TEMU ILMIAH IPLBI 2015
Arsitektur tanpa Arsitek & Arsitek tanpa Arsitektur : Sebuah Probabilitas Futuristik Octavianus H.A. Rogi Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sam Ratulangi.
Abstrak Permasalahan dalam artikel ini ialah visi futurustik tentang peluangdegradasi otoritas arsitek yang tersarikan dalam dua frase awal judul tulisan. Frase “arsitektur tanpa arsitek” menyiratkan ironi tentang keberadaan karya arsitektural yang hadir tanpa campur tangan arsitek danfrase “arsitek tanpa arsitektur” adalah konsekuensi resiprokal frase pertama yang memuat ironi tentang arsitek tanpa karya.Tujuan penulisan ialah untuk mengungkap argumentasi terhadap visi di atas yang dielaborasi melalui sejumlah kajian terhadap informasi yang termuat dalam berbagai literatur.Kajian analitis dilakukan secara deskriptif pada tiga pokok argumentasi. Kajian pertamaterkait denganhistorikal kembang susut otoritas arsitek yang bercorak delegatif. Kajian kedua ialahtinjauan otoritas arsitek dalam teori proses desain. Kajianketiga terkait dengan dampak introduksi teknologi komputer dalam proses desain arsitektur yang berpotensi merombak simbiosis tradisional arsitekklien. Hasil kajian menunjukkan otoritas arsitek sangat rentan terdegradasi terkait dengan konteksnya yang delegatif dan tergantung pada perkembangan perilaku kalangan klien sebagai sumberotorisasi peran arsitek. Kata-kunci : arsitek, arsitektur, degradasi, futuristik, otoritas
Pengantar Frase “arsitektur tanpa arsitek” merupakan frase yang telah sering kita dengar atau baca, yang biasanya diasosiasikan dengan salah satu atribut dari arsitektur vernakular. Dalam tulisan ini frase tersebut menunjuk pada suatu fenomena kontemporer yang ironis di mana sejumlah objek lingkungan binaan yang memiliki nilai arsitektural signifikan, justru hadir tanpa campur tangan langsung dari arsitek profesional. Fenomena ini dalam visi penulis menyiratkan indikasi adanya degradasi otoritas kalangan arsitek. Dalam konteks futuristik, jika fenomena ini berlanjut dengan intensitas dan skala yang makin meluas, maka ironi dalam frase kedua judul tulisan ini yaitu “arsitek tanpa arsitektur”,yang merupakan konsekuensi resiprokal frase pertama,dikhawatirkan akan menjadi suatu kenyataan.
Tujuan penulisan ini ialah untuk mengungkap argumentasi terhadap visi di atas yang dielaborasi melalui sejumlah kajian terhadap informasi yang termuat dalam berbagai literatur. Kajian analitis dilakukan secara deskriptif pada tiga pokok argumentasi. Kajian pertama terkait dengan historikal kembang susut otoritas arsitek yang bercorak delegatif. Kajian kedua ialah tinjauan otoritas arsitek dalam teori proses desain. Kajian ketiga terkait dengan dampak introduksi teknologi komputer dalam proses desain arsitektur yang berpotensi merombak sim-biosis tradisional arsitek-klien. Hasil kajian menunjukkan otoritas arsitek rentan terdegradasi terkait dengan konteks-nya yang delegatif dan tergantung pada perkembangan perilaku kalangan klien sebagai sumber otorisasi peran arsitek. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | E 001
Arsitektur Tanpa Arsitek & Arsitek Tanpa Arsitektur : Sebuah Probabilitas Futuristik
Metode Tulisan ini pada dasarnya bersifat deskriptif eksplanatoris yang berorientasi pada upaya pemberian argumentasi terhadap visi penulis tentang peluang degradasi otoritas arsitek di masa yang akan datang.Data dalam tulisan ini adalah informasi kepustakaan yang relevan dengan isu utama tulisan ini yakni aspek otoritas seorang arsitek. Pengumpulan data dilakukan dengan metode penelusuran arsip kepustakaan. Metode analisis yang dipergunakan terutama berupa metode deduktif yang mengandalkan pada upaya koneksasi sejumlah premis teoritik dalam berbagai literatur guna membangun suatu premis baru yang menjadi argumentasi bagi visi yang ingin dikemukakan. Analisis dan Interpretasi
