KOMUNIKASI INOVASI PADI TOLERAN RENDAMAN UNTUK ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA PETANI
RITA NUR SUHAETI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Komunikasi Inovasi Padi Toleran Rendaman untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani” adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Febuari 2016 Rita Nur Suhaeti NIM I362100021
RINGKASAN RITA NUR SUHAETI. Komunikasi Inovasi Padi Toleran Rendaman untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani. Dibimbing oleh AIDA VITAYALA S. HUBEIS, TRI PRANADJI, MA’MUN SARMA dan AMIRUDDIN SALEH. Tantangan peningkatan produksi padi antara lain: (1) alih fungsi lahan; (2) kehilangan hasil saat panen dan pascapanen; dan (3) dampak negatif perubahan iklim. Hasil Litbang tentang padi diadopsi dalam waktu yang lama, misalnya Varietas Ciherang dilepas tahun 2001 baru diadopsi secara massal sejak tahun 2007. Penurunan sifat-sifat unggul Varietas Ciherang dikhawatirkan akan menurunkan produksi padi nasional. Salah satu varietas yang menjanjikan dan dapat ditanam di lahan rawan banjir atau tergenang adalah Varietas Padi Toleran Rendaman (PTR). Tujuan penelitian: (1) mengidentifikasi unsur-unsur komunikasi (SMCR) inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat; (2) menganalisis tingkat difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat; (3) menganalisis faktor eksternal yang berpengaruh terhadap tingkat difusi inovasi PTR keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat; (4) menganalisis pengaruh tingkat difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani di Provinsi Jawa Barat; dan (5) merumuskan strategi peningkatan difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani di Provinsi Jawa Barat. Kebaruan penelitian: (1) Sistem difusi inovasi PTR yang tidak terintegrasi dengan mekanisme pasar dan distribusi benih, memerlukan adanya “affirmative action”; (2) Komunikasi inovasi PTR tidak akan berhasil tanpa dukungan ketersediaan benih dan daya serap pasar; (3) Perempuan petani berperan lebih aktif dari lelaki petani dalam menyampaikan informasi inovasi PTR dan implementasinya; dan (4) Status sosial ekonomi petani berperan signifikan sebagai penghela difusi inovasi PTR, adaptasi petani pada perubahan iklim dan ketahanan pangan. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan survei yang bersifat deskriptif eksplanatori, terutama untuk menganalisis peubah komunikasi dalam proses difusi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani. Lokasi penelitian adalah di tiga kabupaten sentra-produksi padi yang rawan banjir/genangan yaitu Kabupaten Indramayu, Subang dan Karawang. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, yaitu Mei-Juni 2015. Populasi penelitian adalah keluarga petani yang lahan sawahnya berada di wilayah rawan banjir di Kabupaten Indramayu, Subang dan Karawang Provinsi Jawa Barat, dan pada periode 2007-2009 mendapat bagian benih PTR. Dari 119 orang populasi penelitian, diambil sampel secara sengaja (purposive sampling) sebanyak 58 orang, yaitu keluarga petani yang dapat ditemui dan bersedia menjadi responden penelitian, selebihnya keluarga penerima pembagian benih PTR tersebut dalam kondisi sakit parah, meninggal dan pindah. Hasil penelitian antara lain menunjukkan bahwa (1) Analisis unsur-unsur komunikasi: (a) penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang memiliki kompetensi tentang PTR dan dipercaya oleh petani walaupun menyampaikannya dengan
komunikasi satu arah; (b) kualitas hasil PTR menjadi pendorong adopsi inovasi di tingkat petani, walaupun ketersediaan dan penggunaannya menjadi faktor penghambat; (c) media komunikasi dominan diakses oleh petani adalah media elektronik seperti TV dan HP, namun belum dimanfaatkan dengan baik untuk menyampaikan informasi tentang PTR kepada petani; (d) profil keluarga petani PTR umumnya ukuran keluarga berukuran kecil, berpenghasilan rendah, luas penguasaan lahannya sempit, memiliki dua macam media, berstatus sosial rendah dan keterlibatan dalam organisasi petani tinggi; (e) Perempuan petani lebih aktif dalam menyampaikan informasi inovasi PTR dan melakukan pertukaran benih; (2) difusi inovasi PTR petani dicirikan dengan tingkat pengetahuan rendah, sedangkan tingkat persuasi dan keputusan menanam PTR ada pada kategori sedang; (3) faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap difusi inovasi adalah daya serap produksi PTR di pasaran dan kebijakan pemerintah tentang PTR; (4) Difusi inovasi PTR pada tingkat persuasi dan keputusan petani berpengaruh sangat nyata terhadap adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan, namun pada tingkat pengetahuan petani berpengaruh nyata negatif terhadap adaptasi perubahan iklim dan tidak nyata terhadap ketahanan pangan; (5) perempuan petani lebih aktif menyampaikan informasi PTR secara informal; (6) strategi komunikasi inovasi untuk meningkatkan difusi inovasi PTR dalam konteks adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan adalah dengan memperbaiki semua jenis komunikator di semua tingkat, baik dalam hal kompetensi maupun kepercayaan dari petani; membentuk pesan/inovasi sesuai kebutuhan nyata petani; menyelenggarakan media komunikasi yang cocok (Demplot) sehingga dapat produksi tinggi dan laku di pasaran dan tentunya dengan membenahi sistem perbenihan yang merupakan “affirmative action” dalam produksi dan distribusi benih PTR; (7) sebaik apa pun unsur-unsur komunikasi inovasi PTR, jika tidak didukung dengan kebijakan pemerintah dan daya serap pasar, maka tidak akan terjadi adopsi dan difusi inovasi PTR seperti yang diharapkan. Kata kunci: Ketahanan pangan, komunikasi inovasi, perubahan iklim, varietas padi toleran rendaman
SUMMARY RITA NUR SUHAETI. Communication Innovation of Submergence Tolerant Rice on Adaptation to Climate Change and Family Farmer’s Food Security. Under supervision of AIDA VITAYALA S. HUBEIS, TRI PRANADJI, MA'MUN SARMA and AMIRUDDIN SALEH. The challenges to increase rice production were among others: (1) fertile land conversion; (2) losses during harvest and post-harvest; and (3) negative impact of climate change. The Indonesian Agency for Agricultural R&D’s research results on rice development was usually adopted in a long period of time. Ciherang Variety was released in 2001 but adopted massively since 2007, for instnaceThe decline in superior traits of Ciherang Variety would threaten national rice production. One of the promising varieties and can be cultivated on proneflood land Submergence-tolerant rice varieties (STRV). The objectives of the research were to (a) identify communication elements (SMCR) of STRV innovation in rice farmer’s family of West Java Province; (2) analyze the level of STRV innovation diffusion in rice farmer’s family of West Java Province; (3) analyze influencing external factors on the rate of diffusion of STRV innovation in rice farmer’s family rice farmers of West Java Province; (4) analyze effect of diffusion of STRV innovation rate on rice farmer’s family adaptation to climate change and rice farmer’s family food security in West Java Province; and (5) formulate a strategy to improve the diffusion of STRV innovation to strengthen the adaption to family farmer’s adaptation on climate change and food security in West Java Province. Novelty of the research: (1) diffusion of STRV innovation, which was not integrated with market mechanism and seeds distribution needed badly an “affirmative action”; (2) STRV innovation communication would not get succeed without any seeds availability dan market absorption; (3) Farmer ladies were more active in delivering information on STRV and the seeds exchange; and (4) Farmer’s socio-economic status significantly played roles as a diffusion of STRV innovation, adaptation to climate change dan farmer family’s food security. A quantitative approach was designed on the research by using descriptive explanatory survey method, especially to analyze the communication variables in the process of STRV innovations diffusion of rice farmer’s family adaptation to climate change and its food security. The research location was three flood-prone rice production centers districts, namely Indramayu, Subang and Karawang Distritcs. The research was conducted during May and June 2015. The population in this study were family farmers who cultivated rice in flood-prone lowland of Indramayu, Subang and Karawang Districts, West Java, and during the period of 2007-2009 got STRV seeds allotment. Only 58 persons taken as the research population out of 193 persons. The first result was the analysys of communication elements, which were as the followings: (a) field extension worker/PPL has competence on STRV knowledge and trusted by farmers though still dominantly applied communication in one-way manner; (b) The quality of the STRV become a driver of innovation adoption at farm level, despite its seeds limited availability as obstructing factor to diffusion of STRV innovation; (c) dominant media communication media and
most accessible to farmers was electronic media such as TV and cell-phones, the thing was that those media were just not sufficient to convey information on STRV; (d) profile STRV farming family in general was small family size, low income, very small size land holding, consisted of two kinds of media, low social status and high participation in farmer’s organization and (e) woman farmers were more active to deliver STRV innovation information in an informal way as compared to the man farmers; the second was that the STRV innovation diffusion rate was characterized by low level of knowledge, with medium level persuasion and planting the STRV decision making; thirdly, the most influencing external factors on the diffusion of STRV innovation wesre market absorption and government policy on STRV innovation; the fourth was that diffusion of STRV innovation at persuasion level significantly affected on farmers’ adaptation to climate change and food security, however the farmers’ knowledge level gave a negative significant effect on adaptation to climate change and food security; the fifth was that woman farmers are more active exchange information on STRV in an informal way; the sixth was that innovation communication strategy to icrease diffusion of STRV innovation in the context of adaptation to climate change and food security was to improve all types of communicators, both in their competences and trust of the farmer’s; creating innovations as really needed as possible by farmers; held suitable demonstration plots/displays so that the yield could be absorbed by existing market and also improved seeds availabity system by applying an affirmative action on STRV seeds production and distribution; and finally, the seventh was that although there were the best communication elements of STRV innovation, there will no adoption and diffusion of STRV innovations as expected if it is not supported by government policy and market absorption. Keywords:
Climate change, communication submergence tolerant rice varieties
innovation,
food
security,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KOMUNIKASI INOVASI PADITOLERAN RENDAMAN UNTUK ADAPTASI TERHADAPPERUBAHAN IKLIM DANKETAHANAN PANGAN KELUARGA PETANI
RITA NUR SUHAETI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof (Ris) Dr Djoko Susanto, SKM (Dosen Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, IPB) 2. Dr Ir Sumaryanto, MS (Peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia) Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof (Ris) Dr Ir Djoko Said Damardjati, MS (Peneliti Senior pada Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia) 2. Prof (Ris) Dr Djoko Susanto, SKM (Dosen Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, IPB)
PRAKATA Puji dan syukur yang tiada terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi penelitian ini. Judul penelitian ini adalah: Komunikasi Inovasi Padi Toleran Rendaman untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani. Ungkapan rasa terima kasih yang dalam penulis haturkan kepada Ibu Prof Dr Ir Aida Vitayala S. Hubeis, Bapak Dr Ir Tri Pranadji, MS., APU, Bapak Dr Ir Ma’mun Sarma, MEc., dan Bapak Dr Ir Amiruddin Saleh, MS selaku Komisi Pembimbing yang selalu dengan sabar dan tiada lelah memberikan bimbingan dan berbagai saran perbaikan. Rasa terima kasih juga disampaikan kepada para dosen dan staf administrasi pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan serta kepada keluarga dan teman-teman yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk mendukung dan membantu sampai disertasi ini dapat diselesaikan.
Bogor, Februari 2016 Rita Nur Suhaeti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan
1 1 7 7 8 8
2 TINJAUAN PUSTAKA Proses Komunikasi Pengertian Kesadaran Pengertian Preferensi Difusi Inovasi Profil Keluarga Petani Inovasi Padi Toleran Rendaman Adopsi Inovasi Adaptasi Petani Faktor Eksternal Kerangka Pikir Hipotesis Penelitian
9 9 11 12 12 19 20 21 22 24 25 25
3 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian Definisi Operasional Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi Pengumpulan Data Analisis Data Structural Equation Modeling dengan SMARTPLS
27 27 27 27 29 29 31 31 32
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Responden Komunikasi Inovasi PTR pada Keluarga Petani Padi Difusi Inovasi PTR pada Keluarga Petani Padi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Difusi Inovasi PTR Keluarga Petani Padi
35 35 38 46 51 56
Hubungan Profil Keluarga dengan Adaptasi pada Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani Pengaruh Difusi Inovasi PTR terhadap Adaptasi pada Perubahan Iklim dan Penguatan Ketahanan Pangan Strategi Komunikasi dalam Meningkatkan Difusi Inovasi PTR untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Penguatan Ketahanan Pangan
62 65 77 77 77
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
92 92 92
DAFTAR PUSTAKA
93
LAMPIRAN
101
RIWAYAT HIDUP
136
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Jumlah penggunaan benih padi menurut varietas di Jawa Barat 2015 Kerangka populasi penelitian komunikasi inovasi benih PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga petani di Jawa Barat, 2015 Hasil perhitungan uji reliabilitas (reliability statistics) Profil karakteristik petani PTR dan non-PTR, 2015 Kondisi sawah petani PTR yang terendam pada musim hujan 2014/2015 Kepemilikan dan pemanfaatan media komunikasi petani PTR dan nonPTR Rata-rata penguasaan lahan petani, 2015 Pendapatan petani PTR, 2015 Analisis gender pelaku pekerjaan dalam usahatani Pola pengambilan keputusan dalam usahatani padi, 2015 Sumber informasi utama tentang PTR menurut jenis kelamin, 2015 Sumber informasi tentang pertukaran informasi tentang PTR, 2015 Penerima informasi tentang PTR menurut jenis kelamin, 2015 Persepsi petani tentang komunikator PTR pada keluarga petani padi, 2015 Persepsi petani tentang inovasi PTR pada keluarga petani padi, 2015 Persepsi petani tentang media komunikasi PTR pada keluarga petani padi, 2015 Difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi, 2015 Persepsi petani tentang faktor eksternal pada difusi inovasi PTR keluarga petani padi, 2015 Pengaruh faktor komunikasi dan faktor eksternal terhadap difusi inovasi PTR keluarga petani padi, 2015 Kecocokan model struktural pengaruh faktor komunikasi dan faktor eksternal terhadap difusi inovasi PTR keluarga petani padi, 2015 Kecocokan model struktural pengaruh profil keluarga terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan Adaptasi petani pada perubahan iklim, 2015 Deskripsi ketahanan pangan, 2015 Pengaruh difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan, 2015 Loading faktor indikator Kecocokan model struktural pengaruh difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan, 2015 Uji validitas indikator pada model SEM 1 Kecocokan model struktural pengaruh difusi inovasi terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan, 2015
3 28 31 38 38 41 42 42 43 44 44 45 46 47 49 50 52 54 56 59 62 65 66 68 70 70 76 76
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Percobaan tanaman PTR yang masih bertahan hidup setelah direndam 14 hari (Nugraha et al. 2015) Universal komunikasi antarmanusia (DeVito 2011) Fungsi komunikasi dalam proses difusi inovasi Kerangka pikir penelitian mekanisme komunikasi inovasi PTR Lokasi penelitian komunikasi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani Pendidikan formal kepala keluarga petani PTR, 2015 Histogram sumber informasi petani tentang PTR, 2015 Standardized loading factor model Nilai t-hitung Standardized loading factor model hubungan profil keluarga terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan Nilai t-hitung model hubungan profil keluarga terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan Standardized loading factor dari model keseluruhan (full model) Nilai t-hitung dari model keseluruhan (full model) Standardized loading factor setelah sebagian indikator dibuang Nilai t-hitung model 1 Standardized loading factor model pengaruh difusi inovasi PTR pada adaptasi keluarga petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan Nilai t-hitung pada uji pengaruh difusi inovasi PTR pada adaptasi keluarga petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan Alur produksi dan distribusi benih tanaman pangan padi Alur produksi benih padi Inbrida untuk kelas benih penjenis sampai dengan benih sebar Diagram jalur pengaruh faktor komunikasi dan faktor eksternal terhadap difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan
5 10 15 22 37 40 48 57 58 63 64 69 71 72 73 74 75 81 82 91
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Definisi operasional pada penelitian komunikasi Inovasi PTR untuk ketahanan pangan keluarga petani dan adaptasi terhadap perubahan iklim Persepsi petani tentang faktor eksternal pada difusi inovasi PTR keluarga petani padi 2015 Difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi 2015 Penguasaaan lahan responden Pendapatan responden PTR Pendapatan usahatani padi/tahun responden non-PTR Jawaban pertanyaan responden untuk variabel komunikator
101 106 108 111 112 112 113
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Deskripsi variabel inovasi PTR Deskripsi variabel media komunikasi Deskripsi kebijakan pemerintah Deskripsi ketersediaan input produksi Deskripsi daya serap pasar hasil produksi Deskripsi budaya dalam kaitannya dengan PTR Deskripsi persepsi inovasi Deskripsi diskusi Deskripsi evaluasi input Deskripsi evaluasi output Deskripsi pengambilan keputusan Deskripsi perubahan iklim Deskripsi variabel ketahanan pangan Manuskrip catatan lapang sebagai data penunjang (wawancara dengan non-petani) 22 Daftar Istilah
penelitian
116 117 118 119 120 121 122 122 123 124 124 124 125 126 134
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan beras, sebagai bahan pangan pokok sebagian besar rakyat Indonesia masih menjadi permasalahan besar bagi pemerintah Indonesia. Indonesia memiliki angka paling tinggi dalam konsumsi beras dibanding negara lain yang juga mengkonsumsi beras (Suswono 2013). Menurut Wiryawan (2012), kebutuhan beras per kapita Indonesia adalah 139 kg/tahun, jauh lebih tinggi dari negara-negara yang rakyatnya mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok,misalnya Jepang: 60 kg/tahun, China: 70 kg/tahun, Thailand: 79 kg/tahun. Selain merupakan makanan pokok untuk lebih dari 95 persen rakyat Indonesia, usahatani padi menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 20 juta rumah tangga petani di pedesaan (Puslitbang TP 2013). Produksi padi dapat berasal dari lahan sawah irigasi (irrigated lowland), lahan kering (upland, rainfed), dan lahan basah (wetland). Lahan basah terdiri dari rawa pasang surut (tidal swamp), rawa lebak (lowland swamp) dan lahan tergenang lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan beras tersebut di atas, produksi beras dalam negeri dituntut untuk terus-menerus meningkat. Namun untuk dapat meningkatkan produksi banyak menghadapi tantangan, antara lain: (1) alih fungsi lahan subur yang memiliki produktivitas tinggi, (2) kehilangan saat panen dan pascapanen yang belum dapat diatasi secara baik dan benar, dan (3) dampak negatif perubahan iklim. Alih fungsi lahan pertanian (terutama sawah) menjadi lahan non-pertanian (bangunan, jalan, dan keperluan industri) tidak dapat dihindari karena land rent ratio dari sektor pertanian lebih kecil dari pada sektor industri dan jasa. Padahal sebagian besar alih fungsi lahan terjadi di lahan subur yaitu di Pulau Jawa, sehingga memperburuk pertumbuhan produksi beras. Luas baku sawah di Pulau Jawa masih sekitar 3,448 juta hektar (ha). Namun, tahun 1992 menurun menjadi 3,425 juta ha atau pengurangan 250 000 ha (0,67 persen). Lalu, tahun 1997 menciut lagi menjadi 3,33 juta ha atau penurunan 950 00 ha atau 2,77 persen dari posisi 1992. Penciutan baku sawah ini tentu saja berdampak pada luas panen dan gilirannya pada produksi padi. Data BPS menunjukkan bahwa antara tahun 1995 hingga 1999, luas tanaman padi di Jawa berkurang rata-rata 28 750 ha pertahun. Penurunan areal panen terbesar terjadi tahun 1997 yakni untuk Jawa 689 000 ha dan luar Jawa 1,535 juta ha. Tampak dari uraian di atas bahwa antara tahun 1987 hingga 1997, total penciutan baku sawah (umumnya sawah irigasi teknis dan andalan produksi) di Pulau Jawa saja mencapai 118 000 ha atau rata-rata 11 800 ha per tahun. Ini berarti, bahwa kehilangan sumber produksi permanen dalam skala besar di Pulau Jawa yang selama ini masih andalan nasional dengan dua kontribusi sekitar 60 persen (Hafsah 2002). Selain itu, kehilangan atau susut selama pengolahan padi menjadi beras juga memberikan kontribusi dalam menghambat laju pertumbuhan produksi beras. Sistem produksi pangan dalam dekade mendatang perlu beradaptasi, tidak hanya untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan karena laju pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi dan perubahan penggunaan lahan, air dan nutrisi yang berkurang, tetapi juga untuk mengurangi produksi karbon yang
2 mengakibatkan perubahan suhu hangat dan pola curah hujan akibat perubahan iklim (Matthews et al. 2013). Perubahan iklim yang sudah terjadi sampai saat ini (GHF 2009), selain dapat mengubah kondisi lingkungan untuk pertumbuhan tanaman dan membutuhkan penyesuaian dalam praktik manajemen dalam skala lapangan (Lehmann et al. 2013) juga lebih sering menimbulkan dampak negatif (Mishra & Prakash 2013), seperti bencana banjir terutama pada wilayah-wilayah pesisir dan rawan tergenang, misalnya rawa lebak atau rawa pasang surut, atau lahan yang terkena banjir. Perubahan iklim banyak memicu curah hujan tinggi dan badai, sehingga kemungkinan terjadi banjir atau genangan semakin tinggi dan mengancam keamanan pangan (Sari et al. 2007). Wang (2010) menyatakan bahwa untuk konteks China akhir-akhir ini, perubahan iklim juga berpengaruh sangat nyata pada ketahanan pangan. Penelitian Chen et al. (2010) juga di China menunjukkan bahwa faktor utama yang berpengaruh terhadap adaptasi petani pada perubahan iklim adalah siklus kehidupan rumahtangga, tekanan yang dihadapi, kelembagaan, serta ketersediaan sumberdaya dan teknologi. Adaptasi petani dalam jangka pendek adalah melakukan perubahan on farm dan off farm, sedangkan dalam jangka panjang tampaknya harus memerlukan dukungan eksternal dan peningkatan investasi termasuk sistem asuransi pertanian informasi di tingkat desa dan mekanisme diseminasi teknologi. O’Brien et al. (2004), menyatakan bahwa sudah terjadi peningkatan kesadaran bahwa faktor dimensi manusia harus dipertimbangkan dalam riset dan kajian tentang perubahan iklim, walaupun demikian belum ada metodologi yang sistematis dalam meneliti kerawanan perubahan iklim dalam konteks multi-tekanan. Kejadian banjir membuat petani mengalami kerugian bahkan terancam puso karena tidak mampu menyediakan modal pengganti biaya usahatani. Makarim et al. (2011) menjelaskan daerah rawan banjir di Indonesia semakin meluas dengan frekuensi kejadian yang lebih sering menyebabkan kerusakan pertanaman (puso) atau penurunan hasil. Daerah-daerah tersebut umumnya memiliki pertanaman padi yang cukup luas, karena sejak lama daerah ini cukup air dan datar sehingga digolongkan ke sangat sesuai dalam sistem klasifikasi kesesuaian lahan untuk padi sawah. Di Delta Sungai Tana, Kenya, Afrika, petani beradaptasi sesuai dengan dinamika pola banjir yang terjadi (Leauthaud et al. 2011). Data tahun 2009 menunjukkan lebih 300 000 ha lahan sawah terkena banjir dan 80 000 ha di antaranya mengalami puso. Luas baku sawah di Pulau Jawa adalah 3 448 juta ha). Namun, tahun 1992 menurun menjadi 3,425 juta ha atau pengurangan 250 000 ha (0,67%). Lalu, tahun 1997 menciut lagi menjadi 3,33 juta ha atau penurunan 95 000 ha atau 2,77 persen dari posisi 1992. Penciutan baku sawah ini tentu saja berdampak pada luas panen dan gilirannya pada produksi padi. Data BPS menunjukkan bahwa antara tahun 1995 hingga 1999, luas tanaman padi di Jawa berkurang rata-rata 28 750 ha per tahun (Hafsah 2002). Varietas Ciherang dilepas tahun 2001 baru diadopsi secara masif sejak tahun 2007. Penurunan sifat-sifat unggul Varietas Ciherang dikhawatirkan akan menurunkan produksi padi nasional. Salah satu varietas yang menjanjikan dan dapat ditanam di lahan rawan banjir atau tergenang adalah Varietas Padi Toleran Rendaman (PTR). Jumlah penggunaan benih padi menurut varietas di Jawa Barat disajikan pada Tabel 1.
3 Tabel 1 Jumlah penggunaan benih padi menurut varietas di Jawa Barat 2015 Jenis Varietas Padi Jumlah Setara Luasan (Ha) Persentase (%) IR64 46 212 6,19 Way Apo Buru 15 312 2,05 Ciherang 344 676 46,15 Sarinah 12 818 1,72 Lokal 7 183 0,96 Situ Bagendit 2 549 0,34 Mekongga 117 921 15,79 Hibrida 3 697 0,49 Lain-lain (termasuk PTR) 198 552 26,32 Jumlah 746 921 100,00 Sumber: BPTPH 2015
Kerugian petani padi dapat dikurangi dengan mengganti varietas padi yang ditanam dengan varietas toleranrendaman/genangan (submergence tolerant), biasa disebut benih Sub-1. Varietas padi ini dapat bertahan terendam air (banjir) sampai 14 hari (Adnyana et al. 2009). Kenyataan ini didukung oleh Peñalba dan Elazegui (2013) yang menyimpulkan bahwa petani di Laos yang lahannya rentan terhadap banjir dan tanah longsor memerlukan varietas padi toleran rendaman (PTR). Rata-rata kehilangan hasil akibat bencana banjir di Jawa Barat adalah 1 005 kg/ha, sedangkan kehilangan hasil akibat kekeringan adalah 273 kg/ha (Adnyana et al. 2009). Di Sumatera Selatan, kerugian tersebut mencapai 570 kg/ha jika terendam kurang dari tujuh hari, sedangkan jika terendam lebih dari tujuh hari maka kehilangan hasil dapat mencapai 1 606 kg/ha. Penggunaan varietas toleran rendaman diharapkan dapat mengurangi kerugian petani. Namun ketersediaan benih PTR dan kemauan serta kesadaran petani untuk menggunakannya masih banyak dipertanyakan. Misalnya, di Sulawesi Tengah petani di lahan rawa masih tetap menggunakan varietas padi lahan sawah irigasi yang produktivitasnya rendah (1,27 ton/ha). Padahal jika menggunakan benih PTR, potensi produktivitasnya lebih tinggi yaitu 7,5-10,17 ton/ha (Basrum et al. 2012). Menurut Pannel (1999) dalam penelitiannya, terdapat empat kondisi yang diperlukan seorang petani untuk mengadopsi inovasi sistem usahatani, yaitu: (1) kesadaran tentang inovasi, (2) persepsi bahwa inovasi tersebut layak dicoba, (3) persepsi bahwa inovasi tersebut bernilai dan (4) persepsi bahwa inovasi tersebut dapat meningkatkan pencapaian tujuan petani. Makarim et al. (2009) menyebutkan bahwa area genangan di Indonesia diperkirakan seluas 13,3 juta ha, terdiri atas 4,2 juta ha genangan dangkal; 6,1 juta ha genangan sedang dan 3 juta ha genangan dalam. Potensi produksi padi/beras dari lahan rawan genangan dan banjir seluas 13,3 juta ha jika diusahakan dengan PTR, maka potensi produksi yang akan diperoleh adalah 99,75-135,26 juta ton gabah kering panen (GKP)/musim. Konversi GKP menjadi gabah kering giling (GKG) adalah 86,02 persen, sehingga akan diperoleh GKG sebesar 85,81-116,35 juta ton musim-1. Angka konversi GKG menjadi beras adalah 62,74 persen, sehingga jumlah GKG tersebut di atas setara dengan 53,84-73,00 juta ton beras. Namun potensi tersebut akan jauh berkurang dengan ketidaktersediaan berbagai faktor (enabling factors) termasuk infrastruktur pertanian sehingga produksinya akan jauh berkurang. Jika kebutuhan beras Indonesia sekitar 35 juta ton tahun
4 (Puslitbang TP 2013), maka potensi produksi ini dapat mendukung pemenuhan kebutuhan beras Indonesia. Perlu diingat bahwa angka tersebut baru dalam jangka waktu satu musim. Jika Indeks Pertanaman (IP) dapat ditingkatkan, potensi produksi bisa lebih tinggi. Penggunaan asumsi pola tanam padi dua kali setahun dan produktivitas 4,7 ton/ha dan luas tanam hanya lima persen lahan tergenang, maka dalam setahun akan tersedia 2 x 1,69 juta ton beras = 3,38 juta ton beras atau sekitar 10 persen dari kebutuhan beras Indonesia. Andai kata beras tersebut tidak laku di pasaran sebagai beras konsumsi, maka beras tersebut dapat dijadikan bahan baku untuk industri berbasis beras, misalnya bihun dan kerupuk. Produksi tersebut diharapkan dapat memicu perkembangan industri pangan kreatif di kalangan masyarakat pedesaan. Menurut Ingemarson dan Thunander (2012), keperluan peningkatan produksi pangan, pakan, serat dan energi (food, feed, fibre and fuel/4F) merupakan tantangan kita di abad ke-21. Dalam memproduksi 4F tersebut tentunya akan terjadi persaingan untuk sumber daya lahan dan air yang terbatas, sehingga diperlukan: (a) perbaikan pengelolaan lahan dan air, (b) adaptasi kebijakan lintas sektoral dan lembaga, (c) penggunaan sumber daya yang ada harus lebih efisien, dan (d) peningkatan pengetahuan dan peningkatan kapasitas. Hasil penelitian di Brazil oleh Simoes et al. (2015) menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas petani kecil dan keluarganya merupakan langkah pertama dalam pengembangan metodologi yang komprehensif untuk membantu petani miskin beradaptasi terhadap perubahan iklim. Penelitian Simoes juga menekankan bahwa ada integrasi antara pembangunan, kemampuan beradaptasi dan strategi beradaptasi. Penelitian Biagini et al. (2014) mendukungnya dengan kesimpulan bahwa keberhasilan adaptasi global di masa depan tergantung kepada opsi campuran teknis dengan manajemen dan melaksanakan evaluasi keberhasilan tindakan yang sudah dilaksanakan. Kepentingan berbagai kajian kerawanan dan pengalaman nyata penduduk lokal harus ditekankan agar pengembangan strategi beradaptasi dapat mengurangi kemiskinan dan meminimalkan dampak perubahan iklim untuk petani kecil. Osbahr et al. (2008) dengan penelitiannya menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah dapat melindungi kondisi petani jika terjadi keadaan darurat akibat perubahan iklim. Analisis Asesmen Masyarakat (AAM) dapat membantu mengatasi dampak negatif perubahan iklim secara bottom up karena dapat melibatkan masyarakat dalam mengurangi dampak tersebut. Perubahan iklim juga dapat diinkorporasikan secara eksplisit pada AAM untuk melakukan asesmen tentang berbagai kecenderungan sikap terhadap risiko yang berubah (van Aalst 2007). Kegiatan pra-panen terutama pengolahan lahan sampai penanaman benih padi dalam usahatani padi sawah, mengambil proporsi biaya yang cukup tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS 2008) menyatakan bahwa secara nasional biaya usahatani dengan imputasi (sewa lahan dan tenaga kerja keluarga dihitung sebagai pengeluaran), besarannya dapat mencapai lebih dari Rp 10 juta/ha, dan jika tidak diperhitungkan biayanya mencapai sekitar 50 persen. Proporsi biaya untuk benih dan pengolahan lahan sampai siap tanam adalah sepertiganya yaitu sekitar 30-35 persen, baik dengan imputasi atau pun tanpa imputasi (BPS 2008). Apabila benih padi yang dipakai bukan yang tahan genangan maka jika terjadi genangan/banjir, petani harus menyediakan ulang biaya benih, pupuk dan pestisida dan pengolahan lahan sampai siap tanam. Jika tidak diganti maka dapat dipastikan petani akan
5 mengalami puso. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada eksperimen di BB Padi Sukamandi, tanaman PTR tidak mati setelah direndam selama 14 hari, sedangkan tanaman padi non-PTR mati (Nugraha et al. 2015), seperti disajikan pada Gambar 1. Periode tahun 2007 sampai dengan 2009, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbang TP 2013) bekerja sama dengan International Rice Research Institute (IRRI) dan dukungan Pemerintah Jepang telah menyebarkan varietas PTR kepada para petani di berbagai wilayah rawan banjir dan daerah rawa/pasang surut di Indonesia, seperti Pantai Utara Jawa, rawa pasang surut di Kalimantan Selatan dan rawa lebak di Sumatera Bagian Selatan. Varietas PTR tersebut adalah Inpari 29 dan Inpari 30, Inpara 3, Inpara 4 dan Inpara 5. Penyebaran varietas toleran rendaman ini sudah mencapai seluruh Indonesia, namun pemanfaatannya sangat rendah (Basrum et al. 2012). Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan Ikhwani (Desember 2013), preferensi petani terhadap varietas baru toleran rendaman memang rendah karena petani lebih menyukai varietas yang lama (Ciherang), selain itu beras dari PTR kurang laku dijual di pasaran, atau dibeli dengan harganya lebih rendah dari beras jenis lain, dan digunakan untuk dicampur dengan beras dari varietas padi lainnya.
PTR
PTR Non-PTR
Sebelum rendaman
Selama rendaman
PTR PTR PTR Non-PTR
Non-PTR Non-PTR
PTR PTR PTR
Setelah rendaman
Pemulihan 1 minggu
Gambar 1 Percobaan tanaman PTR yang masih bertahan hidup setelah direndam 14 hari (Nugraha et al. 2015)
6 Sayaka et al. (2006) menyatakan bahwa sistem penyediaan benih tradisional (tidak melalui sistem formal) masih banyak dilakukan petani. Hal ini sesuai dengan penelitian Tatlonghari et al. (2012) bahwa keputusan adopsi varietas padi baru sangat dipengaruhi oleh keluarga/kerabat dan teman sesama petani. Selain itu, Tatlonghari et al. (2012) juga menyimpulkan bahwa meneliti jaringan sosial berbasis gender untuk melihat bagaimana ketidaksetaraan gender mempengaruhi keefektifan modal sosial melalui jaringan sosial. Selanjutnya, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa informasi peluang pria dan wanita bervariasi dalam hal paparan dan kontrol informasi. Perbedaan ini terutama dipengaruhi oleh setting sosial dan budaya dalam sistem pertanian padi dan masyarakat. Perbedaan gender harus diperhitungkan saat menyelidiki faktor-faktor penentu jaringan sosial. Faktor-faktor yang mempengaruhi jaringan sosial berbeda berdasarkan jenis kelamin. Misalnya, laki-laki yang telah berusia lanjut cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih besar, sedangkan perempuan dari keluarga petani kaya cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih besar. Unsur komunikasi terdiri dari sumber, pesan, saluran dan penerima (Berlo 1960). Sumber komunikasi dapat dibedakan dari jenisnya misalnya penyuluh, pedagang saprotan, peneliti dan petani maju yang telah menggunakan varietas PTR. Selain itu dapat dilihat dari sifatnya, tingkatannya (level), kompetensinya dan apakah dapat dipercaya. Pesan di dalam penelitian ini merupakan inovasi teknologi benih PTR, yang adopsinya merupakan cerminan dari kesadaran tentang perubahan iklim dan hasilnya teridentifikasi pada adanya ketahanan pangan keluarga tani atau lebih jauh lagi adanya supply untuk industri berbasis beras. Saluran komunikasi ada dua yaitu langsung (interpersonal) dan bermedia (cetak dan/atau elektronik). Penerima pada penelitian ini adalah tentunya tidak dapat diabaikan, karena berbagai karakteristik atau profil keluarga yang bervariasi menentukan proses difusi inovasi yang terjadi. Profil keluarga petani antara lain: (1) ukuran keluarga atau jumlah anggota keluarga; (2) ekonomi keluarga; (3) penguasaan lahan; (4) pemilikan media komunikasi, (5) status sosial, dan (6) keterlibatan dalam organisasi petani. Selain itu, terdapat berbagai faktor eksternal yang harus dipertimbangkan karena mempengaruhi proses difusi inovasi yaitu antara lain: (1) kebijakan pemerintah; (2) ketersediaan input produksi; (3) daya serap pasar hasil produksi; dan (4) aspek sosial budaya. Menurut Doss (2006), kajian-kajian pada tingkat mikro jarang dapat memasukkan peubah kebijakan seperti peran kebijakan, kelembagaan, dan infrastruktur dalam adopsi teknologi introduksi dan dampaknya terhadap produktivitas dan kesejahteraan. Saran perbaikan dalam kajian mikro mengambil contoh yg representatif untuk mewakili populasi agar dapat menggeneralisasi pada tingkat agregasi yang lebih tinggi, sesuai dengan kaidah-kaidah standar kajian mikro yang sudah ditetapkan, dan menerapkan berbagai asumsi yang menjadi dasar kajian-kajian tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Tatlonghari et al. (2012), dalam penyediaan benih secara informal di tingkat petani, sering terjadi pertukaran benih dan peran perempuan dalam hal ini cukup signifikan. Jika petani sudah menerapkan dengan baik berbagai teknologi yang diintroduksikan dengan kata lain proses adopsi inovasi sudah berjalan baik, diharapkan terjadi peningkatan pendapatan dan sekaligus akan meningkatkan ketahanan pangan keluarganya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wu et al. (2010) bahwa inovasi pada usahatani padi gogo selalu meningkatkan kesejahteraan petani walaupun terjadi penurunan sehingga
7 terus diperlukan berbagai inovasi baru untuk mempertahakan kesejahteraan petani tersebut. Untuk itu, diperlukan penelitian tentang komunikasi inovasi PTR untuk ketahanan pangan keluarga petani dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Sampai saat ini varietas Ciherang masih menjadi varietas yang disukai petani Jawa Barat dan menduduki peringkat pertama dari segi jumlah yang diusahakan petani di Jawa Barat. Varietas Ciherang ini dilepas tahun 2001 dan baru diadopsi besar-besaran mulai tahun 2007. Namun sekarang sifat-sifat unggul genetik Varietas Ciherang telah menurun, baik dari aspek produktivitas maupun dari ketahanannya terhadap OPT. Terdapat varietas yang sudah diciptakan para pemulia padi yang dapat menggantikan varietas Ciherang ini yaitu PTR (Inpari 29 dan 30 untuk lahan irigasi dan Inpara 3, Inpara 4, dan Inpara 5 untuk lahan rawa). Pelepasan PTR baru seperti Inpari 30 telah dilakukan pada tahun 2012, namun baru pada awal 2015 varietas ini mulai dikenal petani. Diduga kerja diseminasi masih belum optimal, terutama dalam mengajak petani sebagai sasaran pembangunan menjadi paham dan mau menerapkan hasil-hasil penelitian, termasuk berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan varietas PTR. Perumusan Masalah Mencermati dan terkait dengan situasi dan kondisi di atas, perumusan masalah yang ada dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Bagaimana komunikasi (komunikator, inovasi PTR, media komunikasi dan profil keluarga petani PTR) inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat? 2. Bagaimana tingkat difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat? 3. Faktor eksternal apa saja yang berpengaruh terhadap difusi inovasi PTR keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat? 4. Bagaimana pengaruh difusi inovasi PTR terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan petani padi di Provinsi Jawa Barat? 5. Bagaimana strategi peningkatan difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan? Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara spesifik tujuan penelitian komunikasi inovasi padi toleran rendaman untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani, adalah untuk: 1. Mengidentifikasi unsur-unsur komunikasi (SMCR) inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat. 2. Menganalisis tingkat difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat. 3. Menganalisis faktor eksternal yang berpengaruh terhadap tingkat difusi inovasi PTR keluarga petani padi di Provinsi Jawa Barat.
8 4. 5.
Menganalisis pengaruh tingkat difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani di Provinsi Jawa Barat. Merumuskan strategi peningkatan difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga petani di Provinsi Jawa Barat. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat menjelaskan komunikasi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga petani yang relatif masih sedikit. Beberapa kegunaan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian antara lain adalah: 1. Bagi para peneliti dan akademisi, penelitian ini dapat memberikan inspirasi pengembangan penelitian tentang komunikasi inovasi PTR, untuk adaptasi perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga petani. 2. Bagi perancang dan perumus kebijakan tentang peningkatan produksi padi, hasil penelitian ini bisa menjadi masukan berharga bahwa komunikasi inovasi PTR, untuk adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani perlu dimasukkan sebagai salah satu komponen penting rancangan kebijakan tersebut di atas. 3. Bagi pemerintah daerah, terutama di wilayah rawan rendaman, penelitian ini memberikan semacam pemahaman dalam memenuhi kebutuhan padi dapat memanfaatkan varietas PTR, untuk adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani. 4. Bagi kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kegiatan utamanya melakukan pemberdayaan masyarakat pedesaan, terutama di wilayah rawan rendaman, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan bahan masukan, terutama dalam memanfaatkan varietas PTR. Kebaruan 1. 2. 3. 4.
