BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km2 atau 70% dari luas total teritorial Indonesia (Dahuri, 2001: 1). Sumber daya alam laut yang melimpah menjadi komoditi utama bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Interaksi antara masyarakat dengan laut juga sangat tinggi mengingat sebahagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah nelayan dan tidak banyak yang berada di sektor bukan nelayan. Selain tangkapan berupa ikan dan sejenisnya, masih banyak lagi sumber daya laut yang bisa dimanfaatkan seperti hutan mangrove, wilayah tambak udang, tambak garam, daerah wisata, dan lain-lain. Ketersediaan sumber daya laut yang tinggi seharusnya mampu mengimbangi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Namun pada saat ini ketersediaan sumber daya laut semakin menurun akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Kerusakan pada biota laut misalnya disebabkan karena alat tangkap, limbah pabrik, dan pencemaran laut lainnya mengakibatkan kerusakan pada hutan mangrove dan terumbu karang. Hutan mangrove dan terumbu karang merupakan tempat biota laut berkembang biak, yang pada dasarnya kedua hal ini sangat berpengaruh terhadap ketersediaan sumber daya laut.
9 Universitas Sumatera Utara
Wilayah
pesisir
mayoritas
dihuni
oleh
masyarakat
pesisir
yang
bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan pada masyarakat pesisir terdiri dari nelayan tradisional dan nelayan mesin (berteknologi tinggi). Nelayan tradisional merupakan nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional dan sederhana seperti jala, jaring, pancing, bubu, dan lainnya. Sedangkan nelayan mesin merupakan nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berteknologi tinggi seperti pukat trawl, pukat cincin, pukat harimau, bahkan menggunakan dua kapal dengan satu jaring (trawl) untuk menangkap ikan. Nelayan ini disebut dengan nelayan trawl. Penggunaan pukat trawl inilah yang dapat merusak lingkungan laut atau sumber daya laut karena penangkapan ikan dilakukan dengan tidak memperhatikan aspek lingkungan. Nelayan
tradisional
yang
menggunakan
alat-alat
tradisional
akan
mendapatkan sedikit hasil laut dibandingkan dengan para nelayan yang menggunakan alat-alat berteknologi. Nelayan tradisional menganggap bahwa dengan penggunaan kapal gandeng dan pukat trawl akan merusak keberadaan potensi laut dalam jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek sebagai contoh, pukat trawl dapat menangkap berbagai jenis ikan. Tangkapan ikan-ikan berukuran kecil juga dapat tertangkap sehingga untuk jangka panjang, hasil laut (food security) akan habis karena regenerasi ikan terputus akibat penangkapan secara besar-besaran. Hal-hal seperti inilah yang mampu menciptakan konflik di masyarakat pesisir. Penguasaan terhadap sumber daya laut tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan, seperti kepentingan negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan 10 Universitas Sumatera Utara
rakyat, maupun kepentingan lingkungan itu sendiri. Perebutan kepentingan ini selalu menempatkan pihak masyarakat sebagai pihak yang dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus kepentingan tersebut (Arimbi, 2001: 37). Hal ini terjadi pada masyarakat tradisional yang tidak memiliki posisi tawar yang baik sehingga mereka mengalami keterbatasan akses sumber daya alam dibandingkan dengan nelayan trawl yang memiliki modal besar serta alat tangkap yang canggih sehingga dari hasil penangkapan juga mengalami perbedaan. Walaupun persaingan ini telah diatur dalam melalui perundang-undangan seperti UU no 22/1999 dan UU no. 45/2009, namun bukan berarti pertikaian antara nelayan tradisional dan nelayan trawl dapat tereduksi, tetapi malah semakin meruncing. Pada Undang-Undang No.22 Tahun. 1999 telah menetapkan batasan pemberian wewenang di wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai terluar kepada Daerah Propinsi. Wewenang Daerah Kabupaten di wilayah laut ditetapkan sejauh sepertiga wewenang Daerah Propinsi, yakni sejauh 4 mil. Dengan batasan hanya sejauh 4 mil, maka sumber daya perikanan Indonesia hanya menjadi lahan pengusaha perikanan besar yaitu di luar wilayah 12 mil hingga Zona Ekonomi Ekslusif sejauh 200 mil. Sementara nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap seadanya bersaing ketat di wilayah tangkap yang padat. Masyarakat adat yang telah turun temurun mengembangkan sistem pengelolaan kelautannya sendiri di beberapa wilayah pesisir Indonesia, juga tidak terakomodir dengan adanya batasan 12 mil ini.
