II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prospek Karet Alam Olahan Getah karet atau lateks diperoleh secara teknis melalui penyadapan pada kulit batang karet.5
Penyadapan ini memerlukan teknik yang khusus untuk
mendapat volume produksi ataupun kualitas yang dihasilkan. Petani karet pada umumnya menghasilkan lateks dari hasil pengumpulan dan dijadikan berbagai bentuk menjadi bahan olahan karet (bokar) yang kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan milik negara ataupun swasta untuk menjadi jenis-jenis mutu karet yang lebih tinggi.
Beberapa jenis olahan karet yang terdapat di
Indonesia yaitu: 1. Bahan olahan karet (bokar) yang terdiri dari lateks kebun, sheet angin, slab tipis, lump segar dan lump tanah. 2. Karet konvensional terdiri dari ribbed smoked sheet (RSS) dan berbagai jenis crepe. 3. Lateks pekat. 4. Karet bongkah atau block rubber. 5. Karet Spesifikasi Teknis (TSR) atau crumb rubber. Anwar (2005) dalam disertasinya yang berjudul “ Prospek Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional : Suatu Analisis Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor” menyimpulkan bahwa secara umum prospek karet alam Indonesia di pasar internasional sangat bergantung pada : (1) Efesiensi pasar karet alam, baik pasar karet alam domestik maupun pasar dunia, (2) Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar, (3) Pertumbuhan ekonomi di negara konsumen, harga minyak mentah dunia dan rasio harga karet sintetik dan alam, (4) Perkembangan daya saing ekspor dengan negara produsen atau eksportir lainnya, distribusi pasar, dan jenis produk, (5) Pemilihan daerah pemasaran yang responsif terhadap perubahan harga atau pendapatan.
5
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 2007. www.deptan.go.id [16 Juli 2010]
Maklumat (2005) dalam “ Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Ekspor Karet Alam Indonesia”. Variabel-variabel yang diduga dibentuk ke dalam model simultan ke dalam model ekspor dan impor karet alam Indonesia. Berdasarkan model double log untuk persamaan jumlah ekspor alam Indonesia ke pasar internasional, diperoleh bahwa variabel produksi tahunan karet alam Indonesia memiliki pengaruh yang nyata dengan nilai signifikansi 0,01 persen sedangkan untuk variabel dummy krisis moneter memiliki pengaruh yang nyata dengan nilai signifikansi 0,05 persen. Untuk persamaan jumlah permintaan impor karet alam Indonesia di pasar internasional, diperoleh konsumsi karet alam dunia berpengaruh nyata dengan nilai eksogen tertinggi diantara eksogen lainnya. Untuk persamaan harga ekspor karet alam Indonesia diperoleh variabel harga riil karet alam di pasar internasional berpengaruh sangat nyata, sedangkan variabel harga riil ekspor karet alam Indonesia pada tahun sebelumnya berpengaruh nyata. Berbeda metode analisis penelitian, dilakukan oleh Zebua (2008) tentang Integrasi Pasar Karet Alam Indonesia dan Dunia dengan metode Granger Causality Test berbasis pada VEC (Vector Error Correction) diperoleh hubungan kausalitas antar harga karet RSS pada jangka pendek lebih dipengaruhi oleh pasar Singapura dan Malaysia, sehingga pasar Singapura dapat dijadikan acuan harga karet RSS. Adapun karet TSR 20 lebih banyak dipengaruhi oleh pasar New York, sehingga pasar New York dapat dijadikan acuan harga karet TSR 20. Analisis Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) yang dilakukan menunjukkan pengaruh dari guncangan harga karet sintetik terhadap harga RSS dan TSR20 pada jangka pendek memberikan dampak yang positif terhadap harga karet RSS di Indonesia, sedangkan dampak guncangan nilai tukar Rupiah negatif. Sumber keragaman harga karet alam Indonesia memiliki cerminan bahwa harga ekspor karet RSS dan TSR 20 dipengaruhi oleh keragamannya sendiri, sedangkan pengaruh dari karet sintetik dunia dan nilai tukar Rupiah hanya memberikan kontribusi pengaruh berkisar antara 0 - 12 persen. Harga sintetik dunia memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap keragaman harga karet RSS di Indonesia jika dibandingkan dengan nilai tukar Rupiah. Sebaliknya, untuk
10
harga karet TSR 20, nilai tukar Rupiah memberikan pengaruh yang besar daripada harga sintetik dunia. Metode regresi yang dilakukan oleh Lestari (2010) tentang Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor Karet Alam Indonesia, hasil regresi untuk model volume ekspor karet alam Indonesia menunjukkan variabel-variabel yang mempengaruhi volume ekspor.
