ANTISIPASI ARSITEK DALAM MEMODIFIKASI IKLIM MELALUI KARYA ARSITEKTUR Tri Harso Karyono Jurnal Sains dan Teknologi EMAS – Elektro Mesin Arsitektur Sipil, Vol. 16, No 3, Agustus, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Indonesia
Manusia hidup dalam alam
ini memiliki kemampuan beradaptasi terhadap berbagai jenis dan
variasi iklim. Meskipun demikian adaptasi yang sifatnya alamiah dalam pengertian tanpa membutuhkan peralatan tambahan atau pakaian khusus hanya dapat dilakukan dalam rentang yang relatif sempit - dibanding rentang variasi iklim yang lebar. Sebagai contoh, manusia dengan pakaian normal dan mengerjakan kegiatan ringan hanya akan merasa 'nyaman' pada suhu ruang antara 15oC (mereka yang tinggal di iklim dingin) hingga 30oC (mereka yang tinggal di iklim tropis). Sementara itu variasi suhu luar berkisar kurang lebih antara - 45oC hingga + 45oC. Pada situasi semacam inilah bangunan diharapkan dapat berperan untuk memodifikasi iklim luar yang ekstrim misalnya - 45oC menjadi 15oC atau dari 45oC menjadi sekitar 30oC sesuai dengan kebutuhan kenyamanan tubuh manusia. Faktor Iklim dan Variasinya Ada beberapa faktor iklim yang selalu dibicarakan atau dipertimbangkan arsitek dalam kaitannya dengan perancangan bangunan. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah: presipitasi (hujan, salju), radiasi matahari, suhu udara, kelembaban dan angin atau kecepatan udara. Tinggi rendahnya faktor iklim tersebut sangat bervariasi antara satu dan lain tempat di dunia ini. Sebagai gambaran, angka presipitasi dapat bervariasi dari 0 hingga 600 mm/bulan. Di negara Eropa presipitasi umumnya berkisar sekitar 100-150 mm/bulan, sedangkan di Indonesia secara umum lebih tinggi dengan rata-rata di atas 150 mm/bulan. Meskipun demikian distribusi angka tersebut cukup berbeda, untuk Indonesia jumlah curah hujan tidak merata pada setiap bulan. Pada bulan September hingga Maret sebagian besar wilayah Indonesia memiliki angka curah hujan lebih tinggi dibanding bulan-bulan musim kemarau, antara April hingga Agustus. Sementara itu di negara sub tropis, distribusi turunnya air, dalm bentuk hujan atau salju, cukup merata dan secara umum tidak cukup besar sepanjang tahun. Dengan kondisi semacam ini bangunan di negara sub tropis tidak dirancang untuk menahan hujan lebat, sehingga tidak diperlukan kanopi yang menjorok jauh keluar sebagaimana dijumpai di daerah tropis lembab seperti Indonesia. Dengan kanopi pendek atau tanpa kanopi, radiasi matahari akan lebih mudah mencapai dinding serta menembus bidang kaca. Hal semacam ini diperlukan bagi bangunan di negara beriklim sub tropis atau dingin untuk menaikkan suhu ruang, sementara di Indonesia diperlukan kanopi yang panjang.
