APLIKASI TEKNOLOGI INDERAJA KELAUTAN, PEMODELAN DAN IN-SITU MEASUREMENTS DALAM PENENTUAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH (KKLD)
E. Elvan Ampou, Frida Sidik, Candhika Yusuf, Agung Yunanto, Nicco Plamonia Balai Riset dan Observasi Kelautan, BRKP-DKP Perancak, Bali
Abstrak Kajian dan observasi secara berkesinambungan diperlukan guna tercapainya Kawasan Konservasi Laut (KKL) yang lestari dimasa datang khususnya regional dalam hal ini Indonesia yang notabene termasuk dalam kawasan CTC (Coral Triangle Center). Pemanfaatan teknologi inderaja (remote sensing), pemodelan, dan in-situ measurements dapat dilakukan dalam kajian penentuan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Paper ini merupakan ulasan hasil studi yang dilakukan untuk memberikan rekomendasi penetapan zona pemanfaatan dan pengembangan sistem observasi di kawasan pesisir yang dapat diterapkan di kawasan konservasi dengan menggunakan aplikasi teknologi inderaja, pemodelan dan data lapangan. Lokasi studi adalah Kawasan Konservasi Laut Gili Sulat-Gili Lawang, Lombok Timur dan Pemuteran, Bali Utara.
Kata kunci : remote sensing, pemodelan, in-situ measurements, KKLD Gili Sulat-Gili Lawang, KKLD Pemuteran.
PENDAHULUAN Kawasan pesisir dan laut Indonesia memiliki potensi dan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega biodiversity) dan termasuk dalam kawasan CTC ( Coral Triangle Center). Tingginya potensi dan keanekaragaman hayati tersebut baik dalam bentuk keanekaragaman genetik, spesies maupun ekosistem merupakan aset yang sangat berharga, untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Tingginya keanekaragaman hayati perairan tersebut dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dan kesejahteraan rakyat Indonesia bila dikelola secara optimal dan berkelanjutan dengan memperhatikan karakteristik dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan, serta mengacu pada setiap peraturan dan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Dari hasil Senior Official Meeting (SOM)dan stakeholders Meeting of Coral Triangle Inisiative (CTI) yang dilaksanakan di Bali pada tanggal : 6 -7 Desember 2007 dihasilkan beberapa program utama, antara lain : (1) penentuan bentang laut (seascapes) prioritas wilayah yang yang cukup luas untuk percontohan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan di setiap negara, (2) pengelolaan perikanan dan sumberdaya laut lainnya berbasis pada pendekatan ekosistem, (3) pengelolaan secara efektif dan berkelanjutan Marine Protected Areas (MPAs) termasuk pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarkat, (4) tercapainya pengukuran adaptasi perubahan iklim, dan (5) meningkatnya status spesies yang terancam.
Kawasan Konservasi laut Daerah (KKLD) dan Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah (CKKLD) saat ini sebanyak 23 buah dengan luas 28.893.431 Ha, luas terumbu karang dan sudah mendapatkan legalitas Pemerintah seluas 7,2 juta Ha. Tahun 2010, luas terumbu karang ditargetkan sebesar 10 juta Ha Tahun 2020, luas terumbu karang ditargetkan sebesar 20 juta Ha. Berdasarkan uraian diatas tadi perlu dilakukan penentuan kawasan konservasi laut dengan menggunakan pendekatan ilmiah sehingga pengelolaan kawasan konservasi laut terlaksana secara sustainable. Teknologi inderaja kelautan, ocean modeling dan in situ measurement merupakan komponen teknologi yang dapat diaplikasi dalam penetapan kawasan konservasi laut.
Dalam paper ini akan dikaji sumberdaya KKLD dengan
menggunakan pendekatan teknologi inderaja, modeling dan in situ measurement. Hasilnya menjadi input bagi penentuan kawasan konservasi, yaitu di Gili Sulat-Gili Lawang, Lombok Timur dan Pemuteran, Bali.
