7
TINJAUAN PUSTAKA Konsepsi Pembangunan Industri Berwawasan Lingkungan Pertumbuhan ekonomi, keseimbangan ekologi dengan aplikasi teknologi ramah lingkungan, dan kemajuan serta kemakmuran masyarakat menjadi pilar utama pembangunan yang berkelanjutan (Gumbira-Said 1997; Adams & Thomas 2006).
Jika
pada awalnya pengertian pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang dicetuskan oleh The World Comission on Environment & Development (WCED) sebagai "proses pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhannya dan generasi mendatang" lebih berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan, maka pada dokumen hasil World Summit 2005 menekankan bahwa tiga dimensi pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, serta perlindungan lingkungan saling terkait satu sama lain dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan (Adams & Thomas 2006). Mengacu pada batasan tersebut, UNIDO mendefinisikan pembangunan industri berwawasan lingkungan atau "Ecologically Sustainable Industrial Development (ESID)” sebagai pola industrialisasi yang memberikan kontribusi secara ekonomi dan manfaat sosial bagi generasi sekarang dan mendatang tanpa mengorbankan proses-proses ekologis mendasar. Pola berkelanjutan dalam pembangunan industri berfokus pada konsep eko-efisiensi, yakni mencoba memanfaatkan secara efisien semua sumber-sumber, baik yang tidak dapat diperbaharui maupun yang dapat diperbaharui, dalam batas-batas kapasitas ekosistem dalam mengasimilasi limbah (Soemarwoto 2001).
Sementara Gumbira-Said & Dewi (2003)
menyatakan bahwa fokus eko-efisiensi adalah pada penciptaan nilai yang terbaik dengan memadukan kebutuhan konsumen serta mengurangi dampak lingkungan. Industri nasional perlu menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, mengingat negara-negara maju yang mencetuskan gagasan tersebut juga merupakan negara-negara tujuan ekspor utama produksi dalam negeri, seperti Amerika Serikat, Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), Jepang, dan sebagainya. Mengingat orientasi produksi karet alam Indonesia adalah untuk kebutuhan ekspor, maka seyogianya agroindustri karet alam tersebut mengantisipasi dan mengadopsi tuntutan perkembangan lingkungan global dalam hal produk yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Konteks isu lingkungan bukan semata-mata sebagai tameng proteksi bagi negara maju dalam perdagangan global, tetapi lebih berat terhadap tuntutan terhadap konsep
8
pembangunan berkelanjutan. Walaupun negara-negara berkembang mencurigai isu lingkungan sebagai non-tariff barrier oleh negara-negara maju dalam perdagangan global, tidak berarti negara-negara berkembang tersebut dapat mengabaikannya. Untuk itu dibutuhkan suatu pemikiran strategik yang mampu mengakomodasikan kepentingan semua pihak dengan memberikan perhatian pada aspek lingkungan dan membuat kebijakan yang dapat mendorong terwujudnya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan.
Pendekatan manajemen lingkungan Pada awalnya strategi pengelolaan lingkungan mengacu pada pendekatan kapasitas daya dukung, namun sayangnya konsep ini tidak berhasil mengingat kendala-kendala yang timbul dan upaya yang sering kali dilakukan adalah memperbaiki (remediasi) kondisi lingkungan yang tercemar dan rusak sehingga menjadi mahal biayanya (Jackson 1993; Indrasti & Fauzi 2009). Dikarenakan konsep daya dukung sulit diterapkan, pada era 1970an kebijakan lingkungan bertumpu pada pengendalian dan komando (command and control), dimana kepedulian akan lingkungan hanya timbul melalui tekanan hukum dan perundangan. Aksi yang diambil baru pada tahap pembersihan polusi, pembatasan pertumbuhan, ataupun pengenaan sangsi. Pada situasi tersebut, industri dipaksa mengikuti aturan baku mutu limbah yang dihasilkan dengan cara pengolahan end-of-pipe (akhir pipa). Walaupun tidak semahal remediasi, pengolahan akhir pipa dianggap memberikan beban biaya tambahan pada proses produksi perusahaan, sehingga biaya per satuan produk akan meningkat. Karena merasa dirugikan, pengusaha kerap kali melakukan aksi penolakan. Pada sisi lain, konsumen juga merasa dirugikan karena harga produk menjadi lebih mahal, sehingga konsumen juga kurang memberikan respon positif terhadap pendekatan pengolahan limbah akhir pipa tersebut, dan pada kenyataannya, masalah pencemaran lingkungan juga masih tetap terjadi. Pada era tahun 1990-an strategi pengelolaan lingkungan bergeser ke arah upaya preventif atau pencegahan, dimana prinsip produksi bersih (cleaner production) dikembangkan sebagai suatu pendekatan strategi preventif yang bersifat terpadu dan operasional. Strategi produksi bersih pertama kali diperkenalkan oleh UNEP pada bulan Mei 1989 dan telah banyak dilakukan upaya bagi implementasinya di berbagai bidang industri.
9
Pada hakekatnya strategi produksi bersih berawal dari pemikiran bahwa upaya untuk melindungi lingkungan perlu menyatukan dua kepentingan, yakni kepentingan lingkungan dan kepentingan bisnis, demi memberikan perlindungan bagi generasi berikut. Dengan demikian, apabila masyarakat bisnis semula menanggulangi limbah setelah limbah tersebut dihasilkan, maka saat ini titik berat manajemen bergeser ke arah pengembangan teknologi dan proses produksi yang mencegah terjadinya limbah.
Kegiatan tersebut
disebut eko-efisiensi, yakni manajemen bisnis yang bertujuan menaikkan efisiensi ekonomi dan ekologi (Soemarwoto 2001).
Konsep eko-efisiensi dan konsep produksi bersih
memberikan jawaban atas pemenuhan dua kepentingan sekaligus, yakni kepentingan lingkungan dan kepentingan ekonomi. Pada dasarnya kedua konsep di atas tidak berbeda. Jika eko-efisiensi berangkat dari isu-isu efisiensi ekonomi yang memberikan manfaat positif bagi lingkungan, maka produksi bersih berawal dari isu-isu efisiensi lingkungan yang memberikan manfaat positif secara ekonomi. Gumbira-Said & Dewi (2003) mengungkapkan bahwa eko-efisiensi lebih menekankan pada aspek analisis akutansi manajemen dan manajemen finansial, sementara produksi bersih lebih banyak memperhatikan sisi manajemen produksi dan operasi serta manajemen teknologi. Namun demikian, kedua strategi tersebut diyakini sebagai solusi win-win situation dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Pada tatanan internasional, terminologi produksi bersih disepakati sebagai upaya pengurangan dampak lingkungan dari proses produksi, produk, dan jasa dengan menggunakan strategi-strategi, metoda-metoda, serta alat bantu manajemen yang lebih baik (http://www.cleanerproduction.com/misc/Pubs/CPConcepts.htm). Secara esensial UNEP mendefinisikan produksi bersih sebagai pelaksanaan yang terus-menerus dalam mengurangi sumber limbah secara terpadu guna mencegah pencemaran udara, air dan tanah pada proses industri dan produk agar dapat meminimalkan resiko bagi populasi manusia dan lingkungan (UNEP 1995; Berkel 2000; KLH 2003; Thrane & Nielsen 2009; Indrasti & Fauzi 2009). Untuk proses produksi, produksi bersih termasuk penghematan penggunaan bahan baku, energi dan air, menghindari penggunaan bahan baku beracun dan mereduksi jumlah toksisitas dan emisi yang dikeluarkan sebelum produk meninggalkan proses. Untuk produk, fokus strategi adalah pada pengurangan dampak yang timbul di seluruh daur hidup produk, dari ekstraksi bahan baku sampai pembuangan produk akhir. Dengan demikian, untuk mencapai produksi bersih dapat diaplikasikan dengan penerapan
10
know-how teknologi produksi bersih serta mengubah sikap (attitude) dan perilaku (behavior). Dengan melaksanakan strategi produksi bersih, maka suatu perusahaan dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang eko-efisien (Berkel 2006; Gumbira-Said & Dewi 2003; WBCSD 1998&2001). Kunci perbedaan antara pengendalian pencemaran dan produksi bersih adalah dalam kesatuan ketepatan waktunya.
