PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
LAPORAN KEGIATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN KAWASAN PANTAI DAN PESISIR
I.
PENDAHULUAN Indonesia yang merupakan negara kepulauan, memiliki luas wilayah laut yang besar dengan panjang pantai 81.000 km, wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat dan keadaan laut. Hal ini meliputi pasang surut air laut, gelombang laut, arus laut. Wilayah yang dipengaruhi oleh sifat-sifat dan keadaan laut disebut wilayah pesisir. Pada umumnya wilayah pesisirnya mempunyai ekosistem yang sangat beraneka ragam, antara lain hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut. Hutan Mangrove Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Sedangkan pengertian pesisir menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1 merupakan suatu wilayah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Ekosistem pesisir didominasi oleh ekosistem mangrove, dimana keberadaannya memiliki fungsi dan manfaat baik bagi lingkungan maupun masyarakatnya. Ekosistem mangrove sebagai ekosistem peralihan antara darat dan laut telah diketahui mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai penghasil bahan organik, tempat berlindung berbagai jenis binatang, tempat memijah berbagai jenis ikan dan udang, sebagai pelindung pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar, kayu arang, dan tanin (Soedjarwo, 1979 dalam Waryono, 2000). Ekosistem mangrove tumbuh di sepanjang garis pantai atau di pinggiran sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut perpaduan antara air sungai dan air laut. Sedangkan lebar hutan mangrove sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut serta jangkauan air pasang di kawasan pantai tersebut. Mangrove sendiri merupakan tumbuhan dikotil berkayu yang hidup hanya di daerah tropis. Mangrove dapat membentuk hutan yang lebat dan mendominasi pantai 1 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
lumpur di daerah intertidal serta dapat menyesuaikan diri dengan habitat yang mempunyai tekanan air pasang tinggi, fluktuasi salinitas, kadar oksigen yang rendah di dalam air, dan tingginya suhu di daerah tropis. Berikut ini dapat dilihat peta mengenai ekosistem mangrove apabila ditinjau dari Perda no 03 tahun 2007 tentang RTRW Kota Surabaya.
2 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Sumber : Perda no 3 tahun 2007 tentang RTRW Kota Surabaya Gambar 1.1 Peta RTRW Kota Surabaya
3 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Gambar 1.2 Peta Mangrove
4 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Sedangkan dilihat dari segi pemanfaatan lahan mangrove di Kota Surabaya pada tahun 2010 adalah sebagai berikut. Tabel 1.1 Pemanfaatan Lahan Mangrove di Surabaya Tahun 2010 Lokasi Hutan Mangrove (Ha) Kabupaten/ Kota
SURABAYA
DAS
Brantas
Kecamatan / kelurahan
Jumlah(Ha) Pantai
Kec. Mulyorejo Kalisari 74.47 Kejawan Putih 10.12 Tambak Jumlah 84.59 Kec. Sukolilo Keputih 24.03 24.03 Jumlah Kec. Rungkut 23.12 Wonorejo Medokan 24.76 Ayu Jumlah 47.88 Kec. Gunung Anyar Gunung Anyar 14.94 tambak 14.94 Jumlah Jumlah Pantai 171.44 Timur JUMLAH 249.32 TOTAL
Tambak Sungai Lainnya
17.50
5.55
-
97.52
28.63
10.57
-
49.32
46.13
16.12
-
146.84
85.72 85.72
7.16 7.16
-
116.91 116.91
13.29
27.86
-
64.27
56.68
8.30
-
89.74
69.97
36.16
-
154.01
47.64
11.28
-
47.64
11.28
-
73.86
249.46
70.72
-
491.62
285.46
89.95
-
624.73
(Sumber : Dinas Pertanian, 2010)
Berdasarkan Tabel diatas dapat diketahui bahwa mangrove di daerah Surabaya dimanfaatkan sebagai area tambak, perlindungan pantai dan kanan-kiri sungai. Kawasan mangrove yang dimanfaatkan sebagai daerah tambak memiliki luasan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah pantai dan sungai. Hal ini diduga karena adanya alih fungsi lahan mangrove menjadi daerah pertambakan sehingga keberadaan mangrove paling besar berada di daerah tambak. Ketebalan kawasan mangrove + 5-10 m dominasi jenis Avicennia marina.
5 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Hasil pengamatan kawasan mangrove di kawasan Pantai Timur Surabaya (1999) menunjukkan bahwa pada: 1. Garis pantai muara sungai Wonorejo: o
ketebalan kawasan mangrove ± 5-10 meter dan didominasi jenis Avicennia marina, A. alba, Sonneratia ovata, S. caseolaris dan Rhizophora mucronata.
o
kondisi hutan relatif baik, pada luasan tertentu hutan mangrove yang didominasi jenis Avicennia sp tampak rusak, daun meranggas, kanopi tidak rimbun, batang gundul dan miring.
o
tampak kelompok-kelompok pohon mangrove yang didominasi oleh jenis Sonneratia ovata dan S. alba di perairan laut, terpisah dari hutan mangrove di garis pantai. Mangrove juga memiliki beberapa fungsi diantaranya :
1. Fungsi Biologi Berfungsi sebagai daerah asuhan pasca larva dan jenis ikan, udang serta menjadi tempat kehidupan jenis-jenis kerang dan kepiting, tempat bersarang burungburung dan menjadi habitat alami bagi berbagai jenis biota. Mangrove di Wonorejo yang mengalami proses pelapukannya, hutan mangrove sangat kaya protein dan menjadi sumber makanan utama bagi hewan-hewan tersebut di atas, yang selanjutnya akan menjadi bahan makanan ikan-ikan lainnya seperti Belanak yang banyak terdapat di Pamurbaya.
Gambar 1.3 Kelompok Burung Ardeidae yang Bertengger dan Membangun Sarang di Avicennia Wonorejo, Surabaya 2. Fungsi Ekonomi Produksi dan Edukasi. Ekosistem mangrove juga difungsikan oleh masyarakat sekitar sebagai makanan, minuman, obat-obatan, peralatan rumah tangga, pertanian, perikanan, dan sebagainya. Usaha Kecil Menengah terdapat di daerah Wonorejo dalam pengelolaan mangrove terutama Sonneratia sebagai sirup mangrove. Selain hal tersebut, keberadaan mangrove tersebut menjadi tempat yang baik untuk 6 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
melakukan riset dan studi bagi pelajar, mahasiswa maupun peneliti yang bergerak di bidang pendidikan. Selain itu ekosistem mangrove juga memilki beberapa manfaat diantaranya : Di daerah Wonorejo, masyarakat membentuk Ekowisata Mangrove sebagai upaya pemanfaatan di bidang pariwisata yang di dalamnya terdapat ekowisata perahu, pos pantau dan pemancingan ikan. Selain hal tersebut, mangrove (Sonneratia) dimanfaatkan sebagai bahan sirup mangrove Di daerah Gunung Anyar, masyarakat membentuk Ekowisata Perahu Mangrove 3. Fungsi baik ekologis maupun ekonomi Ekosistem
mangrove
dapat
dimanfaatkan
sebagai
lahan
untuk
tambak,
perlindungan pantai maupun sungai. Hutan mangrove juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove dapat hidup dengan subur kalau wilayah pesisir tersebut memenuhi syarat-syarat seperti berikut. a.Terlindungi dari gempuran ombak dan arus pasang surut yang kuat. b.Daerahnya landai atau datar. c.Memiliki muara sungai yang besar dan delta. d.Aliran sungai banyak mengandung lumpur. e.Temperatur antara 20-40 derajat Celcius. f. Kadar garam air laut antara 10-30 per mil. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat penting di wilayah pesisir sebab memiliki fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. 1. Adapun fungsi ekologis dari hutan mangrove yaitu : a. Penyedia nutrien bagi biota perairan. b. Tempat berkembang biaknya berbagai macam ikan. c. Penahan abrasi. d. Penyerap limbah. e. Pencegah intrusi air laut. f.