Argumentasi 1: Kembang Susut Otoritas Delegatif Arsitek Otoritas arsitek bukanlah merupakan suatu keniscayaan. Otoritas seorang arsitek merupakan sebuah otoritas “delegatif” dari pihak lain yang memiliki otoritas sebenarnya. Premis ini ditegaskan oleh Brian Lawson (1990) yang mengindikasikan bahwa problem perancangan objek arsitektural pada hakikatnya bukan bersumber dari seorang arsitek tapi dari pemikiran seorang klien yang diperhadapkan pada kebutuhan atau keinginan tertentu. Menurut Lawson, dalam perancangan suatu objek arsitektural, konstrain terhadap performa rancangan akan bersumber dari empat pihak, masing-masing, arsitek/desainer, klien, pengguna dan regulator. Dari ke-empat pihak ini, Lawson mengemukakan, bahwa arsitek merupakan pihak dengan determinasi yang fleksibel dan opsional dan pihak regulator merupakan determinator yang sifatnya paling rigid (kaku) dan mandatoris. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa otoritas arsitek dalam aktivitas rancang bangun, merupakan otoritas yang rentan untuk terpinggirkan / terdegradasi.
E 002 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015
Menurut Simpson dan Atkins (2005), pelaksanaan otoritas arsitek biasanya terkategorisasi atas tiga hal. Pertama adalah mengambil keputusan sekaligus tanggung jawab penuh atas keputusan tersebut. Kedua adalah memberikan rekomendasi kepada pihak lain yang mengambil keputusan, sehingga hanya memikul “sebagian” tanggung jawab atas keputusan tersebut. Ketiga adalah menyerahkan segenap tanggung jawab kepada pihak-pihak yang lain alias tidak melakukan apapun. Mathew Van Kooy (2007) memaparkan bahwa otoritas pada dasarnya dapat dibedakan atas dua tipe yang disebutnya dengan otoritas praktis dan otoritas teoritis. Seseorang yang memiliki otoritas praktis adalah pihak yang memiliki hak dan kekuasaan untuk dipatuhi. Van Kooy dengan kontroversial berpendapat bahwa seorang arsitek dalam aktivitas profesionalnya sama sekali tidak memiliki otoritas praktikal semacam ini.Otoritas teoritis di pihak lain, harus dilihat dalam konteks hubungan antara seorang pakar dengan seorang awam,yang esensinya adalah ketidakseimbangan pengetahuan dan ketrampilan hingga sang pakar memiliki otoritas terhadap sang awam. Van Kooy mengindikasikan bahwa kalangan arsitek saat ini makin bergantung pada berbagai teori dan metode dari disiplin lain di luar arsitektur, sebagai legitimasi karya mereka. Meningkatnya ketergantungan ini akan makin mengaburkan spesifikasi epistemologi disiplin arsitektur dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa pemutakhiran pengetahuan arsitektural cenderung berkurang derajatnya dan berimplikasi pada pelemahan eksistensi otoritas teoritis bagi kalangan arsitek. Pada masa lalu rentang otoritas yang dimiliki arsitek terbilang luar biasa. Kepadanya diberikan kewenangan penuh untuk melakukan aktivitas perancangan sekaligus pembangunan dari objek lingkungan binaan yang dibutuhkan oleh sang klien. Dalam kondisi inilah julukan master builder memperoleh signifikansinya.Menurut Alexander Tuttle (2013), peran arsitek sebagai master builder hanyalah suatu memori indah.
Octavianus H.A. Rogi
Seiring waktu, saat ini profesionalitas bidang rancang bangun telah terdiversifikasi dan bermuara pada hadirnya ragam otoritas yang makin variatif. Otoritas arsitek lebih berasosiasi dengan perannya dalam kegiatan perancangan yang dapat diderivasi atas tiga kategori peran yang bersifat alternatif opsional. Peran pertama adalah saat seorang arsitek mendapat mandat penuh dari sang klien untuk menentukan segenap aspek performa desain dari objek yang dibutuhkan dan diinginkannya.
