II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Kawasan Konservasi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) adalah kawasan konservasi laut
yang berada dalam wilayah kewenangan pemerintah daerah dan ditetapkan serta dikelola oleh daerah mulai dari tahap perencanaan, penetapan, pengelolaan serta monitoring dan evaluasi (DKP 2007). Tujuan penetapan kawasan konservasi adalah untuk terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati laut dan ekosistem sehingga dapat menjamin keberlanjutan fungsi ekologis jangka panjang, dan juga sebagai suatu kawasan untuk pemanfaatan sumberdaya alami bagi kepentingan rekreasi, wisata pendidikan, penelitian serta bentuk lainnya yang tidak bertentangan dengan prinsip konservasi. Idealnya kawasan konservasi di integrasikan dengan sistem pengelolaan pesisir agar terjadi kontrol yang efektif untuk menghambat ancaman yang berasal dari hulu dan menjaga kualitas air (Done dan Reichelt 1998). Suatu
kawasan
yang
dilindungi
harus
dijamin
keberadaannya
dari
pemanfaatan sumberdaya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan sebagai pengelolaan dari penggunaan manusia terhadap “biosphere” untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan tetap memelihara potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang akan datang (IUCN 1980 in Salm 1984).
2.1.1. Landasan hukum Landasan hukum penetapan dan pengelolaan suatu kawasan perlu adanya peraturan yang menguatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar kegiatan tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat. Peraturan yang menjadi landasan hukum bagi pengelolaan kawasan konservasi antara lain : a. Undang-Undang RI No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 18 Ayat 3 menyatakan bahwa kewenangan bidang kelautan dan perikanan bagi daerah Kabupaten yaitu seluas 4 mil laut atau 1/3 dari wilayah perairan propinsi (12 mil). Kewenangan-kewenangan dimaksudkan
6
meliputi : eksplorasi, ekploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan kepentingan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah; bantuan penegakan keamanan dan kelautan negara. b. Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 1 menyatakan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. c. Undang-Undang RI No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Klasifikasi penataan ruang dijelaskan pada Pasal 4 bahwa penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis karyawan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang dijelaskan pada Pasal 6 ayat (1) bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan : 1. Kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana 2. Potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya. Politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan 3. Geostrategi, geopolitik dan geoekonomi d. Peraturan Pemerintah RI No. 60 tahun 2007 Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan Kawasan konservasi perairan yang dinyatakan pada Pasal 1 Ayat 1 adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara
7
berkelanjutan. Pembagian zonasi menurut pasal 17 ayat 4 terdiri dari zona inti; zona perikanan berkelanjutan; zona pemanfaatan; dan zona lainnya. e. Peraturan Menteri kelautan dan perikanan RI No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kawasan konservasi yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 8 adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Kewenangan pengelolaan kawasan yang dimaksud pada pasal 24 dapat dilaksanakan oleh: 1. Pemerintah untuk kawasan konservasi nasional; 2. Pemerintah daerah provinsi untuk kawasan konservasi provinsi; dan 3. Pemerintah
daerah
kabupaten/kota
untuk
kawasan
konservasi
kabupaten/kota.
2.1.2. Sistem zonasi kawasan konservasi laut daerah Sistem zonasi kawasan konservasi laut adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan ekosistem (DKP 2007) Sebagai upaya dalam mengakomodasi semua keinginan dan kebutuhan pihak pengguna kawasan, seperti pengembangan pariwisata, perikanan dan nilai-nilai konservasi serta kebutuhan suatu Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) adalah hal yang cukup sulit. Kegiatan pemanfaatan di suatu Kawasan Konservasi dapat sejalan dan selaras dengan konservasi, sepanjang adanya pengelolaan yang baik. Walau begitu, kerusakan dapat juga terjadi akibat pembangunan sarana fisik di KKLD. Hingga saat ini penataan zona kawasan konservasi laut belum optimal karena kelangkapan data dan informasi dasar dari sumberdaya pesisir yang ada belum optimal. Penataan zonasi kawasan konservasi laut merupakan pembagian kawasan
8
atas berbagai zona yang mencerminkan adanya suatu perlakuan tertentu di masingmasing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan untuk optimalisasi fungsi dan peruntukan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistim pada setiap bagian kawasan (Sriyanto 1998 in Ila 2010). Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak mudah dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi hal ini dapat ditunjukkan oleh titik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan dibatasi secara jelas untuk menegaskan batasannya (Laffoley 1995 in Ila 2010). Sedangkan sistem zonasi yang dimaksud adalah PP No.60 tahun 2007 tentang konservasi Sumberdaya Ikan, terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan , dan zona lainnya sesuai dengan keperluan. Zonasi tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut : 1. Zona inti merupakan DPL yang dibentuk oleh masyarakat dan bila dianggap masih kecil, maka dapat ditambah jumlah dan luasnya. Zona ini diperuntukkan bagi: (a) perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, (b) penelitian, dan (c) pendidikan. 2. Zona Perikanan Berkelanjutan
merupakan zona yang memiliki nilai
konservasi, tetapi dapat bertoleransi dengan pemanfaatan oleh pengguna (nelayan dan pembudidaya), dan juga zona yang mempunyai potensi untuk berbagai pemanfaatan yang ramah lingkungan. Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi : (a) perlindungan habitat dan populasi ikan, (b) penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan. (c) budidaya ramah lingkungan, (d) pariwisata dan rekreasi, (e) penelitian dan pengembangan, dan (f) pendidikan. 3. Zona pemanfaatan akan ditentukan supaya selaras dengan berbagai pemanfaatan yang ada dalam kawasan dan sesuai dengan tujuan KKLD. Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi: (a) perlindungan habitat dan populasi ikan, (b) pariwisata dan rekreasi, (c) penelitian dan pengembangan, dan (d) pendidikan
9
4. Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain: zona perlindungan, zona rehabilitas dan sebagainya.
