TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
Perbaikan Budi Daya Kedelai di Lahan Kering Masam Lampung A. Taufiq, Marwoto, Heriyanto, Darman M. Arsyad, dan Sri Hardaningsih Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Jl. Kendalpayak, Kotak Pos 66 Malang, Jawa Timur
ABSTRACT. Improved Soybean Cultural Practices in Acid Upland in Lampung. Acid soil upland in Lampung has a potential for soybean production. Soil in this area has high acidity and low fertility, but soybean productivity could be improved with appropriate soil management. Experiment was carried out on farmers fields in Bumi Nabung, Central Lampung District during early rainy season of 2005/2006 and late rainy season of 2006. The objective was to verify an improved soybean cultural practices in acid soil upland ecology. The improved cultural practice consisted of fertilization package (75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha) and soil amelioration using dolomite at rate of 500 kg CaO/ha (equivalent to 1500 kg/ha of dolomite). Soybean cultivars consisted of Sinabung, Kaba, Burangrang, and Anjasmoro. Superimpose trial was also conducted during the late rainy season. The objective of the superimpose trial was to examine the effect of residual dolomite, increasing SP36, and KCl fertilizer dosage. Results showed that soybean yield obtained from improved cultural practices was high both in the early rainy season (1.76-2.02 t/ha) and in the late one (1.59-2.08 t/ha). By practicing the recommended cultural practices, farmer received profit between Rp 2.1 to Rp 3.0 millions/ha. When 1500 kg/ha of dolomite was applied to soybean in the early rainy season, the soybean planted in the late rainy season did not need dolomite application. Increasing SP36 fertilizer rate from 100 kg/ha to 150 kg/ha increased soybean yield of about 12% (from 2.14 to 2.39 t/ha), and farmers’ income about Rp 750.000/ha. Increasing KCl fertilizer rate from 100 kg/ha to 150 kg/ha did not increase yield. The application of dolomite at rate of 1500 kg/ha increased soil pH, Ca and Mg availability, and decreased exchangeable Al. Keywords: Glycine max, acid land, fertilization, dolomite ABSTRAK. Lahan kering masam di Lampung potensial untuk pengembangan kedelai, meskipun secara umum mempunyai tingkat kemasaman yang tinggi dan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Dengan pengelolaan lahan dan penerapan teknologi budi daya yang tepat, hasil kedelai di lahan kering masam dapat ditingkatkan. Penelitian budi daya kedelai dilaksanakan pada lahan kering masam Lampung, di Kampung Bumi Nabung Ilir, Kec. Bumi Nabung, Kab. Lampung Tengah pada MH I 2005/06 dan MH II 2006. Tujuan penelitian adalah untuk verifikasi teknik budi daya kedelai pada lahan kering masam. Paket teknologi budi daya kedelai yang diuji terutama adalah pemupukan (75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha) dan ameliorasi kemasaman tanah dengan 500 kg CaO/ha yang berasal dari dolomit (1.500 kg/ha dolomit). Varietas kedelai yang digunakan adalah Sinabung, Kaba, Burangrang, dan Anjasmoro. Pada MH II tahun 2006 dilakukan percobaan superimpose untuk menguji pengaruh sisa dolomit, peningkatan takaran SP36 dan KCl. Hasil kedelai dengan teknik budi daya yang dianjurkan cukup tinggi, baik pada MH I (1,76-2,02 t/ha) maupun MH II (1,59-2,08 t/ha). Teknik budi daya tersebut memberikan keuntungan yang cukup tinggi berkisar antara Rp 2,1-3 juta/ha. Jika dolomit 1.500 kg/ha telah diberikan pada MH I maka tanaman kedelai pada MH II tidak perlu diberi dolomit. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150 kg/ha meningkatkan hasil kedelai 12% (dari 2,14 t menjadi 2,39 t/ ha), dan pendapatan meningkat Rp 750.000/ha. Peningkatan takaran KCl dari 100 kg menjadi 150 kg/ha tidak meningkatkan hasil.
38
Pemberian dolomit 1.500 kg/ha meningkatkan pH tanah, ketersediaan Ca dan Mg, serta menurunkan Al-dd.