Pengendalian pencemaran dilakukan sesudah
kejadian, suatu pendekatan yang reaktif dan mengelola; produksi bersih mengkilas balik pada filosofi antisipasi dan pencegahan. Walaupun demikian, produksi bersih tidak untuk mengklaim teknologi akhir pipa yang selama ini digunakan.
Upaya produksi bersih
dimaksudkan untuk mengacu pada pengurangan kebutuhan bagi teknologi akhir pipa dan dalam beberapa kasus dapat mengeliminasi kebutuhan akan teknologi akhir pipa keseluruhan. UNIDO (2002) melengkapi definisi dan ruang lingkup produksi bersih yang lebih holistik sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1. PRODUKSI BERSIH
Strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat terpadu dan preventif
Diterapkan dalam proses produksi dan siklus pelayanan
Produk : Reduksi limbah melalui rancangan yang lebih baik Penggunaan limbah untuk produksi baru
Proses : Konservasi bahan baku, energi, dan air Reduksi jumlah atau tingkat toksisitas emisi pada sumber Evaluasi dari pilihan teknologi Reduksi biaya dan resiko
Pelayanan : Efisiensi manajemen lingkungan dalam rancangan dan pengiriman
Dampak : Perbaikan efisiensi Kinerja lingkungan yang lebih baik Peningkatan keuntungan kompetitif
Gambar 1 Definisi dan ruang lingkup produksi bersih (UNIDO 2002).
11
Secara garis besar, penerapan produksi bersih dikelompokkan ke dalam lima kegiatan berikut : (1) perubahan material masukan, (2) perubahan proses dan teknologi, (3) perubahan produk akhir, (4) melakukan daurguna bahan di lapangan, terutama di dalam proses pada batas-batas tertentu, dan (5) tata laksana rumah tangga yang lebih baik (good house-keeping). Produksi bersih bukanlah suatu sistem yang statis dan berhenti hanya pada satu objek dan temuan, tetapi improvisasi suatu model ke model yang lainnya seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Prinsip-prinsip pokok dalam strategi produksi bersih dalam Kebijakan Nasional Produksi Bersih (KLH 2003) dituangkan dalam 1E4R atau 5R (Elimination, Re-think, Reuse, Reduction, Recovery and Recycle). Elimination (pencegahan) adalah upaya untuk mencegah timbulan limbah langsung dari sumbernya, mulai dari bahan baku, proses produksi sampai produk.
Re-think (berpikir ulang), adalah suatu konsep pemikiran yang harus dimiliki pada saat awal kegiatan akan beroperasi.
Reduce (pengurangan) adalah upaya untuk menurunkan atau mengurangi timbulan limbah pada sumbernya.
Reuse (penggunaan kembali) adalah upaya yang memungkinkan suatu limbah dapat digunakan kembali tanpa perlakuan fisika, kimia atau biologi.
Recycle (daur ulang) adalah upaya mendaur ulang limbah untuk memanfaatkan limbah dengan memrosesnya kembali ke proses semula melalui perlakuakn fisika, kimia dan biologi.
Recovery (ambil ulang) adalah upaya mengambil bahan-bahan yang masih mempunyai nilai ekonomi tinggi dari suatu limbah, kemudian dikembalikan ke dalam proses produksi dengan atau tanpa perlakuakn fisika, kimia dan biologi. Meskipun prinsip produksi bersih dengan strategi 1E4R atau 5R, namun prioritas
strategi adalah Pencegahan dan Pengurangan (1E1R) atau 2R pertama. Bila strategi 1E1R atau 2R pertama masih menimbulkan pencemar atau limbah, baru kemudian melakukan strategi 3R berikutnya (reuse, recycle, dan recovery) sebagai suatu strategi hirarki pengelolaan limbah. Prioritas terakhir dalam pengelolaan lingkungan adalah pengolahan dan pembuangan limbah apabila upaya produksi bersih sudah tidak dapat dilakukan. Keuntungan yang dapat diperoleh industri dari penerapan produksi bersih dapat terwujud dalam beberapa hal berikut ini (Indriyati 2008; Indrasti & Fauzi 2009) :
12
1. Meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, air dan energi. 2. Meminimisasi limbah, sehingga akan mengurangi biaya penanganan dan pembuangan limbah. 3. Mencegah atau memperlambat degradasi lingkungan dan mengurangi eksploitasi sumberdaya alam yang akhirnya menuju pada upaya konservasi sumberdaya alam untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
4. Mengurangi bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. 5. Memperkuat daya saing produk di pasar global. 6. Memperbaiki kinerja dan meningkatkan produktifitas. 7. Meningkatkan citra perusahaan dan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan.
Metode Produksi Bersih Metode produksi bersih adalah suatu tahapan logis yang mengacu pada tiga kegiatan utama, yaitu: (1) melacak sumber inventori untuk mengetahui sumber limbah, (2) melacak penyebab terbentuknya limbah, dan (3) memformulasikan intervensi produksi bersih dengan berfokus pada hal-hal yang dapat dilakukan terhadap limbah. Intervensi produksi bersih dapat dilakukan pada berbagai titik atau lokasi dari siklus hidup suatu produk atau suatu proses (UNEP 1994; UNIDO 2002; Barbieri 2004). Berbagai profesi dan fungsi yang berbeda dapat memberikan kontribusi. Setiap kontributor dapat menggunakan alat bantu (metoda) yang berbeda dalam melakukan diagnosa, penilaian, dan intervensi produksi bersih. Assesment dan audit paling sering dimanfaatkan sebagai alat bantu untuk pengambilan keputusan yang efektif karena dapat memberikan prosedur kunci untuk membantu menawarkan inisiatif pilihan produksi bersih. Assessment dan audit juga dapat diintegrasikan ke dalam sistem manajemen sebagai bagian proses perbaikan yang berkelanjutan (http://www.cleanerproduction.com/tools/assessme.htm). UNEP & ISWA (2002) mengembangkan beberapa prosedur bagi audit limbah yang disebut penilaian pencegahan emisi dan limbah, audit pengurangan sumber, audit minimisasi limbah, atau penilaian produksi bersih. UNEP menganalogikan audit limbah sebagai suatu pendekatan sistematis bagi produksi bersih, dengan menggunakan pendekatan neraca bahan dalam mengidentifikasi
13
sumber limbah dan peluang pengurangan limbah (http://www.p2pays.org/). Audit limbah didisain sebagai alat analisa untuk memastikan para manajer industri beroperasi dengan cara efisien secara ekonomis namun aman bagi lingkungan. Hal ini digunakan untuk mendokumentasikan jenis dan jumlah limbah yang dihasilkan suatu perusahaan. Penilaian dan audit produksi bersih secara luas diterima sebagai aplikasi yang sistematik, terdokumentasi, terus-menerus, bersasaran, dan disertai dengan prosedur untuk menilai fungsi yang sekarang atau anjuran sistem produksi; melakukan identifikasi dan implementasi tindakan manajemen yang relevan dalam ukuran kebijakan; dan melaksanakan sasaran terpadu guna meningkatkan kemampulabaan, penghematan sumber daya, perlindungan, dan perbaikan lingkungan (Berkel RV 1995, UNIDO 2002; Jutz 2007). Dengan kata lain, audit produksi bersih dapat membantu dalam meningkatkan kemampulabaan perusahaan melalui cara-cara berikut. 1. Melalui penghematan sumber daya masukan seperti air, bahan kimia, dan energi. 2. Melalui peningkatan produktifitas dengan merasionalisasi dan mengoptimumkan tahap pemrosesan dan operasi. 3. Melalui kepastian produksi awal yang benar, untuk meminimasi proses-ulang produk. 4. Melalui pembuatan produk yang berdaya saing dan diterima oleh pasar domestik dan internasional. Idealnya, dalam melakukan suatu audit dibutuhkan suatu pedoman yang telah baku, seperti bagaimana seorang akuntan publik melakukan audit terhadap kliennya. Manual audit dan penilaian produksi bersih telah banyak dikeluarkan oleh berbagai organisasi seperti UNEP/UNIDO, US-EPA/PRISMA dan lain sebagainya. Namun, pada prinsipnya masing-masing manual dan anjuran tersebut mengacu pada prinsip yang sama yaitu berfokus pada ulasan mengenai proses produksi suatu industri, mengidentifikasi penggunaan sumberdaya, potensi munculnya limbah, mengidentifikasi prioritas dari pilihan-pilihan produksi bersih yang layak diimplementasikan (Indrasti & Fauzi 2009). Nga (1999) memodifikasi metoda audit limbah versi UNEP/UNIDO (1994) dan menguraikannya menjadi enam kegiatan utama yaitu : 1) persiapan awal, 2) proses analisis, 3) peluang minimisasi limbah, 4) analisa kelayakan, 5) implementasi solusi minimisasi limbah, dan 6) mempertahankan solusi minimisasi limbah tersebut.
