BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Sumatera Timur (Ooskust van Sumatra atau Sumatra’s Ooskust) merupakan istilah yang berkembang pada abad ke-19 untuk menamakan wilayah di sekitar pantai timur Pulau Sumatera. Di wilayah ini berdiri beberapa kerajaan Melayu yang berhasil menanamkan kekuasaannya dari hegemoninya atas sungai yang merupakan trasnsportasi utama saat itu. 1 Beberapa kerajaan Melayu itu pun mendirikan pusat kerajaannya di tepi sungai baik sungai kecil maupun besar, di antaranya: Kerajaan Langkat dengan pusat kerajaan di kota Tanjung Pura dekat Sungai langkat, Kerajaan Deli dengan pusat kerajaan Labuhan di pinggir Sungai Deli, Kerajaan Serdang dengan pusat kerajaan Rantau Panjang di tepi Sungai Serdang, Kerajaan Bedagai dengan pusat kerajaan Tanjung Beringin di pinggir Sungai Bedagai, Kerajaan Padang dengan pusat kerajaan Bandar Khalifah di dekat Sungai Padang, Kerajaan Asahan dengan pusat kerajaan Tanjung Balai di pinggir Sungai Asahan, Kerajaan Bilah dengan pusat kerajaan Negeri Lama di tepi Sungai Bilah dan Kerajaan Panai dengan pusat kerajaan Labuhan Bilik di pinggir Sungai Panai. Sebelum ekpansi Kolonial Belanda atas Sumatera Timur, beberapa kerajaan membangun pelabuhan (dalam pengertian tempat berlabuhnya kapal-kapal) di tepi sungai sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal dan memerintah, pusat kegiatan ekonomi, dan juga pusat aktivitas kebudayaan, sehingga muncullah beberapa pelabuhan tradisional. Demikian juga halnya dengan Kerajaan Panai yang membangun Pelabuhan di Labuhan Bilik. 1
J. Kathirittamby-Wells, “Hulu-hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East Sumatra before the Mid-Nineteenth Century”, dalam Archipel, 1993, hlm. 77-96
Universitas Sumatera Utara
Letak pelabuhan yang berada di tepi sungai merupakan pertimbangan bahwa sungai adalah transportasi utama saat itu. Melalui sungai hasil bumi di bagian hulu dibawa ke hilir, untuk selanjutnya diperdagangkan dan diekspor ke luar, terutama ke Penang. Sebaliknya melalui sungai pula barang-barang kebutuhan diimpor dari luar dan dibawa dari hilir ke hulu. 2 Letak pelabuhan di Labuhan Bilik ini sangat strategis. Pelabuhan ini terletak di tepi Sungai Panai yang berhilir ke Selat Malaka dan berhulu ke Sungai Barumun. Sungai ini termasuk sungai yang bermuara di Selat Malaka, tergolong luas dan dalam, sehingga dapat dilayari oleh kapal-kapal dengan ukuran besar. Selain itu, Labuhan Bilik juga merupakan pertemuan dua sungai yaitu Sungai Barumun dan Sungai Bilah yang sama-sama bermuara ke Sungai Panai. Letak yang strategis menjadikan Pelabuhan Labuhan Bilik adalah salah satu pelabuhan terpenting di Sumatera Timur. Sebelum perkembangan perkebunan, Labuhan Bilik adalah salah satu pelabuhan tradisional terbesar di Sumatera Timur. Bahkan, peranan ini terus dipegang oleh Labuhan Bilik hingga diambil alih oleh Belawan, sebuah pelabuhan yang sengaja dibuat berkaitan dengan perkembangan Sumatera Timur sebagai wilayah perkebunan. John Anderson dalam catatan perjalanannya ke Sumatera Timur pada tahun 1823, mencatat beberapa komoditas ekspor dari Labuhan Bilik diantaranya padi, rotan, budak, lilin, dan kayu celup 3. Pertumbuhan Pelabuhan Labuhan Bilik berkaitan dengan posisinya yang berada di aliran Sungai Panai yang merupakan pertemuan dari Sungai Barumun dan Sungai Bilah. Di
2
Bambang Triatmodjo, Pelabuhan, Jakarta: Beta Offset, 1992, hlm. 7
3
John Anderson, Mission to the East Cost of Sumatra in 1823, New York: Oxford University, 1971, hlm. 389-390.