11 Universitas Sumatera Utara
Padahal pengelolaan laut di Indonesia sejak dahulu dilakukan oleh komunitas masyarakat, yang umumnya berdomisili di daerah Kabupaten. Disebutkan lagi bahwa alat tangkap jaring trawl telah dilarang penggunaannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Undang – Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang – Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, menyatakan larangan bagi setiap orang untuk memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.(Waspada, 2011) Desa Bagan Asahan adalah salah satu desa pesisir yang terletak di Kecamatan Tanjung Balai, Kabupaten Asahan. Hampir keseluruhan masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan tradisional. Sebahagian nelayan tradisional di desa ini mengeluh karena hasil laut yang mereka dapatkan semakin berkurang. Salah satu penyebabnya dikarenakan keberadaan nelayan yang menggunakan kapal pukat trawl dengan jenis tarik II. Kapal pukat trawl ini juga sengaja memasuki zona perairan nelayan tradisional yang merupakan wilayah tangkapan nelayan-nelayan tradisional. Keberadaan kapal pukat trawl yang berasal dari kota ini akhirnya menjadi pemicu konflik dengan nelayan tradisional yang ada di Desa Bagan Asahan. Kejadian terakhir terjadi pada hari Minggu tanggal 18 Desember 2011, dimana nelayan tradisional membakar 6 unit kapal pukat trawl di sekitar perairan Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.. Kejadian itu tidak sempat mengakibatkan
12 Universitas Sumatera Utara
korban jiwa, baik di pihak nelayan maupun anak buah kapal pukat tersebut. Nelayan tradisional resah dengan leluasanya kapal pukat trawl beroperasi di wilayah tangkapan nelayan tradisional sehingga sulit untuk mendapatkan
ikan di zona
tangkapan nelayan tradisional ditambah lagi dengan rusaknya jaring nelayan tradisional. Minimnya pengawasan dari badan penegak hukum dan Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri membuat nelayan tradisional bertindak main hakim sendiri dengan membakar enam kapal pukat trawl tersebut. Seharusnya kapal pukat trawl yang terbukti memasuki zona tangkapan nelayan tradisional harus dikenakan sanksi bahkan izinnya harus dicabut (Analisa, Desember 2011). Peristiwa konflik ini tidak saja terjadi di Bagan Asahan, Sumatera Utara, tetapi peristiwa konflik sosial nelayan banyak terjadi di berbagai wilayah Indonesia antara lain di Langkat, Balikpapan, Teluk Palu, dan kasus Lamongan. Konflik antar nelayan di Lamongan, sumber konfliknya berawal dari ketidakpuasan nelayan kepada aparat keamanan yang menjadikan regulasi sebagai alat legitimasi untuk mendapatkan ‘proyekan’ dari nelayan-nelayan yang menggunakan mini trawl. Nelayan yang tertangkap menggunakan mini trawl kemudian akan dilepaskan kembali setelah menyetor sejumlah uang. Pada akhirnya akumulasi dari rasa frustasi kepada pejabat pemerintahan setempat berubah menjadi konflik realistis antara nelayan tradisional dengan nelayan mini trawl. (Susan, 2010). Nelayan tradisional Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang, Langkat, juga sering menyandera alat tangkap pukat trawl mini milik nelayan luar daerah yang beroperasi di perairan Jaring Halus. Penyanderaan dikarenakan nelayan pukat trawl
13 Universitas Sumatera Utara
memasuki zona larangan. Warga nelayan tradisional asal Jaring Halus itu melakukan aksinya, setelah sebelumnya ada kesepakatan para nelayan Jaring Halus dengan pihak berwajib untuk menahan nelayan dengan alat tangkap pukat trawl yang beroperasi di zona larangan. Dan selanjutnya kapal yang ditahan tersebut diserahkan kepada pihak berwajib yaitu Diskanla. Di Balikpapan terjadi konflik antara nelayan perengge dengan pedogol. Mini trawl dan dogol seringkali dibakar oleh nelayan perengge. Para perengge bekerjasama dengan aparat keamanan (polisi) untuk menangkap nelayan yang menggunakan mini trawl. Jumlah keseluruhan dogol/mini trawl yang dibakar waktu itu mencapai sekitar 50 buah. Konflik antara nelayan dogol/mini trawl dengan nelayan perengge itu juga disebabkan adanya semacam rasa tidak senang dari pihak nelayan perengge. Pedogol hasilnya lebih banyak dan bersifat terus-terusan. Kalau rengge sewaktu-waktu memang hasilnya bisa banyak. Jadi ada rasa iri pada pihak perengge terhadap para nelayan pedogol.
