6
kawasan konservasi, dengan menggunakan pendekatan ekonomi, sosial dan kebijakan. Dilakukan melalui penggalian manfaat dan pendugaan nilai ekonomi kawasan, menganalisis pemangku kepentingan, menggali modal sosial masyarakat yang tinggal di dalam kawasan, mengukur kapabilitas pemerintah serta analisa kebijakan yang berjalan saat ini untuk menghasilkan pilihan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang optimal. Pilihan kebijakan pengelolaan kolaborasi, pemerintah dan masyarakat merupakan ragam pengelolaan yang diambil berdasarkan keadaan spesifik lokal, mensikronkan kepentingan pemerintah dan masyarakat, meminimalkan resistensi dan memaksimalkan sinergitas pemangku kepentingan diharapkan dapat diimplementasikan dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Kawasan Konservasi Ada tiga perbedaan utama pengelolaan SDA, yaitu preservationist, conservationist, dan exploiter. Menurut preservationist, SDA sebanyak mungkin harus dilindungi dan dilestarikan tanpa ada kegiatan pembangunan, alam sebaiknya dibiarkan untuk mengatur dirinya. Sebaliknya bagi para exploiter, SDA dimanfaatkan sebagai sumber energi dan sumber ekonomi. Sedangkan paham konservasi berada pada kedua paham tersebut di atas, dimana konservasi menghendaki pemanfaatan SDA yang arif sesuai dengan tuntutan kelestarian tatanan ekosistem dan lingkungannya. Hal ini berarti perlu pendekatan ekologi dan ekonomi yang berimbang dalam pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga dapat dikatakan conservationist mengembangkan advokasi pengelolaan dengan prinsip-prinsip kelestarian (Alikodra 2000). Dalam UU no.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sistem pengelolaan TN dilaksanakan oleh pemerintah dan dikelola dengan sistem zonasi. Ada tiga zonasi dalam pengelolaan TN, yaitu : 1 Zona inti yaitu bagian kawasan TN yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia. 2 Zona pemanfaatan yaitu bagian dari kawasan TN yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata; dan 3 Zona lain diluar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan traditional, zona rehabilitasi, dan sebagainya. Dalam Permenhut No.56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi TN disebutkan bahwa zonasi TN adalah suatu proses pengaturan ruang dalam TN menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan, rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Adapun tujuan dari zonasi adalah untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi.
7
Adanya zonasi diharapkan pemanfaatan SDA dapat dikontrol secara efektif guna mencapai sasaran dan tujuan dari suatu kawasan konservasi (Salm et al. 2000). Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, prinsip-prinsip yang harus diadopsi dalam pengelolaan TN adalah: prinsip kemantapan kawasan, kelestarian fungsi ekologi, kelestarian fungsi ekonomi sumberdaya, dan kelestarian fungsi sosial budaya. Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan menjadi dimensi hasil yang kemudian dinyatakan sebagai kriteria kinerja pencapaian pengelolaan TN lestari (WWF 2006). Desentralisasi telah membawa implikasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dimana masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi (Tabel 1) terjadi setelah implementasi UU No.22 tahun 1999 (kemudian diganti dengan UU No.32 tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah. Sebenarnya proses desentralisasi telah dimulai pada awal tahun 1990-an ketika Dirjen PHKA mengadopsi konsep Integrated Conservation and Development Program (ICDP). Program ICDP didanai oleh USAID, Bank Dunia dan beberapa LSM internasional yang mengkaitkan program konservasi dengan pengembangan alternatif kegiatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dengan merangkul seluruh pemangku kepentingan dan mengakomodasi seluruh dimensi pembangunan yang menjadi tujuan bersama (Well et al. 1999). Konsep ICDP merupakan pendekatan pengelolaan secara multidisiplin yang mengaitkan pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan lindung dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat (Wiratno et al. 2004). Sebelumnya, konservasi dan pembangunan dianggap sebagai dua hal yang terpisah bahkan saling bertentangan. Konsep ini diterima dengan baik karena menawarkan pendekatan alternatif bagi pengelolaan kawasan lindung yang layak secara politis, dan memberi kontribusi bagi pencapaian tiga sasaran utama agenda pembangunan berkelanjutan yaitu konservasi keanekaragaman hayati yang efektif, peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam konservasi dan pembangunan, serta pengembangan ekonomi masyarakat miskin di pedesaan (Well et al. 1999; Wiratno et al. 2004). Hal ini disikapi pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19 tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA. Co-management atau pengelolaan kolaboratif menurut Borrini-Feyerabend (2000) diartikan sebagai kesepakatan dua atau lebih pemangku kepentingan untuk membagi informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungaan dan mekanisme kemitraan (partnership) yang disetujui secara bersama. Comanagement dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia memang diperlukan, karena menyangkut kompleksnya sub-sistem ekologi, budaya, ekonomi dan politik dengan berkaitan berbagai isu dan keterlibatan banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya. Kerjasama dari seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan konservasi akan meringankan beban biaya yang dibutuhkan karena para pemangku kepentingan yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan sumberdaya yang dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun pembiayaan.