Kebaruan penelitian adalah sebagai berikut: Sistem difusi inovasi PTR yang tidak terintegrasi dengan mekanisme pasar dan distribusi benih, memerlukan adanya affirmative action. Komunikasi inovasi PTR tidak akan berhasil tanpa dukungan ketersediaan benih dan daya serap pasar. Perempuan petani berperan lebih aktif dari lelaki petani dalam menyampaikan informasi inovasi PTR dan implementasinya. Status sosial ekonomi petani berperan signifikan sebagai penghela difusi inovasi PTR, adaptasi petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan.
2 TINJAUAN PUSTAKA Proses Komunikasi Berlo (1960) memusatkan perhatian pada proses komunikasi. Berlo menyatakan bahwa pemaknaan ada pada manusia bukan kata-kata. Dengan kata lain pemaknaan dari sebuah pesan ada pada gerak tubuh para komunikan bukan pada pesan itu sendiri. Konsep sumber dan penerima diperluas. Berlo adalah yang pertama yang menempatkan pancaindera sebagai bagian dari komunikasi. Dalam model komunikasi Berlo, diketahui bahwa komunikasi terdiri dari empat Proses Utama yaitu Source, Message, Channel, dan Receiver (SMCR) lalu ditambah tiga Proses Sekunder, yaitu Feedback, Efek, dan Lingkungan. Source (sumber): sumber adalah seseorang yang memberikan pesan atau dalam komunikasi dapat disebut sebagai komunikator. Walaupun sumber biasanya melibatkan individu, namun dalam hal ini sumber juga melibatkan banyak individu. Misalnya, dalam organisasi, partai, atau lembaga tertentu. Sumber juga sering dikatakan sebagai source, sender, atau encoder. Menurut Berlo (1960), source dan receiver dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: keterampilan berkomunikasi, tindakan yang diambil, luasnya pengetahuan, sistem sosial, dan kebudayaan lingkungan sekitar. Message (pesan): pesan adalah isi dari komunikasi yang memiliki nilai dan disampaikan oleh seseorang (komunikator). Pesan bersifat menghibur, informatif, edukatif, persuasif, dan juga bisa bersifat propaganda. Pesan disampaikan melalui dua cara, yaitu verbal dan nonverbal yang bisa disampaikan melalui tatap muka atau melalui sebuah media komunikasi. Pesan bisa dikatakan sebagai Message, Content, atau Information. Pesan yang diutarakan dikembangkan sesuai dengan elemen, struktur, isi, perlakuan, dan kode. Kemudian channel yang akan digunakan berhubungan langsung dengan panca indera, yaitu dengan melihat, mendengar, menyentuh, mencium bau-bauan, dan mencicipi. Channel (saluran komunikasi): sebuah saluran komunikasi terdiri atas tiga bagian yaitu lisan, tertulis, dan elektronik. Media di sini adalah sebuah alat untuk mengirimkan pesan tersebut. Misal secara personal (komunikasi interpersonal), maka media komunikasi yang digunakan adalah panca indra atau bisa memakai media telepon, telegram, handphone, yang bersifat pribadi. Adapun komunikasi yang bersifat massa (komunikasi massa), dapat menggunakan media cetak (koran, suratkabar, dan majalah), dan media elektornik (televisi, radio). Untuk Internet, termasuk media yang fleksibel, karena bisa bersifat pribadi dan bisa bersifat massa karena internet mencakup segalanya, sehingga dikelompokkan sebagai media hibrid. Receiver (penerima pesan): penerima adalah orang yang mendapatkan pesan dari komunikator melalui media. Penerima adalah elemen yang penting dalam menjalankan sebuah proses komunikasi, karena, penerima menjadi sasaran dari komunikasi tersebut. Penerima dapat juga disebut sebagai komunikan, audiens, publik, khalayak, dan masyarakat. Receiver meliputi aspek keterampilan dalam berkomunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, kebudayaan. Elemen tambahan yang terdiri dari: (1) Feedback (umpan balik): adalah suatu respons yang diberikan oleh penerima. Penerima di sini bukan dimaksudkan
10 kepada penerima sasaran (khalayak), namun juga bisa didapatkan dari media itu sendiri; (2) Effect: Sebuah komunikasi dapat menyebabkan efek tertentu. Efek komunikasi adalah sebuah respons pada diri sendiri yang bisa dirasakan ketika kita mengalami perubahan (baik itu negatif atau positif) setelah menerima pesan. Efek ini adalah sebuah pengaruh yang dapat mengubah pengetahuan, perasaan, dan tindakan (kognitif, afektif, dan konatif); dan (3) Lingkungan: adalah sebuah situasi yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu komunikasi. DeVito (2011) menjelaskan bahwa komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Lingkungan (konteks) komunikasi setidak-tidaknya memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi sosial-psikologis, dan dimensi temporal. Lingkungan merupakan tempat terjadi komunikasi disebut sebagai lingkungan fisik atau lingkungan nyata; Dimensi sosial psikologis meliputi antara lain tata hubungan status yang terlibat di dalam komunikasi, peran yang dijalankan, serta aturan budaya dimana mereka berkomunikasi. Termasuk didalam konteks ini adalah rasa persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atau senda gurau; Dimensi temporal (waktu) merupakan waktu pada saat komunikasi berlangsung. Secara grafis model komunikasi DeVito dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber Penerima
Gangguan
Sumber
Penerima
Gambar 2 Universal komunikasi antarmanusia (DeVito 2011) Selanjutnya DeVito (2011) mengatakan bahwa tujuan manusia berkomunikasi adalah untuk penemuan diri, berhubungan, baik dengan keluarga, tetangga maupun teman kantor, untuk meyakinkan, dan untuk bermain. Komunikasi tersebut dilakukan secara langsung maupun melalui media. Littlejohn (2009) mengemukakan bahwa dalam komunikasi dikenal adanya berbagai komunikasi yaitu komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa. Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) adalah komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Komunikasi intrapribadi menekankan bagaimana jalannya proses pengolahan informasi yang dialami seseorang melalui sistem syaraf dan
11 inderanya; komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antarperorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (face to face) maupun melalui media (misalnya telepon atau surat); komunikasi kelompok (group communication) memfokuskan pembahasannya pada interaksi di antara orang-orang dalam kelompok kecil; komunikasi organisasi (organization communication) mengarah pada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan organisasi; komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa yang ditujukan pada sejumlah khalayak yang besar. Lasswell dalam Saleh (2006) menyatakan tentang fungsi komunikasi, yaitu untuk pengamatan terhadap lingkungan; penghubung bagian-bagian yang ada di dalam masyarakat agar masyarakat dapat memberi respons terhadap lingkungan tersebut; dan pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Konsep pengamatan terhadap lingkungan merupakan pengumpulan dan pendistribusian informasi mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu lingkungan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat. Komunikasi sebagai penghubung bagian-bagian masyarakat mengandung arti melakukan interpretasi terhadap informasi mengenai lingkungan, dan selanjutnya memberitahukan cara-cara memberikan reaksi terhadap apa yang terjadi. Adapun fungsi komunikasi sebagai pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya berfokus pada mengkomunikasikan pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pengertian Kesadaran Kesadaran berasal dari kata sadar. Sadar artinya merasa, tahu atau ingat (kepada keadaan yang sebenarnya), keadaan ingat akan dirinya, ingat kembali (dari pingsannya), siuman, bangun (dari tidur) ingat, tahu dan mengerti, misalnya, rakyat telah sadar akan politik. Kesadaran merupakan suatu yang dimiliki oleh manusia dan tidak ada pada ciptaan Tuhan yang lain. Kesadaran yang dimiliki oleh manusia merupakan bentuk unik untuk dapat menempatkan diri manusia sesuai dengan yang diyakininya. Refleksi merupakan bentuk dari pengungkapan kesadaran, dimana dapat memberikan atau bertahan dalam situasi dan kondisi tertentu dalam lingkungan. Kesadaran sebagai keadaan sadar, bukan merupakan keadaan yang pasif melainkan suatu proses aktif yang terdiri dari dua hal hakiki; diferensiasi dan integrasi. Meskipun secara kronologis perkembangan kesadaran manusia berlangsung pada tiga tahap; sensasi (penginderaan), perseptual (pemahaman), dan konseptual (pengertian). Secara epistemology dasar dari segala pengetahuan manusia tahap perseptual. Sensasi tidak begitu saja disimpan di dalam ingatan manusia, manusia tidak mengalami sensasi murni yang terisolasi. Sejauh yang dapat diketahui pengalaman inderawi seorang bayi merupakan kekacauan yang tidak terdeferensiasikan. Kesadaran yang terdiskreminasi pada tingkatan persepsi. Persepsi merupakan sekelompok sensasi yang secara otomatis tersimpan dan diintegrasikan oleh otak dari suatu organisme yang hidup. Dalam bentuk persepsi inilah, manusia memahami fakta dan memahami realitas. Persepsi bukan sensasi, merupakan yang tersajikan secara tertentu (the given) yang jelas pada dirinya sendiri (the self evidence). Pengetahuan tentang sensasi sebagai
12 bagian komponen dari persepsi tidak langsung, yang diperoleh manusia jauh kemudian, merupakan penemuan ilmiah, penemuan konseptual. Menurut Adesina dan Forson (1995) persepsi petani tentang karakteristik teknologi inovasi secara nyata berpengaruh terhadap keputusan adopsi serta Adesina dan Zinnah (1991), persepsi petani tentang atribut suatu varietas padi merupakan faktor utama yang menentukan adopsi dan intensitasnya. Indikator tradisonal penentu adopsi yang biasa digunakan pada kajian adopsi – difusi, tidak penting dalam mendorong keputusan adopsi. Oleh karena itu diperlukan adanya kajian tentang adopsi yang mempertimbangkan persepsi petani tentang atribut teknologi khusus dalam penilaian keputusan adopsi teknologi. Berdasarkan uraian di atas, maka kesadaran petani dalam memahami perubahan iklim dan ketersediaan PTR penting untuk memperbaiki pola usahatani yang dilakukannya. Indikator dalam peubah kesadaran petani adalah kesadaran petani yang dibagi kepada dua hal yaitu (a) kesadaran diferensiasi dan (b) kesadaran integrasi. Tidak seperti para petani dan nelayan di Indonesia, perubahan iklim telah dipahami dengan baik oleh para produsen seafood (nelayan) di Australia (Fleming et al. 2014). Hal ini tentunya tidak terlepas dari tingkat pendidikan petani dan nelayan di Australia yang lebih maju, dan pemerintahnya lebih peka serta menyadari pentingnya mensosialisasikan perubahan iklim. Pengertian Preferensi Preferensi atau selera adalah sebuah konsep, yang digunakan pada ilmu sosial, khususnya ekonomi. Ini mengasumsikan pilihan realitas atau imajiner antara alternatif-alternatif dan kemungkinan dari pemeringkatan alternatif tersebut, berdasarkan kesenangan, kepuasan, gratifikasi, pemenuhan, kegunaan yang ada. Lebih luas lagi, bisa dilihat sebagai sumber dari motivasi. Dalam ilmu kognitif, preferensi individual memungkinkan pemilihan tujuan/goal. Banyak faktor yang mempengaruhi preferensi seseorang yang dapat berasal dari lingkungan (stimulus) dan yang berasal dari individunya sendiri. Di antara faktor tersebut adalah adanya ketersediaan informasi yang dimiliki dan motivasi seseorang untuk pencapaian suatu keinginan. Berdasarkan uraian di atas, maka preferensi petani yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah preferensi petani (sebagai sumber motivasi yang meliputi) dalam menentukan jenis benih yang digunakan dalam usahatani padi: (1) ketersediaan informasi, (2) keinginan berhasil, (3) pencapaian tujuan. Difusi Inovasi Teori difusi inovasi dikemukakan Rogers (1995) dikutip oleh Littlejohn (2009) menyatakan bahwa inovasi disebarkan melalui jalur tertentu sepanjang waktu dan dalam suatu sistem sosial tertentu. Setiap manusia memiliki tingkat keinginan yang berbeda untuk mengadopsi inovasi. Hasil pengamatan Rogers menunjukkan bahwa porsi penduduk yang mengadopsi suatu inovasi mendekati distribusi normal dari waktu ke waktu. Jika distribusi normal ini dibagi sesuai
13 dengan segmennya, didapatkan lima kategori keinovatifan seseorang yang diurutkan berdasarkan kecepatan pengadopsian suatu inovasi, yaitu: 1. Inovator: adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi. Jika kita kaitkan dengan perubahan iklim dan penggunaan PTR untuk mengatasi kondisi pertanian yang mengalami gangguan iklim, maka dapat dikatakan bahwa Inovator adalah seorang atau sekelompok orang yang berani untuk mencoba menanam padi dengan PTR. Kemudian inovator akan memberikan informasi lebih baik dan mudah menjelaskan kepada pengguna PTR lainnya. Dalam hal ini ada berbagi pengalaman dalam bertani; 2. Pengguna awal: Kelompok ini lebih lokal dibanding kelompok inovator. Kategori adopter seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi. Jika dikaitkan dengan pengaruh iklim dan penggunaan PTR maka dapat dikatakan bahwa Pengguna awal dalam PTR ini merupakan kelompok yang selalu mencari informasi tentang pola tanam ataupun informasi lain yang berhubungan dengan iklim dan PTR; 3. Mayoritas awal: Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat. Jika dikaitkan dengan perubahan iklim dan penggunaan PTR, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas awal merupakan kelompok yang selalu membuat kompromi dengan kelompok lainnya untuk memutuskan dalam mengadopsi pola penggunaan PTR atau pola menghadapi perubahan iklim; 4. Mayoritas akhir: Kelompok yang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi. Jika dikaitkan dengan perubahan iklim dan penggunaan PTR, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas akhir ini adalah kelompok yang akan melakukan adopsi dalam pola penggunaan PTR, jika secara ekonomi mereka diuntungkan maka mereka akan melakukan penggunaan PTR sebagai sebuah solusi untuk penggunaan varietas padi yang dapat mengatasi usaha tani tidak gagal, dan 5. Kolot atau laggard: Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi. Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal-hal baru. Kelompok ini biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang
14 yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman. Dapat dikatakan bahwa kelompok ini adalah kelompok yang sangat tradisional dan terlalu hati-hati. Para petani akan mengalami banyak hal dalam menerima informasi tentang perubahan iklim dan informasi inovasi PTR yang merupakan salah satu varietas yang dapat membantu dan mengatasi masalah petani padi dalam usaha tani. Lebih lanjut Rogers dikutip oleh Littlejohn (2009) mengemukakan tahapan peristiwa yang menciptakan proses difusi yaitu: (1) Mempelajari Inovasi: Tahapan ini merupakan tahap awal ketika petani mulai melihat, dan mengamati inovasi dari berbagai sumber, khususnya media massa. Pengadopsi awal biasanya merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan menonton televisi, sehingga mereka bisa menangkap inovasi yang ada. Jika sebuah inovasi dianggap sulit dimengerti dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak akan diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya jika yang dianggapnya baru merupakan hal mudah, maka mereka akan lebih cepat mengadopsinya. Beberapa jenis inovasi bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi interpersonal dan kedekatan secara fisik; (2) Pengadopsian: Dalam tahap ini petani mulai menggunakan inovasi yang mereka pelajari. Diadopsi atau tidaknya sebuah inovasi oleh petani ditentukan juga oleh beberapa faktor. Hasil-hasil penelitian sebelumnya membuktikan bahwa semakin besar keuntungan yang didapat, semakin tinggi dorongan untuk mengadopsi perilaku tertentu. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh keyakinan terhadap kemampuan seseorang. Sebelum seseorang memutuskan untuk mencoba hal baru, orang tersebut biasanya bertanya pada diri mereka sendiri apakah mereka mampu melakukannya. Jika seseorang merasa mereka bisa melakukannya, maka mereka akan cenderung mengadopsi inovasi tersebut. Selain itu, dorongan status juga menjadi faktor motivasional yang kuat dalam mengadopsi inovasi. Beberapa orang ingin selalu menjadi pusat perhatian dalam mengadopsi inovasi untuk menunjukkan status sosialnya di hadapan orang lain. Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki individu tersebut serta persepsi dirinya. Jika sebuah inovasi dianggapnya menyimpang atau tidak sesuai dengan nilai yang ia anut, maka ia tidak akan mengadopsinya. Semakin besar pengorbanan yang dikeluarkan untuk mengadopsi sebuah inovasi, semakin kecil tingkat adopsinya; (3) Pengembangan Jaringan Sosial: Seseorang yang telah mengadopsi sebuah inovasi akan menyebarkan inovasi tersebut kepada jaringan sosial di sekitarnya, sehingga sebuah inovasi bisa secara luas diadopsi oleh petani. Difusi sebuah inovasi tidak lepas dari proses penyampaian dari satu individu ke individu lain melalui hubungan sosial yang mereka miliki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebuah kelompok yang solid dan dekat satu sama lain mengadopsi inovasi melalui kelompoknya. Dalam proses adopsi inovasi, komunikasi melalui saluran media massa lebih cepat menyadarkan petani mengenai penyebaran inovasi dibanding saluran komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal memengaruhi manusia untuk mengadopsi inovasi yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh media massa.
Sumber: Rogers (2003)
Karakteristik Inovasi: 1. Keuntungan Relatif 2. Kecocokan 3. Tingkat kesulitan 4. Bisa dicoba-coba 5. Dapat diamatamati
Persuasi Penerapan
Menolak
Adopsi
Pengambilan keputusan
Gambar 3 Fungsi komunikasi dalam proses difusi inovasi
Pengetahuan
Karakateristik Pengambil Keputusan: 1. Sosial Ekonomi 2. Peubah Individu 3. Perilaku Komunikasi
Kondisi Awal: 1. Situasi awal 2. Masalah dan kebutuhan 3. Inovasi 4. Sistem Sosial
Saluran Komunikasi
Terus menolak Adopsi
Lanjut Adopsi
Konfirmasi
15
16 Sesuai dengan pemikiran Rogers (2003), dalam proses difusi inovasi terdapat empat elemen pokok, yaitu: 1. Inovasi: gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subyektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali. 2. Saluran komunikasi: ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Apabila komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal. 3. Jangka waktu: proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial. 4. Sistem sosial: kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama. Proses difusi inovasi mengarahkan petani untuk melakukan adopsi yang benar dan tepat. Rogers (2003) dan Littlejohn (2009) menjelaskan fungsi komunikasi dalam proses pengambilan keputusan inovasi mencakup lima tahapan seperti disajikan pada Gambar 3. 1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit sementara pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahamieksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi; 2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik; 3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi; 4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi; dan 5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.
17 Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Usahatani Padi Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Istilah ini bisa juga berarti perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata, contohnya, jumlah peristiwa cuaca ekstrim yang semakin banyak atau sedikit. Perubahan iklim terbatas hingga regional tertentu atau dapat terjadi di seluruh bagian wilayah bumi. Dalam penggunaannya saat ini, khususnya pada kebijakan lingkungan, perubahan iklim merujuk pada perubahan iklim modern. Perubahan ini dapat dikelompokkan sebagai perubahan iklim antropogenik atau lebih umumnya dikenal sebagai pemanasan global atau pemanasan global antropogenik. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. Penjelasan IPCC (2007) menyatakan bahwa pemanasan global dapat menyebabkan terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin, mempengaruhi masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta mempengaruhi berbagai ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang yang tinggi (termasuk ekosistem di daerah Artika dan Antartika), lokasi yang tinggi, serta berbagai ekosistem pantai. Perubahan iklim global telah menyebabkan terjadinya perubahan iklim sehingga daerah sentra produksi padi yang kebanyakan berada pada lokasi dataran rendah sangat rentan terhadap semakin besarnya peluang terjadinya banjir. Bencana banjir tersebut sangat berpengaruh terhadap sistem budidaya tanaman padi. Smith et al. (2003) menyatakan bahwa negara berkembang lebih rawan terhadap perubahan iklim. Sebagai contoh, di negara berkembang banyak penduduk yang tinggal sepanjang garis pantai yang tentunya rawan terhadap kenaikan permukaan air laut. Hal ini sangat cocok dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia setelah Amerika Serikat. Telah diakui bahwa revolusi hijau telah berhasil meningkatkan produksi padi nasional meskipun disadari berbagai kekurangannya, antara lain: (1) terfokusnya pada pengembangan lahan sawah irigasi, (2) input produksi tinggi dengan tingkat efisiensi rendah, (3) aspek lingkungan dan kestabilan produktivitas jangka panjang kurang terperhatikan. Oleh karena itu perhatian yang lebih besar perlu diberikan pada pengembangan varietas untuk lingkungan sub-optimal, seperti lahan kering, sawah tadah hujan, dan lahan rawa/pasang surut (Claassen & Shaw 1970; Suprihatno & Darajat 2008). Perubahan iklim global seperti peningkatan temperatur udara, peningkatan ketinggian permukaan air laut dan perubahan pola hujan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan kebanjiran secara ekstrim (Mirza 2003). Perubahan tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisi agroklimatologi untuk produksi pangan termasuk padi (Wassman & Doberman 2007). Menurut Kementerian Pertanian, luas areal tanaman padi di wilayah sentra produksi yang terkena banjir pada musim hujan tahun 2007 hingga bulan Januari 2008, mencapai 157 651 ha, sedang yang terkena puso mencapai 59 211 ha. Selama Januari-Agustus 2008, luas areal pertanaman padi secara nasional yang
18 mengalami kekeringan mencapai 183 582 ha dan sekitar 16 475 ha tanaman padi gagal panen atau puso. Sebagai pembanding cekaman kekeringan di Jawa dan Bali dalam 20 tahun terakhir menurunkan produksi padi sebesar 6,5-11 persen (Naylor et al. 2007). Toleransi padi terhadap rendaman bervariasi antar varietas dan sifat tersebut diwariskan secara genetik (Mackill et al. 1993). Sejumlah varietas padi menunjukkan toleransi yang baik terhadap rendaman penuh sampai dengan 14 hari. Xu dan Mackill (1996) telah berhasil memetakan Quantitative Trait Loci (QTL) mayor penyandi toleransi terhadap rendaman, disebut sebagai Sub1, pada chromosome 9 yang berasal dari varietas toleran FR 13A. Lokus tersebut mampu menjelaskan 70 persen variasi fenotipik toleransi terhadap rendaman. Terdapat tiga gen yang mengandung ethylene response factor (ERF) pada lokus Sub1 tersebut yaitu Sub 1A, B dan C (Xu et al. 2006). Dari ketiga gen tersebut, gen Sub 1A merupakan penentu utama toleransi yang mampu terinduksi dengan kuat sebagai respons terhadap rendaman pada varietas-varietas yang toleran. Varietasvarietas yang membawa gen toleran Sub1 mampu bertahan hidup pada kondisi terendam penuh sampai dengan 14 hari. Jika perubahan iklim tidak diantisipasi atau dilakukan persiapan khusus untuk menghadapinya, diperkirakan hal ini bukan saja akan berakibat buruk bagi sistem pertanian melainkan juga bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Bahkan bukan tidak mungkin perubahan iklim ini akan membawa akibat lebih luas, antara lain melemahkan kinerja sektor pertanian dan penurunan daya saing produk pertanian. Jika hal ini terjadi, akan dapat menjadi hambatan besar bagi upaya pengentasan kemiskinan, pengangguran dan ketahanan pangan (Sejati et al. 2011). Sumaryanto et al. (2012) menyatakan bahwa dari seluruh petani produsen pangan (padi, jagung, kedele, dan tebu) Indonesia, 76 persen di antaranya hanya menguasai lahan garapan usahatani kurang dari satu hektar. Dengan kondisi seperti itu, diduga kuat bahwa sebagian besar petani rentan terhadap variabilitas iklim yang tajam. Oleh karena itu jika tidak ada kebijakan dan strategi yang tepat untuk memperkuat kapasitas adaptasi petani pangan maka bukan hanya nasib petani yang dipertaruhkan, tetapi ketahanan pangan nasional juga terancam keberlanjutannya karena aktor utama penghasil pangan adalah petani. Hal ini didukung oleh Holzkamper et al. (2011), bahwa iklim dengan variabilitas ruang dan waktunya merupakan salah satu faktor penentu produktivitas pertanian di suatu wilayah. Bryan et al. (2009) menyatakan bahwa pengertian dan persepsi petani yang lebih baik tentang perubahan iklim, tindakan-tindakan adaptasi saat ini, dan pengambilan keputusan sangat penting untuk menginformasikan berbagai kebijakan yang bertujuan agar petani berhasil dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam konteks kepentingan sektor pertnian. Adaptasi ini dapat berupa mengganti tanaman atau varietas tanaman, menanam tanaman keras, konservasi tanah, mengubah waktu tanam dan menerapkan irigasi. Selanjutnya Sumaryanto et al. (2012) juga menyatakan bahwa peningkatan kapasitas adaptasi petani pangan tidak dapat dilakukan oleh petani sendiri. Peran Pemerintah sangat diperlukan, baik dalam konteks penguatan kapasitas adaptasi petani melalui inovasi teknologi dan pengembangan kemampuan manajerialnya maupun petani dalam penyediaan infrastruktur, kebijakan harga, dan perbaikan kelembagaan pendukungnya, mengingat cakupannya luas, multidimensi, bersifat lintas sektor, serta aspek teknisnya berkenaan langsung dengan kehidupan
19 keseharian beragam petani yang jumlahnya sangat besar maka kebijakan, program, dan strateginya harus bersifat komprehensif dan secara cermat memperhitungkan simpul-simpul kritis yang sifatnya spesifik lokal. Data dan informasi seperti itu hanya dapat diperoleh melalui penelitian empiris. Profil Keluarga Petani Berbagai definisi keluarga disampaikan para ahli, antara lain, keluarga bisa berarti ibu, bapak, anak-anaknya atau seisi rumah yang menjadi tanggungan kepala keluarga. Selain itu keluarga juga berarti kaum yaitu sanak saudara serta kaum kerabat. Definisi lain keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama. Para ahli sosiologi berpendapat bahwa asal-usul pengelompokan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan. Dari sinilah pengertian keluarga dapat dipahami dari berbagai segi. Pertama, dari segi orang melangsungkan perkawinan yang sah serta dikaruniai anak. Kedua, lelaki dan perempuan yang hidup bersama serta memiliki seorang anak namun tidak pernah menikah. Ketiga dari segi hubungan jauh antar anggota keluarga, namun masih memiliki ikatan darah. Keempat, keluarga yang mengadopsi anak dari orang lain. Beberapa pengertian keluarga di atas secara sosiologis menunjukkan bahwa dalam keluarga itu terjalin suatu hubungan yang sangat mendalam dan kuat, bahkan hubungan tersebut bisa disebut dengan hubungan lahir batin. Adanya hubungan ikatan darah menunjukkan kuatnya hubungan yang dimaksud. Hubungan antara keluarga tidak saja berlangsung selama mereka masih hidup tetapi setelah mereka meninggal dunia pun masing-masing individu. Individu masih memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi ekonomis, keluarga berusaha untuk memenuhi segala keperluan anggota keluarganya. Keluarga petani ialah keluarga yang penghasilannya dominan berasal dari sektor pertanian. Perilaku ekonomi komunitas petani, secara implisit dan eksplisit mengidentifikasi hubungan antara dimensi ekonomi dan konteks sosial budaya suatu sistem berada. Becker dikutip oleh Priyanti et al. (2007) mengembangkan teori yang mempelajari tentang perilaku rumahtangga dan merupakan dasar dari Ekonomi Rumahtangga Baru (New Household Economics). Rumahtangga dipandang sebagai pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi, serta hubungan alokasi waktu dan pendapatan rumahtangga yang dianalisis secara simultan. Formulasi ini menyatakan bahwa terdapat dua proses dalam perilaku rumahtangga, yakni proses produksi yang digambarkan oleh fungsi produksi dan proses konsumsi untuk memilih barang dan waktu santai yang dikonsumsi. Formulasi Becker tersebut tidak memasukkan peubah waktu santai, sehingga Gronau dikutip oleh Priyanti et al. (2007) mengembangkan model ekonomi rumahtangga dengan membedakan secara eksplisit antara waktu santai dengan waktu bekerja dalam rumahtangga. Dengan asumsi bahwa perilaku rumahtangga untuk melaksanakan kegiatan rumahtangga dan waktu santai bereaksi sama terhadap perubahan lingkungan, Gronau (Priyanti et al. 2007) berpendapat bahwa tidak adanya peubah waktu santai dalam formulasi, dan menurut Becker (Priyanti et al. 2007) disebabkan oleh
20 kesulitan dalam membedakan antara pekerjaan rumahtangga dan waktu santai. Singh dan Janakrim dikutip oleh Priyanti et al. (2007) mengembangkan formulasi tersebut dengan model bahwa rumahtangga adalah pengambil keputusan dalam kegiatan produksi dan konsumsi dalam hubungannya dengan alokasi waktu. Dari uraian di atas, maka sistem ekonomi rumahtangga petani yaitu yang terkait dengan: (1) produksi, (2) alokasi penggunaan tenaga kerja keluarga, (3) penggunaan input dan biaya produksi, (4) penerimaan dan pendapatan, serta(5) pengeluaran. Produksi sistem integrasi produksi padi dalam satu tahun. Penggunaan tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk usahatani milik sendiri, untuk usahatani milik orang lain, dan usaha di luar pertanian. Biaya sarana produksi terdiri atas biaya sarana penggunaan input produksi dan tenaga kerja. Penerimaan usaha merupakan jumlah penerimaan yang diterima oleh petani dari masing-masing volume usahatani yang dihasilkan dengan harga output. Selisih antara masing-masing penerimaan usaha dan biaya sarana produksi merupakan pendapatan petani dari usahataninya. Penerimaan dari usaha buruh tani maupun buruh non-pertanian, di samping penerimaan petani dari usaha luar pertanian dan usaha tetap lainnya juga merupakan pendapatan total rumahtangga petani. Struktur pengeluaran rumahtangga petani terdiri atas alokasi pengeluaran rutin yang harus dibayar untuk konsumsi pangan dan non-pangan, pengeluaran pendidikan dan kesehatan sebagai investasi sumber daya, investasi produksi, tabungan dan cicilan kredit untuk usahatani. Bertrand dalam Ranjabar (2006) mengemukakan bahwa proses-proses dalam sistem sosial mencakup: (a) komunikasi (communication); dalam sistem sosial komunikasi berfungsi sebagai suatu yang penting untuk menyampaikan informasi, mengutarakan sikap, perasaan atau kebutuhan, (b) memelihara tapal batas (boundary maintenance); semua sistem sosial mempunyai cara-cara tertentu untuk melindungi atau mempertahankan identitasnya, (c) penjalinan sistem (systemic linkage); suatu proses menjalin ikatan antara suatu sistem dengan sistem lainnya, (d) sosialisasi (socialization); suatu proses penyebaran warisan-warisan sosial dan budaya oleh seseorang dari masyarakatnya, (e) pengawasan sosial (social control), sebagai suatu proses pembatasan atau pengekangan tingkah laku, (f) pelembagaan (institutionalization); merupakan proses pengesahan suatu pola tingkah laku tertentu menjadi hukum, yaitu diakui sebagai benar dan tepat, (g) perubahan sosial (social change); sebagai suatu perubahan di dalam pola interaksi sosial yang berlaku. Inovasi Padi Toleran Rendaman Petani padi yang berada pada lahan rawan genangan umumnya tidak menanam PTR, sehingga produktivitasnya rendah. Namun ada pula petani yang menanam padi lokal toleran rendaman tetapi produktivitasnya rendah (Septiningsih et al. 2009; Bhowmick et al. 2014). Ketersediaan teknologi untuk mengantisipasi dampak buruk dari banjir dan rendaman telah dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi, berupa varietas unggul baru (VUB) padi adaptif atau toleran terhadap rendaman/genangan fase vegetatif.
21 Varietas seperti Inpara-3, sangat cocok untuk ditanam di daerah rendaman pada lahan rawa lebak, pasang surut dan juga sawah rawan banjir yang konsumennya menyukai tekstur nasi pera. Varietas lainnya adalah Inpara-4 untuk lahan rawa lebak, pasang surut, dan cocok pula untuk lahan sawah rawan banjir karena tingkat ketahanannya terhadap rendaman lebih baik dibanding dengan Inpara 3.Inpara-5, berasal dari IR64 yang telah diperbaiki ketahanannya terhadap rendaman, sedangkan Inpari 29 dan Inpari 30 berasal dari varietas Ciherang yang telah diperbaiki ketahanannya terhadap rendaman. Varietas-varietas tersebut selain memiliki ketahanan terhadap rendaman, juga bertekstur nasi pulen (Balitbang 2014). Adopsi Inovasi Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang adopsi inovasi, beberapa di antaranya diangkat sebagai rujukan penelitian ini. Hasil penelitian Sudjarmoko et al. (2013) menunjukkan bahwa adopsi benih unggul karet dipengaruhi secara langsung oleh harapan petani (Product Performance Expectancy/PPE), Social and Technical Influence (STI), dan harga benih unggul karet. Untuk meningkatkan adopsi benih unggul oleh petani karet, diperlukan pengembangan atribut-atribut benih unggul, terutama umur panen dan kualitas benih. Percepatan proses adopsi benih unggul karet juga dapat dilakukan melalui kegiatan diseminasi teknologi, penyebaran buku-buku panduan, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan, leaflet dan poster, serta teknik advokasi melalui kelompok tani. Ukuran adopsi inovasi (Nasrul 2011) dilihat dari ukuran kecepatan atau selang waktu antara diterimanya informasi dan penerapan yang dilakukan dikategorikan lambat (1 minggu-1 bulan) sebesar 52 persen, luas penerapan inovasi atau proporsi jumlah ternak yang telah diberi inovasi yaitu diterapkan sebesar 51 persen, dan mutu intensifikasi yakni membandingkan penerapan dengan rekomendasi yang disampaikan oleh penyuluh yaitu baik sebesar 53 persen. Perubahan perilaku peternak dari aspek pengetahuan (cognitive) sebesar 69 persen, aspek sikap (affective) sebesar 57 persen dan aspek keterampilan (psychomotoric) sebesar 74 persen. Lestari et al. (2009) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi peternak di Kecamatan Bajubang Kabupaten Batang Hari sebesar 90 persen. Umur peternak berpengaruh negatif terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler dimana semakin tinggi umur peternak maka semakin rendah tingkat adopsi inovasinya. Tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah pemilikan ternak, pengalaman beternak dan pendapatan beternak tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi inovasi dalam beternak ayam broiler. Kesimpulan dari hasil penelitian adalah tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler di Kecamatan Bajubang Kabupaten Batang Hari termasuk kategori tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi peternak dalam beternak ayam broiler adalah umur peternak. Bulu et al. (2009) menyatakan bahwa modal sosial dalam adopsi inovasi jagung dipengaruhi oleh frekuensi komunikasi inovasi, intensitas komunikasi inovasi, motivasi kerja, sikap petani, nilai manfaat ekonomi inovasi, ketersediaan pasar dan tingkat adopsi inovasi. Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata
22 ialah modal sosial, akses informasi inovasi, ketersediaan inovasi dan ketersediaan pasar. Hasil penelitian Indraningsih (2011) tentang keputusan adopsi dan membedakan antara petani adopter dan non-adopter menunjukkan bahwa faktorfaktor yang berpengaruh terhadap petani adopter dalam persepsi penyuluhan adalah mobilitas, intelegensi, tingkat keberanian berisiko, dan kerja sama. Faktorfaktor yang berpengaruh pada petani non-adopter dalam persepsi penyuluhan adalah daya beli, kerja sama, keterdedahan terhadap media, dan ketersediaan sarana fasilitas keuangan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap karakteristik inovasi pada petani adopter adalah tingkat pendapatan, luas lahan, sikap terhadap perubahan serta kompetensi dan peran penyuluh. Untuk petani non-adopter, faktor-faktor yang berpengaruh adalah intelegensi, keberanian berisiko, kekosmopolitan, ketersediaan input dan ketersediaan sarana pemasaran. Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap tingkat adospsi pada petani adopter adalah manfaat langsung inovasi berupa keuntungan relatif, kesesuaian teknologi serta persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi interpersonal. Pada nonadopter, faktor-faktor tersebut adalah: kesesuaian dan kerumitan teknologi, dan persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi interpersonal sebagai penyampai teknologi yang komunikatif bagi petani. Dalam penelitian Serah (2014) ditemukan bahwa karateristik sistem sosial dari inovasi serta saluran komunikasi berpengaruh positif terhadap adopsi inovasi teknologi traktor tangan. Peubah-peubah yang lebih berpengaruh adalah karakteristik inovasi itu sendiri. Adaptasi Petani Menurut Sejati et al. (2011), bentuk-bentuk adaptasi antisipatif dan responsif terhadap perubahan iklim yang telah dilakukan masyarakat petani baik secara kelompok maupun secara individu di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Barat adalah: (a) melakukan perubahan pola tanam yang disesuaikan dengan kondisi iklim; (b) mengubah saat awal tanam, menyesuaikan dengan kecukupan curah hujan dan hari hujan; (c) mengubah sistem tanam, misalnya padi sawah menjadi gogo rancah (d) mengubah sistem pengairan dari penggenangan secara terus-menerus menjadi pengairan berselang, atau bahkan hanya dengan sistem siram; (e) menggunakan pupuk kimia dan pupuk organik yang disesuaikan dengan kondisi iklim; (f) mengubah pilihan komoditas disesuaikan dengan kondisi iklim; (g) mengubah pilihan varietas yang ditanam disesuaikan dengan kondisi iklim; dan (h) pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur irigasi. Selanjutnya teknologi adaptif yang diterapkan meliputi: (a) pembuatan dam, sumur renteng, sumur slang, dan sumur pompa; (b) perencanaan pola tanam disesuaikan dengan kondisi iklim (curah hujan tinggi menanam padi dan cuaca kering dengan palawija); (c) pemakaian benih varietas umur pendek saat gadu misalnya varietas Situgonggo dan Godogan; (d) pemupukan secara lengkap dan berimbang, disesuaikan dengan kondisi iklim, di mana dosis pupuk urea dikurangi dan pupuk organik ditambah; dan (e) meningkatkan pengetahuan petani tentang perubahan iklim dan dampak perubahan iklim termasuk eksplosi serangan hama dan penyakit tanaman, melalui SLPHT, SLPTT, SLI. Keefektifan strategi adaptasi yang ditempuh kelompok tani di Kabupaten Indramayu dan
23 Kabupaten Bantul dalam menghadapi bencana kebanjiran adalah sangat efektif karena nilai R/C rasio dalam kondisi terjadi kebanjiran lebih besar dari satu, sedangkan keefektifan strategi adaptasi yang ditempuh kelompok tani di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Indramayu dalam menghadapi bencana kekeringan yang melanda persawahan mereka adalah tidak efektif karena nilai R/C rasio dalam kondisi terjadi kekeringan lebih kecil dari satu. Kondisi ini terjadi kemungkinan besar karena bauran antara strategi adaptasi yang ditempuh kelompok tani tidak tepat dan intensitas bencana kekeringan yang terjadi tergolong cukup tinggi. Sejati et al. (2011) menyatakan bahwa kapabilitas kelompok tani dalam menghadapi dampak perubahan iklim masih relatif lemah. Hal ini dapat dipahami mengingat kelompok tani dibentuk tidak dalam rangka mengatasi perubahan iklim, melainkan lebih spesifik pada upaya peningkatan produksi bahan pangan (padi) di tingkat usahatani pedesaan. Hampir tidak ada kaitan langsung antara isu pembentukan kelompok tani di satu sisi, dengan isu (dampak) perubahan iklim terhadap ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu, dapatlah dipahami ketika dalam merespons perubahan iklim (yang mengganggu misi ketahanan pangan nasional) kelompok tani terkesan tidak siap dan dalam kondisi serba canggung. Dari penelitian Sumaryanto et al. (2012) diperoleh sejumlah temuan mengenai tingkat keragaman kapasitas adaptasi petani pada perubahan iklim, antara lain sebagai berikut: (1) Sumber-sumber keragaman ternyata tidak hanya mencakup faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi agroekosistem, tetapi mencakup pula aspek sosial kelembagaan; (2) Kapasitas adaptasi petani akan lebih mudah ditingkatkan jika kemampuan finansial petani ditingkatkan. Peningkatan kapasitas adaptasi akan lebih mudah dilakukan di kalangan petani yang berusia lebih muda. Selanjutnya, dalam rangka akselerasi maka sebagian petani yang memiliki kemampuan manajerial berusahatani yang lebih tinggi sangat potensial diperankan sebagai penghelanya. Peningkatan kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim pada kelompok petani kecil mempunyai prospek yang baik; (3) Peran pemerintah sangat diperlukan, terutama dalam pengembangan infrastruktur fisik dan pengembangan kelembagaan serta pengembangan teknologi adaptif. Pengarusutamaan (mainstreaming) adaptasi terhadap perubahan iklim perlu dilakukan secara konsisten, komperehensif, dan sistematis. Dalam konteks itu, upaya akselerasi peningkatan kapasitas adaptasi petani dalam menghadapi perubahan iklim perlu dilakukan dan (4) kebijakan yang efektif untuk meningkatkan kapasitas adaptasi adalah melalui pengembangan infrastruktur, kelembagaan dan pengembangan teknologi adaptif. Simultan dengan kebijakan tersebut, peningkatan kemampuan finansial petani kecil melalui bantuan permodalan mempunyai prospek keberhasilan yang baik. Wood et al. (2014), menyatakan bahwa kemampuan rumahtangga petani untuk beradaptasi ditentukan oleh tiga hal yaitu: (1) akses rumahtangga terhadap informasi cuaca, (2) aset produksi rumahtangga dan pertaniannya, dan (3) partisipasi rumahtangga tersebut pada kelembagaan sosial lokal. Faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap daya adaptasi petani terhadap perubahan iklim adalah: (1) pendapatan tahunan, (2) akses terhadap irigasi, (3) akses terhadap fasilitas kredit, dan (2) penguasaan lahan (Sahu & Mishra 2013). Menurut Smit dan Pilifosova (2003), untuk meningkatkan daya adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim, diperlukan identifikasi berbagai kerentanan yang melibatkan
24 para pemangku kepentingan dan inisiatif adaptasi harus cocok dengan proses pengambilan keputusan (kebijakan) yang ada. Faktor Eksternal Menurut Gandure et al. (2013), persepsi petani tentang risiko perubahan iklim dan daya adaptasinya dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial-ekonomi dan politik. Pemerintah harus memberitahu dan memandu dengan kebijakan tertentu tentang risiko dan peluang yang dihadapi oleh petani, sehingga petani sadar dan harus membuat keputusan untuk beradaptasi berdasarkan analisis mereka terhadap risiko mata pencaharian. Pendidikan dan kesadaran tentang isu-isu perubahan iklim di tingkat masyarakat, program dan kebijakan perlu diprioritaskan. Deressa et al. (2009) menyatakan bahwa intervensi kebijakan publik untuk penguatan rumahtangga menghadapi risiko perubahan iklim harus fokus pada manajemen risiko melalui mitigasi dan penanggulangan risiko yang bertujuan untuk mengurangi kerusakan dari perubahan iklim. Strategi mitigasi risiko yang harus ditangani di tingkat rumah tangga mencakup diversifikasi tanaman dan ternak, penggunaan varietas tanaman toleran rendaman/kekeringan dan keanggotaan dalam kelompok kredit bergulir. Kebijakan yang mendukung strategi bertahan di tingkat rumah tangga harus mendorong peningkatan pendapatan meningkatkan penguasaan aset produksi. Inovasi atau perubahan seringkali mendapatkan hambatan dalam pengembangannya. Menurut Zaltman dan Duncan (1977) terdapat 18 kategori hambatan dalam menerima hal baru/inovasi, yang dikelompokkan ke dalam empat aspek yaitu: 1. Hambatan Budaya yang terdiri dari (a) nilai-nilai budaya dan kepercayaan; (b) etnosentrisme Budaya; (c) menyelamatkan muka/tidak mempermalukan; dan (d) ketidakcocokan sifat budaya dengan perubahan; 2. Hambatan Sosial yang terdiri dari (a) kelompok solidaritas; (b) penolakan karena orang luar; (c) kesesuaian dengan norma-norma; (d) konflik; dan (e) kelompok introspeksi; 3. Hambatan organisasi yang terdiri dari (a) ancaman terhadap kekuasaan dan pengaruh; (b) struktur organisasi; (c) perilaku administrator tingkat atas; (d) iklim untuk perubahan dalam organisasi; dan (e) hambatan teknologi untuk resitensi; dan 4. Hambatan Psikologis yang terdiri dari (a) persepsi; (b) homeostasis; (c) kesesuaian dan komitmen; dan (d) faktor kepribadian. Pengembangan inovasi seperti benih PTR, dapat merupakan perubahan sosial yang direncanakan (planned social change). Kamel (2012) menyatakan bahwa terdapat empat alasan dalam resistensi untuk berubah yaitu (1) alasan pribadi (sosial, ekonomi dan emosi); (2) alasan keorganisasian (tidak tersedia SDM yang memadai, kekacauan organisasi, ancaman terhadap wewenang dan pengaruh SDM, kelemahan sistem komunikasi dalam organisasi, ketidakmampuan untuk memahami manfaat inovasi, kelemahan koordinasi di antara pimpinan dan staf dalam organisasi); (3) alasan kognitif (para pegawai kurang memahami persepsi tentang perubahan dan manfaatnya serta tidak mempunyai rasa membutuhkan perubahan tersebut dan bahkan merasa bahwa perubahan atau
25 inovasi tersebut akan mengancam harga diri mereka; dan (4) alasan moral dan budaya (khawatir perubahan/inovasi akan mengubah budaya yang ada dan mengakibatkan terjadinya perubahan kritis dalam hal nilai-nilai, postulat-postulat dan prinsip-prinsip dasar yang mereka anut. Kerangka Pikir Keluarga petani yang menjadi unit analisis dalam proses difusi inovasi inimerupakan penerima pesan. Keinovasiannya dapat digolongkan menjadi lima jenis yaitu, innovator, pengguna awal, mayoritas awal, mayoritas akhir dan kolot. Profil atau karakteristik keluarga tentunya memegang peranan penting dalam proses ini. Proses difusi inovasi akan melalui lima tahapan juga yaitu: pengetahuan, persuasi, pengambilan keputusan, implementasi dan konfirmasi. Dalam penelitian ini yang akan dilihat sampai pada tahap pengambilan keputusan saja. Inovasi yang dalam hal ini PTR, perubahan iklim dan ketahanan pangan dapat dianggap sebagai pesan. Pesan utama yang perlu disampaikan ialah pemanfaatan varietas PTR yang memiliki potensi besar. Pesan ini pun dapat disampaikan dalam berbagai tingkatan pula. Media yang digunakan untuk menyampaikan ini bisa secara interpersonal atau pun bermedia. Pemerintah dan aparatnya, petani maju serta pihak swasta yang terkait dapat berperan sebagai sumber atau komunikator. Sumber ini terdiri dari berbagai tingkatan mulai dari nasional sampai tingkat desa. Kerangka pikir dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 4. Hipotesis Penelitian 1. 2.