Master designer adalah sebutan yang tepat untuk peran ini. Dalam alternatif peran kedua, arsitek tidak lagi dominan dalam pengambilan keputusan. Keputusan akan dilakukan secara kolaboratif antara klien-arsitek. Arsitek lebih berperan sebagai rekomendator solusi problem desain tertentu dan klien berposisi sebagai evaluator dan konfirmator pengambilan keputusanyang determinasinya kurang lebih setara bahkan lebih dari sang arsitek.
sang arsitek hanya sekedar seorang drafter atau animator belaka. Titik nadir otoritas arsitek di masa nanti adalah situasi saat sang arsitek tidak lagi mendapatkan kontrak kerja alias “jobless”. Jika seorang klien dengan cara tertentu akhirnya mampu memiliki kapabilitas memvisualisasikan gagasan arsitekturalnya, maka peran terakhir dari seorang arsitek serta merta akan sirna. Premis yang mengemuka dari argumentasi di atas adalah bahwa alternasi peran arsitek sangat terkait dengan perkembangan karakteristik dan perilaku klien sebagai sumber otorisasi peran arsitek. Hal ini dapat disederhanakan melalui ilustrasi dalam sekamtik pada gambar 1.
Dalam alternasi peran ketiga, arsitek bisa dikatakan hampir tidak memiliki otoritas apapun dalam pengambilan keputusan. Arsitek tidak lagi merekomendasi konsep desain tetapi terbatas pada pemberian informasi tentang konstrain rancangan. Klien akan menjadi pihak yang aktif dalam penggagasan konsep dan arsitek akan berperan menjadi visualitator gagasan sang klien lewat beragam medium (terutamagambar). Dalam konteks masa nanti, trend perubahan peran arsitek dikuatirkan akan terjerumus pada peran yang level otoritasnya sangat rendah. Saat seorang klien telah memiliki wawasan aspek rancang bangun yang cukup memadai atau memiliki “sumber lain” yang dapat memperkaya referensinya tentang beragam preseden arsitektural, dan akan memiliki rasa kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk mengembangkan gagasan personalnya tentang suatu objek rancangan. Saat mempekerjakan seorang arsitek, alih-alih mengharapkan gagasan rancangan dari si arsitek, sang klien hanya memanfaatkan sang arsitek untuk “memvisualisasikan” gagasan yang bersumber dari benak sang klien. Dalam situasi ini peran
Gambar 1. Perkembangan Otoritas Arsitek Sumber : Deduksi Penulis
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | E 003
Arsitektur Tanpa Arsitek & Arsitek Tanpa Arsitektur : Sebuah Probabilitas Futuristik
Argumentasi 2 : Otoritas Arsitek Dalam Teori Proses Desain Sejak era Bauhaus beragam pendapat, tentang proses desain yang baik telah dikemukakan oleh berbagai pihak, yang semuanya tertuju pada upaya saintifikasi bidang arsitektur khususnya dalam konteks metodologi desain. Beragam pandangan ini memumpun pada pemahaman bahwa secara garis besar macam model proses desain arsitektur dapat dibedakan atas “black box process” dan “glass box process”. Dalam model proses desain yang pertama, aktivitas desain dipandang serangkaian operasi yang terinternalisasi dalam benak pikiran sang perancang dan sulit didiferensiasikan. Seorang desainer diibaratkan sebagai suatu kotak hitam (black box) yang mengubah input menjadi output melalui rangkaian proses yang misterius dalam benak pikirannya. Seorang desainer seakan-akan seorang tukang sulap.Model proses desain yang kedua dipandang sebagai model praktik desain pada era terkini. Dalam model ini seorang desainer diibaratkan suatu kotak kaca (glass box), dimana aktivitas transformasi input menjadi output dapat dikenali atas sejumlah prosedur tindakan yang sikuensial. Karakteristik interelasi antar tahap proses desain di atas telah menjadi pokok perdebatan di kalangan ahli metodologi desain, yang bermuara pada dikotomi karakteristik proses desain yang di satu sisi disebut berciri rasionalistik dan di sisi yang lain berciri argumentatif. Model rasionalistik