L
Kata kunci: Glycine max, lahan masam, pemupukan, dolomit
ahan kering masam di Lampung cukup luas dan potensial untuk pengembangan kedelai. Di Sumatera terdapat sekitar 5 juta ha lahan kering dan 2,5 juta ha lahan terlantar. Luas panen kedelai di Sumatera sekitar 217.000 ha (BPS 2000). Sebagian besar lahan pertanian di Sumatera berada di wilayah beriklim basah dengan masa bertanam (growing period) >9 bulan (Las et al. 1991). Menurut zona agroekologi yang disusun oleh BPTP Lampung (Sudaryanto et al. 2002), luas lahan kering yang sesuai untuk pengembangan pertanian 639.518 ha yang tersebar di enam kabupaten yaitu Lampung Selatan (69.828 ha), Tanggamus (8.959 ha), Lampung Barat (16.059 ha), Lampung Utara (170.430 ha), Tulang Bawang (159.356 ha), dan Lampung Tengah (214.886 ha). Kabupaten Lampung Tengah merupakan salah satu kawasan program “Bangkit Kedelai” di Lampung, yang pada tahun 2006 ditargetkan seluas 1.200 ha. Di Kecamatan Buminabung dan Rumbia pada tahun 2006, pengembangan program Bangkit Kedelai ditargetkan seluas 300 ha. Keberhasilan budi daya kedelai di lahan masam Lampung Tengah sangat mendukung program Bangkit Kedelai yang telah dicanangkan secara nasional. Jenis tanah di Lampung terutama adalah Ultisol dan Oksisol, yang didominasi oleh mineral liat kaolinit dan >90% fraksi pasir didominasi oleh kwarsa, pH 4,3 dan kemasaman tertukar 57,2 cmol+/kg (Setiawan 1997; Prasetyo dan Ritung 1998). Hambatan biofisik utama pengembangan kedelai pada lahan masam adalah kesuburan tanah yang rendah (Abdurrachman et al. 1999), kadar P dan K potensial dan P tersedia sangat rendah, jumlah basa-basa sangat rendah, dan kandungan bahan organik rendah (Prasetyo dan Ritung 1997). Tanah tersebut memerlukan penambahan bahan organik, peningkatan KTK dan hara, serta penurunan unsur meracun (Al, Mn dan Fe), selain diperlukan pula penggunaan varietas toleran lahan masam (Rachim et al. 1997). Menurut Hairiah et al. (1998), bentuk Al yang meracuni tanaman adalah Al monomerik. Pada pH antara 5,0-5,5 sebanyak 1% Al yang ada dalam larutan tanah Ultisol Lampung berada dalam bentuk Al
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
monomerik. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tanah Ultisol Lampung mengandung Al monomerik 1,89 mM pada lapisan 0-15 cm dan 2,29 mM pada lapisan 1545 cm (Van der Heide et al. 1992). Lahan kering di Lampung Tengah dan Tulang Bawang tergolong masam (pH 5) dengan kejenuhan Al 24,5-30,2%. Masalah utama pengembangan tanaman kedelai pada lahan kering Lampung Tengah dan Tulang Bawang adalah rendahnya pH, tingginya kejenuhan Al, tingginya kadar Fe dan Mn, serta rendahnya ketersediaan hara P dan K (Taufiq et al. 2004). Penelitian menunjukkan bahwa perbaikan kesuburan lahan kering masam Lampung menggunakan 1 t/ha dolomit dan 5 t pupuk kandang/ha meningkatkan hasil kedelai sebesar 27% untuk varietas Tanggamus dan 97% untuk varietas Slamet (Sudaryono et al. 2002). Penambahan kapur dolomit setara ½ x Al-dd (setara 518 kg CaO/ha) disertai pemupukan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha mampu meningkatkan hasil kedelai hingga mencapai 1,5 t/ha (Taufiq et al. 2004). Hasil percobaan sebelumnya di Lampung Tengah, hasil kedelai varietas Tanggamus di tingkat petani dengan pemupukan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 1500 kg dolomit/ha (setara 500 kg CaO/ha) adalah berkisar antara 0,81-2,35 t/ha (rata-rata 1,45±0,34 t/ha). Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 200 kg/ ha dan dolomit dari 1.500 kg menjadi 3.000 kg/ha tidak berdampak positif terhadap peningkatan hasil (Rumbaina et al. 2004). Paket teknologi budi daya tersebut diteliti pula dalam pra PTT pada MK II (MeiSeptember) 2004 di lahan petani di Desa Lorok, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pH 4,6-5,1 dan Al-dd 5,33-6,82 me/100 g, dengan tingkat hasil sekitar 1 t/ha pada lahan bukaan baru dan 1,5-2,0 t/ha pada lahan lama. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa meskipun terdapat beberapa masalah kondisi tanah, namun produktivitas kedelai dapat ditingkatkan dengan masukan pupuk, bahan ameliorasi, dan varietas yang adaptif. Untuk lebih memantapkan teknik budi daya yang telah diuji dalam pra PTT perlu dilakukan pengujian di lahan petani dalam skala yang lebih luas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan verifikasi terhadap teknik budi daya kedelai di lahan kering masam yang secara teknis dapat diadopsi petani dan secara ekonomi menguntungkan.
Nabung Ilir, Kec. Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah, yaitu pada MH I 2005/06 (Nopember 2005Februari 2006) dan MH II 2006 (Maret-Juni). Kegiatan ini dilaksanakan pada lahan petani yang tergabung dalam kelompok tani MAWAR, dengan melibatkan 26 petani pada musim tanam (MT) I dengan luas areal 5,47 ha dan 20 petani pada MT II dengan luas areal 8 ha. Varietas kedelai yang ditanam pada MT I adalah Sinabung, Kaba (berbiji sedang), dan Burangrang (berbiji besar), sedangkan pada MT II adalah Kaba, Sinabung, Anjasmoro (berbiji besar), dan Kipas Putih (berbiji sedang). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi model Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (PTT) untuk padi (Las at al. 2002). Sebagai pembanding diikutkan petani sekitar yang mengusahakan kedelai di lahan kering. Paket teknologi budi daya kedelai yang diuji adalah (1) tanah diolah sesuai kebiasaan petani, dibajak dua kali dan diratakan menggunakan ternak, tanpa saluran drainase, (2) varietas unggul nasional; (3) tanam tugal dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman/ lubang; (4) pemupukan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha pada saat tanaman berumur 15 hari, diberikan di sekitar barisan tanaman; (5) dolomit 1.500 kg/ha diberikan sebelum tanam dengan cara disebar rata, jika menggunakan pupuk kandang 2,5 t/ha maka dolomit diberikan 750 kg/ha; (6) pupuk kandang 2,5 t/ha, diberikan bersamaan dengan pemberian pupuk NPK dengan cara tugal atau larikan di sebelah baris tanaman; (7) pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) menggunakan pestisida dan pengaplikasian berdasarkan hasil pemantauan; (8) penyiangan pada umur 15 dan 35-40 hari secara manual; (9) panen pada saat polong sudah berwarna coklat, brangkasan kedelai dikeringkan pada lantai jemur dan dirontok dengan mesin perontok. Data yang dikumpulkan meliputi hasil biji dan komponen hasil (jumlah polong isi dan hampa, bobot 100 biji, jumlah cabang), tinggi tanaman. Hasil ditentukan berdasarkan panen ubinan 10 m2, tiga ubinan untuk masing-masing petani. Analisis ekonomi dilakukan untuk mengetahui keuntungan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan analisis ragam menggunakan oneway AOV (one-way analysis of variance), dan untuk mengetahui perbedaan antar- perlakuan digunakan uji BNT.