8
Tabel 1 Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi Topik Tujuan
-
Paradigma lama Hanya untuk tujuan konservasi semata Dibangun utamanya untuk perlindungan hidupan liar yang istimewa Dikelola khusus untuk pengunjung wisatawan Nilai utamanya : wild life About protection
Pengelolaan
-
Oleh pemerintah pusat
-
Masyarakat setempat
-
Perencanaan dan pengelolaan ―memusuhi‖ masyarakat setempat Pengelolaan tanpa memperdulikan opini pendapat masyarakat Dikembangkan terpisah Dikelola seperti pulau biologi
-
-
-
-
Cakupan pengelolaan
-
-
-
-
-
Persepsi
-
Teknik pengelolaan
-
-
Pendanaan
-
Kemampuan manajemen
-
Dipandang utamanya sebagai asset nasional (milik pemerintah) Dipandang hanya untuk kepentingan nasional Pengelolaan kawasan konservasi sebagai respon jangka pendek Orientasi pengelolaan hanya difokuskan pada orientasi teknis Dibayarkan hanya dari pajak (taxpayer) pemerintah
-
Dikelola oleh ilmuwan dan para ahli sumberdaya Pemimpin ―ahli‖
-
-
-
-
-
Paradigma baru Mencakup tujuan konservasi dan ekonomi Dikembangkan juga untuk alasan ilmiah, ekonomi dan budaya Dikelola bersama masyarakat setempat Mencakup juga nilai budaya dan wild life yang dilindungi Also about restoration, rehabilitation and socio-economic purposes Melibatkan para pihak yang berkepentingan Dikelola bersama, untuk dan dikelola oleh masyarakat setempat Dikelola dengan mengakomodasi kepentingan masyarakat setempat
Direncanakan dan dikembang-kan sebagai bagian dari system nasional, regional dan internasional dikembangkan dalam bentuk ‗jaringan‘ (Protected Area Network) merupakan koridor jalur hijau Dipandang sebagai asset publik (milik masyarakat) Dipandang juga sebagai kepentingan internasional Pengelolaan diadaptasi menurut perspektif jangka panjang Orientasi pengelolaan juga mempertimbangkan aspek politik
Dibiayai dari berbagai sumber keuangan yang memungkinkan (pemerintah, swasta, masyarakat nasional – internasional) Dikelola oleh multi-skilled individual Dikembangkan dari kearifan lokal (local knowledge)
Sumber : dimodifikasi dari IUCN dalam Purwanti 2008 Transformasi pola pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat, pemerintah, swasta, dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan sekarang kolaborasi, sementara di Nepal terjadi tiga tahap evolusi yakni privatisasi, nasionalisasi, dan populisme (David et al. 2003). Bahkan pergeseran
9
juga terjadi di beberapa bagian Amerika Serikat tempat asal muasal pengelolaan eksklusif kawasan konservasi yang mulai bergeser menuju co-management. Peranserta masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik dimana produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat sekitar. Pemerintah di Negara India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat berkemampuan, memiliki pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumberdaya alam secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat adalah merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif dan dialogis (Means et al. 2002). Beberapa contoh co-management yang telah berhasil dilaksanakan dalam pengelolaan TN (disarikan dari Merrill dan Effendi 2001 dan Putro et al. 2012) diantaranya adalah: Co-management di TN Bunaken, Sulawesi Utara yang wadahnya dikenal dengan Dewan Pengelolaan TN Bunaken (DPTNB). Salah satu hasil rumusannya adalah penentuan tiket masuk TN Bunaken dan pendistribusian hasil pungutan tiket masuk tersebut yang diperkirakan sekitar Rp 750 juta per tahun. Pendistribusian tersebut yakni: 5 persen untuk dana pembangunan propinsi, 5 persen untuk pembiayaan pembangunan daerah-kota, 5 persen untuk pusat yang diperuntukkan untuk pembangunan KSDA dan ekosistemnya melalui Dephut cq. Ditjen PKA), dan 85 persen untuk dana pendukung pengelolaan TN Bunaken. Co-management di TN Kutai, Kalimantan Timur yang dikenal dengan Mitra Kutai, berhasil memberikan kontribusi bantuan keuangan bagi pengelolaan TN Kutai melalui rencana kerja tahunan senilai US$ 100.000 – US$150.000 per tahun. Co-management di TN Kayan Mentarang, Kalimantan Timur, yang hingga saat ini merupakan satu-satunya TN yang secara legal dinyatakan sebagai TN Kolaboratif, dan mempresentasikan hubungan formal antara pemerintah dengan pemerintah kabupaten, serta perwakilan masyarakat adat dalam proses pengambilan kebijakannya. Implementasi pengelolaan kolaboratif TNKM adalah diperolehnya peta tata guna lahan 10 wilayah adat dan menjadi konsep awal zonasi, dilakukan devolusi pengelolaan kepada Badan Pengelola Tanah Ulen (BPTU), kesepakatan menyatukan zonasi versi negara dan versi masyarkat adat dan membangun kesepakatan mengenai tema pengelolaan TNKM. Co-management di TN Gunung Halimun Salak, Jawa Barat dalam pengusahaan ekowisata berbasis masyarakat. Kolaborasi antara Balai TNGHS dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Warga Salutu dan Yayasan Ekowisata Halimun. Kolaborasi ini telah meningkatkan jumlah kunjungan ke TNGHS ± 4000 orang per tahun sehingga secara bertahap perekonomian masyarakat mengalami peningkatan. Distribusi pendapatan dari ekowisata Halimun diatur sebagai berikut: 20 persen manajemen KSM, 20 persen perawatan infrastruktur, 20 persen dana sosial, 10 persen promosi, 10 persen konservasi, 10 persen pendidikan KSM, dan 10 persen keamanan wilayah/lingkungan
10