Penahan amukan angin taufan dan gelombang yang besar.
2. Fungsi ekonomis dari hutan mangrove yaitu untuk : a. Bahan bakar, bahan kertas, dan bahan bangunan. b. Perabot rumah tangga. c. Bahan penyamak kulit dan pupuk hijau. Guna menentukan sistem yang tepat dalam mengelola kawasan pesisir Kota Surabaya yang terdiri dari pelabuhan, daerah wisata dan daerah konservasi maka Badan 7 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Lingkungan Hidup pada Tahun Anggaran 2011 melaksanakan pemantauan kondisi kualitas air laut yang nantinya akan dibandingkan dengan baku mutu yang telah ditentukan oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 179 Tahun 2004 tentang Ralat Atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
II.
TUJUAN DAN SASARAN Tujuan dilaksanakan kegiatan penanggulangan dampak lingkungan ini antara lain :
Dalam rangka pelaksanaan mandat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Otonomi
Daerah
maka
daerah
memiliki
peluang
besar
untuk
memanfaatkan, mengelola dan melindungi kawasan pesisir dan laut sejauh + 4 mil diukur dari garis pantai (sepertiga dari kewenangan propinsi);
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian dan Perusakan Laut;
Sebagai upaya pemenuhan terhadap Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut;
Memberikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan sebagai dasar penentu kebijakan pengelolaan kawasan pesisir dan laut serta pengembangan tata ruang kawasan pantai dan laut bagi kegiatan usaha masyarakat dengan penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan serta pemberdayaan masyarakat dan peran serta swasta sebagai mitra pembangunan. Sasaran dilaksanakan kegiatan penanggulangan dampak lingkungan antara lain
sebagai berikut 1. Tersedianya data kondisi kualitas air laut dikawasan pesisir dan pantai secara periodik 2. Tersedianya analisa terhadap sebab penurunan / peningkatan kondisi kualitas air laut dikawasan pesisir dan pantai.
III.
LANDASAN HUKUM 1.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
2.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Keuangan
3.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Informasi Keuangan Daerah
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah 8
Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
6.
Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa Pemerintah yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa Pemerintah :
7.
Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan.
8.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
9.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 197 Tahun 2004 tentang standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah kabupaten dan Daerah Kota
10. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut 11. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 179 Tahun 2004 tentang Ralat Atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut ; 12. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 15 Tahun 2005 tentang Organisasi Lembaga Teknis Kota Surabaya.
IV. SUMBER PENDANAAN
Pelaksanaan kegiatan penanggulangan dampak lingkungan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Surabaya Tahun Anggaran 2011 kode kegiatan 01.08.16.0004 dengan nama kegiatan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pesisir dan Laut, sejumlah Rp. 365.054.400,- ( Tiga Ratus Enam Puluh Lima Juta Lima Puluh Empat Ribu Empat Ratus Rupiah ).
V.
PELAKSANAAN KEGIATAN Guna menunjang kegiatan pengelolaan pesisir maka Pemerintah Kota Surabaya melalui Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya secara periodik melakukan monitoring kualitas air di 3 (tiga) kawasan perairan yaitu kawasan wisata bahari, kawasan pelabuhan dan biota laut. Untuk wisata bahari monitoring dilakukan 2 (dua) lokasi yaitu Pantai Kenjeran (Gunung Pasir) dan Pantai Kenjeran (pengasapan ikan). Monitoring terhadap kualitas air laut pelabuhan dilakukan pada lokasi Nilam Barat dan Nilam Timur. Pada Perairan biota laut titik pantau dilakukan pada muara sungai Wonorejo dan Teluk Lamong masing-masing dua lokasi. 9 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Kegiatan pengujian terhadap kualitas air laut dilaksanakan sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 54 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut secara periodik dalam 4 triwulan. 1. Uji Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari dilaksanakan di 2 lokasi 4 kali 2. Uji Sampling Air Laut untuk Perairan Pelabuhan dilaksanakan di 2 lokasi 4 kali 3. Uji Sampling Air Laut untuk Biota Laut dilaksanakan di 4 lokasi 4 kali Parameter yang dipantau sesuai dengan Kep. Men. Lingkungan No. 54 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Secara Umum pengambilan sampel air laut dilaksanakan pada siang hari ( 09.00 s/d 12.00 WIB) pada saat air pasang, dan tidak dilaksanakan pada Hari Hujan; Lokasi Sampel Kalilamong I dan II (Baku Mutu Biota)
Kondisi gelombang relatif rendah ( tinggi rata-rata gelombang 0,2 m), arus ratarata harian sedang( kecepatan kurang dari 2 knot), perairan cukup dalam (lebih dari 22 m LWS), sedimentasi tinggi disekitar muara sungai, kondisi tanah kurang baik untuk pertanian, secara alami wilayah ini potensial untuk areal operasional pelabuhan
Secara alami lokasi merupakan alur pelayaran kapal, volume lalu lintas kapal kecil cukup tinggi untuk melayani transportasi dari Pelabuhan Tanjung Perak ke pelabuhan lain termasuk ke wilayah pelabuhan umum Gresik dan Bangkalan, bebas ranjau laut
Dengan laju sedimentasi yang tinggi menjadikan kawasan pantai digunakan sebagai areal perumahan nelayan, pergudangan serta kawasan berikat.
Lokasi Sampel Dermaga Nilam Barat dan Timur (Baku Mutu Kawasan Pelabuhan)
Kondisi gelombang relatif rendah ( tinggi rata-rata gelombang 0,3 m), arus ratarata harian deras( kecepatan 2 knot), perairan cukup curam sampai landai, sedimentasi rendah secara alami wilayah ini potensial untuk areal pelabuhan.
Lokasi Dermaga Nilam Timur saat ini menjadi tempat sandar kapal besar dan kecil (kapal cargo dan kapal layar motor), terdiri atas pergudangan, serta tempat tempat bongkar muat bahan pokok (tepung terigu, beras, gula dll) jCPO, dan baja.
Lokasi Dermaga Nilam Barat terdiri dari Pegudangan dan bonkar muat Gas Cair serta tempat dok perkapalan besar dan kecil
Lokasi Sampel Kenjeran pengasapan ikan dan Pulau Pasir (Baku Mutu Kawasan Wisata)
Kondisi gelombang agak tinggi (tinggi maksimum 0,6 m) arus rata-rata harian sedang (kurang dari 2 knot), perairan relatif landai, kondisi tanah baik untuk pertanian sehingga lokasi ini menjadi lahan wisata. 10
Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Lalu lintas kapal besar dan kecil relatif kecil sehingga potensi wisata berkembang dikawasan ini.
Pada Wilayah ini perumahan cukup padat disepanjang pantai, terdapat lokasi IPAL pencucian Ikan bantuan dari Belanda, Tempat Pengasapan Ikan, serta industri kecil lainnya berbahan dasar hasil laut.
Lokasi Sampel Muara kali Wonorejo dan UPN (Baku Mutu Biota)
Gelombang relatif rendah (kurang dari 0,5 m), arus harian rendah (kecepatan kurang dari 1 Knot), perairan dangkal, kondisi tanah baik untuk pertanian secara alami daerah ini ditumbuhi mangrove disepanjang pantai dan berpotensi sebagai wilayah perikanan laut, dan pertambakan.
