II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertanian Anorganik Pertanian modern atau pertanian anorganik merupakan pertanian yang menggunakan varietas unggul untuk berproduksi tinggi, pestisida kimia, pupuk kimia, dan penggunaan mesin-mesin pertanian untuk mengolah tanah dan memanen hasil. Paket pertanian anorganik tersebut yang memberikan hasil panen tinggi namun berdampak negatif terhadap lingkungan. Selain itu, residu yang dihasilkan oleh bahan-bahan kimia yang digunakan oleh pertanian anorganik telah mencemari air tanah sebagai sumber air minum yang tidak baik bagi kesehatan manusia. Hasil produk pertanian organik juga berbahaya bagi kesehatan manusia yang merupakan akibat penggunaan pestisida kimia (Sutanto, 2002). Menurut Ayatullah (2009) keberhasilan pertanian anorganik diukur dari berapa banyaknya hasil panen yang dihasilkan. Semakin banyak, semakin dianggap maju. Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, pada zaman Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengupayakan penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kesulitan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk dan pestisida yang semakin meningkat dan harga gabah dikontrol pemerintah. Petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan 7
memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Pertanian modern atau anorganik tidak menjadikan petani mandiri. Padahal, FAO (lembaga pangan PBB), telah menegaskan Hak-Hak Petani (Farmer‘s Rights) sebagai penghargaan bagi petani atas sumbangan mereka. Hakhak Petani merupakan pengakuan terhadap petani sebagai pelestari, pemulia, dan penyedia sumber genetik tanaman. 2.2. Pertanian Organik 2.2.1. Pengertian Pertanian Organik Pertanian organik merupakan sistem dengan ciri utama bekerja selaras dengan alam untuk mencukupi kebutuhan pangan sehat bagi umat manusia (Daryanto dalam Winangun, 2005). Sistem pertanian organik adalah suatu sistem produksi pertanian dimana bahan organik, baik makhluk hidup maupun yang sudah mati, merupakan faktor penting dalam proses produksi. Penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati serta pemberantasan hama, penyakit dan gulma secara biologis merupakan contoh penerapan sistem pertanian organik (Sugito dkk, 1995). Menururt Sutanto (2002), pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan “hukum pengembalian (law of return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberikan makanan pada tanaman. Filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip
memberi
makanan
pada
tanah
yang
selanjutnya
tanah 8
menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants), dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman. Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Hal ini berbeda dengan pertanian konvensional atau anorganik yang memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga segera diserap dengan takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman (Sutanto, 2002). 2.2.2. Kendala Pertanian Organik Pertanian organik masih sering dianggap sebagai pertanian yang memerlukan biaya mahal, tenaga kerja yang banyak, kembali pada sistem pertanian tradisional, serta hasil produksi yang rendah. Hal tersebut merupakan pemahaman yang keliru yang dinilai oleh masyarakat atau petani. Terdapat beberapa kendala mengenai pertanian organik, yaitu ketersediaan bahan organik terbatas dan takarannya harus banyak, menghadapi persaingan dengan kepentingan lain dalam memperoleh sisa pertanaman dan limbah organik, dan tidak adanya nilai tambah dari harga produk pertanian organik (Sutanto, 2002). 2.2.3. Tujuan Pertanian Organik Menurut Sutanto (2002) tujuan pertanian organik terdiri dari tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. 1.
Tujuan Jangka Panjang Tujuan jangka panjang yang akan dicapai melalui pengembangan
pertanian organik yaitu:
9
a.
Melindungi dan melestarikan keragaman hayati serta fungsi keragaman dalam bidang pertanian.
b.
Memasyarakatkan kembali budidaya organik yang sangat bermanfaat dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga menunjang kegiatan budidaya pertanian berkelanjutan.
c.
Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida dan pupuk, serta bahan kimia pertanian lainnya.
d.
Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan dari luar yang berharga mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan.
e.
Meningkatkan usaha konservasi tanah dan air, serta mengurangi masalah erosi akibat pengolahan tanah yang intensif.
f.
Mengembangkan dan mendorong kembali munculnya teknologi pertanian organik yang telah dimiliki petani secara turun-temurun, dan merangsang kegiatan penelitian pertanian organik oleh lembaga penelitian dan universitas.
g.
Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan produk-produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk, dan bahan kimia pertanian lainnya.
h.
Meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik maupun global dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak dalam bidang pertanian.
2.
Tujuan Jangka Pendek Adapun tujuan jangka pendek yang akan dicapai adalah sebagai berikut:
10
a.
Ikut
serta
mensukseskan
program
pengentasan
kemiskinan
melalui
peningkatan pemanfaatan peluang pasar dan ketersediaan lahan petani yang sempit. b.
