakni rumput diangkat dan diletakan di atas bantangan (pembatas sawah), atau tetap dibiarkan di atas sawah sebagai pupuk. Bantangan dimanfaatkan juga untuk menanam singkong, terong, hingga rambutan dan kelapa. Dalam mengolah lahan yang dilakukan turun temurun, kearifan lokal didapatkan dari cara memanfaatkan rumput yang ditebas untuk dijadikan pupuk alami. Alat yang digunakan petani Bakumpai untuk memotong rumput, tidak sampai membalikan permukaan tanah yang mempengaruhi kadar keasaman. Selain itu, dalam penelitian Patrice Levang (2003 : 184) di Barambai Kabupaten Barito Kuala, yang membandingkan dengan cara pengolahan petani Jawa yang menggunakan cangkul, ternyata penyiapan lahan dengan parang2 memerlukan tenaga kerja yang jauh lebih sedikit. Fase ketiga, wayah maimbul dilakukan setelah manatak sekitar bulan Februari dan Maret. Cara maimbul berbeda dengan manugal dan malacak, menggunakan alat disebut tantajuk bentuknya bulat panjang, sedikit melengkung dan ujungnya dibuat runcing untuk melobangi tanah, sedangkan untuk pegangan tangan dibuat bercabang dua. Sebelum padi lacak ditanam terlebih dahulu dipotong ujungnya, dibagi-bagi hingga 15 batang padi setiap lobang. Pekerjaan maimbul kalau dilakukan dua orang akan selesai paling cepat 10 hari. Apabila mengupah tenaga kerja, setiap orang dibayar Rp. 25.000,- perhari termasuk memberi makan pengupah. Cara demikian akan mempersingkat waktu kerja, sehingga dapat diselesaikan antara 2 hingga 3 hari. Setelah selesai maimbul petani menunggu masa panen hingga bulan September, terdapat jeda 5 atau 6 bulan. Masa jeda itulah petani Bakumpai kembali ke desa. Namun petani akan kembali ke sawah 2 hingga 3 kali sampai masa panen untuk membersihkan bantangan menggunakan pestisida merk “Roundup” atau “Rambo” dari rumput-rumput yang tumbuh mengganggu padi. Selain itu, menjaga sawah agar terhindar dari serangan hama tikus dengan memasang racun. Fase keempat saatnya musim panen atau wayah gatem yang berlangsung sekitar bulan Juli hingga bulan September. Jika wayah gatem tiba, petani Bakumpai membawa anak istrinya dari desa ke tana sehingga desa menjadi sepi karena kebanyakan ikut serta memanen padi. Ini dilakukan untuk mengantisipasi terlambat memanen padi, karena batang padi akan patah (jipuk) sehingga menyulitkan panen. Bagi yang mampu mendatangkan tenaga upahan dengan membayar upah Rp. 7000,- untuk 1 balek atau 20 liter padi yang belum bersih. Persiapan dilakukan petani Bakumpai sebelum berangkat Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 10
manggetem (memanen) berbeda dengan beberapa aktivitas bertani sebelumnya, terutama menyangkut barang-barang yang akan dibawa. Sebab masa panen adalah pekerjaan yang dilakukan sepenuhnya, sehingga semula keperluan harus dipersiapkan selengkapnya. Keperluan alat panen, seperti ranggaman (ani-ani) mudah didapatkan di pasaran, tapi keperluan untuk menyimpan padi, seperti ambin yakni sejenis keranjang yang ditaruh di punggung, kemudian palundu (karung yang terbuat dari purun) atau karung-karung buatan untuk menyimpan padi. Selain itu, segala keperluan dapur, hingga kayu bakar juga turut dibawa termasuk uang untuk membeli segala keperluan yang masih harus dilengkapi. Pada saat memanen, petani Bakumpai biasanya mengerjakan lahan masing-masing. Apabila ada yang sudah selesai mengerjakan, mereka akan membantu saudaranya agar panen selesai (bahandep). Aktivitas memanen dengan menggunakan ani-ani, hingga saat ini sangat jarang petani Bakumpai menggunakan arit. Setiap tangkai padi yang dipotong segera dimasukan ke dalam ambin yang menempel di belakang petani. Setelah padi dalam ambin terasa penuh, kemudian dimasukan ke dalam karung. Begitulah seterusnya hingga beberapa karung terisi padi, kemudian disimpan ke bawah hubung. Padi yang sudah terkumpul kemudian dijemur, kemudian untuk merontokannya dengan cara di-ihik (diinjak-injak). Sebelumnya, digelar tikar plastik di atas padi. Pekerjaan maihik cukup dilakukan dua