Universitas Sumatera Utara
sepanjang kedua aliran sungai yang terakhir ini banyak terdapat pemukiman-pemukiman penduduk. Di sungai Barumun misalnya kampung Meranti Paham, Cabang Dua, Malindo, Sei Jawi-jawi, Kampung Labuhan Batu, Kota Pinang, Sikampak, dan Gunung Tua. Sementara itu, di aliran Sungai Bilah terdapat Tanjung Halaban, Sei Kasih, Sei Mambang, Sei Tampang, Negeri Lama, Pangkatan, Rantauprapat sampai dengan Marbau. Daerah-daerah ini secara administrasi berada di bawah kekuasaan tiga kerajaan yaitu Kerajaan Panai yang berpusat di Labuhan Bilik, Kerajaan Bilah yang berpusat di Negeri Lama dan Kerajaan Kota Pinang yang berpusat di Kota Pinang. Ketiga kerajaan ini secara historis merupakan kerajaan serumpun yang berasal dari Minangkabau. Selain hubungan kekerabatan, hubungan perdagangan antar wilayah dari ketiga kerajaan ini juga terjalin dengan baik. Daerah-daerah inilah yang merupakan wilayah cakupan Pelabuhan Labuhan Bilik dalam kegiatan perdagangan ekspor-impor. Jumlah penduduk pada masa prakolonial untuk ketiga wilayah ini secara spesifik tidak ditemukan. Dari beberapa catatan, di antaranya John Anderson, menyebutkan jumlah penduduk di Aliran Sungai Bilah diperkirakan berjumlah 1.300 orang termasuk orang Batak, sedangkan di aliran sungai Panai terdapat 1.000 orang Melayu, disamping sebagian besar orang Batak4. Dalam catatan J. C. F. Vigelius pada tahun 1866 menyebutkan jumlah penduduk pada tiga kerajaan ini tidak lebih dari 20.000 orang, yang terdiri dari Kerajaan Panai 5.000-6.000 orang, Kerajaan Kota Pinang 8.000 orang dan Kerajaan Bilah 7.000 orang 5. Selama masa kolonial, peranan Labuhan Bilik juga sangat penting. Dalam tahun 1920-1934, Labuhan Bilik merupakan pelabuhan ekspor karet rakyat terbesar di Sumatera 4
Ibid
5
J. C. F. Vigelius, “Memorie van Overgave van het Bestuur over Afdeeling Panei en Bila”, dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde van Bataviasch Genootschap, jilid XVII, 1866, hlm. 438.
Universitas Sumatera Utara
Timur, puncaknya pada tahun 1929 dan 1934 dimana pelabuhan ini mengekspor karet rakyat lebih dari 4.000 ton dan pada tahun 1925-1939, pelabuhan ini mengimpor beras lebih dari 5.000-12.000 ton per tahunnya 6. Angka-angka yang tinggi tersebut sebenarnya dapat dimaklumi mengingat bahwa pembangunan jalur darat berupa jalan raya dan jalur kereta api yang dilakukan pihak Belanda di akhir abad ke-19 di Sumatera Timur belum menyentuh daerah Afdeling Asahan bagian Selatan yaitu Onderafdeling Labuhan Batu. Di wilayah ini, transportasi air (sungai) masih menjadi andalan utama untuk penghubung atau pembawa barang hasil bumi dan kebutuhan masyarakat. Konsentrasi perkebunan yang terfokus pada afdeling Deli en Serdang ditandai dengan perkembangan Pelabuhan Belawan yang menjadi pelabuhan ekspor-impor terbesar di Sumatera Timur pada abad ke-20. Terbukanya jalur darat menyebabkan pengangkutan hasil perkebunan dan hasil pertanian rakyat mengalihkan jalurnya mengingat jalur darat lebih memiliki nilai ekonomis dibanding dengan jalur air. Hal ini menyebabkan pelabuhanpelabuhan tradisional yang ada di Sumatera Timur mengalami penurunan kegiatan eksporimpor secara drastis. Pelabuhan yang bertahan dari krisis penurunan aktivitas ekspor-impor itu adalah Pelabuhan Labuhan Bilik dan Tanjung Balai. Pelabuhan Tanjung Balai bertahan lebih disebabkan oleh perkembangan daerah itu sebagai sebuah gemeente dan transportasi berupa jalan raya dan jalur kereta api. Sementara itu, kegiatan ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik mengalami pluktuasi, di satu komoditi mengalami penurunan namun hal ini ditutupi oleh meningkatnya komoditi yang lain. Jadi kuantitas ekspor-impor dari Pelabuhan Labuhan Bilik dapat dikatakan masih tetap.
