Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (Bunga Rampai) Editor: Jamaluddin Jompa Natsir Nessa Muhammad Lukman
Kontributor: Andriani|Dining|Jamaluddin Jompa |Muhammad Lukman | Naomi| Natsir Nessa Rahmi | Sudirman | Syamsu Alam Ali | Yusran Nur Indar dkk
i
Daftar Isi Daftar Isi .......................................................................................................................................... i URGENSI KONSERVASI LAUT (KAWASAN DAN JENIS) DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI INDONESIA .............................................. 1 Natsir Nessa, Jamaluddin Jompa, Muhammad Lukman1 PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI YANG EFEKTIF DAN ADAPTIF ... 7 Yusran Nur Indar dan Jamaluddin Jompa ............................................................................... 7 KONEKTIVITAS KAWASAN KONSERVASI ................................................................... 35 Jamaluddin Jompa et al. ............................................................................................................ 35 STATUS KEBERLANJUTAN PENYU LAUT DI PULAU KAPOPOSANG .............. 14 Syamsu Alam Ali dan Deasy Ariani ........................................................................................ 14 MODEL-MODEL PENGELOLAAN KONSERVASI ....................................................... 33 Dining, Jamaluddin Jompa dkk ............................................................................................... 33 PERIKANAN DAN KONSERVASI: SINERGIS ATAU KONTRADIKTIF ? ............. 54 Sudirman dan Natsir Nessa ..................................................................................................... 54 KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PEMULIHAN KEANEKARAGAMAN LARVA ........................................................................................................................................... 68 Muhammad Lukman, Andriani Nasir. ................................................................................... 68 KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PREVALENSI PENYAKIT KARANG DI INDONESIA ................................................................................................................................. 83 Rahmi, Jamaluddin Jompa dkk. .............................................................................................. 83
i
URGENSI KONSERVASI LAUT (KAWASAN DAN JENIS) DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI INDONESIA Natsir Nessa, Jamaluddin Jompa, Muhammad Lukman
Pendahuluan
Memimpikan Indonesia di tahun 2020 memiliki kawasan konservasi dengan luas 20 Jt Ha merupakan sebuah keniscayaan yang akan segera terwujud. Hingga akhir tahun 2012, KKP telah merilis 10,7 Jt Ha kawasan konservasi (KKP, 2012). Luas KKP itu sudah menjadi 1.84% dari luas lautannya, 580 Jt Ha (KKP, 2009). Indonesia dengan kawasan konservasi itu menjadi cita-cita besar bagi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17,540 dan panjang garis pantai 95,000 Km yang membentang dari ujung barat ke timur. Ini yang mendapat apresiasi dari berbagai stakeholder baik . dalam negeri maupun komunitas luar negeri. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17.540 dan panjang garis pantai 95 ribu kilometer yang membentang dari ujung barat ke timur. Karunia sumber daya alam yang melimpah dan keanekaragaman hayati yang besar membuat Indonesia menjadi bangsa yang diperhitungkan di dunia. Indonesia menjadi Center of Excellent keanekaragaman sumber daya hayati. Hal tersebut didukung oleh potensi kelautan dan perikanan, pertambangan, perhubungan laut, industri maritime, ekowisata, jasa kelautan dan energy sumber daya mineral yang yang melimpah. Sumber daya hayati terumbu karang mencapai 500 jenis spesies dan spesies ikan 2000 jenis, budidaya (12,4 juta hektar), perikanan tangkap (6,8 juta ton), cadangan minyak bumi (9,1 milyar barel), cekungan minyak dan gas/migas sampai 70 persen. Potensi tersebut akan memberi manfaat jika dibarengi dengan pengembangan konservasi sumber daya ikan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Pendayagunaan potensi sumber daya laut terus berkembang. Berbagai kegiatan dilakukan untuk mengeksplorasi sumber daya laut tersebut. Data BPS 2014 menyebutkan bahwa potensi kelautan memberikan kontribusi terhadap Produk Domesti Bruto tahun 2013 sebesar 3,21 % atau 291,799 trilliun rupiah. Upaya peningkatan pendapatan dari sector kelautan terus ditingkatkan dan akan memberi dampak positif terhadap akses pertumbuhan ekonomi di bidang
1
kelautan. Disisi lain, pembukaan lapangan pekerjaan akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sector kelautan. Tabel 1. Jenis dan Luas Kawasan Konservasi Perairan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Lokasi/ Nama KKP KKPN/TNP Laut Sawu, NTT KKPN/TWP Gili Matra, NTB KKPN/TWP Laut Banda, Maluku KKPN/TWP P. Pieh, Sumbar KKPN/TWP Padaido KKPN/TWP Kapoposang, Sulsel KKPN/SAP Aru Tenggara, Maluku KKPN/SAP Raja Ampat, Papua Barat KKPN/SAP Waigeo, Papua Barat KKPD/Raja Ampat, Papua Barat KKPD/Sukabumi, Jawa Barat KKPD/Berau, Kaltim KKPD/Pesisir Selatan, Sumbar KKPD/Bonebolango, Gorontalo KKPD/Batang, Jawa Barat KKPD/Lampung Barat, Lampung KKPD/Alor, NTT KKPD/Indramayu, Jawa Barat KKPD/Batam, Kepri KKPD/Bintan, Kepri KKPD/Natuna, Kepri KKPN/Anambas, Kepri KKP Lainnya (54-12=42 KKPD) Jumlah
Luas (Ha) 3,521,130.01 2,954.00 25,000.00 39,900.00 183,000.00 50,000.00 114,000.00 60,000.00 271,630.00 970,900.00 1,771.00 1,271,749.00 733.00 2,460.00 6,800.00 14,866.87 400,008.30 720.00 66,867.00 472,905.00 142,997.00 1,842,960.27 1,262,686.20 10,703,537.65
Keterangan KKJI+UPT KKJI+UPT KKJI+UPT KKJI+UPT KKJI+COREMAP+UPT KKJI+COREMAP+UPT KKJI+UPT KKJI+COREMAP+UPT KKJI+COREMAP+UPT KKJI+COREMAP+UPT+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA KKJI+PEMDA
Sumber. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, 2012 Mendorong pertumbuhan ekonomi dari sector kelautan seperti pisau bermata dua. Pemanfaatan sumber daya yang tidak mengacu pada prinsip keberlanjutan dan mengabaikan asas pelestarian menjadi ancaman serius. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Menurut Selig and Bruno (2010) bahwa segala kegiatan manusia akhirnya mempengaruhi struktur bangunan terumbu karang. Aktivitas
2
manusia pada akhirnya akan menghasilkan pencemaran dan berdampak pada kerusakan sumber daya hayati laut. Sumber pencemaran bersumber dari pembangunan kawasan pemukiman, pertambangan, pelayaran, industri perikanan, budidaya. Selain itu, aktivitas masyarakat pesisir yang melakukan alih fungsi lahan mangrove menjadi lahan tambak dan kawasan pemukiman membuat kawasan pesisir makin terdegradasi. Penyebab kerusakan sumber daya hayati laut juga akibat dari penangkapan ikan yang berlebihan (over-exploitation). Laju penangkapan ikan yang berlebihan mengakibatkan stok populasi ikan menurun. Kehidupan nelayan akan mengalami kerugian akibat sumber daya ikan yang makin berkurang. Berkurangnya sumber pendapatan ekonomi akan mengakibatkan nelayan mencari ikan di wilayah lain. Sumber daya yang makin berkurang itu membuat nelayan memilih jalan singkat menangkap ikan. Penangkapan secara destruktif menjadi pilihan yang cepat dan menghasilkan ikan yang banyak. Namun demikan, cara tersebut mengakibatkan kerusakan habitat ikan dan lingkungan laut semakin meningkat. Lemahnya peran pemerintah mendorong kebijakan pemanfaatan sumber daya alam menjadi celah bertambahnya tingkat kerusakan. Apalagi masyarakat pesisir yang makin terhimpit secara ekonomi. Keadaan ini membuat kesadaran mengelola lingkungan pesisir semakin rendah. Situasi itu kemudian mendorong masyarakat pesisir terjebak pada ruang kemiskinan. Hasil kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa penduduk miskin di Indonesia kebanyakan di wilayah pesisir dengan jumlah 7,9 juta atau 25 persen dari penduduk miskin di Indonesia. (Kabarbisnis.com, 30 Mei 2014). Pada saat bersamaan, kerusakan lingkungan pesisir dan laut juga terus meningkat. Hasil kajian Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan sekitar 30,4 persen kondisi terumbu karang mengalami kerusakan. Hanya 5,29 persen yang berada dalam kondisi baik. (Koran Sindo, 16 April 2014). Membumikan Konservasi Laut Upaya penyelamatan ekosistem dan konservasi laut sudah dilakukan sejak dahulu. Melalui program Marine and Coastal Resources Managemen Program (MCRMP), pemerintah mendorong pengelolaan sumber daya alam yang bertujuan pada pelestarian ekosistem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Setelah program MCRMP, pemerintah Indonesia kemudian memprakarsai program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang. Program Coremap I dan Coremap II dilaksanakan untuk mendorong peningkatan rehabilitasi, melindungi dan mengelola terumbu karang secara lestari. Program Coremap menggambarkan peningkatan perlindungan kawasan yang cukup signifikan. Seiring dengan itu, nilai manfaat program Coremap secara ekonomi dirasakan oleh masyarakat pesisir. Walhasil
3
masyarakat semakin menyadari pentingnya upaya perlindungan terhadap ekosistem laut. Meski demikian, ancaman kerusakan ekosistem laut juga makin serius. Melihat dampak yang akan ditimbulkan membuat Indonesia dan negaranegara yang berkepentingan dengan laut menginisiasi pertemua kelautan dunia. Indonesia kemudian mejadi tuan rumah World Ocean Conference dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit 2009. Dukungan dunia internasional dibuktikan dengan hadirnya 121 negara. Sementara CTI Summit secara khusus dilakukan oleh negara negara yang mencakup segitiga terumbu karang dunia yakni Filipina. Indonesia, Papua Nugini, Malaysia, Timor Leste, Kepulauan Solomon, utusan khusus pemerintah Australia dan Amerika Serikat. CTI merupakan upaya kerja sama negara-negara di segitiga karang dunia untuk melakukan pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan dengan mewujudkan kawasan Kawasan Perlindungan Laut (Marine Protected Area-MPA). Kawasan ini merupakan pusat keanekaragaman hayati di dunia yang memiliki pengaruh terhadap keseimbangan ekosistem secara global. Setiap negara sangat berkepentingan agar kawasan ini tetap lestari, dengan 500 spesies karang, 3.000 spesies ikan dan kawasan hutan mangrove yang paling besar di dunia, kawasan CTI menjadi harapan manusia di masa mendatang. Dukungan internasional untuk meningkatkan pengelolaan laut yang berkelanjutan melalui penetapan kawasan konservasi laut terus berkembang. Harapannya konservasi laut mampu memberikan manfaat secara ekonomi kepada masyarakat pesisir. Untuk mencapai hal itu, pemerintah bersama bersama Deputy Administrator of United States Agency for International Development (USAID), secara resmi menyatakan dimulainya program Marine Protected Areas Governance (MPAG) di Indonesia. MPA bukan hanya tentang melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati laut, tetapi juga untuk mendukung perikanan berkelanjutan, ekowisata bahari, dan keperluan lainnya untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Dukungan terhadap MPA cukup kuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17 / MEN / 2008 yang mengatur kawasan konservasi daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 60/ 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Perikanan menjadi dasar program MPA. Hal tersebut mengatur sistem zonasi perairan yang dibutuhkan dalam MPA. Sistem Zonasi yang digunakan dalam mengelola MPA terbagi atas empat zona yakni zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan, dan zona lainnya. Pembagian zona tersebut merupakan satu kesatuan kawasan yang dikelola secara efektif, dengan harapan mampu memajukan industri kelautan dan perikanan.
4
Solusi Pengelolaan Terumbu Karang Pendekatan kawasan konservasi laut sangat signifikan dalam mengurangi arus kerusakan terumbu karang. Secara perlahan terumbu karang mampu melakukan recovery dengan berkembangnya konsep pengelolaan kawasan konservasi. Pilar pengelolaan kawasan konservasi yakni perlindungan, pelestarian dan pengelolaan yang berkelanjutan menjadi faktor yang cukup menentukan dalam pengelolaan terumbu karang. Untuk mendukung target pencapaian 20 juta Ha Luas Kawasan Konservasi di tahun 2020, sesuai dengan Konferensi Biodiversity yang menyatakan bahwa target Marine Protected Area (MPA) sebesar 10% dari luas Perairan Dunia. Olehnya itu, pemerintah Indonesia menetapkan pola jejaring kawasan konservasi. Aturan pelaksanaan tersebut telah diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan yang menyebutkan bahwa Dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan dapat dibentuk jejaring kawasan konservasi perairan, baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun global. Pembentukannya berdasarkan keterkaitan biofisik antar kawasan konservasi perairan disertai dengan bukti ilmiah yang meliputi aspek oceanografi, limnologi, bioekologi perikanan, dan daya tahan lingkungan. Tahun 2013, Kawasan Konservasi perairan di Indonesia telah mencapai 15.764.210.85 Hektar yang berjumlah 131 kawasan, diantaranya terdiri dari Kawasan Konservasi Perairan Daerah, Taman nasional, Taman Wisata Perairan, Cagar Alam dan Suaka Alam Perairan. Sulawesi Selatan memiliki empat kawasan Konservasi yang semuanya terletak di Selat Makassar dan memanjang kearah selatan selat dengan luas kawasan Konservasi mencapai 757,020 Ha atau +5% dari total luas Kawasan Konservasi saat ini di Indonesia. (Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan, 2014). Mengembangkan kawasan MPA mejadi tanggung jawab secara social semua pihak. Pemerintah, masyarakat, NGO, perusahaan swasta mesti memiliki visi yang sama tentang MPA. Sehingga tahun 2020 target pencapaian 20 juta Ha bisa tercapai. Menembus Dimensi Kawasan Konservasi Laut Buku ini membahas gambaran konservasi laut dari berbagai dimensi. Sebagai bahan bacaan yang disajikan secara ilmiah namun tetap renyah untuk dibaca. Setiap Bab membahas tema berbeda yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi laut. Bab II, dibahas bagaimana mengevaluasi efektivitas pengelolaan kawasan taman wisata perairan dan kawasan konservasi laut khususnya di daerah Kabupaten Pangkep. Bab III memaparkan aspek hubungan dan keterkaitan secara biofisik antar kawasan konservasi untuk mendukung jalinan jejaring kawasan konservasi. Pada Bab IV dan V secara khusus mengupas pengelolaan kawasan konservasi jenis penyu. Dari 5
Bab ini akan diperoleh status keberlanjutan setiap dimensi dalam pengelolaan penyu di Pulau Kapoposang. Bab V membahasa berbagai macam Bagan yang perannya dianggap menjadi ancaman dalam pengelolaan MPA. Sementara itu Bab VII dan Bab VIII secara khusus membahas konservasi laut kaitannya dengan pemulihan keanekaragaman larva dan perevelnsi terhadap penyakit karang.
6
PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI YANG EFEKTIF DAN ADAPTIF
Pendahuluan
Yusran Nur Indar dan Jamaluddin Jompa
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikelilingi oleh konfigurasi pulau-pulau yang berjumlah 17.480 terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dengan panjang garis kurang lebih 95.186 km yang merupakan garis pantai tropis terpanjang di dunia setelah Kanada. Luas daratan Indonesia sebesar 1.922.570 km2 dan luas perairannya 3.257.483 km2. Di dalam wilayah tersebut terkandung berbagai potensi perikanan tangkap lestari sebesar 6,4 juta ton, lahan budidaya sekitar 1,1 juta ha, dan potensi lain baik dari udang-udangan, kerang-kerangan, maupun mamalia laut. Sekitar 80% industri dan 75% kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir. Potensi lain yang tidak kalah pentingnya adalah jasa transportasi laut, industri maritim, wisata bahari, industri alternatif dan sumber obat-obatan (Ruchimat, 2012). Sumber daya alam pulau-pulau kecil bila dipadukan dengan sumber daya manusia yang handal serta di dukung dengan iptek yang di tunjang dengan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi pembangunan nasional. Peluang yang dimiliki adalah kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang potensial untuk ditumbuhkembangkan pendayagunaannya. Sumber daya alam pulau-pulau kecil mempunyai arti penting bagi kegiatan perikanan, konservasi dan preservasi lingkungan, wisata bahari dan kegiatan jasa lingkungan lain yang terkait. Kawasan konservasi perairan di Indonesia tidak kurang dari 16 juta hektar (Ruchimat dalam Pedoman Teknis E-KKP3K, 2012) yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat. Ancaman tersebut dapat berupa ancaman langsung maupun tidak langsung. Ancaman langsung meliputi praktik penebangan liar, penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan langka, pengeboman ikan, maupun yang disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti kebakaran hutan dan fenomena pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Ancaman tidak langsung meliputi hal-hal yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang berkonotasi dua (ambiguity), ketidakjelasan akan hak-hak dan akses masyarakat, peraturan perundang-undangan yang kurang memadai dan tumpang tindih, serta penegakan hukum yang lemah sehingga 7
pengelolaan kawasan konservasi termasuk yang berkategori taman wisata alam laut tidak efektif. Pada pertemuan internasional Convention on Biological Diversity pada tahun 2006 di Brazil, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memperluas kawasan konservasi laut seluas 10 juta hektar pada tahun 2010 dan berkomitmen memperluasnya menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020 (UNEP-WCMC, 2008). Komitmen didasarkan selain pada tingginya kebutuhan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan juga untuk menghadapi ancaman tekanan terhadap sumberdaya laut. Kepulauan Spermonde memiliki keragaman ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi. Kepulauan ini terbentuk dan muncul di atas dangkalan Spermonde (Spermonde Shelf) yang terletak di pesisir barat Propinsi Sulawesi Selatan (Selat Makassar) membentang dari utara ke selatan sepanjang kurang lebih 300 km dengan luas 16.000 km2. Kabupaten Pangkep dicirikan oleh wilayah perairan lautnya yang luas dengan taburan 117 pulau-pulau merupakan ekosistem dengan keragaman hayati yang sangat tinggi terutama pada habitat terumbu karang (Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id/, diakses pada tanggal 25 Desember 2013). Wilayah pesisir dan laut Kabupaten Pangkep dicirikan dengan produktivitas ekosistem yang tinggi sehingga dapat mendukung kegiatan perekonomian. Ekosistem pesisir utama Kabupaten Pangkep adalah terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem wilayah pesisir di Kabupaten Pangkep adalah dengan membetuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang telah diinisiasi oleh COREMAP II. DPL merupakan wilayah perlindungan laut yang dibentuk berdasarkan aspirasi masyarakat. Hingga saat ini hampir di setiap desa kecamatan pesisir memiliki DPL. Akan tetapi, permasalahan kerusakan ekosistem pesisir tidak secara otomatis telah terpecahkan dengan terbetuknya DPL tersebut. Selain itu, kemampuan resistensi dan resiliensi dari setiap DPL belum teruji karena belum ada mekanisme konektivitas antar DPL yang dijadikan pertimbangan dalam pemilihan lokasi tersebut. Oleh karena itu, dibentuklah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep berdasarkan Surat Keputusan Bupati No. 180 Tahun 2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep dan Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan untuk menjamin daya resistensi dan resiliensi dari setiap lokasi terpilih melalui mekanisme konektivitas antar habitat, biota, dan kondisi ekologinya. Berdasarkan SK Bupati tersebut, KKLD Pangkep mencakup wilayah administrasi Kecamatan Liukang Tupabbiring dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara. 8
Kepulauan Kapoposang merupakan bagian dari Kepulauan Spermonde dan secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Provinsi Sulawesi Selatan. SK Menteri Kehutanan No. 588/KPTSVI/1996 tanggal 12 September 1996 menetapkan Kepulauan Kapoposang sebagai Taman Wisata Alam Laut dengan luas sebesar 50.000 hektar dan memiliki panjang batas 103 km. Saat ini Pengelolaan Kepulauan Kapoposang dan perairan sekitarnya telah diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Berita Acara Serah Terima No. BA.108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4 Maret 2009. Kawasan ini lalu ditetapkan sebagai Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang (TWP Kepulauan Kapoposang) sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.66/MEN/2009 (Haslindah, 2012). Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan terjadinya tekanan ekologis terhadap sumberdaya pesisir dan laut. Setiap tahunnya terjadi penurunan kualitas dan daya dukung ekosistem pesisir dan laut terutama akibat dari penangkapan ikan secara destruktif. Demikian halnya terjadi di wilayah kawasan konservasi TWP Kapoposang maupun KKLD Kabupaten Pangkep dimana Tingkat PITRaL masih sering terjadi (Saleh. A, 2010). Oleh karenanya, pengelolaan kawasan konservasi bertujuan untuk mendapatkan bentuk penataan ruang dan arah pengelolaan kawasan konservasi yang optimal sehingga dapat meningkatkan fungsi dari kawasan konservasi itu sendiri serta untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan. Keputusan Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor KEP/44/KP3K/2012 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) adalah pedoman teknis yang diterbitkan untuk menilai capaian kinerja pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, tujuannya adalah untuk mendukung komitmen pemerintah dalam proses perluasan kawasan konservasi sampai 20 juta hektar pada tahun 2020. Taman Wisata Perairan Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep adalah kawasan konservasi yang dikelola oleh Pemerintah untuk menjamin ketersediaan sumberdaya laut. Pengelolaan kawasan konservasi tersebut ditujukan untuk menselaraskan kepentingan perlindungan sumberdaya laut dan kepentingan pemanfaatan sumberdaya sehingga proses pemanfaatan sumberdaya dapat berlangsung secara berkelanjutan. Proses pengelolaan kedua kawasan konservasi tersebut tentunya harus terus ditingkatkan sehingga pada akhirnya pengelolaan secara mandiri dan berkelanjutan dapat segera terwujud. Untuk mendorong percepatan kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep 9
tentunya harus dievaluasi agar upaya peningkatan kinerja pengelolaannya didasarkan pada hasil-hasil evaluasi tersebut dan dengan berdasarkan hal tersebut sehingga penelitian ini ditujukan untuk Mengkaji capaian kinerja pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep dengan menggunakan Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) sesuai keputusan Kementerian Kelautan Perikanan melalui Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil nomor 44 /KP3K/2012 serta mengetahui persepsi nelayan setempat terhadap keberadaan kawasan TWP Kapoposang dan KKLD Kabupaten Pangkep. Gambaran Umum Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang pada awalnya berada dalam pengelolaan Kementerian Kehutanan dimana berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. 588/KPTS-VI/1996 tanggal 12 September 1996 ditetapkan Kepulauan Kapoposang sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) seluas 50.000 ha. Kemudian TWAL Kapoposang diserahterimakan pengelolaannya dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Berita Acara nomor 01/Menhut-IV/2009 dan BA 108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4 Maret 2009. Nomen klaturnya kemudian berubah menjadi Taman Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya melalui keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 66/MEN/2009 tentang penetapan kawasan konservasi perairan nasional Kepulauan Kapoposang dan Laut di sekitarnya di Propinsi Sulawesi Selatan (Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id , diakses pada tanggal 12 Mei 2014).
10
Gambar 6 : Peta Zonasi Taman Wisata Perairan Kapoposang. Sumber : Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kota Kupang (2014) Secara geografis Kawasan konservsi TWP Kepulauan Kapoposang terletak pada koordinat 4°37’ sampai 4°52’ Lintang Selatan dan 118°54’00” sampai 119°10’00” Bujur Timur. Secara administratif, Kepulauan Kapoposang termasuk dalam wilayah Kecamatan Liukang Tupabbiring dengan batas-batas wilayah administrasinya adalah sebagai berikut: • • • •
Sebelah utara berbatasan dengan Selat Makasar Sebelah timur berbatasan dengan Desa Mattiro Walie Sebelah selatan berbatasan dengan Perairan Kota Makasar Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Liukang Kalmas dan Selat Makasar.
Pada TWP Kapoposang terdapat 2 desa yaitu Desa Mattiro Ujung yang meliputi Pulau Kapoposang dan Pulau Papandangan dan Desa Mattiro Matae yang meliputi Pulau Gondongbali, Pulau Pamanggangan, Pulau Tambakulu dan Pulau Suranti. Dari keenam pulau tersebut, 3 diantaranya berpenduduk yaitu Pulau Kapoposang, Pulau Papandangan dan Pulau Gondongbali (Rencana Pengelolaan dan Zonasi TWP Kapoposang, 2013).
11
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep Kawasan Konservasi laut daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep baru diekspose dengan adanya program COREMAP II, namun sesungguhnya beberapa kawasan di kabupaten ini telah lama di tetapkan oleh masyarakat sebagai kawasan yang tidak boleh dijamah oleh manusia, Kawasan seperti ini dapat ditemukan di daerah Kecamatan Liukang Tupabbiring misalnya daerah terumbu karang Kalaroang yang dikenal sejak tahun 60an yang tidak bisa dijamah oleh masyarakat disekitar tersebut karena dikeramatkan (Management Plan KKLD Kab.Pangkep, 2010). Bila mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan, maka status KKLD Kabupaten Pangkep masih bersifat pencadangan kawasan oleh Pemerintah Daerah dimana belum mendapatkan pengesahan secara resmi oleh Menteri mengingat beberapa persyaratan yang dibutuhkan belum terpenuhi. Dalam hal penataan batas kawasan dimana luasan dan batas-batas titik koordinat kawasan sudah ditentukan namun saat ini belum ada penandaan dan penempatan batas kawasan berdasarkan zona yang telah ditentukan. Selain itu, status Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yang masih dalam status pencadangan kawasan Konservasi juga ditetapkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan.
12
Gambar 7 : Peta Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep. Sumber : Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Pangkep (2014). Berdasarkan Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan Nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan bahwa kewenangan Pengelolaan KKLD dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Pangkep dimana kewenangan pengelolaannya dilaksanakan oleh instansi terkait yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan. Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang Dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang Berdasarkan hasil perhitungan capaian kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dengan menggunakan rumus E-KKP3K diperoleh nilai persentase yang variatif menurun dari setiap peringkat. Pada peringkat merah (kawasan konservasi diinisiasi) diperoleh persentase capaian kinerja senilai 100 %, peringkat kuning (kawasan konservasi didirikan) dengan capaian 100 %, peringkat hijau (kawasan konservasi dikelola minimum) dengan capaian 76,19 %, peringkat biru (kawasan konservasi dikelola optimum) dengan capaian 57,14 % dan peringkat emas (kawasan konservasi mandiri) dengan capaian 33,33 %. 13
Pada peringkat hijau, kinerja pengelolaan baru mencapai 76,19 %, hal ini disebabkan karena unit pengelola memiliki SDM yang fungsinya belum sesuai dengan fungsi pengelolaan dimana fungsi yang dimaksud berupa fungsi pengawasan, monitoring sumberdaya dan penguatan sosial ekonomi budaya. Selain dokumen rencana pengololaan belum disahkan, juga belum ada dokumendokumen tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) pengelolaan administrasi perkantoran, SOP sarana-prasarana minimum dan SOP yang mengatur tentang penguatan kelembagaan, patroli bersama, pengelolaan sumberdaya kawasan, dan penguatan sosial ekonomi dan budaya. Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan baru mencapai 57,14 %, hal ini disebabkan karena kualifikasi SDM pada unit organisasi pengelola belum sesuai dengan kompetensi yang ada dalam artian bahwa sejumlah SDM belum pernah mengikuti pelatihan pengelolaan kawasan konservasi. Selain itu, anggaran pengelolaan kawasan konservasi belum terpenuhi sesuai kebutuhan perencanaan pengelolaan sehingga kebutuhan terhadap sarana dan prasarana pengelolaan juga belum terpenuhi. Persoalan lain yang timbul akibat dari keterbatasan anggaran pengelolaan adalah belum adanya inisiasi kegiatan pengawasan kawasan konservasi berbasis masyarakat. Unit pengelola TWP Kapoposang sampai saat ini juga belum menetapkan data ekologis mana yang akan digunakan sebagai garis dasar (t0) untuk melakukan pemantauan secara berkala perubahan-perubahan kondisi habitat, kualitas fisika, kimia, biologi dan goelogi, kondisi populasi ikan, dan dampak kawasan konservasi TWP Kapoposang terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan sehingga belum dapat dinilai perubahan-perubahannya. 1 Pada peringkat emas, kinerja pengelolaan TWP baru mencapai 33,33 %, hal ini disebabkan karena unit pengelola TWP Kapoposang belum pernah melakukan kegiatan-kegiatan pengkajian berupa pengkajian tentang dampak kegiatan pariwisata terhadap kawasan konservasi, kajian dampak kegiatan budidaya terhadap kawasan konservasi, kajian dampak kegiatan perikanan terhadap kawasan konservasi, kajian peningkatan pendapatan masyarakat sebagai dampak dari pengelolaan, dan kajian tentang kesadaran masyarakat dalam mendukung pelestarian sumberdaya kawasan. Selain itu, sistem pendanaan berkelanjutan yang melibatkan stakeholder juga belum ada. Dalam upaya melakukan pengelolaan kawasan konservasi yang efektif, unit pengelola juga telah melakukan banyak hal dalam memenuhi persyaratanpersyaratan yang telah ditetapkan. Diantaranya mengusulkan dokumen pencadangan calon kawasan konservasi kepada Kementerian Kelautan dan 1Keterangan
lisan Koordinator Unit Pengelola TWP Kapoposang.
14
Perikanan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor PER.02/MEN/2009 tentang tata cara Penetapan kawasan konservasi perairan, identifikasi, inventarisasi, sosialisasi dan konsultasi publik calon kawasan konservasi perairan. Hasil dari upaya inisiasi pencadangan kawasan kawasan konservasi tersebut adalah diterbitkannya Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 3 September 2009 dengan luas kawasan 50.000 ha. Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 adalah mengumumkan dan mensosialisasikan kawasan konservasi TWP Kapoposang kepada masyarakat. Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep Hasil perhitungan capaian kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep dengan menggunakan rumus E-KKP3K diperoleh nilai persentase capaian kinerja pengelolaan yang tidak jauh berbeda dengan hasil perhitungan E-KKP3K TWP Kapoposang pada setiap peringkat. Pada peringkat merah (kawasan konservasi diinisiasi) diperoleh persentase capaian kinerja senilai 100 %, peringkat kuning (kawasan konservasi didirikan) dengan capaian 81,81 %, peringkat hijau (kawasan konservasi dikelola minimum) dengan capaian 61,90 %, peringkat biru (kawasan konservasi dikelola optimum) dengan capaian 35,71 % dan peringkat emas (kawasan konservasi mandiri) dengan capaian 0 % (tidak ada pencapaian kinerja). Pada peringkat kuning, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru mencapai 81,81 %, hal ini disebabkan karena Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Pangkep sebagai unit organisasi pengelola memiliki jumlah SDM yang belum memadai untuk melakukan pengelolaan kawasan konservasi. Selain itu, dokumen rencana pengelolaan masih dalam bentuk draft tentative dan masih dalam proses penyusunan, belum memadainya sarana dan prasarana pengelolaan minimum seperti alat monitoring dan alat komunikasi. Pada peringkat hijau, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru mencapai 61,90 %, hal ini disebabkan karena dokumen rencana pengelolaan belum disahkan, belum adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) sarana prasarana standar minimum dan SOP penguatan kelembagaan, patroli bersama, pengelolaan sumberdaya kawasan, dan penguatan sosial ekonomi budaya. Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan baru mencapai 35,71 %, hal ini disebabkan karena kapasitas SDM pengelola belum sesuai dengan kompetensi 15
yang dibutuhkan seperti SDM dengan kualifikasi perencanaan, monitoring sumberdaya, evaluasi, pengawasan, penelitian, dan SDM yang memiliki kualifikasi untuk mengkaji kondisi sosial ekonomi budaya. Selain itu, dukungan terhadap pembiayaan pengelolaan juga masih sangat minim, belum adanya dokumendokumen SOP misalnya SOP penelitian dan pendidikan, SOP pelaksanaan kegiatan pariwisata, SOP pelaksanaan kegiatan budidaya, dan SOP pelaksanaan kegiatan perikanan tangkap. Dalam hal pengelolaan sumberdaya kawasan, unit pengelola KKLD Kabupaten Pangkep juga belum menetapkan data ekologis mana yang akan digunakan sebagai garis dasar (t0) untuk melakukan pemantauan secara berkala perubahan-perubahan kondisi habitat, kualitas fisika, kimia, biologi dan goelogi, kondisi populasi ikan, dan dampak kawasan konservasi TWP Kapoposang terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan sehingga belum dapat dinilai perubahan-perubahannya. Pada peringkat emas, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep tidak menunjukkan capaian kinerja apapun (0 %), hal ini disebabkan karena belum tersedianya data tentang peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai dampak dari adanya pengelolaan KKLD dan peningkatan kesadaran masyarakat dalam mendukung pelestarian sumberdaya kawasan, serta belum adanya sistem pendanaan berkelanjutan yang melibatkan stakeholder dalam mendukung pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep. Meskipun masih banyak yang belum dilakukan oleh unit pengelola KKLD Kabupaten Pangkep dalam meningkatkan level/peringkat pengelolaan KKLD namun layak mendapatkan apresiasi karena kinerja pengelolaan telah mencapai peringkat merah dengan status pencadangan kawasan konservasi. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Hal yang paling mendasar yang harus dilakukan oleh unit pengelola KKLD Kabupaten Pangkep adalah menginisiasi penetapan dokumen Rencana Pengelolaan KKLD. Perbandingan Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang Dengan KKLD Kabupaten Pangkep Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep adalah kawasan konservasi yang dikelola oleh pemerintah namun dalam proses inisiasi pencadangan kawasan tersebut dilakukan dengan proses yang berbeda. Inisiasi pencadangan Kawasan Konservasi TWP 16
Kapoposang dilakukan dengan perencanaan kebijakan secara top-down sedangkan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep inisiasi pencadangan kawasannya dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat dan pemerintah dengan melalui proses perencanaan kebijakan secara bottom-up. Selain itu, pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kota Kupang lingkup Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan sedangkan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep pengelolaan kawasannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep yang melekat pada Bidang Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep. Pada grafik yang divisualisasikan di bawah terlihat kedua kawasan konservasi yaitu TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep telah mencapai kinerja pengelolaan 100 % namun pada peringkat kuning hanya TWP Kapoposang yang telah mencapai kinerja pengelolaan 100 % sedangkan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru mencapai 81,81 %. Pada Peringkat hijau, kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang mencapai 76,19% dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep mencapai 61,90 %. Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan kawasan konservasi mencapai 57,14 % dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep mencapai 35,71 %, dan pada peringkat emas kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang mencapai 33,33 % dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep belum ada capaian apapun (0 %).
17
Gambar 12 : Grafik Perbandingan Presentase Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Berdasarkan Analisis E-KKP3K .Pengelola TWP Kapoposang : BKKPN Kota Kupang. Pengelola KKLD Kab. Pangkep : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Pangkep. Peringkat : (1) Merah kawasan konservasi diinisiasi; (2) Kuning: kawasan konservasi didirikan; (3) Hijau: kawasan konservasi dikelola minimum; (4) biru : kawasan konservasi dikelola optimum; dan (5) Emas : kawasan konservasi yang dikelola secara efektif dan berfungsi penuh atau disebut mandiri. Diolah berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Nomor KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K). Adanya perbedaan capaian kinerja pengelolaan kedua kawasan konservasi tersebut dimana kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang memiliki capaian kinerja dengan persentase yang lebih besar dibanding capaian kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep pada peringkat kuning, hijau, biru dan emas diduga disebabkan karena porsi anggaran pengelolaan TWP Kapoposang lebih besar dari pada KKLD Kabupaten Pangkep. Hipotesis pendugaan ini didasarkan pada kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi dimana proses pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang berada di bawah naungan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kota Kupang lingkup Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) yang anggaran pengelolaannya melekat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedangkan pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep berada di bawah naungan Bidang Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep yang
18
anggaran pengelolaannya hanya melekat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pangkep dan APBD Propinsi Sulawesi Selatan. Status Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang Dan KKLD Kabupaten Pangkep Berdasarkan hasil Evaluasi Efektifitas Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) untuk kawasan konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang yang telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan Perikanan pada tahun 2012 diperoleh status efektif (100%) pada peringkat merah (Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id diakses pada tanggal 12 Mei 2014) sedangkan berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kemajuan capaian kenerja pengelolan kawasan konservasi dengan persentase tertinggi 100 % pada peringkat merah dan peringkat kuning.
PERINGKAT MERAH (1) KUNING (2) HIJAU (3) BIRU (4) EMAS (5)
KAWASAN KONSERVASI DIINISIASI KAWASAN KONSERVASI DIDIRIKAN KAWASAN KONSERVASI DIKELOLA MINIMUM KAWASAN KONSERVASI DIKELOLA OPTIMUM KAWASAN KONSERVASI MANDIRI
KINERJA PENGELOLAAN TWP Kapoposang KKLD Kab. Pangkep Capaian Capaian (%) Ket Ket (%) 100
Efektif
100
Efektif
100
Efektif
81,81
Belum Efektif
76,19
Belum Efektif
61,90
Belum Efektif
57,14
Belum Efektif
35,71
Belum Efektif
33,33
Belum Efektif
0
Belum Efektif
Tabel 1 : Status Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep. Diolah berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan PulauPulau Kecil Nomor KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K).