Modifikasi yang
dilakukan Nga tersebut diaplikasikan untuk industri tekstil di Vietnam. Prosedur yang hampir sama telah dilakukan di berbagai jenis industri. Wang et al. (2006) mengemukakan
14
bahwa China telah menetapkan prosedur praktis produksi bersih sebagai panduan, yang terdiri dari enam kegiatan utama: 1) persiapan tim produksi bersih, 2) pra-penilaian, 3) penilaian, 4) analisis kelayakan, 5) implementasi, dan 6) pemantauan, pengukuran, dan perbaikan berkelanjutan. Apabila dikaitkan dengan pengambilan keputusan yang menyangkut pengelolaan lingkungan, terdapat enam jenis metoda analisis lingkungan yang dapat dipergunakan sebagaimana berikut ini (UNEP 1996; World Bank 1999; IUoST 2010). 1. Analisis daur hidup atau Life Cycle Analysis (LCA) untuk produk dan fungsi. 2. Analisis mengenai dampak lingkungan atau Environmental Impact Assessment (EIA) berguna bagi aktifitas baru. 3. Analisis resiko atau Risk Assessment (RA) untuk memeriksa bahan dan proses yang berbahaya sebagaimana operasi pabrik industri. 4. Pemeriksaan aliran material atau Substance Flow Assessment (SFA) untuk penelusuran material. 5. Pemeriksaan teknologi atau Technology Assessment (TA) bagi teknologi baru. 6. Audit lingkungan atau Environmental Auditing (EA) untuk perusahaan dan satuan usaha. Produksi Bersih Dalam Sistem Manajemen Lingkungan Sistem Manajemen Lingkungan (Environmental Management System, EMS) dapat diartikan sebagai integrasi strukur organisasi, wewenang dan tanggung jawab, mekanisme dan prosedur/proses, praktek operasional, dan sumberdaya untuk implementasi pengelolaan lingkungan. Sistem Manajemen Lingkungan (SML/EMS) memberikan mekanisme untuk mencapai dan menunjukkan kinerja lingkungan yang baik, melalui pengendalian dampak lingkungan dari kegiatan. Menurut standar ISO 14001: 2004, SML mencakup lima unsur yang saling berkaitan seperti diilustrasikan pada Gambar 2. Kelima unsur terkait tersebut merupakan urutan proses yang merupakan suatu seri langkah penerapan yang saling berhubungan. Umpan balik kelima unsur dalam SML tersebut akan menjamin penyempurnaan kinerja lingkungan suatu perusahaan dan dapat dilakukan secara berkelanjutan.
15
Continual Improvement
Kondisi Awal
Pengkajian Manajemen
Kebijakan Lingkungan
Pemeriksaan dan Tindakan Koreksi
Perencanaan
Penerapan dan Operasi
Gambar 2 Model Sistem Manajemen Lingkungan EMS (SNI 19-14001 2005).
Setiap organisasi tanpa batasan bidang kegiatan, jenis kegiatan, dan status organisasi dapat mengimplementasikan SML tersebut untuk mencapai kinerja lingkungan yang lebih baik dan sistematis. Pada dasarnya produksi bersih menyangkut perlunya perubahan atau inovasi proses maupun produk serta pelayanan, dan dapat diterapkan di unit kerja manapun.
Karena sifatnya yang proaktif, produksi bersih dapat dijadikan
sebagai alat bantu yang baik untuk perbaikan berkelanjutan. Introduksinya ke dalam ISO 14001 akan membawa pada percepatan yang terarah dan terukur, baik dengan indikator fisik maupun ekonomi. Keberadaan SML akan memberikan sarana yang lebih terstruktur bagi
manajemen
organisasi
untuk
mencapai
target
pengelolaan
lingkungan
(http://www.gemi.org/docs/PubTools.htm). Untuk menilai efektifitas suatu organisasi dalam mengimplementasikan suatu strategi, tidak terkecuali strategi produksi bersih, dapat diadopsi model 7-S McKinsey&Co. (Stoner et al. 2005). McKinsey & Co. mengusulkan perlunya mengenali tujuh faktor kunci yang mempengaruhi keberhasilan suatu perubahan dalam sebuah organisasi, yakni Strategy (Strategi), System (Sistem), Structure (Struktur), Skills (Ketrampilan), Staff (Staf), Style (Gaya), dan Shared Value (Nilai-nilai bersama).
Jika salah satu dari ketujuh faktor
tersebut diabaikan akan menyebabkan proses perubahan menjadi lambat, menyakitkan, bahkan gagal. Seperti diilustrasikan pada Gambar 3, setiap faktor sama pentingnya dan saling berkaitan dengan faktor yang lain. Lingkungan dapat menentukan faktor yang mana yang menjadi kekuatan penentu dalam pelaksanaan strategi tertentu.
16
Ketujuh komponen dalam kerangka Model 7-S tersebut selanjutnya dapat diuraikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan dalam format item kuesioner. Pada penelitian ini, model 7-S McKinsey & Co. tersebut digunakan sebagai kerangka untuk menganalisa dukungan dan hambatan dalam upaya penerapan produksi bersih dalam konteks sistem manajemen lingkungan berdasarkan persepsi karyawan perusahaan karet remah.
Struktur
Sistem
Strategi
Shared Values (Nilai Bersama) Skill (Ketrampilan)
Style (Gaya)
Staf
Gambar 3 Kerangka kerja 7-S McKinsey & Co (Stoner et al. 2005).
Agroindustri Karet Alam Nasional Peranan Indonesia hingga saat ini masih signifikan sebagai negara produsen karet alam utama dunia dengan kontribusi yang terus meningkat. Pada tahun 2001 produksi karet alam Indonesia sebesar 1,607 juta ton (23,9 persen dari total produksi dunia) dan meningkat mencapai 2,535 juta ton di tahun 2009 (26,4 persen dari total produksi dunia) seperti disajikan pada Tabel 2. Secara agregat produksi karet alam dunia dalam sepuluh tahun terakhir mengalami pertumbuhan rata-rata 3,56 persen per tahun, rata-rata laju pertumbuhan Indonesia tergolong tinggi sebesar 5,97 persen per tahun. Malaysia pernah mengalami pertumbuhan negatif selama periode 1980-2000, namun pada 2001-2009 ratarata laju produksi karet Malaysia kembali positif. Sebagai produsen karet alam terbesar dunia, laju pertumbuhan produksi Thailand masih di bawah Indonesia sehingga berdasarkan proyeksi IRSG posisi Thailand sebagai produsen karet alam terbesar dunia akan digantikan oleh Indonesia pada tahun 2020 yang akan mampu memproduksi karet
17
primer 3,548 juta ton sementara produksi Thailand diproyeksikan 3,286 juta ton (IRSG 2009). Tabel 2 Perkembangan produksi karet alam negara berdasarkan produsen utama, tahun 2001-2009 Produksi (000 ton) Negara Thailand Indonesia Malaysia India China Vietnam Lainnya Total dunia
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2319,5 1607,3 782,6 631,5 478 312,6 680,2
2615,1 1630,0 889,8 640,8 527,0 331,4 691,9
2876 1792,2 985,6 707,1 565,0 363,5 730,6
2984,3 2066,2 1168,7 742,6 573 419,0 792,2
2937,2 2271,0 1126 771,5 510 481,6 806,7
3137 2637,0 1283,6 853,3 533 555,4 791,7
3056 2755,2 1199,6 811,1 590 605,8 783,3
3089,8 2751 1072,4 881,3 560 659,6 1016,9
3086,0 2534,6 856,2 817,0 630,0 723,7 954,5
6736
7326
8020
8746
8904
9791
9801
10031
9602
Pertumbuhan (%) 2,17 5,97 0,3 3,28 2,53 10,36 4,58 4,79
Sumber : IRSG Rubber Statistical Bulletin, 2009 diolah.
