MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN PERAIRAN PESISIR BAGI KEBERLANJUTAN PERIKANAN DAN WISATA PANTAI KOTA MAKASSAR
HAMZAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Kota Makassar adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012
Hamzah NIM C261060051
ABSTRACT HAMZAH. Management Pollution Model for Sustainability Tourism and Fisheries in Coastal Areas of Makassar City. Under direction of ACHMAD FAHRUDIN, HEFNI EFFENDI, ISMUDI MUCHSIN Coastal areas of Makassar have a rapid development growth deployed with various activities including tourism and fisheries. Such resource utilizations have impacted coastal environment particularly its water quality. This research is intended to assess bio-physical condition, water quality, pollution loading, pollution level, land suitability, land carrying capacity for tourism and fisheries activities, and to develop sustainable management model of the activities for the coastal area. Geographical information system was applied to determine land suitability, whereas computation of pollution total loading, assimilative capacity, and pollution index were applied to determine water quality. Sustainable management model was developed using Stella version 9.0.2 software. Research results showed that the coastal area of Makassar was generally suitable for tourism and fisheries activities, with exclusion in several locations. Furthermore, pollution loading from Jenneberang and Tallo rivers along with several major water channels was high. Pollution index of Jenneberang river, harbor, and Tallo river stations were low, and pollution index for Tanjung Bunga, Losari beach, Potere, downstream of Tallo river, Panampu channel, Benteng, H Bau, and Jongaya stations were moderate. Amongst measured water quality parameters, only BOD 5 has value below allowed concentration standard, while values of other parameters, specifically COD, NO 3 and PO 4, have surpassed allowed standard, and in some stations have even surpassed assimilative capacity. Modeling result using base, pessimistic, and optimistic models showed that coastal management of Makassar City can sustain if water quality of the area was preserved through pollution loading controls. Keywords: Tourism, fisheries, management, makassar coastal areas,
RINGKASAN HAMZAH. Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Kota Makassar. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN, HEFNI EFFENDI, ISMUDI MUCHSIN Kota Makassar adalah salah satu kota yang berada di pesisir pantai dengan perkembangan pembangunan yang cepat dengan daya tarik dan potensi yang besar. Perkembangan dan pertumbuhan Kota Makassar tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan bagian pesisir pantai Kota yang sangat dinamis. Hampir semua aspek pemanfaatan untuk pembangunan di Kota makassar dapat kita temui di kawasan pesisir pantai kota, mulai pemanfaatan sumberdaya perikanan, pemukiman, pariwisata, perdagangan, pelabuhan dan pelayaran terjadi kawasan ini. Bentuk-bentuk kegiatan pemanfaatan yang telah dilakukan di lingkungan pantai Kota Makassar antara lain pembukaan kawasan wisata Tanjung Bunga, pembuatan anjungan pantai, pembangunan kawasan pemukiman, pusat perdagangan dan bisnis serta perhotelan. Kegiatan pemanfaatan ini bisa saja berdampak pada perubahan kualitas perairan pantai kota yang diakibatkan dari limbah yang dihasilkan Pencemaran yang terjadi di sepanjang pantai Kota Makassar diduga berasal dari aktivitas pemanfaatan yang ada di sepanjang kawasan tersebut. Selain itu pencemaran yang terjadi berasal dari limbah yang terbawa aliran Sungai Tallo dan Jenneberang serta aliran kanal dan drainase kota yang kesemuanya bermuara di kawasan pantai. Jumlah dan intensitas limbah yang terbawa oleh aliran sungai dan kanal berasal dari aktivitas industri, pemukiman dan wisata di daerah daratan. Kualitas perairan juga bergantung pada berbagai faktor diantaranya daya asimilasi lingkungan yang bergantung pada berbagai faktor fisik, biologi dan kimia dari perairan tersebut. Kondisi lingkungan perairan yang baik, akan memberikan dukungan pada aktifitas wisata pantai bagi masyarakat pengunjung yang akan merasa lebih nyaman. Aktifitas perikanan dapat juga dilakukan dengan baik apabila didukung oleh kondisi lingkungan perairan yang baik. Kualitas lingkungan yang kurang baik akibat dari pencemaran yang terjadi pada pesisir pantai Kota Makassar dapat memberikan pengaruh pada aktivitas wisata bahari dan perikanan. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran dan mengukur beban limbah serta kapasitas asimilasi di perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran sungai serta kanal yang berasal dari daratan. Selain itu untuk mengetahui kondisi daya dukung lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar akibat pencemaran yang terjadi sertaMembuat model pengelolaan pencemaran yang terjadi di perairan pesisir untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar Penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir kota Makassar Sulawesi Selatan. Jenis dan sumber data yang digunakan yakni data primer bersumber dari pengukuran langsung (insitu) dan laboratorium, observasi dan wawancara langsung dengan contoh atau responden (wisatawan, industri, pengusaha wisata, masyarakat lokal dan staf pemerintah) di lapangan. Data sekunder diperoleh dari
studi pustaka dan dari instansi terkait. Kajian kesesuaian kawasan pesisir kota Makassar untuk pemanfaatan wisata dan perkanan menggunakan metode analisis spasial dengan pendekatan Sistim Informasi Geografis (SIG), sedangkan untuk mengetahui kualitas perairan pantai dilakukan perhitungan jumlah beban limbah, kapasitas asimilasi perairan dan mengukur indeks pencemaran dari limbah yang masuk melalui sungai dan kanal. Untuk mengetahui keberlanjutan dari pemanfaatan wisata dan perikanan dianalisi dengan membuat model dinamik dengan bantuan software stella versi 9.0.2 yang dibuat dalam 3 skenario yakni basis model, skenario pesismis dan optimis, yang selanjutnya dibuat rekomendasi kebijakan untuk pengelolaan. Hasil perhitungan daya dukung lahan untuk KJA 8,796 ha, jumlah unit KJA yang dapat di dukung adalah 3.258 unit. Dengan menggunakan metode budidaya sistem long line dengan ukuran 40 x 60 m dan kapasitas lahan yang memungkinkan 50% dari kapasitas lahan, diperoleh 231 unit pada kawasan seluas 554,25 ha. Daya dukung wisata pantai: P kayangan 15 orang;P Lae-lae 53 orang; Tanjung Bayam, Tanjung Bunga dan Akarena 162 orang; pantai Losari 137 orang; Pantai Barombong 47 orang, sedang daya dukung untuk kegiatan wisata selam pada perairan pantai kota Makassar adalah 344 org/hari. Hasil analisis kualitas perairan menunjukkan bahwa aliran beban limbah yang berasal dari sungai Jenneberang dan Sungai Tallo serta beberapa kanal utama yang bermuara di pantai kota Makassar cukup tinggi. Beban limbah bulanan rata-rata (ton/bulan) adalah BOD 5 25596.42, COD 146178.40, NO 3 227.82, PO 4 1565.28. Indeks pencemaran yang menunjukkan tingkat pencemaran menunjukkan bahwa Sungai Jenneberang, Muara Sungai Jenneberang, Pelabuhan, Sungai Tallo tercemar ringan, sedangkan stasiun Tanjung Bunga, Pantai losari, Potere, Muara Sungai Tallo, Kanal Panampu, Benteng, H Bau, Jongaya termasuk tercemar sedang.Parameter limbah yang belum melampaui kapsitas asimilasi karena mempunyai nilai konsentrasi yang belum melewati batas baku mutu air yang diperkenankan adalah BOD 5. Namun untuk parameter COD, NO 3 dan PO 4 telah melewati batas baku mutu dan beberapa stasiun telah melampaui kapasitas asimilasinya. Hasil analisis model pengelolaan dengan penerapan 3 skenario yakni model basis, skenario pesimis dan skenario optimis menunjukkan bahwa pengelolaan pesisir pantai Kota Makassar dapat berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kualitas lingkungan perairan yang ada dengan penerapan pengendalian beban limbah. Beberapa kebijakan yang penting dilakukan agar pengelolaan di pantai kota Makassar dapat berkelanjutan diantaranya adalah pengendalian jumlah pertumbuhan penduduk, tingkat kesadaran masyarakat akan lingkungan, penyediaan instalasi pengolahan air limbah untuk setiap sumber pencemar, dan peningkatan alokasi anggaran untuk konservasi lingkungan terutama terumbu karang Kata Kunci : Wisata, perikanan,pengelolaan Pencemaran,Pantai kota Makassar
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN PERAIRAN PESISIR BAGI KEBERLANJUTAN PERIKANAN DAN WISATA PANTAI KOTA MAKASSAR
HAMZAH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiyandi, M.Sc Prof. Dr. Ir. H.M. Natsir Nessa, M.S
Judul Disertasi
: Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Kota Makassar
Nama
: Hamzah
NRP
: C261060051
Program Studi
: Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)
Disetujui oleh : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Ketua
Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin
Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phill
Anggota
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 19 Januari 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan karunia dan rakhmat-Nya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Tema yang penulis kaji adalah pengelolaan pencemaran pantai dengan judul Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Kota Makassar Tekanan terhadap ekosistem pantai kota dan kualitas perairan pesisir terjadi semakin tinggi akibat Pemanfaatan sumberdaya pesisir pantai yang dilakukan untuk kepentingan pembangunan, terutama beban pencemaran . Hal ini sering terjadi untuk wilayah pesisir yang berada dikawasan perkotaan seperti di Pantai Kota Makassar. Model pengelolaan pesisir dirasa sangat perlu untuk dijadikan sebagai acuan pembangunan dalam pengelolaan pesisir sekaligus memperkirakan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan pesisir Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr.Ir. Achmad Fahrudin, M.Si serta Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin dan Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phill masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan, arahan, dan dukungannya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Tak lupa ucapan terima kasih buat seluruh staf pengajar pada Program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Ucapan terima kasih pula penulis haturkan kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS, dan pimpinan Universitas Hasanuddin yang telah memberikan izin studi. ucapan terima terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Koji Tanaka dan Prof okamoto Masaaki atas bimbingan dan izin yang diberikan kepada penulis selama menjalani Program Sandwich di Universitas Kyoto. Tak lupa ucapan terima kasih buat rekan-rekan di SPL yang terus memberikan semangat dan berbagai bantuan yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu Ucapan terima kasih tak terhingga dan terhusus kepada istri tercinta Fatmawaty Amry dan anak-anakku tersayang Nurul Inayah Febriani, dan Anisah Jasmine Puspita yang telah memberikan cinta dan kasih sayang,pengertian, kesabaran, doa dan pengorbanannya, mulai dari awal studi sampai disertasi ini terselesaikan. Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran dan perbaikannya akan sangat kami harapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
Bogor, Januari 2012
Hamzah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 26 Januari 1971 sebagai anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan H. Tahang Dg Passanre dan Hj Intang. Selepas lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Watampone tahun 1991, penulis melanjutkan studi di Universitas Hasanuddin Makassar pada Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan S2 pada program pascasarjana Universitas Hasanuddin dan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) untuk Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan studi program Doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2006 dengan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Saat ini penulis berkerja sebagai staf pengajar pada jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar sejak tahun 2000. Bidang ilmu yang ditekuni adalah ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. Selain itu penulis juga melakukan beberapa penelitian mengenai ekonomi sumberdaya diantaranya di perairan pulau Barrang Lompo serta penelitian-penelitian mengenai terumbu karang dan kaitannya dengan sosial ekonomi pada beberapa lokasi diantara kepulauan Spermonde dan Pulau-pulau Sembilan. Adapun bidang ilmu yang digeluti sejak penelitian disertasi adalah Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan terutama mengenai pencemaran perairan pesisir. Artikel yang rencananya diterbitkan adalah Beban pencemaran dan Kapasitas Asimilasi dalam Pengelolaan Pesisir Kota Makassar Sulawesi Selatan pada jurnal Mutiara universitas Muslim Indonesia Makassar, serta artikel Kesesuaian Lahan dan Daya dukung Lahan untuk Kegiatan Wisata dan Perikanan di Pantai Kota Makassar Sulawesi Selatan pada jurnal Agrisains Universitas Tadulako. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis
xx
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xxv
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 1.4. Kerangka Pemikiran ...............................................................
1 5 6 7
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Pantai dan Pengelolaannya...................................... 2.2 Pencemaran dan Dampak Terhadap Kualitas Perairan …….... 2.3 Konsep Kesesuain Lingkungan ............................................... 2.4 Konsep Daya Dukung Lingkungan Perairan............................ 2.5 Sistem dan Pemodelan .……………………………………… 2.6 Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) …... 2.7 Wisata Pantai ………………………………………………... 2.8 Pemanfaatan Perikanan …...…………………………………. 2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu ...…….………………………
9 11 13 15 21 23 27 31 33
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Daerah Penelitian ..................................................................... 3.2. Metode Pengumpulan Data ..………………………………… 3.2.1 Data Primer .………………………………………… 3.2.2 Data Sekunder .……………………………………… 3.3. Analisis Data ..……………………………………………….. 3.3.1 Analisis Pencemaran .………….……………………. 3.3.2 Analisis Daya Dukung ......………………………….. 3.3.3 Analisis Sistem dan Pemodelan .…………………….
39 40 40 42 43 43 46 51
4. KARAKTERISTIK UMUM WILAYAH STUDI 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah ………………………… 4.2 Kondisi Biofisik .…………………………………………….. 4.3 Ekosistem Pantai …………………………………………….. 4.4 Demografi …………………………………………………… 4.5 Pariwisata .…………………………………………………… 4.6 Potensi dan Permasalahan Kawasan Pantai Losari Makassar . 4.7 Isu-isu Pengelolaan Sepanjang Pantai Kota Makassar ……… 4.8 Arahan Pengendalian Saat ini .……………………………….
55 55 62 63 66 68 71 72
5. PENCEMARAN PANTAI KOTA MAKASSAR 5.1 Beban Pencemaran Perairan Pantai Kota Makassar ………… 5.2 Tingkat Pencemaran Pantai Kota Makassar ...………………. xix
75 79
xx
5.3 Kapasitas Asimilasi Perairan Pantai Kota Makassar ………... 5.4 Hubungan Pencemaran Perairan dan Perikanan …………….. 5.5 Pencemaran dan Daya Dukung lingkungan Pantai ..…………
80 83 95
6. MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN 6.1 Penyusunan Skenario Model .……………………………….. 6.2 Pembangunan Model .……………………………………….. 6.3 Simulasi Model Pengelolaan .……………………………….. 6.4 Basis Model Pengelolaan Pencemaran ..…………………….. 6.5 Skenario Pesimis ..…………………………………………... 6.6 Skenario Optimis ..…………………………………………... 6.7 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Pesisir ………
103 104 107 112 123 133 144
7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ………………………………………………….. 7.2 Saran ………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
147 148 149
LAMPIRAN ….…………………………………………………………..
157
xix
xx
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Baku mutu untuk kegiatan budidaya dan wisata bahari……….…….
14
2. Beberapa aplikasi SIG di wilayah pesisir khususnya di bidang perikanan ……………………………………………………………. 3. Nilai beberapa parameter kualitas air di muara sungai Tallo dan Jenneberang……………………………………………………...
26 35
4. Jenis dan kelimpahan makrozoobenthos yang ditemukan di muara Sungai Tallo dan Sungai Jenneberang……………………………….
36
5 Parameter kualitas air yang diukur dan metode analisisnya ………...
41
6. Komponen data dan parameter yang diukur…………………………. 7. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) ............
42 50 51
8. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata …….. 9. Tujuan dan metode analisis model pengelolaan wisata pantai dan perikanan………………………………………………………… 10. Jumlah penduduk menurut kecamatan, jenis kelamin dan sex rasio di kota Makassar ……………………………………………………. 11. Jumlah penduduk dirinci menurut kecamatan di kota Makassar …….
53 64 65
12. Beban pencemaran Bulanan dari Sungai. Jenneberang dan Sungai Tallo di pantai Kota Makassar ………………………………………
77
13. Tingkat pencemaran di lingkungan pantai kota Makassar …………..
79
14. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan ………………….
86
15. Lokasi dan daya dukung untuk wisata pantai ………………………. 16. Nilai dugaan parameter pada sub-sub model pengelolaan pengelolaan pencemamaran pantai kota Makassar .…………………. 17. Kebijkan dan program pengelolaan pesisir Kota Makassar berdasarkan analisis model dinamik…………………………………
100
xix
104 145
xx
xix
xx
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1. Kerangka pemikiran dinamika dan dampak pencemaran terhadap aktivitas perikanan dan wisata di pantai Kota Makassar .……………. 2. Peta lokasi penelitian model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan wisata dan perikanan ...................................................... 3. Grafik hubungan antara beban limbah dan kualitas air (Dahuri,1999) 4. Diagram lingkar Sebab Akibat (causal loop) model pengelolaan wisata dan perikanan berkelanjutan di pantai Kota Makassar ............. 5. Model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan wisata dan perikanan di pantai Kota Makassar..………………………………… 6. Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Makassar 2007 – 2009 ……… 7. Komposisi beban limbah BOD 5 dan COD berdasarkan aliran sungai dan kanal …………………………………………………………… 8. Komposisi beban limbah NO 3 dan PO 4 berdasarkan aliran sungai dan kanal ……………………………………………………………. 9 . Kapasitas asimilasi BOD 5 dan COD di pantai Kota Makassar ……… 10. Kapasitas asimilasi NO 3 dan PO 4 di pantai Kota Makassar………….. 11. Sebaran suhu pada berbagai stasiun pengamatan ……………………. 12. Sebaran pH pada berbagai stasiun pengamatan………………………. 13. Sebaran kadar salinitas pada berbagai stasiun pengamatan…………... 14. Sebaran kadar DO pada berbagai stasiun pengamatan ………………. 15. Sebaran kadar BOD 5 pada berbagai stasiun pengamatan ……………. 16. Sebaran kadar COD pada berbagai stasiun pengamatan …………….. 17. Sebaran kadar NO 3 pada berbagai stasiun pengamatan ……………... 18. Sebaran kadar PO4 pada berbagai stasiun pengamatan ……………… 19 Model pengelolaan pencemaran perairan Makassar ………………… 20. Sub model beban limbah BOD 5 ……………... ……………………… 21. Sub model beban limbah COD ……………………………………… 22. Sub model beban limbah NO 3 .............................................................. 23. Sub model beban limbah PO 4 ……………………………………….. 24. Sub Model Ekonomi dan IPAL ……………………………………... 25. Hasil Simulasi Beban limbah BOD 5 Skenario Basis ………………... 26. Hasil Simulasi Beban limbah COD Skenario Basis ………………… 27. Hasil simulasi beban limbah NO 3 skenario basis …………………… 28. Hasil simulasi beban limbah PO 4 skenario basis ……………………. 29. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah BOD 5 skenario basis ………………………………………… xix
8 39 44 52 54 65 77 78 81 82 84 85 87 89 91 92 94 95 106 108 109 110 111 112 113 114 115 115 116
xx
30. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah COD skenario basis …………………………………………. 31. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 3 skenario basis ...………………………………………… 32. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah PO 4 skenario basis ...……………………………………........ 33. Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario basis ……………………………………………….... 34. Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario basis ……………………. 35. Hasil simulasi beban limbah BOD 5 Skenario pesimis 36. Hasil simulasi beban limbah COD Skenario pesimis …...………........ 37. Hasil simulasi beban limbah NO 3 Skenario pesimis 38. Hasil simulasi beban limbah PO 4 Skenario pesimis ...……………….. 39. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban Limbah BOD 5 skenario pesimis 40. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban Limbah COD skenario pesimis … …………………………………… 41. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 5 skenario pesimis 42. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban Limbah PO 4 skenario pesimis 43. Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario pesimis …………………………………………........ 44. Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario pesimis ……………………... 45. Hasil simulasi beban limbah BOD 5 Skenario optimis………………... 46. Hasil simulasi beban limbah COD Skenario optimis ……….……...... 47. Hasil simulasi beban limbah NO 3 Skenario optimis 48. Hasil simulasi beban limbah PO 4 Skenario optimis …………………. 49. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah BOD 5 skenario optimis ………………………………………. 50. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah COD skenario optimis ……………………………………….. 51. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 3 skenario optimis 52. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah PO 4 skenario optimis ...………………………………………. 53. Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario optimis …………………………………………......... 54. Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario optimis …………………. xix
117 118 119 120 122 124 124 125 126 127 128 129 130 131 133 134 135 136 137 138 139 139 140 141 143
xx
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1 Data Pengukuran Parameter Fisik di Pantai Kota Makassar ...….. 2 Data Pengukuran Parameter Kimia di Pantai Kota Makassar ..…..
159
3 Perhitungan beban Pencemaran bulanan pantai Kota Makassar …
160
4 Perhitungan Indeks Pencemaran Pantai Kota Makassar ………….
161
5 Sub Model beban Limbah BOD ………………………………….
165
6 Sub Model beban Limbah COD ………………………………….
167
7 Sub Model beban Limbah NO3 …………………………………..
168
8 Sub Model beban Limbah PO4 …………………………………...
170
9 Sub Model Ekonomi IPAL ………………………………………. 10 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No.51/MENLH/10/2004 tentang Baku Mutu air laut untuk wisata Bahari ……………………………………………………...
172
11 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No.51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri ……………………..……………………..
xix
174
175
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota di dunia dengan penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa terdapat di wilayah pantai (UNESCO, 1993; Edgen, 1993; dalam Kay dan Alder, 1999). Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia yang hampir 60% jumlah penduduk kota-kota besar (seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar) menyebar di kawasan pantai (Dahuri, dkk, 2001). Pertumbuhan dan konsentrasi penduduk yang tinggi seperti Kota Makassar mengakibatkan tekanan yang tinggi terhadap lingkungan pantai, sepert pencemaran perairan Berdasarkan rencana tata ruang, wilayah pantai Kota Makassar akan menjadi berbagai kawasan yang dibagi berdasarkan kesesuaian lingkungan dan pemanfaatannya.
Kawasan-kawasan tersebut diantaranya kawasan pariwisata,
perikanan terpadu, pelabuhan terpadu, bisnis dan perdagangan serta kawasan pemukiman. Dalam perkembangan terakhir, pantai kota Makassar telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan akibat pembangunan.
dari adanya kegiatan
Kawasan pantai Kota Makassar sendiri telah mengalami
perubahan sesuai dengan laju pertumbuhan pembangunan yang mengalami kendala dalam penyediaan lahan untuk pembangunan. Salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan lahan akibat pembangunan adalah dengan melakukan reklamasi. Beberapa daerah di Indonesia juga melakukan kegiatan reklamasi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan akan lahan seperti reklamasi pantai utara Jakarta untuk kawasan pemukiman, reklamasi laut Bali Benoa seluas 300 Ha, Pantai utara semarang serta reklamasi pantai utara Surabaya. Pada Negara-negara maju lainnya, kegiatan reklamasi merupakan salah satu alternative solusi dalam mengantisipasi kebutuhan lahan untuk pembangunan. Salah satu contoh kegiatan reklamasi pantai dan laut yang terkenal adalah Jepang yang membangun bandara internasional Kansai di tengah laut.
2 Sejak tahun 2003 pemerintah Kota Makassar menerapkan sistem manajemen pesisir dan lautan terpadu (integrated coastal zone Management) pada pantai kota dengan revitalisasi, yaitu upaya untuk memperbaiki kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya baik tetapi mengalami kemunduran atau degradasi. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra dari suatu tempat) (Danisworo, 2002). Kegiatan revitalisasi yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi perairan dan lingkungan pantai kota agar dapat mendukung aktivitas pemanfaatan. Pendekatan pembangunan pesisir secara terpadu sangat diperlukan mengingat adanya berbagai kegiatan pemanfaatan antara lain pariwisata, perikanan, bisnis dan pemukiman, sehingga diharapkan berbagai jenis kegiatan pemanfaatan pada pantai kota dapat berjalan dengan baik. Kegiatan reklamasi di kawasan pantai kota selain memberikan manfaat ketersediaan ruang untuk pembangunan juga akan menimbulkan sisi negatif berupa perubahan habitat dan ekosistem seperti penurunan kualitas lingkungan, perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi yang akan merusak ekosistem pantai diantaranya terumbu karang dan padang lamun. Akibat-akibat negatif ini juga akan terjadi bila kegiatan pembangunan berupa revitalisasi dan reklamasi tidak dilakukan dengan bijak dan pertimbangan yang matang. Reklamasi dalam artian umum adalah suatu pekerjaan penimbunan tanah/pengurukan pada suatu kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna/masih kosong dan berair menjadi lahan berguna. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau. Tekanan terhadap ekosistem pantai kota dan kualitas perairan pesisir terjadi semakin tinggi dengan adanya proyek Central Point of Indonesia (CPI). Proyek CPI ini sendiri telah dimulai tahun 2009, dengan membangun berbagai fasilitas di sepanjang pantai kota antara lain museum, kawasan bisnis, taman dan lapangan golf. Luas area yang dibangun dari reklamasi pantai adalah sekitar 157 ha Pada berbagai aktivitas pemanfaatan yang ada di kawasan pantai Kota Makassar seperti kegiatan wisata pantai, pemukiman, pelabuhan, dapat memberikan dampak pada perubahan kualitas perairan.
Hal ini dikarenakan
3 adanya pencemaran dari limbah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas yang ada. Limbah yang dihasilkan dapat berupa limbah cair maupun limbah padat. Fardiaz (1992) mengemukakan bahwa polusi air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, dengan demikian perairan yang sudah tidak lagi berfungsi secara normal dapat dikategorikan sebagai perairan tercemar. Ketchum (1971) lebih jauh menegaskan bahwa pencemaran disebabkan oleh masuknya zat-zat asing ke dalam lingkungan, sebagai akibat dari tindakan manusia, yang merubah sifat-sifat fisik, kimia, dan biologis lingkungannya. Bahan-bahan pencemar tersebut digolongkan ke dalam tiga tipe yaitu: (1) patogenik (menyebabkan penyakit pada manusia), (2) estetik (menyebabkan perubahan lingkungan yang tidak nyaman berdasarkan panca indera) dan (3) ekomorpik (bahan cemar yang menyebabkan perubahan sifat sifat fisika lingkungan). Pencemaran pada perairan pantai Makassar diduga sangat tinggi karena terdapat 2 sungai besar yakni Jenneberang dan Tallo serta kanal dan drainase kota yang kesemuanya bermuara di Pantai Kota Makassar. Kualitas perairan dapat diperkirakan dengan membandingkan dengan standar baku mutu kualitas air. Dinamika kualitas air pantai ditentukan oleh laju beban limbah yang masuk pada perairan yang terbawa oleh aliran sungai dan kanal. Selain itu tingkat pencemaran yang ada juga berasal dari
limbah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas
pemanfaatan yang ada disepanjang pantai. Apabila pencemaran berupa limbah yang masuk ke dalam perairan pantai kota tidak tertangani dengan baik, maka diperkirakan daya dukung perairan pantai akan mengalami penurunan dan tidak mampu menopang aktivitas pemanfaatan yang ada Dalam Perda Kota Makassar No 6 tahun 2006 tentang Tata Ruang Wilayah kota Makassar mencakup kawasan wisata pantai dan perikanan. Aktivitas pada kawasan ini sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan ekologis yang ada. Selain dari faktor ekologis, aktivitas pemanfaatan pada kawasan ini juga dipengaruhi oleh faktor lain yakni kondisi sosial dan ekonomi. Berbagai faktor sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi aktivitas wisata dan perikanan diantaranya pertumbuhan penduduk, tingkat kesejahteraan dan tingkat pendapatan
4 Faktor sosial seperti jumlah penduduk misalnya selain mempangaruhi banyaknya limbah yang dihasilkan, juga mempengaruhi jumlah pengunjung serta besarnya permintaan terhadap wisata. Jumlah konsumsi ikan yang dihasilkan dari aktivitas perikanan, juga dpengaruhi oleh jumlah penduduk.
Adapun faktor
ekonomi misalnya tingkat pendapatan akan menentukan kemampuan konsumsi dan daya beli masyarakat yang berkaitan dengan jumlah kunjungan untuk wisata, serta jumlah konsumsi ikan yang dihasilkan dari aktivitas perikanan yang ada di pantai kota Makassar. Jadi keberadaan dan keberlanjutan aktivitas wisata pantai dan perikanan yang ada di Pantai Kota Makassar bukan saja ditentukan oleh kelayakan ekologis berupa daya dukung lingkunan, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi Beban limbah yang masuk ke parairan pesisir Kota Makassar saat ini sedang diusahakan untuk dapat diatasi oleh pemerintah Kota Makassar.
Salah satu
program yang sedang dilakukan oleh pemerintah adalah membangun sistem pengolahan air limbah (IPAL).
Dengan adanya IPAL ini diharapkan beban
limbah yang berasal dari penduduk dan industry kecil yang ada di Kota Makassar dapat diatasi, yakni dengan mengalirkan limbah dari rumah penduduk yang dialirkan melalui pipa-pipa limbah untuk diolah di IPAL. Setelah limbah-limbah tersebut diolah sampai memenuhi standar yang aman bagi lingkungan, kemudian akan dibuang ke perairan.
Jadi dengan dibangunnya IPAL diharapkan akan
membuat lingkungan perairan pesisir Kota Makassar dapat bebas dari limbah. Salah satu kendala yang dihadapi adalah bagaimana IPAL tersebut dapat dibangun oleh pemerintah mengingat biaya pembuatan IPAL yang relatif besar. Mengacu pada uraian di atas, kegiatan pemanfaaan lingkungan pantai untuk wisata dan perikanan terpadu yang ada di pantai Kota Makassar tidak hanya didukung oleh faktor ekologis tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi. Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara aktivitas pemanfaatan lingkungan pantai untuk wisata dan perikanan dengan kualitas perairan dan ekosistem serta kondisi sosial dan ekonomi. Kualitas air yang ada di perairan pantai yang baik, kondisi sosial dan ekonomi yang kondusif
akan
mendukung aktivitas perikanan dan wisata pantai, sebaliknya wisata pantai dan aktivitas perikanan yang ada juga memberikan kontribusi terhadap kualitas
5 perairan pantai dari limbah atau sampah yang dihasilkan. Untuk itu diperlukan suatu penelitian yang diarahkan untuk mengelola dan mengatasi beban dan dampak pencemaran terhadap lingkungan pesisir Kota Makassar. Selain itu dibutuhkan suatu model dan rancangan pengelolaan pencemaran yang baik untuk aktivitas wisata dan perikanan yang berkelanjutan di Kota Makassar. 1.2 Perumusan Masalah Kota Makassar adalah salah satu kota yang berada di pesisir pantai dengan perkembangan pembangunan yang cepat dengan daya tarik dan potensi yang besar. Perkembangangan dan pertumbuhan Kota Makassar tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan bagian pesisir pantai Kota yang sangat dinamis. Hampir semua aspek pemanfaatan untuk pembangunan di Kota Makassar dapat kita temui di kawasan pesisir pantai kota, mulai pemanfaatan sumberdaya perikanan, pemukiman, pariwisata, perdagangan, pelabuhan dan pelayaran terjadi kawasan ini. Pengelolaan sumberdaya pesisir pantai Kota Makassar apakah dapat dilakukan dengan konsep dan tujuan pemanfaatan yang terpadu dan berkelanjutan seperti yang dikemukakan Dahuri (2001) Pemanfaatan yang ada di pantai Kota Makassar selama ini mengalami berbagai perkembangan yang sangat dinamis. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai bentuk
kegiatan pemanfaatan sumberdaya di sepanjang pantai kota
Makassar. Bentuk-bentuk kegiatan pemanfaatan
yang telah dilakukan di
lingkungan pantai Kota Makassar antara lain pembukaan kawasan wisata Tanjung Bunga, pembuatan anjungan pantai, pembangunan kawasan pemukiman, pusat perdagangan dan bisnis serta perhotelan. Kegiatan pemanfaatan ini bisa saja berdampak pada perubahan kualitas perairan pantai kota yang diakibatkan dari limbah yang dihasilkan Pencemaran di sepanjang pantai Kota Makassar diduga berasal dari aktivitas pemanfaatan yang ada di sepanjang kawasan tersebut. Selain itu pencemaran yang terjadi berasal dari limbah yang terbawa aliran Sungai Tallo dan Jenneberang serta aliran kanal dan drainase kota yang kesemuanya bermuara di kawasan pantai. Jumlah dan intensitas limbah yang terbawa oleh aliran sungai dan kanal berasal dari aktivitas industri, pemukiman dan pertanian di daerah daratan.
6 Pencemaran yang terjadi di sepanjang pantai Kota Makassar dan kontribusi limbah yang dibawa oleh aliran sungai dan kanal akan mempengaruhi kualitas perairan.
Kualitas perairan juga bergantung pada berbagai faktor
diantaranya daya asimilasi lingkungan yang bergantung pada berbagai faktor fisik, biologi dan kimia dari perairan tersebut. Kondisi lingkungan perairan yang baik, akan memberikan dukungan pada
aktifitas wisata pantai bagi masyarakat
pengunjung yang akan merasa lebih nyaman. Aktifitas perikanan dapat juga dilakukan dengan baik apabila didukung oleh kondisi lingkungan perairan yang baik Kualitas lingkungan yang kurang baik akibat dari pencemaran yang terjadi pada pesisir pantai Kota Makassar dapat memberikan pengaruh pada aktivitas wisata bahari dan perikanan. Pengaruh yang terjadi bukan saja pada penurunan daya dukung terhadap aktivitas perikanan dan wisata, akan tetapi sekaligus dapat mengancam keberlanjutannya. faktor sosial dan ekonomi diantaranya laju pertumbuhan penduduk, industri dan perhotelan serta pemukiman juga turut mempengaruhi keberlanjutan dari kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar.