diasosiasikan sebagai proses pengambilan keputusan yang meliputi sejumlah operasi berbeda yang berurut sikuensial. Proses ini sangat bertumpu pada rasionalitas tingkat tinggi seorang perancang. Dalam konteks ini arsitek memiliki otoritas sebagai sang pengambil keputusan (decision maker).Menurut Horst Rittel, dalam Jon Lang (1990), model ini lebih tepat diterapkan pada konteks masalahyang sederhana (tame problem). Di sisi lain, model argumentatif memberi perhatian pada proses pengambilan keputusan yang berbasis pada partisipasi dari para E 004 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015
pemangku kepentingan. Model ini memposisikan perancang sebagai penyedia informasi untuk pengambilan keputusan. Prinsip utama dalam model ini adalah pemahaman bahwa proses desain tidak murni sikuensial dan terkait dengan masalah yang akut (wicked problem). Prinsip-prinsip meliputi:
proses
desain
argumentatif
Pengetahuan yang dibutuhkan terkait masalah perancangan tertentu tidak terkonsentrasi pada satu pihak tertentu. Proses perancangan akan melibatkan seluruh pihak yang “terkait” sebagai partisipan. Evaluasi tidak dilakukan berdasarkan kepakaran ilmiah, tapi pada “premis-premis deontik” yang sifatnya politis terkait dengan aspek moral dan etika umum. Proses harus bersifat transparan. Pengambilan keputusan tidak bersifat otoritatif, tapi melalui pemahaman mutualistik antar partisipan berdasarkan objektifikasi pendapat. Perancang tidak berperan sebagai pakar, tapi sebagai seorang yang membantu memperjelas problem rancangan dan menginformasikan kemungkinan solusi tanpa pretensi. Jika dicermati secara seksama, kategorisasi teori proses desain ini mengindikasikan degradasi otoritas arsitek. Jika kronologi teori proses desain di atas disederhanakan dalam tiga kategori masing masing ialah model intuitif, model rasionalistik dan model argumentatif, maka indikasi degradasi peran dan otoritas arsitek dapat digambarkan pada tabel 1.
Octavianus H.A. Rogi Tabel 1. Komparasi Kondisi Otoritas Arsitek berdasarkan Teori Model Proses Desain Sumber : Deduksi Penulis Model Proses Desain
Partisipan Aktivitas Perancangan
Peran Arsitek
Kualitas Otoritas Arsitek
Intuitif
Arsitek, Klien
Authoritative Artist / Magician
Tinggi
Rasionalistik
Arsitek, Klien
Expert Decision Maker
Tinggi
Arsitek,Klien, OtherStakeholders
Design Concept Recommendator, InformationProvider
Rendah
Argumentatif
Argumentasi 3: Introduksi Komputer Dalam Proses Desain Keberadaan komputer dewasa ini bukanlah terjadi secara instan tapi suatu buah evolusi dengan rentang waktu yang lama dan akan tetap berevolusi lebih jauh lagi di masa nanti. Dalam evolusinya, komputer dewasa ini sering disebut berada pada evolusi generasi ke-empat. Kalangan komputerologis saat ini tengah mengembangkan komputer generasi ke-lima yang memiliki karakteristik menyerupai kapa-sitas manusia yakni memiliki pengetahuan intrinsik yang cukup sehingga dapat memahami suatu permasalahan dan mencari solusinya. Properti khusus yang menonjol ialah ke-mampuan berkomunikasi dengan bahasa manusia baik secara tertulis maupun lisan. Geoffrey Broadbent (1973) mengemukakan bahwa bagi perancang, kehadiran komputer umumnya menimbulkan dua reaksi utama. Reaksi pertama adalah yang mengeksploitasi keberadaan komputer dengan anggapan bahwa utilisasi komputer akan menghasilkan output yang lebih baik. Reaksi kedua ialah yang melihat ini sebagai ancaman yang berpangkal pada asumsi bahwa seiring dengan evolusinya di masa depan, komputer akan berkembang jauh sehingga dapat memiliki kompetensi yang “setara” dengan kemampuan manusia untuk berkomunikasi, berpikir dan bertindak. Dalam kondisi ini, komputer dapat dikembangkan untuk memiliki kemampuan spesialistik ala manusia, termasuk dalam bidang rancang bangun. Untuk melihat probabilitas terjadinya kondisi ini, perlu dipahami apa sebenarnya kompetensi