Ragam produk olahan karet yang diproduksi dan diekspor oleh Indonesia masih terbatas dan umumnya masih didominasi oleh produk primer dan produk setengah jadi. Pada awalnya,
produk karet Indonesia, baik dari perkebunan rakyat maupun perkebunan besar, diekspor dalam bentuk karet konvensional terutama sit asap (Ribed Smoked Sheet). Namun sejak pemerintah memperkenalkan teknologi pengolahan karet remah (crumb rubber) yang merupakan karet spesifikasi teknis pada tahun 1968, pabrik karet remah swasta bermunculan menggunakan bahan baku dari perkebunan karet rakyat. Agroindustri karet remah berkembang pesat dan saat ini hampir seluruh perkebunan karet rakyat hanya menghasilkan bahan olah karet rakyat sebagai bahan baku karet remah dengan kodifikasi “Standard Indonesian Rubber” (SIR). Pada saat ini jumlah sarana pengolahan karet berbasis lateks hanya sebanyak 23 unit dengan kapasitas sebesar 144.520 ton/tahun, sementara pabrik pengolahan karet remah dan pabrik sit asap (RSS) berturut-turut sebanyak 91 unit dan 89 unit (Depperin 2007). Pabrik karet remah umumnya dimiliki oleh swasta yang hanya mengandalkan bahan olah karet hasil perkebunan rakyat. Sementara pabrik RSS umumnya dimiliki perkebunan besar negara (PTPN) selain itu juga ada beberapa pabrik lateks pekat, crepe dan pabrik karet remah yang terintegrasi dengan perkebunannya.
Kapasitas pabrik pengolahan karet remah anggota Gapkindo pada tahun 2009
tercatat sekitar 3,79 juta ton (Gapkindo 2010). Berdasarkan kapasitas produksinya, provinsi Sumatera Selatan memiliki jumlah pabrik karet remah terbesar yaitu 24 unit dengan kapasitas sebesar 1.052.208 ton/tahun, posisi kedua
18
ditempati oleh provinsi Sumatera Utara yang memiliki 34 unit pabrik karet remah dengan total kapasitas produksi sebesar 781.487 ton/tahun (Gapkindo 2010). Sedangkan untuk wilayah Jawa, provinsi dengan unit industri karet remah terbesar adalah Jawa Barat yang memiliki 3 unit pabrik dengan kapasitas 45.800 ton/tahun.
Produksi karet alam Indonesia sebagian besarnya ditujukan untuk pasar ekspor dengan klasifikasi sebagai lateks pekat, karet standar teknis (SIR = Standard Indonesian Rubber), Crepe, RSS (Ribbed Smoked Sheet), ADS (Air Dried Sheet), dan karet skim. Jenis mutu SIR mendominasi produksi dan ekspor karet alam Indonesia, terutama jenis mutu SIR 20 seperti disajikan pada Tabel 3.
Pada tahun 2009, jenis mutu SIR bahkan
menempati proporsi 96,07 persen dari total ekspor karet alam Indonesia diikuti jenis mutu RSS sebesar 3,89 persen. Jenis mutu lateks pekat dan lainnya hanya menempati proporsi 0,5 persen. Besarnya proporsi jenis SIR, terutama SIR 20, dalam ekspor karet alam nasional di satu sisi terutama akibat bahan baku didominasi dari perkebunan karet rakyat (bokar) dan di sisi lain permintaan dunia untuk karet alam juga saat ini didominasi oleh jenis mutu SIR 20. Tabel 3 Pekembangan produksi dan ekspor karet alam Indonesia tahun 2001 – 2009 Ekspor (ton)b
Tahun
Produksi (000ton)a
2001
1.607
10.375
32.676
1.364.983
38.700
1.446.734
90,03
2002
1.630
8.637
44.144
1.437.104
7.536
1.497.291
91,86
2003
1.792
12.526
46.165
1.589.387
12.842
1.660.920
92,69
2004
2.066
11.755
145.895
1.684.959
31.652
1.874.261
90,72
2005
2.271
4.014
334.125
1.674.721
10.921
2.023.781
89,11
2006
2.638
8.334
325.393
1.952.268
3,000
2.285.998
86,69
2007
2.755
7.610
275.497
2.121.863
2.274
2.400.238
87,12
2008
2.751
8.547
137.755
2.148.449
1.725
2.287.929
83,17
2009
2.594
9.147
77.040
1.905.016
798
1.982.854
76,44
2010
2.770
12.929
60.166
2.276.287
-
2.351.915
84,91
0,46
3,89
96,07
0,04
Lateks
Persentase (%) a
Sheet
SIR
Lainnya
Total
Ekspor (%)
b
Sumber : Ditjenbun (2011), Gapkindo (2011)
Prospek permintaan karet alam dunia di masa depan menunjukkan trend cukup baik, terutama dipicu oleh industrialisasi di negara berkembang yang dimotori oleh Cina. Permintaan dari negara industri seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, dan negara-negara industri di Eropa juga cukup tinggi. Menurut IRSG (International Rubber Study Group),
19
pada tahun 2020 permintaan karet dunia diproyeksikan mencapai 10,9 juta ton dengan ratarata pertumbuhan konsumsi per tahun sebesar 9 persen. Permintaan yang tinggi dari sektor industri ban, yang menyerap sekitar 70 persen total produksi karet alam, mendorong pertumbuhan konsumsi karet alam dunia. Proses produksi karet remah Karet remah yang merupakan jenis karet spesifikasi teknis (Technically Spesified Rubber) mulai diproduksi di Indonesia tahun 1968 dan skema Standard Indonesian Rubber (SIR) pertama kali diterapkan tahun 1969. Selanjutnya terjadi perkembangan baik pada teknologi pengolahan karet remah maupun skema SIR seiring usaha peningkatan efisiensi dan mutu serta kondisi bahan olah, terutama bahan olah karet rakyat (bokar) (Suparto et al. 2002). Pada awalnya ketentuan persyaratan bokar diatur dengan SNI 06-2047-1998, selanjutnya mengalami revisi menjadi SNI 06-2047-2002 yang bersifat wajib berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 616/MPP/10/1999. Mengacu pada SNI bokar yang berlaku saat ini seperti tersaji pada Tabel 4, terdapat empat jenis bahan olah karet yakni lateks kebun dan koagulumnya dalam bentuk sheet, lump, dan slab. Lateks kebun dapat diolah menjadi jenis karet cair dalam bentuk lateks pekat atau lateks dadih serta karet padat dalam bentuk RSS, SIR 3L, SIR 3CV, SIR 3WF, dan thin pale crepe yang tergolong karet jenis mutu tinggi. Sementara koagulum lapangan dapat diolah menjadi karet padat jenis mutu SIR 10, SIR 20, dan brown crepe yang tergolong jenis karet mutu rendah. Karet standar teknis (SIR) atau dikenal dengan nama umum sebagai karet remah (crumb rubber) merupakan jenis karet yang mutunya dinilai berdasarkan sifat-sifat fisiko kimia. Persyaratan mutu untuk SIR direvisi berdasarkan Skema SIR 1998, yang kemudian dikukuhkan menjadi Standar Nasional Indonesia SNI 06-1903-2000 seperti disajikan pada Tabel 5. Penilaian spesifikasi teknis didasarkan pada hasil analisis dari beberapa syarat uji yang ditetapkan untuk SIR, antara lain kadar kotoran, abu, zat menguap, Po, dan PRI. Kotoran yang terdapat dalam karet remah sangat merusak sifat-sifat dari barang jadi karet terutama ketahanan lentur dan ketahanan pemakaiannya. Sifat-sifat tersebut penting dalam menentukan mutu ban kendaraan bermotor, sehingga makin tinggi kadar kotoran karet remah, makin rendah mutunya. Penentuan kadar abu dimaksudkan untuk menjamin agar
20
agar karet mentah tidak mengandung terlalu banyak bahan-bahan kimia yang tercampur pada proses pengolahan. Bila pencucian karet kurang bersih maka zat-zat kimia tersebut masih tertinggal dalam karet yang sudah menjadi karet remah dan tercermin dari tingginya kadar abu. Adanya pasir juga dapat meningkatkan kadar abu karet remah. Zat menguap dalam karet mentah sebagian besar terdiri dari uap air dan sisanya adalah zat-zat lain yang mudah menguap. Kadar zat menguap secara praktis adalah tidak lain penetapan kadar air karet mentah. Penentuan ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa karet telah mengalami pengeringan yang sempurna. Tabel 4 Persyaratan mutu bahan olah karet (bokar) (SNI 06-2047-2002) Persyaratan No 1
2
3
4
Jenis uji
Lateks kebun
Sheet
Slab
Lump
28 20
-
-
-
Ketebalan maksimum Mutu I, mm Mutu II, mm Mutu III, mm Mutu IV, mm
-
3 5 10 -
50 100 150 >150
50 100 150 > 150
Kebersihan
-
Tidak terdapat kotoran
Tidak terdapat kotoran
Batas toleransi pengotor (maks %)
5
5
Tidak terdapat kotoran 5
Koagulan
-
Asam semut dan bahan lain yang tidak menurunkan mutu karet *
Asam semut dan bahan lain yang tidak menurunkan mutu karet serta penggumpalan alami *
Asam semut dan bahan lain yang tidak menurunkan mutu karet serta penggumpalan alami *
Kadar karet kering Mutu I, % Mutu II, %
5
*) Bahan yang merusak mutu karet, misalnya pupuk TSP dan tawas
Jenis mutu karet remah yang boleh diproduksi ditetapkan berdasarkan jenis bokar yang digunakan, yakni SIR 3L, 3CV, 3WF, SIR 5, SIR 10, dan SIR 20. Prinsip pengolahan SIR 3L, 3CV, dan 3WF disajikan pada Gambar 4. Tahapan pengolahan ketiganya hampir sama, hanya pada penambahan bahan kimia saja yang berbeda. Pada pengolahan SIR 3L, ditambahkan larutan natrium metabisulfit (SMBS) agar diperoleh karet dengan penampilan cerah (L=light), sedangkan pada SIR 3CV digunakan larutan hidroksilamin normal sulfat (HNS) agar diperoleh karet dengan viskositas konstan (CV=constan viscosity). Khusus untuk SIR 3WF tidak digunakan bahan kimia, namun produk karet yang gagal untuk
21
pengolahan mutu SIR 3L dan 3CV dapat diklasifikasikan sebagai SIR 3WF sebatas mutu SIR 3WF masih terpenuhi.