Ini yang menjadi salah satu pemicu konflik”. Menurut para
informan, konflik-konflik yang terjadi pada masa itu diselesaikan dengan melibatkan pihak aparat keamanan. Meskipun konflik terbuka dan brutal antara para pedogol dengan para perengge belakangan ini sudah tidak pernah terjadi, namun sebenarnya potensi konflik antara kedua faksi ini masih cukup besar karena para pedogol beroperasi di wilayah pinggir yang merupakan wilayah operasi para perengge. (Kinseng, 2007). Sedangkan penyebab konflik berkepanjangan di perairan Teluk Palu terdiri atas tiga aspek, yaitu:
14 Universitas Sumatera Utara
(a) Perebutan lokasi penangkapan ikan. Sumber daya laut Teluk Palu yang besar menyebabkan jumlah nelayan yang berdatangan untuk menangkap ikan di Teluk Palu meningkat. Kondisi perairan Teluk Palu yang sempit membuat para nelayan bersaing memperebutkan lokasi yang populasi ikannya banyak. Kondisi yang berlarut-larut seperti ini akhirnya memicu konflik antar nelayan. (b) Penggunaan alat tangkap bagang. Banyaknya jumlah nelayan menangkap ikan di Teluk Palu otomatis menggunakan alat tangkap modern seperti perahu bagang listrik yang memiliki kemampuan menangkap ikan dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama populasi ikan akan terkuras habis. Kondisi ini mempengaruhi hasil tangkapan nelayan lokal yang menggunakan pancing, jala atau pukat yang jumlahnya relatif kecil, menyebabkan mereka mencari lokasi lain yang populasi ikannya banyak. (c) Pemerintah tidak konsisten menegakkan aturan perda. Pemerintah seringkali membuat aturan yang saling bertentangan mengenai pengelolaan sumberdaya laut Teluk Palu dan peraturan tersebut selalu menguntungkan pihak pemilik modal atau pengusaha dan merugikan nelayan lokal. Contoh kasus: pemerintah kota Palu sudah mengeluarkan Perda tentang larangan penggunaan bagang listrik di Teluk Palu, tetapi beberapa waktu kemudian pemerintah kembali membuat aturan yang mengizinkan operasional bagang listrik di Teluk Palu. Kondisi ini kembali menguntungkan pihak pemilik bagang dan merugikan nelayan lokal, sehingga memicu lagi konflik kekerasan (Andriani, 2012).
15 Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa kasus yang terjadi, maka tampaknya pemicu terjadinya konflik tersebut secara umum adalah di samping keterbatasan sumber daya laut adalah karena dioperasikannya pukat trawl tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, walaupun antara kasus satu dengan yang lainnya tidak sepenuhnya bisa digeneralisir. Untuk mengetahui secara mendalam maka haruslah melalui penelitian dari masing-masing kasus secara saksama. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana memetakan konflik nelayan tradisional dan nelayan trawl dalam pengelolaan sumber daya laut yang terjadi di Bagan Asahan, Provinsi Sumatera Utara ?. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan memetakan konflik yang terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan pukat trawl dalam pengelolaan Sumber Daya Alam Kelautan dengan menggunakan metode SIPABIO (Source, Issues, Parties, Attitude, Behaviour, Intervention, Output).
