2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kawasan konservasi perairan atau kawasan konservasi laut adalah kawasan
perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah didasarkan pada prinsip-prinsip pencegahan
tangkap
lebih
(over
fishing),
pengaturan
penggunaan
alat
penangkapan ikan, cara penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan, pengelolaan berbasis masyarakat, pertimbangan kearifan lokal, dan pertimbangan bukti ilmiah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. Pemanfaatan Kawasan Konservasi Laut Daerah diprioritaskan untuk melindungi potensi perikanan dan kelautan dari eksploitasi berlebihan dan untuk menjamin ketersediaan sumber daya laut secara berkelanjutan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengembangan budidaya perikanan yang ramah lingkungan, pengembangan pariwisata bahari yang memberi manfaat secara langsung kepada masyarakat, serta konservasi terumbu karang, mangrove, padang lamun, penyu, paus dan keanekaragaman hayati laut yang potensial dan semakin terancam. Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) diatur dengan sistem zonasi, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya (Undang – Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan), dengan penjelasan sebagai berikut : a.
Zona inti (core zone atau sanctuaries) Habitat yang mempunyai nilai konservasi yang sangat tinggi dan sangat
rentan. Tidak ada kegiatan yang ekstraktif diijinkan dalam zona inti. Zona inti sudah diidentifikasi sebagai daerah perlindungan laut (DPL) sebelum batas kawasan terluar ditetapkan. Zona ini ditempatkan pada zona yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi. Zona inti hanya diperuntukan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian, serta pendidikan.
6
b.
Zona Perikanan Berkelanjutan Zona ini merupakan zona yang memiliki nilai konservasi, tetapi dapat
bertoleransi dengan pemanfaatan oleh pengguna (nelayan dan pembudidaya), dan juga zona yang berpotensi untuk berbagai pemanfaatan yang ramah lingkungan. Zona Perikanan Berkelanjutan diperuntukan bagi : perlindungan habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, budidaya
ramah
lingkungan,
pariwisata
dan
rekreasi,
penelitian
dan
pengembangan, serta pendidikan. c.
Zona Pemanfaatan Terbatas Zona pemanfaatan akan ditentukan supaya selaras dengan berbagai
pemanfaatan yang ada dalam kawasan dan sesuai denga tujuan KKLD. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam Zona Pemanfaatan adalah kegiatan yang nonperikanan komersial, seperti : olah raga air, wisata bahari, recreational fishing, penelitian, pendidikan, dan zona khusus untuk perlindungan. Zona pemanfaatan dapat juga berfungsi sebagai penyangga kawasan, untuk menjaga proses-proses ekologis yang ada dalam kawasan. Zona Pemanfaatan diperuntukan bagi : perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan, serta pendidikan. d.
Zona lainnya sesuai dengan karakteristik dan peruntukannya Zona ini merupakan zona peruntukan yang tidak termasuk dalam ke tiga
zona di atas. Misalnya zona khusus untuk pelabuhan yang ada dalam kawasan konservasi, yaitu suatu ‘enclave’. Zona yang mempunyai aturan sendiri dalam pengelolaannya. Berdasarkan penjelasan PP KSDI, zona lain merupakan zona di luar zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu. Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 serta Permen Men KP No. 02 Tahun 2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Pengaturan zona dan perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, harus mengakomodir hak-hak tradisional masyarakat. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya). Peran serta
7
masyarakat diwadahi melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. 2.2
Perikanan Budidaya Ramah Lingkungan Berdasarkan Kepmen KP No. 02/Men/2007 tentang Cara budidaya ikan