Dengan terdapatnya sungai besar yang bermuara diwilayah ini dengan beban sedimen tinggi maka pertumbuhan garis pantai juga cukup cepat meningkatkan potensi perluasan lahan
Secara umum kualitas air masih tergolong baik meski cenderung mengalami penurunan kualitas. Sepanjang sungai hingga muara seringkali menjadi tempat pembuangan limbah domestik (sampah, kotoran hewan, kotoran manusia dll)
VI. HASIL UJI SAMPLING
6.1 Kondisi perairan laut Sampling kondisi fisik, kimia dan biologi perairan laut dalam rangka pengendalian pencemaran kawasan pantai dan pesisir tahun 2011 (dan 3 tahun sebelumnya) dilakukan pada delapan (8) titik sampling sebagai berikut : 1. Uji sampling air laut (wisata bahari) Lokasi : Kenjeran gunung pasir 2. Uji sampling air laut (wisata bahari) Lokasi : Kenjeran pengasapan ikan 3. Uji sampling air laut (perairan pelabuhan) Lokasi : Nilam barat 4. Uji sampling air laut (perairan pelabuhan) Lokasi : Nilam timur 5. Uji sampling air laut (biota laut) Lokasi : Gunung anyar 1 kali UPN 6. Uji sampling air laut (biota laut) Lokasi : Gunung anyar 2 kali Wonorejo
11 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
7. Uji sampling air laut (biota laut) Lokasi : Kali Lamong 1 8. Uji sampling air laut (biota laut) Lokasi : Kali Lamong 2
Hasil uji sampling air laut yang mempunyai potensi mencemari karena diatas baku mutu sesuai dengan KepMenLH no 51/2004 (lampiran 1, 2 dan 3) tentang Baku Mutu Air Laut dan KepMenLH no 179/2004 tentang Ralat Atas Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51/2004, ditunjukkan pada gambar dibawah ini :
6.2 Uji Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari Uji sampling air laut untuk wisata bahari dilakukan pada dua titik lokasi yaitu Kenjeran gunung pasir dan kenjeran pengasapan ikan.
6.2.1 Tinjauan Parameter Fisika : Tingkat kekeruhan
Tingkat Kekeruhan
500
600,0
450
500,0
400 350
400,0
300
250
300,0
200
200,0
150 100
100,0
50 0
0,0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2011
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
baku mutu(<5NTU)
TAHUN 2009 Hasil
a. Kenjeran Gunung Pasir
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu< 5NTU
b. Kenjeran Pengasapan Ikan
Gambar 6.1. Grafik kondisi tingkat kekeruhan di dua lokasi sampling air laut untuk wisata bahari pada tahun 2008-2011
Tren tingkat kekeruhan di kedua titik sampling di tahun 2011 masih menunjukkan relative lebih tinggi dibandingkan baku mutu (baku mutu menurut KepMenLH 51/2004 adalah < 5 NTU). Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat setempat yang memanfaatkan kedua lokasi tersebut untuk jalur pelayaran perahu mereka, mengingat salah satu lokasi tersebut adalah daerah wisata. Sejauh ini, tingkat kekeruhan lebih diarahkan memberikan efek negative pada keanekaragaman fitoplankton, yang akan berimbas juga pada menurunnya kadar oksigen terlarut dan berimbas juga pada meningkatnya kadar BOD (Biological Oxygen Demand ~ Kebutuhan Oksigen Biologis).
12 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Terkait dengan hal tersebut, efek tingginya kekeruhan terhadap DO dan BOD dapat dilihat pada narasi parameter kimia selanjutnya. Meskipun tinggi, tingkat kekeruhan di tahun 2011 mengalami penurunan yang cukup signifikan dibanding tahun 2008-2010. Hal ini diduga diakibatkan minimnya kontribusi pasokan air dari darat menuju ke laut melalui muara sekitar. Selain itu, pengambilan sampling dari triwulan 3-4 cenderung masih masuk musim kemarau dan tidak ada hujan. Sebenarnya kondisi kekeruhan bersifat sementara (temporer) waktu tertentu saja karena dipengaruhi oleh masukan air dari darat dan juga kondisi laut sedang dalam keadaan surut. Hal ini terkait erat dengan konsep estuary positif dimana air tawar dengan debit cukup tinggi bertemu dengan air laut yang relative lebih sedikit, sehingga posisi air tawar dengan berat molekul lebih rendah akan berada diatas. Bertemunya air tawar dengan air laut akan mengarahkan pada mekanisme flokulasi (penggumpalan) bahan-bahan organik sehingga berimplikasi pada tingginya tingkat kekeruhan. Selain tingkat kekeruhan, nilai padatan tersuspensi juga cenderung tinggi diatas baku mutu (> 20 mg/l). Kekeruhan pada suatu perairan lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus. Bahan-bahan buangan dari darat yang berbentuk padat jika tidak dapat larut dengan sempurna akan mengendap, dan sebagian yang larut akan menjadi koloid (Wardhana, 2001). Dan nilai ini akan memiliki korelasi positif dengan tingkat kekeruhan, terutama apabila sampling dilakukan pada waktu transisi dari musim kemarau ke musim hujan (lihat grafik 6.2).
Padatan Suspensi
Padatan tersuspensi 600,0
500 450
500,0
400 350
400,0
300
250
300,0
200 200,0
150 100
100,0
50 0
0,0
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Series1
TAHUN 2010
TAHUN 2011
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
baku mutu(20 mg/l)
TAHUN 2009 Hasil
a. Kenjeran Gunung Pasir
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu ( 20 mg/l)
b. Kenjeran Pengasapan Ikan
Grafik 6.2 Grafik kondisi padatan tersuspensi di dua lokasi sampling air laut untuk wisata bahari tahun 2008-2011
Secara umum, parameter fisika untuk tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi belum bisa memberikan gambaran jelas kondisi perairan karena merupakan factor fisik yang terkait dengan habitat organisme, terutama seperti fitoplankton. Kekeruhan dan 13 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
padatan tersuspensi akan memberikan informasi jelas dan dianggap berdampak positif ataupun negative apabila dikaitkan dengan kondisi organisme di titik yang sama.