Dari uraian permasalahan tersebut diatas maka diperlukan suatu
penelitian tentang pengelolaan pencemaran di perairan pesisir dan mengukur tingkat keberlanjutan wisata pantai dan perikanan di Kota Makassar yang dirumuskan sebagai berikut : a) Bagaimana tingkat pencemaran dan beban limbah serta kapasitas asimilasi di perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran sungai serta kanal yang berasal dari daratan b) Bagaimana pengaruh pencemaran terhadap kondisi daya dukung lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar c) Apakah kegiatan wisata pantai dan perikanan dapat berkelanjutan dan bagaimana membentuk model pengelolaan pencemaran di pantai Kota Makassar 1.3 Tujuan dan manfaat Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya pantai kota terutama yang
berkaitan dengan
7 pemanfaatan untuk kegiatan pembangunan di sepanjang pantai kota akibat dari pencemaran yang ditimbulkan adalah sebagai berikut : a) Mengetahui tingkat pencemaran dan mengukur beban limbah serta kapasitas asimilasi di perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran sungai serta kanal yang berasal dari daratan b) Mengetahui kondisi daya dukung lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar akibat pencemaran yang terjadi c) Membuat model pengelolaan pencemaran yang terjadi di perairan pesisir untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Pengembangan ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, terutama pengelolaan untuk mengatasi pencemaran di kawasan perikanan dan wisata. 2. Sumber informasi bagi pemerintah dan stakeholder lain dalam upaya pengelolaan wisata dan perikanan yang berkelanjutan di Kota Makassar. 1.4 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dari dinamika dan dampak pencemaran terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya pantai bagi kegiatan perikanan dan wisata pantai adalah sebagai berikut :
8
Pengelolaan Pesisir Kota Makassar
Pertumbuhan penduduk
Pemukiman Penduduk
Tata ruang pesisir Kota Makassar
Wisata Pantai
Perikanan Terpadu
Perubahan Habitat
Aktivitas daratan (Up land)
Industri dan Perdagangan
Pencemaran dari sungai dan Kanal
Pencemaran
Lingkungan Pesisir
Perikanan
Wisata
Daya Dukung (Kelayakan ekologis)
Desain Model pengelolaan pencemaran
Wisata pantai dan Perikanan Berkelanjutan
Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak Pencemaran terhadap aktivitas perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar Sulawesi Selatan
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Pantai dan Pengelolaannya Perairan wilayah pantai merupakan salah satu ekosistem yang sangat produktif di perairan laut. Ekosistem ini dikenal sebagai ekosistem yang dinamik dan unik, karena pada mintakat ini terjadi pertemuan tiga kekuatan yaitu yang berasal daratan, perairan laut dan udara. Kekuatan dari darat dapat berwujud air dan sedimen yang terangkut sungai dan masuk ke perairan pesisir, dan kekuatan dari batuan pembentuk tebing pantainya. Kekuatan dari darat ini sangat beraneka. Sedang kekuatan yang berasal dari perairan dapat berwujud tenaga gelombang, pasang surut dan arus, sedangkan yang berasal dari udara berupa angin yang mengakibatkan gelombang dan arus sepanjang pantai, suhu udara dan curah hujan (Davies, 1972 in Soetikno, 1993). Wilayah Pesisir memiliki sumberdaya alam yang unik, dinamis, dan produktivitas yang tinggi, terdiri dari sumberdaya yang dapat pulih, sumberdaya yang tidak dapat pulih, serta jasa–jasa lingkungan (Bengen, 2002; Bengen, 2004). Beberapa ekosistim utama yang terdapat di wilayah pesisir adalah estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, pantai (berbatu, berpasir, dan berlumpur), dan pulau kecil (Bengen, 2002). Menurut Bengen (2004) wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Selain itu, wilayah ini juga memiliki aksesibilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan ekonomi, seperti transportasi dan kepelabuhanan, industri dan permukiman. Namun demikian, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan, daya dukung ekosistem pesisir dalam menyediakan segenap sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan terancam rusak. Selanjutnya Bengen (2004) menyatakan pengalaman membangun sumberdaya pesisir masa lalu, selain telah menghasilkan berbagai keberhasilan, juga telah menimbulkan berbagai permasalahan ekologis dan sosial-ekonomis yang justru dapat mengancam kesimanbungan pembangunan nasional. Secara ekologis, banyak kawasan pesisir, terutama di Pesisir Timur Sumatera, Pantai
10 Utara Jawa, Bali dan Makasar, yang telah terancam kapasitas keberlanjutannya akbibat adanya pencemaran, degradasi fisik habitat, over-eksploitasi sumerdaya alam, dan konflik penggunaan lahan (ruang) pembangunan. Secara sosialekonomi, sebagian besar penduduk pesisir masih merupakan kelompok sosial termiskin di tanah air, dan kesenjangan pembangunan antar wilayah masih sangat besar. Berbagai permasalahan yang muncul di kawasan pesisir sebagaimana dikemukakan di atas ternyata banyak diakibatkan oleh faktor eksternal yang terjadi di luar kawasan pesisir itu sendiri (baik dari daratan maupun lautan), sehingga berbagai aktivitas yang dilakukan di kedua kawasan tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak terhadap kawasan pesisir. Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan, misalnya akibat adanya bahan pencemar atau sedimen yang masuk ke pesisir atau adanya abrasi pantai, sangat diperlukan pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan keterkaitan kawasan, bagi keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir (Bengen, 2004). Secara konseptual pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam skala tertentu setiap pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan lautan itu sendiri. Perubahanperubahan itu tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan di wilayah pesisir dan lautan, makin tinggi pula tingkat
pemanfaatan
sumberdaya
alamnya.
Pemanfaatan
dengan
tidak
mernpertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir (Dahuri et al, 1996). Kegiatan pembangunan, terutama yang melakukan pembukaan atau pemanfaatan lahan dan atau mengubah suatu bentuk bentang alam secara fisik di wilayah pesisir sudah tentu harus diukur dan dilakukan penilaian untuk menentukan keberlanjutan penggunaan atau pemanfaatan lahan tersebut. Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir yang juga melakukan suatu penataan dan peletakan infrastruktur yang berfungsi untuk menunjang kegiatan pembangunan
11 seperti pengembangan kawasan untuk pemukiman, rekreasi, budidaya, serta kegiatan lainnya, apabila tidak diperhitungkan dengan baik akan mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan yaitu terjadinya erosi tanah, menurunnya tingkat estetika lingkungan, pencemaran, menurunnya jumlah dan jenis populasi satwa, serta berbagai bentuk vandalism lainnya.
Karena itu, pembangunan atau
pemanfaatan di wilayah pesisir harus betul – betul dilakukan secara efisien, efektif, optimal, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukung lingkungan untuk meminimalisasi kerusakan atau membatasi penggunaan sumberdaya pesisir 2.2 Pencemaran dan Dampak Terhadap Kualitas Perairan Menurut Dahuri et al. (1996); Dahuri (1999) untuk keberlanjutan pemanfaatan, salah satu dimensi yang harus diperhatikan adalah dimensi ekologis, dengan tiga persyaratan, yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas assimilasi dan daya dukung lingkungan, dan (3) pemanfaatan sumberdaya secara berkesinambungan. Keharmonisan spasial menuntut perlunya penyusunan tata ruang pembangunan wilayah secara tepat dan akurat berdasarkan potensi sumberdaya yang ada Dampak pembangunan terhadap lingkungan mempunyai dua arti. Pertama adalah perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah pembangunan, dan kedua perbedaan antara kondisi lingkungan yang diperkirakan akan ada dampak tampa adanya pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah adanya pembangunan. Jadi dampak dapat bersifat negatif dan bisa positif. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Sorensen et.al.(1999) dalam Ismail (2000), bahwa antar sektor-sektor kegiatan pemanfaatan yang ada di wilayah pesisir dan lautan saling mempengaruhi dan menimbulkan dua jenis dampak, yaitu dampak positif dan negatif Pencemaran air merupakan akibat logis dari pemanfaatannya, sehingga tidak dapat ditiadakan, namun dapat dikurangi dengan cara-cara pengolahan tertentu (Suriawiria, 1993). Limbah yang dibuang langsung ke perairan bebas tanpa
dikelola
terlebih
dahulu
dapat
menimbulkan
pencemaran
yang
menyebabkan gangguan serius pada lingkungan, bahkan dapat mematikan hewan, tumbuhan dan manusia (Dix, 1981).
12 Dengan pertumbuhan peduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan yang sangat tinggi di wilayah pesisir untuk berbagai peruntukkan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, dan lain sebagainya), maka tekanan ekologis terhadap ekoistem dan sumberdaya pesisir akan semakin meningkat ( Bengen, 2004). Meningkatnya tekanan ini sudah tentu akan mengancam keberadaan dan kelansungan ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir baik secara langsung (misal kegiatan konversi lahan) maupun tidak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah dari berbagai kegiatan pembangunan). Pencemaran dapat mengubah struktur ekosistem dan mengurangi jumlah spesies dalam suatu komunitas, sehingga keragamannya berkurang. Dengan demikian indeks diversitas ekosistem yang tercemar selalu lebih kecil dari pada ekosistem alami. Diversitas di suatu perairan biasanya dinyatakan dalam jumlah spesies yang terdapat di tempat tersebut. Semakin besar jumlah spesies akan semakin besar pula diversitasnya. Hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah individu dapat dinyatakan dalam bentuk indeks diversitas.(Astirin,dkk. 2001) Pencemaran organik merupakan limbah paling banyak di perairan yang sumbernya berasal dari pemukiman, pertanian, industri, pengolahan makanan, pengolahan material alam (tekstil). Kebanyakan limbah organik mengandung sebagian besar bahan tersuspensi.
Pencemaran oleh bahan organik dapat
ditelusuri dari kandungan oksigen terlarut (DO) di air dan sedimen. Persyaratan batas maksimum yang aman bagi budidaya perikanan adalah COD = 50 ppm (Poernomo, 1992) Menurut Sastrawijaya (2000), adanya
amonia merupakan indikator
masuknya buangan permukiman. Alerts dan Santika (1987) menyatakan amonia dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan oksidasi zat organik secara mikrobiologis yang berasal dari buangan pemukiman penduduk. Pendapat ini didukung oleh Kumar De(1997) yang menyatakan bahwa limbah domestik mengandung amonia. Amonia tersebut berasal dari pembusukan protein tanaman/hewan dan kotoran. Pencemaran dapat berdampak pada suplai air minum, ekosistem, ekonomi, serta kesehatan manusia dan keamanan social (social security). Sekitar 3 – 4 juta jiwa penduduk dunia meninggal setiap tahun disebabkan oleh waterborne disease,
13 termasuk didalamnya lebih dari 2 juta jiwa anak-anak meninggal karena diare. Negara-negara berkembang sangat
rentan terkena dampak
negatit
dari
pencemaran khususnya perkampungan miskin dan kotor (Andreas, et al., 2001) 2.3 Konsep Kesesuaian Lingkungan Perairan Dalam proses penentuan pola pemanfaatan ruang, menentukan lokasi yang secara biogeofisik sesuai adalah faktor penting yang dapat menjamin kelangsungan kegiatan pada lokasi yang ditentukan. Penempatan kegiatan pembangunan di lokasi yang sesuai, tidak saja mencegah kerusakan lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan ekonomi kegiatan tersebut. Tahap pertama proses perencanaan pola pemanfaatan ruang adalah penentuan kelayakan biogeofisik dari wilayah pesisir dan laut. Pendugaan kelayakan biogeofisik dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biogeofisik
setiap
kegiatan,
kemudian
dipetakan
(dibandingkan
dengan
karakteristik biogeofisik wilayah pesisir itu sendiri). Dengan cara ini kemudian ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) peruntukan di wilayah pesisir dan laut. Penentuan kelayakan biogeofisik ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) seperti Arc View (Kapetsy et al, 1987). Informasi dasar biasanya dalam bentuk peta tematik, yang diperlukan untuk menyusun kelayakan biogeofisik ini tidak saja meliputi karakteristik daratan dan hidrometeorologi seperti kelerengan, tutupan lahan, peruntukan lahan, dan lain-lain tetapi juga oseanografi dan biologi perairan pesisir dan laut seperti pasang surut, arus, kedalaman, ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang dan lain-lain. Berdasarkan fungsinya, ruang dapat dikelompokkan menjadi kawasan Iindung dan budidaya yang masing-masing memiliki persyaratan biogeofisik. Kawasan Iindung merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan manusia kecuali penelitian ilmiah atau seremoni keagamaan/budaya oleh masyarakat lokal dan harus dapat diterima dan didukung oleh masyarakat lokal. Sedangkan kawasan budidaya dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan sesuai dengan kemampuan lahannya (Dacles et al., 2000).
14 Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata bahari kategori rekreasi pantai, meliputi (Hutabarat dkk. 2009): 1. Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar, kemiringan pantai (idealnya <25o) dan material dasar perairan pantai (idealnya berpasir) (Wong 1991). 2. Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km) (Wong 1991). 3. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan). Kualitas perairan untuk budidaya laut dan pariwisata di analisis dengan berpedoman pada baku mutu air laut yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup melalui SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut, seperti yang tertera pada Tabel 1 : Tabel 1 Baku mutu untuk kegiatan budidaya dan wisata bahari No
Baku Mutu Air Laut Wisata Bahari Budidaya Laut 1 DO mg/l >5 >5 2 pH 7-8,5 a) 7-8,5 1b) 3 Salinitas %o Alami Alami 1b) 4 Nitrat mg/l 0,008 0.008 5 Fosfat mg/l 0.015 0.015 6 BOD 5 mg/l 10 20 7 TSS mg/l 20 coral:20 e) mangrove:80 e) lamun:20 e) 1c) 8 Suhu ºC Alami Alami 1c) 9 Kecerahan m >6 coral:20 d) mangrove:lamun:>3 d) Sumber: : Lampiran II dan III SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut Keterangan: 1. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, berva riasi setiap saat (siang, malamdan musim) a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0 .2 satuan pH b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata -rata musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 oC dari suhu alami Parameter
Satuan
15 d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic (lapisan paling atas dari tubuh air yang menerima cukup cahaya untuk fotosintesis) e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman Tabel Baku mutu ini akan dijadikan sebagai acuan penyusunan matriks kesesuaian, antara lain untuk matriks kesesuaian budidaya laut terdiri pH 6-9, DO >5 mg/lt, salinitas 30-35 ppm, fosfat 0-0.5 mg/lt, nitrat 0-0.5 mg/lt, suhu permukaan laut 26-30 °C, kecepatan arus <=0.5 m/dt, dan kecerahan >5 m . Sementara itu untuk wisata bahari dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu kesesuaian pariwisata pantai dan pariwisata bahari, untuk kesesuaian pariwisata pantai meliputi jarak dari sumber air tawar <=0.5 km, DO >5 mg/l, kecerahan >5 m, kecepatan arus <=0.3 m/det, dan material dasar perairan berpasir, sedangkan untuk kesesuaian pariwisata bahari meliputi jarak dari sumber air tawar <=0.5 km, DO >5 mg/lt, dan kecerahan >5 m kecepatan arus <=0.5 m/det, tutupan komunitas karang >75% (Bakosurtanal,1996; Dahyar, 1999; Arifin, 2001; Soselisa, 2006). 2.4 Konsep Daya Dukung Lingkungan Perairan Sejak pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan, Odum (1971) menyatakan bahwa daya dukung merupakan pembatasan penggunaan dari suatu areal yang mempunyai beberapa faktor alam dan lingkungan. Handee et.al (1978), dalam tulisannya di Wilderness Management, menyatakan bahwa daya dukung merupakan suatu ukuran batas maksimal penggunaan suatu area berdasarkan kepekaan atau toleransinya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor alami seperti ketersediaan makanan, ruang untuk tempat hidup dan tempat berlindung atau air. Knudson (1980) menyatakan bahwa daya dukung merupakan penggunaan secara lestari dan produktif dari suatu sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari, melalui ukuran kemampuannya. Konsep daya dukung ini dikembangkan terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan sehingga kelestarian, keberadaan, dan fungsinya dapat tetap terwujud dan pada
16 saat yang bersamaan, masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut akan tetap berada dalam kondisi sejahtera dan atau tidak dirugikan (Intergenerational Welfare). Konsep dan penghitungan terhadap daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan juga awalnya digunakan untuk mempelajari pertumbuhan populasi dalam suatu unit ekologis (ekosistem). Sebagai contoh dari beberapa penilaian yang umum dilakukan terhadap penghitungan daya dukung ini adalah :
(1)
penghitungan terhadap ecological capacity atau daya dukung ekologis yaitu jumlah individu yang yang dapat didukung oleh sutau habitat dan; (2) penghitungan terhadap grazing capacity yaitu jumlah individu (biota) dalam keadaan sehat dan kuat yang dapat didukung oleh ketersediaan pakannya dalam suatu areal tertentu. Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis (a fixed amount), tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik (ekologis) wilayah termaksud dan juga kebutuhan manusia akan sumberdaya alam dan jasa – jasa lingkungan dari wilayah tersebut. Misalnya, daya dukung suatu wilayah dapat menurun akibat kegiatan manusia maupun gaya-gaya alamiah (natural forces), seperti bencana alam atau dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan melalui pengelolaan atau penerapan teknologi. Contoh lain adalah produktivitas tambak udang yang hanya mengandalkan alam tanpa teknologi (tradisional) adalah sekitar 200 kg/ha/tahun, akan tetapi dengan penerapan teknologi pengelolaan tanah dan air, manajemen pemberian pakan produktivitas dapat meningkat 6 ton/ha/thn. Konsep daya dukung yang paling mendasar adalah menjelaskan hubungan antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumber daya dimana populasi tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut. Penggunaan konsep daya dukung lingkungan tergantung pada tujuan yang ingin dicapai dalam suatu kondisi populasi atau sumber daya. Walau kadang-kadang tidak dinyatakan secara ekspilisit, proses penentuan suatu daya dukung lingkungan untuk berbagai aktivitas memerlukan suatu nilai justifikasi mengenai apa yang akan dioptimumkan. Konsep daya dukung ini sudah dikemukakan oleh banyak ilmuwan sejak tahun 1940, dimana secara keseluruhan mempunyai kerangka acuan yang tidak
17 terlalu banyak mengalami perubahan. Hal yang terpenting dari definisi konseptual daya dukung yang diajukan adalah pemeliharaan dan pengendalian integritas dari suatu sumberdaya yang memberikan tingkat kesejahteraan tertinggi dan berkualitas bagi masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut. Konsep ini pada tahapan dan perkembangan selanjutnya juga digunakan untuk pengelolaan/ pengembangan wilayah pesisir dan laut (ekowisata, budidaya (tambak dan laut), pulau – pulau kecil) serta pengembangan kegiatan lainnya di wilayah pesisir dan laut. Tujuan dari penilaian ini adalah untuk mempertahankan atau melestarikan potensi alami dari kawasan tersebut pada batas – batas penggunaan yang diperkenankan atau yang dimungkinkan. Batasan daya dukung untuk populasi manusia dinyatakan oleh Soerianegara (1977), yaitu merupakan jumlah individu yang dapat didukung oleh satuan luas sumberdaya dan lingkungan dalam keadaan sejahtera. Daya dukung mempunyai dua komponen utama yang harus diperhatikan (Soerianegara, 1977), yaitu : 1. Besarnya atau jumlah populasi mahluk hidup yang akan menggunakan sumberdaya tersebut pada tingkat kesejahteraan yang baik 2. Ukuran atau luas sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada populasi manusia pada tingkat yang lestari. Selanjutnya Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang ditunjang oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu (destorasi). Sementara, Kechington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai kuantitas maksimum ikan yang dapat didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu yang panjang. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya orgnanisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung merupakan ultimate constrain yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijah, atau penyakit, siklus predator, temperatur, cahaya matahari, atau salinitas. Sistem daya dukung lingkungan dapat berkurang akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia
18 yang mengurangi ketersediaan suplai energi atau penggunaan energi (Clark, 1974). Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993). Piper et al (1982 in Meade, 1989) mendefinisikan daya dukung sebagai suatu sistem yang dapat mendukung beban hewan yang dinyatakan sebagai pound ikan per kubik air (lb/ft3). Haskel (1995 in Meade, 1989) membuat dua asumsi yang menyangkut daya dukung sebagai berikut : 1. Daya dukung yang dibatasi oleh laju konsumsi oksigen dan akumulasi metabolit 2. Laju konsumsi oksigen dan akumulasi tersebut sebanding dengan jumlah pakan yang dimakan per hari Daya tampung kawasan pesisir adalah kemampuan badan air atau perairan di kawasan tersebut dalam menerima limbah organik termasuk didalamnya adalah kemampuan untuk mendaur ulang atau mengasimilasi limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan yang berakibat terganggunya keseimbangan ekologisnya (Krom, 1996). Sedangkan daya dukung suatu lahan perairan untuk budidaya udang adalah biomassa udang yang dapat hidup di dalamnya secara berkesinambungan untuk ukuran dan situasi tertentu, dan bila keadaan lahannya berubah, daya dukungnya juga akan berubah. Faktor penentu daya dukung lingkungan perairan adalah volume perairan, kualitas perairan, dinamika perairan, dan beban pencemar yang ada /limbah dari hulu. Daya dukung perairan pesisir untuk menerima limbah dipengaruhi oleh beberapa faktor (Rompas, 1998) antara lain : (1) kualitas air perairan pesisir; (2)dinamika perairan; (3) tingkat kesuburan perairan (oligotrofik, mesotrofik, atau eutrofik); (4) beban limbah; (5) jenis dan jumlah mikroba; (6) aktivitas manusia di pesisir. Karena itu, pengukuran kualitas air perairan pesisir penerima limbah atau tingkat pencemarannya sangat penting untuk memperkirakan level pengenceran dan kemampuan asimilasinya, apakah sudah berada pada level rendah (tingkat pencemaran tinggi) atau masih pada level tinggi (tingkat pencemaran rendah).
19 Penentuan besarnya nilai daya dukung juga dapat dilakukan dengan membangun suatu model hubungan kuantitatif antara faktor pembatas dan peubah pertumbuhan, dimana nilai maksimum dan minimum pada suatu tingkat pertumbuhan akan ditentukan pada faktor pembatas tertentu (Ortolano, 1994). Menurut Hendee et al. (1978), bahwa penilaian kemampuan suatu kawasan berdasarkan pendekatan daya dukung cenderung merupakan suatu probabilistic concept
atau teori kemungkinan jadi bukan merupakan suatu yang bersifat
absolut/ mutlak karena hasil perhitungan yang diperoleh merupakan nilai optimasi atau perpaduan dari kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut denga tingkat pengelolaan yang tersedia atau yang mungkin dapat dilakukan. Selanjutnya dikatakan oleh Hendee et al (1978) bahwa penggunaan IPTEK yang tidak bijaksana dan tidak terencana dengan baik dalam upaya untuk mengatasi kerusakan sumberdaya justru akan menghancurkan lingkungan. Proses penentuan daya dukung lingkungan untuk suatu aktivitas ditentukan umumnya dengan dua cara, yaitu : (1) suatu gambaran hubungan antara tingkat kegiatan yang dilakukan pada suatu kawasan dan pengaruhnya terhadap parameter-parameter lingkungan, dan (2) suatu penilaian kritis terhadap dampak-dampak lingkungan yang diinginkan dalam rejim manajemen tertentu. Daya dukung ekologis adalah maksimum (jumlah maupun volume) dalam penggunaan suatu ekosistem atau kawasan baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan didalamnya sebelum terjadi suatu penurunan kualitas ekologis kawasan tersebut (Supriharyono, 2002). Scones dalam Prasetyawati (2001) mengatakan juga bahwa daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) adalah jumlah maksimum hewan – hewan pada suatu lahan (tambak) yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor – faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, CO, dan kandungan oksigen. Menurut Piagram (1983) bahwa daya dukung ekologis dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan didalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis kawasan atau ekosistem tersebut, termasuk lingkungan alami yang dimilikinya. Kawasan yang menjadi perhatian
20 utama adalah berbagai kawasan yang rapuh (fragile) dan yang tidak dapat pulih (unrenewable) seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetlands) antara lain rawa payau, danau, laut, pesisir, dan sungai. Ekosistem yang digunakan sebagai dasar dari penilaian daya dukung dinyatakan sebagai suatu sistem (tatanan) kesatuan yang utuh antara semua unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Odum (1971) menyatakan bahwa ekosistem adalah suatu sistem dalam alam yang mengandung makhluk hidup (unsur biotik) dan lingkungannya yang terdiri dari zat – zat yang tidak hidup (unsur abiotik) dan saling mempengaruhi dan diantara keduanya terjadi pertukaran zat atau energi yang dperlukan dalam dan untuk mempertahankan kehidupannya. Kondisi ekosistem ini harus dipertahakan walaupun secara alamiah kondisi ini tidak statik, karena setiap biota yang ada dan hidup didalamnya akan menjadi tua dan mati dan selanjutnya akan digantikan oleh biota lainnya yang sejenis. Namun apabila ada gangguan yang melampaui batas pemulihan dari ekosistem ini, maka proses pemulihannya akan memakan waktu yang sangat panjang. Daya dukung fisik. Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal merupakan
jumlah
maksimum
penggunaan
atau
kegiatan
yang
dapat
diakomodasikan dalam kawasan atau areal tersebut tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik (Piagram, 1983). Kawasan yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya ruang. Daya dukung fisik pada hakekatnya juga merupakan suatu bentuk ukuran kapasitas rancangan dan juga model rancangan untuk berbagai infrastruktur yang diakomodasikan pada suatu kawasan. Sebagai contoh misalnya model konservasi yang akan dilakukan pada kawasan yang mengalami erosi yang berlebihan. Tingkat atau jumlah erosi tanah yang terjadi pada kawasan ini merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung kawasan tersebut secara fisik. Penggunaan umum dari daya dukung fisik ini adalah penghitungan terhadap jumlah populasi penduduk disuatu kawasan berdasarkan ukuran dan kebutuhan untuk kelangsungan hidup. Contoh penghitungan lain yang umum untuk daya dukung fisik ini adalah ketersediaan air bersih pada pulau – pulau kecil untuk mendukung pengembangannya sebagai
21 areal atau kawasan wisata yang reaktif, ketersediaan air irigasi untuk persawahan produktif, jumlah sarana transpor dalam suatu kawasan serta daya dukung tanah yang dinyatakan berdasarkan ukuran kemampuan dan kesesuaiannya. 2.5 Sistem dan Pemodelan Fauzi (2005) menyatakan bahwa model adalah representasi dari suatu realitas dari seorang pemodel, dengan kata lain, model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecah suatu masalah. Proses penjabaran atau merepresentasikan ini disebut modelling atau pemodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis. Selanjutnya dikatakan bahwa proses interpretasi dunia nyata tersebut ke dalam dunia model, berbagai proses transformasi atau model dapat dilakukan.
Ada
model yang lebih mengembangkan interpretasi verbal (bahasa), ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa simbolik seperti bahasa matematika sehingga menghasilkan model kuantitatif. Untuk menjembatani dunia nyata yang dalam presepsi manusia bersifat kualitatif menjadi model yang bersifat kuantitatif diperlukan proses transformasi berupa alat pengukuran dan proses pengembilan keputusan Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi, 2001). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan kelemahan dari masing – masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin untuk membentuk sinergi. Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno,1999). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2)
22 dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 1999). Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar terdiri dari 4 tahap, yaitu : 1) Tahap seleksi konsep dan variabel Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitive map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan mendalam terhadap asumsi – asumsi, serta konsistensinya terhadap variable dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan tidak konsisten dan kurang relevan dibuang. 2) Konstruksi model (tahap pengembangan model) Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat) kedalam model dinamiknya dengan bantuan soft ware tool Powersim versi 2.5 berbasis sistem operasi Windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi model simulasi. 3) Tahap analisis sensivitas Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel – variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci. 4) Analisis kebijakan, kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model
23 Menurut DePinto, et al.(2004) yang melakukan pemodelan terhadap total maksimum load dari limbah dimana ditemukan bahwa model yang baik mempunyai beberapa syarat diantaranya : definisi masalah dan pembangunan model konseptual, sintesa data, pilihan model dan pembenaran, penjabaran teoritis, konfigurasi spesifik, okasi dan dugaan kunci, kalibrasi dan strategi konfirmasi dan hasil Kerangka berfikit epistimologi dalam ICZM saling sinergis dengan karakteristik wilayah pesisir yang merupakan suatu sistem dinamis dan saling terkait antara sistem manusia / komunitas dengan sistem alam sehingga kedua sistem inilah yang bergerak dinamik dalam kesamaan besaran (magnitude), sehingga diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan pesisir secara terpadu. Integrasi inilah yang dikenal dengan paradigma SocialEcological System disingkat SES. (Adrianto and Aziz, 2006). Social-Ecological System (SES) didefinisikan sebagai : "a ... system of biological unit / ecosystem unit linked with and affected by one or more social systems" (Anderies, et.al, 2004 dalam Andrianto, 2006). Salah satu contohnya adalah konsep Coastal Livelihood System Analysis (CLSA) yang dikembangkan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, di mana aspek sistem alam (ekologi/ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan 2.6 Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Karakteristik lingkungan, modeling, dan proses pengambilan keputusan melalui evaluasi berdasarkan survey lapangan dengan sistem informasi geografis terdapat tiga tahapan antara lain (Carver et al., 1996) : (1) Pra-lapangan, koleksi data/prosessing terhadap sumber-sumber data primer dan sekunder ; (2) lapangan, koleksi data di lapangan, verifikasi, update dan modeling ; (3) pengembangan sistem pengambilan keputusan secara spasial (SDSS; Spatial Decision Support System), merupakan penggunaan data base dan model yang dikembangkan untuk strategi pengembilan keputusan Sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. Sistem komputer ini terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia
24 (personal) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisa dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI, 1995). Yang paling utama adalah kemampuan SIG menyajikan data spasial yang dilengkapi dengan informasi sebab SIG dapat menangkap data spasial baik dari peta ataupun data atribut yang memiliki informasi geografis. SIG juga mampu menerima peta dari berbagai skala dan proyeksi dan mentransformasi menjadi skala yang standar sehingga hasilnya yang diperoleh juga menjadi standar. Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di bidang perikanan, pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi bahkan pada bidang politik. Inderaja disefenisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tampa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Dalam indera sistem satelit, informasi keadaan permukaan bumi direkam oleh sensor yang dapat menangkap sinyal gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh penampakan atau gejala yang terdapat dipermukaan bumi. Sensor yang dipasang pada satelit harus peka terhadap beberapa panjang gelombang elektromagnetik. Sinyal dapat memberikan data dan informasi tentang keadaan permukaan bumi. Sinyal tersebut ditangkap dan kemudian dikirim ke stasiun bumi atau direkam terlebih dahalu bila satsiun yang ada tidak dapat dijangkau (lillesand & Kiefer, 1990). Menurut Hartanto (1995) paling tidak terdapat beberapa fungsi inderaja dalam perencanaan tata ruang di wilayah pesisir dan lautan ; pertama memberikan informasi perubahan keruangan (spatial) dari waktu ke waktu. Kedua, menggambarkan ruang saat ini untuk berbagai kegiatan. Mendapatkan data awal yang akan ditransformasikan kedalam perangkat lain seperti GIS (Sistem informasi geografis) untuk analisis perencanaan tata ruang wilayah pesisir dan lautan lebih lanjut. Keempat memberikan data luasan setiap penggunaan ruang dengan menggunakan software tertentu (IDRISI, ERDAS, ErMapper), sehingga
25 akan memberikan gambaran yang lebih jelas dalam peruntukan ruang sesuai dengan daya dukung ruang pada wilayah pesisir dan lautan. Dan kelima, memudahkan perencanaan dalam melakukan pemetaan (manual maupun digital), sehingga akan menghasilkan peta yang lebih akurat dalam perencanaan tata ruang di wilayah pesisir dan lautan. Beberapa cara untuk mengintegrasikan indraja dengan SIG dikemukakan oleh Campbell (1997) adalah : 1.
Foto udara dan hasil photography dari citra satelit (setelah diolah dan
diklasifikasikan) dintepretasikan secara manual dan dijadikan peta tematik seperti : penutupan lahan, dapat didigitasi kedalam SIG 2. Data digital INDERAJA dianalisis dan diklasifikasikan secara digital, output dari proses tersebut berupa peta konvensional kemudian didigitasi ke dalam SIG 3.
Data digital dianalisis dan diklasifikasikan dengan menggunakan metode
digital otomatis dan hasilnya langsung dapat ditransfer ke dalam SIG. 4. Data mentah hasil INDERAJA dimasukkan langsung ke dalam SIG apabila terdapat perangkat lunak yang dapat menganalisis data citra dan SIG sekaligus Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan dibidang pertanian, kehutanan, serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya (transportasi). Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan dibidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi, terutama dengan menggunakan SIG tiga dimensi Cara yang terbaik untuk integrasi INDERAJA dan SIG adalah proses digital dan transfer data diantara
kedua sistem tersebut.
Penelitian yang
menggunakan data inderaja yang dioleh secara digital, otomatis, intepretasi dan analisis data citra belum dapat diterima seutuhnya pada tingkatan ketelitian yang diperlukan SIG. Banyak penelitian masih difokuskan pada aspek pemerosesan digital seperti minimalisasi distorsi dan kesalahan selama transformasi data, teknik otomatisasi yang lebih baik untuk mengintepretasi dan meningkatkan ketelitian pada proses klasifikasi (David and Simon ; Davis et al., 1991)
26 Tabel 2 Beberapa aplikasi SIG di wilayah pesisir khususnya dibidang perikanan APLIKASI
KETERANGAN
1. Pengelolaan Lahan
Pembuatan beberapa profil DAS di areal kehutanan, lahan budidaya, daerah permukiman, perubahan garis pantai, tanah payau, tanah pasir dengan kemiringan 3-6% dan parameter lain dengan memperkirakan sumber air. 2. Pengelolaan Studi kasus dalam analisis dampak pencemaran. Membangun habitat air basis data untuk habitat potensial, data atribut dari kondisi tawar habitat dan aliran arus, DAS, lokasi pembuangan bahan pencemar. Menggambarkan dampak di bagian hilir sungai terhadap potensi kehilangan produksi ikan. Analis habitat yang terpengaruh oleh bahan pencemar, dan konversi areal habitat untuk pemiliharaan ikan 3. Pengelolaan Membangun basis data untuk beberapa data atribut. habitat laut Membangun kriteria untuk model kesesuaian habitat dengan menggambarkan hubungan antara variabel spasial. Overlay peta untuk memproduksi data yang dihasilkan. 4. Potensi Dalam penentuan lokasi untuk sesuai dengan budidaya udang Pengembangan diperlukan beberapa data, antara lain ; salinitas, jenis tanah, budidaya pola curah hujan, penggunaan lahan (mangrove dan nonmangrove). Data yang digunakan merupakan parameterparameter lingkungan dan infrakstruktur yang tersedia, penggunaan lahan, jenis tanah, hidrologi, geomorfologi pantai dan karakteritik meteorologi. Sedangkan untuk lokasi yang sesuai untuk pembenihan udangdan ikan data yang diperlukan adalah sebagai berikut : kualitas air, pola penggunaan lahan, jarak dari sumber air, geomorfologi dan jarak dari tambak 5. Studi Identifikasi variabel sosial ekonomi yang terpengaruh akibat Sumberdaya pembangunan diwilayah pesisir. Data yang digunakan adalah wilayah Pesisir populasi, ketenagkerjaan, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, infrakstruktur dan fasilitas umum. 6. Studi indeks Klasifikasi P. Sumatera bagian timur dan jawa barat bagian kepekaan utara, kedalam 5 kelas tingkat kepekaan lingkungan terhadap lingkungan pencemaran minyak 7. Perencanaan Berdasarkan karakteristik biofisik/ekologi dari wilayah pesisir di wilayah dibandingkan dengan kriteria kebutuhan biofisik untuk pesisir berbagai kegiatan pembangunan. Wilayah pesisir Kalimantan Timur dapat dibagi menjadi beberapa tipe kegiatan pembangunan seperti pemukiman, sawah, tambak, pertambangan dan padang penggembalaan. Sumber : Dahuri et al., 1996 Memadukan berarti ‘menyatukan’ memberikan implikasi adanya kesatuan (dan konsistensi) dalam pengolahan data mulai dari awal sampai akhir, yang mempertimbangkan adanya masalah ketidakkompitebelan antar data yang disebabkan oleh bentuk, struktur asli serta sifat-sifatnya. Memadukan indraja dan
27 SIG sudah lama menjadi masalah, sehubungan dengan adanya perbedaan struktur dan karakteristk data yang diperoleh melalui prosedur yang berbeda-beda Terdapat beberapa keuntungan pada kombinasi pengunaan INDERAJA dan SIG pada pengolahan informasi untuk studi (Davis and Simonet 1991 ; Davis et al, 1991) yaitu : 1. Data INDERAJA dapat digunakan dengan cepat pada saat memperbaharui peta, khususnya pada data hasil survey lapang yang lambat dan belum tentu selesai pada selang waktu proyek. 2. Basis data dan SIG dapat menyediakan data tambahan untuk membantu dalam klasifikasi atau analisis data INDERAJA, dengan demikian dapat meningkatkan ketepatan peta yang dihasilkan.