BAHAN DAN METODE
Percobaan Superimpose
Pengujian Teknik Budi Daya Kedelai
Pengujian teknik budi daya kedelai dilaksanakan selama dua musim tanam berturut-turut di Kampung Bumi
Percobaan superimpose dilaksanakan pada lahan petani koperator seluas 0,5 ha pada MH II 2006, menggunakan varietas Anjasmoro. Lahan yang digunakan adalah bekas pertanaman kedelai dari kegiatan peng39
TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
Tabel 1. Perlakuan percobaan superimpose budi daya kedelai pada lahan kering masam. No.
1 2 3 4 1)
Urea (kg/ha)
SP36 (kg/ha)
KCl (kg/ha)
Dolomit (kg/ha)
75 75 75 75
100 100 150 100
100 100 100 150
01) 1500 1500 1500
dolomit 1.500 kg/ha diberikan pada percobaan MH I 2005/06.
ujian pada MH I 2005/06. Topografi lahan datar, seragam dari segi fisik tanah dan keragaan pertanaman sebelumnya, dan dalam satu hamparan. Rancangan percobaan adalah acak lengkap dengan tiga ulangan. Perlakuan percobaan superimpose disajikan pada Tabel 1. Tanah diolah sesuai kebiasaan petani, dibajak dua kali dan diratakan sekali dengan tenaga ternak. Petak antarperlakuan dipisah dengan saluran drainase. Varietas yang digunakan adalah Anjasmoro, ditanam dengan cara tugal, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman/lubang. Pengendalian OPT menggunakan pestisida berdasarkan hasil pemantauan. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 15 dan 35-40 hari secara manual. Panen dilakukan pada saat polong sudah berwarna coklat. Data meliputi hasil dan komponen hasil (jumlah polong isi dan hampa, bobot 100 biji, jumlah cabang), dan tinggi tanaman. Hasil dihitung berdasarkan panen ubinan 10 m2. Untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan menggunakan orthogonal kontras: perlakuan 1 vs 2 untuk membandingkan pengaruh sisa dolomit, perlakuan 2 vs 3 dan 2 vs 4 masing-masing untuk menguji pengaruh peningkatan takaran pupuk SP36 dan KCl.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan
Analisis tanah menunjukkan bahwa tekstur tanah didominasi oleh pasir dengan kandungan bahan organik rendah sehingga secara alami mempunyai potensi kesuburan yang rendah. Tanah tergolong masam, kandungan Ca-dd, Mg-dd, dan K-dd tergolong rendah (Tabel 2). Dengan demikian, selain rendahnya pH, tanah juga berpotensi kahat Ca, Mg, dan K. P tersedia termasuk tinggi, namun karena tanah bereaksi masam maka penyerapan P oleh tanaman terganggu. Peningkatan pH tidak cukup untuk meningkatkan ketersediaan P tanah karena P total tergolong rendah, sehingga harus ada
40
Tabel 2. Karakteristik tanah lapisan atas (0-40 cm) di Kampung Bumi Nabung Ilir, Kec. Bumi Nabung, Kab. Lampung Tengah, MH I tahun 2005/06. Uraian Tekstur
Nilai 2)
Klasifikasi
1)
Lempung liat berpasir (sandy
Metode Pipet
clay loam) Pasir (%)
63
Debu (%) Liat (%)
16 20
pH-H2O pH-KCl
4,3 4,1
Masam
1:2,5 1:2,5
C-organik (%) N-total (%)
1,58 0,05
Rendah Sangat rendah
Walky-Black Kjeldahl
Nisbah C/N P-tersedia (ppm P2O5)
31,6 26,1
Tinggi
Bray –I
10 7
Sedang Rendah
HCl 25% HCl 25%
Ca-dd (me/100 g ) Mg-dd (me/100 g )
0,87 0,41
Rendah Rendah
NH-4 asetat 1N pH 7 NH-4 asetat 1N pH 7
K-dd (me/100 g ) KTK (me/100 g )
0,08 8,7
Sangat rendah Rendah
NH-4 asetat 1N pH 7 NH-4 asetat 1N pH 7
Kejenuhan basa Al –dd (me/100 g )
15,6 0,91
Rendah Sangat rendah
I N KCl
Total - P2O5 (mg/100 g)2) Total - K2O (mg/100 g)2)
H –dd (me/100 g ) KTKE (me/100 g ) Kejenuhan Al (%) 1)
2)
0,34 2,61 34,9
klasifikasi berdasar kriteria yang dikeluarkan oleh Puslittanah; kejenuhan Al dihitung berdasar KTKE (jumlah kation basa + Al + H). Data dari BPTP Lampung, 2005.