1
Faktor iklim lain, seperti radiasi matahari juga bervariasi. Secara umum jumlah radiasi matahari semakin berkurang di lokasi yang semakin jauh dari ekuator. Suhu udarapun demikian, semakin jauh dari ekuator, suhu udara rata-ratanya semakin rendah. Dalam hal kelembaban, angka tertinggi di dunia dijumpai di daerah tropis lembab seperti Indonesia. Sedangkan variasi kecepatan angin umumnya berbanding terbalik dengan kelembaban. Semakin tinggi kelembaban, kecepatan angin semakin rendah. Angin di daerah tropis lembab umumnya memiliki kecepatan rendah di banding daerah sub tropis. Meskipun variasi iklim sangat sangat besar, manusia hanya memerlukan sebagian kecil rentang variasi tersebut untuk menyelenggarakan aktifitas hidupnya secara nyaman. Hanya dalam rentang suhu antara 15o hingga 30oC manusia dapat melakukan aktifitas secara nyaman dengan pakaian normal. Hanya dalam kecepatan angin di bawah 1,5 m/s karyawan/wati di kantor dapat bekerja secara baik tanpa merasa ada gangguan angin, dan hanya dalam kelembaban antara 50% hingga 70% manusia dapat nyaman tanpa harus merasa kulitnya terlalu kering atau basah. Bangunan sebagai Modifikator Iklim Selain sebagai sarana perlindungan fisik terhadap gangguan luar, baik manusia lain atau binatang, bangunan dengan seluruh selubungnya (atap, dinding dan lantai) berfungsi sebagai alat menetralisir atau memodifikasi iklim luar tidak nyaman, yang tidak dikehendaki menjadi iklim nyaman sesuai dengan kebutuhan pengguna bangunan. Dengan kata lain salah satu fungsi utama bangunan adalah sebagai alat pemenuhan kenyamanan psikis maupun fisik bagi pengguna bangunan.
Sumber: Tri H. Karyono
Gambar 15.1. Rumah penduduk di desa Benu, Kabupaten Kupang, Timor: Bangunan sebagai alat memodifiaksi iklim dan lingkungan setempat agar layak digunakan sebagai tempat bernaung
2
Ada empat aspek kenyamanan fisik yang secara mendasar diperlukan manusia dari bangunan: kenyamanan ruang, kenyamanan penglihatan, kenyamanan pendengaran/suara serta kenyamanan termal. Dari keempat aspek kenyamanan tersebut, kenyamanan termal merupakan aspek yang paling banyak hubungannya dengan hampir semua faktor iklim. Kenyamanan termal dipengaruhi oleh empat faktor iklim: suhu udara, suhu radiasi, kelembaban dan kecepatan angin, serta dua faktor individual: jenis aktifitas - berkaitan dengan tingkat metabolisme tubuh, serta jenis pakaian yang dikenakan seseorang. Aspek kenyamanan termal sesungguhnya banyak mendominasi pertimbangnan arsitek dalam merancang bangunan. Antispasi Manusia (Arsitek) dalam Memodifikasi Iklim melalui Bangunan/ Arsitektur Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan manusia dalam memodifikasi iklim luar yang tidak nyaman menjadi nyaman. Meskipun demikian berbagai macam cara atau teknik tersebut dapat disederhanakan menjadi dua: teknik mekanisasi dan teknik pemanfaatan energi matahari. Teknik mekanisasi didefinisikan sebagai segala cara modifikasi iklim yang menggunakan energi listrik yang tidak berasal dari energi matahari. Dalam teknik mekanisasi, seperti halnya penempatan mesin pengkondisian udara (AC) dan mesin pemanas (heater), arti bangunan sebagai alat untuk memodifikasi iklim menjadi lebih sederhana. Keberhasilan modifikasi lebih terletak pada peralatan mekanik dibanding dengan rancangan bangunan itu sendiri, meskipun kita masih dapat berbicara lain jika hal tersebut lalu dikaitkan dengan aspek penggunaan energi dalam bangunan tersebut. Dalam