Faktor eksternal petani berpengaruh langsung, nyata dan positif terhadap difusi inovasi PTR. Difusi inovasi PTR berpengaruh langsung, nyata dan positif terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani padi di Jawa Barat.
PROSES KOMUNIKASI
organisasi petani
Profil Keluarga Petani (X4) X 4.1 Ukuran keluarga X 4.2 Ekonomi keluarga X 4.3 Penguasaan lahan X 4.4 Pemilikan media komunikasi X 4.5 Status sosial X 4.6 Keterlibatan dalam
X 3.6 X 3.7 X 3.8
X 3.5
X 3.4
X 3.3
X 3.2
massa (radio, tv, suratkabar) Keterpaan pada saluran komunikasi Interpersonal Intensitas interaksi kelompok Penggunaan HP (media hibrid) Penggunaan media cetak Demplot Studi banding Magang
Media Komunikasi (X ) 3 X 3.1 Keterpaan media
Inovasi PTR (X ) 2 X 2.1 Ketersediaan PTR X 2.2 Penggunaan PTR X 2.3 Pemeliharaan PTR X 2.4 Kualitas hasil PTR
Komunikator (X ) 1 X1.1 Jenis komunikator X1.2 Sifat komunikator X1.3 Level komunikator X1.4 Kompetensi X1.5 Tingkat kepercayaan
Y 2.1. Produktivitas PTR Y 2.2. Toleran perubahan iklim
2
Adaptasi terhadap Perubahan Iklim(Y )
Gambar 4 Kerangka pikir penelitian mekanisme komunikasi inovasi PTR
Y 1.1. Pengetahuan Y 1.2. Persuasi Y 1.3. Keputusan
Difusi Inovasi(Y1)
X 5.1. Kebijakan pemerintah X 5.2. Ketersediaan input produksi X 5.3. Daya serap pasar hasil produksi X 5.4. Budaya
5
Faktor Esternal(X )
Ketahanan Pangan (Y ) 3 Tersedia Pasokan PTR untuk industri berbasis beras
26
3 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian dirancang dengan pendekatan kuantitatif, menggunakan metode penelitian survei bersifat deskriptif eksplanatori, terutama untuk menganalisis peubah (marker’s peubah) komunikasi dalam proses difusi inovasi PTR untuk ketahanan pangan keluarga petani dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Metode survei dalam penelitian merupakan usaha pengamatan yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan pengaruh antar peubah yang menjadi fokus amatan. Sesuai tujuan penelitian, maka tipe penelitian ini berusaha menganalisis deskripsi setiap peubah yang diamati, yaitu melukiskan hal-hal yang mengandung fakta-fakta, klasifikasi dan pengukuran pada lima peubah independen (peubah bebas) berupa faktorfaktor yang mempengaruhi komunikasi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan; dan tiga peubah terikat (proses difusi inovasi pemanfaatan PTR, adaptasi perubahan iklim, dan ketahanan pangan keluarga petani). Tipe penelitian deskriptif eksplanatori di sini berupaya untuk memperoleh gambaran pengaruh antara peubah unsur-unsur komunikasi inovasi (komunikator, inovasi PTR, media komunikasi, profil keluarga petani), dan faktor eksternal terhadap tingkat difusi inovasi PTR keluarga petani padi. Juga menganalisis pengaruh dari proses difusi inovasi pemanfaatan PTR terhadap adaptasi keluarga petani akan perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian mengambil kasus pada tiga lokasi lumbung padi di Provinsi Jawa Barat, yaitu di Kabupaten Indramayu, Subang dan Karawang yang relatif rentan terhadap kejadian perubahan iklim. Dipilihnya ketiga kabupaten ini karena merupakan kabupaten-kabupaten di Jawa Barat yang paling banyak jumlah petani dan kelompok tani yang wilayah usahataninya masuk lahan rawan banjir, dan setiap tahun menaman padi tahan rendaman (PTR). Pelaksanaan penelitian dilakukan selama dua bulan, yaitu antara bulan Mei 2015 sampai dengan Juni 2015. Sebelumnya, pada minggu ketiga bulan Maret 2015 dilaksanakan uji coba kuesioner di Kecamatan Bangodua Kabupaten Indramayu, terhadap 10 kepala keluarga (kk) petani PTR. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah keluarga petani yang lahan sawahnya berada di wilayah rawan banjir di Kabupaten Indramayu, Subang dan Karawang Provinsi Jawa Barat, dan pada periode 2007-2009 mendapat bagian benih PTR. Sebanyak 119 keluarga petani seperti disajikan pada Tabel 2. Dari 119 kepala keluarga (KK) populasi penelitian, diambil sampel secara sengaja (purposive
28 sampling) sebanyak 50 persen atau sekitar 58 orang keluarga petani yang dapat ditemui dan bersedia menjadi responden penelitian. Beberapa responden sampel keluarga penerima pembagian benih PTR gagal diwawancarai, karena dalam kondisi sakit parah, meninggal, dan sudah pindah. Tabel 2 Kerangka populasi penelitian komunikasi inovasi benih PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga petani di Jawa Barat, 2015 Lokasi Kabupaten (kk) Kriteria populasi Indramayu Subang Karawang Jumlah Petani PTR (Populasi penelitian 76 16 27 119 pada 2007 - 2009) Petani PTR (Populasi penelitian 38 7 23 58 pada 2015) Petani Non-PTR (2015) 48 3 11 62 Selain itu, subyek penelitian sebagai informan kunci ditetapkan dua orang di setiap lokasi kabupaten terpilih, yang mencakup pelaku pada (1) instansi pemerintah penentu dan pelaksana kebijakan dan program, dan pihak terkait lainnya; serta (2) pihak penyedia benih padi, atau pedagang input-output produksi. Total informan kunci ada enam orang. Data dan Instrumentasi Penelitian Jenis data dapat dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan contoh (sample) dalam suatu survei. Metode semi partisipatif digunakan untuk memperoleh informasi kualitatif secara lebih mendalam, terutama yang berkaitan dengan perbenihan padi, khususnya PTR, adaptasi terhadap iklim dan ketahanan pangan keluarga petani. Pengambilan contoh petani dilakukan dengan metoda mengambil seluruh populasi petani yang sudah mendapat pembagian benih PTR ditambah dengan petani lain yang tidak mendapatkan benih PTR. Data sekunder (secondary data sources) adalah data yang sudah dipublikasikan dan dikumpulkan untuk “tujuan yang lain” selain tujuan penelitian yang sedang dilakukan. Sumber data sekunder berupa laporan-laporan, dokumen-dokumen dan publikasi lainnya. Instrumentasi merupakan proses penyusunan instrumen yang digunakan sebagai alat ukur dalam suatu penelitian. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner yang berisi daftar pertanyaan dan pernyataan yang berhubungan dengan peubah-peubah penelitian. Instrumen penelitian sangat menentukan kualitas data yang dikumpulkan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian meliputi: 1. Komunikator Komunikator terdiri dari jenis komunikator, sifat komunikator, level komunikator, kompensasi, dan tingkat kepercayaan.
29 2. 3.
4.
5. 6. 7. 8.
Inovasi PTR Inovasi PTR terdiri dari ketersediaannya, penggunaannya, pemeliharaannya, dan kualitas hasilnya. Media komunikasi Media komunikasi terdiri dari keterpaan media massa (radio, televisi, dan surat kabar), keterpaan pada saluran komunikasi interpersonal, intensitas interaksi kelompok, penggunaan HP (hybrid), penggunaan media cetak, demplot, studi banding dan magang. Profil keluarga petani Profil keluarga petani terdiri dari ukuran keluarga, ekonomi keluarga, penguasaan lahan, pemilikan media komunikasi, status sosial dan keterlibatan dalam organisasi petani. Faktor eksternal Faktor eksternal terdiri dari kebijakan pemerintah, ketersediaan input produksi, daya serap pasar hasil produksi, dan budaya. Difusi inovasi Indikator pada difusi inovasi terdiri dari pengetahuan, persuasi, dan keputusan. Adaptasi terhadap perubahan iklim Adaptasi terhadap perubahan iklim terdiri dari produktivitas PTR dan toleran perubahan iklim. Ketahanan pangan Indikator ketahanan pangan dalam penelitian adalah tersedia pasokan PTR untuk industri berbasis beras.
Definisi Operasional Agar peubah-peubah yang diteliti dapat dipahami dan diberi makna yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka perlu dilakukan konseptualisasi yaitu pemberian ketetapan mana sehingga tidak terjadi salah pengertian. Agar konsep tersebut dapat diukur maka diberikan penjelasan yang bersifat operasional. Pengukuran merupakan kegiatan pemberian angka pada objek atau kejadian menurut suatu aturan. Apa yang harus dilakukan dalam pengukuran adalah terdapat kesamaan yang dekat antara realitas sosial yang diteliti dengan nilai yang diperoleh dalam pengukuran. Suatu instrumen dipandang baik apabila hasilnya mencerminkan secara tepat atau hampir mendekati gambaran realitas dari fenomena yang hendak diukur. Berikut adalah definisi operasional pada penelitian Komunikasi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani (Lampiran 1).
Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi Sebelum melakukan pengumpulan data penelitian, instrumen atau kuesioner penelitian perlu diujicoba terlebih dahulu. Tujuannya adalah agar instrumen yang digunakan merupakan suatu alat yang memenuhi persyaratan akademis dan dapat
30 dipergunakan sebagai alat untuk mengukur suatu objek ukur atau mengumpulkan data mengenai suatu peubah. Dalam hal ini dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen terhadap 10 orang responden petani PTR di Desa Malangsari, Kecamatan Bangodua, Kabupaten Indramayu sebagai lokasi ujicoba. Uji validitas instrumen dilakukan dengan mempergunakan uji validitas isi, konstruk dan kriteria. Validitas isi mempermasalahkan sejauh mana suatu tes mengukur tingkat penguasaan terhadap isi atau materi tertentu yang seharusnya dikuasai sesuai dengan tujuan pengajaran dan validitas isi tidak mempunyai besaran. Validitas konstruk mempermasalahkan seberapa jauh butir-butir tes mampu mengukur apa yang benar-benar hendak diukur sesuai dengan definisi konseptual yang telah ditetapkan. Validitas empiris (validitas kriteria) yang berarti bahwa validitas ditentukan berdasarkan kriteria, baik kriteria internal maupun kriteria eksternal. Selanjutnya diuji dengan uji validitas product moment Pearson menggunakan program SPSS versi 22.0, danhasil uji validitas menghasilkan nilai rhitung = 0,408 – 0,880 > rtabel (α0,05;db8) = 0,632. Terdapat 16 item yang tidak valid, untuk itu sekitar 12 item dikuesioner yang dibuang dan 4 item dimodifikasi, sebelum instrumen penelitian digunakan dalam pengumpulan data. Reliabilitas mempermasalahkan sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu hasil pengukuran hanya dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama, diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama. Interpretasi terhadap koefisien reliabilitas merupakan intrepretasi relatif, artinya tidak ada batasan mutlak yang menunjukkan berapa angka koefisien minimal yang harus dicapai agar suatu pengukuran dapat disebut reliabel. Namun, memberikan informasi tentang hubungan varians skor teramati dengan varians skor sejati kelompok individu. Berdasarkan kesimpulan, maka beberapa saran yaitu: (1) dalam penelitian pendidikan khususnya penelitian kuantitatif disarankan kepada peneliti pemula bahwa instrumen yang mengukur peubah manifes digunakan instrumen yang valid, baik melalui validitas isi maupun validitas internal; (2) bila instrumen yang akan digunakan adalah instrumen yang mengukur peubah laten, disarankan agar instrumen yang akan digunakan dalam penelitian adalah instrumen yang valid berdasarkan konstruk dan valid berdasarkan kriteria; (3) dalam menentukan validitas butir dan reliabilitas instrumen, disarankan menggunakan rumus yang tepat dengan memperhatikan apakah butir tersebut diskor dikotomi atau diskor politomi; dan (4) koefisien reliabilitas yang telah diperoleh, baik instrumen yang diskor dikotomi maupun yang diskor politomi, disarankan agar menginterpretasi koefisien reliabilitasnya. Uji reliabilitas instrumen penelitian dengan mempergunakan koefisien reliabilitas Alpha Cronbach’s; diperoleh nilai koefisien reliabilitas berada pada interval 0,679 – 0,739, sehingga dapat dinyatakan bahwa instrumen penelitian sahih dan andal untuk memperoleh data. Menurut Nurgana (1985) dalam Ruseffendi (1994) nilai koefisien reliabilitas yaitu: 1. r = 0 : tidak berkolerasi 2. 0 < r < 0,20 : rendah sekali 3. 0,20 ≤ r < 0,40 : rendah 4. 0,40 ≤ r < 0,60 : sedang
31 5. 6.
0,60 ≤ r < 0,80 : tinggi 0,80 ≤ r < 1 : tinggi sekali Berdasarkan hasil analisis reliabilitas instrumen diketahui bahwa instrumen yang disiapkan untuk keperluan penelitian sudah reliabel. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien reliabilitas Alpha Cronbach’s (Tabel 3). Tabel 3 Hasil perhitungan uji reliabilitas (reliability statistics) No Peubah Koefisien Alpha Cronbach’s 1 Komunikator 0,703 2 Inovasi 0,674 3 Media Komunikasi 0,732 4 Profil keluarga petani 0,682 5 Faktor Eksternal 0,692 6 Difusi inovasi 0,709 7 Perubahan Iklim 0,679 8 Ketahanan Pangan 0,739
Keterangan Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan antara lain mencakup karakteristik dan teknologi usahatani yang digunakan petani, sistem kehidupan dan penghidupan yang digambarkan dengan besaran dan sumber pendapatan serta pengeluaran rumahtangga. Pengumpulan data primer dilakukan melalui kuesioner terstruktur, yang telah diperbaiki atas analisis hasil uji validitas dan reliabilitas. Cara mengumpulkan data tersebut dilakukan dengan: (1) wawancara berkuesioner, yaitu menggunakan pertanyaan tertutup dalam mengukur peubah penelitian untuk diisi oleh responden. Pengisian kuesioner dipandu oleh peneliti atau enumerator yang telah dilatih sebelumnya; dan (2) wawancara mendalam, yaitu melakukan tanya jawab secara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara, secara mendalam untuk mendukung data kuantitatif secara terarah guna memperoleh informasi yang telah diperoleh melalui kuesioner. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci yang terdiri dari petugas penyuluh, ketua Poktan dan Gapoktan. Sumber data sekunder (secondary data sources) dikumpulkan dari data yang sudah dipublikasikan. Data sekunder antara lain dapat berupa berbagai dokumen kebijakan dan program perbenihan berbagai varietas padi, data produksi dan produktivitas berbagai varietas padi, serta laporan-laporan pelaksanaan program dan dokumen terkait dari berbagai dinas dan instansi terkait baik di tingkat kabupaten (Indramayu, Subang, dan Karawang), tingkat provinsi maupun tingkat pusat. Analisis Data Data yang diperoleh dari lapangan dilakukan pembersihan data (cleaning data), dikoding dan ditabulasikan dengan menggunakan Microsoft Excel 2010. Hasil tabulasi data tersebut, selanjutnya diolah dengan menggunakan software
32 SPSS versi 22.0. Analisis data pada pendekatan penelitian kuantitatif, menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial yang disajikan dalam bentuk tabel, bagan, dan uraian. Analisis statistik deskriptif (median, frekuensi, dan persentase) digunakan untuk menganalisis deskripsi peubah komunikator, inovasi PTR, media komunikasi, profil keluarga petani, faktor eksternal, difusi inovasi, adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan. Analisis gender digunakan untuk mengetahui peran gender dan pola pengambilan keputusan dalam keluarga petani khusus untuk kegiatan usahatani PTR. Selain itu, analisis deskriptif juga menggunakan analisis Top Two Boxes. Analisis Top Two Boxes adalah metode yang menggabungkan persentase jawaban responden dalam skala Likert. Analisis Top Two Boxes digunakan untuk mengetahui bagaimana perbandingan antara jumlah bottom option (skor 1, 2) yaitu skala sangat tidak setuju dan tidak setuju dengan top option (skor 4, 5) atau fTi, yaitu skala setuju dan sangat setuju. 𝑇𝑇𝐵 =
𝑓𝑇𝑖 𝑥100% 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛
Analisis statistik inferensial digunakan untuk menguji pengaruh peubah faktor-faktor komunikasi dan faktor eksternal terhadap difusi inovasi PTR keluarga petani padi, dan peubah difusi inovasi terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani menggunakan koefisien uji jalur. Untuk menguji keterkaitan pengaruh antarpeubah dalam membangun model hipotesis (merumuskan strategi yang tepat dalam meningkatkan difusi inovasi untuk ketahanan pangan keluarga petani dan adaptasi terhadap perubahan iklim) yang terdiri dari model struktural dan model pengukuran dalam bentuk diagram jalur menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) program SmartPLS. SEM merupakan sekumpulan teknik–teknik statistik yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan dilakukan secara simultan (Santoso 2007). Kompleksnya hubungan antarpeubah penelitian mengharuskan penggunaan SEM sebagai metode analisis data kuantitatif. Teknik analisis data dengan SEM dilakukan untuk menjelaskan hubungan antarpeubah penelitian secara menyeluruh. SEM digunakan untuk memeriksa dan membenarkan suatu model. Syarat utama penggunaan SEM adalah membangun suatu model hipotesis yang terdiri dari model struktural dan model pengukuran dalam bentuk diagram jalur berdasarkan justifikasi teori. Structural Equation Modeling dengan SMARTPLS Teknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis khususnya Hipotesis dalam penelitian ini adalah menggunakan partial least square (PLS), dengan alasan ukuran sampel memenuhi untuk syarat dalam PLS, dengan perkiraan sebagai berikut: 1. Sepuluh kali jumlah indikator formatif (mengabaikan indikator refleksif) 2. Sepuluh kali jumlah jalur (paths) yang mengarah pada model struktural 3. Sample size: kecil
33 Berikut langka-langkah dalam analisis dengan menggunakan Analisis PLS secara sistematis sebagai berikut : 1. Merancang model struktural (inner model) 2. Meancang model pengukuran (Outer model) 3. Mengkonstruksi diagram jalur 4. Konversi diagram jalur ke sistem persamaan 5. Estimasi koefisien jalur dengan loading dan weight 6. Evaluasi goodness of fit model 7. Pengujian hipotesis (resampling bootstraping) Langkah-langkah analisis menggunakan PLS adalah sebagai berikut ini 1. Merancang model Struktural (inner model), adalah menggambarkan hubungan antar peubah laten berdasarkan pada substantive teori. Pada SEM perancangan model adalah berbasis teori, akan tetapi pada PLS bias berupa teori, hasil penelitian empiris, analogi, hubungan antar-peubah pada bidang ilmu yang lain, normatif rasional. 2. Merancang model pengukuran adalah mendefinisikan hubungan antar peubah laten dengan peubah manifesnya (indikatornya) atau dapat dikatakan bahwa outer model mendefinisikan bagaimana setiap indikator berhubungan dengan peubah latennya. Pada SEM berbasis covariance semua bersifat refleksif, model pengukuran tidak penting. Pada PLS perancangan outer model sangat penting: refleksif atau formatif, dasarnya dapat berupa teori, penelitian empiris sebelumnya, atau rasional. 3. Mengkonstruksi diagram jalur, yaitu mengkonstruksi diagram jalur agar lebih mudah untuk dipahami. Hasil perancangan inner model dan outer model tersebut, selanjutnya dinyatakan dalam bentuk diagram jalur. 4. Konversi diagram jalur kedalam model persamaan, yaitu spesifikasi hubungan antara peubah laten dengan indikatornya, disebut dengan outerrelation atau measurement model, mendefinisikan karakteristik konstruk dengan peubah manifesnya. Inner model yaitu spesifikasi hubungan antarpeubah laten (structural model) disebut juga dengan inner relation, menggambarkan hubungan antara peubah laten berdasarkan teori substantif. 5. Estimasi: Koefisien Jalur, Loading dan Weight. Metode pendugaan parameter (estimasi) terdiri dari: a) Weight estimate yang digunakan untuk menghitung data peubah laten. b) Estimasi jalur (path estimate) yang menghubungkan antar-peubah laten (koefisien jalur) dan antara peubah laten dengan indikatornya (loading). c) Berkaitan dengan means dan lokasi parameter (nilai konstanta regresi) untuk indikator dan peubah laten. d) Metode estimasi PLS: Ordinary Least Squares (OLS) dengan teknik iterasi, yaitu proses atau metode yang digunakan secara berulang-ulang. e) Interaction peubah: Pengukuran untuk peubah moderator, dengan teknik: menstandarkan skor indikator dari peubah laten yang dimoderasi dan yang memoderasi, kemudian membuat peubah laten interaksi dengan cara mengalikan nilai standar indikator yang dimoderasi dengan yang memoderasi. 6. Evaluasi goodness-of-fit. Evaluasi goodness-of-fit dibagi dua, yaitu outer model dan inner model. Outer model terdiri dari: a) Outer model reflektif:
34 i. Convergent validity: Pengujian validitas untuk indikator reflektif menggunakan korelasi antara skor item dengan skor konstruknya. Suatu indikator dinyatakan valid jika nilai loading factor di atas 0,.5 terhadap konstruk yang dituju. Untuk jumlah indikator dari peubah laten berkisar antara 3 sampai 7, nilai 0,5 sampai 0,6 dianggap sudah cukup. ii. Discriminant validity: Metode yang digunakan untuk mengukur nilai discriminant validity adalah dengan melihat nilai square root of Average Variance Extracted (AVE). Nilai AVE yang direkomendasikan adalah lebih besar dari 0,50. Rumus yang dipakai adalah sebagai berikut:
AVE var 2
i
2 i
i
i
iii. Composite realibility Uji reliabilitas dilakukan dengan melihat nilai composite realibility (reliabilitas komposit) dari blok indikator yang mengukur konstruk. Nilai batas yang diterima untuk tingkat reliabilitas komposit (ρc) adalah ≥ 0.6, walaupun bukan merupakan standar absolut. Rumus ρc adalah sebagai berikut:
i pc i var 2
2
i
i
Setelah model yang diestimasi memenuhi kriteria outer model, berikutnya dilakukan pengujian goodness of fit untukinner model yang diukur menggunakan Q-Square predictive relevance. Rumus QSquare sebagai berikut: Q2= 1-(1-R12) (1-R22)…(1-Rp2)
7.
di mana R1 2, R22, …Rp2 adalah R-square peubah endogen dalam model Interpretasi Q2 sama dengan koefisien determinasi total pada analisis jalur (mirip dengan R2 pada regresi). Pengujian Hipotesis (Resampling Boot straping), setelah keenam langkah dilakukan, langkah selanjutnya adalah menguji hipotesis yang telah ditentukan. Pengujian hipotesis dilakukan sebagai berikut : a. Hipotesis statistik untuk outer model: (a) H0 : λi = 0 lawan (b) H1 : λi ≠ 0 b. Hipotesis statistik untuk inner model: peubah laten eksogen terhadap endogen: (a) H0 : γi = 0 lawan (b) H1 : γi ≠ 0 c. Hipotesis statistik untuk inner model: peubah laten endogen terhadap endogen:
35
d. e. f. g.
(a) H0 : βi = 0 lawan (b) H1 : βi ≠ 0 Statistikuji: t-test; p-value ≤ 0,05 (alpha 5%); signifikan Outter model nyata: indikator bersifat valid Inner model nyata: terdapat pengaruh nyata PLS tidak mengasumsikan data berdistribusi normal: menggunakan teknik resampling dengan metode Bootstrap.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di tiga kabupaten yang terletak di Pantai Utara Pulau Jawa yaitu Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang (Gambar 5). Ketiga kabupaten tersebut secara geografis saling berbatasan dan memiliki wilayah sawah rawan banjir, karena merupakan pembuangan akhir air irigasi dan tempat muara berbagai sungai. Kecamatankecamatan yang merupakan lokasi sawah yang termasuk ke dalam penelitian ini adalah: Karang Ampel, Kandanghaur, dan Eretan di Kabupaten Indramayu. Di Kabupaten Subang Kecamatan Blanakan dan di Kabupaten Karawang di Kecamatan Cilamaya Wetan dan Cilamaya Kulon dan Muara Baru. Khusus untuk Kabupaten Karawang. Namun demikian, wawancara dilakukan tidak hanya di wilayah yang ada sawahnya, tetapi juga di lokasi di mana petani tinggal termasuk di Kecamatan Jatisari, Tempuran, Cikande dan Cilebar. Gambar 5 menyajikan lokasi penelitian komunikasi inovasi PTR untuk ketahanan pangan keluarga petani dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Sebagian besar wilayah penelitian merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanahnya rata-rata 0-2 persen. Keadaan ini berpengaruh terhadap drainase, bila curah hujan cukup tinggi, maka di wilayah yang dekat dengan laut tertentu akan terjadi genangan air. Banjir adalah peristiwa tergenangnya daratan yang biasanya kering oleh karena volume air meningkat. Perubahan lahan, pemanasan global serta air pasang yang tinggi mempercepat terjadinya banjir di Indonesia, termasuk subang. Hampir setiap tahun banjir melanda daerah-daerah yang letaknya disepanjang Pantai Utara pulau Jawa, termasuk lokasi penelitian. Lokasi penelitian memiliki topografi yang sebagian besar merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanahnya rata-rata 0-2 persen yang mengakibatkan bila curah hujan tinggi, genangan air akan muncul di daerahdaerah tertentu. Kisaran ketinggian lokasi penelitian berada pada ketinggian 0-100 m di atas permukaan air laut. Bagian utara memiliki dataran rendah dan semakin tinggi ke arah selatan. Kondisi geografis dan fisiografi wilayah yang merupakan dataran rendah dan pantai serta berada pada bagian hilir daerah aliran sungai yang besar, yaitu daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk dan DAS Cipunagara serta satuan wilayah sungai (SWS) Citarum dan SWS Cimanuk-Cisanggarung. Lokasi penelitian merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat sebagai daerah sentra pertanian dan
36 merupakan daerah penyangga pengadaan stok pangan tingkat provinsi dan nasional. Banjir dan abrasi pantai merupakan bencana alam yang sering terjadi di lokasi penelitian. Pada musim penghujan, kejadian banjir lokal sudah menjadi agenda bencana di lokasi penelitian setiap tahunnya, sementara itu kejadian abrasi pantai di lokasi penelitian terdapat kecenderungan yang terus meningkat setiap tahunnya. Wilayah yang terkena dampak banjir di lokasi penelitian meliputi wilayah kecamatan-kecamatan daerah pesisir terutama wilayah yang dialiri sungai seperti Kecamatan Indramayu, Kecamatan Balongan, Kecamatan Losarang, Kecamatan Kandanghaur, Kecamatan Sukra dan Kecamatan Patrol, Kecamatan Blanakan, Kecamatan Cilamaya Wetan dan Kecamatan Cilamaya Kulon. Banjir yang terjadi di lokasi penelitian berdampak terhadap gagal panen lahan pertanian dan perikanan tambak, serta dampak lainnya adalah munculnya berbagai macam penyakit kulit dan demam berdarah. Kejadian abrasi yang terjadi berdampak terhadap tergerusnya daerah pantai yang bahkan saat ini sudah banyak yang sampai ke kawasan permukiman sehinggasangat membahayakan keselamatan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Sebagai daerah pinggir pantai dan berada pada muara sungai besar, pada saat musim hujan, lokasi penelitian sering terkena banjir sungai dan banjir rob. Terdapat empat sungai besar yang sering menimbulkan bencana banjir yaitu Sungai Cimanuk, Sungai Cipanas, Sungai Cipunegara dan Sungai Cilamaya. Banjir dari aliran sungai disebabkan tidak terkelolanya sumberdaya air secara maksimal juga akibat perubahan penggunaan lahan di bagian hulu yang mulanya merupakan lahan bervegetasi menjadi lahan terbuka/gundul. Sementara itu abrasi dan banjir rob, banyak disebabkan karena kondisi alam, baik iklim maupun kondisi topografi wilayah, yang kemudian diperparah dengan semakin berkurangnya hutan bakau di sepanjang pantai. Kejadian banjir dapat terjadi karena hujan yang terus menerus dan saluran tidak mampu menampung air sehingga meluap. Kejadian banjir juga bisa disebabkan pasang air laut yang masuk ke wilayah daratan, banjir genangan ini biasa disebut banjir rob. Rob adalah kejadian atau fenomena alam ketika air laut masuk ke wilayah daratan, pada waktu permukaan air laut mengalami pasang. Banjir rob dapat muncul karena dinamika alam dan kegiatan manusia. Dinamika alam yang dapat menyebabkan rob adalah adanya perubahan elevasi pasang surut air laut, akibat kegiatan manusia misalnya pemompaan air yang berlebihan, pengerukan tanah, pembangunan industri raksasa di wilayah pesisir dan reklamasi pantai. Kejadian banjir rob dapat menimbulkan dampak kerugian penurunan fungsi lahan dan bangunan pemukiman dan perkantoran, jalan tergenang dan menjadi cepat rusak, degradasi lingkungan dan ancaman kesehatan serta lahan pertanian yang menjadi tidak berfungsi.
Gambar 5 Lokasi penelitian komunikasi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani 37
38 Karakteristik Responden Petani PTR memiliki rata-rata umur di atas 50 tahun. Meskipun masih tergolong ke dalam usia produktif, tetapi golongan usia ini sudah relatif tua. Dapat dipastikan bahwa fenomena “aging” telah terjadi pada petani padi di lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Susilowati et al. (2008) yang menyebutkan bahwa telah terjadi fenomena “aging” pada petani Indonesia. Menurut Setiawan et al. (2013) usia lebih tua menghambat adopsi inovasi pengelolaan limbah ternak. Lahan terendam rata-rata 89 persen dengan rata-rata frekuensi terendam lebih dari sekali setiap tahunnya. Pengalaman bertani petani pun sudah relatif tinggi yaitu sudah lebih dari 20 tahun. Demikian pula dengan jumlah anggota rumahtangganya atau ukuran keluarga yaitu sekitar lima orang dan tanggungan keluarga sekitar tiga orang. Persentase lahan terendam bisa mencapai 100 persen dan frekuensi lahan terendam antara 1 - 5 kali per tahun (Tabel 4). Menurut Zorom et al. (2013), ukuran keluarga menjadi salah satu pembeda dalam strategi adapatasi petani terhadap perubahan iklim. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah akses terhadap air irigasi skala kecil dan jumlah pemilikan ternak. Tabel 4 Profil karakteristik petani PTR dan non-PTR, 2015 Rata-rata Karakteristik Petani PTR Petani Non-PTR Umur 51,16 52,29 Pengalaman bertani (tahun) 22,16 24,66 Jumlah anggota rumahtangga (ART) 5,18 4,87 Jumlah tanggungan ART 3,24 2,77 % Lahan Terendam 89,00 99,00 Frekuensi Terendam (kali/tahun) 1,24 1,13 Semua petani mengalami kebanjiran pada lahan padinya pada musim tanam pada musim hujan 2014/2015 (Tabel 5). Kebanjiran terjadi lebih dari sekali, yaitu pada saat fase vegetatif dan fase reproduktif dengan magnitude lebih dari 90 persen. Lama banjir rata-rata mencapai 10 hari dengan tinggi banjir rata-rata setinggi 85 cm. Tabel 5 Kondisi sawah petani PTR yang terendam pada musim hujan 2014/2015 Lama Banjir Persentase (%) Petani yang mengalami kebanjiran sawahnya (%) 100,00 Fase pertumbuhan (%) Fase vegetatif 94,00 Fase reproduktif 96,00 Fase pematangan 0,00 Rata-rata lama kebanjiran (hari) 10,00 Rata-rata tinggi banjir (cm) 85,00 N = 58
39 “Petani di daerah rawan banjir yang terdapat di sepanjang Pantura (Subang, Karawang, Majalengka, Indramayu) dianjurkan mengusahakan tanaman padi varietas Inpari 30. Secara formal, Inpari 30 baru direkomendasikan untuk musim tanam MH 2014/2015.” (PPW, 59 th). Lama pendidikan formal sebagian besar petani PTR masih kurang atau sama dengan enam tahun, yaitu masing 73 dan 53 persen. Selanjutnya petani yang lama pendidikannya tujuh sampai sembilan tahun kurang dari 15 persen, dan yang lamanya 10-12 masing-masing 13 dan 26 persen. Petani dengan lama pendidikan formal lebih dari 12 tahun masing-masing empat dan sembilan persen (Gambar 6). Sesuai dengan hasil penelitian Sumarno (2010), bahwa tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi teknologi. Hasil penelitian Sumarno tersebut tampaknya bertentangan dengan yang terjadi pada penelitian ini, karena dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, tingkat adopsi (yang dibagi benih PTR dan langsung menanamnya) relatif tinggi namun keberlanjutan adopsinya yang tidak baik. Saat dibagi benih PTR pertama kali (tahun 2007), tampaknya pemulia belum sampai menghasilkan PTR yang sifat-sifatnya sesuai sekali dengan kemauan petani, sehingga hasilnya kurang memuaskan dan petani tidak mau melanjutkan. Misalnya saat introduksi Varietas Inpari 10, walaupun produktivitasnya tinggi, tetapi tidak laku di pasaran karena di tengah-tengah berasnya terdapat titik putih sehingga waktu digiling berasnya patah dan rendemen giling menjadi rendah. Contoh lainnya adalah introduksi Inpari 13 yang padinya sulit rontok saat dirontokkan. Biasanya 2-4 kali perontokan padi rontok tetapi varietas padi Inpari 13 dirontokkan 7-10 kali butir pasinya masih menempel pada malainya, sehingga buruh taninya harus mengeluarkan ekstra tenaga. Sebenarnya, untuk kasus sulit dirontokkan, mungkin akan lebih baik jika diintroduksikan juga alat perontok power thresher, lebih baik yang manual (memakai pedal), agar petani tidak lagi mengeluarkan biaya untuk bahan bakar jika yang diintroduksikan power thresher yang masinal. Penelitian Sumarno tersebut di atas didukung oleh Asfaw dan Admassie (2004) bahwa pengambilan keputusan adopsi merupakan keputusan yang bersifat desentralisasi tetapi orang dewasa yang berpendidikan pada keluarga tersebut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan adopsinya. Dengan demikian, bukan hanya kepala keluarga saja yang berperan dalam pengambilan keputusan adopsi, tetapi terdapat pengaruh tumpahan (spill-over effect) pendidikan dalam proses pengambilan adopsi oleh rumahtangga petani.