keahlian seorang arsitek dan seberapa besar kemungkinan itu dapat dikooptasi oleh teknologi komputer. Dengan membandingkan sejumlah referensi dapat dikatakan bahwa kompetensi utama yang dimiliki seorang arsitek adalah : Kemampuan mengidentifikasi, mengumpulkan, mengolah dan memahami informasi terkait permasalahan perancangan tertentu. Kemampuan mengimajinasikan ide rancangan sebagai solusi permasalahan yang ada. Kemampuan mempresentasikan ide rancangan sesuai imajinasinya. Kemampuan untuk mengevaluasi kualitas ide rancangan untuk kepentingan optimasi. Brian Lawson (1990) mengungkap bahwa peran komputer dalam studio desain akan terkategori menjadi empat peran penting yakni peran manajerial, peran pengelolaan informasi, peran evaluasi solusi dan peran penggagasan solusi. Jika dicermati, pernyataan ini bersesuaian dengan lingkup kompetensi arsitek secara keseluruhan seperti yang disederhanakan pada komparasi dalam tabel 2. Komparasi di atas belum bisa menjadi justifikasi bahwa peran arsitek dalam aktivitas desain dengan serta merta dapat beralih sepenuhnya pada sang komputer. Hal mendasar yang sulit dibantah adalah bahwa komputer tetaplah merupakan sebuah “mesin” yang tidak akan beroperasi tanpa ada operator. Kemampuan spesifik arsitek mungkin bisa dilakukan oleh komputer, bahkan dalam tingkat efektifitas dan efisiensi yang jauh lebih baik oleh karena kelebihan teknologisnya. Namun demikian, pretensi untuk menginisiasi segenap aktivitas tersebut tidaklah mungkin dapat dilakukan oleh komputer secara spontan. Idiom“the man behind the gun” menjadi esensial dalam hal ini, dan berasosiasi langsung dengan argumentasi bahwa seorang arsitek tetap akan dibutuhkan kehadirannya, walaupun mungkin dalam kapasitas sekedar sebagai inisiator atau operator aktivasi komputer.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | E 005
Arsitektur Tanpa Arsitek & Arsitek Tanpa Arsitektur : Sebuah Probabilitas Futuristik Tabel 2. Komparasi Lingkup Kompetensi Arsitek&Peran Komputer Dalam Studio Desain Sumber : Deduksi Penulis KemampuanPerancang Mengidentifikasi, mengumpulkan, mengolah dan memahami informasi tentang masalah perancangan Mengimajinasikan ide rancangan sebagai solusi permasalahan Mempresentasikan / memvisualisasikan ide rancangan Mengevaluasi kualitas ide rancangan untuk kepentingan optimasi
Peran Komputer Peran Manajerial / Pengelolaan Informasi
Peran Penggagasan Solusi
Peran Evaluasi Solusi
Menurut Lawson, aktivitas desain di masa depan tetaplah membutuhkan kolaborasi antara manusia dan komputer. Geoffrey Broadbent (1973), di sisi lain mengemukakan bahwa simbiosis antara kemampuan otak manusia dan komputer akan membawa revolusi besar dalam seluruh pendekatan perancangan arsitektur di masa yang akan datang. Pada akhirnya, premis yang bisa diterima adalah bahwa aktivitas desain harus dilihat sebagai suatu sistem pengambilan keputusan yang melibatkan simbiosis manusia dengan mesin (baca: komputer). Eksistensi komputer tidak (belum) dapat dipandang sebagai keberadaan yang “mandiri”. Dalam perannya yang paling optimal pun sang komputer tetap dianggap membutuhkan seorang arsitek sebagai pemberi input, inisiator, aktivator atau operator. Sampai dengan pemahaman di atas, eksistensi arsitek dan otoritasnya boleh dikata masih resisten atau imun terhadap ancaman “pengambilalihan” oleh komputer. Situasi ini akan terlihat berbeda jika kita melihat gambarannya secara utuh di mana dalam suatu aktivitas desain arsitektural akan hadir sedikitnya tiga aktor utama yakni klien, arsitek dan komputer. Interaksi arsitek dan komputer dapat dilihat sebagai interaksi simbiotikal yang mutualistik. Jika dicermati lebih jauh lagi, interaksi klien dan arsitek dalam skema ini juga dapat dilihat sebagai interaksi simbiotikal.