pasokan P melalui pupuk. Meskipun pH tanah rendah tetapi Al-dd tergolong sangat rendah, jadi ada kemungkinan rendahnya pH dipicu oleh rendahnya kation-kation basa tanah. Oleh karena itu, penambahan dolomit selain ditujukan untuk meningkatkan pH tanah, juga berguna untuk meningkatkan ketersediaan hara Ca dan Mg. Tekstur tanah didominasi oleh fraksi pasir (63%) tetapi petani masih melakukan pengolahan tanah dengan cara dibajak sebanyak dua kali. Kandungan pasir yang tinggi menjadikan tanah mempunyai drainase cukup baik. Hal ini terlihat dari pengamatan secara visual, meskipun terjadi hujan lebat, tetapi tidak terjadi genangan air yang lama, sehingga petani tidak membuat saluran drainase untuk melakukan pencegahan erosi. Pada pertanaman MH I, sebagian besar petani menggunakan pupuk kandang kotoran ayam dan sebagian lainnya menggunakan kotoran sapi takaran 800-1000 kg/ha. Pada MH II petani tidak menggunakan pupuk kandang karena selain mahal juga tidak tersedia akibat adanya larangan pemerintah daerah untuk mendatangkan kotoran ayam dari luar daerah.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
Keragaan Kedelai dengan Teknik Budi Daya yang Diperbaiki
Keragaan pertanaman kedelai dengan teknik budi daya petani yang diperbaiki pada MH I dan MH II dengan pemupukan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 1500 kg dolomit/ha cukup baik (Tabel 3 dan 4). Populasi tanaman yang dianjurkan sekitar 333.000 tanaman/ha, namun kenyataannya populasi tanaman saat panen lebih rendah. Populasi tanaman pada saat panen pada MH I untuk varietas Sinabung adalah 201.000 atau 61%, Burangrang 187.000 atau 57%, dan Kaba 155.000 atau 47% dari populasi anjuran (Tabel 3). Populasi tanaman pada MH II untuk varietas Sinabung adalah 156.000 atau 46,8%, Anjasmoro 185.000 atau 55,5%, Kaba 191.000 atau 57,3%, dan Kipas Putih 185.000 atau 55,5% dari populasi anjuran. Keragaman populasi tanaman antarpetani cukup besar, yang tercermin dari nilai standar deviasi yang cukup besar (Tabel 3 dan 4). Rendahnya populasi tanaman dan besarnya keragaman tersebut disebabkan oleh: (1) adanya variasi jarak tanam yang dipakai antarpetani dalam menanam kedelai dan petani cenderung menanam dengan jarak yang lebih jarang dari yang dianjurkan; (2) adanya perbedaan waktu tanam, karena berkaitan dengan keadaan curah hujan. Pada pertanaman MH I, pada saat tanam hingga periode awal pertumbuhan tanaman, sering terjadi kekurangan air. Pada pertanaman MH II, pada saat tanam hingga periode pertumbuhan awal terlalu banyak air. Keadaan tersebut
berpengaruh terhadap perkecambahan benih. Kondisi curah hujan di wilayah kegiatan PTT kedelai disajikan pada (Gambar 1). Jumlah polong isi per batang pada MH I tergolong tinggi, rata-rata 54, 59, dan 69 polong isi/batang masingmasing untuk varietas Sinabung, Burangrang dan Kaba (Tabel 3). Jumlah polong isi pada pertanaman MH II juga tergolong baik, yaitu 56, 47, 56 dan 71 polong/tanaman masing-masing untuk varietas Sinabung, Anjasmoro, Kaba, dan Kipas Putih (Tabel 4). Jumlah polong hampa tergolong rendah, berkisar antara 2-8% dari total polong yang terbentuk, baik pada pertanaman MH I maupun MH II (Tabel 3 dan 4). Ini menunjukkan bahwa dengan teknik budi daya baik, pembentukan dan pengisian polong berada pada kondisi normal. Jumlah polong varietas Kipas Putih lebih banyak dibandingkan dengan varietas lainnya meskipun jumlah cabang relatif sama. Varietas Kipas Putih lebih tinggi dibanding varietas lainnya (Tabel 4). Varietas ini banyak diminati petani di Lampung karena bijinya besar, hasil tinggi, dan umur genjah. Varietas Burangrang kurang disukai petani, terutama karena kulit bijinya yang retak-retak menjadikan kenampakan biji kurang menarik, tetapi dari segi umur sangat disukai karena dapat dipanen pada umur 75 hari. Rata-rata hasil biji (standar kadar air dibuat 12% karena kadar air biji beragam antarpetani) tergolong tinggi pada MH I dan MH II. Hasil biji dari ketiga varietas yang ditanam pada MH I tidak nyata berbeda, yaitu 1,95 t/ha dari varietas Sinabung, 1,76 t/ha dari varietas Burangrang, dan 2,02 t/ha dari varietas Kaba (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil biji dan komponen hasil kedelai. Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH I 2005/06. Varietas
Sinabung Burangrang Kaba
Jumlah petani
Populasi tanaman/ha (‘000)
Hasil biji (t/ha)
Jumlah polong isi/tanaman
Jumlah polong hampa/tanaman
11 7 8
201 (±43) a 187 (±74) a 155 (±29) a
1,95 (±0,54) a 1,76 (±0,32) a 2,02 (±0,33) a
54 (±13) a 59 (±12) ab 69 (±10) b
3 (±2) a 5 (±2) a 4 (±1) a
Angka sekolom yang didampingi oleh huruf sama tidak berbeda menurut uji BNT 5%. KA= kadar air,angka dalam kurung pada masing-masing kolom menunjukkan nilai standar deviasi (SD).