2.2.
Larva Ikan Iktioplankton berasal dari kata ichthyes (ikan) dan plankton (pengembara)
yang artinya ikan yang masih bersifat palnktonis. Istilah iktioplankton muncul setelah beberapa ahli mulai membedakannya dengan plankton berdasarkan istilah ichthyes untuk ikan. Dalam golongan plankton, organisme ini dikategorikan sebagai meroplankton atau plankton sementara, dimana hanya sebagian dari hidupnya bersifat sebagai plankton. Adapun setelah dewasa mereka menjalani kehidupan sebagai perenang-perenang yang aktif yang sudah masuk dalam kategori nekton (Olii 2003). Mengingat pentingnya iktioplankton ini bagi kegiatan perikanan khususnya konservasi, lokasi penemuan telur dan larva ikan merupakan petunjuk dimana dan berapa luas daerah pemijahan (spawning ground) jenis ikan tertentu sebagai informasi dasar dalam menentukan kawasan konservasi. Mantiri (1995) in Olii (2003) mengatakan bahwa Iktioplankton adalah organisme ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva, Namun ada juga yang menggunakan istilah ini pada ikan yang sudah berada pada stadia juvenil yang masih bersifat planktonis. Iktioplankton sebagai tahapan awal perkembangan sejak dari stadia telur, larva dan juvenil ikan merupakan awal dari daur hidup ikan. Menurut Nontji (2008) larva ikan yang baru saja menetas umumnya berbentuk transparan, belum bisa mencari makanan sendiri serta fungsi mulut dan saluran pencernaannya belum berkembang dengan sempurna. Pada saat seperti itu, larva ikan masih bergantung pada cadangan makanan yang berupa kuning telur. Pada tahap ini tingkat mortalitas tinggi karena peka terhadap predator dan perubahan lingkungan seperti suhu, salinitas bahkan ketersediaan makanan di alam. Dengan demikian pada tahap ini pula yang menentukan kelangsungan hidup satu spesies maupun populasi ikan tersebut.
10
2.3.
Perancangan Ruang Kajian Marxan Marxan (Marine Reserve Design using Spatially Explicit Anealling)
dikembangkan sebagai sebuah produk pengembangan Spexsan untuk memenuhi kebutuhan Great Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA) (Ball dan Possingham 2000). Ide yang mendasari
pengembangan MARXAN ini adalah
permasalahan perencanaan konservasi dalam menentukan daerah konservasi karena daerah perencanaan yang berpotensi cukup luas sehingga banyak kemungkinan daerah yang akan dipilih sebagai daerah konservasi. Perangkat lunak Marxan adalah sebuah perangkat lunak yang dapat digunakan untuk membantu merancang sebuah kawasan perlingdungan laut. Hal ini karena Marxan dapat memberikan bantuan dalam menentukan daerah konservasi berdasarkan data dan skenario perencanaan yang telah disiapkan secara otomatis (Darmawan dan Darmawan 2007). Penggunaan Marxan sangat mudah bagi pengguna baru karena prosesnya didesain secara otomatis sehingga pengguna dapat mencoba berbagai skenario perencanaan kawasan yang berbeda dan dapat melihat seperti apa hasilnya, dari hasil tersebut Perencana dapat memilih skenario terbaik untuk perencanaan (Meerman 2005). Perangkat lunak ini menggunakan algoritma simulated annealing, yang memiliki cara kerja terbagi menjadi 3 bagian, yaitu literatif improfment, random backward dan repetition. Ketiga langkah algoritma tersebut berfungsi mencari nilai cost yang paling rendah. Dengan kombinasi ketiga langkah tersebut, memastikan bahwa lokasi yang terpilih adalah lokasi yang terendah. Algoritma simulated anealling menjalankan fungsi obyektif yang merupakan kombinasi sederhana dari nilai cost terpilih dan nilai penalty untuk yang tidak memenuhi target konservasi (Ball dan Posingham 2000).