Sebagai contoh penambahan data seperti
topography, geologi tanah, dan sebagainya, dapat berguna sebagai penunjuk yang vital bagi intepretasi penutupan lahan dibandingkan respon dari informasi spektral data INDERAJA. 3. Data INDERAJA sangat bermanfaat sekali apabila dikombinasikan dengan SIG dari sumber data lainnya, atau citra dari berbagai waktu dan spektrum yang berbeda disajikan secara bersama-sama. SIG memiliki fasilitas untuk menerima (integrasi) dari berbagai format data. Pekerjaan dengan SIG membutuhkan data, khususnya data spasil yang teliti, penutupan spektral dan temporal untuk analisis dan pemodelan fenomena-fenomena alami yang kompleks dan INDERAJA dapat memberikan semua tuntutan data tersebut 2.7 Wisata Pantai “Wisata” merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu wisata pantai dan wisata laut (bahari). Wisata pantai lebih mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat, sedangkan wisata laut (bahari) lebih mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air lautnya (Yulianda, 2007). Kota Makassar mempunyai potensi dan daya tarik pariwisata yang cukup banyak dan dapat dikembangkan (81 objek). Objek-objek tersebut adalah objek wisata pulau, sungai dan pantai (26 objek), objek wisata budaya dan sejarah (11
28 objek), objek wisata pendidikan (8 objek) dan fasilitas olahraga 5 objek. Diantara objek-objek tersebut, yang masih sangat minim dan kurang dikembangkanadalah objek wisata pulau, sungai dan pantai, padahal objek tersebut memiliki potensi yang sangat tinggi. Kota Makassar mempunyai potensi pariwisata yang potensial, karena wilayahnya berada di dataran dengan ketinggian 0-25 m dengan panorama alam yang indah,terutama di sepanjang pantai dengan beberapa pulau pulau kecil, sehingga mempunyai berbagai potensi pariwisata perairan/bahari cukup banyak. (Pemda Makassar, 2004) Untuk Pariwisata Alam seperti pantai banyak dijumpai di daerah ini sehingga Kota Makassar menjadi daerah tujuan wisata bagi wisatawan untuk mengunjungi tempat-tempat wisata alam dan wisata sejarah karena kota Makassar dahulu dikenal dengan kota maritim dan niaga, bahkan bandar terbesar pada saat itu, maka akan sulit kita melepaskan antara Kota Makassar dengan Sejarah, budaya, maritim dan religius. Beberapa lokasi wisata antara lain adalah Benteng/ fort Rotterdam, makam Pangeran Diponegoro, Makam Raja raja Tallo, Perkampungan multi etnis, dan objek wisata lainnya. Permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan potensi tersebut adalah :Kurangnya sarana dan infrastruktur pendukung pariwisata, masih kurangnya promosi, masih kurangnya kerjasama dalam pengelolaan objek-objek pariwisata. seperti halnya potensi pada 11 pulau di kota Makassar yaitu : Pulau Kayangan, Lae-lae, Barang Lompo, Barang Caddi, Kodingareng Lompo, Kodingareng Keke, Bone Tambung, Lanjukang, Langkai, Lumu-lumu, yang keseluruhannya seluas 1,4 Km2. (Pemda Makassar, 2004) Luas wilayah Kota Makassar adalah 175,77 km2 yang terdiri atas 14 kecamatan dan 143 kelurahan. Makassar berbatasan langsung dengan Selat Makassar, mempunyai garis pantai sepanjang 32 Km serta mencakup 11 pulau dengan luas keseluruhan 178.5 Ha atau 1,1% dari luas wilayah daratan. Dengan kondisi geografis yang demikian, maka prospek pengembangan wilayah pesisir dan kepulauan dengan melakukan eksplorasi terhadap potensi kelautan dan perikanan, harusnya sangat kondusif bagi peningkatan investasi. Seperti diketahui bahwa pembangunan kelautan merupakan upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan konservasi sumberdaya di kawasan pesisir dan laut di bidang perikanan
29 dengan tujuan pelesrtarian, pengendalian dan pengawasan sumber daya hayati dan non hayati daerah pesisir, pantai, laut dan pulau-pulau kecil. Hal ini di dorong oleh berbagai faktor yang mempengaruhi ekosistim pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang terjadi di Kota Makassar seperti terjadinya tekanan pemanfaatan lahan dan ruang serta SDA yang ada diwilayah tersebut secara tidak terkendali, terhadap ekosistim wilayah pesisir. Sasaran pembangunan kelautan dan perikanan meliputi terciptanya
pemanfaatan,
perlindungan,
pengendalian
dan
pengawasan
sumberdaya kelautan dan perikanan dalam menjaga kelestarian ekosistim pesisir,laut
dan
pulau-pulau
kecil
sekaligus
meningkatkan taraf
hidup
nelayan/masyarakat pesisir, terciptanya penataan ruang kawasan pesisir yang akan mendorong pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat guna mencegah dan menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan serta mewujudkan pengembangan pariwisata bahari. (Pemda Makassar, 2004) Dalam pengelolaan ekowisata, kegiatan pembangunan akan tetap berlanjut apabila memenuhi tiga prasyarat daya dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan ekowisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai dengan kebutuhan dengan kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan ekowisata dan kegiatan lain yang dibuang kedalam lingkungan pesisir/laut hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi atau kemampuan suatu sistem lingkungan dalam menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumber daya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri, 1993). Sebaiknya untuk menjaga keberlanjutan dari pengelolaan ekowisata maka lingkungan harus bebas dari limbah, artinya tidak diberikan ruang untuk terjadinya pencemaran di daerah wisata Selanjutnya Fandeli (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa usaha yang dapat meningkatkan daya tarik wisata, usaha yang demikian ini antara lain: 1. Usaha sarana wisata, penyewaan peralatan renang, selam, selancar, dan sebagainya. 2. Usaha jasa, jasa pemandu wisata dan jasa biro perjalanan.
30 Tipologi pariwisata yang menjadi alternatif kegiatan bahari saat ini adalah kegiatan ekoturisme (wisata alam) yang mengandalkan keindahan alam. Dari dimensi ekologis kegiatan ini jelas mengandalkan keindahan alam sehingga kegiatan ini akan mendorong tindakan konservasi untuk mempertahankan daya tariknya agar keuntungan ekonomi dari kegiatan pariwisata ini dapat dipertahankan. Sementara itu aspek sosial masyarakat setempat dimana kegiatan ekoturisme ini berlangsung sering mendapat manfaat ekonomi dari pengembangan kegiatan jasa pendukung wisata, selain itu juga gangguan terhadap kehidupan tradisional masyarakat umumnya sangat kecil sekali (Dahuri, 2003). Saifullah
(2000)
mengungkapkan
bahwa
ada
beberapa
manfaat
pembangunan pariwisata : 1. Bidang ekonomi Dapat meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Meningkatkan devisa, mempunyai peluang besar untuk mendapatkan devisa dan dapat mendukung kelanjutan pembangunan di sektor lain. Meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat, dengan belanja wisatawan akan meningkatkan pendapatan dan pemerataan pada masyarakat setempat baik secara langsung maupun tidak langsung. Meningkatkan penjualan barang-barang lokal keluar. Menunjang pembangunan daerah, karena kunjungan wisatawan cenderung tidak terpusat di kota melainkan di pesisir, dengan demikian amat berperan dalam menunjang pembangunan daerah. 2. Bidang sosial budaya Keanekaragaman kekayaan sosial budaya merupakan modal dasar dari pengembangan pariwisata. Sosial budaya merupakan salah satu aspek penunjang karakteristik suatu kawasan wisata sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan. Sosial budaya dapat memberikan ruang bagi kelestarian sumber daya alam, sehingga hubungan antar sosial budaya masyarakat dan konservasi sumber daya alam memiliki keterkaitan yang erat. Oleh karena itu, kemampuan melestarikan dan mengembangkan budaya yang ada harus menjadi perhatian pemerintah dan lapisan sosial masyarakat.
31 3. Bidang lingkungan Karena pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk pariwisata pada dasarnya adalah lingkungan dan ekosistem yang masih alami, menarik, dan bahkan unik, maka pengembangan wisata alam dan lingkungan senantiasa menghindari dampak kerusakan lingkungan hidup, melalui perencanaan yang teratur dan terarah. Atraksi-atraksi yang dikembangkan harus sesuai dengan kaidah-kaidah alami sehingga katerkaitan antara potensi ekosistem dengan kegiatan wisata dapat berjalan seiring saling melengkapi menjadi satu paket ekowisata. Berhasil tidaknya pengembangan daerah tujuan wisata sangat tergantung pada tiga faktor utama, yaitu: atraksi, aksessibilitas dan amenitas (Samsuridjal dan Kaelany, 1997). Betapapun baik dan menariknya suatu atraksi yang dapat ditampilkan oleh daerah tujuan wisata, belum menarik minat wisata untuk berkunjung karena masih ada faktor lain yang menjadi pertimbangan menyangkut fasilitas-fasilitas penunjang yang memungkinkan mereka dapat menikmati kenyamanan, keamanan, dan alat-alat telekomunikasi. Walaupun keberadaan sarana dan prasarana sangat dibutuhkan, namun pengembangannya harus menghindari bahaya eksploitasi, sehingga lingkungan hidup tidak mengalami degradasi (Soewantoro, 2001). 2.8 Pemanfaatan Perikanan Indonesia mempunyai potensi perikanan pantai dengan luas area sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut sedangkan potensi lahan kegiatan budi daya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta hektar yang terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia. Produksi perikanan budi daya Indonesia sampai tahun 2005 mencapai 1.295.300 ton. Meski demikian, jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara produsen perikanan lainnya seperti China, India, Jepang dan Filipina. Pada tahun 2005 saja produksi perikanan budidaya China sudah mencapai sekitar 32.444.000 tonSementara itu dari sisi potensi lahan, total lahan budi daya di kawasan pesisir (budidaya udang/tambak) mencapai 913.000 hektar yang tersebar di 28 propinsi. Namun demikian, pemanfaatan lahan budi daya untuk tambak baru mencapai sekitar 40 persen atau 344.759 hektar. Sebagai ilustrasi, dengan produktivitas tambak sebesar 3 ton/ha maka apabila seluruh potensi lahan dimanfaatkan maka
32 produksi yang bisa dihasilkan dari budi daya di kawasan pesisir mencapai 2,739,000 ton per musim tanam atau kurang lebih 5,478,000 ton per tahun. (DKP, 2007) Luasnya perairan pantai dengan pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia merupakan potensi yang cukup besar dalam pengembangan budidaya laut (mariculture). Jenis-jenis biota laut yang dapat dibudidayakan antara lain ikan-ikan karang, kerang dan tiram, rumput laut (algae), teripang, dan kuda laut. Menurut Sunyoto (2000), penentuan lokasi untuk budidaya ikan kerapu dengan metode keramba jaring apung (KJA) harus mempertimbangkan beberapa faktor, seperti: terlindung dari badai dan gelombang besar, jauh dari pencemaran, tidak berada dalam alur pelayaran, kondisi perairan sesuai (salinitas 33-35 ppt, suhu 27-32°C, kecepatan arus 0,2-0,5 m/det, DO ≥ 4 p pm, p H antara 7 .6 -8.7, 3
amonia 0,1 ppm, BOD < 5 ppm, serta total bakteri < 3000 sel/m . 5
Lahan budidaya rumput yang cocok terutama sangat ditentukan oleh kondisi ekologis yang meliputi kondisi lingkungan fisik, kimia dan biologi. Adapun persyaratan lahan budidaya Eucheuma sp. adalah: • Lokasi budidaya harus terlindung dari hempasan langsung ombak yang kuat. • Lokasi budidaya harus mempunyai gerakan air yang cukup. Kecepatan arus yang cukup untuk budidaya Eucheuma sp. 20 - 40 cm/detik. • Dasar perairan budidaya Eucheuma sp. adalah dasar perairan karang berpasir. • Pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air minimal 30 cm. • Kejernihan air tidak kurang dari 5 m dengan jarak pandang secara horisontal. • Suhu air berkisar 27 -30°C dengan fluktuasi harian maksirnaI 4°C. • Salinitas (kadar garam) perairan antara 30 -35 permil (optimum sekitar 33 permil). • pH air antara 7 -9 dengan kisaran optimum 7,3 -8,2 • Lokasi dan lahan sebaiknya jauh dari pengaruh sungai dan bebas dari pencemaran. Pemilihan lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut menurut Indriani dan Suminarsih (1999) adalah sebagai berikut : lokasi harus bebas dari pengaruh angin topan, tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar, mengandung
33 makanan (nutrien) untuk tumbuhnya rumput laut, bebas dari pencemaran industri dan rumah tangga, lokasi mudah dijangkau sehingga tidak memberatkan biaya transportasi, serta dekat dengan sumber tenaga kerja. Pembangunan perikanan dipengaruhi oleh kondisi geografis Kota Makassar yang merupakan wilayah daratan dan kepulauan sehingga peningkatan potensi perikanan diarahkan pada pendayagunaan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan dengan sasaran meliputi perikanan tangkap, perikanan budidaya baik rumput laut, keramba jaring apung maupun pengembangan budidaya ikan hias . Sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan salah satu kekayaan alam yang harus dikelola dan didayagunakan sebagai piranti kekuatan ekonomi riil dan dapat dikembangkan sebagai lokomotif perekonomian bagi kemakmuran masyarakat oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan bukan hanya berorientasi pada peningkatan produksi saja namun pengembangan dan pengelolaan diharapkan dapat berlangsung secara berkesinambungan. 2.9 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penyebab penurunan kualitas perairan pantai Losari diduga berasal dari tiga sumber yang dominan yaitu adanya pemusatan penduduk di kota, kegiatan industri di sekitar kota makassar dan kegiatan pertanian di hulu sungai Jeneberang serta Sungai Tallo. Terpusatnya penduduk di kota menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar. Selanjutnya limbah tersebut masuk ke dalam perairan pantai Losari melalui run-off dan mengakibatkan pendangkalan pantai serta perubahan beberapa parameter kaulitas air seperti kandungan DO, BOD, COD, peningkatan kandungan deterjen dan munculnya senyawa-senyawa beracun dan eutrofikasi. Kegiatan industri yang ada di kota Makassar diduga ikut mempengaruhi penurunan kualitas perairan pantai Losari. Dalam banyak hal limbah industri walaupun telah diproses di IPAL, namun kualitasnya masih jelek (nilainya masih di atas ambang batas yang telah ditetapkan) saat dibuang ke laut, sehingga masih berpengaruh terhadap kualitas ekosistim perairan. Jenis bahan pencemar yang berasal dari industri adalah bahan organik yang degrdable dan non degradable (persisten) menyebabkan perubahan DO, BOD, COD, TSS, dan eutrofikasi Samawi (2007). Selanjutnya dikatakan bahwa pencemaran terbesar yang masuk ke pantai Makassar adalah bahan organik dan padatan tersuspensi yang
34 mengakibatkan terjadinya pencemaran pantai pada kategori ringan. Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam upaya pengendalian pencemaran perairan pantai Kota Makassar termasuk kategori tinggi. Kota Makassar mempunyai tiga tipologi aliran beban limbah Analisis
tentang
keberlanjutan
pengelolaan
pesisir
di
Makassar
diungkapkan oleh Bohari (2010) bahwa Secara multidimensi, wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan kawasan pesisir termasuk dalam status kurang berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan 41,09 %. Status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar pada setiap dimensi masing-masing dimensi ekologi termasuk dalam status kurang berkelanjutan (47,13%), Dimensi ekonomi
cukup
berkelanjutan
(53,89%),
dimensi
sosial-budaya
kurang
berkelanjutan (34,82 %), dimensi infrastruktur dan teknologi tidak berkelanjutan (13,28 %) dan dimensi hukum dan kelembagaan cukup berkelanjutan (50,74 %) Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter kimia air yang berperan pada kehidupan biota perairan. Penurunan okasigen terlarut dapat mengurangi efisiensi pengambilan oksigen bagi biota perairan sehingga menurunkan kemampuannya untuk hidup normal. Menurut Lung (1993), kelarutan oksigen minimum untuk mendukung kehidupan ikan adalah sekitar 4 ppm. Nilai oksigen terlarut di perairan pantai Losari adalah berkisar antara 4,48 - 8,3 ppm. Nilai tersebut masih mendukung kehidupan biota perairan yaitu minimum 4, 0 ppm. Namun berdasarkan kriteria Miller dan Lygre (1994) yang didasarkan pada kandungan oksigen terlarut, maka kondisi perairan pantai Losari sudah termasuk kategori agak tercemar (DO = 6,7 - 7,9 ppm) sampai tercemar sedang (DO = 4,5 - 6,6 ppm). Nilai DO suatu perairan mempunyai sifat yang terbalik dari indikator lainnya, nilai DO yang semakin tinggi mempunyai indikasi yang semakin baik sementara semakin rendah maka semakin buruk kualitas perairan tersebut Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi. Sama halnya dengan BOD, COD juga digunakan menduga jumlah bahan organik yang dapat dioksidasi secara kimia. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai COD perairan Pantai Losari sudah cukup tinggi yaitu berkisar antara 32 – 82 ppm. Mutu air yang baik untuk standar kualitas air limbah adalah 40 ppm (Allaert, 1984). Sedang nilai
35 COD yang paling tinggi untuk kehidupan biota perairan adalah sekitar 10 ppm, dan untuk kebutuhan mandi dan renang lebih kecil dari 30 ppm Hasil penelitian Samawi (2007) dan Bohari (2009), memperlihatkan hasil ternyata perairan pantai Losari telah terkontaminasi oleh logam berat antara lain besi (Fe), timbal (Pb) dan tembaga (Cu). Kandungan logam besi yang terukur adalah berkisar antara 0,00513 – 0,0324 ppm , timbal (Pb) sekitar 0,008 – 0,780 ppm dan tembaga (Cu) berkisar antara 0,027 – 0,039 ppm. Kehadiran jenis logam ini akan mengancam kehidupan biota perairan karena logam tersebut selain mempunyai sifat peracunan kronis juga bersifat akut Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di sekitar pantai kota Makassar yang berlokasi di daerah muara sungai Jenneberang dan Sungai Tallo dan Kepmen LH No 51 tahon 2004 memperlihatkan variasi hasil pada tabel 3 Tabel 3. Nilai Beberapa parameter kualitas air di Muara Sungai Tallo dan Jenneberang No Parameter Unit Nilai Baku Mutu Kualitas Air Air Laut I Fisik 1 TSS* ppm 54 – 397 80
2 II 1 2 3 4 5 6 7
Suhu* Kimia DO* BOD5* COD* pH* Besi (Fe)** Timbal (Pb)** Tembaga (Cu)**
oC ppm ppm ppm ppm ppm ppm
30 – 32
Alami
3,80 – 5,10 2,30 – 2,70 98,0 – 156,0 7,75 – 8,14 0,00513 – 0,0324 0,008 – 0,780 0,027 – 0,039
>5 20 80 6–9 0,008 0,008
Sumber : * = Samawi, 2009 ** = Bohari, 2010 BOD adalah jumlah oksigen yang digunakan untuk mendegrdasi bahan organik secara biokimia, sehingga juga dapat diartikan sebagai ukuran bahan yang dapat dioksidasimelalui proses biokimia. Jadi semakin inggi kandungan BOD semikin tercemar perairan tersebut. Oleh karena itu, tujuan pemeriksaan BOD adalah untuk menentukan pencemaran air akibat limbah domestik atau limbah industri. Hasil penelitian Mispar (2001), menunjukkan nilai BOD di perairan
36 pantai Losari berkisar antara 1,8 - 8,64 ppm. Menurut Miller dan Lygre (1994), jika nilai BODdi atas dari 5,0 ppm maka perairan tersebut tergolong tercemar, sedang Mahida (1984) menganjurkan kadar BOD yang aman adalah tidak lebih dari 4 ppm. Dengan demikian, berdasarkan nilai BOD , perairan pantai Losari termasuk ke dalam kategori tercemar ringan - sedang. Kualitas perairan pantai dapat diindikasikan juga dari jumlah dan kelimpahan organism makroozoobenthos.
Hasil penelitian Samawi (2007),
menunjukkan bahwa jumlah kelas benthos yangditemukan di muara Sungai Tallo lebih rendah yaitu sebanyak 8 (delapan) kelas sedang di muara sungai Jeneberang sebanyak 6 kelas. Namun kelimpahan organisme benthos di muara sungai Jenneberang lebih tinggi (16 - 64 individu/m2) dibanding muara Sungai Tallo (16 - 48 individu/m2). Hal ini menandakan bahwa stabilitas ekosistim muara sungai Tallo relatif lebih baik dari pada muara Sungai Jenneberang, sehingga memungkinkan beragam individu khususnya makrozoobenthos dapat hidup dan beradaptasi di lingkungan tersebut, hal ini dilihat dari indikator organisme benthos pada tabel 4. Tabel 4. Jenis dan kelimpahan makrozoobenthos yang ditemukan di muara Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis Kelas Benthos Pholas dactylus Botitium reticulatum Mya arenaria Montacuta ferruginosa Anadara sp Apseudes latrelei Calapppa granulata Eunice harastii Centium vulagatum Astarta boraelis Tellina distorta
Sumber : Samawi, 2007
Muara Sungai Tallo
Muara Sungai Jenneberang
16 32 32 32 48 32 48 32 -
32 32 64 64 16 16
37 Salah satu indikator yang dijadikan acuan kualitas lingkungan suatu perairan adalah kandungan padatan tersuspensi.
Kandungan total padatan
tersuspensi (TSS) yang terukur di perairan pantai Losari sudah sangat tinggi yaitu sekitar 104 - 456 ppm yang dibawa oleh aliran Sungai Tallo dan Jenneberang (Mispar, 2001). Perairan yang mempunyai nilai kandungan padatan tersuspensi sebesar 300 - 400 ppm mutu perairan tersebut tergolong buruk (Allert, 1984). Berdasarkan kandungan TSS, perairan pantai Losari termasuk kategori tinggi karena kandungan padatan tersuspensinya jauh di atas ambang batas yang diinginkan yaitu 23 ppm (Monoarfa, 2002)
3. METODE PENELITIAN
3.1. Daerah Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah pantai Kota Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan mulai bulan Juni sampai Oktober 2010. Lokasi dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa: a). Pantai kota Makassar memiliki tingkat pemanfaatan yang telatif tinggi dan bersifat multi dimensi untuk berbagai tujuan pembangunan seperti kegiatan reklamasi untuk pemukiman dan bisnis, perikanan, pelayaran, wisata dan lainnya. b). Terdapat dinamika pencemaran perairan pantai kota akibat dari aliran limbah dan kanal yang berasal dari berbagai kegiatan yang ada di sepanjang pantai kota dan sumbangan limbah yang berasal dari berbagai aktivitas daratan 119°20'
119°16'
119°32'
119°28'
119°24'
Kesesuaian Permukiman
P. Bonetambung
5°4'
5°4'
P. Barrang Lompo
P. Barrang Caddi
8 6 7 UJUNGTANAH
P. Kodingareng Keke P. Samalona
P. Lae-lae Caddi
TAMALANREA
TALLO
5°8'
5°8'
WAIO
BIRINGKANAYA
5 UJUNGPANDANG 4 3
P. Lae-lae P. Kodingareng Lompo
U
MARISO
2
B
T
1
2
119°20'
119°24'
2 Km
Pantai Sungai Jalan Batas Kecamatan Batas 4 nM Batas 12 nM Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Laut
TAMALATE
119°16'
0
119°28'
119°32'
*Ket : 1. S Jenneberang 2. Muara Sungai Jenneberang 3.Kawasan Tanjung Bunga 4.Pantai Losasi/laguna 5. Kawasan pelabuhan 6. Potere 7. Sungai Tallo 8. Muara Sungai Tallo Gambar 2 Peta lokasi penelitian model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Makassar
5°12'
5°12'
1
S
40 3.1.1. Batasan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak antara 119024’17’38” bujur timur dan 508’6’9” lintang selatan yang berbatasan Kabupaten Pangkep di sebelah utara, Kabupaten Maros disebelah timur, Kabupaten Gowa di sebelah selatan dan Selat Makassar di sebelah barat. Batas wilayah penelitian meliputi DAS Jeneberang dan DAS Tallo utamanya daerah yang berada dihulu yang terkait dengan laut Batas studi ini ditentukan 4 mil dari garis pantai hal ini terkait dengan ruang penyebaran limbah diperairan pantai Kota Makassar yang dibawa oleh aliran Sungai Jenneberang dan Sungai Tallo serta kanal-kanal kota yang kesemuanya bermuara di pantai Kota Makassar, adapun batas wilayah darat berkaitan pada wilayah pesisir yang masih dipengaruhi oleh aktivitas laut 3.2 Metodologi Pengumpulan Data Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan pertimbangan kondisi wilayah penelitian, maka penelitian ini
dilakukan dengan studi literatur dan metode
survei. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi data kerat lintang (cross section) dan data deret waktu (time series). Dasar pertimbangan penggunaan kedua jenis data adalah beberapa variabel dengan tingkat keragaman tinggi hanya terdapat pada satu jenis data, sehingga kedua jenis data dikumpulkan dan digunakan secara bersamaan saling melengkapi dan berdasarkan pencapaian tujuan dan target penelitian 3.2.1 Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap kualitas perairan. Tahap pertama dilakukan dengan menentukan stasiun pengamatan dan pengukuran. Stasiun pengukuran direncanakan terdiri dari 8 statasiun pada gambar 2, yakni 1) Sungai Jenneberang 2)Muara sungai Jenneberang 3) daerah wisata Tanjung Bunga 4) Daerah losari/ laguna 5) kawasan pelabuhan 6) kawasan Potere 7) Sungai Tallo 8) muara Sungai Tallo Penentuan stasiun
dan penetapan parameter yang diukur didasarkan
terutama pada : -
Jenis limbah yang terbawa oleh aliran sungai atau kanal (effluent) yang menjadi bahan pencemar
41 -
Keterwakilan wilayah dan aktivitas yang menjadi sumber pencemar seperti rumah tangga, industry dan wisata serta perikanan
-
Ketentuan jenis-jenis parameter yang ditetapkan berdasarkan dalam standar baku mutu air laut untuk wisata dan perikanan
Sementara itu untuk pengukuran faktor sosial dan ekonomi dilakukan dengan
interview dengan metode deep interview secara terstruktur terhadap
kelompok sampel yang telah ditentukan dari berbagai macam aktivitas yang ada di daerah pesisir dan lautan Kota Makassar. Wawancara terhadap responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang ditunjang dengan observasi langsung terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya. Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling atau pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan responden adalah aktor atau pengguna lahan (stakeholders) terdiri dari pemerintah, swasta, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Responden yang dimaksud adalah responden yang terlibat langsung atau responden yang dianggap mempunyai kemampuan dan mengerti permasalahan terkait dengan pencemaran dan aktivitas wisata pantai dan perikanan -
Data Kualitas fisik dan Kimia Perairan Data tentang kualitas biofisik meliputi data fisik seperti suhu, kekeruhan,
salinitas, kedalaman, dan data kimia seperti, Suhu,, pH, Salinitas, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimia (BOD), NO 3 -N,. Beberapa parameter kualitas air serta metode pengukurannya didasarkan pada peruntukkan untuk kegiatan perikanan dan wisata dan mengacu pada Kepmen LH No 51 tahun 2004. Metode analisis dan metode pengukurannya disajikan pada tabel Tabel 5 Parameter kualitas air yang diukur dan metode analisisnya Parameter I. Fisika Suhu Salinitas II. Kimia pH DO BOD COD Nitrat Fosfat
Satuan
Metode /alat
Lokasi
o
Tetrimetri Refraktometer
In situ In situ
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
pH meter Tetrimetri Titrimetri Winkler Titrimetri dengan pemanasan Spektrometrik/spektrometer Spektrometrik/spektrometer
In situ In situ Lab. Lab. Lab. Lab.
C o %
42 -
Data pencemaran Pencemaran perairan pantai kota terdiri dari limbah organik dan
anorganik. Data beban limbah diperoleh melalui pengukuran debit sungai dan kanal serta konsentrasi parameter beban limbah di muara tiap stasiun pengukuran. Data kapasitas asimilasi perairan pantai diperoleh melalui pengukuran parameter beban limbah di perairan pantai yang kemudian dibandingkan dengan baku mutu -
Tata Guna lahan Data berupa peta tataguna lahan dan pemanfaatan sumberdaya yang saat
ini dan perkembangan pengguanaan lahan beberapa tahun sebelumnya (temporal). Untuk diperlukan beberapa jenis data diantaranya Peta Rupa Bumi, peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), peta bathimetri, peta administrasi,dan Citra Landsat - Data Sosial dan Ekonomi Data Jumlah unit usaha, jumlah pengunjung wisata, kelembagaan perikanan dan wisata, dan sebaran penduduk di kawasan pantai 3.2.2 Data Sekunder Metode Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan berbagai laporan dari berbagai lembaga dan instansi yang terkait serta penelusuran berbagai pustaka yang ada.
Jenis-jenis data yang dikumpulkan berasal dari
berbagai sumber berkaitan dengan berbagai hal yang dikaji dalam penelitian ini Berbagai komponen data serta peramater yang diukur dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6 Komponen data dan Parameter yang diukur No. Komponen Data
Parameter
Data Primer 1.
Kualitas Biofisik dan kimia Perairan
Total suspended Solid (TSS), Suhu, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimia(BOD), kebutuhan oksigen kima (COD) NO 3 -N, PO 4 , pH, salinitas, kecepatan arus, suhu dan kecerahan
2.
Laju pencemaran Pantai
Bahan-bahan pencemar (polutan), kecepatan arus sungai dan kanal, luas penampang sungai dan kanal, debit air
43 3
Data Peta
4.
Kebijakan pembangunan dan pemanfaatan pantai kota makassar Data Sosial dan Ekonomi
5
Peta Rupa Bumi, peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), peta batimetri, peta administrasi,dan Citra Landsat Rencana Tata uang Wilayah pantai Kota Makassar serta Berbagai kebijakan pemerintah, (dinas perikanan dan kelautan, pariwisata, dan lainnya Jumlah unit usaha Perikanan dan wisata, jumlah pengunjung wisata, kelembagaan perikanan dan wisata
Data Sekunder 1.
2
3
Kondisi ekologi daerah pantai Kota Makassar Perikanan dan Wisata
Data Sosial dan Ekonomi
Data perubahan kondisi lahan, kualitas Air dan perubahan pemanfatan lahan pesisir Lokasi budidaya laut, Tempat Pelelangan Ikan, Pelabuhan Pendaratan Ikan, Jumlah pengunjung di tempat wisata, retribusi dan pendapatan daerah wisata Tingkat keuntungan usaha budidaya dan wisata pantai
Data sekunder yang dikumpulkan berkaitan dengan data kualitas air, kondisi geografi, perubahan tataguna lahan,
Rencana Tata ruang
dan
administrasi wilayah, iklim, pemanfaatan wilayah pesisir dan laut, kondisi penduduk, keadaan sarana dan prasarana penunjang perikanan dan perikanan, serta tentang kondisi perikanan secara umum. Komponen data tersebut diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar , Kantor Pemerintahan Daerah, Pariwisata dan Biro Pusat Statistik (BPS) serta intansi terkait lainnya 3.3. Analisis Data 3.3.1 Analisis Pencemaran 3.3.1.1 Analisis Beban Limbah Beban limbah yang berasal dari darat melalui sungai dan kanal yang menuju perairan pantai Makassar diukur melalui perkalian debit sungai dan kanal (m3/det) dengan konsentrasi limbah (mg/L). Debit sungai (Q) diukur dengan persamaan (Gordon et al., 1992) yaitu : Q = V.A Keterangan: V = Kecepatan aliran sungai/kanal (m/det) A = Luas penampang sungai atau kanal (m2)
44 Beban limbah dihitung berdasarkan rumus berikut (Mitsch dan Gosselink,1993): BL = Q x C Keterangan: BL = Beban limbah yang berasal dari satu sungai/ kanal (gram/det) Q = Debit sungai/kanal (m3/det) C = Konsentrasi limbah (mg/L) Konversi beban limbah ke ton/bulan dikali dengan 10-6 x 3600 x 24 x 30 3.3.1.2. Analisis Kapasitas Asimilasi Pendugaan nilai kapasitas asimilasi ditentukan dengan cara memplotkan nilai-nilai kualitas air suatu perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah yang dikandungnya ke dalam suatu grafik, yang selanjutnya direferensikan dengan nilai baku mutu air yang diperuntukkan bagi biota dan budidaya berdasarkan Kep.Men KLH No. 51/Men-KLH/2004 dari titik potong yang diperoleh melalui grafik ini kemudian diketahui waktu (tahun) terjadinya dan selanjutnya dilihat nilai beban limbahnya. Nilai beban limbah inilah yang dimaksud dengan nilai kapasitas asimilasi (Dahuri, 1999). Metode ini adalah yang paling sederhana dan mudah dilakukan. Kelemahan dari metode ini adalah hanya berdasarkan pada
hubungan kualitas air dan beban limbahnya, tanpa
memperhatikan berbagai dinamika perairan yang ada.
Konsentrasi pencemar
Baku mutu
Kapasitas asimilasi
Beban limbah
Gambar 3. Grafik hubungan antara beban limbah dan kualitas air (Dahuri, 1999)
45 Pencemaran pantai Kota Makassar secara matematis ditulis sebagai berikut : y = f (x) Secara maematis persamaan regresi linear dapat ditulis sebagai berikut : y = a + bx Keterangan : x = Nilai parameter di sungai/kanal y = Nilai parameter di muara/pantai a = nilai tengah/rataan umum b = keofisien regresi untuk parameter di sungai dan kanal Gambar 3. Grafik hubungan antara beban limbah dan kualitas air (Dahuri, 1999) Asumsi : 1. Nilai Kapasitas asimilasi hanya berlaku di wilayah perairan yang ditetapkan dalam penelitian 2. Nilai hasil pengamatan baik di perairan pantai dan di muara sungai atau kanal diasumsikan telah mencerminkan dinamika yang ada diperairan tersebut. 3. Perhitungan beban limbah hanya berasal dari land based , Kegiatan di perairan atau di laut tidak diperhitungkan. Beban Limbah Konsentrasi Pencemar Baku mutu Kapasitas asimilasi 3.3.1.3 Analisis Tingkat Pencemaran (Indeks pencemaran) Tingkat pencemaran ditentukan menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP) berdasar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003 Lampiran II. Pada penelitian ini yang digunakan hanya beberapa parameter lingkungan utama yaitu
BOD, COD, DO, pH. Adapun persamaan yang
digunakan: IPj = f (C i /L ij) Keterangan: IPj = Indeks polusi bagi peruntukan air L ij = konsentrasi parameter untuk baku mutu peruntukan C i = Konsentrasi parameter kualitas air Karena pengukuran dalam metode ini menggunakan berbagai parameter kualitas air, maka pada penggunaannya dibutuhkan nilai rata-rata dari keseluruhan C i /L ij
46 acuan polusi. Merangkum indeks polusi beberapa parameter digunakan rumus Numerow (1991)
Keterangan: (C i /Lij ) R : nilai rata-rata C i /L ij (C i /Lij ) M : nilai maksimum C i /L ij Metoda ini dapat langsung menghubungkan tingkat ketercemaran dengan dapat atau tidaknya dipakai untuk penggunaan tertentu dan dengan nilai parameter-parameter tertentu. Untuk menentukan tingkat pencemaran digunakan indeks sebagai berikut:
0 ≤ P ij ≤ 1,0 → memenuhi baku mutu 1,0 ≤ P ij ≤ 5,0 → tercemar ringan 5,0 ≤ P ij ≤ 10 → tercemar sedang P ij > 10 → tercemar berat 3.3.2 Analisis Daya Dukung Lingkungan Menurut Ortolano (1994) bahwa dalam menganalisis daya dukung, terdapat dua faktor yang penting untuk dipertimbangkan yaitu yang terkait dengan: a) Peubah pertumbuhan (growth variable), yaitu peubah pertumbuhan dapat direpresentasikan sebagai populasi atau ukuran kegiatan manusia b) Faktor pembatas (limiting factor), yaitu sumberdaya alam, infrastruktur fisik dan elemen – elemen lain ketersediannya tidak berada dalam jumah yang terbatas sehingga faktor ini dapat menjadi kendala untuk faktor peubah pertumbuhan . Widigdo (2004) mengemukakan bahwa
penentu daya dukung suatu
wilayah adalah : (1) Kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan paradigma ini maka metode penghitungan daya dukung kawasan pesisir tersebut dilakukan dengan menganalisis:
47 (1) Kondisi (variables) biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan, dan (2) Variables sosekbud yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi berpengaruh terhadap wilayah pesisir, akan Sumberdaya alam
dan jasa
lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir. 3.3.2.1. Analisis Daya Dukung Budidaya KJA dan Rumput Laut -
Daya Dukung KJA.