6.2.2 Tinjauan parameter Kimia: Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut 9,0
200,00
8,0
180,00
7,0
160,00
6,0
140,00
120,00
5,0
100,00
4,0
80,00
3,0
60,00
2,0
40,00
1,0
20,00
0,0
0,00 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
TAHUN 2010
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
TAHUN 2011
TAHUN 2008
baku mutu(>5mg/l)
TAHUN 2009 Hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu > 5mg/l)
Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)
Kebutuhan oksigen biokimia(BOD) 12
10 9
10
8
7
8
6
6
5 4
4
3 2
2
1
0
0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
TAHUN 2010
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2011
TAHUN 2009 Hasil
baku mutu(10 mg/l)
Amoniak sbg N(NH3-N)
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (10 mg/l)
Amoniak Sebagai N (NH3)
4,5
4,5000
4
4,0000
3,5
3,5000
3
3,0000
2,5
2,5000
2
2,0000
1,5
1,5000
1
1,0000
0,5
0,5000
0
0,0000 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2011
baku mutu(nihil)
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (nihil)
14 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Surfaktan detergen
Surfaktan Deterjen
1,2
0,4 0,35
1
0,3 0,8
0,25 0,2
0,6
0,15
0,4
0,1 0,2
0,05 0
0
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2008
TAHUN 2011
TAHUN 2009 Hasil
baku mutu(0,001mg/l)
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (0,001 mg/l)
Senyawa Phenol
Senyawa Phenol 0,006
0,006
0,005
0,005
0,004
0,004
0,003
0,003
0,002
0,002
0,001
0,001 0
0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2011
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
baku mutu(nihil mg/l)
a. Kenjeran Gunung Pasir
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (nihil mg/l)
b. Kenjeran Pengasapan Ikan
Grafik 6.3 Komponen parameter kimia pada dua lokasi sampling air laut untuk wisata bahari tahun 2008-2011
Oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) merupakan salah satu parameter utama perairan yang sangat penting. DO dibutuhkan oleh seluruh organism di perairan (kecuali fitoplankton) untuk tetap dapat hidup di habitat tersebut, tanpa DO atau kuantitasnya yang dibawah baku mutu (disyaratkan > 5 mg/l) maka kelangsungan system trophik di perairan tersebut dapat dipastikan akan terganggu, dan bahkan menimbulkan kematian massal dengan dihasilkannya gas methan ataupun hydrogen sulfide (dimana pada data gas H2S kondisinya memang ditemukan meskipun dalam jumlah yang relative sedikit yaitu 0,001 ppm dari yang disyaratkan hanya nihil). Data tahun 2011 menunjukkan rerata nilai DO cenderung lebih tinggi dibandingkan baku mutu kecuali pada triwulan 4 yang diduga disebabkan masukan bahan organik dari darat membuat bakteri aerob di perairan bekerja dengan lebih keras sehingga menyedot persediaan oksigen terlarut di perairan. Secara umum, tinjauan parameter kimia berdasar kandungan oksigen terlarut menunjukkan kadar diatas baku mutu, meskipun data untuk lokasi kenjeran pengasapan ikan menunjukkan kadar DO yang sangat tinggi hingga mencapai ratusan. Hal ini cukup meragukan, mengingat kandungan oksigen terlarut untuk air minum yang telah diperkaya 15 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
dengan kandungan oksigen tambahan hanya bernilai 10 – 12 ppm. Dan, bahkan suatu perairan dengan nilai DO > 8 ppm sudah dikatakan sangat kaya oksigen. Sementara kondisi perairan di lokasi pengambilan sampel merupakan perairan yang bersifat tenang (lentik) dan minim difusi oksigen dari udara. Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi didalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua bahan organic yang terlarut dan sebagian zat organic yang tersuspensi dalam suatu perairan. Secara umum, jika nilai BOD lebih tinggi dari 10 mg/l, maka perairan tersebut dapat dikatakan tercemar. Dalam kasus ini, nilai BOD di lokasi cenderung lebih rendah dibanding baku mutu (< 10 mg/l). kondisi ini sesuai dengan nilai DO yang cenderung lebih tinggi dibanding baku mutu, mengingat nilai BOD mempunyai korelasi negative dengan nilai DO. Semakin tinggi DO, maka semakin kecil nilai BOD. Parameter amoniak (NH3-N) dapat bersifat toksik bila melebihi baku mutu yang ditetapkan. Kondisi di kedua lokasi tersebut menunjukkan nilai amoniak cenderung lebih tinggi dibanding baku mutu (yang ditetapkan nihil). Amoniak dan ammonium (NH4-N) dapat bersifat toksik, tetapi amoniak lebih toksik dibanding ammonium (Boyd, 1990). Nontji (1984) menyatakan bahwa ammonium mempunyai keuntungan dilihat dari segi pemanfaatannya karena plankton langsung dapat memanfaatkan dalam sintesis asamasam amino. Senyawa utama amoniak adalah nitrogen yang umumnya diabsorpsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3-N) dan amoniak sendiri (NH3-N). Namun, fitoplankton lebih banyak menyerap NH3-N dibanding NO3-N karena memang lebih banyak dijumpai di perairan, baik dalam kondisi aerobik ataupun anerobik. Senyawasenyawa nitrogen tersebut sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air. Pada saat kandungan oksigen rendah, maka nitrogen akan berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen tinggi maka nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3). Pada kasus ini, kemungkinan tingginya nilai amoniak sebenarnya merupakan suatu proses hasil metabolism hewan dan proses dekomposisi bahan organic dari bakteri. Dan jika kadar amoniak di suatu perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi (> 1,1 mg/l), maka Alaerts dan Santika (1985), menyatakan dugaan adanya pencemaran. Surfaktan deterjen merupakan salah satu polutan organik yang menyumbang 11% kandungan fosfat suatu perairan (Kohler, 2006). Tingginya fosfat suatu perairan akan mengakibatkan efek negative, salah satu diantaranya adalah keragaman plankton menjadi menurun karena terjadi dominansi spesies fitoplankton tertentu. Namun, pada
16 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
kasus ini, nilai surfaktan deterjen cenderung masih bisa ditoleransi meskipun lebih tinggi sedikit diatas baku mutu. Senyawa-senyawa fenol merupakan senyawa organik yang mempunyai sifat racun. Bila mencemari perairan dapat membuat rasa dan bau tidak sedap, dan pada nilai konsentrasi tertentu dapat menyebabkan kematian organisme di perairan tersebut. Pada kasus tahun 2008 – 2011, nilai fenol yang terdeteksi berkisar antara 0,001 – 0,005 di kedua lokasi sampling, dimana baku mutu yang disyaratkan bernilai nihil. Meskipun begitu, nilai LC50 (lethal concentration 50%) senyawa fenol pada organisme perairan berkisar antara 0,1 – 0,4 mg/l, yang berarti senyawa fenol di kedua lokasi tersebut masih bisa ditoleransi.
6.2.3 Tinjauan Parameter Logam Terlarut Logam terlarut yang diteliti adalah Hg, Cr6+, Cd, Cu, Pb, Zn dan Ni. Dari ke-7 logam terlarut tersebut, logam Cr6+, dan Cd menunjukkan nilai cenderung dominan diatas baku mutu masing-masing.
Krom heksavalen (Cr6+)
Krom Heksavalen (Cr6+)
0,0035
0,0035
0,003
0,0030
0,0025
0,0025
0,002
0,0020
0,0015
0,0015
0,001
0,0010
0,0005
0,0005 0,0000
0
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2008
TAHUN 2011
TAHUN 2009 Hasil
baku mutu(0,002 mg/l)
Kadmium(Cd)
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (0,002 mg/l)
Kadmium
0,045
0,0500
0,04
0,0450
0,035
0,0400 0,0350
0,03
0,0300
0,025
0,0250
0,02
0,0200
0,015
0,0150
0,01
0,0100
0,005
0,0050 0,0000
0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2011
baku mutu(0,002 mg/l)
a. Kenjeran Gunung Pasir
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (0,002 mg/l)
b. Kenjeran Pengasapan Ikan
Grafik 6.4 Komponen parameter logam terlarut pada dua lokasi sampling air laut untuk wisata bahari tahun 2008-2011 17 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Logam Cr6+ atau Cr(VI) merupakan salah satu jenis limbah berbahaya, dan berasal dari industri cat, pelapisan logam (electroplating), dan penyamakan kulit (leather tanning). Sebenarnya di dalam krom terdapat dalam bentuk oksida yaitu Cr(VI) atau chromium hexavalent dan Cr(III) atau chromium trivalent. Tingkat toksisitas Cr(VI) sangat tinggi sehingga bersifat racun terhadap semua organisme untuk konsentrasi > 0,05 ppm karena bersifat karsinogenik. Sementara pada kasus ini, dari tahun 2008 – 2011, kandungan Cr6+ dikedua lokasi tertinggi hanya 0,035, sehingga secara teoritis masih bisa dianggap bisa di toleransi. Sementara, logam Cd merupakan salah satu logam berat yang juga bersifat racun dan merugikan semua organisme hidup, tidak terkecuali manusia. Dalam badan perairan, kelarutan Cd dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh biota perairan. Dalam kasus ini, nilai Cd tertinggi berkisar 0,04 – 0,05 mg/l di tahun 2008 – 2009. Sementara di tahun 2011, nilai mengalami penyusutan yang cukup signifikan hingga berkisar 0,001 mg/l. Menurut Palar (1994) dalam Lestari dan Edward (2004), biota sebangsa udang-udangan (Crustacea) akan mengalami kematian dalam selang waktu 24 – 504 jam bila dalam badan perairan dimana biota tersebut hidup terdapat logam terlarut Cd pada rentang konsentrasi 0,005 – 0,15 ppm. Kondisi ini menunjukkan bahwa di tahun 2011, konsentrasi logam terlarut Cd relatif masih berada pada kisaran dapat ditoleransi. Dari ketiga parameter (fisik, kimia dan logam terlarut) untuk peruntukan wisata bahari, mempunyai kecenderungan mengalami penurunan konsentrasi di tahun 2011, meskipun sebagian kecil diantaranya masih berada diatas baku mutu yang ditentukan. Kondisi ini cukup bagus, namun masih tetap harus dilakukan monitoring dan pengelolaan kawasan terutama yang terkait dengan bahan organik.