yang baik adalah cara memelihara dan/atau membesarkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol sehingga memberikan jaminan keamanan pangan dari pembudidayaan dengan memperhatikan sanitasi, pakan, obat ikan, dan bahan kimia, serta bahan biologis. Saat ini, terdapat 2 (dua) sistem kegiatan budidaya ikan laut yang dikembangkan di kawasan konservasi, yaitu : keramba jaring tancap (KJT) dan keramba jaring apung (KJA). Dimana setiap sistem memiliki perbedaan dalam pengelolaan areal budidaya, ukuran benih, kepadatan benih, dan pemberian pakan. Perbedaan ini ditentukan oleh spesies yang dibudidayakan, keahlian pembudidaya, dan kemampuan keuangan. Berdasarkan hasil penelitian Nga et al. (2002a & 2002b), memperlihatkan adanya dua tipe kegiatan perikanan budidaya, yaitu : a. Keramba jaring tancap (KJT) dicirikan dengan investasi awal rendah, kelangsungan hidup rendah, serta efisiensi ekonomi rendah. Suatu keramba yang terbuat dari kerangka jaring di luar dan dalam. Bingkai, dengan bentuk persegi atau persegi panjang, terbuat dari besi, bambu, atau kayu. Keramba ini terbagi menjadi beberapa kompartemen dengan luas areal 6-16 m2/keramba. Keramba dipasang di dasar laut. Biasanya terdapat jarak antara keramba satu dengan lainnya, sekitar 20-50 m (Nga et al. 2002a). b. Keramba jaring apung (KJA) dicirikan oleh investasi yang lebih mahal, tapi menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tinggi, serta efisiensi ekonomi yang lebih tinggi. KJA diletakkan bersama-sama dari keramba kecil yang terpisah dengan bentuk persegi atau persegi panjang, I unit budidaya (rakit) rata-rata terdiri dari 4 keramba. Rakit dengan jangkar, agar tetap mengapung di atas permukaan air dipasang pelampung dan bingkai kayu. Rata-rata luas permukaan keramba kecil di Dam Bay dan di Bich Dam adalah 15,9 m2 dan
8
10,8 m2, dengan masing-masing ukuran rakit apung 56,4 m2 atau 44,9 m2 (Nga et al. 2002b). Berdasarkan hasil observasi Kinh (2004) pada tahun 2002, dari 29% pembudidaya lokal, sekitar 55% melaksanakan kegitan budidaya dengan tipe KJT. Berdasarkan hasil ini juga diperoleh bahwa kepemilikan keramba oleh pendatang lebih tinggi dibandingkan penduduk lokal pulau. Kegiatan budidaya dalam KJA yang intensif memerlukan investasi yang lebih tinggi. Banyak pembudidaya setempat menyatakan bahwa mereka tetap lebih suka KJT karena mereka lebih murah. KJA kebanyakan dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di luar kawasan konservasi. 2.2.1 Perikanan Budidaya Laut Sistem Keramba Jaring Apung (KJA) Dirjen perikanan (2001) mendefinisikan keramba jaring apung (KJA) sebagai tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang memungkinkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran ke perairan sekitarnya. Komponen-komponen keramba jaring apung terdiri dari kerangka atau bingkai, pelampung, jangkar, pemberat jaring, penutup kantung jaring, bangunan fisik dan peralatan pendukung lainnya. Teknologi budidaya ikan dalam KJA telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Menurut Ismail et al. (1996), teknologi ini sudah diterapkan para petani di Indonesia sejak tahun 1940 di beberapa sungai besar dan perairan waduk. Kemudian dalam perkembangannya di tahun 1976, mulai dilakukan adopsi terhadap teknik dasar budidaya dengan menggunakan jaring apung yang dilakukan oleh petani di sekitar waduk Jatiluhur. Di tahun 1998, budidaya khususnya budidaya ikan dalam KJA tersebut mulai dikembangkan di perairan pesisir. Menurut Rachmansyah et al. (1997), budidaya perikanan dengan sistem keramba jaring apung memiliki keunggulan komperatif diantaranya: a.
Efisien dalam penggunaan perairan dengan tingkat produktivitas tinggi dibandingkan tambak, tidak memerlukan pematang, saluran air dan pengoperairan perairan sehingga dapat mengurangi biaya produksi.
b.
Unit usaha dapat ditentukan sesuai kemampuan modal dengan menggunakan bahan rakit sederhana sesuai bahan yang tersedia di sekitar lokasi budidaya.
9
c.
Mudah dipantau karena wadah budidaya yang relatif terbatas, terhindar dari pemangsa dan mudah melakukan pemanenan.
d.
Tidak memerlukan pengelolaan kualitas air, karena adanya gerakan pasut sehingga efisien dalam biaya produksi.
e.