Penentuan daya dukung lingkungan untuk kegiatan
perikanan di Pantai Kota Makassar mengacu pada berbagai paramater digunakan dalam analisis kesesuaian.
yang
Berdasarkan pengukuran berbagai
parameter yang menjadi acuan maka ditentukan luasan areal budidaya perikanan Karamba Jaring Apung (KJA) yang dimungkinkan. Parameter tersebut antara lain: a. Luas lahan budidaya ikan dengan KJA yang sesuai. Luas lahan (areal perairan) budidaya ikan dengan KJA yang sesuai dapat diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan. b. Kapasitas lahan perairan. Besarnya kapasitas lahan yang digunakan untuk kegiatan budidaya dengan KJA dianalisis seperti formula yang digunakan pada budidaya rumput laut. Yang berbeda adalah luas unit budidaya yang digunakan secara umum di perairan Indonesia (Sunyoto, 2000), yaitu dengan luas (12 x 12) m2 = 144 m2 = 0,00014 km2. c. Luasan unit rakit KJA.
Luasan unit rakit KJA adalah besaran yang
menunjukkan luasan dari satu unit rakit dengan empat keramba berukuran (3x3x3) m3. d. Daya Dukung Lahan.
Daya dukung lahan menunjukkan kemampuan
maksimum lahan yang mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan terjadinya penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan dengan pendekatan tersebut di atas maka daya dukung lahan untuk budidaya KJA dapat dianalisis dengan formula sebagai berikut : DDL KJA
= LLS x KL
48 dimana : DDL KJA LLS KL
= Daya dukung lahan budidaya dengan KJA (ha) = Luas lahan sesuai (ha) = Kapasitas lahan (ha)
Sedangkan untuk menghitung berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh lahan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, dapat dianalisis dengan persamaan sebagai berikut : JUBKJA =
Dimana : JUB KJA DDL LUB
= = =
DDL LUB
Jumlah unit budidaya dengan KJA (unit) Daya dukung lahan (ha) Luas unit budidaya (unit/ha)
- Daya Dukung Budidaya Rumput Laut : Daya dukung lahan budidaya rumput laut dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan luas areal budidaya yang sesuai (katagori sangat sesuai dan sesuai), kapasitas lahan dan metode budidaya yang diterapkan. Parameter yang menjadi acuan dalam penentuan daya dukung lahan tersebut, antara lain; a. Luas lahan budidaya rumput laut yang sesuai Luas lahan (areal perairan) budidaya rumput laut yang sesuai dapat di peroleh dari hasil analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan GIS. b. Kapasitas lahan perairan Kapasitas lahan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus dan secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologi tidak mengganggu ekosistem pesisir. Besarnya kapasitas lahan yang ditetapkan dalam studi ini dianalisis dengan formula sebagai berikut
KL
= =
Dimana : KL = ∆L = L1 =
L 2 − L1 ∆L x 100% x 100% = L2 L p 2 l 2 − p1l1 x 100% p 2l2 Kapasitas Lahan L2 – L1 Luas unit budidaya
49 L2 l1 l2 p1 p2
= = = = =
Luas yang sesuai untuk satu unit budidaya lebar unit budidaya lebar yang sesuai untuk satu unit budidaya panjang unit budidaya panjang yang sesuai untuk satu unit budidaya
c. Luasan Unit Budidaya Luasan unit budidaya adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu unit budidaya rumput laut, dimana setiap luasan unit budidaya berbeda-beda tergantung dari metode budidaya yang digunakan. d. Daya Dukung Lahan Daya dukung lahan menunjukkan kemampuan maksimum lahan yang mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan terjadinya penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan dengan pendekatan tersebut di atas maka daya dukung lahan untuk budidaya rumput laut dapat dihitung dengan formula sebagai berikut : DDLRL dimana : DDLRL LLS KL
= LLS x KL = = =
Daya dukung lahan budidaya rumput laut (ha) Luas lahan sesuai (ha) Kapasitas lahan (ha)
Untuk menghitung berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh lahan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, dapat dianalisis dengan persamaan sebagai berikut :
JUBRL =
DDL LUB
dimana : JUB RL = Jumlah unit budidaya rumput laut (unit) DDL = Daya dukung lahan (ha) LUB = Luas unit budidaya (unit/ha) 3.3.2.2 Analisis Daya Dukung Wisata Analisis daya dukung pada pengembangan wisata mengacu kepada konsep ekowisata bahari yang dikelompokkan kedalam wisata pantai dan wisata bahari. Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olah raga dan menikmati pemandangan. Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung pengembangan wisata pantai yaitu dengan pendekatan konsep Daya Dukung
50 Kawasan (DDK). DDK adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. DDK dapat dihitung dengan formula: DDK =
K x
Dimana : DDK K Lp Lt Wt Wp
Lp Wt x Lt Wp
= Daya dukung kawasan = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan = Unit area untuk kategori tertentu = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu.
Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga. Tabel 7 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt)
Jenis Kegiatan
K (∑ Pengunjung)
Unit Area (Lt)
2
1000 m2
1
250 m2
1
50 m2
1
50 m2
1
50 m2
Selam Snorkling Wisata Mangrove Rekreasi Pantai Wisata Olah Raga Sumber : Yulianda (2007)
Keterangan Setiap 2 orang dalam 100 m x 10 m Setiap 1 orang dalam 50 x 5 m Dihitung panjang track, setiap 1 orang sepanjang 50 m 1 orang setiap panjang pantai 1 orang setiap 50 m panjang pantai
Daya dukung kawasan disesuaikan karakteristik sumberdaya dan peruntukan. Misalnya, daya dukung wisata selam ditentukan sebaran dan kondisi terumbu karang, daya dukung wisata pantai ditentukan panjang/luas dan kondisi pantai. Kebutuhan manusia akan ruang diasumsikan dengan keperluan ruang horisontal untuk dapat bergerak bebas dan tidak merasa terganggu oleh keberadaan manusia (pengunjung) lainnya.
51 Tabel 8. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata No.
Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Selam Snorkling Berenang Berperahu Berjemur Rekreasi pantai Olah raga air Memancing Wisata mangrove Wisata lamun dan 10 ekosistem lainnya 11 Wisata satwa Sumber: Yulianda (2007)
Waktu yang dibutuhkan Wp – (jam) 2 3 2 1 2 3 2 3 2
Total waktu 1 hari Wt – (jam) 8 6 4 8 4 6 4 6 8
2
4
2
4
Khusus untuk wisata selam luas terumbu karang mempertimbangkan kondisi komunitas karang. Persen tutupan karang menggambarkan kondisi dan daya dukung karang. Jika kondisi komunitas karang disuatu kawasan baik dengan tutupan 76%, maka luas area selam di terumbu karang yang dapat dimanfaatkan adalah 76% dari luas hamparan karang (Yulianda, 2007). 3.3.3. Analisis Sistem dan Pemodelan Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno,1999). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 1999).
52 Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi (Eriyatno, 1999). Identifikasi sistem diagram lingkar sebab-akibat kemudian diinterpretasikan untuk membangun konsep kotak gelap (black box) diagram input-output. Diagram input-output merepresentasikan input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta manajemen pengendalian.. Pemodelan merupakan suatu gugus aktivitas pembuatan model. Secara umum pemodelan didefinisikan sebagai suatu abstraksi dari sebuah obyek atau situasi actual. Tujuannya adalah untuk menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat, sehingga dapat dibangun struktur modelnya. Teknik kuantitatif dan simulasi digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar peubah dalam sebuah model (Eriyatno, 1999). penduduk
Industri
Limbah
Pencemaran
-
+ Peningkatan Kualitas lingkungan
treatment
-
+
+
Kerusakan lingkungan
Aktivitas Wisata pantai Daya dukung
Aktivitas Perikanan
-
+
+ Jumlah pengunjung
+ + Pajak dan retribusi
+ pendapatan
+
PDB Sektor
+ Daya beli
+ Income perkapita
+ +
Kesejahteraan meningkat
+ Gambar 4. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) Model Pengelolaan Wisata dan Perikanan Berkelanjutan di Pantai Kota Makassar
53 Dalam simulasi model pemanfaatan wilayah pantai Makassar untuk kegiatan Wisata pantai dan perikanan, optimasi ini akan dilakukan tiga skenario, yaitu : 1. Skenario laju pencemaran pantai kota (ekologi), perkembangan berbagai faktor ekonomi dan sosial serta kegiatan pemanfataan untuk wisata dan perikanan seperti kondisi sekarang. 2. Skenario pesimis, meningkatkatkan laju pencemaran (tekanan ekologi), dan tekanan sosial ekonomi terhadap kegiatan wisata pantai dan perikanan terpadu. 3. Skenario optimis, laju pencemaran dikendalikan dan faktor sosial dan ekonomi yang kondusif untuk mendukung wisata pantai dan perikanan. Analisis model optimalisasi ini akan menggunakan alat bantu perangkat lunak stella versi 9.0.2 (High Performance System, Inc., 2007). Tabel 9 Tujuan dan metode analisis model pengelolaan wisata pantai dan perikanan NO 1
2
3
4
5
Tujuan
Metode analisis
Mengukur kondisi fisika dan - Pengukuran data lapangan dan analisis kimia perairan pantai Kota laboratorium untuk parameter : Kecepatan Makassar arus, pH, Suhu,, salinitas, Disolved Oxygen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD), COD, NO 3 ,PO 4 Mengetahui Daya dukung - Pengukuran daya dukung lahan untuk untuk Wisata dan Perikanan kegiatan wisata pantai dan perikanan budidaya KJA serta rumput laut Mengetahui tingkat laju - Mengukur beban limbah, indeks pencemaran pencemaran kapasitas asimilasi Mengetahui pengaruh - Menghitung tingkat pendapatan, berbagai faktor sosial pada kelayakan usaha, PDB subsektor wisata kegiatan wisata dan dan perikanan, daya serap tenaga kerja perikanan Merancang model dinamik - Analisis sistem dan pemodelan dengan pengelolaan pencemaran berbagai faktor yang mempengaruhi yakni untuk keberlanjutan wisata ekologi, sosial dan ekonomi dengan dan perikanan software stella versi 9.0.2 Tahapan analisis rancangan model pengelolaan wisata pantai dan perikanan
di pantai Kota Makassar dapat dilihat pada skema gambar 5 :
54
Pengelolaan Pantai Kota Makassar
Pertumbuhan penduduk
Pemukiman
Penduduk
Tata ruang pantai Kota Makassar
Wisata Pantai
Industri dan Industri Perdagangan dan Bisnis
Perikanan Terpadu
Perubahan Habitat
Analisis daya dukung
Tata ruang daratan (Up
Pencemaran
Lingkungan Pantai
Perikanan Perikanan
Pencemaran dari sungai dan Kanal
Analisis pencemaran, beban Limbah, Kapasitas Asimilasi
Wisata Wisata
Analisis Kelayakan Ekonomi Daya Dukung (Kelayakan ekologis)
Analisis Sistem dan Pemodelan
Desain Model Perikanan & Wisata
Pengelolaan Wisata pantai dan Perikanan Berkelanjutan
Gambar 5. Model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di pantai Kota Makassar Sulawesi Selatan
6. MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN 6.1 Penyusunan Skenario Model Pemanfaatan kawasan pesisir kota Makassar untuk perikanan dan wisata sangat berkaitan dengan kesesuian dan daya dukung kawasan tersebut. Sementara kesesuian dan daya dukung suatu kawasan sangat bergantung pada kondisi ekologis dari lingkungan. Pada sisi lain kondisi lingkungan ekologis terukur dari parameter diantaranya parameter fisika dan kimianya. Selanjutnya kondisi fisika dan kimia suatu kawasan pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya beban limbah yang masuk. Mungkin terlalu sederhana untuk menggambarkan interaksi berbagai komponen dalam suatu sistem pengelolaan perikanan dan wisata seperti gambaran tersebut diatas, karena kondisi yang ada di alam tentunya terjadi dengan interaksi yang lebih kompleks, jadi pemodelan adalah penyederhanaan dari kondisi yang lebih kompleks. Hal ini dikemukakan oleh Muhamadi (2001) bahwa salah satu tujuan dari dibangunnya model untuk pengelolaan di pesisir pantai Kota Makassar adalah bagaimana mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian. Rancangan dan skenario model di kawasan pantai Kota Makassar juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya dengan aspek penekanan yang berbeda, Samawi (2007) dan Bohari (2010) masing-masing model dan pengendalian pencemaran serta model pengelolaan pantai Kota.
Perangkat lunak yang digunakan untuk merumuskan dan
menganalisis model yang dibangun dalam penelitian ini yakni Stella versi 9.0.2 Skenario merupakan rancangan kebijakan yang memungkinkan dapat dilaksanakan dalam kondisi nyata, didasarkan pada faktor-faktor yang berpengaruh di masa datang. Dengan melakukan perkiraan pada faktor-faktor yang akan datang maka dapat dilakukan penyusunan skenario model. Skenario yang yang dimodelkan adalah kondisi lingkungan ekologis pantai pesisir Makassar akibat adanya pencemaran yang akan berdampak pada aktivitas perikanan dan wisata di masa datang. Dalam penyusunan skenario model ini, berdasarkan pada data yang ada berupa hasil survey dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, simulasi akan dilakukan dalam rentang 10
104 tahun. Simulasi ini dilakukan dengan asumsi model akan terus berlanjut di masa datang. Asumsi-asumsi ini disusun untuk membatasi cakupan model dan adanya berbagai kekurangan berkaitan dengan ketersedian data dan keterbatasan kemampuan dari peneliti. Asumsi-asumsi yang digunakan untuk skenario model ini secara umum adalah : 1. Periode waktu simulasi dibatasi hanya 10 tahun adalah periode umur efektif dari Instalasi Pengolahan Air Limbah 2. Jumlah penduduk dan wisatawan mengikuti pola pertumbuhan penduduk kota Makassar.yang terjadi pada saat penelitian 3. Parameter limbah yang digunakan dalam model adalah BOD 5 ,COD, NO3 dan PO4 dan konsentrasinya mengacu pada saat penelitian 4. Migrasi penduduk tidak diperhitungkan dan dianggap nol 6.2 Pembangunan Model Model pengelolaan pencemaran di perairan pantai Kota Makassar dibangun atas beberapa sub model, meliputi 1) Sub model beban limbah BOD 2) sub model beban limbah COD 3) sub model beban limbah NO3 4) sub model beban limbah PO4 5) Sub model ekonomi dan IPAL. Sub-sub model yang ada kemudian disusun secara sederhana menjadi sebuah model pengelolaan pesisir terutama mengenai pengelolaan pencemaran untuk mengukur keberlanjutan aktivitas perikanan dan wisata di pantai Kota Makassar. Nilai-nilai atribut dan parameter yang digunakan untuk membangun model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan wisata dan perikanan di pantai kota Makassar, dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 16. Nilai dugaan parameter pada sub-sub model model pengelolaan pencemaran pantai Kota Makassar
1
Initial jumlah penduduk (jiwa)
Nilai /dugaan parameter 1.272.349
2
Laju pertumbuhan penduduk
1,63%
3
Tingkat kematian penduduk
1%
4
Jumlah Hotel di Makassar (buah)
127
No. Dimensi dan Atribut
Keterangan BPS Makassar dalam angka 2010) Analisisdata sekunder 2010 Analisis deskriptif data sekunder 2010 Disbudpar,2009
105 No. Dimensi dan Atribut
Nilai /dugaan parameter 3.661
Keterangan
0,20
Disbudpar,2009
6
Jumlah kamar hotel di Makassar (buah) Fraksi pertumbuhan hotel
7
Tingkat hunian (okupansi)
0,47
Disbudpar,2009
8
Daya dukung KJA (unit)
3.258
9
554
11
Daya dukung budidaya rumput laut (unit) Daya dukung Wisata pantai (org/hari) Fraksi limbah BOD (mg/hari)
Analisis deskriptif data sekunder 2010 Analisis deskriptif data sekunder 2010 Analisis deskriptif data sekunder 2010 Analisis data primer 2010
12
Fraksi Limbah COD (mg/hari)
13
Fraksi limbah NO3 (mg/hari)
14
Fraksi Limbah PO4 (mg/hari)
15
5
10
414 0,000007696 0,001869819 0,000040744 0,076350938 0,000000067910,00032488103
Disbudpar,2009
Analisis data primer 2010 Analisis data primer 2010 Analisis data primer 2010
Nilai Ekonomi IPAL (Rp)
0,000000509296 0,000338125581 407.000.000.000,-
16
Faktor konversi beban limbah
2,592
Analisis data primer 2010
17
Keuntungan KJA (Rp)
1.483.755
Analisis data sekunder 2010
18
Kapasiitas asimilasi BOD
83269,32
Analisis data primer 2010
19
Kapasiitas asimilasi COD
0,256419
Analisis data primer 2010
20
Kapasiitas asimilasi NO3
0,019943
Analisis data primer 2010
21
Kapasiitas asimilasi PO4
0,070665
Analisis data primer 2010
22
Kompensasi IPAL (Rp)
319.283
Analisis data sekunder 2010
23
Umur IPAL (bln)
120
24
Debit s Jenneberang ( m3/dtk)
1028,50
Analisis deskriptif data sekunder 2010 Analisis data primer 2010
25
Debit S Tallo ( m3/dtk)
387,85
Analisis data primer 2010
26
Debit Kanal Panampu ( m3/dtk)
39,154
27
Debit Kanal Jongaya ( m3/dtk)
24,921
Analisis deskriptif data sekunder 2010 Analisis data sekunder 2010
28
Debit Kanal Benteng ( m3/dtk)
1,494
Analisis data sekunder 2010
Pemkot Makassar, 2011
106 Nilai /dugaan parameter 1,8998
Keterangan
40.700.000.000
31
Biaya Operasional IPAL (Rp/tahun) Keuntungan Budidaya rumput laut (Rp) Keuntungan Wisata (Rp)
32
Pajak PPh dan retribusi usaha
10%
Analisis deskriptif data sekunder 2011 Coremap, mitra bahari sulsel 2009 Analisis deskriptif data sekunder 2010 Analisis deskriptif data sekunder 2011
No. Dimensi dan Atribut Debit Kanal H Bau ( m3/dtk) 29 30
833.333 1.500.000
Analisisdata sekunder 2010
Model pengelolaan pencemaran perairan pesisir bagi keberlanjutan perikanan dan wisata pantai Kota Makassar adalah sebagi berikut :
Gambar 19 Model pengelolaan pencemaran perairan Makassar Model ini menggambarkan aliran beban limbah BOD 5 , COD, NO 3 dan PO 4 yang masuk perairan pesisir Makassar melalui berbagai aliran sungai dan kanal.
Jumlah populasi sumber pencemaran yang terdiri dari penduduk dan
wisatawan di kota Makassar, dimana tingkat pertumbuhan dan okupansi (tingkat hunian kamar) sebagai pemicu dinamik.
Sumber aliran terdiri dari Sungai
Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Panampu, Jongaya, Benteng dan Haji Bau. Tiap aliran memiliki debit dan konsentrasi limbah yang berbeda-beda.
Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) serta kapasitas asimimilasi menjadi atribut
107 pengurang beban limbah. Status keberlanjutan perikanan dan wisata terukur dari penurunan kapasitas asimilasi yang mempengaruhi daya dukung. Operasionalisasi IPAL dibiayai oleh sumber pencemar melalui pungutan/kompensasi yang dikeluarkan. Alokasi nilai kompensasi menentukan kinerja IPAL yang mempengaruhi daya dukung perairan untuk aktivitas perikanan dan wisata. Nilai keuntungan dari usaha perikanan dan wisata akan memberikan memberikan manfaat bersih setelah dikurangi dengan biaya kompensasi. Keuntungan dari usaha perikanan dan wisata selain memberikan insentif atas biaya kompensasi yang dikeluarkan oleh pencemar juga memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD) 6.3. Simulasi Model Pengelolaan Simulasi skenario model dilakukan untuk mencari dan membentuk model pengelolaan pencemaran kota Makassar untuk mengukur keberlanjutan perikanan dan wisata yang ada. Dalam simulasi skanario model yang dibuat akan dibentuk berbagai parameter dan atribut yang didesain untuk menentukan pengelolaan secara baik. Dalam membentuk skenario pengelolaan pencemaran yang ada di pantai Kota Makassar diperkirakan ada aspek atribut yang luput untuk dimasukkan dalam model, akan tetapi dengan model yang ada diharapkan minimal dapat dijadikan sebagai gambaran tentang pengelolaan pantai kota agar tetap berkelanjutan Analisis kebijakan adalah pengetahuan tentang cara – cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan metode sistem dinamis adalah simulasi model. Simulasi model adalah tiruan perilaku sistem nyata. Dengan menirukan perilaku sistem nyata tersebut maka proses analisis
akan
lebih
cepat,
bersifat
holistik,
hemat,
dan
dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini akan diuraikan tentang bagaimana melakukan analisis kebijakan tersebut secara teknis dan operasional dengan simulasi model (Muhamadi 2001). Analisis kebijakan ini dilakukan dengan melakukan intervensi fungsional dan intervensi struktural. Intervensi fungsional adalah intervensi terhadap parameter tertentu atau kombinasi parameter. Intervensi struktural adalah intervensi dengan mengubah unsur, mengubah hubungan yang membentuk struktur model atau intervensi dengan menambahkan
108 sub model penghubung ke dalam model awal. Dalam model ini ini yang menjadi aspek penekanan adalah kualitas perairan yang ada akibat dari pencemaran yang dilakukan oleh masyarakat 6.3.1 Sub Model Beban Limbah BOD 5
Gambar 20.Sub model beban limbah BOD 5 Sub Model ini menggambarkan aliran beban limbah BOD 5 yang masuk perairan pesisir Makassar melalui berbagai aliran sungai dan kanal. Sub model ini dibangun berdasarkan jumlah populasi sumber pencemaran yang terdiri dari penduduk dan wisatawan di kota Makassar, dimana tingkat pertumbuhan dan okupansi (tingkat hunian kamar) sebagai pemicu dinamik. Sumber aliran terdiri dari Sungai Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Panampu, Jongaya, Benteng dan Haji Bau. Tiap aliran memiliki debit dan konsentrasi BOD 5 yang berbeda-beda. Tiap beban limbah akan dikalikan dengan faktor konversi untuk mendapatkan loading beban bulanan. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) menjadi atribut pengurang beban limbah.
109
6.3.2 Sub Model Beban Limbah COD
Gambar 21 Sub model beban limbah COD Sub Model ini menggambarkan aliran beban limbah COD yang masuk perairan pesisir Makassar melalui berbagai aliran sungai dan Kanal. Sub model ini dibangun berdasarkan jumlah populasi sumber pencemaran yang terdiri dari penduduk dan wisatawan di kota Makassar, dimana tingkat pertumbuhan dan tingkat hunian kamar (okupansi) sebagai pemicu dinamik. Sumber aliran terdiri dari Sungai Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Panampu, Jongaya, Benteng dan Haji Bau. Tiap aliran memiliki debit dan konsentrasi COD yang berbeda-beda. Tiap beban limbah akan dikalikan dengan faktor konversi untuk mendapatkan loading beban bulanan. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) menjadi atribut pengurang beban limbah. Keberlanjutan dinilai dari beban limbah yang dikurangi dengan kapasitas asimilasi
110
6.3.3 Sub Model Beban Limbah NO3
Gambar 22 Sub model beban limbah NO3 Sub Model ini menggambarkan aliran beban limbah NO3 yang masuk perairan pesisir Makassar melalui berbagai aliran sungai dan Kanal. Sub model ini dibangun berdasarkan jumlah populasi sumber pencemaran yang terdiri dari penduduk dan wisatawan di kota Makassar, dimana tingkat pertumbuhan dan okupansi (tingkat hunian kamar) sebagai pemicu dinamik. Sumber aliran terdiri dari Sungai Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Panampu, Jongaya, Benteng dan Haji Bau. Tiap aliran memiliki debit dan konsentrasi NO3 yang berbeda-beda. Tiap beban limbah akan dikalikan dengan faktor konversi untuk mendapatkan loading beban bulanan. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) menjadi atribut pengurang beban limbah. Asumsi IPAL adalah berkerja merata pada semua sumber limbah.
111
6.3.4 Sub Model Beban Limbah PO 4
Gambar 23 Sub model beban limbah PO 4 Sub Model ini menggambarkan aliran beban limbah PO 4 yang masuk perairan pesisir Makassar melalui berbagai aliran sungai dan Kanal. Sub model ini dibangun berdasarkan jumlah populasi sumber pencemaran yang terdiri dari penduduk dan wisatawan di kota Makassar, dimana tingkat pertumbuhan dan okupansi (tingkat hunian kamar) sebagai pemicu dinamik. Sumber aliran terdiri dari Sungai Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Panampu, Jongaya, Benteng dan Haji Bau. Tiap aliran memiliki debit dan konsentrasi PO 4 yang berbeda-beda. Tiap beban limbah akan dikalikan dengan faktor konversi untuk mendapatkan loading beban bulanan. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) menjadi atribut pengurang beban limbah yang bekerja bergantung pada kapasitas instalasinya. 6.3.5 Sub model Ekonomi dan Daya Dukung Sub model Ekonomi dan IPAl ini menggambarkan kondisi dari nilai ekonomi aktivitas perikanan dan wisata yang mengalami perubahan akibat adanya pencemaran. Besarnya beban pencemaran dipengaruhi oleh jumlah Total sumber
112 pencemaran dan efektivitas kerja dari IPAL. Efektivitas kerja IPAL diasumsikan dipengaruhi oleh nilai kompensasi dari sumber pencemar (penduduk). Penurunan dan peningkatan daya dukung untuk aktivitas perikanan dan wisata pantai bergantung pada beban pencemaran yang terjadi dan kapasitas asimilasi. Nilai daya dukung menggambarkan seberapa banyak kemungkinan aktivitas perikanan dan wisata yang dapat dilakukan di kawasan pantai Kota Makassar.
Nilai
ekonomi diperoleh dari estimasi asumsi nilai keuntungan bersih tiap-tiap aktivitas perikanan dan wisata.
Manfaat ekonomi dari perikanan dan wisata akan
dialokasikan sebagai Pendapatan Daerah (PAD) yang diperoleh dari pengutan atau retribusi. Manfaat bersih diperoleh dari pengurangan nilai manfaat total perikanan dan wisata dengan nilai kompensasi yang dibayarkan oleh pencemar untuk membiayai IPAL.
Gambar 24 Sub model ekonomi dan IPAL 6.4. Basis Model Pengelolaan Pencemaran Basis model dibangun berdasarkan kondisi lapangan yang sebenarnya (eksisting) dimana atribut dan nilainya diperoleh berdasarkan pengukuran dan pengumpulan data dari berbagai sumber penelitian dan literature tentang pengelolaan pencemaran dan perikanan serta wisata
113
6.4.1 Beban Limbah Skenario Basis Hasil simulasi beban limbah untuk parameter-parameter yang dijadikan acuan, diperoleh hasil akhir yang berbeda. Hal ini bergantung pada nilai atribut masing-masing parameter.
Nilai parameter BOD yang diperoleh dari hasil
simulasi paling tinggi pada aliran sungai Jenneberang dan terkecil pada Kanal Benteng (lihat gambar 24). Aliran beban limbah pada Sungai Jenneberang pada awal simulasi 18.128 ton/bln menjadi 70.993 ton/bln diakhir periode dengan lama simulasi 10 tahun, adapun beban limbah pada Kanal Benteng 9 ton/bln menjadi 52 ton/bln.
Total limbah BOD yang terakumulasi pada perairan pesisir Kota
Makassar dari semua aliran limbah yang masuk adalah 25.596 ton/bln pada awal simulasi menjadi 10.799.191 ton/bln
Gambar 25 Hasil simulasi beban limbah BOD 5 skenario basis Hasil simulasi untuk beban limbah COD pada skenario basis ini juga tidak berbeda hampir sama dengan BOD.
Beban terbesar limbah COD tertinggi
dialirkan oleh Sungai Jenneberang dengan 95.972 ton/bln diawal periode 375.862
114 ton/bln diakhir periode. Loading beban terendah di Kanal Benteng dan Kanal Haji Bau.
Gambar 26 Hasil simulasi beban limbah COD skenario basis Konsentrasi
beban
limbah
NO 3
pada
pesisir
kota
Makassar
memperlihatkan hasil yang relatif hampir sama dengan parameter lain. Loading beban NO 3 memperlihatkan besaran yang berbeda-beda.
Kontribusi terbesar
masih dari aliran beban limbah pada sungai Jenneberang selanjutnya berturutturut Kanal Panampu, Sungai Tallo, Kanal Jongaya, Kanal H Bau dan Kanal Benteng.
Terdapat sedikit perbedaan besaran loading beban antara Kanal
Panampu dan Sungai Tallo, walaupun debit Sungai Jenneberang lebih tinggi tetapi memiliki konsentrasi limbah aliran yang lebih rendah dari Kanal Panampu (lihat gambar 26). Hasil simulasi beban limbah PO 4 total diperairan pesisir Kota Makassar adalah 1.565 ton/bln menjadi 663.391 ton/bln diakhir periode simulasi 10 tahun mendatang. Sama dengan konsentrasi parameter limbah yang lain, PO 4 yang ada di perairan pesisir kota Makassar disumbangkan oleh aliran sungai dan kanal. Aliran limbah PO 4 tertinggi berasal dari Sungai Jenneberang dan terendah oleh Kanal Haji Bau. Variasi beban limbah pada airan beban dikarenakan tingkat konsentrasi parameter dan debit aliran yang berbeda-beda
115
Gambar 27 Hasil simulasi beban limbah NO 3 skenario basis
t
Gambar 28 Hasil simulasi beban limbah PO 4 skenario basis 6.4.2 Status Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Skenario Basis Model pengelolaan pencemaran di perairan pesisir Kota Makassar adalah untuk melihat status keberlanjutan aktivitas perikanan dan wisata.
Aktivitas
perikanan dan wisata yang memungkinkan terdapat di perairan pantai Kota
116 Makassar diukur berdasarkan kesesuaian lahan dan daya dukung perairan. Pencemaran beban limbah yang terdapat di perairan akan mempengaruhi daya dukung perairan, sehingga keberlanjutan perikanan dan wisata akan terancam karena adanya pencemaran. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993)
Gambar 29 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah BOD 5 skenario basis Beban limbah yang masuk ke perairan selain bergantung pada aliran dan konsentrasi pencemar, serta jumlah pencemar juga bergantung pada kemampuan perairan tersebut untuk menampung beban limbah yang biasanya dinyatakan dengan kemampuan asimilasi perairan. Bila beban limbah yang masuk belum melebihi kapasitas asimilasinya maka perairan tersebut masih dapat mendukung aktivitas yang sesuai dengan peruntukkannya. Sejalan yang dikemukakan Krom (1996) bahwa Daya tampung kawasan pesisir adalah kemampuan badan air atau perairan di kawasan tersebut dalam menerima limbah organik termasuk didalamnya adalah kemampuan untuk mendaur ulang atau mengasimilasi limbah
117 tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan yang berakibat terganggunya keseimbangan ekologisnya Dalam simulasi model yang dibangun terdapat berbagai parameter yang dijadikan acuan dengan kondisi aliran sungai dan kanal. Hasil simulasi status keberlanjutan dengan parameter acuan beban limbah BOD 5 , didapatkan hasil yang bervariasi.
Status perikanan dan wisata di daerah muara aliran sungai
Jenneberang dan Sungai Tallo serta Kanal-kanal masih memungkinkan untuk dilanjutkan karena memperlihatkan nilai negatif artinya beban limbah yang masuk masih dibawah kemampuan asimilasi.
Gambar 30 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah COD skenario basis Hasil simulasi status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter COD mempelihatkan bahwa kegiatan perikanan dan wisata masih dapat dimungkinkan dilakukan kecuali perairan disekitar muara Sungai Jenneberang . Hal ini terindikasi dari nilai negatif yang diperoleh untuk semua aliran sungai dan kanal, walaupun dengan nilai yang beragam sementara nilai keberlanjutan di muara sungai Jenneberang walaupun pada awalnya memungkinkan karena nilainya negative, tetapi untuk periode simulasi akhir memperlihatkan hasil nilai positif
118 Hasil simulasi status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter NO 3 juga mempelihatkan bahwa kegiatan perikanan dan wisata masih dapat dimungkinkan dilakukan kecuali perairan disekitar muara Sungai Jenneberang. Hal ini terindikasi dari nilai negatif yang diperoleh untuk semua aliran sungai dan kanal, walaupun dengan nilai yang beragam. Adapun untuk aliran pada sungai Jenneberang memperlihatkan status tidak berlanjut karena sejak awal simulasi nilainya positif yang artinnya aliran beban limbah NO 3 yang masuk terlalu tinggi dibandingkan kemampuan asimilasi perairan tersebut
Gambar 31 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 3 skenario basis Hasil simulasi model basis untuk mengukur status keberlanjutan perikanan dan wisata di perairan pesisir Makassar berdasarkan aliran limbah PO4 memperlihatkan hasil yang bervariasi. Untuk aliran sungai Jenneberang dan Tallo memperlihatkan hasil positif artinya aktivitas perikanan disekitar muara sungai tidak dapat dilakukan karena beban limbah terlalu tinggi, sementara untuk aliran kanal masih dapat dimungkinkan. Hal ini karena selain jumlah debit yang lebih besar dari masing-masing sungai juga karena nilai konsentrasi parameter pada aliran juga besar
119
Gambar 32 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah PO 4 skenario basis 6.4.3 Pencemaran dan Nilai Kompensasi Skenario Basis Model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di pantai Kota Makassar, mencoba untuk menerapkan prinsip bahwa pencemar akan membayar setiap kerusakan yang ditimbulkan pada lingkungan (polluter must pay principle). Dengan menerapkan sistem kompensasi atas limbah atau cemaran yang dihasilkan pada setiap pencemar maka pengelolaan pencemaran diharapkan akan dapat berkelanjutan, karena setiap individu ataupun lembaga pencemar akan membayar tiap cemaran yang dihasilkan. Semakin tinggi kesadaran akan lingkungan semakin rendah biaya yang akan dibayarkan begitu juga sebaliknya. Pada model yang dibangun terdapat atribut penduduk sebagai sumber pencemar.