Co-management di TN Bukit Duabelas, Jambi dalam usaha pelestarian kehidupan Orang Rimba. Sejak tahun 2002, LSM WARSI, Balai TNBD, dan BKSDA Jambi memfasilitasi pembentukan lembaga kemandirian Orang Rimba. Capaian yang diperoleh adalah hak wilayah hidup Orang Rimba seluas 60.500 ha telah diakui, ―hompongan‖ (bentuk penataan ruang dan alternatif pemanfaatan lahan berupa pembuatan agroforestri berbasis tanaman karet) sangat efektif untuk menahan tekanan perambahan dan menjadi sumber ekonomi orang rimba, dukungan riil dari pemda berupa pemberian fasilitas kartu sehat, bantuan bibit dan alat pertanian serta pembangunan wanatani untuk desa. Co-management di Great Barrier Reef Marine Park, Australia yang dikelola oleh badan otorita khusus dengan mempekerjakan ratusan orang dan memperoleh lebih dari 1 (satu) juta Dollar Australia setiap tahunnya. Dalam pengelolaan TN ini Kepala TN selalu berkonsultasi dengan kelompokkelompok yang berkepentingan termasuk masyarakat di sekitar TN yang kehidupannya tergantung dari sumberdaya TN tersebut. Selain itu workshop diantara para kelompok yang berkepentingan sering pula dilaksanakan untuk menyetujui keputusan pengelolaan yang spesifik seperti pengaturan peruntukan (zoning). Keberhasilan co-management tersebut akhirnya diikuti oleh Kakadu National Park dan Coburg National Park. Berdasarkan contoh co-management yang telah berhasil dilakukan tersebut, dapat diketahui bahwa pengelolaan kolaborasi tidak dapat mencakup semua aspek kegiatan di dalam TN, namun hanya terbatas untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Berarti perlu dukungan bentuk pengelolaan lain agar dapat mengelola TN dengan efektif, bisa berupa pengelolaan oleh masyarakat, pemerintah maupun swasta. Desentralisasi pengelolaan kawasan konservasi merupakan kebijakan pemerintah untuk mengefektifkan dan mendekatkan pengelolaan SDA ke pemerintah daerah dan masyarakat. Implementasi dari UU No.32 tahun 2004 tentang Pemda telah membuat adanya misinterpretasi atas kewenangan yang diberikan dalam pemanfaatan SDA. Desentralisasi kewenangan kepada daerah bukan merupakan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan daerah, namun harus dipandang sebagai pemberian hak dan kewajiban untuk dilaksanakan secara bertanggungjawab dan demi kepentingan masyarakat. Namun, peralihan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi tidak selamanya berjalan lurus mulus. Ketegangan hubungan pusat dan daerah terjadi akibat keengganan penyelenggara pemerintahan di tingkat pusat menyerahkan kewenangan kepada daerah dan egoisme kedaerahan yang berlebihan ditandai dengan terbitnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan peraturan di atasnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum yang berpotensi memicu konflik antara pusat dan daerah serta antara kelompok masyarakat menyangkut hak mereka untuk mendapatkan manfaat, akses dan tanggung jawab atas SDA termasuk hutan (Nurrochmat et al. 2006). Fisher 2000 mendefinisikan desentralisasi sebagai pelimpahan fungsi-fungsi administratif dari (pemerintah) pusat kepada unit kerja yang lebih rendah, yang tidak melibatkan perubahan pada pada pengambilan keputusan atau melimpahkan kekuasan. Sementara Ribot 2002 menyatakan desentralisasi adalah suatu tindakan dimana pemerintah pusat menyerahkan sebagian wewenangnya kepada aktor atau institusi pada level di bawahnya, baik secara hirarki administratif-sektoral maupun
11
hirarki teritorial. Berarti dalam desentralisasi terjadi pelimpahan fungsi administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten sampai desa. Selanjutnya Nurrochmat 2006 mengkategorisasikan desentralisasi menjadi dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi. Devolusi merupakan penyerahan sebagian wewenang/kekuasaan (power) dari pemerintah pusat kepada otoritas di daerah atau kepada masyarakat. Menurut Suharjito 2009, devolusi memberikan kekuasaan kepada unit kerja yang lebih rendah untuk merencanakan tujuan, mengambil keputusan secara independen, bahkan melakukan tindakan di luar apa yang sudah dirancang oleh pemerintah pusat, bukan hanya melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang sudah dirancang oleh pusat. Desentralisasi dan devolusi merupakan konsep yang menjadi perhatian dalam pengelolaan SDA karena kegagalan pengelolaan yang dilakukan pemerintah dan diharapkan menjadi angin segar dalam pelaksanaan pengelolaan SDA yang berkelanjutan.
Konsep Nilai dan Penilaian Sumberdaya Alam Nilai (value) merupakan persepsi seseorang; yaitu harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasan, dan kesenangan merupakan istilah lainnya yang dapat diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis dan Johnson 1987). Fauzi (2004) konsep nilai ekonomi bukan hanya menyangkut nilai pemanfaatan langsung dan tidak langsung semata, namun lebih luas dari itu. Di dalam konsep ekonomi menilai diartikan sebagai melakukan valuasi yang berhubungan dengan perubahan kesejahteraan masyarakat. Anna (2007) menyatakan pengertian nilai atau value bisa saja berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan dalam memahami pentingnya suatu ekosistem. Oleh karenanya diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama antara berbagai disiplin ilmu tersebut adalah dengan memberikan ―price tag‖ (harga) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya dan lingkungan. Penilaian peranan ekosistem, termasuk kawasan hutan merupakan pekerjaan yang sangat kompleks, mencakup berbagai faktor yang berkaitan dengan nilai sosial dan politik. Menurut Munasinghe dan McNeely 1994, nilai suatu kawasan konservasi sangat tergantung pada aturan-aturan manajemen yang berlaku. Secara konseptual, nilai total suatu kawasan terdiri atas nilai penggunaan (NP) dan nilai non-penggunaan (NNP). Pembagian lebih lanjut mengenai nilai suatu kawasan menurut Munasinghe dan McNeely (1994) disajikan pada Gambar 1.