6
Verslag van “De Handelsvereeniging te Medan”, tahun 1916-1939.
Universitas Sumatera Utara
Adanya kebijakan restriksi karet dan kebijakan akan ekspor yang harus dalam bentuk karet kering menyebabkan ekspor karet dari Pelabuhan Labuhan Bilik yang merupakan ekspor utama mengalami penurunan sejak tahun 1934. Namun, penurunan akan ekspor karet tidak mempengaruhi kuantitas ekspor secara keseluruhan. Hal ini disebabkan seiring dengan menurunnya ekspor karet, di sisi yang lain muncul komoditi ekspor yang baru yaitu palmolie yang meningkat drastis dari tahun ke tahun. Sedangkan komoditi yang lain yaitu kopra dan pinang relatif meningkat. Kajian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan tentang kuantitas eksporimpor di Pelabuhan Labuhan Bilik selama masa Kolonial Belanda dan menganalisa perkembangan kuantitas ekspor-impor itu. Ruang lingkup spasial penelitian ini adalah Labuhan Bilik di samping wilayah-wilayah yang menjadi cakupan dari Pelabuhan Labuhan Bilik. Pendudukan Kolonial Belanda atas wilayah Labuhan Batu sudah dimulai sejak tahun 1862. Kampung Labuhan Batu menjadi pusat pemerintahan Kolonial Belanda untuk wilayah ini. Sejak 1894, pusat pemerintahan kemudian di pindahkan ke Labuhan Bilik. Pembangunan atau lebih tepat dikatakan pengembangan Pelabuhan Labuhan Bilik oleh Kolonial Belanda dapat diperkirakan seiring dipindahkannya pusat pemerintahan itu. Namun dalam hal ini, tidak ada data yang valid yang ditemukan akan aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik sampai dengan tahun 1914. Jadi, pembahasan aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik akan dimulai dari tahun ini. Adapun batasan akhir permasalahan adalah tahun 1939 juga disebabkan oleh penemuan data aktivitas ekspor impor di Pelabuhan Labuhan Bilik.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan argumentasi di atas, maka perumusan masalah dalam kajian ini menfokuskan: 1. Labuhan Bilik sebelum Kolonial Belanda dan pada masa Kolonial Belanda. 2. Keberadaan dan wilayah cakupan Pelabuhan Labuhan Bilik. 3. Aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik 1914-1939.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan Rumusan Masalah yang akan diungkap dalam kajian ini, maka adapun tujuan dari kajian ini adalah: 1. Menjelaskan keadaan Labuhan Bilik sebelum dan pada masa Kolonial Belanda. 2. Menjelaskan keberadaan dan wilayah cakupan Pelabuhan Labuhan Bilik. 3. Menjelaskan dan menganalisa aktivitas ekspor-impor di Pelabuhan Labuhan Bilik.
Adapun manfaat yang diharapkan dari kajian ini yaitu : 1. Bagi disiplin Ilmu Sejarah, dapat menambah referensi Sejarah Labuhan Bilik khususnya dan Sejarah Sumatera Timur pada umumnya. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang sektor maritim di Indonesia khususnya tentang kepelabuhan. 3. Aspek praktis yang mungkin dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah menjadi masukan bagi pemerintah dalam
mengambil kebijakan untuk
memajukan
pembangunan dengan mempertimbangkan aspek pelabuhan sebagai penghubung jalan maritim dan jalan darat sebagai sarana ekspor-impor wilayah yang menjadi
Universitas Sumatera Utara
cakupannya, sekaligus menunjukkan bahwa berdasarkan letak geografisnya Labuhan Bilik pernah menjadi wilayah yang strategis untuk tujuan tersebut dan dapat dikembangkan.