Penduduk dalam model terdiri dari jumlah penduduk lokal Kota
Makassar dan tamu atau wisatawan yang menginap di hotel-hotel yang ada di Makassar. Jumlah penduduk kota Makassar saat ini berjumlah 1.272.349 jiwa (BPS kota Makassar, 2010) dan diperkirakan 1.687.024 jiwa pada 25 tahun mendatang.
Pertumbuhan penduduk kota Makassar berdasarkan asumsi
120 pertumbuhan 1,63% untuk setiap tahun, jumlah ini bisa saja lebih besar mengingat prediksi ini tidak memasukkan jumlah migrasi penduduk. Asumsi ini karena perkembangan Kota Makassar yang relatif pesat serta merupakan pintu gerbang pembangunan dan pertumbuhan di Indonesia timur.
Adapun jumlah tamu
mengikuti pertumbuhan jumlah hotel, jumlah kamar dan tingkat hunian (okupansi) dari hotel. Nilai kompensasi dalam model pengelolaan pencemaran, menggambarkan berapa besar nilai ekonomi yang yang harus dibayarkan oleh penduduk (sumber pencemar) untuk dapat memulihkan kondisi perairan agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam memulihkan kondisi perairan agar tidak tercemar maka IPAL (instalasi pengolahan air limbah) sebagi medianya. Jadi dalam model ini diasumsikan berapa nilai ekonomi yang harus dibayar oleh penduduk Makassar untuk dapat membiayai IPAL.
Gambar 33 Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario basis Hasil simulasi memperlihatkan pertumbuhan sumber pencemar yang terdiri dari penduduk Kota Makassar dan Jumlah tamu hotel di Makassar pada awal simulasi berjumlah 1.274.732 jiwa sementara pada akhir simulasi 10 tahun kemudian berjumlah 1.505.055 jiwa.
Sementara nilai kompensasi untuk tiap
sumber pencemar adalah Rp 798,- pada awal simulasi menjadi Rp 676,- pada akhir simulasi.
Hasil simulasi ini memperlihatkan adanya penurunan nilai
121 kompensasi untuk tiap pencemar (penduduk) yang disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk. Nilai kompensasi sendiri diperoleh dari nilai IPAL yang terdiri dari nilai investasi dan operasional dibagi dengan jumlah penduduk. Jadi semakin tinggi jumlah penduduk maka semakin rendah jumlah nilai kompensasi yang dibayar oleh setiap penduduk Dalam Simulasi model basis jumlah nilai IPAL hanya dialokasikan sebesar 30% dari total nilainya. Hal ini juga diasumsikan sama dengan efektfitas kerja dan alokasi nilai kompensasi. Dari hasil simulasi dengan alokasi anggaran IPAL dan efektifitas kerja 30%, diperoleh nilai manfaat bersih perikanan dan wisata Rp 1.469.772.082/bln dan manfaat total yang diperoleh sampai tahun ke-10 menjadi Rp 12.538.802.584.706,- (lihat gambar 32). Nilai manfaat ini diperoleh dari akumulasi manfaat perikanan dan wisata dikurangi dengan biaya total yang berasal dari operasional IPAL yang dibayarkan oleh penduduk Imbangan nilai insentif pada model basis menggambarkan jumlah keuntungan tiap-tiap sumber pencemar (penduduk). Pada hasil simulasi model imbangan nilan insentif diperoleh sebesar Rp 1.153,-/orang/bln pada awal periode menjadi total Rp 8.397.567,- pada akhir simulasi. Jadi bila dibandingkan antara nilai kompensasi dan imbangan nilai insentif yang diperoleh penduduk, masih terdapat selisih nilai bersih yang menguntungkan. Pada awal simulasi nilai insentif adalah Rp 1.153,-/orang/bln dikurangi dengan nilai kompensasi yang dibayar penduduk sebesar Rp 798,-, masih terdapat keuntungan bersih sebesar Rp 355,-/orang/bln 6.4.4 IPAL, Daya Dukung dan Keuntungan Ekonomi Dalam model pengelolaan pencemaran yang dibangun, IPAL mempunyai peranan penting sebagai pengendali beban pencemaran yang bermuara di perairan Makassar. Kinerja IPAL sangat menentukan keberlanjutan aktivitas perikanan dan wisata, hal ini dikarenakan beban limbah yang berasal dari penduduk Kota Makassar akan dikelola terlebih dahulu hingga mencapai titik aman konsentrasi sebelum dibuang ke perairan pantai, Menurut Pemkot Makassar (2010) dana pembangunan IPAL akan dialokasikan sebesar 407 milyar. Instalasi pengolahan air limbah saat ini hanya baru melayani beberapa kecamatan dan diharapkan semua kecamatan memiliki intalasi pengolahan sehingga Makassar akan terbebas dari limbah.
122 .
Gambar 34 Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario basis Dengan adanya proses pengolahan limbah sebelum masuk ke perairan pantai, tentu akan tetap menjaga lingkungan supaya tidak tercemar. Perairan yang tidak tercemari beban limbah tentu akan dapat memberikan jasa lingkungan sesuai dengan peruntukkan berdasarkan tingkat kesesuaian dan daya dukungnya. Jadi IPAL memgang peranan penting agar perairan pesisir pantai tetap terpelihara daya dukung untuk berbagai aktivitas termasuk perikanan dan wisata. Dampak dari tetap terpeliharanya daya dukung lingkungan akan memberikan efek positif dari sisi ekonomi, selain tentunya efek pembiayaan
untuk pembangunan dan
operasionalisasi IPAL tersebut Berdasarkan hasil simulasi model dengan skenario basis memperlihatkan bahwa nilai keuntungan perikanan dan wisata cukup besar yakni Rp 1.775.022.080,-/bulan pada awal simulasi dan kemudian menjadi Rp Rp 213.002.649.792,-/bln pada akhir periode. Selain nilai keuntungan yang dapat diperoleh masyarakat atau
pelaku usaha pada bidang perikanan dan wisata,
pemerintah juga dapat memperoleh pemasukan berupa pajak yang dipungut sebesar 10% dari tingkat keuntungan usaha dengan asumsi yang digunakan dalah pajak PPh atau pajak penghasilan. pembangunan IPAL
bukan
Bila dilihat dari sisi ekonomi maka
membebani
anggaran secara negatif tetapi
memberikan manfaat ekonomi dua sisi baik bagi masyarakat maupun pemerintah,
123 itupun belum memperhitungkan manfaat lainnya seperti terpeliharanya ekosistem dan estetika serta lainnya. 6.5. Skenario Pesimis Skenario pesimis dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu skenario kebijakan pengelolaan pencemaran pesisir pantai Kota Makassar, yang dilakukan dengan tidak mempertimbangkan menciptakan kondisi atau suasanya yang buruk bagi keberlanjutan salah satu atau seluruh dimensi pengelolaan. Skenario pesisimis pada model pengelolaan pencemaran pantai Kota Makassar dapat juga dikatakan bahwa atribut atau faktor-faktor (atribut) penting mengalami pengurangan atau degradasi sehingga pengelolan akan semakin buruk. Skenario ini juga dibangun dengan tujuan memberikan gambaran kemungkinan terburuk yang akan dialami, sehingga menjadi petunjuk bagi pemerintah daerah Kota Makassar untuk mengelolan dan membangun wilayah pesisir Makassar. Perubahan nilai atribut pada skenario pesimis model pengelolaan pantai Kota Makassar
diantaranya adalah Penurunan kinerja IPAL dari 30% menjadi 10%,
peningkatan populasi pencemar yakni pertumbuhan penduduk dari 1,65% menjadi 2% pertahun, peningkatan konsentarsi parameter pencemar menjadi 50% diatas model basis. :
6.5.1 Beban Limbah Skenario Pesimis Hasil simulasi beban limbah untuk parameter-parameter yang dijadikan acuan pada skanario pesimis, diperoleh hasil akhir yang berbeda. Penurunan kinerja IPAL, peningkatan konsentrasi parameter perkapita, serta peningkatan jumlah pertumbuhan pencemar sangat mempengaruhi hasil akhir running model. Nilai parameter BOD5 yang diperoleh dari hasil simulasi paling tinggi pada aliran sungai Jenneberang dan terkecil pada Kanal Benteng. Aliran beban limbah pada Sungai Jenneberang pada awal simulasi 30.817 ton/bln meningkat signifikan bila dibandingkan dengan model basis yang hanya 18.128 ton/bln, sementara hasil akhir simulasi menjadi 370.724 ton/bln dengan lama simulasi 10 tahun. Aliran beban limbah terkecil oleh kanal Benteng sebesar 13,94 ton/bln menjadi 167,71 ton/bln Hasil simulasi model skenario pesismis untuk beban limbah COD juga berbeda dengan beban limbah pada skenario basis.. Beban terbesar limbah COD tertinggi dialirkan oleh Sungai Jenneberang dengan kontribusi sebesar 124.764 ton/bln pada awal periode simulasi cukup tinggi peningkatannya bila dibandingkan model basis sebesar 95.972 ton/bln diawal periode, sementara akhir
124 periode jumlah beban adalah 1.500.871 ton/bln. Loading beban terendah di Kanal Benteng dan Kanal Haji Bau. Beban limbah COD total yang bermuara di perairan pantai Kota Makassar yang berasal dari sungai dan kanal adalah 179.987 ton/bln pada awal simulasi menjadi 17.813.133 ton/bln
Gambar 35 Hasil simulasi beban limbah BOD 5 skenario pesimis
Gambar 36 Hasil simulasi beban limbah COD skenario pesimis
125 Pada simulasi model pesismis konsentrasi beban limbah NO3 pada pesisir kota Makassar memperlihatkan hasil yang relatif hampir sama dengan parameter lain.
Loading beban NO 3 memperlihatkan besaran yang berbeda-beda.
Kontribusi terbesar masih dari aliran beban limbah pada sungai Jenneberang selanjutnya berturut-turut Kanal Panampu, Sungai Tallo, Kanal Jongaya, Kanal H Bau dan Kanal Benteng. Terdapat sedikit perbedaan besaran loading beban antara Kanal Panampu dan Sungai Tallo, walaupun debit Sungai Jenneberang lebih tinggi tetapi memiliki konsentrasi limbah aliran yang lebih rendah dari Kanal Panampu. Total beban limbah NO 3 yang berasal dari aliran sungai dan kanal adalah 227,82 ton/bln pada awal simulasi menjadi 44.868,85 ton/bln di akhir periode
Gambar 37 Hasil simulasi beban limbah NO3 skenario pesimis Hasil simulasi beban limbah PO4 total pada skenario pesimis diperairan pesisir Kota Makassar adalah 2.235 ton/bln meningkat cukup tinggi bila dibandingkan dengan hasil pada skenario basis yang hanya 1.565 ton/bln, sementara pada akhir periode simulasi 10 tahun kedepan jumlah beban limbah PO 4 adalah 2.698.131 ton juga meningkat secara signifikan bila dibandingkan dengan beban limbah pada skenario basis 663.391 ton. Sama dengan konsentrasi parameter limbah yang lain, PO 4 yang ada di perairan pesisir kota Makassar
126 disumbangkan oleh aliran sungai dan kanal. Aliran limbah PO 4 tertinggi berasal dari Sungai Jenneberang dan terendah oleh Kanal Haji Bau. Variasi beban limbah pada airan beban karena tingkat konsentrasi parameter dan debit aliran yang berbeda-beda. Selain itu beban limbah pada model pesismis sangat meningkat disebabkan karena peningkatan atribut pemicu sepeti tingkat pertumbuhan penduduk, tingkat konsentrasi perkapita serta penurunan kinerja IPAL
Gambar 38 Hasil simulasi beban limbah PO4 skenario pesimis 6.5.2 Status Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Skenario Pesimis Model pengelolaan pencemaran di perairan pesisir Kota Makassar adalah untuk melihat status keberlanjutan aktivitas perikanan dan wisata. Pada skenario pesismis akan dicoba begaimana secara keseluruhan status keberlanjutan perikanan dan wisata diperairan pantai kota Makassar akibat perubahan atribut yang ada dalam model. Seperti diketahui aktivitas perikanan dan wisata yang memungkinkan terdapat di perairan pantai Kota Makassar diukur berdasarkan kesesuaian lahan dan daya dukung perairan. Sementara di lain sisi pencemaran beban limbah yang terdapat di perairan akan mempengaruhi daya dukung perairan, sehingga keberlanjutan perikanan dan wisata akan terancam karena adanya pencemaran. Beban limbah yang masuk ke perairan selain bergantung pada aliran dan konsentrasi pencemar, juga bergantung pada kemampuan perairan tersebut untuk menampung beban limbah yang biasanya dinyatakan dengan kemampuan
127 asimilasi perairan.
Bila beban limbah yang masuk belum melebihi kapasitas
asimilasinya maka perairan tersebut masih dapat mendukung aktivitas yang sesuai dengan peruntukkannya. Dalam simulasi model pesimis yang dibangun terdapat perubahan pada berbagai parameter yang dijadikan acuan dengan kondisi aliran sungai dan kanal seperti penurunan kinerja IPAL dan peningkatan konsentrasi pencemaran serta tingkat pertumbuhan penduduk. Hasil simulasi status keberlanjutan dengan parameter acuan beban limbah BOD 5 pada skenario pesimis, didapatkan hasil yang berbeda bila dibandingkan skenario basis
Gambar 39 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah BOD 5 skenario pesimis Status perikanan dan wisata di daerah muara aliran sungai Jenneberang dan Sungai Tallo walaupun pada awalnya masih memungkinkan tetapi pada akhir simulasi memperlihatkan hasil sebaliknya karena kemampuan asimilasi perairan sudah berada di bawah besaran limbah yang masuk hal itu ditandai dari nilai keberlanjutan yang awalnya negatif berubah menjadi positif. Sementara status keberlanjutan untuk aliran kanal semua bernilai negatif. Sementara itu status keberlanjutan di Kanal-kanal masih memungkinkan untuk dilanjutkan karena memperlihatkan nilai negatif artinya beban limbah yang masuk masih dibawah kemampuan asimilasi.
128
Gambar 40 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah COD skenario pesimis Hasil simulasi status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter COD pada skenario pesimis memperlihatkan bahwa aliran beban limbah pada Sungai Jenneberang dan Sungai Tallo mengalami perubahan status, dari awal simulasi masih memungkinkan untuk kegiatan perikanan (budidaya) dan wisata karena masih bernilai negatif tetapi akhirnya tidak memungkinkan karena bernilai positif di akhir periode simulasi. Untuk status perikanan dan wisata pada muara kanal-kanal diMakassar berdasarkan loading beban COD kesemuanya masih memungkinkan karena nilai kapasitas asimilasi masih diatas beban limbah yang masuk ke perairan Berdasarkan hasil simulasi model pesimis, status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter NO 3 juga mempelihatkan bahwa kegiatan perikanan dan wisata tidak dapat dimungkinkan dilakukan kecuali perairan disekitar muara Kanal Benteng. Sementara untuk aliran sungai dan kanal-kanal lainnya sudah tidak memungkinkan dengan kondisi hasil simulasi yang posisitif pada akhir simulasi. Berdasarkan gambar grafik perkembangan simulasi status keberlanjutan dengan parameter NO 3 , pada awalnya memungkinkan karena beban limbah masih
129 berada dibawah kemampuan asimilasi, akan tetapi setelah berjalan sekitar 3 tahun periode simulasi hampir semua status memperlihatkan angka positif yang artinya beban limbah sudah tidak mampu diasimilasi oleh perairan dimana limbah tersebut bermuara.
Gambar 41 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 3 skenario pesimis Hasil simulasi model pesimis untuk mengukur status keberlanjutan perikanan dan wisata di perairan pesisir Makassar berdasarkan aliran limbah PO4 memperlihatkan hasil yang hampir seragam untuk sungai Jenneberang dan Tallo dengan status tidak berlanjut. Nilai positif status keberlanjutan ditemukan pada semua tipe aliran limbah pada kedua sungai sungai tersebut. Sementara itu pada Kanal Jongaya pada awalnya memperlihatkan status berlanjut, tetapi pada akhir periode memperlihatkan status tidak berlanjut. Adapun kanal Benteng, Panampu dan Haji Bau status keberlanjutan perikanan dan wisata diperoleh dengan nilai negative sejak awal simulasi. Hal ini mengindikasikan walaupun berbagai atribut ditingkatkan sperti jumlah penduduk dan konsentrasi pencemar, tetapi kemampuan asimilasi pada muara pada kanal-kanal terbut masih dapat dilakukan
130
Gambar 42 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah PO 4 skenario pesimis 6.5.3 Pencemaran dan Nilai Kompensasi Skenario Pesimis Pada model skenario pesimis yang dibangun terdapat atribut penduduk sebagai sumber pencemar. Penduduk dalam model terdiri dari jumlah penduduk local Kota Makassar dan tamu atau wisatawan yang menginap di hotel-hotel yang ada di Makassar. Jumlah penduduk kota Makassar saat ini berjumlah 1.272.349 jiwa
Pertumbuhan penduduk kota Makassar berdasarkan asumsi pertumbuhan
berubah menjadi 2% dari 1,63% untuk model basis untuk setiap tahun, jumlah ini bisa saja lebih besar mengingat prediksi ini tidak memasukkan jumlah migrasi penduduk.
Nilai kompensasi dalam model pengelolaan pencemaran skenario
pesimis menggambarkan berapa besar nilai ekonomi yang yang harus dibayarkan oleh penduduk (sumber pencemar) untuk dapat memulihkan kondisi perairan agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam memulihkan kondisi perairan agar tidak tercemar maka IPAL (instalasi pengolahan air limbah) sebagi medianya. Jadi dalam model ini diasumsikan berapa nilai ekonomi yang harus dibayar oleh penduduk Makassar untuk dapat membiayai IPAL. Hasil simulasi memperlihatkan pertumbuhan sumber pencemar yang terdiri dari penduduk Kota Makassar dan Jumlah tamu hotel di Makassar pada
131 awal simulasi berjumlah 1.274.732 jiwa sementara pada akhir simulasi 10 tahun kemudian berjumlah 1.560.583 jiwa, sedikit mengalami peningkatan jumlah dari model basis dengan 1.505.055 jiwa. Untuk nilai kompensasi yang harus dibayar untuk tiap sumber pencemar adalah Rp 266,- pada awal simulasi menjadi Rp 217,pada akhir simulasi. .
Gambar 43 Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario pesimis Bila dilihat dari jumlah mengalami penurunan nilai, dan menagpa pada simulasi model pesimis nilai kompensasi yang dibayar oleh penduduk lebih rendah dibandingkan dengan skenario model basis. Hal ini disebabkan kapasitas kinerja IPAL juga mengalami penurunan dari 30% menjadi 10%.
Jadi nilai yang
dibayarkan juga mengalami penurunan Pada simulasi model pesimis jumlah nilai IPAL hanya dialokasikan sebesar 10% dari total nilainya. Hal ini juga diasumsikan sama dengan efektfitas kerja dan alokasi nilai kompensasi. Dari hasil simulasi dengan alokasi anggaran, nilai kompensasi IPAL dan efektifitas kerja 10%, diperoleh nilai manfaat bersih perikanan dan wisata hanya Rp 557.757.361,-/bln. Jumlah penerimaan manfaat bersih ini mengalami penurunan yang sangat drastic bila dibandingkan pada kodel basis dimana manfaat bersih didapatkan sebesar Rp 1.469.772.082/bln. Sampai pada tahun ke-10 terakumulasi menjadi Rp 4.221.074.228.235,Imbangan nilai insentif pada model pesimis menggambarkan jumlah keuntungan untuk tiap-tiap sumber pencemar. Berdasarkan hasil simulasi model imbangan nilai insentif juga mengalami penurunan nilai bila dibandingkan dengan
132 model basis, yakni hanya sebesar Rp 437,-/orang sementara pada model basis nilai imbangan insentif adalah Rp 1.153,-/orang/bln. Selanjutnya pada akhir simulasi nilai insentif yang diperoleh adalah 2.704.804/orang juga lebih kecil dari model basis yakni total Rp 8.397.567,- . Walaupun demikian bila dibandingkan antara nilai kompensasi dan imbangan nilai insentif yang diperoleh penduduk, masih terdapat selisih nilai bersih yang menguntungkan. Pada awal simulasi nilai insentif adalah Rp 437,-/orang/bln
dikurangi dengan nilai kompensasi yang
dibayar penduduk sebesar Rp 266,-, masih terdapat keuntungan bersih sebesar Rp 171,-/orang/bln. Jadi terdapat banyak kehilangan nilai ekonomi yang cukup besar bila kinerja IPAL dioperasikan dengan rasio 30% pada model basis dengan 10% pada model pesismis 6.5.4 IPAL, Daya Dukung dan Keuntungan Ekonomi Skenario Pesimis Sama halnya dengan model basis, penyusunan skenario pesimis hanya memberikan perubahan pada beberapa atribut.
Beberapa atribut yang
membedakan antara model basis dengan limbah akan mempengaruhi kinerja IPAL untuk memproses limbah yang masuk keperairan. Pengaruh penurunan kinerja IPAL akan mempengaruh tingkat daya dukung lingkungan perairan Makassar akan aktivitas perikanan dan wisata Dalam skenario model pesimis, nilai kinerja IPAL dialokasikan hanya sebesar 10%. Skenario ini merupakan kemungkinan paling minimal dari kinerja IPAL. Akibat penurunan kinerja IPAL maka akan berakibat pada penurunan kemampuan untuk pengolahan limbah yang mengalir masuk ke perairan pesisir Kota Makassar.
Daya dukung perairan secara logika juga akan mengalami
penurunan, dan diskenariokan juga hanya sebesar 10% daya dukung lahan yang tersisa untuk aktivitas perikanan dan wisata. Nilai IPAL total dengan kinerja 10% yakni hanya 4,07 milyar sementara nilai kompensasi oleh masyarakat untuk membiayai IPAL juga mengalami penurunan Berdasarkan
hasil
simulasi
model
dengan
skenario
pesimis
memperlihatkan bahwa nilai keuntungan perikanan dan wisata mengalami penurunan cukup besar yakni Rp 1.775.022.080,-/bulan
pada skenario basis
menjadi hanya Rp 591.674.027/bln pada awal simulasi dan kemudian menjadi Rp 71.000.883.264 menurun dari Rp 213.002.649.792,-/bln pada akhir periode.
133 Selain nilai keuntungan yang dapat diperoleh masyarakat atau pelaku usaha pada bidang perikanan dan wisata, pemerintah juga dapat memperoleh pemasukan berupa pajak yang dipungut sebesar 10% dari tingkat keuntungan usaha dengan asumsi yang digunakan dalah pajak PPh atau pajak penghasilan. Nilai Pendapatan daerah dari hasil simulasi adalah Rp 88.751.104,-/bln
Gambar 44 Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario pesimis 6.6. Skenario Optimis Skenario optimis dalam penelitian adalah suatu skenario kebijakan pengelolaan pencemaran pesisir kota Makassar yang dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan dari perikanan dan wisata. Selain itu skenario ini mempertimbangkan kemampuan pemerintah dalam hal ini pemerintah kota Makassar untuk menjalankan program-program tersebut.
Skenario optimis
disusun dengan merubah berbagai atribut penting yang bisa menjadi pemicu bagi pengelolaan pencemaran. Perubahan nilai atribut model pengelolaan pencemaran skenario optimis diantaranya adalah penurunan nilai pertumbuhan penduduk sebagai sumber pencemar dari 1,63%/tahun menjadi 1%/tahun, peningkatan kinerja IPAL dari 30% menjadi 90%, serta penurunan tingkat konsentrasi parameter pencemar rata-rata 50% dari nilai pada basis model 6.6.1 Beban Limbah Skenario Optimis Skenario model optimis dibangun agar diharapkan hasil yang lebih baik bagi pengelolaan beban limbah yang masuk ke perairan pantai Kota Makassar.
134 Dengan melakukan perubahan pada atribut yang menyebabkan penurunan beban limbah maka hasil yang diharapkan dapat tercapai. Perubahan pada berbagai atribut pada model dilakukan tentu saja dengan mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya kemampuan pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah untuk dapat melaksanakan baik berupa kebijakan ataupun program pembangunan. Untuk dapat mengurangi angka sumber pencemar (penduduk) tentu dapat dilakukan dengan program pengendalian penduduk diantaranya Keluarga Berencana, sedangkan peningkatan kinerja IPAL dapat dilakukan dengan pembangunan IPAL baru dengan kapasitas yang lebih besar dari yang telah ada.
Gambar 45 Hasil simulasi beban limbah BOD 5 Skenario optimis Hasil simulasi beban limbah pada skenario optimis bagi parameterparameter yang dijadikan acuan diperoleh hasil akhir yang berbeda-beda. Peningkatan kinerja IPAL, penurunan konsentrasi parameter perkapita, serta penurunan jumlah pertumbuhan running model.
pencemar sangat mempengaruhi hasil akhir
Nilai parameter BOD5 yang diperoleh dari hasil simulasi
mengalami penurunan secara drastis. Total beban limbah BOD yang bermuara dipantai Kota Makassar pada skenario optimis hanya tersisa 15.168 ton/bln sementara pada skenario basis 25.596 ton/bln.
Jadi terjadi penurunan beban
limbah total mendekati setengah beban pada model basis. Beban limbah terbesar masih dari aliran limbah pada Sungai Jenneberang mengingat debit air sungai
135 yang relatif lebih tinggi dari aliran sumber pencemaran lainnya.
Kontribusi
terkecil berasal dari aliran limbah pada Kanal Benteng
Gambar 46 Hasil simulasi beban limbah COD Skenario optimis Simulasi model skenario optimis untuk beban limbah COD juga memperlihatkan penurunan drastis. Beban limbah total COD pada awal simulasi 125.390 ton/bln menjadi 59.902.200 ton pada akhir simulasi.
Peranan IPAL
untuk menurunkan beban limbah yang masuk ke perairan pantai Kota Makassar terlihat jelas pada gambar grafik simulasi untuk semua jenis aliran, pada bulan awal semulasi terlihat curam akibat adanya pengurangan oleh IPAL Kontribusi beban limbah sama dengan skenario basis dikarenakan perubahan atribut seperti IPAL, jumlah pencemar dan konsentrasi dilakukan dengan perubahan yang sama untuk semua aliran limbah.sungai maupun kanal. Loading beban limbah terbesar oleh Sungai Jenneberang dan sungai Tallo sementra terendah Kanal Benteng dan Kanal Haji Bau Perubahan atribut pada skenario optimis juga memberikan dapak penurunan beban limbah secara umum pada semua aliran beban limbah NO3. Hasil simulasi model optimis untuk konsentrasi beban limbah NO3 pada pesisir kota Makassar memperlihatkan hasil yang relatif hampir sama dengan parameter lain. Loading beban NO3 memperlihatkan besaran yang berbeda-beda.
136
Gambar 47 Hasil simulasi beban limbah NO 3 Skenario optimis Kontribusi terbesar masih dari aliran beban limbah pada sungai Jenneberang selanjutnya berturut-turut Kanal Panampu, Sungai Tallo, Kanal Jongaya, Kanal H Bau dan Kanal Benteng. Terdapat sedikit perbedaan besaran loading beban antara Kanal Panampu dan Sungai Tallo, walaupun debit Sungai Jenneberang lebih tinggi tetapi memiliki konsentrasi limbah aliran yang lebih rendah dari Kanal Panampu. Hasil simulasi beban limbah PO 4 total pada skenario optimis diperairan pesisir Kota Makassar adalah tersisa hanya 677,54 ton/bln menurun tajam dari 1.565 ton/bln pada model basis, sementara pada akhir periode simulasi 10 tahun kedepan jumlah beban limbah PO 4 adalah 94.748 ton menurun jika dibandingkan dengan skenario basis 663.391 ton. Aliran limbah PO 4 terbesar berasal dari Sungai Jenneberang dan terendah oleh Kanal Haji Bau. Variasi beban limbah pada airan beban dikarenakan tingkat konsentrasi parameter dan debit aliran yang berbeda-beda. Jadi secara umum beban limbah PO 4 mengalami penurunan yang diakibatkan oleh kinerja IPAL yang meningkat dari 30% pada model basi menjadi 90% pada skenario optimis, selain dari faktor IPAL penurunan jumlah pencemar (penduduk turut memberikan pengaruh pada total beban limbah bukan saja pada konsentrasi PO 4 tetapi pada semua parameter yang dijadikan acuan pada model yang dibangun
137
Gambar 48 Hasil simulasi beban limbah PO 4 skenario optimis 6.6.2 Status Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Skenario Optimis Salah satu tujuan untuk membentuk model pengelolaan pencemaran adalah selain mensimulasi aliran beban limbah yang masuk ke perairan pantai Kota Makassar adalah mengetahui tingkat keberlanjutan aktivitas perikanan dan wisata. Pada skenario optimis terdapat perubahan pada beberapa atribut yang mana diharapkan dapat mengurangi beban limbah yang masuk kedalam perairan. Setiap perubahan atribut akan mengacu kemampuan dari pemerintah Kota Makassar untuk dapat menerapkan. Perubahan atribut yang diperkirakan dapat dilakukan oleh pemerintah Makassar adalah peningkatan kapasitas atau kinerja IPAL dari kondisi basis 30% menjadi 90%. Dalam kondisi yang sebenarnya Pemerintah Kota Makassar sedang berusaha untuk membangun IPAL untuk menangani semua beban limbah rumh tangga dan industri kecil yang ada di seluruh wilayah Makassar. Adapun biaya untuk membangun IPAL berasal dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) serta dana pinjaman, total dana yang dibutuhkan adalah 407 milyar.
Perubahan atribut lain yang
diperkirakan mamp dilakukan oleh pemerintah adalah penurunan angka pertumbuha penduduk kota Makassar dari 1,63% menjadi 1% melalui Program Keluarga Berencana
138 Secara umum hasil simulasi untuk mengukur status keberlanjutan perikanan dan wisata yang diukur dari kemampuan perairan untuk mengasimilasi beban limbah pada skenario basis adalah bernilai negatif untuk semua jenis aliran beban limbah baik sungai maupun kanal. Hasil ini juga diperoleh untuk semua parameter yang dijadikan acuan yakni BOD 5 , COD, NO 3 dan PO 4 . Hasil yang negatif atau status berlanjut ini memang diharapkan dalam skenario optimis agar beban limbah dapat diatasi dan tetap dapat memelihara daya dukung lingkungan untuk perikanan dan wisata. Hasil simulasi status keberlanjutan dengan parameter acuan beban limbah BOD 5 pada skenario optimis, diperoleh hasil yang seragam untuk semua tipe aliran limbah akan tetapi berbeda jauh dalam jumlah beban dibandingkan skenario basis.
Gambar 49 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah BOD 5 skenario optimis Hasil simulasi status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter COD pada skenario optimis memperlihatkan bahwa aliran beban limbah pada sungai Jenneberang dan Sungai Tallo mengalami perubahan status yang tadinya tidak memungkinkan pada skenario basis berubah menjadi memungkinkan atau berlanjut Untuk status perikanan dan wisata pada muara kanal-kanal diMakassar
139 berdasarkan loading beban COD kesemuanya masih memungkinkan karena nilai kapasitas asimilasi masih diatas beban limbah yang masuk ke perairan. Berdasarkan nilai pada simulasi, total beban COD yang berasal dari semua aliran terlihat nilai negative mulai awal simulasi sampai akhir periode 10 tahun kedepan
Gambar 50 Status keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah COD skenario optimis
Gambar 51 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 3 skenario optimis
140 Berdasarkan hasil simulasi model optimis, status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter NO 3 juga mempelihatkan bahwa kegiatan perikanan dan wisata dapat dimungkinkan dilakukan di semua aliran beban limbah tanpa terkecuali. Demikian juga halnya status keberlanjutan dengan parameter PO 4 juga memperoleh hasil yang sama yakni dalam kondisi berlanjut dimana hasil simulasi memperoleh nilai negatif untuk semua aliran sungai dan kanal baik pada awal maupun akhir simulasi
Gambar 52 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah PO4 skenario optimis 6.6.3 Pencemaran dan nilai Kompensasi Skenario Optimis Model skenario optmis jumlah penduduk sebagai sumber pencemar mengalami perubahan bila dalam skenario pesimis penduduk berubah mengalami peningkatan pada nilai pertumbuhan, pada skenario optimis pertumbuhan penduduk mengalami penurunan angka pertumbuhan dari 1,63% menjadi 1%. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah penduduk mengalami pertumbuhan yang relatif kecil, pada awal simulasi jumlah penduduk adalah 1.274.732 jiwa meningkat tipis menjadi 1.415.027 jiwa pada akhir simulasi untuk 10 tahun kedepan.
Jumlah ini merupakan gabungan dari total sumber pencemar yang
terdiri dari penduduk kota Makassar sendiri ditambah dengan jumlah penduduk ‘tamu’ dari wisatawan yang menginap. Angka jumlah tamu diperoleh dari jumlah
141 kamar hotel yang ada di Makassar dengan rasio rata-rata tutupan kamar (okupansi). Semakin tinggi jumlah sumber pencemar maka semakin tinggi pula pencemaran berupa limbah yang dihasilkan begitu juga sebaliknya Nilai kompensasi pada skenario model optimis mengalami peningkatan relatif tinggi, hal ini terjadi karena peningkatan atribut kinerja IPAL dari basis 30% menjadi 90%. Hal ini dengan sendirinya akan memberikan beban biaya pada pengadaan dan operasionalisasi IPAL. Dalam skenario model pencemaran yang dibangun ini, IPAL dibiayai oleh penduduk sebagai sumber pencemar dengan prinsip setiap pencemar harus membayar atas setiap cemaran yang dihasilkan ke lingkungan agar tetap bersih (Polluters must pay principle). Prinsip ini coba diterapkan dalam model pengelolaan pencemaran pantai Kota Makassar secara sederhana, karena mestinya pembebanan insentif lingkungan ini tidak diterapkan secara merata pada semua penduduk kerena setiap indivisdu mempunyai kontribusi yang berbeda-beda dalam mencenari lingkungan selain itu ada unsur industry yang tidak diterapkan dalam model.
Gambar 53 Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario optimis Pada negara yang telah menerapkan prinsip pajak insentif lingkungan terdapat perlakuan yang berbeda unuk setiap orang yang mencemari lingkungan, misalnya orangnya yang menggunakan mobil dengan sumber bahan bakar yang lebih ramah lingkungan akan dibebani pakak yang lebih ringan dibandingkan
142 dengan yang menggunakan mobil dengan emisi pencemaran yang lebih tinggi. Demikian juga untuk penggunaan barang-barang lainnya seperti air condition (ac), kantong plastik dan sebagainya yang mengakibatkan cemaran yang lebih tinggi akan dibebani pajak yang lebih tinggi pula. Selain itu dalam ekonomi lingkungan terdapat istilah eksternalitas, dimana aktivitas seseorang akan memberikan dampak kepada orang lain atau lingkungan. Dalam konsep perhitungan juga dikenal perhitungan dengan memasukkan unsure kerusakan lingkungan sebagai bagian dari kalkulasi kelayakan usaha contohnya adalah ECBA (extended cost benefit analysis). Unsur insentif dalam pengelolaan limbah yang dibebankan ke masyarakat mestinyanya dapat diterapkan, selain memberikan efek jera juga menimbulkan rasa keadilan antara yang mencemari lingkungan dengan yang tidak.
Hasil
simulasi model optimis dengan periode simulasi 10 tahun memperlihat hasil bahwa jumlah insentif dengan kinerja IPAL 90% memberikan beban yang cukup tinggi yakni Rp 2.395/org/bln. pada awal simulasi menjadi Rp 2.028,-/org/bln diakhir simulasi model.