Produksi mudah dicapai oleh armada penangkapan tuna dan cakalang sebagai sarana pemasaran. Untuk keberhasilan dan kesinambungan usaha budidaya ikan dalam KJA,
terdapat beberapa aspek penting yang harus dipertimbangkan yaitu pemilihan lokasi, konstruksi KJA, ketersediaan benih, pembesaran ikan budidaya (padat tebar, pakan dan cara pemberian pakan), perawatan keramba, pengendalian hama penyakit dan pemasaran (Rochdianto 1996 dan Sunyoto 1993). Beberapa faktor non teknis yang ikut andil dalam menentukan usaha budidaya ikan dalam KJA, meliputi: 1) Dekat dengan daerah sumber benih ikan yang akan dibudidayakan; 2) Infrastruktur jalan cukup tersedia sehingga akses menuju lokasi dalam mobilisasi benih dan hasil panen dapat terjamin; 3) Terdapatnya sumber listrik untuk penerangan lokasi budidaya dalam kaitannya dengan keamanan, kemudahan operasional pemeliharaan ikan dan kenyamanan pekerja; 4) Tenaga kerja tersedia dengan cukup; 5) Kebijakan pemerintah daerah setempat dengan perangkat peraturan dan intensif bagi pengembangan usaha budidaya ikan dalam KJAyang ramah lingkungan (Sunyoto 1993 dan Wardana, 1999). 2.2.2 Ragam Kerapu Budidaya Jenis-jenis ikan laut yang dapat dibudidayakan dipilih berdasarkan potensi sumber daya yang ada jenis ikan yang sudah umum dibudidayakan serta teknologinya yang sudah dikuasai sendiri, guna untuk menghindari resiko kegagalan yang besar. Ikan kerapu di Indonesia terdiri atas 7 genus, yaitu Aethaloperca,
Anyperodon,
Cephalopholis,
Chromileptes,
Epinephelus,
Plectropomus, dan Variola. Dari 7 genus tersebut umumnya hanya genus Chromileptes, Plectropomus, dan Epinephelus yang termasuk komersial terutama untuk pasaran internasional (Table 1).
10
Tabel 1. Ragam Kerapu Budidaya. No 1.
Nama Kerapu Kerapu bebek/tikus (Chromileptes altivelis) dipasaran internasional disebut Polka dot grouper.
2.
Kerapu sunuk/sunu/lodi (Plectropomus spp) dikenal sebagai Coral trout.
3.
Kerapu lumpur/balong/ estuary grouper (Epinephelus spp).
4.
Kerapu macan/ flower / carped cod (Epinephelus fuscoguttatus).
Sumber : Sudrajad (2008)
Tanda/ ciri yang dimiliki • Bentuk tubuh pipih warna dasar abu-abu dan terdapat bintik-bintik hitam. • Pada ikan muda bintik-bintik ini lebih besar dan lebih sedikit. • Kepalanya kecil dengan moncong meruncing. • Hidup di perairan berkarang, yang masih baik maupun yang sudah rusak atau agak berlumpur. • Dapat ditangkap dengan bubu atau jaring. • Ikan ini dapat dipelihara di KJA, dibak maupun ditambak • Ukuran konsumsi 0,5-2 kg. Ukuran muda dijadikan ikan hias. • Tergolong ikan mahal dibandingkan kerapu lain • Bentuk memanjang dan agak gilik. • Warna bisa berubah tergantung kondisi, merah atau kecoklatan. • Tubuhnya berbintik-bintik warna biru dengan tepi gelap. • Mempunyai 6 pita berwarna gelap, memiliki bintik berwarna seragam, kadang-kadang tidak seragam. • Lokasi yang cocok untuk kerapu sunu diantaranya, kisaran salinitas 30-350/00 dan bersuhu 27-320C. • Hidup diterumbu karang pada kedalaman 5-50 m. • Ukuran konsumsi 0,5 - 2 kg • Bentuknya memanjang dan gilik. • Warna dasar abu-abu muda dengan bintik-bintik, ada yang berbintik coklat dengan 5 pita vertikal warna gelap. • Habitatnya : terdapat banyak lumpur, muara sungai dengan kisaran salinitas 15-300/00, suhu air 24-310C. • Pertumbuhannya paling cepat dan benihnya tersedia. • Ukuran konsumsi 400 - 1200 gram. • Bentuknya seperti kerapu lumpur tetapi badanya lebih tinggi. • Bintik-bintik pada tubuhnya gelap dan rapat sirip dada berwarna kemerah-merahan. Sirip lain mempunyai tepi coklat kemerahan. • Habitatnya di karang, sehingga disebut ikan karang. • Hidup dan tumbuh pada salinitas 22-320/00, suhu air 26310C. • Ukuran konsumsi 400 - 1200 gram.