40
31%
13% 42%
10% 4%
Tidak Sekolah
≤ 6 tahun
7 - 9 tahun
10 - 12 tahun
> 12 tahun
Gambar 6 Pendidikan formal kepala keluarga petani PTR, 2015 Media komunikasi yang ditanyakan kepada petani terdiri dari televisi (TV), radio, handphone, internet, koran, dan majalah (Tabel 6). Khusus untuk majalah tidak ada seorang pun, baik petani PTR maupun respoden non-PTR yang memanfaatkan majalah sebagai media komunikasi. Jumlah kepemilikan TV berkisar dari 1 - 5 unit, walaupun rata-rata petani hanya memiliki satu unit televisi. Rata-rata petani PTR menonton televisi hampir 19 kali setiap bulannya dan hampir 26 kali dalam sebulan. Tetapi frekuensi mengakses informasi tentang media PTR lebih sering dilakukan oleh petani non-PTR (1,50 kali versus 5,67 kali). Tingkat pemilikan radio relatif rendah, banyak yang memiliki radio tetapi sudah tidak dapat dimanfaatkan alias dalam kondisi rusak, sehingga radio akan kurang efektif untuk dijadikan media komunikasi tentang PTR. Hal ini terbukti dengan tidak ada petani yang mengakses informasi PTR dari radio. Rata-rata kepemilikan HP sudah lebih dari satu unit, namun pemanfaatannya untuk mengakses informasi PTR relatif sedikit, yaitu hanya dua kali per bulan untuk petani PTR dan tidak sama sekali untuk petani non-PTR. Perilaku petani dalam memanfaatkan media komunikasi internet menunjukkan bahwa masing-masing seorang dari petani PTR dan petani non-PTR memiliki fasilitas internet, namun pemanfaatannya untuk mengakss PTR hanya dilakukan oleh petani non-PTR. Mungkin karena rasa penasaran, sebagian petani non-PTR melakukan akses sendiri untuk informasi PTR.
41 Tabel 6 Kepemilikan dan pemanfaatan media komunikasi petani PTR dan nonPTR Kepemilikan Media Komunikasi TV
Radio
HP
Internet
Koran
Majalah
Jumlah Kepemilikan Frekuensi Akses Informasi Frekuensi Akses Informasi PTR Jumlah Kepemilikan Frekuensi Akses Informasi Frekuensi Akses Informasi PTR Jumlah Kepemilikan Frekuensi Akses Informasi Frekuensi Akses Informasi PTR Jumlah Kepemilikan Frekuensi Akses Informasi Frekuensi Akses Informasi PTR Jumlah Kepemilikan Frekuensi Akses Informasi Frekuensi Akses Informasi PTR Jumlah Kepemilikan Frekuensi Akses Informasi Frekuensi Akses Informasi PTR
Min
Petani PTR RataMaks rata
Petani non-PTR St. Dev.
Min
Ma ks
Ratarata
St. Dev.
1
5
1,21
0,67
1
3
1,19
0,43
2
30
18,94
11,19
4
30
25,84
7,92
1
2
1,50
0,58
2
20
5,67
7,09
1
1
1,00
0,00
1
1
1,00
0,00
2
20
6,67
6,89
3
30
18,75
13,50
0
0
0,00
0,00
0
0
0,00
0,00
1
4
1,35
0,75
1
2
1,16
0,37
1
30
25,00
9,37
2
30
18,50
7,94
2
2
2,00
0,00
0
0
0,00
0,00
1
1
1,00
0,00
1
1
1,00
0,00
1
4
2,50
2,12
12
30
22,33
9,29
0
0
0,00
0,00
2
30
16,00
19,80
5
5
5
0
1
30
9,75
13,57
5
20
11
7,94
1
30
9,00
14,02
0
0
0
0
0
0
0,00
0,00
5
5
5
0
0
0
0,00
0,00
1
1
1
0
0
0
0,00
0,00
0
0
0
0
0
0
0,00
0,00
Kisaran penguasaan lahan petani sangat lebar yaitu 0,11-24 hektar (Lampiran 4), hal ini menunjukkan terdapat ketimpangan penguasaan lahan, baik milik maupun non-milik. Rata-rata penguasaan lahan cukup tinggi (Tabel 7) karena data pencilan tidak dikeluarkan. Jika data pencilan dikeluarkan, rata-rata penguasaan lahan hanya 0,35 hektar. Penguasaan lahan tidak hanya berarti lahan yang dimilikinya saja tetapi juga menguasai lahan orang lain untuk digarap berdasarkan kesepakatan atau pun perjanjian tertentu. Perjanjian tersebut dapat berupa, sewa musiman atau tahunan, gadai, atau pun bagi hasil.
42 Tabel 7 Rata-rata penguasaan lahan petani, 2015 Penguasaan Lahan Milik Lahan Garapan (ha) Non Milik Milik Kebun (ha) Non Milik Pekarangan
Rata-rata (ha)
1,516 1,233 0,666 0,833 0,073
Penguasaan lahan yang timpang tentunya akan berkaitan dengan pendapatan petani. Selain pendapatan dari usahatani padi, petani juga memiliki sumber pendapatan non-usahatani padi. Rata-rata pendapatan dari usahatani padi petani PTR sekitar Rp 67 juta. Besaran ini tampaknya lebih besar karena ada dua orang petani petani yang penguasaan lahannya 24 ha dan 8 ha. Selain itu petani kaya ini juga memiliki berbagai usaha. Penguasaan lahan yang timpang tentunya akan berkaitan dengan pendapatan petani. Tabel 8 menyajikan pendapatan tahunan petani PTR. Selain pendapatan dari usahatani padi, petani juga memiliki sumber pendapatan non-usahatani padi. Rata-rata pendapatan dari usahatani padi petani PTR sekitar Rp 67 juta/tahun dan pendapatan non-usahatani padi sekitar Rp 36 juta/tahun. Tabel 8 Pendapatan petani PTR, 2015 Pendapatan Petani Biaya Produksi (Rp’000) MK I 2014 MH 2014/15 Total Biaya Produksi Produksi Kotor (ku) MK I 2014 MH 2014/15 Total Produksi Kotor Harga Gabah (Rp’000/Kg) MK I 2014 MH 2014/15 Nilai (Rp’000) MK I 2014 MH 2014/15 Total Nilai Pendapatan UT Padi (Rp’000) Non-Usahatani (Rp’000) Total pendapatan/th (Rp’000)
Rata-rata 10 933,86 10 722,69 21 656,55 97,89 97,36 195,88 4,32 4,33 43 948,80 43 702,68 88 826,08 67 169,53 36 216,06 103 385,59
Usahatani padi di Jawa Barat melibatkan hampir seluruh anggota keluarga, kecuali yang sedang sekolah atau memiliki pekerjaan selain usahatani. Dari 11 jenis pekerjaan dalam berusahatani padi yang ditanyakan kepada keluarga petani, laki-laki dewasa memiliki akses dan dapat berpartisipasi pada semua jenis pekerjaan. Perempuan memiliki akses dan kontrol terhadap delapan jenis pekerjaan usahatani padi. Anak-anak laki-laki dan perempuan hanya memiliki akses terbatas pada pekerjaan menyemai dan pascapanen (mengeringkan/ menjemur padi). Jika dilihat pekerjaan menjual dan menyimpan padi dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, maka dapat dikatakan bahwa manfaat usahatani dapat dirasakan seluruh keluarga petani (Tabel 9).
43 Lain halnya dengan hasil penelitian Denton (2010) di Afrika, bahwa walaupun perempuan mengerjakan sekitar 80 persen pekerjaan pada sektor pertanian, tetapi manfaatnya tidak dapat dinikmati oleh perempuan tersebut. Apalagi jika dihubungkan dengan dampak negatif perubahan iklim, maka perempuan yang akan lebih banyak menanggung risikonya. Ancaman pemanasan global tidak mendapatkan perhatian semestinya dari para pengambil kebijakan dalam hal menempatkan perempuan di pusat visi pembangunan berkelanjutan. Nelson et al. (2010) berpendapat dan menekankan bahwa sangat penting untuk mengintegrasikan berbagai analisis gender dalam proses pengambilan keputusan dan respon adaptasi terhadap perubahan iklim. Tabel 9 Analisis gender pelaku pekerjaan dalam usahatani Jenis Pekerjaan Laki-laki Laki-laki Perempuan Dewasa Anak Dewasa Prapanen 1 Mengolah lahan V/AK 2 Menyemai benih V/AK V/A V/AK 3 Mencabut bibit V/AK V/AK 4 Menanam V/AK Memelihara tanaman 1 Memberikan pupuk V/AK 2 Menyemprot hama V/AK 3 Mencabut rumput V/AK V/AK Panen Panen V/AK V/AK Pascapanen 1 Mengeringkan padi V/AK V/A V/AK 2 Menjual padi V/AK V/AK 3 Menyimpan padi V/AK V/AK Jumlah jenis pekerjaan 11 2 8 Keterangan: V/AK = memiliki akses dan kontrol; V/A =memiliki akses
Perempuan Anak V/A V/A 2
Dalam pengambilan keputusan kegiatan usahatani, hanya satu jenis pekerjaan dari 15 jenis yang didaftar yaitu penentuan varietas yang akan ditanam dilakukan secara berunding antara laki-laki dan perempuan. Tampaknya pengambilan keputusan tentang pekerjaan usahatani masih didominasi laki-laki, karena dari 15 jenis pekerjaan tersebut, tiada satu pun yang keputusannya diambil oleh hanya perempuan sendiri. Laki-laki memutuskan sendiri untuk tiga jenis yepekerjaan yaitu memupuk, mengobati/menyemprot hama penyakit dan mengolah lahan. Pengambilan keputusan untuk pekerjaan kegiatan berusahatani lainnya yaitu 10 jenis dilakukan secara berunding antara laki-laki dan perempuan (Tabel 10). Hal ini sesuai dengan penelitian Kusumo et al. (2013) bahwa pembagian pekerjaan dalam rumahtangga perempuan lebih ditekankan untuk mengerjakan pekerjaan domestik, tetapi memiliki akses untuk bekerja di ranah produktif walaupun laki-laki tetap sebagai pencari nafkah utama.
44 Tabel 10 Pola pengambilan keputusan dalam usahatani padi, 2015 Pengambil keputusan Keputusan kegiatan usahatani Laki-laki Perempuan Laki-laki dan padi perempuan 1 Penentuan varietas V 2 Penentuan pupuk V 3 Penentuan obat-obatan V 4 Mengolah lahan V 5 Menyemai benih V 6 Cabut bibit V 7 Menanam V 8 Memelihara tanaman V 9 Memupuk V 10 Menyemprot hama/penyakit V 11 Mencabut rumput V 12 Memanen V 13 Kegiatan pascapanen V 14 Menjual hasil V 15 Menyimpan hasil V Jumlah kegiatan usahatani padi 5 0 10 Tabel 11 Sumber informasi utama tentang PTR menurut jenis kelamin, 2015 Sumber informasi Laki-laki (%) Perempuan (%) Informal Pasangan (suami/isteri) 0 12,5 Anggota rumah tangga 10 27,5 Kerabat di dalam desa 14 62,5 Teman dan tetangga di dalam desa 64 100 Kerabat di luar desa 8 0 Teman dan tetangga di luar desa 10 25 Sesama petani di dalam desa 22 87,5 Sesama petani di luar desa 4 25 Kelompok informal 8 37,5 Perangkat desa 12 37,5 Pedagang 2 37,5 Lainnya 2 0 Formal Kelompok formal/asosiasi 24 37,5 Peneliti 14 62,5 Dinas-dinas teknis 2 12,5 Penyuluh pertanian 17 25 Media Anggota masyarakat atau koran lokal 2 25 Media cetak (leaflet, poster) 2 0 Radio 0 0 Televisi 4 0 Keterangan: N laki-laki = 50; N perempuan = 8
45 Sumber informasi informal tentang PTR menurut jenis kelamin disajikan pada Tabel 11. Tabel tersebut menunjukkan bahwa perempuan (isteri) tidak pernah memberikan informasi kepada suaminya tetapi 12,5 persen suami selalu memberikan informasi yang diketahuinya. Perempuan lebih banyak berperan sebagai sumber informasi informal, sehingga perempuan dapat dikatakan berperan aktif dalam memberikan informasi tentang PTR walaupun secara informal. Jika dilihat dari lokasinya, perempuan lebih berperan di dalam desa dibandingkan dengan di luar desa. Untuk penggunaan media, perempuan hanya memanfaatkan anggota masyarakat lokal atau komunikasi interpersonal untuk menyalurkan informasi tentang PTR yang sudah diperoleh. Tabel 12 Sumber informasi tentang pertukaran informasi tentang PTR, 2015 Sumber informasi Laki-laki Perempuan Keanggotaan dalam organisasi (%) 92 67 Frekuensi kegiatan/ tahun Membaca koran 58 0 Membaca bahan publikasi pertanian (majalah pertanian, poster, leaflet) 12 0 Mendengarkan siaran pertanian dari radio 0 0 Menonton televisi 233 310 Menggunakan fasilitas internet untuk akses informasi tentang pertanian 2 0 Menggunakan HP untuk membicarakan usahatani padi 37 5 Partisipasi dalam seminar/kegiatan pelatihan 2 3 Partisipasi dalam percobaan lapangan (%) 2 2 Berkomunikasi dengan penyuluh pertanian 32 5 Frekuensi partisipasi/tahun dalam kegiatan sosial Menghadiri pernikahan/sunatan 22 30 Partisipasi dalam persembahyangan/pengajian/ keagamaan 342 133 Takziah/menghadiri upacara kematian 18 6 Pesta rakyat 5 11 Pasar/tempat belanja 63 105 Kumpul teman/sahabat 116 0 Pertemuan umum di tingkat desa 16 2 Keterangan: N laki-laki = 50; N perempuan = 8
Dalam hal pertukaran informasi tentang PTR, perempuan lebih rendah keaktifannya daripada laki-laki, kecuali dalam hal mendapatkan informasi dari televisi dan saat berbelanja. Lebih dari 90 persen laki-laki bertukar informasi pada saat melakukan aktivitas pada organisasi yang diikutinya. Perempuan tidak pernah melakukan pertukaran informasi yang didapat dari koran dan media cetak lain seperti leaflet, booklet atau pun majalah). Media radio sudah tidak efektif sebagai sumber informasi yang dapat dipertukarkan. Perempuan tidak pernah memanfaatkan media internet sebagai sumber informasi yang dapat dipertukarkan, karena perempuan tampaknya memang belum bisa memanfaatkan internet. Tempat yang berpeluang untuk digunakan bertukar informasi tentang PTR adalah
46 saat ada acara keagamaan dan laki-laki lebih dominan dalam hal ini. Kumpul teman di warung kopi cukup banyak dilakukan laki-laki dalam pertukaran informasi tentang PTR. Pertemuan umum di tingkat desa lebih mengutamakan pihak laki-laki. Khusus untuk informasi PTR, perempuan lebih banyak berlaku sebagai penerima informasi PTR dari pasangannya. Demikian juga dalam hal menerima informasi dari anggota rumahtangga lainnya. Persentase penerimaan informasi PTR dari petani dari dalam dan luar desa juga lebih banyak diterima oleh perempuan, kecuali dari teman di dalam dan di luar desa lebih banyak diterima laki-laki (Tabel 13). Tabel 13 Penerima informasi tentang PTR menurut jenis kelamin, 2015 Sumber informasi Laki-laki (%) Perempuan (%) Anggota rumahtangga Pasangan (suami/isteri) 16 50 Anggota rumahtangga 6 50 Sesama Petani Di dalam desa 18 50 Di luar desa 8 25 Teman dan tetangga Teman dan tetangga di dalam desa 70 50 Teman dan tetangga di luar desa 2 0 Keterangan: N laki-laki = 50; N perempuan = 8
Komunikasi Inovasi PTR pada Keluarga Petani Padi Sumber informasi (komunikator) pertanian umumnya dan PTR pada khususnya berasal dari peneliti, penyuluh, sesama petani dan sumber lainnya seperti formulator atau teknisi dari perusahaan obat dan penyalurnya. Sumber utama informasi untuk petani adalah penyuluh pertanian lapangan (PPL). Penyuluh memegang peran penting sebagai sumber informasi. Namun, sejak pemberlakukan Undang-undang Otonomi Daerah, peran dan fungsi penyuluh ini sudah tidak teratur dan sangat tergantung kepada keberpihakan pimpinan daerahnya. Jika pimpinan daerahnya berpihak terhadap sektor pertanian, maka sektor pertanian termasuk kegiatan penyuluhan tentu mendapat perhatian dengan menyediakan anggaran yang memadai. Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa hampir 80 persen petani hanya berhubungan dengan satu jenis komunikator. Dapat dipastikan bahwa komunikator tersebut adalah PPL, yang didukung oleh fakta pada Gambar 7. Begitu besar dan strategisnya fungsi dan peran PPL, sehingga diseminasi dan sosialisasi inovasi teknologi pertanian seharusnya selalu disampaikan kepada PPL. Selain penyuluh, jumlah komunikator 2-3 juga melibatkan peneliti dan sesama petani. Untuk jumlah 4-5 sumber komunikasi sudah melibatkan pedagang dan tokoh masyarakat. Sekitar 60 persen petani menyatakan penyuluh sudah melakukan tugasnya menyuluh tentang PTR secara langsung (komunikasi interpersonal), tetapi kurang dari 40 persen yang menyatakan bahwa penyuluh memberikan bahan penyuluhan berupa media cetak tentang PTR. Komunikator
47 dalam komunikasi interpersonal masih lebih banyak yang bersifat satu arah daripada yang dialogis. Komunikator tingkat kecamatan/desa adalah yang paling sering melakukan komunikasi, sedangkan dari tingkat desa/kecamatan yaitu kabupaten, provinsi dan tingkat nasional masing-masing kurang dari 10 persen. Komunikator juga diakui menguasai materi yang disampaikan dan dapat dipercaya oleh hampir 95 dan 98 persen petani. Tabel 14 Persepsi petani tentang komunikator PTR pada keluarga petani padi, 2015 Deskripsi Jumlah (orang) Persentase (%) Komunikator dominan 1. 1 jenis komunikator 46 79,31 2. 2-3 jenis komunikator 9 15,52 3. 4-5 jenis komunikator 3 5,17 Sifat komunikator dominan 1. Satu arah 35 60,34 2. Dialogis 23 39,66 Level komunikator 1. Pusat 2 3,45 2. Provinsi 3 5,17 3. Kabupaten 5 8,62 4. Kecamatan/ Desa 48 82,76 Kompetensi komunikator 1. Tak menguasai 3 5,17 2. Menguasai 55 94,83 Tingkat kepercayaan kepada komunikator 1. Tak dipercaya 1 1,72 2. Dipercaya 57 98,28
N = 58
Penerapan Otonomi Daerah sangat berpengaruh terhadap sistem penyuluhan. Keberlangsungan peyuluhan pertanian yang baik sangat tergantung kepada keberpihakan pimpinan daerah. Jika pimpinan daerah paham dan berpihak kepada sektor pertanian biasanya sektor pertanian termasuk penyuluhannya relatif baik keadaannya, anggarannya pun diperhatikan dan sebaliknya. Dengan pembentukan Badan Penyuluhan yang terpisah dari Dinas Pertanian, program dan kegiatan penyuluhan seperti terombang-ambing, program dan dana ada di Dinas, sedangkan pelaksana/SDM penyuluhnya berada di Badan/Kantor Penyuluhan. Inilah salah satu penyebab penyuluh tidak banyak lagi membuat berbagai media cetak bahan penyuluhan. Penyuluh juga diakui cepat memberikan jawaban untuk informasi PTR dengan cara menyuluhnya yang jelas.
48 43% 35%
18%
04%
lainnya
peneliti
Penyuluh
sesama petani PTR
Gambar 7 Histogram sumber informasi petani tentang PTR, 2015 Sifat penyuluh yang baik adalah memiliki kreatifitas (seperti dinyatakan oleh SWN, 45 tahun). Misalnya koordinator PPL di Kecamatan Bangodua, Kabupaten Indramayu, berinisiatif mengajak para ketua kelompok tani di wilayah binaannya ke BB Padi. Di BB Padi penyuluh diakui kurang mendampingi dalam pelaksanaan usahatani PTR. “Ibu TRM, Kepala BPP Kecamatan Bangodua/Koordinator Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Bangodua, yang baru sekitar setahun berkarya di Kecamatan Bangodua, sudah kelihatan kemampuannya yang relatif lebih dibandingkan dengan rekan sekerjanya di kecamatan lain, misalnya dengan mengajak petani mengembangkan varietas baru selain Ciherang. Ajakan ini dilanjutkan dengan membawa petani widya wisata ke BBP Padi di Sukamandi yang kemudian memperkenalkan berbagai benih padi varietas baru yang diharapkan dapat menggantikan varietas Ciherang yang sudah mulai tidak tahan terhadap berbagai Organisma Pengganggu Tanaman (OPT). Kepala UPTD Kecamatan Bangodua adalah Ibu WSN). Ibu SWN menyarankan untuk menemui Bapak DNI, Ketua Kelompok Tani Mekarsari di Desa Malangsari. Bapak DNI merupakan petani termuda di kelompoknya tetapi diangkat menjadi ketua karena tingkat sosial ekonominya serta pendidikan dan kepimpinannya lebih dari anggota lainnya. Dengan telah dilakukan penanaman Varietas Inpari 30, sebenarnya Pak DNI telah memenuhi persyaratan untuk menjadi penangkar benih Inpari 30, kecuali satu yaitu Pak DNI belum pernah memiliki pengalaman sebagai penangkar benih.” (SWN, 45 th). Pedagang sebagai penyuluh hanya diakui oleh sepertiga petani. Tetapi sebagian pedagang memberikan harga yang wajar untuk PTR. Penjelasan peneliti sebagai komunikator diakui cukup jelas, walaupun belum memuaskan dalam hal pemberian materi penyuluhan berupa media cetak. Kondisi di lapangan saat wawancara banyak petani menyatakan bahwa peneliti datang hanya mengukur dan
49 mencatat pertumbuhan tanaman padi. Penyuluhan dari peneliti diberikan hanya pada saat pembagian benih, tetapi tidak membuat petani merasa jelas tentang PTR. Sesama petani berperan sebagai penyuluh dan senang berbagi ilmu dan penerangannya jelas diakui oleh sebagian besar petani. Ini merupakan indikasi yang baik bahwa petani dapat berperan sebagai penyuluh swadaya dan akan meringankan beban pemerintah dalam penyediaan penyuluh. Selain itu karena kondisi “hemofili” diskusi sesama petani tentang PTR juga berlangsung lebih baik. Tokoh masyarakat yaitu lurah dan camat mendukung adanya PTR diakui oleh petani, tetapi tokoh masyarakat tidak praktik langsung mengusahakan PTR. Walaupun demikian tokoh masyarakat yang menanam PTR dan sering membicarakan dinyatakan oleh kurang dari 50 persen petani. Tabel 15 Persepsi petani tentang inovasi PTR pada keluarga petani padi, 2015 Deskripsi Jumlah (orang) Persentase (%) Ketersediaan benih PTR 1. Sulit 35 60,34 2. Cukup mudah 20 34,48 3. Sangat mudah 3 5,18 Penggunaan PTR 1. Rendah 54 93,10 2. Sedang 1 1,72 3. Tinggi 3 5,18 Pemeliharaan tanaman PTR 1. Sulit 4 6,90 2. Mudah 8 13,79 3. Sangat mudah 46 79,31 Kualitas hasil PTR pada rasa nasi 1. Tidak enak 2 3,45 2. Cukup enak 13 22,41 3. Enak 43 74,14 Kualitas hasil PTR pada tampilan beras 1. Tidak menarik 12 28,58 2. Cukup menarik 33 55,90 3. Menarik 9 15,52 Kualitas hasil PTR pada produktivitas padi 1. Rendah 5 8,62 2. Sedang 7 12,07 3. Tinggi 46 79,31 N = 58 Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa pesan yang dihasilkan peneliti, dalam hal ini PTR, pengetahuan dan segala sifat-sifatnya tidak ditransfer dengan baik kepada penyuluh. Padahal tujuan utama pembentukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di setiap provinsi itu adalah untuk mendekatkan antara peneliti dan penyuluh. Peneliti sebagai sumber teknologi akan dibantu oleh penyuluh (sebagai komunikator) mentransfer hasil karya peneliti tersebut sebagai pesan untuk disampaikan kepada pengguna akhir/petani atau komunikan. Namun dengan beban kerja sebagai pelaksana berbagai program Direktorat dari berbagai
50 Kementerian dan sebagai Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS). Tidak mungkin tugas menterjemahkan “pesan” hasil inovasi peneliti menjadi prioritas, sehingga para penyuluh lapangan dan akhirnya para petani atau penerima pesan/komunikan tidak mendapatkan pengetahuan yang baik dan benar mengenai pesan tersebut. Tabel 16 Persepsi petani tentang media komunikasi PTR pada keluarga petani padi, 2015 Deskripsi Jumlah (orang) Persentase (%) Keterpaan media massa 1. Rendah 35 60,34 2. Sedang 20 34,48 3. Tinggi 3 5,18 Keterpaan komunikasi interpersonal 1. Jarang 1 1,72 2. Sering 3 5,18 3. Sangat sering 54 93,10 Intensitas interaksi kelompok 1. Jarang 4 6,90 2. Sering 8 13,79 3. Sangat sering 46 79,31 Penggunaan media HP (hybrid) 1. Jarang 2 3,45 2. Sering 13 22,41 3. Tinggi 43 74,14 Penggunaan media cetak 1. Jarang 47 81,93 2. Sering 11 18,07 3. Sangat sering 0 0,00 Demplot 1. Rendah 46 79,31 2. Sering 12 20,69 3. Sangat sering 0 0,00 Studi banding 1. Rendah 51 87,93 2. Sedang 7 12,07 3. Tinggi 0 0,00 Magang 1. Jarang 52 69,60 2. Sering 3 15,70 3. Sangat sering 3 15,70 N = 58 Kepemilikan media komunikasi terdiri dari televisi (TV), radio, handphone, internet, koran dan majalah. Khusus untuk majalah tidak ada seorang petani pun yang memanfaatkan majalah sebagai media komunikasi. Jumlah rata-rata petani hanya memiliki satu unit televisi. Rata-rata petani PTR menonton televisi hampir 26 kali dalam sebulan. Frekuensi mengakses informasi tentang media PTR yang dilakukan oleh petani adalah 1,50 kali setiap bulannya. Tingkat pemilikan radio relatif rendah, banyak yang memiliki radio tetapi sudah tidak dapat dimanfaatkan alias dalam kondisi rusak, sehingga radio akan kurang efektif untuk dijadikan media komunikasi tentang PTR. Hal ini terbukti dengan tidak ada petani yang
51 mengakses informasi PTR dari radio. Rata-rata kepemilikan HP sudah lebih dari satu unit, namun pemanfaatannya untuk mengakses informasi PTR relatif sedikit, yaitu hanya dua kali per bulan. Terdapat seorang petani yang berusia muda memiliki fasilitas internet, namun pemanfaatannya untuk mengakses PTR tidak pernah dilakukan. Keterpaan media massa berupa TV, radio, koran dan majalah relatif rendah. Hanya sekitar lima persen dari petani yang memiliki keterpaan media massa tinggi (Tabel 16). Komunikasi interpersonal dominan dilakukan dalam komunikasi inovasi PTR (93,10%) di lokasi penelitian. Demikian pula intensitas interaksi dalam kelompok sering dilakukan oleh sekitar 80 persen petani. Penggunaan media hybrid (HP) sangat tinggi (74,14%), namun penggunaannya bukan untuk mengakses informasi PTR. Media cetak sangat jarang diakses atau sulit diakses oleh petani. Media komunikasi berupa demplot, studi banding dan magang sangat jarang dilakukan, padahal media tersebut paling efektif untuk menggugah minat dan kemauan petani dalam mengadopsi inovasi. Bagi petani “seeing is believing” merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Difusi Inovasi PTR pada Keluarga Petani Padi Pengetahuan petani tentang PTR dapat dikatakan pada tataran rendah (Tabel 17). Pada wawancara dapat diamati bahwa petani sulit untuk menggambarkan ciriciri fisik PTR, apalagi nama varietasnya. Namun karena produktivitas PTR relatif tinggi, petani masih punya minat untuk kembali menanam atau mengusahakan PTR. Hanya petani yang mengalami gagal panen tidak menginginkan lagi untuk mengusahakan PTR. Kesulitan mendapatkan benih PTR membuat petani tidal lanjut menanam PTR kembali. Persepsi petani tentang faktor eksternal (Lampiran 2) menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki persepsi bahwa menanam PTR akan mendatangkan keuntungan pada skala sedang (58,62%) dan kurang dari 10 persen petani menyatakannya pada skala tinggi. Hal yang serupa juga terjadi untuk kesesuaian lahan. Sebagian besar petani (72,41%) menganggap bahwa menanam PTR menanam PTR, karena tidak ada perbedaan cara budidaya PTR dengan padi konvensional. Mudah melakukan pengamatan terhadap pertumbuhan PTR diakui oleh hampir 80 persen petani. Petani yang merasa kesulitan dalam mengamati pertumbuhan PTR kurang dari tujuh persen. Hampir 50 persen petani menyatakan jarang mengikuti penyuluhan dan hampir 40 persen sering mengikuti penyuluhan. Sisanya menyatakan sering mengikuti penyuluhan. Selain mengikuti penyuluhan, petani juga cukup sering melakukan diskusi tentang PTR diantara sesama mereka namun jarang melakukan akses informasi tentang PTR dari artikel/literatur/buku dan melalui TV dan radio. Sebagai evaluasi input, mendapat benih PTR di pasaran secara tepat waktu dan tepat jumlah masih menjadi masalah. Harga benih PTR pun masih dinilai terlalu tinggi. Selain itu ketersediaan modal berusahatani juga masih dirasakan kurang. Petani memerlukan modal yang dapat diperoleh secara mudah, tidak mensyaratkan agunan, tepat waktu serta tidak rumit dari sisi administrasinya.