Jumlah insentif relatif lebih tinggi dari model basis
maupun model skenario pesimis. Sementara hasil simulasi imbangan akan nilai insentif didapatkan nilai Rp 2.022/bln/org menjadi Rp 25.046.074. Mengacu pada hasil simulasi tersebut, maka walaupun secara relatif lebih tinggi jumlah insentif yang dibayarkan masyarakat akan tetapi imbangan atas insentif tersebut diperoleh nilai imbangan yang sangat tinggi. 6.6.4 IPAL, Daya Dukung dan Keuntungan Ekonomi Skenario Optimis Dalam skenario model optimis, nilai kinerja IPAL dialokasikan sebesar 90%, juga dengan sendirinya kinerja IPAL juga meningkat dari 30% di model basis menjadi lebih tinggi Skenario ini merupakan kemungkinan maksimal dari kinerja IPAL.
Peningkatan kinerja IPAL pada skenario model optimis akan
memberikan dampak maksimal terhadap kinerja untuk dapat mengeliminir beban limbah yang masuk ke perairan pantai Kota Makassar. Dengan pengurangan beban limbah yang maksimal oleh IPAL maka diharapkan daya dukung lingkungan perairan juga tetap terpelihara sesuai kinerja IPAL. Hasil simulasi model optimis dengan kinerja IPAL 90% menunjukkan bahwa biaya IPAL setiap
143 bulan adalah Rp 3.052.500.000,-/bln. Biaya IPAL ini akan dibagi secara merata pada semua sumber pencemar dalam bentuk insentif.
Gambar 54 Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario optimis Dampak peningkatan kinerja IPAL adalah peningkatan daya dukung lingkungan akan aktivitas wisata dan perikanan.
Berdasarkan hasil simulasi
model dengan skenario optimis memperlihatkan bahwa nilai keuntungan perikanan dan wisata mengalami peningkatan yakni Rp 5.325.066.245/bln diawal simulasi, kemudian terakumulasi menjadi sekitar 639 milyar rupiah diakhir simulasi 10 tahun ke depan. Jadi bila dikaji nilai investasi IPAL 407 milyar dan keuntungan IPAL dari aktivitas perikanan dan wisata terdapat selisih keuntungan yang cukup tinggi.
Selain keuntungan dari aktivitas wisata dan perikanan,
keuntungan lainnya masih dapat diperoleh dari lingkungan perairan pesisir yang lebih bersih yang tidak dimasukkan dalam model. Selain itu pemerintah daerah juga memperoleh pemasukkan dari pajak dan ritribusi berupa PAD yang dipungut dari kedua aktivitas tersebut. Jadi pada prinsipnya pengadaan IPAL memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk investasi dan operasionalsanya. Selain itu memberikan efek keberlanjutan bagi perikanan dan wisata di peraran pantai Kota Makassar
144 6.7. Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pesisir Pantai Kota Makassar Mengacu pada analisis kebijakan pengelolaan pencemaran pesisir Kota Makassar dengan berbagai skenario model, maka diperlukan berbagai kebijakan untuk dapat diimplementasikan.
Tujuan dari kebijakan-kebijkan ini adalah
menciptakan kondisi pengelolaan pencemaran pesisir Kota Makassar yang optimum dan berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu kebijkankebijakan dan program yang menyeluruh pada semua aspek yang berkaitan dengan pengelolaan pencemaran dan pelestarian lingkungan untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan ekonomi.
Kebijakan yang menyeluruh ini
berdasarkan hasil simulasi pada berbagai model dimana intervensi pada berbagai atribut tertentu juga harus dilakukan pada atribut lainnya. Pendekatan kebijakan yang menyeluruh dalam pengelolaan pesisir juga dikemukakan oleh Orams (1999) dalam Laapo (2010) Kebijakan terpadu dimaksudkan sebagai suatu tindakan dapat dilakukan secara simultan bagi seluruh dimensi yang memiliki atribut penting (sensitif) guna keberlanjutan pengelolaan.
Hasil simulasi pada berbagai skenario model memperlihatkan bahwa pencemaran yang ada di perairan pesisir bukan saja disebabkan oleh aktivitas yang ada di sekitarnya tetapi juga diakibatkan oleh aliran limbah yang masuk ke perairan pesisir dari sungai-sungai dan kanal-kanal. Hal ini juga memperlihatkan bahwa pendekatan pengelolaan pesisir, terutama masalah pencemaran bukan saja dilakukan oleh satu departemen atau satu wilayah daerah administrasi tertentu tetapi harus berkaitan dalam satu sistem kebijakan yang lintas sektoral dan wilayah admistratif serta harus menyeluruh dan terpadu. Kebijakan-kebijakan yang dapat dilakukan berkaitan dengan pengelolaan pesisir kota Makassar. Kebijakan yang dibuat sebagai pegangan dalam pengelolaan pencemaran pesisir pantai Kota Makassar diharapkan dapat diimplementasikan dengan baik. Setiap kebijakan yang dibuat mengacu pada pengelolaan pesisir Makassar yang optimum dan dapat berkesinambungan serta memberikan manfaat yang besar bagi semua masyarakat. Kebijakan dan program pengelolaan pencemaran bagi keberlanjutan perikanan dan wisata dapat dilihat pada tabel 17
145 Tabel 17 Kebijkan dan program pengelolaan pencemaran pesisir Kota Makassar berdasarkan analisis model dinamik No .
1.
Dimensi /Aspek kebijakan Penduduk
Kebijakan /Program
Pelaksana - Progam Keluarga berencana (KB) - Program kali atau sungai bersih - Peningkatan Pola hidup bersih - Perbaikan tata ruang untuk pemukiman
2
3
Beban Limbah
Wisata dan hotel
Maksud dan Tujuan kebijakan
Institusi /Lembaga
- Pembuatan sistem pengolahan limbah Kota - penerapanan sanksi tegas bagi warga atau institusi yang merusak lingkungan - sistem pengolahan limbah hotel - Penggunaan produk ramah lingkungan - Perbaikan sarana dan prasarana wisata - Peningkatan kualitas dan keanekaragam an produk wisata
- Agar tingkat petumbuhan penduduk dapat dikendalikan dan beban pencemaran dapat dikurangi,terutama untuk lokasi-lokasi di kecamatan yang mempunyai tingkat kelahiran tinggi dengan populasi yang besar - Agar sungai atau kanal yang ada bersih sehingga mengurangi dampak yang lebih besar pada perairan pesisir dimana sungai dan kanal tersebut bermuara - Memperbaiki kebiasaan masyarakat untuk mencintai dan menghargai lingkungan seperti tidak membuang sampah disungai atau kanal - Penentuan lokasi-lokasi pemukiman yang sesuai dengan daya dukung serta penyediaan sarana dan prasaran kebersihan serta sanitasi lingkungan yang memadai - Pembuatan sistem pengelaan air limbah melalui pipa-pipa dari sumber pencemaran ke instalasi pengolahan air limbah sehingga sumber pencemaran dapat dilokalisir serta diolah sebelum dibuang ke lingkungan perairan - Peningkatan kesadaran lingkungan bagi warga atau institusi yang mencemari lingkungan sehingga menimbulkan efek jera, dengan prinsip polluter must pay, dimana setiap orang harus bertanggung jawab pada lingkungan yang dicemarinya - Agar setiap hotel mempunyai sistem pengolahan limbah yang memadai sehingga tingkat pencemaran yang dihasilkan oleh buangan hotel dapat dikurangi - Agar setiap limbah yang dihasilkan dapat dikurangi baik kualitas maupun kuantitasnya seperti pengurangan zat-zat yang berbahaya seperti pestisida, deterjen dan plastik - Peningkatan kanyamanan pengunjung atau wisatawan agar dapat meningkatkan jumlah kunjungan - Memberikan pilihan wisata yang lebih banyak bagi pengunjung sehingga wisatawan dapat memperoleh kenyamanan sesuai dengan pilihan-pilahan wisata yang diinginkan
- BKKBN, Pemda, LSM
- Pemda, LSM - Dinas kebersihan, LSM - masyarakat Pemda, dinas tata - Pemda, KLH - Pemda, disbudpar, DKP, KLH, Institusi hukum
- Disbudpar ,Pemda - Disbudpar ,Pemda -Disbudpar ,Pemda - Disbudpar ,Pemda, DKP
146 No .
4
Dimensi /Aspek kebijakan
Kebijakan /Program
Pelaksana
Instalasi - Pengadaan pengolahan IPAL air Limbah - Pembiayaan (IPAL) IPAL secara maksimal
- Operasionalisa si IPAL secara maksimal 5
Maksud dan Tujuan kebijakan
Institusi /Lembaga
Pendapatan - Peningkatan pendapatan perikanan melalui wisata dan wisata - Penciptaan iklim wisata yang kundusif - Alokasi konservasi
- Pengadaan IPAL sebaiknya ditempatkan pada semua aliran limbah yang mengalir dan bermuara di pantai Kota Makassar - Pembiayaan IPAL dapat diterapkan dengan melakukan pungutan insentif bagi penduduk atau pencemar berdasarkan tingkat pencemaran yang ditumbulkan agar selain ringan untuk pembiayaan juga menimbulkan rasa adil - Operasionalisasi IPAL sebaiknya dilakukan maksimal agar limbah yang ada dapat diatasi secara maksimal sehingga daya dukung lingkungan tetap terpelihara dengan baik - Menciptakan berbagai peluang bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan melalui wisata antara penjualan cindera mata khas daerah dan menjadi guide atau pemandu wisata - membuat program visit Makassar, mengikuti dan membuat even wisata yang manarik wisatawan baik domestik maupun manca Negara - Peningkatan alokasi penerimaan daerah yag berasal dari wisata untuk konservasi lingkungan
- Pemda -Pemda
-Pemda
- Pemda, Disbudpar, DKP - Pemda, Disbudpar, DKP - Pemda, Disbudpar, DKP
5. PENCEMARAN PANTAI KOTA MAKASSAR 5.1 Beban Pencemaran Perairan Pantai Kota Makassar Air merupakan sumberdaya alam yang mempunyai fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Dengan perannya yang sangat penting, air akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi/komponen lainnya. Pencemaran air atau polusi air mempunyai pemahaman yang berbeda beda antara satu dengan lainnya mengingat begitu banyak pustaka acuan yang merumuskan definisi istilah tersebut, baik dalam kamus atau buku teks ilmiah. Pengertian pencemaran air juga didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah, sebagai turunan dari pengertian pencemaran lingkungan hidup yang didefinisikan dalam undangundang. Dalam praktek operasionalnya, pencemaran lingkungan hidup tidak pernah ditunjukkan secara utuh, melainkan sebagai pencemaraan dari komponenkomponen lingkungan hidup, seperti pencemaran air, pencemaran air laut, pencemaran air tanah dan pencemaran udara. Dalam PP No. 20/1990
tentang Pengendalian Pencemaran Air,
pencemaran air didefinisikan sebagai : “pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiaan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya” (Pasal 1, angka 2). Definisi pencemaran air tersebut dapat diuraikan sesuai makna pokoknya menjadi 3 (tga) aspek, yaitu aspek kejadian, aspek penyebab atau pelaku dan aspek akibat (Setiawan, 2001). . Berdasarkan definisi pencemaran air, penyebab terjadinya pencemaran dapat berupa masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air sehingga menyebabkan kualitas air tercemar. Masukan tersebut sering disebut dengan istilah unsur pencemar, yang pada prakteknya masukan tersebut berupa buangan
yang
bersifat
rutin,
misalnya
buangan
limbah
cair.
Aspek
pelaku/penyebab dapat yang disebabkan oleh alam, atau oleh manusia. Pencemaran yang disebabkan oleh alam tidak dapat berimplikasi hukum, tetapi Pemerintah tetap harus menanggulangi pencemaran tersebut. Sedangkan aspek akibat dapat dilihat berdasarkan penurunan kualitas air sampai ke tingkat tertentu.
76
Pengertian tingkat tertentu dalam definisi tersebut adalah tingkat kualitas air yang menjadi batas antara tingkat tak-cemar (tingkat kualitas air belum sampai batas) dan tingkat cemar (kualitas air yang telah sampai ke batas atau melewati batas) Adanya berbagai aktivitas di pantai Kota Makassar saat ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan berupa pencemaran dan kerusakan terumbu karang dan perubahan morfologi pantai. Penelitian mengenai pencemaran pantai Kota di juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya yang dilakukan di Teluk Jakarta dimana ditemukan perbedaan tingkat pencemaran berbeda dan yang menetukan perbedaan tersebut adalah industri (Rochyatun dan Rozak, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Monoarfa (2002), penyebab menurunnya kualitas perairan Kota Makassar diduga berasal dari tiga sumber yang dominan yaitu adanya pemusatan penduduk di Kota, kegiatan industri di sekitar Kota Makassar dan kegiatan pertanian di hulu sungai Jeneberang serta sungai Tallo. Terpusatnya penduduk kota menghasilkan limbah yang cukup besar, baik limbah padat maupun limbah cair. limbah tersebut masuk ke Wilayah perairan pantai Makassar dan mengakibatkan pendangkalan pantai serta perubahan parameter kualitas air seperti kandungan DO, nilai BOD, nilai COD dan munculnya senyawa-senyawa beracun dan eutrofikasi. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, sumber pencemar yang terjadi di pantai Kota Makassar bersumber pada aktivitas penduduk, industri, wisata dan perhotelan. Sumber-sumber pencemaran tersebut masuk melalui aliran sungai Tallo dan Jenneberang serta beberapa kanal yang ada seperti Kanal Panampu, Benteng, H Bau dan Jongaya. Bahan-bahan pencemar yang berasal dari aktivitas rumah tangga berupa air buangan rumah tangga serta padatan berupa sampah yang langsung dibuang ke sungai dan laut. Hal ini juga terjadi pada limbah bahan pencemar yang berasal dari aktivitas industri, wisata dan perhotelan dapat berupa limbah organik maupun anorganik. Perhitungan beban pencemaran ditujukan untuk mengetahui sumber pencemaran, jenis bahan pencemar dan besarnya beban pencemaran yang masuk ke dalam perairan pantai Kota Makassar. Namun sumber pencemaran tidak dibedakan apakah berasal dari non-point source atau point source. Sumber
77
pencemaran yang dimaksud adalah berasal dari aliran beban pencemara Sungai Jenneberang dan Sungai Tallo serta kanal yang masuk ke perairan pantai Kota Makassar. Perhitungan beban pencemaran berupa limbah organik (BOD 5 dan COD) dan hara (nitrat dan fosfat) diperoleh dari perkalian bulanan debit sungai 3
(m /bulan) dengan konsentrasi parameter di sungai yang telah diukur. Perhitungan Beban Pencemaran Pantai yang berasal dari Sungai Jenneberang dan Sungai Tallo dapat dilihat pada Tabel 12 . Tabel 12. Beban pencemaran bulanan dari sungai dan kanal di pantai Kota Makassar Stasiun S Jenneberang S Tallo K Panampu K Benteng KHaji Bau K Jongaya Total
Konsentrasi Beban Limbah (ton/bln) BOD 5 COD NO 3 PO 4 18.127,93 95.971,39 159,95 1.199,64 7.037,15 23.122,07 20,11 281,49 253,72 15.629,22 30,75 38,26 9,29 379,52 1,61 1,68 13,30 482,58 2,22 1,38 155,03 10.593,62 13,18 42,83 25.596,42 146.178,40 227,82 1.565,28
Sumber : Hasil olahan Data Primer dan Sekunder 2010 Beban limbah yang bermuara di pantai kota Makassar berasal dari berbagai sumber. Sumbangan terbesar dari limbah yang ada berasal dari aliran masuk Sungai Jenneberang dan Sungai Tallo, kemudian berbagai kanal yang ada yakni kanal Panampu, Jongaya, H Bau dan Benteng. Perbedaan loading beban limbah yang terjadi umumnya kerena pebedaan debit aliran.
Gambar 7 komposisi beban limbah BOD 5 dan COD berdasarkan aliran sungai dan Kanal
78
Komposisi aliran beban limbah BOD pada total beban limbah terlihat bahwa, beban limbah pada aliran sungai Jennebarang memberikan kontribusi terbesar dengan
70,82%, kemudian Sungai Tallo, Kanal Jongaya, Kanal
Panampu, Kanal Haji Bau serta Kanal Benteng dengan nilai kontribusi berturutturut 72,45%, 0,99%, 0,61%, 0,05% serta 0,04%.
Adapun komposisi beban
limbah COD adalah Sungai Jenneberang terbanyak dengan 65,7%, kemudian berturut adalah Sungai Tallo 15,8%, Kanal Panampu 10,7%, Kanal Jongaya 7,2%, serta Kanal Haji Bau dan dan Kanal Benteng 0,3%.
Gambar 8 komposisi beban limbah NO 3 dan PO 4 berdasarkan aliran sungai dan kanal Total beban limbah NO 3 yang bermuara di kawasan pesisir Kota makassar adalah 227.82 ton/bln, dengan komposisi penyumbang terbesar dari aliran beban pada Sungai Jenneberang sebesar 70%, kemudian Kanal panampu dengan kontribusi 13%, sungai Tallo 9%, Kanal Jongaya 6%, serta Kanal Benteng dan Haji Bau masing-masing 1%. Ada sedikit perbedaan dalam kontribusi beban limbah untuk parameter NO 3 , walaupun dengan debit aliran yang sedikit lebih kecil Kanal Panampu menyumbang beban limbah yang lebih besar dibandingkan dengan Sungai Tallo. Hasil perhitungan beban limbah PO 4 di perairan pesisisr Kota Makassar adalah 1.565,28 ton/bln.
Penyumbang beban limbah terbesar
adalah sungai Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Jongaya, Kanal Panampu, kanal Benteng serta Kanal Haji Bau dengan masing-masing nilai beban adalah 76,6%, 18,0%, 2, 7%, 2,4% serta 1%. Nilai PO 4 pada Sungai Jenneberang ralatif sangat tinggi dibandingkan dengan prosentase sumbangan limbah untuk parameter lainnya.
79
5.2 Tingkat Pencemaran Pantai Kota Makassar Sumitomo dan Nemerow (1970) dalam Kepmen LH No 115 tahun 2003, telah mengusulkan suatu indeks yang berkaitan dengan senyawa pencemar yang bermakna untuk
suatu peruntukan. Indeks ini dinyatakan sebagai Indeks
Pencemaran (Pollution Index) yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan. Indeks ini memiliki konsep yang berlainan dengan Indeks Kualitas Air (Water Quality Index). Indeks Pencemaran (IP) ditentukan untuk suatu peruntukan, kemudian dapat dikembangkan untuk beberapa peruntukan bagi seluruh bagian badan air atau sebagian dari suatu sungai.
Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks
Pencemaran (IP) ini dapat memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air tindakan untuk memperbaiki
untuk suatu peruntukan serta melakukan
kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat
kehadiran senyawa pencemar.
IP mencakup berbagai kelompok parameter
kualitas yang independent dan bermakna. Hasil perhitungan indeks pencemaran di kawasan pantai Kota Makassar dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 13 Tingkat pencemaran di lingkungan pantai dan kanal Kota Makassar Nama Lokasi Stasiun Sungai Jenneberang Muara S Jenneberang Tanjung Bunga Pantai losari Pelabuhan Potere Muara S Tallo S Tallo K Panampu K Benteng K H Bau K Jongaya
IP Rata-rata 1,65 1,68 2,18 2,42 1,42 2,29 2,51 1,22 2,56 2,52 2,47 2,68
IP Maks 5,38 6,26 9,94 11,11 5,38 10,95 11,37 2,99 8,90 9,59 9,76 8,03
IP
Kategori Pencemaran Tercemar ringan Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar sedang Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar sedang Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar sedang Tercemar sedang Tercemar sedang
3,98 4,58 7,20 8,04 3,94 7,91 8,23 2,28 6,55 7,01 7,12 5,98
dijadikan
perhitungan
Sumber : Data Primer yang Diolah 2010 Beberapa
parameter
yang
dalam
indeks
pencemaran pantai Kota Makassar adalah pH, BOD, COD, DO, PO 4 dan NO 3 .
80
Nilai dari enam parameter tersebut ditrasformasikan dalam suatu nilai tunggal yakni
indeks
pencemaran.
Tujuan
perhitungan
Indeks
adalah
untuk
menyederhanakan informasi sehingga dalam menyajikan kualitas suatu perairan cukup disajikan dalam suatu nilai tunggal, sehingga dapat dibandingkan antara kualitas suatu perairan dan juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan pantai. Jadi status lingkungan hidup dengan melihat indeks pencemaran yang ada akan memberikan informasi secara keseluruhan status ketercemaran lingkungan perairan dengan lebih sederhana dan cepat. Namun bila mengukur secara akurat status lingkungan tersebut dapat dilakukan dengan melihat kondisi perairan dengan standar baku mutu yang diperuntukkan, baik untuk kegiatan budidaya, wisata ataupun peruntukkan lainnya. Dengan demikian akan berbeda penilaian status lingkungan bergantung pada peruntukkan pengukurannya Dari nilai indeks pada tabel 13, terlihat bahwa secara umum lingkungan pantai kota Makassar telah mengalami pencemaran. Indeks pencemaran dengan kategori sedang terdapat pada semua kanal yang ada serta Pantai Losari ,Tanjung Bunga dan Potere. Kanal-kanal yang ada di Kota Makassar umumnya memiliki tingkat indeks pencemaran cukup tinggi karena umumnya melintasi daerah perkotaan dengan populasi yang tinggi sehingga tentu akan membawa beban limbah yang besar. Hal ini tentunya tidak terlepas dari masih kurangnya tingkat kesadaran penduduk yang membuang sampah atau mengalirkan limbah langsung ke aliran kanal. Walaupun demikian untuk beberapa stasiun pengukuran terdapat nilai indeks pencemaran dengan taraf tercemar ringan yakni Sungai Jenneberang, Sungai Tallo dan perairan sekitar pelabuhan. 5.3 Kapasitas Asimilasi Perairan Pantai Kota Makassar Nilai kapasitas asimilasi di perairan pantai Makassar dalam penilitian ini dihitung secara tidak langsung sesuai yang disarankan oleh Dahuri (1999) bahwa Pendugaan kapasitas asimilasi perairan pantai dalam menampung limbah menggunakan metode hubungan antara konsentrasi limbah pada muara dan beban limbah. Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter limbah di perairan pantai
81
dengan limbah parameter tersebut di muara sungai dan selanjutnya dianalisis dengan cara memotongkan dengan garis baku mutu air laut Nilai hasil pengukuran parameter kualitas perairan pantai Kota Makassar kemudian dibandingkan dengan nilai baku mutu air laut menurut KepMen LH No. 51. Tahun 2003. Apabila kapasitas asimilasi telah terlampaui, berarti beban yang masuk ke perairan pantai tergolong tinggi. Hal ini ditandai oleh konsentrasi parameter pada saat pengukuran yang telah melebihi nilai ambang baku mutu air laut. Sebaliknya apabila kapasitas asimilasi belum terlampaui, berarti beban limbah masih rendah dan bahan-bahan yang masuk ke perairan pantai telah mengalami proses-proses difusi. Nilai pengukuran kapasitas asimilasi perairan sekitar pantai Kota Makassar dapat dilihat pada gambar 9 dan 10.
Gambar 9 Kapasitas asimilasi BO 5 dan COD di pantai Kota Makassar Berdasarkan hasil pengukuran parameter-paramater limbah cair yang masuk ke parairan pantai Kota Makassar diperolah hasil bahwa secara umum bervariasi antara berbagai parameter.
Parameter
limbah belum melampaui
kapasitas asimilasi karena mempunyai nilai konsentrasi yang belum melewati batas baku mutu air yang diperkenankan adalah BOD 5. Hasil perhitungan regresi antara loading beban limbah pada aliran sungai dan kanal dengan konsntrasi BOD 5 di muara ditemukan bahwa nilai daya tampung beban asimilasi adalah 83.269,32 ton/bln. Hasil perhitungan regresi antara loading beban limbah pada
82
aliran sungai dan kanal dengan konsentrasi COD di daerah muara didapatkan kapasitas
asimilasi
beban
limbah
adalah
142.718
ton/bulan.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa loading beban COD di perairan pantai kota Makassar telah melewati batas kemampuan Hasil pengukuran kapasitas asimilasi beban limbah NO 3 di perairan pesisir Kota Makassar dengan metode regresi, adalah 234,4 ton/bln. Berdasarkan hasil tersebut maka loading beban NO 3 untuk peraiaran pantai Kota Makassar telah melewati kemampuan kapasitas asimilasi perairan. Kondisi perairan pantai kota Makassar juga telah melewati batas baku mutu dan kemampuan asimilasinya untuk beban pencemaran parameter PO 4 , hal ini berdasarkan perhitungan regresi kaspasitas asimilasi PO 4 yang didapatkan 503,6 ton/bln
Gambar 10 Kapasitas asimilasi NO 3 dan PO 4 di pantai Kota Makassar Berdasarkan kondisi pantai kota Makassar, terlihat bahwa letak Pantai berhubungan langsung dengan perairan laut terbuka yakni Selat Makassar. Kondisi ini pada dasarnya dapat mengurangi efek pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah yang masuk ke parairan pantai, yakni dengan terjadinya pergerakan massa air kearah laut lepas, akan tetapi posisi Tanjung Bunga, Pulau Lae-lae dan Barrier yang berada tepat di depan Pelabuhan Soekarno-Hatta memposisikan pantai ini dalam keadaan semi tertutup sehingga sirkulasi air ke laut lepas tidak berlangsung cepat. Jadi secara tdk langsung juga dapat memperlambat flushing
83
time dari perairan pantai. Kondisi yang sama di jumpai juga pada daerah pantai losari dimana terdapat laguna akibat reklamasi pantai Losari. Dampak pencemaran dapat berkurang karena adanya proses alami yakni proses asimilasi selain itu tingkat pencemaran dapat dikurangi dengan intervensi manusia seperti pembuatan instalasi pengolahan limbah.
Hal ini tengah
diupayakan oleh pemerintah Kota Makassar dengan membangun sistem instalasi pengolahan limbah terpadu yang mampu menampung aliran beban limbah dari penduduk kota Makassar.
Sistem IPAL rencananya akan dibangun saat ini
dengan insvestasi sebesar 407 milyar. IPAL ini diharapkan dapat mengurangi dampak pencemaran, sebab semua beban limbah akan ditampung dan diproses untuk selenjutnya akan dibuang diperairan pantai apabila sudah memenuhi estándar baku mutu dan tidak berbahaya bagi lingkungan (Pemkot Makassar, 2011). Efektifitas kerja dari IPAL Menurut Marsono (1998) unit pengolah limbah mampu menurunkan bahan pencemar organik antara 30 – 85%. Septik tank dengan waktu detensi 2 hari akan mampu menurunkan pencemar organik (BOD) sekitar 43 – 47%. IPAL dengan sistem activated sludge convensional akan mampu menurunkan pencemar organik (BOD) sebesar 80 – 85%. Kolam dapat berfungsi sebagai primary sedimentation tank akan mampu menurunkan pencemar organik (BOD) sebesar 30 – 40%. 5.4 Hubungan Pencemaran Perairan dan Perikanan Berdasarkan analisis kesesuai lahan dan daya dukung, di perairan pantai kota Makassar terdapat beberapa area yang dipat dijadikan lokasi perikanan. Untuk itu perlu diketahui bagaimana pengaruh dar berbagai parameter kualitas air terhadap aktivitas perikanan, terutama budidaya KJA dan rumput laut. Gambaran tentang kondisi beberapa parameter kualitas air di perairan pantai Kota Makassar adalah sebagai berikut: 5.4.1 Suhu Hasil pengukuran suhu pada tiap stasiun pengamatan menunjukkan bahwa suhu di perairan Pantai Kota Makassar berkisar antara 28,6-31,30C. Suhu terendah terdapat pada perairan sekitar Pelabuhan Soekarno-Hata dan tertinggi terdapat pada beberapa stasiun diantaranya Tanjung Bungan dan Muara Sungai Tallo,
84
sedangkan suhu perairan rata-rata pada stasiun pengukuran adalah 30,44 0C. Fluktuasi dan variasi suhu perairan dipengaruhi berbagai faktor terutama oleh intensitas sinar matahari
Gambar 11 Sebaran suhu pada berbagai stasiun pengamatan Kisaran nilai paramater suhu pada stasiun-stasiun pengukuran masih berada dalam toleransi untuk mendukung kehidupan biota (ikan/rumput laut). Berdasarkan acuan baku mutu (Kepmen LH No 51 Tahun 2004 lampiran III) untuk kehidupan biota/ kegiatan budidaya laut kisaran suhu air masih diperbolehkan < 20C dari suhu alami. Suhu Nybakken (1988) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Kaidah umum menyebutkan bahwa reaksi kimia dan biologi air (proses fisiologis) akan meningkat 2 kali lipat pada kenaikan temperatur 100 C, selain itu suhu juga berpengaruh terhadap penyebaran dan komposisi organisme. Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18-30 oC. Selain itu di dukung oleh pernyataan Nontji (1984) Tiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan. Oleh karena itu suhu merupakan salah satu faktor fisika perairan yang sangat penting bagi kehidupan organisme atau biota perairan. Secara umum suhu berpengaruh langsung terhadap biota perairan berupa reaksi enzimatik pada organisme dan tidak berpengaruh langsung terhadap struktur dan disperse hewan air. Berdasarkan hal tersebut maka suhu perairan di Pantai Kota Makassar dapat
85
mendukung dan memungkinkan untuk kegiatan budidaya termasuk KJA dan rumput laut 5.4.2 pH pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan makhlukmakhluk lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH, kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan mereka. Nilai pH suatu perairan memiliki ciri yang khusus, adanya keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan yang diukur adalah konsentrasi ion hidrogen. Dengan adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan pH, sementara adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat dapat menaikkan kebasaan air. Hasil pengukuran nilai derajat keasaman (pH) perairan Pantai dan sungai di sekitar Kota Makassar berkisar antara 6,93 – 8,4 dengan nilai rata-rata 7,58. Hal ini menunjukkan bahwa perairan pantai dan sungai cenderung bersifat basa. Kondisi ini diperkirakan karena massa air yang dibawa oleh sungai Jenneberang dan sungai Tallo banyak melewati pegunungan dan bukit kapur sebelum bermuara ke pantai, terutama perairan sungai Tallo yang mana nilai pH tertinggi ditemukan yakni 8,4.
Gambar 12 Sebaran pH pada berbagai stasiun pengamatan Kisaran nilai paramater pH pada stasiun-stasiun pengukuran masih berada dalam toleransi untuk mendukung kehidupan biota, kecuali pada stasiun
86
kanal Panampu yang mepunyai nilai pH relatif rendah yakni 6,92 . Berdasarkan acuan baku mutu (Kepmen LH No 51 Tahun 2004 lampiran III) untuk kehidupan biota bahwa kisaran yang diperbolehkan antara 7-8,5 dan diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 0,2 satuan pH. Kisaran nilai yang aman bagi biota perairan juga dikemukakan oleh Novotny dan Olem dalam Effendi 2003 bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH dalam kisara 7-8,5 Ada 2 fungsi dari pH yaitu sebagai faktor pembatas, setiap organism mempunyai toleransi yang berbeda terhadap pH maksimal, minimal serta optimal dan sebagai indeks keadaan lingkungan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, adanya berbagi anion dan kation serta jenis organisme. Bengen et.al (1994) menyatakan bahwa pH pada perairan laut selalu dalam keadaan keseimbangan, karena ekosistem laut mempunyai kapasitas penyangga yang mampu mempertahankan kisaran nilai pH. Dengan demikian dapat dikatakan pH perairan di lokasi penelitian masih dapat mendukung aktivitas budidaya Table 14 Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan Nilai pH
Pengaruh Umum
6,0 – 6,5 Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun Kelimpahan total, biomassa dan produktivitas tidak mengalami perubahan 5,5 – 6,0 Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan benthos semakin tampak Kelimpahan total, biomassa dan produktivitas belum mengalami perubahan yang berarti Alga hijau berfilamen semakin banyak 5,0 – 5,5 Penurunan nilai keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan benthos semakin tampak Terjadi penurunan Kelimpahan total, biomassa zooplankton dan benthos Alga hijau berfilamen semakin banyak Proses nitrifikasi terhambat
87
4,5 – 5,0 Penurunan nilai keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan benthos semakin besar Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan benthos Alga berfilamen semakin banyak Proses nitrifikasi terhambat Sumber : Modifikasi Baker et al., 1990 in effendi 2003 5.4.3 Salinitas Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan (Dahuri, et al, 1996). Salinitas pada umumnya dinyatakan sebagai berat jenis (specific gravity), yaitu rasio antara berat larutan terhadap berat air murni dalam volume yang sama Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1987). Berdasarkan pengukuran salinitas didapatkan nilai yang bervariasi antara stasiun ,salinitas yang terukur berada pada kisaran yang cukup lebar antara 2 – 35 ppm dengan nilai rata-rata 22,75 ppm (gambar 16). Kondisi ini bergantung pada lokasi pengukuran, nilai terendah 2 ppm ditemukan pada stasiun kanal benteng dan H Bau, sementara tertinggi di sekitar pelabuhan Makassar. Pengukuran nilai salinitas pada perairan pantai selain sungai dan muara ditemukan nilai fariasi yang kecil antara 30 – 35 ppm. Kondisi ini terkait dengan sifat dari suatu lingkungan pesisir yang dinamis karena dipengaruhi oleh adanya pasang surut. Nybakken (1992) menyatakan bahwa daerah pesisir (litoral) merupakan perairan yang dinamis, yang menyebabkan variasi salinitas tidak begitu tinggi Variasi salinitas selain dipengaruhi oleh aliran sungai yang masuk pada perairan pantai juga dipearuhi oleh penguapan dan curah hujan. Organisme yang hidup diperairan pesisir cenderung mempunyai toleransi terhadap perubahan salinitas sampai dengan 15 ‰. Salinitas mempunyai peran penting dan memiliki ikatan erat dengan kehidupan organisme perairan termasuk ikan, dimana secara fisiologis salinitas berkaitan erat dengan penyesuaian tekanan osmotik ikan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kadar salinitas pada lokasi penelitian dapat mendukung kegiatan budidaya (mengacu pada standur baku mutu Kepmen LH No 51 Tahun 2004)
88
Gambar 13 Sebaran kadar salinitas pada berbagai stasiun pengamatan 5.4.4 Oksigen Terlarut (DO) Dalam badan air oksigen ditemukan dalam bentuk oksigen terlarut dan berbentuk gelembung yang berukuran mikroskopik diantara molekul-molekul air. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya serta difusi dari udara (APHA 1989). Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan berlangsung relatif lambat walaupun terjadi pergolakan massa air, sehingga sumber oksigen terlarut yang berasal dari difusi oksigen hanya sekitar 35 % (Effendi 2003). Peranan Oksigen terlarut ini sangat penting bagi kehidupan organisme untuk pernapasan dan mengoksidasi bahan organik didalam tambak. Pencemaran limbah organik dapat menyebabkan menurunnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan (Connel dan Miller 1995 in Efendi 2003). Peranan oksigen terlarut juga diungkapkan oleh Salmin (2000) yang meyatakan bahwa (Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen =DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Variasi nilai parameter DO juga ditentukan oleh suhu dan aktivitas fotosintesa dalam perairan (Imam and El Baradei, 2009). Kadar oksigen juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, bergantung pada pencampuran (mixing) dan
89
pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi, 2003). Hal ini mengindikasikan bahwa kadar konsentrasi DO dalam perairan, termasuk di sungai-sungai dan kanal-kanal yang ada di kota Makassar sangat dipengaruhi oleh banyak faktor penentu Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi DO pada perairan di sekitar pantai Kota Makassar, ditemukan nila konsentrasi dengan rentang yang cukup lebar yakni 2,4 – 7,8 mg/l, dengan nilai rata-rata 5,27 mg/l. Nilai DO terendah didapatkan di perairan kanal Jongaya dan tertinggi di sekitar sekitar perairan pelabuhan. Nilai oksigen yang rendah sangat membahayakan karena Oksigen terlarut merupakan salah satu komponen penting dalam kehidupan biota, karena diperlukan untuk pernapasan dan proses metabolism.