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
16 Universitas Sumatera Utara
1. Secara teoritis, sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. 2. Secara praktis, data-data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan sebagai gagasan mengenai intervensi apa yang perlu diciptakan.
1.5 Defenisi konsep 1. Nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri. 2. Nelayan pemilik perahu tanpa motor adalah nelayan yang hanya memiliki kesempatan berlayar lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Mereka berlayar sejauh 1-3 mil laut atau hanya sampai batas kecamatan yang telah ditentukan. Jenis ikan yang diperoleh sebagian besar adalah teri dan ikan-ikan kecil lainnya. 3. Nelayan pemilik pengguna perahu motor (berukuran 9-10 m) adalah nelayan yang memiliki kesempatan berlayar sejauh 4-6 mil laut, hampir menempati wilayah kekuasaan kapal motor. Jenis ikan yang ditangkap juga bervariasi. Seperti tongkol, tuna, bawal dengan harga yang bervariasi juga. 4. Nelayan pemilik pengguna kapal motor (berukuran 0-5 GT/12m) adalah nelayan yang memiliki kesempatan untuk berlayar lebih jauh. Sejauh 6 mil laut yaitu sampai ke pulau-pulau. Bahkan sampai ke perbatasan yang telah 17 Universitas Sumatera Utara
ditentukan. Jenis ikan yang mereka peroleh juga bervariasi. Seperti, ikan karang, tongkol, kepiting, udang dan ikan-ikan besar lainnya. 5. Nelayan pemilik yakni nelayan yang memiliki perahu/kapal penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta ke laut untuk menangkap ikan. 6. Nelayan juragan adalah nelayan yang membawa kapal orang lain (juragan) tetapi ia tidak memiliki kapal. 7. Juragan/toke adalah orang yang mempunyai beberapa buah kapal dan memperkerjakan orang lain untuk membawa kapalnya tanpa ia sendiri ikut melaut. 8. Nelayan buruh yakni nelayan yang hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja tanpa memiliki perahu penangkap ikan. 9. Luas wilayah tangkap adalah lokasi yang boleh dilalui berdasarkan jalur-jalur yang sudah ditetapkan: a) Untuk jalur penangkapan 0-3 mil dikuasai oleh nelayan tradisional (nelayan pengguna perahu tanpa motor). b) Untuk jalur penangkapan 3-6 mil dikuasai oleh nelayan umum (nelayan pengguna perahu motor). c) Untuk jalur penangkapan 6 mil ke atas dikuasai oleh nelayan modern (nelayan pengguna kapal motor) 10. Nelayan trawl adalah nelayan modern yang menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional yaitu trawl. Menggunakan satu buah kapal berbobot >60- 100 GT berkekuatan 1500 PK yang dilengkapi dengan fish fender, besi panel sebagai pembuka mulut jaring dan pengaman dari rintangan-rintangan karang dan lain-lain saat beroperasi. Pengoperasiannya dapat melibatkan 1-2 kapal. 18 Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan tujuannya menangkap semua jenis ikan tanpa terkecuali karena ukuran mata jaring terkecil 2 mm. 11. Sumber daya alam kelautan adalah sumber daya yang meliputi, ruang lingkup yang luas yang mencakup kehidupan laut (tumbuhan, hewan dan mikro organisme) dan energi non hayati yang terkandung didalamnya (arus, gelombang laut, air laut). 1.6 Kerangka Teori 1.6.1 Teori Konflik Coser Pembedaan antara berbagai bentuk konflik menjadi pembahasan pula dalam teori konflik Lewis Coser. Namun Coser menggunakan terminologi yang lain, yaitu konflik realistis dan konflik tidak realistis. Konflik realistis adalah konflik yang terjadi karena tuntutan yang tidak terpenuhi, sedangkan konflik tidak realistis adalah konflik yang tidak mampu dimunculkan secara antagonisme, sehingga tampil dalam bentuk prasangka dan sentimen-sentimen (Poloma, 1979: 111). Karena objeknya jelas, konflik realistis bisa terjadi tanpa kerusakan-kerusakan destruktif karena ditampilkan tanpa sikap permusuhan. Pembedaan Coser tentang bentuk konflik realistis dan non-realistis, bisa digunakan dalam menganalisa konflik yang terjadi karena perbedaan identitas, etnis atau agama seperti yang terjadi di lokasi penelitian. Penjelasan tersebut berguna untuk menganalisa apakah konflik yang terjadi di lokasi tersebut fungsional bagi struktur masyarakat atau tidak. Coser memberi perhatian pada fungsi konflik terhadap kohesi kelompok. Dalam hal ini Coser mengaitkan antara konflik eksternal dan internal kelompok