12
Nilai Ekonomi Total
Nilai Non Penggunaan
Nilai Penggunaan
Nilai Penggunaan Langsung
Hasil yang dapat dikonsumsi secara langsung
Makanan Biomassa langka Rekreasi Kesehatan
Nilai Penggunaan Tidak Langsung
Keuntungan yang Bersifat Fungsional
Fungsi ekologis Pengendali banjir
Nilai Pilihan
Nilai Keberadaan
Nilai masa depan langsung maupun tak langsung
Biodiversity Konservasi habitat
Nilai Lain-lain
Nilai pengetahuan dan keadaan yang lestari
Habitat Spesies
Perlindungan badai
Kedapatan untuk dihitung (intangibility) manfaat individu makin kecil
Gambar 1 Kategori nilai ekonomi lingkungan hutan tropis (Munasinghe 1994 yang diadaptasi dari Pearce 1992) NET didasarkan atas penilaian preferensi manusia. Klasifikasi nilai menurut konsep NET terbagi atas nilai guna dan nilai bukan guna (nilai guna pasif). NET merupakan penjumlahan seluruh macam nilai guna, nilai pilihan dan nilai bukan guna (Pearce dan Turner 1990; Turner et al. 1994). Pearce dan Moran (1994) menyatakan bahwa nilai total tersebut tidak benarbenar total karena: (1) tidak mencakup keseluruhan nilai, kecuali nilai ekonomi, (2) banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total belum mencakup semua nilai ekonomi karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya lebih besar dan nilai fungsi secara tunggal. Hal ini sebelumnya juga telah diungkapkan oleh Manan (1985) dari sudut rimbawan, bahwa hutan mempunyai fungsi serbaguna, paling tidak sebagai penghasil kayu, pengatur tata air, tempat berlindung dan tumbuh kehidupan liar, penghasil pakan, dan tempat rekreasi. Namun sangat sulit menetapkan batas-batas fungsi tersebut secara tegas karena adanya interaksi antara fungsi-fungsi tersebut. Walaupun sebenarnya hal ini sudah dicoba diminimalisir dengan melakukan penilaian dengan pendekatan sistem (Bahruni 2008). Penilaian sumberdaya hutan merupakan studi tentang metodologi dan konsep penentuan nilai dari sumberdaya hutan. Seperti telah dijelaskan di muka, langkah pertama untuk untuk memperoleh nilai dari sumberdaya hutan adalah dengan melakukan identifikasi terhadap berbagai jenis manfaat yang dihasilkan dari sumberdaya hutan. Keberadaan setiap jenis manfaat ini merupakan indikator adanya nilai yang m enjadi sasaran penilaian. Setiap indikator nilai (komponen sumberdaya hutan) ini dapat berupa barang hasil hutan, jasa dari fungsi ekosistem hutan maupun atribut yang melekat pada hutan
13
tersebut dalam hubungannya dengan sosial budaya masyarakat. Identifikasi manfaat dapat dilakukan dengan analisis fungsi yaitu menterjemahkan karakteristik ekosisitem ke dalam daftar barang dan jasa (De Groot et al. 2002). Ini berguna untuk melihat dan menentukan ketersediaan saat ini dan potensi ekosistem dalam konteks ekologi dan biofisik. Langkah kedua dalam penilaian sumberdaya hutan ini adalah melakukan identifikasi kondisi biofisik hutan dan sosial budaya masyarakat karena proses pembentukan nilai sumberdaya hutan berdasarkan pada persepsi individu/ masyarakat dan kualitas serta kuantitas komponen sumberdaya hutan tersebut. Langkah selanjutnya adalah melakukan penilaian sumberdaya hutan melalui proses penilaian biofisik dan sosial budaya yaitu kuantifikasi setiap indikator nilai berupa barang hasil hutan, jasa fungsi ekosistem hutan serta atribut hutan dalam kaitannya dengan budaya setempat. Atas dasar kuantifikasi indikator nilai tersebut dilakukan penilaian ekonomi manfaat hutan, berdasarkan metode penilaian tertentu pada setiap klasifikasi nilai. Menurut Pearce dan Moran (1994) pada umumnya metode penentuan nilai ekonomi sumber daya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yang mencakup beberapa teknik, yaitu: pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung mencakup teknik-teknik yang mengupayakan memperoleh penilaian secara langsung dengan menggunakan percobaan dan survey. Teknik survey (kuesioner) terdiri atas dua tipe yaitu rangking (contingent ranking method) dan perolehan nilai, berupa kesediaan membayar (willingnes to pay, WTP) dan kesediaan untuk menerima kompensasi (willingness to accept, WTA). Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi adalah kesediaan membayar dari individu untuk sumber daya alam atau jasa lingkungan yang diperolehnya (Pearce dan Moran 1994; Munasinghe 1994; Hufschmidt et al. 1983) atau kesediaan untuk menerima kompensasi akibat adanya kerusakan lingkungan di sekitarnya (Pearce dan Moran 1994; Hufschmidt et a.l 1983). Kesediaan membayar atau menerima, merefleksikan preferensi individu terhadap perubahan suatu lingkungan dari keadaan awal (Q0) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik (Q1). Kesediaan membayar tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut (Pearce dan Moran 1994): WTPi = f (Q1 – Q0 Pown, Psub,i, Si, Ei) Dimana: WTPi = kesediaan membayar rumah tangga ke-i Pown = harga dari penggunaan sumber daya lingkungan Psub = harga substitusi untuk penggunaan sumber daya lingkungan Si = karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke-i Ei = galat acak Kesediaan seseorang untuk membayar sejumlah barang menggambarkan manfaat marginal pada tingkat konsumsi tersebut. Dengan melihat jumlah yang dikonsumsi dan kesediaan membayar maka dapat dibuat kurva fungsi manfaat marginal barang atau jasa tersebut. Metode valuasi ekonomi seperti penilaian kontingensi, biaya perjalanan dan harga hedonis telah digunakan secara luas di beberapa tahun terakhir untuk mengevaluasi manfaat publik dari proyek-proyek kehutanan, di seluruh negara maju (Willis dan Garrod 1992; Hanley dan Ruffell 1993; Adamowicz et al. 1996).