11
Dari beberapa jenis ikan kerapu komersial tersebut, ikan kerapu sunu atau kerapu merah (Plectrocopomus leopardus) dan ikan kerapu lumpur jenis Epinephelus suillus yang banyak dibudidayakan oleh karena jenis ikan ini ternyata pertumbuhannya lebih cepat daripada jenis ikan kerapu lainnya, dan benihnya selain diperoleh dari alam (penangkapan) juga sudah dapat diadakan dengan cara pemijahan dalam bak, sedangkan ikan kerapu lainnya sulit dipijahkan dengan berhasil, sehingga pengadaan benihnya harus diambil dari alam (Sunyoto 1993). 2.2.3 Pemilihan Lokasi Ketepatan pemilihan lokasi adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha budidaya ikan laut. Karena laut yang dimanfaatkan sebagai perairan budidaya merupakan wilayah yang penggunaannya melibatkan sector lain (Common property) seperti; perhubungan, pariwisata, dan lain-lain, maka perhatian terhadap persyaratan lokasi tidak hanya terbatas pada faktor-faktor yang berkaitan dengan kelayakan teknis budidaya melainkan juga factor kebijaksanaan pemanfaatannya dalam kaitan dengan kepentingan lintas sektor. Dalam
kaitan
dengan
hal
tersebut,
Departemen
Pertanian
telah
mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Budidaya Laut (SK. Mentan No. 473/Kpts./Um/7/1982). Agar pemilihan lokasi dapat memenuhi persyarataan teknis sekaligus terhindar dari kemungkinan pengaruh penurunan daya dukung lingkungan akibat pemanfaatan perairan di sekitarnya oleh kegiatan lain. 2.3
Beban Limbah Budidaya Budidaya ikan dalam KJA merupakan usaha perikanan yang dapat
dikembangkan secara intensif dan ekstensif, dengan pemberian pakan tambahan (umumnya pakan buatan). Pemberian pakan tambahan dalam budidaya KJA menyebabkan akumulasi limbah organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan dan sisa ekskresi. Sisa pakan yang tidak termakan dan ekskresi yang terbuang ke badan air memberi sumbangan bahan organik, yang mempengaruhi tingkat kesuburan (eutrofikasi) dan kelayakan kualitas air bagi kehidupan ikan budidaya. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa perikanan budidaya intensif dan pengkayaan nutrien berdampak potensial pada perubahan kualitas air (Philips et al. 1993 dan
12
Boyd 1999). Mc Donad et al. (1996) menyatakan bahwa 30% dari jumlah pakan yang diberikan tertinggal sebagai pakan yang tidak dikonsumsi dan 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan. Ini berarti jumlah yang cukup besar masuk ke badan air. Selanjutnya Barg (1992) menyatakan partikel bahan organik akan mengendap di sekitar lokasi KJA jika kecepatan pengendapan partikel jauh lebih besar dari pada kecepatan arus. Kuantitas dan komposisi dari makanan yang tidak dimakan dan feses yang dihasilkan oleh ikan peliharaan tergantung pada sejumlah faktor termasuk diantaranya jenis pakan (basah dan kering), jumlah ikan yang dipelihara disetiap keramba, kesehatan ikan yang dipelihara (ikan yang sakit cendrung kekurangan selera makan), frekuensi pemberian pakan, jenis metode pemberian pakan dan rasio konversi makanan. Tidak seperti kegiatan peternakan, budidaya ikan tidak memerlukan pengelolaan limbah. Kegiatan budidaya ikan laut, keramba dibatasi oleh jaring yang memiliki ukuran mata jaring tertentu. Buangan limbah dari kegiatan budidaya dikeluarkan langsung ke lingkungan perairan sekitarnya. Besarnya dampak ekologi dari limbah tersebut terhadap lingkungan akan tergantung pada: 1) ukuran unit keramba yang beroperasi (jumlah keramba yang beroperasi); 2) kepadatan ikan untuk setiap keramba; 3) durasi pengoperasian keramba pada suatu tempat; 4) kondisi fisik dan oseanografi yang berkaitan dengan tempat kegiatan keramba berlangsung; 5) biota yang menghuni kawasan tersebut; dan 6) kapasitas assimilasi dari lingkungan di tempat kegiatan keramba (Milewski 2001). Pendekatan estimasi beban limbah budidaya yang diterapkan dalam studi ini mengacu pada penelitian sebelumnya (Usman et al. 2001). Limbah kegiatan budidaya yang dijadikan dasar perhitungan dalam kajian ini adalah limbah budidaya ikan kerapu dalam KJA. Hal ini didasarkan pada waktu pemeliharaan hingga waktu pemanenan yang lebih lama yaitu sekitar 6 bulan serta limbah yang dihasilkan berupa feses lebih besar dibandingkan dengan limbah dari komoditas ikan budidaya lain. Pengaruh banyaknya masukan nutrien pada badan air, mencirikan adanya suatu peningkatan terhadap rendahnya tingkat oksigen terlarut pada area yang luas, lebih tingginya kandungan BOD dan konsentrasi ammonia di dalam kolom
13
perairan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Warren & Hansen (1982) yang menggunakan pakan buatan. Ternyata pakan buatan secara signifikan mengurangi masukan polutan ke sekitar perairan. Berbedanya spesies ikan yang dipelihara memungkinkan berbedanya tingkat ekskresi ammonia, hal ini juga bergantung pada tingkat pertumbuhan dan konsumsi makanan. Sebagai contoh, tingkat ekskresi amonia dari ikan kakap (Lutjanus argentimaculatus) sebesar 558 mg/kg berat tubuh/tahun, lebih besar 50% dibandingkan dengan ikan kerapu (Epinephelus areolatus) 375 mg/kg berat tubuh/tahun pada saat kedua spesies ikan tersebut diberi sejumlah pakan yang sama (Leung 1996). Penurunan oksigen terlarut dan peningkatan BOD, nutrien (P, N organic maupun anorganik dan total C) secara umum ditemukan di kolom perairan disekitar keramba (Muller & Varadi 1980, Bergheim et al. 1982, Beveridge & Muir 1982, Bergheim et al. 1985, dan Molver et al. 1988). Oksigen terlarut kembali normal pada jarak sejauh 30 m dari kegiatan budidaya ikan dalam keramba (Gowen & Bradbury 1987) tetapi kandungan oksigen berkurang hingga jarak 1 km jika kegiatan keramba tersebut menggunakan pakan ikan rucah dan kondisi kawasan budidaya yang buruk (Wu et al. 1994). Konsumsi oksigen dari spesies ikan yang dipelihara berkisar antara 83 hingga lebih besar dari 400 g O2/t/h (Wu 1990 dan McLean et al. 1993). Dengan asumsi oksigen terlarut di perairan laut adalah 7 mg/l. 1 ton ikan budidaya memerlukan 17-53 m3 air laut yang bersih untuk mengganti konsumsi oksigen (Beveridge et al. 1994). Pada sistem budidaya ikan dalam keramba di perairan laut terbuka, produksi ikan sebesar 200 ton/tahun memerlukan kecepatan arus sebesar 1 m3/detik (Tervet 1981). Pada area dimana pertukaran air lambat, maka produksi ikan seharusnya dikurangi (Heinig 2001). Nutrien-nutrien terlarut tidak secara keseluruhan buruk bagi lingkungan. Phytoplankton yang merupakan tanaman mikroskopis yang menjadi dasar rantai makanan memerlukan nutrien untuk pertumbuhan, dengan meningkatnya produsen primer maka kelebihan nutrien tersebut dapat memicu produktifitas total dari suatu sistem, khususnya spesies komersial penting yang diinginkan. Ketika adanya peningkatan produksi primer maka kemungkinan blooming alga berbahaya juga terjadi. Pada saat ini tidak ada bukti yang nyata bahwa kegiatan budidaya
14
telah memicu munculnya alga beracun secara besar-besaran (seperti red tide), tetapi tetap saja resiko kemungkinan munculnya harus dipertimbangkan. 2.4
Dampak Limbah Padat KJA Dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan pengembangan