Penelitian ini juga
bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik negara – negara tujuan ekspor Indonesia. Alat analisis yang digunakan persamaan regresi model log ganda metode OLS yang menunjukkan variabel-variabel tersebut secara berurutan dari yang paling berpengaruh signifikan pada taraf lima persen yaitu volume produk domestik, volume konsumsi domestik, dan harga karet sintetis dunia. Volume produksi domestik juga menjadi satu-satunya variabel yang bersifat elastis terhadap volume ekspor karet alam Indonesia. Berdasarkan penelitian terdahulu, menunjukkan karet alam memiliki jenisjenis yang berbeda dan dapat diolah ke dalam beberapa bentuk yang dapat dimanfaatkan untuk berbagi kebutuhan. Sisi permintaan dan penawaran karet sangat dipengaruhi oleh harga karet, jumlah produksi dan nilai tukar rupiah terhadap nilai mata uang asing.
2.2 Pengembangan Karet Alam Olahan Untuk mengantisipasi kekurangan karet alam yang akan terjadi, diperlukan suatu inovasi baru dari hasil industri karet dengan mengembangkan nilai tambah yang bisa di peroleh dari produk karet itu sendiri. Nilai tambah produk karet dapat diperoleh melalui pengembangan industri hilir dan pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri kayu. Barang jadi dari karet terdiri dari atas ribuan jenis dan dapat diklasifikasikan atas dasar penggunaan akhir (end use) atau menurut saluran pemasaran (market channel). 6 Pengelompokan yang umum dilakukan adalah menurut penggunaan akhir yaitu : (1) ban dan produk terkait serta ban dalam,
(2) barang jadi karet untuk
industri, (3) barang karet kemiliteran, (4) alas kaki dan komponennya, (5) barang 6
Gambaran Sekilas Industri Karet. Departemen Perindustrian. www.depperin.go.id [2 Juni 2010]
11
jadi karet untuk penggunaan umum dan (6) kesehatan dan farmasi. Ragam produk karet yang dihasilkan dan diekspor oleh Indonesia masih terbatas, akan tetapi umumnya masih didominasi oleh produk primer (raw materials) dan produk setengah jadi. Jika dibandingkan dengan negara-negara produsen utama karet alam lainnya, seperti Malaysia dan Thailand, ragam produk karet Indonesia tersebut lebih sedikit. Pada awalnya, produk karet Indonesia, baik dari perkebunan rakyat maupun perkebunan besar, diekspor dalam bentuk karet konvensional terutama RSS (Uhendi, 2006).
Unit-unit pengolahan RSS dibangun di sentra-sentra
produksi karet rakyat. Namun pada tahun 1968, pemerintah memperkenalkan teknologi pengolahan karet remah (crumb rubber) dengan kodefikasi “Standard Indonesian Rubber” (SIR) yang merupakan karet spesifikasi teknis. Selanjutnya, pabrik crumb rubber swasta bermunculan menggunakan bahan baku dari perkebunan karet rakyat. Agroindustri crumb rubber sangat cepat berkembang dan saat ini hampir seluruh perkebunan karet rakyat hanya menghasilkan bahan olah karet sebagai bahan baku untuk agroindustri crumb rubber yang umumnya terpusat di kota–kota besar.
Berdasarkan teknologi yang ada, pabrik crumb
rubber mampu mengolah bokar yang relatif bervariasi mutunya menjadi SIR 20. Potensi nilai tambah produk karet dapat diperoleh melalui pengembangan industri hilir dan pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri kayu (Gambar 3). Terlihat bahwa cukup banyak ragam produk yang dapat dihasilkan dari lateks, utamanya non ban, sedangkan ragam produk dari kayu karet tidak sebanyak dari lateks. Akan tetapi, sampai saat ini potensi kayu karet tua belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan kayu karet merupakan peluang baru untuk meningkatkan margin keuntungan dalam industri karet. Pada saat tidak hanya getah karet saja yang diminati oleh konsumen tetapi kayu karet sebenarnya juga banyak diminati oleh konsumen baik dari dalam negeri maupun luar negeri, karena warnanya yang cerah dan coraknya seperti kayu ramin. Di samping itu, kayu karet juga merupakan salah satu kayu tropis yang memenuhi persyaratan ekolabeling karena komoditi ini dibudidayakan (renewable) dengan kegunaan yang cukup luas, yaitu sebagai bahan baku perabotan rumah tangga, particle board, parquet, MDF (MediumDensity Fibreboard) dan lain sebagainya.