KAWASAN KONSERVASI LAUT GILI SULAT-GILI LAWANG, LOMBOK TIMUR
Secara administratif, Pulau Gili Sulat dan Pulau Gili Lawang dengan luas wilayah masing-masing 694 ha dan 483 ha merupakan bagian dari Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, yang terletak sebelah timur dari pusat Desa Sambelia. Pulau Gili Sulat dan Pulau Gili Lawang merupakan kawasan hutan lindung yang berupa hutan mangrove. Berdasarkan perhitungan dari citra satelit diperoleh informasi luasan Gili Sulat serta jenis penutupan lahannya yaitu luas pulau 6.940.466 m2 (694 ha), panjang garis pantai 13.069 m (13 km), panjang pulau 5.16 km dan lebar pulau 1.88 km. Sedangkan luasan Pulau Gili Lawang serta jenis penutupan lahannya yaitu luasan pulau 4.384.638 m2 (438 ha), panjang garis pantai 9.856 m (9.9 km), panjang pulau 3.57 km dan lebar pulau 1.47 km. Dari hasil pengolahan citra satelit dapat teridentifikasi lokasi yang akan dijadikan lokasi survey mangrove dan terumbu karang.
Kedua pulau tersebut didominasi dengan ekosistem mangrove. Dari hasil in situ measurement, keanekaragaman species mangrove di kedua lokasi cukup serupa dimana keduanya memiliki jenis tanah berpasir putih dengan salinitas sekitar 34-35 ‰. Pada sisi barat kedua pulau tersebut, Rhizophora dan Bruguiera merupakan dominan. Keragaman mangrove lebih banyak pada sisi timur kedua pulau. Struktur komunitas hutan mangrove di kedua pulau tersebut terlihat bahwa terdapat struktur komunitas yang berbeda antara sisi barat dan timur kedua pulau. Pantai pada sisi barat didominasi oleh species Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa. Beberapa seedling dan sapling Rhizophora terlihat di laut yang menandakan adanya pertumbuhan baru species tersebut yang lebih meluas ke arah laut. Pada sisi timur, kedua pulau juga memiliki struktur komunitas serupa, yaitu jenis mangrove yang lebih bervariasi dan beberapa terlihat sangat tua. Pantai terluar didominasi oleh Rhizophora (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa), Bruguiera (Bruguiera gymnorrhiza) Sonneratia (Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris) dan Aegiceras (Aegiceras floridum, Aegiceras corniculatum). Komunitas hutan mangrove yang berbeda ini bertemu disuatu zona transisi dimana terdapat komunitas peralihan, yaitu suatu komunitas gabungan antara dua komunitas tersebut. Di lokasi ini Rhizophora berkelompok dengan Sonneratia dan Aegiceras, yang hanya umum ditemukan di sisi timur Gili Sulat dan Gili Lawang.
Gambar 1. Secara visual citra satelit Landsat dapat memberikan gambaran mengenai tutupan lahan di lokasi studi.
Kondisi terumbu karang diidentifikasi melalui survey lapangan dengan metode Point Intersect Transect. Terdapat dominasi dari coral non – acropora foliose (nfo) pada Site III Gili Lawang (37%) dan coral non – acropora branching (nbr) pada site I Gili Sulat dan Site IV Gili Lawang (34% dan 20% secara berurutan). Pada Site II Gili Sulat didominasi oleh Soft coral (sft) yaitu sebesar 55%. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat dominasi dari coral non – acropora foliose (nfo) pada Site III Gili Lawang (37%) dan coral non – acropora branching (nbr) pada site I Gili Sulat dan Site IV Gili Lawang (34% dan 20% secara berurutan). Pada Site II Gili Sulat didominasi oleh Softcoral (sft) yaitu sebesar 55% yang berdasarkan sensus visual didapatkan hasil bahwa ada cerukan bekas pengeboman yang mengakibatkan ekosistem terumbu karang terutama karang massive mengalami kerusakan parah dan yang mampu merecovery terlebih dahulu adalah soft coral, sehingga bisa terlihat soft coral yang lebih dominan. Rata-rata benthic life form/ekosistem terumbu karang di setiap Site penyelaman masih recovery/membentuk koloni baru (berkembang biak secara seksual maupun aseksual).