= Keterangan : Cost
+
×
+
(
×
)
: Nilai cost (biaya) yang terpilih di planing unit yang dapat diukur i = 1,2,…,n; n adalah banyaknya satuan perencanaan.
11
BLM
Boundary SPF Penalty
Langkah
: Boundary lenght modifier, adalah kontrol penting dari batas relatif cost terpilih di planing unit. BLM bernilai 0 maka boundary lenght tidak dimasukkan dalam fungsi obyektif. : Batas dari area terpilih/perimeter ke-i : Species penalty factor, yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i apabila target tiap spesies tidak terpenuhi : Nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektfi untuk setiap target tidak terpenuhi pada setiap perencanaan ke-i, penalti ini opsional, dapat tidak dimasukkan dalam fungsi obyektif
awal
dalam
penentuan
kawasan
konservasi
yaitu
dengan
mengidentifikasi daerah target sebagai dasar dalam skenario perencanaan yang hendak dilakukan. Kemudian daerah target dirubah menjadi planing units atau unit perencanaan. Planing units sendiri adalah blok blok atau petakan petakan lokasi yang dalam evaluasi marxan sebagai pertimbangan untuk dipilih sebagai solusi (Loos 2006). Loos (2006) menyatakan bentuk yang dapat digunkan dalam membentuk planing units dapat berupa segitiga, persegi empat, dan hexagon (Gambar 2). Bentuk yang paling banyak digunakan untuk analisis Marxan adalah hexagon karena bentuk yang lebih natural, mendekati bentuk lingkaran dan memiliki rasio tepi yang rendah (Gaselbarcht et al. 2005). Selain itu planing units yang menggunakan hexagon memiliki keluaran (output) yang lebih halus dibanginkan dengan bentuk planing units lainnya (Miller et al. 2003). Hexagon juga memiliki perimeter yang lebih rendah terhadap luasan dibandingkan dengan persegi empat dengan area yang sama (Warman 2001 in Azhar 2010). Selain Cost dan SPF, BLM merupakan merupakan salah satu faktor dalam menentukan fungsi obyektif penentuan kawasan konservasi. BLM (Boundary Lenght Modifier) merupakan pengaturan dalam Marxan untuk membuat batasan perimeter kawasan konservasi. Tinggi rendahnya BLM akan berpengaruh terhadap perimeter dan area yang muncul dalam solusi (Loos 2006). BLM rendah akan menghasilkan perimeter yang lebih besar (Gambar 3.a), sedangkan BLM yang tinggi, areal terpilih akan lebih luas dan terfokus serta memiliki perimeter yang lebih kecil (Gambar 3.c). Dengan BLM yang kecil, marxan akan terkonsentrasi meminimalkan planning unit cost, sedangkan BLM yang besar akan memberikan tekanan pada penurunan Boundary Lenght (Steward dan Possingham 2005).
12
a.
b.
c.
d.