19
Berbeda dengan capaian kenerja pengelolan kawasan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep yang baru mencapai kinerja pengelolaan 100 % pada peringkat merah. Hasil E-KKP3K tersebut membuktikan bahwa kinerja pengelolaan TWP Kapoposang telah mencapai pengelolaan efektif pada peringkat kuning dengan status kawasan konservasi didirikan sedangkan kinerja pengelolaan KKLD Kab.Pangkep baru mencapai pengelolaan efektif pada peringkat merah dengan status telah dicadangkan. Capaian kinerja pengelolaan TWP Kapoposang pada peringkat hijau, biru, emas dan capaian kinerja pengelolaan KKLD Kab.Pangkep pada peringkat kuning, hijau, biru, emas masih berada di bawah 100 % sehingga dapat dikategorikan belum efektif. Hal ini disebabkan karena belum sempurnanya aktivitas pelaksanaan rencana pengelolaan, penguatan kelembagaan, dan belum adanya pendanaan yang mandiri dan berkelanjutan. Persepsi Nelayan Terhadap Keberadaan Kawasan Konservasi Menurut Walgito (2000), Persepsi merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu masyarakat akan ikut berperan dalam persepsi tersebut, sehingga berdasarkan hal tersebut menjadi penting untuk menggambarkan pengetahuan nelayan terhadap keberadaan TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep yang kemudian dapat dijadikan pertimbangan kebijakan khususnya dalam proses pengelolaan menuju kawasan konservasi laut yang mandiri dan berkelanjutan. Persepsi responden disampaikan melalui wawancara yang terbagi dalam 2 lokasi penelitian, yaitu kawasan konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep. Untuk mengetahui persepsi nelayan setempat terhadap keberadaan Taman Wisata Perairan maka ditentukan Desa Mattiro Matae (Pulau Gondongbali) sebagai lokasi penelitian sedangkan untuk mengetahui persepsi nelayan setempat terhadap keberadaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep maka ditetapkan Desa Mattiro Uleng (Pulau Kulambing), Desa Mattiro Walie (Pulau Samatellu Lompo), dan Desa Mattiro Dolangeng (Pulau Pala) sebagai lokasi penelitian.
20
Gambar 13 : Peta Lokasi Penelitian. Keterangan : (a) Lokasi Penelitian di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali); (b) Lokasi Penelitian di wilayah KKLD Kab. Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, Pulau Pala). Pengetahuan Terhadap Keberadaan Kawasan Konservasi. Pada umumnya responden (91,4%) di Pulau Gondongbali sudah mengetahui keberadaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang. Berbeda dengan tingkat pengetahuan responden di Pulau Samatellu Lompo dan Pulau Pala dimana tidak ada yang mengetahui keberadaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep dan hanya 2,9% responden di Pulau Kulambing yang mengetahui keberadaan KKLD Kabupaten Pangkep. Pada kasus ini responden lebih banyak mengetahui keberadaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dikelola oleh Coremap dari pada KKLD Kab.Pangkep. Hal ini diduga karena tidak adanya atribut sosialisasi KKLD Kab. Pangkep seperti atribut sosialisasi TWP Kapoposang yang ada di Pulau Gondongbali. Dugaan lain terkait rendahnya pengetahuan responden terhadap keberadaan KKLD Pangkep adalah karena sosialiasi mengenai KKLD Pengkep yang difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan hanya dilakukan sekali pada tahun 2010 dan hanya melibatkan stakeholder tertentu saja. 2 Berdasarkan keterangan lisan staf unit pengelola KKLD Kab.Pangkep bahwa sosialisasi KKLD Kab.Pangkep baru sekali dilaksanakan pada tahun 2010 setelah diterbitkannya Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi
2
21
Menurut keterangan lisan mantan ketua LPSTK Desa Mattiro Uleng bahwa unit pengelolaa KKLD Kab.Pangkep tidak pernah melakukan sosialisasi edukatif terkait keberadaan KKLD Kab. Pangkep sehingga nelayan sebagai entitas yang menerima manfaat langsung sumberdaya laut tidak mengetahui keberadaan KKLD Kab.Pangkep. 3 Pengetahuan Tentang Aturan Di Kawasan Konservasi Tingkat pengetahuan responden terhadap aturan pemanfaatan sumberdaya di kawasan konservasi cukup bervariasi namun umumnya respoden baik di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun wilayah KKLD Kab.Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo) sudah mengetahui aturan pemanfaatan sumberdaya berupa larangan penggunaan bom dan racun/bius. Nelayan yang berada di TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) dan KKLD Kab Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo) yang masing-masing sebanyak 88,6%; 97,1%; 91,4%; dan 91,4% sudah mengetahui adanya aturan termasuk aturan pelarangan aktivitas Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan (PITRaL). Sanksi Atas Pelanggaran Yang Terjadi di Kawasan Konservasi Persepsi responden (Pulau Gondongbali) terhadap sanksi atas pelanggaran yang terjadi di kawasan konservasi di kawasan TWP Kapoposang seperti yang terlihat pada gambar di bawah dimana umumnya menyatakan bahwa sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut hanya berupa peringatan lisan (82,9), namun sebanyak 5,7% responden menyatakan bahwa sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut pernah sampai pada proses hukum penjara, namun penegakan aturan yang lebih berat tersebut pernah dilakukan oleh Lantamal VI Wilayah Makassar. Berbeda dengan persepsi responden yang ada di KKLD Kab. Pangkep dimana umumnya menyatakan tidak ada pemberian sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut dan peringatan lisan hanya disampaikan oleh kepala desa atau nelayan setempat yang melihat praktek destructive fishing. Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan dan karena keterbatasan anggaran sehingga hanya mengundang beberapa tokoh-tokoh masyarakat pada spot desa tertentu. Sosialisasi ini sekaligus ditujukan untuk mengetahui gambaran umum resistensi masyarakat terhadap keberadaan KKLD Kab. Pangkep. Dari hasil sosialisasi ini ditemukan banyak tanggapan unlinear dari masyarakat terkait luasan zona inti sehingga akan diupayakan untuk dilakukan pengurangan zona inti KKLD Kab.Pangkep. 3 Keterangan lisan mantan ketua Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) Desa Mattiro Uleng.
22
Persepsi Terhadap Aktivitas Penangkapan Ikan Tidak Lingkungan (PITRaL) di Sekitar Wilayah Kawasan Konservasi.
Ramah
Penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (PITRaL) merupakan aktivitas penangkapan yang sifatnya eksploitatif dan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi (Saleh, 2010). Alat PITRaL yang paling sering dipergunakan adalah racun sianida (bius), bahan peledak (bom ikan), trawl, bubu tindis, dan muroami. Berdasarkan laporan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia (2003) dalam Saleh (2010), untuk kepulauan Spermonde diperkirakan 64,88% nelayannya adalah pelaku PITRaL. Persepsi nelayan terhadap aktivitas Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan (PITRaL) menggambarkan bahwa aktivitas PITRaL masih terjadi baik di wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab.Pangkep meski intensitasnya sudah menurun. Indikasinya terlihat dimana sebanyak 17,1% responden di wilayah TWP Kapoposang menyebutkan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan; dan 11,4% menyatakan aktivitas PITRaL sering terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Demikian hanya di wilayah KKLD Pangkep dimana tergambarkan masih ada indikasi terjadinya aktivitas PITRaL. Responden di Pulau Kulambing sebanyak 74,3% menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 20% menyatakan aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Sebanyak 14,3% responden di Pulau Samatellu Lompo menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 20% menyatakan aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Responden di Pulau Pala umumnya (80%) menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan 8,6% aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Laporan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep 2006 (Coremap II, 2006) menjustifikasi bahwa nelayan yang berada di kepulauan Kab.Pangkep terutama nelayan yang berasal dari Pulau Karanrang masih melakukan aktivitas PITRaL dalam proses pemanfaatan sumberdaya laut. Senada dengan itu, Saleh (2010) mengungkapkan bahwa nelayan yang berada di kepulauan Kab.Pangkep terutama nelayan penangkap ikan sunu menggunakan alat tangkap pancing sunu yang selalu berbarengan dengan penggunaan sianida. Hal ini disebabkan pancing sunu dimaksudkan untuk mendapatkan target dalam keadaan hidup, sedang ikan target sendiri berada di dalam celah karang, sehingga untuk dapat ditangkap target harus dipaksa keluar dari lubang persembunyiannya dengan cara menyemprotkan sianida (bius). 23
Persepsi Terhadap Eksploitasi Kima Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa menjustifikasi perlindungan terhadap berbagai jenis Bivalvia, diantaranya Kima Tapak Kuda (Hippopus hippopus), Kima Cina (Hippopus porcellanus), Kima kunia (Tridacna crocea), Kima selatan (Tridacna derasa), Kima raksasa (Tridacna gigas), dan Kima sisik (Tridacna squamosa). Berdasarkan hal tersebut sehingga menjadi penting untuk menggambarkan aktivitas eksploitasi Kima di wilayah TWP Kapoposang dan KKLD Kab, Pangkep. Talibo’ adalah nama local (local common name) untuk jenis biota Kima bagi masyarakat kepulauan di Kab. Pangkep. Sudah menjadi tradisi masyarakat kepulauan di Kab. Pangkep untuk menyajikan hidangan Kima pada saat acaraacara hajatan dan atau pesta pernikahan. Meski belum ada data tentang menurunnya tingkat populasi Kima yang digambarkan dalam deret waktu, namun masyarakat kepulauan di Kab.Pangkep cukup merasakan berkurangnya hasil tangkapan Kima. Baik di Wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab. Pangkep tergambarkan masih adanya indikasi eksploitasi Kima meski intensitasnya sudah menurun. Responden di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) sebanyak 20% masih melihat adanya aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 17,1% responden menyatakan eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Demikian halnya juga di wilayah KKLD Kab.Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo) dimana terindikasi masih adanya eksploitasi Kima. Responden di Pulau Kulambing sebanyak 17,1% masih melihat adanya aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 11,4% responden menyatakan aktivitas eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Di Pulau Samatellu Lompo, 14,3% responden menyatakan masih melihat adanya aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 22,9% menyatakan aktivitas eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Responden di Pulau Pala sebanyak 14,3% juga masih melihat aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 8,6% responden menyatakan aktivitas eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Masih adanya indikasi eksploitasi Kima di wilayah kawasan konservasi laut diduga kemungkinan disebabkan karena pengawasan terhadap sumberdaya laut masih belum terlalu ketat.
24
Persepsi Terhadap Aktivitas Penambangan Karang. Penambangan karang adalah aktivitas yang dilarang apalagi dilakukan di wilayah kawasan konservasi laut. Kebanyakan masyarakat yang berada di daerah kepulauan di Indonesia yang wilayahnya jauh dari daratan dimana sulit untuk mendapatkan material bahan bangunan untuk pembangunan sementara kebutuhan untuk mendapatkan atau membangun rumah semakin tinggi sehingga kadang secara terpaksa melakukan penambangan karang yang biasanya ditujukan untuk membangun fondasi bangunan. Tak terkecuali masyarakat yang berada di wilayah TWP Kapoposang dan KKLD Kab. Pangkep seperti yang tervisualisasikan pada grafik di bawah menggambarkan masih adanya aktivitas penambangan karang meski responden umumnya menyatakan sudah tidak ada lagi atau sudah tidak pernah melihat lagi aktivitas penambangan karang. Sebanyak 17,1% responden di Pulau Gondongbali menyatakan pernah melihat aktivitas penambangan karang lebih dari 3 kali selama kurun waktu 1 tahun. Di Pulau Kulambing, sebanyak 14,3% responden pernah melihat aktivitas penambangan karang dengan aktivitas kurang dari 3 kali selama kurun waktu 1 tahun dan sebanyak 11,4% responden pernah melihat aktivitas penambangan karang lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Sebanyak 8,6% respoden di Pulau Samatellu Lompo pernah melihat aktivitas penambangan kurang dari 3 kali dalam setahun terakhir dan 20% menyatakan aktivitas penambangan karang lebih dari 3 kali dalam setahun terakhir. Demikian halnya di Pulau Pala bahwa sebanyak 31,4% responden menyatakan aktivitas penambangan karang terjadi kurang dari 3 kali dalam setahun dan 8,6% responden menyatakan aktivitas penambangan karang terjadi lebih dari 3 kali dalam setahun terakhir. Terlepas dari rendahnya pendapatan nelayan dalam hal memenuhi kebutuhan, terutama dalam hal pembangunan pemukiman. Persepsi Tentang Dampak Setelah Adanya Zonasi Kawasan Konservasi Pengelolaan kawasan konservasi laut mengharuskan adanya penataan zonasi yang ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya konflik kepentingan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Selain itu, pengelolaan kawasan konservasi laut juga ditujukan untuk menselaraskan antara kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut dengan kepentingan perlindungan sumberdaya laut sehingga sumberdaya laut dapat memberikan manfaat kepada nelayan dalam jangka waktu yang panjang dan berkelanjutan (sustainable use). TWP Kapoposang telah dicadangkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan Perikanan melalui Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya 25
Di Provinsi Sulawesi Selatan dan KKLD Kabupaten Pangkep juga telah dicadangkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Setelah dicadangkannya TWP Kapoposang pada tahun 2009 dan KKLD Kab. Pangkep pada tahun 2010, kedua kawasan konservasi ini tentunya harus dikelola efektif agar dapat memberikan manfaat banyak kepada nelayan setempat. Secara umum responden baik responden yang berada di kawasan TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun yang berada di wilayah KKLD Kab. Pangkep (Pulau Kulambbing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala ) menyatakan bahwa sejak ditetapkannya kawasan konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep hasil tangkapan tidak mengalami perubahan peningkatan atau sama saja. Pendugaan sementara kemungkinan disebabkan oleh faktor daya jangkauan trip armada tangkap nelayan yang hanya sebagian besar hanya menjangkau daerah-daerah yang dekat dengan pulau. Menurut kepala desa Mattiro Dolangeng 4 bahwa daerah fishing ground nelayan sebagian besar berada di sekitar pulau yang kaya akan karang dikarenakan armada tangkap nelayan hanya mampu menjangkau wilayah perairan dangkal yang dekat dengan pulau sehingga ekosistem karang semakin rusak dikarenakan aktivitas PITRaL. Di saat ekosistem karang sudah banyak yang rusak, nelayan mulai merasakan bahwa semakin hari ikan hasil tangkapan tidak meningkat bahkan dirasakan semakin berkurang, sementara nelayan secara ekonomi tidak mampu meningkatkan kapasitas armada tangkap yang lebih besar untuk menjangkau wilayah fishing ground yang lebih jauh Dugaan kedua kemungkinan disebabkan oleh sejak ditetapkannya TWP Kapoposang dan KKLD Kabupaten Pangkep oleh Pemerintah sampai sekarang belum ada penataan tapal batas zona-zona yang ada dalam wilayah kawasan konservasi sehingga kegiatan-kegiatan ekstraktif tetap dilakukan oleh nelayan pada daerah-daerah yang kaya akan karang. Kegiatan ekstraktif tersebut secara teoritis akan memberikan dampak negative yaitu terganggunya rekrutmen ikan karang sehingga kestabilan rantai makanan, aliran energi dan siklus materi dalam ekosistem terumbu karang tidak terjadi secara optimal. Menurut staf unit pengelola KKLD Kab. Pangkep 5 bahwa isu pengurangan luasan zona inti KKLD Kab.Pangkep sedang bergulir dikarenakan beberapa stakeholder (Pengusaha Bisnis Perikanan) yang mengetahui keberadaan KKLD Kab.Pangkep merasa wilayah fishing groundnya semakin terbatasi. 4 5
Keterangan lisan Kepala Desa Mattiro Dolangeng Keterangan lisan staf Unit Pengelola KKLD Kab. Pangkep
26
Stakeholder yang dekat dengan kekuasaan dan memiliki ketergantungan politik secara vertikal menggulirkan isu tersebut secara vertikal. Resistensi beberapa stakeholder tersebut dikarenakan kekhawatiran akan berkurangnya penghasilan akibat berkurangnya hasil tangkapan karena terlalu luasnya zona inti KKLD Kab.Pangkep. Karena adanya resistensi dari stakeholder tersebut sehingga penataan tapal batas KKLD Kab.Pangkep belum bisa dilakukan. Hal inilah yang mendasari sehingga dinamika otonomi daerah dirasakan sangat berpengaruh terhadap proses pengelolaan kawasan konservasi laut. Kepentingan stakeholder yang bertabrakan diupayakan untuk disinkronisasi secara harmonis agar tidak terjadi konflik kepentingan. Disadari atau tidak, sistem demokrasi politik di Indonesia belum dewasa sehingga kebijakan selalu disandarkan pada kepentingan sebagian kecil orang yang memiliki kekuatan ekonomi politik meski harus mengorbankan kepentingan perlindungan sumberdaya laut. Persepsi Responden Terhadap Kondisi Terumbu Karang di Sekitar Wilayah Kawasan Konservasi Sebanyak 62,9% responden di Pulau Gondongbali menjawab mulai terdapat kerusakan terumbu karang di sekitar TWP Kapoposang, demikian halnya dengan responden yang berada di sekitar wilayah KKLD Kab. Pangkep dimana responden di Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala yang masing-masing sebanyak 65,7%, 65,7%, dan 68,6% menyatakan mulai terdapat kerusakan terumbu karang di sekitar wilayah KKLD Kab. Pangkep. Hal ini bisa digeneralisasikan bahwa baik di sekitar wilayah TWP Kapoposang maupun di sekitar wilayah KKLD Kabupaten Pangkep sudah terjadi kerusakan terumbu karang. Berdasarkan laporan monitoring tren kondisi terumbu karang Kabupaten Pangkep tahun 2012 yang direlease oleh Dinas Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa persentase terumbu karang dengan kondisi rusak berfluktuasi meningkat. Pada tahun 2008 kondisi karang yang rusak sebesar 18,60 % meningkat menjadi 48,84 % pada tahun 2010 kemudian menurun menjadi 41,86 % pada tahun 2011 sementara kondisi terumbu karang yang sangat baik persentasenya sangat sedikit dimana pada tahun 2008 hanya sebesar 4,65 % dan mengalami sedikit peningkatan pada tahun 2011 sebesar 9,30 %. Pada laporan tersebut juga disebutkan bahwa meningkatnya persentase kerusakan terumbu karang pada tahun 2010 disebabkan oleh fenomena pemutihan karang (Bleaching) dan aktivitas antropogenik yang destruktif seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.
27
Persepsi Terhadap Manfaat Terumbu Karang Sebagai Daerah Tempat Tinggal (Nursery Ground), Tempat Mencari Makan (Feeding Ground) dan tempat Beregenerasi Berbagai Macam Ikan Laut (Spawning Ground). Responden yang ada di kawasan konservasi laut Kab. Pangkep baik di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun di wilayah KKLD Kab. Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, Pulau Pala) pada umumnya adalah adalah nelayan dengan armada tangkap yang sederhana sehingga hanya bisa mengakses fishing ground yang dekat dimana sebagian besar daerah fishing groundnya adalah perairan dangkal daerah ekosistem karang tumbuh berkembang. Coremap telah memberikan banyak pelajaran dan pengetahuan kepada nelayan tentang manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Sehingga dengan demikian dapat menjustifikasi bahwa responden baik di wilayah TWP Kapoposang maupun KKLD Kab. Pangkep pada umumnya sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Hal ini tergambarkan dimana sebanyak 77,1% responden di TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) menjawab bahwa terumbu karang bermanfaat sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Demikian halnya wilayah KKLD Pangkep dimana sebanyak 68,6% responden di Pulau Kulambing, 60% responden di Pulau Samatellu Lompo dan 54,3% responden di Pulau Pala sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Hal ini dapat digeneralisasi bahwa masyarakat nelayan di baik di wilayah TWP Kapoposang maupun di KKLD Kab. Pangkep sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Persepsi Terhadap Perlunya Aturan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (SDI) Wilayah Terumbu Karang Pada dasarnya pengelolaan kawasan konservasi perairan ditujukan untuk menselaraskan kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut dengan kepentingan perlindungan laut sehingga pemanfaatan sumberdaya laut dapat berkelanjutan. Nelayan di kepulauan Kabupaten Pangkep mayoritas adalah nelayan kecil yang memanfaatkan terumbu karang sebagai daerah fishing ground karena jarak aksesnya yang dekat. Modernisasi yang mengejar pertumbuhan telah mengakselerasi pemanfaatan pengggunaan teknologi penangkapan ikan yang tidak memberikan keadilan secara merata kepada nelayan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut sementara tingkat kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut semakin meningkat. Semakin meningkatnya pemanfaatan sumberdaya laut tentunya harus diharmonisasikan dengan penegakan aturan. Olehnya itu, 28
pengelolaan kawasan konservasi adalah juga merupakan upaya penegakan aturan (hukum) yang diharapkan dapat memberikan keadilan kepada seluruh nelayan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Upaya penegakan aturan pemanfaatan sumberdaya laut tersebut harus disandarkan pada kepentingan mayoritas nelayan dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Dari hasil penelitian menggambarkan tingginya harapan mayoritas nelayan terhadap perlunya mensegerakan optimalisasi penegakan aturan pemanfaatan sumberdaya laut, baik di wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab. Pangkep. Sebanyak 68,6% responden di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) menganggap perlu ada aturan pemanfaatan sumberdaya di wilayah terumbu karang dan sebanyak 20% menyatakan sangat perlu ada aturan pemanfaatan sumberdaya. Responden yang berada di wilayah KKLD kabupaten pangkep, yaitu Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala masing-masing sebanyak 62.9%, 62.9% dan 57.1% mengharapkan perlu ada aturan pemanfaatan sumberdaya dan masing-masing sebanyak 28.6%, 14.3%, dan 25.7% menyatakan sangat perlu adanya aturan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Berdasarkan hal tersebut sehingga dapat menjustifikasi bahwa secara umum responden berharap adanya penegakan aturan secara optimal agar dapat memberikan keadilan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Issue Discussion ; Problematika Silang Singkarut Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Wilayah Perairan Kab. Pangkep Dari hasil E-KKP3K ditemukan bahwa kinerja pengelolaan TWP Kapoposang telah mencapai pengelolaan efektif pada peringkat kuning dengan status kawasan konservasi didirikan sedangkan kinerja pengelolaan KKLD Kab.Pangkep baru mencapai pengelolaan efektif pada peringkat merah dengan status telah dicadangkan. Status kawasan konservasi TWP Kapoposang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi Selatan. Demikian halnya dengan KKLD Kab. Pangkep dimana status pencadangannya diterbitkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Hasil wawancara dengan staf unit pengelola TWP Kapoposang menyatakan bahwa management plan TWP Kapoposang masih sementara dalam proses pengusulan untuk ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun, dalam proses upaya penetapan managemen plan tersebut ditemukan kekeliruan dalam penentuan titik koordinat kawasan dimana konsekuensi dari kekeliruan 29
tersebut menyebabkan luasan kawasan menjadi 90.000 hektar sementara dalam Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi Selatan tercantum luasan kawasan 50.000 hektar. Hal ini memungkinkan akan dilakukan peninjauan kembali Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan tersebut. 6 Demikian halnya dengan management plan KKLD Kab. Pangkep masih belum ditetapkan karena masih dalam proses sinkronisasi dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Propinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, pertimbangan lain sehingga management plan KKLD Kab. Pangkep masih belum ditetapkan adalah karena luas zona inti (no take zone) KKLD Kab.Pangkep masih ingin dikurangi. Hipotesis sementara terkait rencana pengurangan luas zona inti KKLD Kab.Pangkep adalah diduga sedikit banyaknya terkait dengan dinamika otonomi daerah. Lambatnya progresifitas pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab. Pangkep yang dikarenakan oleh belum ditetapkannya Management Plan TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep menyebabkan lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah perairan Kab.Pangkep sehingga memberi ruang kepada para pemanfaat sumberdaya laut untuk tetap melakukan aktivitas PITRaL, penambangan karang dan eksploitasi biota dilindungi (Kima). Sejak tahun 2006-2011 melalui pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL), Coremap telah banyak memberikan pengetahuan dan pembelajaran kepada masyarakat nelayan di wilayah Kepulauan Kab.Pangkep sehingga masyarakat nelayan umumnya mengetahui manfaat terumbu karang namun realitas menunjukkan kondisi yang un-linear dimana masih ada indikasi terjadinya pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut yang terindikasi dengan masih adanya aktivitas PITRaL, penambangan karang, eksploitasi biota dilindungi (Kima). Hipotesis sementara kemungkinan disebabkan oleh : (1) rendahnya pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya laut yang dikarenakan belum ditetapkannya Management Plan kawasan konservasi laut TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep; (2) Rendahnya dukungan Pemerintah dalam hal meningkatkan kapasitas (teknologi dan daya tampung hasil tangkapan) armada tangkap nelayan untuk menjangkau fishing ground yang lebih jauh sehingga sebagian besar nelayan secara determinan melakukan penangkapan ikan di wilayah terumbu karang sekitar pulau; (3) Rendahnya dukungan pemerintah dalam upaya mengembangkan mata pencaharian alternative bagi masyarakat nelayan. Dugaan ini masih perlu dikaji lebih jauh agar dapat menjadi landasan ilmiah dalam proses 6
Keterangan lisan Koordinator Pengelola TWP Kapoposang.
30
pengambilan keputusan untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya laut secara berkeadilan dan berkelanjutan. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian, penulis merekomendasikan beberapa hal, yaitu : (1) Segera menetapkan dan mensosialisasikan management plan TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep; (2) Untuk mempercepat pencapaian efektifitas kinerja pengelolaan pada peringkat emas, diperlukan keseriusan dari masing-masing pengelola untuk memenuhi persyaratan-persyaratan dokumen pengelolaan sesuai dengan Pedoman Teknis E-KKP3K; (3) Meningkatkan kapasitas (teknologi dan daya tampung hasil tangkapan) armada tangkap nelayan untuk menjangkau fishing ground yang lebih jauh serta meningkatkan kapasitas teknologi pasca panen untuk menjaga kualitas hasil tangkapan; (4) Mengembangkan mata pencaharian alternative dan memberikan jaminan pasar terhadap hasil produksi mata pencaharian alternative bagi masyarakat nelayan di kepulauan Kab.Pangkep; (5) Diperlukan penelitian lanjutan tentang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab. Pangkep sebagai landasan teoritis dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan berbasis masyarakat.
31
DAFTAR PUSTAKA Anggoro, S., 2000. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Berwawasan Lingkungan. Seminar Nasional Fakultas Teknik dalam rangka Dies Natalis Universitas Diponegoro ke 43. Universitas Diponegoro. Semarang. Anggoro, S. 2006. Modul Matrikulasi Pengelolaan Pesisir dan Laut. Universitas Diponegoro, Semarang. Budiharsono, S., Asbar., E Triwibowo., F Sutopo. 2003. Strategi Pengembangan Konservasi Laut. Dalam Lokakarya Nasional Strategi Pengembangan dan Pengelolaan Konservasi Laut. Bogor, Oktober 2003. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, DKP. Jakarta. Bengen, D.G.. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB). Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL. IPB. Bogor. Bengen D dan A. Retraubun . 2006. Menguak Realitas Dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosial Sistem Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Bogor : Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Coremap II. 2006. Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep Tahun 2006. Coremap II. 2011. Dokumen Percontohan Perikanan Berkelanjutan di TWP Kapoposang Tahun 2011. Clark, J.R.1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publisher, Boca Raton , FL. Daerah Dalam Angka. 2012. Kabupaten Pangkep Dalam Angka 2012. BPS Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dahuri, R. 1996. An analysis of Enviromental Threath to Marine Fisheries in Indonesia. Paper Submited for Asia Pasific Fisheries Commision APFIC) Symposium on Enviromental Aspects of Responsible Fisheries, Soul Republic of Korea. 15-18 Oct 1996. Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting., M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita. Dian Ayunita dan Trisnani Dwi Hapsari. 2012. Analisis Persepsi Dan Partisipasi Masyarakat Pesisir Pada Pengelolaan KKLD Ujungnegoro Kabupaten Batang. Jurnal SEPA : Vol. 9 No.1 September 2012 : 117 – 124. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.
32
Ditjen KP3K. 2012. Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K). Keputusan Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor KEP.44/KP3K/12. Jakarta. Ditjen KP3K. Basis Data Kawasan Konservasi. http://kkji.kp3k.kkp.go.id/ (Diakses pada tanggal 25 Desember 2013) Ditjen KP3K. Eksotisme Kapoposang. Publikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan seri Kawasan Konservasi Perairan Nasional. Jakarta Pusat. http://kkji.kp3k.kkp.go.id (Diakses pada tanggal 12 Mei 2014) Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Pedoman Tata Ruang Pesisir dan Laut. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34 tahun 2002, tanggal 4 September 2002. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pedoman Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Direktorat Konservasi dan Taman laut Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2003. Jakarta Elida, F. 2005. Pola Pengembangan Pariwisata Yang Berbasis Masyarakat Di Kepulauan Karimunjawa. Tesis. Program Pasca Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang. Gay,L.R. and Diehl, P.L. 1992. Research Methods for Business and Management. Macmillan Publishing Co., NewYork Gubbay, S. 1995. Marine Protected Areas. Chapman & hall. London-GlssgowWeinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras. Ghofar, A., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Cipayung-Bogor. Haslindah. 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Taman Wisata Perairan Kapoposang Kabupaten Pangkep. Tesis. PPs Universitas Hasanuddin. Hockings, M., S. Stolton, F. Leverington, N. Dudley, J. Courrau. 2006. Evaluating Effectiveness : A Framework For Assessing Management Effectiveness of Protected Area 2nd Edition. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. IUCN, 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories CNPPA with assistance of WC,WM, IUCN,.Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Kartono, Kartini & Gulo, Dali. 1987. Kamus Psikologi. Pionir Jaya. Bandung Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil nomor KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K)
33
Latupapua, Y. 2011. Persepsi Masyarakat terhadap Potensi objek daya tarik wisata Pantai di kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 2 Juni 2011. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura – Ambon Locally-Managed Marine Management Area. www.Lmmanetwork.org Mackinnon, J. dan Mackinnon, K. 1990. Pengelolaan Kawasan yang dilindungi di Daerah Tropika. Terjemahan. Yogyakarta:Gajahmada University Press. Mardijono. 2008. Persepsi Dan Partisipasi Nelayan Terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kota Batam. Tesis. Program Pasca Sarjana Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro Semarang. McNeely, J.A., 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi Untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Nawawi, H.H. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press. Bulaksumur. Yogyakarta National Research Council., 1999. Sustaining Marine Fisheries. National Academy Press. Washington D.C. Ruchimat, Dkk. 2012. Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia ; Paradigma, Perkembangan dan Pengelolaannya. Publikasi Ditjen KP3K KKP. Jakarta. http://kkji.kp3k.kkp.go.id (Diakses pada tanggal 12 Mei 2014) Robbins, Stephen P. (2003). Perilaku organisasi. PT. Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta Saleh, A. 2010. Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Perairan Kecamatan Liukang Tuppabiring Kabupaten Pangkep. Tesis. PPs Universitas Hasanuddin. Makassar. Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ___________.2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati Di Wilayah Pesisir Dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Susanto, H. A. 2011. Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi Perairan Indonesia: A Consultancy Report. Kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Coral Triangle Support Partnership (CTSP). Jakarta. UNEP-WCMC. 2008. Nasional and Regional Networks of Marine Protected Areas : A Review of Pregress. Cambridge: UNEP-WCMC Walgito, Bimo. 2001. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Andi Offset. Yogyakarta.
34
KONEKTIVITAS KAWASAN KONSERVASI
Pendahuluan
Jamaluddin Jompa et al.
Jejaring Konservasi diperkenalkan oleh IUCN yang menyatakan bahwa Jaringan MPA merupakan kumpulan Kawasan Konservasi individu atau daerah Pencadangan sinergis pada berbagai skala spasial, dan dengan kisaran tingkat perlindungan yang dirancang untuk memenuhi tujuan dimana perlindungan kawasan tidak cukup pada tingkatan yang lebih kecil (IUCN-WCPA, 2008). Saat ini Jejaring Konservasi juga dikembangkan di Indonesia guna mengejar target 20 juta Ha Luas Kawasan Konservasi di tahun 2020, sebagaimana hasil Konferensi Biodiversity yang menyarankan akan target Marine Protected Area (MPA) sebesar 10% dari luas Perairan Dunia. Tahun 2013 luas Kawasan Konservasi perairan di Indonesia telah mencapai 15.764.210.85 Hektar yang berjumlah 131 kawasan. Sulawesi Selatan memiliki empat kawasan Konservasi yang semuanya terletak di Selat Makassar dan memanjang kearah selatan selat dengan luas kawasan Konservasi mencapai 757,020 Ha atau +5% dari total luas Kawasan Konservasi saat ini di Indonesia. Peluang untuk mencapai target kawasan konservasi sebagaimana yang disyaratkan 20 juta Ha ditahun 2020 yang saat ini masih kurang 4,215,870.48 masih dapat dilakukan. Kekurangan tersebut dapat ditambahkan salah satunya dengan membuat jejaring kawasan konservasi di Ecoregion Selat Makassar. Kebutuhan untuk peningkatan kawasan konservasi, kepentingan dalam menjamin berkembangnya diversitas biologi dan keberlansungan proses ekologi di Perairan, maka dilakukan pengkajian pembentukan Jejaring Konservasi di Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar. Selain itu, kesiapan pembentukan Jejaring konservasi juga perlu mendapat perhatian dari sisi Kelembagaan, hal ini menjadi factor dalam berjalannya pengelolaan kawasan serta dinamika kelembagaan sosial yang berpengaruh dalam pengembangan Jejaring Konservasi. Oleh karenanya keterkaitan biofisik dan kelembagaan menjadi kajian dalam Penelitian ini. Peningkatan Luas Kawasan Konservasi dan berkembangnya diversitas biologi melalui Jejaring Konservasi memerlukan langkah penilaian biofisik dan penilaian kelembagaan dalam inisiasi dan pengelolaan kawasan. Penelitian ini akan melihat (1) Bagaimana Kondisi dan Keterkaitan Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar sebagai daerah pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (2) Apakah terdapat wilayah penting untuk perlindungan di Perairan Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar (3) Bagaimana 35
aspek Ekologi dan Kelembagaan dalam Pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar Adapun Tujuan Penelitian adalah (a) Mengetahui Kondisi dan Keterkatian Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar sebagai daerah Pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Peraian (b) Menghasilkan Wilayah penting untuk perlindungan di Perairan Kepulauan Spermonde dan Perairan Kabupaten Selayar (c) Mengetahui aspek Ekologi dan Kelembagaan dalam Pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Peraian, Sementara itu manfaat penelitian ini yakni (a) Mengetahui keadaan Kondisi Biofisik Perairan Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar, (b) Dapat menjadi pertimbangan dalam perencanaan dalam mengelola Kawasan Konservasi Perairan, (c) Tersedianya kajian ilmiah dalam perencanaan pembentukan Jejaring Konservasi di Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar Ecoregion Laut Sulawesi Selat Makassar memiliki kelimpahan organisme dari proses pencampuran air dari Samudra pasifik melewati Laut Sulawesi dan masuk ke Selat Makassar. Dari hasil penelitian G Allen (Huffard, Erdmann, & Gunawan, 2012), Ecoregion Laut Sulawesi Selat Makassar memiliki kelimpahan jenis ikan karang tertinggi diantara ecoregion lainnya yaitu 1785 jenis ikan karang, namun tidak ditemukan ikan karang endemic di perairan tersebut. Untuk jenis karang keras ditemukan 511 jenis karang keras (khusus ecoregion Karang Selat Makassar), jenis fungi memiliki 46 spesies, Stomatopod yang berasosiasi dengan Karang 37 jenis spesies, 23 jenis vegetasi mangrove dan 2 spesies Penyu. Komposisi yang melimpah di Selat Makassar ini menjadi saluran air dari samudra pasifik. Ecoregion ini juga memfasilitasi penyebaran larva sehingga memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi dan berpotensi tinggi sebagai konektivitas koridor masa depan yang mendistribusikan varian genetic yang telah mentolelir berbagai kondisi lingkungan seperti dengan perubahan iklim global(Huffard, Erdmann, & Gunawan, 2012). Kelimpahan spesies mangrove di Selat Makassar juga memberikan kontribusi bagi berkembangnya larva dengan ketersediaan serasah dalam jumlah banyak. Hal ini juga diikuti dengan jumlah spesies burung laut yang mencari makan dan berkembang di hutan mangrove. Di kepulauan Spermonde baru baru ini juga telah ditemukan lamun dengan spesies baru yaitu Halophila Sulawesii(Huffard, Erdmann, & Gunawan, 2012).