14
Metode kontingensi adalah yang paling populer dimana responden disurvei dan diminta kesediaan mereka untuk membayar (WTP), untuk perbaikan lingkungan atau untuk mencegah beberapa bentuk degradasi lingkungan (Mitchell dan Carson, 1989), yang kemudian disisipkan ke dalam kebijakan lingkungan. Meskipun popularitas dan pengaruh penilaian kontingensi telah masuk dalam penentuan kebijakan kehutanan, perdebatan terus berlangsung sekitar teknis dan desain aspek metode. Keprihatinan mendasar lainnya yang berkaitan dengan bagaimana individu berpikir tentang lingkungan, dan kebutuhan untuk pendekatan yang berkelanjutan untuk pengambilan keputusan juga menyarankan bahwa penilaian kontingensi mungkin tidak dapat mengatasi beberapa kebutuhan evaluasi kehutanan modern. Sebagai upaya meminimalisir masalah tersebut dicari alternatif dan metode pelengkap untuk meningkatkan evaluasi kebijakan lingkungan. Sagoff (1998), menyatakan bahwa pendekatan konstruktif, deliberatif dan diskursif bisa menyelesaikan masalah teknis yang rumit seperti yang terdapat dalam metode penilaian kontingensi. Sagoff (1998) menyarankan pembentukan Citizen Jury atau Konsensus Warga yang menekankan metode diskusi informasi, menuju konsensus berdasarkan kepentingan umum mungkin sangat berguna sebagai alternatif atau pelengkap penilaian kontingensi. Tonn et al. (1993) menyoroti topik khusus sebagai sarana untuk meningkatkan kredibilitas yang ada pada teknik penilaian lingkungan. Berkenaan dengan urgensi penilaian, Nurrochmat (2006) mengemukakan bahwa penilaian SDH berguna sebagai dasar: (1) penyusunan Neraca SDH; (2) pembelian, penjualan, sewa, lelang lahan dan tegakan hutan; (3) peminjaman modal atau kredit, (4) ganti rugi kerusakan hutan (kebakaran, pencemaran lingkungan, dsb); (5) perencanaan dan studi kelayakan investasi publik dan privat dalam pengelolaan SDH; (6) penentuan pilihan tujuan pengelolaan ekosistem hutan pada setiap fungsi hutan; dan (7) perhitungan tariff (dana reboisasi, kompensasi, jaminan kerja, dsb). Hasil penilaian yang dilakukan memberikan gambaran manfaat yang dihasilkan kawasan, namun masih bersifat potensi. Untuk menjadikan nilai ini menjadi nyata dan dapat menjadikan kawasan mandiri dalam hal pembiayaan maka perlu mekanisme pembiayaan. Powell et al. (2002) dan Landell-Mills dan Porras (2002) menyajikan tiga tipologi mekanisme pembiayaan sesuai dengan tingkat intervensi dan keterlibatan pemerintah, yaitu: skema penawaran swasta (self-organized), skema perdagangan dan skema pembayaran publik. Sementara itu IUCN (2000) dan De Groot et al. (2007) mengusulkan klasifikasi mekanisme pembiayaan berdasarkan sumber-sumber keuangan, yaitu: internasional, nasional, dan lokal (site). Kemungkinan lain untuk mengklasifikasikan mekanisme pembiayaan sesuai dengan jenis layanan yang diberikan ekosistem (Verweij, 2002).
Konsep Pemangku Kepentingan Pemangku kepentingan merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan (Fletcher et al. 2003), yang diidentifikasi dengan pertimbangan tertentu, yaitu dari posisi penting dan pengaruh yang mereka miliki. Pemangku kepentingan mencakup semua aktor atau kelompok yang
15
mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah proyek. Pemangku kepentingan juga mencakup kategori yang lebih samar dari ‗generasi masa depan‘, ‗ketertarikan nasional‘, dan ‗masyarakat yang lebih luas‘. Pemangku kepentingan menyajikan suatu sistem dengan tujuan, sumber dan sensitivitas yang berasal dari mereka sendiri. Selanjutnya Fletcher et al. 2003 mengelompokkan pemangku kepentingan ke dalam beberapa kelompok, yaitu pemangku kepentingan primer (utama), pemangku kepentingan sekunder (pendukung), dan pemangku kepentingan kunci. Sementara Reed et al. 2009 mengelompokkan pemangku kepentingan berdasar pengaruh dan kepentingannya sebagai key players, context setter, subjects, dan crowd. Key player merupakan pemangku kepentingan yang aktif karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu kegiatan. Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan, oleh karenanya dapat menjadi resiko yang signifikan untuk harus dipantau. Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah walaupun mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada, namun dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan pemangku kepentingan lainnya. Crowd merupakan pemangku kepentingan yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan (power) yang dimiliki pemangku kepentingan untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan pemangku kepentingan dalam pencapaian output dan tujuan. Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan. Dalam suatu kegiatan/proyek/pengelolaan selalu terdapat banyak pemangku kepentingan. Bagaimana model pelibatan pemangku kepentingan selanjutnya harus dilihat lagi dengan kemampuan dari para pemangku kepentingan untuk saling mempengaruhi. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan konsep pengaruh dari Yukl (1994) yang menyatakan bahwa keberhasilan suatu kebijakan pengelolaan ditentukan oleh kemampuan saling mempengaruhi di antara pemangku kepentingan yang terkait. Dimana key players harus optimal, terutama dalam memanfaatkan pengaruh yang dimiliki oleh kelompok context setter. Besar kecilnya pengaruh pemangku kepentingan tergantung pada kekuatan yang dimilikinya. Yukl (1994) mengacu pada French & Raven (1959) membagi kekuatan dalam lima kategori berdasarkan sumber-sumbernya yaitu: reward power, coercive power, legitimate power, expert power dan referent power. Reward power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dimiliki oleh agen. Coercive power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat menghindari hukuman yang diyakini dimiliki oleh agen. Legitimate power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai hak untuk meminta dan orang yang ditargetkan mempunyai kewajiban untuk mematuhinya. Expert power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara terbaik untuk melakukan sesuatu. Referent power orang yang ditargetkan menjadi patuh karena ia mengagumi dan mengidentifikasi dirinya dengan agen tersebut dan ingin memperoleh penerimaan dari agen.