Tabel 5 Skema Standar Indonesian Rubber berdasarkan SNI 06-1903-2000 SIR 3CV SKEMA Kadar kotoran, % maks (b/b) Kadar abu, % maks (b/b) Kadar zat menguap, % maks (b/b) PRI, min Po, min Nitrogen, % maks (b/b) Vikositas/ASHT maks, Wallace Viskositas Mooney, maks (1+4) 100 oC Warna, maks, Lovibond Curing characteristic Warna lambang pada kemasan Plastik pembungkus -warna -tebal, mm -titik leleh,maks,oC Warna pita plastik
SIR 3L
SIR 3WF
Lateks
SIR 5 Koagulum lateks tipisa
SIR 10
SIR 20
Koagulum lapangb
0,03
0,03
0,03
0,05
0,10
0,20
0,50
0,50
0,50
0,50
0,75
1,00
0,80
0,80
0,80
0,80
0,80
0,80
60 0,60 8
75 30 0,60 -
75 30 0,60 -
70 30 0,60 -
60 30 0,60 -
50 30 0,60 -
*)
-
-
-
-
-
**) Hijau
6 **) Hijau
**) Hijau
Hijau bergaris coklat
Coklat
Merah
Jingga 0,03 – 0,01 108
Transparan 0,03 – 0,01 108
Transparan 0,03 – 0,01 108
Transparan 0,03 – 0,01 108
Transparan 0,03 – 0,01 108
Transparan 0,03 – 0,01 108
Jingga
Transparan
Putih susu
Putih susu
Putih susu
Putih susu
Keterangan : *) CV-50 : 45-55; CV-60 : 55-65; CV-70 : 65-75 **) Disertakan rheograph dari karakteristik vulkanisasinya sebagai standar non-mandatory a Koagulum lateks tipis adalah lateks segar yang digumpalkan dengan asam format, koagulum digiling dengan ketebalan 1,5 - 2 b Koagulum lapang adalah jenis-jenis bahan olah karet (bokar) baik dari perkebunan rakyat maupun perkebunan besar yang tercantum dalam SNI bokar
Pada Gambar 5 disajikan proses pengolahan SIR 5. Pada prinsipnya pengolahan SIR 5 mirip dengan pengolahan SIR 10 atau SIR 20, perbedaannya terletak pada bahan olah karet yang digunakan.
Untuk pengolahan SIR 5 digunakan bahan olah berupa
koagulum lateks tipis, termasuk lump mangkok segar dengan ketebalan maksimum 2 cm dan umur paling lama empat hari sejak penyadapan. Karena bahan olah yang digunakan untuk produksi SIR 5 relatif tipis dan bersih, maka jumlah penggilingan pada tahap pemecahan awal sebagai langkah pembersihan bahan olah relatif lebih sedikit dibandingkan pengolahan SIR 10 atau SIR 20.
22
Lateks kebun
Bahan pengawet (jika diperlukan) Air HNS (SIR 3CV) SMBS (SIR 3L) Asam Format 6 – 7 kg/ton K3
Penerimaan
Penyaringan, Pengenceran
Koagulasi
Coagulum crusher
Macerator
Creper
Hammer mill
Shredder
Pengempaan
Pengemasan
Karet remah SIR 3CV, 3L,3WF
Gambar 4 Diagram alir pengolahan SIR 3L, 3CV, dan 3WF (Maspanger&Honggokusumo 2004).
Bahan olah SIR 10 atau SIR 20 seharusnya berupa koagulum lapangan sesuai persyaratan SNI 06-2047-2002, namun pada prakteknya hal tersebut sukar dipenuhi, terutama untuk pengolahan SIR 20. Karet SIR 20 merupakan jenis karet remah yang paling banyak diekspor dibandingkan jenis lainnya, yang sebagian besar diproduksi oleh perusahaan swasta dengan menggunakan bahan olah karet rakyat. Pada saat ini mutu bahan olah karet rakyat belum sepenuhnya memenuhi ketentuan SNI, sehingga sering mengakibatkan tahapan proses bertambah panjang, ditandai dengan meningkatnya
23
intensitas pencucian sebagai akibat bahan olah yang kotor (Deprin 2007). Pada prakteknya proses pengolahan SIR 10 dan SIR 20 cukup beragam seperti dirangkum pada Gambar 6.
Koagulum lateks tipis
Pre-breaker/Hammermill
Rotary screen washer
Macerator
Creper
Finisher
Creper- Hammermill-Shredder
Dryer
Pengempaan
Pengemasan
Karet remah SIR 5
Gambar 5 Diagram alir pengolahan SIR 5 (Depperin 2007).
24
Bahan baku bokar bersih
Lump / Slab
Slicer/Slab cutter / manual sortasi / Pre-blending
Breaker mangel
Washing tank
Vibr. screen + wash. tank
Pre-breaker Rotary screen + Hammermill
Vib. screen
Mixing/blending/washing tank Hammermill/ Granulator
Creper Hammermill
Breaker halus
Hammermill + vibr.screen
Hammermill
Mixing/blending/washing tank Hammermill/ Pelletizer
Static screen + Mixing tank
Macerator + Creper Shredder+washing tank+vibr.screen+ creper
Rak gulung
Kamar gantung angin
Creper Shredder
Shredder
Creper HM
Washing tank + Vibr. screen
Dryer/ Auto dryer Metal detector + Sortasi + Pengempaan + Pengemasan
Karet remah SIR 10, SIR 20
Gambar 6 Ragam proses pengolahan SIR 10 dan SIR 20 (Maspanger & Honggokusumo 2004).
25
Karakteristik Limbah Agroindustri Karet Remah Ditinjau dari jenisnya, limbah yang terbentuk pada industri karet remah dapat dikategorikan sebagai limbah padat, cair, dan gas. Limbah padat umumnya berupa pasir, lumpur, tatal, dan sisa-sisa karet. Adapun limbah cair terbentuk dari campuran air proses, minyak, lemak, dan serum.