36
Gambar.2.1Pembagian Ecoregion Laut (MEOW) di Indonesia (Huffard, Erdmann, & Gunawan, 2012). Pendekatan Biofisik dan Pembentukan Kawasan Konservasi Jenis Penelitian adalah Kuantitatif dengan pendekatan Penilaian terhadap Keadaan Wilayah Perairan terhadap komponen biotic dan abiotic pada habitat laut dangkal kedalaman kurang dari 200 meter. Diharapkan bahwa dengan data sekunder juga mampu tergambarkan daerah spesifik seperti daerah dengan keanekaragaman tinggi ikan karang, daerah lamun, terumbu karang, mangrove, daerah pemijahan dan migrasi, daerah peneluran penyu, jalur migrasi, daerah upwelling dan lainnya. Untuk data sebaran mangrove, lamun dan karang didapatkan dari hasil data sekunder dan pengolahan Citra Landsat ETM yang telah ada. Untuk pengambilan data Primer, maka titik yang telah ditentukan dilakukan pengecekan di lapangan untuk kebutuhan data biotic dan abiotic, Kawasan Konservasi Perairan yang telah ada dan pengambilan data kelembagan. Setelah masing masing wilayah tergambarkan dengan kondisi tersebut, maka selanjutnya dilakukan pengelompokan data untuk dianalisis. Dengan tergambarnya keadaan perairan selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan terhadap wilayah penting perlindungan sebagai calon daerah Konservasi. Pengambilan data primer untuk Kelembagaan dilakukan di masing masing Wilayah Kawasan Perairan Spermonde dan Perairan Selayar. Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Spermonde dan Kabupaten Selayar. Kepulauan Spermonde meliputi wilayah perairan dari Kabupaten Takalar hingga Kabupaten Barru. Lokasi pengambilan data ditentukan berdasarkan informasi data sekunder terhadap daerah yang melimpah
37
keanekaragaman hayatinya. Waktu penelitian akan dilakukan dari Bulan Februari Hingga April. Pengambilan data dilakukan pada Bulan Februari 2014 Biofisik Kawasan Perlindungan Kesamaan biofisik menjadi factor penting dalam kegiatan dalam perlindungan. Di perairan Selayar dan Spermonde, salah satu indikasi untuk melihat kesamaan biofisik di kedua perairan ini data jenis terumbu karang. Data jenis terumbu karang yang digunakan adalah data tahun 1984 7 yang merupakan data hasil identifikasi jenis karang di beberapa daerah bagian Indonesia timur. Data tersebut digunakan karena menunjukkan adanya tingkat biodiversitas yang tinggi di kedua perairan dibandingkan dengan hasil identifikasi karang saat ini. Dari hasil perbandingangan sebelumnya dimana hasil identifikasi jenis karang saat ini mengalami penurunan jenis karang. Sebagaimana hasil penelitian Edinger, Jurek Kolasa, & Michael J. Risk, (2000) dimana ditemukan genera 25% lebih sedikit dibandingkan hasil studi tahun 1980 (Moll, 1983). Kesamaan biofisik ini dibagi menjadi tiga yakni kesamaan jenis karang, konektivitas dan keterwalikan wilayah. Jumlah jenis karang yang ditemukan di kedua peraian berbeda, dimana Spermonde lebih banyak dibanding dengan Selayar dan Takabonerate. Jenis yang ditemukan di ketiga perairan tersebut Faviidae dengan 43 jenis, Fungiidae dengan 25 jenis, Acroporidae dengan 22 jenis dan total jenis yang ditemukan untuk seluruh family 138 jenis. Jenis karang yang tidak ditemukan di Selayar tetapi ditemukan di Spermonde sebanyak 31 jenis karang. Jenis karang ini seperti Acroporidae Jenis Montipora informis Bernard, Fungiidae Halomitra spec. nov. Fungiidae Halomitra spec.nov.Sekitar 25 spesies hanya ditemukan di Selayar. Sementara Semua spesies lain juga ditemukan di perairan Spermonde (MOLL, 1983). Di perairan Takabonerate daerah identifikasi Taka Garlarang, Taka Lamungan dan karang di sekitar Tinanja terumbu ditemukan sekitar 200 jenis karang dan ditemukan spesies Spesies langka atau baru (Montipora spec. 1, Acropora spec. 2 dan Acropora spec. 6). Phy-sophyllia patula Hodgson & Ross, sejauh ini hanya dijelaskan dari Filipina, juga ditemukan di daerah ini(Best, et al., 1989).
7M.
Borel Best et all, Recent Scleractinian Coral Species Collected During The Snellius-Ii Expedition In Eastern Indonesia (1984)Netherlands Journal of Sea Research 23 (2): 107-115 (1989)
38
Gambar 4.4 Trend tutupan karang hidup di Perairan Spermonde dan SelayarSesuai dengan tabel 5.1, berdasarkan data kehadiran dan ketidakhadiran jenis karang pada ketiga perairan tersebut, didapatkan tingkat kesamaan jenis karang diatas 70% dengan tingkat kesamaan tertinggi yaitu Selayar-Takabonerate. Perbedaan tingkat kesamaan jenis karang dipengaruhi oleh factor jarak dan isolasi perairan. Jarak yang semakin jauh maka tingkat kesamaan akan rendah sebagaimana antara Spermonde dan Takabonerate.. Tabel 5.1 Analisis persentase kesamaan jenis karang di Selayar dan Spermonde (A) (A) SepermondeSpermonde(B)Takabonerate (B)Selayar No. of spp. Area A 241 241 No. of spp. Area B 200 202 Common sp. 165 160 No. of spp. Area A only 56 81 No. of spp. Area B only 32 50 Percentage similarity 75% 72% Sumber Data : Hasil Analisis dan data Sekunder Best, et al., (1989)
Perbandingan
(A) Selayar(B)Takabonerate 200 202 159 29 43 79%
Selain jenis karang, factor fisik perairan juga memiliki hubungan dimana adanya aliran arus yang mentransport, nutrient dan element lainnya yang berasal dari utara ke selatan perairan maupun sebaliknya. Hal ini sebagaimana kedua perairan 39
ini pada bulan Maret dimana arus dari Spermonde dari utara menuju keselatan yaitu ke perairan Selayar dan bercampur dengan arus yang berasal dari Laut Jawa. Arah arus bergerak menjauhi pesisir takalar dan bergerak Ke arah barat. Sementara pada bulan Juli arus bergerak dari Selatan yaitu dari laut flores menuju perairan selayar dan kemudian menyisir pesisir pulau Sulawesi dan menuju ke Spermonde dengan kecepatan hingga 60 cm/det, factor perubahan ini terkait dengan perubahan Musim. Kedua perairan ini menujukkan adanya hubungan keterkaitan karena factor arus yang bolak balik sepanjang tahun, dan kedua daerah ini tidak terhalangi oleh daratan dan juga tidak terisolasi, sehingga memungkinkan rekruitmen/transper larva dapat terjadi diantara keduanya. Konektivitas di perairan dipengaruhi oleh factor massa air, namun untuk melihat apakah kedua perairan memiliki konektivitas salah satunya dengan mengetahui sebaran larva dan kemiripan secara genetic antara populasi. Sebaran larva Heliofungia actiniformis (Scleractinia:Fungiidae) rata rata tersebar hingga jarak 52 Km di Kepulauan Spermonde (Knittweis, Kraemer, Timm, & Kochzius, 2009), sementara Seriatopora hystrix memiliki diferensiasi genetic hingga 90 km di Great BarrierReef(Ayreand Dufty 1994).
Gambar 4.3 Pola Pergerakan Arus Bulan Juli (diatas ) dan Agustus (bawah) Sumber Data : Hasil Analisis Faktor oceanography di perairan Spermonde dan Selayar yang terjadi pada bulan Juli memperlihatkan adanya arah arus dominan dari utara keselatan. Hal ini juga didukung dengan tingkat kesamaan jenis karang semakin rendah seiring dengan jarak yang makin jauh dari perairan Spermonde. Diantara daerah Spermonde dan 40
Selayar seperti pesisir Jeneponto, Bantaeng jarang ditemukan daerah terumbu karang, hal bisa saja mendapat pengaruh local seperti sedimentasi dan arus. Arus yang bergerak dari Spermonde menuju selayar, tidak melalui perairan tersebut, melainkan menjauh kearah bagian luar jauh dari pesisir, kemudian berbelok menuju perairan selayar. Selain pergerakan biota laut jenis karang, pergerakan penyu juga telah diketahui bahwa penyu merupakan hewan dengan kemampuan bergantung tinggi terhadap habitat peneluran, dan migrasi. Spermonde dan selayar merupakan dua tempat habitat peneluran dan habitat migrasi penyu hijau. Pergerakan penyu yang memanfaatkan habitat tersebut menujukkan adanya konektivitas habitat yang memberi ketergantungan tinggi terhadap penyu hijau. Oleh karena karakteristik migrasi yang panjang dengan jarak ribuan kilometer (Raja Ampat- Kalimantan) maka migrasi ini akan menunjukkan jalur maupun tujuan yang relatif konsisten. KKPD Pangkep dan TWP Kapoposang berada di satu gugusan kepulauan yaitu Spermonde, sebagian besar pulau‐pulaunya terdapat karang tepi (fringing reefs) dengan rataan terumbu karang umumnya memiliki lebar 100‐ 200 meter. Bilamana mengacu pada rekomendasi perlindungan 20-30% pada berbagai level komunitas di daerah ‘’no take area”(Zona inti), maka spermonde sebagai satu kesatuan sterumbu karang yang saling berhubungan belum mencapai persentase tersebut yang baru 5% perlindungan untuk terumbu karang. Hal ini juga sama di Perairan Selayar dimana perlindungan habitat terumbu karang yang mencapai 7.0% di daerah Zona inti. Di dalam kawasan yang telah ada, replikasi telah dilakukan seperti di TNBT, dan KKPD Pangkep. TWP Kapoposang, luas zona inti hanya 2% dari luas kawasan dan tersebar dalam dua lokasi zona inti, untuk kawasan tersebut maka terlihat bahwa replikasi perlindungan habitat masih rendah sehingga memiliki ancaman terhadap gangguan pemanfaatan dan pemulihan habitat. Selain factor zona inti, untuk pengembangan jejaring, replikasi menjadi hal yang penting. Replikasi atau melindungi lebih dari satu habitat yang sama. Replikasi perlindungan meminimalkan risiko ketika habitat mengalami gangguan yang sama. Jika beberapa daerah habitat yang dilindungi bertahan terhadap dampak, maka daerah tersebut dapat bertindak sebagai sumber larva untuk pemulihan bagi daerah lain. Kelembagaan Kawasan Konservasi Perkembangan kelembagaan pengelola kawasan ditunjukkan dengan meningkatnya tingkatan kelembagaan pengelola seiring dengan perubahan tingkatan kawasan konservasi. KKPD yang ada di Pankep dan Selayar juga demikian berawal dari kawasan konservasi yang dikelola dan dibentuk tingkat 41
desa yaitu DPL kemudian dari kawasan ini berkembang menjadi KKPD yang dilanjutkan dengan kajian inisiatif pembentukan KKPD. Perkembangan tingkatan kelembagaan menunjukkan adanya upaya untuk mengefektifkan pengelolaan dengan melakukan penyelenggaraan konservasi secara otonom sebagaimana pada TNBTR hal ini tentunya berdampak pada alokasi anggaran yang juga semakin tinggi. Dari hasil laporan lakip TNBTR 2013, menunjukkan bahwa anggaran yang tinggi untuk pengelolaan telah menghasilkan kinerja yang baik sebagaimana target pengelolaan. Permasalahan juga masih terdapat didalam kawasan TNBTR, misalnya aktivitas Illegal fishing dan destructive fishing masih terjadi, dan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Permasalahan tersebut merupakan pengaruh external kelembagaan yang muncul sebagai akibat dari usaha perikanan yang tidak terkontrol, juga melibatkan berbagai stakeholder lain. Khusus di Perairan Selayar, usaha perikanan melibatkan banyak pihak dan politik local sehingga TNBTR perlu meningkatkan dan menjalin komitmen dan kemitraan yang kuat dengan instansi terkait. Hasil evaluasi E-KKP3K tahun 2013 menunjukkan bahwa rapor merah untuk KKPD Pangkep dan Selayardan TWP Kapoposang Kuning. Kesimpulan merah berarti berarti kawasan telah memiliki SK pencadangan, dan kuning atau tingkat 2 berarti lembaga pengelola telah terbentuk dan rencana pengelolaan tersedia. TWP Kapoposang dengan pencapaian tingkat dua,memiliki permasalahan anggaran dan kapasitas pengawasan kawasan yang masih minim. Permasalahan untuk KKPD, dengan hasil rapor merah, Kelembagaan pengelola KKPD Selayar belum memiliki SK Bupati, namunmemilikiLembaga pengelola (SK Kepala Organisasi).Saat ini Baik KKPD Selayar maupun Pangkep telah memasuki 4 tahun masa pencadangan. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Konsekuensi dari besarnya permasalahan kelembagaan yang dimana faktornya adalah internal terutama di KKPD dan TWP, maka pilihannya adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan. Pilihan untuk peningkatan kapasitas salah satunya dengan peningkatan tipe kelembagaan karena kelembagaan dengan tipe yang tinggi juga memiliki kewenangan mengelola anggaran yang lebih besar. Oleh karenanya, kelembagaan perlu ditingkatkan. Misalnya kelembagaan dapat berbentuk Unit Pelaksana Teknis yang di ditetapkan oleh Bupati. Sementara untuk TWP Kapoposang maka dapat ditingkatkan menjadi UPT Pengelola untuk memperkuat penyelenggaraan konservasi di Perairan Spermonde.
42
Tabel 5.2 Hasil Analisis Upgrading Kelembagaan Pengelola Kawasan Perlindungan Perairan di Selayar dan Spermonde Kawasan
KKPD Sel.
KKPD Pangkep
TWP Kap
Bentuk Lembaga
Lembaga Pengelola
Seksi Pengawasan Satker BKKPN dan Konservas
Upgrading
UPT
UPT
UPT
Alasan dan • Mendorong Alokasi Anggaran • Dapat mengelola anggaran yang rutin dan menyelenggarakan Peluang kegiatan konservasi secara • Kesempatan untuk baik tanpa harus kordinasi mendapatkan pendapatan di dengan BKKPN Kupang dalam kawasan • Dapat mengembangkan • Memiliki kesempatan untuk meningkatkan anggaran dan kegiatan peningkatan infrastruktur dan • Peluang membuka kerjasama SDM lebih mudah • Peningkatan SDM dan • Peluang membuka kerjasama lebih mudah Kapasitas
1
Sumber Data : Hasil Analisis Tabel 5.3 Hasil Analisis pengembangan Jejaring Konservasi Perairan Kawasan Perlindungan Perairan di Selayar dan Spermonde Kawasan KKPD Sel. KKPD Pangkep TWP Kap Bentuk Lembaga Lembaga Pengelola Jejaring Konservasi
Seksi Pengawasan Satker BKKPN dan Konservas
Jejaring Tata kelola Jejaring Tata Kelola Perairan bersama dengan melibatkan TWP, KKPD (Pangkep, TNBTR Takalar, Makassar, Barru)
Spermonde
Bentuk Lembaga Forum
Forum
Alasan Peluang
• Pengembangan program berorientasi pada satu ecoregion dan kawasan yang saling berhubungan. Spermonde merupakan satu kesatuan terumbu di lima kabupaten. • Memiliki kesempatan untuk meningkatkan Luas Kawasan perlindungan • Memberikan Kemudahan terhadap pembentukan kawasan baru di kabupaten lain, dimana jejaring biofisik spermonde sebagai rujukan. • Memperluas daerah cakupan pengawasan
dan • Meningkatkan kerjasama penguatan penegakan hukum perairan • Dapat mengelola perencanaan pariwisata bahari secara bersama • Membuka peluang untuk
2
mengembangkan Kawasan yang lebih luas.
• • • •
Dasar Biofisik
• Kesamaan jenis karang yang tinggi • Sebagai habitat Penyu • Memiliki biota lindung yang sama seperti Kima, Napoleon
sehingga mengurangi Aktifitas Destructive fishing dan illegal fishing yang melibatkan pelaku antar daerah Meningkatkan pendanaan bagi Pengelola KKPD Peluang membuka kerjasama lebih mudah dan efektif dalam berbagai monitoring habitat Melindungi lebih banyak daerah migrasi dan daerah pemijahan Peluang untuk Restorasi habitat dapat berkembang pada tingkat yang lebih luas
• Spermonde melingkupi perairan 5 kab, dan merupakan satu kesatuan hamparan terumbu beserta pulau pulanya • Diferensiasi Genetik Heliofungia actiniformis hingga jarak 65 Km • Merupakan daerah kritis seiring dengan penurunan jumlah jenis karang 25% • Arus Lintas Indonesia yang melewati Kep. Spermonde memperkaya keragaman genetic
3
dan lain lain Sasaran Jejaring • Penguatan Kapasitas Konservasi Kelembagaan Pengelola Kawasan • Peningkatan Penegakan Hukum di Kawasan Konservasi Memperkuat Tujuan positioning penyelenggara perlindungan perairan agar dapat mendorong penegakan hukum yang sinegis serta mengasimilasi pemahaman konservasi kedalam budaya dan sosial
berbagai spesies karang dan biota lainnya. • Peningkatan Kawasan Perlindungan yang mewakili habitat di Kep. Spermonde • Restorasi habitat di Perairan Spermonde • Peningkatan Penyelenggaraan Konservasi di Kep. Spermonde
Mendorong peningkatan perlindungan dan pengelolaan biodiversitas habitat komunitas, spesies dengan kapasitas pengelola yang juga meningkat untuk mencapai restorasi habitat yang seimbang antara pemanfaatan dan pelestarian
4
masyarakat Selayar.
di
Sumber Data : Hasil Analisis
5
KKPD Selayar mengalami hambatan dalam penyelenggaran konservasi oleh karena kelembagaan yang belum memadai (lembaga pengelola), akan tetapi kegiatan pengawasan terbantu dengan dukungan dari TNBTR dan Kapolres yang juga aktif dalam pengawasan. Kondisi ini menunjukkan adanya peluang untuk menyelenggarakan jejaring kerjasama dalam pengelolaan kawasan di Perairan Selayar karena memiliki sasaran perlindungan biofisik yang relative sama yaitu terumbu karang dan berada dalam satu wilayah ekoregion. Kegiatan kerjasama saat ini baru sebatas dalam kegiatan pengawasan, akan tetapi dalam bentuk non formal juga terlibat kegiatan kegiatan seperti kegiatan pariwisata bahari (Festival Takabonerate), kampanye perlindungan biota lindung dan lain lain. Dari kondisi tersebut, maka Peluang untuk membentuk jejaring tata kelola di perairan selayar dapat lebih mudah dan dapat dikembangkan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia melalui pertukaran informasi dan penguatan terhadap kinerja kelembagaan. Kondisi ini mungkin didapatkan karena dengan adanya TNBTR yang sudah memiliki kapasitas pengelolaan kawasan yang baik dan proses pembelajaran yang panjang dalam mengelola kawasan. Khusus untuk penegakan hukum, maka jejaring dapat dibentuk lebih luas dengan melibatkan unsur Kejaksaan, TNI Angkatan laut untuk memperkuat penegakan hukum. Pembentukan jejaring telah dijelaskan Laumann, Knoke, & Kim, 1985; Provan & Milward, 1995; Knoke et aL, 1996), dalam Weible& Paul A. Sabatier, 2005),alasan untuk membentuk jaringan adalah untuk bertukar berbagai sumber daya, seperti uang, staf, atau layanan. Kesatuan biofisik perairan di beberapa kabupaten yang berada dalam kepulauan Spermonde, sepatutnya juga menyediakan daerah untuk perlindungan. KKPD pangkep lahir karena difasilitasi melalui project Coremap II, dimana kegiatan ini hanya dilakukan di satu kabupaten di Spermonde yaitu di pangkep. Hal ini dirasa sebagai kekurangan, dimana sedapat mungkin program didorong untuk mencakup Kepulauan Spermonde agar dapat mendorong perlindungan kawasan dengan kesatuan biofisik yang saling berhubungan. Factor kesatuan biofisik ini dapat menjadi pertimbangan dalam pembentukan jejaring perlindungan. Namun melihat dari belum tersedianya kawasan konservasi di Kab. Makassar, Maros, dan Takalar maka, dasar berfikir jejaring ekologi dapat menjadi rujukan dalam pembentukan kawasan konservasi di daerah tersebut. Sebenarnya di Kota Makassar dengan 12 pulau pulau kecil dan rataan terumbu, telah menginventaris data biofisik dan sosial ekonomi untuk menjadi daerah rencana perlindungan, namun dari hasil kajian tersebut belum menggambarkan kompleksitas data yang kuat untuk menjadi daerah rujukan sebagai daerah rencana pencadangan.
1
Membangun Jejaring Pengelolaan Kawasan Perlindungan Keterkaitan dan kesamaan biofisik di perairan selayar dan spermonde, menempatkan Spermonde sebagai daerah supply atau sebagai hulu dikarenakan arus dominan bergerak dari utara ke selatan, dan dengan jenis spesies karang yang lebih melimpah dibandingkan dengan Selayar dan Takabonerate. Kondisi ini menunjukkan bahwa keterkaitan biofisik kedua perairan dipengaruhi oleh Arus local dan Arus lintas Indonesia yang keduanya dominan menuju Selatan, walaupun jarak antara spermonde dan selayar cukup jauh (+ 150 Km TanakekeSelayar). Kondisi ini dapat menjadi dasar dalam menetapkan jejaring ekologi. Khususnya untuk pengembangan kerangka Konservasi di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dikembangkan dengan menambahkan gugusan terumbu karang di teluk Bone terutama di perairan bone dan sinjai sebagai satu kesatuan pengelolaan jejaring ekologi terumbu karang. Yaitu Kep. Spermonde sebagai satu jejaring dan Kep. Selayar-Perairan Bone-Sinjai juga sebagai jejaring karena perbedaan ecoregion. Sementara untuk kerangka penguatan perairan, jejaring ekologi ditingkat kepulauan yang sama dalam satu ecoregion dapat dibentuk yaitu jejaring kawasan konservasi tingkat lokal di kepulauan Spermonde, dimana daerah ini terdiri atas 5 kabupaten dalam satu hamparan daerah terumbu karang yaitu Barru, Pangkep, Maros, Makassar dan Takalar Aspek keterkaitan biofisik menjadi dasar pembentukan jejaring, seperti Oseanography, limnology, bioekologi perikanan, daya tahan lingkungan dan daya lenting lingkungan. Kondisi biofisik dan keterkaitan ecologi didalam kawasan Spermonde menjadi pertimbangan untuk penyelenggaraan konservasi dengan model Jejaring Konservasi lokal, namun masalah terbesar adalah kesamaan pandangan pelaku dan pentingnya jejaring bagi para pemangku kepentingan di wilayah tersebut. Di beberapa daerah ada yang mengerti dan memahami secara baik, namun ada yang belum memahami dan bahkan tidak mengetahui manfaat tersebut. Komitmen para pelaku untuk berjejaring juga ditunjukkan, namun bagaimana komitmen tersebut dapat diukur dan terimplementasi akan banyak variabel dan faktor yang mempengaruhinya. Oleh karenanya dalam mendorong konsep penyelenggaran perlindungan perairan dengan model jejaring perairan lokal Spermonde sangat perlu dilakukan dengan kehati hatian melalui kajian kelembagaan, ecologi, sosial dan ekonomi yang saling terkait dan interdisplin agar tiap sistem dan subsistem tersebut dapat mencapai tujuannya . Dalam mendorong penyelenggaran konservasi berbasis kawasan di perairan spermonde, maka perhatian terhadap manfaat yang didapatkan bagi daerah dapat terukur sehingga tiap pelaku memiliki kemauan untuk berkoalisi atau berjejaring guna mendapatkan yang lebih, terutama pada desan kelembagaan. Permen KKP 13 tahun 2014 tentang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan mengisyaratkan 2
bahwa kelembagaan untuk Jejaring kawasan konservasi lokal dapat dibentuk forum atau sekretariat yang dibentuk melalui kerjasama satuan pengelola organisasi.Perbedaan mendasar tentang forum dan sekertariat, tergambar pada tujuan pembentukan kelembagaan apakah hanya berfungsi sebagai media kordinasi antara para pengelola atau menjadi pendorong percepatan pengelolaan yang efektif (tata kelola, ecology, dan sosial ekonomi) secara bertanggungjawab. Di Spermonde, kebutuhan kelembagaan adalah mendorong peningkatan perlindungan dan pengelolaan biodiversitas habitat komunitas, spesies dengan kapasitas pengelola yang juga meningkat untuk mencapai restorasi habitat yang seimbang antara pemanfaatan dan pelestarian. Sementara di Selayar kebutuhan kelembagaan adalah saling memperkuat positioning penyelenggara perlindungan perairan agar dapat mendorong penegakan hukum yang sinegis serta mengasimilasi pemahaman konservasi kedalam budaya dan sosial masyarakat di Selayar. Untuk mengakomodasi tujuan tersebut, baik di selayar maupun di spermonde, kelembagaan untuk jejaring tidak hanya sebatas mengelola program jangka pendek atau pusat informasi, sebagaimana pada kelembagaan sekertariat, hal ini berbeda dengan forum. Forum menjadi pilihan dalam pengelolaan jejaring konservasi, oleh karena keanggotaan dalam forum memiliki tanggung jawab dalam pencapaian tujuan kelembagaan tersebut. Sejumlah ruang lingkup tentang jejaring telah dijabarkan dalam Peraturan Menteri, seperti kegiatan restorasi, pengelolaan perikanan berkelanjutan, perlindungan biota bermigrasi dan terancam, hingga pada pembiayaan. Kelembagaan forum sangat baik dalam hal perencanaan, namun implementasnya mendapat sejumlah masalah(Saptana, 2004).Kelembagaan forum memiliki kelemahan seperti kesadaran para pengelola yang rendah terhadap tanggung jawab, sebagian besar forum diisi oleh birokrat, belum adanya dana operasional khusus, sistem informasi dan kantor pengelola tidak tersedia. Selain itu hal yang paling mendasar adalah aspek legal kelembagaan, misalnya legalitas dari pemerintah Provinsi atau kementerian atau kerjasama antara Satuan pengelola. Strategi dalam mendorong kerjasama jejaring dapat didorong dengan menjalin Hubungan saling ketergantungan fungsional ( Chisholm , 1989) atau ketergantungan sumber daya ( Pfeffer & Salancik , 1978)dalam(Weible & Paul A. Sabatier, 2005). Moll, et.al, (1981)menyatakan bahwa daerah ini (Spermonde) bisa diselamatkan dari eksploitasi yang berlebihan. Sebuah rencana manajemen yang baik akan mampu mengendalikan industri dengan pertumbuhan dan tuntutan pariwisata. Langkah untuk mendorong forum jejaring konservasi untuk tujuan restorasi dan pengelolaan biodiversitas habitat, komunitas, dan jenis di Spermonde, merupakan hal yang cukup sulit mengingat kondisi kelembagaan dan pendanaan bagi 3
pengelola, namun jika hal ini berhasil maka dapat menjadi contoh atau pembelajaran bagi daerah lain dalam hanya sebatas pada kegiatan pengawasan. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan penelitian yakni (1) Perairan Spermonde dan Selayar memiliki keterkaitan biofisik sebagai pengaruh dari arus local dan Arus lintas Indonesia (Arlindo) yang dominan bergerak dari utara ke Selatan, sehingga memberikan pengaruh terhadap aliran larva dan kesamaan jenis karang yang tinggi. Kondisi perairan ditunjukkan dengan keanekaragaman jenis karang menurun 25% di Spermonde dalam 33 tahun. Sementara di Selayar dan Takabonerate berbeda, dimana Takabonerate keanekaragaman jenis karang meningkat seiring dengan kegiatan perlindungan. (2) Pengembangan daerah perlindungan dapat dilakukan di kedua perairan, guna mencapai perlindungan habitat hingga 20%. Pengembangan jejaring dengan dasar ekologi dikembangkan secara terpisah dikedua perairan oleh karena berbeda ecoregion. (3) Di Spermonde dapat dikembangkan Jejaring pengelolaan perairan untuk mendapatkan zona inti hingga 20% perlindungan habitat dan mendorong restorasi habitat. Pendekatan jejaring ini menjadi rujukan terhadap pengembangan kawasan konservasi perairan didaerah lain di Spermonde yang belum memiliki Kawasan perlindungan. Factor kelembagaan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaran konservasi, semakin besar kapasitas kelembagaan akan semakin baik, dimana kelembagaan juga bergantung pada Jenis Kawasan Konservasi perairan. Saran Untuk pengembangan jejaring Kawasan konservasi, maka pendekatan kompleksitas dan kehati hatian perlu digunakan agar dapat mengetahui manfaat dan berbagai kemungkinan implikasi yang muncul dalam jejaring Konservasi. Dimana bukan hanya pendekatan ekologi, social ekonomi, dan kelembagaan tetapi bagaimana hubungan antara keduanya saling mempengaruhi agar tidak menimbulkan konflik, melainkan disusun untuk menciptakan pencapaiannya. Factor kelembagaan menjadi masalah dalam penyelenggaran konservasi, bukan pada penegakan hukum atau kesadaran masyarakat, tetapi sejauh mana kinerja dan kapasitas kelembagaan dalam penyelenggaraan konservasi. Oleh karenanya seiring dengan pembelajaran di TNBTR, maka sepatutnya Kementerian Kelautan Perikanan untuk memperbanyak pembelajaran pada kelembagaan tersebut karena telah memiliki pengalaman yang panjang dan juga berhasil menciptakan kapasitas yang besar dan menjadi “rezim” perlindungan. Sebagaimana Kapolres Selayar dalam Visi Misinya yang kurang lebih mengatakan bahwa “ kita harus menyelamatkan
4
lingkungan dan manusia yang tidak bisa melihat kebenaran dan tersesat dalam kegiatan pengrusakan”
5
Daftar Pustaka Akbar, I. A. (2008). Keragaman Suhu Dan Kecepatan Arus Di Selat Makassar Periode Juli 2005 – Juni 2006 (Mooring INSTANT) [ Skripsi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Alder, J., N. A. Sloan, & Henk Uktolseya. (1994). A Comparison of Management Planning and Implementation in Three Indonesian Marine Protected Areas. Ocean & Coastal Management 24, 179-198. Balai Taman Nasional Takabonerate. (2012). Review Rencana Pengelolaan Taman Nasional Takabonerate Tahun 1997-2022 Kabupaten Kepulauan Selayar. Selayar: TN Takabonerate. Ban, N. C. (2009). Minimum data requirements for designing a set of marine protected areas, using commonly available abiotic and biotic datasets. Biodivers Conserv (2009) 18 Springer, 1829-1845. Barber, P. H. (2000). Biogeography A Marine Wallace's line ? Nature Vol 406, 692-693. Best, M., B.W. Hoeksema , W. Moka , H. MOLL , Suharsono , & I Nyoman Sutarna. (1989). Recent Scleractinian Coral Species Collected During The Snellius-II Expedition In Eastern Indonesia. Netherlands Journal of Sea Research 23 (2), 107-115. BPSPL. (2010). dan diolah dari Buku Inventarisasi Data Potensi Penyebaran Biota Perairan Laut yang masuk Appendiks Cites dan yang dilindungi di Sulawesi . Makassar: BPSPL. BPSPL. (2011). Identifikasi Dan Pemetaan Jenis Ikan Yang Dilindungi Dan Tidak Dilindungi Yang Masuk Appendiks Cites Di Sulawesi Selatan . Makassar: BPSPL. Burke, L., Reytar, K., Spalding, M., & Perry, A. (2012). Menengok Kembali Terumbu Karang yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang (Terjemahan). World Reseources Institute. Callum M, & Roberts. (2001). Designing Marine Reserve Networks Why Small, Isolated Protected Areas Are Not Enough . Summer Vol 2 no. 3 . Callum, Roberts, & al, e. (2003). Application Of Ecological Criteria In Selecting Marine Reserves And Developing Reserve Networks. Ecological Applications 13, 215–228.
6
Clifton, J. (2003). Prospects for co-management in Indonesia's marine protected areas. MarinePolicy 27, 389–395. Cowen, R. (2002). Larval dispersal and retention and consequences for population connectivity. Ecology of Coral Reef Fishes: Recent Advances. , 149– 170. Denny, W. (2010). Karakteristik Habitat Mamalia Laut di Kepulauan Seribu Jakarta Utara [ Skripsi ]. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Diamond , J. (1972). Biogeographic kinetics: estimation of relaxation times for avifaunas of southwest Pacific islands. Proc. natn. Acad. Sei. , (pp. 199-203). USA. Diamond, J. (1975). The Island Dilemma : Lessons of Modern Biogeographic Studies For The Design of Natural reserves. Biology Conservation, 129-146. Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan. (2014, Januari 2). Retrieved from Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasankonservasi/details/1/92 Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. (2014, Februari 16). Capaian 2013: Pengelolaan Efektif KKP-3K Capai 3,647 juta Hektar, luasan KKP-3K bertambah 689 ribu hektar. Retrieved from Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/en/beritabaru/186capaian-2013-pengelolaan-efektif-kkp-3k-capai-3,647-juta-hektar,-luasankkp-3k-bertambah-689-ribu-hektar Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan. (2014, Januari 29). Capaian 2013: Pengelolaan Efektif KKP-3K Capai 3,647 juta Hektar, luasan KKP-3K bertambah 689 ribu hektar. Retrieved from Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan: http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/beritabaru/186-capaian-2013pengelolaan-efektif-kkp-3k-capai-3,647-juta-hektar,-luasan-kkp-3kbertambah-689-ribu-hektar Dit. KKJI. (2013). Strategi Pengembangan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Edinger, E., Jurek Kolasa, & Michael J. Risk. (2000). Biogeographic variation in coral species diversity on coral reefs in three regions of Indonesia. Diversity and Distributions 6, 113-127. 7
Erftemeijer PLA, O. R. (1993). Primary production of seagrass beds in South Sulawesi (Indonesia): a comparison of habitats, methods and species. , . Aquat Bot : 46, 67-90. Fernandes. L, A. G. (2012). Biophysical principles for designing resilient networks of marine protected areas to integrate fisheries, biodiversity and climate change objectives in the Coral Triangle. The Nature Conservancy for the Coral Triangle Support Partnership. Fernández,M, & Castilla, J. C. (2005). Marine Conservation in Chile: Historical Perspective, Lessons, and Challenges. Conservation Biology 19(6):, 1752-1762. Groonbridge, B., & Jenkins, M. (2002). Wordl Atlas of Biodiversity Prepared by the UNEP World Conservation Monitoring Centre. Barkeley USA: University of California. Gustiar, C. (2005). Analisis Kelembagaan Dan Peranannya Dalam Penataan Ruanc Di Teluk Pangpang Kabupaten Banyuwangi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Handoko, E. Y. (2004). Satelit Altimetri dan Aplikasinya dalam Bidang Kelautan. Pertemuan Ilmiah Tahunan I. Surabaya: Teknik Geodesi ITS Surabaya. Heliani, L. S. (2009, 6 23). Dinamika Fisis Perairan Indonesia Dari Data Altimeter (I). Huffard, C., Erdmann, M., & Gunawan, T. (2012). Geographic Priorities For Marine Biodiversity Conservation In Indonesia. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries and Marine Protected Areas Governance Program. Huffard, C., Erdmann, M., & Gunawan, T. (2012). Goegraphic Priorities for Marine Biodiversity Conservation In Indonesia. Jakarta: Ministry of Marine Affairds and Fisheries and Marine Protected Areas Governance Program. Hutomo, M. (1985). Sumber daya ikan terbang. Jakarta: LIPI . Ilahude, A. (1970). On the Occurrence of Upwelling in the Southern Makassar Strait. Mar. Res. Indonesia, 10, 3-53. Imran, A., Kaharuddin, M., Suriamihardja, D., & Sirajuddin, H. (2013). Geology Of Spermonde Platform. Proceedings of the 7th International Conference on Asian and Pacific Coasts (APAC 2013), (p. 1062). Bali. Inaku, D. F. (2011). Analisis Pola Sebaran Dan Perkembangan Area Upwelling Di Bagian Selatan Perairan Selat Makassar [ Tesis ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
8
Indar, Y. N., Munsi, L., & Kahar, L. (2002). Sistem Sistem Tradisional Sebagai Pranata Institusi Dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Di Wilayah Pesisir. Makassar: Universitas Hasanuddin 2002. IUCN-WCPA, I. W. (2008). Establishing Marine Protected Area Networks—Making It Happen. Washington, D.C: IUCN-WCPA, National Oceanic and Atmospheric Administration and The Nature Conservancy 118 p. Jalil, A. R. (2013). Distribusi Kecepatan Arus Pasang Surut Pada Muson Peralihan Barat-timur Terkait Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil Di Perairan Spermonde . Depik 2 (1), 26-32. Jamaluddin Jompa, Willem Moka , & Dewi Yanuarita. (2007). Kondisi Ekosistem Perairan Kepulauan Spermonde: Keterkaitannya dengan Pemanfaatan Sumberdaya Laut di Kepulauan Spermonde. 265. Jentoft , S., Thijs C. van Son, & Maiken Bjurkan. (2007). Marine Protected Areas: A Governance System Analysis. Hum Ecol 35, 611-622. Jones, G. (1991). Postrecruitment Processes in the Ecology of Coral Reef Fish Population. A Multivactorial Perspective dalam The Ecology of Fishes on Coral Reef. Durham: Departement of Zoology University of New Hamspire. kepselayarkab.go.id. (2014, January 11). Redaksi: Jl. Jend. Ahmad Yani No. 1 Benteng, Kepulauan Selayar. Retrieved from kepselayarkab.go.id: http://kepselayarkab.go.id/2013/09/781/ Kikutchi, T. (1980). Faunal Relationship in Temperate Seagrass Bed. In R. C. Phillips, Handbook of Seagrass Biology. An Ecosystem Approach (pp. 153 -172). New York,: Garland Press. KLH. (2014, January 1). Kementerian Lingkungan Hidup. Retrieved from Kementerian Lingkungan Hidup: http://www.menlh.go.id/DATA/Peta%20lampiran%20factsheet.pdf Knittweis, L., Kraemer, W. E., Timm, J., & Kochzius, M. (2009). Genetic structure of Heliofungia actiniformis (Scleractinia:Fungiidae) populations in the Indo-Malay Archipelago: implications for live coral trade management efforts. Conserv Genet 10, 241–249. Kuo,
J. (2007). New monoecious seagrass of Halophila sulawesii (Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquatic Botany 87 , 171-175.