Mengembangkan agribisnis dengan jalan menjalin kemitraan antara petani sebagai produsen dan para pengusaha.
c.
Membantu menyediakan produk pertanian bebas residu bahan kimia pertanian lainnya dalam rangka ikut meningkatkan kesehatan masyarakat.
d.
Mengembang dan meningkatkan minat petani pada kegiatan budidaya organik baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan yang mampu meningkatkan pendapatan tanpa menimbulkan terjadinya kerusakan lingkungan.
e.
Mempertahankan dan melestarikan produktivitas lahan, sehingga lahan mampu berproduksi secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan mendatang.
2.2.4. Kegunaan Pertanian Organik Kegunaan pertanian organik pada dasarnya adalah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. Pertanian organik dapat menghemat penggunaan hara tanah, sehingga dapat memperpanjang umur produktif tanah. Selain itu, pertanian organik juga dapat memelihara ekosistem tanah karena tidak membahayakan flora dan fauna tanah, bahkan dapat menyehatkannya. Serta, pertanian organik tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya pencemaran sumberdaya air, karena zat-zat kimia yang terkandung berkadar rendah dan berbentuk senyawa yang mudah larut (Sutanto, 2002). 11
2.3. Perbedaan Pertanian Organik dan Anorganik Pertanian organik dan anorganik memiliki perbedaan baik dari aspek input maupun output produksinya. Pada pertanian organik olah tanah bersifat minimum, sedangkan pertanian anorganik olah tanahnya bersifat intensif. Pupuk yang digunakan pada pertanian organik merupakan sumber makanan untuk tanaman dan tanah, sedangkan pupuk kimia merupakan bahan sintetis dan bukan alami. Pestisida yang digunakan pada pertanian organik merupakan pestisida hayati yang terbuat dari bahan alami, sedangkan pestisida kimia terdiri dari insektisida, herbisida dan rodentsida. Pertanian organik berorientasi ekonomi dan ekologi, serta jangka panjang, sedangkan pertanian anorganik berorientasi produk dan jangka pendek (Salikin dalam Rachmiyanti, 2009). 2.4. Usahatani Usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi dengan efektif, efeisien, dan kontinu untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga pendapatan usahataninya meningkat (Rahim dan Hastuti, 2007). Menururt Soekartawi (2002), ilmu usahatani biasanya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input).
12
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi suatu usahatani adalah lahan, tenaga kerja, modal, dan manajemen. Adapun empat faktor produksi tersebut adalah sebagai berikut (Rahim dan Hastuti, 2007): a.
Lahan Lahan pertanian merupakan penentu dari pengaruh faktor produksi
komoditas pertanian. Secara umum dikatakan, semakin luas lahan (yang digarap), semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan oleh lahan tersebut. Ukuran lahan pertanian dapat dinyatakan dengan hektar (ha) atau are. b.
Tenaga Kerja Tenaga kerja dalam hal ini petani merupakan faktor penting dan perlu
diperhitungkan dalam proses produksi komoditas pertanian. Tenaga kerja harus mempunyai kualitas berpikir yang maju, seperti petani yang mampu mengadopsi inovasi-inovasi baru terutama dalam menggunakan teknologi untuk pencapaian komoditas yang bagus sehingga nilai jualnya tinggi. Penggunaan tenaga kerja dapat dinyatakan sebagai curahan tenaga kerja, yaitu besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai. Ukuran tenaga kerja dapat dinyatakan dalam hari orang kerja (HOK). c.
Modal Kegiatan proses produksi pertanian membutuhkan modal. Modal dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (fixed cost) dan modal tidak tetap (variable cost). Modal tetap terdiri atas tanah, bangunan, mesin, dan peralatan pertanian dimana biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi tidak habis dalam sekali proses produksi. Sedangkan modal yang tidak tetap terdiri dari benih, pupuk, pestisida, dan upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja. 13
d.