19 Universitas Sumatera Utara
terhadap keeratan hubungan di antara anggota kelompok. Istilah kohesi kelompok sebagaimana yang disebutkan Coser dapat dilihat pada solidaritas kelompok, atau dalam istilah sehari-hari disebut kekompakan atau kesetiakawanan kelompok. Coser mengungkapkan proposisi intensitas konflik sebagai berikut (Soekanto, 1988:94): 1. Semakin disadarinya kondisi yang menyebabkan pecahnya konflik maka konflik semakin intens. 2. Semakin besar keterlibatan emosional pihak-pihak dalam konflik maka konflik semakin intens. 3. Semakin ketat struktur sosial maka tidak tersedianya alat yang melembaga untuk menyerap konflik dan ketegangan, konflik semakin intens. 4. Semakin besar perlawanan kelompok-kelompok dalam konflik terhadap kepentingan objektif mereka maka konflik semakin intens. Secara rinci, Coser juga membuat preposisi mengenai fungsi konflik berkaitan dengan kekerasan/kebrutalan yaitu: (1) semakin brutal atau intens konflik, semakin menyebabkan jelasnya batasan kelompok, sentralisasi struktur pengambilan keputusan, solidaritas anggota, penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap norma. (2) semakin suatu konflik menyebabkan pusat kekuasaan menekan konformitas dalam kelompok, semkin besar akumulasi permusuhan, dan semakin besar kemungkinan konflik internal muncul dalam jangka panjang.
20 Universitas Sumatera Utara
Dalam preposisi tersebut, Coser menekankan bahwa fungsi konflik bagi kohesivitas kelompok akan lebih terlihat nyata pada saat konflik semakin keras/brutal dengan kelompok luar. Preposisi Coser yang lain mengenai kebrutalan konflik dan isu konflik adalah sebagai berikut: (1) jika konflik menyangkut isu yang realistik, kemungkinan terjadi kompromi untuk mencari jalan bagi pencapaian tujuan, dan karena itu kurang brutal. (2) Jika konflik menyangkut isu yang tidak realistik, maka akan semakin besar tingkat keterlibatan dan emosi dalam konflik, sehingga semakin brutal konflik yang terjadi, khususnya jika: a) menyangkut nilai pokok/ dasar, b) konflik yang berlarut- larut. Pada umumnya, istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi maupun kelompok. Coser, mulai mendefenisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai-nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan. Apabila distribusi sumber daya langka dalam sebuah sistem dan semakin tidak seimbang, maka konflik kepentingan di antara kelompok dominan dan subordinat dalam sebuah sistem akan semakin meningkat. Coser (1957:198) menyebutkan juga bahwa perebutan sumber ekonomi dan masuknya teknologi merupakan pemicu secara langsung timbulnya konflik. Lewis Coser (Poloma, 1992: 189 -111) menyatakan bahwa katub penyelamat (safety-valve) adalah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katub penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar untuk meredakan permusuhan, yang tanpa itu
21 Universitas Sumatera Utara
hubungan pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Dengan demikian praktek-prektek atau institusi katup penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur. Lewat katup penyelamat (safety-valve) itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu, mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri-individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.
22 Universitas Sumatera Utara