orang, setelah padi rontok dipisahkan lagi antara padi yang berisi dan kosong (hampa) dengan cara dimasukan ke dalam pompa padi. Prinsip kerja pompa padi adalah menerbangkan padi yang hampa dan padi yang berisi akan masuk ke dalam wadah tertentu. Selama wayah getem interaksi antar petani Bakumpai yang membutuhkan uang dapat menjual padi hasil panennya untuk mencukupi kekurangan. Namun, jika masih ada persediaan beras atau padi musim panen lalu, itulah yang dijual agar tidak mengganggu hasil panen. Hasil panen kemudian dibawa pulang ke desa dengan kelotok, baik milik pribadi ataupun mencarter. Begitu tiba di desa, kebersamaan terjalin di masyarakat dengan cara tetangga sekitar rumah membantu mengangkat padi ke dalam rumah. Hasil panen tahun 2010 ini menurut Norhan (45th) dalam satu borongan hanya menghasilkan 40-60 balek (satu balek = 20 liter) padi. Hal ini karena keadaan air tidak menentu, sehingga banyak anak padi mati terendam saat musim tanam. Pola kearifan lokal yang dimiliki petani Bakumpai, ternyata tidak hanya terletak pada kemampuan mereka dalam mengolah lahan, tetapi jika dicermati terdapat suatu siklus kehidupan antara pertanian dan aktivitas kerja lainnya. Misalnya, dalam mengolah lahan Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 11
yang dilakukan turun-temurun, kearifan lokal didapatkan dari cara memanfaatkan rumput yang ditebas untuk dijadikan pupuk alami. Alat yang digunakan petani Bakumpai untuk memotong rumput, tidak sampai membalikan permukaan tanah yang mempengaruhi kadar keasaman. Pembagian lahan dalam bentuk borongan yang dibatasi oleh bantangan, yang sebenarnya membuat blok-blok sawah sehingga dapat mengurangi kemungkinan padi rusak pada seluruh lahan misalnya akibat gangguan hama. Bantangan selain ditanami berbagai jenis tanaman, dari jenis sayur-mayur hingga pohon-pohon yang menghasilkan buah dapat menjadi jebakan alami bagi bersarangnya hama tikus. Begitu pula pada saat pembukaan lahan, dengan adanya sistem bantangan atau borongan, pembakaran lahan tidak dilakukan dalam areal luas, melainkan dilakukan pada wilayah tertentu saja. Kalau dilihat pada fase bertani untuk menanam parei tahunan yakni padi yang hanya dipanen sekali setahun, terdapat masa-masa jeda bagi petani Bakumpai.
Fase Pertama Wayah Manugal Bulan 10 (Oktober)
Fase Keempat Wayah Getem Bulan Juli - Sept
Fase Kedua Wayah Malacak Bulan 12 (Desember)
Fase Ketiga Wayah Manatak/Maimbul Bulan Pebruari & Maret
Gambar 1. Siklus Pertanian Petani Bakumpai
Dari siklus pertanian ini terdapat kelemahan pertanian sebagaimana menurut Levang (2003 : 184) siklus hidup yang terlalu panjang sehingga tidak panen dua kali dalam setahun. Apalagi produktivitas padi lokal di Kabupaten Barito Kuala hanya 2.0-3.5 ton per-hektar dan tergolong rendah dibandingkan dengan produktivitas padi unggul di wilayah agroekosistem lainnya (Hidayat, 2010 : 157). Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 12
Namun, dari siklus itulah sebenarnya menunjukan pola kehidupan petani Bakumpai di luar aktivitas bertani sawah. Selama jeda waktu antar fase itu, petani Bakumpai tidak mengalami masa istirahat sebab mereka tidak hanya tergantung pada usaha bertani. Ada beberapa pekerjaan yang sangat mendukung dan menopang kehidupan petani Bakumpai selama jeda waktu tersebut. Siklus kehidupan petani Bakumpai yang tidak hanya ditunjang dengan pertanian sebagai pekerjaan utama, juga berbagai aktivitas lain seperti mencari rotan, mencari ikan, menebang pohon, dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat dilakukan karena petani Bakumpai memiliki dua jenis lahan, untuk bertani dan untuk bekerja untuk mendukung pertanian. Lahan pertanian berada di tempat terpisah, sehingga kalau bertani aktivitas fokus untuk satu pekerjaan. Sebagai modal untuk bertani, petani Bakumpai bekerja di areal desa yang disebut padang. Di sini terjadi siklus saling mendukung, bekerja modal bertani dan hasil pertanian untuk kebutuhan makanan pokok.