9
Kurniawan, E. P. (2003). Bathimetri, Komposisi sedimen Dan Acoustic Bottom Backscattering Strength Dasar Laut Dalam Diselat Makassar [ Skripsi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Laevastu, T. d. (1981). Fisheries Oceanography and Ecology. New York: Fishering News Book Ltd. Lampe, M. (2008). Kajian Masyarakat Maritim [Buku Bahan AJar]. Makassar: Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. lllahude , G. (1978). On The Effecting The Productivity of The Southern. Makassar Strait. Marine Research in Indonesia. 21:, 81-107. McConnell, R. (1987). Ecological Studies in Tropical Fish Communities. Cambridge University Press. Miller, G., & Spoolman, S. (2009). Essentials of Ecology 5 Edition. United States: Cengage Learning. Moka, A. (2001). Bentuk Kepulauan Spermonde (Sangkarang). Materi Pendidikan dan Latihan Metodologi Penelitian Terumbu Karang. Puslitbang Oseanologi LIPI-UNHAS-BAPPEDA SULAWESI SELATAN-COREMAP-POSSI. . Moll, H., Maya Wijsman-Best , & L.G. de Klerk. (1981). Present Status Of The Coral Reefs In The Spermonde Archipelago (South Sulawesi, Indonesia). Proceedings of the Fourth International Coral Reef Symposium Manila, (pp. 265267). Manila. Mona - Raja Ampat Sea-Turtle Tracking Project. (2014, Mey 31). Retrieved from http://www.seaturtle.org/: http://www.seaturtle.org/tracking/index.shtml?tag_id=60648 Moran, J. (1990). The Acanthasterplancii (L); Biographical Data. Coral Reefs 9, 9596. Mutmainnah. (2012). Kajian Model Kesesuaian Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Kerentanan dan Daya Dukung di Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
10
Nontji, A. (1993). Laut Nusantara [ Cetakan Kedua ]. Jakarta: Djambatan. Nuitja , I., & Uchida, I. (1983). Studied in The Sea Turtle II ( The Nesting Site Characteristics of The Hawksbill and Green Turtle). A Journal of Museum Zoologicium Bogor. Nurjaya, I., & Surbakti, H. (2009). Sludi Pcndahuluan Kondisi OseanogMfi Fisik pada Musim Baral di Perairan Pantai Timur Kalimantan antara Balikpapan dan Delta Mahakam. Jurnal Kelautan Nasional Vol. 1. Retrieved from http://eprints.unsri.ac.id/584/5/Pages_from_Heron_Surbakti-2.pdf Ogden, J. C. (1983). Coral Reefs, Seagrass Beds and Mangroves: Their Interaction in Coastal Zones of the Caribbean. . UNESCO Reports in Marine Science No. 23. Pemerintah Daerah Kepulauan Selayar. (2013). Fasilitasi Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil Kabupaten Kepulauan Selayar . Selayar: Pemerintah Daerah Kepulauan Selayar. PMU Coremap II Kab. Pangkep. (2009). Management Plan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kab. Pangkep. Pangkep. Rani, C. (2001). Pemutihan Karang : Pengaruhnya terhadap Komunitas Terumbu Karang. Hayati Vol 8. No. 3, 86-90. Rauf, A. (2008). Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang Kepulalan Tanakeke Berbasis Daya Dukung [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Saptana, S. K. (2004). Integrasi Kelembagaan Forum Kass Dan Program Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Agribisnis Sayuran Sumatera. AKP Volume 2, 257-276. Satria, F. (2009). Karakteristik Sumberdaya, Peluang dan Pola Pemanfaatan Ikan Demersal Laut Dalam [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sinurat, M. R. (2000). Analisis Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Di Wilayah Pesisir Timur Rawa Sragi Kabupaten Lampung Seiatan [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Soekanto, S. (1997). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soenardjo, N. (1999). Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Mangrove di Kaliutu Kabupaten Rembang Jawa Tengah [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
11
Souhoka , J., Hendra F. Sihaloho , & Djuwariah . (2011). Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Pangkep. Jakarta: LIPI. Spalding, M. D., & all, e. (2007). Marine Ecoregions of the World: A Bioregionalization of Coastal and Shelf Areas. BioScience, 573-583. Starger, C. (2007). Coral Population Genetics in the Indonesian Seas [Thesis]. Columbia: Columbia University. Subiyanto, & Niniek Widyorini, I. (2009). Pengaruh Pasang Surut Terhadap Rekruitmen Larva Ikan di Pelawangan Timur Segara Anakan Cilacap. Saintek Perikanan Vol 5, No.1, 44-48. Sukoraharjo, S. S. (2012). Variabilitas Massa Air Permukaan Dari Data Satelit di Perairan Selat Makassar [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sultan, M. (2004). Pengembangan Perikanan Tangkap Dikawasan Taman Nasional Laut Taka Bonerate [ Disertasi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Susandi, F. (2004). Pendugaan Nilai dan Sebaran Target Strength Ikan Pelagis di Selat Makassar Pada Bulan Oktober 2003 [ Skripsi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Susanto, H. A. (2011). Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Development And Progress Of Marine Protected Area Systems In Indonesia. Jakarta: Coral Triangle Support Partnership. Ubeng, A. (1999). Variasi Tahunan Upwelling Di Perairan Selatan Sulawesi Selatan [ Skripsi ]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ulumudin , Y., Frensly D. Hukom , & Susetiono . (2011). Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Pangkep. Jakarta: LIPI. UNEP-WCMC. (2008). National and Regional Network of Marine Protected Areas; A Review of Progress. Cambridge: UNEP-WCMC. Verheij, E. (1993). Marine plants on the reefs of the Spermonde Archipelago, SW Sulawesi, Indonesia: aspect of taxonomy, fl on sties and ecology. [Dissertation]. Leiden: Rijksherbarium Hortus Botanicus. Weible, C., & Paul A. Sabatier. (2005). Comparing Policy Networks: Marine Protected Areas in California. The Policy Studies Journal, Vol. 33, No. 2, , 181-202. White, A. P. (2006). Creating and managing marine protected areas in the Philippines. Fisheries Improved for Sustainable Harvest Project, Coastal Conservation and 12
Education . Philippines: Foundation, Inc. and University of the Philippines Marine Science Institute, Cebu City Coastal Conservation and Education . Wilson, J., Darmawan , A., Subijanto, J., Green, A., & Sheppard, S. (2011). Rancangan Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut yang Tangguh Ecoregion Sunda Kecil, Segitiga Karang [ Laporan ]. Australia: The Nature Conservancy, Program Kelautan Asia Pasifik. Woodruff, D. (2010). Biogeography and conservation in Southeast Asia: how 2.7 million years of repeated environmental fluctuations affect today's patterns and the future of the remaining refugial-phase biodiversity. Biodivers Conserv 19, 919-941. Wyrtki, K. (1961). Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. California: University of California . Yusuf, S. (2008). Laporan Monitoring Terumbu Karang Berkala 2005-2008 KePulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Makassar: Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin. Zacharias, M., Howes, D., Harper, J., & al, e. (1998). The British Columbia marine ecosystem classification: rationale, development, and verification. . Coast Manage, 105-124. Zamani, N., & Hawis H. Madduppa. (2001). A Standard Criteria for Assesing the Health of Coral Reefs: Implication for Management and Conservation. Journal of Indonesia Coral Reefs 1(2), 137-146.
13
STATUS KEBERLANJUTAN PENYU LAUT DI PULAU KAPOPOSANG Syamsu Alam Ali dan Deasy Ariani Pendahulua Penyu laut (sea turtle) merupakah kekayaan biota laut langka sehingga dilindungi oleh peraturan dan perundang undangan di Indonesia. Dari tujuh jenis penyu di dunia, tercatat enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih diperdebatkan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al. 1992, Charuchinda et al. 2002). Penyu hijau (Chelonia mydas) adalah salah satu dari enam spesies penyu laut yang ada di perairan laut Indonesia. Sebagai spesies migran spesies penyu paling intensif dieksploitasi masyarakat Indonesia. Populasi penyu hijau dikelompokkan sebagai endangered species dalam IUCN Red List yakni spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami kepunahan. Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 yang melindungi penyu hijau. Pemerintah Indonesia yang memiliki kewenangan mengelola spesies langka dan terancam kepunahan gagal menghentikan eksploitasi penyu hijau. Indikasi kegagalan Pemerintah ditunjukkan oleh penurunan populasi penyu hijau secara terus menerus hingga saat ini (Wibowo dkk. 2007). Di banyak tempat, khususnya di kawasanSunda Kecil (Jawa Barat, JawaTimur, Bali dan NTB) mulai mengembangkan inisiatif pariwisata berbasis penyu. Ada peluang konservasi disana, tapi di perlukan suatu kebijakan, petunjuk teknis dan pelaksanaan yang relevan dengan kebutuhan biologi penyu laut agar pelaksanaan wisata berbasis penyu dapat memberi lebih banyak manfaat ketimbang kerugian. Dalam kesempatan ini berhasil di inisias iterbentuknya Jejaring Kelompok Praktisi Konservasi Penyu di Wilayah JawaTimur dan Sunda Kecil bagian barat. Jejaring ini dikoordinir oleh Ikram M. Sangaji, Kepala Badan Pengelolaan Sumberdaya Pesisirdan Laut (BPSPL) KKP Denpasar. Penangkapan penyu laut masih sering terjadi disebabkan oleh karena kurangnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum dan peraturan, kurangnya sosialisasi peraturan perikanan yang 14
berhubungan dengan larangan penangkapan dan perlindungan spesies ETP (endanggered, treatned, dan protected), sehingga tingkat kesadaran masyarakat terhadap perlindungan spesies ETP khususnya penyu laut masih sangat rendah. Ada beberapa bentuk ancaman terhadap populasi penyu antara lain adalah eksploitasi penyu untuk memenuhi kebutuhan protein bagi sebagian masyarakat lokal, dipasarkan untuk menambah pendapatan nelayan, memenuhi kebutuhan konsumsi dalam upacara tradisional, permintaan plastron (cangkang penyu) untuk kebutuhan pemasaran internasional, pengambilan telur untuk diperdagangkan dan dikonsumsi masyarakat lokal. Ancaman lain adalah gangguan habitat peneluran karena aktifitas masyarakat disekitarnya serta adanya konflik kepemilikan lahan daerah peneluran, serta pengaruh perubahan iklim, kegagalan inkubasi dan penetasan telur akibat adanya abrasi pada habitat peneluran. Ancaman yang bervariasi ini, menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi penyu di Pulau Kapoposang memerlukan adaptasi strategi. Ancaman dari luar kawasan, seperti perdagangan plastron internasional, tidak bisa ditangani hanya kegiatan penegakan hukum setempat, tetapi harus lewat berbagai inisiatif regional, nasional dan internasional. Ada pula ancaman dari praktek perikanan yang sering menyebabkan tangkapan sampingan. Dalam upaya mitigasi tangkapan sampingan ini tampak jelas keberhasilan upaya konservasi penyu, karena jumlah tangkapan sampingan penyu yang bisa dilepaskan dalam keadaan hidup mencapai 98% pada perikanan tuna longline yang menggunakan pancing lingkar. Berdasar uraian tersebut di atas, maka keberlanjutan sumberdaya penyu tidak hanya ditentukan oleh satu faktor tetapi dipengaruhi oleh banyak faktor yang memiliki keterkaitan antar faktor (konektivitas) dalam suatu sistem yang kompleks. Sistem perikanan yang sangat kompleks memerlukan pendekatan multidimensi sehingga penilaian terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan tidak dapat dipetakan pada satu dimensi saja tetapi harus dianalisis secara multidimensional. Salah satu pendekatan untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem atau EAFM (ecological approach to fisherie management). EAFM telah dikembangkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, Filipina dan lain-lain. Pengelolaan sumberdaya perikanan bersifat kompleks mencakup aspek biologi, lingkungan, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan kelembagaan. FAO (1995) menyatakan tujuan umum pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi aspek biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial. Tujuan biologi untuk menjaga sumberdaya pada level berkelanjutan, tujuan ekologi meminimalkan dampak lingkungan dan sumberdaya non-target (by-catch) serta sumberdaya lainnya yang terkait, tujuan ekonomi untuk memaksimalkan 15
pendapatan nelayan, dan tujuan sosial untuk memaksimalkan peluang kerja dan mata pencaharian nelayan. Dalam implementasi EAFM harus diperhatikan adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003). Pulau Kapoposang Pulau Kapoposang diketahui sebagai salah satu habitat atau area pendaratan penyu untuk melakukan peneluran. Di pulau tersebut terdapat 2 spesies dari 6 spesies yang terdapat di Indonesia yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Tekanan populasi penyu laut di Pulau Kapoposang disebabkan karena masih adanya kebiasaan masyarakat Pulau Kapoposang maupun masyarakat Pulau lain yang ada disekitar Pulau Kapoposang yang mengambil telur penyu dari lubang sarangnya untuk dikonsumsi sebagai salah satu sumber protein atau di jual pada masyarakat di luar pulau Kapoposang. Sumberdaya penyu walaupun sudah menjadi barang terlarang untuk dieksploitasi namun masyarakat nelayan masih tetap mengambil telurnya maupun menangkap induknya untuk diambil daging dan cangkangnya. Penangkapan penyu sisik maupun penyu hijau dewasa pada umumnya tertangkap secara tidak sengaja (spesis bukan target) pada jaring insang atau pukat nelayan yang seharusnya dilepas kembali ke laut Pulau Kapoposang adalah bagian dari Kepulauan Spermonde atau Kepulauan Singkarang di Selat Makassar yang terletak disebelah Barat Sulawesi Selatan. Pulau Kapoposang adalah merupakan salah satu pulau di gugusan Kepulauan Kapoposang. Pulau ini berada dibawah otoritas kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Pulau Kapoposang merupakan salah satu dari delapan kawasan konservasi yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Mentri Kelautan dan Perikanan No.66/Men/2009 dengan status Taman Wisata Perairan. Taman Wisata Kepulauan Kapooposang terdiri dari 6 pulau kecil yaitu: Pulau Kapoposang 10 ha, Pulau Papandangan 13 ha, Pulau Gondongbali 5 ha, Pulau Pamanggangan 5 ha, Pulau Tambakulu 5, dan Pulau Saranti 4 ha. Tiga pulau berpenduduk paling padat adalah Gondongbali 1.807 jiwa, Papandangan 898 jiwa, dan Kapoposang 454 jiwa. Tiga pulau lainnya yaitu Suranti, Tambakulu dan Pamanggangan tidak berpenduduk. (Kecamatan Liukang Tupabbiring, 2013).
16
Pulau Kapoposang merupakan salah satu dusun dari Desa Mattiro Ujung Kecamatan Liukang Tupabbiring. Pulau ini menjadi salah satu pulau yang selalu dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Pulau Kapoposang memiliki jarak cukup jauh dari Kota Makassar maupun dari Ibu Kota Kabupaten Pangkep. Pulau Kapoposang dapat ditempuh dalam waktu 6 jam dari Pelabuhan Paotere Kota Makassar dengan menggunakan Kapal Motor. Pelayaran ke pulau Kapoposang pada musim Barat dan musim Pancaroba cukup berbahaya karena cuaca yang buruk seperti angin yang kencang dan gelombang besar, sehingga pada musim tersebut sulit untuk mendapatkan transportasi ke pulau Kapoposang. Para wisatawan yang akan berkunjung ke Pulau Kapoposang pada umumnya menggunakan agen wisata yang ada di Makassar. Sarana dan prasarana di Pulau Kapoposang sangat terbatas hanya terdapat sebuah SD, beberapa buah cottage tempat menginap pengunjung, sebuah generator listerik untuk sarana penerangan bagi beberapa rumah penduduk. Pulau Kapoposang di tumbuhi banyak pohon kelapa, sukun, pohon kelor, pisang sebagai salah satu sumber pendapatan. Hasil tumbuhan ini dijual di pulau-pulau terdekat dengan harga yang cukup murah, namun jika dapat dijual di Makassar dan Pangkep harganya cukup tinggi. Mata pencaharian penduduk adalah nelayan dengan alat tangkap jaring insang, pancing, bubu, dan cantrang. Jaring insang, pancing dan bubu digunakan untuk menangkap ikan karang. Cantrang digunakan untuk menangkap kepiting rajungan dan udang. Sumberdaya yang banyak diitangkap nelayan adalah ikan-ikan karang seperti kerapu, kakap, lencam, serta kepiting rajungan dan udang. Daerah penangkapan nelayan pulau Kapoposang tidak jauh dari Taman Wisata Perairan Kapoposang terutama pada musim Barat dan Musim Pancaroba karena cuaca yang buruk. Pada musim Barat pada umumnya nelayan hanya menangkap ikan di daerah terumbu karang disekitar pulau. Kawasan Taman Wisata Perairan Kapoposang juga dihuni oleh beberapa jenis biota ETP (endanggered, threatned, dan protected) seperti penyu laut, dugong, berbagai jenis kima (Tridacna spp), dan kuda laut. Penangkapan terhadap biota ETP (endangered, threatnet, dan protected) sebagai target utama sudah tidak dilakukan oleh nelayan di Pulau Kapoposang. Namun yang terjadi adalah masih sering ditemukan biota ETP tertangkap oleh alat tangkap jaring secara tidak sengaja atau hasil tangkapan sampingan. Misalnya penyu laut tertangkap oleh jaring insang dan cantrang, dugong biasa tertangkap dengan jaring di daerah padang lamun, sedangkan kima masih sering dieksploitasi oleh nelayan untuk konsumsi rumah tangga. Keberdaan penyu di sekitar Pulau Kapoposang pada musim pemijahan atau musim peneluran karena sebagian dari pesisir pantai dengan substrat berpasir Pulau Kapoposang merupakan habitat
17
peneluruan penyu. Telur penyu di Pulau Kapoposang masih sering ditemukan dan dimanfaatkan oleh nelayan sebagai salah satu sumber pendapatan dan sumber protein. Pendekatan Ekosistem dalam analisis Keberlanjutan penyu. Karya tulis ini disusun berdasarkan hasil penellitian status keberlanjutan penyu melalui pendekatan ekosistem yang telah dilakukan di Pulau Kapoposang mulai Bulan Agustus sampai Oktober 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status keberlanjutan setiap dimensi dan status keberlanjutan secara agregat (multidimensi) terhadap pengelolaan penyu berdasarkan pendekatan ekosistem, serta merumuskan strategi pengelolaan penyu secara berkelanjutan di Pulau Kapoposang. Data yang dikumpulkan meliputi Data Primer dan Data Sekunder. Data Primer diperoleh langsung dari responden sebagai pemangku kepentingan di Pulau Kapoposang melalui wawancara, observasi, PRA, dan FGD. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, hasil penelitian, dan dokumen laporan yang tersedia pada instansi pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Metode analisis satatus keberlanjutan dilakukan melalui pendekatan MDS (multi dimensional scaling) dengan menggunakan program RAPFISH (Rapid Assesment Techniques For Fisheries) yang dikembangkan oleh University of British Columbia yang telah dimodifiikasi. Analisis status keberlanjutan melalui pendekatan ekosistem menggunakan 6 dimensi sesuai petunjuk penialaian indikator pengelolaan perikanan dengan modifikasi beberapa atribut (indikator). Pendekatan ekosistem melalui 6 dimensi yaitu: biologi, habitat dan ekosistem, penangkapan, sosial, ekonomi, dan kelembagaan dengan (KKP, 2014). Metode MDS merupakan teknik pendugaan keberlanjutan secara sederhana dengan menggunakan 6 dimensi dan 30 atribut. Nilai pembobotan setiap atribut berkisar antara 1-3 dimana nilai 1 adalah nilai minimum dan 3 adalah nilai maksimum. Keberlanjutan Dimensi Biologis Sumberdaya Penyu Analisis keberlanjutan dimensi biologi sumberdaya penyu di Pulau Kapoposang dilakukan dengan menggunakan 5 indikkator atau atribut yaitu: komposisi jenis, jumlah tukuik yang dihasilkan di penangkaran, frekwensi peneluran setiap musim, range collaps, dan status eksploitasi penyu. Hasil analisis atribut pengugkit (leverage of atribut) menunjukkan atribut yang sensitif pada dimensi biologi sumberdaya adalah jumlah tukik di penangkaran dengan nilai 12,44 (Gambar 1). Indikator tersebut sebagai indikasi bahwa jumlah tukik yang dihasilkan di tempat penangkaran perlu lebih diperhatikan karena masih rendahnnya tingkat survival rate pada tukik. Kejadian ini dapat disebabkan oleh karena kegagalan proses inkubasi dan perkembangan embriologis karena 18
manipulasi lingkungan yang kurang tepat. Secara umum penyu laut dapat menghasilkan sekitar 150 butir telur dan diambil untuk ditetaskan pada tempat tertentu namun tukik yang dihasilkan hanya berkisar antara 50-100 ekor tukik. Kejadian ini diduga karena kualitas telur sudah rusak sedangkan telur-telur yang mau ditangkarkan memerlukan telur yang berkualitas baik. Sensitivitas atribut dan Indeks keberlanjutan dapat dilihat pada gambar di bawah ini : RAPFISH Ordination
Leverage of Attributes
60 7.10
Status Eksploitasi
UP 40
Attribute
Frekuensi Peneluran/Musim
Other Distingishing Features
7.23
Rang Collapse
6.72
Jumlah Tukik di Penangkaran
12.44
20
BAD
0 0
20
40
60
73.90
-20
Real Fisheries
-40 Janis Spesies Yang Ada
10.16
GOOD 100 120
80
References
DOWN
Anchors
-60 0
2
4
6
8
10
12
14
Fisheries Sustainability
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 1. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada Dimensi Sumberdaya Faktor yang dapat menjadi pengungkit pada dimensi biologi sumberdaya adalah "jumlah tukik yang dihasilkan di tempat penangkaran" merupakan indikator yang perlu mendapat perhatian. Pengelola konservasi penyu di Pulau Kapoposang baik pemerintah, swasta dan masyarakat perlu memperhatikan dengan baik kondisi habitat peneluran, demplot penangkaran penyu, serta kualitas telur penyu yang diambil dari lapangan atau yang dibeli dari nelayan. Pemeliharaan yang baik terhadap demplot tersebut serta perlakuan yang tepat terhadap telur-telur yang akan ditetaskan akan menghasilkan tukik yang lebih banyak dan berkualitas. Pengembangan penetasan telur penyu perlu didukung program penelitian lingkungan fisik terhadap keberhasilan penetasan dan sintasan tukik. Hasil analisis Rapfish menunjukkan nilai keberlanjutan biologi sumberdaya penyu sebesar 73.90 menunjukkan kategori baik (berkelanjutan) (Allahyari, 2010).
19
Keberlanjutan Dimensi Habitat dan Ekosistem Analisis keberlanjutan dimensi habitat dan ekosistem berdasarkan indikator tutupan lamun, tutupan karang, jenis substrat, perubahan garis pantai, kekeruhan, dan kecerahan. Hasil analisis atribut pengugkit (leverage of atribut) menunjukkan atribut paling sensitif adalah kondisi tutupan karang dengan nilai 11,17 (Gambar 2). Hal ini menunjukkan kondisi tutupan karang hidup merupakan faktor pengungkit untuk meningkatkan kondisi habitat dan ekosistem penyu laut di pulau kapoposang. Begitupula atribut perubahan garis pantai dengan nilai 9,74 menunjukkan bahwa di pulau Kapoposang terjadi kecenderungan perubahan garis pantai yang dapat berpengaruh terhadap posisi peneluran penyu secara alami. Leverage of Attributes
RAPFISH Ordination 60
5.09
Kecerahan
UP 40 6.57
Perubahan Garis Pantai
9.74
Janis substrat
8.40
Kondisi Terumbu Karang
11.17
Other Distingishing Features
Attribute
Kekeruhan
20
BAD
0 0
20
40
60
80
120
72.79 -20
-40 Kondisi tutupan lamun
GOOD 100
Real Fisheries
2.41
DOWN
References Anchors
0
2
4
6
8
10
-60
12
Fisheries Sustainability
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 2. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada Dimensi Habitat dan Ekosistem Secara ekologi, kondisi terumbu karang di daerah reef flat di Pulau Kapoposang tergolong rusak. Kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh pemangsaan bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci. Populasi binatang pemakan karang ini memuncak pada tahun 2005 di hampir semua titik di sisi Utara dan Barat (PPTK-Unhas, 2006). Hasil penelitian Spice-PPTK (2006) mengungkapkan bahwa populasi Acanthaster planci mencapai 120 ekor per 100 m2. Dalam jangka waktu 6 bulan, kondisi terumbu karang menurun dari 60 % tutupan karang hidup 20
menjadi 10-25 %. Pada tahun 2006 terumbu karang didominasi oleh komponen karang mati dan tertutup algae. Di satu sisi tutupan terumbu karang pada kawasan ini yang masih tersisa, sekarang sedang diserang pula oleh bintang berduri ini. Selanjutnya, skor atribut lain yang tinggi merupakan indikasi bahwa kondisi biologi dan lingkungan perairan mendukung keberlanjutan Habitat dan Ekosistem di Pulau Kapoposang. Nilai keberlanjutan Habitat dan Ekosistem sebesar 72.79 (Gambar 2) menunjukkan kategori baik (keberlanjutan). Kerusakan terumbu karang telah mendapat perhatian melalui program pengembangan TWP, zonasi daerah pemanfaatan, serta pengawasan dan penegakan peraturan. Keberlanjutan Dimensi Penangkapan Analisis keberlanjutan dimensi penangkapan dengan menggunakan indikator, selektifitas alat tangkap, penangkapan destruktif dan ilegal, jenis alat tangkap ramah lingkungan, dan ukuran mata jaring. Hasil analisis atribut pengugkit (leverage of atribut) memperlihatkan atribut paling sensitif sebagai faktor pengungkit adalah ukuran mata jaring alat tangkap ikan sangat berpengaruh terhadap tertangkapnya spesies penyu laut.
RAPFISH Ordination
Leverage of Attributes 60 Ukuran mata jaring
UP
4.68
Janis alat tangkap yang digunakan
Other Distingishing Features
40
Attribute
2.28
Met ode Penangkapan destruktif dan Ilegal
3.07
20 45.15 0
BAD 0
20
40
60
80
-20
-40 Selektifitas Penangkapan
GOOD 100
3.71
Real Fisheries DOWN
References Anchors
-60 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
Fisheries Sustainability
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 3. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada Dimensi Alat Tangkap
21
120
Ukuran mata jaring yang digunakan nelayan dalam penangkapan ikan sangat bervariasi bergantung jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Penyu laut yang tertangkap merupakan hasil tangkapan sampingan (tidak menjadi sasaran utama penangkapan). Semua jenis jaring yang dipakai nelayan dapat menangkap penyu mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar. Jenis jaring yang dioperasikan di terumbu karang yang sering menangkap penyu adalah jaring atau pukat baronang dan pukat kakap. Beberapa nelayan telah memiliki tingkat kesadaran terhadap peraturan sehingga melepaskan penyu laut yang tertangkap secara tidak sengaja pada jaring ikan mereka dilepaskan ke laut, sehingga populasi penyu masih dapat dipertahankan di pulau Kapoposang. Namun sebagian nelayan dari luar Pulau Kapoposang masih mengambil penyu yang tertangkap untuk dijual sebagai hewan peliharaan dan untuk hiasan akuarium atau kolamkolam. Hasil analisis Rapfish (Gambar 3) menunjukkan nilai keberlanjutan dimensi penangkapan sebesar 45.15 menunjukkan keberlanjutan kategori sedang (berkelanjutan). Walaupun alat tangkap yang mereka gunakan dapat menjaring penyu namun perilaku nelayan yang melepaskan kembali penyu yang terjaring sehingga populasi penyu dapat dipertahankan di Pulau Kapoposang. Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Keberlanjutan dimensi ekonomi mencerminkan kemampuan dari suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya penyu untuk memperoleh hasil yang secara ekonomis dapat berlangsung dalam jangka panjang dan berkelanjutan (Hartono, et al, 2005). Analisis keberlanjutan dimensi ekonomi dengan menggunakan atribut atau indikator kepemilikan asset, pendapatan rumah tangga, harga jual penyu, pemasaran, dan kegiatan pariwisata. Hasil analisis atribut pengugkit (leverage of atribut) menunjukkan atribut paling sensitif adalah pendapatan rumah tangga perikanan dengan nilai 7,72 (Gambar 4). Pemanfaatan penyu di Pulau Kapoposang memang hanya terbatas pada pengambilan telur di alam untuk konsumsi rumah tangga dan beberapa nelayan mengambil penyu yanng tersangkut dijaring untuk dijual. Hasil analisis Rapfisih menunjukkan nilai keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 38,49 kategori cukup (kurang berkelanjutan) (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan dimensi ekonomi di Pulau Kapoposang tergolong rendah, selain sumberdaya penyu tidak memiliki prospek ekonomi karena hewan dilindungi juga disebabkan karena hasil tangkapan ikan nelayan di pulau tersebut masih tergolong rendah.
22
RAPFISH Ordination
Leverage of Attributes
60 Pariwisata
5.41
UP 40 5.26
Harga Jual/Ekor
Other Distingishing Features
Attribute
Pemasaran
6.01
Pendapatan Rumah Tangga
7.72
20
0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
38.49 -20
6.19
Kepemilikan Aset
-40
Real Fisheries References
0
1
2
3
4
5
6
7
8
DOWN
9
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Anchors
-60 Fisheries Sustainability
Gambar 4. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada Dimensi Ekonomi Harga penyu per ekor berkisar antara Rp. 150.000 – Rp. 200.000 jauh lebih rendah dibanding dengan harga ikan tangkapan nelayan seperti kakap, kerapu, dan baronang. Selain itu, pemasaran penyu yang sulit karena pengawasan yang ketat, dimana pemasaran yang banyak hanya ada di Pulau Bali untuk memenuhi kebutuhan upacara adat mereka. Konstribusi penyu terhadap peningkatan pendapatan masyarakat sangat rendah bahkan tidak ada di di Pulau Kapoposang kecuali telurnya dikonsumsi untuk kebutuhan protein. Untuk meningkatkan nilai ekonomi masyarakat dari sumberdaya penyu dapat dilakukan melalui pengembangan pariwisata ekologi penyu dengan tujuan pelestarian penyu dan peningkatan ekonomi masyarakat melalui kegiatan pariwisata. Kegiatan pariwisata untuk menyaksikan musim peneluran penyu dapat menjadi daya tarik terendiri bagi wisatawan, selain tujuan wisata lainnya seperti memancing, selam, perahu layar dan beberapa objek menarik di beberapa pulau disekitarnya. Selain itu untuk mengurangi tekanan terhadap eksploitasi telur penyu perlu pengembangan mata pencaharian alternatif sebagai sumber pendapatan lain seperti budidaya ikan laut, budidaya rumput laut, dan pengembangan industri rumah tangga perikanan.