Gambar 2. Grid unit perencanaan dalam Marxan. (a) bentuk segitiga, (b) bentuk persegi, (c) bentuk hexagon, (d) bentuk octagons (Sumber : Loos 2006)
Gambar 3. Pengaturan BLM. a) BLM rendah, b) BLM sedang, c) BLM tinggi (Sumber: Loos 2006)
Penentuan nilai BLM ini akan bervariasi dari suatu daerah dengan daerah lain. Nilai BLM dipilih berdasarkan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari
13
analisis yang dilakukan (Possingham et al. 2000). Dengan kata lain tidak ada parameter yang menentukan nilai BLM, nilai ini ditentukan berdasarkan eksperimen dan memperhatikan bentang alam hasil dari Marxan untuk menemukan desain yang diharapkan sehingga memberikan keleluasaan pada perencana kawasan konservasi dalam menentukan hasil terbaik untuk kegiatan pengambilan keputusan. Hasil terbaik dalam menentukan solusi kawasan konservasi adalah desain yang terfokus dan mengumpul, karena desain tersebut lebih efeketif, dapat memudahkan pengelolaan dan juga memudahkan untuk di aplikasikan di lapang dibandingkan dengan desain solusi yang menyebar. Menurut Diamond (1975) atas dasar teori biogeografi pulau, ada 7 prinsip desain yang sangat efektif dalam perencanaan perlindungan, antara lain sebagai berikut
Gambar 4. Prinsip desain kawasan perlindungan (sumber: Diamond 1975)
14
Menurut Diamond 1975, ada sembilan prinsip desain kawasan perlindungan, antara lain adalah kawasan perlindungan yang besar lebih baik dibandingkan dengan kawasan yang lebih kecil dengan bentuk yang sama (Gambar 4a), bentuk yang mengumpul lebih baik daripada bentuk yang tersebar walaupun dengan ukuran yang sama (Gambar 4b), bentuk yang menyebar namun berdekatan lebih baik daripada bentuk yang menyebar berjauhan walau dengan ukuran yang sama (Gambar 4c), bentuk yang mengumpul lebih baik daripada bentuk yang terpisah memanjang namun tidak berhubungan (Gambar 4d), bentuk yang terpisah namun berhubungan lebih baik daripada bentuk yang terpisah namun tidak berhubungan (gambar 4e), bentuk yang mengumpul lebih baik daripada bentuk yang menjang berhubungan (Gambar 4e). Walaupun sebelumnya banyak menghasilkan perdebatan ekologi, yang dikenal dengan SLOSS (single large or several small reserves) sebagian besar dari prinsip ini telah diterima sebagai desain jaringan kawasan konservasi pada modern biogeografi studies for the design of natural preveses dan telah banyak diterapkan hingga sekarang. Penerapan Marxan telah digunakan untuk mendukung perancangan kawasan konservasi laut dan darat di seluruh dunia. Namun Marxan lebih dikenal untuk digunakan dalam merancang jaringan konservasi pada ekosistem terumbu karang di daerah tropis dan subtropis (Fernandes et al. 2005). Beberapa zonasi kawasan konservasi di indonesia telah menggunakan Marxan. Hal ini dilakukan karena Marxan mempunyai beberapa keunggulan antara lain: 1. Software MARXAN dapat dengan mudah terintegrasi dengan program Arcview, dengan tersedianya ekstensi-ekstensi yang memudahkan pembuatan planing unit, file-file yang diperlukan MARXAN serta otomatisasi pembuatan shapefile hasil perhitungannya 2. Mempunyai skenario luas dan terbuka, berbagai skenario dapat dikembangkan agar tercipta sebuah bentuk kawasan konservasi yang sesuai dengan yang diinginkan. 3. Transparan, seluruh proses dilakukan secara algoritma matematis, sehingga alurnya dapat diikuuti dalam kerangka ilmiah. Selain itu juga
15
berbagai faktor, baik ekologi maupun sosial dapat menjadi input dalam perhitungan. 4. Bisa mengadopsi penataan zonasi menurut PP No. 60 tahun 2007 dan Permen No. 17 tahun 2008. Sebagai software buatan manusia, marxan masih terdapat kekurangan, yaitu Marxan belum bisa menjelaskan secara rinci tentang konektivitas secara ekologi, karena marxan mengidentifikasi wilayah hanya berdasarkan biaya terendah. Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa cara yang bisa dilakukan (Smith et al. 2009) yaitu meningkatkan nilai BLM secara bertahap sampai daerah yang terpilih cukup untuk menjamin tingkat konektivitas yang tinggi, menambah zona inti diantara zona sebelumnya, membagi wilayah perencanaan terhadap target yang ditetapkan untuk mewakili setiap spesies. Sebagai referensi untuk meningkatkan tingkat konektifitas yang tinggi, tingkat konektivitas dapat dinilai dengan menggunakan model biofisik yang mampu memperkirakan lintasan larva dari daerah pemijahan ke daerah pembesaran bagi beberapa spesies yang termasuk sebagai target fitur konservasi (Van der Molen et al. 2007). Menurut Palumbi (2004) bahwa konektivitas dapat dilihat dengan mengetahui jarak lintasan yang dapat dilalui oleh telur dan larva ikan, serta daerah jelajah biota tersebut (Tabel 1).
Tabel 1. Perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi 2004) Jarak (km)
Dewasa
Larva
>1000
Spesies migrasi besar
Banyak spesies
100-1000
Ikan pelagis besar
Beberapa spesies
10-100
Hampir semua ikan dasar, ikan pelagis
Hampir
kecil
invertebrata
Ikan dasar kecil, beberapa invertebrata
Alga, plankton, beberapa ikan
dasar
Invertebrata
Species yang menerap, spesies dengan
bersosialisasi langsung
1-10
<1
karakteristik habitat khusus
semua
ikan,
dasar
dan
yang