Sementara emisi gas, terutama bau, terbentuk pada saat
penyimpanan bahan olah, pre-drying, dan pengeringan akhir. Kondisi bahan olah karet akan mempengaruhi kebutuhan air untuk proses pengolahan, akibatnya debit limbah cair yang dihasilkan akan bervariasi sesuai kondisi awal bahan olah karet. Semakin kotor dan semakin tinggi kadar air dari bahan olah akan memacu terjadinya proses pembusukan. Dengan demikian kuantitas limbah gas/bau pun akan meningkat. Demikian juga halnya dengan limbah padat, kondisi bahan olah yang kotor akan meningkatkan kuantitas lumpur, tatal, dan pasir. Proses pengolahan karet remah jenis SIR 10 dan SIR 20 pada prinsipnya merupakan operasi pembersihan bahan olah yang dilanjutkan hingga operasi pengeringan. Pembersihan diawali dengan pengecilan ukuran (size reduction), tujuannya adalah untuk memperbesar luas permukaan karet agar waktu pengeringan relatif singkat. Pada setiap tahapan proses (Gambar 7) terlihat bahwa air senantiasa digunakan sebagai media ekstraksi kotoran dari dalam karet. Oleh karena itu, limbah yang dominan terbentuk adalah fase cair. Sementara pada pengolahan karet remah jenis SIR 3CV, 3WL, dan 3WF digunakan bahan olah yang relatif bersih (lateks kebun) dan air proses yang digunakan lebih dimaksudkan untuk mempermudah proses pengecilan ukuran dan peremahan. Limbah cair yang dihasilkan mengandung sisa-sisa bahan kimia seperti HNS dan SBMS. Walaupun jumlah bahan pembantu tersebut relatif kecil namun tetap berpengaruh terhadap watak limbah. Baku mutu limbah cair industri karet remah sebagaimana disajikan pada Tabel 5 ditetapkan dengan SK Meneg LH No. Kep. 51/MENLH/10/1995. Karakteristik limbah padat Secara umum limbah padat yang terbentuk pada pengolahan karet remah tidak tergolong limbah beracun. Limbah padat yang terdeteksi umumnya berupa tatal, lumpur, pasir, rotan, kayu, daun, dan plastik bekas kemasan. Walaupun demikian, beberapa jenis padatan dalam jumlah yang besar akan mengganggu ekosistem.
Plastik merupakan
material yang sulit terdegradasi dan akan terakumulasi dalam jangka panjang. Kerikil,
26
pasir halus, dan tanah juga tidak mengalami pembusukan, sehingga dalam waktu lama akan mengeras dan dapat menyebabkan pendangkalan badan air. Bahan Olah Karet (lump,ojol,sit,slab)
Limbah Gas/Bau Limbah Padat (wadah, tali)
Air
Penyiapan/ penyimpanan
Pembersihan/ Pengecilan awal
Pembersihan Homogenisasi
Pembersihan Pengecilan
Slicer Prebreaker
Bak macroblending
Breaker Hammermill Granulator
Pembersihan Homogenisasi Skala mikro Pelletizer Creper Macerator
Air cucian, tatal, pasir Air cucian, Bahan tersuspensi /terlarut Limbah Cair + Padat Air cucian, Bahan terlarut
Pre-drying Peremahan
Pengeringan
Granulator Ekstruder Creper – HM Shredder
Homogenisasi skala mikro ulangan
Ruang Gantung/ gulung AIR
Creper
Air Karet Remah
Limbah Gas/Panas/Bau
Limbah Gas/Bau
Gambar 7 Sumber limbah pada pengolahan karet remah (Suparto et al. 2002).
27
Tabel 6 Baku mutu limbah cair industri karet remah Berlaku sejak tahun 1995 Parameter
BOD5 COD TSS N-NH3 N-Nitrogen pH Debit maks
Revisi/berlaku mulai tahun 2000
Kadar maksimum (mg/L)
Beban pencemaran maksimum (kg/ton KK)
Kadar maksimum (mg/L)
Beban pencemaran maks (kg/ton KK)
150 300 150 10 -
6,0 12,0 6,0 0,4 -
60 200 100 5 10
2,4 8,0 4,0 0,2 0,4
6,0 – 9,0 40 m limbah / ton KK 3
6,0 – 9,0 40 m limbah / ton KK 3
Sumber : SK MENLH No. Kep 51/MENLH/10/1995
Bokar yang kotor menjadi sumber utama penghasil limbah padat. Sebagai ilustrasi karakteristik limbah padat yang dihasilkan untuk setiap ton karet yang dihasilkan oleh suatu pabrik dengan tingkat produksi rata-rata 108 ton/hari adalah 55 kg tatal, 28 kg lumpur, 1,5 kg pasir, dan sisanya kurang dari 1 kg berupa plastik, papan, rotan, ranting, dan daun-daunan. Disamping itu, limbah padat juga dihasilkan dari hasil pemisahaan pada tahap pengolahan limbah cair. Untuk setiap 40 m3 air limbah yang diolah diperkirakan menghasilkan 0,175 m3 limbah padat berupa tatal dan pasir karet (Suparto et al. 2002). Karakteristik limbah cair Akibat penggunaan asam asetat dan asam format pada proses penggumpalan lateks, maka umumnya limbah cair pabrik karet remah bersifat asam dengan pH sekitar 5,5 – 6,8. Disamping itu, sifat asam tersebut dapat juga disebabkan oleh pembentukan asam lemak bebas hasil aktifitas mikrobiologis di dalam bahan olah (terutama slab atau lump berkadar air tinggi, sekitar 30 – 40 persen) yang disimpan beberapa hari sebelum diolah lebih lanjut. Limbah cair banyak mengandung padatan tersuspensi, terlarut, maupun terendap. Nilai BOD limbah umumnya tinggi, mengindikasikan bahwa padatan tersebut umumnya merupakan senyawa organik, seperti protein, karbohidrat, lemak, dan garam-garam organik. Kandungan nitrogen dalam limbah karet cukup besar, terutama berasal dari amoniak yang digunakan sebagai bahan pemantap lateks. Kekuatan limbah cair pabrik karet remah sesungguhnya tidak setinggi limbah yang dihasilkan pabrik karet sheet dan lateks pekat (Muthurajah 1973). Namun limbah cair pabrik karet remah banyak disorot dikarenakan besarnya proporsi industri karet remah
28
dibanding jenis karet lainnya. Dengan asumsi kebutuhan air rata-rata 40 m3/ton karet, maka dengan tingkat produksi karet remah yang mencapai 1,5 juta ton/tahun atau sekitar 4100 ton/hari akan dihasilkan tidak kurang dari 160.000 m3 limbah cair setiap harinya. Karakteristik air limbah pada setiap bagian proses pengolahan bervariasi sebagaimana tercantum pada Tabel 7. Terlihat bahwa nilai padatan tersuspensi, BOD, dan COD relatif tinggi pada proses pembersihan tahap I dibanding bagian proses lainnya. Air kurasan bak proses memiliki karakteristik yang sangat ekstrim.
Hal ini berasal dari
endapan lumpur di bak pencampuran (makroblending) yang banyak mengandung bahanbahan organik penyebab tingginya kadar BOD, COD, dan padatan tersuspensi.
Tabel 7 Karakteristik air limbah pada tahapan proses karet remah PROSES Pembersihan I Pembersihan II Penggilingan Peremahan Air kurasan bak proses
TSS 220 - 260 130 - 192 103 - 145 73 – 110 400 - 760
Kualitas (mg/l) BOD COD 175 - 200 250 - 350 102 - 170 170 - 220 105 - 170 150 - 170 60 - 85 90 - 120 490 - 900 700 - 1300
pH 6,0 6,5 6,5 6,5 6,5 – 7,4
Kuantitas (m /ton produk) 8,4 12,4 13,2 4,4 1,6 3
Sumber : Gapkindo (1992)
Karakteristik emisi gas Bahan olah seperti slab dan lump umumnya memiliki kadar air yang cukup tinggi, sekitar 40 – 50 persen, yang memungkinkan berkembangnya aktifitas mikrobiologis pengurai protein menjadi senyawa berbau seperti amoniak dan sulfida. Proses perombakan tersebut terus berlanjut menghasilkan asam-asam lemak bebas. Hasil penelitian RRIM (1993), menunjukkan bahwa asam lemak bebas yang terbawa uap pengeringan banyak mengandung asam asetat, propionat, isobutirat, butirat, isovalerat, dan asam valerat. Adapun jenis-jenis polutan gas yang sering menjadi perhatian dalam banyak industri -seperti CO, H2S, SO2, NOx, NH3, dan partikulat/debu- pada industri karet remah umumnya relatif rendah dan masih jauh di bawah ambang batas yang dipersyaratkan (Gapkindo-BPTK 2004).