E 006 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015
Dalam skema tripartis ini, interaksi yang selama ini absen dalam pemahaman kita ialah interaksi antara klien dengan komputer. Dalam visi penulis, interaksi klien dengan komputer bisa terjadi dengan intensitas yang signifikan, dan dapat memutuskan ketergantungan klien pada sang arsitek serta ketergantungan komputer pada sang arsitek, karena masing-masing telah menemukan pengganti pasangan simbiosis tradisionalnya. Kondisi ini tentu tidak bisa terjadi tanpa adanya sejumlah prakondisi tertentu. Dalam perspektif penulis, transformasi skema simbiosis antar pelaku proses desain, dapat dikategorikan atas setidaknya lima tahap sebagaimana terlihat dalam tabel berikut. Tabel 3. Transformasi Ragam Skema SimbiosisPelaku Proses Desain Sumber : Deduksi Penulis Tahap 1 Eksistensi soliter manusia sebagai klien sekaligus desainer dan konstruktor pragmatis pada era tradisi vernakular Tahap 2 Simbiosis klien – master builder (desainer / konstruktor) Tahap 3 Simbiosis klien – master designer (desainer) Tahap 4 Simbiosis klien – desainer & simbiosis desainer - komputer Tahap 5 Simbiosis klien – komputer
Tahap yang pertama hingga ke-tiga pada dasarnya merupakan tahap yang terjadi pada masa lalu. Tahap ke-empat, merupakan tahap simbiotikal yang lazim kita temui dewasa ini, di mana telah hadir pihak yang ketiga dalam pola simbiosis antar pelaku aktivitas perancangan, yakni dalam bentuk entitas komputer, sedemikian sehingga kita diperkenalkan dengan skema simbiosis tripartis. Dalam pola simbiosis ini, interaksi antara klien dengan perancang telah diwarnai dengan kehadiran komputer sebagai “ekstensi” dari pihak perancang. Dengan kata lain, dalam pola ini teridentifikasi dua relasi simbiotikal. Yang pertama antara klien dengan arsitek, dan yang kedua antara arsitek dengan komputer, baik dalam posisinya sebagai subordinat arsitek (computer aided drafting) maupun sebagai partner sang arsitek (computer aided design).
Octavianus H.A. Rogi
Dalam skema ini, arsitek hadir pada posisi interkonektor di antara dua pihak yang lain. Dalam relasi yang pertama klien dipandang memiliki ketergantungan simbiotikal dengan arsitek untuk menerjemahkan kebutuhannya, sementara arsitek memiliki ketergantungan dengan sang klien terkait dengan upah yang diharapkannya. Dalam relasi yang kedua, arsitek memiliki ketergantungan kepada komputer untuk mempermudah tuntutan kerjanya, sementara sang komputer memiliki keter-gantungan kepada sang arsitek sebagai pihak pemberi input sekaligus operator.
pihak klien dengan komputer, melalui paket program komputer yang interaktif. Adanya stagnansi dalam perkembangan kapasitas kepakaran kalangan arsitek, khususnya dalam konteks kreatifitas rekayasa bentuk dan ruang yang inovatif dan relatif terlepas dari jejak-jejak preseden arsitektur sebelumnya, yang kemungkinan besar akan terakumulasi dan menjadi referensi baku dalam program komputer. Kesimpulan
Tahap yang ke-lima merupakan tahap simbiotikal yang bersifat prediktif dalam dimensi futuristik. Dalam tahap ini, kehadiran arsitek perancang diprediksikan hilang seiring dengan terjadinya interaksi langsung antara klien dengan komputer sebagai suatu bentuk kohabitasi produktif yang baru.