6.2.4 Tinjauan Parameter Biologi Kawasan ini diwakili oleh 2 titik sampling di daerah Kenjeran, yaitu Gunung Pasir dan Pengasapan Ikan. Dua titik sampling ini mempunyai aktifitas sosial yang sangat berbeda. Gunung Pasir ada di tengah laut yang jumlah pengunjungnya relatif sedikit, sedangkan
Pengasapan
Ikan
ada
di
pinggir
laut
yang
tingkat
hunian
dan
pengunjung/pembeli relatif sangat tinggi. Kondisi ini signifikan mempengaruhi jumlah total bakteri koliform yang berasal dari sisa metabolisme manusia dan makhluk hidup. Bila melihat data tahun 2010 – 2011, perairan di kedua titik sampling ini memang terdeteksi mengandung bakteri koliform di atas batas ambang. Dimana Pengasapan Ikan menunjukkan jumlah 1.6 X 105 MPN/100, signifikan sangat tinggi bila dibandingkan dengan ambang batas 1X103 MPN/100. Walau ada faktor penceran dari air laut, ada kemungkinan bakteri koliform ini terbawa arus pasang naik/surut ke titik sampling Gunung 18 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Pasir yang aktifitas pengunjungnya relatif hanya jalan-jalan di perairan yang dangkal saja. Angka 1.6 X 105 MPN/100 ini merupakan indikator bahwa perairan Pengasapan Ikan sudah sangat tidak sehat untuk manusia. Sehingga perlu dilakukan usaha untuk mengurangi pencemaran bakteri koliform. Salah satunya adalah pengaturan pembuangan sisa pembersihan ikan, yang selama ini dilakukan dengan langsung membuangnya ke perairan.
6.3 Uji Sampling Air Laut untuk Perairan Pelabuhan Uji sampling air laut untuk perairan pelabuhan dilakukan di Nilam Timur dan Nilam Barat. Kedua lokasi ini cukup berdekatan dan berada pada kompleks pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
6.3.1 Tinjauan Parameter Fisika : Jika melihat data hasil pengambilan sampel parameter fisika, terutama padatan tersuspensi, pada tahun 2011 menunjukkan hasil dibawah baku mutu. Sementara bila ditinjau dari rangkaian monitoring sejak tahun 2008 – 2011, hanya pada triwulan 3 pada tahun 2009 di Nilam Barat yang termonitoring diatas baku mutu yaitu 137 mg/l dari nilai baku mutu yang hanya 80 mg/l. Seperti disampaikan sebelumnya, parameter padatan tersuspensi mempunyai kaitan erat dengan tingkat kekeruhan, dimana padatan tersuspensi merupakan bahan buangan organik yang bersifat larut dalam air dan menjadi koloid. Secara umum dapat dinyatakan bahwa kondisi perairan di Nilam Barat dan Nilam Timur terpantau dapat ditoleransi kondisinya.
6.3.2 Tinjauan Parameter Kimia : Parameter kimia meliputi : amoniak, sulfide, surfaktan deterjen, pH dan senyawa fenol. Dari kedua lokasi tersebut, hanya parameter amoniak, surfaktan deterjen dan senyawa fenol yang diketahui mempunyai nilai diambang baku mutu. Namun, untuk tahun 2011, ketiga parameter tersebut menurun dan menjadi bernilai dibawah baku mutu. Amoniak di Nilam Timur dan Nilam Barat pada tahun 2008-2009 cenderung tinggi, namun tahun 2010-2011 menurun secara drastis sehingga berada dibawah baku mutu. Sumber amoniak diduga berasal dari dari limbah industry, mengingat lokasi pengambilan sampling relative dekat dengan kegiatan industry perkapalan. Selain itu, kemungkinan kedua terkait sumber ammonia di perairan adalah hasil dari pemecahan nitrogen organik (berupa protein dan urea) serta nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air yang berasal dari dekomposisi bahan organik (berupa tumbuhan dan biota akuatik yang
19 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
mati) oleh mikroba dan jamur yang kemudian dikenal dengan istilah amonifikasi (Efendi, 2003). Selain amoniak, konsentrasi surfaktan deterjen di Nilam Timur pada tahun 2010 triwulan pertama terdeteksi 1,17 mg/l atau lebih tinggi dibanding baku mutu yang hanya 1 mg/l. Kemudian senyawa fenol pada tahun 2010 triwulan 2-4 mencapai 50 µg/l dimana baku mutu hanya disyaratkan 0,01 µg/l saja. Namun, kedua parameter kimia tersebut pada tahun 2011 menurun dengan drastis sehingga memenuhi ambang baku mutu yang disyaratkan.
6.3.3 Tinjauan Parameter Logam Terlarut Logam terlarut adalah logam yang mampu membentuk kompleks dengan senyawa organik dan anorganik. Sementara logam tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kelompok metal yang teradsorbsi pada partikel-partikel yang tersuspensi. Pada monitoring yang dilakukan di dermaga Nilam Timur dan Nilam Barat, logam terlarut yang terdeteksi adalah Hg, Cd, Cu, Pb, dan Zn. Dari ke-5 logam tersebut hanya logam Cd yang mempunyai nilai konsentrasi lebih tinggi dari baku mutu yang ditetapkan, terutama pada tahun 2008. Sementara pada tahun 2009 - 2011, tingkat konsentrasi logam Cd cenderung mengalami penurunan cukup signifikan mencapai hanya 0,001 mg/l dibanding baku mutu 0,01 mg/l. Logam Cd merupakan logam yang bersifat non esensial karena tidak dibutuhkan oleh organisme dalam kehidupannya. Sumber Cd di perairan dapat berasal dari alam ataupun hasil kegiatan manusia, berupa industrial waste. Cat dan materi pelapis pada kapal juga mengandung Cd, sehingga kemungkinan berkontribusi terhadap tingginya nilai konsentrasi Cd pada tahun 2008 yang mencapai 0,03 mg/l di Nilam Barat ataupun Nilam Timur. Sementara, rendahnya konsentrasi logam terlarut secara keseluruhan dikedua lokasi sampling kemungkinan akibat sebagian besar logam tersebut teradsorpsi dan terabsorpsi oleh tingginya padatan tersuspensi yang terdiri dari komponen fitoplankton dan partikel-partikel sedimen tersuspensi. Sachoemar et al (2007) menyatakan bahwa parameter oseanografi seperti konsentrasi klorofil a dan padatan tersuspensi memegang peran penting sebagai penyerap (scavenger) logam-logam terlarut, yang selanjutnya akan terendapkan (sinking processes) ke dasar. Selain itu, daya larut logam berat dapat menjadi lebih tinggi atau lebih rendah sangat tergantung oleh kondisi lingkungan perairan. Pada daerah yang kekurangan oksigen, semisal akibat kontaminasi bahan-bahan organik (seperti pada kasus ini), maka daya larut logam akan menjadi lebih rendah dan mudah mengendap.