Manajemen Dalam usahatani, peranan manajemen menjadi sangat penting dalam
mengelola produksi komoditas pertanian, mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing),
pengendalian
(controlling),
dan
evaluasi
(evaluation). 2.5. Analisis Regresi Analisis regresi merupakan suatu analisis yang digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antara variabel bebas dan variabel tidak bebas (Soekartawi, 2002). Dalam model regresi faktor-faktor yang mempengaruhi variabel tak bebasnya harus diketahui terlebih dahulu. Menurut Juanda (2009) untuk menduga parameter dari persamaan regresi digunakan metode kuadrat terkecil atau metode OLS (Ordinary Least Square). Prinsip dasar dari metode kuadrat terkecil adalah meminimumkan jumlah kuadrat simpangan antara data aktual dengan data dugaannya. Terdapat beberapa asumsi dasar yang harus dipenuhi agar metode OLS dapat menghasilkan estimator yang paling baik pada model-model regresi. Pertama, model regresi linier: linier dalam parameter, terspesifikasi dengan benar dan memiliki error term yang bersifat additif. Kedua, nilai rata-rata atau nilai yang diharapkan dari variabel disturbance atau error term adalah nol. Ketiga, kovarian antara variabel disturbance, Ui dengan variabel Xi adalah nol. Keempat, varian dari variabel residu, disturbance adalah sama atau homoskedastisitas. Kelima, tidak ada otokorelasi antar variabel disturbance pada pengamatan satu dengan pengamatan yang lain. Keenam, tidak ada korelasi sempurna antar variabel-variabel bebas. Ketujuh, variabel error term memiliki distribusi normal. 14
2.6. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian mengenai pertanian organik telah dilakukan sebelumnya. Setiap penelitian memiliki perbedaan masing-masing. Perbedaan terlihat dari sisi komoditas, lokasi penelitian, alat analisis yang digunakan, serta hasil akhir dari penelitian tersebut. Rachmiyanti
(2009),
melakukan
penelitian
mengenai
analisis
perbandingan usahatani padi organik metode System of Rice Intensification (SRI) dengan padi konvensional di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh Rachmiyanti ini adalah menganalisis pengaruh perubahan sistem usahatani, dari usahatani non organik menjadi usatani organik metode SRI yang dilakukan oleh para petani terhadap tingkat pendapatannya. Penelitian ini menggunakan beberapa alat analisis, yaitu analisis pendapatan, uji t, dan imbangan dari penerimaan dan biaya (R/C rasio). Berdasarkan hasil analisis pendapatan diketahui bahwa pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI lebih rendah dibanding pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi konvensional. Namun dari hasil uji t terlihat bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani padi ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani. Hasil dari imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) diketahui bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organik metode SRI (Rp 1,98) lebih rendah dari R/C rasio yang diperoleh petani padi konvensional (Rp 2,46). Hal ini berarti dari setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI hanya akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1,98 lebih rendah dari penerimaan yang diperoleh petani 15
padi konvensional. R/C rasio tatas biaya total, untuk petani padi organik metode SRI (Rp 1,54) lebih kecil dari petani padi konvensional (Rp 2,16). Hal ini berarti penerimaan yang diperoleh padi konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI. Selanjutnya, Rahmawati (2007) melakukan penelitian mengenai analisis usahatani sayuran organik pada perusahaan Benny’s Organic Garden di Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini menganalisis keragaan usahatani secara deskriptif dengan membandingkan keragaan antara usahatani milik sendiri dengan usahatani sistem bermitra. Alat analisis usahatani yang digunakan, yaitu analisis pendapatan dan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio). Hasil dari analisis pendapatan memperlihatkan bahwa usaha sayuran organik di lahan milik pribadi memperoleh pendapatan perusahaan yang lebih tinggi (Rp 27.000.616) dibandingkan dengan pendapatan yang diterima pada lahan bermitra (Rp 11,8 juta). Selain itu, pendapatan kerja perusahaan untuk lahan pribadi (Rp 21,6 juta) lebih besar dari pendapatan kerja perusahaan di laha bermitra (Rp 9,1 juta). Nilai R/C rasio pada usahatani dengan lahan pribadi lebih besar 0,5 jika dibandingkan dengan nilai R/C pada usahatani dengan lahan bermitra. Nilai R/C menunjukan bahwa nilai tersebut lebih dari satu, hal ini mengindikasikan bahwa usahatani tersebut pada lahan pribadi maupun lahan bermitra layak dan menguntungkan. Penelitian
yang
dilakukan
Kusumah
(2004)
mengenai
analisis
perbandingan usahatani dan pemasaran antara padi organik dan padi anorganik di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat menunjukan bahwa pendapatan atas biaya tunai petani padi organik lebih rendah dari pendapatan atas biaya tunai padi anorganik. Hasil uji z juga menyimpulkan 16
bahwa perubahan sistem usahatani yang dilakukan oleh petani padi ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani. Sedangkan pada pendapatan atas biaya total, padi organik lebih besar dibandingkan dengan padi anorganik. Berdasarkan hasil R/C rasio diketahui bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi organik (1,95) lebih rendah dari R/C rasio padi anorganik (2,23). Perbedaan hasil penelitian terdahulu tersebut dengan penelitian ini terletak pada perbedaan lokasi dan salah satu metode yang digunakan. Penelitian ini akan dilakukan di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian yang akan dilakukan ini selain menggunakan analisis pendapatan dan imbangan penerimaan dan biaya, juga menganalisis fungsi biaya produksi dan pendapatan dari pertanian organik dan anorganik dengan menggunakan persamaan regresi.
17