BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis
pantai 81.791 km serta 17.504 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km 2, sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds) (Dahuri et al. 1996). Indonesia memiliki 15 formasi hutan alam yang salah satunya adalah formasi hutan pantai. Data menunjukkan bahwa luas vegetasi pantai dari tahun ke tahun cenderung menurun, jika pada tahun 1996 luas vegetasi pantai mencapai 180.000 ha sampai tahun 2004 hanya tersisa 78.000 ha. Luas hutan pantai menurun seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk. Kebutuhan penduduk berupa pangan dan tempat tinggal inilah yang kemudian menjadi ancaman bagi wilayah pesisir terutama hutan pantainya. Wilayah pesisir yang berhadapan langsung dengan laut lepas membutuhkan pelindung dari berbagai ancaman bencana yang ditimbulkan. Bencana yang potensial terjadi di wilayah pesisir antara lain tsunami, badai, angin topan, abrasi dan intrusi air laut. Usaha perlindungan kawasan pesisir dapat dilakukan dengan memperbaiki secara
ekologis
(fisik
dan
biologik).
1
Cara
fisik
dapat
dilakukan
2
dengan mendirikan bangunan di pesisir pantai sebagai pemecah angin dan melindungi kawasan di belakang bangunan, seperti yang telah diimplementasikan di Pantai Glagah, Yogyakarta. Cara biologik dilakukan dengan membangun hutan pantai sebagai shelterbelt. Vegetasi pesisir berfungsi sebagai pemecah angin (windbreak). Menurut Tuheteru (2012), vegetasi pesisir pantai dapat melindungi bangunan dan budidaya tanaman pertanian dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam dengan cara menghambat kecepatan dan memecah tekanan terpaan angin yang menuju ke pemukiman penduduk. Salah satu kawasan pesisir di Indonesia adalah pesisir pantai selatan Yogyakarta. Kawasan tersebut berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, yang berdampak pada kencangnya terpaan angin ke wilayah daratan di pesisir pantai. Upaya
untuk
mereduksi
kencangnya
angin
dilakukan
dengan
membuat
tanggul/bangunan pemecah angin (cara fisik), yaitu di kawasan Pantai Glagah Yogyakarta. Selain itu, dilakukan juga pembangunan hutan pantai yang berupa windbreak tanaman cemara udang (Casuarina equisetifolia) antara lain di Pantai Trisik, Kuwaru, Goa Cemara, dan Samas. Pembangunan hutan pantai dilakukan dengan menanam tanaman yang mampu tumbuh di kawasan pantai berpasir yang pada umumnya kering, berkadar garam tinggi, dan terpaan angin yang kencang. Cemara udang (Casuarina equisetifolia) digunakan sebagai tanaman rehabilitasi untuk membentuk suatu ekosistem hutan tanaman yang mampu mengurangi kecepatan dan memecah terpaan angin dari laut ke wilayah daratan. Selain itu tegakan cemara udang juga diharapkan mampu
3
membentuk lahan yang produktif di kawasan pesisir pantai. Cemara udang merupakan salah satu jenis tanaman yang terbukti mampu tumbuh di lahan pantai dengan baik, sehingga cocok untuk dikembangkan dalam rangka rehabilitasi lahan pantai (Winarni dan Adriana, 2004). Pertumbuhan tanaman cemara udang (Casuarina equisetifolia) di pesisir pantai sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi antara lain: kecepatan angin, salinitas, kandungan hara dalam tanah dan suhu udara. Perbedaan kecepatan angin yang diterima tanaman dapat menyebabkan variasi pertumbuhan, antara lain keanekaragaman diameter, tinggi, serta luas dan bentuk tajuk (Kimmins, 1987). Pengaruh faktor lingkungan ini dapat mengubah struktur tanaman dan membuat fungsinya sebagai windbreak tidak maksimal. Kimmins (1987) menyatakan hutan efektif dalam memodifikasi angin karena memiliki porositas, sehingga sebagian pergerakan angin akan masuk ke dalam tegakan. Permukaan daun, percabangan dan kulit batang yang besar mampu menyediakan gaya gesek yang besar, sehingga efektif untuk mengurangi kecepatan angin. Dalam hal ini, profil angin dalam hutan ditentukan oleh tiga faktor, yaitu jenis tanaman, kerapatan, struktur tegakan. Lee, Ehsani, dan Castle (2010) menyatakan bahwa kemampuan windbreak dalam mengurangi kecepatan angin sebagian besar ditentukan oleh porositas dan permeabilitasnya untuk aliran udara. Porositas erat kaitannya dengan karakteristik geometri, seperti: jarak tanam, tinggi pohon, lebar, bentuk dan volume. Menurut Brandle et al. (2000) dalam Takle et al. (2006) bahwa ada beberapa karakteristik vegetasi pantai penting yang berkontribusi terhadap