Tabel 4. Hasil biji dan komponen hasil kedelai. Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH II 2006.
Varietas
Sinabung Anjasmoro Kaba Kipas Putih
Jumlah petani
Populasi tanaman/ha (‘000)
Hasil biji (t/ha)
Bobot 100 biji (g)
Jumlah polong isi/ tanaman
Jumlah polong hampa/ tanaman
Jumlah cabang/ tanaman
7 12 3 1
156 (±35) a 185 (±41) a 191 (±20) a 185
1,59 (±0,20) a 1,96 (±0,32) b 2,08 (±0,16) b 1,65
10,51 (±0,56) a 15,03 (±1,92) b 10,32 (±0,46) a 12,98
56 (±10) b 47 (±13) a 56 (±8) b 71
2 (±1) ab 1 (±1) a 5 (±2) b 3
4 (±1) b 3 (±1) a 4 (±1) b 3
Angka sekolom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda menurut uji BNT 5%. KA= kadar air, angka dalam kurung pada masing-masing angka dalam kolom menunjukkan nilai standar deviasi (SD). Varietas Kipas Putih tidak diikutkan dalam analisis karena hanya satu ulangan.
41
TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
550
3,5
500
Sinabung
Tahun 2005
3,0
450
Hasil biji KA 12% (t/ha)
Tahun 2006 (s/d Mei) 400
Curah hujan (mm)
350 300 250 200 150
Burangrang
2,5
Kaba
2,0 1,5 1,0 0,5
100 50
0,0
0 Jan.
Peb.
Mar.
Apr.
Mei
Jun.
Jul.
Ags.
Sep.
Okt.
Nop.
1
Des.
2
3
4
5
6
Pada MH II, hasil varietas Sinabung (1,59 t/ha) nyata lebih rendah dibanding Anjasmoro (1,96 t/ha) dan Kaba (2,03 t/ha) (Tabel 4). Produktivitas varietas Kipas Putih (1,65 t/ha) juga lebih rendah dari Anjasmoro dan Kaba (Tabel 3). Potensi hasil varietas Sinabung, Burangrang, Kaba, Anjasmoro, dan Kipas Putih masing-masing adalah 2,16 t/ha, 1,60-2,50 t/ha, 2,13 t/ha, 2,03-2,25 t/ha, dan 1,69 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata hasil yang diperoleh dengan teknik budi daya yang diperbaiki sudah sesuai dengan potensi hasil masing-masing varietas. Teknik budi daya tersebut mampu mengubah kondisi lahan masam dari kurang optimal menjadi optimal sehingga varietas-varietas tersebut dapat mencapai hasil yang optimal pula. Hasil kedelai pada MH I dan MH II umumnya >1,5 t/ ha (82% pada MH I dan 73% pada MH II), dan bahkan beberapa petani memperoleh hasil lebih dari 2 t/ha (Gambar 2 dan 3). Hasil pengujian paket teknologi tersebut pada pra PTT di lahan kering masam pada bulan Mei-Agustus 2004 di Desa Watu Agung, Kecamatan Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah yang mempunyai pH 4,2-4,6 dengan Al-dd 0,08-0,25 me/100 g menunjukkan tingkat hasil kedelai rata-rata 1,45±0,34 t/ha, hasil tertinggi mencapai 2,45 t/ha (Rumbaina et al. 2004). Pengujian pada lahan petani di Desa Lorok, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan pada MK II (Mei-September) 2004, dengan pH 4,6-5,1 dan Aldd 5,33-6,82 me/100 g memberikan hasil sekitar 1 t/ha pada lahan bukaan baru dan 1,5-2,0 t/ha pada lahan yang sudah lama digarap (Zakiah at el. 2005). Ini menunjukkan bahwa dengan teknik budi daya kedelai yang diperbaiki cukup prospektif untuk meningkatkan produktivitas kedelai dalam rangka mendukung program “Bangkit Kedelai” di lahan masam. Hama yang umum ditemui di pertanaman kedelai pada periode tanam MH I 2005/06 dan MH II 2006 adalah ulat grayak (Spodoptera litura), penggerek polong (Helicoverpa armigera), pengisap polong (Riptortus 42
8
9
10
11
12
Gambar 2. Hasil kedelai petani koperator pada pengujian teknik budi daya di Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah. MH I 2005/06.
Kaba
Anjasmoro
Sinabung
Kipas Putih
2,5 Hasil biji KA 12% (t/ha)
Gambar 1. Distribusi curah hujan bulanan tahun 2005 dan 2006 di Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah.