20 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
6.3.4 Tinjauan Parameter Biologi Kawasan ini diwakili oleh titik sampling di Nilam Barat dan Nilai Timur. Secara rerata jumlah bakteri koliform di dua titik ini relatif stabil pada tahun 2010-2011, bahkan cenderung menurun pada 2 triwulan terakhir di tahun 2011, meskipun masih di atas batas ambang 1X103 MPN/100. Ini menunjukkan bahwa aktifitas manusia dan makhluk hidup di kedua titik tersebut relatif stabil dari waktu ke waktu. Mengingat peruntukan perairan di lokasi ini relatif tidak untuk konsumsi dan pariwisata, maka jumlah total bakteri koliform yang berkisar 2-5 X 103 MPN/100 relatif belum membahayakan.
6.4 Uji Sampling Air Laut untuk Biota Laut Biota laut merupakan salah satu parameter biotik yang sangat penting dalam suatu uji sampling air laut. Hasil uji berupa parameter fisika, kimia, logam terlarut dan juga biologi akan menjadi lebih berdayaguna apabila mempunyai keterkaitan erat dengan kondisi organisme didalamnya. Pada uji sampling air laut untuk biota laut, peraturan perundangan melalui KepMenLH 51/2004 diatur dalam lampiran 3, dimana pada lampiran tersebut ditambahkan pula dengan parameter plankton (terkhusus fitoplankton) sebagai produsen utama perairan. Lokasi uji sampling air laut untuk biota laut dilakukan di empat titik, yaitu Gunung Anyar 1 kali UPN, Gunung Anyar 2 kali Wonorejo, Kali Lamong 1 dan Kali Lamong 2.
6.4.1 Tinjauan Parameter Fisika: Dari keempat lokasi sampling tersebut, parameter tingkat kekeruhan menunjukkan nilai yang cukup tinggi dibanding baku mutunya.
Tingkat Kekeruhan
Tingkat Kekeruhan
180,0
600
160,0
500
140,0
400
120,0 100,0
300
80,0
200
60,0 40,0
100
20,0
0
0,0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (<5NTU)
a. Gunung Anyar 1 kali UPN
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (<5NTU)
b. Gunung Anyar 2 kali Wonorejo
21 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Tingkat Kekeruhan
Tingkat Kekeruhan
120
400 350
100
300 80
250
60
200 150
40
100 20
50
0
0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (<5NTU)
c. Kali Lamong 1
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (< 5NTU)
d. Kali Lamong 2
Grafik 6.5 Tingkat kekeruhan perairan di empat lokasi uji sampling perairan untuk biota laut selama kurun waktu 2008 - 2011
Jika memperhatikan grafik diatas, kecenderungan kekeruhan melebihi baku mutu KepMenLH 51/2004 selama kurun waktu 2008-2011 terjadi di kali Lamong 1. Sementara tahun 2008 merupakan tahun dimana keempat lokasi sampling tersebut menunjukkan tingkat kekeruhan yang cenderung sangat tinggi diatas baku mutu. Tahun 2011, tingkat kekeruhan menunjukkan tren penurunan yang cukup signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya, terutama pada triwulan ke-4. Seperti telah disampaikan dalam informasi sebelumnya, tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi mempunyai korelasi positif. Jika padatan tersuspensi tinggi, maka akan semakin tinggi pula nilai kekeruhannya. Hal ini disebabkan definisi dari padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak mengendap langsung yang terdiri atas partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, seperti tanah liat, bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya. Oleh karena itu, parameter konfirmasi apakah padatan tersuspensi tersebut dianggap memberikan efek negative bagi biota laut adalah dengan melihat nilai indeks keragaman dari plankton. Jika semakin tinggi keragaman plankton, maka padatan tersuspensi yang tinggi dapat dieliminasi sebagai suatu dampak negative bagi perairan karena padatan tersuspensi tersebut bisa jadi merupakan fitoplankton itu sendiri. Selain itu, lokasi keempat titik sampling merupakan kawasan muara atau estuary yang memang mempunyai ciri salah satu diantaranya adalah lokasi pertemuan antara arus sungai dengan arus pasang surut yang berlawanan sehingga menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada mekanisme terbentuknya flokulan-flokulan yang bilamana 22 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
flokulan tersebut mempunyai berat molekul lebih tinggi dibandingkan air akan membentuk proses sedimentasi. Sementara, bila flokulan-flokulan tersebut mempunyai berat molekul cenderung hampir sama dengan berat molekul air, maka akan terbentuk koloid dan menjadi padatan tersuspensi. Kondisi lingkungan seperti ini memang akan menjadi ciri khas dari estuari, yaitu cenderung minim penetrasi cahaya sehingga dominasi plankton yang berada di estuary adalah zooplankton yang mempunyai sifat fototropisme negative.
6.4.2 Tinjauan Parameter Kimia (dikaitkan dengan keragaman Plankton) Yang menarik dari parameter kimia, terkait dengan nilainya diatas baku mutu adalah parameter fosfat (PO4-P) dan nitrat (NO3-N), meskipun selain kedua parameter tersebut diatas terdapat pula parameter yang nilainya melebihi baku mutu. Parameter pH, oksigen terlarut, dan amoniak sebenarnya juga melebihi baku mutu, meskipun tidak mutlak ditemukan dikeempat lokasi tersebut. Kandungan fosfat di gunung anyar 1 kali UPN pada tahun 2011 berfluktuasi dari 0,04 – 0,8408 mg/l dibanding nilai baku mutu yang ditetapkan 0,015 mg/l. Kondisi ini menurut Pirzan dan Masak (2008) dapat mendorong terjadinya ledakan populasi fitoplankton sehingga menyebabkan terjadinya dominansi spesies fitoplankton tertentu. Jika terjadi dominansi, maka dapat dipastikan nilai indeks keanekaragamannya akan menurun. Namun, nilai indeks keanekaragaman plankton di lokasi gunung anyar 1 UPN selama rentang waktu tahun 2011 berkisar pada 1,82 – 2,70. Namun, untuk lebih jelasnya melihat keterkaitan antara kadar fosfat – nitrat dan indeks keanekaragaman plankton, maka dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
23 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Tabel 6.1 Konsentrasi fosfat, nitrat dan indeks keanekaragaman plankton pada lokasi sampling uji kualitas perairan peruntukan biota laut pada tahun 2011
LOKASI Gn Anyar 1 UPN Gn Anyar 2 Wnrj Kali Lamong 1 Kali Lamong 2
BAKU MUTU
I 0,275 0,472 0,915 0,781
Fosfat (mg/l) II III 0,3518 0,279 0,1552 0,0704 0,0412 0,992 0,0353 0,0424
IV 1,3053 0,8408 4,099 0,0424
I 1,0201 0,8921 1,0665 1,0027
Nitrat (mg/l) II III 0,8793 1,4985 1,0273 1,2158 1,2125 1,3884 0,9468 1,14
0,015 mg/l
IV 1,6915 1,8735 1,4054 1,4289
I 2,70 2,73 1,70 1,78
Plankton (ID) II III 2,10 2,06 1,89 1,91 1,65 1,88 1,71 1,85
IV 1,82 1,94 1,61 1,76
0, 008 mg/l
Tabel 6.2. Kualitas perairan menurut indeks diversitas fitoplankton dan zooplankton Indeks
Kondisi struktur
Kategori
Skala
Keanekaragaman
komunitas
> 2.41
Sangat stabil
Sangat baik
5
1.81 – 2.40
Lebih stabil
Baik
4
1.21 – 1.80
Stabil
Sedang
3
0.61 – 1.20
Cukup stabil
Buruk
2
< 0.60
Kurang stabil
Sangat buruk
1