4
efektivitas hutan pantai sebagai tanggul angin. Faktor-faktor tersebut adalah tinggi (Height), kerapatan (density), panjang (lenght), lebar atau ketebalan (widht), kontinyuitas (continuity), orientasi (orientation) dan bentuk penampang melintang (cross-sectional shape). Pantai Gua Cemara memiliki windbreak cemara udang terpanjang di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Panjang pantainya yang mencapai lebih dari 1200 meter, ditanami cemara udang pada tahun 1998 dengan tujuan mengurangi kecepatan angin yang menuju daratan. Angin laut yang berhembus dari Samudera Hindia ini dapat membawa muatan pasir-pasir halus bahkan pada jarak 1000 meter dari bibir pantai. Kondisi tersebut tidak menguntungkan bagi sektor pertanian, karena tanaman pertanian tidak dapat tumbuh walaupun jauh dari bibir pantai, maka diadakan penanaman cemara udang, yang diharapkan mampu mengurangi kecepatan angin, dan abrasi. Fungsi hutan tanaman cemara udang untuk mengurangi kecepatan angin perlu diteliti supaya terdapat data yang pasti mengenai persentase penurunan kecepatan angin. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui keefektifan hutan tanaman cemara udang dalam mengurangi kecepatan angin seperti tujuan utama pembangunan windbreak. Data yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan menyusun rencana pengelolaan hutan tanaman cemara udang.
5
1.2 Rumusan Masalah Kondisi wilayah pantai yang ekstrim seperti tingginya suhu udara, angin kencang, dan lahan miskin hara menyebabkan tidak banyak tanaman yang mampu tumbuh pada kondisi tersebut. Cemara udang (Casuarina equisetifolia) dipilih sebagai tanaman rehabilitasi karena sifatnya yang mampu tumbuh pada karakteristik lahan yang kritis. Pertumbuhan tanaman cemara udang diharapakan mampu mempengaruhi kondisi ekstrim di habitat pesisir antara lain, dapat mengurangi kecepatan angin yang menuju daratan, meningkatkan kandungan hara dalam tanah sehingga lahan menjadi lebih produktif. Lahan yang produktif di belakang hutan tanaman dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian, permukiman, ekowisata. Kecepatan angin yang menuju daratan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman, yaitu kerapatan, tinggi dan diameter, maka perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristik hutan tanaman cemara udang dan perannya dalam mengurangi kecepatan angin dari laut menuju daratan.
1.3
Tujuan 1. Mengetahui kerapatan, tinggi dan diameter tanaman cemara udang (Casuarina equisetifolia). 2. Mengetahui kecepatan angin sebelum dan setelah melewati tanaman. 3. Menganalisis pengaruh kerapatan, tinggi dan diameter tanaman cemara udang (Casuarina equisetifolia) terhadap kecepatan angin.
6
1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi pengelola, sebagai bahan evaluasi dalam hubungannya dengan fungsi tanaman rehabilitasi yang mampu mengurangi kecepatan angin, sehingga lahan di pesisir dapat lebih produktif. Lahan yang produktif dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan sosial ekonomi dan pariwisata, seperti lahan pertanian, permukiman dan ekowisata. Selain itu, penelitian
ini juga dapat menjadi acuan bagi penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan hutan rehabilitasi, hutan pantai dan windbreak.