16
Konsep Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Putnam et al. 1993 merumuskan konsep modal sosial sebagai ―semua elemen organisasi sosial seperti kepercayaan, norma-norma, dan jaringan , yang meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memperlancar tindakan terkoordinasi‖. Tetapi Putnam 1993 kemudian merincinya lebih jauh sebagai seperangkat nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan yang mempermudah masyarakat bekerja sama secara efektif dan terkoordinasi untuk mencapai tujuantujuannya. Definisi modal sosial yang dikemukan Putnam (1993) ini adalah berdasarkan fungsinya seperti juga Coleman (1988) dan Uphoff (1999). Coleman (1998) mendefinisikan modal sosial berdasarkan fungsinya, bukanlah suatu entitas tunggal tetapi terdiri dari sejumlah entitas dengan dua elemen yang sama yaitu: semua terdiri dari aspek struktur-struktur sosial dan memfasilitasi tindakan-tindakan antara orang perorang dalam struktur. Sementara Uphoff (1999) merinci modal sosial menjadi dua kategori yaitu bentuk struktural dan kognitif. Penelitian ini akan menggunakan konsep modal sosial dari Putnam (1993) karena penelitian ini lebih menitik beratkan pada kegiatan ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam. Putnam (1993) mendefinisikan kepercayaan sebagai bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh perasaan ‗yakin‘, bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan saling mendukung. Tindakan saling mendukung disini diartikan paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam 1993). Kepercayaan sosial timbul dari kepercayaan yang timbul dan berkembang diantara individu-individu (Putnam et al. 1993). Kepercayaan sosial dapat mempengaruhi tahap awal kebijakan sumberdaya alam. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan individu untuk bertindak secara kolektif (Putnam et al. 1993) dan tingkat untuk bekerjasama secara sukarela yang dikembangkan antara mereka (Gachter et al. 2004). Berkaitan dengan sumberdaya alam, kepercayaan sosial mempengaruhi perilaku individu karena mengarah pada tindakan terhadap barang milik bersama (common good). Warga masyarakat dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang pandangan umum terhadap kegiatan lingkungan yang ada dalam komunitas mereka (Lubell, 2002) dan tingkat kerjasama antar individu untuk penyelesaian masalah kolektif (Bowles dan Gintis, 2002). Norma sosial mengacu pada aturan formal dan informal dalam pemanfaatan barang milik bersama dan akan memfasilitasi tindakan kolektif (Putnam et al. 1993; Narayan dan Cassidy 2001). Norma sosial dan nilai-nilai dapat dianggap sebagai regulator untuk apa yang dianggap sebagai benar dan salah dalam masyarakat (Coleman 1990) yang dapat mempengaruhi perilaku individu (Agrawal dan Gibson 1999). Dalam konteks kebijakan lingkungan, norma sosial dapat mempengaruhi sikap terhadap lingkungan sampai batas tertentu bahkan menyebabkan perilaku terhadap lingkungan (Miller & Buys 2008). Asumsi ini juga berhubungan dengan dampak negatif modal sosial terhadap anggota masyarakat atau kelompok masyarakat (Portes 1998; Putnam 2000). Selain itu, persepsi tertentu mungkin bertentangan dengan bukti ilmiah tentang masalah degradasi lingkungan (Pretty 2003) sehingga menghalangi pemahaman masalah lingkungan dari masyarakat dan konsekuensinya untuk diperkenalkan dalam agenda kebijakan.
17
Jaringan sosial dapat dibagi pada hubungan formal (misalnya, partisipasi dalam organisasi) dan informal (misalnya, jaringan hubungan dengan keluarga dan teman) dengan pendiri juga termasuk partisipasi masyarakat (Beugelsdijk & Schaik 2005; Grootaert & van Bastelaer 2002). Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan antara individu dalam komunitas. Keterkaitan terwujud di dalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun tingkat lebih tinggi. Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan (religious belief) cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. Grootaert et al. (2003) menyatakan bahwa hubungan atau jaringan sosial sebagaimana yang dijelaskan dalam modal sosial dapat dibedakan menjadi tiga hal: Bonding social capital (atau keterkaitan horisontal); Bridging social capital (atau keterkaitan horisontal dengan pihak yang berbeda karakter); dan Linking social capital (atau keterkaitan vertikal). Modal sosial melekat dalam asosiasi-asosiasi horizontal yang memiliki efek pada produktifitas komunitas, terciri pada jaringan-jaringan kelompok warga dan norma-norma sosial. Asumsinya, jaringan-jaringan dan norma-norma terasosiasi secara empiris dan berkonsekuensi penting memperlancar koordinasi, dan kerjasama untuk memperoleh manfaat mutual di antara anggota-anggota asosiasi itu. Putnam 1995 mendefinisikan modal sosial sebagai ―the collective value of all „social networks and the inclinations that arise from these networks to do things for each other”. Putnam percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masyarakat atau di antara individuindividu. Pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat atau komunal muncul ketika terdapat kesepakatan pemanfaatan bersama di antara anggotanya. Kesepakatan ini bisa terjadi karena terdapat interaksi secara regular dan berkesinambungan antara anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya. Salah satu hal yang terpenting adalah bahwa aksi bersama hanya dimungkinkan jika sejumlah modal sosial tersedia di dalam suatu komunitas (Grootaert et al. 2003). Isham (2000) menganalisis potensi pengaruh modal sosial terhadap perikanan, yang dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu: biaya transaksi (transaction cost) dan aksi bersama (collective action). Interaksi sosial sesungguhnya dapat mempengaruhi besarnya biaya transaksi dalam pertukaran, ketika pelaku ekonomi terus menerus dan secara regular berinteraksi dalam suatu kondisi sosial tertentu, mereka akan membentuk suatu pola perilaku dan membangun ikatan kepercayaan. Ditambah lagi jika terdapat kemungkinan pengenaan sanksi, maka interaksi ini bisa menurunkan kemungkinan perilaku oportunistik dari pelaku ekonomi yang berada dalam struktur sosial yang sama. Olson (1965) menyatakan bahwa tanpa adanya kendala tertentu yang mendorong ataupun memaksa pelaku ekonomi, maka pelaku ekonomi tidak akan memiliki insentif untuk berpartisipasi dalam aksi bersama untuk mencapai tujuan bersama.