1.4. Tinjauan Pustaka Kajian tentang perkembangan pelabuhan tradisional di Sumatera Timur belum banyak diteliti. Dari beberapa kajian memang ada disinggung tentang peran pelabuhanpelabuhan itu, tetapi tidak secara spesifik. Edi Sumarno dalam tesisnya berjudul “Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur 1863-1942 (1998)” 7 menyinggung tentang peranan pelabuhanpelabuhan tradisional yang memainkan peranan penting dalam perkembangan pertanian karet rakyat di wilayah ini. Salah satu perannya adalah sebagai pelabuhan ekspor-impor dari dan ke wilayah pedalaman, khususnya pengangkutan karet yang wilayah produksinya berada di sekitar aliran-aliran sungai. Melalui sungai, karet yang diproduksi di pedalaman diangkut dan kemudian diekspor lewat pelabuhan-pelabuhan itu. Dalam tesisnya ini, Edi Sumarno juga mengungkapkan sifat petani Sumatera Timur adalah petani subsisten 8. Sifat ini menunjukkan di mana petani melakukan penanaman atau produksi pada suatu tanaman berdasarkan situasi dan kondisi terutama permintaan dan harga akan hasil dari tanaman itu. Dikenalnya tanaman karet sebagai salah satu tanaman komersil 7
Edi Sumarno, “Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur (1863-1942)”, Tesis S-2, belum diterbitkan, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1998. 8
Petani subsisten di sini adalah petani yang tidak menggantungkan pendapatannya pada satu jenis tanaman semata. Dengan kata lain, petani melakukan penggantian atau peralihan tanaman jika hal itu lebih memberi keuntungan bagi mereka. Peralihan dapat terjadi dari pertanian dengan tanaman pangan ke tanaman komersial maupun sebaliknya untuk meraih keuntungan yang lebih besar. D. H. Penny, “The Transition from Subsistence to Commercial Family Farming in North Sumatra”, Ph. D. Dissertation, Cornell University, 1946, hlm. 238-240, lihat juga, Bambang Purwanto, “From Dusun to the Market: Native Rubber Cultivation in Southern Sumatra, 1880-1940”, Ph. D. Dissertation, University of London, 1992.
Universitas Sumatera Utara
membuat petani menanam karet atau memproduksi karet berjenis ficus yang ada di hutan. Ketika petani menanam atau memproduksi karet, sebagian besar mereka meninggalkan atau setidaknya mengurangi penanaman padi yang pada sebelumnya merupakan tanaman utama. Hal ini terlihat dari kuantitas ekspor karet dan impor beras. Angka dari ekspor dan impor kedua komoditi itu berjalan sejajar, di mana ketika ekspor karet meningkat maka impor beras juga ikut mengalami peningkatan. Demikian sebaliknya jika ekspor karet menurun maka impor beras juga mengalami penurunan. Kajian tentang kondisi kerajaan Panai dan kerajaan kecil lainnya di wilayah Labuhan Batu ditulis oleh T. Luckman Sinar Basarsyah II dalam bukunya “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur” (tanpa tahun) 9. Dalam buku ini, keberadaan kerajaankerajaan di Sumatera Timur diungkapkan secara jelas dan lugas termasuk Kerjaan Panai dengan Labuhan Bilik sebagai pusat kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur dikaji mulai dari awal berdiri hingga keruntuhannya pada masa terjadinya Revolusi Sosial di Sumatera Timur tahun 1946. Kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pada masa Kolonial Belanda diungkapkan secara mendalam mulai dari awal penetrasi sampai jalannya pemerintahan oleh Belanda. Kontrak dan perjanjian politik antara pihak kerajaan dengan Belanda juga diungkapkan. Tidak ketinggalan pelaksanaan pemerintahan dan kebijakan Belanda yang ingin mengurangi kekuasaaan para raja. Dengan kata lain, segala aspek tentang kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur di bahas dalam buku itu. Dengan demikian, buku Bangun Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur menjadi referensi utama dalam mengungkapkan kondisi kerajaan Panai atau Labuhan Bilik sebelum dan pada masa kolonial Belanda. 9
T. Luckman Sinar Basarsyah II, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan di Sumatera Timur, tanpa penerbit, Medan, tanpa tahun.