23
Keberlanjutan Dimensi Sosial Atribut dimensi sosial mencerminkan bagaimana sistem sosial masyarakat kepulauan berada dalam kegiatan pengelolaan penyu yang saling berinteraksi untuk mendukung kegiatan pengelolaan penyu secara berkelanjutan (Hartono et al, 2005). Analisis status keberlanjutan dimensi sosial berdasarkan atribut: partisipasi pemangku kepentingan, tingkat partisipasi, konflik pemanfaatan, pemanfaatan pengetahuan lingkungan tradisional, jumlah rumah tangga nelayan. RAPFISH Ordination
Leverage of Attributes 60
Rumah Tangga Nelayan
UP
7.12
Attribute
Pengetahuan Lingkungan
Other Distingishing Features
40
3.31
11.12
Konflik Pemanfaatan
Tingkat Partisipasi
20
BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
60.89
-20
6.80 -40
Real Fisheries DOWN
References Anchors
Partisipasi Pemangku Kepentingan
6.48
-60 Fisheries Sustainability
0
2
4
6
8
10
12
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 5. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada Dimensi Sosial Hasil analisis atribut pengugkit menunjukkan atribut paling sensitif pada dimensi sosial adalah konflik pemanfaatan sumberdaya dengan nilai 11,12 (Gambar 5). Hal ini menandakan bahwa atribut konflik pemanfaatan sumberdaya perlu mendapat perhatian. Konflik yang terjadi karena keperluan yang berbeda terhadap telur penyu yaitu masyarakat pelestari penyu memerlukan telur untuk ditangkarkan sedangkan sekelompok masyarakat manfaatkan telur penyu untuk keperluan konsumsi dalam rumah tangganya. Selain itu konflik pemanfaatan lahan atau ruang untuk kepentingan sarang atau tempat peneluran penyu dengan pemanfaatan lahan untuk kepentingan penduduk seperti pemukiman, perkebunan yang dapat mengganggu aktivitas peneluran penyu secara alami. Penanganan konflik tersebut memerlukan penyadaran masyarakat agar tidak mengkonsumsi
24
telur penyu karena dibutuhkan untuk penetasan agar menghasilkan tukik untuk penangkaran Selain itu menghindari aktivitas masyarakat pulau yang dapat menganggu proses peneluran pada musim pemijahan, menganggu atau merusak habitat peneluran penyu. Hasil analisis Rapfish menunjukkan status keberlanjutan dimensi sosial adalah 60,89 (Gambar 5) atau tergolong baik (keberlanjutan). Untuk itu dimensi sosial ini perlu mendapat perhatian dalam penyusunan kebijakan pengelolaan penyu seperti memberikan kesempatan yang sama terhadap anggota masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pengelolaan penyu baik anggota kelompok pelestari penyu maupun yang bukan. Selain itu, peniingkatan penyuluhan pada masyarakat tentang peraturan dan kebijakan pengelolaan penyu secara berkelanjutan. Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Atribut dimensi kelembagaan merupakan cerminan dari tingkat organisasi, ketersediaan peraturan, implementasi peraturan, dalam pengelolaan sumberdaya penyu di Pulau Kapoposang. Atribut yang digunakan dalam analisis keberlanjutan dimensi kelembagaan ini adalah: dukungan kelembagaan, program pengelolaan, keberadaan dan sosialisasi peraturan, kepatuhan, dan bantuan kelembagaan. Hasil analisis atribut pengugkit (leverage of atribut) menunnjukkan peraturan dan sosialisasi peraturan menunjukkan faktor pengungkit denggan nilai 19,99 (Gambar 6). Leverage of Attributes
RAPFISH Ordination 60
Bantuan Kelembagaan
2.78
UP 40 4.73
Keberadaan dan Sosialisasi Aturan
Other Distingishing Features
Attribute
Kepatuhan
15.99
Program Pengelolaan
3.54
Dukungan Kelembagaan
2.64
20
0 0 BAD
20
40
60
80
GOOD 84.01 100 120
-20
-40
Real Fisheries DOWN
0
2
4
6
8
10
12
14
16
140
References Anchors
18
-60
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Fisheries Sustainability
Gambar 6. Hasil Analisis Sensitivitas Atribut dan Indeks Keberlanjutan Pada Dimensi Kelembagaan 25
Menurut Charles et al. (2002), terdapat 2 kunci bagi keberlanjutan kelembagaan yaitu : (1). Adanya aturan yang rasional untuk ditegakkan, dan (2) Keseimbangan antara tingkat pengaturan sumberdaya yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan tingkat kinerja yang diperlukan untuk menjalankan aturan secara efektif. Peraturan tentang pengelolaan dan pelestarian penyu sudah banyak dan cukup lengkap baik peraturan daerah, provinsi, maupun peraturan nasional dan internasional. Masalahnya adalah minimnya sosialisasi peraturan sehingga kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan dan perlindungan penyu sehingga ada kesan bahwa masyarakat tidak patuh karena tiidak mengetahui adanya peraturan-peraturan pelestarian penyu. Pemerintah atau kelompok masyarakat swasta (LSM) pemerhati penyu perlu menempatkan petugas khusus selain memberikan pendampingan teknis dalam proses penangkaran dan pengelolaan penyu juga melakukan sosialisasi peraturan terkait pengelolaan dan pelestarian penyu. Hasil analisi status keberlanjutan dimensi kelembagaan sebesar 84.01 menunjukkan status dimensi kelembagaan sangat baik (sangat berkelanjutan). Hal ini menjelaskan bahwa dimensi ini perlu dipertahankan eksistensinya karena dapat menjadi landasan utama dalam pengelolaan sumberdaya penyu di Pulau Kapoposang Secara berkelanjutan. Keberlanjutan Multidimensi (Secara Agregat) Indeks keberlanjutan setiap dimensi belum menggambarkan status keberlanjutan dari kegiatan keseluruhan. Untuk itu, nilai indeks setiap dimensi perlu digabungkan untuk menentukan nilai status keberlajutan multidimensi. Penggabungan dilakukan dengan mengalikan nilai indeks dari hasil perhitungan (existing condition) dengan hasil perhitungan bobot dari masing-masing dimensi berdasarkan penilaian dari tiga (3) orang ahli pengelolaan sumberdaya penyu (need assessment). Hasil pembobotan menempatkan dimensi Habitat dan Ekosistem, serta dimensi Sumberdaya pada urutan teratas diikuti oleh Dimensi kelembagaan, sosial, dan ekonomi serta nilai terendah pada teknik penangkapan. Berdasarkan jumlah nilai tersebut maka didapatkan nilai indeks multidimensi 67.04 yang menunjukkan bahwa status keberlanjutan multidimensi pengelolaan penyu di pulau Kapoposang berada dalam kategori baik (berkelanjutan). Hal ini mengindikasikan bahwa untuk meningkatkan status keberlanjutan kegiatan secara menyeluruh, diperlukan penataan terhadap berbagai atribut yang sensitivitasnya tinggi khususnya teknik penangkapan, sosial, dan ekonomi. Pengembangan pengelolaan penyu di Pulau Kapoposang memerlukan strategi dan interfensi kebijakan terhadap berbagai permasalahan yang ada secara simultan dan terarah dengan mengacu kepada berbagai aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan di berbagai tingkatan (daerah, provinsi, dan nasional). Selain itu perlu dilakukan 26
pemberian prioritas kepada aspek pengelolaan yang memiliki nilai indeks keberlanjutan yang berada pada kategori kurang berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi, dan teknik penangkapan, sebagaimana Charles et.al (2002) menyatakan bahwa pengelolaan akan banyak berhadapan dalam kompromi dan membuat pilihan dan penetapan skala prioritas terhadap alternatif yang tersedia untuk menetapkan penggunaan alokasi sumberdaya yang terbatas. Fitness, Tingkat Kepercayaan dan Stabilitas Atribut Nilai Stress kelima dimensi <0.20 menunjukkan hasil analisis yang baik. Nilai stress menggambarkan goodness of fitness dalam multi-dimensional scaling, yaitu ukuran ketepatan suatu konfigurasi dapat mencerminkan data aslinya. Nilai stress yang rendah mencerminkan nilai goodness of fitness yang sempurna, dengan batas tertinggi menurut Kruskal dan Wills (1979) in Kavanagh et al. (2000) adalah maksimal sebesar 0.20. Tabel 1. Nilai Stress, Kuadrat Korelasi dan Indeks Keberlanjutan Indeks Dimensi Stre Squarred Keberl Keterangan Keberlanjutan ss Correlation anjuta n Dimensi 0.1 Baik/Berkelanjut 0.9400 73.90 Sumberdaya 532 an 0.1 Baik/Berkelanjut Dimensi Sosial 0.9375 60.89 499 an 0.1 Cukup/Kurang Dimensi Ekonomi 0.9365 38.49 594 Berkelanjutan Sangat Dimensi 0.1 0.9209 84.01 Baik/Sangat Kelembagaan 657 Berkelanjutan Dimensi Teknik 0.1 Sedang/Berkelanj 0.9234 45.15 Penangkapan 770 utan Dimensi Habitat dan 0.1 Baik/Berkelanjut 0.9314 72.79 Ekosistem 424 an Nilai Kuadrat Korelasi (R2) untuk semua dimensi diatas 85%, juga menujukkan tingkat kepercayaan (koefisien determinasi) terhadap hasil analisis multidimensi untuk penilaian status keberlanjutan pengelolaan penyu di Pulau Kapoposang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan dimana hasil estimasi proporsi ragam data dapat terjelaskan oleh teknik analisis ini secara memadai, dimana nilai R2 yang digunakan > 80% (Kavanagh, 2000).
27
DIAGRAM LAYANG-LAYANG Dimensi Sumberday a 73.90 100
80 60
Dimensi Habitat dan Ekosistem
40
Dimensi Sosial
60.89
72.79 20 0
Dimensi Teknik Penangkapan
Dimensi Ekonomi
38.49
45.15 84.01 Dimensi Kelembagaan
Gambar 10. Diagram Layang Nilai Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi Pengelolaan Penyu Diagram diatas menunjukkan indeks kebelanjutan setiap dimensi dalam pengelolaan penyu di Pulau Kapoposang. Indeks keberlanjutan Dimensi dengan niai terendah yaitu dimensi ekonomi dengan nilai 38.49 (kurang berkelanjutan). Selanjutnya dimensi yang memiliki kategori berkelanjutan adalah teknik penagkapan dengan nilai 45.15, dimensi dosial denga nilai 60.89, dimensi Habitat dan ekosistem dengan nilai 72.79, dan dimensi sumberdaya dengan nilai 73.90, sedangkan yang tertinggi adalah dimensi kelembagaan dengan nilai 84.01 (sangat berkelanjutan). Untuk itu diperlukan perhatian yang lebih tinggi pada dimensi dengan nilai keberlanjutan yang rendah dimensi ekonomi, terutama dalam hal pengembangan mata pencaharian alternatif ramah lingkungan. Kesimpulan Status keberlanjutan setiap dimensi yang berpengaruh dalam pengelolaan penyu melalui pendekatan ekosistem di Pulau Kapoposang adalah dimensi ekonomi (kurang berkelanjutan), dimensi teknik penangkapan, sosial, ekonomi, habitat dan ekosistem (berkelanjutan), sedangkan dimensi kelembagaan (sangat berkelanjutan), sedangkan status keberlanjutan secara agregat atau multidimensi memiliki kategori baik atau berkelanjutan. 28
Hasil analisis multidimensi aplikasi Rapfish (modifikasi) menujukkan nilai stress dan koefisien determinasi cukup baik dan hasilnya dapat dipercaya. Rekomendasi (1) Perlu melindungi habitat peneluran penyu, demplot peneluran penyu, dan perlindungan proses peneluran pada musim pemijahan, penangan telur yang berasal dari nelayan dengan baik sebelum ditangkarkan. (2) Pelibatan anggota masyarakat dalam kegiatan pengelolaan dan penangkaran penyu di Pulau Kapoposang selain anggota kelompok pelestari penyu (Bahari Lestari) agar tidak terjadi konflik. (3) Pengembangan wisata ekologi di Pulau Kapoposang sebagai salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonomi sumberdaya penyu yaitu promosi daya tarik untuk menyaksikan penyu bertelur pada musim pemijahan. (4) Peningkatan sosialisasi peraturan yang sudah ada baik peraturan pada level kabupaten, provinsi, nasional, maupun internasional pada masyarakat di Pulau Kapoposang. (5) Pengawasan dan pengendalian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan penyadaran masyarakat untuk melakukan pelepasan penyu. (6) Melindungi terumbu karang, padang lamun yang ada disekitar daerah peneluran penyu (sarang penyu) Memberikan perhatian terhadap habitat penyu, khususnya kondisi terumbu karang dengan mengintensifkan pengawasan terhadap penerapan program dan aturan yang telah berjalan saat ini.
29
DAFTAR PUSTAKA Alder, J. TJ Pitcher. Preikshot D, Kaschner K, Ferris B. 2000. "How Good Is Good?": A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of The Sustainability Status of Fisheries of North Atlantic. Sea Around Us Methodology Review: 136-182. Allahyari MS. 2010. Social Sustainability Assessment of Fisheries Cooperatif in Guilan Province, Iran. J.Of Fisheries and Aquatic Science 5(3):216-222 Arianto, A. 1999. Studi Karakteristik Habitat Peneluran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) dan Pengelolaan di Pantai Tampang-Belimbing TN bukit Barisan Selatan. Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Awaloeddinnoer. 2012. Prevalensi Penyakit Pada Karang sclerectinia di Kepulauan Spermonde. Tesis. Jurusan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah, Program studi Manajemen Kelautan. Pasca Srajana Universitas Hasanuddin. Makassar. Cicin-Sain and R.W. Knecht, 1998. Integrated Coastal and Marine Management. Island Press, Washington DC Charles AT. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Sciences. London. UK Dahuri, R,J. Rais, SP Ginting dan M.J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradniya Paramita. Jakarta Dayanti,S.R.2010.Survey Kesadaran dan Dukungan Masyarakat terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Pulau Kapoposang.Laporan Praktek Kerja Lapang.Jurusan Ilmu Kelautan.Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.Universitas Hasanuddin.Makassar Dermawan Agus, Ir, dkk. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI. DKP. 2009b. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Departemen Kelautan Dan Perikanan. Jakarta FAO Fisheries Department. 2004. The state of world fisheries and aquaculture. FAO Rome, pp 153. Fletcher, W.J. 2008. “A Guide to Implementing an Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) for the tuna fisheries of the Western and Central Pacific Region”. Forum Fisheries Agency, Honiara, Solomon Islands. Version 5 March 2008: 70. Haslindah. 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang di Taman Wisata Perairan Kapoposang Kabupaten Pangkep. Tesis. Jurusan Perencanaan
30
dan Pengelolaan Wilayah, Program studi Manajemen Kelautan. Pasca Srajana Universitas Hasanuddin. Makassar. Indrawasih, Ratna. 2008. “Co-Management Sumberdaya Laut Pelajaran Dari Pengelolaan Model COFISH Di Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat”. Jurnal Kebijakan Dan Riset Sosial Ekonomi, Volume I No.2 Irwan Noor. "Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur" Disertasi Program Doktor. Universitas Hasanuddin. Makassar 2012. Kavanagh. P. 2001. Rapid Appraisal for Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsoft Exel). University of British Columbia Kay, R and J. Alder, 1999. Coastal Planning & Management E & FN Spon, London Kementrian Kelautan Dan Perikanan. 2011. Laporan Akhir Monitoring Kondisi Kesehatan Terumbu Karang di TWP Kapoposang. Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil: Satker Rehabilitasi dan Terumbu Karang. Kruskal, J. B., & Wish, M. (1978). Multidimensional scaling. Beverly Hills, CA: Sage Publications. Marasco, R. J., Goodman, D., Grimes, C. B., Lawson, P. W., Punt, A. E. and Quinn II, T. J.2007. “Ecosystem-based fisheries management: some practical suggestions”. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science, 64, pp. 928-939. Márquez-M., R. 1990. FAO Species Catalogue Vol. 11: Sea Turtles of The World: An Annotated and Illustrated Catalogue of Sea Turtle Species Known To Date. FAO. Roma. iv + 81 h. Metcalf, J. Sarah. 2009. “Qualitative Modelling To Aid Ecosystem Analyses For Fiheries Management In A Data-Limited Situation”. Dissertation. University of Tasmania. Australia. Notohadikusumo.T. 2005. Implikasi Etika Dalam Kebijakan Pembangunan Kawasan. Jurnal Forum Perencanaan Pembangunan. Edisi Khusus, Januari 2005 Nuitja, I.N.S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. IPB Press. Bogor. xii + 127 h. Nur, N. 2004. Sea Turtle Conservation in Malaysia. www.wildasia.net. [18 Maret 2005] PERSGA/GEF. 2004. Standard survey methods for key habitats and key species in the Red Sea and Gulf of Aden. PERSGA Technical Series No.10. PERSGA, Jeddah.
31
Pitcher, T.J. and Preikshot, D.B. 2001. “Rapfish: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries”. Fisheries Research, 49(3): pp. 255-270 Pikitch, E.K., Santora, C., Babcock, E.A., Bakun, A., Bonfil, R.,Conover, D.O., Dayton, P., Doukakis, P., Fluharty, D., Herman,B., Houde, E.D., Link, J., Livingston, P.A., Mangel, M.,McAllister, M.K., Pope, J., and Sainsbury, K.J. 2004. Ecosystembased fishery management. Science (Washington, D.C.), 305:346–347. Pomeroy, Robert, Len Garces, Micahel Pido, Geronimo Silvestre. 2009. “Ecosystem-based Fisheries Management in Small-Scale Tropical Marine Fisheries: Emerging Models of Governance Arrangements in The Philippines”. Journal of Elsevier: Marine Policy, Vol 34: pp. 298-308. PPTK Unhas. 2006. Monitoring Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Spermonde. RAPFISH Group. 2006. Standart Attributes For Rapfish Analysis Evaluation Fields for Ecological, Technological, Economic, Sosial and Ethnic Status. Fisheries Centre, UBC. Vancaouver. Rebel, T. P. 1974. Sea Turte and Turtle Industry of The Western Indies, Florida, and The Gulf of Mexico. University of Miami Press. Florida. 250 h. Saaty, T. L. 1995. Decision Making for Leaders. The Analytical Hierarchy Process for Decisions in A Complex World. RWS Publication, Pittsburgh. Sekaran, Uma 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Jakarta: Salemba Empat. USAID.1996. Track a Turtle. www.oneocean.org/ambassadaor/turtlebiology.html. [18 Maret 2006] Wiyono, Eko Sri. 2006. “Mengapa Sebagaian Besar Perikanan Dunia Overfishing? (Suatu Telaah Manajemen Perikanan Konvensional)”. Inovasi Online, ISSN : 0917-8376 | Edisi Vol.6/XVIII/Maret 2006 www.ioseaturtles.org Zaldi, S.J. 2010. Survei Sosial Ekonomi dan Ketaatan Masyarakat terhadap Kawasan Konservasi Laut (KKL) Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Kapoposang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.Laporan Praktek Kerja Lapang. Jurusan Ilmu Kelautan.Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.Universitas Hasanuddin.Makassar. Zamani, N.P. 1998. Penyu Laut Indonesia. Lestarikan atau Punah Selamanya. WWF Indonesia-Bali Office. Bali. iv + 27 h. Zulfakar. 1996. Studi Habitat Peneluran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) di Pulau Dapur, Kecamatan Toboali, Kabupaten, Bangka Propinsi Sumatera Selatan. Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Konservasi Sumberdaya Alam. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
32
MODEL-MODEL PENGELOLAAN KONSERVASI
Pendahuluan
Dining, Jamaluddin Jompa dkk
Terumbu karang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi, Isishippuris adalah salah satu biota yang terdapat di dalamnya. Isishippuris merupakan salah satu jenis oktokoral yang hidup di perairan tropis indo pasifik. Di Indonesia jenis ini mendominasi perairan Indonesia bagian timur, terutama Perairan Maluku dan Papua. Jenis ini dikelompokan dalam kelompok Gorgonia, yaitu kelompok oktokoral yang tumbuh dan muncul dari substrat dasar dan mempunyai kerangka dalam (aksial) yang kokoh. Kerangka aksial terdiri dari gorgoin yang keras dan padat, sama dengan zat tanduk yang mengandung substansi kolage dan senyawa protein. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang kedokteran dan farmasi telah dilakukan isolasi senyawa-senyawa aktif yang terkandung di dalam jaringan tubuh biota yang hidup di laut. Senyawa–senyawa tersebut telah diuji dan berkhasiat sebagai senyawa– senyawa antibakteri, anti kanker maupun anti virus. Dalam hal ini oktokoral jenis Isishippuris diketahui mengadung senyawa antivirus (Tanaka,1981). Sebelum terjadi kontroversial dalam perdagangan bambu laut yang nantinya akan berujung pada keputusan CITES (Convention on International Trade in Endangared Species) dalam status appendix bambu laut, seperti kasus permata laut (Corallium), pemerintah perlu merespon hal ini lebih cepat untuk menentukan perangkat regulasi atau code of conduct untuk eksploitasi dan ukuran panen bambu laut. Lebih detail lagi kelompok gorgonian ini meskipun sudah dimanfaatkan secara umum oleh masyarakat namun belum diketahui status biologi dan/atau status populasinya. Mengantisipasi permasalahan ini, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil telah mengeluarkan surat edaran No 233/KP3K/III/2013 tentang Pengelolaan Bambu Laut dan Habitatnya yang meminta perhatian seluruh Dinas Kelautan dan Perikanan segera mengkoordinasikan langkah – langkah sebagai berikut : 1) Pencegahan dan pengawasan terkait pemanfaatan bambu laut; 2) Mensosialisasikan peraturan perundangan – undangan yang terkait, sekaligus pembinaan dalam rangka penyadaran masyarakat guna melindungi potensi dan sumber daya ikan di wilayah negara Republik Indonesia
33
Namun demikan, surat edaran Dirjen tersebut belumlah cukup mencegah terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan degradasi kerusakan ekosistem terumbu karang. Sehingga salah satu jalan yang ditempuh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Periikanan (KKP) adalah menyiapkan strategi perlindungan terhadap bambu laut.Hal ini dilakukan, selain untuk menjawab permasalahan keberlanjutan pengelolaan perikanan, juga mendukung perlindungan ikan secara global. Menurunnya populasi bambu laut yang terus menerus perlu di lakukan kajian atau analisis tentang aspek sosial (peran dan pemahaman masyarakat), ekonomi (tingkat pendapatan), budaya masyarakat (tradisi) dan aspek hukum (formal dan nonformal), serta peran lembaga-lembaga yang berwewenang dalam hal pengelolaan terhadap sumberdaya alam pesisir dan laut. Selanjutnya keseluruhan hasil kajian atau analisis dari aspek-aspek yang dikemukakan di atas, akan menjadi data dan informasi bagian alisis model pengelolaan terhadap sumber daya alam pesisir dan laut secara umum dan terhadap bambu laut secara khususnya. Langkah awal dimulainya analisis tentang pengelolaan terhadap sumber daya bambu laut, bermula dari beberapa data sebagai informasi dasar yang menyatakan bahwa telah terjadi penurunan populasi sumber daya bambu laut pada beberapa lokasi di Indonesia timur. Tingginya tingkat penangkapan atau eksploitasi terhadap sumber daya bambu laut diduga akan menurunkan populasi sumber daya ini di alam. Selain itu berbagai upaya eksploitasi terhadap sumber daya alam perairan pesisir dan laut yang selama ini dilakukan di sekitar ekosistem terumbu karan gdengan menggunakan alat tangkap destruktif, akhirnya akan merusak terumbu karang. Hal ini juga menjadi salah satu masalah serius yang dapat menurunkan populasi bambu laut di alam. Selain itu penurunan populasi sumber daya bambu laut adalah juga karena Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat seperti tingkat pendidikan,tingkatpendapatan, maupun latarbelakang pekerjaan dapat mempengaruhi juga pola pikir atau pun pemahaman tentang bagaimana mengelola sumberdaya alam yang lestari atau berkelanjutan bagi peningkatan taraf hidup Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat strategi pengelolaan bambu laut di Indonesia yang berbasis pada kondisi pupulasi, sosekbud, hukum dan kelembagaan guna kepentingan pengelolaan sumber daya bambu laut secara berkelanjutan
34
Gambaran Umum Populasi Status Populasi Status populasi bambu laut belum dilakukan secara menyeluruh, namun dari beberapa hasil survey yang telah dilakukan,kepadatan alaminya tidak merata pada setiap daerah. Kelimpahan yang ada di setiap daerah berbeda – beda tergantung kondisi wilayah dan kondisi terumbu karang di setiap daerah tersebut.Kelimpahan jumlah koloni didasarkan pada kriteria Haris, dkk. (2010) membaginya kedalam lima kategori sebagaimana disajikan pada Tabel 1.Kriteria kelimpahan bambu laut berdasarkan jumlah koloni (Haris, dkk. 2010) No
KELIMPAHAN (Jumlah Koloni)
KATEGORI
1. 2. 3. 4. 5.
3 - 44 45 – 84 85 – 126 127 – 167 168 - 209
jarang sedikit sedang banyak melimpah
Berdasarkan hasil penelitian Haris, Abdul .Jompa dkk (2010), pada perairan Spermonde Kota Makassar, Sulawesi Selatan, berdasarkan jumlah koloni yang ditemukan hanya terdapat tiga dari lima kategori kelimpahan, yaitu jarang, sedikit dan melimpah seperti pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Kelimpahan Bambu Laut di Perairan Spermonde, Kota Makassar No Lokasi Jumlah Kategori Koloni 1 P. Samalona 11 - 26 Jarang 2 P. Kodingarenglompo 7 – 17 Jarang 3 P. Kodingarengkeke 3 – 32 Jarang 4 P. Bonetambung 15 – 209 Melimpah 5 Gs. Bonebattang 42 – 44 Jarang 6 P. Barranglompo 26 – 45 Sedikit Jika kita melihat tabel 2. Jumlah bambu laut hanya melimpah pada Perairan di P. Bonetambung yaitu 209 koloni/500 m2. Hal ini di mungkinkan karena pada lokasi tersebut merupakan daerah yang agak terlindung (Leeward). P.Bone tambung merupakan lokasi yang memilki kondisi terumbu karang yng masih 35
baik.Dari hasil survey tahun 2013 P.Bone tambung memiliki jumlah koloni bambu laut yang masih melimpah di bandingkan dengan pulau – pulau lain sekitarnya.P Bone tambung sangat terjaga terumbu karangnya karna merupakan Daerah Perlindungan Laut (DPL) oleh masyarakat setempat sehingga kondisi terumbu karangnya terjaga. Tokoh masyarakat di Pulau tersebut sangat menjaga laut mereka.Sedangkan pada perairan lainnya koloninya sangat jarang , bahkan di beberapa pulau seperti di P.Barrang Lompo dan P.Samalona tidak di temukan lagi bambu laut. imprep (Dining A Candri Dkk). Data bambu laut di Kabupaten Parigi Moutong menunjukan status populasi dari biota bambu laut (Isis hippuris) pada stasiun pertama memiliki kepadatan populasi sebesar 852 koloni / 500 m,menunjukan jumlah yang melimpah, sedangkan pada stasiun kedua memiliki populasi 514 koloni / 500 m menunjukan kategori melimpah. Sedangkan sebaran koloni Isis hippuris ditemukan hidup lebih besar berada pada kedalaman 5 meter dengan persentase 38,14% dan rata-rata ukuran yang dominan hidup adalah ukuran 30-50 cm dengan persentase 44,66%. Data yang lain yang di lakukan oleh BPSPL Makassar antara lain data bambu laut pada Tahun 2012 di beberapa daerah Sulawesi, yaitu Perairan Gorontalo, Selayar, Konawe dan Parigi Moutong. Adapun sebaran kelimpahan bambu laut di Perairan Kabupaten Goronatlo Utara berdasarkan jumlah koloni bambu laut , dari data tersebut, dapat diketahui ratarata sebaran kelimpahan adalah 73,5 koloni dengan ukuran kelimpahan yang didominasi oleh kelompok dengan jumlah koloni yang kecil (1 – 10) . Menurut Haris, dkk.(2010), kelimpahan koloni bambu laut ini termasuk kategori sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa bambu laut di perairan pulau Saronde ini tingkat pertumbuhannya masih rendah, meskipun merupakan daerah yang agak terlindung (atol). Di samping itu Perairan di Kabupaten Gorontalo Utara khususnya perairan Pulau Saronde belum ada kegiatan pengambilan bambu laut sehingga dapat dikatakan bahwa ukuran komposisi dan kelimpahan bambu laut yang ada ini masih merupakan ukuran alamiah yang belum dimanfaatkan oleh nelayan. Berdasarkan hasil survey BPSPL Makassar di Kabupaten Konawe, Kelimpahan koloni bambu laut di perairan Kabupaten Konawe termasuk kategori sedikit sampai kategori melimpah (berdasarkan kategori Haris, dkk., 2010), tetapi penyebarannya tidak merata dan ukuran individu didominasi dengan yang kecil (0 – 30 cm). Populasi dan sebaran bambu laut sudah sangat terbatas akibat eksploitasi berlebihan yang dilakukan di perairan Konawe. Di Kabupaten Bima dan Kota Bima survey di lakukan oleh BPSPL Bali menunjukan bahwa di daerah tersebut bambu laut penyebaran tidak merata.Di Kota Bima (P.Kolo, P.Soronehe 1 dan P.Soronehe 2 dan P.Bonto) tidak di temukan sama sekali bambu laut sedangkan di kabupaten Bima yaitu di Pulau 36
(Lariti I, Lariti 2, Tosa, Lampa Jara dan Pasir Putih).Survey juga di lakukan di pulau Lombok yaitu Kepulauan Gili Matra :Gili Air, Gili Meno dan Gili trawangan tidak di temukan bambu Laut di daerah tersebut.Dining Candri,Dkk (In Prep). Data terbaru tahun 2013 dan 2014 yang sudah di lakukan di Kepulauan Spermonde menunjukan penurunan jumlah yang signifikan. Kepulauan Wakatobi Survey yang di lakukan di Pulau Hoga di daerah perlindungan laut di temukan bambu laut dalam kondisi melimpah tetapi di beberapa pulau yang lain di temukan bambu laut dalam kondisi jarang .Di Pulau Wanci survey menunjukan bambu laut dalam kategori sedikit, jarang bahkan tidak di temukan. Dining Candri,dkk (In Prep) Tingkat Pemanfaatan Biota bamboo laut ini termasuk dalam karang lunak yang banyak diperdagangkan dan diekspor ke Eropa, Amerika, dan sebagian Asia. Permintaan pasar terbesar adalah dari Cina dan memiliki harga yang tinggi.Dari data hasil laporan bulanan kegiatan operasional tindakan karantina Tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Stasiun Karantina Ikan Kelas I Wolter Monginsidi, bahwa sepanjang tahun 2011 telah terjadi pengiriman bambu laut sebanyak 230.000 kg, dengan tujuan utama Makassar dan Surabaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengambilan bambu laut maka akan semakin tinggi pula ancaman terhadap terumbu karang disebabkan cara pengambilan atau pemanenan yang tidak ramah lingkungan. Dari hasil wawancara yang diperoleh, sistem pemasaran Isis hippuris yang dilakukan di Kecamatan Moutong yakni pedagang pengumpul mendatangi masyarakat kemudian dilakukan transaksi dengan harga jual Rp.1.500,- perkilogram dalam bentuk bambu laut yang telah dikelupas. Sedangkan di Kabupaten Konawe, harga bambu laut di tingkat nelayan sangat murah yaitu rata-rata Rp 500,- per kilogram bambu laut kering, sedangkan harga ditingkat eksportir Rp 5.000 perkilogram. Untuk harga jual bambu laut di Kabupaten Gorontalo Utara selama ini berkisar antara Rp2.000,00/kg – Rp3.000,00/kg. Nelayan pengambil bambu laut tidak mengetahui secara jelas jalur pemasaran di tingkat pedagang pengumpul hingga ke konsumen. Begitu juga dari data yang di kumpulkan di Kepulauan Togean dan kepulauan Wakatobi, dari wawancara yang di lakukan kepada narasumber kunci, harga bambu laut berkisar antara Rp 2000 – Rp.5000./ kg.
37
Tingkat Pengelolaan Bambu laut sampai saat ini belum termasuk dalam jenis yang dilindungi dan masuk dalam Appendiks CITES. Sehingga pengelolaannya harus berdasarkan Undang – Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Dalam Pasal 7 UU 31 Tahun 2004 telah jelas disebutkan bahwa IKAN adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan (Pisces, Crustacea, Mollusca, Coeloenterata (bambu laut), Echinodermata, Amphibia, Reptilia, Mamalia dan Algae)Bambu laut (Isis hippuris) yang termasuk kedalam phylum Coelenterata termasuk dalam definisi ikan menurut UU 31 Tahun 2004.Dan didalam Pasal 53 PP 60 Tahun 2007 juga telah disebutkan bahwa Otoritas Pengelola (Management Authority) Konsevervasi Sumberdaya Ikan adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan Di beberapa tempat, khususnya di Propinsi Sulawesi Tengah melalui Surat Edaran Gubernur Sulawesi Tengah Nomor S.23/596/DISKANLUT tanggal 27 Oktober 2009, bambu laut telah dilarang dieksploitasi untuk kepentingan apapun dan beberapa hasil telah disita dalam usaha pengapalannya. Sebaliknya di beberapa tempat, BKSDA telah mengeluarkan izin pemanfaatannya mengikuti aturan CITES dan Undang Undang Nomor 50 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati, padahal jenis ini belum termasuk jenis yang dilindungi dan masuk kedalam Appendiks CITES. Sehingga pengelolaannya harus berdasarkan Undang – Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan Dalam rangka pengelolaan berkelanjutan, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil telah mengeluarkan surat edaran No 233/KP3K/III/2013 tentang Pengelolaan Bambu Laut dan Habitatnya yang meminta perhatian seluruh Dinas Kelautan dan Perikanan segera mengkoordinasikan langkah – langkah sebagai berikut : 1) Pencegahan dan pengawasan terkait pemanfaatan bambu laut; 2) Mensosialisasikan peraturan perundangan – undangan yang terkait, sekaligus pembinaan dalam rangka penyadaran masyarakat guna melindungi potensi dan sumber daya ikan di wilayah negara Republik Indonesia.
38
Landasan Hukum Penetapan Status Perlindungan (1)
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009.
(2)
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam Undang-Undang Nomor 27/2007 ini secara gamblang disampaikan bahwa kegiatan penambangan terumbu karang ataupun kegiatan yang secara langsung maupun secara tidak langsung dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang DILARANG dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengambilan bambu laut (bambu laut merupakan bagian ekosistem terumbu karang dan menempati habitat yang sama dengan ekosistem terumbu karang, sehingga pengelolaan terumbu karang tidak bias dipisahkan dengan pengelolaan terumbu karang). (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan;
Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan merupakan aturan turunan dari Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan perubahannya Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009. Pada Pasal 21 disebutkan bahwa konservasi sumber daya ikan dilakukan dengan tujuan untuk melindungi jenis ikan yang terancam punah, Penetapan status perlindungan jenis ikan merupakan salah satu upaya dalam rangka implementasi program konservasi jenis ikan. (4)
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER03/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2010 merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan perubahannya UU No. 45 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan yang mengatur tahapan-tahapan yang dilakukan dalam rangka penetapan status perlindungan jenis ikan yang mengalami ancaman kepunahan, langka dan endemik. Verifikasi dan analisis kebijakan pada dasarnya merupakan kegiatan
39
pengumpulan data dan kegiatan analisis dari data-data yang dihasilkan selama proses verifikasi. Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan verifikasi di antara di Rekomendasi Ilmiah dari LIPI selaku otoritas ilmiah diperlukan sebagai bahan pertimbangan dari sisi keilmuan terhadap spesies ikan yang diusulkan untuk ditetapkan status perlindungannya. Dalam tahapan ini selain pertimbangan ilmiah LIPI juga diharapkan dapat memberikan saran pengelolaan terhadap spesies ikan yang akan dilindungi. Rekomendasi LIPI ini merupakan salah satu dasar dalam melaksanakan program tindak lanjut setelah penetapan status perlindungan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Menteri menetapkan SK perlindungan jenis ikan berdasarkan tingkat keterancaman dan kebutuhan pengaturan, dapat ditetapkan dengan status perlindungan penuh atau status perlindungan terbatas.Pada dasarnya penetapan status perlindungan penuh dan terbatas tersebut merupakan salah satu upaya untuk menghindari bahaya kepunahan dan program peningkatan populasinya di habitat alam. Di dalam Permen di atas juga diatur mekanisme perubahan status perlindungan, sehingga berdasarkan data hasil monitoring dan evaluasi populasi apabila kondisi populasi menjadi semakin baik, serta kemampuan dalam melakukan pengelolaan, maka spesies ikan yang sudah dilindungi dapat dibuka status perlindungannya menjadi tidak dilindungi ataupun menjadi perlindungan terbatas. Setelah ditetapkannya status perlindungan ini, maka perlu dilakukan program sosialisasi sehingga aturan yang sudah ditetapkan dapat diketahui secara luas, terutama oleh stakeholder-stakeholder yang terkait dengan mata rantai penangkapan dan perdagangan.Monitoring populasi dan upaya-upaya untuk menambah jumlah individu dalam populasi serta pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum dilakukan dalam rangka penegakan aturan dan pencapaian tujuan perlindungan.
40
Pemenuhan Terhadap Indikator Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Pasal 23 menyebutkan kriteria jenis ikan dilindungi di antaranya meliputi: terancam punah, langka, daerah penyebaran terbatas (endemik), terjadinya penurunan populasi di alam secara drastis dan tingkat kemampuan reproduksi yang rendah. Pengambilan dan perdagangan bambu laut sudah berlangsung secara masif, khususnya di wilayah perairan Kepulauan Sulawesi. Bambu laut umumnya hidup di perairan pesisir yang dangkal, sehingga sangat rawan akan terjadinya pemanfaatan yang berlebih. Berdasarkan hasil survey populasi bambu laut pada beberapa lokasi di perairan Sulawesi menunjukkan besarnya tekanan penangkapan terhadap populasi bambu laut. Dalam melakukan pengambilan bambu laut yang dilakukan oleh masyarakat nelayan umumnya tidak dilakukan dengan metode khusus, lokasi pengambilan yang berada di kawasan pesisir yang dangkal tidak membutuhkan peralatan yang modern, umumnya pengambilan dilakukan dengan cara mencabut atau dibabat menggunakan parang. Dengan metode ini hampir semua koloni bambu laut tercabut, baik yang berukuran kecil maupun yang berukuran besar. Sosial Budaya dan Dukungan Masyarakat Perlu adanya upaya untuk menyamakan visi antara pemerintah dan masyarakat bahwa regulasi tentang penetapan status perlindungan bambu laut bukanuntuk menutup sumber penghidupan masyarakat, tetapi dilakukan agar masyarakat mempunyai sumber penghidupan yang berkelanjutan, tidak hanya bagi masyarakat di masa sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Dampak Penetapan Status Terhadap Sumber Pendapatan Masyarakat Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir mempunyai ketergantungan yang besar terhadap sumberdaya yang ada di pesisir dan laut, dimana sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang terkait dengan sumberdaya ikan. Saat ini, berdasarkan hasil kajian yag dilakukan di wilayah perairan di Indonesia khususnya di indonesia Timur dapat diketahui bahwa penyebab utama kerusakan ekosistem bambu laut disebabkan oleh kegiatan pengambilan bambu laut dengan menggunakan cara-cara yang belum mempertimbangkan aspek kelestarian bambu laut itu sendiri. Masyarakat mengambil dengan cara mencabut dan mencungkil karang, sehingga apabila kegiatan ini berlangsung secara terus menerus tanpa adanya pengaturan yang jelas maka dikhawatirkan kegiatan pengambilan bambu laut ini tidak hanya akan
41
mengancam kelestarian bambu laut, tetapi juga akan mengancam ekosistem terumbu karang. Penetapan status perlindungan bambu laut yang nantinya akan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan ini tidak akan memberikan dampak secara signifikan pada pendapatan masyarakat. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam pernyataan tersebut adalah : a. Pengambilan bambu laut bukan merupakan mata pencaharian utama masyarakat, profesi masyarakat yang mengambil bambu laut adalah nelayan. Penghentian pengambilan bambu laut pada dasarnya hanya untuk menambah pendapatan masyarakat dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang jusru akan memiskinkan masyarakat, karena kerusakan ekosistem bambu laut akan b. mengancam kelestarian ekosistem dan kelimpahan sumber daya ikan yang justru menjadi sumber pendapatan utama masyarakat. c. Pengambilan bambu laut sampai dengan saat ini ditemukan di perairan pesisir Sulawesi, terutama di Sulawesi , Pengambilan bambu laut ini hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat pesisir, sehingga penghentian pengambilan bambu laut tidak akan memberikan dampak yang besar kepada masyarakat pesisir secara keseluruhan. d. Secara nasional pengambilan bambu laut ini baru teridentifikasi di perairan pesisir Sulawesi sedangkan di daerah lainnya belum dtemukan. Penghentian sementara pengambilan bambu laut hanya akan berdampak pada sebagian kecil masyarakat pesisir di perairan Sulawesi. e. Nilai jual bambu laut yang diterima oleh masyarakat sangat rendah, sehingga nilai manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari pengambilan bambu laut tidak seimbang dengan nilai kerusakan yang ditimbulkan, termasuk kerugian jangka panjang yang berupa ancaman kehilangan sumber daya ikan yang menjadi sumber pendapatan utama masyarakat. Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan di atas dan untuk menjaga keberlanuutan sumber daya ikan bagi kelangsungan sumber pendapatan masyarakat, maka penetapan status perlindungan bambu laut melalui penghentian kegiatan pengambilan selayaknya segera dilakukan, sehingga dampak kerusakan yang lebih besar tidak terjadi. Status perlindungan bambu laut harus segera di tetapkan mengingat tidak ada aturan yang mengatur tentang hal ini, di mana ancaman kerusakan terumbu karang dan keberlanjutan bambu laut ini terus mengancam.