12
Karet busa Sarung tangan medis Karet untuk peralatan medis Sarung tangan untuk industri Sarung tangan untuk rumah tangan Kondom Benang Karet Balon Dan lain-lain
Lateks Pekat Lateks Dadih Ribbed Smoked Sheets (RSS)
Lateks
Pale Crepes SIR 3CV, SIR 3L, SIR 3WF Pohon Karet
SIR 10, SIR 20
Ban dan ban dalam Alas kaki Komponen karet untuk otomotif Komponen karet untuk barang elektronik Produk karet untuk industri Selang dan pipa karet Karet penggunaan umum
Thin Brown Crepes (Remills) Estate Brown Crepes (Compo) pakaian
Koagulum Lapangan
Think Blanket Crepes (Ambers) pakaian Flat Bark Crepes Arang, Kayu gergajian, pulp
Kayu
Furniture
Gambar 3. Pohon Industri Karet Sumber: Departemen Pertanian (2010)
2.3 Strategi Pengembangan Produk Perkebunan Pasaribu
(2005)
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
Strategi
Pengembangan Bisnis Minyak Kelapa Sawit (CPO), Studi Kasus di PT Socfindo, Provinsi Sumatera Utara dilatarbelakangi oleh jumlah luas areal tanaman menghasilkan perusahaan ini untuk kelapa sawit yang kecil jika dibandingkan dengan luas tanaman menghasilkan perkebunan perusahaan lain, berkurangnya produksi TBS akibat kurangnya pengawasan pada waktu panen dan adanya pencurian
buah
sawit
yang
dilakukan
oleh
pihak-pihak
yang
tidak
bertanggungjawab. Strategi yang dapat dilakukan antara lain penetrasi pasar, pengembangan pasar dan produk.
Hasil matriks QSP menunjukkan bahwa
13
strategi memperluas areal perkebunan sawit dan memberikan nilai tambah kepada produk hilir kelapa sawit adalah strategi terbaik yang dapat dijalankan oleh perusahaan. Sama halnya dengan Pasaribu, Siregar (2007) melakukan penelitian dengan analisis SWOT dan QSPM dengan judul Formulasi Strategi Bisnis Karet Alam Olahan (Studi Kasus: PT Hevea Indonesia, Desa Nanggung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Strategi-strategi yang dihasilkan dari matriks SWOT sedikit berbeda dari penelitian Pasaribu (2005) yaitu penetrasi pasar di Jawa Barat dan Lampung, penambahan alat-alat produksi, peningkatan diversifikasi produk dan membuka kebun lahan baru di provinsi Lampung, pembenahan sistem manajemen SDM, pelatihan tenaga kerja, dan pembentukan divisi Research and Development.
Hasil matriks QSP menunjukkan bahwa
strategi optimalisasi kegiatan produksi terpilih sebagai alternatif strategi prioritas tertinggi yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing PT Hevea Indonesia dalam industri karet alam olahan. Berbeda komoditi perkebunan dengan Sinaga (2008), menganalisis Strategi Pengembangan Bisnis Ekspor Teh Hitam, Studi Kasus Perkebunan Gunung Mas PTPN VIII, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Berdasarkan hasil
analisis yang dilakukan, faktor internal yang menjadi kekuatan utama Perkebunan Gunung Mas adalah memiliki perkebunan dan pabrik pengolahan sendiri, sistem organisasi yang terspesialisasi, produk sudah terstandarisasi berdasarkan sertifikasi ISO dan HACCP. Berdasarkan matriks QSP diperoleh prioritas strategi yaitu
meningkatkan
kerjasama
dengan
lembaga-lembaga
terkait
guna
meningkatkan mutu dan teknologi, meningkatkan kualitas produk untuk menghadapi ancaman pesaing dan produk substitusi, meningkatkan produktivitas pemetik, memperluas pangsa pasar, menekan biaya operasional perusahaan dan memperluas areal perkebunan yang masih tersedia. Berdasarkan penelitian terdahulu, menunjukkan pentingnya mengetahui strategi bisnis dalam suatu kegiatan agribisnis.
Penelitian ini mempunyai
persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya.
Persamaan dengan
Maklumat (2005), Anwar (2005), Zebua (2008) dan Lestari (2010) adalah komoditas yang diteliti adalah produk turunan dari karet sedangkan perbedaannya
14
pada alat analisis yang digunakan dan topik penelitian yang dilakukan. Alat analisis yang dipakai oleh Maklumat (2005), Anwar (2005), Zebua (2008) dan Lestari (2010) yaitu metode kuantitatif manajemen, sedangkan penelitian ini akan mengunakan metode kualitatif deskriptif manajemen strategi dan kuantitif dengan QSPM dalam penentuan prioritas strategi. Dari penelitian tentang karet dapat diketahui bahwa bisnis karet alam sangat dipengaruhi oleh harga karet alam dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu (2005), Siregar (2007), Sinaga (2008), dengan topik formulasi dan strategi bisnis dengan matriks SWOT dan QSPM. Berbeda dengan Siregar (2007) dan Pasaribu (2005) adalah lokasi perusahaan yang berbeda namun dengan Sinaga (2008) berbeda komoditi hanya saja sama-sama komoditi perkebunan dan ekspor.
Beberapa
strategi yang dapat dilakukan adalah pengembangan pasar dan produk dengan meningkatkan kualitas produk perusahaan.
Penelitian ini memperkaya dan
mendukung topik penelitian yang ada karena belum ada penelitian yang meneliti di PT ADEI CRI. Penelitian ini diketahui perubahan lingkungan yang dinamis membutuhkan strategi-strategi yang tepat bagi perusahaan dalam menghadapi persaingan usaha.
15