Gambar 2. Lokasi survey identifikasi terumbu karang, benthic life form (pleurogyra), Point Transect
Untuk mengetahui dinamika oseanografi, lebih lanjut studi ini melakukan modeling prakiraan arus dan elevasi muka laut. Dinamika oseanografi Gili Sulat-Lawang sangat dipengaruhi variabilitas transpor Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang mengalir dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia lewat pintu di Selat Lombok. Musim timur di sebut juga Musim kering secara umum dipengaruhi oleh massa udara dari belahan Benua Australia. Musim Barat, dipengaruhi oleh massa udara dari Laut Pasifik dan Benua Asia. Musim peralihan berlangsung mulai bulan Maret, April hingga Mei, dan Bulan September, Oktober hingga November, yang umumnya ditandai dengan pergerakan angin yang tidak stabil. Model Gili SulatLawang di buat pada bulan Juni dalam rentang Musim Timur pada musim timur berkisar 0,38-0, 0.46 m/detik.
Gambar 3. Simulasi elevasi muka air terhadap waktu (1 Juni – 30 Juni) berdasarkan dari model arus permukaan ADCIRC.
Gambar 4. Kecepatan arus vs batimetri Pulau Gili Lawang dan Gili Sulat Lombok
Secara khusus karakteristik arus akibat pasang surut, morfologi pantai dan bathymetri pada perairan Sulat-Lawang dapat dideskripsikan sebagai berikut: •
Kondisi pasang maksimum (jam ke-25) : Kecepatan maksimum terjadi yaitu 0.4 m/s, di daerah batas model (boundary). dan di daerah perairan antara pulau lombok dan sulat lawang kecepatan maksimum 0.3 m/s. Arah arus di daerah batas model (boundary) berputar secara simetris.
•
Kondisi menuju surut (jam ke-28) : Kecepatan maksimum terjadi di daerah batas model (boundary)dengan magnitudo 0.42 m/s, arus bergerak ke arah keluar boundary dengan
kecepatan rata-rata berkisar antara 0.31-0.35 m/s sedangkan di daerah perairan antara pulau lombok dan sulat lawang, terlihat adanya perputaran arus secara simetris dengan kecepatan berkisar antara 0.31 s/ 0.33 m/s. •
Kondisi surut minimum (jam ke-31) : Arus masih bergerak ke luar daerah batas model (boundary) akan tetapi kecepatannya sudah bekurang, kecepatan maksimumnya 0.05 m/s pada daerah dengan kedalaman seragam (5 m). Kecepatan maksimum dalam di daerah perairan antara pulau lombok dan sulat lawang maksimum mencapai 0.32 dan kurang dari 0.31 m/s.
•
Kondisi menuju pasang (jam ke-34) : Kecepatan maksimum terjadi dalam daerah batas model (boundary) dengan magnitudo 0.42 m/s, dalam basin arus berputar secara simetris ke arah keluar dengan kecepatan berkisar antara 0.31-0.33 m/s. Di luar daerah perairan antara pulau lombok dan sulat lawang, secara umum arus bergerak ke arah inlet dengan kecepatan berkisar antara 0.31 s/ 0.33 m/s. Di luar daerah perairan antara pulau lombok dan sulat lawang terlihat adanya perputaran arus, hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari perubahan fasa yang belum penuh.
Kualitas Air Laut
Kualitas perairan disekitar Gili Lawang dan Gili Sulat akan ditinjau dari dua sisi pemanfaatan yaitu untuk kepentingan ekowisata dan kepentingan dari pertumbuhan biota laut. Pada pengujian di sekitar perairan Gili Lawang dan Gili sulat yang masuk dalam lokasi KKLD tersebut, kualitas airnya masih normal karena kandungan Nitrat, Nitrit, Ammonia dan fosfat untuk peruntukan biota laut masih dibawah ambang batas, jadi masih baik untuk berbagai macam biota laut. Sedangkan kandungan Ammonia yang berada disekitar perairan Gili Lawang sudah diatas ambang batas.
KAWASAN KONSERVASI LAUT PEMUTERAN, BALI UTARA.