18
Interaksi secara regular dalam suatu kondisi sosial dapat mengarah kepada pembentukan institusi yang dapat berfungsi sebagai kendala, sehingga dapat menurunkan insentif bagi pelaku ekonomi untuk menjadi penumpang bebas (free rider). Modal sosial atau khususnya jaringan, sesungguhnya menghasilkan eksternalitas. Dilihat dari eksternalitas yang dihasilkan, terdapat dua perspektif dalam memandang modal sosial (Birner & Wittmer 2000): 1 Perspektif aktor, yang diformulasikan oleh Bourdieu (1992), di mana modal sosial merupakan sumber daya yang dapat dimobilisasi oleh aktor individual karena keanggotaannya pada suatu jaringan eksklusif. Karena pembentukan jaringan menghasilkan eksternalitas terbatas, maka Dasgupta (2002) menyatakan bahwa modal sosial semacam ini merupakan aspek dari sumber daya manusia (human capital). 2 Perspektif masyarakat (society), seperti penelitian yang dilakukan oleh Putnam (1993), di mana modal sosial adalah barang publik (public good) yang dimiliki oleh organisasi dan jaringan horisontal dalam suatu masyarakat (Rosyadi et al. 2003). Dalam hal ini, modal sosial berkontribusi terhadap eksternalitas publik, dalam arti memberi dampak luas, maka modal sosial merupakan komponen ‗total faktor produktivitas‘ (total factor productivity) (Dasgupta 2002). Analisis modal sosial dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan pemanfaatan SDA, modal sosial dapat berkontribusi pada pola pemanfaatan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi penggunanya, seperti pencemaran dan/atau produksi yang berlebih. Hasil penelitian mengenai modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Prasetiamartati et al. 2007) membuktikan bahwa modal sosial input yaitu rasa percaya dan modal sosial output berupa aksi bersama terbukti dapat mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan melalui aksi bersama pelarangan kegiatan penangkapan ikan yang merusak. Penelitian Suharjito dan Saputro (2006) menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat Kasepuhan, Banten Kidul tergolong cukup kuat dalam pengelolaan sumberdaya pertanian-kehutanan yang diukur dari unsur-unsur modal sosial berupa kepercayaan (trust), aturan (rules) dan peranan (roles), dan jejaring sosial (social networks). Modal sosial ini dikombinasikan dengan modal manusia (human capital), modal sumberdaya alam (natural resources capital) dan teknologi dapat mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam (termasuk hutan) yang produktif, adil, dan berkelanjutan. Hutan kemiri di Kabupaten Maros terbangun sebagai wujud dari keterkaitan modal sosial mikro dan modal sosial makro dalam bentuk saling percaya (mutual trust) dan jaringan (networking) secara bersama-sama melahirkan tindakan terkoordinasi membangun hutan kemiri. Dominasi modal sosial mikro (pengakuan masyarakat terhadap hak penguasaan lahan) dalam pengelolaan hutan kemiri sangat kuat menyebabkan masyarakat secara berkelompok membangun hutan kemiri (Suyuti 2007). Dalam kawasan konservasi di Indonesia juga ditemukan bahwa modal sosial masyarakat memberikan pengaruh yang positif dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan secara lestari (Purnama 2005; Harada et al. 2001; Manembu 1991; Prabandani 2001; Mulyani 1997; Fazriyas 1998; Muda 2005; Aliadi dan Kaswinto 2003; Andriani 2007 dalam Pokja Kebijakan Konservasi 2008 ).
19
Berdasarkan pemahaman tersebut maka modal sosial dalam masyarakat dapat digunakan untuk menentukan pola pengelolaan sumberdaya ataupun dapat digunakan untuk menentukan aktor yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya. Birner dan Wittmer 2000; Nurrochmat 2005, menggunakan modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam menentukan pola pengelolaan hutan. Dalam model tersebut dapat tentukan bahwa pengelola suatu kawasan dapat diberikan kepada pemerintah, swasta, masyarakat atau kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat. Adapun gambar pola pengelolaan hutan berdasarkan modal sosial dan kapabilitas pemerintah adalah sebagai berikut: Kapabilitas Pemerintah Lemah
Lemah
Kuat State Own
Private
Modal sosial
CoKuat
CBFM
Management
Gambar 2 Hubungan antara modal sosial dan kapabilitas pemerintah (Sumber: Birner & Wittmer 2000; Nurrochmat 2005).
Konsep Kapabilitas Pemerintah Kapabilitas sering digunakan sebagai sinonim dari konsep power (kekuasaan). Tetapi kapabilitas dapat diartikan juga sebagai atribut-atribut negara/bangsa (atau aktor-aktor politik lainnya) yang nyata terlihat dan yang tidak nyata terlihat sehingga para aktor mampu melakukan berbagai tingkat kekuasaan. Definisi kapabilitas dalam www.thefreedictionary.com/capability diartikan sebagai bakat atau kemampuan yang memiliki potensi untuk digunakan atau dikembangkan. Sementara Winarno 2009 menyatakan bahwa kapabilitas adalah kemampuan untuk melakukan dan mempromosikan tindakan-tindakan kolektif secara efisien. Jadi kapabilitas adalah kemampuan untuk menyempurnakan tindakan. Dalam penelitian ini kapabilitas pemerintah dapat diartikan sebagai kapasitas negara untuk menggunakan sumberdaya yang diintegrasikan dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kapabilitas ‗memampukan‘ negara untuk menciptakan dan mengeksploitasi peluang-peluang eksternal serta mengembangkan keunggulan yang berdaya tahan.