42
Dari data yang di peroleh di dearah kepulauan Wakatobi dari tahun 2000 sampai tahun 2002 terjadi pengambilan bambu laut dalam skala besar, saat ini setelah 12 tahun kondisi bambu laut belum pulih, terbukti dari survey di lakukan jumlah bambu laut dalam kategori sedikit bahkan tidak ada sama sekali, kecuali di daerah DPL dalam kategori melimpah.Dining Candri,Dkk (In Prep) Arah Kebijakan Pemerintah Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dengan tegas menyampaikan larangan penambangan terumbu karang, walaupun pada bagian penjelasan disampaikan bahwa kegiatan yang dilarang tersebut apabila menyebabkan tutupan terumbu karang kurang dari 50%. Disisi lain berdasarkan data survey status terumbu karang di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar kondisi terumbu karang berada dalam kondisi yang memprihatinkan, dan apabila tidak dilakukan langkah yang tegas maka hampir dipastikan laju kerusakan terumbu karang, termasuk juga di dalamnya bambu laut akan terus mengalami peningkatan. Program Coral Reef Rehabilitation and Management Project yang dilaksankan di Indoensia merupakan salah satu program penyelaman terumbu karang terbesar di dunia bakan terumbu karang.Segala aspek yang menjadi penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang coba disentuh melalui program ini, baik dari sisi sosial ekonomi, penyadaran masyarakat, public awareness, dan juga aspek pengawasannya.Kegiatan pengambilan bambu laut yang merupakan salah satu penyusun ekosistem terumbu karang merupakan fakta yang kontradiktif dengan arah kebijakan pemerintah, dimana kegiatan pengambilan bambu laut ini juga merupakan salah satu faktor yang dapat memperparah kerusakan ekosistem terumbu karang, khususnya di wilayah perairan pesisir. Dukungan Pemerintah Daerah Pengambilan bambu laut pada awalnya marak terjadi di perairan Sulawesi Tengah, aktivitas pengambilan bambu laut tersebut dikhawatirkan akan memberikan dampak yang besar pada ancaman kepunahan bambu laut dan ancaman kerusakan yang lebih besar pada ekosistem terumbu karang. Seperti telah disampaikan pada bagian-bagian sebelumnya bahwa terumbu karang merupakan ekosistem penting yang mendukung keberlangsungan sumber daya ikan yang merupakan sumber penghidupan dan sumber pangan utama masyarakat pesisir. Dukungan pemerintah daerah yang merupakan wujud pemahaman tentang pentingnya menjaga kesinambungan sumber daya guna menjaga sumber penghidupan masyarakat pesisir pemerintah Daerah Sulawesi Tengah telah mengeluarkan surat edaran, diantaranya yaitu : 43
Surat Edaran Gubernur Sulteng kepada Bupati/Walikota Seluruh Sulteng Nomor : 523/529/DISKANLUT tanggal 27 Oktober 2009 perihal : pelarangan pengumpulan dan pemasaran bambu laut (Isis hippuris) dan batang merah (Melitodes/Sealipress) (1)
Surat Edaran Bupati Sinjai Nomor : 660/943/SET, tanggal 23 Juni 2005 tentang pelarangan pengambilan bambo laut dan sejenisnya;
Dukungan pemerintah daerah dalam bentuk surat edaran tersebut secara substansi merupakan langkah penyelamatan untuk menghindari ancaman yang lebih besar, namun demikian karena kebijakan ini hanya bersifat lokal sehingga tidak akan mempu untuk mengantisipasi pengambilan bambu laut dalam skala yang lebih luas. Walaupun sudah ada surat edaran yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Sulawesi Tengah, namun kegiatan pengambilan dan perdagangan bambu laut masih tetap terjadi di wilayah lainnya, seperti yang terjadi di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Distribusi bambu laut di Indonesia cukup luas, dan umumnya hidup pada daerah yang sama dengan daerah penyebaran terumbu karang. Pasar bambu laut yang cukup luas merupakan ancaman serius bagi kelangsungan bambu laut secara nasional, walaupun saat ini baru terjadi di perairan Sulawesi namun tidak menutup kemungkinan bahwa kegiatan pengambilan bambu laut ini akan meluas ke daerah lainnya di Indonesia.Data terakhir yang di di lakukan BPSPL Bali (2013) menemukan di kabupaten Bima NTB ada aktivitas pengambilan bambu laut. Kondisi Yang Diharapkan Bambu laut merupakan salah satu jenis sumberdaya yang dimiliki bangsa Indonesia, dan tentu saja setiap sumberdaya yang dimiliki tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Dalam konteks ini masyarakat dipahami sebagai generasi manusia yang ada pada saat sekarang dan generasi yang akan datang, oleh karena itu sumber daya bambu laut ini masih tetap diusahakan kelestariannya sampai waktu yang akan datang sehingga dapat juga memberikan manfaat kepada generasi berikutnya. Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya, ada jenis sumberdaya yang dapat dimanfaatkan secara langsung melalui kegiatan pengambilan atau penangkapan tanpa menyebabkan ancaman kepunahan, namun ada juga jenis sumber daya lainnya yang karena berbagai faktor akan lebih memberikan manfaat secara tidak langsung kepada masyarakat. Kondisi yang diharapkan dengan adanya status perlindungan bambu laut ini diantaranya adalah :
44
1) Bambu laut dapat terjaga kelestariannya sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi lingungan dan masyarakat generasi sekarang dan generasi yang akan datang; 2) Masyarakat pesisir dapat merasakan manfaat yang lebih besar dan lebih sinambung dari sumber daya bambu laut, sehingga dikhawatirkan kondisi pemanfaatan bambu laut yang terjadi saat ini hanya akan memberikan nilai ekonomi yang rendah bagi masyarakat dan hanya berlangsung sesaat. 3) Pengambilan bambu laut diharapkan tidak menyebabkan kepunahan bambu laut dan tidak menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang, sehingga diperlukan regulasi dan inovasi teknologi dalam pemanfaatannya, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. 4) Pemanfaatan bambu laut hendaknya mempunyai basis kajian yang memadai sehingga kegiatan pemanfaatan tidak memberikan dampak yang serius bagi kelangsungan sumberdaya. Saat ini kajian-kajian yang terkait dengan aspek biologi dan inovasi teknologi pemanfaatannya belum tersedia secara memadai. Perancangan Status Perlindungan Terkait dengan program penetapan status perlindungan terbatas bambu laut, ada beberapa hal penting yang harus menjadi pertimbangan sebelum menetapkan status perlindungan, diantaranya : a.
b.
c.
d.
Data dan informasi tentang aspek biologi dan status populasi masih sangat terbatas, namun kegiatan pemanfaatan telah dilakukan secara besar-besaran sehingga dikhawatirkan jika ini di lakukan terus menerus akan mengakibatkan ancaman kepunahan spesies bambu laut. Bambu laut dapat di manfaatkan secara lestari. Pemanfaatan secara lestari ini dapat dimaknai dengan menerapkan prinsip-prinsip sustainable use, diantaranya : pemanfaatan tidak melebihi batas yang diperbolehkan, pemanfaatan dengan cara-cara yang bersifat merusak, dan lain-lain; Metode pengambilan bambu laut dilakukan dengan cara yang tidak ramah lingkungan sehingga dapat mengancam kelestarian sumber daya bambu laut dan menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Untuk itu perlu adanya metode yang tepat dengan cara pengambilan bambu laut dengan cara memotong bagian tubuh bambu laut bukan mencabut apalagi mencukil karang, karena hal ini dapat merusak terumbu karang dan mengancam kelestarian sumberdaya bambu laut. Bambu laut (Isis hippuris) berada saku kelas dengan terumbu karang (Kelas : Anthozoa) yang secara ekologis pada habitat yang sama. Pemerintah melalui Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
45
e. f.
g.
h.
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pada Pasal 35 telah mengeluarkan larangan pengambilan terumbu karang, termasuk aktivitas-aktivitas yang dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang; Pengambilan dan perdagangan bambu laut bukan merupakan mata pencaharian utama masyarakat, tetapi hanya pendapatan tambahan bagi keluarga. Penghentian pemanfatan bambu laut tidak akan menyebabkan dampak yang besar pada tingkat kesejahteraan masyarakat, namun tetap perlu dipertimbangkan untuk untuk mengembangkan mata pencaharian alternative bagi masyarakat yang terkena dampak secara langsung oleh penghentian pemanfaatan bambu laut. Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah No. 523/596/DISKANLUT tanggal 27 Oktober tahun 2009 telah mengeluarkan Surat Edaran kepada seluruh Bupati/Walikota yang ada di Propinsi Sulawesi Tengah tentang larangan pengumpulan, penampungan dan pemasaran bambu laut dan batang merah. Empat substansi surat edaran tersebut diantaranya : (1) tidak membuat rekomendasi dan ijin atas pengambilan, pengumpulan, penampungan dan pemasaran bambu laut baik hasil dari wilayah sendiri maupun dari Kabupaten/Kota lainnya; (2) meningkatkan pengawasan atas usaha-usaha yang merusak ekosistem pantai dan pulau-pulau kecil termasuk bambu laut dan sejenisnya; (3) membuat edaran Bupati/Walikota kepada aparat pemerintah, para Kepala SKPD, Camat, Lurah / Kepala Desa, Petugas Pelabuhan untuk melarang kegiatan pengambilan, pengumpulan, penampungan dan pemasaran bambu laut di wilayahnya; (4) mendukung sejumlah aparat Dinas Kelautan dan Perikanan, Polisi, Kejaksanaan untuk memproses lebih lanjut dengan adanya pelanggaran, pengambilan, pengumpulan, penampungan dan pemasaran bambu laut (Isis hippuris) dan matang merah atau sejenisnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. (5) surat edaran ini agar disampaikan/diteruskan kepada seluruh unit kerja yang ada di lingkungannya dan ditempatkan pada papan pengumuman atau tempat yang mudah dibaca masyarakat. Surat Edaran Bupati Sinjai Nomor : 660/943/SET tanggal 23 Juni 2013 tentang “pelarangan pengambilan bambu laut dan sejenisnya” yang ditujukan kepada : (1) Kepala Badan, Dinas dan Kantor Lingkup Pemkab Sekab Sinjai; (2) Para Camat Sekab. Sinjai dan (3) Para Kepala Desa Sekab. Sinjai. Surat Edaran ini didasarkan pada fakta lapangan bahwa pengambilan bambu laut sangat berpengaruh terhadap rusaknya potensi terumbu karang serta sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
46
Berdasarkan Peraturan MenteriKP Nomor : 3/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan dan poin-poin pertimbangan penting di atas maka beberapa opsi perlindungan yang paling memungkinkan untuk diimplementasikan dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi, ekologi, soasial dan kepentingan konservasi, yaitu dengan penetapan status Perlindungan Terbatas Waktu. Perlindungan terbatas waktu Perlindungan terbatas waktu yang dimaksudkan dalam hal ini adalah penghentian sementara berdasarkan kurun waktu tertentu, dimana setelah kurun waktu tersebut masih terbuka peluang untuk memanfaatkan potensi bambu laut dengan pengaturan-pengaturan tertentu. Tipe perlindungan untuk bambu laut ini pada dasarnya merupakan MORATORIUM pengambilan dan perdagangan bambu laut selama kurun waktu tertentu. Perencanaan Perlindungan
Implementasi
Program
Pasca
Penetapan
Status
Setelah proses penetapan status perindungan terbatas bambu laut mendapatkan pengesahan dari Menteri Kelautan dan Perikanan, akan dilanjutkan untuk menyusun dokumen rencana program / rencana pengelolaan yang akan dilaksanakan selama moratorium dilakukan. Program-program yang akan disusun dalam rencana pengelolan ini nantinya diharapkan dapatmembantu dalam penyelesaian permasalahan pengelolaan bambu laut untuk tujuan pengelolaan yang lebih baik. Sosialisasi dan Penyadaran Masyarakat Sosialisasi merupkan langkah awal yang akan dilakukan pasca penetapan status perlindungan terbatas bambu laut, substansi yang mendasari penetapan status perlindungan dan tujuan penetapan status perlindungan harus dapat dikomunikasikan dengan baik kepada semua stakeholders. Pada saat ini program perlindungan jenis melalui penetapan status perlindungan belum banyak dipahami secara baik oleh masyarakat umum, kesan di masyarakat bahwa penetapan status perlindungan jenis ini hanya akan merugikan masyarakat dan akan menutup sumber mata pencaharian masyarakat saja, sehingga seringkali pemerintah dan masyarakat ditempatkan pada posisi yang berseberangan. Hal yang sama juga dilakukan untuk penetapan status perlindungan bambu laut, penetapan status perlindungan ini pada dasarnya untuk pengembangan pola pemanfaatan yang berkelanjutan, dimana dalam konsepnya penetapan status 47
perlindungan hanya bersifat sementara, dan berpeluang untuk dibuka kembali. Kegiatan sosialisasi ini diharapkan dapat di lakukan dengan pertemuan maupun dengan penyediaan bahan sosialisasi yang memadai agar dapat di pahami dengan baik oleh masyarakat. Pengawasan dan Pembinaan Efekivitas pelaksanaan regulasi status perlindungan ini akan banyak ditentukan pada efektivitas pelaksanaan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan di tingkat lapangan. Pada saat ini fungsi pengawasan yang ada di Kementerian Kelautan dan Perikanan berada di Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Penyedik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di tingkat pusat dan daerah, Pengawasan Perikanan di tingkat pusat dan daerah dan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS).Dari bebrapa data yang di peroleh pengawasan selama ini sangat lemah karen terbatasnya armada, biaya dan lokasi yang sulit di jangkau. Selain pelaksanaan pengawasan di lapangan, pengewasan terhadap peredaran bambu laut juga memegang peranan penting. Bambu laut ini diperdagangkan dengan tujuan ekspor, sehingga peran pengawas di pintu-pintu pengeluaran / pintu ekspor juga akan berperan besar pada sukses atau tidaknya regulasi ini diimplementasikan. Peranan petugas pelabuhan, karantina dan bea cukai akan menjadi salah satu kunci yang penting, apabila pengawasan di pintu-pintu pengeluaran dijaga dengan ketat, maka secara langsung juga akan menekan pada kegiatan pengambilan di lapangan.karena fungsi pengawasan dan peredaran ini tidak berada di bawah Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setelah penetapan status perlindungan ini perlu segera dilakukan pertemuan koordinasi dengan instansi pengawasan terkait, termasuk memberikan informasi daerahdaerah pengambilan bambu laut yang utama serta pengusaha eksportir bambu laut. Pengawasan terhadap peredaran ini mungkin tidak terlalu sulit untuk dilakukan, mengingat jumlah eksportir masih terbatas, termasuk daerah asal eksportir yang masih terbatas ada beberapa lokasi saja, terutama di Surabaya dan Makassar. Survey Status Populasi Salah satu kekhawatiran yang dialami dari maraknya kegiatan pemanfaatan bambu laut yang terjadi beberapa waktu yang lalu adalah minimnya data dan informasi yang dimiliki, termasuk data sebaran potensi dan status populasinya.Sejak tahun 2011, Dit. KKJI dan Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan / BPSPL Makassar dan BPSPL Bali telah melakukan studi populasi bambu laut di beberapa daerah, di tambah lagi survey yang di lakukan oleh Universitas 48
Hasanuddin ,namun wilayah yang dapat di survey masih sangat terbatas, sehingga masih belum dapat merepresentasikan status sebaran dan status populasi bambu laut secara nasional. Berdasarkan pada kegiatan survey potensi bambu laut yang dilakukan, habitat bambu laut mempunyai kesamaan dengan habitat terumbu karang, dan banyak ditemukan pada perairan yang relatif dangkal, dan bebrapa di daerah reef slope, sehingga dapat dengan mudah dimanfaatan oleh masyarakat. Selama ini bambu laut belum menjadi fokus objek yang diperhitungkan dalam pelaksanaan survey terumbu karang, sehingga walaupun sudah banyak survey terumbu karang yang dilakukan, namun data tentang bambu laut sendiri masih sangat minim tersedia. Untuk massa yang akan datang, pelaksanaan survey terumbu karang diharapkan dapat dilaksanakan bersamaan dengan survey bambu laut, sehingga waktu pelaksanaan dapat berjalan dengan lebih efektif dan juga dapat menghemat pembiayaan. Luasnya wilayah perairan Indonesia merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam melaksanakan survey bambu laut, oleh karena itu kajian studi potensi populasi ini tidak mungkin dilakukan oleh Ditjen KP3K saja tetapi harus melibatkan lebih banyak pihak-pihak terkait.Terkait dengan hal tersebut maka perlu disediakan buku panduan metode pelaksanaan survey, sehingga setiap orang dapat melakukan survey dengan metode yang standar. Pengembangan Metode Pengambilan Bambu laut hidup berkoloni, dimana dalam koloni tersebut hidup bersama bambu laut yang berukuran kecil dan bambu laut yang berukuran besar. Pengambilan bambu laut yang selama ini dilakukan nelayan dilakukan dengan cara mencabut dan mencungkil sehingga semua ukuran bambu laut terambil.Cara seperti ini tentunya tidak baik untuk pertumbuhan bambu laut. Untuk pemanfaatan yang berkelanjutan perlu dikembangkan metode pemanenan yang baik, sehingga hanya bambu laut yang berukuran besar saja yang diambil dan dimanfaatkan, sedangkan bambu laut yang berukuran kecil, tetap diberikan kesempatan untuk tumbuh besar atau dengan membuat aturan pengambilan bambu laut dengan cara di potong di bagian tertentu sehingga bambu laut bisa tumbuh kembali dalam waktu yang cepat. Metode pengambilan bambu laut yang tidak ramah lingkungan merupakan salah satu hal yang menjadi ancaman serius dalam pemanfaatan bambu laut saat ini, dalam pengambilan bambu laut ini tidak hanya menyebabkan kerusakan bambu laut tetapi juga menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang.
49
Kesimpulan Pengambilan bambu laut untuk tujuan perdagangan yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia, khususnya di daerah Sulawesi telah berpotensi besar menyebabkan kerusakan ekoistem terumbu karang dan sumber daya bambu laut itu sendiri. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan adanya regulasi dalam dalam pengelolaan bambu laut ke depan, sehingga pemanfaatan yang dilakukan tidak memberikan dampak kerusakan yang lebih besar. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan di beberapa daerah Sulawesi selatan, Sulawesi Tengah, Nusa tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Tenggara dan Sumatera bagian Barat sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya dapat disimpulkan han-hal sebagai berikut : a. b.
c. d. e.
Pengambilan bambu laut untuk tujuan perdagangan dapat mengakibatkan kepunahan bambu laut (Isis hippuris) dan menyebabkan kerusakan terumbu karang yang berada di sekitarnya; Pengambilan bambu laut yang selama ini dil akukan bukan merupakan sumber penghidupan utama masyarakat, pengambilan bambu laut hanya merupakan mata pencaharian sampingan selain menangkap ikan. Nilai jual bambu laut pada level masyarakat sangat rendah, sehingga nilai ekonomi yang didapatkan dari pengambilan bambu laut tidak seimbang dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan. Kebijakan Pemerintah Indonesia dan Surat edaran Pemerintah Daerah yang ada saat ini merupakan dukungan kuat untuk mendukung pelestarian bambu laut. Kebijakan yaitu peraturan dan perundangan untuk pengelolaan bambu laut perlu di koordinasikan lagi secara bersama antar stakeholder yang terlibat sehingga pengelolaan dapat di lakukan dengan optimal.
Rekomendasi dan Saran Dengan memperhatikan aspek-aspek penting yang terkait dengan pemanfaatan bambu laut dan melihat kondisi yang ada saat ini maka diperlukan langkahlangkah konservasi, diantaranya adalah: a. b.
Perlunya adanya regulasi nasional untuk untuk menjamin kelestarian sumber daya bambu laut di Indonesia. Perlunya disusun rencana program yang lebih detil tenang arah pengelolaan bambu laut ke depan, sehingga keberadaan bambu laut 50
c.
d.
dapat membeikan manfaat kepada lingkungan dan masyarakat secara luas. Perlunya dilakukan kajian secara mendalam tentang aspek biologi, ekologi dan keragaman genetik serta sosial ekonomi dalam pengelolaan bambu laut ke depan agar dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian bambu laut dan ekosistemnya. Perlunya dilakukan kajian yang lebih mendasar terkait dengan kandungan yang terdapat dalam bambu laut, beberapa hasil kajian menunjukkan adanya kandungan bio-aktif yang potensial untuk dikembangkan menjadi berbagai kebutuhan, termasuk obat-obatan dan kosmetik.
51
DAFTAR PUSTAKA Chao, C.H., L.F. Huang, S.L. Wu, J.H.Su, H.C.Huang, and J.H.Sheu.2005. Steroids from the Gorgonian I.hippuris.. J.Nat Prod., 68 (9), pp 1366-1370. Coremap II dan DKP Provinsi Sulsel, 2011.Potensi dan Status Pemanfaatan Sumberdaya Bambu Laut diKabupaten Selayar. Makassar CRITC-COREMAP LIPI 2006.Studi Baseline Ekologi di perairan Padaido Biak Timur. Laporan Penelitian: 64 hal. Candri, D.A., Jompa J.Niartiningsih., Rani C .2014. Bioekologi dan Keragaman Genetik Bambu Laut Isis hippuris. Disertasi Doctoral (In Prep).Makassar. KKJI KKP ,2013.Dokumen analisis Kebijakan Bambu laut.Jakarta. Fabricius KE, Benayahu Y, Genin A.1995a. Herbivory in asym-biotic soft corals, Science (268) : 90-92. Fabricius, K and G. De’ath 1997.The effects of flow, depth and slope on cover of soft coral th taxa and growth forms on Davies Reef, Great Barrier Reef.Proc. of the 8 Coral Reef Symp., Panama Vol.2:1071-1076 Fabricius, K. and P. Alderslade, 2001, Soft Coral and Sea Fan, Australia Institude of Marine Science, Queensland, Australia. Fabricius, K., Alderslade., 2006. Soft Coral and Sea Fans.Reading Trees Publications USA. 141p. Haris, A., Tuwo A., dan Anas, A., 2010. Kelimpahan dan Distribusi I.hippuris di Perairan Spermonde Kota Makassar.Jurnal Torani/Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.UNHAS, Makassar. Manuputty, A.E.W. 2002.Karang Lunak (Soft Coral) Perairan Indonesia.LIPI Jakarta. Masyud B. 1992. Identifikasi Sifat Satwa yang Dilindungi, Sisi Penting Kegiatan Konservasi Keanekaragaman Hayati. Med. Konservasi 3(4): 41-46. Soekarno M, Hutomo, Moosa MK, Darsono,P. 1983.Terumbu Karang di Indonesia; Sumberdaya, Permasalahan dan Pengolahannya.Proyek Studi Sumberdaya Alam Indonesia, Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan, LONLIPI.Jakarta. Soekarno R. 1995. Kondisi Terumbu Karang Indonesia dan Usaha Pengelolaannya. SNC-Lavalin International Inc. Association with
52
International Development Program of Australian Universities and Collages, PT Hasfarm DianKonsultan, SEP-SPIU.Jakarta. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan.Jakarta. Tanaka, H.T.; J. Yasumasa and K. Hiroyuki 1981.Hippuristanols, cytotoxic polyxygenated steroids from the gorgonianIsis hippuris. Chem. Lett. 11:1647-1650.
53
PERIKANAN DAN KONSERVASI: SINERGIS ATAU KONTRADIKTIF ?
Pendahuluan
Sudirman dan Natsir Nessa
Bagan merupakan salah satu alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan di seluruh perairan Indonesia. Alat tangkap ini menggunakan alat bantu cahaya untuk menarik perhatian ikan agar mendekati alat tangkap atau masuk ke areal penangkapan atau catchable area. Menggunakan waring dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil yaitu 0,5 cm. Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan dapat dikelompokkan kedalam kelompok jaring angkat (Von Brandt,1985). Bagan dalam operasi penangkapannya menggunakan cahaya sebagai alat bantu berkembang terus dan dapat diklasifikasikan mulai dari bagan tancap (fixed bagan), bagan apung (floated bagan), yang dapat dibagi kedalam 2 kelompok yaitu bagan rakit dan bagan perahu. Bagan perahu(canoe bagan) dapat pula diklasifikasikan menjadi bagan satu perahu (bagan with one canoe), bagan dua perahu (bagan with two canoes) dan bagan dengan menggunakan mesin sendiri (bagan with engine boat) Bagan tancap mulai beroperasi sejak tahun 1949 dan sampai sekarang alat tangkap tersebut masih eksis. Perkembangan terakhir adalah bagan raksasa atau biasa disebut dengan bagan rambo. Bagan apung berdasarkan ukurann plat formnya dapat dibagi atas 3 jenis yaitu: Bagan kecil (small bagan), biasanya berukuran 12 x12 m, bagan sedang (medium bagan) dan bagan raksasa (large bagan). Lampu yang digunakan juga berkembang, sesuai dengan perkembangan teknologi. Pada awalnya bagan yang hanya menggunakan lampu petromaks, kini bagan sudah menggunakan lampu mercury. Sejak tahun 1950 pemanfaatan lampu petromaks telah digunakan oleh para nelayan khususnya nelayan yang melakukan penangkapan di perairan Teluk Bone dan Selat Makassar. Selanjutnya pada tahun 1972, seiring dengan pemanfaatan listrik untuk kebutuhan industri dan rumah tangga, maka telah dimanfaatkan pula oleh para nelayan bagan. Lampu merkury mulai dimanfaatkan oleh para nelayan di Teluk Bone sejak tahun1987 pada alat tangkap bagan rambo dan berkembang terus sampai saat ini. Demikian halnya dengan lampu neon, sejak tahun 1992 telah dimanfaatkan oleh para nelayan bagan (Sudirman 2003; Sudirman dan Nessa, 2011). Alat tangkap bagan sebagai salah satu alat tangkap yang menggunakan cahaya banyak digunakan oleh para nelayan di wilayah pesisir karena mempunyai 54
beberapa keunggulan-keunggulan. Keunggulan tersebut antara lain Secara teknis mudah dilakukan/diopersikan (khususnya bagan tancap), Investasinya terjangkau oleh oleh masyarakat, Merupakan perikanan rakyat yang telah digunakan oleh masyarakat di wilayah pesisir dan sekitar pulau-pulau kecil secara turun temurun, Tangkapannya selalu ada walaupun terkadang jumlahnya sedikit dan Menyerap banyak tenaga kerja (Sudirman dan Nessa 2011). Keunggulan-keunggulan tersebut membuat alat penangkapan bagan sampai saat ini masih digunakan oleh nelayan dihampir seluruh wilayah pesisir Indonesia. Namun demikian terdapat pula beberapa kelemahan-kelemahan dan permasalahan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan sehingga menimbulkan beberapa masalah antara lain: Selektivitasnya rendah sehingga dinilai kurang ramah terhadap lingkungan perairan, Untuk bagan perahu membutuhkan jumlah banyak kayu sebagai bahan dalam pembuatannya sehingga dapat menguras sumberdaya hutan di darat, Kadang-kadang beroperasi di daerah pelayaran, sehingga dapat mengganggu dan membahayakan aktivitas pelayaran di laut, Banyak beroperasi di sekitar daerah terumbu karang, sehingga dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem terumbu karang. Berdasarkan atas keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh perikanan bagan serta permasalah-permasalahan yang ditimbulkannya, maka terbuka peluang-peluang pengaturan yang dapat dilakukan seperti mengatur daerah penangkapan bagan, sehingga tidak mengganggu alur pelayaran dan daerah-daerah terumbu karang. Membatasi jumlah unit yang beroperasi dalam suatu areal penangkapan, serta memperbaiki selektivitas mata jaring yang digunakan. Penangkapan Prinsip penangkapan ikan pada bagan adalah menarik perhatian ikan dengan bantuan cahaya buatan atau lampu agar ikan masuk ke areal penangkapan (catchable area), selanjutnya jaring yang berada di bawah bagan akan ditarik ke permukaan sehingga ikan akan terkumpul pada jaring atau tertangkap. Fungsi jaring pada bagan bukanlah sebagai alat untuk menjeratnya ikan, akan tetapi sebagai tempat berkumpulnya ikan-ikan yang berkumpul dibawah cahaya. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah semua jenis ikan dapat tertangkap dengan bagan?. Ikan yang tertangkap pada bagan umumnya adalah ikan-ikan yang dapat tertarik oleh cahaya atau phototaxis positif. Ikan yang phototaksis positif memiliki sel kon yang terangsang jika ada sumber cahaya disekitarnya, dengan kata lain akan mendekati cahaya atau lampu yang sedang menyala. Tingkah laku ikan yang mendatangi cahaya tersebut dimanfaatkan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan khususnya pada alat tangkap bagan.
55
Mengenal Ragam Bagan Bagan tancap merupakan bagan yang dipasang secara menetap di perairan, terdiri dari rangkaian bambu yang dipasang secara membujur dan melintang. Bambu merupakan komponen utama dari bangunan bagan tancap. Bahan tersebut mudah diperoleh nelayan dan harganyapun tergolong murah. Jumlah bambu yang digunakan bergantung pada kedalaman perairan bagan tersebut beroperasi. Semakin dalam perairan maka jumlah bambu yang digunakan semakin banyak karena bambu tersebut harus disambung. Secara umum jumlah bambu bervariasi antara 135-200 batang. Bambu tersebut merupakan komponen utama dalam menopang berdirinya alat tangkap bagan tancap di perairan. Komponen lain yang digunakan adalah waring. Waring dipasang pada bagian tengah bagan yang berfungsi untuk menangkap ikan yang masuk ke catchable area. Ukuran bagan tancappun bervariasi mulai dari ukuran 7 x 7 m sampai 9 x 9 m, bergantung kedalaman perairan tempat bagan tersebut dioperasikan. Umumnya nelayan menggunakan ukuran 8 x 8 m. Photo salah satu bagan tancap diperairan disajikan pada Gambar 1 dan 2. Sejalan dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi serta kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat maka desain dan konstruksi bagan semakin berkembang.
Gambar 1. Bagan tancap di perairan Teluk Bone beroperasi pada kedalaman perairan 5-10 m.
56
Gambar 2. Operasi penangkapan bagan tancap di Selat Makassar pada malam hari. Selain bagan Tancap, terdapat pula bagan Perahu.Menurut beberapa sumber informasi mengatakan bahwa bagan apung mulai beroperasi pada tahun 1960 dengan menggunakanan model 2 perahu. Model ini terus berkembang. Perkembangan terakhir dari alat tangkap bagan adalah bagan raksasa atau disebut juga dengan bagan rambo. Alat tangkap bagan rambo pertama kali diperkenalkan di perairan Luwu Teluk Bone pada tahun 1987. Dua tahun kemudian (1989) alat tangkap ini telah berkembang di perairan Barru Selat Makassar (Mallawa et al. 1992). Dari wawancara dengan beberapa nelayan di perairan Kabupaten Barru diperoleh informasi bahwa alat tangkap ini sudah mulai beroperasi di perairan Kabupaten Barru sejak tahun 1987 tetapi ukurannya masih lebih kecil (22 m x 21 m) dari yang ada sekarang ( 33 m x 31 m). Rancang bangun alat tangkap bagan rambo berbeda dengan bagan biasa. Komponen-komponennya lebih kompleks dengan konstruksi yang lebih kuat dan spesifik berdasarkan tujuan penangkapan. Satu unit bagan rambo terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut (Sudirman,2003; Sudirman dan Made,2005).: (1) perahu; (2) rangka (3) jaring (4) bingkai jaring (5) roller (6) generator set (genset); (7) lampu merkuri (8) rumah bagan (Sudirman dkk, 2005)
57
Alat-alat lain yang ada pada alat tangkap bagan rambo adalah alat bantu dalam memperlancar kegiatan operasional bagan rambo, antara lain radio komunikasi, keranjang, peti dan serok. Radio komunikasi digunakan untuk mengkomunikasikan hal-hal yang berhubungan dengan hasil tangkapan, harga ikan, fishing ground, antara juragan laut dan juragan darat (punggawa laut dan punggawa darat) dan antara sesama nelayan bagan rambo. Keranjang merupakan tempat hasil tangkapan setelah disortir. Sebuah keranjang mempunyai diameter 45 cm dengan tinggi 26 cm. Setiap bagan rambo mempunyai minimal 30 keranjang. Peti merupakan tempat penyimpanan hasil tangkapan sebelum dibawa ke darat. Ikan yang ada dalam peti telah dicampur dengan es untuk mengawetkan hasil tangkapan. Serok ini mempunyai ukuran panjang 3,5 m dengan diameter bukaan mulut 52 cm, tinggi jaring 60 cm dengan mesh size 1 cm. Pemanfaatan Bagan untuk Penangkapan Ikan Dalam pengoperasian satu unit bagan rambo dibutuhkan 16-20 orang ABK yang dipimpin oleh seorang juragan laut atau disebut dengan punggawa laut. Juragan laut memimpin dan bertanggungjawab terhadap seluruh operasi penangkapan ikan yang dilakukan. Tugas masing-masing personil di atas bagan rambo pada saat operasi dapat dibagi atas: satu orang yang mengatur pencahayaan lampu, 1 orang mengatur tali jangkar pada saat hauling, 2 orang bertugas untuk mengangkut hasil tangkapan dan selebihnya 14 orang bertugas untuk memutar roller dan menggiring ikan ke salah satu sisi perahu yang berfungsi sebagai kantong jaring. Proses penangkapan dimulai dengan terlebih dahulu menentukan fishing ground. Penentuan fishing ground antara lain ditentukan dengan melihat hasil tangkapan nelayan bagan rambo pada malam sebelumnya. Jika ada bagan rambo yang mendapatkan hasil tangkapan yang menonjol maka bagan rambo akan terkonsentrasi pada suatu fishing ground tertentu. Sebaliknya jika hasil tangkapan merata antara setiap unit alat tangkap maka fishing groundnya akan menyebar. Penentuan fishing ground ini sepenuhnya berada pada juragan laut. Lama waktu yang dibutuhkan dari satu fishing ground ke fishing ground lainnya antara 1-7 jam, bergantung pada jarak lokasi dan keadaan cuaca. Setelah melalui pengecekan dasar perairan (sebaiknya lumpur dan dekat dengan daerah terumbu) maka fishing ground ditentukan, yang dilanjutkan dengan penurunan jangkar. Pada saat menjelang senja hari (pukul 18.10 WIT) penurunan jaring mulai dilakukan (setting) setelah semua ikatannya pada bingkai telah terikat dengan baik, selanjutnya dilakukan penyalaan lampu (lighting). Roller batu yang berfungsi sebagai penahan jaring dari arus terlebih dahulu diturunkan. Dua sampai empat jam setelah lampu dinyalakan dilakukan pemadaman lampu. Pemadaman lampu dilakukan secara bertahap untuk menghindari kagetnya ikan dan usaha untuk 58
menggiring ikan ke tengah jaring. Lampu yang pertama dipadamkan adalah seluruh lampu bagian pinggir rangka bagan, dimana setiap lampu mempunyai kekuatan 400 W yang bejumlah 10 buah. Bersamaan dengan itu lampu konsentrasi mulai dinyalakan. Lima menit kemudian lampu yang berada di bagian tiang utama dipadamkan. Pada saat ini lampu yang menyala hanyalah lampu yang berada di rumah bagan dan seluruh lampu yang berada di bawah platform rangka bagan. Pemadaman lampu di bawah platform rangka bagan juga dilakukan secara bertahap yang dimulai dibagian luar rangka bagan, sehingga gerombolan ikan semakin mendekat ke bagian tengah kapal. Pada akhirnya lampu yang menyala hanyalah lampu konsentrasi yang terletak pada sisi kiri dan kanan perahu. Lampu konsentrasi ini diredupkan secara perlahan selama 10 –15 menit. Penarikan jaring dimulai ketika juragan laut telah memberikan isyarat bahwa jaring sudah mulai ditarik. Keputusan penarikan dilakukan ketika juragan laut setelah mengamati secara visual gerombolan ikan yang terdapat di bawah platform rangka bagan khususnya yang berada di daerah sekitar lampu fokus atau lampu konsentrasi. Pemutaran roller jaring dilakukan dengan cepat agar gerombolan ikan pada catchable area tidak meloloskan diri. Waktu yang dibutuhkan untuk menarik jaring sampai kepermukaan air bergantung pada kecepatan arus dan kedalaman perairan, umumnya berkisar 8-10 menit. Proses selanjutnya adalah menggiring ikan ke bagian sisi jaring (berfungsi sebagai kantong). Jika ikan sudah berkumpul, maka diangkat ke atas perahu dengan menggunkan serok, dilanjutkan dengan penyortiran hasil tangkapan dan setting tahap berikunya. Ikan yang sejenis di kelompokkan kedalam satu basket dan dimasukkan kedalam peti dan mencampur dengan es. Proses ini dilakukan 1 – 4 kali dalam semalam. Jika tangkapan pada malam tersebut tidak memuaskan maka pada pagi harinya akan dilakukan perpindahan fishing ground, dan sebaliknya tetap pada fishing ground itu jika tangkapan memuaskan. Waktu yang dibutuhkan dalam penyalaan lampu berbeda-beda bergantung pada waktu hauling, musim ikan, waktu kedatangan ikan kedalam catchable area, periode bulan, dan keadaan cuaca. Hauling pertama dan ke 2 relatif waktunya sama, masing-masing 4 jam, sedangkan hauling ke 3 hanya 3 jam. Kegiatan pengoperasian dilakukan hampir setiap malam, namun demikian pada saat bulan terang atau bulan baru jika hasil tangkapan kurang memuaskan maka digunakan oleh para nelayan bagan rambo untuk istirahat sambil melakukan perbaikanperbaikan kapal dan jaring, biasanya 3 - 5 hari. Pada saat itu terjadi pasang tertinggi dan surut terendah sehingga perahu bagan dapat disandarkan di fishing base, sehingga pembersihan dan pengecetan bagian bawah kapal dapat lebih mudah dilakukan. 59
Saat permulaan operasi penangkapan maka bagan rambo di tarik ke fishing ground dengan towing boat. Jarak fishing ground dari fishing base antara 4 sampai 17 mil laut. Selanjutnya dilakukan proses penangkapan seperti yang dikemukakan di atas. Dalam uraian tersebut di atas nampaknya perlu pula dikemukakan bagaimana proses tertangkapnya ikan pada bagan bagan rambo. Penangkapan Dengan Prinsip Keberlanjutan Terdapat perbedaan dan persamaan daerah penangkapan bagan tancap dan bagan apung atau bagan perahu, khususnya yang beroperasi di perairan Sulawesi Selatan. Untuk memperoleh tangkapan yang maksimal, para nelayan bagan tancap sudah mengetahui daerah-daerah penangkapan yang sangat baik untuk memasang alat tangkap bagan tancap. Disepanjang perairan Makassar, Maros dan Pangkep umumnya nelayan bagan memasang alat tangkapnya pada daerah-daerah yang berdekatan dengan hutan mangrove atau tidak jauh dari daerah terumbu karang pada kedalaman 5-9 m. Daerah tersebut merupakan daerah subur akan unsure hara. Dengan demikian maka ikan-ikan yang tertangkap juga adalah ikan-ikan yang menghuni daerah-daerah tersebut. Fishing ground bagan tancap di perairan Kabupaten Pangkep dikelilingi oleh pulau-pulau kecil dengan dasar perairan berlumpur dan berpasir. Disekitar pulau-pulau tersebut merupakan daerah terumbu karang dan padang lamun yang kaya akan sumberdaya ikan. Tidak jauh dari daerah penangkapan bagan tancap tersebut, terdapat muara sungai (estuaria) yang ditumbuhi oleh hutan bakau yang subur pula. Komponen-komponen ekosistem tersebut turut memberikan kesuburan di daerah penangkapan bagan tancap, karena adanya suplai bahan organik. Pada bagan apung di Selat Makassar, operasi penangkapnnya berhubungan erat dengan adanya terumbu karang disekitarnya. Jumlah hasil tangkapan akan banyak jika bagan apung tersebut beroperasi disekitar daerah terumbu karang. Hal ini disebabkan karena banyak ikan-ikan pelagis kecil mencari makan disekitar daerah terumbu karang. Perbedaannya dengan bagan tancap hanyalah karena bagan apung dapat berpindah-pindah dari satu fishing ground ke fishing ground lainnya. Dengan demikian agar marine protected area tidak terganggu oleh alat tangkap bagan, maka sebaiknya alat tangkap tersebut tidak beroperasi disekitar marine protected area. Hasil Tangkapan Dorong Kesejahteraan Nelayan Berdasarkan hasil penelitian Sudirman dkk (2012) menunjukkan bahwa jumlah spesies yang ditemukan pada bagan tancap yang beroperasi di Perairan Pangkep Sulawesi Selatan sebanyak 32 spesies. Dengan rincian, tangkapan utama (primary catch) adalah 13 spesies, tangkapan sampingan (by catch) 13 spesies dan tangkapan buangan (discard) 60
sebanyak 6 spesies (Tabel 1). Komposisi hasil tangkapan berdasarkan berat (kg) pada bagan tancap selama penelitian menunjukkan berturut-turut adalah tangkapan utama 78%, tangkapan sampingan 11 % dan tangkapan buangan 11 % (Gambar 4). Komposisi ini memberikan gambaran bahwa keadaan bagan tancap memberikan hasil tangkapan yang baik bagi pendapatan nelayan. Umumnya hasil tangkapan bernilai ekonomi yang dapat memberikan kesejahteraan kepada nelayan. Hanya 11% hasil tangkapan merupakan hasil tangkapan buangan yang umumnya tidak dikonsumsi oleh masyarakat. Namun demikian hasil tangapan buangan tersebut masih dapat dijual dengan harga yang sangat rendah (Rp 1000/Kg), sebagai makanan ternak ataupun sebagai makanan ikan di tambak. Tangkapan sampingan umunya dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi di rumah tangga nelayan bagan.