Secara administratif Desa Pemuteran termasuk dalam Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng dan Provinsi Bali. Desa Pemuteran berbatasan dengan Laut Bali di sebelah utara, di timur berbatasan dengan Desa Banyupoh, sebelah selatan dengan hutan negara, dan sebelah barat dengan Desa Sumberkima. Kawasan ini didominasi hanya oleh ekosistem terumbu karang, dimana mangrove dan
padang lamun hanya terlihat dibeberapa tempat. Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan metode manta tow pada tiga lokasi sampling didapatkan bahwa secara keseluruhan lokasi Takad Sore dan Penaum termasuk dalam kategori rusak hingga sehat, sedangkan pada Takad Gosong persentase penutupan karang hidup termasuk dalam kategori rusak hingga kritis. Sedangkan dari hasil survey transek garis (LIT) didapatkan bahwa lokasi Penaum memiliki persentase penutupan karang hidup yang lebih tinggi daripada lokasi Takad Sore. Pada lokasi Penaum tersebut didapatkan persentase penutupan karang hidup sebesar 72.74 % pada kedalaman 3 meter dan 52.20 % pada kedalaman 10 meter sehingga termasuk dalam kategori sehat hingga sehat sekali, sedangkan pada lokasi Takad Sore didapatkan persentase penutupan karang hidup sebesar 15.48 % pada kedalaman 6 meter dan 3.40 % pada kedalaman 10 meter sehingga dikategorikan sebagai rusak sekali atau kritis.
Berdasarkan perhitungan nilai – nilai indeks ekologi didapatkan bahwa pada lokasi Takad Sore memiliki tingkat dominansi yang rendah (Nilai C sebesar 0.2674 pada kedalaman 6 meter dan 0.2686 pada kedalaman 10 meter) dengan tingkat keanekaragaman yang kecil (nilai H sebesar 2.4917 pada kedalaman 6 meter dan 2.2024 pada kedalaman 10 meter) dan tingkat keseragaman yang sedang hingga tinggi (Nilai E sebesar 0.5673 pada kedalaman 6 meter dan 0.6671 pada kedalaman 10 meter). Demikian pula pada lokasi Penaum dimana berdasarkan perhitungan nilai – nilai indeks ekologi, lokasi tersebut memiliki tingkat dominansi yang rendah (Nilai C sebesar 0.4039 pada kedalaman 3 meter dan 0.2579 pada kedalaman 10 meter) dengan tingkat keanekaragaman yang kecil (nilai H sebesar 1.8825 pada kedalaman 3 meter dan 2.3915 pada kedalaman 10 meter) dan tingkat keseragaman yang sedang hingga tinggi (Nilai E sebesar 0.5442 pada kedalaman 3 meter dan 0.6671 pada kedalaman 10 meter).
Gambar 5. Hasil ground truth yang telah di overlay dalam citra satelit. Kondisi terumbu karang di daerah tersebut antara lain patchy reef dalam rekruitmen baru (garis kuning), dominasi patchy reef (garis hijau) dan patchy reef dengan keanekaragaman yang cukup tinggi (garis merah).
Seperti halnya Gili Sulat-Lawang, Pemuteran sangat dipengaruhi variabilitas transpor Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang mengalir dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia lewat pintu di Selat Lombok. Besar arus maksimum berkisar 0,34-0,49 m/detik musim peralihan dari musim timur ke musim barat.
Gambar 6. Simulasi elevasi muka air terhadap waktu (1 September – 30 September) berdasarkan dari model arus permukaan ADCIRC.