perikanan budidaya sangat tergantung pada intensitas usaha, beban limbah alami maupun limbah budidaya yang dihasilkan, laju pergantian air, kapasitas assimilasi dan karakteristik lainnya yang sangat mempengaruhi daya dukung dan daya pulih perairan tersebut. Dengan demikian, tingkat teknologi yang akan dikembangkan harus sesuai dengan kondisi perairan, sehingga resiko kegagalan relatif rendah dan hasil yang didapat bisa berlangsung secara berkesinambungan (Ali 2003). Ada tiga jenis limbah polutan utama yang dapat dihasilkan oleh fasilitas budidaya yaitu: bahan kimia pembersih fasilitas budidaya, obat-obatan untuk pengendalian penyakit dan hasil buangan metabolisme seperti feses, ammonia dan makanan yang tidak dimakan yang berupa bahan terlarut dan padatan tersuspensi (Mugg et al. 2003). Limbah padat yang berasal dari KJA (sisa pakan dan feses) terdiri dari beragam ukuran partikel dan kepadatan yang nantinya akan berpengaruh terhadap kecepatan pengendapan. Partikel yang lebih besar akan mengendap di dasar perairan dan cenderung berdampak pada lingkungan bentik, sedangkan partikel halus akan meningkatkan turbiditas sekitar lokasi budidaya (Silvert & Sowles 1996). Adanya masukan limbah organik menunjukan perubahan kondisi pada organisme dasar perairan, seperti pada makroalga dan bentik alga, bakteri, meiofauna (8 to 500 μ invertebrates) dan makrofauna (lebih besar dari 500μ invertebrata). Peningkatan detritus akan mengubah biologi karakteristik habitat dasar perairan. Tipe karakteristik habitat dasar perairan (EAO 1996, Pearson & Black 2001): a. Normal , tidak terpolusi dan tampak dampak : Jumlah species (species richness) tinggi Density moderately rendah Species umumnya memiliki tingkatan taxa tinggi dengan ukuran badan yang besar dan tingkat tinggi
15
Tidak ada atau hanya sedikit species opportunistik b. Sedikit subur dengan dampak rendah : Biodiversity tinggi Density tinggi Beberapa epifauna bergerak dan ikan demersal immigrasi ke disturbed area Jumlah spesies opportunistik tinggi c. Cukup subur dengan dampak moderat: Penurunan biodiversiti Penurunan ukuran tubuh (makrofauna and meiofauna) Pengurangan spesies tidak spesifik Kehadiran opportunistik meiofauna d. Sangat subur dengan tingginya dampak pada sedimen dan perairan : Pengurangan semua makrofauna Kehadiran meiofauna Pengurangan infaunal metazoan Kemelimpahan Capitella capitata spp. Limbah partikel organik yang berasal dari KJA secara nyata berpengaruh terhadap lingkungan
bentik. Hasil
penelitian Morrisey et
al.
(2000),
memperlihatkan bahwa sedimen dasar perairan bawah KJA yang mengalami perubahan fisika dan kimia tidak lebih dari 50 m dari KJA. Dampak terhadap bentos dapat dengan mudah dideteksi pada sedimen lumpur yang berada pada jarak 25 m dari bagian ujung KJA (Karakassis 2002). Skala dampak lingkungan akan tergantung pada jumlah limbah yang dihasilkan oleh kegiatan budidaya, yang ditentukan oleh padat tebar, jumlah dan jenis pakan, komposisi pakan, ukuran pelet dan kondisi hidrooseanografi dimana keramba berada. Tergantung pada skala variabel dampak, tingkat produksi ikan yang akan bertahan di daerah tertentu adalah variabel (Pawar et al. 2002). Beberapa studi telah dilakukan di seluruh dunia untuk mengevaluasi hubungan antara limbah yang dihasilkan oleh keramba jaring apung dan dampaknya terhadap kualitas air dan sedimen. Beberapa menemukan hubungan langsung antara limbah dan eutrofikasi sedimen (Rapp et al. 2007), antara lain
16
Ruiz et al. (2001) melaporkan bahwa loading yang berasal dari budidaya ikan (30 keramba pada luasan 7 ha dan kedalaman 20 m) akan berdampak pada hilangnya padang lamun (Posidonia aceanica) seluas 11,29 ha. 2.5
Model Hidrodinamika dan Model Adveksi-Dispersi Model adalah suatu gambaran sederhana dari sistem sesungguhnya yang