Dalam kondisi oksigen
yang rendah dapat mengakibatkan kematian bagi organism dan disisi lain bila berada dalam kondidi optimum dapat meningkatkan rasio pertumbuhan dari ikan.
Gambar 14 Sebaran kadar DO pada berbagai stasiun pengamatan Secara umum level oksigen terlarut yang direkomendasikan dalam perairan minimal 5 mg/l, karena dibawah level tersebut dapat mengakibatkan stress bahkan kematian. Huguenin and colt (1989) merekomendasikan untuk ikan laut kadar oksigen terlarut >6 mg/l. Linsley dan Franzini (1995) menyatakan bahwa keseimbangan oksigen terlarut juga akan berpengaruh pada biota dalam air. Organisme tingkat tinggi pada badan air selalu membutuhkan terpeliharanya kondisi aerob. Ikan dan biota air lainnya hanya dapat hidup pada kondisi kadar
90
oksigen terlarut (DO = dissolved oxygen) dalam air di atas 3-4 mg/lt. Variasi level oksigen dalam perairan dikelompokkan Menurut Lee et al. (1978) bahwa kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan dan terbagi dalam empat kategori, yaitu: 1)
kadar oskigen
terlarut > 6 mg/l kategori tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan; 2) kadar oskigen terlarut antara 4.5 – 6.4 termasuk kategori tercemar ringan; 3) kadar oksigen terlarut 2.0 – 4.4 mg/l termasuk kategori tercemar sedang; dan 4) kadar oksigen terlarut < 2.0 termasuk kategori tercemar berat. Jadi dengan melihat nilai parameter DO yang terukur, dapat dikatakan bahwa perairan sekitar Pantai Makassar dapat mendukung kegiatan budidaya perikanan, kecuali pada stasiun Sungai Tallo dan semua kanal, terkecuali untuk beberapa jenis ikan tertentu yang mempunyai kemampuan toleransi DO yang rendah 5.4.5 BOD (Biological Oxygen Demand) Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organism sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Pescod,1973). Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama dengan kondisi yang ada di alam. Parameter ini merupakan salah satu parameter kunci dalam pemantauan pencemaran laut, khususnya pencemaran bahan organik mudah urai (Samawi, 2007), Kebutuhan
oksigen
biokimia
(BOD)
adalah
parameter
yang
menunjukkkan besarnya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam proses dekomposisi secara kimia Boyd (1982) in Adnan (2008). Selain itu nilai BOD dapat digunakan sebagai indikator adanya
91
pencemaran dalam suatu perairan. Tingkat pencemaran suatu perairan dapat dilihat berdasarkan nilai BOD 5 dan terbagi dalam 4 (empat) kategori (Lee et al.1978) : (1). Nilai BOD 5 < 2.9 mg/l termasuk kategori tidak tercemar; (2) nilai BOD 5 antara 3,0 – 5.0 mg/l termasuk kategori tercemar ringan; (3) nilai BOD 5 antara 5.1 – 14.9 mg/l termasuk kategori tercemar sedang; dan (5) nilai BOD 5 > 15 mg/l termasuk kategori tercemar berat
Gambar 15 Sebaran kadar BOD 5 pada berbagai stasiun pengamatan Nilai BOD perairan dipengaruhi oleh suhu, densitas plankton, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik (Effendi, 2003). Berdasarkan pengukuran nilai BOD didapatkan nilai yang bervariasi antara stasiun dan berada pada kisaran antara 2,4 – 9,0 mg/l dengan rata-rata 5,55 mg/l. Menurut Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi 2003, Pada perairan alami yang berperan sebagai sumber bahan organik adalah pembusukan tanaman dan memiliki nilai BOD antara 0,5 – 7,0 mg/liter. Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/liter dianggap telah mengalami pencemaran. dipersyaratkan untuk kegiatan budidaya,
Mengacu pada nilai baku mutu yang BOD pada perairan pantai Kota
Makassar masih belum mengalami pencemaran karena masih berada di bawah 20 mg/l.
Jadi dapat simpulkan bahwa kondisi perairan Kota Makassar dapat
mendukung kegiatan budidaya KJA dan rumput laut. 5.4.6 COD (Chemical Oxygen Demand) COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi
92
secara biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organik tersebut akan dioksidasi oleh kalium bichromat yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO 2 dan gas H 2 O serta sejumlah ion chrom.
Gambar 16 Sebaran kadar COD pada berbagai stasiun pengamatan Jika pada perairan terdapat bahan organik yang resisten terhadap degradasi biologis, misalnya tannin, fenol, polisacharida dan sebagainya, maka lebih cocok dilakukan pengukuran COD daripada BOD. Kenyataannya hampir semua zat organik dapat dioksidasi oleh oksidator kuat seperti kalium permanganat dalam suasana asam,diperkirakan 95% - 100% bahan organik dapat dioksidasi. Seperti pada BOD, perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Parameter COD menunjukkan banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi seluruh bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang sulit terurai. Bahan organik mudah urai umumnya berasal dari limbah domestik atau pemukiman, sedangkan yang sukar terurai umumnya berasal dari dari limbah industri, pertambangan dan pertanian Berdasarkan hasil pengukuran pada stasiun pengamatan,didapatkan nilai COD antara 22 – 164 mg/l, dengan rata-rata 60,48 mg/l. Dalam baku mutu air laut menurut Kep. MenLH No.2 Th 1988 nilai COD < 30 mg/l. Selain itu menurut acuan dari (UNESCO/WHO/UNEP, 1992) nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/liter, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih 200 mg/liter. Jadi sebaran nilai COD di sekitar perairan pantai Kota Makassar menggambarkan perairan tersebut telah tercemar,
93
selain itu tidak dimungkinkan untuk melakukan aktivitas budidaya kerena nilainya telah melewati baku mutu yang dipersyaratkan 5.4.7 Nitrat (NO 3 ) Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan juga sebagai sumber pertumbuhan tanaman air dan algae. Nitrat (NO 3 -N) mudah larut dalam air dan bersifat stabil (Effendi 2003). Senyawa amoniak yang terdapat pada air laut merupakan hasil reduksi senyawa nitrat oleh mikroorganisme. Meningkatnya konsentrasi amoniak dalam air laut erat kaitannya dengan masukknya bahan organik yang mudah urai (Samawi, 2007). Nitrogen sebagai nitrat dibutuhkan phytoplankton untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya (Nybakken, 1988). Nitrogen dalam bentuk anorganik yang berguna bagi tumbuhtumbuhan adalah nitrat. Terbentuknya
senyawa-senyawa
nitrat
disebabkan
oleh
proses
perombakan material yang mengandung nitrogen dalam batuan mikroorganisme (Raymont,1993) Senyawa ammonia (NH 3 -N) merupakan senyawa beracun bagi kehidupan biota laut. Bersama dengan nitrit dapat menjadi indikator adanya pencemaran terutama yang disebabkan oleh bahan organik. Salah satu yang menyebabkan adanya kedua senyawa ini di dalam air laut adalah terhambatnya proses dekomposisi bahan organik. Keberadannya sering berfluktuasi tergantung kadar oksigen terlarut selain itu juga pH dan suhu mempengaruhi. Nitrat terbentuk dari proses nitrifikasi, proses oksidasi dari NO 2 ke NO 3 di dilakukan oleh bakteri. Dalam sistem tropic, proses denitrifikasi terjadi secara intensif pada area:(a) tempat terjadinya akumulasi detritus; (b) di dalam badan air tempat terjadinya loading nutrient dari proses pencemaran; (c) dalam badan air yang dengan residence time yang lama; dan (d) dalam ekosistem lahan basah yang dikeringkan secara periodic, yang mana masukan oksigen secara peridik menstimulasi mineralisasi-nitrifikasi-denitrifikasi bersama sedimen yang kaya bahan organik (Furnas, 1992) Pengukuran kadar nitrat pada lokasi penilitian didapatkan nilai yang bervariasi antara 0,002 – 0,950 mg/l, dengan rata-rata 0,390 mg/l. Bila mengacu pada standar baku mutu kualitas air menurut Kepmen LH No 51 Tahun 2004
94
bahwa nilai nitrat yang diperbolehkan 0,008 mg/l, maka perairan pantai Kota Makassar telah mengalami pencemaran. Nilai nitrat di lokasi yang lebih tinggi dari baku mutu yang ada dapat disebabkan oleh oksidasi ammonia yang tidak sempurna. Kandungan nitrat (NO 3 -N) yang terdapat dalam suatu perairan, dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat kesuburannya, yaitu perairan oligotrofik mempunyai kandungan nitrat (NO 3 -N) antara 0 – 1 mg/l, perairan mesotrofik mempunyai kandungan nitrat (NO 3 -N) antara 1 – 5 mg/l, dan perairan eutrofik mempunyai kandungan nitrat (NO 3 -N) antara 5 – 50 mg/l (Volenweider dan Wetzel 1975 diacu dalam Effendi 2003).
Gambar 17 Sebaran kadar NO 3 pada berbagai stasiun pengamatan Menurut Kristianto (2002), tumbuhan dan hewan yang telah mati akan diuraikan proteinnya oleh organisme pembusuk menjadi amoniak dan senyawa amonium. Nitrogen dalam kotoran dan air seni akan berakhir menjadi amonia juga. Jika amonia diubah menjadi nitrat maka akan terdapat nitrit dalam air. Hal ini terjadi jika air tidak mengalir, khususnya di bagian dasar. Nitrit amat beracun di dalam air, tetapi tidak bertahan lama.Kandungan nitrogen di dalam air sebaiknya di bawah 0,3 ppm. Kandungan nitrogen diatas jumlah tersebut mengakibatkan ganggang tumbuh dengan subur. Jika kandungan nitrat di dalam air mencapai 45 ppm maka berbahaya untuk diminum Nitrat merupakan salah satu senyawa hasil senyawa hasil sampingan dari proses perombakan bahan organik yang bersifat racun bagi udang. Tingkat keracunannya semakin meningkat jika nilai pH nya ≥ 9 (Asbar, 2007)
. Apabila
95
suatu perairan menunjukkan kadar nitrat lebih dari 5 mg/l ( > 5 mg/l), maka perairan tersebut mengalami pencemaran limbah antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan sisa kotoran hewan. Kadar nitrat (NO 3 -N) yang lebih dari 2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya dapat menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Pada perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, maka kadar nitrat dapat mencapai 1.000 mg/l (Davis dan Cornwell, 1991 diacu dalam Effendi 2003). 5.4.8 Fosfat (PO4) Keberadaan fosfor di laut dalam bentuk yang beragam dan terutama sebagai ortofosfat anorganik (PO 4 ) yang secara sederhana disebut fosfat. Fosfor sebagai fosfat
dibutuhkan oleh phytoplankton untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakannya (Nybakken, 1988). Fosfor yang telah diserap oleh sel merupakan bagian dari komponen struktural sel dan berperan pula dalam proses pengalihan energi dalam sel. Senyawa fosfat adalah suatu zat hara yang dapat menunjukkan kesuburan perairan dan dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan hidup biota perairan. Fosfat dalam air atau air limbah ditemukan dalam bentuk senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organik.
Fosfor tidak
ditemukan dalam keadaan bebas di alam dan hamper selalu terjadi dalam kesatuan yang telah dioksidasi sepenehnya sebagai fosfat (Rilley and Skirow, 1975)
Gambar 18 Sebaran kadar PO4 pada berbagai stasiun pengamatan
96
Pengukuran kadar fosfat pada lokasi penelitian didapatkan nilai yang bervariasi antara 0,21 – 0,663 mg/l, dengan rata-rata 0,33 mg/l. Berdasarkan kadar fosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : perairan oligrotofik yang mempunyai kadar fosfat 0.003 – 0.01 mg/l, perairan mesotrofik mempunyai kadar fosfat 0.011 – 0.031 mg/l dan perairan eutrofik mempunyai kadar fosfat 0.031 – 0.1 mg/l (Wetzel 1975 in Effendi 2003). Nilai fosfat yang diperkenankan dalam standar baku mutu hanya 0,015 mg/l. Jadi perairan disekitar pantai kota Makassar telah melewati batas baku mutu. Dari kadar fosfat yang ditemukan diperairan yang kondisi rata-rata berada diatas baku mutu perairan, maka potensi untuk terjadinya blooming plankton dapat terjadi. Hal ini dimungkinkan karena kadar fosfat sangat dibutuhkan oleh phytoplankton untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Dalam air limbah, senyawa fosfat dapat berasal dari limbah penduduk, industri dan pertanian yang masuk ke laut melalui sungai. Fosfat (PO 4 ) merupakan faktor pembatas produktivitas plankton dan pertumbuhan tanaman air. Dampak dari fosfat pada perairan salah satunya adalah dapat mengakibatkan blooming alga (Muller and Helsel, 1999). Secara umum pengaruh posfat tidak tidak mengakibatkan racun bagi hewan maupun manusia, tapi dapat mengganggu pencernaan bila berada dalam konsentrasi yang sangat tinggi 5.5 Pencemaran dan Daya Dukung Lingkungan Pantai Kota Makassar Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993). hubungan antara pencemaran dan fluktuasi daya dukung.
Jadi terdapat
Menurut PPLKPL-
KLH/FPIK IPB (2002) konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan
memiliki
pertumbuhan organisme.
kapasitas
maksimum
untuk mendukung suatu
Mengacu pada konsep ini, maka daya dukung
merupakan tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan. Dengan demikian jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa
97
menyebabkan kenyamanan
kerusakan dan apresiasi
atau penurunan kualitas fisik dan pengguna
suatu
sumberdaya
atau
tingkat ekosistem
terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya pengguna lain dalam waktu bersamaan. Konsep daya dukung ini dikembangkan terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan sehingga kelestarian, keberadaan, dan fungsinya dapat tetap terwujud dan pada saat yang bersamaan, masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut akan tetap berada dalam kondisi sejahtera dan atau tidak dirugikan (Intergenerational Welfare). Konsep dan penghitungan terhadap daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan juga awalnyadigunakan untuk mempelajari pertumbuhan populasi dalam suatu unit ekologis (ekosistem). Sebagai contoh dari beberapa penilaian yang umum dilakukan terhadap penghitungan daya dukung ini adalah : (1) penghitungan terhadap ecological capacity atau daya dukung ekologis yaitu jumlah individu yang yang dapat didukung oleh sutau habitat dan; (2) penghitungan terhadap grazing capacity yaitu jumlah individu (biota) dalam keadaan sehat dan kuat yang dapat didukung oleh ketersediaan pakannya dalam suatu areal tertentu Kota Makassar mengalami perkembangan pembangunan yang cukup pesat. Salah satu kawasan yang mengalami pertumbuhan pembangunan yang pesat adalah kawasan pnatai Kota Makassar. Pembangunan dan pemanfaatan di kawasan Pantai Kota Makassar tentunya harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang ada sehingga manfaat yg diperoleh bukan hanya merupakan keuntungan sesaat tetapi kelestariannya akan tetap terjaga. Menurut Nurfarida (2009) berdasarkan pertimbangan manfaat dan biaya lingkungan, kesesuaian lahan, aspek keindahan, kenyamanan, dan daya dukung, kawasan menurut pantai Kota Makassar memiliki potensi dikembangkan sebagai waterfront city dengan prioritas utama pengembangan sebagai kawasan rekreasi.
Rekomendasi
pengembangan dan pengelolaan dilakukan dengan strategi the responsible city atau kota berwawasan bijak
98
5.5.1 Daya Dukung Budidaya KJA Keberhasilan dari usaha budidaya keramba jarang apung sangat ditentuk oleh lingkungan ekologis tempat budidaya itu dilakukan. Ukuran lingkungan ekologis yang tepat bagi organism yang dibudidayakan bergantung dari daya dukung lingkungan tersebut.
Selanjutnya Turner (1988) menyebutkan bahwa
daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang ditunjang oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu (destorasi). Sementara, Kechington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai kuantitas maksimum ikan yang dapat didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu yang panjang Berdasarkan pada hasil analisis pemetaan luasan area yang sesuai untuk peuntukkan budidaya KJA adalah 490, 39 ha sementara yang sangat sesuai 120,5 ha. Besarnya kapasitas lahan yang digunakan untuk kegiatan budidaya dengan KJA
adalah luas unit budidaya yang digunakan secara umum di perairan
Indonesia (Sunyoto, 2000), yaitu dengan luas (12 x 12) m2 = 144 m2 = 0,00014 km2., sementara itu luasan unit KJA dengan ukuran karamba (3x3x3) m3. Mengacu pada formulasi dari Yulianda (2007) maka daya dukung lahan untuk KJA 8,796 ha, sementara jumlah unit KJA yang dapat di dukung adalah 3.258 unit Secara umum kegiatan budidaya KJA di kawasan pesisir pantai Kota Makassar belum berkembang secara baik, hal terindikasi dari jumlah kegiatan budidaya dalam karamba jarang apung yang relatif masih sedikit jumlahnya. Selain itu kegiatan budidaya KJA yang dilakukan bukan merupakan murni kegiatan budidaya, tetapi hanya berupa kegiatan penangkaran sementara atau pembesaran. Hasil tangkapan nelayan berupa ikan-ikan karang dalam ukuran yang kecil dimasukkan ke dalam keramba untuk dibesarkan sampai pada ukuran ekonomis yang dapat dijual dengan harga yang menguntungkan.
Selain
menungggu sampai ukuran yang ideal untuk dijual, pembesaran pada KJA juga berguna untuk mengumpulkan sampai pada jumlah yang diinginkan. Lokasi perairan tempat kegiatan budidaya dalam keramba jaring apung terdapat di beberapa lokasi seperti pulau Barrang Lompo, Barrang Caddi, dan Bone Tambung. Pada lokasi tersebut KJA yang dibuat oleh masyaralat nelayan
99
terletak pada daerah yang mempunyai kedalaman yang cukup yakni >5 m, hal ini di dukung oleh kondisi topografi pantai pada lokasi-lokasi tersebut banyak titik lokasi yang mempunyai kedalaman yang sesuai. Selain daripada itu lokasi tempat kegiatan budidaya pembesaran pada KJA mempunyai jarak yang relatif dekat dengan daratan utama Kota Makassar sehingga mudah untuk dipasarkan. Karakteristik lain yang ditemui adalah bahwa pelaku dari usaha KJA adalah para ponggawa atau juragan yang mendiami pulau-pulau tersebut. Jenis-jenis ikan yang dibesarkan dalam keramba jarring apung umumnya adalah dari jenis ikan karang seperti kerapu dan juga dari jenis ikan hias. Berbagai jenis Ikan Kerapu sering ditangkap oleh nelayan sebelum dibudidayakan atau dibesarkan dalam keramba.
Nelayan setempat biasanya
menggunakan berbagai jenis alat tangkap untuk menangkap kerapu diantaranya pancing (kedo kedo), bubu, racun bahkan dengan menggunakan bom. Dari 43 jenis ikan karang yang ditemukan di Sulawesi Selatan, kerapu bebek atau tikus (Cromoliptis altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu lumpur (E. tauvina), kerapu sunu (Plectropomus leopardus) dan ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) memiliki nilai ekonomi yang tergolong sangat tinggi (BPPT 2002). Selanjutnya
Kasnir et al. (2004),
bahwa ada tiga alasan ikan kerapu di
perioritaskan sebagai komoditas unggulan yakni (1) kerapu hidup merupakan peluang ekspor yang sangat menarik yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal, (2) pertumbuhan bisnis ikan kerapu secara keseluruhan dapat membawa dampak peningkatan kesejahteraan lapisan bawah masyarakat yang hidup dari kegiatan perikanan, (3) modernisasi penangkapan ikan kerapu akan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan laut khususnya terumbu karang. 5.5.2 Daya Dukung Budidaya Rumput Laut Daya dukung budidaya rumput laut dihitung berdasarkan luasan area yang sesuai bagi kegiatan tersebut.
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan,
diperoleh luasan lahan yang mendukung untuk kegiatan budidaya rumput laut adalah adalah 1108,5 ha. Dengan menggunakan metode budidaya sistem long line dengan ukuran 40 x 60 m dan kapasitas lahan yang memungkinkan 50% dari kapasitas lahan, maka diperoleh 231 unit pada kawasan seluas 554,25 ha. Dengan
100
metode ini maka dapat diperoleh hasil budidaya rumput laut 1.000 sampai 1.500 kg/ha/panen atau 6-9 ton/ha/tahun bila di lakukan pemeliharaan dengan metode yang baik Aggadireja et al. (2004) dalam Kasnir (2010) Keanekaragaman jenis Sea Weed (rumput laut) di perairan Indonesia cukup tinggi tetapi pada saat ini baru dikenal lima jenis yang bernilai ekspor tinggi, yakni Gelidium, Gelidiella, Hypnea, Eucheuma, dan Gracilaria. Dua jenis terakhir sudah dibudidayakan dan berkembang di masyarakat pesisir Kota Makassar, yaitu Eucheuma dan Gracilaria. Jenis-jenis rumput laut secara ekonomi menjadi penting karena mengandung senyawa polisakarida. Rumput laut penghasil karaginan (karaginofit) dan penghasil agar (agarofit) termasuk kelas alga merah (Rhodophyceae) dan penghasil alginat (alginofit) termasuk kelas algae coklat (Phaeophyceae). 5.5.3 Daya Dukung Wisata Pantai Daya dukung ekowisata
adalah jumlah maksimum pengunjung yang
secara fisik ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Batasan daya dukung untuk populasi manusia dinyatakan juga oleh Soerianegara (1977), yaitu merupakan jumlah individu yang dapat didukung oleh satuan luas sumberdaya dan lingkungan dalam keadaan sejahtera. Daya dukung mempunyai dua komponen utama yang harus diperhatikan, yakni besarnya atau jumlah populasi mahluk hidup yang akan menggunakan sumberdaya tersebut pada tingkat kesejahteraan yang baik serta ukuran atau luas sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada populasi manusia pada tingkat yang lestari Mengacu Pada analisis GIS yang telah dilakukan maka lokasi dan luasan daerah di Pantai Kota Makassar yang sesuai untuk wisata pantai adalah 10373,7 m, yang terdapat di pantai pulau Kayangan, Lae-lae, Tanjung Bayam, Tanjung Bunga dan Akkarena, Pantai Losari serta Pantai Barombong, sedangkan yang tidak sesuai terdapat di pantai Kecamatan Biringkanayya dan Tamalanrea. Selanjutnya dilakukan perhitungan daya dukung kawasan untuk kegiatan wisata pantai.. Daya dukung masing-masing kawasan untuk wisata pantai dengan asumsi 50 meter garis pantai diperuntukkan untuk
1 orang, waktu yang disediakan
101
kawasan untuk kegiatan wisata rekreasi adalah 6 jam/hari dan waktu yang dihabiskan oleh setiap pengunjung 3 jam/hari (Julianda 2007) maka daya dukungnya adalah sebagai berikut: Pulau kayangan 15 orang;Pulau Lae-lae 53 orang; Tanjung Bayam, Tanjung Bunga dan Akarena 162 orang; pantai Losari 137 orang; Pantai Barombong 47 orang. Daya dukung untuk wisata pantai dapat dilihat pada tabel 18: Selain dari sisi ekologis dari lingkungan pantai, akatifitas dari wisata pantai juga mestinya ditinjau dari tingkat kenyamanan dari wisata atau wisatawan itu sendiri terhadap lingkungan Somerville et al. (2003) dalam Laapo (2010) menyatakan bahwa selain karakteristik fisik pantai berpasir, kesesuaian wisata pantai juga memerlukan pengukuran terhadap estetika kebersihan (kesehatan) pantai dari sisi unsur yang dapat menyebabkan penyakit bagi turis. Terkait dengan kesehatan pantai tersebut, diperlukan 7 (tujuh) parameter khusus yakni sisa-sisa kotoran rumah tangga, sampah dengan zat berbahaya (ada unsur melukai, misalnya pecahan kaca), sampah ukuran besar (pohon), sampah umum (kertas, botol dan lainnya), sampah berbahan bakar minyak, feces, dan sampah bentuk lain. Lokasi dan kemampuan daya dukung wisata dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 15 Lokasi dan daya dukung untuk wisata pantai No 1 2 3 4 5
Lokasi Pulau Kahyangan Pulau Lae-lae Pantai Tg Bayam, Tg bunga dan Akarena Pantai Losari Pantai Barombong
Sumber : Data sekunder yang diolah 2010
Panjang Daya dukung Pantai (m) (orang/hari) 373,38 15 1.325,32 53 4.058,28 162 3.434,75 137 1.181,97 47
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, L., 2006. Paradigma Social-Ecological System Dalam Pemulihan Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir Pasca Tsunami : Studi Kasus Wilayah Pesisir Krueng Raya, Kabupaten Aceh barat, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Seminar 10 tahun PKSPL. Bogor 15 Agustus 2006 Allert, G. dan S.S. Santika, (1987). Metode penelitian air. Penerbit Usaha Nasional.Surabaya. Arifin . 2001. Evaluasi Kesesuaian Kawasan Pesisir dan arahan Pengembangannya bagi Pariwisata Bahari di Teluk Palu. Propinsi Sulawasi Tengah. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Aronoff, S. 1989. Geographic Information System : A Management Prespective. WDL Publication, Ottawa, Canada. Astirin, O.P, Setyawan, A.D., Harini, M. 2002. Keragaman Plankton sebagai Indikator Kualitas Sungai di Kota Surakarta Biodiversitas Volume 3, Halaman: 236-241 Bakosurtanal, 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine. Kupang Nusa Tenggara Timur. Pusbina-Inderasig. Bakosurtanal. Cibinong Bengen DG. 2002a. Potensi Sumberdaya Pulau-Pulau. Makalah disampaikan dalam seminar sehari “Peluang Pengembangan Investasi Pulau-Pulau Kecil di Indonesia”, Hotel Indonesia, Jakarta 10 Oktober 2002. Bengen DG. 2002b. Sinopsis, Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL-IPB Bogor. Bengen, DG., 2004. Ragam Pemikiran. Menuju Pembangunan Pesisir dan laut Berkelanjutan Berbasis Eko-sosiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Bogor Bock, J.G. 2001. Towards participatory communal appraisal. Community Development 36(2):146-153. Bohari, R. 2010. Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dan Berkelanjutan di Pantai Kota Makassar Sulawesi Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Badan Pusat Statistik) Kota Makassar 2004. Makassar Dalam Angka 2010.Makassar. Campbell, J.B. 1987. Introductiom to Remote Sensing. Guilford Press, New York. Carver, S. Heywood, I., Cornelius, S., and Sear, D. 1996. Evaluation Field Based GIS For Environmental Characterization, Modeling and Decision Support in GIS and Environmental Modelling. Progress and Research Issues. GIS World Book. USA
150 Cesar, H., 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. The World Bank Charter, J. 2001. Understansing the municipal finance bill. Hologram Newsletter 6. http://www.hologram.org. [15 November 2003]. Chrisman, N. 1997. Exploring Geographic Information System. John Wiley & Sons Inc. USA Cicin-Sain, B. and Knecht, R.W., 1998. Integrated coastal and ocean management: concepts and practices. Island Press, Washington, DC. Covelo, California Clark, J., 1974. Coastal Ecosystems: Ecological considerations for management of the coastal zone. The Conservation Foundation, Washington, D.C.178p. Dahuri, R., Jacub Rais ; Sapta Putra Ginting, M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdava Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 1999. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu : Menata Kembali Pembangunan Teluk Jakarta. Makalah Pertemuan Para Ahli Dalam Pengeloaan dampak Kota Besar Terhadap Perairan di Depannya. P3OLIPI, 7 – 8 April 1999. Jakarta Dahuri, R. 2000.Pendayagunaan sumberdaya kelautan untuk kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Pemikiran Rokhmin Dahuri). Kerjasama Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia dan Direktorat Jendela Pesisir, Pantai, dan Pulau-pulau Kecil DKP. Jakarta Dahuri, R.. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor Davis F.W. and D.S. Simonett. 1991. GIS and Remote Sensing, p. 191-213. In D.J. Maguire, M.F. Goodchild and D.W. Rhinds (eds). Geographical Information Systems. Longman Scientific and Technical and John wiley, New York Edgington, D. and A. Fernandez. 2001. The Changing Context of Regional Development. In D. Edgington, A. Fernandez, and C. Hoshino [Editor]. New Regions-Concepts, Issues and Practices. Greenwood Press. Connecticut Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. ESRI. 1990. Understanding GIS : The Arc/Info Method Environmental System Research Institute. Redlands, CA. USA FAO, 1995. Precautionary Approach to Fisheries. Part 1. FAO Fisheries Technical Paper. No. 350/1. FAO of the UN. Rome.
151 Gordon, N.D., T.A. Mc.Mahon and B.L. Finlanson. 1992. Stream Hidrology. And Introduction for Ecologists. John Wiley and Sons. Chichester, England Gunn, C.A. 1994. Tourism Planning: Basic, Concepts, Cases. Taylor and Francis. New York Fauzi, A., dan Suzy Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Untuk analisis Kebijakan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Fardiaz, S. 1992. Polusi air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Furnas, M.J. 1992. The behavior of nutrients in tropical aquatic ecosystems. p. 29-68. In: Connell, D.W. and D.W. Hawker (eds.). Pollution in Tropical Aquatic Systems. CRC Press Inc., London, U.K. Hartanto, J. 1995. Penggunaan Teknologi Inderaja Sebagai Masukan dalam Proses Perencanaan Tata Ruang. M.S. Geodesi. Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung. Bandung, Indonesia Hendee, J.H., G.H. Stankey dan R.C. Lucas, 1978. Wilderness Management. Forest Services, US Department of Agriculture (Miscellaneous Publ. No. 1365), Washington DC Hutabarat AA, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S, Kusharjani. 2009. Pengelolaan Persisir dan Laut Secara Terpadu. Ed ke-1. Bogor : Pusdiklat KehutananDeptan, dan School of Enviromental Conservation and Ecotorurism Management (SECEM)- Korea International Cooperation Agency. Kartamihardja, E.S. 2000. Laju Pertumbuhan, Mortalitas, Rekrutmen, Eksploitasi Stok Ikan, Dominan dan Total Hasil Tangkapan Ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 1 (6) : 1-12 Kalawarta. 1999. ”World Gross Natural Product”. Coremap .Vol 3No. 1 Juni 1999. Kay, R dan J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN SPON. London dan New York. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup 2004. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota dan Budidaya Laut (KEP-MEN LH No. 51/MenKLH/2004). Ketchum, B.H. 1971. Pollution, natural resources, and biological effects of pollution of estuaries and coastal waters. The massachusetts Institute of Technology. Massachussetts. Kenchington, R.A., and Huson, B.E.T, 1984. Coral reef management handbook. Jakarta, Indonesia. UNESCO Regional Officer for Science and Technology in South-East Asia: 281pp
152 Laapo, A. 2010. Optimasi Pengelolaan Ekowisata Bahari Pulau-Pulau Kecil (Kasus Gugus Pulau TogeanTaman Nasional Kepulauan Togean) Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Lilesand, T.M. and R.W. Kiefer. Sutanto.Ed. 1990. Pengindraan Jauh dan Interpretasi Citra. Gajah Mada University Press. Yogyakarta, Indonesia. Lee CD, Wang SB and Kuo. 1978. Benthic macro invertebrate and fish as biological indicators of water quality, with reference to community diversity index. International Conference of Water Pollutan Control in Developing Countries. Bangkok Thailand. Lung, W.S., 1993. Water quality modelling; application to estuaria. Vol. II CRC Press. Florida Maanema, M. 2003. Model Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu). Disertasi Doktor Sekolah Pascasarjan Institut Pertanian Bogor, Bogor Marsono, BD, 1998, Teknik Pengolahan Air Limbah Secara Biologis, Media Informasi Teknik Lingkungan (MINAT) ITS, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Meade, J.W., 1989. Aquaculture Management. AnAvi Book, Van Nostrand Reinhold, 175p. Miller, G. dan G. Lygre, (1994). Chemistry a contemporary approach 3rdEdition.Wadworth Publishing Company. California Mispar, M. (2001). Sebaran bahan organik dan total padatan tersuspensi di sekitar perairan pantai Losari Kota Makassar Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautandan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. Mitsch, W.J and J.G. Gosselink. 1994. Wetlands. In Water Quality. Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrand Reinhold. New York Monintja, D.R. 1987. Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Hayati Laut di Indonesia. Bulletin Jurusan PSP Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, 1 (1) : 14-25. Muhammadi, E. Aminullah, dan B. Susilo. 2001. Analisis Sistim Dinamis Lingkungan Hidup. UMJ Press. Jakarta Najamuddin, 2004. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (dekapterus spp) Berkelajuntan di Perairan Selat Makassar. Disertsi S3 Program Pascasarjana Unhas. Makassar. Nemerow, N.L. 1991. Stream, Lake, Estuary and Ocean Pollution. Second Edition. Van Nostrand Reinhold. New York. Nikijuluv, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Penerbit P.T. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
153 NRTEE. 1998. Sustainable Strategies for Oceans: a Co-management Guide. National Round Table on the Environment and the Economy. Ontario Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Saunders. Company. Toronto. Ortolano, L. 1984. Environmental Planning and Decision Making. John Willey and Sons, New York. Pascoe, S. and S. Mardle. 2001. Optimal Fleet Size in the English Chanel : A Multi Objective Programming Approach. European Review of Agricultural Economics, 28 (2) : 161-185 Pemkot Makassar, 2004. Laporan status Lingkungan hidup Kota Makassar. Buku 2 parameter Basis Data. Piagram, P. 1983. Outdoor Recreation and Resources Management. St. Martin’s Press, New York. Prasetyawati, 2001. Kajian pengembangan perikanan di pesisir pangandaran (Teluk Perigi) Kab. Ciamis – Jawa Barat. Thesis Program Pasca Sarjana IPB. 122 hal. Rais, J, dkk. 2004. Menata Ruang Laut terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta Riley, J.P. and G Skirow. 1975. Chemichal Oceanography. Academic Press Inc,. London. Saru,
M.A., (2001). Dampak sedimentasi terhadap pola distribusi makrozoobenthos di sekitar muara Sungai Jeneberang. Tesis. Program Pascasarjana, UniversitasHasanuddin
Sjafi’i, B.I.E. 2000. Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Manado Sulawesi Utara. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sugiarti, 2000. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di Kotamadya Dati II Pasuruan Jawa Timur. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Samawi, M.F. 2007. Desain Sistem Pengendalian Pencemaran Perairan Pantai Kota (Studi Kasus Perairan Pantai Kota Makassar). Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Samin.
2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai Salah satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana Vol XXX No 3. 2005
Sekartjakrarini, S. 1993. The Coordination Between Public and Private Sectors: The Role of Partnerships in Ecotourism Development. Texas A&M University. Texas Soetrisno, L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius. Yogyakarta. Storey, D. 1999. Issues of integration, partcipation and empowerment in rural development: the case of LEADER in the Republic of Ireland. Journal of Rural Studies 15(3):307-315.