7
Petani
Bulan
2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
10
Petani
Gambar 3. Hasil kedelai petani koperator pada pengujian teknik budi daya di Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah. MH II 2006.
linearis), dan ulat jengkal (Plusia calcites), tetapi pada intensitas yang rendah (1-10%) dan dapat dikendalikan. Penyakit yang banyak merusak tanaman adalah bakteri pustul (Xanthomonas campestris) dengan intensitas bervariasi antarpetani, yaitu dari ringan hingga sedang (1-50%). Analisis Finansial
Usahatani kedelai dengan teknik budi daya yang diperbaiki pada lahan kering masam di Bumi Nabung Ilir, Lampung Tengah pada MH I 2005/06 memerlukan tenaga kerja sebanyak 225 HOK/ha. Petani mampu menyediakan tenaga kerja dalam keluarga rata-rata 183,6 HOK/ha atau 82% (Tabel 5). Total biaya yang diperlukan untuk usahatani kedelai adalah Rp 4.006.760/ha. Dari total biaya tersebut, biaya untuk tenaga kerja adalah tertinggi (50,5%), diikuti oleh prosesing hasil yang mencapai 13,4% dan untuk pembelian dolomit 12,4%. Hasil kedelai di lahan kering masam adalah 1.950 kg/ha untuk varietas Sinabung; 1.760 kg/ha untuk varietas Burangrang, dan
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
Tabel 5. Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani kedelai dengan teknik budi daya yang diperbaiki pada lahan kering masam di Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH I 2005/06.
Tabel 6. Analisis usahatani kedelai dengan teknik budi daya yang diperbaiki pada lahan kering masam di Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH I 2005/06. Komponen
Aktivitas
Tenaga kerja total (HOK/ha)1)
Pengolahan tanah Tanam Pemupukan Penyiangan Penyemprotan Panen Prosesing Jumlah Nisbah tenaga kerja dalam keluarga terhadap tenaga kerja total (%) 1)
Jumlah (satuan fisik/ha)
Tenaga kerja dalam keluarga (HOK/ha)
21,1 31,5 12,0 38,0 34,5 30,7 57,2 225,0
15,9 9,1 12,0 30,0 34,5 24,9 57,2 183,6
81,6
1 HOK = 4,5 jam kerja setara pria
2.020 kg/ha untuk varietas Kaba. Keuntungan yang diperoleh adalah Rp 2.678.240, Rp 2.153.240, dan Rp 3.063.240/ha, masing-masing dengan menggunakan varietas Sinabung, Burangrang, dan Kaba. Nilai nisbah manfaat terhadap biaya total untuk masing-masing varietas berturut-turut adalah 0,70; 0,54; dan 0,76 (Tabel 4). Meskipun keuntungan relatif tinggi, namun nilai nisbah manfaat terhadap biaya total (B/C ratio) masih <1 (Tabel 6). Makna dari kondisi ini adalah usahatani kedelai di lahan kering masam pada MH I kurang ekonomis, terutama karena tingginya biaya tenaga kerja, dan pascapanen. Dolomit diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, tetapi menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi. Oleh karena itu perlu dievaluasi takaran penggunaan dolomit atau residu pemberian dolomit pada pertanaman kedelai musim berikutnya. Petani di lokasi penelitian biasanya menanam kedelai dua kali berturut-turut yang dimulai pada awal musim hujan (sekitar Nopember atau Desember). Tingkat Kesuburan Tanah
Untuk mengevaluasi pengaruh pemberian input, khususnya dolomit dilakukan analisis contoh tanah yang diambil dari sembilan lahan petani koperator (lahan mendapat input dolomit) dan tujuh lahan petani yang lahannya tidak mendapat masukan dolomit. Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah yang mendapat tambahan dolomit 1.500 kg/ha mempunyai pH dan Mgdd yang lebih tinggi, dan Al-dd lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang tidak diberi dolomit. Kandungan Corganik, P tersedia, Ca-dd, dan K-dd tidak berbeda meskipun ada kecendungan pemberian dolomit meningkatkan kandungan P tersedia dan Ca-dd (Tabel 7).