24 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Dari tabel 6.1 tersebut, terlihat bahwa dari seluruh triwulan kegiatan sampling untuk parameter fosfat dan nitrat selalu diatas baku mutu yang disyaratkan. Secara teoritis, fosfat dalam bentuk PO4-P merupakan salah satu indikator kemelimpahan bahan organik suatu perairan yang efek negative terburuknya adalah terjadinya eutrofikasi. Tingginya fosfat akan memicu pertumbuhan plankton tertentu, dimana untuk kasus tahun 2011 ini bisa dilihat pada triwulan ke-4. Konsentrasi fosfat pada triwulan ke-4 untuk lokasi kali Lamong 1 mengarah pada angka 4,099 mg/l, suatu angka yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan baku mutunya (0,015 mg/l). Kondisi ini kemudian memicu pada dominansi spesies tertentu plankton sehingga menurunkan indeks keanekaragamannya menjadi 1,6 atau bila ditinjau dari kondisi struktur komunitasnya bernilai stabil atau masuk kategori sedang. Memang kondisi ini dapat dianggap belum terlalu mengkhawatirkan mengingat dominansi spesies plankton untuk lokasi ini hanya berkisar 40,4 % untuk spesies Micractinum sp (batasan dominansi umumnya berkisar > 50%). Selain itu plankton adalah biota yang mempunyai karakteristik unik, diantaranya mempunyai kesukaan makan bahan organik yang berbeda-beda. Namun, bila konsentrasi fosfat terus meningkat, maka dikhawatirkan dominansi spesies tersebut akan memicu semakin menurunnya kestabilan komunitas plankton di lokasi sampling. Jika dikaitkan dengan parameter nitrat, menurut Nontji (1992), nitrat dan ammonium mempunyai peranan penting sebagai sumber nitrogen bagi plankton meskipun peranan masing-masing ion tidak sama terhadap masing-masing jenis plankton. Hal ini senada dengan informasi pada paragraf sebelumnya yang menyatakan bahwa plankton mempunyai keunikan dalam hal kesukaan makan bahan organik. Selanjutnya Raymont (1980) menambahkan bahwa ada jenis plankton yang lebih dahulu menggunakan nitrat dan ada juga yang lebih dahulu menggunakan amonium. Berdasarkan dari informasi tersebut, maka jika konsentrasi nitrat di lokasi sampling masih cenderung tinggi untuk keempat triwulan sampling tersebut, maka diduga plankton yang ditemui mengkonsumsi amonium terlebih dahulu untuk kemudian beralih ke nitrat sesaat setelah peralihan tersebut, sehingga nitrogen dalam bentuk nitrat masih tetap tinggi. Sayangnya, data tentang amonium (NH4-N) pada sampling ini tidak ditemui, hanya data amoniak (NH3) saja yang ada, dan kisaran nilainya masih dibawah baku mutu. Memang ada literatur yang menyatakan bahwa konsentrasi amonium dan amoniak pada umumnya tidak berbeda jauh, namun akan menjadi lebih valid seandainya nilai amonium juga teridentifikasi. Kesimpulannya, terkait dengan nilai indeks keanekaragaman plankton yang merupakan salah satu parameter biota utama dalam uji sampling perairan berdasar KepMen LH 51/2004 lampiran 3 di tahun 2011 mempunyai kisaran 1,61 – 2,73, yang bila diinterpretasikan berdasar kondisi struktur komunitas maka termasuk dalam kategori stabil 25 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
– sangat stabil, atau berdasar skala kategori termasuk dalam skala sedang – sangat baik. Sehingga,
sebagai
produsen
utama
perairan,
peran
plankton
dengan
nilai
keanekaragaman tersebut masih memungkinkan untuk mendukung kehidupan struktur tropik diatasnya.
6.4.3 Tinjauan Parameter Biologi Kawasan ini diwakili oleh 4 titik sampling, yaitu Gunung Anyar Kali UPN dan Wonorejo, serta Kali Lamong 1 dan 2. Melihat data tahun 2010-2011, kondisi di empat titik sampling ini tidak ideal sebagai kawasan biota laut. Kandungan bakteri koliform yang sangat tinggi 1.6 X 105 MPN/100 dapat berkorelasi negatif pada kandungan oksigen terlarut (OD) yang berada di bawah batas ambang <5 mg/l. Semakin tinggi jumlah bakteri koliform, semakin sedikit pula oksigen yang terlarut di kawasan tersebut, karena semakin banyak bakteri yang menggunakan oksigen untuk proses respirasinya. Rendahnya kadar oksigen di kawasan ini akan mempengaruhi keberadaan ikan atau makhluk hidup lain yang berhabitat di situ atau di sekitarnya. Tetapi di sisi lain,
jumlah bakteri koliform
berkorelasi positif terhadap BOD (rata-rata ada di bawah batas ambang <10 mg/l). Semakin banyak jumlah bakteri koliform, maka akan semakin menurun pula nilai BOD di kawasan tersebut. Karena bakteri koliform mendegradasi limbah organik yang ada di sekitarnya selama proses respirasinya. Mengingat ke-4 titik sampling ini adalah perwakilan biota laut dan lokasi sampling adalah daerah yang bervegetasi mangrove, maka tingginya kandungan bakteri koliform menjadi suatu pertanda adanya pencemaran. Pencemaran bisa terjadi karena daerah tersebut sudah menjadi areal perumahan nelayan, seperti di Kalilamong I dan II, atau menjadi tempat pembuangan sampah domestik, seperti di Muara Kali Wonorejo dan UPN. Pengelolaan secara intensif perlu dikoordinasikan secara holistik.
6.5 Parameter Bakteri Coliform untuk Baku Mutu Air Laut Secara Umum Total bakteri koliform dipakai menjadi salah satu parameter lingkungan air, karena bakteri koliform pada umumnya berasal dari limbah padat (feses) sisa sistem pencernaan makhluk hidup. Habitat asal bakteri ini adalah usus dan lambung, organ makhluk hidup dimana system pencernaan optimal berlangsung. Ada korelasi positif antara konsentrasi bakteri koliform dengan konsentrasi feses yang ada di suatu lingkungan. Semakin tinggi konsentrasi bakteri koliform, maka ada indikasi bahwa lingkungan tersebut telah tercemar atau terakumulasi feses makhluk hidup. Arti penting bakteri koliform untuk lingkungan air adalah berhubungan dengan kesehatan. Beberapa penyakit manusia dapat ditularkan oleh bakteri koliform yang 26 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
berasal dari manusia atau mahluk hidup lain (seperti unggas dan mamalia) yang sakit. Penyakit yang relative sering disebabkan oleh bakteri ini adalah diare, disentri dan penyakit lain yang berhubungan langsung dengan sistem pencernaan. Bakteri koliform pada umumnya termasuk golongan heterotrof oksigenik dan anoksigenik fakultatif. Golongan heterotrof artinya bakteri ini menggunakan bahan organik sebagai sumber nutrisinya untuk menghasilkan energi. Oksigenik artinya bakteri ini menggunakan oksigen sebagai elektron aseptor terakhirnya selama proses respirasinya. Sedangkan anoksigenik fakultatif artinya bakteri ini dapat menggunakan electron aseptor yang lain, selain oksigen, bila oksigen menjadi terbatas. Pada keadaan anoksigenik ini, bakteri koliform melalukan fermentasi bahan organic untuk mendapatkan energi, dan menghasilkan asam organik yang dapat menurunkan pH atau tingkat keasaman suatu lingkungan. Melihat status bakteri koliform tersebut di atas, maka dapat dilihat beberapa kemungkinan yang terjadi di lingkungan air bila tercemar bakteri ini, diantaranya adalah : 1. Penularan penyakit, karena bakteri ini adalah bakteri yang berasal dari sistem pencernaan. Kondisi ini sangat kurang menguntungkan bagi manusia. 2. Penurunan bahan organik, karena bakteri ini menggunakan bahan organik sebagai sumber nutrisinya. Kondisi ini relative menguntungkan bagi lingkungan air, karena dapat menurunkan tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi. Akumulasi bahan organik dapat mempengaruhi tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi, karena tidak semua bahan organik dapat larut dalam air, misalnya lemak.