Universitas Sumatera Utara
Dalam menelusuri langkah-langkah pemikiran teoritis, perlu kiranya mengacu pada karya Bambang Triatmodjo dalam bukunya “Pelabuhan” (1996: 1-15). Dalam buku itu dijelaskan bahwa Pelabuhan adalah bandar yang dilengkapi dengan bangunan-bangunan untuk pelayanan muatan dan penumpang seperti dermaga, tambatan, dengan segala perlengkapannya. Bambang juga menjelaskan bahwa perkembangan pelabuhan di Indonesia pada awalnya hanya merupakan suatu tepian di mana kapal-kapal dan perahu-perahu dapat merapat dan membuang jangkar untuk bisa melakukan kegiatan-kegiatan perkapalan. Dengan berkembangnya kehidupan sosial ekonomi membuat bentuk dan aktivitas kapal mengalami perkembangan sehingga pelabuhan juga harus menyesuaikan dengan hal itu. Di lain hal, Bambang juga menyatakan bahwa pelabuhan berfungsi sebagai penunjang aktivitas pelayaran. Indonesia sebagai negara kepulauan/maritim yang mempunyai lebih dari 3.700 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling dunia melalui khatulistiwa menjadikan peranan pelayaran adalah sangat penting bagi kehidupan sosial, ekonomi, pemerintahan, pertahanan/keamanan dan sebagainya. Ditinjau dari fungsinya dalam perdagangan nasional dan internasional, pelabuhan dapat dibedakan ke dalam dua jenis yaitu (1) pelabuhan laut adalah pelabuhan yang bebas dimasuki oleh kapalkapal bendera asing dengan mematuhi peraturan yang telah di tetapkan, dan (2) pelabuhan pantai adalah pelabuhan yang disediakan untuk perdagangan dalam negeri dan oleh karena itu tidak bebas disinggahi oleh kapal berbendera asing. Buku ini membimbing penelitian terutama dibidang teoritis dan konsep tentang pelabuhan serta akan dapat menentukan fungsi Pelabuhan Labuhan Bilik. Sementara itu Adrian B. Lapian dalam bukunya “Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17” (2008: 95-112), menggambarkan kondisi pelayaran termasuk pelabuhan
Universitas Sumatera Utara
di nusantara pada abad ke-16 dan 17. Andrian menjelaskan bahwa tempat yang paling baik bagi kapal untuk berlabuh adalah pada sebuah sungai, agak jauh ke dalam. Faktor gangguan alam dan keamanan serta jaringan dan komunikasi ke pedalaman yang lebih banyak menggunakan sungai menyebabkan pelabuhan yang berada di muara sungai memberikan banyak keuntungan. Dalam buku ini Adrian memberikan contoh beberapa kondisi pelabuhan yaitu kota Palembang, Pelabuhan Surabaya, Pelabuhan Banda Aceh, Pelabuhan Ternate, Pelabuhan Malaka, Pelabuhan Jepara, Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Banten, dan lainnya. Dalam bukunya itu, Adrian juga menggambarkan sistem pelayaran dan perniagaan di beberapa pelabuhan nusantara. Barang-barang ekspor dan impor dari beberapa pelabuhan juga dibicarakan, namun Adrian tidak menuliskan jumlah barang-barang tersebut secara terperinci. Jalur-jalur pelayaran nusantara dikupas secara detail, tapi dalam kapasitas nusantara. Tidak kalah pentingnya, faktor-faktor tumbuh kembangnya pelabuhan pada masa itu juga diungkapkan dengan mengacu pada beberapa pelabuhan yang ada. Buku ini memberikan keterangan tentang pelayaran di nusantara dan akan menjadi perbandingan terhadap pelayaran di Pelabuhan Labuhan Bilik serta faktor-faktor tumbuh kembangnya Pelabuhan Labuhan Bilik. Perniagaan menggunakan pelayaran melalui sarana pelabuhan melibatkan banyak pelaku baik itu individu maupun golongan. Orang-orang yang terlibat dalam pelayaran tersebut dikupas secara mendalam oleh Adrian B. Lapian dalam disertasinya yang dibukukan “Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi abad XIX” (2009). Dalam bukunya yang fenomenal ini, Adrian menggambarkan bagaimana proses hubungan timbal balik dan unsur saling kepentingan antara yang disebutnya sebagai orang laut, bajak
Universitas Sumatera Utara
laut dan raja laut dalam perniagaan dan pelayaran di kawasan laut Sulawesi. Orang laut yang terkadang bisa dikatakan sebagai bajak laut dan atau raja laut; bajak laut yang terkadang juga bisa dikatakan sebagai orang laut dan atau raja laut; dan raja laut dalam suatu kondisi dapat dikatakan sebagai orang laut dan atau bajak laut, memegang peranan yang sangat penting dalam proses perniagaan dalam pelayaran. Munculnya ketiga istilah golongan tersebut merupakan perbedaan perspektif yang menganggap bahwa dirinya mempunyai kekuasaan atas suatu kawasan laut, baik itu dalam hal perniagaan maupun pelayaran. Batas teritorial kekuasaan tersebut terkadang mengalami tumpang tindih diantara ketiganya. Namun yang terpenting adalah bahwa bagaimana ketiga golongan ini memegang peranan yang sangat penting dan tidak dapat dihindarkan dalam perkembangan dan hambatan dalam proses perniagaan dan pelayaran pada suatu kawasan laut. Adrian menjelaskan bahwa hal ini juga sebenarnya terjadi hampir diseluruh kawasan laut nusantara. Dengan demikian, kemungkinan di Pelabuhan Labuhan Bilik juga terjadi hal demikian. Buku ini juga akan memberikan pengantar sekaligus pembanding dalam penelitian khususnya di bidang orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam aktivitas di Pelabuhan Labuhan Bilik.