kaitan ini, rancangan bangunan yang baik adalah bangunan yang dapat memberikan kenyamanan bagi penghuni tanpa perlu menggunakan banyak energi. Pada sisi lain, teknik modifikasi iklim dapat dilakukan dengan memanfaatkan energi matahari. Karena hampir semua faktor iklim yang ada pada permukaan bumi ini ditimbulkan oleh matahari, sehingga faktor-faktor iklim seperti halnya angin juga dianggap sebagai bagian dari energi matahari. Teknik pemanfaatan energi matahari untuk memodifikasi iklim dalam bangunan menjadi sangat populer belakangan ini. Para arsitek di negara maju (Eropa dan Amerika Utara terutama) mulai sadar akan pentingnya energi ketika negara Arab melancarkan embargo minyak tahun 1973[5]. Ketergantungan energi listrik yang berasal dari minyak mulai dipikirkan untuk dikurangi pada semua sektor termasuk bangunan. Kemudian disusul isu pemanasan bumi (global warming) sekitar tahun 1980-an kembali meyakinkan arsitek bahwa pemakaian energi yang berasal dari minyak bumi harus dikurangi. Akibatnya adalah munculnya demikian banyak penelitian pada sektor bangunan yang berupaya untuk mengurangi pemakaian energi minyak
3
bumi dalam bangunan, tanpa harus mengorbankan kebutuhan manusia akan kenyamanan. Alternatif pemanfaatan energi matahari dalam bangunan menjadi isu sentral di mana-mana, terutama di negara-negara maju. Pemanfaatan energi matahari untuk mencapai kenyamanan dalam bangunan dapat dibagi dalam dua kelompok: pemanfaatan pasif dan pemanfaatan aktif. Pemanfaatan pasif dimaksudkan sebagai usaha pencapaian kenyamanan dalam bangunan melalui cara-cara di mana tidak perlu dilakukan upaya merubah energi matahari menjadi energi listrik (yang kemudian akan digunakan bagi mesin pendingin/pemanas atau lampu penerang). Sedangkan pemanfaatan aktif adalah sebaliknya, energi matahari dirubah lebih dahulu menjadi energi listrik (dengan menggunakan solar cell), baru kemudian digunakan sebagai alat untuk pencapaian kebutuhan kenyamanan bagi penghuni bangunan, seperti halnya untuk mesin pendingin, pemanas, penerangan serta alat lainnya. Pemanfaatan energi matahari secara pasif Cahaya matahari terdiri dari dua komponen utama: cahaya itu sendiri serta panas. Dalam teknik pemanfaatan energi matahari secara pasif, umumnya daerah yang bersuhu rendah akan memanfaatkan kedua komponen tersebut, baik cahayanya bagi penerangan alami ataupun panasnya untuk pemanasan ruang. Sedangkan untuk daerah dengan suhu udara yang relatif tinggi seperti halnya Indonesia, kecenderungan mengambil panas matahari untuk keperluan kenyamanan dalam bangunan hampir tidak pernah dilakukan. Manusia atau arsitek cenderung hanya memanfaatkan cahaya matahari bagi keperluan penerangan alami. Untuk mengambil cahaya matahari tanpa mengikutkan panasnya, pemanfaatan 'cahaya matahari tidak langsung' merupakan salah satu alternatif yang baik. Bagi daerah dengan suhu udara rendah, bangunan cenderung diorientasikan ke arah datangnya matahari. Bagi daerah yang terletak pada belahan bumi utara, bangunan dihadapkan ke arah selatan sedangkan untuk daerah di belahan bumi selatan sebaliknya dihadapkan ke arah utara. Hal ini dimaksudkan untuk menangkap sebanyak mungkin cahaya matahari terutama pada musim dingin. Penempatan kaca pada dinding-dinding yang sesuai dengan arah datangnya cahaya matahari juga sangat membantu pemanasan ruang dalam bangunan, akibat dari terjadinya efek rumah kaca. Sementara untuk daerah dengan suhu udara yang sudah tinggi