52 Diakui juga oleh petani bahwa benih PTR mudah disemai dan ditanam. Sekitar 50 persen petani, menyatakan bahwa di sekitar tanaman PTR tidak banyak gulma, tidak banyak serangan serangga, keong mas dan hama tikus serta lebih tahan terhadap penyakit tanaman. Selain itu PTR juga tidak memerlukan perlu banyak pupuk dan obat-obatan, namun umurnya lebih cepat matang. Produksi PTR diakui memuaskan dan rasa nasinya dianggap enak oleh lebih dari 50 persen petani. Namun harga PTR dianggap kurang menguntungkan dan kalau pun beruntung, keuntungan tersebut kurang memuaskan (Lampiran 2). Pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa indikator pengambilan keputusan menunjukkan hal-hal yang bertolak belakang dengan harapan. Misalnya, tidak ada petani yang menyimpan bahan media cetak tentang PTR dan menyimpan PTR di rumahnya. Petani yang melakukan uji coba pada 10-25 persen luas lahannya dan uji coba dilakukan lebih dari sekali hanya 50 persen. Tidak ada selang waktu dalam mengambil keputusan sejak petani dibagi benih PTR dengan waktu penanaman. Hal ini yang menyebabkan inovasi PTR cepat diadopsi tetapi tidak lanjut adopsinya, sehingga tidak terjadi difusi inovasi. Tabel 17 Difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi, 2015 Persepsi tentang difusi inovasi PTR Jumlah (orang) Pengetahuan tentang PTR 1. Tidak paham (R) 24 2. Paham (S) 28 3. Sangat paham (T) 6 Persuasi tentang PTR 1. Tidak berminat (R) 26 2. Berminat (S) 28 3. Sangat berminat (T) 4 Keputusan menanam PTR secara berulang 1. Tidak pernah lagi (R) 39 2. Menanam lagi satu kali (S) 16 3. Menanam lagi 2-3 kali (T) 3 N = 58
Persentase (%) 41,55 48,79 9,66 44,33 48,52 7,14 66,67 27,59 5,75
Pengetahuan petani tentang PTR dapat dikatakan pada tataran rendah (Tabel 17). Pada wawancara dapat dapat diamati bahwa petani sulit untuk menggambarkan ciri-ciri fisik PTR, apalagi nama varietasnya. Namun karena produktivitas PTR relatif tinggi, petani masih punya minat untuk kembali menanam atau mengusahakan PTR. Hanya petani yang mengalami gagal panen tidak menginginkan lagi untuk mengusahakan PTR. Lampiran 3 menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki persepsi bahwa menanam PTR akan mendatangkan keuntungan pada skala sedang (58,62%) dan kurang dari 10 persen petani menyatakannya pada skala tinggi. Hal yang serupa juga terjadi untuk kesesuaian lahan. Sebagian besar petani (72,41%) menganggap bahwa menanam PTR cukup mudah menanam PTR, karena tidak ada perbedaan cara budidaya PTR dengan padi konvensional. Mudah melakukan pengamatan terhadap pertumbuhan PTR diakui oleh hampir 80 persen petani. Petani yang merasa kesulitan dalam mengamati pertumbuhan PTR kurang dari tujuh persen. Hampir 50 persen petani menyatakan jarang mengikuti penyuluhan
53 dan hampir 40 persen sering mengikuti penyuluhan. Sisanya menyatakan sering mengikuti penyuluhan. Selain mengikuti penyuluhan, petani juga cukup sering melakukan diskusi tentang PTR di antara sesama mereka namun jarang melakukan akses informasi tentang PTR dari artikel/literatur/buku dan melalui TV dan radio. Sebagai evaluasi input, mendapat benih PTR di pasaran secara tepat waktu dan tepat jumlah masih menjadi masalah. Harga benih PTR pun masih dinilai terlalu tinggi. Selain itu ketersediaan modal berusahatani juga masih dirasakan kurang. Petani memerlukan modal yang dapat diperoleh secara mudah, tidak mensyaratkan agunan, tepat waktu serta tidak rumit dari sisi administrasinya. Diakui juga oleh petani bahwa benih PTR mudah disemai dan ditanam. Sekitar 50 persen petani, menyatakan bahwa di sekitar tanaman PTR tidak banyak gulma, tidak banyak serangan serangga, keong mas dan hama tikus serta lebih tahan terhadap penyakit tanaman. Selain itu PTR juga tidak memerlukan perlu banyak pupuk dan obat-obatan, namun umurnya lebih genjah. Produksi PTR diakui memuaskan dan rasa nasinya dianggap enak oleh lebih dari 50 persen petani. Namun harga PTR dianggap kurang menguntungkan dan kalau pun beruntung, keuntungan tersebut kurang memuaskan (Lampiran 3). Pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa indikator pengambilan keputusan menunjukkan hal-hal yang bertolak belakang dengan harapan. Misalnya, tidak ada petani yang menyimpan bahan media cetak tentang PTR dan menyimpan PTR di rumahnya. Petani yang melakukan uji coba pada 10-25 persen luas lahannya dan uji coba dilakukan lebih dari sekali hanya 50 persen. Tidak ada selang waktu dalam mengambil keputusan sejak petani dibagi benih PTR dengan waktu penanaman. Hal ini yang menyebabkan inovasi PTR cepat diadopsi tetapi tidak lanjut adopsinya, sehingga tidak terjadi difusi inovasi. Persepsi petani tentang faktor eksternal pada difusi inovasi PTR (Tabel 18). Indikator dalam Peubah faktor eksternal pada penelitian adalah kebijakan pemerintah, ketersediaan input produksi, daya serap hasil produksi, dan budaya. Sampai saat penelitian ini dilaksanakan, belum disusun secara khusus kebijakan tentang sosialisasi PTR. Artinya kebijakan sosialisasi tidak berdasarkan jenis varietas, dalam hal ini proses sosialisasi PTR tidak berbeda dengan non- PTR seperti Ciherang dan Mekongga. Produktivitas padi varietas tertentu di Jawa Barat sudah relatif tinggi, misalnya varietas Ciherang 7,4 ton/ha dan varietas Mekongga 8,4 ton/ha. Angka-angka ini merupakan hasil Demfarm seluas 10 ha yang direkomendasikan oleh Pemda. Namun sekarang produktivitasnya sudah jauh berkurang karena sudah terjadi inbreeding seperti dikatakan staf BPTP, Jawa Barat (DMW, 57 tahun). “Berdasarkan hasil usahatani dibanding Ciherang atau Mekongga memiliki kelemahan sebagai berikut: (1) profitas relatif rendah; (2) rasa nasinya kurang enak; dan (3) kurang laku kalau di jual”. (DMW, 57 tahun) Varietas unggul yang direkomendasikan adalah varietas Inpari Pasundan, Inpari Pakuan dan Inpari Parahyangan. Berbagai varietas Inpari tersebut merupakan hasil pemuliaan Batan bekerja sama dengan Pemda Jawa Barat, dalam hal ini Balai Pengembangan Benih Padi (BPBP) Cihea memberikan peran dalam
54 pengembangan ketiga jenis varietas Inpari tersebut. Berbagai varietas tersebut tidak toleran rendaman, sehingga tidak cocok untuk daerah rawan banjir dan tergenang. Wilayah yang sering terkena banjir atau genangan di Provinsi Jawa Barat terutama terdapat di sepanjang Pantura, yaitu Kabupaten Subang, Karawang, Majalengka, Indramayu dan di wilayah selatan Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan Banjar. Varietas yang cocok dan telah direkomendasikan adalah varietas Inpari 30, yang merupakan hasil kerja para pemulia di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi). Secara formal, Inpari 30 sudah direkomendasikan sejak tahun MH 2012. Tabel 18 Persepsi petani tentang faktor eksternal pada difusi inovasi PTR keluarga petani padi, 2015 Faktor eksternal Jumlah (orang) Persentase (%) Kebijakan pemerintah (PPL, saprodi,atasi banjir, sarana jalan) 1. Kurang mendukung (R) 23 39,66 2. Mendukung (S) 29 49,78 3. Sangat mendukung (T) 6 10,34 Ketersediaan sarana produksi 1. Tidak tersedia/sulit (R) 13 22,22 2. Mudah (S) 38 65,52 3. Sangat mudah (T) 7 12,26 Daya serap pasar hasil produksi 1. Sulit menjual (R) 25 43,87 2. Mudah menjual (S) 26 44,64 3. Sangat mudah menjual (T) 7 11,49 Budaya 1. Kurang mendukung (R) 21 36,34 2. Mendukung (S) 24 41,78 3. Sangat mendukung (T) 13 21,88 N = 58 Tabel 18 menyajikan persepsi petani tentang faktor eksternal. Kebijakan pemerintah dianggap mendukung tapi hanya pada tataran sedang. Ketersediaan input produksi terutama benih dirasakan sulit. Ketersediaan sarana produksi selain benih relatif mudah dicari. Asal ada uang, pupuk dan obat-obatan mudah dicari. Ini sesuai dengan yang dikatakan oleh staf Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu (SWN, 45 th). “Di Kabupaten Indramayu, varietas Ciherang, Mekongga dan varietas favorit lainnya ditanam oleh lebih dari 90 persen petani padi, sedangkan padi varietas spesifik seperti Inpara/Inpari. sangat sedikit (5-10%). Varietas Ciherang sudah melewati masa jayanya dan sekarang ketahanannya terhadap OPT sudah jauh berkurang, untuk menghindari puso dan penurunan produksi dan produktivitas, mau tidak mau harus ada penggantian varietas. Saat ini banyak petani yang sudah mengetahui masalah tersebut, tetapi untuk mengganti dengan varietas yang cocok para petani masih kesulitan mencari benih,
55 khususnya benih yang sudah diperkenalkan seperti Inpari 30. Benih padi yang dimaksud belum tersedia di kios-kios/di tingkat petani/lapang”. (SWN, 45 th). Pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa kebijakan pemerintah dalam menyediakan penyuluh yang paham PTR dalam jumlah yang memadai, tetapi penyuluh yang tahu mengenai seluk-beluk tentang PTR hanya diakui oleh 50 persen petani. Bantuan saprodi diakui pernah diperikan pemerintah, demikian juga mengatasi kejadian banjir dan membangun sarana jalan. Pedagang khusus PTR tidak ada di lokasi penelitian dansedikit pedagang padi yang bersedia membeli PTR, kalaupun ada pedagang yang bersedia membeli, maka harganya di bawah harga wajar. Tidak ada pedagang benih PTR di lokasi penelitian. Pedagang pun tidak memberikan informasi cara-cara berusahatani PTR juga tentang keberhasilan petani lain dalam mengusahakan PTR. Jadi sebagian besar petani mengalami kesulitan menjual produksi PTR. Kegiatan pengajian dan arisan jarang dimanfaatkan untuk mencari informasi tentang pertanian secara umum apalagi untuk mencari informasi tentang PTR. Dalam kegiatan kerja bakti seringkali didiskusikan perihal pertanian secara umum tetapi tidak membicarakan PTR. Para petani menganggap bahwa kegiatan pertanian merupakan kegiatan turun temurun, sehingga seorang petani akan melahirkan petani lagi. Namun tidak demikian dengan generasi mudanya, karena sebagian besar generasi muda tidak berminat bekerja pada sektor pertanian. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan DNI (28 tahun). “Pemuda yang berpendidikan tinggi tidak mau bekerja di sektor pertanian tetapi lebih memilih bekerja di sektor industri, misalnya di Tangerang” (DNI, 28 tahun). Kebijakan pemerintah relatif sudah mendukung, misalnya dalam menyediakan penyuluh (penyuluh pertanian lapangan/PPL) yang paham PTR dalam jumlah yang memadai, tetapi penyuluh yang tahu mengenai seluk-beluk tentang PTR hanya diakui oleh 50 persen petani (Lampiran 3). Bantuan saprodi diakui pernah diperikan pemerintah, demikian juga mengatasi kejadian banjir dan membangun sarana jalan. Pada awalnya pedagang yang khusus membeli PTR tidak ada di lokasi penelitian dan hanya sedikit pedagang padi yang bersedia membeli PTR, kalaupun ada pedagang yang bersedia membeli, maka harganya di bawah harga wajar. Tidak ada pedagang benih PTR di lokasi penelitian. Hal ini merupakan hambatan yang dapat menurunkan tingkat adopsi inovasi, sehingga tidak terjadi difusi inovasi PTR. Hal ini diperkuat dengan pernyataan PPW, Kepala Bidang Program Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura serta TRM, Koordinator PPL, Kecamatan Bangodua. “Dasar pertimbangan petani dalam memilih dan menetapkan varietas yang ditanam adalah: rasanya sesuai selera, hasilnya tinggi dan laku dijual. Oleh karena itu ada kondisi petani yang perlu menjadi pertimbangan dalam mensosialisasikan suatu varietas baru adalah: (1) Petani hanya akan percaya jika sudah melihat bukti keunggulannya; (2) Pedagang memiliki pengaruh yang sangat besar dalah menentukan
56 pilihan petani; dan (3) Seringkali petani takut hasil produksinya tidak laku dijual” (PPW, 59 tahun)” “Produktivitas rata-rata tanaman padi di Indramayu relatif sudah tinggi (di atas rata-rata nasional), yaitu 7-7,5 ton/ha. Oleh karena itu, introduksi varietas baru yang produktivitasnya lebih rendah pasti tidak akan terus diadopsi oleh petani. Begitu juga jika sifat lain yang tidak disenangi, misalnya introduksi varietas Inpari 10 yang pada bulir terdapat titik putih, sehingga menyebabkan patahan saat padi digiling menjadi tinggi. Selain itu pengalaman introduksi varietas padi Inpari 13 yang bulir padinya susah rontok saat dirontokan, juga menjadikan teruputusnya adopsi varietas tersebut oleh para petani” (TRM, 55 th). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Difusi Inovasi PTR Keluarga Petani Padi Hasil uji SEM dengan SmartPLS tentang faktor-faktor yang mempengaruhi difusi inovasi PTR keluarga petani padi disajikan pada Tabel 19. Sifat-sifat Inovasi PTR yang sesuai dengan harapan petani dapat mengubah pengetahuan, sikap, dan perilaku petani sesuai harapan komunikator. Artinya petani mengusahakan PTR secara berkelanjutan. Tabel 19 Pengaruh faktor komunikasi dan faktor eksternal terhadap difusi inovasi PTR keluarga petani padi, 2015 Faktor yang mempengaruhi Nilai koefisien uji jalur terhadap difusi inovasi 1. Faktor Komunikasi Komunikator 0,173* Inovasi PTR 0,545** Media komunikasi 0,008 Profil keluarga: 1. Ukuran keluarga -0,346* 2. Ekonomi keluarga -0,497* 3. Penguasaan lahan 0,446* 4. Pemilikan media komunikasi -0,643** 5. Status social 0,647** 6. Keterlibatan dalam organisasi -0,089 petani 2. Faktor eksternal: Kebijakan pemerintah 0,828** Ketersediaan input produksi 0,696** Daya serap pasar hasil produksi 0,851** Budaya 0,774**
Ket: **berpengaruh nyata pada α= 0,01 *berpengaruh nyata pada α= 0,05
Gambar 8 Standardized loading factor model
57
Gambar 9 Nilai t-hitung
58
59 Tabel 20 Kecocokan model struktural pengaruh faktor komunikasi dan faktor eksternal terhadap difusi inovasi PTR keluarga petani padi, 2015 Variabel
AVE
Composite Reliability
X1 X2 X3 X4 X5 Y1
0,74282 0,62303 0,61155 0,34365 0,62351 0,67404
0,93466 0,83214 0,88652 0,09333 0,86818 0,80486
Ket: Nilai R2 (overall coefficient of determination)
R Square
0,65678
Cronbach’s Alpha 0,91064 0,69990 0,84077 0,48862 0,80357 0,52073
Inovasi PTR memberikan pengaruh positif dan sangat nyata terhadap difusi inovasinya. Artinya semakin baik sifat-sifat keunggulan PTR, akan semakin tinggi difusi inovasinya. Sifat-sifat intrinsik inovasi mencakup: (1) informasi ilmiah yang melekat/dilekatkan pada inovasinya, (2) nilai-nilai atau keunggulankeunggulan (teknis, ekonomis, sosial budaya, dan politis) yang melekat pada inovasinya, (3) tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi, (4) mudah/tidaknya dikomunikasikan (kekomunikatifan) inovasi, (5) mudah/tidaknya inovasi tersebut dicobakan (trialability), dan (6) mudah/tidaknya inovasi tersebut diamati (observability). Sifat-sifat ekstrinsik inovasi meliputi: (1) kesesuaian (compatibility) inovasi dengan lingkungan setempat (baik lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan ekonomis masyarakatnya) dan (2) tingkat keunggulan relatif dari inovasi yang ditawarkan, atau keunggulan lain yang dimiliki oleh inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah ada yang akan diperbaharui atau digantikannya; baik keunggulan teknis (kecocokan dengan keadaan alam setempat, tingkat produktivitasnya), ekonomis (besarnya biaya atau keuntungannya), manfaat non-ekonomi, maupun dampak sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya. Menurut Crouch dan Chamala (1981) terdapat urutan jenjang kepentingan sifat-sifat inovasi. Jika dihubungkan dengan sifat inovasi PTR yang seharusnya memberikan keuntungan dan dapat mengurangi biaya usahatani (tahan rendaman/banjir), seharusnya tingkat difusi PTR tinggi. Namun karena pada saat benih PTR dibagikan kepada petani periode 2007-2009, sifat-sifat atau trait PTR belum sempurna, sehingga banyak kegagalan dialami petani. Hal ini yang mengakibatkan petani tidak lanjut adopsi yang pada gilirannya tidak terjadi difusi inovasi. Selain itu, unsur komunikator pun memberikan pengaruh nyata terhadap difusi inovasi, walaupun tidak sebesar inovasi PTR. Jika kompetensi dan tingkat kepercayaan komunikator ditingkatkan maka akan meningkatkan difuai inovasi PTR. Sifat komunikator yang pada saat memberikan penerangan kepada petani lebih berisifat satu arah harus diperbaiki dengan mengedepankan dialog dan partisipasi petani. Menurut Anwas et al. (2010), Kompetensi penyuluh dipengaruhi secara tidak langsung oleh: pendidikan formal, kepemilikan media komunikasi dan informasi, dan dukungan keluarga melalui pemanfaatan media massa; peubah tingkat pendidikan formal, motivasi, dan tuntutan klien melalui
60 pemanfaatan media terprogram; serta tuntutan klien dan pendidikan formal melalui pemanfaatan media lingkungan. Berbagai sifat perlu dimiliki oleh komunikator. Khusus tentang PTR, PPL belum begitu memahami PTR, sehingga tidak dapat menjelaskan dengan baik kepada petani. Walaupun petani menganggap bahwa komunikator menguasai materi penyuluhan dan dipercaya oleh petani, namun pemahaman PPL tentang PTR perlu ditingkatkan. Berbagai media komunikasi dimiliki oleh petani, namun pemanfaatannya belum difokuskan untuk mengakses informasi PTR. Di pihak lain, informasi PTR tidak merupakan fokus instansi terkait, sehingga bahan-bahan penyuluhan atau pun sosialisasi dan diseminasi PTR tidak tersedia. Pada gilirannya, tetap saja ilmu petani tentang PTR tidak bertambah. Berbagai kompetensi perlu dimiliki oleh komunikator. Khusus tentang PTR, PPL belum begitu memahami PTR, sehingga tidak dapat menjelaskan dengan baik kepada petani. Walaupun petani menganggap bahwa komunikator menguasai materi penyuluhan dan dipercaya oleh petani, namun pemahaman PPL tentang PTR perlu ditingkatkan. Berbagai media komunikasi dimiliki oleh petani, namun pemanfaatannya belum difokuskan untuk mengakses informasi PTR. Di pihak lain, informasi PTR tidak merupakan fokus instansi terkait yang berwenang, sehingga bahan-bahan penyuluhan atau pun sosialisasi dan diseminasi PTR tidak tersedia. Pada gilirannya, tetap saja ilmu petani tentang PTR tidak bertambah. Peubah profil keluarga tani tidak menunjukkan hal yang ”promising” karena semua indikatornya tidak berpengaruh terhadap difusi inovasi. Kebijakan pemerintah memberikan pengaruh yang besar terhadap difusi inovasi PTR keluarga petani padi. Pemerintah menyediakan penyuluh yang mengetahui seluk beluk PTR dengan baik sehingga petani dapat dengan mudah menerima informasi yang diberikan oleh penyuluh. Penyuluh dengan jumlah yang memadai membuat petani dengan mudah berkonsultasi dengan penyuluh mengenai PTR. Bantuan sarana produksi yang memadai dari pemerintah merupakan fasilitasi kepada petani agar dapat dengan mudah mengusahakan PTR dengan baik. Menurut Suardi dalam penelitiannya tentang Program Sistem Pertanian Terintegrasi atau Simantri (2015), unsur-unsur komunikasi yaitu (1) pendamping petani (komunikator) dicerminkan oleh empat indikator yaitu: keterampilan komunikasi, sikap, pengetahuan, dan perilaku sosial dan potensi dominannya adalah perilaku sosial dalam berinteraksi dengan para petani penerima program dan sikap positif terhadap program, sedangkan potensi keterampilan berkomunikasi dan pemahaman terhadap substansi program/pesan hanya sebagai penciri tambahan; (2) petani (komunikan) dicerminkan oleh indikator: keterampilan komunikasi, sikap, pengetahuan, dan perilaku sosial dengan potensi dominan yang mencirikan kompetensi petani sebagai komunikan; (3) Pesan komunikasi dicerminkan oleh indikator-indikator: isi pesan, unsur-unsur pesan, struktur pesan, dan bentuk pesan. Potensi dominan yang mencirikan kesesuaian pesan komunikasi program yaitu isi pesan dan unsur-unsur pesan, sedangkan bentuk pesan dan struktur pesan tidak memberikan ciri yang berarti terhadap pesan komunikasi; (4) Metode komunikasi Program dicerminkan oleh indikator: pemanfaatan teknik, pemanfaatan media, pemanfaatan sarana/prasarana, dan pengendalian suasana. Potensi dominan yang mencirikan peran metode komunikasi program yaitu penggunaan teknik komunikasi, sedangkan
61 pemanfaatan media dan kemampuan pengendalian suasana kurang mencirikan peran metode komunikasi; (5) Sarana/prasarana komunikasi dicerminkan oleh indikator: peralatan teknik, perangkat media, dan perangkat prasarana pendukung. Potensi peralatan teknik, perangkat media, dan perangkat prasarana pendukung kurang mencirikan kapasitas sarana/prasarana komunikasi. Selain itu Suardi (2015) menyatakan bahwa sumberdaya komunikasi penyuluhan program dengan potensinya masing-masing seperti yang telah diuraikan, dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi penyuluhan dan sumberdaya komunikasi tersebut dapat dimaksimalkan fungsi serta perannya melalui pendekatan fungsi-fungsi manajemen. Komunikator pada inovasi seyogyanya kredibel dimata petani anggota Kelompok Simantri, dapat dipercaya keandalannya dan memiliki daya tarik, sehingga petani percaya dan respek terhadap penyuluh. Pendamping memiliki hubungan yang kuat dengan petani, dimana efektivitas komunikasi penyuluhan program ditentukan oleh kompetensi dan kesetaraan antara kedua belah pihak. Kesetaraan yang dimaksud meliputi berbagai dimensi, diantaranya keterampilan komunikasi, pengetahuan, pengalaman, sikap, dan perilaku sosialnya. Disamping itu, komunikasi program akan efektif apabila perilaku kedua belah pihak sesuai atau terpolakan dalam konteks sosialnya, pendamping memiliki hubungan yang cukup kuat dengan pesan komunikasi, dimana efektivitas komunikasi penyuluhan tergantung dari karakteristik pendamping dan bentuk pesan yang disampaikan. Keterampilan komunikasi yang baik dari pendamping dan bentuk pesan yang baik akan mendukung terjadinya komunikasi penyuluhan yang efektif. Petani berinteraksi dalam proses komunikasi penyuluhan didorong oleh kebutuhan intrinsiknya untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan program. Kepemilikan media komunikasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap difusi inovasi. Sebagian besar petani yang memiliki media komunikasi belum menggunakannya mengakses informasi tentang PTR, petani dan keluarganya lebih berorientasi kepada hiburan. Peubah profil keluarga petani juga tidak memberikan pengaruh dan nyata terhadap difusi inovasi. Hal ini dapat dipahami, karena petani memang rasional dan akan mengadopsi jika inovasi tersebut diperlukan dan memberikan manfaat, sehingga selanjutnya akan memberikan kesempatan agar terjadi difusi inovasi. Ketersediaan input produksi memberikan pengaruh terhadap difusi inovasi PTR keluarga petani padi. Petani dalam menjalankan usaha PTR dibantu oleh lembaga keuangan agribisnis dan keuangan pribadi yang meminjamkan modal kepada petani. Peminjaman modal membantu petani untuk dapat mengadopsi PTR dengan baik. Ketersediaan benih dan pupuk di pasaran membantu petani untuk dapat mengusahakan PTR. Daya serap pasar hasil produksi yang rendah membuat petani kurang tertarik untuk mengadopsi PTR. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pasar yang mampu menyerap hasil produksi PTR. Budaya tidak memberikan pengaruh terhadap difusi inovasi. Hal ini ditandai dengan adanya kepercayaan petani terhadap kebiasaan menanam padi secara turun temurun masih tinggi, sehingga petani memiliki keengganan untuk menerapkan penanaman PTR. Pembuktian hipotesis tentang faktor eksternal berpengaruh langsung dan positif terhadap difusi inovasi PTR, diterima.
62 Hubungan Profil Keluarga dengan Adaptasi pada Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani Hasil uji SEM dengan SmartPLS menunjukkan bahwa dari enam indikator, hanya tiga indikator yang memiliki nilai loading lebih dari 0,5. Indikator-indikator tersebut adalah: ekonomi keluarga, penguasaan lahan dan status sosial. Demikian pula indikator-indikator pada peubah adaptasi terhadap perubahan iklim hanya dua dari tiga indikator yang memiliki nilai loading lebih dari 0,5 yaitu persuasi dan keputusan (Gambar 10). Gambar 11 menyajikan t hitung pada uji SEM dengan SmartPLS tentang hubungan profil keluarga dengan adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani. Ketiga indikator peubah profil keluarga petani ekonomi keluarga, penguasaan lahan dan status sosial berpengaruh langsung, sangat nyata dan positif baik terhadap adaptasi pada perubahan iklim maupun ketahanan pangan keluarga petani. Dengan memperbaiki ketiga indikator tersebut, akan dapat meningkatkan daya adaptasi keluarga petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani. Tabel 21 menyajikan kecocokan model struktural hubungan profil keluarga petani dengan adaptasi terhadap perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan. Berdasarkan Tabel 21, dapat disimpulkan bahwa untuk peubah profil keluarga, adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan memiliki nilai AVE > 0,5 dan 𝜌𝑐 ≥ 0,7 sehingga dapat disimpulkan bahwa indikator-indikator yang digunakan mempunyai reliabilitas yang cukup baik atau mampu untuk mengukur konstruknya. Nilai t hitung semua peubah lebih dari 0,5 sehingga dapat dikatakan hipotesis bahwa profil keluarga petani berhubungan langsung dan nyata dengan adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani, diterima. Tabel 21 Kecocokan model struktural hubungan profil keluarga terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan Composite Variabel AVE R Square Cronbachs Alpha Reliability X4 0,7634 0,9045 0,8365 Y2 0,8698 0,9303 0,0775 0,8573 Y3 1,0000 1,0000 0,1137 1,0000
Gambar 10 Standardized loading factor model hubungan profil keluarga terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan 63
Gambar 11 Nilai t-hitung model hubungan profil keluarga terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan
64
65 Pengaruh Difusi Inovasi PTR terhadap Adaptasi pada Perubahan Iklim dan Penguatan Ketahanan Pangan Para petani sudah mengetahui telah terjadi perubahan iklim karena sudah mengalami berbagai kejadian yang berubah dari kebiasaan, misalnya biasanya para petani memperlambat tanam pada musim hujan untuk menghindari banjir. Namun akhir-akhir ini strategi itu sudah tidak dapat lagi dipakai. Banjir datang tidak terduga, demikian juga dengan kejadian kekeringan (Tabel 22), bahkan dengan frekuensi yang lebih sering (jika ada La Nina), demikian juga dengan kekeringan (El Nino). Tabel 22 Adaptasi petani pada perubahan iklim, 2015 Deskripsi Jumlah (orang) Perubahan musim hujan dan musim kemarau telah terjadi 1. Tidak 16 2. Ragu-ragu 0 3. Ya 32 Kejadian banjir tidak dapat diduga 1. Tidak dapat diduga 33 2. Ragu-ragu 0 3. Dapat diduga 25 Kejadian kekeringan tidak dapat diduga 1. Tidak dapat diduga 22 2. Ragu-ragu 0 3. Dapat diduga 36 N = 58
Persentase (%) 27,59 0,00 72,83 56,90 0,00 43,10 37,93 0,00 43,10
Badan Kesehatan PBB atau WHO mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional. Kemudian FAO menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang (https://id.wikipedia.org/wiki/Ketahanan_pangan). Dalam hal ketahanan pangan keluarga petani, sebanyak 10 persen keluarga petani yang tidak pernah kekurangan pangan. Sekitar 36 persen bahkan sering mengalami kekurangan pangan (Tabel 23). “Polarisasi” kepemilikan lahan yang berujung pada ketimpangan pendapatan, membuat sebagian masyarakat tidak memiliki akses untuk mengusahakan bidang pertanian. Sebagian besar petani hanya menjadi penggarap atau bahkan buruh tani. Sekitar 20 persen keluarga petani tidak memiliki persediaan pangan untuk tiga bulan ke depan. Ternak, perhiasan dan tabungan uang di Bank yang dapat dijual atau diambil sewaktuwaktu membutuhkan hanya dimiliki oleh sekitar 40 persen petani. Menarik melihat angka petani yang memiliki tabungan uang di bank, angkanya sama dengan angka status sosial dengan kategori tinggi. Kemungkinan para petani ini
66 lah yang memiliki tabungan tersebut. Sepeda motor yang sudah merupakan alat transportasi utama di pedesaan dan berbagai barang elektronik dimiliki oleh sekitar 70 persen petani, dapat dijual jika sangat diperlukan. Inovasi PTR belum dapat memberikan hasil berlimpah yang dapat menjadikan padi/beras sebagai bahan baku industri. Tabel 23 Deskripsi ketahanan pangan, 2015 Deskripsi Tidak pernah kekurangan pangan 1. Tidak pernah 2. Pernah 3. Sering Memiliki simpanan bahan pangan (beras) untuk tiga bulan ke depan 1. Tidak 2. Cukup 3. Banyak Memiliki ternak yang dapat dijual sewaktuwaktu 1. Tidak 2. Cukup 3. Ya Memiliki perhiasan yang dapat dijual sewaktuwaktu 1. Tidak 2. Cukup 3. Banyak Memiliki tabungan uang di bank 1. Tidak 2. Cukup 3. Banyak Memiliki kendaraan bermotor yang dapat dijual sewaktu-waktu 1. Tidak 2. Cukup 3. Banyak Memiliki barang elektronik, seperti TV, kulkas, yang dapat dijual sewaktu-waktu 1. Tidak 2. Cukup 3. Banyak Produksi PTR berlimpah sehingga dapat dijual sebagai bahan baku industri 1. Tidak 2. Cukup 3. Banyak N = 58
Jumlah (orang)
Persentase (%)
10 27 21
17,24 46,55 36,21
12 28 18
20,69 48,28 31,03
27 23 8
46,55 39,66 13,79
27 27 4
46,55 46,55 6,90
25 29 4
43,10 50,00 6,90
16 29 13
27,59 50,00 22,41
14 30 14
24,14 51,72 24,14
28 21 9
48,28 36,21 15,51
67 Dalam tahapan persuasi individu membentuk sikap atau memiliki sifat yang menyetujui atau tidak menyetujui inovasi tersebut. Pada tahap persuasi ini, individu akan mencari tahu lebih dalam informasi tentang inovasi baru tersebut dan keuntungan menggunakan informasi tersebut. Yang membuat tahapan ini berbeda dengan tahapan pengetahuan adalah pada tahap pengetahuan yang berlangsung adalah proses memengaruhi kognitif, sedangkan pada tahap persuasi, aktifitas mental yang terjadi alah memengaruhi afektif. Pada tahapan ini seorang calon pengadopsi akan lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi. Kepribadian dan norma-norma sosial yang dimiliki calon pengadopsi ini akan menentukan bagaimana ia mencari informasi, bentuk pesan yang bagaimana yang akan diterima dan yang tidak, dan bagaimana cara calon pengadopsi menafsirkan makna pesan yang diterima berkenaan dengan informasi tersebut, sehingga pada tahapan ini seorang calon adopter akan membentuk persepsi umumnya tentang inovasi tersebut. Beberapa ciri-ciri inovasi yang biasanya dicari pada tahapan ini adalah karekateristik inovasi yakni relative advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability (Rogers 2003). Pada penelitian, persuasi berpengaruh besar terhadap toleransi perubahan iklim dan produktivitas PTR. Persuasi berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Jika tahapan persuasi dilakukan dengan baik, dapat dipastikan difusi inovasi akan meningkat. Pada tahapan pengambilan keputusan, individu terlibat dalam aktivitas yang membawa pada suatu pilihan untuk mengadopsi inovasi tersebut atau tidak sama sekali. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara tindak yang paling baik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi, yakni: (1) cara-cara yang digunakan sebelumnya; (2) perasaan akan kebutuhan; (3) keinovatifan dan (4) norma dalam sistem sosial. Pada Proses keputusan inovasi memiliki beberapa tipe yakni: (a) otoritas adalah keputusan yang dipaksakan kepada seseorang oleh individu yang berada dalam posisi atasan; (b) individual adalah keputusan dimana individu yang bersangkutan mengambil peranan dalam pembuatannya. Tampaknya pengambilan keputusan yang ada pada penelitian ini adalah otoritas. Pengambilan keputusan berpengaruh negatif terhadap adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan. Semakin tinggi tingkat pengambilan keputusan inovasi PTR maka produktivitas PTR akan semakin rendah. Menurut Agarwal et al. (1998), kategori adopter berdasarkan keinovatifan seseorang yang dibuat oleh Rogers (2003) yaitu: inovator (2,5% dari populasi), pengguna awal (13,5%) dan mayoritas awal (34%), mayoritas akhir (34%) dan kolot (16%); dapat dijadikan kelas adopter cepat dan kelas adopter lambat. Inovator, pengguna awal dan mayoritas awal dapat disatukan menjadi adopter cepat sedangkan mayoritas akhir (34%) dan kolot (16%) dapat disatukan menjadi adopter lambat. Seharusnya yang menjadi fokus perhatian dalam percepatan adopsi PTR adalah adopter cepat, dalam hal ini adalah pengguna awal dan mayoritas awal, inovator tentunya sudah dengan sendirinya tanpa komando dari luar pun akan langsung mencoba. Sebelum mengadopsi, berbagai tahap harus dilalui yaitu antara lain: kesadaran, minat, evaluasi, mencoba-coba dan menerapkan karena yakin. Dalam penelitian tidak semua tahapan tersebut dilalui, mengingat sebagian besar petani terlibat dalam program yang mengharuskan mereka langsung menerapkan usahatani PTR. Di sini lebih banyak otoritas atau kekuasaan yang bekerja.
68 Tabel 24 menyajikan koefisien uji jalur pengaruh difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan, di mana pengaruh pengetahuan terhadap adaptasi petani terhadap perubahan iklim nyata namun negatif. Artinya walaupun tingkat pengetahuan petani ditingkatkan, tidak akan memperbaiki daya adaptasi petani terhadap perubahan iklim, malahan sebaliknya. Di lapangan terbukti bahwa petani dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dari rata-rata tingkat pendidikan petani, tidak langsung menanam benih pembagian, tetapi melihat dulu apa yang terjadi pada petani lainnya yang sudah menanam lebih dulu. Jika petani lain yang diamatinya tersebut berhasil, maka barulah petani yang tingkat pendidikannya lebih ini menanam PTR. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, pertimbangan-pertimbangan untuk menghindari kerugian menjadi lebih diutamakan. Indikator persuasi memberikan pengaruh sangat nyata pada adaptasi petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangannya. Indikator persuasi memberikan pengaruh langsung dan positif terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani padi di Jawa Barat. Jika tahapan persuasi dilakukan dengan benar maka tingkat difusi inovasi PTR dan ketahanan petani padi akan bertambah tinggi. Demikian pula dengan indikator keputusan yang berpengaruh sangat nyata dan positif terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani padi. Pembuktian hipotesis difusi inovasi PTR berpengaruh langsung dan positif terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan ketahanan pangan keluarga petani, diterima. Jika melihat koefisien determinasinya, indikator-indikator pada peubah adapatasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan hanya dapat menggambarkan masing-masing 18 dan dua persen peubah-peubah tersebut atay dikatakan koefisien determinasinya rendah. Tabel 24 Pengaruh difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan, 2015 Nilai koefisien uji jalur terhadap Faktor yang mempengaruhi Adaptasi terhadap perubahan Ketahanan pangan iklim Pengetahuan -0,429* 0,166 Persuasi 0,673** 0,542** Keputusan 0,969** 0,873** Ket: **berpengaruh nyata pada α= 0,01 *berpengaruh nyata pada α= 0,05
Gambar 12 Standardized loading factor dari model keseluruhan (full model)
69
70 Tabel 25 Loading faktor indikator Variabel X1
X2
X3
X4
X5
Y1
Indikator X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X4.1 X4.2 X4.3 X4.4 X4.5 X4.6 X5.1 X5.2 X5.3 X5.4 Y1.1 Y1.2 Y1.3
Outer Loadings 0,931 0,769 0,744 0,930 0,915 0,808 0,784 0,167 0,777 0,315 0,003 0,105 0,747 0,818 0,813 0,846 0,652 -0,346 -0,497 -0,542 0,582 -0,652 -0,089 0,823 0,699 0,860 0,766 0,236 0,870 0,756
Keterangan Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Dropped Valid Dropped Dropped Dropped Valid Valid Valid Valid Valid Dropped Dropped Dropped Valid Dropped Dropped Valid Valid Valid Valid Dropped Valid Valid
Berdasarkan gambar dan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa indikator memiliki nilai loading lebih kecil dari 0,5. Artinya indikator tersebut harus dibuang. Tabel 26 Kecocokan model struktural pengaruh difusi inovasi PTR terhadap adaptasi perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan, 2015 Variabel Y1 Y2 Y3
AVE 0,6335 0,6285 1,0000
Composite Reliability 0,7644 0,8347 1,0000
R Square
Cronbach’s Alpha
0,1839 0,0240
0,5207 0,7040 1,0000
Gambar 13 Nilai t-hitung dari model keseluruhan (full model)
71
Gambar 14 Standardized loading factor setelah sebagian indikator dibuang
Output setelah beberapa indikator dibuang disajikan pada Gambar 14. Berikut adalah gambar loading factor dari indikator yang sudah dibuang.
72
Gambar 15 Nilai t-hitung model 1
73
Gambar 16 Standardized loading factor model pengaruh difusi inovasi PTR pada adaptasi keluarga petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan
74
Gambar 17 Nilai t-hitung pada uji pengaruh difusi inovasi PTR pada adaptasi keluarga petani terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan 75
76 Tabel 27 Uji validitas indikator pada model SEM 1 Variabel
Indikator Outer Loadings T hitung X1.1 0,931 171,25 X1.2 0,770 37,99 X1 X1.3 0,742 31,53 X1.4 0,931 133,83 X1.5 0,915 125,10 X2.1 0,804 52,88 X2 X2.2 0,780 44,94 X2.4 0,783 32,05 X3.4 0,761 22,58 X3.5 0,808 30,53 X3 X3.6 0,821 45,62 X3.7 0,849 45,52 X3.8 0,655 16,23 X4.3 0,446 10,83 X4 X4.4 -0,643 10,23 X4.5 0,647 11,04 X5.1 0,828 43,55 X5.2 0,696 20,07 X5 X5.3 0,851 64,03 X5.4 0,774 31,66 Y1.2 0,863 71,03 Y1 Y1.3 0,777 27,11 Keterangan : jika t-statistik > t tabel (1,96) maka valid dan significant
Keterangan Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant Valid dan significant
Berdasarkan Tabel 28 dapat disimpulkan bahwa nilai loading dari hubungan variabel indikator dengan konstruk masing-masing memiliki nilai loading 𝜆 lebih dari atau sama dengan 0,5, dan memiliki nilai T-statistik lebih dari 1,96 pada taraf signifikansi 𝛼 = 0,05. Dengan demikian peubah indikator Komunikator, Inovasi PTR, Media komunikasi, Profil keluarga petani, faktor eksternal dan difusi inovasi dapat dikatakan valid untuk mengukur masing-masing konstruk. Koefisien determinasi pada peubah difusi inovasi termasuk tinggi dan pada peubah adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan pangan relatif rendah. Tabel 28 Kecocokan model struktural pengaruh difusi inovasi terhadap adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan, 2015 Variabel X1 X2 X3 X4 X5 Y1 Y2 Y3
AVE
Composite Reliability
0,7427 0,6224 0,6119 0,7455 0,6235 0,6760 0,6344 1,0000
0,9346 0,8317 0,8867 0,8541 0,8682 0,8067 0,8373 1,0000
R Square
Cronbachs Alpha
0,5984 0,1472 0,1656
0,9106 0,6999 0,8408 0,6595 0,8036 0,5207 0,7040 1,0000
77 Strategi Komunikasi dalam Meningkatkan Difusi Inovasi PTR untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Penguatan Ketahanan Pangan Rumusan strategi dalam meningkatkan difusi inovasi PTR untuk adaptasi terhadap perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan keluarga tani, sangat diperlukan. Strategi yang tepat dalam meningkatkan difusi inovasi PTR dimulai dengan membentuk pesan atau inovasi PTR yang sempurna dan diinginkan oleh petani. Dalam hal ini adalah PTR yang (1) produktivitasnya tinggi, tahan gangguan organisme pengganggu tanaman atau OPT (hama dan penyakit); dan (2) disukai masyarakat atau laku di pasaran. Peningkatan ini dilakukan secara simultan dengan melakukan peningkatan kompetensi komunikator/penyuluh komunikator pada semua tingkatan wilayah. Peningkatan kompetensi diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan komunikan terhadap komunikator PTR. Dalam kegiatan ini tentunya anggaran yang memadai sangat diperlukan dan ini merupakan bagian dari tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakannya. Selanjutnya dengan perbaikan daya serap pasar PTR dan menyelenggarakan demplot. Kombinasi peningkatan kompetensi komunikator dengan penyelenggaraan demplot PTR akan mendorong tingginya tingkat adopsi dan difusi inovasi. Hal yang harus diperbaiki kemudian adalah sistem produksi dan distribusi benih PTR, agar dapat diakses petani secara tepat dengan prinsip 6 T yaitu (tepat varietas, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat lokasi, dan tepat harga). Mekanisme formal penyaluran benih mengikuti pedoman yang dirancang pemerintah yakni pemberian wewenang kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam hal ini Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) untuk memproduksi benih padi unggul termasuk PTR breeder seeds (BS) dengan label warna kuning. Benih BS diperbanyak menjadi fundamental seeds (FS) dengan label putih di Balai Benih Induk atau UPBS /BPTP di tingkat provinsi dan BBU di tingkat kabupaten. Selanjutnya FS diperbanyak menjadi Stock Seeds (SS) dengan label ungu yang diperbanyak oleh penangkar skala besar. Benih SS kemudian diperbanyak oleh penangkar skala kecil atau petani penangkar menjadi Extension Seeds dengan label biru. Label biru inilah yang seharusnya menjadi benih yang langsung ditanam oleh petani. Provinsi Jawa Barat memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi padi nasional. Dengan tingkat produktivitas rata-rata 7-8 ton per ha (terutama varietas Ciherang dan Mekongga), di atas produktivitas rata-rata nasional. Berdasarkan data BPSB provinsi Jawa Barat, tiga tahun terakhir produksi benih sumber PTR mengalami pertambahan yang cukup fantastis dari setara dengan 12 120 ha tahun 2013 naik menjadi 204 700 ha tahun 2015. Peningkatan ini terjadi pada sertifikasi benih PTR jenis Inpari 30 yang tidak saja melibatkan UPBS milik pemerintah seperti BB Padi maupun BPTP Jabar, melainkan penangkar swasta seperti CV FBM dan CV STN, koperasi, dan kelompok tani. Hal ini mengindikasikan bahwa varietas Inpari 30 memiliki daya tarik pasar yang cukup tinggi untuk dimanfaatkan sebagai benih andalan dalam program peningkatan produksi padi secara nasional. Namun jika tidak dilakukan affirmative action untuk produksi dan distribusi benih PTR atau dengan kata lain diserahkan kepada mekanisme pasar, maka adopsi massal dan difusi inovasinya akan terjadi dalam selang waktu
78 yang lama. Kegiatan affirmative action ini antara lain pertama kali dilakukan “sounding” kepada pihak Direktorat Jenderal Tanaman Pangan untuk menginformasikan keunggulan PTR dimaksud (misalnya Inpari 30). Kegiatan selanjutnya adalah menyampaikan konsep program produksi dan distribusi benih PTR yang melibatkan berbagai pihak seperti penangkar/produsen dan pedagang benih skala besar swasta dan penangkar skala kecil yang langsung berhubungan dengan petani. Upaya sosialisasi penanaman padi varietas tahan rendaman di wilayah rawan banjir khususnya di Pantura Jawa Barat (Karawang, Subang, dan Indramayu) dilaksanakan dengan teknik dan metoda yang minimalis, sehingga hasilnya belum memuaskan. Sosialisasi dilakukan dengan membuat display varietas Inpari 30 berupa dem area seluas 10 hektar di UPBS Cihea Cianjur. Pada MT 2014/2015, BPTP melakukan sosialisasi diseminasi varietas yang sama di Kabupaten Subang, Sumedang, Majalengka, Ciamis, dan Indramayu dengan memberikan benih kepada kelompok tani yang ditunjuk sebagai pelaksana display. BPTP tidak melakukan pengawalan teknik usahatani dengan asumsi seluruh proses usahatani mengikuti teknik usahatani non-PTR yang telah diterapkan petani selama ini. Hasil display di BBU Cihea menunjukkan bahwa Inpari 30 belum mampu mengalahkan produktifitas Ciherang dan Mekongga yang sebelumnya ditanam petani secara dominan. Sebaliknya hasil display di Cigugur, Kabupaten Subang dan Kiajaran Wetan, Kabupaten Indramayu menunjukkan hasil usahatani menggunakan benih Inpari 30 mampu meningkatkan produksi petani dan menekan biaya produksi khususnya penyulaman akibat banjir. Dengan sosialisasi yang kurang dari standard umum, apalagi tidak ada pendampingan khusus pada kegiatan display, dapat diduga bahwa introduksi inovasi, dalama hal ini PTR tidak seperti yang diharapkan. Padahal pada umumnya bagi petani, melihat dan menyaksikan bahwa suatu varietas itu tinggi produktivitasnya akan menjadi bahan pertimbangan penting dalam proses adopsi varietas tersebut atau biasa disebut “seeing is believing”. Dengan demikian, display seharusnya berhasil dan dapat menarik minat petani untuk mengadopsi teknologi yang diintroduksikan. Khusus dalam mengadopsi varietas padi baru termasuk PTR, yang menjadi dasar pertimbangan petani dalam memilih dan menetapkan varietas yang ditanam adalah: (1) rasanya sesuai selera, (2) hasilnya tinggi dan (3) laku dijual. Selain itu, perlu diperhatikan juga kondisi petani yang perlu menjadi pertimbangan dalam menyosialisasikan suatu varietas baru, yaitu: (1) Petani hanya akan percaya jika sudah melihat bukti keunggulannya; (2) Pedagang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan pilihan petani; (3) Seringkali petani takut hasil produksinya tidak laku dijual. Berdasarkan hasil usahatani yang dilakukan petani untuk PTR dibanding Ciherang atau Mekongga memiliki kelemahan sebagai berikut: (1) produktivitas relatif lebih rendah; (2) rasa nasinya kurang enak; dan (3) kurang laku kalau dijual. Pengalaman kegagalan pada varietas jenis Inpari sebelumnya menyebabkan terjadi hal traumatis tersendiri bagi petani untuk mencoba varietas dengan nama Inpari sekalipun Inpari baru yang telah dihasilkan pada periode berikutnya tentu dapat mengatasi berbagai kelemahan Inpari sebelumnya. Diharapkan hal ini dapat menjadi bahan pemikiran para pemulia tanaman padi karena nama merk dagang varietas sangat mempengaruhi persepsi dan keputusan adopsi petani.