1.5. Metode Penelitian Metode penelitian ini mengacu pada proses penelitian sejarah yang dikenal dengan metode sejarah. Dalam metode sejarah ada empat tahapan yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Heuristik yaitu mengadakan pengumpulan sumber sesuai dengan permasalahan penelitian ini. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah
Universitas Sumatera Utara
sumber tertulis, baik primer maupun sekunder, yakni berupa arsip, laporan, dan skripsi, tesis, disertasi, serta buku-buku yang berkaitan dengan obyek penelitian. Pengumpulan arsip berupa arsip nasional, arsip daerah maupun arsip pribadi. Laporan berupa laporan perjalanan, penelitian dan laporan instansi pemerintah Hindia Belanda. Pengumpulan skripsi, tesis, disertasi yang diterbitkan maupun belum diterbitkan. Sumber-sumber pustaka yang digunakan dalam penulisan ini didapat dari koleksikoleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional dan Koleksi George L. Hicks LIPI Jakarta serta koleksi Perpustakaan Daerah Sumatera Utara dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Sumber utama kajian ini adalah laporan perdagangan dari De Handelsvereeniging te Medan. Laporan ini terdiri dari dua jenis yaitu pertama laporan tahunan berjudul Verslag van “De Handelsvereeniging te Medan”, dari tahun 1915-1939, sedangkan yang kedua adalah laporan bulanan, yakni Mededeelingen van “De Handelsvereeniging te Medan”. Sumber lain berupa Laporan serah terima jabatan (Memorie van Overgave) para perjabat pemerintah tingkat controleur Onderafdeling e
Labuhan Batu. Sumber ini merupakan Koleksi ANRI Jakarta, Indeks Folio MvO 1 reel No. 20. sumber lain adalah hasil laporan C. G. Slotemaker dengan judul Bevolkingsrubbercultuur in Nederlandsch-Indie, VI, Riouw en Onderhoorigheden, Ooskust van Sumatra en Atjeh en Onderhoorigheden tahun 1926. Di samping sumber utama, terdapat sumber pendukung data dalam kajian ini. Salah satunya adalah majalah Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Voklenkunde van Bataviasch Genootschap Jilid XVII. Dokumen leksikografi yaitu Staatsblad van Nederlandsch Indie dan Encyclopaedia van Nederlandsch Indie. Sumber lain adalah buku-buku, skripsi, tesis dan laporan. Salah satunya adalah laporan yang telah dibukukan oleh John Anderson yang
Universitas Sumatera Utara
berjudul Mission to teh Eastcost of Sumatra in 1823. Sementara itu, studi lapangan dilakukan dengan merekam jejak-jejak peninggalan pelabuhan dan bangunan-bangunan Kolonial Belanda di Labuhan Bilik. Setelah data terkumpul maka tahapan selanjutnya dilakukan kritik sumber baik kritik intern maupun kritik ekstern. Kritik ekstern menyangkut dokumennya yaitu meneliti apakah dokumen itu memang dibutuhkan, apakah palsu atau asli, utuh atau sudah diubah sebagian. Kritik intern berupa meneliti isi dari data itu untuk menilai kelayakan data akan permasalahan
penelitian.
Hal
ini
dilakukan
melalui
pengelompokan
data
dan
membandingkannya dengan data yang lain. Tahapan selanjutnya adalah interpretasi yaitu membuat analisis dan sintesis terhadap data yang telah diverifikasi. Hal ini diperlukan untuk membuat sumber-sumber yang tampaknya terlepas satu dengan lainnya menjadi satu hubungan yang saling berkaitan. Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta sehingga terdapat pemahaman terhadap fakta sejarah baik secara tematis maupun kronologis dapat diungkapkan Tahapan yang terakhir dalam metode sejarah adalah historiografi. Historiografi merupakan konstruksi fakta yang terlepas satu sama lain untuk digabungkan menjadi satu perpaduan yang harmonis dan logis. Tahapan ini dilakukan melalui perangkaian fakta-fakta dalam bentuk penulisan sejarah.
Universitas Sumatera Utara