seperti Indonesia, efek rumah kaca perlu dihindari terjadi dalam bangunan, karena akan semakin menjauhkan bangunan dari keadaan nyaman suhu. Kaca-kaca pada dinding bangunan sebaiknya diletakkan pada sisi utara-selatan untuk mengurangi sebanyak mungkin jatuhnya cahaya matahari langsung pada bidang-bidang kaca tersebut. Tanpa cahaya matahari langsung, ruang-ruang dalam bangunan masih akan tetap menerima penerangan alami, karena sifat cahaya mayahari yang diffuse (menyebar). Seandainyapun bidang-bidang kaca harus diletakkan pada sisi
4
datangnya cahaya matahari langsung, penghalang (shading devices) perlu digunakan untuk melindungi kaca dari sengatan cahaya matahari langsung untuk mencegah terjadinya efek rumah kaca. Hal ini terutama sangat ditekankan bagi bangunan-bangunan tinggi di mana efek pohon sebagai penghalang cahaya matahari tidak dapat diharapkan lagi terjadi pada jenis bangunan ini. Pemilihan jenis serta warna material selubung bangunan juga akan banyak berpengaruh pada pencapaian kenyamanan dalam bangunan. Secara sederhana, semakin berat material (per-satuan luas), semakin banyak panas yang mampu diserap (ditahan), sehingga semakin lambat panas dari luar yang akan ditransmisikan ke dalam bangunan. Material dengan koefisien transmisi tinggi akan cepat mentransmisikan panas dari luar ke dalam bangunan dan sebaliknya. Warna material luar bangunan juga banyak pengaruhnya pada proses perpindahan panas dari luar ke dalam bangunan. Warna-warna gelap cenderung akan menyerap lebih banyak panas dibanding warna terang, yang cenderung akan memantulkan radiasi matahari lebih banyak. Teknik lain yang dapat dikategorikan pemanfaatan energi matahari secara pasif adalah teknik pendinginan malam hari. Ini dapat dilakukan terutama apabila perbedaan suhu antara siang dan malam cukup besar. Secara tradisional teknik ini sudah banyak diterapkan di daerah beriklim tropis kering di daerah Timur Tengah dengan perbedaan suhu udara antara siang dan malam yang besar. Secara sederhana mereka memasang menara-menara penangkap angin yang dibuka pada malam hari. Angin yang ditangkap lalu didistribusikan ke dalam bangunan, sesuai dengan kebutuhan. Belakangan ini teknik tersebut banyak dicobakan di negara-negara Eropa Barat. Konferensi mengenai pemanfaatan energi matahari, yang diprakarsai oleh Ikatan Solar Energi se Dunia tahun lalu di London memperlihatkan hasil yang menggembirakan terhadap uji coba bangunan-bangunan yang dirancang dengan teknik pendinginan malam hari (musim panas) ditambah dengan pemanfaatan efek rumah kaca (musim dingin). Penghematan energi antara 15% hingga 75% dapat dicapai dari berbagai rancangan bangunan yang dicobakan dengan kedua teknik tersebut [6]. Teknik pendinginan malam hari ini tampaknya relevan untuk diteliti dan dicobakan di Indonesia. Dengan rancangan yang baik, tidak mustahil kita dapat mencapai suhu yang nyaman pada siang hari tanpa menggunakan mesin pengkondisi udara di dalam bangunan. Modifikasi Kelembaban Udara secara Alami Teknik lain yang juga bersifat pasif adalah teknik modifikasi kelembaban udara. Untuk memodifikasi udara luar yang terlalu kering (RH < 50%), arsitek biasanya membuat air mancur atau air muncrat yang diletakkan dalam bangunan. Selain untuk menaikkan kelembaban, keberadaan air tersebut akan menurunkan suhu udara disekitarnya karena terjadi penyerapan panas pada proses penguapan air. Teknik ini biasanya diterapkan di daerah tropis kering.