Merujuk pada ke-tiga argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena “arsitektur tanpa arsitek”, yakni maraknya kehadiran karya arsitektural yang anonim (bukan kreasi arsitek profesional) di masa depan,bukanlah suatu kemungkinan yang mustahil, bahkan proporsi signifikansinya cukup tinggi.
Dalam skema ini, pihak klien dan komputer tidak lagi memiliki ketergantungan simbiotikal terhadap arsitek, dan menemukan pengganti pasangan simbiosis klasiknya pada masingmasing pihak yang lain. Sang komputer menemukan “pemberi input dan operator” yang andal dalam diri sang klien, sementara sang klien telah menemukan “penerjemah” yang andal menyangkut segenap kebutuhan bahkan keinginan arsitekturalnya pada sang komputer.
Untuk mengantisipasi probabilitas ini, arsitek masa depan dituntut untuk meningkatkan otoritas kepakarannya, sedemikianhingga tetap berharga di mata para klien potensial. Dengan adanya pemahaman yang utuh dari kalangan klien potensial tentang otoritas kepakaran seorang arsitek, dapatlah kita tetap berharap bahwa momen sejarah masa depan dengan tema “arsitek tanpa arsitektur” aliasarsitek tanpa karyatidak pernah akan terjadi.
Terjadinya relasi simbiotikal pada tahap ke-lima ini tentu menuntut sejumlah prakondisi sebagai berikut :
Daftar Pustaka
Adanya perkembangan kapasitas klien tentang aspek rancang bangun melalui suatu proses yang otodidak. Kondisi ini bukan hal yang mustahil mengingat perkembangan teknologi informasi dewasa ini yang sangat pesat, hingga akses terhadap informasi tentang aspek rancang bangun akan semakin mudah diperoleh kalangan klien.
Lang Jon, 1987, "Creating Architectural Theory; The
Adanya perkembangan kapasitas komputer sehingga memenuhi kriteria komputer generasi ke-lima, yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang lebih mudah antara
Broadbent Geoffrey, 1973, "Design in Architecture", © John Wiley & Sons, New York.
Role of the Behavioral Sciences in environmental Design", © Van Nostrand Reinhold, New York. Lawson Brian, 1990, "How Designers Think", © Butterworth Architecture, The University Press, Cambrige. Rogi Octavianus H. A. 2011, “Arsitektur Vernakular : Patutkah Didefinisikan?”, © Jurnal SABUA (ISSN 2085-7020)Vol.3, No.2,Agustus 2011, Prodi PWK, Fakultas Teknik UNSRAT, Manado. Rogi Octavianus H. A. 2014,“Situasi Otoritatif Arsitek”, © Jurnal Media Matrasain (ISSN 1858-1137),Vol. 11, No.1, Mei 2014, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik UNSRAT, Manado. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | E 007
Arsitektur Tanpa Arsitek & Arsitek Tanpa Arsitektur : Sebuah Probabilitas Futuristik Rogi Octavianus H. A. 2014,“Tinjauan Otoritas Arsitek Dalam Teori Proses Desain”, © Jurnal Media Matrasain (ISSN 1858-1137),Vol. 11, No. 3, November 2014, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik UNSRAT, Manado. Simpson Grant A.& James B. Atkins, 2005, “Master and Commander: The Architect’s Authority”, © The American Institute of Architects (AIA) TuttleAlexander D., 2013, “Reclaiming the Architect’s Authority”, © Lepatner & Associates LLP, 575 Lexington Avenue, New York. Van Kooy Mathew, 2007,“The Authority of the Architect: concerning discourse and method”, presented as part of the Architecture+Philosophy public lecture series 12 April 2007 at Federation Square,.Melbourne.
E 008 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015