Gambar 7. Arah dan kecepatan arus Pemuteran, Buleleng – Bali utara
Pola arus untuk kondisi pada pasang purnama arus di Perairan Bali Utara mengalir dengan kecepatan maksimum 0.46 m/s, di bagian Timur arus sejajar pantai bergerak ke arah barat dengan kecepatan maksimum 0.42 m/s, terbentuknya arus sejajar pantai yang bergerak kearah barat terjadi akibat gelombang yang datang dari arah tenggara. Di bagian sisi Barat tidak terlihat arus sejajar pantai. Pada kondisi menuju surut arus di Perairan Bali Utara sebelah semakin kuat hingga mencapai kecepatan 0.45 m/s. Sedangkan arus sejajar pantai hanya terlihat di sebelah Timur dengan kecepatan kurang dari 0.42 m/s. Adanya pergantian fasa pada kondisi surut minimum menyebabkan adanya dua arah arus yang berbeda, sebagian arus mengalir ke Barat dengan kecepatan maksimum 0.46 m/s, sedangkan di bagian Timur sisa pengaruh arus akibat dari surut dan pengaruh gelombang mengalir ke barat dengan kecepatan 0.43 m/s. Sedangkan di bagian timur pola dan magnitude arus relatif tidak berubah dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Secara umum arus bergerak ke arah Timur menuju Barat pada kondisi menuju pasang. Pola kecepatan arus dan magnitude arus di bagian kiri tetap sama dengan kondisi sebelumnya. dengan kecepatan sekitar 0.42 m/s.
KUALITAS AIR LAUT
Berdasarkan dari hasil analisa kualitas perairan di sekitar pemuteran, dapat disimpulkan pada stasiun 1 dan 9 tingkat salinitas telah berkurang dari nilai normal, sedangkan kandungan fosfat telah melewati titik ambang batas untuk pertumbuhan biota laut. Sama dengan kandungan fosfat, kandungan nitrat dalam perairan disekitar Pemuteran sudah melewati ambang batas baku mutu yang ditetapkan oleh kementerian Lingkungan Hidup RI tahun 2004.
ZONASI KAWASAN KONSERVASI LAUT
Data spasial dapat dimanfaatkan untuk identifikasi sumberdaya kelautan yang selanjutkan informasi ini dijadikan input untuk penetapan zona kawasan konservasi. Saat ini, penetapan zona pemanfaatan kawasan konservasi dapat dilakukan secara komputasi dengan menggunakan software MARXAN. MARXAN adalah sebuah perangkat lunak yang dapat digunakan untuk membantu merancang sebuah kawasan perlindungan laut atau jejaring kawasan perlindungan laut. Data yang dibutuhkan untuk masukan (input) MARXAN adalah data fitur (kenampakan) konservasi dan fitur cost (sosial, ekonomi, resource use, demografi). Fitur konservasi merupakan data tentang keanekaragaman biofisik yang akan dilindungi. Contohnya adalah terumbu karang dan mangrove. Fitur konservasi dan fitur cost hanya dapat digunakan bila memiliki referensi koordinat permukaan bumi (koordinat geografis).
Dalam membuat peta layout Running Marxan didasarkan pada nilai-nilai SPF (Species Penalty Factor)/nilai penalti yang ditentukan dari tingkat kepentingan dan kualitas data. Karena kepentingan dan kondisi fitur konservasi atau fitur cost bervariasi di setiap lokasi maka pembobotan nilai skornya relatif satu dengan yang lainnya. Penilaian ini didapat dari pengamatan lapangan dan referensi lainnya seperti kebijakan pemerintah, isu lingkungan dan lain-lain. Dalam studi ini, nilai penalti ditentukan dengan mempertimbangkan hasil in situ measurement dan dinamika oseanografi lokasi studi. Oleh karenanya, nilai konservasi dan nilai cost di kedua lokasi cukup berbeda. Skenario yang dijalankan dengan program MARXAN untuk kedua lokasi adalah target luas daerah konservasi sebesar 30 % dari total wilayah kedua KKLD tersebut. Lokasi tersebut diasumsikan sebagai daerah larang ambil atau No Take Zone. Hasilnya adalah sekitar 198.111, 6 Ha untuk daerah larang ambil atau No Take Zone di KKLD Pemuteran dan sekitar 7303.43 Ha di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang (Gambar 8 dan Gambar 7).
No 1.
Konservasi
SPF
Cost
Skor
2
Kampung
1
2.
Terumbu karang Mangrove a
2
2
3.
Mangrove b
1,5
Sebaran sedimen Bom Ikan
2
4.
Mangrove c
0,75
Jalur layar
1
5.
