PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 kilometer dan 13.677 pulau. Wilayah pesisir dibanding dengan ekosistem lainnya memiliki peran yang lebih dominan dalam pembangunan wilayah pesisir, dan dapat mendukung berbagai ekosistem yang saling berkaitan dalam satu sistem ekologis yang kompleks. Ekosistem wilayah pesisr meliputi pantai, muara sungai (estuaria), padang lamun, terumbu karang, hutan mangrove, hutan pantai, dan perairan rawa pantai (Dahuri et al, 2001). Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalam suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala (Kusmana, dkk. 1994 dalam Gunawan dan Anwar, 2007). Ekosistem mangrove merupakan satu diantara beberapa ekosistem di wilayah pesisir
yang sangat rentan terhadap kerusakan. Ekosistem mangrove
berada di wilayah hilir atau muara dimana segala bentuk dampak kerusakan di wilayah hulu dan tengah akan membawa berdampak ke wilayah ini. Namun demikian ekosistem mangrove memiliki fungsi kontrol, pertahanan dan bahkan netralisir terhadap dampak-dampak tersebut, sepanjang kondisinya
Universitas Sumatera Utara
baik. Fungsi ini menjadi tidak efisien apabila terjadi kerusakan dan ketidak seimbangan pada ekosistem hutan mangrove. Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ekonomi, saat ini telah terjadi penurunan fungsi ekologis mangrove berupa konversi menjadi area pertanian yang tidak berbasis pelestarian. Secara ekologis hutan mangrove telah dikenal mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Fungsi ekologi sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap sendimen. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara. Fungsi ekonomis dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat penangkap ikan dan sumber bahan lain seperti tanin dan pewarna. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Disamping itu sebagai peredam gelombang dan angin badai, penahan lumpur, perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (Bengen, 1999). Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasarkan hasil interpretasi citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Martodiwirjo, 1994); dan berdasarkan data Ditjen RRL (1999), luas hutan mangrove Indonesia tinggal 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di luar kawasan). Namun demikian, lebih dari
setengah hutan mangrove yang ada
(57,6 %), ternyata dalam kondisi rusak parah, di antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta ha di luar kawasan hutan. Kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000 ha/thn (Anwar dan Gunawan, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Mengingat pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk kesejahteraan masyarakat pesisir, maka perlu dilakukan upaya pelestarian, salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dilaksanakannya rehabilitasi mangrove. Akan tetapi, kegiatan rehabilitasi mangrove masih sering berakhir dengan kegagalan. Beberapa faktor penyebab yang umum dijumpai antara lain adalah rendahnya kualitas bibit, tidak sesuainya lokasi penanaman, kesalahan teknologi benih, serta pelaksanaan yang kurang berpengalaman. Hal-hal tersebut terjadi karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan mengenai rehabilitasi hutan mangrove. Disamping itu, minimnya pengalaman, terutama bagi para perencana dan pelaksana kegiatan di lapangan, juga diyakini berdampak terhadap rendahnya keberhasilan rehabilitasi mangrove. Pada persemaian mangrove tingkat kematian atau kelayakan tanaman mangrove khususnya pada tanaman bakau umumnya memiliki peran penting, ini dikarenakan ketidaktahuan masyarakat tentang benih yang bagus dan siap disemaikan. Bibit yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu menunjang keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi. Apabila bibit yang digunakan berkualitas tinggi dan siap tanam, maka peluang keberhasilan tumbuh di lapangan juga akan tinggi. Benih yang bagus sebaiknya dipanen dari pohon yang cukup umur, pertumbuhannya bagus, batang lurus, memiliki bentuk tajuk simetris, dan tidak terserang hama/penyakit. Jenis tanaman pantai dan mangrove mempunyai musim berbuah yang berlainan. Jenis mangrove mempunyai musim berbuah yang serentak yaitu pada pertengahan sampai akhir tahun. Sedangkan untuk jenis tanaman pantai, musim berbuahnya tidak serentak (Wibisono, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerusakan hutan mangrove di Indonesia semakin tinggi sedangkan keberhasilan kegiatan rehabilitasi
masih
sangat
rendah.
Untuk
mendukung
upaya-upaya
penyelenggaraan rehabilitasi mangrove yang tepat dan benar, mulai dari cara mempersiapkan bibit, pemilihan lokasi, teknik persemaian dan cara pemeliharaan, maka penelitian ini dilakukan untuk memberi informasi tentang pertumbuhan propagul yang baik pada berbagai intensitas cahaya penyinaran yang berguna bagi kegiatan rehabilitasi sehingga kegiatan rehabilitas dapat berhasil dengan baik. Propagul yang akan diteliti adalah jenis tanaman Rhizophora apiculata. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata yang baik pada berbagai intensitas naungan. Hipotesis Penelitian 1. Ada pengaruh pemberian intensitas naungan terhadap pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata pada berbagai intensitas naungan. 2. Pemberian intensitas naungan 50% menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik terhadap pertumbuhan bibit Rhizophora apiculata. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan intensitas naungan yang lebih baik untuk pertumbuhan propagul Bakau minyak Rhizophora apiculata sehingga dapat menjadi sumber informasi bagi pihak-pihak yang ingin mengadakan kegiatan rehabilitasi agar kegiatan rehabilitasi dapat berhasil dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
Kerangka pemikiran Keberadaan hutan mangrove di Indonesia semakin lama semakin berkurang akibat adanya gangguan-gangguan yang terjadi terhadap ekosistem Hutan mangrove tersebut. Gangguan tersebut dapat berupa kerusakan yang ditimbullkan akibat aktivitas manusia di sekitar hutan mangrove. Keberadaan masyarakat lokal di pesisir pantai sangat berpengaruh terhadap keberaadaan hutan mangrove. Pengalih fungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian, industri kayu dan lain-lain merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan ekosistem hutan mangrove. Untuk menanggulangi dan memperbaiki ekosistem tersebut diperlukan adannya campur tangan manusia berupa kegiatan rehabilitasi ekosistem hutan mangrove sehingga kestabilan ekosistem dapat dipertahankan dalam rangka pelestarian sumber daya alam yang berkelanjutan. Ketersediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam rehabilitasi ekosistem hutan mangrove. Bibit yang berkualitas akan menghasilkan tegakan yang berkualitas sehingga diperoleh suatu ekosistem yang stabil dengan fungsi ekologis/biologis, fisik dan ekonomis dari hutan mangrove dapat dipertahankan. Kerangka pemikiran secara skematis diperlihatkan oleh Gambar 1.
Universitas Sumatera Utara
Ekosistem Hutan Mangrove
Aktivitas Manusia
Degradasi Hutan mangrove
Pertambakan
Aktivitas Pertanian
Permukiman
Rehabilitasi Hutan Mangrove
Tempat Tumbuh
Naungan
Ukuran Propagul
Viabilitas Benih
Bibit Berkualitas baik
Pemilihan Jenis
Bakau Minyak (Rhizophora apiculata)
Pembibitan Mangrove Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Universitas Sumatera Utara