29
Sistem Penunjang Manajemen Sistem Penunjang Manajemen Audit Produksi Bersih (SIMProsihCR) yang dikembangkan mengintegrasikan sistem penunjang keputusan (Decision Support System/DSS) dan sistem pakar (Expert System/ES). Pengertian DSS atau Decision Support System adalah sistem informasi berbasis komputer yang interaktif, fleksibel, dan adaptable, terutama dikembangkan untuk mendukung pemecahan masalah manajemen khusus dalam pengambilan keputusan yang lebih baik (Turban et al. 2008; Turban 1995). DSS menggunakan data, menyediakan user interface yang mudah, dan memberikan pengambilan keputusan menggunakan pengetahuannya. Dalam pengertian lebih lanjut, DSS juga menggunakan model, dibuat dengan proses iteratif, mendukung seluruh fase pembuatan keputusan, dan memasukkan basis pengetahuan. DSS adalah hasil pengembangan lebih lanjut dari Sistem Informasi Manajemen Terkomputerisasi (Computerized Managemen Information System) dengan rancangan yang lebih interaktif bagi penggunanya. Sifat interaktif tersebut dimaksudkan untuk memudahkan integrasi antara berbagai komponen dalam proses pengambilan keputusan, seperti prosedur, kebijakan, teknik analisis, serta pengalaman dan wawasan manajerial guna membentuk suatu kerangka keputusan yang bersifat fleksibel. dikembangkan
dengan
lebih
menitikberatkan
pada
peningkatan
Teknik DSS efektifitas
dari
pengambilan keputusan dan bukan pada efisiensinya. Dengan demikian, dalam DSS perlu diidentifikasi tujuan yang akan dicapai dan menjamin bahwa kriteria keputusan yang dipilih relevan dengan tujuan yang telah digariskan tersebut. DSS akan memiliki efektifitas yang tinggi apabila permasalahan yang dihadapi bernilai strategis atau sampai derajat tertentu bernilai taktis. Komponen DSS terdiri dari (1) manajemen data, termasuk data-data yang relevan dan dikelola oleh database managemen system (DBMS); (2) manajemen model, dapat berupa paket software finansial, statistik, manajemen sains, atau model-model kuantitatif lain yang menyediakan kapabilitas analisis sistem; (3) subsistem komunikasi (subsistem dialog) yang merupakan user interface; dan (4) manajemen pengetahuan (knowledge management), merupakan subsistem optional yang dapat menunjang setiap subsistem lain atau bertindak sebagai suatu komponen independen. Dalam DSS dikenal apa yang disebut sebagai kriteria dan alternatif. Kriteria mengambarkan tujuan dari proses keputusan serta sebagai basis dalam merancang bangun dan mengembankan sistem keputusan. Alternatif
30
adalah suatu kemungkinan tindakan yang harus diambil dan dipilih agar diperoleh hasil yang terbaik dan sesuai dengan tujuan sistem. Sementara itu sistem pakar merupakan sistem perangkat lunak komputer yang menggunakan ilmu, fakta, dan teknik dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang biasanya hanya dapat diselesaikan oleh tenaga ahli dalam bidang yang bersangkutan. Sistem pakar mencoba meniru atau menggantikan proses inferensi dan pengetahuan pakar dalam menangani masalah-masalah yang sifatnya spesifik (Turban et al. 2008; Marimin 2002; Turban 1995). Sistem pakar terutama dibangun untuk membuat suatu pengalaman, pemahaman dan pemecahan masalah yang sesuai, dari pakar untuk yang bukan pakar (Schneider et al. 1996). Tujuan utama dari perancangan sistem pakar adalah untuk mempermudah kerja atau bahkan mengganti tenaga ahli, menggabungkan ilmu dan pengalaman dari beberapa tenaga ahli atau melatih tenaga ahli baru (Marimin 2002). Lingkup aplikasi sistem pakar sangat luas mencakup permasalahan yang bersifat analisis (interpretasi dan diagnosis), serta sintesis dan integrasi. Secara khusus, sistem pakar dapat diterapkan dalam bidang teknlogi produksi, teknologi manajerial, dan aspek bisnis lainnya (Marimin 2002). Turban (1995) mengungkapkan perlunya tiga hal pokok dalam rangka mengembangkan sistem penunjang manajemen, yakni: 1) konstruksi model-model yang diperlukan (formulasi), 2) penggunaan model-model tersebut (analisis), dan 3) interpretasi dari keluaran model-model yang ada.
Model-model kuantitatif umumnya dominan
digunakan dalam pengambilan keputusan; terutama model-model ilmu manajemen, ekonomi teknik, statististika, dan finansial. Marimin et al. (2002) menjelaskan beberapa tahapan dalam pengembangan sistem pakar, yaitu: 1) identifikasi dan seleksi masalah, 2) seleksi pakar dan akuisisi pengetahuan, 3) representasi pengetahuan, 4) pengembangan model reasoning, 5) seleksi alat pengembangan (software) dan implementasi, 6) validasi, 7) verifikasi dan testing. Dengan demikian, komponen-komponen yang perlu dimiliki oleh sistem pakar adalah 1) fasilitas akuisisi ilmu pengetahuan, 2) sistem berbasis pengetahuan; 3) mesin inferensi; 4) fasilitas untuk penjelasan dan justifikasi; dan 5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (interface). Pengetahuan itu sendiri perlu dibuat terstruktur dan representatif sehingga memudahkan dalam penerapannya, sehingga dibutuhkan suatu metoda representasi pengetahuan.
31
Sistem penunjang manajemen yang mengintegrasikan sistem penunjang keputusan dengan sistem pakar dapat dengan memasukkan sistem pakar ke dalam komponenkomponen DSS atau dengan membuat sistem pakar sebagai komponen yang terpisah dari DSS. Integrasi sistem pakar dan DSS dapat dilakukan pada basis data, basis model, sistem dialog, maupun pada rekayasa sistem dan pengguna. Penggunaan sistem pakar di luar komponen DSS dilakukan dengan menggunakan keluaran dari sistem pakar sebagai masukan pada DSS atau sebaliknya. Disamping itu sistem pakar juga dapat digunakan untuk melengkapi proses pengambilan keputusan pada DSS (Turban 1995). Sistem penunjang manajemen merupakan gabungan interaktif dari tiga basis sumberdaya informasi yaitu sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model, dan sistem manajemen basis pengetahuan. Ketiga basis informasi tersebut diolah dalam unit pengolahan terpusat yang menerima sinyal dari sistem manajemen dialog yang bersifat interaktif dengan penguna. Bentuk dasar konfigurasi model sistem penunjang manajemen disajikan pada Gambar 8. Data
Sistem Manajemen Basis Data
SPK
Model
Pengetahuan
Sistem Manajemen Basis Model
Sistem Manajemen Basis Pengetahuan
Sistem Pengolahan Terpusat
Mekanisme Inferensi (Rule-base Scenario) Pengetahuan
Sistem Manajemen Dialog SPM
Pengguna Gambar 8 Konfigurasi model sistem penunjang manajemen (Turban 1995).