digunakan sebagai alat untuk membantu memecahkan suatu masalah (Thomann 1987 dan Jorgensen 1994). Penentuan daya dukung lingkungan periaran untuk kegiatan budidaya laut dengan sistem KJA yang dengan dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah, dilakukan dengan pendekatan model model Hidrodinamika dan model AdveksiDispersi. Model Hidrodinamika digunakan untuk mengetahui pola arus. Model ini mensimulasikan variasi tingkat kedalaman air dan distribusi kecepatan horizontal dalam variasi waktu dan dimensi x dan y pada suatu bidang horizontal. Model Adveksi-Dispersi menggambarkan perubahan kualitas air karena pengaruh polutan dalam hal ini polutan adalah limbah KJA. Polutan adalah zat atau komponen lain yang secara langsung maupun tidak langsung masuk kedalam suatu sistem yang akan mengakibatkan sistem tersebut menjadi lebih buruk atau rusak. Pada daerah muara, polutan tersebut dapat tersebar akibat pengaruh gerak massa air dan transpor polutan. Polutan dapat terbagi menjadi polutan konservatif dan polutan non konservatif. Polutan konservatif adalah polutan atau komponen yang tidak mengalami perubahan, yaitu: tidak terdegradasi, tidak hilang karena pengendapan, tidak hilang karena penguapan, atau akibat aktivitas lainnya) dimana konsentrasinya tidak berubah terhadap waktu (Chow et al. 2003, Doneker 2003, KepMen LH 110/2003). Limbah dari KJA yang terbuang ke dalam perairan akan mendapat perlakuan sebagai berikut (Romimohtarto 1991): a. Terencerkan dan tersebar oleh adukan dan turbulensi arus laut; b. Dipekatkan melalui : (1) proses biologis dengan cara diserap ikan liar di sekitar KJA dan biota air lainnya; (2) proses fisik dan kimia dengan cara absorpsi, pengendapan dan pertukaran ion. Setelah itu bahan pencemar akan mengendap d dasar perairan; dan c. Terbawa langsung oleh arus dan ikan.
17
EAO (1996) membagi zona budidaya keramba jaring apung salmon menjadi 4 zona, yaitu (Gambar 2): Azoic zone, di bawah KJA (D), zona sangat subur, berjarak 8 m dari KJA (C), zona sedikit subur, berjarak antara 8 – 25 m (B), dan zona normal, berjarak lebih dari 25 m dimana sudah tidak ada dampak dari KJA (A).
Gambar 2 Zonasi pola sebaran limbah dan dampak benthik dari limbah KJA (EAO 1996). 2.6
Daya Dukung Perairan Untuk Perikanan Budidaya Konsep daya dukung perairan telah lama dikenal dan dikembangkan dalam
lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi budidaya baik ikan maupun rumput laut maka nilai daya dukung merupakan faktor penting dalam menjamin siklus produksi dalam jangka waktu yang lama. Purnomo (1997) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktivitas perairan, sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Menurut Turner (1988) daya dukung lingkungan adalah jumlah populasi organisme akuatik yang dapat didukung oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan tanpa
18
mengalami penurunan kualitas lingkungan perairan tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung adalah ultimate constraint yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang, siklus predator, temperatur, cahaya matahari atau salinitas (Rachmansyah 2004). Estimasi daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang kegiatan budidaya ikan laut di keramba jaring apung (KJA) merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa ikan budidaya yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa menimbulkan degredasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya (Piper et al, 1982 in Ali, 2003). Budidaya ikan laut dapat dikembangkan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan jika beban limbah dari sistem budidaya dipertahankan berada di bawah daya dukung lingkungan perairan. Pendugaan daya dukung lingkungan perairan bagi pengembangan budidaya ikan dalam KJA dapat ditentukan berdasarkan pendekatan ketersediaan oksigen terlarut dan beban limbah P dari sistem budidaya dan non budidaya (kegiatan sektor lain di sekitar perairan) yang didukung oleh data laju konsumsi oksigen oleh ikan, laju konsumsi oksigen oleh pakan (untuk proses dekomposisi), loading P maksimum yang dapat diterima, serta data flushing rate perairan .