N= 1913,6
Gambar 4. Komposisi tangkapan hasil tangkapan bagan tancap di Selat Makassar (Sudirman dkk, 2012) Terdapat 5 species hasil tangkapan dominan pada bagan tancap selama penelitian (Sudirman dkk, 2012), berturut-turut adalah ikan cumi-cumi (25%), tembang (23%), peperek (22%), teri (20%) dan beronang (10%) (Gambar 5). Cumi-cumi, tembang dan ikan teri dapat dilihat secara langsung berenang dekat permukaan air, di bawah lampu. Sebaliknya ikan peperek dan ikan baronang tidak muncul kepermukaan air. Kedua species tersebut berada di bagian dasar. Keberadaan ikan baronang disekitar bagan diduga karena fishing ground dari bagan tancap yang beroperasi disekelilingya adalah merupakan daerah terumbu karang yang merupakan habitat dari dari ikan baronang.
61
Gambar 5. Komposisi tangkapan utama lima jenis ikan hasil tangkapan bagan tancap di Selat Makassar (Sudirman dkk, 2012) Terdapat beberapa jenis ikan yang kecil yang hidup di daeah karang tertangkap dengan alat tangkap bagan tancap, seperti ikan baronang ukuran kecil (Gambar 6), ikan kwe, ikan buntal dan ikan lepu dan jenis ikan karang lainnya (Gambar 7)
Gambar 6. Ikan baronang kecil yang tertangkap dengan bagan tancap di Selat Makassar
Gambar 7. Variasi hasil tangkapan pada bagan tancap di Perairan Pangkep
62
Komposisi jumlah hasil angkapan pada bagan apung berbeda dengan pada bagan tancap baik jumlah maupun jenisnya (Gambar 8).
Japuh(Othe r sardine) 3,1%
Cumi-cumi (Squids) 2,4%
Lain-lain (Others) 5,3%
Teri (Anchovy) 30,5%
Selar (Big eye scad) 7,2%
Layang (Russell`s scad) 26,2% Tembang 7,1%
Kembung(In dian mackerel) 18,1%
Gambar 8. Komposisi hasil tangkapan bagan apung di Selat Makassar (Sudirman, 2003) Jumlah dan komposisi jenis hasil tangkapan selama penelitian (Figure 4.14) menunjukkan bahwa jenis ikan yang dominan tertangkap berturut-turut adalah teri (Stolephorus spp) 30,5 %, layang (Decapterus sp) 26,2 %, kembung (Rastrelliger sp) 18,1 %, selar (Selar spp) 7,2 %, tembang (Sardinella spp) 7,1 %, japuh (Dussumieria acuta) 3,1 % dan cumi-cumi (Loligo spp) 2,4 %, (total tangkapan 56.152 kg). Jumlah jenis ikan yang tertangkap selama penelitian pada alat tangkap bagan rambo adalah 59 spesies . Jenis ikan yang dominan tertangkap adalah ikan pelagis kecil dan moluska sebanyak 94,7 % yang terdiri dari : teri hitam (Stolephorus insularis), teri (Stolephorus indicus), teri merah (Stolephorus buccaneri), teri putih (Stolephorus heterolobus), teri (Stolephorus tri), layang (Decapterus ruselli), layang deles (Decapterus macrosoma), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), selar bentong (Selar crumenopthalmus), selar kuning (Selaroides leptolepis), Selar tetengkek (Megalaspis cordyla), tembang (Sardinella fimbriata), tembang (Sardinella sp), sardin (Sardinella sirm), japuh (Dussumieria acuta), cumicumi (Loligo edulis), cumi-cumi (Loligo duvaucalli), cumi-cumi (Loligo chinensis), cumicumi (Architeuthis sp) dan cumi-cumi (Sebroteithis lessoniana) (Gambar 9). Selain kelompok ikan-ikan pelagis kecil dan moluska, jenis ikan lainnya yang ikut tertangkap namun dalam jumlah yang relatif sedikit sebanyak 5,3 % yang terdiri dari; peperek (Leiognathus aureus, Leiognahtus berbis dan Leiognathus blochii), ikan bulan (Mene maculata), alu-alu (Sphyraena genie dan Sphyraena jello), kucul (Sphyraena obtusata), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus commerson), beloso laut (Saurida tumbil), biji nangka (Upeneus molluccensis, dan Upeneus tragula), terbang 63
Cypsilurus poecilopterus), tongkol (Auxis thazard), ikan platu (Pseudobalistis sp, dan Aluterus sp), ikan leweri batu (Anomalops sp), cendro (Tylosorus crocodilus), julungjulung (Hemirhamphus far), kerong-kerong (Therapon theraps), bulan – bulan merah dan hitam (Priacantus sp), baronang kuning (Siganus virgatus), lingkis (Siganus canaliculatus) lolosi biru (Caesio coerulaureus), lolosi merah (Caesio chrysozona), ekor kuning (Caesio erythrogaster), layur (Trichiurus savala), buntal (Arothron hispidas), buntal duri (Diodon holacanthus), buntal tanduk (Lactoria cornuta), gemih (Echenies naucrates), rambeng (Dipterygonosus sp) bawal putih (Pampus argenteus), bawal hitam (Formio niger), gurita (Octopus sp) dan ikan peseng-peseng atau samu-samu (Rabdania sp). Gambar 9. Variasi hasil tangkapan pada bagan apung di Selat Makassar
Gambar 10. Jenis ikan karang yang tertangkap pada bagang apung di Selat Makassar yang bernilai ekonomis.
64
Gambar 11. Jenis ikan karang yang tertangkap pada bagang apung di Selat Makassar yang tidak bernilai ekonomis dan merupakan discards. Banyak jenis-jenis ikan yang tertangkap pada bagang apung hanya merupakan tangkapan sampingan. Jenis tersebut merupakan salah satu rantai dalam ekosistem terumbu karang atau di perairan laut. Ancaman Terhadap Kelestarian Marine Proteced Area Daerah penangkapan ikan alat tangkap bagan baik bagan tancap maupun agan perahu, sebagian besar berhubungan dengan daerah terumbu karang. Karena daerah penangkapannya berada disekitar terumbu karang ersebut. Bagan rambo di Selat Makassar masih tergolong daerah pantai karena kedalaman perairannya 25 – 70 m. Ikan-ikan yang bermigrasi ke pantai karena faktor lingkungan seperti arus, salinitas, temperatur air, musim, pasang surut, topografi, makanan dan lain-lain mungkin menyebabkan daerah tersebut menjadi fishing ground bagan. Ikan-ikan yang mencari makan, apabila tersedia makanan akan tinggal lama di dearah iluminasi cahaya untuk makan dan sebaliknya akan segera meninggalkan daerah tersebut jika tidak tersedia makanan. Ikan-ikan yang pototaksis positif akan memilih cahaya yang disenanginya. Berenang di atas atau di bawah jaring dan berdiam lama disekitar iluminasi cahaya. Ikan yang pototaksis positif dan mencari makan akan melakukan keduanya berada didaerah iluminasi sambil melakukan aktivitas makan (feeding activity). Dari data komposisi hasil tangkapan menunjukkan bahwa lebih dari 94% hasil tangkapan bagan rambo didominasi oleh teri, layang, kembung, selar, tembang, japuh dan cumi-cumi. Selebihnya adalah ikan-ikan predator, by-catch dan discard catch yang umum adalah ikan-ikan karang. Walaupun jumlah spesies yang tertangkap dengan alat tangkap bagan rambo cukup banyak namun masih didominasi oleh spesies tersebut di atas. Sebagai konsekuensi dari daerah tropis
65
maka jumlah spesies sangat beragam. Namun dari hasil tangkapan tersebut tidak ditemukan spesies langka yang dilindungi tertangkap oleh bagan rambo sehingga di duga tidak membahayakan biodiversity. Terdapat berbagai jenis ikan karang yang tertangkap dengan alat tangkap bagan, walaupun jumlahnya tidak dominan. Pada alat tangkap bagan tancap, tangkapan ikan baronang kecil sebanyak 10% dari total hasil tangkapan adalah suatu hal yang sangat mengkhawatirkan akan kelestarian ikan-ikan tersebut, karena mempengaruhi populasinya. Sebaiknya hasil tangkapan tersebut dikembalikan ke alam dalam keadaan hidup. Sebab jika tidak maka ancaman yang ditimbulkan adalah mempengaruhi rantai ekosistem yang ada diterumbu karang, yan pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan ekosistem terumbu karang. Penutup Dari data yang disajikan di atas menunjukkan bahwa alat tangkap bagan banyak menangkap ikan-ikan kecil (juvenile) dan berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem perairan termasuk ekosistem terumbu karang. Disamping itu alat tangkap tersebut menangkap ikan disekitar areal terumbu karang, sehingga sebagian ikan-ikan karang juga tertangkap, walaupun prosentasenya sedikit. Oleh sebab itu, dalam rangka keberlanjutan sumberdaya perikanan khususnya menjaga marine protected area, jumlah unit alat tangkap bagan yang diizinkan beroperasi disetiap perairan harus dikontrol dengan baik, guna menjaga kelestarian sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, sebagai bagian dari implementasi UU.No.34 th 2004 dan sebagai implementasi dari Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
66
DAFTAR PUSTAKA Mallawa, A, Sudirman, M. Palo, dan Musbir 1992: Studi Mengenai Perikanan Bagan rambo di Perairan Barru Selat Makassar . Laporan Proyek Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. 40 hal. Nadir, M., 2000. Teknologi Light Fishing di Perairan Barru Selat Makassar: Deskripsi, Sebaran Cahaya dan Hasil Tangkapan (Tidak dipublikasikan). Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 87 hal. Sudirman dan N.Nessa 2011. Perikanan Bagan dan Aspek Pengelolaannya. UMM Press. Malang.234. Hal Sudirman, 2003. Analisis Tingkah Laku ikan Untuk Mewujudkan Teknologi Ramah Lingkungan dalam Proses Penangkapan Pada bagan Rambo di Selat Makassar. Disertasi Pascasarjana IPB.307 hal. Sudirman dan S.Made. 2005. Aspek Teknis, Proses Penangkapan dan Analisis Investasi Pada Alat Tangkap Bagan Rambo di Selat Makassar. Jurnal Punggawa. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan . Volume 2 Nomor 1, Sudirman, Najamuddin dan Machfud Palo. 2012.Efektivitas pemanfaatan jenis dan warna lampu untuk menarik perhatian ikan pelagis kecil pada alat tangkap bagan tancap dalam menunjang pengembangan perikanan tangkap secara berkelanjutan. Laporan Penelitian Hibah Kompetensi. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Unhas. 46 hal Sudirman, Najamuddin dan Machfud Palo. 2013. Efektivitas penggunaan berbagai jenis lampu listrik untuk menarik perhatian ikan pelagis kecil pada bagan tancap. Jurnal Penelitian Perikanan Tangkap, JPPI. Vol.19.no. 3. Desember 2013 Von Brandt, A..1985. Fish Catching Methods of the World. Third Edition. Fishing News Books Ltd. Farnham. P.418.
67
KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PEMULIHAN KEANEKARAGAMAN LARVA
Pendahuluan
Muhammad Lukman, Andriani Nasir.
Pemanfaatan sumber daya laut memiliki peran yang signifikan bagi kehidupan masyarakat nelayan. Penyediaan lapangan pekerjaan untuk masyarakat, potensi pangan dan pendapatan negara. Banyak permasalahan yang timbul akibat pemanfaatan yang tidak memperhatikan kelestarian sumber daya. Kerusakan lingkungan, pencemaran air laut dan kerusakan terumbu karang. Ekspoitasi yang berlebihan akan memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan sumber daya alam laut. Dari sisi ketersediaan sumberdaya yang berkelanjutan, pembangunan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian akan mengurangi kemampuan sumberdaya pesisir dalam mendukung fungsi pelayanan bagi keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir dalam jangka panjang. Pengabaian terhadap tata ruang wilayah pesisir, pemanfaatan yang bersifat destruktif, kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang tidak jelas, serta rendahnya keterlibatan masyarakat akan bermuara pada kurang optimalnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir. Perairan yang mendapat masukan dari bahan organik dan arorganik akan mempengaruhi ekosistem yang ada. Bahan antropogenik ini berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan pertambakan dan pertanian selanjutnya memasuki perairan melalui aliran sungai dan run-off dari daratan. Adanya buanganbuangan tersebut di atas sangat berdampak pada lingkungan pesisir dan laut. Tingginya unsur hara akan merusak ekosistem terumbu karang dan biodiversity (Costa Jr et al., 2008; Edinger et al., 1998). Bahan organic dengan konsentrasi yang tinggi akan memicu pemasaman air laut (Rixen et al., 2008), yang berakibat pada penurunan laju kalsifikasi karang (De’ath et al., 2009). Beberapa fenomena memperlihatkan bahwa ada keterkaitan yang sangat jelas antara peningkatan jumlah nutrien yang masuk ke dalam perairan terhadap peningkatan produktivitas primer yang memicu pertumbuhan fitoplankton dan akhirnya berpengaruh secara tidak langsung dengan terumbu karang. Pengaruh tidak langsung tersebut dalam bentuk kompetisi ruang (McCoook et al. 2001). Adanya peningkatan fitoplankton di daerah terumbu karang ini yang merupakan daerah pemijahan bagi ikan akan memicu pula peningkatan zooplankton sebagai produksi sekunder bagi benih ikan. 68
Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Dalam rangka pengelolaan sumberdaya hayati perairan laut, pemahaman terhadap faktor-faktor fisik laut dan pengaruhnya terhadap perkembangan biota laut merupakan suatu kebutuhan yang mutlak. Faktor fisikakimia laut, seperti cahaya, suhu, salinitas, arus dan pasang surut semenjak semula dipandang sebagai faktor abiotik pada ekosisitem laut yang memiliki banyak kegunaan dalam proses kelangsungan hidup ikan, seperti pertumbuhan dan distribusinya. Bertolak dari uraian di atas, dipandang perlu untuk menguraikan secara mendetail tentang keterkaitan pola distribusi dengan kelimpahan larva ikan berdasarkan parameter fisika kimia perairan. Mengingat larva sebagai awal kehidupan ikan yang merupakan sumberdaya perikanan di suatu perairan. Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Melalui penetapan kawasan konservasi, pemerintah berupaya melindungi ketersediaan sumber daya alam untuk kepentingan jangka panjang. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) secara prinsipnya adalah merupakan suatu kawasan yang ditetapkan sebagai zona lindung yang dilarang dimanfaatkan secara permanen dari berbagai kegiatan usaha perikanan, penambangan karang dan pemanfaatan sumberdaya, sehingga kawasan ini memiliki biodeversity yang tinggi. Dengan demikian, penelitian penilaian kualitas daya dukung lingkungan perairan khususnya di Kawasan Konservasi Laut Daerah ini yang merupakan kawasan natural sangat penting untuk diteliti, sebagai dasar perbandingan karakter daya dukung lingkungan di luar kawasan KLD yang mendapat pengaruh antropogenik. Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk pembangunan skenario penilaian daya dukung kualitas lingkungan, yang dapat menunjang upaya penyelamatan terumbu karang dan sekaligus mendukung upaya meningkatkan produksi dan distribusi larva ikan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis kelimpahan larva ikan dan kualitas lingkungan perairan dengan menentukan variabilitas nutrien dan parameter fisik dan kimia perairan pesisir dan laut dalam kawasan KLD. (2) Menganalisis dan mengevaluasi berbagai parameter fisik, kimia dan biologi sehubungan dengan penciri lingkungan kawasan konservasi. (3) Menganalisis skenario penilaian daya dukung kualitas lingkungan perairan dalam kawasan KLD. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang distribusi larva ikan dan kualitas lingkungan perairan kawasan konservasi laut daerah dalam 69
menunjang produktivitas perikanan, kemudian dapat dijadikan rujukan dalam pengelolaan lingkungan di luar kawasan KLD yang dapat menunjang upaya penyelamatan terumbu karang sebagai daerah pemijahan ikan dan sekaligus mendukung upaya meningkatkan produktifitas perikanan. Kawasan Konservasi Laut Daerah Kawasan KLD sering dianggap sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Namun kawasan konservasi laut ini juga dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata. Selama ini manfaat perikanan dan pariwisata dipandang sebagai hasil samping dari pelestarian keanekaragaman hayati, namun para ilmuwan dan manajer akhir-akhir ini mengubah cara pandang tersebut dengan memberikan penekanan pada manfaat kawasan konservasi laut di dalam pengelolaan manfaat. Misalnya, Program Kawasan Habitat Ikan Australia secara khusus menyatakan bahwa kawasan konservasi laut berfungsi untuk meningkatkan perikanan, sementara pelestarian keanekaragaman hayati dipandang hanya sebagai manfaat tambahan (DPI, 2002). Terdapat dua bukti dampak kawasan konservasi laut. Pertama, terdapat bukti yang kuat bahwa wilayah larangan penangkapan (perlindungan) memiliki persediaan ikan yang lebih besar, ukuran ikan yang lebih besar serta komposisi spesies yang lebih beragam (spesies ikan komersial berukuran lebih besar) bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan. Di dalam ulasannya tentang dampak wilayah perlindungan, Roberts dan Hawkins (2000) memberikan contoh dari 30 kajian yang dilaksanakan pada era 90-an yang mencatat satu atau lebih dari dampak tersebut. Dengan demikian, dampak pada populasi ikan terkait dengan perubahan yang terjadi pada bagian lain dari ekosistem. Misalnya, Babcock et al. (1999) (dalam Roberts dan Hawkins, 2000) melaporkan penurunan 3 (tiga) kali lipat populasi bulu babi di dalam kawasan perlindungan, sementara itu populasi tersebut meningkat hampir tiga kali lipat di luar kawasan perlindungan. Selain itu, Roberts dan Hawkins (2000) menyatakan bahwa seringnya kecenderungan nelayan untuk memfokuskan kegiatan penangkapan di dekat kawasan perlindungan (‘fishing the line’) menunjukan bukti manfaat dari wilayah perlindungan bagi perikanan komersial. Peranan Hidrooseanografi terhadap Distribusi Beban Masukan Gerakan air laut dan angin berpengaruh terhadap penyebaran dan sekaligus daya tahan hidup organisme perairan. Adanya kekuatan angin yang bertiup melalui permukaan mengakibatkan perpindahan horisontal massa air (Nybakken, 1988). Pickard (1975) dalam Kaswadji (1999) menambahkan bahwa jika angin bertiup di atas perairan, air dibawahnya akan ikut terseret bergerak membentuk arus dan 70
dalam waktu yang cukup lama bisa menyebabkan turbulensi. Turbulensi ini bisa berperan mengangkat nutrien yang terkumpul di bawah lapisan tercampur akibat tenggelamnya bahan-bahan organik maupun anorganik (Mann dan Lazier 1991). Pasang surut merupakan salah satu sifat perairan yang dominan berpengaruh pada distribusi beban masukan (Parson et al., 1984). Bersamaan dengan angin dan gelombang, pengaruh pasang surut menciptakan turbulen perairan yang dapat mengagkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Beban Masukan Bahan Organik dan Anorganik Bahan masukan organik signifikan mempengaruhi dinamika mikroalga melalui peningkatan dan/atau menciptakan variabilitas kekeruhan (May et al., 2003). Menurut Libels (1992), beban dan jenis-jenis bahan organik yang masuk ke perairan laut terdiri atas karbohidrat, lipid, asam-asam nuklead, asam-asam amino, hasil eksresi nitrogenus, asam-asam karbosilik, senyawa yang mengandung fosfor dan sulfur. Bahan organik ini selanjutnya mengalami degradasi dengan waktu yang berbeda.Secara umum sumber nutrien yang ada pada perairan laut berasal dari masukan bahan organik (Valiela, 1984). Melalui aktivitas bakteri dan organisme pengurai lainnya, bahan ini mengalami dekomposisi menjadi bahan-bahan anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh organisme autotrof (Chester, 1991), seperti misalnya nitrat dan fosfat. Menurut Cebrian (2002), nutrien diperoleh dari proses degradasi bahan organik yang berlangsung pada kolom air atau sedimen. Laju penguraian bahan organik sangat ditentukan oleh ketersediaan oksigen pada perairan (Valiela, 1984 dan Libels, 1992). Reaksi yang terjadi sehubungan dengan ketersediaan oksigen yang cukup disebut reaksi oksidasi. Menurut Valiela (1984), kondisi ini disebut dengan kondisi aerobik.Proses penguraian bahan organik dapat pula terjadi pada kondisi sangat miskin oksigen. Reaksi yang terjadi disebut dengan reaksi reduksi (Valiela, 1994; Thurman, 1993; Millero dan Sohn, 1992). Dalam melaksanakan aktivitas, bakteri dan organisme pengurai lainnya mereduksi molekul-molekul yang mengandung oksigen. Selanjutnya, oksigen yang terbentuk dari reduksi itu digunakan sebagai energi dalam melaksanakan proses penguraian bahan organik. Jenis bahan organik yang masuk ke perairan ada yang mudah terdegradasi dan ada pula yang sukar terdegradasi (memerlukan waktu yang lama). Salah satu contoh bahan organik yang mudah terdegradasi adalah karbohidrat, lemak, dan protein. Jenis-jenis bahan organik ini merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri. Kemudian bahan organik yang sukar terdegradasi adalah polychlorinated biphenyl (PCBs) dan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) (Effendie, 2003). 71
Prinsip Nutrien Sebagai Faktor Pembatas Nutrien yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk fitoplankton dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu; (1) makro nutrien dibutuhkan dalam jumlah banyak yang terdiri dari unsur O, C, N, H, P, S, K, Mg, dan Ca, dan (2) mikro nutrien dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit adalah Fe, Mn, Cu, Zn, B, Si, Mo, Cl, V, Co, dan Na (Parson et al., 1984). Menurut Reynolds (1984) makro nutrien menyumbangkan lebih besar dari 0,1% dari bobot kering bebas abu dan mikro nutrien kurang dari 0,1% bobot. Diantara unsur-unsur makro nutrien, N dan P sering menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton baik pada perairan tawar maupun dalam perairan estuari dan laut (Lagus et al., 2004). Disebut sebagai faktor pembatas karena N dan P sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah yang besar namun ketersediaanya sedikit dan tidak mencukupi (Barnes dan Hughes, 1988). Seperti yang dicontohkan oleh Mackentum (1969), bahwa karena kedua unsur tersebut dibutuhkan oleh fitoplankton dalam jumlah yang besar yaitu berkisar 0.203-0.790 µg-at N/L dan 0.029-0.587 µg-at P/L, namun ketersediaannya kecil yaitu 0.01-50 µg-at N/L dan lebih kecil dari 0.01 µg-at P/L di permukaan dan pada laut dalam lebih besar 3 µg-at P/L. Besar kecilnya unsur-unsur tersebut dalam perairan sangat bergantung dari masukan dari luar perairan seperti sungai, resapan tanah, pencucian ataupun erosi, serta sistem pembentukan yang berlangsung di badan air itu sendiri (Parsons et al., 1984). Implikasi Pada Terumbu Karang dan Produktivitas Perikanan Kesehatan ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan. Hampir dijumpai di seluruh dunia, penuruan densitas dan keanekaragaman karang berhubungan dengan meningkatnya laju pengayaan nutrien (eutrofikasi) di perairan laut (Costa Jr. et al., 2008; Fabricus et al., 2005). Tingginya nutrien di perairan merusak ekosistem terumbu karang dan biodiversity (Edinger et al., 1998; Hatcher, 1997). Walaupun diakui oleh banyak ilmuwan bahwa karang tidak hanya dibatasi pada lingkungan yang oligotrofik, kebutuhan akan nutrien yang berlebihan tidak begitu penting bahkan memiliki efek samping. Hal ini juga diperkuat oleh konsensus bahwa aktifitas biologi dari komunitas planktonik (yang dipengaruhi oleh nutrien) tidak sepenting komunitas bentik pada sebuah ekosistem terumbu karang yang sehat (Costa Jr et al., 2008). Pengayaan nutrien di perairan (sering disebut sebagai eutrofikasi atau nutrifikasi) sekitar terumbu karang berakibat pada ketidakseimbangan pertukaran nutrien antara zooxanthella (alga simbiosis) dengan rumah karangnya (the host coral). Selain itu, pengayaan nutrient diperairan juga memberikan beberapa dampak pada 72
kesehatan terumbu karang melalui pengurangan daya penetrasi cahaya akibat dari pertumbuhan fitoplankton. Meningkatnya fitoplankton yang cukup besar akan mengganggu bahkan merusak settlement dari larva karang, termasuk kemungkinan menurunnya tingkat kelangsungan hidup larva karang akibat pemangsaan bilamana terjadi perkembangan plankton karnivora (larva-larva ikan). Perubahan struktur komunitas fitoplankton ini berakibat pada kerentanan sumber pangan laut di kawasan terumbu karang khususnya produksi larva ikan. Metode Penelitian Lokasi penelitian yaitu, kawasan konservasi laut daerah Wakatobi (Gambar 3) dan Kapoposang. Penentuan posisi/titik stasiun penelitian selama pengamatan menggunakan GPS (Global Positioning System) berdasarkan jarak.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di KKLD Wakatobi
73
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di KKLD Kapoposang Populasi dan Teknik Sampel Pengambilan contoh (air dan biota) akan dilakukan pada tiap stasiun. Adapun peralatan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Pengukuran berbagai parameter dilaksanakan di lapangan (in situ) dan di laboratorium. Pengambilan sampel larva ikan akan menggunakan jaring 500 µ secara horisontal panjang kolom air yang ditempuh antara 3 – 5 meter. Sampel yang tersaring akan dikumpulkan dalam botol sampel dan diawetkan dengan formalin (10%) untuk identifikasi di laboratorium. Pengambilan sampel air untuk nutrien menggunakan Botol Niskin volume 5 liter pada kedalaman 5 meter di bawah permukaan laut, untuk keperluan pengukuran nutrien jenis N, P, dan Si (1.5 – 2 liter sampel air laut). Sampel air untuk nutrien akan disimpan pada botol sampel nutrien. Pengambilan sampel nutrien dilakukan dengan menyaring air sampel dengan saringan GF/F (0.7 µm) dan dengan menggunakan vacum pump (tekanan 200 mm Hg). Hasil filter untuk nutrien 100 74
ml diikat HgCl2 200 µl. Selanjutnya sampel tesebut disimpan dalam kotak dingin (cool box) dan dibawa ke laboratorium untuk analisa selanjutnya. Penyaringan dilakukan sejam setelah pengambilan sampel. Tabel 1. Parameter, metode, dan alat yang digunakan Parameter
Tmpt.
Sumber
Satuan
Metode
Alat
Ind/m3
Jaring 500 µ
Makroshop
Lab
mgL-1
Reduksi Cadmium
Spektrofotometer
Lab.
Aminot dan Rey, 2000
UV A1800Shimadzu
Lab.
Grasshoff,
analisis
Utama 1.Larva Ikan 2.NO3-N 3.NO2-N 4.NH3-N
mgL-1 mgL-1 -1
5.PO4-P 6.Silika
mgL
mgL-1
Sulfanilamid Amonium Molibat Stanous Klorida
Spektrofotometer UV A1800Shimadzu Spektrofotometer
UV A1800Molybdosilica Shimadzu te Spektrofotometer UV A1800Shimadzu Spektrofotometer UV A1800Shimadzu
75
APHA, 1986 et al. 1983; sda
Lab. Lab. Lab.
sda sda
Hasil Dan Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi dengan pendekatan kualitatif ditemukan 3 jenis biota yang dominan yaitu telur larva, larva ikan, dan crustacea. (Tabel 2). Tabel 2. Jenis dan Indeks Keanekaragaman larva selama pengamatan di Teluk Perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi Lokasi
Jenis
Σn
H’ 3
[Ind/m ] Taman Wisata Wakatobi
Nasional Telur
Taman Pulau Kapoposang
229
1.0
Larva ikan
189
0.7
Crustacea
108
1.1
Telur
96
1.0
Larva ikan
16
0.7
Crustacea
82
1.1
Hasil analisis indeks keanekaragaman menunjukkan bahwa Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi memiliki keanekaragaman yang tergolong rendah untuk batasan jenis larva ikan karena nilainya kurang dari satu (<1), sedang untuk jenis telur dan crustacea tergolong sedang dengan nilainya berkisar 1 - 3 atau antara 1.0 hingga 1.1 (Tabel 2.). Sedangkan untuk kelimpahan dari 3 jenis larva yang ditemukan tertinggi diperoleh pada perairan Taman Nasional Wakatobi (Gambar 4). Jenis telur larva memiliki kelimpahan yang lebih tinggi yaitu 229 ind/m3, kemudian terendah dari jenis-jenis crustacea yaitu sebanyak 108 ind/m3. Tingginya kelimpahan larva ini tidak terlepas dari adanya perlindungan kawasan sebagai taman nasional sehingga biodiversity relatif terpelihara baik karena terdapat sinergisitas erat antara pengelolaan kawasan daratan dan pesisir/laut. Selain itu, tingginya kelimpahan Larva sebagai indikator terpeliharanya ekosistem terumbu karang pada Taman Nasional wakatobi, dimana ekosistem terumbu karang ini sebagai area pemijahan berbagai jenis ikan. Hal ini didukung pula bahwa berdasarkan Indeks Keragaman Ikan Karang (RPTNW, 2008) menunjukkan ± 942 spesies di wilayah Wakatobi.
76
Peringkat ini menempatkan Wakatobi pada kategori keanekaragaman hayati sama dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan di Komodo.
Gambar 4. Grafik Kelimpahan Larva di Perairan Taman Nasional Wakatobi dan Taman Wisata Pulau kapoposang Hal sebaliknya, kelimpahan larva ikan pada perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang tergolong rendah yaitu 16 ind/m3. Rendahnya kelimpahan larva ini diakibatkan tingginya angka kerusakan terumbu karang. COREMAP (2005) melaporkan kondisi terumbu karang di Kabupaten Pangkep 74,26% dalam kondisi rusak dan hanya 25,74% dalam kondisi baik dari total luas keseluruhan terumbu karang sebesar 27.027,71 ha. Kondisi ini sangat memprihatinkan, bukan saja kita kehilangan sumber keanekaragaman plasma nutfah, ekosistem pendukung kehidupan dan penyangga sumberdaya pangan, tapi juga hampir sekitar 53.355 jiwa lebih terancam kehilangan mata pencaharian.
77
Variabilitas Nutrien Berdasarkan hasil pengamatan kandungan nutrien yang didapatkan dalam penelitian rata-rata dari kedua lokasi yang diamati sangat bervariasi, seperti yang disajikan pada Gambar 5.
12
TN. Wakatobi 10
8
6
4
Konsentrasi [µM]
2
0 10
TW. Kapoposang
8 2
0 NO3
NO2
NH3 NH4+
PO4
Si
Gambar 5. Grafik Variabilitas Nutrien di Perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi Konsentrasi nitrat tertinggi didapat pada lokasi Taman Nasional Wakatobi yaitu dengan rata-rata konsentrasi 1.06±0.105 µM. Sedangkan terendah pada lokasi Taman Wisata Pulau kapoposang dengan rata-rata konsentrasi 0.41±0.039 µM. Tingginya kandungan nitrat di Perairan Taman Nasional Wakatobi disebabkan karena letak stasiun yang lebih berdekatan dengan pulau Hoga dan pulau Kaledupa sehingga banyak menerima limpasan dari kedua pulau tersebut.