3.3.2. Pola Adaptasi Masyarakat Bakumpai Berhubung kondisi lingkungan masyarakat dayak Bakkumpai yang berada pada lingkungan rawa dan daerah pasang surut maka untuk keberlangsungan hidupnya mereka melakukan adaptasi dengan beberapa cara yaitu :
Adaptasi Tingkah Laku Bentuk adaptasi tingkah laku masyarakat dayak Bakumpai dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya antara lain adalah : a. Untuk keperluan hidupnya mereka menyimpan hasil panen dan jika sedang perlu uang mereka menjualnya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama di masa mendatang. b. Menggunakan jukung (perahu kecil di dayung biasanya hanya berisi 1-3 orang) atau kelotok (perahu dengan mesin dengan kapasitas sebagai alat transportasi c. Ketika masa jeda dalam mengolah lahan pertanian, mereka melakukan pekerjaan lain seperti mencari ikan, mengayam dan sebagainya.
Adaptasi Kultural (Budaya) Adapun bentuk adaptasi kultural (budaya) yang dilakukan masyarakat dayak Bakumpai antara lain adalah : Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 13
a. Mengingat daerah tempat tinggal berada di daerah pasang surut atau rawa maka bentuk rumah yang diggunakan adalah rumah panggung, bahkan yang tinggal di tepi sungai ada yang menggunakan rumah lanting (rumah terapung).
Gambar 2. Rumah panggung (rumah betang dan rumah baanjung)
b. Menggunakan sistem pertanian 1 kali panen dalam setahun dengan sistem pengolahan lahan pertanian yang memperhatikan pengetahuan lokal sebagai basicnya. c. Penggunaan Huller sebagai pengganti tenaga manusia dalam merontokkan padi. d. Memiliki pranatamangsa dalam pengolahan pertanian.
IV.
PENUTUP Kearifan lokal yang dimiliki petani Bakumpai di lahan pasang surut tidak hanya dilihat pada
kemampuan bertani, tetapi juga pemilihan lokasi pertanian. Hal tersebut karena mengantisipasi lahan pertanian yang selalu terluapi air sebagaimana karakteristik lahan pasang surut type A. Siklus kehidupan petani Bakumpai untuk mensiasati menunggu masa panen yang dilakukan sekali setahun. Selama masa jeda antar tahap bertani, petani Bakumpai dapat mengisi waktu dengan melakukan aktivitas pekerjaan non-pertanian dan bertani adalah mata-rantai kehidupan petani bakumpai yang saling memiliki keterikatan. Meski terjadi perpaduan antara sains dan kearifan lokal, ternyata petani tidak menerima begitu saja. Perpaduan antara sains dan kearifan lokal dibatasi oleh kemampuan petani dalam menerapkannya. Pola adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat Bakumpai dalam menanggapai permasalahan lingkungannya akibat perubahan iklim melalui adaptasi tingkah laku dan adaptasi kultural (budaya). Pola adaptasi secara kultural dilakukan melalui perpaduan antara pengetahuan lokal dan ilmu pengetahuan kekinian yang dapat terlihat dengan jelas pada budaya cara bertani di daerah rawa pasang surut.
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 14
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010. Adaptasi Bioekologi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim. Departemen Kehutanan. Jakarta ............., 2010. Waspadai Anomali Cuaca. Majalah INTAN Edisi No.14 Tahun VII Oktober 2010 Iskandar, J. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. PSMIL. Universitas Padjajaran. Bandung. Mentayani, Ira. 2008. Jejak Hubungan Arsitektur Tradisional Suku Banjar Dan Suku Bakumpai. Thesis. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 36 nomor 1. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin Mukti, A. 2010. Beberapa Kearifan Lokal Suku Dayak Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Universitas Brawijaya. Malang Qodriyatun, Sri Nurhayati. 2013. Bencana Hidrometeorologi dan Upaya Adaptasi Perubahan Ikllim. Jurnal Kesejahteraan Sosial. Vol. V, No. 10/II/P3DI/Mei/2013 Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta. Wahyu, M.S. dan Nasrullah, 2011. Kearifan Lokal Petani Dayak Bakumpai Dalam Pengelolaan Padi Di Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Barito Kuala. http://sosiologi.upi.edu/artikelpdf/dayakbakumpai.pdf. Diakses tanggal 5 Nopember 2014
http://erwansusandi-langsat.blogspot.com/2011/06/sekilas-tentang-suku-dayakbakumpai.html, diakses tanggal 13 Oktober 2014 http://ayieffathurrahman.wordpress.com/2010/11/26/suku-bakumpai-sebuah%E2%80%9Ckarya%E2%80%9D-sejarah/, diakses tanggal 14 Oktober 2014 http://rivermapping.blogspot.com/2011/05/mitigasi-dan-adaptasi-dalam-perubahan.html diakses tanggal 13 Oktober 2014 http://uluhbakumpai.blogspot.com/2013/01/silsilah-orang-bakumpai.html#ixzz3G6eFjejQ diakses tanggal 13 Oktober 2014 http://brainly.co.id/tugas/79079 diakses tanggal 13 Oktober 2014
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 15