79 Namun praktik di lapangan penyebaran benih padi mengalami pergeseran secara tajam, dan cenderung tidak mengikuti peraturan yang dirancang. Para penangkar benih skala besar yang biasanya merangkap sebagai pedagang skala besar bisa langsung berhubungan dengan BB Padi untuk mendapatkan benih sumber (Sunarya et al. 2013). Produsen/penangkar benih mengakses langsung benih FS ke BBI atau Puslit komoditas. Produsen benih tidak terbatas memproduksi ES melainkan kelas benih diatasnya (FS dan SS). Lembaga yang terlibat tidak lagi memproduksi kelas benih sesuai mandatnya. Upaya memperpendek jalur distribusi benih ini berfungsi meningkatkan efisiensi penyebaran benih (Sayaka et al. 2006). Hal ini sesuai dengan pendapat SWY, Kepala UPBS Sukamandi. “Kondisi di lapangan, sebagian besar petani sudah tidak percaya menggunakan benih berlabel biru. Hal ini disebabkan banyak benih yang diberikan petani lewat program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) yang pengadaan benihnya sebagian kurang terkontrol akibat jumlah yang dibutuhkan dalam jumlah besar. Penyebab lainnya, seringkali produsen benih besar seperti Sang Hyang Seri (SHS) dan Pertani memproduksi benih berlabel biru dalam jumlah besar, tatkala tidak habis, benih ungu pun dijual langsung kepada petani akibatnya benih label biru kurang laku. Kepercayaan dan keputusan petani menggunakan level label benih sangat beragam. Misalnya petani Jawa Timur sebagian besar hanya/lebih percaya menggunakan benih berlabel ungu, sedangkan petani Sumatera Utara masih konsisiten dan percaya menggunakan benih berlabel biru. Secara substansi, jika sistem usahatani dilakukan dengan baik, sebenarnya antar level label tidak terdapat perbedaan tingkat kualitas maupun kuantitas yang signifikan” (SWY, 57 th). Di tingkat lapangan, saat ini petani banyak yang menanam padi dari benih berlabel ungu, bahkan benih berlabel putih. Alasannya adalah petani lebih yakin bahwa benih label putih daya tumbuhnya (viability) lebih tinggi. Pilihan ini dilakukan sekalipun harga lebih tinggi. Bahkan para petani yang tinggal di sekitar BB Padi Sukamandi banyak yang membeli benih berlabel ungu dan putih langsung ke Kopkarlitan/Koperasi Karyawan BBP Padi Sukamandi. Penyebabnya karena selama ini petani sering mengalami kekecewaan penggunaan benih berlabel biru yang banyak diberikan pemerintah sebagai benih bantuan dalam berbagai programnya. Dengan demikian petani tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap benih berlabel biru. Khusus untuk lahan genangan (irigasi rawan banjir dan rawa) seperti di lokasi penelitian, agar bisa dikembangkan mendukung peningkatan produksi padi nasional maka Badan Litbang Pertanian telah memproduksi benih padi yang relatif toleran rendaman (lebih 14 hari) dengan berbagai umur, rasa, dan kelebihan lain. Varietas toleran rendaman dengan perlakuan pemupukan dan perendaman menyebabkan peningkatan pada jumlah dan bobot gabah, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap rendaman, dan menaikkan hasil gabah. Kahairullah (2006) menyebutkan karakter pertumbuhan dan potensi hasil varietas toleran rendaman menunjukkan jumlah anakan yang banyak, tidak terlalu tinggi,
80 penampilan pertumbuhan yang kokoh dan produksinya mencapai 4,5-5,2 ton per ha. Khusus untuk varietas toleran rendaman di sawah irigasi rawan banjir, produksi bisa mencapai 7,2 ton per ha, suatu tingkat produktivitas yang mampu menggantikan varietas unggul yang biasanya ditanam di lahan irigasi. Guna mendukung peningkatan produksi padi nasional dan pencapaian swasembada pangan, pemerintah melakukan berbagai kebijakan, baik melalui kelembagaan perbenihan yang terstruktur, maupun program sosialisasi dan diklat untuk melatih keterampilan berusahatani dengan memanfaatkan aneka teknologi yang sudah diproduksi langsung kepada petani. Melalui optimalisasi sistem perbenihan yang meliputi subsistem penelitian, pemuliaan, dan pelepasan varietas; subsistem produksi dan distribusi benih; subsistem sertifikasi dan pengawasan mutu benih; dan subsistem penunjangnya (kelembagaan), diharapkan dapat memperbaiki ketersediaan benih PTR di di tingkat petani. Kebijakan pemerintah menyangkut PTR harus dirumuskan sejalan dengan melakukan perbaikan persuasi. Selain itu, jika diinginkan peningkatan difusi inovasi PTR, maka penguasaan lahan petani di lokasi penelitian harus diperbaiki agar ketimpangan pendapatan juga membaik. Dengan demikian, tahapan pengambilan keputusan pada difusi inovasi dapat dilakukan dengan benar. Ketersediaan benih PTR di lapangan menuntut perhitungan yang cermat terutama hitung mundur kapan benih label kuning/breederseeds/benih penjenis, label putih/foundation seeds/benih dasar, label ungu/stock seeds/benih pokok dan label biru/extension seeds/benih sebardiproduksi. Produksi dari satu label ke label berikutnya paling tidak memerlukan satu musim tanam (4 bulan), sehingga waktu yang diperlukan untuk sampai memproduksi benih sebar adalah 16 bulan. Hal ini Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian mempunyai tugas utama untuk mengatur kelembagaan sistem perbenihan tanaman pangan di Indonesia, termasuk system perbenihan tanaman padi. Secara ringkas alur produksi dan distribusi benih tanaman pangan padi dapat dilihat pada Gambar 18. Produksi benih penjenis (BS) padi yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah, Swasta dan Pemulia perorangan harus mendapat pengukuhan (pelepasan varietas) dari Kementerian Pertanian. Lembaga Pemerintah yang telah banyak memproduksi benih penjenis (BS) padi dalam jumlah banyak selama ini adalah Balai Besar Penelitian Padi (BBP Padi), Badan Litbang Pertanian. Selain BB Padi, lembaga pemerintah lain yang juga memproduksi benih penjenis padi adalah Batan dan beberapa Perguruan Tinggi Negeri. Pemulia swasta dan pemulia perorangan juga menghasilkan benih penjenis padi dalam jumlah yang terbatas dan tidak beredar secara nasional. Sebagian besar benih penjenis padi yang dihasilkannya merupakan varietas padi lokal yang beredar di lokasi setempat. Produksi benih dasar (BD) dan benih pokok (BP) dilakukan oleh Balai Benih Provinsi dan Balai Benih Kabupaten serta produsen benih padi di masingmasing lokasi (provinsi atau kabupaten). Selain PT Sang Hyang Sri, semua lembaga (Pemerintah maupun Swasta) yang memproduksi benih padi bersertifikat harus memperoleh supervisi, pengawasan dan sertifikasi dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) Padi Provinsi. PT Sang Hyang Sri melakukan pengawasan secara mandiri dengan metoda ISO 9001 tahun 2008 yang telah diterapkan.
3
2
1
Pasar Bebas Non-Subsidi Pasar Bebas Subsidi (harga benih melalui BUMN) Cadangan Benih Nasional (CBU)
Oleh Produsen/Penangkar Benih (BUMN, Swasta, Petani Penangkar)
Oleh Balai Benih Provinsi dan Balai Benih Kabupaten serta Produsen Benih
Oleh Pemerintah, Swasta dan Pemulia Perorangan
Gambar 18 Alur produksi dan distribusi benih tanaman pangan padi
Sumber : Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian
Distribusi/Peredaran Benih Sebar (BR) kepada Petani
Produksi Benih Sebar (BR)
Produksi Benih Dasar (BD) dan Produksi Benih Pokok (BP)
Produksi Benih Penjenis (BS)
81
82 Produksi benih sebar (BR) dilakukan oleh produsen/penangkar benih (BUMN, Swasta dan Petani penangkar). Sama dengan produksi benih dasar dan benih pokok, produksi benih sebar juga harus melalui supervisi, pengawasan dan sertifikasi dari BPSB Provinsi. Hanya BPSB Provinsi yang berhak mengeluarkan/menerbitkan label sertifikasi benih padi di Indonesia, hal ini sangat diperlukan untuk mempertahankan mutu/kualitas benih padi yang dihasilkan lembaga/perusahaan benih. Distribusi atau peredaran benih sebar (BR) kepada pengguna (petani) dapat dilakukan oleh Pasar bebas non subsidi maupun Pasar bebas bersubsidi (misalnya perusahaan BUMN), selain itu juga dapat menjadi Cadangan benih nasional (CBN) jika Pemerintah memerlukan. Melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Tanaman Pangan, No. I PD. 400.271, tanggal 29 November 2000, telah ditetapkan alur produksi benih padi Inbrida untuk kelas benih penjenis sampai dengan benih sebar (Gambar 19). Kelas Benih
Kebutuhan Benih
Luas Tanam
Musim Tanam
Institusi Pelaksana
BS
10kg
1 Ha
MK I
BB Padi
BD
1 500 Kg
60 Ha
MH I
BB Provinsi
150 000 Kg
600 Ha
MK II
BB Kabupaten
72 000 Ha
MH I
Penangkar
BP
BR
1 800 000 Kg
Surat Edaran Dirjend Tanaman Pangan, No. I PD. 400.271, 29 November 2000
Gambar 19 Alur produksi benih padi Inbrida untuk kelas benih penjenis sampai dengan benih sebar Benih BS dan BD dikembangkan oleh Balai Benih Provinsi pada MK I dan MH I, Selanjutnya pada MK II Balai Benih Kabupaten mengembangkannya menjadi benih BP. Selanjutnya pada MH II benih BP dikembangkan oleh Penangkar menjadi benih BR yang dapat langsung disalurkan kepada pedagang atau petani pengguna. Pada Gambar 15, dapat dilihat kebutuhan benih 10 kg BS dapat menghasilkan 1 500 kg benih BD. Dari 1 500 kg BD dapat dikembangkan menjadi 150 000 kg benih padi BP dan selanjutnya dikembangkan menjadi 1 800 000 kg benih BR. Oleh karenanya, dari benih BS membutuhkan empat musim tanam untuk dikembangkan menjadi benih BR, yang menurut Surat Edaran Ditjen Tanaman Pangan tersebut melibatkan tiga institusi, mulai dari Balai Benih Provinsi, Balai Benih Kabupaten dan Penangkar. Berdasarkan skala usaha dan cakupan wilayah sasaran dari produsen benih padi yang dikaji, terbagi menjadi dua, yaitu produsen benih padi besar dan produsen benih padi sedang/kecil. Produsen benih padi besar yang disurvai yaitu
83 Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat, Balai Pengembangan Benih Padi Provinsi Jawa Barat, Cihea dan PT Sang Hyang Sri Regional I, Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Produsen benih berskala usaha kecil yang diwawancarai adalah UPBS BPTP Jawa Barat, PD Padasuka Jaya, Subang, Koperasi Karyawan Penelitian Tanaman Pangan (Kopkarlitan) Sukamandi, Subang dan beberapa pedagang benih padi di Indramayu. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, Jawa Barat adalah salah satu institusi di bawah Badan Litbang Pertanian yang pada awal berdirinya tahun 1972 bernama Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) Cabang Sukamandi. Kemudian pada tahun 1994 lembaga penelitian ini mempunyai tupoksi khusus penelitian dan pengembangan tanaman padi dengan nama Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) yang berada dibawah koordinasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian. Mengingat tanggungjawabnya yang sangat besar dalam pengembangan tanaman padi di Indonesia, maka pada tahun 2006 lembaga ini ditingkatkan strukturnya menjadi Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi) yang langsung berada dibawah koordinasi Badan Litbang Pertanian. BB Padi mempunyai tugas pokok dan fungsi (tupoksi): (1) pelaksanaan penelitian genetika, pemuliaan, perbenihan dan pemanfaatan plasma nutfah tanaman padi, (2) pelaksanaan penelitian morfologi, fisiologi, ekologi, entomologi, dan fitopatologi tanaman padi, (3) pelaksanaan penelitian komponen teknologi sistem dan usaha agribisnis tanaman padi, (4) pemberian pelayanan teknik kegiatan penelitian tanaman padi, (5) penyiapan kerja sama, informasi, dan dokumentasi serta penyebarluasan dan pendayagunaan hasil penelitian tanaman padi. Mandat yang sangat besar dalam penelitian dan pengembangan tanaman padi, Lembaga ini di perkuat oleh peneliti 56 orang, peneliti non kelas 21 orang, teknisi 45 orang, staf penunjang (administrasi) 84 orang, dan pembantu lapangan 44 orang. Fasilitas yang dimiliki beberapa laboratorium penelitian padi, rumah kaca, dan empat kebun percobaan (KP) di Sukamandi, Pusakanegara, Kuningan, dan Muara (Bogor) yang luas keseluruhan 309 ha. Lembaga penelitian ini telah banyak menghasilkan berbagai macam varietas unggul padi nasional yang tersebar luas di sentra-sentra produksi padi dan dimanfaatkan secara meluas oleh petani padi sawah di Indonesia. Mengembangkan teknologi budidaya padi sawah termasuk penanggulangan berbagai macam cekaman biofisik (terutama perubahan iklim dan serangan opt) padi dan menyalurkan berbagai macam/varietas benih padi unggul yang telah dirilis dan direkomendasikan oleh Kementrian Pertanian. Dalam lima tahun terakhir BB Padi telah melepas 32 VUB dengan berbagai keunggulan. Sejak tahun 2008, penamaan VUB tidak lagi mempergunakan nama sungai, tetapi mengikuti penamaan Hibrida padi (Hipa). Penamaan VUB untuk ekosistem sawah irigasi memakai nama Inbrida Padi Irigasi (Inpari), ekosistem rawa memakai nama Inbrida Padi Rawa (Inpara), dan lahan kering memakai nama Inbrida Padi Gogo (Inpago). Balai Besar Tanaman Padi terus melakukan penelitian untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi petani dalam berproduksi padi, termasuk mengantisipasi dampak perubahan iklim dan serangan hama dan penyakit. Diantara beberapa teknologi yang telah dihasilkan melalui penelitian BB padi, varietas unggul toleran kekeringan, rendaman, dan salinitas
84 merupakan komponen teknologi yang terus dikembangkan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Dalam pengembangan/produksi dan pemasaran varietas benih padi unggul, BB Padi mempunyai dua saluran usaha, yaitu melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) BB Padi dan Koperasi Karyawan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi atau Koperasi Karyawan BB Padi. Sesuai dengan mandat BB Padi, UPBS BB Padi bertanggung jawab terhadap produksi benih sumber (label kuning) dan juga benih dasar (label putih) untuk keperluan display dan produksi benih turunannya di UPBS BPTP, BBI dan BBU. Permintaan benih label putih dan ungu dapat disediakan oleh UPBS BB Padi, bila ada permintaan satu musim sebelumnya. Untuk produksi benih komersial, diharapkan hasil dari benih turunan dari label putih dan ungu, yang dapat dikembangkan/produksi oleh BBI, BBU, dan Produsen Swasta besar. UPBS BPTP diharapkan selain dapat melakukan display, juga dapat memperbanyak benih pokok dan benih dasar yang diperlukan produsen dan pedagang besar memproduksi benih komersial (label ungu dan biru). BB Padi juga dapat melayani kebutuhan benih komersial melalui Kopkarlitan, asal pemesanannya satu musim sebelumnya. Transaksi penjualan benih padi yang dilakukan olaeh UPBS BB Padi dilakukan secara tunai. Semua benih padi merupakan produksi UPBS BB Padi sendiri, artinya tidak membeli dari penangkar benih padi lain. Pengalaman beberapa tahun terakhir ini semua benih padi yang diproduksi dapat terjual seluruhnya (hampir seratus persen) karena UPBS BB Padi memproduksi benih padi utamanya berdasarkan pesanan dari stakeholdesr terkait seperti BBI, BBU, UPBS BPTP dan pedagang atau penangkar besar, serta kelompok tani. Sedikit hambatan yang dirasakan UPBS BB Padi dalam memproduksi benih padi adalah perubahan musim (ketersediaan air irigasi), tidak lolos sertifikasi dan perubahan pesanan jenis/varietas benih padi. Benih sumber yang digunakan untuk memproduksi benih padi bersertifikat UPBS BB Padi dari hasil penelitian pemulia padi. Unit Pengelola Benih BB Padi bukan lembaga komersial, maka tidak ada upaya promosi dagang untuk penyebaran benih padi baru, tetapi lebih banyak dilakukan sosialisasi terhadap benih padi unggul baru yang mempunyai prospek tinggi untuk produktivitas dan ketahanan terhadap penyakit dan hama utama padi. Penangkar dan produsen benih adalah pebisnis yang tidak mengembangkan suatu varietas berdasarkan bagus tidaknya kualitas suatu varietas padi, tetapi juga memikirkan luas atau tidaknya peluang mengembangkan dan segmen pasarnya. Pengembangan berbagai varietas padi unggul yang spesifik lokasi seperti padi gogo, padi rawa dan PTR menjadi sulit berkembang, karena berorientasi pasar. Penangkar dan produsen kuatir produksi benihnya tidak dapat diserap pasar sehingga akhirnya menjadi gabah konsumsi, padahal biaya produksinya tinggi dan akhirnya mengalami kerugian. Faktor penghambat lain pengembangan benih PTR adalah keterbatasan lahan perusahaan besar yang ditunjuk pemerintah seperti PT Sang Hyang Sri maupun PT Pertani yang secara rutin disubsidi untuk memproduksi benih padi. Kedua perusahaan ini tidak memiliki lahan penangkaran rawa ataupun sawah yang kebanjiran, sehingga sulit untuk memproduksi sesuai kebutuhan program Pemerintah, walaupun biaya usahataninya disubsidi.
85 Berdasarkan mandat utama BB Padi adalah memproduksi benih sumber (label kuning), karena UPBS BPTP membutuhkan benih padi sebar (BS/label biru), dan tidak memiliki lahan sawah yang cukup untuk memproduksinya, sehingga dibantu oleh BB Padi menghasilkan/memproduksi benih padi label biru yang siap dipasarkan pada petani/kelompok tani, sesuai dengan rencana program pengembangan benih padi UPBS BPTP. Benih label putih sebagian besar didistribusikan ke BBI dan BBU, termasuk BPBP Cihea di Cianjur, Jawa Barat . BBP Padi akan berusaha memenuhi permintaan benih, khususnya label putih dan label ungu jika ada pemesanan jauh hari sebelumnya. Kondisi di lapangan, sebagian besar petani sudah tidak percaya menggunakan benih berlabel biru. Hal ini disebabkan banyak benih yang diberikan petani lewat program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) yang pengadaan benihnya dalam jumlah besar sehingga sebagian benih padi yang diproses kurang terkontrol akibatnya kualitas benih padi rendah, jauh dibawah standard.Petani penerima bantuan benih padi yang demikian buruk, menyebabkan kurang percaya pada benih padi label biru, sehingga petani yang menginginkan benih padi berkualitas, terpaksa mereka membeli benih padi label ungu, sehingga dibeberapa sentra prpduksi padi, benih padi label biru tidak diminati (tidak laku) petani. Penyebab lainnya, seringkali produsen benih besar seperti SHS dan PT Pertani membutuhkan benih padi berlabel biru dalam jumlah besar, tatkala belum tersedia (tidak mencukupi) yang dibutuhkan dan yang tersedia, sehingga benih padi label ungu pun di alokasikan langsung kepada petani peserta program Pemerintah. Karena benih padi label ungu dirasakan petani berkualitas baik dan produktivitasnya memuaskan, akibatnya petani lebih/cenderung berminat pada benih padi label ungu, sehingga benih padi label biru menjadi kurang diminati petani, atau kurang laku dipasaran. Dalam perhitungan BB Padi, jika proses penangkaran dan penanaman berlangsung normal (sesuai SE Direktur Jenderal Tanaman Pangan, no 1 PD. 400.271, tanggal 29 November 2000) maka benih berlabel kuning dua ton dan akan menghasilkan benih berlabel putih dan ungu yang cukup. Realitasnya saat ini BB padi mengeluarkan benih berlabel kuning sampai 13 ton dan tetap dirasa tidak dapat mencukupi kebutuhan. Hal ini terjadi karena banyak petani yang langsung menanam benih yang harusnya untuk ditangkarkan kembali, tetapi langsung digunakan untuk benih padi konsumsi (label putih dan ungu). Kepercayaan dan keputusan petani menggunakan level label benih sangat beragam. Petani Jawa Timur sebagian besar hanya/lebih percaya menggunakan benih berlabel ungu, sedangkan petani Sumatera Utara masih konsisiten dan percaya menggunakan benih berlabel biru. Secara substansi, jika sistem usahatani dilakukan dengan baik, sebenarnya antar-level label tidak terdapat perbedaan tingkat kualitas maupun kuantitas yang signifikan. Di lapangan, permintaan benih sangat ditentukan oleh pelaku pasar khususnya pedagang gabah. Varietas baru sering disebut oleh pedagang atau penggiling padi ber rendemen rendah sehingga mereka lebih bersedia membeli varietas padi yang lama (Ciherang, Mekongga, IR64). Selisih harga gabah yang sedikit/kecil dari pedagang gabah sangat mempengaruhi keputusan petani dalam memilih varietas padi yang akan ditanam selanjutnya.
86 Hal yang utama dalam semua kegiatan di atas harus memperhatikan komunikasi. Fungsi komunikasi sebagai pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya berfokus pada mengkomunikasikan pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma sosial, termasuk budaya bertani dari satu generasi ke generasi berikutnya. Agar dapat mengubah persepsi, sikap dan keterampilan komunikan/petani maka komunikasi yang dilakukan harus efektif. Komunikasi efektif adalah komunikasi yang pada prosesnya dapat menghasilkan persepsi, perilaku dan pemahaman yang berubah menjadi sama antara S dengan R. Apa yang diyakini oleh S dan R itu sesuai, yaitu apa yg diterima oleh R sama dengan yang ingin disampaikan oleh S. Sifat M yang sesuai dengan harapan R dapat mengubah perilaku, sikap, dan pengetahuan R sesuai harapan S. Komunikasi efektif memungkinkan seseorang dapat saling bertukar informasi, ide, kepercayaan, perasaan dan sikap antara dua orang atau kelompok yang hasilnya sesuai dengan harapan.Tujuan komunikasi efektif adalah memberi kemudahan dalam memahami pesan yang disampaikan antara S dengan R, sehingga tercipta feed back yang baik antara pemberi dan penerima pesan. Ciri-ciri komunikasi efektif adalah: (1) Pesan/M dapat diterima dan dimengerti serta dipahami sebagaimana yang dimaksud oleh S; (2) M yang disampaikan oleh S dapat disetujui oleh penerima dan ditindaklanjuti dengan perbuatan yang diminati oleh S; dan (3) Tidak ada hambatan yang berarti untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk menindaklanjuti pesan yang dikirim. Hukum komunikasi seperti dinyatakan oleh Covey dalam Slamet (2015) untuk melakukan komunikasi efektif adalah sebagai berikut: (1) Respect (hormat): adalah perasaan positif atau penghormatan diri kepada lawan bicara; (2) Empathy (empati): Empathy adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang tengah dihadapi orang lain. Seseorang akan mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sehingga komunikasi akan terjalin dengan baik sesuai dengan kondisi psikologis lawan bicara. Empati bisa juga berarti kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan ataupun umpan balik apapun dengan sikap yang positif. Banyak sekali yang tidak mau mendengarkan saran, masukan apalagi kritik dari orang lain. Padahal esensi dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan; (3) Audible (dapat didengar): Audible mengandung makna pesan yang harus dapat didengarkan dan dimengerti; (4) Clarity (kejelasan): Clarity adalah kejelasan dari pesan yang disampaikan. Salah satu penyebab munculnya salah paham antara satu orang dengan yang lain adalah informasi yang tidak jelas yang mereka terima; dan (5) Humble (rendah hati), sikap rendah hati bukan berarti rendah diri, sikap rendah hati memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara terlebih dahulu, dan kita menjadi pendengar yang baik. Jika komunikasi dibangun berdasarkan pada lima hukum pokok komunikasi yang efektif ini, maka kita dapat menjadi seorang komunikator yang handal sehingga dapat membangun jaringan hubungan dengan orang lain yang penuh dengan penghargaan (respect), karena inilah yang dapat membangun hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan dan saling menguatkan. Berbagai model komunikasi ditemukan para ahli antara lain komunikasi linear, komunikasi relational dan komunikasi konvergen atau interaktif. Komunikasi linier didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dari
87 komunikator kepada komunikan melalui saluran (penyaring). Komponen utama dari model ini adalah pesan, sumber (advocacy roles), gatekeepers (channel roles), Penerima (behaviour user system), dan umpan balik (feedback). Menurut model ini, komunikasi dikatakan efektif apabila penerima yang dalam proses difusi dan adopsi inovasi lebih sering disebut sebagai sasaran mampu menerima pesan (informasi/misi) sesuai dengan yang dikehendaki oleh sumber. Model komunikasi ini pada kenyataannya banyak dicerca, karena kurang demokratis. Meskipun ada feedback, namun tetap timpang karena ada kesan pemaksaan (diatur) atau arus peluru (jarum hipodermik), lebih mengutamakan kepentingan sumber, dan tidak interaktif sehingga tidak tercapai pemahaman bersama antara sumber (subyek) dengan penerima (objek). Dikatakan demikian karena akses (bargaining position) penerima terhadap pesan dan saluran atau media yang digunakan oleh sumber tidak ada, feedback berjalan setelah komunikasi berakhir. Dalam kehidupan sehari-hari ini bisa terjadi antara pemerintah dengan masyarakat, antara guru dengan murid, antara penyuluh dengan petani, juga antara penyuluh/peneliti dengan petani. Apabila model komunikasi ini diimplementasikan dalam pembangunan maka tendensinya akan mengarah ke rekayasa sosial (social enginering) yang menempatkan yang kuat (sumber) sebagai subyek dan yang lemah (penerima) sebagai objek, akibatnya terjadi berbagai bias dalam operasionalnya seperti bias elit, biar gender, bias lokasi, bias stratifikasi dan sebagainya. Jadi, meskipun di beberapa negara atau institusi, atau konteks tertentu model komunikasi ini masih dianggap relevan, namun pada kenyataannya selalu berujung dengan masalah yang sangat besar yang berakar dari ketidakpuasan dan kesenjangan. Model ini tidak selalu dikatakan sangat naif atau diharamkan dalam proses pembangunan atau kehidupan sehari-hari karena ada momen-momen tertentu yang masih relevan menggunakan model ini, termasuk dalam pemberdayaan sosial (petani dan kelembagaannya). Menurut Suardi (2015) keefektivan komunikasi yang tinggi pada program Smantri dapat terjadi apabila pesan-pesan komunikasi kegiatannya diyakini petani dapat menjadi solusi masalah yang mereka hadapi. Petani memiliki harapan yang tinggi terhadap pesan komunikasi Program. Pesan komunikasi yang mudah dipahami oleh petani adalah pesan yang disampaikan dengan pedekatan dialogis, dimana pendekatan ini memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada petani untuk memberikan umpan balik (feedback) terhadap pesan yang disampaikan oleh pendamping. Pesan komunikasi harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian petani, dan memperhatikan aspek dimensi waktu, bahasa, sikap serta nilai, dan karakter kelompok penerima program. Metode komunikasi yang memungkinkan memberikan peluang lebih besar untuk memosisikan petani setara dengan pendamping sangat menunjang efektivitas komunikasi penyuluhan Program, karena petani mendapat ruang lebih luas, sehingga leluasa berinteraksi dalam proses komunikasi penyuluhan. Demikian juga karakteristik personal petani dan suasana kelompoknya mempengaruhi efektivitas penerapan metode komunikasi penyuluhan. Petani yang berpengalaman dalam proses komunikasi inovasi tentu akan memudahkan penerapan suatu metode komunikasi. Pendekatan komunikasi dialogis bersifat dua arah, interaktif, dan partisipatoris, merupakan model yang disarankan untuk dimanfaatkan dalam konteks komunikasi pembangunan. Disamping itu, melalui
88 pendekatan dialogis permasalahan petani akan lebih jelas diketahui, sehingga dapat memilihkan pesan-pesan komunikasi yang tepat untuk meretas masalah yang dihadapi petani. Komunikasi yang berorientasi pemakai menunjukkan pendekatan mobilisasi dialektis, terkadang didefinisikan sebagai “pendekatan aksi”. Komunikasi relational didefinisikan oleh Schramm (1973) sebagai seperangkat aktivitas interaksi yang berpusat pada informasi sebagai bagian dari hubungan sosial tersebut. Komponen utama dari model komunikasi ini adalah informasi, hubungan baik antara partisipan, dan penerima aktif. Menurut model ini komunikasi dikatakan efektif apabila tercapai pemahaman bersama antara partisipan dan penerima atas suatu pesan atau informasi. Komunikasi model ini belum dikatakan efektif meskipun berada pada posisi medium. Dikatakan demikian karena sudah mendekati asas demokrasi atau partisipatif. Hanya prosesnya masih berlangsung diantara relasi-relasi yang ada. Kondisi demikian bisa melemah seiring dengan semakin cepatnya arus perubahan sosial yang mengikis sosial kapital dan sumberdaya lokal lainnya. Komunikasi konvergen didefinisikan sebagai suatu proses konvergen (memusat) dengan informasi yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dalam rangka mencapai ke saling pengertian atau yang disebut dengan konsensus. Komponen utama dari model ini adalah informasi, konvergensi, saling pengertian, kesepakatan bersama, tindakan bersama, jaringan hubungan sosial (network relationship). Menurut model ini komunikasi dikatakan efektif apabila tercapai pemahaman bersama antara pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Disini tidak lagi dikenal istilah sumber dan penerima, tetapi lebih disebut sebagai partisipan (pihak-pihak yang berpartisipasi). Dalam mekanisme pembangunan, model komunikasi ini kemudian dijadikan sebagai landasan pemberdayaan sosial (social empowerment). Model komunikasi pembangunan yang dinilai layak (efektif) untuk dikembangkan adalah model komunikasi interaktif yang menghasilkan keseimbangan dalam perspektif teori pertukaran (exchange theory), melalui jalur kelembagaan yang telah mapan, didukung dengan bentuk-bentuk komunikasi yang efektif baik vertikal maupun horisontal dalam sistem sosial. Model komunikasi interaktif ini sejalan dan memperhatikan prinsip-prinsip yang berlaku dalam model komunikasi tipe relational (Schramm 1973) dan Tipe Convergency (Kincaid 1979; Rogers & Kincaid 1981). Model komunikasi yang dinilai efektif dan relevan untuk pembangunan pertanian adalah sintesis dari ketiga model di atas (Sumardjo1999). Komponen utama model komunikasi “linier” seperti, pesan, sumber atau komunikator, saluran, penerima dan efek tetap menjadi perhatian penting dalam analisis model konvergen dan model relasional. Model komunikasi konvergen atau interaktif seperti disinggung di atas bersifat dua arah, yakni partisipatif vertikal dan horisontal. Artinya keputusan di tingkat perencana program pembangunan sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan di tingkat bawah (yang sering disebut sasaran pembangunan), tanpa harus mengabaikan arah dan percepatan pembangunan, dengan titik berat pembangunan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan memperhatikan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara (Chambers 1993).
89 Menurut Sumardjo (1999), alasan pendekatan konvergen lebih tepat di era globalisasi, karena pendekatan ini lebih memungkinkan terjalinnya integrasi (interface) antara kepentingan semua pihak (stakeholders) dan spesifikasi lokasi. Pendekatan ini lebih menempatkan martabat manusia (petani) secara lebih layak, keberadaan petani dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang tinggi. Komunikator PTR yang tinggi kompetensinya memberikan pengaruh yang positif dan langsung terhadap difusi inovasi PTR. Kompetensi yang dimiliki meliputi pengetahuan tentang PTR yang baik dan kemampuan untuk menyelenggarakan demplot/display. Kepercayaan petani terhadap komunikator PTR seiring dengan tingkat kompetensi yang dimiliki. Oleh karena itu dengan memperbaiki komunikator, baik kompetensi maupun sifat-sifat lainnya akan dapat meningkatkan difusi inovasi PTR. Inovasi PTR memberikan pengaruh positif dan langsung terhadap difusi inovasi PTR. Atribut ketersediaan benih PTR memberikan pengaruh paling besar terhadap difusi inovasi PTR. Benih yang dibagikan pertama kali oleh peneliti menarik minat petani untuk menanam kembali. Namun, tidak ada ketersediaan benih di pasaran, sehingga minat petani untuk menanam kembali menjadi berkurang.Penggunaan PTR memberikan pengaruh yang besar terhadap difusi inovasi PTR. Usahatani PTR menurut petani tidak rumit dan mudah diaplikasikan. Kualitas hasil PTR memberikan pengaruh terhadap difusi inovasi PTR, karena petani menyukai produksi PTR yang relatif tinggi dan tampilan beras yang menarik. Media komunikasi yang memberikan pengaruh positif, langsung dan paling besar adalah demplot/display. Bagi petani, dengan melihat praktik langsung di lapangan, dan hasil PTR yang relatif tinggi serta pemeliharaan yang mudah membuat petani memiliki tekad untuk ikut mengadopsi PTR di lahan sendiri. Petani yang mengikuti studi banding tentang PTR cenderung lebih cepat mengadopsi PTR. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lambrecht et al. (2014) bahwa tingkat kesadaran yang tinggi sebagai hasil endidikan dan latihan serta adanya modal sosial (jaringan sosial) (57%) akan membuat petani mencoba innovasi, apalagi dengan tambahan intervensi penyuluhan. Namun keberlanjutan adopsi sering terkendala modal dan penyuluhan tidak selalu efektif dalam hal ini, terutama di daerah miskin. Penguasaan lahan memberikan pengaruh positif dan langsung terhadap difusi inovasi PTR. Sebagian besar petani merupakan petani penggarap, sehingga bagian dari hasil yang paling besar diberikan kepada pemilik lahan. Oleh karena itu penguasaan lahan tidak memberikan perbaikan dalam aspek ekonomi bagi petani penggarap. Status sosial dinyatakan oleh petani sendiri, bukan persepsi peneliti. Status sosial petani PTR memberikan pengaruh positif dan langsung terhadap difusi inovasi. Petani yang memiliki pergaulan luas dan sociable, lebih cepat mengadopsi PTR karena lebih banyak mendapatkan informasi PTR. Semua indikator pada peubah faktor eksternal yaitu kebijakan pemerintah, ketersediaan input produksi, daya serap pasar hasil produksi dan budaya berpengaruh langsung positif dan nyata. Pengaruh paling besar terhadap tingkat difusi PTR secara berurutan diberikan oleh indikator daya serap hasil produksi, kebijakan pemerintah, penguasaan lahan, status sosial, budaya dan ketersediaan
90 input. Akan tetapi dari Gambar 16 dapat dikatakan bahwa sebaik apa pun unsurunsur komunuikasi yaitu komunikator, pesan, saluran dan komunikan (SMCR) tidak akan dapat meningkatkan adopsi dan difusi inovasi tanpa dukungan kebijakan pemerintah dan daya serap pasar. Kenyataan ini ini didukung penelitian Feder dan Umali (1993), bahwa kebijakan pemerintah untuk mempromosikan adopsi teknologi tergantung kepada tipe teknologi, struktur pasar dan sifat serta lamanya kebijakan tersebut berlaku.
0.485
0.114
X2 Inovasi PTR
X3 Media komunikasi
0.818
X4.5 Status sosial
0.694 0.848 0.778
X5.2 Ketersediaan input produksi
X5.3 Daya serap pasar hasil produksi
X5.4 Budaya
Y1.3 Keputusan
Y1.2 Persuasi
Y1 Difusi Inovasi
0.553
Y2.2 Produktivitas PTR
Y2.1 Produktivitas PTR
Y2 Adaptasi terhadap Perubahan iklim
0.548
0.818
Tersedia pasokan PTR untuk industri berbasis beras
Y3 Ketahanan pangan
0.825
Gambar 20 Diagram jalur pengaruh faktor komunikasi dan faktor eksternal terhadap difusi inovasi PTR untuk adaptasi pada perubahan iklim dan penguatan ketahanan pangan
0.830
X5.1 Kebijakan pemerintah
X5 Faktor Eksternal
0.825
X4.3 Penguasaan lahan
X4Profil keluarga petani
0.281
X1 Komunikator
91
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2. 3. 4.
5.
Unsur-unsur komunikasi yang paling mempengaruhi difusi inovasi PTR adalah Komunikator, Pesan, Media Komunikasi, dan Profil Keluarga Penerima, dengan rincian sebagai berikut: a. PPL (di tingkat desa/kecamatan) memiliki kompetensi tentang PTR dan dipercaya oleh petani walaupun menyampaikannya dengan komunikasi satu arah. b. Kualitas hasil PTR menjadi pendorong adopsi inovasi di tingkat petani, walaupun ketersediaan benih dan penggunaannya menjadi faktor penghambat. c. Media komunikasi yang paling dominan diakses oleh petani adalah media elektronik seperti TV dan HP, namun media tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi tentang PTR kepada petani. d. Profil keluarga petani PTR umumnya ukuran keluarga berukuran kecil, berpenghasilan rendah, luas penguasaan lahannya sempit, memiliki dua macam media, berstatus sosial rendah dan keterlibatan dalam organisasi petani tinggi. e. Perempuan petani lebih aktif dalam menyampaikan informasi inovasi PTR dan melakukan pertukaran benih Difusi inovasi PTR petani dicirikan dengan tingkat pengetahuan rendah, sedangkan tingkat persuasi dan keputusan menanam PTR kategori sedang. Faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap difusi inovasi adalah daya serap produksi PTR di pasaran dan kebijakan pemerintah tentang PTR. Difusi inovasi PTR pada tingkat persuasi dan keputusan petani berpengaruh sangat nyata terhadap adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan, namun pada tingkat pengetahuan petani berpengaruh nyata negatif terhadap adaptasi perubahan iklim dan tidak nyata terhadap ketahanan pangan. Strategi komunikasi inovasi untuk meningkatkan difusi inovasi PTR dalam konteks adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan adalah dengan memperbaiki semua jenis komunikator di semua tingkat, baik dalam hal kompetensi maupun kepercayaan dari petani; membentuk pesan/inovasi sesuai kebutuhan nyata petani; menyelenggarakan media komunikasi yang cocok (Demplot) sehingga dapat produksi tinggi dan laku di pasaran dan tentunya dengan membenahi sistem perbenihan yang merupakan affirmative action dalam produksi dan distribusi benih PTR. Saran
1. 2.
Keterjaminan produksi dan distribusi benih PTR memerlukan komunikasi dan koordinasi antar-instansi terkait secara terjadwal. Inovasi PTR perlu didukung dan diintegrasikan melalui pengembangan sistem perbenihan nasional yang digerakkan oleh Kementerian Pertanian.
93 3. 4.
Dalam rangka penguatan ketahanan pangan nasional yang berbasis keluarga petani, diperlukan suatu rumusan kebijakan politik dan strategi kebijakan pembangunan pertanian yang berpihak pada petani dan kedaulatan pangan. Diperlukan penelitian lanjutan tentang hambatan komunikasi inovasi PTR di tingkat atas desa dan berbagai instansi terkait di tataran daerah (Provinsi) dan pusat/nasional.
DAFTAR PUSTAKA Adesina AA, Forson JB. 1995. Farmer’s perception and adoption of new agricultural technology: evidence from analysis in Burkina Faso and Guinea, West Africa. Agricultural Economics.13(1): 1-9. Adesina AA, Zinnah MM. 1991. Technology characteristics, farmers’ perception and adoption decision: A Tobit model application in Sierra Leon. Agricultural Economics. 9 : 297-311. Adnyana MO, Makarim K, Hairmansis A, Supartopo, Suhaeti RN, Djojopoespito S. 2009. Developing submergence tolerant rice varieties: Implementation plans to disseminate submergence tolerant rice varieties and associated new production practices to Southeast Asia. [research report]. Final Report Collaborative Research of among FAO-IRRI–JAPAN No. DPPC2007-22. Jakarta (ID): Deptan & FAO-IRRI–JAPAN. Agarwal R, Ahuja M, Carter EP, Gans M. 1998. Early and late adopters of IT Innovation: Extensions to innovation diffusion theory. Desicion Science. 28 (3): 557-582. Anwas EOM, Sumardjo, Asngari PS, Tjitropranoto P. 2010. Model Pengembangan Kompetensi Penyuluh Berbasis Pemanfaatan Media (Kasus Di Kabupaten Karawang dan Garut, Provinsi Jawa Barat). Jurnal Penyuluhan. 6(1): 1-10. Asfaw A, Admassie A. 2004. The role of education on the adoption of chemical fertiliser under different socioeconomic environments in Ethiopia. Agricultural Economics. 30(3): 215-228. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014. VUB padi inpara inpari toleran rendaman atau genangan. Jakarta (ID): Info Teknologi. http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/1654/ [diakses2015 Jan 5]. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2011. Inovasi varietas unggul baru dan teknologi adaptif perubahan iklim global. Laporan Tahunan 2010. Badan Litbang Pertanian. Kementan. Basrum, Saidah, Subagio H. 2012. Introduksi varietas unggul baru dalam pengelolaan tanaman terpadu (PTT) berbasis rawa di Kabupaten Toli-Toli. Sulawesi Tengah. Palu (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.http://www.aviraint.ask.com/web?q=penyebaran+varietas+Inpara&s earch=search&qsrc=0&o=APN10269&l=dis&locale=enID&gct=hp. [diakses 2013 Jan 15]. Berlo DK. 1960. The Process of Communication: An Introduction to Theory and Practice. New York (US): Holt. Rinehart and Winston.Inc.
94 Bhowmick MK, Dhara MC, Singh S, Dar MH, Singh U.S. 2014. Improved management options for submergence-tolerant (sub1) rice genotype in flood-prone rainfed lowlands of West Bengal. American Journal of Plant Sciences. 5: 14-23. doi: 10.4236/ajps.2014.51003. http://www.scirp. org /journal/ajps [diakses 2014 Jan 15]. Biagini B, Bierbaum R, Stults M, Dobardzic S, McNeely SM. 2014. A typology of adaptation actions: A global look at climate adaptation actions financed through the Global Environment Facility. http://dx.doi.org/10/1016 /j.gloenvcha.2014.01.003. [diakses 2015 Oct 4]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Struktur Ongkos Petani Padi 2008. Jakarta (ID): BPS. [BPTPH] Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat. 2015. Data distribusi benih. Bandung (ID): Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Bryan E, Deressa TT, Gbetibouo GA, Ringler C. 2009. Adaptation to climate change in Ethiopia and South Africa: options and constraints. Environmental Science & Policy. 12(4): 413 – 426. Bulu YG, Hariadi SS, Herianto AS, Mudiyono. 2009. Pengaruh modal sosial dan keterdedahan informasi inovasi terhadap tingkat adopsi inovasi jagung di Kabupaten Lombok Timur. J.AE. 27 (1): 1-21. Chambers, R. 1993. Challenging the Professionals: Frontiers for Rural Development. London (UK): Intermediate Technology Publication. Chen L, Zhuo T, Rasaily RG. 2010. Farmer’s adaptation to climate risk in the context of China: A research on Jianghan Plain of Yangtze River Basin. Agriculture and Agricultural Science Procedia. 116-125. Claassen MM, Shaw RH. 1970. Effect of water stress at different development on rice. J. Agron. 62: 652-655. Crouch BR, Chamala S. 1981. Communication strategies for technological change in agriculture: Implication for rural society. Extension, education and rural development. 267-275. Denton, F. 2010. Climate change vulnerability, impacts and adaptation: Why does gender matter? Gender and Development. 10 (2):10-20. Deressa TT, Hassan RM, Ringler C. 2009. Assessing household vulnerability to climate change: The case of farmers in The Nile Basin of Ethiopia. Environment and Production Technology Division. International Food Policy Research Institute. Discussion Paper 00935. DeVito AJ. 2011. Komunikasi Antarmanusia. Banten (ID): Kharisma. Doss, CR. 2006. Analyzing technology adoption using microstudies: limitations, challenges, and opportunities for improvements. Agricultural Economics. 34: 207-219 Feder G, Umali DL. 1993. The adoption of Agricultural Innovations: A review. Technological Forecasting and Social Change: 43: 215 – 239. Fleming A, Hobday AJ, Farmery A, Van Putten EI, Pecl GT, Green BS, LimCamacho L. 2014. Climate change risks and adaptation options a cross Australia seafood supply chain: A preliminary assessment. Journal on Climate Risk and Management. 1: 1-12.