5
Meskipun demikian, kesulitan teknik ini adalah bahwa pada daerah yang beriklim tropis kering umumnya tidak mudah diperoleh air. Di lain pihak, untuk daerah dengan iklim tropis lembab basah seperti Indonesia diperlukan teknik sebaliknya, yaitu teknik pengeringan udara (penurunan kelembaban). Menurut nomogram Houghton dan Yaglou [2], manusia Indonesia dapat mencapai kenyamanan termal pada temperatur sekitar 30oC, apabila kecepatan angin berada di bawah 1,5 m/s, dan kelembaban berkisar antara 50-60%. Faktor yang sulit dicapai untuk kondisi Indonesia adalah bagaimana menurunkan kelembaban udara hingga di bawah 60% secara alami. Seorang peneliti Eropa pernah melakukan penelitian (di daerah Tropis) terkait teknik menurunkan kelembaban secara alami. Teknik ini dicobakan dengan menggunakan kisi-kisi penyerap air (tidak disebut bahan yang digunakan, kemungkinan Silika). Dalam penelitian tersebut dibuat model bangunan ukuran kotak dengan dimensi sekitar 3m x 3m x 3 m, di mana pada sisi timur dan barat diberi bukaan yang kemudian dipasang kisi-kisi penyerap air. Pada pagi hari, sisi timur model ini akan terkena sinar matahari, sementara sisi barat tidak. Sisi barat yang tidak terkena matahari akan memiliki suhu yang lebih rendah, akibatnya akan terjadi arus angin dari barat menerobos model menuju sisi timur. Karena angin masuk melalui kisi-kisi penyerap air, udara yang masuk dalam model akan menjadi lebih kering, atau kelembabannya turun. Kisi-kisi penyerap air di sisi barat lama kelamaan akan jenuh air karena menyerap air dari udara. Siang hingga sore hari, matahari akan berada di sisi barat. Panas matahari akan memanasi kisi-kisi di sisi barat yang jenuh air. Pemanasan matahari di sisi ini membuat kisi-kisi barat kembali kering, sementara arus angin terjadi dari arah berlawanan dari sisi timur ke barat. Secara bergantian kisi-kisi di sisi timur akan menjadi jenuh air. Udara yang masuk dari sisi timur tersebut kembali dikeringkan oleh kisi-kisi penyerap air di sisi tersebut sehingga udara di dalam model menjadi lebih kering. Dalam penelitian tersebut dilaporkan bahwa kelembaban dapat turun hingga mencapai 40%. Secara teoritis, dengan menggunakan teknik ini kelembaban udara bangunan di Indonesia dapat turun di bawah 60%, dan memungkinkan kenyamanan termal dicapai tanpa menggunakan mesin pengkondisian udara, AC, di dalam bangunan.
Penanaman Pohon Selain berfungsi sebagai penghasil oksigen, pohon juga berperan sebagai 'pembersih' (penyerap) CO2 dan SO2 dalam udara serta oksida logam berat dalam air. Pada sisi lain keberadaan pohon secara langsung atau tidak akan menurunkan suhu udara di sekitarnya, karena radiasi panas matahari akan diserap oleh daun untuk proses fotosintesa dan penguapan. Penelitian Parker [7] di negara bagian Florida US memperlihatkan angka penghematan energi hingga 50% per-hari untuk beban pengkondisian udara bangunan yang
6
disebabkan oleh penurunan suhu udara akibat penanaman pohon dan perdu yang memadai di tempat-tempat yang dianggap tepat dan berpotensi. Penelitian Akbari dan kawan [8] di beberapa kota besar di Amerika juga memperlihatkan hasil yang positif terhadap penanaman pohon di sekitar rumah-rumah tinggal. Dalam penelitian tersebut diperoleh angka penghematan energi hingga 30% untuk AC yang disebabkan oleh penurunan suhu akibat penanaman tiga batang pohon pada setiap rumah yang diteliti.