32
Penelitian Terdahulu Perancangan sistem pakar berbasis komputer berupa perangkat lunak yang berkaitan dengan penerapan produksi bersih telah dilakukan oleh Faisal & Abasi (1998). Rancangan yang dihasilkan diberi nama MAXCRED (Maximum Credibility Accident Analysis). Perangkat tersebut dikhususkan untuk menilai tingkat resiko secara dini pada industri petrokimia. Dengan perangkat MACRED tersebut maka potensi-potensi sumber terjadinya kecelakaan dapat diantisipasi secara dini, sehingga dapat direkomendasikan skenario penanggulangan apabila terjadi kecelakaan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Culaba & Purvis (1999) yang mengembangkan sistem pakar untuk tujuan evaluasi dampak lingkungan proses manufaktur yang mengadopsi pendekatan analisis daur hidup. Fokus perhatian ditekankan pada minimisasi limbah di lingkungan perusahaan, penilaian keberlanjutan kegiatan didasarkan pada hasil penilaian dampak lingkungan dan proses perbaikan. Sistem pakar tersebut diklaim cukup berhasil diaplikasikan untuk studi awal pada industri pulp dan kertas, namun demikian masih dianggap belum tuntas karena belum memasukkan model kinerja daur hidup proses. Tahap konstruksi model dalam pengembangan sistem penunjang manajemen audit produksi bersih memerlukan pemahaman yang utuh mengenai kondisi situasi industri yang bersangkutan. Berkenaan dengan hal tersebut Visvanathan & Kumar (1999) memberikan gambaran peranan industri kecil dan menengah (Small to Medium Sized Enterprises/ SMEs) Asia dalam mensukseskan program produksi bersih. Menurut Visvanathan & Kumar (1999), kelompok industri SMEs Asia berkontribusi besar terhadap penghamburan energi dan menghasilkan volume polutan yang besar. Dalam menjalankan bisnis, produsen kelompok SMEs tersebut lebih mengutamakan keuntungan daripada kepedulian terhadap lingkungan. Sebagai jalan pemecahannya adalah perlunya melakukan pendekatan yang holistik dengan mengupayakan: 1) promosi pencegahan dan pengendalian polusi, 2) pengenalan hubungan polutan dengan lingkungan dan iklim, 3) penetapan benchmarking proses yang efisien, 4) pengenalan wawasan hubungan faktor internal dan eksternal perusahaan, 5) peningkatan kemampuan SDM, dan 6) bantuan finansial dalam penerapan produksi bersih. Fenomena senada juga dihadapi oleh industri di Indonesia. Sebagai salah satu gambaran, Hasibuan (1998) telah mencoba mengidentifikasi karakteristik dukungan industri terhadap implementasi produksi bersih. Hasil analisis diantaranya menyimpulkan
33
peran penting pemahaman manfaat ekonomi bagi penerimaan konsep produksi bersih. Selain itu mekanisma evaluasi yang dimiliki perusahaan justru menjadi faktor penghambat penerimaan konsep produksi bersih di perusahaan. Persepsi perusahaan tentang kualitas pengelolaan lingkungan internal ternyata terlalu optimis (over estimate), hal ini mungkin karena kurangnya dukungan sarana mekanisma evaluasi yang efektif.
Berdasarkan
fenomena ini kiranya dipandang perlu untuk merekomendasikan pengembangan mekanisma audit internal yang efektif bagi perusahaan, dikaitkan dengan produksi bersih berarti penilaian/audit produksi bersih. Agar mekanisme audit internal dapat efektif, Scherman (1997) mengusulkan perlunya modifikasi dalam hal penilaian pendekatan produksi bersih. Penilaian produksi bersih seyogianya perlu didasarkan pada penyebab dari munculnya limbah dan emisi, baru kemudian ditentukan target-target pengurangan limbah, tingkat bahaya, dan tingkat kecelakaan. Untuk kepentingan penelitian awal penerapan produksi bersih, Stoyell et al. (1999) telah merancang daftar pertanyaan yang ditujukan pada pihak manajemen yang akan terlibat dalam program produksi bersih. Inti pertanyaan mencakup tiga hal penting, yaitu : 1) faktor-faktor lingkungan apa saja yang dipertimbangkan dalam disain proses, 2) apa yang terjadi pada saat sekarang, dan 3) usaha apa yang harus dilakukan perancang dalam menyediakan alat-alat yang dapat mendukung penerapan produksi bersih. Rancang bangun model produksi bersih untuk kebun kelapa sawit (KKS) telah dicoba diteliti oleh Erningpraja (2001). Dalam kajiannya, Erningpraja (2001) mencoba membangun suatu model simulasi produksi bersih KKS ideal yang dimaksudkan dapat menjadi dasar pengelolaan KKS dan lingkungannya.
Verifikasi model dicobakan
menggunakan data faktual dari KKS Kertajaya dan KKS Bah Jambi. Model produksi bersih KKS dirancang dengan beberapa asumsi pokok, adapun keluaran utama berupa Model Produksi Bersih KKS Baik, KKS Sedang dan KKS Kurang. Klasifikasi Produksi Bersih KKS tersebut didasarkan pada indikator : 1) kerapatan tanaman ideal/ha, 2) efektifitas hara ideal, 3) potensi produksi lahan, dan 4) efisiensi pengolahan PKS. Utomo (2008) mencoba melakukan rancang bangun proses produksi karet remah berbasis produksi bersih untuk kasus Provinsi Lampung. Penelitian menyimpulkan empat tahapan proses produksi yang potensial bagi penerapan produksi bersih, yaitu : 1) proses penggumpalan lateks, 2) proses penyimpanan bokar, 3) proses pengecilan ukuran dan pembersihan, serta 4) daur ulang air proses peremahan. Rancang bangun proses produksi
34
karet remah berbasis produksi bersih layak secara finansial jika diimplementasikan pada area tanaman karet seluas 6.000 Ha yang dikelola para petani karet sebanyak 120 unit usaha sheet angin berkapasitas 50 ton karet kering/unit/tahun atau satu gabungan kelompok tani berkapasitas 6.000 karet kering/tahun.
Skenario yang diusulkan tersebut dinilai
potensial meningkatkan pendapatan petani karet sampai dengan Rp. 1.534.472,-/Ha/bulan. Untuk tujuan penerapan produksi bersih, perusahaan perlu memiliki tolok ukur kinerja keberhasilan. Secara umum pengembangan sistem pengukuran kinerja lingkungan perlu memperhaikan The ten C's, yaitu: 1) cascading, 2) commitment, 3) comparison, 4) comprehensive, 5) comprehensible, 6) continuous improvement, 7) controllable, 8) cost, 9) credibility, dan 10) customer focus (OECD 1993; James 1995; Skillius et al. 1998; Olsthoorn 2001; OECD 2008). Evaluasi mengenai indikator dan kinerja lingkungan telah banyak dikaji oleh peneliti, diantaranya Thoresen (1999), Jasch (2000).
Eksplorasi
indikator kinerja lingkungan diadopsi dari standar ISO 14031 (EPE, environmental performance evaluation). Secara umum penilaian kinerja lingkungan dikaitkan dengan kinerja daur hidup produk, kinerja sistem manajemen, dan kinerja operasional (konsekuensi operasi).
Thoresen (1999) mencatat bahwa kebutuhan stakeholder akan
informasi lingkungan dapat terpenuhi dari indikator kinerja lingkungan EPI’s, walaupun format indikator lingkungan tersebut dapat bervariasi bagi stakeholder yang berbeda. Oleh karena itu Thoresen (1999) menyarankan untuk melakukan analisis kebutuhan informasi stakeholder sebelum indikator kinerja lingkungan dibangun. Sistem pengukuran kinerja lingkungan merupakan kunci untuk memandu dan menguji hasil dari proses perbaikan lingkungan, tetapi tidak mengindikasikan bagaimana suatu proses harus diperbaiki. Pendekatan benchmarking dapat membantu proses perbaikan berkelanjutan kinerja operasional perusahaan manufaktur pada berbagai area (Dattakumar & Jagadeesh 2003; Grunberg 2003; Gleich et al. 2008).
Asrofah et al. (2010)
menyimpulkan bahwa hasil indentifikasi praktek terbaik berkontribusi pada efektivitas benchmarking di perusahaan manufaktur Indonesia. Reddy & McCarthy (2006) menegaskan bahwa praktek terbaik perlu dipromosikan setidak-tidaknya dengan memanfaatkan database yang dapat diakses oleh pihak memerlukan. Faktor yang harus diperhatikan dalam mengindentifikasi praktek terbaik (Ungan 2007) adalah kondisi, kompleksitas, dan kesesuaian. Altham (2001) telah meneliti aplikasi benchmarking dalam mendorong implementasi produksi bersih pada industri SMEs dryclean.
Hasil awal
35
mengindikasikan bahwa SMEs dryclean memerlukan waktu selama 18 bulan untuk mencapai benchmark produksi bersih dengan peningkatan keuntungan bersih rata-rata mencapai 10 persen. Kajian-kajian dari penelitian terdahulu yang meninjau penerapan produksi bersih dari berbagai aspek tersebut, merupakan masukan yang berarti bagi perancangan Sistem Penunjang Manajemen Audit Produksi Bersih Karet Remah yang berorientasi pada tujuan dan kebutuhan pengguna. Oleh karena itu, kajian menyeluruh (holistik) melalui pendekatan sistem dan keefektifan sistem menjadi pertimbangan utama yang menentukan kinerja sistem ini.
Rekayasa Sistem Penunjang Manajemen Produksi Bersih yang dilakukan
mengakomodasikan butir-butir Sistem Manajemen Lingkungan yang diterima secara global, yakni ISO 14001 (EMS, Environmental Management System), untuk menawarkan iklim yang kondusif bagi industri karet alam dalam memasuki pasar global.