95 Gandure S, Walker S, Botha JJ. 2013. Farmer’s perceptions to climate change and water stress in a South Africa rural community. J. Environmental Development. 5: 39-53. [GHF] Global Humanitarian Forum. 2009. The Anatomy of Silent Crisis. Human Impact Report: Climate Change. Geneve (CH): GHF. Hafsah, J. 2002. Impor beras bersaing dengan produksi dalam negeri (http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-/000091.html). [diakses 2016 Jan 26]. Holzkamper A, Calanca P, Fuhrer J. 2011. Analyzing climate effect on agriculture in time and space. Procedia Environmental Sciences. 3: 58-62. Indraningsih KS. 2011. Pengaruh penyuluhan terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi teknologi usahatani terpadu. J.AE. 29 (1): 1-24. Ingemarson F, Thunander S. 2012. The Global Need for Food. Fibre and Fuel. Report from two seminars at the Royal Swedish Academy of Agriculture and Forestry 27 September and 22 November 2011. Stockholm (SE): Åke Barklund. General Secretary and Managing Director. KSLA. [IPCC] Intergovermental Panel on Climate Change. 2007. Perubahan iklim Global. http://id.shvoong.com/exact-sciences/earth-sciences/2231463-pengertianperubahan-iklim-global/#ixzz2I1W8oVed [diakses 2013 Jan 12]. Kahairullah I. 2006. Padi Tahan Rendaman Solusi Gagal Panen Saat Kebanjiran. Sinar Tani, 8 November 2006. Kamel B. 2012. Reasons for resistance to change in the national company for the distribution of electricity and gas. International Journal of Management and Strategy. 3 (5): 1-10. Kincaid DL. 1979. The Convergence Theory of Communication: Its Implications for Intercultural Communication, Y. Y. Kim (ed.), Theoretical Perspectives. International and Intercultural Annual, Beverly Hills, California (US): Sage. Kusumo RAB, Charina A, Mukti, G W. 2013. Analisi gender dalam kehidupan keluarga nelayan di Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Jurnal Social Economic of Agriculture, 2 (1): 42-53. Universitas Padjadjaran. Lambrecht I, Vanlauwe B, Mercxx R, Maertens M. 2014. Understanding the process of Agricultural Technology Adoption: Mineral fertilizer in Eastern DR Congo. World Development. 39: 132-146. Leauthaud C, Duvail S, Hamelynck O, Paul JL, Cochet H, Nyunja J, Albergel J, Grunberger O. 2011. Floods and livelihoods: The impact of changing water resources on wetland agro-ecological production systems in the Tana River Delta, Kenya. Global Environment Change . 23: 252-263. Lehmann N, Finger R, Klein T, Calanca P, Walter A. 2013. Adapting crop management practices to climate change: Modeling optimal solutions at the field scale. Journal Agricultural Systems. 117: 55–65. Lestari W, Hadi S, Idris N. 2009. Tingkat adopsi inovasi peternak dalam beternak ayam broiler di Kecamatan Bajubang Kabupaten Batang Hari. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 7 (1): 14-22. Littlejohn J. 2009. Teori Komunikasi. Theories of Human Communication. Edisi 9, [terjemahan]. Jakarta (ID): Salemba Humanika. Mackill DJ, Ismail AM, Pamplona AM, Sanchez DL, Carandang JJ, Septiningsih EM. 1993. Mini review: Stress tolerant rice varieties for adaptation to a
96 changing climate. Metro Manila. Philippines (PH): International Rice Research Institute. Makarim AK, Suhartatik E, Ikhwani. 2011. Pemupukan NPK optimum padi rawa toleran rendaman dengan produktivitas di atas 7 ton/ha di lahan lebak dan sawah rawan banjir. [laporan penelitian]. Subang (ID): Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. _______________________, Pratiwi GR, Ikhwani. 2009. Perakitan teknologi produksi padi pada lahan rawa dan rawan rendaman (>15 hari) untuk produktivitas minimal 7 ton/ha. [laporan penelitian]. Subang (ID): Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Matthews RB, Rivington M, Muhammed S, Newton AC, Hallett PD. 2013. Adapting crops and cropping systems to future climates to ensure food security: The role of crop modelling. Global Food Security. 2: 24–28. Mirza MMO. 2003. Climate change and extreme wheater events can developing countries adopt. Climate Policy. 3: 233-248. Misra R, Prakash A. 2013. Climate change and sustainable agriculture: An Indian perspective. Dr. Ram Manohar Lohia National Law University. India (IN): Lucknow. http://www.kadinst.hku.hk/sdconf10/Papers_PDF/-p293.pdf [diakses 2013 Nov 20]. Nasrul D. 2011. Tingkat adopsi inovasi pengolahan limbah kakao dalam pakan ternak sapi potong (Studi kasus pada kelompok tani Karya Abadi Sungai Buluh, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman). [skripsi]. Padang (ID): Fakultas Pertenakan Universitas Andalas. Naylor R, Battisti D, Vimonts DJ, Falcon WP, Burke M. 2007. Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. PNAS. 19 (104): 7752-7757. Nelson V, Meadows K, Cannon T, Morton J , Martin A. 2010. Uncertain predictions, invisible impacts, and the need to mainstream gender in climate change adaptations. Gender and Development. 10 (2): 51-59. Nugraha Y, Hidayatun N, Trisnaningsih. Yuliani D, Ardiyanti S, Kadir TS. 2015. Ciherang with its NIL form marker assisted backcrossing. Indonesian Journal of Agricultural Sciences. siap terbit. O’Brien K, Leichenko R, Kelkar U, Venema H, Aandahl G, Tompkins H, Javed A, Bhadwal S, Barg S, Nygaard L, West J. 2004. Mapping vulnerability to multiple stressors: climate change and globalization in India. Global Environmental Change 14: 303-313. Osbahr H, Twyman C, Adger WN, Thomas DSG. 2008. Effective livelihood to climate change disturbance: Scale dimensions of practice in Mozambique. Geoforum. 39: 1951- 1964. Pannel DJ. 1999. Social and economic challenges in the development of complex farming system. Agroforestry System. 45: 393 – 409. Peñalba LM, Elazegui DD. 2013. Improving adaptive capacity of small-scale rice farmers: Comparative analysis of Laos PDR and Philippines. World Applied Sciences Journal 24 (9): 1211-1220. doi: 10.5829/idosi.wasj.2013.24.09.13274. http://www.idosi.org/wasj /wasj24(9)13/14.pdf [diakses 2013 Nov 21].
97 Priyanti A, Sinaga, BM, Syaukat Y, Kuntjoro SU. 2007. Model ekonomi rumah tangga petani pada sistem integrasi tanaman-ternak: Konsepsi dan studi empiris. J.WARTA ZOA. 17 (2): 61-70. [Puslitbang TP] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2013. Peningkatan produksi padi menuju 2020. Repositori. http://www. puslittan.bogor. net /index.php?bawaan=download/download_ detail &id=35 [diakses 2013 Des 4]. Ranjabar J. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Suatu Pengantar. Bogor (ID): Ghalia Indonesia. Rogers EM, Kincaid DL. 1981. Communication Networks: Toward a New Paradigm for Research. New York (US): Free Press. Rogers EM. 2003. Diffusion of Innovations. New York (US): Free Press. Ruseffendi ET. 1994. Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Noneksakta Lainnya. Semarang (ID): Ikip Semarang. Sahu NC, Mishra D. 2013. Analysis of perception and adaptability strategies of the farmers to climate change in Odisha, India. Paper presented at ICESD, 19-20 January, Dubai, UE, Asia Pacific Chemical Biological Environmental Engineering Society (APCBEE). Procedia. (5): 123-127. Saleh A. 2006. Tingkat penggunaan media massa dan peran komunikasi anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi penyuluh. [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Santoso S. 2007. Structural Equation Modelling: Konsep dan Aplikasi dengan program AMOS. Jakarta (ID): Elex Media komputindo. Sari AP, Sari RE, Butarbutar RN, Maulidya M. Rusmantoro W. 2007. Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies. Paper prepared as an assignment of The World Bank. Department for International Development. DFID Indonesia, and assisted by consultants of The Pelangi Energi Abadi Citra Enviro, PEACE. Jakarta (ID): World Bank & PEACE. Sayaka B, Kariyasa IK, Waluyo, Marisa Y, Nurasa T. 2006. Analisis sistem perbenihan komoditas pangan dan perkebunan utama. [laporan penelitian]. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Schramm W. 1973. Big Media, Little Media. Stanford, California (US): Institute for Communication Research, Stanford University. Sejati WK, Pranadji T, Irawan B, Saptana, Wahyuni S, Purwoto A, Muslim C. 2011. Peningkatan kapabilitas kelompok tani dalam adaptasi terhadap perubahan iklim. [laporan penelitian]. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Septiningsih EM, Pamplona AM, Sanchez DL, Neeraja CN,Vergara GV, Heuer S, Ismail AM, Mackill DJ. 2009. Development of sub-mergencetolerant rice cultivars: the sub1 locus and beyond. Ann Bot 103(2): 151–160. doi: 10.1093/aob/mcn206. Serah T. 2014. Pengaruh karakteristik inovasi sistem sosial dan saluran komunikasi terhadap adopsi inovasi teknologi pertanian. e-journal.uajy. http://e-journal.uajy.ac.id/id/eprint/4775. Setiawan A, Tb Benito, AK Yuli AH. 2013. Pengelolaan Limbah Ternak pada Kawasan Budidaya Ternak Sapi Potong di Kabupaten Majalengka (Waste
98 Management at Beef Cattle Raising Area in Majalengka). Jurnal Ilmu Ternak, 13 (1): 1-20. Simoes AF, Kligerman DC, La Rovere EL, Maroun MR, Barata M, Obermaier M. 2015. Enhancing adaptive capacity to climate change: The case of smallholder farmers in the Brazilian semi-arid region. Journal of Environmental Science. http://dx.doi.org/10.10 16/j.envsci.2010.08.005. [diakses 2015 Aug 15]. Slamet. 2015. Efektifitas Komunikasi dalam Dakwah Persuasif. Jurnal Dakwah. X (2): 179-193 http://digilib.uin-suka.ac.id/8374/1/SLAMET%20EFEKTIFITAS%20KOMUNIKASI%20DALAM%20DAKWAH%20PERSUASI F.pdf [diaskes 2015 Des 17]. Smit B, Pilifosova O. 2003. From Adaptation to Adaptive Capacity and Vulnerability Reduction. In Smith et al., Climate Change, Adaptive Capacity and Development. London (UK): Imperial College Press. Smith JB, Klein RJT, Huq S. 2003.Climate Change, Adaptive Capacity and Development. London (UK): Imperial College Press. Suardi IDPO, Supartha IN, Sarma M, Putra IGSA. 2015. Utilization of communication strategy for improving communication process Simantri Program in Province of Bali. Research on Humanities and Social Sciences. 5 (12): 191-203. Sudjarmoko B, Listyati D, Hasibuan AM. 2013. Analisis faktor penentu adopsi benih unggul karet. Buletin RISTRI. 4 (2): 117-128. Sumardjo. 1999. Transformasi model penyuluhan pertanian menuju pengembangan kemandirian petani: Kasus di Provinsi Jawa Barat, [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana IPB. Sumarno M. 2010. Tingkat Adopsi Teknologi Penguatan Sentra Industri Kecil Kerajinan Gerabah Asongan Kabupaten Sentul. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. 13(1): 1-10. Sumaryanto S, Suryadi M. 2012. Kapasitas adaptasi petani tanaman pangan terhadap perubahan iklim untuk mendukung keberlanjutan ketahanan pangan. [laporan penelitian]. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sunarya R, Yonas HS, Eka MJ, Gohan OM. 2013. Kajian Karakteristik Produsen dan Penangkar Serta Kelayakan Usahatani Benih Padi di Provinsi Lampung. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Suprihatno B, Darajat AA. 2008. Kemajuan dan ketersediaan varietas unggul padi. Buletin BP3TP: 302-323. Susilowati, S H, Sumaryanto, Suhaeti, R N, Friyatno, S, Tarigan, H, Agustin, N K, Muslim, C. 2008. Konsorsium Penelitian: Karakteristik Sosial Ekonomi Petani pada Berbagai Tipe Agro-ekosistem, Aspek Perubahan Penguasaan Lahan dan Tenaga Kerja Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor. Suswono. 2013. Konsumsi beras masyarakat Indonesia tertinggi di dunia. http:// www.antaranews.com/berita/398839/konsumsi-beras-masyarakatindonesiatertinggi-di-dunia [diakses 2013 Des 8].
99 Tatlonghari G, Paris T, Pede V, Siliphouthone I, Suhaeti RN. 2012, Seed and information exchange through social networks: The case of rice farmers of Indonesia and Lao PDR. Sociology Mind. 2:169-176. doi: 10.4236/sm.2012.22022. van Aalst MK, Cannon T, Burton I. 2007. Community level adaptation to climate change: The potential role of participatory community risk assessment. Journal of Global Environment http://dx.doi.org/10.1016/j.gloenvha.2007.06.002. [diakses 2015 Aug 6]. Wang J. 2010. Food security: Food prices and climate change in China: A dynamic panel data analysis. Agriculture and Agricultural Science Procedia, 1: 321-324. Wassman R, Doberman A. 2007. Climate change adaptation through rice production in region with high poverty levels. SAT eJournal. 4(1): 1-24. Wiryawan G. 2012. Konsumsi beras per kapita Indonesia paling tinggi. http://eprad.blogspot.com/2012/10/indonesia-konsumsi-beras-paling-tinggi Html [diakses 2013 Des 8]. Wood SA, Jina AS, Jain M, Kristjanson P, DeFries RS. 2014. Smallholder farmer cropping decisions related to climate variability across multiple regions. Journal on Global Environmental Change. 25: 163-172. Wu H, Ding S, Pandey S, Tao D. 2010. Assessing the impact of agricultural technology adoption on Farmer’s well-being using Propensity-Score Matching Analysis in rural China. Asian Economic Journal. 24(2): 141-160. Xu K, Mackill DJ. 1996. A major locus for submergence tolerance mapped on rice chromosome 9. Molecular Breeding. 2: 219-224. _____, Fukao T, Canlas P, Rodriguez RM, Heuer S, Ismail AM, Bailey-Serres J, Ronald PC, Mackill DJ. 2006. Sub1 ais an ethylene-response-factor-like gene that confers submergence tolerance to rice. Nature.442: 705-708. doi:10.1038/nature04920. Zaltman G, Duncan R. 1977. Strategies for Planned Change. New York (US): John Wiley & Sons. Zorom M, Barbier B, Mertz O, Servat E. 2013. Diversification and adaptation strategies to climate variability: A farm typology for the Sahel. Agricultural Systems. 116: 7-15.
101 Lampiran 1 Definisi operasional pada penelitian komunikasi Inovasi PTR untuk ketahanan pangan keluarga petani dan adaptasi terhadap perubahan iklim Indikator Definisi operasional Pengukuran Satuan Komunikator (X1) Jenis Sumber informasi Pernyataan responden 1. Satu jenis komunikator yang memberikan tentang sumberkomunikator pesan tentang padi sumber informasi 2. 2-3 jenis PTR yang memberikan komunikator pesan tentang padi 3. 4-5 jenis PTR komunikator Sifat Kemungkinan Pernyataan responden 1. Satu arah komunikator terjadinya interaksi tentang kemungkinan 2. Dialogis antara responden terjadinya interaksi dengan sumber dengan sumber informasi informasi Level Asal komunikator Pernyataan responden 1. Pusat komunikator apakah tingkat tentang kesempatan 2. Provinsi nasional, provinsi, untuk melakukan 3. Kabupaten kabupaten, umpan balik kepada 4. Kecamatan kecamatan, atau sumber informasi /Desa desa tentang PTR Kompetensi Penguasaan sumber Pernyataan responden 1. Tak informasi tentang tentang penguasan menguasai materi PTR sumber informasi 2. Menguasai terhadap materi PTR 3. Sangat menguasai Kepercayaan Keyakinan terhadap Pernyataan responden 1. Tidak percaya kebenaran informasi tentang keyakinannya 2. Dipercaya yang disampaikan akan kebenaran oleh sumber informasi PTR yang informasi tentang disampaikan Sumber PTR Inovasi PTR (X2) Ketersediaan Kemudahan untuk Pernyataan responden 1. Sulit membeli di pasaran tentang kemudahan 2. Cukup mudah beras hasil produksi membeli beras hasil 3. Mudah padi toleran produksi PTR di pasar rendaman sekitar tempat tinggal Penggunaan Manfaat beras hasil Pernyataan responden 1. Rendah produksi padi tentang penggunaan 2. Sedang toleran rendaman beras hasil produksi 3. Tinggi untuk berbagai PTR untuk berbagai keperluan olahan Berlanjut
102 Lampiran 1 (Lanjutan) Indikator Definisi operasional Pemeliharaan Kegiatan-kegiatan nya yang dilakukan untuk menumbuh kembang-kan padi toleran rendaman Kualitas Rasa dan tampilan hasilnya hasil produksi padi toleran rendaman
Media komunikasi (X3) Keterpaan Frekuensi media massa mengakses (Radio, TV, informasi tentang surat kabar) padi toleran rendaman melalui berbagai alat komunikasi publik Keterpaan Frekuensi dalam dalam mengakses saluran informasi tentang komunikasi PTR melalui interpersonal pertukaran informasi dengan seseorang melalui tatap muka Intensitas Frekuensi dalam interaksi mengakses kelompok informasi tentang PTR melalui pertukaran informasi dengan anggota perkumpulan dalam kegiatan keorganisasian Berlanjut
Pengukuran Pernyataan responden tentang kesulitan/kemudahan kegiatan penumbuh kembangan PTR Pernyataan responden tentang rasa dan tampilan beras hasilproduksi PTR
Satuan 1. Sulit 2. Cukup mudah 3. Mudah
Pernyataan responden dalam mengakases informasi PTR melalui berbagai alat komunikasi publik
1. Rendah 2. Sedang 3. Tinggi
Pernyataan responden tentang frekuensi mengakses informasi PTR dengan seseorang melalui tatap muka
1. Jarang(maks. 2 bulan sekali) 2. Sering (maks. 1 bulan sekali) 3. Sangat sering (2 kali atau lebih dalam 1 bulan) 1. Jarang (maksimal 3 bulan sekali) 2. Cukup (maksimal 2 bulan sekali) 3. Sering (1 kali atau lebih dalam 1 bulan)
Pernyataan responden tentang frekuensi mengakses informasi tentang PTR melalui pertukaran informasi dengan anggota perkumpulan dalam kegiatan keorganisasian
Rasa 1. Tidak enak 2. Cukup enak 3. Enak Tampilan 1. Tidak menarik 2. Cukup menarik 3. Menarik
103 Lampiran 1 (Lanjutan) Indikator Definisi operasional Penggunaan Frekuensi HP penggunaan alat komunikasi telepon genggam untuk mengakses informasi Media cetak
Demplot
Frekuensi membaca informasi tentang PTR
Frekuensi mengikuti kegiatan uji penanaman PTR
Magang
Frekuensi mengikuti kegiatan praktik lapang ke lokasi yang menanam PTR Profil keluarga petani (X4) Ukuran Jumlah tanggungan keluarga yg serumah
Ekonomi keluarga
Penguasaan lahan
Berlanjut
Jumlah pendapatan, dari usahatani padi atau non-padi, termasuk off-farm yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumah Luas areal sawah yang diuasai untuk berusaha tani
Pengukuran Pernyataan responden tentang frekuensi penggunaan telepon genggam untuk mengakses informasi PTR
1. 2. 3.
Satuan Tidak pernah Jarang (maksimal 1 bulan sekali) Sering (2 kali atau lebih dalam 1 bulan) Tidak pernah Sangat jarang (maksimal 3 bulan sekali) Jarang (maksimal 2 bulan sekali) Tidak pernah Jarang(1 kali) Sering(lebih dari 2 kali) Tidak pernah Jarang(1 kali) Sering(≥2 kali)
Pernyataan responden tentang frekuensi membaca informasi tentang PTR
1. 2.
Pernyataan responden tentang frekuensi mengikuti kegiatan uji penanaman PTR Pernyataan responden tentang frekuensi mengikuti kegiatan praktik lapang ke lokasi
1. 2. 3.
Dihitung berdasarkan banyak orang jadi tanggunganresponden
1. Sedikit (1orang) 2. Sedang (23orang) 3. Banyak (≥4 orang) 1. Rendah (Rp.3,2– 35 juta) 2. Sedang (Rp 36100 juta) 3. Tinggi (Rp 101210 juta)
Dihitung berdasarkan besarnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga, dalam rupiah per tahun. Dihitung berdasarkan luas sawah yang diusahakan untuk pertanian (dalam ha)
3.
1. 2. 3.
1. Sempit(0.111,49 ha) 2. Sedang (1,5-2 ha) 3. Tinggi (>2-24 ha)
104 Lampiran 1 (Lanjutan) Indikator Definisi operasional Pengukuran Pemilikan Alat yang Jumlah dan jenis alat media digunakan untuk yang digunakan untuk komunikasi mengakses mengakses informasi informasi Status sosial
Keterlibatan dalam organisasi petani
Posisi/kedudukan anggota keluarga di lingkungan masyarakat Aktivitas keluarga dalam mengikuti perkumpulanperkumpulan petani
Faktor eksternal (X5) Kebijakan Program-program pemerintah yang dilaksanakan kementerian/ dinas terkait dalam rangka pemanfaatan benih PTR Ketersediaan input produksi
Adanya faktorfaktor produksi yang digunakan untuk mengolah sawah untuk PTR
Daya serap pasar hasil produksi
Permintaan masyarakat terhadap beras produksi PTR Kebiasaankebiasaan yang dilakukan pada masyarakat yang mendukung pemanfaatan PTR
Budaya
Berlanjut
1. 2. 3.
Satuan Sedikit (1-2 macam) Sedang (3 macam) Banyak (Lebih dari 3 macam) Rendah Sedang Tinggi
Pernyataan responen tentang kedudukan dalam berinteraksi dengan masyarakat Pernyataan anggota keluarga tentang keikutsertaan dan frekuensi mengikuti kegiatan-kegiatan perkumpulan petani
1. 2. 3.
Pernyataan responden tentang manfaat program-program PTR yang dilaksanakan kementerian/ dinas terkait Pernyataan responden mudahnya memperoleh faktorfaktor produksi yang digunakan untuk mengolah sawah PTR Pernyataan responden tentang mudahnya menjual beras PTR
1. Tidak tersedia 2. Tersedia 3. Sangat tersedia
Pernyataan responden tentang kegiatankegiatan yang menggunakan PTR dalam kehidupan sehari-hari
1. Jarang (maksimal 3 bulan sekali) 2. Cukup sering (maksimal 2 bulan sekali) 3. Sering (1 bulan sekali atau lebih)
1. Tidak memadai 2. Memadai 3. Sangat memadai
1. Sulit menjual 2. Mudah menjual 3. Sangat mudah menjual 1. Kurang mendukung 2. Mendukung 3. Sangat mendukung
105 Lampiran 1 (Lanjutan) Indikator Definisi operasional Pengukuran Difusi inovasi (Y1) Pengetahuan Hal-hal yang Penjelasan petani dipahami responden tentang budidaya tentang PTR tanaman PTR mulai dari persiapan, pemeliharaan dan pascaproduksi Persuasi Dorongan kuat yang Pernyataan responden tumbuh di dalam tentang harapannya hati untuk untuk dapat membudidayakan membudidayakan padi PTR PTR di lahan pertaniannya Keputusan Aksi nyata Pernyataan responden responden tentang aktivitas menanam PTR menanam PTR setiap secara berulang musim banjir rob/banjir Adaptasi terhadap perubahan iklim (Y2) Produktivitas Banyaknya gabah Pernyataan responden PTR yang dihasilkan dari jumlah kilogram hasil penanaman gabah yang dihasilkan padi toleran dari hasil penanaman rendaman per meter PTR per meter persegi persegi sawah sawah Toleransi Kerusakan yang Pernyataan responden perubahan disebabkan oleh tentang luas tanaman iklim banjir rob laut/air padi yang mengalami hujan kerusakan akibat banjir rob laut/air hujan Ketahanan pangan (Y3) Tersedia Pemanfaatan beras Banyaknya jenis supply PTR hasil produksi padi olahan berbahan baku untuk ricetoleran rendaman beras hasil padi based untuk industri hilir toleran rendaman industry
Satuan 1. Tidak/Kurang tahu 2. Cukup tahu 3. Sangat tahu 1. Tidak/Kurang berminat 2. Berminat 3. Sangat berminat 1. Tidak pernah lagi 2. Menanam lagi 1kali 3. Menanam lagi 23 kali ton/ha
Persentase (%)
1. 2. 3. 4.
Tidak prospektif Cukup prospektif Prospektif Sangat prospektif
106 Lampiran 2 Persepsi petani tentang faktor eksternal pada difusi inovasi PTR keluarga petani padi 2015 Jumlah (orang) Persentase (%) Faktor eksternal Kebijakan pemerintah Menyediakan penyuluh yang paham PTR 1. Tidak tersedia 2. Tersedia Menyediakan penyuluh dengan jumlah memadai 1. Tidak memadai 2. Sangat memadai Memberi bantuan sarana produksi 1. Tidak memberi 2. Memberi Mengatasi banjir 1. Tidak mengatasi 2. Mengatasi Membangun sarana jalan 1. Tidak 2. Cukup Daya serap pasar hasil produksi Banyak pedagang PTR di sekitar tempat tinggal 1. Tidak ada 2. Sedikit 3. Banyak Banyak pedagang PTR bersedia membeli PTR 1. Tidak ada 2. Sedikit 3. Banyak Pedagang menyediakan benih PTR 1. Tidak ada 2. Sedikit 3. Banyak Pedagang memberi harga wajar untuk PTR 1. Tidak ada 2. Sedikit 3. Banyak Pedagang memberi tahu cara memanfaatkan PTR 1. Tidak ada 2. Sedikit 3. Banyak Pedagang memberi informasi keberhasilan petani PTR lainnya 1. Tidak ada 2. Sedikit 3. Banyak Berlanjut
13 45
22,41 77,59
29 29
50,00 50,00
25 33
43,10 56,90
26 32
44,83 55,17
20 38
34,48 65,52
31 21 6
53,45 36,21 10,34
23 31 4
39,65 53,45 6,90
34 23 1
58,62 39,66 1,72
21 32 5
36,21 55,17 8,62
29 20 9
50,00 34,48 15,52
37 16 5
63,79 27,59 8,62
107 Lampiran 2 (Lanjutan) Faktor eksternal Petani mengalami kesulitan menjual PTR 1. Tidak ada 2. Sedikit 3. Banyak Budaya Dalam pengajian suka membicarakan masalah pertanian secara umum 1. Tidak 2. Jarang 3. Sering Dalam pengajian suka membicarakan masalah PTR 1. Tidak 2. Jarang 3. Sering Dalam arisan suka membicarakan masalah pertanian secara umum 1. Tidak 2. Jarang 3. Sering Dalam arisan suka membicarakan asalah PTR 1. Tidak 2. Jarang 3. Sering Dalam kerja bakti suka membicarakan masalah pertanian secara umum 1. Tidak 2. Jarang 3. Sering Dalam kerja bakti suka membicarakan masalah PTR 1. Tidak 2. Jarang 3. Sering Kegiatan pertanian merupakan kegiatan turun menurun 1. Tidak 2. Ya Generasi muda cenderung ingin bekerja pada sektor non-pertanian 1. Tidak 2. Ya
Jumlah (orang)
Persentase (%)
7 14 37
12,07 24,14 63,79
29 20 9
50,00 34,48 15,52
34 20 4
58,62 34,48 6,90
31 21 6
53,45 36,21 10,34
36 19 3
62,07 32,76 5,17
21 28 9
36,20 48,28 15,52
28 21 9
48,28 36,20 15,52
3 55
5,17 94,83
20 38
34,48 65,52
108 Lampiran 3 Difusi inovasi PTR pada keluarga petani padi 2015 Difusi inovasi PTR Jumlah (orang) Persepsi Inovasi Menanam PTR akan mendatangkan keuntungan 1. Rendah 19 2. Sedang 34 3. Tinggi 5 PTR sangat sesuai dengan kondisi lahan 1. Rendah 10 2. Sedang 42 3. Tinggi 6 PTR mudah ditanam 1. Sulit 4 2. Cukup mudah 42 3. Mudah 12 Mudah melakukan pengamatan terhadap pertumbuhan PTR 1. Sulit 4 2. Cukup mudah 46 3. Mudah 8 Diskusi tentang PTR Di sekitar tempat tinggal, sering dilakukan penyuluhan tentang PTR 1. Jarang 28 2. Cukup sering 23 3. Sering 7 Sering membicarakan tentang PTR dengan sesama petani 1. Jarang 18 2. Cukup sering 35 3. Sering 5 Sering membaca artikel/literatur/buku tentang PTR 1. Jarang 51 2. Cukup sering 5 3. Sering 2 Sering mendengarkan siaran radio tentang PTR 1. Jarang 51 2. Cukup sering 7 3. Sering 0 Sering melihat acara TV yang berkaitan dengan PTR 1. Jarang 44 2. Cukup sering 13 3. Sering 1 Berlanjut
Persentase (%)
32,76 58,62 8,62 17,24 72,41 10,35 6,90 72,41 20,69 6,90 79,31 13,79
48,28 39,65 12,07 31,03 60,34 8,62 87,93 8,62 3,45 87,93 12,07 0,00 75,87 22,41 1,72
109 Lampiran 3 (Lanjutan) Difusi inovasi PTR Evaluasi input Mudah mencari benih PTR di sekitar tempat tinggal 1. Sulit 2. Cukup mudah 3. Mudah Mudah mendapatkan benih PTR dalam jumlah yang dibutuhkan 1. Sulit 2. Cukup mudah 3. Mudah Benih PTR relatif murah 1. Tidak murah 2. Cukup murah 3. Murah Benih PTR mudah disemai 1. Sulit 2. Cukup mudah 3. Mudah Benih PTR mudah ditanam di lahan sawah 1. Sulit 2. Cukup mudah 3. Mudah Tidak banyak gulma di sekitar tanaman PTR 1. Tidak 2. Cukup banyak 3. Banyak Tidak banyak serangan serangga pada tanaman PTR 1. Tidak 2. Cukup banyak 3. Banyak Tidak banyak serangan keong mas pada tanaman PTR 1. Tidak 2. Cukup banyak 3. Banyak Tidak banyak serangan tikus pada tanaman PTR 1. Tidak 2. Cukup banyak 3. Banyak Berlanjut
Jumlah (orang)
Persentase (%)
31 24 3
53.45 41.38 5.17
34 23 1
58.62 39.66 1.72
28 28 2
48.28 48.28 3.44
8 43 7
13.79 74.14 12.07
10 41 7
17.24 70.69 12.07
28 25 5
48.28 43.10 8.62
27 27 4
46.55 46.55 6.90
30 25 3
51.73 43.10 5.17
31 24 3
53.45 41.38 5.17
110 Lampiran 3 (Lanjutan) Difusi inovasi PTR Tidak banyak serangan penyakit pada PTR 1. Tidak 2. Cukup banyak 3. Banyak Tidak memerlukan banyak obat-obatan saat menaman PTR 1. Tidak diperlukan 2. Cukup diperlukan 3. Sangat diperlukan Tidak memerlukan banyak pupuk saat menaman PTR 1. Tidak diperlukan 2. Cukup diperlukan 3. Sangat diperlukan PTR dapat lebih cepat dipanen 1. Lambat 2. Cukup cepat 3. Cepat Evaluasi output Produksi PTR sangat memuaskan 1. Tidak puas 2. Puas 3. Sangat puas Beras PTR sangat disukai konsumen 1. Tidak disukai 2. Disukai 3. Sangat disukai Harga beras dari PRT sangat menguntungkan 1. Tidak menguntungkan 2. Cukup menguntungkan 3. Menguntungkan Keuntungan yang didapat dengan menaman PTR sangat memuaskan 1. Tidak puas 2. Cukup puas 3. Puas Di rumah pernah tersedia bahan media cetak tentang PTR 1. Tidak pernah 2. Pernah 3. Sering Berlanjut
Jumlah (orang)
Persentase (%)
28 29 1
48.28 50.00 1.72
27 28 3
46.55 48.28 5.17
25 31 2
43.10 53.45 3.45
23 26 9
39.66 44.82 15.52
26 27 5
44.83 46.55 8.62
23 28 7
39.66 48.28 12.06
27 26 5
46.55 44.83 8.62
29 24 5
50.00 41.38 8.62
50 8 0
86.21 13.79 0.00
111 Lampiran 3 (Lanjutan) Difusi inovasi PTR Pengambilan keputusan menanam PTR Di rumah pernah tersedia bahan media cetak tentang PTR 1. Tidak pernah 2. Pernah 3. Sering Di rumah pernah tersedia PTR 1. Tidak pernah 2. Pernah 3. Sering Pernah melakukan uji coba PTR pada 1025% dari luas lahan 1. Tidak pernah 2. Pernah 3. Sering Saat ini di rumah masih ada bahan media cetak tentang PTR 1. Tidak ada 2. Ada Saat ini di rumah masih tersedia PTR 1. Tidak tersedia 2. Cukup tersedia 3. Tersedia Sudah melakukan uji coba lebih dari 1 kali 1. Belum 2. Sudah
Jumlah (orang)
Persentase (%)
50 8 0
86.21 13.79 0.00
35 20 3
60.35 34.48 5.17
26 25 7
44.83 43.10 12.07
48 10
82.76 17.24
44 14 0
75.86 24.14 0.00
29 29
50.00 50.00
Lampiran 4 Penguasaaan lahan responden Penguasaan Lahan Lahan Garapan (ha)
Min
Responden PTR RataMaks St. Dev. rata 12 1,516 2,039
Responden Non-PTR RataSt. Min Maks rata Dev. 0,071 3 0,628 0,714
Milik Non Milik
0,04 0,07
12
1,233
2.618
0,114
3
0,714
0,756
Milik Non Milik Pekarangan (m2)
0,047
3
0,666
0,767
0,042
0,286
0,135
0,109
0,5
1
0,833
0,289
0,105
0,105
0,105
0,000
56,2
7124,3
726,8
1.235,1
0
5.022,1
1.428,6
329,3
Kebun (ha)
112 Lampiran 5 Pendapatan responden PTR Pendapatan Responden
Minimum
MK I 2014
500
108.000
10.933,86
17.503,60
MH 2014/15 Total Biaya Produksi
700
108.000
10.722,69
17.581,20
1.200
21.600
21.656.55
3.503,209
MK I 2014
4
980
97,89
165,91
MH 2014/15 Total Produksi Kotor
5
900
97,36
166,35
9
1837.5
195,88
329,41
MK I 2014
3
5,3
4,32
0,41
3,2
5.6
4,33
0,1
MK I 2014
1.600
450.800
43.948,80
76.370,78
MH 2014/15
2.200
450.000
43.702,68
78.242,08
3.800 2.600
828.100 806.500
88.826,08 67.169,53
153.912,39 118.880,30
600
200.000
36.216,06
50,866,52
Biaya Produksi (Rp’000)
Produksi Kotor (ku) Harga Gabah (Rp’000/Kg) Nilai (Rp’000)
MH 2014/15
Total Nilai Pendapatan UT Padi (Rp’000) Non-Usahatani (Rp’000)
Maximum
Rata-rata
Standard Deviasi
Total pendapatan/th (Rp’000)
Lampiran 6 Pendapatan usahatani padi/tahun responden non-PTR Minimum
Maksimum
Rata-rata
MK I 2014
500
35.000
7.059,89
Standard Deviasi 7.166,46
MK II 2014
500
9.000
4.125,00
3.567,80
500
27.000
6.751,27
6.589,01
1.000
60.000
13.394,08
13.099,02
3 15 3
455 90 200
57,64 43,00 49,41
78,89 35,20 48,38
6
493,5
104,24
110,37
4 4 3,5 2.250 6.750 1.800 4.275 3.275 300
6 4,5 5,2 209.300 40.500 90.000 227.780 167.780 74100
4,60 4,25 4,40 28.058,15 18.512,50 22.402,58 48.889,08
0,44 0,29 0,25 38.314,25 15.929,03 21.527,15 52.303,68
Pendapatan Petani Biaya Produksi (Rp’000)
MH 2014/15 Total Biaya Produksi MK I 2014 MK II 2014 Produksi MH 2014/15 Kotor (ku) Total Produksi Kotor MK I 2014 Harga Gabah MK II 2014 (Rp’000/Kg) MH 2014/15 MK I 2014 MK II 2014 Nilai (Rp) MH 2014/15 Total Nilai Total Pendapatan UT Padi/th Total Pendapatan Non Usahatani/thn
18.193,68
18369,91
113 Lampiran 7 Jawaban pertanyaan responden untuk variabel komunikator Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan Penyuluh pernah melakukan penyuluhan tentang PTR Penyuluh pernah memberikan brosur atau lembaran informasi tentang PTR Penyuluh cepat memberikan jawaban atas permintaan informasi PTR Penerangan penyuluh tentang PTR sangat jelas Penyuluh pernah melakukan pendampingan pada penerapan PTR di lahan persawahan Di sini mudah mencari sarana produksi pertanian (saprotan) Banyak pedagang padi di sini Di sini banyak pedagang padi membeli PTR dari petani Pedagang telah menyediakan PTR Pedagang menyediakan PTR dalam jumlah yang cukup Pedagang PTR menyediakan benih pada waktu yang tepat Pedagang PTR memberikan harga yang wajar untuk PTR Pedagang PTR memberikan informasi cara-cara memanfaatkan PTR Pedagang PTR memberikan informasi tentang keberhasilan petani lain menanam PTR Peneliti pernah melakukan penyuluhan tentang PTR Peneliti pernah memberikan brosur atau lembaran informasi tentang PTR Peneliti cepat memberikan jawaban atas permintaan informasi PTR Penerangan peneliti tentang PTR sangat jelas Peneliti pernah melakukan pendampingan pada
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
Ratarata
Top Two Boxes ((%)
9
3
43
3
156
2,69
79
28
3
24
3
118
2,03
47
13
4
34
7
151
2,60
71
11
7
32
8
153
2,64
69
12
11
27
8
147
2,53
60
5
8
38
7
163
2,81
78
3
5
44
6
169
2,91
86
13
8
30
7
147
2,53
64
24
9
19
6
123
2,12
43
22
10
20
6
126
2,17
45
22
9
25
2
123
2,12
47
15
13
28
2
133
2,29
52
26
12
15
5
115
1,98
34
26
11
19
2
113
1,95
36
16
6
29
7
143
2,47
62
25
9
19
5
120
2,07
41
19
6
27
6
136
2,34
57
18
4
26
10
144
2,48
62
22
9
24
3
124
2,14
47
114 Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan penerapan PTR di areal persawahan Di sini banyak petani di sekitar lokasi yang telah menanam PTR Sesama petani sering melakukan diskusi tentang PTR Petani PTR sangat mudah berbagi ilmu tentang PTR Penerangan sesama petani PTR sangat jelas Petani non-PTR sebelumnya sudah sering menanam PTR Petani non-PTR sering membicarakan PTR Petani non-PTR mendukung adanya PTR Tokoh masyarakat telah menanam PTR Tokoh masyarakat sering membicarakan PTR Tokoh masyarakat mendukung adanya PTR Lurah telah menanam PTR Camat telah menanam PTR Lurah sering membicarakan PTR Camat sering membicarakan PTR Lurah mendukung adanya PTR Camat mendukung adanya PTR Penyuluh dapat dipercaya dalam hal PTR Pedagang dapat dipercaya dalam hal PTR Peneliti dapat dipercaya dalam hal PTR Petani PTR dapat dipercaya dalam hal PTR Petani non-PTR dapat dipercaya dalam hal PTR Tokoh masyarakat dapat dipercaya dalam hal PTR Lurah dapat dipercaya dalam hal PTR Camat dapat dipercaya dalam hal PTR Penyuluh dari pusat datang menyuluh tentang PTR Penyuluh dari pusat datang
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
Ratarata
Top Two Boxes ((%)
10
14
32
2
142
2,45
59
4
4
43
7
169
2,91
86
5
5
37
11
170
2,93
83
5
10
38
5
159
2,74
74
20
16
16
6
124
2,14
38
17
14
22
5
131
2,26
47
18
19
18
3
122
2,10
36
20
15
20
3
122
2,10
40
18
14
24
2
126
2,17
45
14
14
25
5
137
2,36
52
22
13
22
1
118
2,03
40
24
11
22
1
116
2,00
40
19
14
24
1
123
2,12
43
20
14
24
0
120
2,07
41
7
12
37
2
150
2,59
67
8
10
36
4
152
2,62
69
7
7
38
6
159
2,74
76
14
21
22
0
122
2,14
38
12
4
36
6
152
2,62
72
7
8
39
4
156
2,69
74
14
22
19
3
127
2,19
38
15
16
26
1
129
2,22
47
17
17
19
5
128
2,21
41
19
12
26
1
125
2,16
47
22
11
25
0
119
2,05
43
23
10
24
1
119
2,05
43
115 Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
Ratarata
menyuluh tentang PTR Pedagang besar (tingkat nasional) datang menyuluh tentang PTR Pedagang besar (tingkat provinsi) datang menyuluh tentang PTR Peneliti dari pusat datang menyuluh tentang PTR Peneliti dari provinsi (BPTP) datang menyuluh tentang PTR Tokoh masyarakat dari pusat datang menyuluh tentang PTR Tokoh masyarakat dari provinsi datang menyuluh tentang PTR Penyuluh dari kabupaten datang menyuluh tentang PTR Pedagang dari kabupaten datang menyuluh tentang PTR Peneliti dari kabupaten datang menyuluh tentang PTR Tokoh masyarakat dari kabupaten datang menyuluh tentang PTR