Saprodi dan tenaga Benih (kg) Pupuk (kg) Urea SP36 KCl Dolomit (ton) Pestisida Tenaga kerja (HOK) Perontokan biji
Persentase
40
160.000
4,0
75 100 100 1,5
90.000 160.000 270.000 495.000 270.000 2.025.000 536.760
2,2 4,0 6,7 12,4 6,7 50,5 13,4
4.006.760
100,0
225
Total Produksi Hasil biji k.a 12% (ton) Var. Sinabung Var. Burangrang Var. Kaba
Nilai (Rp/ha)
1,95 1,76 2,02
Keuntungan Var. Sinabung Var. Burangrang Var. Kaba
6.825.000 6.160.000 7.070.000
2.678.240 2.153.240 3.063.240
Nisbah manfaat terhadap biaya total (B/C ratio) Var. Sinabung 0,70 Var. Burangrang 0,54 Var. Kaba 0,76
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dolomit meningkatkan pH tanah dan ketersediaan Mg, serta menurunkan Al-dd tanah. Setijono (1996) melaporkan bahwa dolomit sama efektifnya dengan kalsit dan silikat dalam menurunkan Al-dd dan meningkatkan pH tanah masam. Percobaan Superimpose
Analisis usahatani kedelai pada tahun 2005 menunjukkan bahwa biaya pembelian dolomit adalah 12,4% dari total biaya usahatani. Salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan petani adalah memanfaatkan pengaruh sisa dolomit yang telah diberikan pada musim tanam sebelumnya. Tanaman kedelai tanpa dolomit pada MH II (dolomit 1.500 kg/ha diberikan pada MH I) nyata lebih pendek, jumlah polong isi berkurang dari 52 menjadi 43 polong/ tanaman, dibandingkan dengan yang diberi dolomit dengan takaran 1.500 kg/ha, namun tidak berpengaruh terhadap ukuran biji dan jumlah polong hampa. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150 kg/ha tidak nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah polong 43
TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
Tabel 7. Karakteristik tanah pada lapisan olah akibat pemberian dolomit. Bumi Nabung, Lampung Tengah, 2005. Perlakuan
1 2
Dolomit (kg/ha)
pH-H2O
C-organik (%)
P-Bray I (ppm P2O5)
K-dd (me/100 g)
Ca-dd (me/100 g)
Mg-dd (me/100 g)
Al-dd (me/100 g)
0 1500
4,6 a 5,2 b
1,83 a 1,72 a
75,4 a 77,4 a
0,10 a 0,09 a
1,19 a 1,42 a
0,52 a 0,64 b
0,77 b 0,34 a
Angka sekolom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda dengan uji t 5%.
Tabel 8. Pengaruh pemupukan dan pemberian dolomit terhadap keragaan tanaman kedelai varietas Anjasmoro pada lahan kering masam Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH II 2006.
Perlakuan1)
1 2 3 4 1)
Bobot 100 biji (g)
Jumlah polong hampa/ tanaman
Jumlah polong isi/ tanaman
Tinggi tanaman panen (cm)
Hasil biji (t/ha)
15,59 16,38 17,11 16,31
1 1 1 1
43 52 51 40
54,7 60,5 61,6 54,9
1,89 2,14 2,39 2,23
Persentase kenaikan/ penurunan hasil (%) – 13,22 26,46 17,99
– 11,68 4,21
Perlakuan 1 = 75 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha +100 kg KCl/ha + Dolomit 0 kg/ha (dosis dolomit pada MH I adalah 1500 kg/ha). Perlakuan 2 = 75 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha +100 kg KCl/ha + Dolomit: 1500 kg/ha. Perlakuan 3 = 75 kg urea/ha + 150 kg SP36/ha +100 kg KCl/ha + Dolomit: 1500 kg/ha. Perlakuan 4 = 75 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha +150 kg KCl/ha + Dolomit: 1500 kg/ha.
Tabel 9. Nilai probabilitas pada uji orthogonal kontras antarperlakuan yang diuji. Perlakuan
1 vs 2 2 vs 3 2 vs 4
Bobot 100 biji
Jumlah polong hampa/tanaman
Jumlah polong isi/tanaman
Tinggi tanaman panen
Hasil biji
tn tn tn
tn tn tn
0,04 tn 0,02
0,03 tn 0,04
0,09 0,08 0,47
1 vs 2 = menguji pengaruh sisa dolomit yang diberikan musim tanam sebelumnya; 2 vs 3 = menguji pengaruh peningkatan pupuk SP36; 2 vs 4 = menguji pengaruh peningkatan pupuk KCl; tn= tidak nyata
isi dan jumlah polong hampa. Bobot 100 biji meningkat dari 16,4 g menjadi 17,1 g namun peningkatannya tidak nyata. Peningkatan takaran KCl dari 100 kg menjadi 150 kg/ha tidak berpengaruh terhadap bobot 100 biji dan jumlah polong hampa/tanaman, bahkan tanaman lebih pendek dan jumlah polong isi berkurang dari 52 menjadi 40 polong/tanaman (Tabel 7 dan 9). Penambahan dolomit 1.500 kg/ha pada pertanaman kedelai pada MH II (dolomit 1.500 kg/ha juga diberikan pada MH I), selain memperbaiki pertumbuhan tanaman juga meningkatkan hasil sebesar 13% (Tabel 8 dan 9). Jika dihitung antara biaya yang dikeluarkan untuk membeli dolomit 1.500 kg (Rp 495.000) dengan peningkatan hasil (Rp 875.000, harga kedelai Rp 3.500/kg), maka terdapat tambahan pendapatan sebesar Rp 380.000/ha. Hasil kedelai tanpa pemberian dolomit pada musim tanam ke-2 (MH II) termasuk tinggi (1,89 t/ha). Apabila modal terbatas maka dolomit 1.500 kg/ha cukup 44