78
Nitrat merupakan faktor pembatas bagi produktivitas di laut, sesuai dengan pernyataan Mackenthum (1969) bahwa bila kandungan nitrat lebih dari 0.1 mg/l masih dapat digunakan untuk pertumbuhan fitoplankton sedangkan kurang dari 0.1 mg/l merupakan faktor pembatas bagi perairan tersebut. Hasil pengamatan fosfat (Gambar 5) terlihat bahwa konsentrasi fosfat nampaknya lebih tinggi di perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang yaitu dengan rata-rata konsentrasi 1.33±0.127 µM, sedangkan rata-rata konsentrasi di Taman Nasional wakatobi 0.78±0.066 µM. Hal ini diperkirakan akibat adanya proses resuspensi sedimen yang dapat melarutkan sebagain kandungan fosfat dalam partikel ke kolom air. Untuk konsentrasi silika tertinggi ditemukan di Perairan Taman Nasional Wakatobi dengan rata-rata konsentrasi 9.70±0.919 µM dan terendah di Taman Wisata Pulau Kapoposang yaitu rata-rata konsentrasi 8.87±0.042 µM. Tingginya konsentrasi silika ini, juga terkait dengan input daratan. Hasil pengukuran konsentrasi silika menunjukkan bahwa nutrien ini memiliki konsentrasi sangat tinggi dibanding nitrat dan fosfat. Karena terpengaruh oleh kondisi seasonal seperti musim hujan dan musim peralihan, dimana waktu pengambilan sampel dilakukan pada bulan Pebruari dan Maret. Parameter silika ini, juga merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya, terutama dibutuhkan oleh Diatom (Bacillariophyceae) untuk pembentukan dinding sel. Keberadaan fitoplankton di daerah terumbu karang ini akan memicu pula peningkatan zooplankton sebagai produksi sekunder bagi benih ikan. KESIMPULAN Perbedaan konsentrasi nutrien di perairan Taman Wisata Pulau Kapoposang dan Taman Nasional Wakatobi berkorelasi erat terhadap kelimpahan larva ikan. Perbedaan karakter lingkungan antar habitat memberikan pengaruh terhadap komposisi larva yang tertangkap selama pengamatan. Penetapan kawasan konservasi laut perairan pulau Kapoposang sebagai Taman Wisata dan perairan Wakatobi sebagai Taman Nasional memberikan manfaat tidak langsung yakni melindungi habitat ikan sebagai bagian yang penting untuk perkembangbiakan jenis ikan komersial. Kawasan ini juga memberikan tempat berlindung bagi ikan yang tidak dapat diberikan oleh sarana pengelolaan lainnya sehingga dapat mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan komersial.
79
DAFTAR PUSTAKA Aminot, A., Rey, F., 2006. Standard procedure for the determination of chlorophyll a by spectroscopic methods. International Council for the Exploration of the Sea, Denmark. [APHA] American Public Health Association. 1986. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water Including Bottom Sediment and Sludges. 12th ed. New York: Amer. Publ. Health Association Inc. Barnes, R.S.K. and R.N. Hughes. 1988. An Introduction to Marine Ecology. Blackwell Scientific Publication, London. Cebrian. J. 2002. Variability and Control of Carbon Consumption, Export and Acumulation in Marine Communities. Limnology Oceanography. 47(1):1112. Chester, R. 1991. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd, Australia. Costa Jr, O. S., M. Nimmo, and E.Cordier. 2008. Coastal nutrification in Brazil: A review of the role of nutrien excess on coral reef demise. Journal of South American Earth Sciences 25(2): 257-270. De’ath, G., J.M. Lough, and K.E. Fabricus. 2009. Declining coral calcification on the Great Barrier Reef. Science 323, 116-119. Drever, J.L. 1997. The geochemistry of natural waters:surface and groundwter environments. Lebanon USA: Prentice Hall. Edinger, E. N., G. V. Limmon, J. Jompa, Widjatmoko, Wisnu, Heikoop, Jeffrey. M.J, Risk, J. Michael. 2000. Normal Coral Growth Rates on Dying Reefs: Are Coral Growth Rates Good Indicators of Reef Health? Marine Pollution Bulletin 40(5): 404-425. Edinger, E.N., J. Jompa, G.V. Limmon, W. Widjatmoko, and M.J. Risk. 1998. Reef degradation and coral biodiversity in Indonesia: Effects of land-based pollution, destructive fishing practices and changes over time. Marine Pollution Bulletin 36(8), 617-630. Effendi, H. 2003. Telaahan Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fabricus, K., G. De’ath, L. McCook, E. Turak, and D.McB. Williams. 2005. Changes in algal, coral and fish assemblages along water gradients on the inshore Great Barrier Reef. Marine Pollution Bulletin 51, 384-398.
80
Hatcher, B.G. 1997. Coral reef ecosystems: how much greater is the whole than the sum of the parts? Coral Reefs 16, S77-S91. Heisler, J., P.M.Glibert, J.M.Burkholder, D.M.Anderson, W.Cochlan, W.C. Dennison, Q. Dortch, C.J. Gobler, C.A. Heil, E. Humphries, A. Lewitus, R.Magnien, H.G. Marshall, K. Sellner, D.A. Stockwell, D.K. Stoecker, M.Suddleson. 2008. Eutrophication and harmful algal blooms: A scientific consensus. Journal Harmful Algae. xxx; xxx-xxx Jassby, A.D. and J.E. Cloern. 2000. Organic Matter Sources and Rehabilitation of the sacramento – San Joaqiun Delta (California, USA). Aquat. Conserv. Mar. Freshw. Ecosyst. 10: 323-352. Kaswadji, R.F. 1999. Pengaruh angin terhadap penyebaran biomassa fitoplankton di Teluk Pelabuhan Ratu. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia: VI(2): 61-72. Lagus, A., Suomela, J., Wethoff, G., Heikkila, K., Helminen, H., and Sipura, J. 2004. Species-Specific Differences in Phytoplankton Responses to N and P Enrichment and The N:P ratio in The Archipelago Sea, Northern Baltic Sea. Journal of Plankton Research., 26 (7), 779-798. Libels, S.M. 1992. An Introduction to Marine Biogeochemistry. J.Wiley and Sohn, Inc. Mackenthum, K.M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United States Department of Interior, Federal Water Pollution Control Administration, Division of Technical Support. Mann, K.H. dan J.R.N. Lazier. 1991. Dynamics of Marine Ecosystems. Boston: Blackwell Scientific Publication. May, C.L., J.R. Koseff, L.V. Lucas, J.E. Cloern, and D.H. Schoellhamer. 2003. Effects of Spatial and Temporal Variability of Turbidity on Phytoplankton Blooms. Mar. Ecol. Prog. Ser. 254: 111-128. McCook L.J. 1999. Macroalgae, nutrients and phase shifts on coral reefs: scientific issues and management consequences for the Great Barrier Reef. Coral Reefs 18, 357-367. Millero, F.J. and M.L. Sohn. 1992. Chemical Oceanography. CRC Press. Boca Raton Ann Arbort London.. Nikolsky, G,V. 1963. The Ecology of Fishes. London: Academic Press. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Alih
81
Bahasa; M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, dan M. Hutomo. Jakarta: Gramedia. Odum, E.P 1971. Fundamental of E Cology. Third Edition. Philadelphia and London: W.B. Sounders Company. Parsons, T.R., M. Takahashi, and B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Processes. Third Edition. Oxford: Pergamon Press. Balai Taman Nasional Wakatobi, 2008. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 1998 – 2023 (Revisi Tahun 2008). Rixen T., A. Baum, T. Pohlmann, W. Balzer, J. Samiaji, and C. Jose. 2008. The Siak, a tropical black water river in central Sumatra on the verge of anoxia. Biogeochemistry 90, 129-140. Statham, P.J. 2012. Review : Nutrien in estuaries-An overview and the potensial impacts of climate change. Science of the Total Environment 434; 213227. Thurman, H.V. Company.
1993.
Essential of Oceanography.
Macmillan Publishing
Valiela, I. 1984. Marine Ecologycal Processes. Springer-Verlag. New York.
82
KAWASAN KONSERVASI LAUT DAN PREVALENSI PENYAKIT KARANG DI INDONESIA
Pendahuluan
Rahmi, Jamaluddin Jompa dkk.
Kerusakan terumbu karang di dunia menjadi persoalan utama untuk segera diselesaikan. Perubahan aktivitas alam seperti pengasaman laut, naiknya temperatur akibat perubahan iklim, penangkapan ikan berlebih dan polusi tutupan karang dunia telah munurun hingga sekitar 125.000 kilometer persegi dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang. Biolog laut, seperti Charlie Veron, mantan kepala peneliti di Australian Institute of Marine Science, memprediksi bahwa terumbu karang akan hilang dalam satu abad kedepan. Tahun 2014 inipun, pemutihan karang massal, dimana karang kehilangan protozoa simbiotik-nya dan semakin rentan akan penyakit dan kematian - terjadi di sepanjang pesisir Indonesia, Filipina, dan beberapa pulau Karibia. Terumbu karang saat in bukan lagi menghadapi gangguan atau bencana alam namun pengaruh antropogenik yang menjadi "dampak antropogenik yang kronis", merupakan gangguan yang konstan dan bertahan dalam kurun waktu lama. Dampak antropogenik saat ini membuat kemampuan alami karang untuk pulih tidak bisa menahan bertambahnya kematian karang yang terus terpicu akibat gangguan manusia. Ancaman terhadap terumbu karang biasanya disebabkan oleh polusi dari pupuk, limbah, racun buatan manusia, sedimentasi dan eksploitasi yang berlebihan.Sedangkan ancaman secara globalnya adalah kenaikan suhu air laut.Karena terumbu hidup di wilayah yang berada di atas batas temperatur di pesisir-pesisir pantai. Sehingga perubahan suhu yang kecil sekalipun, 1-2 derajat celsius saja dalam beberapa minggu dapat mengakibatkan kematian. Karang dapat hidup dalam batas toleransi suhu berkisar dari 20 sampai 30 derajat selsius. Suhu kritis yang dapat menyebabkan karang memutih tergantung dari penyesuaian karang tersebut terhadap suhu air laut rata-rata daerah dimana ia hidup. Karang cenderung memutih apabila suhu meningkat tajam dalam waktu yang singkat atau suhu meningkat perlahan-lahan dalam jangka waktu yang panjang. Gangguan alam yang lain yang dapat menyebabkan pemutihan karang yaitu tingginya tingkat sinar ultra violet, perubahan salinitas secara tiba-tiba, kekurangan cahaya dalam jangka waktu yang lama, dan penyakit.
83
Beberapa jenis penyakit karang yang menyerang karang, antara lain, White band disease (WBD) yang menginfeksi Acropora palmata di Santa Croix (Gladfelter et al.,, 1977), White plague (W) yang menginfeksi Montastrea di Key Largo (Dustan, 1977) dan Dark spot yang menginfeksi Siderastrea sidereal di Karibia (Goreau et al.,, 1998). Dalam dua dekade, penyakit karang telah meningkat baik jumlah, spesies yang terinfeksi dan daerah penyebarannya (Goldberg and Wilkinson (2004). Infeksi penyakit ini umumnya terjadi ketika karang mengalami stress akibat tekanan dari lingkungan, seperti pencemaran, suhu tinggi, sedimentasi, nutrient yang tinggi terutama nitrogen dan senyawa carbon, predator, kompetisi dengan alga yang pertumbuhannya sangat cepat, dan kondisi fisiologis yang lemah setelah terjadi pemutihan (Antonius and Lipscomb. 2001; Raymundo et al., 2008; Aeby et al., 2011). Bedasarkan hasil penelitian sebelumnya, penyakit pada karang dapat mengakibatkan kerusakan, bahkan sampai kematian pada karang. Green and Bruckner (2000) melaporkan bahwa White band disease menyebabkan kematian karang Acropora cervicornis sebesar 85% pada tahun 1980 di U.S. Virgin island. Hasil penelitian di wilayah Indo-Pasifik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penyakit secara temporal di beberapa lokasi. Monitoring penyakit karang yang telah dilakukan dalam kurun waktu tahun 1998-2003 menunjukkan peningkatan penyakit white syndrome sebesar 20 kali lipat di terumbu karang Great Barrier Reef , Australia (Willis et al., 2004). Raymundo et al., (2006) mengemukakan pada dua lokasi di Filipina diperoleh total prevalensi penyakit mencapai 19,9%, dengan prevalensi tertinggi 53,7% pada penyakitporites ulcerative white spot (PUWS) dan growth anomaly mencapai 39,1% (Kaczmarsky, 2006). Pendekatan Morfologi dan Analisa Penyakit Karang Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2013 sampai Januari 2014.Analisis karakteristik morfologi penyakit dari karang yang terinfeksi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Pengamatan distribusi dan Prevalensi penyakit pada kawasan konservasi laut dilakukan di Pulau Kapoposang dan di Pulau Sarappo Lompo.Analisis Kualitas Air dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Tahap persiapan yang dilakukan meliputi pengumpulan informasi awal mengenai kondisi lokasi penelitian dan dijadikan acuan guna pengambilan data terdiri atas studi pustaka mengenai lokasi survey. Penetapan stasiun penelitian berdasarkan kepada keterwakilan zona konservasi yaitu Pulau Kapoposang dan zona diluar
84
konservasi yaitu Pulau Sarappo Lompo. Pengamatan Distribusi penyakit didasarkan kepada kedua pulau tersebut. Tabel 1. Posisi Geografis Lokasi Penelitian Lokasi penelitian
Lintang
Pulau Kapoposang Site 1 Site 2 Site 3 Pulau Sarappo Lompo Site 1 Site 2
85
Bujur
04042’39.0” 04041’34.4” 04041’55.0”
118057’78.7” 118056’93.7” 118056’87.2”
04053’15.8” 04052’99.0”
119015’61.6” 119015’59.7”
Gambar 1. Lokasi Penelitian (P. Kapoposang dan P. Sarappo Lompo) Pengambilan data sebaran penyakit dilakukan dengan menggunakan metode sabuk transek (belt transect) berukuran 20x2 meter pada kedalaman 3-10 meter (Woesik et al.,, 2009, Raymundo et al.,, 2008). Sabuk transek dipasang pada sisi pulau yang mempunyai penutupan karang tinggi. Pengamatan penyakit dilakukan secara langsung didalam transek. Identifikasi karang berdasarkan petunjuk Suharsono (1996) dan Veron (2000), sedangkan identifikasi penyakit mengikuti petunjuk Raymundo et al.,, (2008), Weil dan Hooten (2008), Beedan et al.,, (2008) dan Galloway (2009).
86
Gambar 2.Potensi Kawasan Konservasi Laut di Pulau Kapoposang
87
Ancaman Kepunahan dan Lingkungan yang Tak Ramah Monitoring penyakit karang telah dilakukan sejak tahun 1998 di terumbu karang Great Barrier Reef Australia menunjukkan peningkatan 20 kali lipat penyakit WS dalam kurun waktu 1998-2003 (Willis et al.,, 2004). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di pulau Kapoposang dan Sarappo Lompo dengan mengambil lokasi pada 3 titik yang berbeda, penyakit pada karang batu yang ditemukan di pulau tersebut terdiri dari 3 yaitu black band disease (BBD), brown band disease (BRB) dan growth anomaly (GA).
Gambar 3.Prevalensi Karang yang sakit dan karang yang sehat di Pulau Kapoposang dan Sarappo Lompo. Berdasarkan Gambar 3 diatas terlihat bahwa di Pulau Kapoposang dan Pulau Sarappo Lompo memiliki prevalensi penyakit karang yang lebih kecil dibandingkan dengan karang yang sehat. Prevalensi pada penyakit karang merupakan persentase koloni yang terserang penyakit.Prevalensi dapat diketahui dengan menghitung jumlah koloni yang terinfeksi penyakit dari jumlah seluruh koloni (Raymundo et al., 2008). Karang yang terinfeksi banyak ditemukan pada kedalaman 1-3 meter di daerah tubir (upper reef slope) sementara pada kedalaman 5-7 meter (reef slope) tidak banyak
88
ditemukan penyakit karang.Penyakit brown band disease banyak ditemukan pada karang Acropora sp, dan black band disease ditemukan pada jenis karang Porites sp dan Pachyseris sp sedangkan growth anomaly hanya ditemukan pada jenis karang Fungia sp (Gambar 4). Penelitian Raymundo et al.,, (2006) menunjukkan total prevalensi penyakit mencapai 8,3% pada 8 lokasi terumbu diperairan Filipina, dengan prevalensi tinggi yaitu 53,7% oleh porites ulcerative white spot dan growth anomaly mencapai 39,1%. Selama penelitian juga ditemukan kelompok Compromised Health (CH) yang menjadi pengganggu bagi kesehatan karang tetapi tidak dikategorikan sebagai penyakit karang.Kelompok CH berasal dari biota seperti Drupella sp, Achantaster plancii, bekas gigitan ikan dan kompetisi dengan alga. Hasil penelitian yang dilakukan diperoleh data bahwa kelompok CH banyak ditemukan di Pulau Sarrappo Lompo, dengan adanya kompetisi karang dengan alga serta karang dengan predator Achantaster plancii dengan nilai total kelimpahan sebesar 0,13 kol.m-2, keberadaan A. plancii ditandai juga dengan adanya bekas jejak memutih pada setiap koloni karang yang dilewatinya. Kelompok CH selain dapat mematikan karang juga dapat menjadi vector penyakit bagi karang.Rodjan and Lewis (2008) meyatakan pemangsa pada karang seperti ikan, Drupella sp, Achantaster plancii berpotensi sebagai vector bagi infeksi penyakit yang diakibatkan oleh bakteri. Kondisi ini juga ditemukan pada daerah upper reef slope di pulau kapoposang tetapi kelimpahannya 0,06 kol.m2. Pemangsaan pada umumnya dari pangkal cabang ke ujung cabang oleh Drupella comus dan Acanthaster plancii kadang memulaidari tepi pinggiran khusus pada karang Acropora tabulate (Beeden et al., 2008).
89
B
A
D
C
E
F
Gambar 4. Penyakit pada karang (A) BBD pada Pachyceris sp (B) BBD pada Porites sp (C dan D) BRB pada Acropora sp (E) Pemangsaan pada Fungia sp (F) GA pada Fungia sp. Karang Acropora sp tersebut ditemukan pada daerah dangkal (±1,5m) sehingga rentan mengalami stress akibat adanya perubahan kondisi lingkungan seperti suhu, intensitas cahaya dan partikel terlarut yang tinggi. Apabila kondisi perairan berarus lemah atau perairan tenang suhu dan intensitas cahaya juga akan secara optimal sampai ke dasar perairan dan dapat mengakibatkan karang menjadi stress sehingga mudah terinfeksi penyakit. Alasan utama meningkatnya penyakit karang adalah stress akibat lingkungan dan climate change (Harvell et al., 2002; Lesser et al., 2007). Keduanya sangat rentan terhadap penyakit karang(Lesser et al., 2007) dan peningkatan patogenitas dari komunitas mikroba (Rosenberg & Ben-Haim, 2002).Peningkatan suhu yang tinggi menyebabkan zooxanthella terlepas dari karang sehingga karang mengalami stres, akibatnya mudah terinfeksi oleh penyakit (Ben-Haim et al., 1999). Penyakit karang menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan komunitas karang serta memperlihatkan kecenderungan peningkatan infeksi penyakit pada karang dalam kurun waktu 2005 – 2007 di perairan Taman Nasional Laut Wakatobi (Haapkyla et al., 2007).Hasil studi terbaru berdasarkan data Reef Check, menunjukkan Kawasan konservasi laut (KKL), suatu kawasan dimana kegiatan perikanan dan kegiatan lain yang berpotensi merusak diatur dengan baik, mampu memberikan bonus bagi ekosistem terumbu karang yaitu 90
membantu terumbu untuk pulih dari berbagai akibat ancaman terhadap kondisi kesehatan karang. Marine reserves are known to be effective conservation tools when they are placed and designed properly. Kawasan konservasi laut merupakan alat konservasi yang efektif jika didesain dan ditempatkan secara tepat. Baik bagi sumber daya ikan, maupun untuk nelayan.Kawasan konservasi laut (KKL)mengidentifikasian wilayah-wilayah terumbu karang yang kurang rusak dan meninjau ulang sistem zonasi dan batasan-batasan.
Gambar 5. Fluktuasi rata-rata bulanan dari curah hujan, suhu, lama penyinaran cahaya matahari dan kecepatan angin pada tahun 2013 (Stasiun Klimatologi Kelas 1 Maros) Berdasarkan Gambar 5, data rata-rata bulanan pada tahun 2013, diperoleh data kecepatan angin pada saat penelitian (Agustus-Desember 2013) sedang mengalami peningkatan yang dimulai dari bulan Juli hingga sampai September (14 knot). Data curah hujan memperlihatkan bahwa curah hujan tertinggi pada tahun 2013 adalah di bulan Desember (720 mm) dan mengalami penurunan pada bulan Agustus-Oktober. Data suhu mengalami kenaikan pada bulan Mei (27,7°C) dan pada bulan September-November (27,6°C). Adapun data lama penyinaran matahari sedang mengalami peningkatan sejak bulan Agustus 2013 (86%) hingga Oktober 2013 (87%) dan mencapai puncaknya paada bulan September (93%). Kondisi terjadinya peningkatan suhu, lama penyinaran matahari, dan kecepatan angin (pada saat pengambilan data) ,
91
dapat memicu terjadinya penyakit karang di kawasan Kawasan konservasi laut Kapoposang. Meningkatnya prevalensi dari penyakit karang dapat dikaitkan dengan perubahan anomali suhu laut oleh karena pemanasan global. Hal ini mungkin juga dikarenakan kegiatan yang berhubungan dengan: pariwisata yang berlebihan melalui kontruksi dari resort, dan kegiatan rekreasi yang tidak diatur seperti: scuba diving, snorkling, berjalan di terumbu. Terumbu karang harus dianggap dan dimasukkan ke dalam rencana.Manajemen. Untuk menghemat daya laut tak ternilai: kita harus mengadopsi keberlangsungan konsep kawasan konservasi laut bukannya kegiatan pariwisata secara random. Kawasan Konservasi dan Keberlanjutan Ekosistem Terumbu Karang Faktor utama yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia karena kurangnya kepedulian masyarakat untuk menjaga dan melestarikan ekosistem ini. Kawasan konservasi laut (KKL) memberikan wawasan kepada masyarakat dan menanamkan kepedulian untuk bersama-sama menjaga ekosistem pesisir yang ada disekitarnya.. Dengan program KKL, masyarakat akan dirangsang untuk mengembangkan kearifan lokal, peningkatan rasa memiliki terhadap ekosistem terumbu karang sehingga akan berkembangnya metode penangkapan yang ramah lingkungan dan lestari. Selain itu, akan berkembang pula mata pencaharian alternatif selain penangkapan seiring berkembangnya wawasan masyarakat pesisir. Hughes (2010) mengemukakan "kunci untuk menyelamatkan terumbu terletak di dalam pemahaman kita mengapa beberapa terumbu mengalami degenerasi menjadi hamparan rumput laut dan tidak bisa pulih lagi - kejadian yang disebut "perubahan fase", sementara di terumbu lain karang-nya mampu pulih kembali dengan sukses - sebuah kemampuan yang disebut daya lenting atau resiliensi. Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Kapoposang dan pulau Sarappo Lompo sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pangkep perlu diteliti sehingga menjadi dasar bagi penentuan kawasan konservasi sebagai salah satu cara untuk mengurangi resiko penyakit karang. Kawasan konservasi menjadi salah satu dasar utama sumberdaya alami untuk menarik wisatawan diseluruh dunia (Bonn et al. ,2005). Industri pariwisata sangat bergantung kepada lingkungan yang menarik dan sehat dalam penjualannya. Penelitian yang dilakukan oleh Shafer and Inglis (2000) telah melaporkan bahwa faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi kunjungan di Great Barrier Reefs (GBR) adalah interaksi dari staff dan kualitas dari terumbu karang serta ikan. Dengan demikian terdapat motivasi yang kuat dalam melindungi dan melestarikan karang sebagai 92
subjek yang menarik bagi pariwisata. Marine Protected Areas (MPAs) merupakan strategi manajemen yang dapat digunakan dalam meningatkan ketahanan ekosistem pesisir dan melindungi terumbu karang.. Meskipun secara langsung MPA tidak bisa melindungi terumbu karang dari pemutihan dan penyakit lainnya, sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan ketahanan terumbu karang dengan melindungi terumbu karang dari gangguan antropogenik lainnya. Sebagai contoh dampak antropogenik seperti: peningkatan nutrisi, polusi, penyelam dan kerusakan kapal, sedimentasi dan penangkapan yang berlebihan dapat dikurangi. Pengurangan tekanan langsung ini memberikan kontribusi terhadap ketahanan sumber larva yang penting bagi pemulihan terumbu karang (Grimsditch and Salm, 2006). Efek berikutnya dari kematian terumbu karang adalah berubahan ekosistem terumbu akibat adanya penyakit, yang selanjutnya mengakibatkan perubahan berantai lingkungn laut. Terumbu karang telah bertahan dari perubahan lingkungan selama jutaan tahun.Namun laju perubahan lingkungan global dewasa ini dapat terjadi dalam kecepatan yang tak terduga akibat aktifitas manusia. Sehingga nasib terumbu karang di masa depan akan semakin tak menentu. Beberapa penelitian juga mengangkat beberapa tempat dimana terumbu karang yang berbalik pulih akibat adanya usaha pencegahan dampak manusia terkait penurunan karang di masa lalu. Sebagai contohnya, mengakhiri buangan limbah di Teluk Kanehoe di Hawaii telah memungkinkan karang untuk pulih; kembalinya populasi bulu babi di beberapa bagian kepulauan Karibia telah memungkinkan karang untuk bangkit 'melawan' rumput laut; dan di Filipina regulasi yang lebih efektif untuk penangkapan ikan berlebih telah memungkinkan ikan kakatua untuk pulih kembali - sejenis ikan terumbu yang membantu karang pulih dengan memakan rumput laut (makroalga) kompetitor karang.Krisis terumbu karang dunia umumnya terkait juga dengan krisis kepemerintahan, sebab kita telah mengetahui apa saja yang perlu dilakukan, namun aksi atau tindakan (untuk mengurangi polusi, menekan emisi gas rumah kaca, mencegah penangkapan berlebih dan merusak) tidak dilakukan. Studi tersebut juga menyarankan agar pemangku kebijakan dapat melibatkan para peneliti yang memahami studi kesehatan terumbu karang dalam pengembangan kebijakan terkait penyelamatan terumbu karang. Sebagai tambahan, pemerintah sebaiknya fokus dalam pendidikan masyarakat lokal, perubahan mekanisme tata guna lahan dalam mencegah lepasan polusi, memperkuat hukum untuk melindungi terumbu karang, memperbaiki pengaturan penangkapan berlebih, dan bekerja dengan institusi internasional, seperti Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dalam penyediaan perlindungan yang lebih baik bagi
93
karang yang terancam punah.Namun tentunya, satu bongkahan batu besar lainnya adalah perubahan iklim. Dalam masa pengasaman laut saat ini, sebab meingkatnya emeisi karbon serta menghangatnya temperatur laut - akan membawa keterpurukan terumbu karang meskipun tindakan yang mendukung bagi kesehatan karang dilakukan. Kesimpulan Penyakit karang menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan komunitas karang serta memperlihatkan kecenderungan peningkatan infeksi penyakit. Meningkatnya penyakit karang disebabkan kurangya kepedulian masyarakat untuk menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang. Salah satu cara mengurangi terjadinya kerusakan terumbu karang yakni dengan mendorong terbentuknya kawasan konservasi laut. Rekomendasi Untuk melindungi Terumbu Karang sebaiknya perlu dibentuk kawasan konservasi sebagai salah satu cara untuk mengurangi resiko penyakit karang. Meningkatkan peran masyarakat untuk terlibat aktif di dalam upaya menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang. Mendorong pemerintah agar siap menghadapi perubahan iklim sebagai isu utama yang paling penting bagi pengelolaan dan konservasi terumbu karang dengan menekan tajam emisi gas rumah kaca.
94
Daftar Pustaka Aeby, G.S., Williams, G.J., Franklin, E.C., Kenyon, J., Cox, E.F., Coles, S and TM Work. 2011. Patterns of Coral Disease Across the Hawaiian Archipelago: Relating Disease to Environment. PloS ONE 6(5):e20307. Alker AP, Smith GW and Kim K. 2001. Characterization of Aspergyllus sydoii (Thom et church), a fungal phatogen of Carribean sea fan corals. Hydrobyologia. 460:105-111. Antonius, A., and Lipscomb, D. 2001. First Protozoan Coral Killer Identified in The Indo-Pacific. Atoll Research Bull 21:481-493. Beeden, R., Willis, B.L., Raymundo, L.J,m Page, C.A., and Weil, E. 2008. Underwater Cards for Assessing Coral Health on Indo-Pacific Reef. CRTR Program Project Executing Agency, Center for Marine Studies. The University of Queensland. Australia. Ben-Haim, Y., Banin, E., Kushmaro, A., Loya, Y. and Rosenberg, R. 1999.Inhibition of Photosynthesis and Bleaching of Zooxanthellae by The Coral Pathogen Vibrio shiloi. Environ. Microbiol. 1:223-229. Bonn, M. A.; Joseph, S. and Dai, M. 2005. An empirical analysis of ecogeneralists visiting Florida: 1998–2003. Tourism Analysis, 10: 165- 185. Bryant D, Burke L, McManus J and Spalding M. 1998. Reef at Risk : a map based indicator of threats to the Worlds coral reefs. Washinton DC: World Resource Institute. 56p. Galloway, S.B., Bruckner, A.W. and Woodley, C.M. (eds.). 2009. Coral Health and Disease in the Pasific: Vision for Action. NOAA Technical Memorandum NOS NCCO97 and CRCP 7.National Oceanic and Atmospheric Administration, Silver Spring, MD 314 pp. Goldberg, J. And Wilkinson, C. 2004. Global Threats to Coral Reef: Bleaching, Climate Change, Disease, Predator Plagues, and Invasive Spesies. GCRMN. 25 p. Grimsditch, G. D. and Salm, R. V. 2006. Coral Reef Resilience and Resistance to Bleaching. IUCN. Gland, Switzerland. 52pp. Green E and Bruckner AW. 2000. The Significant of Corals Disease Epizoothyology for Coral Reef conservation. Biologycal Conservation. 96:347-361. Haapkyla, J., Seymour, A.S., Trebilko, J., Smith, D. 2007. Coral Disease Prevalence and Health in The Wakatobi Marine Park, South-east Sulawesi, Indonesia. Marine Biologi U.K. 87:403-414. Haapkyla, J., Unsworth, R.K.F., Seymour, A.S., Thomas, J.M., Flavel, M., Willis, B.L., Smith, D.J. 2009. Spation-Temporal Coral Disease Dynamics in the Wakatobi Marine National Park. South-East Sulawesi Indonesia. Disease of Aquatic Organisme 87: 105-115.
95
Harvell CD, Mitchell CE, Ward JR, Altizer S, Dobson AP, Osfeld RS, Samuel MD. 2002. Climate warming and disease risks for terrestrial and marine biota. Science 296:2158-2162. Harvell, C.D., Aronson, A., Baron, N., Connell, J., Dobson, D., Ellner, S., Gerber, L., Kim, K., Kuris, A., McCallum, H., Lafferty, K., McKay, B., Porter, J., Pascual, M., S,ith, G., Sutherland, K., Ward, J. 2004. The rising tide of ocean disease: unsolved problems and research priorities. Review Front Ecol Environ 2(7): 375-382. Hughes,T.P., Nicholas A.J. Graham., Jeremy B.C. Jackson., Peter J. Mumby, and Robert S. Steneck. 2010. Rising to the challenge of sustaining coral reef resilience. Trends in Ecology and Evolution.Vol.25 No.11. Jompa, J., 1996. Monitoring and Assessment of Coral Reefs in Spermonde Archipelago, South Sulawesi, Indonesia.Thesis.McMaster University. Canada. Kaczmarsky, L.T. 2006. Coral Disease Dynamics in the central Philipines. Disease of Aquatic Org. 69 (1): 9-21. Kaczmarsky, L. T., Draud, M., and Williams, E.H. 2005. Is there a Relationship Between Proximity to Seawage Effluent and the Prevalence of Coral Disease, Carib. Jour. Sci. 41:124-137. Kuta, K.G and Richarson, LL. 2002. Ecological aspect of black band disease of corals: relationship between disease incidence and environmental factors. Corals reefs. 21:393-398. Lesser MP, Bythell JC, gates RD, Johnstone RW, Hoegh-Guldberg O. 2007. Are infectious disease really killing corals? Alternative interpretations of the experimental and ecological data. J Exp Mar Biol Ecol 346:36-44. Massinai, A. 2012.Kondisi dan Sebaran Penyakit pada Karang batu (Stony coral) di Kepulauan Spermonde.Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Makassar. Myers, R.L. and Raymundo, L. 2009. Coral Disease in Micronesian Reefs: a Link Between Disease Prevalence and Host Abudance. Dis Aquat Org 87: 77104. Nugus, M.M., and Bak, R.P.M. 2009. Brown-Band Syndrome of Feeding Scars of the Crown-of-Thorn Starfish Acantasterplanci. Coral Reef 28:507-510. Page C and Willis B. 2006. Distribution, host range and large scale spatial variability in black band disease prevalence on the Great Barrier Reef Australia. Dist Aquatic. Org. 69;41-51. Raymundo, L.J., Maypa, A.P., Rosell, K.B., Cadiz, P.L., and Rojas, P.T. 2006. A Survey of Coral Disease Prevalence in Marine Protected Areas andFished Reefs of the Central Viisayas, Philippines. Global Environment Facility
96
Targeted Research and Capacity Building for Coral Reef Management Project, Coral Disease Working Group. Raymundo, L.J., Couch, C.S., and Harvell, C.D. 2008. Coral Disease Handbook: Guidelines for Assessment, Monitoring & Management, Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management Program. The University of Queensland. Australia. Rutzler K and Santavy DL. 1983. The black band disease of Atlantic reef corals. Description of the cyanophyte pathogen. PSZNI:Mar. Ecol 4:301-319. Rodriguez S and Croquer A. 2008. Dynamic of Balck Band Disease in A Diploria strigoza population Subjectedto Annual Upwelling on The Notrherns cost of Venezuela. Coral Reefs. 27, 381-388. Rodjan RD and Sara M lewis, SM. 2008. Impact of Corals Predator on Tropicals Reefs. Marine Ecology Progress series. 367:73-91. Rosenberg E, Ben-Haim Y. 2002. Microbial disease of corals and global warming. Environ Microbiol 4:318-326. Rogers, C. S. 1990. Responses of coral reefs and reef organisms to sedimentation.Mar. Ecol. Prog. Ser., 62:185-202. Sato Y, Bourne D and Willis B. 2009. Dynamic of Seasonal Outbreaks of Black band disease in an asembalges of Montipora sp in Pelorus Island (Great Barrier reef, Australia). Proc R Soc Lond B. 276: 2795-2803. Sabdono, A. dan Radjasa, O.K. 2006.Karakterisasi Molekuler Bakteri yang Berasosiasi dengan Penyakit BBD (Black Band Disease) pada Karang Acropora sp di Perairan Karimunjawa.Ilmu kelautan 11(3): 158-162 Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum di Jumpai di Indonesia. LIPIP3O Proyek Penelitian dan Pengembangan Daerah Pantai. Jakarta. Shafer,C.S and Inglis, G.J. 2000. Influence and Social, biophysical and manajerial conditions on tourism experience within the Great barrier Reff World Heritage Area Environ. Manag., 26: 73-87. Toren A, Landau L, Kushmaro A. Loya Y and Rosenberg E. 1998. Effect of temperature on adhesion of VibrioStrain AK-1 to Oculina patagonica and on coral bleaching. Appl Environ Microbial 64:1379-1384. Willis, B.L., Page, C.A., Dinsdale, E.A. 2004. Coral Diseaseon the Great Barrier Reef .Coral Disease and Health. (Rosenberg E, & Loya Y, eds). pp 69-104. Springer-Verlag. Berlin. Williams, D.N. and Miller, M.W. 2005. Coral Disease Outbreak: Pattern, Prevalence and Transmission in Acropora cervicormis. Marine Ecology Progress Series 301: 119-128. Weil, E. 2004. Coral Reef Disease in the Wider Caribbean. In: E. Rosenberg and Y. Loya (eds.) Coral Reef and Disease. 35-68.
97
Weil E, Smith, G.W., Gil-Agudelo, D.L. 2006. Status and progress in coral reef disease research. Dis Aquat Org 69: 1-7. Weil, E., and Crocuer, A., Urreiztieta, L. 2009. Temporal Variability and Impas of Coral Disease and Bleacing in La Parguera, Puerto Rico from 2003-2007. Caribbean Journal Science 45: 221-246. Weil, E., and Hooten, A.J. 2008.Underwater Cards for Assessing Coral Health on Caribbean Reef.CRTR Program Project Executing Agency, Center for Marine Studies.The University of Queensland. Australia. Woesik, R.V, J.Gilner, Hooten AJ. 2009. Standar Operating Procedure for Repeated Measures of Process and State Variables of Corals Reef Environment. CRTR and Capacity Building for management Program.The University of Quensland. Australia. Zvuloni A, Artzy Randrup Y, Stone L, Kramarsky-Winter E,barkan R and Loya Y. 2009. Spatio Temporal Transmission Pattern of Black Band Disease in A Corals Community. PLoS ONE (4) 4:1-10.
98