Top Two Boxes ((%)
33
14
10
1
95
1,64
19
30
12
15
1
103
1,78
28
25
5
24
4
123
2,12
48
25
9
22
2
117
2,02
41
29
10
18
1
107
1,84
33
32
13
13
0
97
1,67
22
27
5
24
2
117
2,02
45
29
9
18
2
109
1,88
34
31
5
22
0
107
1,84
38
33
10
14
1
99
1,71
26
116 Lampiran 8 Deskripsi variabel inovasi PTR Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan Informasi tentang PTR mudah didapatkan Informasi tentang PTR mudah dipahami Informasi tentang PTR mudah diterapkan Informasi tentang PTR lengkap Informasi tentang PTR tidak rusak Beras dari PTR tidak tersedia Beras dari PTR sulit dicari Beras dari PTR mudah dicari Beras PTR dapat diolah menjadi hanya satu macam pangan olahan saja Beras PTR dapat diolah menjadi dua macam pangan olahan Beras PTR dapat diolah menjadi tiga macam pangan olahan Beras PTR dapat diolah menjadi lebih dari tiga macam pangan olahan Pemeliharaan PTR sulit dilakukan Pemeliharaan PTR cukup mudah dilakukan Pemeliharaan PTR mudah dilakukan Rasa nasi dari PTR tidak enak Rasa nasi dari PTR kurang enak Rasa nasi dari PTR enak Rasa nasi dari PTR sangat enak Bentuk/tampilan beras PTR tidak menarik Bentuk/tampilan beras PTR kurang menarik Bentuk/tampilan beras PTR menarik Bentuk/tampilan beras PTR sangat menarik
Top Two Boxes (%)
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
Ratarata
13
11
29
5
142
2,45
59
6
5
40
7
164
2,83
81
6
4
40
8
166
2,86
83
7
9
34
8
159
2,74
72
10
11
33
4
147
2,53
64
13
22
20
3
129
2,22
40
16
19
18
5
128
2,21
40
11
18
27
2
136
2,34
50
16
8
30
4
138
2,38
59
42
9
4
3
84
1,45
12
44
10
1
3
79
1,36
7
43
10
5
0
78
1,34
9
19
30
6
3
109
1,88
16
2
5
48
3
168
2,90
88
5
4
38
11
171
2,95
84
28
15
13
2
105
1,81
26
22
23
10
3
110
1,90
22
9
8
34
7
155
2,67
71
8
13
22
15
160
2,76
64
32
13
9
4
101
1,74
22
29
19
6
4
101
1,74
17
7
9
33
9
160
2,76
72
7
16
25
10
154
2,66
60
117 Lampiran 9 Deskripsi variabel media komunikasi Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan Frekuensi mendengarkan radio Informasi yang didengarkan tentang PTR Frekuensi menonton televisi Informasi yang ditonton tentang PTR Frekuensi membaca surat kabar Informasi yang dibaca tentang PTR Frekuensi menggunakan media cetak untuk mengakses informasi tentang PTR Frekuensi melihat demplot untuk mengakses informasi tentang PTR Frekuensi magang untuk mengakses informasi tentang PTR Frekuensi studi banding untuk mengakses informasi tentang PTR Diskusi tentang PTR dengan orang lain (interpersonal) Keikutsertaan dalam diskusi PTR dalam kelompok Memanfaatkan HP untuk bertukar informasi tentang PTR
Ratarata
Top Two Boxes (%)
Setuju
Sangat Setuju
Total
17
12
3
108
1,862
26
39
12
6
1
85
1,466
12
3
12
20
23
179
3,086
74
37
13
7
1
88
1,517
14
38
12
6
2
88
1,517
14
39
11
8
0
85
1,466
14
40
7
11
0
87
1,500
19
39
7
12
0
89
1,534
21
46
6
3
3
79
1,362
10
43
8
7
0
80
1,379
12
10
10
28
10
154
2,655
66
8
16
22
12
154
2,655
59
43
6
5
4
86
1,483
16
Tidak Setuju
Kurang Setuju
26
118 Lampiran 10 Deskripsi kebijakan pemerintah Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan tentang PTR Pemerintah telah menyediakan penyuluh yang mengetahui seluk beluk PTR dengan baik Jumlah penyuluh yang mengetahui seluk beluk PTR memadai Pemerintah telah memberikan bantuan sarana produksi pertanian yang memadai Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah pada saat banjir Pemerintah telah membangun sarana jalan usahatani Di sini banyak terdapat sekolah yang dibangun pemerintah Pertanian menjadi salah satu bidang yang dipelajari di sekolah
Sangat Setuju
Total
Ratarata
Top Two Boxes (%)
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
26
2
26
3
133
2,293
50
9
4
38
7
159
2,741
78
15
14
26
3
133
2,293
50
5
20
25
8
152
2,621
57
15
11
25
7
140
2,414
55
7
13
33
5
152
2,621
66
6
7
41
4
159
2,741
78
26
4
17
11
129
2,224
48
119 Lampiran 11 Deskripsi ketersediaan input produksi Butir pernyataan/pertanyaan Banyak pedagang saprotan Tersedia lembaga keuangan agribisnis yang meminjamkan modal kepada petani apabila diperlukan Tersedia lembaga keuangan pribadi yang meminjamkan modal kepada petani apabila diperlukan Benih PTR selalu ada di pasaran Kualitas benih yang tersedia di pasar cukup baik Pupuk selalu ada di pasaran Kualitas pupuk yang tersedia di pasar cukup baik Pupuk yang tersedia di pasar berkualitas cukup baik Kualitas obat-obatan yang tersedia di pasar cukup baik
Jawaban
Top Two Boxes (%)
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
Ratarata
6
10
34
8
160
2,759
72
16
5
32
5
142
2,448
64
14
7
33
4
143
2,466
64
22
7
28
1
124
2,138
50
4
3
42
9
172
2,966
88
4
2
43
9
173
2,983
90
1
4
44
9
177
3,052
91
1
4
45
8
176
3,034
91
1
5
41
11
178
3,069
90
120 Lampiran 12 Deskripsi daya serap pasar hasil produksi Butir pernyataan/pertanyaan Banyak pedagang beras; Banyak pedagang yang menyediakan beras PTR Banyak pedagang yang bersedia membeli beras PTR dari petani Banyak pedagang menyediakan benih PTR dalam jumlah yang cukup Pedagang PTR memberikan harga yang wajar untuk PTR Pedagang PTR memberikan informasi cara-cara memanfaatkan PTR Pedagang PTR memberikan informasi tentang keberhasilan petani lain menanam PTR Tidak mengalami kesulitan untuk menjual hasil produksi PTR Harga jual PTR di pasaran sangat wajar
Jawaban
Rata-rata
Top Two Boxes (%)
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
3
4
37
14
178
3,069
88
17
14
21
6
132
2,276
47
12
11
31
4
143
2,466
60
16
18
23
1
125
2,155
41
6
15
32
5
152
2,621
64
14
15
20
9
140
2,414
50
18
19
16
5
124
2,138
36
7
14
29
8
154
2,655
64
8
18
24
8
148
2,552
55
121 Lampiran 13 Deskripsi budaya dalam kaitannya dengan PTR Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan Ada kegiatan pengajian rutin Ada kegiatan arisan Ada kegiatan kerja bakti Warga sering memanfaatkan acara pengajian untuk membicarakan tentang pertanian PTR sering dibicarakan pada saat pengajian rutin Warga sering memanfaatkan kegiatan arisan untuk membicarakan masalah pertanian PTR sering dibicarakan dalam kegiatan arisan Warga sering memanfaatkan kegiatan kerja bakti untuk membicarakan tentang pertanian PTR sering dibicarakan pada saat kegiatan kerja bakti Masyarakat sangat ramah terhadap tamu (seperti penyuluh, lurah, camat, dll) Kegiatan pertanian merupakan kegiatan yang turun temurun Anak muda cenderung ingin bekerja di sektor pertanian Anak muda cenderung ingin bekerja di sektor nonpertanian/formal
Top Two Boxes (%)
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
Ratarata
8
3
28
19
174
3,000
81
10
3
31
14
165
2,845
78
4
3
30
21
184
3,172
88
23
6
20
9
131
2,259
50
25
9
20
4
119
2,052
41
24
7
21
6
125
2,155
47
28
8
19
3
113
1,948
38
17
4
28
9
145
2,500
64
18
10
21
9
137
2,362
52
0
6
30
22
190
3,276
90
0
3
32
23
194
3,345
95
23
12
17
6
122
2,103
40
10
10
18
20
164
2,828
66
122 Lampiran 14 Deskripsi persepsi inovasi Butir pernyataan/pertanyaan
Jawaban
Top Two Boxes (%)
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
Ratarata
10
9
34
5
150
2,586
67
6
4
42
6
164
2,828
83
2
2
42
12
180
3,103
93
3
9
36
10
169
2,914
79
2
2
46
8
176
3,034
93
Menanam PTR akan mendatangkan keuntungan PTR sangat sesuai dengan kondisi lahan PTR mudah ditanam Akan mencoba menanam PTR Mudah melakukan pengamatan terhadap pertumbuhan PTR
Lampiran 15 Deskripsi diskusi Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan
Di sekitar tempat tinggal, sering dilakukan penyuluhan tentang PTR Sering membicarakan tentang PTR dengan sesama petani Sering membaca artikel/literatur/buku tentang PTR Sering mendengarkan siaran radio tentang PTR Sering melihat acara TV yang berkaitan dengan PTR
Ratarata
Top Two Boxes (%)
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
14
14
23
7
139
2,397
52
9
9
35
5
152
2,621
69
36
15
5
2
89
1,534
12
39
12
7
0
84
1,448
12
29
15
13
1
102
1,759
24
123 Lampiran 16 Deskripsi evaluasi input Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan
Mudah mencari benih PTR di sekitar tempat tinggal Mudah mendapatkan benih PTR dalam jumlah yang dibutuhkan Benih PTR relatif murah Benih PTR mudah disemai Bibit PTR mudah ditanam di lahan sawah Tidak banyak gulma di sekitar tanaman PTR Tidak banyak serangan serangga pada tanaman PTR Tidak banyak serangan keong mas pada tanaman PTR Tidak banyak serangan tikus pada tanaman PTR Tidak banyak serangan penyakit pada PTR Tidak memerlukan banyak obat-obatan saat menaman PTR Tidak memerlukan banyak pupuk saat menaman PTR PTR dapat lebih cepat dipanen
Top Two Boxes (%)
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
Ratarata
21
10
24
3
125
2,155
47
18 8
16 20
23 28
1 2
123 140
2,121 2,414
41 52
3
5
43
7
170
2,931
86
4
6
41
7
167
2,879
83
10
18
25
5
141
2,431
52
9
18
27
4
142
2,448
53
15
15
25
3
132
2,276
48
13
18
24
3
133
2,293
47
15
13
29
1
132
2,276
52
12
15
28
3
138
2,379
53
10
15
31
2
141
2,431
57
13
10
26
9
147
2,534
60
124 Lampiran 17 Deskripsi evaluasi output Butir pernyataan/pertanyaan Produksi PTR sangat memuaskan Beras PTR sangat disukai konsumen Harga beras dari PTR sangat menguntungkan Keuntungan yang didapat dengan menaman PTR sangat memuaskan
Jawaban
Ratarata
Top Two Boxes (%)
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
13
13
27
5
140
2,414
55
12
11
28
7
146
2,517
60
11
16
26
5
141
2,431
53
13
16
24
5
137
2,362
50
Lampiran 18 Deskripsi pengambilan keputusan Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan Di rumah pernah tersedia bahan media cetak tentang PTR Di rumah pernah tersedia PTR Pernah melakukan uji coba PTR pada 10-25% dari luas lahan Saat ini di rumah masih ada bahan media cetak tentang PTR Saat ini di rumah masih tersedia PTR Sudah melakukan uji coba lebih dari 1 kali
Top Two Boxes (%)
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
Ratarata
39
11
8
0
85
1,466
14
23
12
20
3
119
2,052
40
18
8
25
7
137
2,362
55
33
15
10
0
93
1,603
17
30
14
14
0
100
1,724
24
15
14
19
10
140
2,414
50
Top Two Boxes (%)
Lampiran 19 Deskripsi perubahan iklim Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan
Perubahan musim hujan dan musim kemarau telah terjadi Kejadian banjir tidak dapat diduga Kejadian kekeringan tidak dapat diduga
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
Ratarata
11
5
32
10
157
2,707
72
16
9
23
10
143
2,466
57
13
9
25
11
150
2,586
62
125 Lampiran 20 Deskripsi variabel ketahanan pangan Jawaban Butir pernyataan/pertanyaan Tidak pernah kekurangan pangan Memiliki simpanan bahan pangan (beras) untuk tiga bulan ke depan Memiliki ternak yang dapat dijual sewaktu-waktu Memiliki perhiasan yang dapat dijual sewaktu-waktu Memiliki tabungan uang di bank Memiliki kendaraan bermotor yang dapat dijual sewaktu-waktu Memiliki barang elektronik, seperti TV, kulkas, yang dapat dijual sewaktu-waktu Produksi PTR berlimpah sehingga dapat dijual sebagai bahan baku industri
Top Two Boxes (%)
Tidak Setuju
Kurang Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total
Ratarata
3
7
27
21
182
3,138
83
4
8
28
18
176
3,034
79
22
5
23
8
133
2,293
53
17
10
27
4
134
2,310
53
18
7
29
4
135
2,328
57
5
11
29
13
166
2,862
72
1
13
30
14
173
2,983
76
14
14
21
9
141
2,431
52
126 Lampiran 21 Manuskrip catatan lapang sebagai data penunjang penelitian (wawancara dengan non-petani) 1. Hasil wawancara dengan Ibu P – Kabid Program Dinas PErtanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Provinsi Jawa Barat Produktivitas padi di Jawa Barat sudah mencapain 7,4 (Ciherang)- 8,4 (Mekongga) ton/ha. Angka ini hasil Demfarm seluas 10 ha yang direkomendasikan oleh Pemda. Varietas unggul yang direkomendasikan adalah varietas Inpari Pasundan, Inpari Pakuan dan Inpari Parahyangan. Daerah rawan banjir yang terdapat di sepanjang Pantura (Subang, Karawang, Majalengka, Indramayu) direkomendasikan varietas Inpari 30. Secara formal, Inpari baru direkomendasikan baru tahun MH 2014/2015. Dasar pertimbangan petani dalam memilih dan menetapkan varietas yang ditanam adalah: rasanya sesuai selera, hasilnya tinggi dan laku dijual. Kondisi petani yang perlu menjadi pertimbangan dalam mensosialisasikan suatu varietas baru adalah: 1. Petani hanya akan percaya jika sudah melihat bukti keunggulannya; 2. Pedagang memiliki pengaruh yang sangat besar dalah menentukan pilihan petani; 3. Seringkali petani takut hasil produksinya tidak laku dijual. 2. Badan Pengelola Sertifikasi Benih (BPSB), Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Provinsi Jawa Barat Selama lima tahun terakhir PTR yang mengalami perkembangan signifikan untuk disertifikasi adalah varietas Inpari-30. Untuk varietas lain lebih banyak disertifikasi oleh BB Padi, SHS atau lembaga penangkar pemerintah. Khusus untuk varietas Inpari-30 banyak disertifikasikan oleh lembaga pemerintah, kelompok tani maupun penangkar swasta. Proses pemeriksaan benih yang ditangkarkan di lahan dilakukan oleh petugas BPSB minimal 5 kali ke lapangan. Yang diperiksa bermacam-macam sampai dengan kadar air dll. Perlakuan ini sama unuk proses produksi tiap level benih (putih, ungu, maupun biru). Saat ini petani banyak yang menanam padi berlabel ungu karena lebih yakin kemampuan tumbuhnya lebih tinggi. Pilihan ini dilakukan sekalipun harga lebih tinggi. Petani mengalami kekecewaan penggunaan benih berlabel biru yang banyak diberikan pemerintah sebagai benih bantuan. 3. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Jawa Barat Sosialisasi VUB-PTR baru dilaksanakan pada MT 2014-2015 dan kini belum panen. Sosialisasi dilaksanakan melalui program PTT dalam bentuk display di lahan: petani menggunakan 4 varietas sekaligus, Inpara 2, Inpara 5, Inpara 7 dan inpari 30 (Subang), ada perbedaan antar lokasi kabupaten lain. Lokasi display di Subang terdapat di kecamatan Blanakan, desa Langen Sari, Kelompok Sumber Tani. Tahun sebelumnya sudah ada program VSTG (varietas sawah tahan genangan). Varietas ini menggunakan Inpara 2, 5, dan 7 serta Inpari 13. Berdasarkan hasil usahatani dibanding Ciherang atau Mekongga memiliki kelemahan sbb: (1) profitas relatif rendah; (2) rasa nasinya kurang enak; dan (3) kurang laku kalau dijual.
127
Pengalaman kegagalan pada varietas inpari sebelumnya ada traumatis tersendiri bagi petani untuk mencoba varietas dengan nama inpari sekaalipun inpari baru yang diciptakan dengan mengurangi berbagai kelemahan inpari sebelumnya. Persoalan nama merk dagang varietas sangat mempengaruhi persepsi dan keputusan adopsi petani.
Informasi yang didapatkan dari Kabupaten Indramayu: Dinas Pertanian dan Petermakan - Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu terkesan kurang respon dengan penelitian yang akan dilakukan di wilayahnya (mungkin karena yang datang adalah seseorang dengan identifikasi “mahasiswa”). Setelah dilempar ke sana-sini baru “boleh” mengobrol dengan staff Seksi Produksi (hampir semua pejabat sedang tidak ada di tempat) yaitu Ibu S. Dari beliau didapatkan informasi bahwa Ibu T yaitu Kepala BPP Kecamatan Bangodua/Koordinator Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Bangodua, yang baru sekitar setahun berkarya di Kecamatan Bangodua, sudah kelihatan kemampuannya yang relatif lebih dibandingkan dengan rekan sekerjanya di kecamatan lain, misalnya dengan mengajak petani mengembangkan varietas baru selain Ciherang. Ajakan ini dilanjutkan dengan membawa petani widya wisata ke BBP Padi di Sukamandi yang kemudian memperkenalkan berbagai benih padi varietas baru yang diharapkan dapat menggantikan varietas Ciherang yang sudah mulai tidak tahan terhadap berbagai Organisma Pengganggu Tanaman (OPT).Kepala UPTD Kecamatan Bangodua adalah Ibu W. Ibu S menyarankan untuk menemui Bapak D, Ketua Kelompok Tani Mekarsari di Desa Malangsari. Bapak D merupakan petani termudam di kelompoknya tetapi diangkat menjadi ketua karena tingkat sosial ekonominya serta pendidikan dan kepimpinannya diatas anggota lainnya. Dengan telah dilakukan penanaman Varietas Inpari 30, sebenarnya Pak D telah memenuhi persyaratan untuk menjadi penangkar benih Inpari 30, kecuali satu yaitu Pak Dbelum pernah menjadi penangkar benih. - Di Kabupaten Indramayu, varietas Ciherang, Mekongga dan varietas favorit lainnya ditanam oleh lebih dari 90 persen petani padi, sedangkan padi varietas spesifik seperti Inpara/Inparisangat sedikit (5-10%). Varietas Ciherang sudah melewati masa jayanya dan sekarang ketahanannya terhadap OPT sudah jauh berkurang, untuk menghindari puso dan penurunan produksi dan produktivitas, mau tidak mau harus ada penggantian varietas. Saat ini banyak petani yang sudah mengetahui masalah tersebut, tetapi untuk mengganti dengan varietas yang cocok para petani masih kesulitan mencari benih, khususnya benih yang sudah diperkenalkan seperti Inpari 30. Benih padi yang dimaksud belum tersedia di kios2/di tingkat petani/lapang. - Data penggunaan benih tidak tersedia di Dinas Pertanian dan Peternakan (katanya mungkin ada di PT Sang Hyang Seri atau PT Pertani. - Produktivitas varietas Ciherang di tingkat lapangan/sawah petani sekitar 6-8 ton/ha, sehingga harus dicarikan varietas padi yang juga memberikan produktivitas yang serupa, dan ini sudah dimiliki oleh varietas Inpari 30. - Di Kabupaten Indramayu tidak pernah diperkenalkan varietas padi rawa (Inpara).
128 -
Data banjir/tahun di Kabupaten Indramayu (Sumber: Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu, berbagai tahun)
Luas sawah terkena banjir di Kabupaten Indramayu, 2008-2012 No. Tahun Luas lahan sawah terkena banjir (ha) 1. 2012 0 2. 2011 0 3. 2010 0 4. 2009 2984 5. 2008 4837 BPP Kecamatan Bangodua (Ibu Hj. T, Koordinator PPL) - Membawahi 8 desa hanya dengan lima orang PPL, tidak membuat Ibu T berkecil hati untuk memajukan sektor pertanian wilayah yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga tidak jarang Ibu T langsung turun tangan melaksanakan penyuluhan pertanian di wilayah kerjanya. IbuT baru sekitar setahun bekerja di Kecamatan Bangodua, sebelumnya beliau bekerja di Kecamatan Jatibarang (pengganti Ibu T di Kecamatan Jatibarang adalah Ibu Hj. DD. - Produktivitas rata-rata tanaman padi di Indramayu relatif sudah tinggi (di atas rata-rata nasional), yaitu 7-7.5 ton/ha. Oleh karena itu, introduksi varietas bari yang produktivitasnya lebih rendah pasti tidak akan terus diadopsi oleh petani. Begitu juga jika “trait” atau sifat lain yang tidak disenangi, misalnya introduksi varietas Inpari 10 yang pada bulir terdapat titik putih, sehingga menyebabkan patahan saat padi digiling menjadi tinggi. Selain itu pengalaman introduksi varietas padi Inpari 13 yang bulir padinya susah rontok saat dirontokan, juga menjadikan teruputusnya adopsi varietas tersebut oleh para petani. - Akhir tahun 2014, Ibu T mengajak para petani andalan Kecamatan Bango Dua melakukan widyawisata ke BBP Padi di Sukamandi. Hasilnya para petani tersebut dikenalkan dengan berbagai varietas padi unggul baru dan sekalian mereka juga membeli benih-benih padi unggulan baru tersebut sesuai dengan keinginannya. Para petani paling banyak tertarik dengan varietas padi Inpari 30. Benih Inpari 24 didapatkan dari Ibu TH, staf pengkaji BPTP Provinsi Jawa Barat. - Pada saat dilakukan kunjungan, sedang dilakukan arisan, yang biasanya dilakukan sebulan satu kali, untuk para petani andalan sekecamatan Bangodua yang lokasinya di Desa Malangsari. Dalam acara arisan ini, hadir Ibu Camat Bangodua, Ibu Sekretaris Bakorluh, Kepala BPP, dan Ka UPTD. Selain arisan, dibicarakan juga berbagai perkembangan dan masalah pertanian yang dihadapi petani. - Ibu Camat menekankan pentingnya sector pertanian bagi Kecamatan Bangodua, dan beliau mendukung berbagai pelaksanaan program pertanian yang memajukan pertanian yang menjadi andalan pendapatan bagi sebagian besar warganya. - Produktivitas Inpari 30 pada MK I/2014-2015 adalah 10-11,5 ton/ha. Produktivitas ini melebihi produktivitas yang sedang top seperti varietas Ciherang dan Mekongga. Permasalahannya adalah penyediaan benih yang
129
-
-
-
-
sangat terbatas. Benih Inpari 30 hanya ada di BBP Sukamandi dan belum tersedia di kios-kios saprotan. Permasalahan lain adalah Inpari 24, yang berupa beras merah sulit untuk mengikuti jalur pemasaran yang biasa sehingga diusahakan pemasaran satu pintu yaitu lewat BPP Bangodua. Dengan promosi berbagai kelebihan beras merah, pemasarannya cukup terjamin walaupun dengan harga Rp 10 000/kg. Selain itu, varietas Inpari 30 dan Inpari 24 memiliki keunggulan lain yaitu lebih tahan OPT seperti busuk leher (Varietas Ciherang sudah kurang tahan terhadap penyakit ini). Moda kamunikasi yang dipakai terutama adalah HP dan internet (dari 10 orang petani, tiga orang diantaranya memanfaatkan internet sebagai cara mencari informasi tentang pertanian/VUB PTR). Permasalahan lainnya adalah krang tertariknya generasi muda menekuni bidang pertanian (terjadi aging petani), sehingga tenaga kerja pertanian mendatangkan dari wilayah lain. Ini juga mengakibatkan kurang serentaknya pola tanam yang menjadikan penyebab banyak serangan OPT, terutama tikus dan busuk leher. Anak-anak muda lebih tertarik bekerja di luar wilayah (ke Jakarta, Tangerang, Bandung atau bahkan ke Luar Negeri). Rata-rata pemilikan lahan 0.25 ha dan penguasaan lahan lebih tinggi (0.35 ha) karena ada sistem sewa lahan, harga sewa lahan 35 ku padi/ha atau 5-6 ku padi/100 bata. Konversi luas: 1 ha = 700 bata; 1 bahu = 500 bata; jadi 1 bahu = 0.7143 Ha Sumber informasi lain untuk benih/obat-obatan adalah pedagang/TS/”sales” yang menjelaskan barang dagangannya jika terjadi pembelian. Setahun sekali para pemilik kios, TS/sales diundang dalam pertemuan dengan para petani.
Bapak D, Ketua Kelompok Tani Mekarsari 1(Innovator, luas lahan: 2,5 ha, tingkat pendidikan: SMA/lulus th 1996; Jumlah tanggungan keluarga 1 orang isteri, 2 orang anak, pengalaman Ustan: 14 th) o o o o -
Berlokasi di Desa Malangsari, Kecamatan Bangodua Jumlah Anggota 75 orang; Rata-rata pemilikan lahan: 500 bata (0.7143 ha) Lokasi lahan sebagian (10%) tergenang karena merupakan wilayah buangan air irigasi. Benih Inpari 30 membeli di BBP Padi Sukamandi dengan harga Rp 65000/5kg Ciri-ciri varietas Inpari 30 yang disukai petani: Bulir padi bulat panjang Beras tidak ada titik putihnya Batang padinya keras, besar pertanda tahan OPT Kulit padinya licin Sampai saat kunjungan dilakukan sudah ada 6 orang yang membarter untuk Inpari 30, masing-masing sebanyak 1-1,5 kuintal (kebutuhan benih 20 kg/ha). Pak D belum berminat menjdi penangkar karena masih ingin belajar agar ke depan lebih berhasil.
130 o o o o o o o o
Banyak penangkar yang nakal hanya mengganti merk saja tetapi isinya masih sama. Rendemen giling Inpari 30 adalah 63% Pemuda yang berpendidikan tinggi tidak mau bekerja di sektor pertanian tetapi lebih memilih bekerja di sektor industri, misalnya di Tangerang. Pak D bekerjasama dengan PT. Bumi Wiralodra, Indramayu yang memproduksi Agrodex yang dipakai untuk sarana usaha tani. Dari sepuluh bagian hasil: 2 bagian untuk konsumsi 3 bagian modal 5 bagian disimpan untuk keperlun sehari-hari dan menabung, Pola tanam: Padi – padi – bera Musim tanam ke-3 diberakan untuk memperbaiki tekstur tanah Rata-rata hasil: MH 10 ton/ha; MK 1 8 ton/ha; MK 2 < 5 ton/ha.
Catatan: Kepala BPP Karangampel, Bapak H. HJ
Bapak J, Ketua Kelompok Tani Sari Asih(Anggota kelompok: 20 orang, hasil Inpari: 11,5 ton/ha) - Sebelum menanam Inpari, menanam Inpari 10 tetapi ada titik putih di tengahnya sehingga tidak menarik. Warna beras dari Inpari 30 walaupun tidak terlalu putih tetapi menarik, mirip dengan beras Mekongga. Selain itu Inpari anakannya banyak, malainya panjang sehingga memberikan butir padi yang lebih banyak. - Pola tanamnya padi-padi palawija adalah kacang tanah, blewah, dan semangka. - Luasan tanah tergenang sekitar 40 ha di bagian barat. Untuk lahan yang tergenang biasa dipakai varietas Sabo, Pari Gober, dan Nengsih. - Pak J bermaksud menukar benih ini ke Pak DNI sebanyak 15 kg tapi belum tahu harganya Kabupaten Subang PD PADASUKA JAYA (Penangkar benih dan sekaligus pedagang beras): Pemilik PD Padasuka Jaya adalahBapak Haji A. Lokasi perusahaannya berada di Desa Bojong Jaya, Kecamatan Pustaka Jaya, Kabupaten Subang. Pengalaman berdagang beras selama 30-an tahun membuat Bapak H. A berpikir untuk sekaligus berperan dalam menggandakan benih (sebagai penangkar). Saat survei dilakukan, penggandaan benih sudah tiga musim tanam dilakukan. Merk dagang yang digunakan oleh Bapak H. A adalah Naga Phoenix, Mahkota, Cap Koi. Varietas padi akan sangat disukai petani, jika memenuhi persyaratan berikut: (1) produktivitas tinggi di atas 7 ton per ha;
131 (2) rasa nasinya enak (pulen); (3) patahan atau kehancuran saat digiling; (4) laku dijual dengan harga bersaing. Musim tanam MH 2014/2015 Mendisplay dan menangkar beberapa varietas yang banyak diminati petani di antaranya Ciherang, Mekongga, Sidenuk, Inpari 30 dll. Teknik tanam menggunakan sistem Legowo 50-25-25 dengan tapin benih 20 hari. Media yang banyak digunakan adalah HP, demplot, farmer education bekerjasama dengan perusahaan obat-obatan(Dupont), media langsung dengan petani. Produksi benih beragam varietas meliputi: Ciherang (lk 40%); mikongga (lk30%); IR64 (lk 10%), dan lain-lain (termasuk varietas tahan rendaman seperti Inpari 30. Pemasaran benih meliputi kabupaten di Jabar (Majalengka, Cirebon dll.) dan Jateng (Klaten). Penting: (1) ada traumatik petani terhadap nama Inpara/Inpari (2) Petani mempunyai persepsi buruk terhadap benih berlabel biru sehingga petani umumnya menanam benih berlabel ungu atau putih, sekalipun harganya lebih mahal (3) Varietas PTR dan Non PTR tidak nyata bedanya dalam daya tahan terhadap genangan di lapangan karena bila kurang air pun padi PTR tetap bisa tumbuh baik (4) Produksi penangkar di wilayah Subang banyak dijual keluar Subang, sehingga mengikuti jejak penangkar sulit untuk menemukan petani penanam Inpari 30. KECAMATAN BLANAKAN, berada di Subang Bagian Utara Memiliki luas sawah 5300 ha dengan 2000 ha di antaranya rawan banjir seperti sawah lebak. Indeks pertanaman (IP) 200. Persoalan banjir meluas dan semakin sulit ditanggulangi sejak dibangunnya Kali Malang yang posisinya lebih tinggi dari tambak ditepi pantai. Akhirnya tiap pasang, air tidak bisa kembali ke laut melainkan jatuh ke Kali Malang dan mengalir ke Sungai Blanakan yang menumpuk lumpur dan cenderung tergenang kembali ke sawah. Sebagian saat ini IP 100. Dasar pertimbangan petani dalam memilih varietas padi yang akan ditanam: (1) pertumbuhan; (2) Produksi; (3) penjualan atau pemasaran; (4) rendemen. Petani umumnya cenderung menjual sebagian besar (50%-90%) produksi padinya saat panen, ketergantungan petani pada pedagang, termasuk menentukan varietas. Sumber informasi utama petani tentang varietas adalah BPTP dan Katam (Kalender Tanam), namun penjelasan sangat terbatas sehingga bagi petani tidak jelas tentang kekuatan Inpari dan Inpara dalam genangan. Di lapangan petani menanam padi Inpari Chidenok? cek ke BB Padi. Bagaimana dengan Sidenuk?
132
Inpari Sidenuk: produktivitas lebih dari 8 ton per ha, usia 125 hari, nasi lebih lengket, tahan rendaman
BB Padi, Ibu SWY (57 th), Kepala Unit Pengelola Benih Sertifikasi, BB Padi Sukamandi 1. Inpara 4 dan Inpara 5 termasuk varietas bangus, tidak khusus untuk rawa melainkan lebak. 2. Ketan dan pagi gogo tidak disarankan bersertifikat karena varietas inirelatif tahan di sawah. 3. Penangkar adalah pebisnis yang tidak mengembangkan suatu varietas berdasarkan bagus tidaknya suatu varietas padi. Tetapi juga memikirkan luas atau tidaknya peluang mengembangkan dan segmen pasarnya. Ini menjadi salah satu hambatan varietas-varietas yang spesifik (gogo,MH, banjir dll). 4. Faktor penghambat lain pengembangan benih PTR adalah keterbatasan lahan perusahaan besar yang ditunjuk pemerintah seperti Sang Hyang Sri maupun Pertani yang secara rutin disubsidi untuk memproduksi benih. Kedua perusahaan ini tidak memiliki lahan penangkaran rawa. 5. Mandat utama BB Padi adalah memproduksi benih sumber (label kuning). Namun ada memproduksi benih berlabel biru yang diproduksi khusus untuk UPBS BPTP. Benih label putih sebagian didistribusikan ke BBI dan BBU. BB Padi akan berusaha memenuhi permintaan benih, khususnya putih dan ungu jika ada pemesanan jauh hari sebelumnya. 6. Kondisi di lapangan, sebagian besar petani sudah tidak percaya menggunakan benih berlabel biru. Hal ini disebabkan banyak benih yang diberikan petani lewat program Bantuan Langsung Benih Unggul(BLBU) yang pengadaan benihnya sebagian kurang terkontrol akibat jumlah yang dibutuhkan dalam jumlah besar. Penyebab lainnya, seringkali produsen benih besar seperti Sang Hyang Seri (SHS) dan Pertani memproduksi benih berlabel biru dalam jumlah besar, tatkala tidak habis, benih ungu pun dijual langsung kepada petani akibatnya benih label biru kurang laku. 7. Untuk memproduksi benih-benih komersial sebaiknya sudah harus ada daftar perusahaan dari BPSB Bandung. Sedangkan benih non komersial yang diberikan kepada BPTP hanya untuk didisplay. Keperluan pengembangan seharusnya sudah ditangkarkan oleh BPTP sendiri. 8. Dalam perhitungan BB Padi, jika proses penangkaran dan penanaman berlangsung normal maka benih berlabel kuning 250 kg dan akan menghasilkan benih berlabel putih yang cukup, dan ungu cukup 2 ton. Realitanya saat ini BB padi mengeluarkan benih berlabel kuning 13 ton tidak cukup. 9. Kepercayaan dan keputusan petani menggunakan level label benih sangat beragam. Petani Jawa Timur sebagian besar hanya/lebih percaya menggunakan benih berlabel ungu, sedangkan petani Sumatera Utara masih konsisiten dan percaya menggunakan benih berlabel biru. Secara substansi, jika sistem usahatani dilakukan dengan baik, sebenarnya antar level label tidak terdapat perbedaan tingkat kualitas maupun kuantitas yang signifikan. 10. Saat ini padi varietasi Ciherang masih menduduki posisi tertinggi ditanam petani. Namun varietas ini sangat rentan terhadap penyakit Hawar Daun dan bakteri sehingga jika ditanam dalam skala yang luas, serangan penyakit akan
133 menyebabkan kegagalan panen yang bisa mengancam ketersediaan pangan (beras nasional). Ini yang mendorong sedikit demi sedikit varietas padi dilapangan harus digeser ke varietas yang lebih tahan/baru. Hingga saat ini varietas Ciherang mencakup 38% perberasan di Indonesia. 11. Di lapangan, permintaan benih sangat ditentukan oleh pelaku pasar khususnya pedagang gabah. Varietas baru sering disebut oleh pedagang atau penggiling padi ber rendemen rendahh sehingga mereka lebih bersedia membeli varietas padi yang lama (Ciherang, Mikongga, IR64). Selisih harga sedikit dari pedagang sangat mempengaruhi keputusan petani dalam memilih varietas padi yang ditanam selanjutnya. 12. Varietas padi baru seperti Inpari 28 (dat tinggi) dan varietas lain yang spesifik ekosistem banyak terhambat pada persoalan penangkar.
134 Lampiran 22 Daftar Istilah Balitpa= Balai Penelitian Tanaman Padi BB Padi= Balai Besar Penelitian Padi BBI= Balai Benih Induk BBU= Balai Benih Umum BLBU= Bantuan Langsung Benih Unggul BPBP= Balai Pengembangan Benih Padi BPP= Balai Penyuluhan Pertanian BPS = Badan Pusat Statistik BPSB= Badan Pengelola Sertifikasi Benih BPTP= Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTPH = Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Holtikultura BS= breeder seeds BUMN= Badan Usaha Milik Negara CBN= Cadangan benih nasional ERF = Ethylene Response Factor ES= Extention Seeds FAO= Food and Agriculture Organization FS= fundamental seeds GHF = Global Humanitarian Forum Hipa= Hibrida padi Inpago= Inbrida Padi Gogo Inpara= Inbrida Padi Rawa Inpari= Inbrida Padi Irigasi IPCC= Intergovermental Panel on Climate Change IRRI = International Rice Research Institute Kopkarlitan= Koperasi Karyawan Penelitian Tanaman Pangan MH= Musim Hujan MK= Musim Kemarau OLS = Ordinary Least Squares OPT= Organisme Pengganggu Tanaman PBB= Perserikatan Bangsa-Bangsa PPE= Product Performance Expectancy PPL= Penyuluh Pertanian Lapangan PTR = Padi Toleran Rendaman PTT= Pengelolaan Tanaman Terpadu QTL= Quantitative Trait Loci R&D= Research and Development SDM= Sumber Daya Manusia SEM= Structural Equation Modeling SmartPLS= Smart partial least square SMCR = Source, Message, Channel, dan Receiver SS= Stock Seeds STI= Social and Technical Influence STRV = Submergence-tolerant rice varieties Tupoksi= Tugas Pokok dan Fungsi UPBS= Unit Pengelola Benih Sumber
135 UPTD= Unit Pelaksana Teknis Daerah VSTG= Varietas Sawah Tahan Genangan VUB= Varietas Unggul Baru WHO= World Health Organization
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 23 Juni 1959, merupakan anak ke-11 dari 17 bersaudara dari pasangan Rd. Syafe’i Gandasoemita dan Nyi Mas Awom Soemariah,Sekolah Menengah diselesaikan penulis di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Pertanian (Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber daya Keluarga, 1983) dan gelar Master of Sains (Jurusan Sosiologi Pedesaan, 1997) dari Institut Pertanian Bogor. Sejak 1984, penulis bergabung di PSEKP (saat itu masih bernama PAE) dan menjadi abdi negara sejak 1985. Tahun 1999-2003, penulis menjadi Koordinator Nasional Program Analisis Sosial Ekonomi dan Gender. Publikasi karya ilmiah dari hasil penelitian ini sudah diterbitkan yaitu: (1) Suhaeti, RN, AVSH Hubeis, T Pranadji, M Sarma and A Saleh. 2015. Innovation Communication of Submergence Rice Variety and Effect of External Factors on Innovation Diffusion. International Journal of Research in Agriculture and Food Science, Dec 2015, Vol.3 N0. 04; (2) Suhaeti, RN, AVSH Hubeis, T Pranadji, M Sarma dan A Saleh. 2015. http://www.ijsk.org/ijrafs Volume-3-Issue-4. Komunikasi Inovasi Padi Toleran Rendaman untuk Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan Keluarga Petani. Dalam proses publikasi pada Jurnal Agro Ekonomi, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Penulis menikah dengan Dr Ir Akmadi Abbas, MEng.Sc. dan telah dikaruniai empat orang putera-puteri yaitu: Andhika Anjaresta, Viona Phrynandya Therestriany, Revaz Mahandhika Jagatlaga, dan Dyadra Mariana Elvareta; seorang menantu yaitu Putri Maidora serta dua orang cucu yaitu Amanda Rinandra Allysha Akmadi dan Ananda Satria Nayottama Akmadi.