Lamun
1,25
Dive site
1
6.
Benthos
1,5
Shelter
1
Gambar 8. Hasil Running Marxan sebagai Rekomendasi “No Take Zone” di KKLD Gili Sulat- Gili Lawang dengan nilai SPF yang telah ditentukan dalam tabel fitur konservasi dan cost.
No 1.
Konservasi
SPF
4.
Patchy reef high diversity Patchy reef new recruitment Patchy reef high domination Biorock
5.
Fringing reef
0,75
2.
3.
6.
2
Cost
Skor
2
Snorkling area Diving area
2 2
1.75
Pelabuhan
2
1,25
Destructive fishing Aktifitas manusia Jalur layar
1.75 1,25 1
Gambar 9. Hasil Running Marxan sebagai Rekomendasi “No Take Zone” di KKLD Pemuteran dengan nilai SPF yang telah ditentukan dalam tabel fitur konservasi dan cost.
KESIMPULAN Dalam paper telah diuraikan hasil-hasil aplikasi teknologi inderaja kelautan, pemodelan dan in-situ measurements dalam mengidentifikasi kondisi sumberdaya di kawasan konservasi laut. Pemodelan dan in situ measurement dapat di overlay ke dalam data hasil pengolahan citra satelit sehingga menghasilkan informasi zonasi kawasan konservasi laut. Pengolahan informasi zonasi kawasan konservasi laut dapat dilakukan secara cepat karena data spasial sudah dalam format digital. Oleh karenanya teknologi penginderaan jarak jauh melalui satelit memberikan manfaat yang cukup signifikan bagi perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi karena: •
Daerah cakupan datanya luas dan dipandang relatif ekonomis
•
Resolusi temporalnya tinggi sehingga mempermudah pengolahan hasil in situ measurement (Mangrove, Seagrass, Terumbu karang, kualitas air laut, dll).
•
Perolehan datanya cepat sehingga dapat dipergunakan untuk pemantauan
Sedangkan simulasi arus bertujuan untuk mendapatkan memformulasikan pola arus yang terjadi baik sejajar pantai (longshore transport) maupun tegak lurus pantai (crosshore transport). Untuk memperoleh informasi perilaku arus serta pola yang terjadi disuatu perairan. Model atau simulasi bersifat temporal dan spasial, dengan menggunakan persamaan matematis untuk menjelaskan hidrodnamika yang terjadi di sebuah perairan , diharapkan agar didapat karakteristik perairan tersebut. Sifat dari Model atau simulasi matematis ini adalah berbanding terhadap ruang dan waktu, sehingga dengan menggabungkan dengan analisis spasial GIS, diharapkan dapat menarik kesimpulan yang komprehensif. Sebuah dapat di verified sesuai dengan kondisi lapangan, dengan menggunakan data pembanding langsung dari lapangan. Model akan bermasalah apabila : kualitas data yang kurang baik (data pasang surut lapangan,bathymetri, angin, dll) dan proses simulasi yang kurang dipahami Oleh sebab itu insitu measurement harus diperhatikan ketelitiannya.
DAFTAR PUSTAKA Agung Yunanto, Frida Sidik, Elvan Ampou, Candhika Yusuf, Yuli Pancawati. Affandi Asry. 2007. Laporan Akhir Pengembangan Coastal Observing System Untuk Kawasan Pesisir. Balai Riset dan Observasi Kelautan-Departemen Kelautan dan Perikanan.
Darmawan, A. and A. Darmawan. 2007. Modul Pelatihan Perangkat Lunak MARXAN untuk Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut, Denpasar, Bali, 5 – Juni 2007.
Trisakti. 2003. Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Luettich, R.A. 2000. ADCIRC (A Parallel Advanced Circulation Model for Oceanic, Coastal and Estuarine Waters. University of North Carolina at Chapel Hill Institute of Marine Sciences
Anonimous.2007. Siaran Pers : Enam Negara Sepakati Kerjasama Kelola dan Konservasi Segitiga Karang. No 90.PDSI/XII/2007
http://www.ssd.itt.com/heritage/quickbird.shtml