154 Suhandi, A.S. 2001. The Indonesian experience on community based ecotourism development. Paper Presented at National Seminar on Sustainable Tourism Development: Community-Based Tourism Development and Coastal Tourism Management in Indonesia. Jakarta, 27-28 June 2002. ESCAP-IOTO-WTO. Jakarta Sunyoto, P. 1993. Pembesaran Kerapu dengan Karamba Jaring Apung. Penebar Swadaya. Jakarta. Supriatna, J., A. Sanjaya, I. Setiawati, dan M.R. Syachrizal. 2000. Ekowisata sebagai usaha pemanfaatan yang berkelanjutan di kawasan lindung. Makalah Disampaikan dalam Workshop Komisi Koordinasi Pemanfaatan Obyek Wisata Alam. Balikpapan, 6-8 Maret 2000. Departemen Kehutanan. Balikpapan Suriawiria, U. 1993. Mikrobiologi Air dan Dasar-DasarBuangan Secara Biologi. Bandung: Penerbit Alumni Sutikno, 1993. Karakteristik Bentuk dan Geologi diIndonesia. Yogyakarta: Diklat PU Wil III. Dirjen PengairanDPU. Takeda, N. 2001. People participation in regional development management (Japanese experiences). Paper Presented for the Seminar on “Regional Development Management Policy to Support Autonomy”. Jakarta, 29 March 2001. JICA. Jakarta. www.jica.org. [24 Februari 2004] Todes, A. 2003. Regional planning and sustainability: reshaping development through integrated development plans in the Ugu District of South Africa. Paper Presented to the Regional Studies Associates Conference, Reinventing Regions in the Global Economy. Pisa 12-15th April 2003. Regional Studies Association. Pisa. Turner, G.E., 1988. Codes of practice and manual of procedures for consideration on introductions and transfer of marine and freshwater organisms, EIFAC/CECPI, Occasional Paper No.23, 44pp. Warner, M. 1997. Consensus participation: an example for protected area planning. Public Administration and Development Journal 17:413-432. [WCED] Word Commission on Environment and Development, 1987. Our Common Future. Oxford University Press. South Melbourne, Australia. Widigdo, B. 2000. Pemanfaatan Pesisir dan Lautan untuk Kegiatan Perikanan Budidaya (Aquaculture). Makalah Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan (TOT) Wilayah Pesisir Terpadu. Kerjasama PKSPL IPB –Proyek Pesisir CRC URI. Bogor, 13-28 November 2000. Wong PP. 1998. Coastal Tourism Development in Southeast Asia: Relevance and Lessons for Coastal Zone Management. Journal of Ocean & Coastal Management Vol 38 : 89-109 UNEP, 1993. Training Manual on Assessment of the Quantity and Type of LandBased Pollutant Discharges Into the Marine and Coastal Environment. RCU/EAS Technical Reports Series No.1. Bangkok, 65p
155 Yulianda, F. 2007. Makalah Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains Departemen Manajemen Sumberdaya Periran FPIK-IPB, 21 Februari, Bogor Zakai D, Nanette, Furman C, 2002. Impacts of intensive recreational diving on reef corals at Eilat, northern Red Sea. Biological Conservation 105 (2002) 179– 187.
. .
7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Aliran beban limbah yang berasal dari sungai Jenneberang dan Sungai Tallo serta beberapa kanal utama yang bermuara di pantai kota Makassar cukup tinggi. Beban limbah bulanan rata-rata (ton/bulan) adalah BOD 5 25596.42, COD 146178.40, NO 3 227.82, PO 4 1565.28. Hal ini akan berdampak buruk pada pengelolaan perikanan dan wisata di pesisir pantai Kota Makassar bila tidak ditangani dengan baik 2. Sungai Jenneberang, Muara Sungai Jenneberang, Pelabuhan, Sungai Tallo tercemar ringan, sedangkan stasiun Tanjung Bunga, Pantai losari, Potere, Muara Sungai Tallo, Kanal Panampu, Benteng, H Bau, Jongaya termasuk tercemar sedang. Parameter limbah yang belum melampaui kapsitas asimilasi karena mempunyai nilai konsentrasi yang belum melewati batas baku mutu air yang diperkenankan adalah BOD 5. Namun untuk parameter COD, NO 3 dan PO 4 telah melewati batas baku mutu dan beberapa stasiun telah melampaui kapasitas asimilasinya 3. Indeks pencemaran dengan kategori sedang terdapat pada semua kanal yang ada serta Pantai Losari ,Tanjung Bunga dan Potere. Kanal-kanal yang ada di Kota Makassar umumnya memiliki tingkat indeks pencemaran sedang karena umumnya melintasi daerah perkotaan dengan populasi yang tinggi sehingga tentu akan membawa beban limbah yang besar. Walaupun demikian untuk beberapa stasiun pengukuran terdapat nilai indeks pencemaran dengan taraf tercemar ringan yakni Sungai Jenneberang, Sungai Tallo dan perairan sekitar pelabuhan. 4. Status daya dukung lingkungan mengalami penurunan yang akan mengancam keberlanjutan aktivitas perikanan dan wisata dengan adanya loading beban limbah yang besar dari sungai-sungai dan kanal yang bermuara di perairan pesisir Kota Makassar bila tidak ditangani dengan baik 5. Pengelolaan pencemaran pesisir pantai Kota Makassar dapat berkelanjutan dengan penerapan insentif bagi pencemar, tetap memperhatikan kualitas lingkungan perairan yang ada serta penerapan pengendalian beban limbah dan
148 pembuatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Beberapa kebijakan
yang penting dilakukan adalah pengendalian jumlah pertumbuhan penduduk, tingkat
kesadaran masyarakat akan lingkungan, penyediaan instalasi
pengolahan air limbah untuk setiap sumber pencemar atau kecamatan di Kota Makassar, dan peningkatan alokasi anggaran untuk konservasi lingkungan 7.2. Saran 1. Dalam memanfatkan sumberdaya pesisir pantai Kota Makassar sebaiknya semua stakeholder tetap memperhatikan kesesuaian dan daya dukung yang ada, agar pemanfaatan dapat optimum dan lestari. Kualitas ekologis lingkungan pantai agar selalu dapat terjaga dengan baik diantaranya dengan menjaga pantai dari sampah dan pencemaran 2. Perlu upaya peningkatan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan agar tidak membuang sampah di aliran sungai dan kanal, selain itu pemerintah Kota Makassar perlu menyediakan fasilitas pengolahan limbah
dan
peningkatan penegakkan hukum berkaitan dengan sampah disekitar aliran sungai, kanal dan perairan pantai 3. Perlunya penelitian lanjutan tentang penerapan jumlah insentif pembiayaan pengelolaan pencemaran dengan dengan nilai yang bervariasi pada setiap pencemar sesuai dengan besaran limbah yang dihasilkan
LAMPIRAN
158
159 Lampiran 1 Data Pengukuran Parameter Fisik di Pantai Kota Makassar Parameter Stasiun
Suhu (oC)
Salinitas (0/00)
Kedalaman (m)
S Jeneberang M S. Jeneberang Tanjung Bunga Pantai losari Pelabuhan Potere M S Tallo S Tallo K Panampu K Benteng K H Bau K Jongaya
30,7 31,0 31,0 30,7 30,0 30,5 31,0 31,0 31,3 29,3 28,6 30,2
5 30 31 32 34 35 30 30 15 2 2 27
2 3,5 3,5 1,5 17 7 2,5 5 0,70 0,56 0,35 1,17
Kec Arus (m/det) 1,200 0,300 0,185 0,165 0,178 0,126 0,400 0,950 0,700 0,580 1,180 1,500
Koordinat lokasi S 05 S 05 S 05 S 08 S 05 S 05 S 05 S 05
11.592 11.534 11.848 08.820 07.848 06.492 05.639 06.676
E 119o 23.735 E 119o 22.813 E 119o 23.159 E 119o 24.384 E 119o 23.159 E 119o 25.499 E 119o 26.772 E 119o 26.527
Lampiran 2 Data Pengukuran Parameter Kimia di Pantai Kota Makassar Parameter Stasiun S. Jenneberang Muara S. Jennb Tanjung Bunga Pantai losari Pelabuhan Potere Muara S Tallo S Tallo Rata-rata Kanal Panampu Kanal Benteng Kanal H Bau Kanal Jongaya Rata-rata
pH 7,50 7,00 8,00 8,00 8,00 7,50 8,00 8,40 7,80 6,92 7,31 6,93 7,17 7,58
DO (mg/l) 6,70 5,80 6,15 6,32 7,80 5,40 5,60 3,7 5,47 4 3,9 3,7 2,4 5,27
BOD (mg/l) 6,80 5,00 6,00 8,00 7,50 6,00 9,00 7,00 6,91 2,5 2,4 2,7 2,4 5,55
COD (mg/l) 36 25 31 38 40 22 27 23 30,2 154 98 98 164 60,5
PO4 (mg/l NO3 ) (mg/l) 0,060 0,450 0,090 0,250 0,490 0,240 0,840 0,250 0,060 0,240 0,780 0,210 0,950 0,290 0,020 0,280 0,411 0,276 0,304 0,377 0,417 0,434 0,451 0,281 0,204 0,663 0,39 0,330
Koordinat lokasi S 05 11.592 S 05 11.534 S 05 11.848 S 08 08.820 S 05 07.848 S 05 06.492 S 05 05.639 S 05 06.676 S 05 06.676
E 119o 23.735 E 119o 22.813 E 119o 23.159 E 119o 24.384 E 119o 23.159 E 119o 25.499 E 119o 26.772 E 119o 26.527 E 119o 26.527
160 Lampiran 3 Perhitungan beban Pencemaran Bulanan Pantai Kota Makassar
Stasiun S.Jenneberang
S.Tallo
Kanal Panampu
Kanal Benteng
Kanal Haji Bau
Kanal Jongaya
Jenneberang
Tallo
Debit Rata2 Parameter m3/dtk(Q) kimia 1028,5 BOD COD NO3 PO4 387,85 BOD COD NO3 PO4 39,1545 BOD COD NO3 PO4 1,49408 BOD COD NO3 PO4 1,8998 BOD COD NO3 PO4 24,921 BOD COD NO3 PO4 655 BOD COD NO3 PO4 392,7 BOD COD NO3 PO4
Konsentrasi limbah (C 6,8 36 0,06 0,45 7 23 0,02 0,28
Beban limbah (BL) 6993,80 37026,00 61,71 462,83 2714,95 8920,55 7,76 108,60
Beban limbah bulanan 18127,930 95971,392 159,952 1199,642 7037,150 23122,066 20,106 281,486
2,5 154 0,303 0,377 2,4 98 0,417 0,434 2,7 98 0,451 0,281 2,4 164 0,204 0,663 6,8 36 0,006 0,45 7 23 0,002 0,28
97,88625 6029,793 11,8638135 14,7612465 3,585792 146,41984 0,62303136 0,64843072 5,12946 186,1804 0,8568098 0,5338438 59,8104 4087,044 5,083884 16,522623 4454 23580 3,93 294,75 2748,9 9032,1 0,7854 109,956
253,721 15629,223 30,751 38,261 9,294 379,520 1,615 1,681 13,296 482,580 2,221 1,384 155,029 10593,618 13,177 42,827 11544,768 61119,360 10,187 763,992 7125,149 23411,203 2,036 285,006
161 Lampiran 4 Perhitungan Indeks Pencemaran Pantai Kota Makassar S. Jenneberang
Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
Ci 7,5 35 6,8 6,7 0,06 0,45
(Ci/Li) Lij Ci/Lij C baru baru 7,75 0,97 0,33 80 0,44 0,44 0,34 20 0,34 5 1,34 0,26 0,05 5,38 0,008 7,50 3,39 0,15 3,00 1,65 5,38 3,98
Muara. S Jenneberang Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
Ci 7 25 5 5,8 0,09 0,25
(Ci/Li) Lij Ci/Lij C baru baru 7,75 0,90 1,00 80 0,31 0,31 20 0,25 0,25 5 1,16 0,73 0,15 0,008 11,25 6,26 0,15 1,67 2,11 1,68 6,26 4,58
Tanjung Bunga Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
Ci 8 31 6 6,16 0,49 0,24
(Ci/Li) Lij Ci/Lij C baru baru 7,75 1,03 0,33 80 0,39 0,39 0,30 20 0,3 5 1,232 0,61 0,12 0,008 61,25 9,94 0,15 1,60 2,02 2,18 9,94 7,20
162 Lampiran 4 (lanjutan) Pantai Losari Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
Ci 8 38 8 6,32 0,84 0,25
(Ci/Li) Lij Ci/Lij C baru baru 7,75 1,03 0,33 80 0,48 0,48 20 0,4 0,40 5 1,264 0,59 0,12 0,008 105,00 11,11 0,15 1,67 2,11 2,42 11,11 8,04
Pelabuhan Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
Ci 8 40 7,5 7,8 0,06 0,24
(Ci/Li) Lij Ci/Lij C baru baru 7,75 1,03 0,33 80 0,50 0,50 20 0,38 0,30 5 1,56 0,07 0,01 0,008 7,50 5,38 0,15 1,60 2,02 1,42 5,38 3,94
Potere Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
Ci 7,5 22 6 5,4 0,78 0,21
(Ci/Li) Lij Ci/Lij C baru baru 7,75 0,97 0,33 80 0,28 0,28 20 0,30 0,30 5 1,08 0,87 0,17 0,008 97,50 10,95 0,15 1,40 1,73 2,29 10,95 7,91
163 Lampiran 4 (lanjutan) Muara S Tallo Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
Ci 8 27 9 5,6 0,95 0,29
(Ci/Li) Lij Ci/Lij C baru baru 7,75 1,03 0,33 80 0,34 0,34 20 0,45 0,45 5 1,12 0,77 0,15 0,008 118,75 11,37 0,15 1,93 2,43 2,51 11,37 8,23
Sungai Tallo Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
Ci 8,4 23 7 3,7 0,02 0,28
(Ci/Li) Lij Ci/Lij C baru baru 7,75 1,08 0,87 80 0,29 0,29 20 0,35 0,35 5 0,74 1,43 0,48 0,008 2,50 2,99 0,15 1,87 2,36 1,22 2,99 2,28
Kanal Panampu Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
(Ci/Li) Ci Lij Ci/Lij C baru baru 6,92 7,75 0,89 1,11 154 80 1,93 1,93 2,5 20 0,13 0,13 4 5 0,80 1,33 0,27 0,304 0,008 38,00 8,90 0,377 0,15 2,51 3,00 2,56 8,90 6,55
164
Lampiran 4 (lanjutan) Kanal Benteng
Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
(Ci/Li) baru Ci Lij Ci/Lij C baru 7,31 7,75 0,94 0,59 98 80 1,23 1,23 2,4 20 0,12 0,12 3,9 5 0,78 1,37 0,27 0,417 0,008 52,13 9,59 0,434 0,15 2,89 3,31 2,52 9,59 7,01
Kanal Haji Bau Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
(Ci/Li) Ci Lij Ci/Lij C baru baru 6,93 7,75 0,89 1,09 98 80 1,23 1,23 0,14 2,7 20 0,14 4,7 5 0,94 1,1 0,22 9,76 0,451 0,008 56,38 2,36 0,281 0,15 1,87 2,47 9,76 7,12
Kanal Jongaya Parameter pH COD BOD DO NO3 PO4 Rata-rata maksimal IP
Ci Lij Ci/Lij 7,16 7,75 0,92 164 80 2,05 2,4 20 0,12 3,1 5 0,62 0,204 0,008 25,50 0,663 0,15 4,42
(Ci/Li) C baru baru 0,79 2,56 0,12 1,63 0,33 8,03 4,23 2,68 8,03 5,98
165
Lampiran 5 Sub Model beban Limbah BOD BLBT_BOD(t) = BLBT_BOD(t - dt) + (LBT_BOD - PBT_BOD) * dtINIT BLBT_BOD = LBT_BOD INFLOWS: LBT_BOD = debit__BT*faktor_konv*KKPBT_BOD*TSPBT OUTFLOWS: PBT_BOD = BLBT_BOD*IPAL BLHB_BOD(t) = BLHB_BOD(t - dt) + (LHB_BOD - PHB_BOD) * dtINIT BLHB_BOD = LHB_BOD INFLOWS: LHB_BOD = debit__HB*faktor_konv*KKPHB_BOD*TPSHB OUTFLOWS: PHB_BOD = BLHB_BOD*IPAL BLJA_BOD(t) = BLJA_BOD(t - dt) + (LJA_BOD - PJA_BOD) * dtINIT BLJA_BOD = LJA_BOD INFLOWS: LJA_BOD = debit_JA*faktor_konv*KKPJA_BOD*TPSJA OUTFLOWS: PJA_BOD = BLJA_BOD*IPAL BLJN_BOD(t) = BLJN_BOD(t - dt) + (LJN_BOD - PJN_BOD) * dtINIT BLJN_BOD = LJN_BOD INFLOWS: LJN_BOD = debit_Jn*faktor_konv*KKPJN_BOD*TSPJN OUTFLOWS: PJN_BOD = IPAL*BLJN_BOD BLPN_BOD(t) = BLPN_BOD(t - dt) + (LPN_BOD - PPN_BOD) * dtINIT BLPN_BOD = LPN_BOD INFLOWS: LPN_BOD = debit_PN*faktor_konv*KKPPN_BOD*TSPPN OUTFLOWS: PPN_BOD = IPAL*BLPN_BOD BLTL_BOD(t) = BLTL_BOD(t - dt) + (LTL_BOD - PTL_BOD) * dtINIT BLTL_BOD = LTL_BOD INFLOWS: LTL_BOD = debit_TL*faktor_konv*KKPTL_BOD*TSPTL OUTFLOWS: PTL_BOD = IPAL*BLTL_BOD Jml_pddk(t) = Jml_pddk(t - dt) + (tambah__pddk - kurang__pddk) * dtINIT Jml_pddk = 1272349 INFLOWS: tambah__pddk = Jml_pddk*lahir OUTFLOWS: kurang__pddk = Jml_pddk*mati juml_kamar(t) = juml_kamar(t - dt) + (tumbuh_hotel) * dtINIT juml_kamar = 5064 INFLOWS: tumbuh_hotel = Fr_tumbuh_hotel*juml_kamar
166 Lampiran 5 (lanjutan) TL_BOD(t) = TL_BOD(t - dt) + (LT_BOD) * dtINIT TL_BOD = LT_BOD INFLOWS: LT_BOD = BLBT_BOD+BLHB_BOD+BLJA_BOD+BLJN_BOD+BLPN_BOD+BLTL_BOD debit_JA = 24.92 debit_Jn = 1028.5 debit_PN = 39.15 debit_TL = 387.85 debit__BT = 1.49408 debit__HB = 1.90 faktor_konv = 2.592 Fr_tumbuh_hotel = 0.2/12 IPAL = 0.30 juml__tamu = juml_kamar*okupansi kapasitas_Asimilasi = 83269.32 KKPBT_BOD = 0.001869819 KKPHB_BOD = 0.001654314 KKPJA_BOD = 0.000112101 KKPJN_BOD = 0.000007696 KKPPN_BOD = 0.000074323 KKPTL_BOD = 0.000021009 klanjut_BT = BLBT_BOD-kapasitas_Asimilasi klanjut_HB = BLHB_BOD-kapasitas_Asimilasi klanjut_JA = BLJA_BOD-kapasitas_Asimilasi klanjut_JN = BLJN_BOD-kapasitas_Asimilasi klanjut_PN = BLPN_BOD-kapasitas_Asimilasi klanjut_TL = BLTL_BOD-kapasitas_Asimilasi lahir = 0.0163/12 mati = 0.0005/12 okupansi = 0.4706 TPSHB = TSP*0.001280345 TPSJA = TSP*0.016795171 TSP = Jml_pddk+juml__tamu TSPBT = TSP*0.001006915 TSPJN = TSP*0.693143663 TSPPN = TSP*0.026387646 TSPTL = TSP*0.261386261 Not in a sector
167 Lampiran 6 Sub Model beban Limbah COD BLBT_COD(t) = BLBT_COD(t - dt) + (LBT_COD - PBT_COD) * dtINIT BLBT_COD = LBT_COD INFLOWS: LBT_COD = debit__BT*faktor_konv*KKPBT_COD*TSPBT OUTFLOWS: PBT_COD = BLBT_COD*IPAL BLHB_COD(t) = BLHB_COD(t - dt) + (LHB_COD - PHB_COD) * dtINIT BLHB_COD = LHB_COD INFLOWS: LHB_COD = debit__HB*faktor_konv*KKPHB_COD*TPSHB OUTFLOWS: PHB_COD = BLHB_COD*IPAL BLJA_COD(t) = BLJA_COD(t - dt) + (LJA_COD - PJA_COD) * dtINIT BLJA_COD = LJA_COD INFLOWS: LJA_COD = debit__JA*faktor_konv*KKPJA_COD*TPSJA OUTFLOWS: PJA_COD = BLJA_COD*IPAL BLJN_COD(t) = BLJN_COD(t - dt) + (LJN_COD - PJN_COD) * dtINIT BLJN_COD = LJN_COD INFLOWS: LJN_COD = debit_Jn*faktor_konv*KKPJN_COD*TSPJN OUTFLOWS: PJN_COD = IPAL*BLJN_COD BLPN_COD(t) = BLPN_COD(t - dt) + (LPN_COD - PPN_COD) * dtINIT BLPN_COD = LPN_COD INFLOWS: LPN_COD = debit_PN*faktor_konv*KKPPN_COD*TSPPN OUTFLOWS: PPN_COD = IPAL*BLPN_COD BLTL_COD(t) = BLTL_COD(t - dt) + (LTL_COD - PTL_COD) * dtINIT BLTL_COD = LTL_COD INFLOWS: LTL_COD = debit_TL*faktor_konv*KKPTL_COD*TSPTL OUTFLOWS: PTL_COD = IPAL*BLTL_COD Jml_pddk(t) = Jml_pddk(t - dt) + (tambah__pddk - kurang__pddk) * dtINIT Jml_pddk = 1272349 INFLOWS: tambah__pddk = Jml_pddk*lahir OUTFLOWS: kurang__pddk = Jml_pddk*mati juml_kamar(t) = juml_kamar(t - dt) + (tumbuh_hotel) * dtINIT juml_kamar = 5064 INFLOWS: tumbuh_hotel = Fr_tumbuh_hotel*juml_kamar TL_COD(t) = TL_COD(t - dt) + (LT_COD) * dtINIT TL_COD = LT_COD INFLOWS:
168 Lampiran 6 (lanjutan) LT_COD = BT_COD+BLHB_COD+BLJA_COD+BLJN_COD+BLPN_COD+BLTL_COD debit_Jn = 1028.5 debit_PN = 39.1545 debit_TL = 387.85 debit__BT = 1.49 debit__HB = 1.90 debit__JA = 24.92 faktor_konv = 2.592 Fr_tumbuh_hotel = 0.2/12 IPAL = 0.30 juml__tamu = juml_kamar*okupansi Kapasitas__Asimilasi = 142718.4466 KKPBT_COD = 0.076350938 KKPHB_COD = 0.060045483 KKPJA_COD = 0.007660207 KKPJN_COD = 0.000040744 KKPPN_COD = 0.004578268 KKPTL_COD = 0.000069028 klanjut_BT = BLBT_COD-Kapasitas__Asimilasi klanjut_HB = BLHB_COD-Kapasitas__Asimilasi klanjut_JA = BLJA_COD-Kapasitas__Asimilasi klanjut_JN = BLJN_COD-Kapasitas__Asimilasi klanjut_PN = BLPN_COD-Kapasitas__Asimilasi klanjut_TL = BLTL_COD-Kapasitas__Asimilasi lahir = 0.0163/12 mati = 0.0005/12 okupansi = 0.4706 TPSHB = TSP*0.001280345 TPSJA = TSP*0.016795171 TSP = Jml_pddk+juml__tamu TSPBT = TSP*0.001006915 TSPJN = TSP*0.693143663 TSPPN = TSP*0.026387646 TSPTL = TSP*0.026387646
169
Lampiran 7 Sub Model beban Limbah NO3 BLBT_NO3(t) = BLBT_NO3(t - dt) + (LBT_NO3 - PBT_NO3) * dtINIT BLBT_NO3 = LBT_NO3 INFLOWS: LBT_NO3 = debit__BT*faktor_konv*KKPBT_NO3*TSPBT OUTFLOWS: PBT_NO3 = BLBT_NO3*IPAL BLHB_NO3(t) = BLHB_NO3(t - dt) + (LHB_NO3 - PHB_NO3) * dtINIT BLHB_NO3 = LHB_NO3 INFLOWS: LHB_NO3 = debit__HB*faktor_konv*KKPHB_NO3*TPSHB OUTFLOWS: PHB_NO3 = BLHB_NO3*IPAL BLJA_NO3(t) = BLJA_NO3(t - dt) + (LJA_NO3 - PJA_NO3) * dtINIT BLJA_NO3 = LJA_NO3 INFLOWS: LJA_NO3 = debit__JA*faktor_konv*KKPJA__NO3*TPSJA OUTFLOWS: PJA_NO3 = BLJA_NO3*IPAL BLJN_NO3(t) = BLJN_NO3(t - dt) + (LJN_NO3 - PJN_NO3) * dtINIT BLJN_NO3 = LJN_NO3 INFLOWS: LJN_NO3 = debit_Jn*faktor_konv*KKPJN_NO3*TSPJN OUTFLOWS: PJN_NO3 = IPAL*BLJN_NO3 BLPN_NO3(t) = BLPN_NO3(t - dt) + (LPN_NO3 - PPN_NO3) * dtINIT BLPN_NO3 = LPN_NO3 INFLOWS: LPN_NO3 = debit_PN*faktor_konv*KKPPN_NO3*TSPPN OUTFLOWS: PPN_NO3 = IPAL*BLPN_NO3 BLTL_NO3(t) = BLTL_NO3(t - dt) + (LTL_NO3 - PTL_NO3) * dtINIT BLTL_NO3 = LTL_NO3 INFLOWS: LTL_NO3 = debit_TL*faktor_konv*KKPTL_NO3*TSPTL OUTFLOWS: PTL_NO3 = IPAL*BLTL_NO3 Jml_pddk(t) = Jml_pddk(t - dt) + (tambah__pddk - kurang__pddk) * dtINIT Jml_pddk = 1272349 INFLOWS: tambah__pddk = Jml_pddk*lahir OUTFLOWS: kurang__pddk = Jml_pddk*mati juml_kamar(t) = juml_kamar(t - dt) + (tumbuh_hotel) * dtINIT juml_kamar = 5064 INFLOWS: tumbuh_hotel = Fr_tumbuh_hotel*juml_kamar TL_NO3(t) = TL_NO3(t - dt) + (LT_NO3) * dtINIT TL_NO3 = LT_NO3
170 Lampiran 7 (lanjutan) INFLOWS: LT_NO3 = BLBT_NO3+BLHB_NO3+BLJA_NO3+BLJN_NO3+BLPN_NO3+BLTL_NO3 debit_Jn = 1028.5 debit_PN = 39.1545 debit_TL = 387.85 debit__BT = 1.49 debit__HB = 1.90 debit__JA = 24.92 faktor_konv = 2.592 Fr_tumbuh_hotel = 0.2/12 IPAL = 0.30 juml__tamu = juml_kamar*okupansi kapasitas__Asimilasi = 234.4459459 KKPBT_NO3 = 0.000324881030 KKPHB_NO3 = 0.000276331764 KKPJA__NO3 = 0.000009528551 KKPJN_NO3 = 0.000000067906 KKPPN_NO3 = 0.000009007890 KKPTL_NO3 = 0.000000060024 klanjut_BT = BLBT_NO3-kapasitas__Asimilasi klanjut_HB = BLHB_NO3-kapasitas__Asimilasi klanjut_JA = BLJA_NO3-kapasitas__Asimilasi klanjut_PN = BLPN_NO3-kapasitas__Asimilasi klanjut_TL = BLTL_NO3-kapasitas__Asimilasi klanjut__JN = BLJN_NO3-kapasitas__Asimilasi lahir = 0.0163/12 mati = 0.0005/12 okupansi = 0.4706 TPSHB = TSP*0.001280345 TPSJA = TSP*0.016795171 TSP = Jml_pddk+juml__tamu TSPBT = TSP*0.001006915 TSPJN = TSP*0.693143663 TSPPN = TSP*0.026387646 TSPTL = TSP*0.261386261 Not in a sector
171
Lampiran 8 Sub Model beban Limbah PO4 BLBT_PO4(t) = BLBT_PO4(t - dt) + (LBT_PO4 - PBT_PO4) * dtINIT BLBT_PO4 = LBT_PO4 INFLOWS: LBT_PO4 = debit__BT*faktor_konv*KKPBT_PO4*TSPBT OUTFLOWS: PBT_PO4 = BLBT_PO4*IPAL BLHB_PO4(t) = BLHB_PO4(t - dt) + (LHB_PO4 - PHB_PO4) * dtINIT BLHB_PO4 = LHB_PO4 INFLOWS: LHB_PO4 = debit__HB*faktor_konv*KKPHB_PO4*TPSHB OUTFLOWS: PHB_PO4 = BLHB_PO4*IPAL BLJA_PO4(t) = BLJA_PO4(t - dt) + (LJA_PO4 - PJA_PO3) * dtINIT BLJA_PO4 = LJA_PO4 INFLOWS: LJA_PO4 = debit__JA*faktor_konv*KKPJA__PO4*TPSJA OUTFLOWS: PJA_PO3 = BLJA_PO4*IPAL BLJN_PO4(t) = BLJN_PO4(t - dt) + (LJN_PO4 - PJN_PO4) * dtINIT BLJN_PO4 = LJN_PO4 INFLOWS: LJN_PO4 = debit_Jn*faktor_konv*KKPJN_PO4*TSPJN OUTFLOWS: PJN_PO4 = IPAL*BLJN_PO4 BLPN_PO4(t) = BLPN_PO4(t - dt) + (LPN_NO3 - PPN_PO4) * dtINIT BLPN_PO4 = LPN_NO3 INFLOWS: LPN_NO3 = debit_PN*faktor_konv*KKPPN_PO4*TSPPN OUTFLOWS: PPN_PO4 = IPAL*BLPN_PO4 BLTL_PO4(t) = BLTL_PO4(t - dt) + (LTL_PO4 - PTL_PO4) * dtINIT BLTL_PO4 = LTL_PO4 INFLOWS: LTL_PO4 = debit_TL*faktor_konv*KKPTL_PO4*TSPTL OUTFLOWS: PTL_PO4 = IPAL*BLTL_PO4 Jml_pddk(t) = Jml_pddk(t - dt) + (tambah__pddk - kurang__pddk) * dtINIT Jml_pddk = 1272349 INFLOWS: tambah__pddk = Jml_pddk*lahir OUTFLOWS: kurang__pddk = Jml_pddk*mati juml_kamar(t) = juml_kamar(t - dt) + (tumbuh_hotel) * dtINIT juml_kamar = 5064 INFLOWS:
172 Lampiran 8 (lanjutan) tumbuh_hotel = Fr_tumbuh_hotel*juml_kamar TL_PO4(t) = TL_PO4(t - dt) + (LT_PO4) * dtINIT TL_PO4 = LT_PO4 INFLOWS: LT_PO4 = BLBT_PO4+BLHB_PO4+BLJA_PO4+BLJN_PO4+BLPN_PO4+BLTL_PO4 debit_Jn = 1028.5 debit_PN = 39.1545 debit_TL = 387.85 debit__BT = 1.49 debit__HB = 1.90 debit__JA = 24.92 faktor_konv = 2.592 Fr_tumbuh_hotel = 0.2/12 IPAL = 0.30 juml__tamu = juml_kamar*okupansi kapasitas_Asimilasi = 503.6244444 KKPBT_PO4 = 0.000338125581 KKPHB_PO4 = 0.000172171232 KKPJA__PO4 = 0.000030967790 KKPJN_PO4 = 0.000000509296 KKPPN_PO4 = 0.000011207837 KKPTL_PO4 = 0.000000840343 klanjut_BT = BLBT_PO4-kapasitas_Asimilasi klanjut_HB = BLHB_PO4-kapasitas_Asimilasi klanjut_JA = BLJA_PO4-kapasitas_Asimilasi klanjut_JN = BLJN_PO4-kapasitas_Asimilasi klanjut_PN = BLPN_PO4-kapasitas_Asimilasi klanjut_TL = BLTL_PO4-kapasitas_Asimilasi lahir = 0.0163/12 mati = 0.0005/12 okupansi = 0.4706 TPSHB = TSP*0.001280345 TPSJA = TSP*0.016795171 TSP = Jml_pddk+juml__tamu TSPBT = TSP*0.001006915 TSPJN = TSP*0.693143663 TSPPN = TSP*0.026387646 TSPTL = TSP*0.261386261 Not in a sector
173 Lampiran 9 Sub Model Ekonomi IPAL Jml_pddk(t) = Jml_pddk(t - dt) + (tambah__pddk - kurang__pddk) * dtINIT Jml_pddk = 1272349 INFLOWS: tambah__pddk = Jml_pddk*lahir OUTFLOWS: kurang__pddk = Jml_pddk*mati juml_kamar(t) = juml_kamar(t - dt) + (tumbuh_hotel) * dtINIT juml_kamar = 5064 INFLOWS: tumbuh_hotel = Fr_tumbuh_hotel*juml_kamar KU_PW_total(t) = KU_PW_total(t - dt) + (KU_PW) * dtINIT KU_PW_total = KU_PW INFLOWS: KU_PW = KBRL+KKJA+KWPt manfaat__bersih_PW(t) = manfaat__bersih_PW(t - dt) + (manfaat__PW - Biaya_PW) * dtINIT manfaat__bersih_PW = KU_PW-Biaya_PW INFLOWS: manfaat__PW = KU_PW_total OUTFLOWS: Biaya_PW = (FR_alaokasi_kompensasi*nilai__kompensasi)*TSP PAD(t) = PAD(t - dt) + (PPAD) * dtINIT PAD = PPAD INFLOWS: PPAD = KU_PW_total*Pajak_Retribusi biaya__operasi = 0.1 DD_KJA = 3258 DD__BRL = 554 DD__wisata = 414 efektifitas__kerja_ipal = FR_alaokasi_kompensasi FR_alaokasi_kompensasi = 0.3 Fr_tumbuh_hotel = 0.2/12 Imbangan_Insentif__manfaat = manfaat__bersih_PW/TSP juml__tamu = juml_kamar*okupansi KBRL = DD__BRL*NKBRL*penurunan_DD KKJA = DD_KJA*NKKJA*penurunan_DD KWPt = DD__wisata*NKWPt*penurunan_DD lahir = 0.0163/12 mati = 0.0005/12 Nilai_IPAL = 407000000000 nilai__kompensasi = (Nilai_IPAL+biaya__operasi)/Umur__IPAL/TSP*FR_alaokasi_kompensasi NKBRL = 833333 NKKJA = 1483755 NKWPt = 1500000 okupansi = 0.4706 Pajak_Retribusi = 0.15 penurunan_DD = efektifitas__kerja_ipal Total_Nilai__Kompensasi = nilai__kompensasi*TSP TSP = Jml_pddk+juml__tamu Umur__IPAL = 120
174 Lampiran 10 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No. 51/MENLH/10/2004 tentang Baku Mutu air laut unuk wisata Bahari
175 Lampiran 11 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.