20
Konsep Kebijakan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan (Suharto 2005). Menurut Ealau dan Prewitt 1973 dalam Suharto 2005, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss 1974 dalam Suharto 2005 mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan tertentu, karena itu kebijakan, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Berdasarkan definisi-definisi mengenai kebijakan di atas, maka kebijakan merupakan suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Kebijakan adalah sebuah instrumen pemerintahan, tidak saja dalam arti government (hanya menyangkut aparatur negara), melainkan pula governance yang menyentuh berbagai kelembagaan, baik swasta, dunia usaha maupun masyarakat madani (civil society) (Suharto 2007). Lebih lanjut dinyatakan kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian SDA, finansial dan manusia demi kepentingan publik. Suatu kebijakan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang bertanggung jawab terhadap generasi saat ini maupun generasi yang akan datang terdiri dari satu himpunan peraturan serta tindakan yang berhubungan dengan penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan yang membuat perekonomian bekerja efisien serta bertahan dalam waktu yang tak terbatas (Suparmoko 2008). Kebijakan yang bertanggungjawab tidak menurunkan pola konsumsi agregat dan tidak membiarkan lingkungan fisik yang rusak, maupun tidak menimbulkan resiko yang besar bagi generasi yang akan datang, tetapi justru akan membuat generasi yang akan datang sejahtera. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi tersedianya sumberdaya alam di masa datang dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu faktor teknologi, faktor permintaan dan gaya hidup serta faktor kelembagaan dan pemerataan (Suparmoko 2008). Menurut Dunn 1998, analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan pelbagai metode penelitian dan argument untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Ruang lingkup dan metode-metode analisis sebagian bersifat deskriptif dan informasi yang nyata mengenai sebab dan akibat kebijakan. Lebih lanjut Dunn 1998 menyatakan bila dilihat dari sisi pendekatannya maka ada tiga pendekatan dalam analisis kebijakan yaitu: 1) pendekatan empiris; 2) pendekatan evaluatif dan 3) pendekatan normatif. Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan pada hakekatnya adalah memilih suatu alternatif. Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Menurut Dunn 1998, ada lima tipe informasi yang dapat dihasilkan dari analisis kebijakan yakni: masalah kebijakan, masa depan
21
kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan. Kelima tipe informasi tersebut dihasilkan dari lima kegiatan analisis kebijakan yang meliputi: perumusan masalah kebijakan, peramalan masa depan kebijakan, perancangan kebijakan (rekomendasi), pemantauan hasil kebijakan dan penilaian kinerja kebijakan. Menurut Tietenberg 1992, ada tiga instrumen kebijakan yang dapat digunakan dalam menangani masalah lingkungan yakni: 1) pendekatan negoisasi langsung antara pihak-pihak yang terlibat; 2) pendekatan perintah dan pengendalian; dan 3) pendekatan mekanisme pasar. Selanjutnya dinyatakan bahwa tidak ada satu pendekatan yang dapat digunakan untuk segala macam situasi, karena masing-masing pendekatan tersebut sesuai untuk suatu masalah tapi tidak sesuai untuk masalah yang lain. Selanjutnya dinyatakan bahwa pendekatan negosiasi sesuai digunakan bila pihak-pihak yang terlibat relatif sedikit, sehingga negoisasi dapat berlangsung efisien. Pendekatan perintah dan pengendalian yaitu pemerintah mengeluarkan perintah atau aturan yang harus dilaksanakan untuk menghindari kemungkinan terjadinya degradasi/kerusakan SDA dan lingkungan, selanjutnya pemerintah melakukan pengendalian guna memastikan apakah ketentuan atau aturan yang telah diberlakukan dilaksanakan atau tidak oleh masyarakat, jika tidak maka akan dapat diberikan sangsi hukum kepada setiap pelanggar. Pendekatan mekanisme pasar saat ini mendapat perhatian yang serius baik oleh praktisi lingkungan maupun pengambil kebijakan. Pendekatan ini lebih murah biayanya dan hasilnya efektif. Pendekatan ini menggunakan instrument ekonomi, yaitu berupa: pajak, subsidi, denda, pembatasan penggunaan input, pembatasan terhadap output, dan ijin emisi yang dapat diperjual belikan. Field 1994 menyatakan intervensi kebijakan publik yang dapat digunakan antara lain dapat berupa himbauan moral (moral suasions), perangkat aturan yang dikontrol (command and control), dan pengaturan berbasis insentif ekonomi (economic incentive based). Himbauan moral yang dimaksud adalah ajakan‐ajakan untuk berbuat baik dalam rangka melindungi dan melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan. Di sini dimaksudkan untuk membangkitkan sikap‐sikap altruistic yaitu sikap‐sikap yang peduli kepada sesama makhluk hidup. Mekanisme himbauan moral ini tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak bersanksi, walaupun demikian pada banyak kejadian cukup efektif. Perangkat aturan yang dikontrol diartikan sebagai kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan menggunakan standar‐standar dan mengontrolnya dengan peraturan‐peraturan hukum yang disertai sanksi‐sanksi (Turner et al. 1994). Pendekatan yang digunakan adalah paksaan (coercive). Pengaturan berbasis insentif ekonomi yaitu suatu pendekatan pengelolaan lingkungan dengan penciptaan nilai atau harga bagi lingkungan yang lebih baik, sehingga lingkungan bukan merupakan barang gratis.