Di sisi lain,
degradasi bahan organik oleh bakteri dapat meningkatkan konsentrasi amoniak (dari degradasi protein), fosfat (dari degradasi protein) dan karbondioksida (dari degradasi lemak dan karbohidrat) dalam perairan. 3. Penurunan kandungan oksigen, karena bakteri ini menggunakan oksigen untuk respirasinya. 4. Penurunan keasaman (pH), karena bakteri ini dapat melakukan fermentasi bila keadaan lingkungan menjadi anoksigenik. Kondisi (3) dan (4) relative sangat tidak menguntungkan bagi makhluk hidup lain yang ada di lingkungan air tersebut. Misalnya ikan akan banyak mati atau tidak dapat berkembang biak optimal, atau tidak dapat melakukan metabolisme secara maksimal, karena level oksigen di bawah ambang kebutuhannya dan suasana lingkungannya asam (pH rendah). Berdasarkan hasil sampling dengan parameter total bakteri koliform yang dilakukan secara periodic triwulan mulai tahun 2008 sampai dengan 2011, terlihat bahwa meskipun total bakteri koliform masih di atas batas ambang (> 1000 MPN/100) tetapi ada tendesi pola naik-turun. Pola ini juga terlihat pada parameter lain yang berkaitan secara tidak 27 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
langsung dengan total bakteri koliform, yaitu parameter BOD, OD kadar amoniak dan fosfat. Hanya parameter keasaman (pH) yang terlihat relative stabil sepanjang masa sampling. Pola seperti ini berkaitan dengan beberapa hal yang mempengaruhi, yaitu antara lain : 1. Kondisi fisik lingkungan yang berbeda ketika sampling dilakukan. Sampling dilakukan setiap triwulan, dimana faktor abiotik tidak bisa dikontrol, seperti cuaca (misal kemarau/hujan), pasang naik/surut, ada pembuangan limbah/tidak, kepadatan transportasi laut, dsb. 2. Telah terjadi siklus alami mengarah ke natural self purification. Secara alami mikroorganisme yang ada dalam suatu perairan melakukan proses pembersihan
melalui
proses
metabolismenya.
Mikroorganisme
mendegradasi
senyawa organik kompleks menjadi senyawa organik sederhana dan ion anorganik. Kecepatan degradasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti suhu, pH , kandungan bahan organik. 3. Telah dilakukan usaha pembersihan lingkungan.
28 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
VII. Kesimpulan & Saran
Kesimpulan kegiatan uji sampling untuk pengendalian pencemaran kawasan pantai dan pesisir kota Surabaya pada tahun 2011, sebagai berikut : - Parameter kekeruhan dan padatan tersuspensi mengalami penurunan dibandingkan tahun 2008 – 2010, namun masih untuk padatan tersuspensi masih tergolong diatas baku mutu yang disyaratkan. - Parameter logam terlarut, untuk kawasan biota laut mengalami penurunan hingga dibawah baku mutu yang disyaratkan. - Parameter surfaktan detergent untuk seluruh kawasan di tahun 2011, masih diatas baku mutu yang disyaratakan, bahkan lebih tinggi dibandingkan tahuntahun sebelumnya. - Secara umum, melihat data tahun 2011, limbah anorganik (seperti logam terlarut) mengalami penurunan, namun limbah organic (seperti nitrat, fosfat, fenol ataupun surfaktan detergent, termasuk diantaranya bakteri E.coli) justru mengalami kenaikan diatas baku mutu yang disyaratkan.
Saran yang terkait dengan kegiatan Pengendalian Pencemaran Kawasan dan Pesisir antara lain, sebagai berikut : -
Meningkatkan pengawasan terkait dengan limbah domestik, utamanya yang berada dikawasan pemukiman.
-
Sampling logam berat perlu diambil contoh sampel dan hewan/biota seperti kerang-kerangan untuk mengetahui secara lebih jelas pencemaran oleh logam berat tersebut.
Surabaya,
Desember 2011
Mengetahui, Kepala Bidang Penanggulangan Dampak Lingkungan
Kepala Sub Bidang Investigasi dan Evaluasi
Ir. SURTAULI SINURAT, MM Pembina Tingkat I NIP. 19600830 199010 2 001
Ir. ANTHO HANDIONO, MM. Penata Tingkat I NIP. 19700118 199602 1 001
29 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011
PEMERINTAH KOTA SURABAYA BADAN LINGKUNGAN HIDUP (BLH)
Daftar pustaka
Alaerts, I.G dan Santika, S.S.S., 1985. Metoda Penelitian Air. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya. Aunurohim. 2010. Buku Ajar Biomonitoring. Jurusan Biologi FMIPA ITS. Diterbitkan di kalangan sendiri. Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Alabama: Alabama Aquaculture Experiment Station, Auburn University. Efendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Jogjakarta. Kohler, J. 2006. Detergent phosphates : An EU Policy Assesment. Journal of Business Chemistry 3 (2) : 18 - 24 Lestari dan Edward. 2004. Dampak Pencemaran Logam Berat terhadap Kualitas Air Laut dan Sumberdaya Perikanan (studi kasus kematian massal ikan-ikan di teluk Jakarta). Makara, Sains (8) 2 ; 52-58. Nontji, A., 1992. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 368 pp. Pirzan, A.M and Pong-Masak, P.R. 2008. Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan Kualitas Air di pulau Bauluang, kabupatan Takalar, Sulawesi Selatan. Biodiversitas 9 (3) ; 217-221. Poppo, A., M.S Mahendra, I K Sundra. 2008. Studi Kualitas Perairan Pantai di Kawasan Industri Perikanan Desa Pengambengan, kecamatan Negara, kabupaten Jembrana. ECOTROPHIC 3 (2) ; 98-103. Raymont, J.E.G., 1980. Plankton productivity in the oceans (second edition). Vol 1: Phytoplankton. Pergamon Press. Oxford. USA Sachoemar, S.I., A. Kristijono and T. Yanagi. 2007. Oceanographic characteristics of Klabat Bay, Bangka Island, Indonesia. Mar. Res. Indonesia 32 (2); 49-54. Slamet, R. Arbiyanti dan Daryanto. 2005. Pengolahan Limbah Organik (fenol) dan Logam Berat (Cr6+ atau Pt4+) Secara Simultan dengan Fotokatalis TiO2, ZnO-TiO2, dan CdS-TiO2. Makara Teknologi 9 (2); 66 – 71. Susana, T dan Suyarso. 2008. Penyebaran Fosfat dan Deterjen di Perairan Pesisir dan Laut sekitar Cirebon, Jawa Barat. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 34 ; 117-131. Wardhana, I. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi, Jogjakarta.
30 Laporan Pengendalian Pencemaran Kawasan Pantai dan Pesisir 2011