diberikan pada tanaman MH I, sedangkan MH II tidak perlu diberi dolomit, sehingga ada penghematan sebesar Rp 495.000/ha. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150 kg/ha meningkatkan hasil kedelai sekitar 12% (Tabel 8 dan 9). Jika dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk membeli 50 kg SP36 (Rp 80.000/ha) dengan peningkatan hasil (Rp 875.000, harga kedelai Rp 3.500/kg), maka masih terdapat tambahan pendapatan sebesar Rp 795.000/ha. Artinya, jika pertanaman kedelai pada MH II diberi dolomit kembali dengan takaran 1.500 kg/ha dan takaran pupuk SP36 ditingkatkan dari 100 kg menjadi 150 kg/ha, maka akan diperoleh tambahan pendapatan kumulatif sebesar Rp 1.175.000/ha. Peningkatan takaran pupuk KCl dari 100 kg menjadi 150 kg/ha tidak nyata meningkatkan hasil (Tabel 8 dan 9). Dengan demikian pupuk KCl cukup diberikan 100 kg/ha.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
KESIMPULAN
1. Produktivitas kedelai di lahan kering masam pada musim hujan sebesar 1,5-2 t/ha dapat dicapai dengan penggunaan varietas unggul Sinabung, Kaba, Burangrang, dan Anjasmoro. Tanaman dipupuk dengan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl + 1.500 kg dolomit/ha.Paket teknologi budi daya tersebut memberikan keuntungan sebesar Rp 2 juta/ ha. Dengan pola tanam kedelai-kedelai, dolomit dengan takaran 1.500 kg/ha cukup diberikan sekali (pada MH I) pada kedua musim tanam. 2. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150 kg/ha meningkatkan hasil kedelai 12%, dan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 750.000/ha. Pupuk KCl cukup diberikan 100 kg/ha. 3. Pemberian dolomit 1.500 kg/ha meningkatkan pH tanah dan Mg tersedia, serta menurunkan Al-dd.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, A., K. Nugroho, dan Sumarno. 1999. Pengembangan lahan kering untuk menunjang ketahanan pangan nasional. p. 21-22. Dalam Irsal L. et al. (eds). Prosiding Seminar Sumber Daya Lahan (Buku I). Puslitanak, Bogor. BPS (Biro Pusat Statistik). 2000. Statistik Indonesia 1999. Jakarta.
Hairiah, K., S. Ismunandar, dan E. Handayanto, 1998. Pengelolaan tanah secara biologi pada lahan kering beriklim basah melalui pendekatan holistik dan spesifik lokasi menuju sistem pertanian berkelanjutan. p. 12-28. Dalam Sudaryono et al. (eds). Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun 1998 (Buku 1). Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin K., dan I. Manwan. 1991. Peta agroekologi utama tanaman pangan di Indonesia. Lap. Khusus Pus/05/90. Puslitbangtan. Bogor. 24p. Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A. Gani, H. Pane, dan S. Abdurrachman. 2002. Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu padi sawah irigasi. Departemen Pertanian. 37p. Prasetyo, B.H. dan S. Ritung. 1998. Beberapa kendala pengembangan lahan kering di Indonesia. p. 267-275. Dalam Sudaryono
et al. (eds). Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun 1998 (Buku 2).
Rachim, D.A., Astiana, R. Sutanto, N. Suharta, A. Hidayat, D. Subardja dan M. Arifin. 1997. Tanah merah terlapuk lanjut serta pengelolaannya di Indonesia. p. 97-115. Dalam I. Las et al. (eds). Prosiding Seminar Sumber daya Lahan (Buku I). Puslitanak, Bogor. Rumbaina, D., Amrizal N., Widiyantoro, Marwoto, A. Taufiq, H. Kuntyastuti, D.M. Arsyad, dan Heriyanto. 2004. Pengembangan kedelai melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di lahan masam. p. 61-72. Dalam Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Lahan Masam. Balitkabi-BPTP Lampung. Setiawan, D. 1997. Keragaman susunan mineral liat beberapa tanah Sumatra Selatan (Buku II). Prosiding Kongres Nasional VI HITI. p. 33-40. Setijono, S. 1996. Effect of crop residues and lime materials on soil aluminium and phosphorus availability on high activity clay (HAC) acid mineral soil. Agrivita 19(4):153-157.
Sudar yanto, T., I. W. Rusastra, E. Jamal, dan A. Syam. 2002. Pengembangan Teknologi Pertanian Berbasis Agrobisnis, p. 7-17. Dalam M. O. Adnyana et al. (eds.). Prosiding Teknologi Pertanian Berbasis Sumberdaya Lokal Ramah Lingkungan dalam Menunjang Otonomi Daerah. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor. 523p. Sudaryono, H. Kuntyastuti, dan B. S. Radjit. 2002. Dinamika hara makro, mikro, perbaikan dan koservasi sifat fisik lahan kering untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kedelai. Laporan Teknis Penelitian. Balitkabi. Malang. Taufiq, A., H. Kuntyastuti, dan A.G. Manshuri, 2004. Pemupukan dan ameliorasi lahan kering masam untuk peningkatan produktivitas kedelai. p. 21-40. Dalam Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di L ahan Masam. Balitkabi – BPTP Lampung.
Van der Heide, J., S. Setijono, M.S. Syekhfani, E. N. Flach, K. Hairiah, S.M. Sitompul, and M. van Noordwijk. 1992. Can low external input cropping system on acid upland soils in the humid tropics be sustainable? Agrivita 15:1-10. Zakiah, E. Canto, Subowo G., Darman, M.A., Marwoto, H. Kuntyastuti, dan A. Taufiq. 2005. Potensi usahatani kedelai di lahan kering Sumatera Selatan: Pra Litkaji kedelai di Sumatera Selatan. Hlm. 60-69. Dalam Marwoto, Subowo G., dan A. Taufiq (eds). Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Lahan Kering Masam. Puslitbang. Sosek Pertanian, Jakarta.
45