Sumber: Tri H. Karyono
Gambar 15.2. Salah satu jalan di permukiman di kota Kupang, NTT: Sejumlah pohon besar memayungi jalan, menurunkan suhu kawasan yang tinggi
Perkerasan Permukaan Tanah Lippsmeir memperlihatkan suatu hasil penelitian di Afrika Selatan, bahwa pada ketinggian 1 m di atas permukaan beton suhu udara menunjukkan sekitar 4 oC lebih tinggi dibanding suhu di ketinggian yang sama di atas rumput. Perbedaan ini menjadi sekitar 5oC apabila rumput terlindung dari panas matahari. Dari informasi di atas, arsitek perlu menyadari bahwa permukaan tanah, halaman, jalan, dan taman yang diberi perkerasan akan berpengaruh kenaikkan suhu udara di sekitarnya. Suhu udara di dalam bangunan akan naik apabila ruang terbuka disekitar bangunan diperkeras dengan aspal atau beton tanpa pelindung pohon. Fenomena ini dimanfaatkan arsitek di negara beriklim sedang atau dingin. Dengan menutup tanah dengan material keras suhu kawasan akan meningkat, dan ini diharapkan bagi mereka yang berada di daerah beriklim dingin. Ambang kenyamanan termal manusia akan terdekati ketika suhu naik. Namun
7
sebaliknya, langkah semacam ini harus dihindari di daerah beriklim tropis seperti Indonesia, karena ambang kenyamanan termal justru akan semakin dijahui..
Pemanfaatan Energi Matahari secara Aktif Pemanfaatan sinar matahari secara aktif biasanya dilakukan dengan menggunakan sel surya. Sel surya merupakan komponen yang berfungsi merubah sinar matahari menjadi energi listrik. Dengan menggunakan sel surya, sebagian kebutuhan listrik bangunan dapat dipenuhi dari energi matahari tersebut. Salah satu bangunan yang menggunakan sel surya untuk pemenuhan sebagian kebutuhan energinya adalah Pavilion Inggris di Expo Seville, Spanyol, 1992 yang dirancang oleh Nicolas Grimshaw. Panel-panel sel surya yang diletakkan hampir pada seluruh atap bangunan dengan dimensi sekitar 40 x 60 m2 menyumbang sekitar 24% kebutuhan energi bangunan. Salah satu teknologi baru dalam photovoltaic adalah rancangan genting solar, di mana sel surya langsung dipasang terintegrasi dengan lembaran genting sehingga fleksibel dalam pemasangan. Genting ini dipasang di Bologna, Italy, memiliki beberapa keuntungan, selain sebagai penutup atap dan menghasilkan listrik, juga menghasilkan panas untuk musim dingin
Sumber: http://www.pienosole.it/images/tegola_solare.jpg
Gambar 15.3. Tegasolare: genting tradisional yang dilapisi dengan photovoltaic panel (4 cells) di Bologna, Italy, menghasilkan listrik juga panas
8
Akbari, H. et al (1990), Summer Heat Island, Urban Trees and White Surfaces, ASHRAE Transactions, pp. 1381-1388. Architect's Journal, 13 July 1994. Humphreys, MA (1976), Field Studies of Thermal Comfort Compared and Applied, Building Services Engineering, vol. 44, pp.6 - 23. ISO (1994), International Standard 7730 - 1994, Moderate Thermal Environments Determination of the PMV and PPD Indices and Specification of the Conditions for Thermal Comfort, ISO, Geneva. Karyono, T.H. (1995), Arsitektur dan Energi, Kompas, 24/9/1995. Karyono, T.H. (1996), Arsitektur, Kenyamanan Suhu dan Energi, paper disampaikan dalam Kuliah Terbuka Jurusan Arsitektur Unika Soegrijapranata, Semarang, 9/9/ 1996. Koenigsberger, et al (1973), Manual of Tropical Housing and Building Part I Climatic Design, Longman Group, London, UK. Lippsmeier, G., et al (1980), Tropenbau Building in the Tropics, Germany Verlag, Muenchen. Parker, J. (1981), Uses of landscaping for energy conservation, Florida International Univ. and the Florida Energy Office. The Solar Energy Society (1995), International Conference on Putting Passive Solar into Practice, UCL, 5th May 1995.
9